II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur Kerangka Zeolit
Zeolit dengan silika yang tinggi, misalnya ZSM-5 dan klinoptilolit, mengandung proton (H1 yang dapat ditukar langsung dengan kation. Dyer (1988) menggambarkan protonisasi hidroksil pada suatu kerangka alumina tetrahedral akibat adanya muatan residual Si dan AI, seperti terlihat pada Gambar 1. Muatan negatif pada atom oksigen membentuk sisi Bronsted sebagai berikut:
II"
II"
~ ./~ /0", ./~/O", /0
/S~ /A( /S~
/
'" /S",
Gambar 1 Posisi proton pada sisi Bronsted (Dyer, 1988).
Struktur zeolit yang ditunjukkan pada Gambar 1 merupakan kondisi ideal. Makin banyak sisi Bronsted yang dimiliki suatu zeolit makin tinggi nilai KTKnya. Dryer (1988) juga menunjukkan bahwa proton mempunyai pergerakan yang baik ketika suhu 200°C, namun pada suhu 550°C proton hilang sebagai air yang menyebabkan terbentuknya sisi Lewis, seperti terllihat pada Gambar 2 sebagai berikut,
Sisi Bronsted
SisiLewis
Gambar 2 Perusakan struktur zeolit akibat terbentuknya sisi Lewis (Dyer, 1988). Sisi Lewis berubah menjadi tidak stabil ditunjukkan oleh munculnya uap air secara terus-menerus. Proses pemanasan secara terkendali (annealing) dapat diharapkan untuk menstabilkan struktur sisi Lewis. Produk ini dinamakan sisi
8
Lewis yang sebenarnya dengan menambahkan komponen aluminium (Al) pada
kerangka zeolit. Asam Bronsted mengandung proton re1atif banyak pada saat sebelum zeolit mengalami proses pemanasan atau penghilangan kadar airnya, sedangkan asam Lewis lebih banyak dalam zeolit setelah melalui proses annealing.
Dengan struktur yang dimiliki, zeolit dapat melakukan penyerapan dan penukaran ion. Rozic et al. (2000) melaporkan bahwa proses penjerapan (adsorpsi) teIjadi pada kerangka alumino silika, sedangkan proses penukaran ion teIjadi di dalam kerangka alumino silika. 2.2. Arti Penting Proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi
Denitrifikasi merupakan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti karena berbagai alasan. Tiedje (1988) merinci alasan-alasan tersebut sebagai berikut: I
Nitrogen adalah salah satu unsur hara pada tanaman yang paling penting dalam produktivitas. Kehilangan pupuk karena denitrifikasi pada umumnya berkisar antara 20 % sampai 30 %.
2
Denitrifikasi merupakan hal yang sangat penting dalam pengolahan limbah dimana teIjadi penyisihan komponen yang mengandung nitrogen dari lingkungan lokal yang berarti menyempumakan daur nitrogen secara alamiah.
3 Efek N20 dalam kerusakan lapisan ozon telah diketahui dalam beberapa dasawarsa terakhir. Denitrifikasi berarti dapat berfungsi sebagai sumber sekaligus sebagai penyisihan N20
pada atmosfir. Dengan demikian
pemahaman mengenai proses ini memegang peranan yang sangat penting dalam pengendalian komponen N20. 4 Rangkaian denitrifikasi menghasilkan zat antara beracun N02- dan NO yang sangat membahayakan. Nitrit juga bereaksi dengan amina sekunder untuk menghasilkan berbagai nitrosamina yang di antaranya bersifat karsinogenik. 5 Denitrifikasi menyeimbangkan daur nitrogen dalam planet bumi. Proses nitrifikasi dan denitrifikasi dapat berlangsung secara alamiah dengan bantuan mikro-organisme yang banyak tersebar di alam dan merupakan kemampuan alam dalam mempertahankan dirinya dari kerusakan. Mikroorganisme tersebut antara lain anggota dari genus: Clostridium, Pseudomonas,
9
Thiobacillus. Bich et al. (1999) memanfaatkan Chlorella vulgaris dan Eichornia crassipes dalam proses penyisihan nitrogen dari limbah karet.
