Sketsa Ekonomi Indonesia
PRAKATA Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayahNya berupa kemampuan berpikir dan analisis yang diaplikasikan dalam Sketsa Ekonomi Indonesia ini. Buku narasi ini merupakan penyempurnaan buah dari ide pemikiran bersama. Alasan-alasan penting yang menjadi pendorong untuk penyempurnaan karya ini, sehingga terangkai sebuah narasi sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa di lingkungan Universitas Jember; sebagai kenang-kenangan mahasiswa Ekonomi Moneter 2011; serta sebagai pemicu gairah penulisan karya-karya tulis lainnya di lingkungan Universitas Jember khususnya. Buku narasi ini disusun berdasarkan keinginan para penulis yang berdasarkan fenomena ekonomi yang terjadi baik di Indonesia maupun Internasional. Buku ini menceritakan tentang fenomena ekonomi moneter, makro moneter, perbankan, moneter internasional, perdagangan bahkan kelembagaan. Buku narasi ini disusun melalui berbagai tahap, baik melalui forum diskusi antar mahasiswa maupun pembahasan intensif dengan Dosen Pengampu mata kuliah Seminar Ekonomi Moneter. Buku narasi ini tidak akan terwujud tanpa adanya harmonisasi sebuah komitmen dan kerja sama pihak yang terlibat. Bersamaan dengan itu, dalam kesempatan ini atas nama mahasiswa Universitas Jember khususnya mahasiswa konsentrasi ekonomi moneter 2011 menyampaikan i
Sketsa Ekonomi Indonesia
penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya, terutama kepada pihak-pihak berikut: 1. Adhitya Wardhono, SE., M.Sc., Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Seminar Ekonomi Moneter 2. tim penyunting Buku Sketsa Ekonomi Indonesia 2011 3. seluruh mahasiswa konsentrasi ekonomi moneter 2011 Akhirnya, tiada suatu usaha yang besar akan berhasil tanpa dimulai dari usaha yang kecil. Semoga buku Sketsa Ekonomi Indonesia ini bermanfaat, terutama bagi seluruh mahasiswa di lingkungan fakultas ekonomi Universitas Jember dan bagi pengguna lain di luar lingkungan fakultas ekonomi Universitas Jember. Semoga buku ini dapat menambah khazanah ilmu dan bacaan bagi siapa saja yang membacanya.
Jember, Januari 2015
Universitas Jember
ii
Sketsa Ekonomi Indonesia
KATA PENGANTAR Menyimak perekonomian Indonesia dalam dimensi moneter dan internasional serasa terbang mengarungi luasnya bentang langit yang kadang cerah atau mengandung awan serta tarikan gravitasi yang begitu berat, bahkan sering terjadi turbulensi yang hebat. Kepiawaian dalam pengamatan, detail dalam membaca arah angin manjadi mutlak dilakukan. Oleh karenanya pada titik tertentu variasi pengamatan ekonom terhadap fenomana ekonomi kandang anomalis dengan teori yang ada atau bahkan melenceng dari garis demarkasi akademis tradisional yang ada. Namun belajar dan belajar membaca fenomena ekonomi adalah mutlak dilakukan. Perdebatan ilmiah akan terjadi jika calon ekonom muda berani berkarya melalui tulisan, mengungkap tabularasa ilmiahnya dalam lisan maupun tulisan. Sungguh sesuatu yang perlu dihargai, tatkala melihat inovasi mahasiswa bergelora bersama ruang dan waktu mereka. Ide untuk membukukan atau tepatnya mengkompilasi tulisan yang sejatinya adalah makalah dalam kuliah Seminar Ekonomi Moneter Semester Gasal 2014-2015 yang kebetulan dilakukan oleh mahasiswa angkatan 2011 Konsentrasi Moneter, Angkatan 2011 Jurusan IESP menjadi tradisi baru yang perlu ditumbuh kembangkan di kemudian hari. Warna telaah yang beragam dan sudut analisis yang diambil dari kaca mata yang bedaiii
Sketsa Ekonomi Indonesia
beda, namun mampu didudukan pada telaah teoritis dan kebijakan yang jelas meski kadang masih belum memiliki ukuran kedalaman yang tepat. Lepas dari kekurangan di sana sini, sebuah keberanian untuk berekspresi melalui tulisan kritis terhadap perekonomian Indonesia dari aspek moneter, perbankan, internasional bahkan perdagangan serta kelembagaan, membuncahkan asa positif bersama niat baik untuk membangun kelembagaan Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) yang baik, percaya diri dan bermartabat kedepan. Semangat tetap disemai, semoga karya tetap membahana...
Adhitya Wardhono, PhD
Pengampu Mata Kuliah Seminar Ekonomi Moneter Jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember
iv
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman Judul Prakata ............................................................................................... i Kata Pengantar ............................................................................... iii Daftar Isi............................................................................................. v Daftar Gambar ................................................................................ viii Daftar Tabel ..................................................................................... x Dinamika Eligibilitas Keuangan Terhadap Strategi Nasional Keuangan Inklusif di Indonesia Cintya Meidia Tama dan Retno Ayu Wulansari ................... 1 Financial Deepening di Indonesia: Sektor Perbankan Christin Ningrum dan Lutfiatun Hasanah ............................. 16 Relevansi Inflation Targeting Framework dalam Menjaga Stabilitas Harga di Indonesia Dani Setiawan dan Moh. Ilyas Zainunnury ............................ 30 Kajian Praktis Peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah dalam Menjaga Stabilitas Harga Ahmad Faisol dan Edi Prastiawan ........................................... 42
v
Sketsa Ekonomi Indonesia
Persistensi Inflasi: Pendekatan Sisi Penawaran pada Pasar Barang Virdila Reindhartis dan Farida Elgani E ................................ 56 Early Warning System Indikator Makroekonomi pada Krisis Perbankan Ave Nindy Prastica Devi dan Reny Octaviantri .................... 71 Pengaruh Bank Asing terhadap Perbankan Domestik di Indonesia: Studi Kasus dalam Menghadapi MEA 2015 Nurul Hazizah dan Rista Fitriany ............................................. 83 Biaya Market Power Perbankan Asing di Indonesia: Cost Inefficiency and Welfare Loss Mela Yunita dan Hudi Darmawan ............................................ 96 Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial di Indonesia Achmad Fawaid Hasan dan Pamungkas Candrono ........... 110 Dampak Kebijakan Pelonggaran Kuantitatif Amerika Serikat terhadap Stabilitas Perekonomian Indonesia Dina Dwi Septiani dan Ika Nurjannah .................................... 124 Dampak Pelaksanaan ACFTA terhadap Perdagangan Internasional Indonesia: Sisi Ekspor Nur Umahatul Qomariah dan Yayang Oktafiani Putri ...... 138
vi
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dinamika Neraca Perdagangan Indonesia dan Sensitivitasnya terhadap Nilai Tukar Riil Indah Hotmian A.P dan Sucik Ayu W ....................................... 151 Pengaruh Nilai Tukar terhadap Ekspor Makanan di Indonesia Airin Septia Lygina dan Elani Umiyatul Halim .................... 161
vii
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Triangle Analysis ................................................... 8 Gambar 2 : Perkembangan Indikator Financial Deepening Pada Sektor Perbankan....................................... 20 Gambar 3 : Sinergi Kebijakan Untuk Mempengaruhi Inflasi ......................................... 48 Gambar 4 : Struktur Persistensi Inflasi ................................ 60 Gambar 5 : Struktur Inflasi di Indonesia ............................. 62 Gambar 6 : Tingkat Inflasi Aktual .......................................... 66 Gambar 7 : Prediksi Tingkat Inflasi ....................................... 77 Gambar 8 : Prediksi Nilai Tukar Rupiah-Dolar ................. 78 Gambar 9 : Prediksi PDB ........................................................... 79 Gambar 10 : Pilar ASEAN Economic Community ....................85 Gambar 11 : Penguasaan Aset dan Pengucuran Kredit Sektor Perbankan Tahun 2011 ........................ 88 Gambar 12 : Indeks Lerner Bank Perbankan Indonesia ........................................... 102 Gambar 13 : Aset Perbankan dan Pengucuran Kredit di Indonesia ............................................................. 104 Gambar 14 : Kebijakan Moneter dan Makroprudensial dalam Meredam Prosiklikalitas ....................... 117 Gambar 15 : Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial .......................................... 120 Gambar 16 : Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan GDP Amerika Serikat ........................................... 127 Gambar 17 : Tingkat Inflasi danPertumbuhan GDP Indonesia ........................................................ 132 viii
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 18 : China sebagai Negara Tujuan Ekspor Utama ......................................................... 145 Gambar 19 : Sumber Impor China dari Negara-Negara ASEAN ............................... 145 Gambar 20 : Intra-Regional Trade share negara-negara ASEAN ......................................... 152 Gambar 21 : Ekspor dan Impor Bulanan Indonesia Tahun 2011 ............................................................. 158
ix
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Distribusi Produk Jasa Keuangan ......................... 11 Tabel 2: Perkembangan Jumlah Bank Umum dan Kantor Bank Umum ................................................... 18 Tabel 3 : Perbandingan Perdagangan Indonesia-China .......................................................... 140 Tabel 4 : Neraca Perdagangan Indonesia 2003-2013 ..... 156
x
Sketsa Ekonomi Indonesia
DINAMIKA ELIGIBILITAS KEUANGAN TERHADAP STRATEGI NASIONAL KEUANGAN INKLUSIF DI INDONESIA Cintya Meidia Tama dan Retno Ayu Wulansari
Prolog Sektor keuangan merupakan dasar berjalannya aktivitas perekonomian suatu negara, Hal tersebut cukup penting karena adanya perputaran modal bagi pembiayaan usaha pemerintah maupun swasta (Beck, Kunt, Levine, 2000). Dunia industri perbankan dominan perannya bagi keberlangsungan suatu negara yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyimpan uang maupun bertransaksi. CGAP dan World Bank (2010) menyatakan 2,7 Milyar penduduk dunia tidak memiliki akses kredit, asuransi, dan tabungan. Fenomena tersebut menunjukkan terdapat masyarakat yang belum memiliki akses terhadap lembaga jasa keuangan sehingga keadaan perekonomian masih tergolong miskin, tetapi tidak teraksesnya masyarakat oleh perbankan disebabkan oleh cukup sulitnya ijin pendirian suatu lembaga jasa keuangan di suatu wilayah (Andrianaivo dan Kpodar, 2011). Masyarakat Indonesia hanya 49% memiliki akses ke lembaga sektor keuangan formal dan 3% pada lembaga keuangan formal lainnya. Sehingga 48% penduduk lainnya [1]
Sketsa Ekonomi Indonesia
atau 120 juta penduduk tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal, hal tersebut mencerminkan bahwa terdapat masyarakat yang perlu teredukasi keuangan dengan baik. Semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa keuangan maka taraf hidup akan lebih baik. Berdasarkan Strategy for Financial Inclusion Final Report (Steering Group), menyebutkan bahwa kunci dari inklusi keuangan adalah promosi dan prinsip pembangunan dan kunci utama dari sistem pembayaran dasar yang digunakan dalam penerapannya secara langsung. Strategi Nasional Keuangan Inklusif (2013) mencantumkan permasalahan terhadap akses sistem keuangan dapat dilihat dengan pendekatan demand and supply. Dari sisi demand masyarakat menyangkut kendalakendala yang berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas individu untuk mengakses produk dan jasa keuangan. Dari sisi supply (infrastruktur dan produk keuangan) yaitu keterbatasan layanan jasa keuangan yang terjangkau, biaya transaksi dan lemahnya regulatory frameworks. Hal ini menyebabkan terbatasnya kualitas dan kuantitas produk dan jasa keuangan yang bisa ditawarkan dan diakses oleh masyarakat. Tujuan utama dari strategi tersebut adalah untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia dengan menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. SNKI dirancang mengentaskan kemiskinan, dengan maksud tersebut diharapkan akan [2]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menciptakan kesejahteraan ekonomi. Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada pembahasan Financial Inclusion yang bertujuan untuk membahas bagaimana pengaruh dari suatu eligibilitas keuangan terhadap apaya keuangan inklusif di Indonesia serta mewujudkan masyarakat Bankable untuk meningkatkan distribusi jasa keuangan di Indonesia. Keuangan inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai insfrastruktur yang mendukung (Bank Indonesia, 2012). Keuangan inklusif merupakan suatu kondisi dimana seluruh lapisan masyarakat memiliki akses terhadap sistem keuangan. Dengan kata lain financial inclusion dapat diringkaskan menjadi suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan dan/atau memanfaatkan layanan jasa keuangan (Word Bank dan European Commision, 2008). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Bank Indonesia (2012) yang dimaksud bankable adalah yang telah memenuhi persyaratan [3]
Sketsa Ekonomi Indonesia
administrasi perbankan dan terakses oleh layanan jasa keuangan. (Syafrizal, 2011) dalam sistem distribusi keuangan terdapat lima aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek politik, aspek lingkungan hidup, aspek hukum Eligibilitas keuangan merupakan upaya meningkatkan kelayakan kaum miskin produktif dari tidak layak memiliki kemampuan membeli dan bependapatan sehingga kesejahteraan kaum miskin terwujud serta mengurangi adanya pengangguran dan angka kemiskinan di Indonesia. Menurut SNKI terdapat pilar yang meliputi beberapa aspek, diantaranya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat, memperkenalkan sistem jaminan alternatif, layanan kredit yang lebih sederhana, dan mengidentifikasi nasabah potensial. Diturunkan dari SNKI (Strategi Nasional Keuangan Inklusif) Pilar ke tiga tentang eligibilitas keuangan dengan pemetaan informasi keuangan meliputi Financial Identity Number, Credit Rating Agency untuk UMKM, Biro Informasi Kredit, Database UMKM. Transformasi informasi keuangan yang tepat disesuaikan dengan keadaan budaya masyarakat setempat merupakan alternatif cara yang digunakan sebagai inklusif keuangan bagi perekonomian Indonesia (Strategi Nasional Keuangan Inklusif, 2013). Penawaran dan Permintaan Jasa Keuangan Warnai Perekonomian Permasalahan yang menyebabkan sulitnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan ini umumnya [4]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat dibagi atas dua bagian besar, yakni dari sisi penawaran dan sisi permintaan: Sisi Penawaran. 1. Kondisi geografis. Selain masalah yang telah terjadi secara alamiah misalnya masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, penelitian Leyshon & Thrift (2010) mengatakan bahwa krisis dan deregulasi keuangan turut menyebabkan sulitnya akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Krisis ekonomi telah memaksa investor untuk menarik dananya dari negara berkembang sehingga terjadi penutupan kantor bank secara besar-besaran. 2. Desain dan Pola Pelayanan. Sebagai contoh, pada produk tabungan yang biaya administrasinya dirasa berat bagi masyarakat kecil atau tidak tersedianya layanan kredit harian bagi pedagang mikro, menyebabkan mereka tetap menggunakan layanan kredit dari lintah darat yang cicilannya dipungut langsung dari pedagang tersebut. Selain itu, bank umumnya lebih mengutamakan kredit dalam jumlah besar daripada kredit skala kecil yang dibutuhkan oleh UMKM (Rojas, 2012). 3. Information gap. Kesenjangan informasi antara apa yang menjadi persyaratan dan prosedur Bank maupun produk Bank dengan apa yang umum diketahui oleh UMKM. Kesenjangan inilah yang memerlukan jembatan penghubung antara masyarakat luas, khususnya UMKM, dengan lembaga keuangan, terutama perbankan, sehingga permasalahan [5]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat diidentifikasi dan pemecahan masalah disesuaikan dengan permasalahan riilnya (Shinozaki, 2012). Sisi Permintaan. 1. Pendidikan. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah sering menyebabkan masyarakat tidak dapat memperoleh layanan jasa keuangan. Misalnya ketidakmampuan membuat laporan keuangan dan atau uraian prospek usaha menjadi kendala masyarakat dalam memperoleh kredit Bank. Selain itu, rendahnya pengetahuan atas manfaat asuransi juga menyebabkan rendahnya penetrasi produk asuransi bagi masyarakat kecil. 2. Masalah Legal atau Formalization Gap. Perikatan Bank dengan nasabah umumnya diatur secara formal dengan persyaratan legal yang ketat. Namun usaha mikro umumnya sulit untuk memenuhi persyaratan formal bank seperti izin usaha, jaminan dalam bentuk sertifikat sehingga akhirnya masyarakat miskin tidak mampu memperoleh akses kredit yang memadai. 3. Self Exclusion. Keengganan untuk memperoleh layanan jasa keuangan juga dapat disebabkan oleh terdapatnya keyakinan sebagian masyarakat bahwa bunga Bank adalah riba yang diharamkan, sehingga layanan jasa keuangan yang berdasarkan syariah dan terbebas dari riba dapat menjadi solusi (Carbo, et al, 2010).
[6]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Potret Financial Inclusion di Beberapa Negara Financial Inclusion juga telah diterapkan di beberapa negara di dunia. Tercatat kepemilikan rekening di negaranegara maju (yaitu Eropa, Amerika Serikat, dan negaranegara OECD) yang saat ini berada rata-rata di atas 50% terhadap jumlah penduduknya berbanding terbalik dengan di negara-negara sedang berkembang (yaitu Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur) yang berkisar rata-rata 30%.. Hal ini menjadikan tugas dan peran pemerintah maupun Bank Sentral lebih ringan sehingga tidak mengeluarkan biaya tambahan dalam proses stabilitas sistem keuangan (World Bank, 2011). Lebih jauh, besarnya persentase kepemilikan rekening di negara-negara maju (Eropa, Amerika Serikat, dan negaranegara OECD) tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendapatan per kapita (GDP per kapita) yang rata-rata di atas US$ 20 ribu. Semakin tinggi GDP per kapita, semakin tinggi pula persentase kepemilikan rekening di lembaga keuangan formal. Sebaliknya, semakin rendah GDP per kapita di negara-negara sedang berkembang (Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur), maka tingkat persentase kepemilikan rekening semakin rendah atau sedikit (Sharma dan Kukerja, 2013). Kondisi seperti itu menunjukkan tingkat literasi keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara-negara sedang berkembang. Untuk itu kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus segera diseimbangkan secara proporsional dengan cara [7]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mendorong peningkatan literasi keuangan masyarakat di emerging countries melalui program financial inclusion. Uraian Segitiga Uraian Segitiga adalah sebuah teknik untuk melakukan analisa dan mencari jawaban sebuah masalah, yang distruktur seputar struktur, isi dan budaya dalam sistem kebijakan. Structure Content
Legal –Political System
Culture Gambar 1. Triangle Analysis
- Isi merupakan berkenaan dengan hukum tertulis, kebijakan pemetaan informasi keuangan yang relevan dengan isu spesifik. Misalnya, bila tak ada undangundang untuk informasi keuangan, salah satu bagian dari solusi adalah dengan cara mengesahkan undangundang. Juga, bahkan jika undang-undang atau kebijakannya ada, kecuali jika terdapat mekanisme [8]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pemetaan dan informasi keuangan kelembagaan untuk penguatannya. - Struktur berkenaan dengan mekanisme negara atau mekanisme non-negara untuk melaksanakan sebuah undang-undang atau kebijakan. Ini termasuk, misalnya, polisi, pengadilan, rumah sakit, serikat buruh, kementrian, dan program-programkeuangan. Struktur dapat berkenaaan dengan kelembagaan dan program yang dikerjakan oleh pemerintah, LSM atau bisnis di tingkat lokal, nasional dan internasional. - Budaya merujuk pada nilai-nilai dan perilaku yang membentuk bagaimana manusia menghadapi dan memahami suatu isu. Nilai-nilai dan perilaku dipengaruhi, antara lain, oleh agama, adat, kelas, gender, kesukuan dan usia. Kurangnya informasi mengenai undang-undang keuangan dan kebijakan adalah bagian dari dimensi budaya. Demikian pula, jika orang telah menginternalisasi rasa ketidakgunaannya, atau sebaliknya, rasa mempunyai hak, hal ini akan membentuk sikap orang tersebut terhadap dan derajat manfaat dari undang-undang dan kebijakan keuangan. Sekilas Tentang Masyarakat Bankable Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang sangat miskin yang belum tersentuh oleh akses lembaga jasa keuangan. Mengenal Masyarakat Bankable Bank Fungsi Utama Perantara antara pihak kelebihan dana dan kekurangan dana. Mendorong kemajuan pembangunan melalui fasilitas kredit dan kemudahan pembangunan [9]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sumber dana bank kepada masyarakat luas dan lembaga lain. Industri perbankan Indonesia masih tumbuh sehingga belum semua masyrakat dapat menjangkau atau memiliki akses kepada perbankan. Menurut (International Monetary Funds, 2000) manfaat masyarakat bankable adalah: Semakin mudahnya masyarakat mengakses lembaga jasa keuangan, Kemudahan proses administrasi jasa keuangan, Resiko kehilangan uang menurun, Terjadi ekspansi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk kendala dalam mewujudkan masyarakat yang Bankable adalah Keadaan geografis suatu wilayah berjauh-jauhan atau menyebar, Usia penduduk yang telah lanjut usia menyebabkan sulitnya sosialisasi, Pendidikan masyarakat di wilayah tersebut rendah (International Monetary Funds, 2000). Uraian SWOT (Daniel Start dan Ingie Hovland, 2011) menyatakan instrument perencanaaan strategis yang klasik menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman, instrument ini memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini menolong para perencana apa yang dapat dicapai, dan halhal apa saja yang perlu diperhatikan.
[ 10 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tabel 1. Distribusi Produk Jasa Keuangan EKSTERNAL
INTERNAL S (Kekuatan,Potensi) 1.Infrastruktur baik 2.Teknologi semakin canggih 3.SDM yang handal W (Kelemahan) 1. Tidak menyebar seluruh wilayah 2. Produk tidak tepat sasaran 3. Masyarakat buta teknologi 4. Pendidikan masyarakat Rendah
O (Peluang) 1. Pemekaran beberapa wilayah 2. Pemerintah menganjurkan masyarakat dapat mengakses lebih terhadap produk keuangan SO 1.Promosi bekelanjutan 2.Mengadakan gerai Produk Keuangan WO 1.Informasi keuangan secara khusus bagi masyarakat miskin
T (Ancaman, Tantangan) 1. Jenis produk keuangan yang berkembang cepat
ST 1.Mematenkan Produk keuangan WT 1.Menciptakan Inovasi produk Keuangan sejenis
Perumusan kebijakan Berdasarkan uraian SWOT yang dilakukan diatas maka berbagai kebijakan dapat diambil dalam mendistribusikan produk jasa keuangan kepada masyarakat agar teredukasi oleh industri keuangan mengenai kebutuhan yang dapat digunakan bagi kepentingan masyarakat. Cara tersebut dapat dijadikan model alternatif bagi pelaku industri keuangan untuk meluaskan pasar dengan melakukan segmentasi khusus [ 11 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
masyarakat dengan kategori sangat miskin dengan indikator yang terdapat pada kelemahan dalam uraian di atas. Memanfaatkan potensi untuk meraih peluang, memanfaatkan potensi untuk menghadapi tantangan, mengatasi kelemahan untuk meraih peluan, meminimalkan kelemahan untuk bertahan dari ancaman. Realisasi dari perumusan kebijakan yang telah dihasilkan dari uraian SWOT tersebut berguna bagi pelaku industri keuangan dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka menerapkan Financial Inclusion dengan pendekatan kebudayaan masyarakat setempat. Epilog Keadaan masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan masih tergolong miskin menjadikan hal tersebut pekerjaan rumah bagi seluruh kalangan untuk mengentaskan kemiskinan. Salah satunya yaitu dengan diberlakukan SNKI (Strategi Nasional Keuangan Inklusuf) oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia yaitu melalui pilar ketiga tentang eligibilitas keuangan. Eligibilitas keuangan bertujuan untuk memetakan informasi keuangan kepada target sasaran secara merata. Permasalahan yang ada dimana masyarakat menengah ke bawah belum mengetahui tentang produk keuangan, untuk mengetahui bagaimana pengaruh eligibilitas keuangan untuk upaya keuangan inklusif di Indonesia menggunakan uraian permintaan dan penawaran masyarakat atas produk jasa keuangan. Jika dilihat dari segi penawaran dan permintaan dapat [ 12 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dikatakan bahwa eligibilitas sangat berpengaruh untuk mewujudkan keuangan inklusif masyarakat di Indonesia. Selain menggunakan uraian penawaran dan permintaan dalam makalah ini juga menggunakan uraian segitiga. Hasil yang didapat dari uraian SWOT menjelaskan bahwa perlu adanya promosi yang berlanjut dari produk jasa keuangan, mengadakan gerai produk keuangan, mematenkan produk jasa keuangan, perlu adanya sosialisasi tentang informasi keuangan secara khusus bagi masyarakat miskin, serta menciptakan produk keuangan sejenis yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pelaksanaan inklusi keuangan yang komprehensif memudahkan pemerintah dalam menjalankan programprogram unggulan sehingga tidak mengeluarkan biaya administrasi dan akomodasi lebih besar serta diharapkan setelah masyarakat bankable maka economic growth akan terjadi dengan kemudahan akses keuangan oleh masyarakat. Intensifikasi distribusi produk keuangan dengan melakukan pendekatan kebudayaan terhadap masyarakat disuatu wilayah akan menciptakan program baru yang unique bagi kalangan industri keuangan. REFERENSI Andrianaivo, M., Kpodar, K. 2011. ICT, Financial Inclusion, and Growth: Evidence from African Countries. IMF Working Paper. Bank Indonesia. 2012. Beck T., Demirgüç-Kunt A., Levine R. 2000. “A New Database on the Structure and Development of the [ 13 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Financial Sector”, World Bank Economic Review 14 (3), 597-605. Carbo et al. 2010. financial exclusion CGAP dan Bank Dunia. 2010. Gertler, Mark. 2011. A model of unconventional monetary policy, Journal Of Monetary Economics, 58 (2011): 17-34. Gertler, Mark, Nobuhiro Kiyotaki, dkk. 2012. Financial crises, bank risk exposure And government financial policy, Journal of Monetary Economics, 59 (2012) S17-S34. Heirshleifer, David. 2010. Systemic risk, coordination failures, and preparedness externalities: Applications to tax and accounting policy, Journal Of Financial Economics Policy. International Monetary Funds. 2000.Leyshon dan Thrift. 2010. Financial Exclusion. Lubis, A.F. 2011. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Bank Indonesia, 14 (3):2012. Mankiw, Gregory, N. 1986. Money Demand And The Effect Fiscal Policies, Journal of Money, Credit and Banking, 18 (4): 415-429. Rojas, s. 2012. financial inclusion: financial services for the unbanked. Institute For Global Law & Policy Harvard Law School, Cambridge. Sharma, A, Kukerja, S. 2013. An Analytical Study:Relevance of Financial Inclusion For Developing Nations. International Journal Of Engineering And Science Issn: 2278-4721, Vol.2, Issue 6 (March 2013), Pp 15-20. Shinozaki, S. 2012. A New Regime of SME Finance in Emerging Asia: [ 14 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Empowering Growth-Oriented SMEs to Build Resilient National Economies. Asia Development Bank. Silalahi, Tumpak, Wahyu Ari Wibowo, dkk. 2012. Impact of Global Financial Shock To International Bank Lending In Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter, Oktober. Start. D dan Hovland. I. 2011. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers. Research and Policy in Development Programme. London. Strategi Nasional Keuangan Inklusif, 2013 Syafrizal. 2011. “Saluran distribusi”, November. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 World Bank. World Bank dan European Commision. 2008. World Bank. 2011.
[ 15 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
FINANCIAL DEEPENING DI INDONESIA: SEKTOR PERBANKAN Christin Ningrum dan Lutfiatun Hasanah
Prolog Sektor keuangan berperan penting dalam perekonomian suatu negara Pembangunan ekonomi suatu negara tidak lepas dari sektor keuangan. Sektor keuangan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Suatu negara dengan sektor keuangan yang baik maka akan mendorong kegiatan perekonomian yang kemudian memacu pertumbuhan ekonomi. Diumpamanakan sektor perbankkan pada tingkat makro bank digunakan sebagai alat penggerak kebijakan moneter sedangkan tingkat mikro bank merupakan sumber utama pendanaan masyarakat (Bank Indonesia, 2012). Miskhin (2008) menjelaskan suatu perekonomian yang sehat dan dinamis membutuhkan sistem keuangan yang mampu menyalurkan dan secara efisien dari masyarakat yang memiliki dana lebih ke masyarakat yang memiliki peluang-peluang investasi produktif. Oleh sebab itu sistem keuangan sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara dan kurangnya perkembangan dalam sistem keuangan maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu harus ada kebijakan untuk memperluas sistem keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Beberapa cara yang digunakan perbankan dalam melaksanakan fungsinya sebagai financial intermediaries: [ 16 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
(1) lebih fokus untuk mengalokasikan dana yang telah dihimpun (DPK) dengan pemberian kredit, baik untuk kredit konsumsi, kredit modal, dan kredit investasi. (2) Dapat juga dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sektor perbankan itu sendiri, yakni dengan melakukan ekspansi layanan kepada masyarakat luas (misal : penambahan unit bank) sehingga fungsi dari sektor perbankan itu sendiri dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Kebijakan deregulasi pada sektor keuangan 1980- an adalah Paket Juni (PAKJUN) 1983 dan Paket Oktober (PAKTO) 1988. Pada paket Juni (PAKJUN) 1983 dimana pemberian kebebasan pada bank-bank untuk menetapkannya suku bunga kredit dan suku bunga deposito, kemudian pada paket Oktober (PAKTO) 1988 dimana usaha untuk meningkatkan kompetisi pada sektor keuangan dengan mengurangi hambatan dalam pendirian bank baru, pada PAKTO 1988 juga melatarbelakangi perkembangan pada sektor keuangan. Perkembangan sektor keuangan yang dimaksud dapat dilihat melalui jumlah bank dan kantor bank di Indonesia. Perbankan Indonesia cukup mampu mempertahankan kinerja positif, meskipun menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tingginya volatilias perekonomian global, perbankan berhasil memperkuat peranannya dalam sistem keuangan Indonesia diantaranya melalui peningkatan aspek kelembagaan. Bank Indonesia (2013), tercatat mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 bahwa terjadi peningkatan jumlah kantor bank di Indonesia meliputi Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas. Secara total pada tahun 2013 jumlah kantor sebesar 18.558 kantor bank di Indonesia, dimana mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel 2. [ 17 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Bank Umum dan Kantor Bank kelompok Bank 2007 Bank Persero jumlah bank 5 jumlah kantor 2.765 BUSN Devisa jumlah bank 35 jumlah kantor 4.694 BUSN Non Devisa jumlah bank 36 jumlah kantor 778 BPD jumlah bank 26 jumlah kantor 1.205 Bank Campuran jumlah bank 17 jumlah kantor 96
2008
2009
Tahun 2010
5
4
4
4
4
4
3.134
3.854
4.189
4.362
5.363
6.415
32
34
36
36
36
36
5.196
6.181
6.608
7.209
7.647
8.052
36
31
31
30
30
30
875
976
1.131
1.288
1.447
1.578
26
26
26
26
26
26
1.310
1.358
1.413
1.472
1.712
2.044
15
16
15
14
14
14
168
238
263
260
263
272
[ 18 ]
2011
2012
2013
Sketsa Ekonomi Indonesia
kelompok Bank Bank Asing jumlah bank jumlah kantor Total jumlah bank jumlah kantor
2007
2008
2009
Tahun 2010
11
10
10
10
10
10
10
142
185
230
233
206
193
197
130
124
121
122
120
120
120
2011
2012
2013
9.680 10.868 12.837 13.837 14.797 16.625 18.558 Sumber : Statistik Perbankan Indonesia 2007-2013
Menurut Norman (2010) pendalaman sektor keuangan (financial deepening) merupakan sebuah termin yang digunakan untuk menunjukkan terjadinya peningkatan peranan, kegiatan dan jasa-jasa keuangan terhadap ekonomi. King dan Levine merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari pendalaman sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11). Kedua, adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga, rasio kredit [ 19 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta nonkeuangan dibagi dengan GDP. Berikut indikator financial deepening di sektor perbankan Gambar 2. 70 60 50 M2/GDP
40 30
kredit swasta/GDP
20 10
1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
0
Gambar 2. Perkembangan Indikator financial deepening pada sektor perbankan Sumber : world bank, 1988-2013
Berdasarkan gambar 2. indikiator financial deepening yaitu rasio jumlah uang beredar dalam arti luas terhadap PDB (M2/PDB) berfluaktif mulai tahun 1980 sampai 2013. Sejak adanya reformasi keuangan di tahun 1980-an mulai dari Pakjun 1983 kemudian pakto 1988 perkembangan M2/PDB terus mengalami peningkatan. Mulai tahun 1980 M2/PDB mengalami peningkatan secara rata-rata, namun setelah terjadinya krisis 1997/1988 M2/PDB mengalami penurunan, terlihat pula pada krisis global 2008 menyebabkan indikator financial deepening M2/PDB semakin mengalami penurunan hingga tahun 2012 lalu kembali meningkat pada titik 40,2 % di tahun 2012 dan [ 20 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 0.8% yaitu 41,0% di tahun 2013. Indikator financial deepening lainnya yaitu rasio kredit swasta terhadap PDB (kredit sektor swasta/PDB) mengalami peningkatan secara rata-rata mulai tahun 19801998, dan menurun drastis pada tahun 1999 pada titik 20,49% hal ini terjadi karena imbas dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998. (Fabya,2011) menyatakan Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin besar penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin besar serta semakin meluas kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang. Safdar (2014), pendalaman keuangan merupakan sistem keuangan untuk memperbaiki kondisi perekonomian melalui peningkatan efisiensi kompetitif dalam pasar keuangan sehingga secara tidak langsung menguntungkan sektor non-keuangan ekonomi. Selain itu, pendalaman keuangan juga membantu dalam meningkatkan penyediaan dan pilihan jasa keuangan yang akan datang melalui infrastruktur keuangan. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (2010), memperdalam pasar keuangan juga dapat dilakukan sebagai upaya untuk menarik ekses likuiditas di perekonomian dan memperkecil risiko gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan yang berasal dari gejolak nilai tukar maupun fluktuasi di pasar saham atau obligasi. Pasar keuangan yang dalam mempunyai beberapa efek positif, yaitu: (1) dari sisi dunia usaha, pasar keuangan yang dalam diharapkan dapat memfasilitasi peningkatan aktivitas ekonomi dengan tersedianya berbagai alternatif pembiayaan. (2) Dari sisi [ 21 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
investor, pasar keuangan yang dalam memberikan beragam pilihan instrumen investasi sehingga mereka dapat mengoptimalkan imbal hasil dari investasinya. (3) Dapat mendorong lebih banyak investor untuk menanamkan dananya di pasar keuangan sehingga dapat berdampak positif terhadap pembiayaan ekonomi. Dalam menghadapi MEA 2015 terdapat hal yang penting harus diperhatikan pada sektor jasa keuangan salah satunya industri perbankan yang harus terus dikembangkan salah satu alasan industri perbankan harus dikembangkan adalah financial deepening atau kedalaman keuangan pada sektor perbankan. Financial deepening untuk meningkatkan peran jasa keuangan melayani masyarakat dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan dan instrumen keuangan yang unik. Sistem keuangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas unit-unit lembaga keuangan bank maupun non bank yang bertujuan memobilasi dana untuk investasi dan menyediakan fasilitas sistem pembayaran untuk aktivitas yang produktif. Miskhin (2008) menyatakan pasar keuangan (pasar obligasi dan saham) dan perantaraan keuangan (bank, perusahaan asuransi, dana pensiun) mempunyai fungsi dasar untuk memindahkan orang-orang yang mempunyai kelebihan dana dengan orang-orang yang kekurangan dana. Sistem keuangan yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan secara mendalam (depth)-Financial deepening dianggap sebagai prasyarat penting dalam upaya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Berbagai literatur menunjukkan bahwa perekembangan sistem [ 22 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
keuangan mempengaruhi tingkat tabungan investasi, inovasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara (Norman, 2010). Perantara keuangan bank merupakan sumber penting pendanaan perusahaan dibandingkan pasar keuangan lainnya. Ada dua faktor penting mengapa lembaga keuangan dan pendanaan tidak langsung menjadi penting pada pasar keuangan yaitu biaya transaksi yang merupakan masalah utama bagi individu atau badan yang mempunyai akses terhadap pemerolehan dana. Perantara keuangan dapat menurunkan biaya transaksi secara substansial, sehingga perantara keuangan mungkin dapat menyediakan dana tidak langsung kepada individu atau badan dengan kesempatan investasi yang lebih produktif. Faktor yang kedua yaitu informasi asimetris, kelangkaan informasi menciptakan masalah pada sistem keuangan dalam dua bentuk yaitu sebelum transaksi dilakukan (adverse selection) dan sesudah transaksi dilakukan (moral hazard). Landasan Pemikiran Ekonomi Menurut Smith, proses pertumbuhan bersifat kumulatif apabila timbul kemakmuran sebagai akibat kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur, dan perniagaan, kemakmuran itu akan menarik ke pemupukan modal, kemajuan teknik, meningkatnya penduduk, perluasan pasar, pembagian kerja, dan kenaikan keuntungan secara terus-menerus. Model pertumbuhan Harrod-Domar dimana setiap perekonomian pada dasarnya [ 23 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alat-alat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Dalam model Harrod-Domar terdapat persamaan sebagai berikut: =
…………………………..