Namun
perkembangan industri yang demikian pesatnya pada beberapa dekade terakhir mengharuskan pemanfaatan proses non-biologis
yang dapat
diharapkan
beriangsung dengan lebih cepat. Dengan demikian penelitian yang berhubungan dengan transformasi nitrogen merupakan salah satu pemecahan dalarn rangka pengendalian lingkungan yang sangat luas, yaitu terpeliharanya daur nitrogen di alamo 2.3. Proses Fisik, Kimiawi dan Biologis dalam Proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi
Reddy dan Lin (2000) melaporkan bahwa denitrifikasi dengan pemisahan membran memerlukan biaya yang paling mahal dibandingkan dengan kedua teknik lainnya. Meskipun denitrifikasi dengan penukar ion lebih murah dibandingkan kedua proses lainnya, teknik ini memproduksi Iimbah yang mengandung N03-, sulfat, klorida atau bikarbonat pada saat regenerasi resin yang digunakan. Oleh sebab itu diperlukan suatu area untuk menarnpung unsur-unsur hara dengan konsentrasi yang relatif pekat. Hal ini dapat menguntungkan bila konsentrat hara ini dapat dimanfaatkan, misalnya untuk pupuk. Meskipun proses reduksi menggunakan katalis yang dilakukan Reddy dan Lin (2000) dapat beriangsung dengan baik, kedua ahli tersebut menekankan periunya pengkajian faktor ekonomi proses reduksi ini lebih dalam sebelum diterapkan. Kedua ahii tersebut juga melaporkan bahwa karena unsur N dapat berada pada berbagai bilangan oksidasi yang berbeda, maka potensial redoks (ORP) memainkan suatu peranan yang penting dalarn transformasi dan kestabilannya dalam air. Suatu pengembangan proses denitrifikasi secara kombinasi kimiawi dan fisik adalah melalui reduksi nitrat dengan menggunakan membran berpori yang mengandung katalis. Daub et al. (1999) melaporkan bai3wa membran berkatalis ini memberikan beberapa keuntungan. Meskipun demikian, dua hal di bawai3 ini merupakan kelemahan sistem yang dikembangkan. 1 Berbagai membran mengandung sejumlah logam aktif yang berbeda. Dengan demikian konversinya tidak sarna untuk seluruh percobaan yang dilakukan.
10
2 Terbentuknya produk samping amonium dan nitrit sesuai dengan reaksi hipotesis yang diberikan Hahnlein et aZ. (1997) di bawah ini: 2N03-+8H2 ~ 2NH/ + 40R +2H20 N03- + H2
~
N02- + H20
(1) (2)
Dibandingkan dengan reaksi yang seharusnya telj adi, (3)
Terlihat bahwa pembentukan nitrit teljadi karena proses hidrogenasi yang kurang sempurna, yaitu bereaksi hanya dengan I mol H2 dibandingkan yang seharusnya yaitu 5 mol H2. Sebaliknya amonium terbentuk karena proses hidrogenasi lebih lanjut (8 mol H2) terhadap nitrat. Dengan demikian pengendalian aktivitas dan selektivitas katalis memegang peranan yang sangat penting. Informasi di atas menunjukkan bahwa penelitian denitrifikasi dengan memanfaatkan penukar ion memiliki pe1uang yang cukup luas. Faktor-faktor yang mengendalikan proses juga perlu diteliti, antara lain: kinetika reaksi (redoks) kimiawi, parameter perpindahan massa seperti difusi partikel dan difusi film. Berbagai resin dapat digunakan dan informasi teknis mengenai hal ini masih dalam tahap pencarian. Altematif lain adalah menggunakan zeolit yang sebelumnya perlu dilapisi permanganat agar dapat berfungsi sebagai pengoksidasi (pada proses oksidasi amonium) dan sebagai pereduksi (pada proses denitrifikasi). Zeolit merupakan salah satu batuan alam yang memiliki sifat khas antara lain kemampuannya untuk berfungsi sebagai tulang pungung (back bone) suatu matriks dimana gugus-gugus tertentu dapat melapisinya sehingga dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Kobayashi dan Ohkubo (1997) menemukan bahwa pada "sarang" zeolit, banyak gugus-gugus asam dan proton asam yang tidak dapat tersubstitusi oleh ion-ion logam. Bahkan Mavrodinova (1998) menegaskan bahwa hanya sekitar setengah dari proton bisa diganti dengan Na+. Dengan kondisi ini kedua ahIi tersebut dapat menganggap bahwa gas NO dapat diserap gugus asam pada zeolit untuk kemudian dikeluarkan dengan atom H. Kajian pustaka menyeluruh mengenai hal ini menunjukkan bahwa bukti-bukti ko-adsorpsi gas NO sangat