(1.1)
Pada persamaan diatas, secara jelas menyatakan bahwa tingkat perumbuhan GDP (
) ditentukan secara
bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, s, serta rasio modal-output nasional, k. Logika ekonomi yang terkandung dalam persamaan (1) Diatas sangatlah sederhana. Agar bisa tumbuh dengan pesat, setiap perekonomian harus menabung dang menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari GDP-nya. Semakin banyak yang dapat ditabung dan kemudian diinvestaskan, maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat. “Menurut schumpeter, pembangunan adalah perubahan yang yang spontan dan terputus-terputus pada saluran-saluran arus sirkuler tersebut, gangguan terhadap keseimbangan yang mengubah dan mengganti keadaan keseimbangan yang ada sebelumnya”. Unsur-unsur utama pembangunan terletak pada usaha melakukan kombinasi baru yang di dalamnya terkandung berbagai kemungkinan yang ada dalam keadaan mantap. Pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari dari sektor keuangan, berdasarkan literatur-literatur dan penelitian di beberapa negara bahwa financial deepening berpengaruh terhadap perekonomian. Salah satunya adalah bahwa kedalaman sistem keuangan [ 24 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara karena dapat mengalokasikan dana secara efektif ke sektorsektor yang potensial, meminimalkan risiko dengan berbagai jenis produk keuangan, misalnya meningkatnya jumlah faktor produksi atau meningkatnya efisiensi dari penggunaan faktor produksi tersebut, dan meningkat tingkat investasi atau marginal produktifitas akumulasi modal dengan penggunaan yang semakin efisien. Miskhin (2008) menyatakan pasar keuangan (pasar obligasi dan saham) dan perantaraan keuangan (bank, perusahaan asuransi, dana pensiun) mempunyai fungsi dasar untuk memindahkan orang-orang yang mempunyai kelebihan dana dengan orang-orang yang kekurangan dana. Fungsi keuangan menurut Merton (1995) : (1) Memudahkan terjadinya perdagangan atau perpindahan barang dan jasa, (2) Diversifikasi produk, (3) Mekanisme untuk mengatasi akibat informasi yang tidak berimbang (asymmetric information) yang muncul pada transaksi keuangan dimana tidak semua pihak mempunyai informasi yang sama, (4) Mengelola potensi risiko yang mungkin terjadi dengan menyediakan informasi untuk keputusan alokasi sumber daya, (5) Mengelola ketidakpastian dan melakukan kontrol terhadap risiko, (6) Mobilisasi tabungan, dan (7) Sistem pembayaran. Refleksi Sektor Perbankan di Indonesia Sektor keuangan yang merupakan salah satu topangan dalam kegiatan ekonomi di suatu negara. Perkembangan jumlah uang beredar menunjukkan [ 25 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sejumlah uang beredar di masyarakat yang kaitannya dengan kegiatan ekonomi yang dijalankan. Besar kecilnya jumlah uang beredar maka mencerminkan seberapa dalam (shallow) dan seberapa dangkal (hallow) sektor keuangan suatu negara. Berdasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya di beberapa negara. Indikator financial deepening diantaranya rasio jumlah uang beredar terhadap GDP dan rasio kredit swasta terhadap GDP diharapkan dapat memberikan potensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia Upaya yang perlu dilakukan untuk menciptakan pasar keuangan yang dalam adalah dengan memperkaya instrumen investasi, seperti instrumen berjangka panjang maupun instrumen structured product dan derivative product yang dapat digunakan sebagai instrumen hedging atau sebagai asuransi transaksi keuangan. Hal ini perlu diupayakan karena keterbatasan instrumen investasi akan mengakibatkan investor menjadi kurang aktif dalam melakukan transaksi sehingga pasar keuangan menjadi tidak likuid. Nilai kredit swasta mempunyai hubungan positif namun tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Fabya, 2011). Hal ini dikarenakan jumlah kredit yang disalurkan bank bertambah namun jumlah investasi tidak dapat mengimbangi peningkatan kredit. Sehingga mengurangi pertumbuhan ekonomi atau tidak berubahnya tingkat pertumbuhan. Hal ini dikarenakan penyaluran kredit lebih besar untuk kegiatan konsumsi dari pada kredit investasi. Grupron, (2014) kredit konsumsi yang [ 26 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berlebihan dari pada kredit investasi menciptakan resiko kredit yang mengganggu perbankkan seperti credit event. Sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar yang mengatakan bahwa tabungan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. dimana semakin banyak tabungan maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat. Hal ini sesuai dengan temuan Fabya (2011), bahawa tabungan mempunyai hubungan positif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. sejak dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 88), isi kebijakannya antara lain perbankkan dianjurkan untuk mengerahkan dan dari masyarakat dengan cara membuka kantor cabang baru, pendirian bank baru, perluasan kator cabang dan kemudahan pembuatan tabungan. Setelah adanya kebijakan tersebut semakin beragmnya bentuk-bentuk tabungan yang ditawarkan oleh bank-bank dan membuat tingkat tabungan meningkat dari tahun ketahun. Rasio total jumlah uang beredar (M2) terhadap GDP juga disebut tingkat monetisasi. Tingkat monetisasi yang tinggi didukung oleh sistem perbankan yang baik yang akan memicu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tingkat monetisasi juga menggambarkan masyarakat menggunakan uang tunai dibandingkan uang non-tunai sehingga dana masyarakat yang ada diperbankan masih relatif kecil. Kondisi tersebut dikarenakan pengetahuan masyarakat yang masih minim (Fabya, 2011). Dana masyarakat di perbankkan masih relatif kecil yang menunjukan tabungan, deposito dan giro masih kecil [ 27 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
jumlahnya. Terlihat masih tingginya penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran. Indikator yang lazim digunakan untuk melihat kedalaman sektor keuangan adalah rasio kewajiban likuid dari sistem keuangan terhadap Produk Domestik Bruto, dalam hal ini M2/PDB (King dan Levine, 1993). Keadaan perekonomian Indonesia dalama kaitannya dengan jumlah uang beredar adalah financial deepening. Kondisi kedalaman sektor keuangan dapat dilihat pada grafik di atas dengan periode 20042009. Untuk Indonesia pendalaman keuangan sedang dilakukan karena sektor keuangan Indonesia masih di anggap dangkal (shallow) di banding dengan negara utama di kawasn Asia (BPS, 2010). Kedalaman sektor keuangan terus menunjukkan penurunan sejak krisis 1997/1998. Krisis keuangan global pada tahun 2008 yang berpengaruh pada sektor Keuangan domestik terlihat semakin menurunkan rasio tersebut, namun mulai tahun 2010 rasio tersebut mengalami peningkatan kembali hingga tahun 2013 mencapai pada titik 41,03%. Epilog Indonesia sebagai negara berkembang, apabila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus melakukan pendalaman keuangan atau financial deepening. Dimana pembuat kebijakan seperti otoritas moneter dan otoritas jasa keuangan harus memantau setiap indikator yang digunakan intuk mengukur kedalaman keuangan. Khususnya indikator nilai kredit yang diberikan perbankan kepada masyarakat. Apabila kredit konsumsi yang [ 28 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
diberikan berlebihan akan mengganggu kesehatan perbankkan seperti credit event yang selanjutnya akan membahayakan makro ekonomi negara. REFERENSI Fabya. 2011. Uraian Pengaruh Perkembangan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Miskhin, Frederic S. 2008. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Edisi 8. Nnenna, Margaret Okoli. Evaluating The Nexus Between Financial Deepening And Stock Market In Nigeria. European Scientific Journal July edition vol. 8, No.15 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 18577431 18. Norman, Azhari. 2010. Uraian Pengaruh Finacial Deepening Pada Sektor Perbankan dan Pasar Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Universitas Indonesia: Jakarta. Safdar, Luqman.2012.Financial Deepening and Economic Growth in Pakistan: An Application of Cointegration and VECM Approach. Air University. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business vol. 5 No.12
[ 29 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
RELEVANSI INFLATION TARGETING FRAMEWORK DALAM MENJAGA STABILITAS HARGA DI INDONESIA Dani Setiawan dan Moh. Ilyas Zainunnury
Prolog Krisis ekonomi di Indonesia di tahun 1997-1998 banyak perubahan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Di kebijakan moneter, pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang hanya mempunyai sasaran tunggal dalam jangka panjang yaitu inflasi yang biasa disebut Inflation Targetting Framework (ITF). Model ini hanya menargetkan inflasi dalam jangka panjang, sedangkan sasaran lain dalam jangka pendek diusahakan tidak menggangu besaran inflasi yang ingin dicapai oleh Bank Indonesia. Inflation Targeting Framework mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000 yang di tahun sebelumnya telah di terbitkan undang-undang atau UU No. 23 tahun 1999. Undang-undang tersebut memberikan independensi ke Bank Indonesia dalam menerapkan kebijakannya, independensi tersebut diberikan ke Bank Indonesia setelah kredibilitas Bank Indonesia merosot pada saat terjadi krisis ekonomi 19971998. [ 30 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Selain itu, di Indonesia pernah terjadi hyper inflation pada tahun 1960-an dimana laju inflasi mencapai 650 persen. Selain pada tahun 1960-an inflasi juga tejadi pada tahun 1997-1998. Pada tahun tersebut nilai tukar rupiah terhadap dollar tidak stabil. Krisis ini berdampak terhadap cadangan devisa negara bahkan berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi pada saat itu negatif. Sedangkan laju inflasi meningkat tinggi dari 11,10 persen menjadi 77,60 persen, serta nilai tukar rupiah pada saat itu mencapai Rp 14.900 per dollar AS. Krisis moneter yang terjadi tersebut memberikan banyak pelajaran bagi pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia merubah kebijakan moneter yang diterapkan sebelumnya. Sebelum terjadinya krisis kebijakan moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai atau merealisasikan target ganda (multiple objectives) antara lain : stabilitas moneter, mengurangi pengangguran dengan memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun setelah terjadinya kirisi moneter tersebut kebijakan moneter di Indonesia ditujukan untuk sasaran tunggal yaitu mencapai inflasi agar selalu stabil. Pemerintah terus berusaha memulihkan perekonomian, dalam upaya pemulihan perekonomian paska krisis moneter di jaman orde baru yaitu 1997-1998 pemerintah melakukan pembaharuan struktur dalam sistem ekonomi moneter yang di terapkan. Pembaharuan struktur di lakasakan sejak tahun 1998, bentuk dari pembaharuan struktur ini dengan memberikan independensi kepada bank sentral yaitu Bank Indonesia. [ 31 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sehingga dengan adanya indenpedensi bagi Bank Indonesia selaku Bank Sentral dalam menentukan kebijakan, maka untuk mencapai target akan lebih mudah. Infaltion Targeting framework sangat cocok bagi Bank Indonesia untuk menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-undang No.23 tahun 1999. Inflation Targeting Framework dalam penerapannya dengan menetapkan satu sasaran tunggal yaitu inflasi. Undang-undang No.23 tahun 1999 juga memberikan independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan syarat dalam penerapan Inflation Targeting framework (ITF), dalam menerapkan Inflation Targeting Framework ada beberapa syarat seperti independensi atau kebebasan bagi Bank Sentral. Sejak menerapkan Inflation Targeting Framework pada tahun 2000 Bank Indonesia diberikan kebebasan berupa goal independensi, namun goal independensi ini banyak menuai protes, karena dalam goal independensi Bank Indonesia yang menentukan target inflasi yang ingin dicapai oleh Bank Indonesia sendiri. Hal ini menurut beberapa ahli ekonomi kurang effisien sehingga penerapan Inflation Targeting Framework kurang maksimal. Sehingga pada tahun 2004 setelah 4 tahun Bank Indonesia menerapkan Inflation Targeting framework Undang-undang No.23 tahun 1999 yang memberikan goal independensi bagi Bank Indonesia diamandemen oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-undang No. 23 tahun 2004. Undang-undang No. 23 tahun 2004 tetap memberikan Independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia namun [ 32 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
buka lagi Goal independensi melainkan Instrumen Independensi. Berbeda dengan goal independensi yang banyak menuai kriktikan karena Bank Indoensia menetapkan target yang ingin dicapai oleh Bank Indonesia sendiri, dalam instrumene independensi Bank Indonesia hanya bebas dalam menerapakan instrumen-instrumen atau kebijakan-kebijakan yang dijalankannya untuk mencapai target yang ditetapkan, sedangkan target yang ingin dicapai ditetapkan bersama-sama dengan pemerintah. Independensi bagi Bank Sentral (Bank Indonesia) yang menerapkan Inflation Targeting Framework sangat penting, karena ada 2 syarat yang harus dimiliki oleh Bank Sentral (Bank Indonesia) yaitu; Pertama, independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan-kebijakan moneternya. Kedua, menghindari target-target nominal lain selain inflasi, karena apabila ada target lain selain inflasi konsentrasi dari Bank Indonesia akan terpecah sehingga akan mengakibatkan kurang maksimal dalam menerapkan Inflation Targetting Framework. Inflation Targeting Framework sudah diterapkan dibeberapa negara seperti Selandia Baru, Inggris dan Spanyol. Inflation Targeting Framework di negara-negara sudah diterapkan sejak lama dan penerpannya cukup memuaskan. Selandia Baru merupakan negara pertama yang menerapkan Infation Targeting Framework. Sekitar 20 negara di Dunia yang sudah menerapkan Inflation Targeting Framework, hal tersebut membuktikan bahwa [ 33 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
masih sedikit negara yang percaya terhadap model ini (Inflation Targeting Framework). Tingkat kepercayaan bagi negara-negara terhadap model Inflation Targetting Framework masih rendah karena Inflation Targetting Framework tergolong model terbaru. Di kawasan Asia, negara yang pertama kali menerapkan Inflation Targetting Framework adalah Korea Selatan pada tahun 1998 dan Inflation Targetting Framework tergolong sukses di negara tersebut. Selain di Korea Selatan Inflation Targetting Framework juga tergolong sukses di negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan Inflation Targetting framework seperti Australia, Inggris, Selandia Baru dan Spanyol. Bank Indonesia menerepakan Inflation Targetting Framework karena melihat kesuksesan model ini diterapkan di negara-negara seperti Inggris dan Spanyol tersebut. Meskipun masih banyak negara yang belum percaya terhadap Inflation Targetting Framework, tetapi Bank Indonesia sangat yakin kalau kebijakan ini sangat cocok bila diterapkan di Indonesia. Bank Indonesia menerapkan Inflation Targetting Framework selain karena melihat kesuksesan negaranegara yang sudah menerapkan Inflation Targetting Framework sebelumnya, juga karena banyaknya teori-teori yang mendukung dan menjelaskan bahwa model Inflation Targetting Framework ini merupakan hasil dari evolusi teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep inflation targeting framewok adalah teori klasik [ 34 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