11
sedikit. Meskipun demikian, telah ditunjukkan bahwa simulasi mekanisme reaksi antara NO dan lINO lebih mudah terjadi (menghasilkan N 20
dan OR)
dibandingkan reaksi 2 molekul NO (menghasilkan N2 dan O2) karena rintangan pengaktifan. Momirlan dan Birjega (1997) menunjukkan bahwa proses pengaktifan zeolit (dengan logarn non mulia) dilakukan pada temperatur 500 DC dan tekanan 10-2 mmHg selarna 4 jam. Tekanan vakum tersebut diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya gas-gas di dalam zeolit yang digunakan untuk percobaan pada proses evolusi hidrogen dari air. Kedua peneliti tersebut mendefinisikan zeolit sebagai kerangka alumino silika yang di dasarkan pada jaringan 3 dimensi. Jaringan ini tidak terbatas dan berbentuk tetrahedral Al03 dan Si04 yang diikat satu sarna lain dengan menggunakan bersama atom oksigen yang sama. Lin dan Wu (1996) melakukan percobaan penyisihan komponen nitrogen dengan ozonasi dan penukar ion. Resin penukar ion yang digunakan adalah asam kuat sebagai penukar kation dan basa kuat sebagai penukar anion. Hasil percobaannya menunjukkan bahwa pH larutan mula-mula sangat berpengaruh pada penyisihan amonium. Sebaliknya, pH tidak berpengaruh
terhadap
penyisihan nitrit atau nitrat. Kondisi optimal untuk penyisihan amonium dengan ozonasi adalah pH > 8, sedangkan pH < 7 dibutuhkan untuk penyisihan amonium dengan penukar kation. Kedua peneliti tersebut juga mendapatkan bahwa proses ozonasi hanya mengeluarkan sebagian amonium, tetapi proses ozonasi marnpu mengkonversi seluruh nitrit menjadi nitrat. Untuk penyisihan nitrit, nitrat dan sisa amonium, resin penukar kation dan anion sangat c\iperlukan dan efisiensinya tinggi. Ozon yang tersisa dilaporkan tidak merusak resin sintetis yang digunakan. Oksigen merupakan inhibitor denitrifikasi. Bakteri memperoleh energi yang dikeluarkan ketika terjadi perpindahan elektron dari komponen organik ke O 2, N02, atau N03 . Jika ketiga elemen ini tersedia untuk menerima elektron, jelas bahwa penerimanya adalah elemen yang menghasilkan sejumlah energi per satuan zat organik teroksidasi yang lebih besar. Karena energi yang lebih besar dihasilkan oleh oksigen, dibandingkan dengan elemen lainnya, elektron ditransfer lebih ke arah oksigen.
12
DO 1ebih besar dari 0,5 mg L- l merupakan inhibitor denitrifikasi yang cukup kuat. Parameter lainnya adalah angka potensial redoks (ORP), dimana denitrifikasi terjadi pada nilai ORP lebih kecil dari 220 mV dengan pH sekitar 7 8,2. Bernet et al. (2000) mencatat bahwa denitrifikasi berlangsung baik pada -125 mV. Sifat alamiah dan konsentrasi sumber substrat karbon menentukan kinetika denitrifikasi. Bernet et al. (2000) juga melaporkan bahwa denitrifikasi dapat dilakukan dengan pengolahan lumpur kombinasi aerobik dan anaerobik pada limbah babi (piggery). Sistem sequential batch reactor (SBR) dapat memberikan suatu kondisi lingkungan yang berbeda, yaitu kondisi periodik anoksik dan anaerobik untuk denitrifikasi dan produksi gas metan secara berurutan. Pertumbuhan biomassa pada suatu proses denitrifikasi mengikuti persamaan kinetika Monod, dan sampai saat ini masih merupakan acuan dalam menentukan kelayakan suatu bioproses. Upaya dalam menentukan nilai-nilai konstanta yang terkait dengan persamaan Monod terus dilakukan oleh berbagai peneliti. Dengan menggunakan inokulum yang berasal dari pilot plant pengolahan limbah perikanan, Soto et al. (2002) mempelajari kinetika denitrifikasi air limbah perikanan
pada
berbagai
perbandingan
nitratlbiomassa.