higga teori modern, antara lain; pertama, Teori Klasik – Teori Keynes, Kedua, Teori Klasik Modern – Teori Keynes. Salah satu ekonom yang menganut teori klasik modern adalah Milton Friedman, Ketiga, Teori Kuantitas – Teori Keynes. Keempat, Teori Rational Expectations, Kelima, Teori Moneter Modern. Sejak awal penerapan Inflation Targeting framework Bank indonesia sudah optimis bahwa model sesuai dengan perekonomian di Indonesia. Bank Indonesia sangat optimis karena memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan moneternya, selain Bank indonesia sangat opitimis karena secara historis di Indonesia sudah sejak lama tidak ditemukan dominasi fiskal dalam kebijakan moneter. Inflation Targeting Framework di Indonesia Inflasi adalah kecenderungan harga-harga meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu ada dua barang saja tidak di sebut inflasi, kecuali kenaikan itu meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Inflasi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal, pertama didasarkan pada jenis barang yang diperdagangkan antara produsen dengan pedagang besar atau antar pedagang-pedegang besar atau sering disebut Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Kedua, berdasarkan jenis barang yang di perdagangkan oleh produsen pedagang besar kepada masyarakat atau konsumen atau sering disebut Indeks Harga Konsumen (IHK). Bank Indonesia dalam menerapkan Inflation [ 35 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Targeting Framework di Indonesia menggunakan indikator Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Customer Price Index (CPI). Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia masih sering terjadi perubahan yang ekstrim. Ini menyebabkan Bank Indonesia kesulitan dalam menetukan besaran inflasi, sehingga Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia dibagi menjadi 2 kategori yaitu inflasi inti atau core inflation dan Noise. Inflasi inti atau core inflation akhirnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai pedoman dalam menetapkan besaran inflasi yang terjadi di Indonesia karena inflasi inti atau core inflation merupakan inflasi yang mudah di prediksi dan mudah dikendalikan. Inflasi inti atau core inflation merupakan inflasi yang perubahannya tidak terlalu ekstrim atau tidak terlalu tinggi, inflasi inti atau core inflation perkembangannya tidak terpengaruh secara berarti atau bersifat netral terhadap terjadinya gejolak (shock) yang bersifat temporer. Pegendalian inflasi oleh Bank Indonesia salah satunya dengan menggunakan BI Rate atau tingkat suku bunga acuan. Tingkat suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia hanya merupakan rujukan atau acuan bukan merupaka aturan bagi bank-bank umum atau lembaga keungan lainnya. Apabila BI rate naik, bank-bank umum ataupun lembaga keuangan lainnya boleh menaikkan tingkat suku bunganya dan boleh juga tidak menaikkan tingkat suku bunganya, karena BI rate hanyalah tingkat suku bunga acuan. [ 36 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BI rate yang meningkat misalnya dari 7.5 persen menjadi 7.8 persen akan berdampak terhadap inflasi, biasanya Bank Indonesia menaikkan BI rate untuk mengendalikan inflasi. Karena BI rate merupakan tingkat suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Disaat BI rate meningkat dari BI rate sebelumnya atau BI rate tinggi akan menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun. Hal ini disebabkan ketika BI rate tinggi, bank-bank umum akan lebih tertarik menggunakan dana atau uangnya untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) daripada digunakan untuk pemberian kredit kepada masyrakat meskipun tingkat bunga kredit lebih besar dari BI rate, karena apabila dana bank-bank tersebut digunakan untuk memberikan kredit bagi masyarakat, resiko kreditnya macetnya tergolong tinggi dibandingkan dengan pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) karena yang bertanggung jawab dalam hal tersebut adalah pemerintah sehingga resiko kredit macetnya sangat kecil bahkan hampir nol persen. BI rate juga memperngaruhi nilai tukar rupiah, karena disaat BI rate tinggi akan menarik investor-investor asing untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh investor-investor asing, akan mengakibatkan nilai tukar rupiah menguat karena investor-investor asing tersebut untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) harus menggunakan rupiah, shigga secara tidak langsung “memaksa” investor-investor asing tersebut untuk menukarkan mata uang dollarnya menjadi rupiah. Nilai tukar atau kurs Rupiah menguat [ 37 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
karena Rupiah lebiih dibutuhkan atau lebih banyak digunakan daripada mata uang Dollar. Bank Indonesia, menggukan instrumen BI rate bukan hanya untuk mengendalikan inflasi tetapi juga menjaga stabilitas nilai tukar atau kurs rupiah, karena dengan stabilnya nilai tukar rupiah, akan stbil pula harga-harga barang terutama hargaharga barang impor dan juga harga barang-barang lokal yang sebagian dari barang tersebut menggunakan komponen impor. BI rate akan digunakan Bank Indoesia apabila inflasi sudah susah dikendalikan, seperti yang tejadi di bulan Nomvember 2014. Pengalihan subsidi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan oleh pemerintah alias Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 2000, di prediksi akan menyebabkan inflasi meningkat sebesar 2 persen dan diprediksi inflasi tersebut akan berlangsung sampai awal tahun 2015. Menigkatnya inflasi sebesar 2 persen yang disebabkan oleh naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengakibatklan melesetnya target besaran inflasi yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk tahun 2014. Bank Indonesia sudah menetapkan besaran Inflasi untuk tahun 2014 adalah sebesar 4.5+1% dan sebelum terjadi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) kisaran inflasi sekitar 5 %. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 2000 rupiah yang diprediksi meningkatkan inflasi sebesar 2 persen sudah pasti akan mengakibatkan target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan persetujuan pemerintah (instrumen independensi) akan meleset. Sehingga Bank Indonesia, untuk mengendalikan [ 38 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Inflasi yang terjadi akibat kebaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut menaikkan BI rate sebesar 7.75 % dari sebelumnya 7.50 %. Padahal Bank Indonesia sudah menetapkan BI rate sebesar 7.50 % satu minggu sebelum pemrintah mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Satu sesudah pengumuman kenaikan Bahan Bakar Minyak tersebut Bank Indonesia kembali meaikkan BI rate menjadi 7.75 %. Inflation Targetting Framework di Indonesia masih belum maksimal, dari data Bank Indonesia, sejak Bank Indonesia menerapkan Inflation Targetting Framework dari tahun 2000. Besaran inflasi yang mencapai dan hampir mencapai target yang ditetapkan secara bersama oleh Bank Indonesia dan Pemerintah hanya pada tahun 2002 yaitu target inflasi sebesar 9% - 10% sedangkan inflasi aktualnya sebesar 10,03% dan juga di tahun di tahu 2004 yaitu target inflasi sebesar 5,5 +1% sedangkan inflasi aktualnya sebesar 6,40% serta juga di tahun 2007 dan 2014 yaitu target inflasi yang ditetapkan sebesar 6 +1% dan 4.5+1%sedangkan inflasi aktulanya sebesar 6,59% dan 4,30%. Selama 13 tahun Indonesia menerapkan Inflation Targetting Framework yaitu sejak 2000 sampai 2013, hanya 4 tahun yang berhasil mencapai target yaitu tahun 2002, 2004, 2007 serta 2012. Sedangkan di tahun-tahun yang lain. Inflation targetting Framework di Indonesia tidak sesuai dengan target. Penerapan Inflation Targetting Framework di Indonesia masih belum maksimal, hal ini disebabkan masih adanya hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Bank [ 39 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Indonesia dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kestabilan harga. Hambatan-hambatan yang dihadapi Bank Indonesia salah satunya adalah dari kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah, seperti yang terjadi di bulan november. Pemerintah menetapkan untuk mengurangi subsidi di sektor Bahn Bakar Minyak (BBM) alias menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 2000 rupiah. Hal ini (kenaikan BBM) tentu akan berdampak terhadap barang-barang lain seperti bahan-bahan kebutuhan pokok juga pasti mengalami kenaikan. Kenaikan harga ini akan terjadi secara terus menerus dan tidak hanya terjadi beberapa hari saja. Kenaikan harga ini aka terus berlangsung berbulan-bulan dan ini disebut inflasi. Bank Indonesia memprediksi kenaikan harga Bahan Bakar Minya sebesar 2000 rupiah di bulan november 2014 akan berdampak sampai awal tahun 2015 dengan besaran sekitar 2 %. Kelemahan indonesia dalam menerapkan Inflation Targetting Framework sehingga masih kurang maksimal adalah pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat indonesia tentang inflasi, masih banayk masyarakat Indonesia yang belum mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi. Kedua, Indonesia sebagai negara berkembang masih sangat dipengaruhi oleh negaranegara maju. Misalkan terjadi krisis di negara maju seperti di USA yang terjadi pada tahun 2008 sangat berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi di Indonesia.
[ 40 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog Inflation Targetting Framework di Indonesia masih belum maksimal, karena dalam kurun wkatu 13 tahun, hanya 4 tahun saja inflasi aktual yang sesuai dengan target inflasi yang sudah ditetapkan. Tapi penerapan Inflation Targetting Frameworkpatut untuk diteruskan karena melihat kesuksesan negara-negara lain yang berhasil dalam menerpakan Inflation Targetting Framework. Selain itu, Inflation Targetting Framework juga memberikan independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia karean Indpendensi atau kebebasan merupakan salah satu syarat dalam menerapkan Inflation Targetting Framework. REFERENSI Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia (Journal of Indonesian Economy &Business). Volume 21, No. 2, April 2006. Hal. 105 – 121. Boediono. 2000. Inflation Targeting. Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI. MM UGM. 2009. http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangkakebijakan/Cont ents/Default.aspxterakhir diakses senin 22 oktober pukul 09.00 WIB Dewanto, wawan dan Maulina Rindawati. Evaluasi Satu Tahun Penerapan Kebijakan Moneter Berdasarkan Inflation targeting di indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi. Volume 7, No. 2, 2008. Hal.78-92
[ 41 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
KAJIAN PRAKTIS PERAN TIM PENGENDALIAN INFLASI DAERAH DALAM MENJAGA STABILITAS HARGA Ahmad Faisol dan Edi Prastiawan
Prolog Daerah memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas harga, mengingat karakteristik inflasi Indonesia yang masih dipengaruhi oleh adanya gejolak di sisi pasokan (supply side shocks). Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terjaganya inflasi daerah pada tingkat yang rendah dan stabil akan mendukung upaya pencapaian sasaran inflasi nasional. Dilihat dari lokasi 82 kota yang menjadi basis perhitungan inflasi nasional, inflasi di Indonesia sebagian besar merupakan kontribusi inflasi daerah dengan bobot yang mencapai 80,77 % (POKJANAS TPID, 2014). Hal ini didasari kenyataan bahwa inflasi nasional merupakan agregasi dinamika pembentukan harga yang terjadi di daerah. Dengan terciptanya inflasi yang rendah dan stabil akan berdampak positif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan terjaganya daya beli, meningkatkan daya saing dan dapat lebih menjamin kesinambungan pertumbuhan ekonomi. [ 42 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sebagaimana best practice di negara-negara di dunia, Bank Sentral umumnya diberi mandat untuk menjaga kestabilan harga. Demikian juga halnya di Indonesia, dimana melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, Bank Indonesia diberikan mandat atau tugas pokok untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dalam penjelasannya bermakna stabilitas inflasi dan nilai tukar Rupiah. Namun, berbagai permasalahan struktural yang masih terjadi seperti konektivitas yang rendah, struktur pasar yang terdistorsi, kesenjangan informasi harga dan produksi pangan menyebabkan pergerakan inflasi yang sering mengalami naik turun yang kurang terkendali. Efisiensi perekonomian daerah yang berbeda antara kawasan barat dan kawasan timur juga menyebabkan terjadinya perbedaan harga yang cukup besar. Dalam rentang 10 tahun terakhir dapat terlihat bahwa pergerakan inflasi yang signfikan lebih disebabkan oleh faktor adanya penyesuaian kebijakan pemerintah terkait harga (administered prices) dan lonjakan harga komoditas pangan (volatile foods). Karakteristik inflasi yang banyak dipengaruhi oleh faktor kejutan di sisi pasokan (supply side) tersebut menyebabkan upaya untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil tidak cukup hanya melalui kebijakan moneter, melainkan diperlukan adanya suatu paduan kebijakan yang harmonis antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan sektoral dan daerah. [ 43 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Upaya untuk mengendalikan inflasi regional di Indonesia telah di dukung oleh koordinasi institusional antara Bank Indonesia dan pemerintah pusat maupun daerah. Regional Inflation Task Force (RITF) atau biasa disebut TPID dibentuk sebagai team antar instansi dengan tugas utama untuk memantau inflasi regional secara melekat dan merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mengendalikan inflasi regional. Hal inilah yang menjadi perhatian dalam penulisan karya ilmiah ini untuk diketahui bagaimana koordinasi kebijakan dan bentuk pengendalian yang diterapkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah dalam menjaga stabilitas harga, serta Road Map penguatan peran TPID. Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang secara umum (Mankiw, 2000). Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain (Sholeh). Inflasi tidak terbentuk dengan sendirinya, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan inflasi. Hutabarat (2005) mendefinisikan terdapat tiga teori pembentukan inflasi yaitu: ekspektasi inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan upah, inflasi permintaan atau demand-pull inflation merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang, inflasi penawaran atau cost-push inflation merupakan jenis [ 44 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
inflasi yang disebabkan oleh tingkat penawaran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Brodjonegoro (2008) menyatakan bahwa permasalahan pertama yang paling kritis dalam kebijakan moneter adalah kesulitan pengambil kebijakan dalam mengendalikan laju inflasi. Dengan demilkian, maka di perlukannya kebijakan dalam menstabilkan harga yaitu diperlukannya koordinasi antar kebijakan, diantaranya kebijakan fiskal dan moneter. Dalam Simorangkir (2012) perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga, sedangkan tujuan kebijakan fiskal lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran. Aplikasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya melahirkan suatu bauran kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan tersebut menemukan bahwa, dalam jangka panjang kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi pada kondisi ini tidak diperlukan adanya koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk, 2003). Dalam jangka pendek, tidak adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi [ 45 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berkurang (Giavazzi, 2003). Turnovsky (2000), memfokuskan kajian tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya berpengaruh pada jangka pendek pada masa transisi. Lebih jauh, kajian The Ricardian equivalent melihat bahwa kebijakan fiskal dengan menambah defisit anggaran dengan utang atau obligasi tidak akan berpengaruh terhadap perokonomian (Manurung, 2002). Koordinasi Kebijakan yang Diterapkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah dalam Menjaga Stabilitas Harga Di Indonesia inflasi cenderung dipengaruhi oleh faktor cost-push inflation. Untuk menggambarkan penyebab terjadinya cost push inflation di Indonesia yaitu akibat adanya kenaikan harga bahan bakar minyak. Jika harga BBM naik berarti ongkos produksi meningkat. Maka produsen yang tidak ingin kehilangan profit akan membebankan kenaikan biaya tersebut pada harga jualnya. Akibatnya, harga barang-barang secara bersamasama akan naik sehingga terjadi inflasi. Hal ini terjadi pada 1 Oktober 2012, kenaikan harga BBM yang mencapai rata-rata 100 persen tersebut memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat. Akibat dari kenaikan harga BBM tersebut menimbulkan inflasi yang tercermin [ 46 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari naiknya harga sejumlah komponen kebutuhan pokok masyarakat berupa barang dan jasa. Komponen yang turut menyumbang inflasi di Indonesia juga disebabkan oleh volatile food, seperti: bahan makanan, sandang, komunikasi dan transportasi. Satu hal lagi yang menjadi faktor pencetus tingginya inflasi di Indonesia adalah kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Dibandingkan negara lain di kawasan Asia misalnya, inflasi Indonesia cenderung tinggi. Hal ini dikarenakan diperlukan tambahan ongkos transportasi antar pulau yang biasanya akan menaikkan harga jual barang-barang. Maka dapat disimpulkan bahwa inflasi di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor dari sisi penawaran atau cost-push inflation. Berbagai kondisi tersebut di atas mengakibatkan dampak kebijakan moneter, seperti misalnya melalui penyesuaian tingkat suku bunga bank sentral (BI-Rate) tidak akan efektif untuk mengatasi permasalahan inflasi yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural. Kebijakan yang lebih tepat untuk ditempuh adalah melalui kebijakan di sektor riil yang berada dalam kewenangan pemerintahan daerah, sehingga diperlukan koordinasi dan kerjasama yang erat antara satuan kerja perangkat daerah atau lembaga terkait lainnya, termasuk Bank Indonesia di daerah setempat (POKJANAS TPID, 2014).