Percobaan
itu
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum populasi mikroba anoksik, Pm, dan konstanta Monod suatu proses denitrifikasi, KN , merupakan suatu tetapan
dan
nilainya
tidak
bergantung
pada
besarnya
perbandingan
substratlbiomassa awal (/fIJ0. Hasil percobaan yang dilakukan oleh Soto et al. menunjukkan bahwa nilai pm dan KN masing-masing adalah 0,045 ± 0,003 jam- l dan 0,46 ± 0,17 mg N-N03-L-I . Soto et al. (2002) juga menyebutkan bahwa rN hanya bergantung pada Pm menurut persamaan rN = PmIYX/S. Koefisienyieldbiomassa YX1S proses denitrifikasi telah dipelajari oleh Thomas et al. (2002) dan memberikan nilai 38,4 g VSS morl fenol, atau (38,4/94) g VSS g-l fenol. Pada penelitian denitrifikasi dengan fenol sebagai substrat, Thomas et al. (2002) menggunakan kultur campuran spesies Alcaligenes faecalis dan Enterobacter sp.
13
2.4. Pemanfaatan Zeolit untuk Nitrifikasi Kimiawi dan Denitrifikasi Biologis
Zeolit adalah suatu alumino silika terhidrasi. Dyer (1988) menunjukkan bahwa kerangka zeolit alam adalah dalam bentuk struktur 3 dimensi yang dibentuk oleh ikatan bersama koordinat polihedral [Si04
t
t. Karena
dan [Al04
oksigen pada tiap sudut tetrahedral digunakan bersama dengan Al3+ dan atau Si4+, bergantung pada perbandingan SitAI zeolit, suatu muatan negatif residual pada kerangka oksigen dikompensasikan dengan kation, seperti Na+, K+ dan Ca+. Kation-kation tersebut dapat saling dipertukarkan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai penukar kation yang stabil. Dengan demikian jelaslah bahwa secara teori, seperti dikatakan oleh Dyer (1988), perbandingan SitAI mendekati 1 merupakan kondisi dimana kerangka zeolit mengandung muatan negatif maksimum,
artinya kapasitas tukarnya maksimum.
Meskipun demikian,
kestabilan terhadap asam dan kapasitasnya ditemukan pada zeolit dengan perbandingan SitAI yang lebih tinggi. Perlakuan zeolit dengan asam kuat menyebabkan dealuminasi, yaitu kondisi yang meningkatkan perbandingan SitAl. Dyer (1988) melaporkan bahwa zeolit dengan perbandingan SitAl sekitar
1~2
dengan mudah kehilangan aluminium dari
kerangkanya pada lingkungan asam dengan konsekuensi kehilangan kapasitas dan kerusakan kerangka zeolit. Zeolit tersebut dapat bertahan pada pH sekitar 3 sampai 4. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa zeolit dengan perbandingan SitAI yang lebih tinggi dapat diharapkan mempunyai sifat ketahanan terhadap asam yang lebih baik. Pengetahuan tentang proses pengaktifan dan deaktivasi zeolit merupakan faktor kunci dalam pemanfaatan zeolit. Deaktivasi zeolit disebabkan oleh fouling, seperti ditunjukkan oleh Hausladen dan Lund (2000). Fenomena ini berlangsung karena dealuminasi yang sangat parah yang pada akhirnya mengarah pada kerusakan struktural dan kehilangan aktivitas secara total. Kedua peneliti tersebut memperkirakan bahwa pembersihan dengan pelarut, misalnya toluen, dapat mengeluarkan material terakumulasi dan mengembalikan sebagian aktivitasnya sebagai katalis klorinasi. Pada bagian akhir tulisan tersebut dilaporkan bahwa pembakaran kotoran-kotoran tersebut tidak dapat mengembalikan aktivitasnya.
14
Salah satu dari karakteristik zeolit adalah sifat keasamannya yang dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan amonium fluorida, diikuti dengan proses pengaktifan pada temperatur tinggi, sekitar 450°C, seperti dilaporkan oleh Mao et al.(1999). Pengaktifan akhir yang dilakukan Mao et al.(1999) adalah penyerangan
proton pada permukaan zeolit dengan pasangan-pasangan ion (If" F) Meskipun zeolit merupakan barang tambang "kelas C", komoditi ini ternyata dapat diperbaharui. Querol et al. (2000) berhasil melakukan sintesis zeolit dari abu yang dihasilkan dari 11 power plant berbahan bakar batu-bara di Spanyol. Percobaan laboratorium pada skala pilot plant telah menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, dengan kapasitas penukaran kation antara lain: 68 meq. 100 g-! untuk Nt, 95 meq. 100 g-! untuk Zn+, llO meq. 100 g-! untuk Fe2+. Nilai kapasitas penukaran kation untuk beberapa logam lainnya dapat dilihat pada penelitian tersebut.