[ 47 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Imported Inflation Nilai Tukar Rupiah
BI dan Pemerintah Bank Indonesia Pemerintah, PEMDA Bank Indonesia, Pemerintah, PEMDA Pemerintah, PEMDA, Instasi Terkait BI dan Pemerintah
Keb. Moneter Keb. Sektor Riil & Fiskal
Permintaan Penawaran
Keb. Moneter, Fiskal, Riil
Keb. Fiskal
Keb. Sektor Riil
Kesenjangan Output
Inflasi Inti
Ekspektasi Inflasi
Inflasi Administered Price Inflasi Volatile Food
Terutama untuk mendorong dan menjalin kelancaran pasokan dan distribusi
Gambar 3. Sinergi Kebijakan untuk 48 ] Mempengaruhi[ Inflasi
Inflasi IHK
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) merupakan forum koordinasi yang dibentuk oleh Bank Indonesia untuk membantu pencapaian tingkat inflasi dan menjaga tingkat inflasi agar tetap rendah dan stabil. Melalui TPID Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan seluruh instansi di daerah, yaitu Pemerintah Kota, BUMN, BUMD dan dinasdinas terkait untuk bersama-sama membantu pencapaian inflasi di daerah tersebut (Hidayati, 2013). TPID dibentuk pada akhir tahun 2008 lalu guna mendukung pemberlakuan Inflation Targetting Framework (ITF) di Indonesia. Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat pada tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan beberapa kementerian terkait di Pemerintah Pusat, diantaranya; Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bulog, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan BPS. TPID mempunyai tujuan untuk mengendalikan dan mencapai inflasi sesuai target. Dalam mengendalikan inflasi, TPID bertugas untuk mengendalikan harga komoditaskomoditas yang turut menyumbang pada bobot inflasi. Bentuk pengendalian harga yang dilakukan oleh TPID yaitu: Operasi Pasar, yaitu turun langsungnya instansi dan dinasdinas yang bersangkutan apabila terjadi kenaikan hargaharga barang di pasar, perbaikan Distribusi, dilakukan [ 49 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
untuk menjamin ketersediaan pasokan barang agar tidak terjadi kelangkaan yang bisa menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Perbaikan distribusi dilakukan oleh Dinas Perhubungan dengan cara memperbaiki sarana dan prasarana guna mendukung kelancaran distribusi, himbauan atau Moral Suasion. Dimaksudkan untuk menjelaskan kepada masyarakat kondisi yang ada sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan ketersediaan barang. Himbauan bisa berupa pemantauan harga di pasar-pasar oleh Pemerintah Daerah. Pembentukan Ekspektasi Masyarakat, ini dilakukan dengan cara memberitahu dan mengkomunikasikan target inflasi tahun ini kepada masyarakat. Pemberitahuan ini bisa melalui media massa maupun elektronik. Sistem Resi Gudang (SRG), memiliki posisi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor pertanian dengan argumentasi sebagai berikut: (a) RG merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai tukar petani, (b) Di era perdagangan bebas, RG sangat diperlukan untuk membentuk petani menjadi petani pengusaha dan petani mandiri, dan (c) SRG bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual komoditi. Keberadaan SRG tidak hanya bermanfaat bagi kalangan petani tetapi juga pelaku ekonomi lainnya seperti dunia perbankan, pelaku usaha dan serta bagi pemerintah. Di antara manfaat SRG tersebut, adalah: (1) Ikut menjaga kestabilan dan keterkendalian harga komoditas, (2) Memberikan jaminan modal produksi karena adanya [ 50 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pembiayaan dari lembaga keuangan, (3) Keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan yang minim risiko, (4) Ada jaminan ketersediaan barang, (6) Ikut menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan ketersediaan pangan nasional, (7) Lalu lintas perdagangan komoditas menjadi lebih terpantau, (8) Bisa menjamin ketersediaan bahan baku industri, khususnya agroindustri, (9) Mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi, (10) Dapat memberikan kontribusi fiskal kepada pemerintah, dan (11) Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait dengan SRG lainnya (Bappebti, 2014). Road Map Penguatan Peran TPID Tim Pengendalian Inflasi Daerah sebagai wadah koordinasi ke depan akan memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional. Oleh karena itu, peran TPID perlu semakin ditingkatkan. Road Map penguatan peran TPID disusun melalui tiga tahapan (fase) untuk rentang waktu 2008 s.d. 2018 (POKJANAS TPID, 2013). Fase pertama (2008-2013) adalah fase “building awareness” terhadap pentingnya inflasi yang rendah dan stabil di daerah. Pada fase ini, Pemerintah Daerah mulai dikenalkan pada terminologi “inflasi yang rendah dan stabil”, serta pentingnya menjaga kestabilan harga guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada fase ini mulai dibentuk TPID sebagai wadah untuk upaya stabilitas harga. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, telah dilakukan berbagai program/kegiatan [ 51 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
baik yang diarahkan untuk meningkatkan pemahaman aparatur daerah dan stakeholders daerah, yakni capacity building (workshop), rapat koordinasi daerah (Rakorda TPID) dan wilayah (Rakorwil TPID), dan fokus grup diskusi baik yang difasilitasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia, maupun oleh Pemerintah Daerah sendiri. Fase berikutnya dinamakan fase “fostering commitment”dari seluruh pemangku kepentingan daerah dalam mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional. Pada tahap ini mulai disusun beberapa program kerja TPID guna mencapai sasaran inflasi nasional secara lebih konkrit. Beberapa program kerja yang akan terus diperkuat adalah Pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, Peningkatan Kerja Sama Antar Daerah dan Penyelarasan Asumsi Makro. Seluruh tahapan pelaksanaan dari program-program tersebut sangat membutuhkan komitmen dan kerja sama dari seluruh elemen yang terlibat dalam TPID, khususnya Pemerintah Daerah. Tahun 2013 merupakan transisi dari fase I “building awareness” menuju ke fase II “fostering commitment” yang diagendakan hingga tahun 2018. Fase yang terakhir (2018 dan seterusnya) adalah fase “mature”, di mana sudah terdapat komitmen kuat di kalangan pemerintah daerah terhadap pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Bentuk komitmen yang kuat tersebut tertuang pada penguatan koordinasi dan program kebijakan di daerah yang mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional. Program kerja dan kebijakan di daerah juga [ 52 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
diperkuat dengan dukungan sumber daya yang memadai, target indikator yang jelas, dan terukur. Epilog Inflasi merupakan kumpulan fenomena yang berdampak pada meningkatnya harga barang dan jasa secara keseluruhan, sehingga terjadi instabilitas harga pada suatu negara dengan jangka waktu tertentu. Upaya bersama menjadi penting untuk mencapai stabilitas harga, bukan hanya dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter, otoritas kebijakan fiskal dan sektor riil pun mempunyai peran penting dalam pencapaian tersebut. Sehingga sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil akan menciptakan efektivitas terhadap perekonomian yang kondusif. Dalam hal ini pemerintah, Bank Indonesia, dan instasi terkait telah membentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah, mengingat sumbangan inflasi daerah terhadap inflasi nasional sangat besar. Peran TPID diwujudkan dalam bentuk pengendalian harga dengan (Operasi Pasar, Perbaikan Distribusi, Himbauan atau Moral Suasion, Pembentukan Ekspektasi Masyarakat, dan Sistem Resi Gudang (SRG). Road map penguatan peran TPID disusun melalui tiga fase untuk rentang waktu 2008-2018. Pertama (20082013) adalah fase “building awareness” terhadap pentingnya inflasi yang rendah dan stabil di daerah. Kedua adalah fase “fostering commitment”dari seluruh pemangku kepentingan daerah dalam mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional. Tahun 2013 merupakan transisi dari fase I “building awareness” menuju ke fase II “fostering [ 53 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
commitment” yang diagendakan hingga tahun 2018. Fase yang terakhir (2018 dan seterusnya) adalah fase “mature”, di mana sudah terdapat komitmen kuat di kalangan pemerintah daerah terhadap pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Dalam menjaga stabilitas harga, maka diperlukan koordinasi antara tim pengendalian inflasi daerah dan tim pengendalian inflasi (pusat) harus tetap terjaga, serta dapat dijalankan secara efektif, karena implikasi kebijakan atau bentuk pengendalian yang ditimbulkan sangat berpengaruh pada pergerakan perekonomian dan daya beli masyarakat. REFERENSI Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014. Bappebti, diakses tanggal 5 September 2014. Brodjonegoro, Bambang PS. 2008. Inflasi dan APBN. Warta, September www.pertamina.com Giavazzi, Francesco. 2003. Inflation Targeting and The Fiscal Policy Regime: The Experience in Brazil. Bank Of England Quarterly bulletin. Hagen, Von Jurgen and Mundschenk Susanne. 2003. Fiscal and Monetary Policy Coordination in EMU. International journal of finance and economics. Hidayati, Fatimah. 2013. Analisis persistensi inflasi jawa timur: suatu pendekatan sisi penawaran. Jurnal ilmiah. FEB-UB. Hutabarat, A. 2005. Determinan inflasi di Indonesia. Working Paper Bank Indonesia. Kemendagri, diakses tanggal 5 September 2014. [ 54 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Manurung, Bonar Rikardo. 2002. Twin Defisit di Indonesia. Tesis. Magister Ekonomi Pembangunan USU, Medan. POKJANAS TPID. 2014. (Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah). BUKU PETUNJUK TPID. POKJANAS TPID. 2013. Laporan pelaksanaan tugas tahun 2013, Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Sholeh, Maimun. Kebijakan Moneter dan Inflation Targeting: Suatu Tinjauan Teori. UNY. Simorangkir, Iskandar. 2012. Peranan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal Terhadap Perekonomian Indonesia. Penerbit: Kanisius. Turnovsky, J Stephen. 2000. The Transitional Dynamics of Fiscal Policy: Long-Run Capital Accumulation, and Growth. University of Washington, Seattle.
[ 55 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PERSISTENSI INFLASI: PENDEKATAN SISI PENAWARAN PADA PASAR BARANG Virdila Reindhartis dan Farida Firdausi E
Prolog Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan beberapa komoditi saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga-harga barang lain. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barangbarang lain (Boediono, 2000). Keadaan harga yang terusmenerus berarti bahwa kenaikan harga-harga karena bersifat musiman atau sesekali saja atau tidak mempunyai pengaruh lanjut tidak disebut inflasi (Hidayat, 2007). Inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa, maupun faktor-faktor produksi, (Samuelson, 2001). Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus pada akhirnya menyebabkan melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. [ 56 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Pada dasarnya inflasi selalu terjadi pada setiap negara baik di negara terbelakang, negara berkembang, ataupun di negara yang telah maju sekalipun seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Inflasi yang terjadi disetiap negara dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya saja disebabkan karena adanya gangguan (shock) pada sisi permintaan/demand pull inflation dan supply side inflation. Keynes dalam salah satu teorinya menyatakan bahwa inflasi terjadi lebih diakibatkan oleh adanya gangguan dari sektor riil yang bersumber dari adanya perilaku masyarakat yang menginginkan barang dan jasa lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia. Secara sederhana dapat dirumuskan menjadi inflasi=f(jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, suku bunga, investasi). Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Keynes, golongan monetaris memiliki teori inflasi tersendiri. Aliran Monetaris berpendapat bahwa inflasi disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dan fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang beredar di masyarakat sangat berlebihan. Secara sederhana dapat dirumuskan menjadi inflasi = f(kebijakan moneter ekspansif, kebijakan fiskal ekspansif). Inflasi yang terjadi disetiap negara pada dasarnya memiliki sifat yang berbeda-beda sesuai dengan penyebab terjadinya. Sifat dan perilaku inflasi tersebut dapat dipelajari melalui persistensi inflasi. Persistensi inflasi merupakan tingkat cepat lambatnya inflasi untuk kembali [ 57 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ke nilai alamiahnya (normal) ketika terjadi guncangan (shock) yang menyebabkan inflasi menjauh dari nilai alamiahnya tersebut. Derajat persistensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya. Tugas Bank Indonesia sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa atau kestabilan inflasi. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah didalam maupun diluar negeri. Kestabilan nilai Rupiah di dalam negeri digambarkan melalui kestabilan harga barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi sedangkan di luar negeri digambarkan melalui nilai Rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin dari nilai tukar. Oleh karena itu kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil. Selain kebijakan moneter yang dalam hal pelaksanaannya berasal dari Bank Indonesia, pemerintah juga dapat mengatasi inflasi melalui kebijakan fiskal yang pada umumnya menggunakan pajak sebagai alat pengendali laju inflasi. Kondisi perekonomian yang stabil dimana kondisi tenaga kerja berada pada titik full-employment dan inflasi berada pada titik yang rendah merupakan impian seluruh negara. Permasalahannya adalah tidak semua negara selalu berada dalam kondisi perekonomian yang stabil. Banyak [ 58 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari negara-negara maju ataupun berkembang berada dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil terutama memiliki tingkat laju inflasi yang tinggi. Case and Fair (2007:57) mengemukakan bahwa inflasi merupakan peningkatan tingkat harga keseluruhan yang terjadi ketika banyak harga naik secara serentak. Samuelson (2001) menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barangbarang, jasa-jasa, maupun faktor-faktor produksi. Secara sederana inflasi merupakan suatu kondisi perekonomian dimana tingkat daya beli masyarakat mengalami penurunan karena terjadinya kenaikan harga. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketika terjadi inflasi minat masyarakat untuk melakukan aktivitas konsumsi menurun karena menurunnya nilai mata uang, artinya dahulu dengan sejumlah uang tertentu masyarakat dapat membeli 2 jenis barang maka ketika terjadi inflasi dengan sejumlah uang tertentu yang sama masyarakat hanya bisa membeli 1 jenis barang saja. Inflasi dari sisi riil selalu terkait dengan kenaikan harga barang dan menurunnya kemampuan masyarakat dalam berkonsumsi, sedangkan dari sisi moneter inflasi selalu terkait dengan meningkatnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sama halnya seperti manusia, inflasi juga memiliki karakteristik, sifat, dan perilaku tertentu yang harus dipahami oleh para penentu kebijakan agar inflasi dapat dikontrol atau dikendalikan dengan cara yang tepat. Perilaku dari inflasi itu sendiri adalah persistensi inflasi. [ 59 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 4. Struktur Persistensi Inflasi
Marques (2005) mendefinisikan persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Sesuai dengan diagram diatas, apabila suatu kondisi perekonomian yang telah mengalami inflasi kembali mengalami guncangan sisi penwaran ataupun sisi permintaan akan menyebabkan kondisi inflasi berubah menjadi persistensi inflasi, artinya tingkat inflasi akan menjauh dari titik keseimbangan awal. Derajat persistensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya. Kondisi persistensi inflasi yang terjadi umumnya disebabkan oleh adanya guncangan dalam perekonomian. Guncangan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor luar negeri yang berupa pengaruh nilai tukar, harga komoditi [ 60 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
internasional, dan inflasi mitra dagang. Selain faktor luar negeri, guncangan ekonomi dapat berasal dari dalam negeri, yakni ekspektasi para konsumen dan produsen serta proses interaksi permintaa dan penawaran. Faktor dari dalam ataupun dari luar negeri ini pada akhirnya akan menjadi bentuk guncangan dari sisi permintaan dan guncangan sisi penawaran. Perhitungan tingkat inflasi dan persistensi inflasi di Indonesia sendiri menggunakan tingkat indeks harga konsumen (IHK) dan pengendaliannya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia serta pemerintah bersama instansi terkait.
[ 61 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
konsumsi permintaan Output gap
ekspor Inflasi Dunia
investasi
eksternal
Inflasi Inti
Nilai tukar produksi
penawaran inersia
impor
Supply Shocks
Kebijakan Pemerintah Impor makanan
penawaran
[ 62 ]
ekpektasi i Adminster ed Prcie
Inflasi IHK
Inflasi Non-Inti
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sesuai dengan diagram diatas dapat dikatakan bahwa komponen inflasi indeks harga konsumen (IHK) di Indonesia terdiri dari inflasi inti dan inflasi non-inti baik yang bersumber dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Inflasi dan persistensi inflasi yang terjadi di Indonesia rentan disebabkan oleh guncangan yang terjadi pada sisi penawaran. Komponen guncangan sisi penawaran terdiri dari impor makanan dari luar negeri dan tingkat produksi makanan dari dalam negeri yang pada akhirnya menjadi komponen pembentuk inflasi non-inti melalui volatile food. Selain itu komponen guncangan dari sisi penawaran juga terdiri dari kondisi investasi, tingkat produksi keseluruhan (tidak hanya tingkat produksi makanan), dan tingkat impor umum yang membentuk inflasi inti. Secara lebih spesifik guncangan dari sisi penawaran ini dapat berupa perubahan kebijakan pemerintah, gangguan distribusi, bencana alam, perubahan cuaca, guncangan pada volatile food, penetapan harga oleh pemerintah, nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang. Komponen guncangan sisi penawaran dari volatile food dan administered price ini menyumbang 40% tingkat inflasi indeks harga konsumen (IHK). Kasus di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa tingginya tingkat inflasi dan persistensi inflasi nasional sebagian besar disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi dan persistensi inflasi di daerah. Tingginya tingkat inflasi di daerah disebabkan karena tingginya tingkat guncangan yang terjadi pada sisi penawaran. Hal ini sejalan dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa 40% tingkat [ 63 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
inflasi IHK bersumber dari volatile food dan administered food yang merupakan instrumen sisi penawaran. Penyumbang tertinggi inflasi daerah dari sisi penawaran ialah bersumber dari permasalahan perubahan musim yang tidak menentu, perubahan iklim, dan bencana alam. Beberapa permasalahan tersebut akan menyebabkan menurunnya jumlah produksi/penawaran barang dan mengganggu proses distribusi sedangkan apabila jumlah permintaan yang terjadi tetap maka kondisi inilah yang akan menyebabkan terjadinya inflasi atau kenaikan harga karena terjadinya supply shock. Tingginya tingkat inflasi nasional atas sumbangan dari inflasi di daerah ini terbukti dengan data-data yang berasal dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat persistensi di Indonesia masih tergolong dalam kategori tinggi dengan hasil mendekati 1. Arimurti (2011) menyebutkan bahwa tingkat persistensi inflasi di Jakarta masih tinggi dengan kelompok komoditi penyumbang persistensi yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau juga kelompok kesehatan. Penelitian-penelitian lain juga dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur menunjukkan hasil yang sama. Penelitian oleh Bank Indonesia Kendari (2010) menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi di wilayah Sulawesi Tenggara sebesar 0,82 dengan penyumbang tertinggi berasal dari rokok kretek. Tingkat persistensi inflasi rata-rata Kalimantan Tengah sebesar 0,82. Pada Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Tengah [ 64 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Triwulan IV (2010) di Kalimantan Tengah, persistensi inflasi diwakili oleh Palangkaraya dan Sampit dengan jumlah yang relatif rendah-tinggi antara 0,4 - 0,9, wilayah Jakarta menyumbang tingkat persistensi inflasi sebesar 0,94, serta untuk wilayah Jawa Timur tingkat persistensi inflasi yang terjadi adalah sebesar 0,90. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lambatnya tingkat persistensi inflasi untuk kembali pada titik keseimbangan/normalnya. Hal ini dibuktikan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk kembali pada titik keseimbangan awalnya dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 5/7 hingga 16 bulan. Artinya bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali pada titik keseimbangan awal maka kondisi pasar barang akan terganggu dengan semakin meningkatnya harga barang lain yang berkaitan (sebagai barang pengganti dan pelengkap) yang pada akhirnya kembali akan menyebabkan guncangan kenaikan harga barang dari sisi penawaran. Apabila kondisi demikian terus terjadi berulang-ulang pada akhirnya akan semakin membutuhkan waktu yang lama bagi kondisi perekonomian untuk mencapai kondisi yang stabil. Pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa alat yang dapat digunakan untuk menurunkan persistensi inflasi hingga ke titik keseimbangan awal. Pemerintah dapat menggunakan kebijakan fiskal dan moneter sebagai alat peredam persistensi inflasi. Alat dari kebijakan fiskal yang dapat digunakan misalnya saja dengan menggunakan pajak, sedangkan untuk kebijakan moneter diputuskan oleh [ 65 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa atau kestabilan inflasi. Sejak tahun 2005 Bank Indonesia telah menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama yang biasa disebut dengan Inflation Targeting Framework (ITF). Fungsinya adalah dengan adanya ITF ini diharapkan agar tingkat inflasi aktual yang terjadi sesuai dengan target tingkat inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. ITF diberlakukan atas pertimbangan bahwa inflasi memiliki dampak yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat. Seperti telah diketahui tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga mempengaruhi kesejahteraannya.
Gambar 6. Tingkat Inflasi Aktual [ 66 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Hasil menunjukkan bahwa pada tahun 2004 Bank Indonesia menetapkan ITF sebesar 5,5% ± 1% sedangkan inflasi aktual yang terjadi adalah sebesar 6,40%. Pada tahun 2005 Bank Indonesia menetapkan ITF sebesar 6% ± 1% dengan inflasi aktual yang terjadi sebesar 17,11%. Pada tahun 2006 Bank Indonesia menetapkan ITF sebesar 8% ± 1% dengan inflasi aktual yang terjadi sebesar 6,60%. Dari ketiga contoh penerapan ITF tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan ITF tidak semuanya berhasil, dibuktikan dengan melesetnya target inflasi pada tahun 2005 sebesar 6% ± 1% sedangkan inflasi aktual yang terjadi sebesar 17,11%. Inflasi aktual yang terjadi ini sangat jauh dari ITF yang telah ditentukan, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor misalnya saja terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada kondisi perkonomian di Indonesia. Karena ketidak berhasilan penerapan ITF inilah maka diperlukan adanya solusi lain untuk mengatasi masalah persistensi inflasi di Indonesia. Selanjutnya untuk dapat mengendalikan persistensi inflasi yang terjadi pemerintah harus dapat mengontrol laju inflasi tidak hanya pada tingkat nasional melainkan juga inflasi pada tingkat regional. Oleh karena itu maka sejak tahun 2005 Bank Indonesia membentuk tim pengendali inflasi (TPI) tingkat pusat dan dilanjutkan dengan pembentukan tim pengendali inflasi daerah (TPID) pada tahun 2008. Keberadaan TPI dan TPID ini berfungsi agar TPI dan TPID dapat berkoordinasi untuk meredam tingkat inflasi secara nasional maupun regional sehingga tingkat [ 67 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
persistensi inflasi juga dapat kembali pada kondisi keseimbangan awal. Pada wilayah fiskal, pemerintah dapat mengendalikan inflasi salah satunya dengan memberikan insentif bagi masyarakat agar tingkat daya masyarakat meningkat kembali pada titik normal dan memberikan subsidi bagi para produsen agar harga barang maupun jasa yang diproduksi tidak mengalami kenaikan harga. Umumnya persistensi inflasi karena volatile food ini disebabkan karena adanya gangguan bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Guncangan ini pada akhirnya akan mengurangi tingkat produktivitas dan untuk menaikkan produktivitas pada titik keseimbangan awal membutuhkan biaya yang tinggi. Oleh karena itu maka dibutuhkan peran pemerintah dengan cara memberi subsidi dan tidak menaikkan pajak produksi. Epilog Tingkat persistensi inflasi di Indonesia sesuai penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih berada pada tingkat mendekati 1. Artinya tingkat persistensi yang terjadi sulit untuk kembali pada titik keseimbangan awal. Hal ini terbukti dengan tingkat persistensi yang terjadi di daerah-daerah seperti Jakarta 0,94, Jawa Timur 0,90, Kalimantan Tengah 0,4-0,9, dan Sulawesi Tenggara 0,82. Dengan tingkat persistensi inflasi yang tinggi ini dibutuhkan waktu rata-rata sekitar 5/7 – 16 bulan bagi kenaikan harga barang/jasa untuk kembali pada harga awal/harga normal. Kondisi ini lebih diperparah lagi [ 68 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dengan adanya perubahan kebijakan untuk mengurangi atau membatasi kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tahun 2014 telah menyebabkan harga komoditas BBM mengalami kenaikan yang pada akhirnya juga turut mempengaruhi kenaikan harga komoditas lain. Kenaikan harga BBM ini terbukti telah menyebabkan terjadinya kenaikan harga komoditas utamanya komoditas pangan yang dalam hal ini menyebabkan kenaikan tingkat inflasi dari komoditas volatile food. Berbagai kebijakan pada dasarnya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengontrol atau mengendalikan laju persistensi inflasi ini, diantaranya yaitu penerapan inflation targeting frame work (ITF), pembentukan tim pengendali inflasi daerah dan pusat (TPI – TPID), dimana kedua kebijakan ini diterapkan oleh Bank Indonesia melalui sisi moneter. Kebijakan lain yang dapat dilakukan ialah dari sisi fiskal dengan cara memberikan subsidi bagi para produsen ketika terjadi bencana alam, ketidak pastian musim, dan kenaikan harga BBM agar biaya produksi tidak tinggi. Terlepas dari beberapa kebijakan yang diambil, pada dasarnya untuk menurunkan tingkat persistensi inflasi yang harus diperhatikan adalah sumber penyebab terjadinya inflasi. Pada umumnya setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik dan sifat yang dapat menjadi faktor tingginya tingkat inflasi di daerah. Oleh karena itu, salah satu hal yang diperlukan adalah perlunya koordinasi yang baik anatara pemerintah pusat, Bank Indonesia, dan pemerintah daerah agar dapat mengendalikan harga barang-barang secara umum pada [ 69 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tingkat daerah khususnya dan ditingkat nasional pada umumnya. REFERENSI Arimurti, Trinil. Budi Trisnanto. 2011 “Persistensi Inflasi Di Jakarta Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Boediono. 2000. “Ekonomi Moneter.” Edisi 3. BPFE: Yogyakarta. Case, and Fair. 2006. Prinsip-prinsip Ekonomi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Hidayati, Fatimah. 2013. “Uraian Persistensi Inflasi Jawa Timur: Suatu Pendekatan Sisi Penawaran.” Universitas Brawijaya: Malang. Marques, C. R. (2005). Inflation Peristence: Facts or Artefacts? Economic Bulletin Samuelson. 2001. Ilmu Mikro Ekonomi. Media Global Edukasi: Jakarta. www.bi.go.id
[ 70 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
EARLY WARNING SYSTEM INDIKATOR MAKROEKONOMI PADA KRISIS PERBANKAN Ave Nindy Prastica Devi dan Reny Octaviantri
Prolog Terjadinya bank run pada sektor perbankan disebabkan oleh masalah liquiditas. Kegagalan industri perbankan mendistorsi alokasi modal dan dalam kebanyakan situasi akan menambah tekanan terhadap ekonomi riil. Bank run merupakan fitur umum dari krisis yang memiliki peran penting dalam sejarah moneter. Selama terjadinya bank run para nasabah menarik depositonya karena mereka menganggap bank telah bangkrut. Bahkan, penarikan bank secara besar-besaran tersebut dapat memaksa bank untuk melikuidasi asetnya pada kerugian dan kebangkrutan. Pada kepanikan ini banyak bank yang gagal, goncangan moneter serta penurunan tingkat produksi (Douglas, 1983). Hubungan masyarakat dengan lembaga perbankan karena adanya unsur kepercayaan, demikian juga lembaga perbankan terhadap masyarakat. Sebagian besar masyarakat percaya bahawa dengan adanya lembaga bank dapat memberikan keuntungan terhadap nasabahnya baik dalam bentuk materi maupun non-materi misalnya keamanan atas barang berharga (dana) yang dititipkan [ 71 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pada bank tersebut. Disisi lain, perbankan juga merasa yakin dan percaya bahwa nasabahnya dari kalangan yang memiiki reputasi dan kredibilitas baik. Maka dari itu timbul kepercayaan yang saling berkaitan yaitu saling mempercayai. Beberapa ahli ekonomi menyatakan bahwa industri perbankan merupakan industri yang memerlukan perhatian khusus karena dianggap mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal perbankan dan merupakan bagian integra; dari sitem pembayaran (Kaufman dan George, 1997). Teori krisis perbankan lebih banyak ditujukan ada karakterstik khusus perbankan seperti transformasi mata uang dan jatuh tempo serta informasi yang asimetris sehingga membuat industri perbankan rentan untuk krisis terhadap adanya goncangan. Oleh karena itu sejumlah proyek telah dimulai untuk membangun sistem peringatan dini atau Early Warning System (EWS) yang menerapakan metode statistik untuk memprediksi kemingkinan terjadinya krisis perbankan dengan didukung oleh model yang terdiri dari indikator ekonomi yaitu indikator makro. Sasaran EWS adalah pasar ekonomi yang berkembang (Cheang, 2008) Berdasarkan latar belakang diatas diperlukan adanya sistem peringatan dini untuk mengantisispasi krisis perbankan dalam sesuatu perekonomian. Makalah ini mengkaji tentang indikator makroekonomi yang berpengaruh pada krisis perbankan yang selanjutnya dapat menyebabkan krisis keuangan. Tujuan dari mengisi kesenjangan tentang indicator makroekonomi yang [ 72 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memiliki pengaruh paling dominan terhadap krisis perbankan. Selebihnya makalah ini diorganisasikan menjadi 2 bagian yang berisi diskusi lebih lanjut mengenai pengaruh indicator makro ekonomi dan prediksi dari beberapa indikator makroekonomi pada periode selanjutnya. Bagianterakhir akan diisi dengan kesimpulan dari makalah. Early Warning System Dermirguc-Kunt dan Detragiache (1997) menggunakan 65 negara pada periode 1980-1995 dalam menjelaskan fitur krisis perbankan sebagai sebuah fenomena dari distress perbankan di mana rasio NPL perbankan melebihi 10 % dan biaya operasi penyelamatan melebihi 2 % dari PDB. Kaminsky dan Reinhart (1999) dengan menggunakan 20 negara pada periode 1970-1995 mereka menandai awal dari krisis perbankan oleh suatu peristiwa yaitu (i) bank runs menjadi penghujung usaha perbankan, merger atau pengambilalihan oleh sektor publik dari satu atau lebih lembaga keuangan, atau (ii) pemerintah memblokade besar-besaran satu atau lebih lembaga keuangan. Sebuah Krisis perbankan akan usai ketika asistensi pemerintah dihentikan. Sampai saat ini interpretasi dari krisis perbankan masih menimbukan perdebatan. Definisi dari Kaminsky dan Reinhart (1999) mengenai krisis perbakan adalah ditandai dengan adanya masalah dalam neraca. Mereka menyatakan bahwa indikasi awal krisis ditandai dengan penarikan dana besar-besaran dari nasabah dan blokade pada bank. [ 73 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Davis (2001) juga menafsirkan beberapa kerangka teori yang mendiskripsikan ketidak stabilan keuangan, yang meliputi: 1) Konsep debt and financial fragility, 2) Pendekatan disaster myopia, and 3) bank runs. Konsep debt and financial fragility berpendapat bahwa perekonomian mengikuti peredaran yang terdiri dari periode pertumbuhan positif dan negative (Fisher, 1933). Dengan kemajuan ekonomi, utang dan kegiatan pengambilan risiko akan melambung. Ini menciptakan gelembung aset yang akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Sementara itu, pendekatan disaster myopia disinyalir dapat menunjukkan stabilitas keuangan dapat disebabkan oleh perilaku kompetitif lembaga keuangan yang mengarah pada suatu kondisi dimana kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko dikurangi. Di sisilain, bank runs menjelaskan kondisi di mana para penyalur dana yang panik menjual khazanah yang mereka punya atau menarik dana mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan memburuk (Diamond dan Dybvig, 1983; Davis, 1994). Sebagai resultan yang dihasilkan, hal ini akan memicu kemerosotan yang tiba-tiba pada harga khasanah dan krisis likuiditas. Dari sekian model Early Warning System yang sudah dilaksanakan di Indonesia terdapat 2 metode yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya krisis diantaranya metode non-parametrik dan metode parametrik. Metode non-parametrik terdiri dari pendekatan signal, melalui jaringan saraf buatan, model hibrida, metode fuzzy logic. Sedangkan untuk metode parametrik dapat dideteksi dengan menggunakan metode Logit Probit, VAR , ARCH[ 74 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
GARCH, Forecasting, Markov Switching. Kaminsky, G.L., S. Lizondo and C.M. Reinhart pada tahun 2008 menguraian tentang krisis perbankan dengan menggunakan metode pendekatan signal. Namun , metode non-parametrik ini memiliki beberapa kelemahan, dimana ketika menggunakan metode pendekatan signal belum adanya keberhasilan dalam mendeteksi krisis perbankan di Indonesia. Ketika menggunakan metode parametrik, dimana metode parametrik merupakan metode yang digunakan dalam menentukan krisis berdasarkan metode ekonometrika. Apabila menggunakan model parametrik terdapat tujuan bahwa model ini digunakan untuk melihat kemampuan dari model dalam memprediksi setahun sebelumnya atau menjelang krisis. Dari beberapa metode yang terdapat dalam mendeteksi adanya krisis muncul kelemahan dan keuanggulan dari masing-masing pendekatan. Penggunaan regresi logit layak digunakan dalam global early warning system, sedangkan signal extraction hanya dapat digunakan bagi country specific Early Warning System (Davis dan Karim, 2007). Namun penggunaan regresi logit dan pendekatan signal memiliki kelemahan. Pertama, penentuan tanggal dimulainya krisis menjadi terlambat. Kedua, pendekatan indikator-indikator dini perbankan dengan menggunakan nisbah penyimpanan (noise) terhadap signal yang benar minimal juga mempunyai keterbatasan. Akibat dari keterbatasan tersebut menyebabkan penetapan batas nilai indeks krisis perbankan (threshold) dilakukan secara arbitrary. Ketiga, [ 75 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
transformasi indeks krisis ke dalam bilangan binary dapat mengakibatkan hilangnya informasi yang relevan. Seiring dengan munculnya berbagai kelemahan yang terdapat dalam model regresi logit atau probit maupun pendekatan signal, maka berkembang metode Markov Switching. Pendekatan ini merupakan pendekatan parametrik. Terdapat berbagai keuanggulan dalam metode ini antara lain: Pertama, nilai batas indeks krisis merupakan variabel endogenous atau dengan kata lain periode krisis dan lamanya krisis merupakan bagian dari hasil yang diestimasi. Kedua, penggunaan model Markov Switching merupakan model yang memperbolehkan penggunaan dependent variable yang kontinyu. Ketiga, penggunaan model ini adalah model ini dapat digunakan untuk menangkap informasi yang dinamis dari krisis. Keempat, model ini dapat digunakan untuk perilaku non linier (Iskandar, 2011). Akibat, suku bunga yang tinggi kondisi saham juga akan semakin suram. Pasar keuangan masih belum begitu berkembang dan sumber pembiayaan kegiatan ekonomi mayoritas bergantung pada bank, volatilitas harga saham menentukan perilaku trader di pasar saham. Jika melihat dari komposisi pemainnya, pasar keuangan di indonesia didominasi oleh pemain-pemain asing sehingga hal ini menciptakan kerentanan dalam sistem keuangan. Adanya shock baik di negara indonesia maupun di negara asal trader akan membuat indonesia rentan terhadap terjadinya arus modal keluar besar-besaran. Penurunan tajam pada harga saham di pasar keuangan indonesia juga akan [ 76 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memicu terjadinya penarikan oleh pemain asing (capital outflow). Arus modal keluar besar-besaran karena penurunan pada harga saham mungkin terjadi sebagai reaksi terhadap kerugian yang dialami trader. Buruknya kondisi saham maka akan mengakibatkan kontraksi pada perekonomian yang selanjutnya akan meningkat kanpengangguran kemudian muncul berbagaimasalah sosial. Masalah sosial yang muncul di masyarakat justru akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Penurunan tingkat kepercayaan masyarakat akan mengakaibatkan melemahnya nilai tukar mata uang. Penjelasan yang lebih rinci mengenai uraian diatas akan di tunjukkan dngan grafik tingka tinflasi, nilai tukar, dan PDB padatahun 2014 serta tingkat inflasi, nilai tukar dan PDB 2015.