2.5. Analisis Termodinamika Reaksi Redoks Nitrifikasi Kimiawi dan Denitrifikasi Biologis Dalam suatu sistem dengan pelarut air, amonium berada pada kondisi setimbang dalam bentuk, NH/ !:+
NH3+ II'
(4)
Kesetimbangan tersebut di atas menunjukkan ketergantungan amomum terhadap pH larutan. Lin dan Wu (1996) menunjukkan bahwa pH awal larutan merupakan faktor yang sangat penting dalam penyisihan amonium, dimana pertukaran kation sangat baik pada pH di bawah 7. Tetapi dapat diantisipasi bahwa pada pH rendah berarti konsentrasi II' lebih tinggi yang akhirnya teIjadi kompetisi NH/ dan II' dalam proses penukaran kation. Fenomena ini mengakibatkan turunnya kapasitas tukar kation zeolit yang berfungsi sebagai penukar kation. Hal tersebut mungkin tidak teIjadi pada zeolit yang dimodifikasi karena prosesnya mengikuti fenomena yang berbeda. Secara termodinamika, Stumm dan Morgan (1981) menunjukkan bahwa NH/, pada 25°C dapat teroksidasi menurut persamaan reaksi berikut ini:
2NH/
logK = - 14.9
(5)
logK=-4.68
(6)
15
Kedua reaksi tersebut di atas menunjukkan bahwa pH berkurang ketika proses oksidasi sedang beriangsung. Periu dicatat bahwa konsentrasi maksimum N2 (aq) adalah 5xlO-4 M, sehubungan dengan tekanan parsial N2 sebesar 0,77 atmosfer. Mn02 dapat berfungsi sebagai oksidator dengan menerima e1ektron menurut persamaan reaksi berikut: ~ Mn02(s) + y, HC03- + 1 ~ W
+ e !+
~ MnC03(S) + H20
(7)
Sejauh ini, tidak tersedia informasi mengenai konstanta kesetimbangan, K ataupun energi bebas Gibbs, .1.G. Karena Mn0 2 secara termodinamika dapat mengoksidasi NH/, dapat diantisipasi bahwa proses oksidasi yang sama dengan di atas dapat dilakukan, bahkan lebih baik, oleh KMn04. Alasan tersebut adalah bahwa tingkat energi KMn04 lebih tinggi dari pada Mn02, karena pada kenyataannya bilangan oksidasi Mn pada KMn04 adalah +7 sedangkan bilangan oksidasi Mn pada Mn02 adalah +4. Selain itu, KMn04 teknis tersedia di pasar lokal, yang berarti mempunyai keuntungan ekonomis pada penerapan bahan kimia ini secara praktis. Eckenfelder (1989) menjelaskan reaksi denitrifikasi melalui proses biologis secara anoksik pada kondisi endogenous respiration. Biomassa menggunakan nitrat sebagai penerima (acceptor) elektron jika sumber enerji organik tersedia, menurut reaksi reduksi: N03- + substrat -7 N2 + CO2 + H 20 + Off + cells
(8)
Sebagai sumber enerji, substrat (biasanya diwakilkan oleh COD) berfungsi untuk memberi (donor) elektron ke nitrat. Bernet et al. (1996) menunjukkan bahwa perbandingan stoikiometri denitrifikasi heterotrop adalah 2,85 mg COD setiap turunnya 1 mg N-N03-, dimana nilai ini harus dikoreksi menjadi 3 karena sebagian karbon digunakan untuk sintesis biomassa.
Namun percobaan yang
dilakukan Zayed dan Winter (1998) memperlihatkan pengaruh perbandingan stoikiometri CODIN-N03- pada prosentase penyisihan nitrat secara batch. Pada perbandingan stoikiometri CODIN-N03- sebesar 2, 4 dan 6 memberikan penyisihan N-N03- berturut-turut 22% (masa inkubasi 5 hari), 60% (masa inkubasi 5 hari) dan 100% (denitrifikasi komplit, dengan masa inkubasi 3 hari). Larutan timan awal mengandung N-N03- sebesar 250 mg N-N03- L-1.