Inflasi 10,00 5,00 0,00
Gambar 7. Prediksi Tingkati Inflasi (Sumber:SPIME, 2014)
Tekanan inflasi diperkirakan sebesar 7,85 % (yoy) pada triwulan ke III tahun 2014. Angka ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat inflasi triwulan ke II yang hanya sebesar 6.70% (yoy). Pada triwulan ke IV pada [ 77 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tahun 2014 diprediksi akan menurun sebesar 5,43 % dan terjadi diprediksi akan terjadi peningkatan kembali pada tahun 2015 triwulan I. Pada triwulan I tahun 2015 diprediksi inflasi akan meningkat 0,25 % dari 5,43% menuju 5,68%. Selanjutnya, kenaikan inflasi diperkirakan akan terus terjadi pada triwulan ke II tahun 2015. Diprediksi perubahan kenaikan sebesar 1,76% dari 5,68 % pada triwulan I tahun 2015, dan mengalami kenaikan 2,01 % dari 5,43 % triwulan ke IV tahun 2014.Kenaikan inflasi tersebut disebabkan oleh faktormusiman antara lain akibat performa nilai tukar, ketersediaan barang dan kenaikan harga bahan bakar minyak ( BBM).
Nilai Tukar 15.000 10.000 5.000 0
Gambar 8. Prediksi Nilai Tukar Rupiah-Dollar (Sumber:SPIME,2014)
Nilai tukar diprediksi akan mengalami depresiasi pada triwulan III tahun 2014. Nilai tukar pada triwulan tersebut lebih lemah daripada triwulan sebelumnya yakni triwulan ke II. Nilai tukar melemah Rp 136 dari triwulan ke II menuju triwulan ke II sehingga pada triwulan ke II nilai tukar berada pada posisi Rp 11.840. Sedangkan pada [ 78 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
triwulan ke IV tahun 2014 dan Triwulan I tahun 2015, nilai tukar diprediksi kembali menguat. Nilai tukar diprediksi menguat sebesar Rp 28 dari triwulan ke III sehingga nilai tukar berada pada posisi Rp11.812. Sedangkan pada tahun 2105 diprediksi nilai tukar akan terus menguat samapai pada triwulan ke II tahun 2015. Triwulan I menguat sebesar Rp 9 dari triwulan ke IV menuju triwulan I yang berada pada posisi Rp 11.803. Nilai tukar terus mengalami penguatan sampai pada triwulan ke II sebesar Rp 106 sehingga diperkirakan berada pada posisi Rp 11.697. Namun pada triwulan ke III nilai tukar kembali mengalami depresiasi sebesar Rp 101 sehingga pada triwulan ke III tahun 2015 diperkirakan nilai tukar akan berada pada posisi Rp 11.798. 7 6 5 4
PDB
2013.1 2013.2 2013.3 2013.4 2014.1 2014.2 2014.3 2014.4 2015.1 2015.2
Gambar 9. Prediksi PDB (Sumber : SPIME,2104)
Pada triwulan ke II PDB diprediksi berada pada posisi 5.79% lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Namun pada triwulan III tahun 2014 PDB diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,39% sehingga berada pada posisi 5.40 %. Namun pada tahun 2015 PDB diperkirakan akan [ 79 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
meningkat 0,36%. Dari peningkatan tersebut maka pada tahun 2015 triwulan I PDB diprediksi berada pada kisaran 5.81 %. Peningkatan PDB tersebut dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan konsumsi oleh masyarakat. Selain itu, yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah kondisis perekonomian global, pertumbuhan investas dan kinerja neraca perdagangan. Krisis ekonomi dan keuangan global memberikan pelajaran bahwa stabilitas makroekonomi tidak bisa hanya dilakukan dengan menjaga tingkat tekanan inflasi yang rendah. Mengingat instabilitas makroekonomi semakin banyak bersumber dari ketidakseimbangan yang terjadi di sektor jasa keuangan. Ketidakseimbangan yang terjadi di industri perbankan diakibatkan oleh ketidakmampuan menilai, meminimalisir dan memitigasi risiko kegiatan usahanya sehingga menciptakan perilaku penyaluran kredit perbankan yang berlebihan. Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 menjadi contoh keterkaitan antara kebijakan moneter dan makroprudensial. Di Amerika Serikat, sebuah krisis terjadi berawal dari adanya ketidakseimbangan pada sektor jasa keuangan terutama dalam hal penyaluran kredit yang terlalu berlebihan. Selain tingginya penyaluran kredit, terjadinya penurunnan harga aset yang berdampak pada mengeringnya likuiditas pasar dan berujung pada pelemahan perekonomian global. Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak dari krisis yang terjadi Amerika Serikat. Dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi [ 80 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
merupakan imbas dari krisis keuangan global tahun 2008. Langkah yang dilakukan untuk mengembalikan kembali kondisi perekonomian menjadi lebih baik adalah dengan menempuh kebijakan moneter yang longgar dan mulai mengalirnya dana asing ke Indonesia sebagai dampak melemahnya perekonomian negara-negara maju. Epilog Leading indicators yang diperlukan dalam membangun EWS bagi kasus krisis perbankan di Indonesia adalah nilai tukar riil dan PDB. Variabel tambahan yang juga bisa digunakan sebagai leading indicators dalam EWS untuk krisis perbankan karena bersifat informatif adalah suku bunga riil domestik, pertumbuhan PDB, perubahan harga saham, tingkat inflasi, dan pertumbuhan produksi industrial. Maka menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengawasi pergerakan variabel-variabel dibandingkan dengan threshold-nya karena menggambarkan potensi terjadinya krisis nilai tukar dan krisis perbankan di Indonesia. Pemerintah perlu membangun kewaspadaan terhadap volatilitas variabelvariabel yang melalui penelitian ini diklaim sebagai leading indicators dalam mensinyalir terjadinya krisis nilai tukar dan krisis perbankan. Untuk peneliti selanjutnya, penelitian terhadap EWS akan memberikan hasil yang lebih cemerlang jika dapat menggunakan data yang sifatnya bulanan. Selain itu, penelitian terhadap EWS dapat berfokus kepada salah satu pendekatan, apakah parametrik ataupun non-parametrik. Jika peneliti berikutnya memilih [ 81 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menggunakan pendekatan non-parametrik, disarankan untuk meneliti variabel indikator dalam lingkup yang lebih spesifik lagi karena tidak ada keterbatasan dalam jumlah indikator yang diobservasi jika menggunakan pendekatan ini. REFERENSI Cheang,Nicholas.Early Warning System for Financial Crises. Research and Statistics Department, Monetary Authority of Macao Davis, E. P. 2001. A Typology of Financial Instability. Oesterreichsche National Davis, E. P. and D. Karim, 2008. Comparing early warning systems for banking crises. Journal of Financial Stability, 4: 89-120. Demirguc-Kunt, A. And E. Detrgiache.1997.The Determinants of Banking Crises in Developing andDeveloped Countries. IMF Working Paper : 106. Diamond, Douglas W danRaghuram G Rajan. 2003.Liquidity Shortages and BankingCrises. NBER WorkingPaper Series, WP No. 10071, Diamond, Douglas W.,and Philip H.Dybvig,1983,”Bank Runs,Deposit Insurance, and Liquidity,”Journal of Political economy,Vol.91 (June),pp.401-19 Kaminsky,G and C.M. Reinhart. 1999.The Twin Crisis: The Causes of Banking Crises and Balance Of Payment Problems.The American Economic Review: June. pp.473-500 Kaufman, George G., 1988, Bank Runs: Causes, Benefits and Costs. Cato Journal 2, no. 3 (Winter): 559-88. [ 82 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PENGARUH BANK ASING TERHADAP PERBANKAN DOMESTIK DI INDONESIA: STUDI KASUS DALAM MENGHADAPI MEA 2015 Nurul Hazizah dan Rista Fitriany
Prolog Interaksi ekonomi merupakan bagian terpenting dalam kegiatan ekonomi antar negara. Interaksi ekonomi dapat dilakukan dalam hal perdagangan dan kerja sama lainnya yang bersifat saling menguntungkan. Semakin banyak suatu negara berinteraksi dengan negara lain akan mengarah pada semakin terbukanya perekonomian negara tersebut. Semakin terbukanya suatu perekonomian negara ditunjukkan dengan interaksi ekonomi antar negara melalui perdagangan internasional baik secara bilateral maupun multilateral. Hal ini terjadi ketika suatu negara berada dalam kondisi ketika perminataan terhadap barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri semakin tinggi dan tidak dapat terpenuhi di pasar domestik. Hubungan bilateral dan multilateral terjadi ketika suatu negera memiliki visi dan misi yang sama untuk menjaga stabilitas perkeonomian yang menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi. Visi misi yang sama dalam kedua hubungan tersebut ditunjukkan dengan negara-negara yang tergabung dalam anggota ASEAN yang meliputi: Indonesia, [ 83 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Singapura, Malaysia, Brunei Darusallam, Laos, Thailand, Vietnam, Philipina, Myanmas, dan Kamboja. MEA bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. Tujuan daripada keberadaan ASEAN lebih jelasnya dapat ditunjukkan dalam empat pilar ASEAN. Selain itu keberadaan MEA juga diinspirasikan akan berwujud suatu area perekonomian yang sangat kompetitif, suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang mampu berintegrasi secara penuh dengan perekonomian global (Roadmap for ASEAN Economic Community, 2009). MEA merupakan tujuan akhir dari intergrasi ekonomi yang dicapai msyarakat ASEAN yang tercantum dalam visi ASEAN 2020, yang memperjelas bahwa kepentingan dari negara-negara anggota ASEAN adalah untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi.
[ 84 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
4 Pilar ASEAN Economic Community Terbentukknya Pasar dan Basis Produksi Tunggal - Bebas arus barang jasa - Bebas investasi - Bebas tenaga kerja dan arus permodalan - Priority integration sector (PIS) - Pengembangan sektor food agriculture forestry
Kawasan Berdaya Saing Tinggi - Kebijakan persaingan - Perlindungan konsumen HKI - Pembangunan infrastruktur - Kerjasama energi - Perpajakan - E-comerce
Kawasan dengan Pemabangun an Ekonomi yang Merata - Pembanguna n UMKM - Mempersem pit kesenjangan pembanguna n antar negara ASEAN
Gambar 10: Pilar ASEAN Economic Community (AEC) [ 85 ]
Integrasi dengan Perekonomian Dunia - Pendekatan koheren terhadap hubungan ekonomi eksternal - Partisipasi yang semakin meningkat dalam jaringan suplai global
Sketsa Ekonomi Indonesia
Keterbukaan suatu perekonomian akan berorientasi keluar, inklusif, dan bertumpu pada kekuaatan pasar. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam upaya pembentukan komunitas masyarakat ekonomi ASEAN yang ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Sehingga kawasan ini menjadi kawasan yang sangat kompetitif, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global. Terbentukanya pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu a) pergerakan bebas barang; b) pergerakan bebas jasa; c) pergerakan bebas investasi; d) pergerakan bebas modal, dan e) pergerakan bebas pekerja terampil. Selain itu terdapat komponen penting lainnya yaitu sektor integrasi prioritas yang terdiri dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian, transportasi udara, otomotif, elektronik, perikanan, pelayanan kesehatan, logistik, produk berbasis logam, tekstil, pariwisata, dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan kehutanan. Lima elemen diatas merupakan salah satu indikator perdagangan internasional baik dalam bentuk barang ataupun jasa. Fokus pembahsan dalam penulisan makalah ini berangkat dari perdagangan internasional di industri jasa di sektor perbankan yang saat ini banyak menjadi perbincangan diberbagai ekonomi. Tergabungnya Indonesia dalam wilayah negara ASEAN menjadi pemicu negara-negara anggota untuk melakukan kerja sama dalam [ 86 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
lingkup masyarakat ekonomi ASEAN khususnya dalam sektor perbankan yang memberikan modal atau investasi di Indonesia. Dimana bank merupakan lembaga keuangan perantara (intermediary) yang dapat menghimpun dan mengalokasikan dana dari atau kepada masyarakat. Kinerja individual bank maupun sistem perbankan secara keseluruhan sangat ditentukan oleh perilaku bank dalam mengelola asset (penempatan dana) dan liabilitas (penghimpunan dana). Menurut UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang dijelaskan oleh Kasmir (2008:27), bank memiliki beberapa jenis dilihat dari segi kepemilikannya diantarnya: a) Bank miliki pemerintah,yaitu bank yang dimiki pemerintah baik akta pendirian, modal, dan seluruh keuntungannya, b) Bank milik swasta nasional, merupakan bank yang dimiliki oleh swasta nasional, baik seluruh atau sebagian besar modal, akta pendirian, dan keuntungannya, c) Bank milik asing, merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri. Cabang tersebut dapat merupakan milik swasta asing maupun pemerintah asing suatu negara, dan d) Bank milik campuran, ialah bank yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Berbagai jenis bank dari segi kepemilikannya yang ada di Indonesia telah memicu terjadinya persaingan antar bank yang secara tidak langsung telah memberikan dampak baik positif maupun negatif. Keberadaan Bank Asing yang masuk di Indonesia telah memberikan bayingbayang bagi perekonomian Indonesia. Munculnya bank asing telah memberikan respon pro-kontra, dimana ketika kondisi perekonomian mengalami perlambatan, peran [ 87 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
modal asing sangat diperlukan untuk memberikan aksi ekspansi. Karena investasi telah dibuka lebar-lebar oleh pemerintah sehingga mempermudah masuknya modal asing di Indonesia. Namun disisi lain masukknya modal asing juga membawa ketakutan bagi sektor domestik yang dianggap akan mengancam keberadaan industri lokal. Keberadaan modal asing dalam industri perbankan telah menjadi sorotan baru bagi masyarakat luas. Sebab hal ini bukan dalam permasalahan seberapa besar investor asing yang berinvestasi pada bank nasional melainkan seberapa besar modal asing dalam menguasai struktur permodalan. Sebagian besar bank yang ada di Indonesia telah dikuasai oleh bank asing, namun peran bank asing dalam perekonomian nasional masih belum optimal dan tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapatkan atas investasinya di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini, bahwa penguasaan aset dan pengucuran kredit di perbankan Indonesia hampir dikuasai ooleh modal asing.
Dominasi asing yang Gambar 11: Penguasaan Aset dan Pengucuran Kredit Sektor Perbankan Tahun 2011 [ 88 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Kuatnya kepemilikan asing pada suatu bank berpotensi menghambat berlangsungnya praktik good governance dan proses pengawasan pada bank yang bersangkutan. Dominasi asing juga berpotensi menghambat proses transmisi kebijakan moneter yang pada akhirnya bersifat kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian diperlukannya kebijakan bank central untuk mendorong perutumbuhan bank domestik nasional agar tidak kalah saing dengan bank-bank asing yang masuk di Indonesia. Maka dari itu, berangkat dari latar belakang dan permasalahan inilah penulis berinisiatif untuk mengkaji kembali bagaimanakan pengaruh bank-bank asing yang masuk di Indonesia seiring dengan menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN kedepannya, dan kebijakan atau srategi apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggapi permaslahan atau pengaruh yang ada untuk siap dalam mengahadapi masyarakat ekonomi ASEAN yang akan datang. Dengan demikian, tujuan daripada penulisan makalah ini yaitu mengetahui pengaruh masuknya bank asing terhadap sektor perbankan di Indonesia serta memberikan strategi bagi pemerintah dan para pembuat kebijakan lainya terkait bank asing di Indonesia. Perkembangan bank asing yang masuk di Indonesia telah memberikan pemahaman positif maupun negatif. Beberapa ekonom mengatakan bahwa keberadaan masuknya lembaga keuangan asing cenderung membawa keuntunga pada host country namun hal itu perlu dukungan dari pembuat kebijakan untuk menerima lembaga-lembaga [ 89 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dalam bentuk anak perusahaan dan bank campuran, dan berpaling dari model offshore institusional dan kantor cabang (Claessens, Demirguc-Kunt, and Huizinga, 1999) and Demigurc-Kunt, Levin and Min, 1998). Namun, masuknya bank asing juga membawa ketakutan sektor domestik. Kehadiran asing dianggap bisa mengancam keberadaan industri lokal. Banyaknya modal asing yang ada diindonesia menjadikan ketatnya arus sektor perbankan di Indonesia. Regulasi yang telah ditetapkan Bank Indonesia mengenai kepemilikan saham asing di Industri perbankan sebesar 99% dijadikan sebagai peluang bank asing dan memanfaatkanya dalam menanamkan modal asing yang mengakibatkan semakin kuatnya dan semakin leleuasanya bank asing dalam mengembangkan produk dan kebebasan membuka bank asing baru.a Selain itu, dampak lain dari masuknya bank asing ke Indonesia adalah kian gencarnya bank asing mengucurkan kredit ke segmen konsumer, seperti kredit kendaraan bermotor, kredit perumahan, kredit multiguna, kredit tanpa agunan dan kartu kredit. Tidak dapat dipungkiri bahwa kredit konsumtif adalah salah satu segmen yang paling menggiurkan bagi perbankan, karena perbankan dapat mematok bunga kredit yang sangat tinggi dengan potensi loss yang kecil. Hal ini menjadi kekhawatiran karena saat ini pemerintah justru membutuhkan sumber pembiayaan untuk infrastruktur dan investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi, bukannya sumber pembiayaan untuk mendorong masyarakat agar lebih konsumtif. [ 90 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Strategi sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan bank asing yang masuk di Indonesia, yang diharpkan keberadaan bank asing tidak menguasai perbankan domestik dan juga bank asing dianggap telah memberikan kerugian bagi bank-bank lainnya yang ada di Indonesia. Menjelang MEA 2015 dianggap sebagai peluang dan ancaman sehingga diperlukan penanganan serius yang dilakukan diberbagai pihak. Salah satu pemberi kebijakan adalah Bank Indonesia yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga (inflasi) dan nilai tukar untuk menjaga daya saing produk ekspor Indonesia yang akan mendukung iklim ekonomi yang kondusif bagi bisnis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah dan pemberi otoritas adalah mengoptimalkan asaz resiprokal. Dengan diterapkannya azas resiprokal bagi sesama perbankan dan sesama negara, akan memberikan peluang dalam mengembangkan bankbank nasional dan lebih melindungi kepentingan di industri perbankan nasional khusunya di Indonesia. Sehingga peluang investor asing untuk masuk di industri perbankan masih terbuka. Namun, pihak luar negeri telah membentengi bank nasionalnya dengan memberikan berbagai policy yang mempersulit masuknya bank asing ke negaranya. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan menangani masalah atas penguasaan asing di Indonesia. Pemerintah dan DPR memperbaiki aturan kepemilikan asing pada sektor perbankan di Indonesia, terutama OJK. Kondisi saat ini kewajiban yang harus dilakukan oleh bank nasional tidak diwajibkan untuk bank asing. Hal tersebut perlu menjadi acuan DPR dan [ 91 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pemerintah dalam merumuskan RUU Perbankan serta bagi OJK dalam mengeluarkan policy. Kabijakan pengurangan kepemilikan saham bank asing dapat dilakukan jika diberlakukan aturan yang jelas pada RUU perbankan mengenai kewajiban dan aturan ditetapkan di bank domestik diberlakukan di bank asing yang ada sebelum RUU perbankan di sahkan. Diberlakukannya aturan pemerintah yang mendorong kelonggaran negara asing yang masuk di Indonesia telah memberikan keuntungan bagi negara asing untuk memanfaatkan keuntungnya yaitu dengan memasukkan bank asing yang mengacu pada sektor perbankan yang mengarah pada market Indonesia. Ruang lingkup atas keberadaaan bank asing yang masuk di Indonesia seharusnya diperlukan aturan akan layanan bisnis bank asing. Tidak adanya perbedaan tentang spesifikasi garapan antara bank nasional dan bang asing akan membuat bisnis perbankan kurang menguntungkan bagi perbankan domestik khususnya Indonesia. Perbedaan produk yang harus digarap bank asing yaitu layanan bank yang belum bisa digarap oleh perbankan nasional. Misalnya tidak hanya berfokus pada costumer good melainkan menggarap layanan lain seperti menggarap infrastruktur dan investasi. Dalam perkembangan yang ada di Indonesia salah satu yang sudah dilakukan adalah bank campuran yang hanya menjalankan usaha bank pembangunan namun hanya bergerak di Jakarta. Hal ini dapat memicu pemerintah untuk lebih mengembangkan peraturan [ 92 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perbedaan produk layanan antara bank nasional dan bank asing. Epilog Perdaganagan Internasional mengarah pada semakin luasnya kerjasama antar negara baik secara bilateral dan multirateral. Salah satu Kerjasama bilateral adalah kerjasama kawasan ASEAN. Setiap anggota ASEAN melalukan perdagangan Internasional untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang belum terpenuhi oleh produk dalam Negeri. Integrasi ASEAN terbaru adalah perjanjian perdaagangan bebas yang dapat disebut ASEAN Economic Community. Perdagangan bebas ini dilakukan di berbagai sektor baik jasa maupun barang. Salah satu sektor jasa adalah sektor jasa keuangan di Industri Perbankan. Keberadaan MEA akan mengakibatkan tidak terbatasnya perbankan asing yang masuk ke dalam negeri khususnya di Indonesia. Semakin banyaknya perbankan asing disebabkan juga oleh peraturan pemerintah yang memberikan kelonggaran pada Bank asing untuk bebas dalam memberikan modal di bank domestik. Regulasi baru mengenai pengaturan kepemilikan saham asing di Indonesia sebesar 99% menjadikan bank asing lebih bersemangat untuk memperbanyak modal di Indonesia. Masuknya Bank Asing di Indonesia hingga saat ini masih menuangkan pro kontra yang semakin banyak. Masuknya bank asing dianggap memberika keuntungan pada host country namun harus ada dukungan pemerintah untuk menerima lembaga tersebut. Keluar masuknya perbankan [ 93 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
di suatu negara menjadikan peluang untuk mengoptimalkan azas resiprokal yaitu memberikan peluang bank-bank nasional untuk tumbuh menjadi lebih besar. Disisi lain, peluang investor asing untuk masuk ke industri perbankan nasional pun tetap terbuka. Namun kondisi dari pihak luar negeri sudah jelas membentengi bank nasionalnya dengan berbagai policy yang mempersulit masuknya bank asing ke negaranya. Pengalihan dan Munculnya OJK yang bersinergi dengan Bank Indonesia dan LPS beserta Pemerintah dan DPR dapat memperbaiki aturan kepemilikan asing pada sektor perbankan di Indonesia. Kabijakan pengurangan kepemilikan saham bank asing dapat dilakukan jika diberlakukan aturan yang jelas pada RUU perbankan mengenai kewajiban dan aturan yang ditetapkan pada bank domestik juga diberlakukan di bank asing yang ada sebelum RUU perbankan disahkan. Strategi lain yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah mengenai layanan bisnis bank asing. Kenyataaan yang ada bank asing juga memberikan dan mengeluarkan proyeksi/produk yang hamper sama dengan bank domestik hal itu akan mengurangi keuntungan bagi bank domestik. Pemisahan layanan bisnis antara bank asing dan bank doomestik perlu dilakukan, jika bank asing juga melakukan pelayanan dalam bentuk customer good maka dapat dikatakan sama layanan sehingga daya saing kedua bank semakin ketat. Bank Asing dapat memberikan pelayanan selain yang dilakukan oleh bank domestik seperti berfokus pada infrastruktur dan investasi saja. Dengan demikian masyarakat harus dapat membedakan [ 94 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
produk mana yang dapat mendukung perekonomian domestik dan tetap dapat menegembangkan potensi diri untuk bersaing di pasar internasional. Bagi pemerintah perlunya peraturan dan pengetatan atas instrument yang telah ditetapkan agar tidak merugikan negara baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah harus dapat mengestimasi resiko yang akan diperoleh atas strategi yang akan dilakukan dan dapat memperhatikan strategi yang telah peneliti rekomendasikan. REFERENSI Demirgüç-Kunt, Aslι and Harry Huizinga, 1999. Determinants of commercial bank interest margins and profitability: some international evidence.World Bank Economic Review, Vol. 13. No 2, 379-408 Fathony Moch. 2012. Estimasi dan Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensibank Domestik dan Asing Di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan Vol.16, No 2 Mei 2012 hlm 223-237 Fikri Muhammad. 2012. Realita Sektor PErbankan Nasional Ditengah Ekspansi Kasmir, 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : Raja Grafindo Outlook Ekonomi Indonesia .2008 - 2012, Edisi Januari 2008. Roadmap for an ASEAN Community. 2009 -2015 Sarwedi.1767. Investasi Langsung di Indonesia Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Fakultas Ekonomi: Universitas Jember Susilo, Y.Sri, Sigit Triandaru, dan A. Totok Budi Santoso, 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cetakan Pertama, Penerbit-Salemba Empat, Jakarta. www.bi.go.id [ 95 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BIAYA MARKET POWER PERBANKAN ASING DI INDONESIA: COST INEFFICIENCY AND WELFARE LOSS Mela Yunita dan Hudi Darmawan
Prolog Globalisasi yang terjadi pada saat ini membuka kesempatan seluas mungkin pada mobilitas modal, barang, jasa, ataupun perusahaan-perusahaan untuk bergerak antar negara. Kerjasama regional yang dijadwalkan akan semakin massive dilakukan pada tahun 2015 di kawasan ASEAN sebagai akibat dari diberlakukanya ASEAN Economic Comunity (AEC) 2015. Kerjasama regional ini juga diikuti dengan berdirinya perusahan Asing di Indonesia. Konsekuensinya Indonesia kini mendapat serangan dari perbankan asing yang berbondong-bondong datang ke Indonesia. Laporan Data Finance Database (2012) menunjukan bahwa Singapura dan Indonesia adalah dua negara dengan proporsi jumlah bank asing tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainya. Indonesia mencapai 55% dan singapura 52%, sedangkan Filipina dan Thailand hanya dikuasai oleh sekitar 13 persen dan 19% bank asing. Besarnya porsi bank asing di Indonesia lebih dari setengah dari total perbankan nasional, bukan tanpa resiko, [ 96 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
peningkatkan peluang penularan krisis (contagion effect) dari negara asal bank asing akan semakin tinggi. Masalah lain adalah suku bunga kredit yang sulit turun akibat dari penguasaan asing di sektor keuangan yang membuat kebijakan dan industri keuangan sulit mendorong suku bunga kredit turun (HIMPI, 2013). Regulasi yang berlaku di Indonesia memang memberikankelonggaran dalam mengatur kepemilikan asing di indonesia. PBI No. 14/08/2012 membatasi kepemilikan asing pada bank di Indonesia 40 persen, sebelumnya diijinkan sampai pada 99 persen. Akibatnya sebelum regulasi tersebut diterapkan bank asing bebas menguasai market share di Indonesia, termasuk izin pembukaan cabang sampai ke desa. Pada tahun 2015, AEC akan mendorong terciptanya perekonomian yang semakin terintegrasi bahkan sampai pada sektor perbankan dimana mendorong financial integration semakin massive terjadi. Bila integrasi perekonomian membawa kebebasan bagi bank-bank asing untuk masuk Indonesia, maka jumlah perbankan asing di Indonesia akan meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, maka setidaknya hipotesis yang dapat diajukan bahwa market power pada bank-bank asing tersebut akan meningkat. Ketika bank asing menguasai market share perbankan di Indonesia, akan memberikan dampak bagi pasar keuangan dan kesejahteraan nasabah. Hal ini dibuktikan dari tingginya suku bunga yang sulit turun sebagai akibat dari penguasaan bank-bank asing tersebut. Beberapa teori dan penelitian banyak mengkaji mengenai dampak dari [ 97 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kekuatan pasar. Kerugian atau social cost diukur dengan menggunakan welfare triangle yaitu mengukur selisih antara hilangnya surplus konsumen terhadap keuntungan dari surplus produsen (Jarrah dan Hisham, 2009). Sejalan dengan hal tersebut, Berger dan Hannan (1998) menemukan bahwa adanya pengurangan kompetisi pada pasar perbankan di United States akan menghasilkan pengurangan pada efisiensi biaya operasi yang ada. Adanya penurunan kompetisi mengakibatkan terjadinya inefisiensi biaya dinyatakan oleh Hiks, menyebutkan bahwa market power yang tinggi pada perusahaan akan mengakibatkan berkurangnya usaha manajer untuk memaksimalkan efisiensi operasionalnya. Quiet life hypotesis adalah bentuk kekuasaan monopoli dimana manajer bebas untuk menetapkan harga diatas biaya marginal dan mengurangi usaha untuk memaksimalkan efisiensi biaya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, banyak rekomendasi untuk melakukan uraian terhadap market power khususya di sektor perbankan, salah satunya oleh Maudos dan Guevara (2007), yang menyatakan bahwa market power diterjemahkan sebagai peningkatan biaya intermediasi keuangan, serta volume yang lebih rendah dari tabungan dan investasi, sehingga akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Carlsson (1972) serta Caves dan Barton (1990) menemukan bahwa inefisiensi biaya di masing-masing bank berbeda, tergantung pada produk differensi, teknologi, geografis, dan lain-lain. Kemudian penelitian [ 98 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yang dilakukan oleh Williamson (1963) dan Leibsein (1966) menemukan bahwa adanya perbedaan biaya yang sangat besar sebagai akibat dari adanya inefisiensi. Sedangkan pada Scherer (1970) berspekulasi bahwa biaya inefisiensi sebagai akibat dari adanya market power sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan oleh mispricing yang diukur melalui welfare triangle. Di Indonesia, perbankan memiliki peran penting dalam perekonomian terutama dalam sistem pembayaran moneter. Adanya perbankan menyebabkan aktivitas ekonomi dapat diselenggarakan dengan biaya yang rendah (Guitan dan George, 1997). Pada perkembanganya, sektor perbankan memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomian di Indonesia. Perbankan berfungsi untuk memobilisasi dana dari masyarakat melalui lembaga keuangan yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit untuk menggerakan perekonomian. Sejak dilaksanakanya deregulasi perbankan di Indonesia tahun 1983 mengakibatkan peningkatan persaingan. Deregulasi perbankan Indonesia telah menciptakan adanya liberalisasi bank di Indonesia, ditandai dengan peningkatan jumlah perbankan dari 111 menjadi 240 bank pada tahun berikutnya. Peningkatan jumlah perbankan tersebut mengakibatkan tingkat persaingan menjadi lebih tinggi dan mengurangi konsentrasi pasar pada beberapa bank besar yang sebelumnya menguasai pasar (Nayla, 2010). Classen dan Leaven (2004), mengestimasikan tingkat [ 99 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kompetisi pada 50 negara di dunia termasuk Indonesia dengan menggunakan Panzar-Rosse selama periode 19942001, hasilnya diketahui bahwa struktur industri perbankan di Indonesia termasuk dalam kategori monopolistic competition. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh Styowati (2004) menyatakan bahwa situasi perbankan Indonesia secara keseluruhan adalah monopolistic competition. Namun Lubis (2012) menyatakan bahwa perbankan di Indonesia relatif masih belum kompetitif. Dinamika Perkembangan Market Power pada Teori QLH Kondisi perbankan di Indonesia mulai menunjukan adanya persaingan sejak awal tahun 1983 setelah deregulasi perbankan resmi diberlakukan. Liberalisasi sektor perbankan tersebut bertujuan untuk menciptakan terjadinya banking soundness. Paket deregulasi 1983 menghapuskan adanya kontrol langsung disektor moneter sehingga mendorong peningkatan mobilitas dana dan efisiensi alokasi sumber daya perbankan. Paket deregulasi tersebut semakin dikokohkan eksistensinya dengan dikeluarkanya paket deregulasi 1988 dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor cabang, pendirian bank baru, dan penurunan reserve requirement. Dengan adanya kemudahan dalam hal izin mendirikan bank, banyak orang yang berbondong-bondong mendirikan bank di Indonesia. Hal ini tentunya telah merubah struktur pasar industri perbankan di Indonesia (Sunarsip, 2003). Setelah diberlakukanya pakto 1988 jumlah bank [ 100 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tumbuh dengan pesat namun mengalami penurunan setalah periode krisi ekonomi tahun 1997-1998. Jumlah perbankan indonesia pada tahun 1998 mencapai 208 dengan kantor cabang berjumlah ribuan, sedangkan pada tahun 2006 mengalami penurunan jumlah bank menjadi 130 bank namun sebaliknya terjadi peningkatan kantor cabang sebanyak 9110. Adanya penurunan jumlah bank diakibatkan oleh adanya pencabutan ijin usaha dan merger bank (Kusumastuti, 2008). Sedangkan komposisi bank tersebut terdiri dari 5 bank persero, 26 bank pembangunan daerah, 35 bank umum swasta nasional devisa, 36 bank umum swasta non-devisa, 17 bank campuran, dan 11 bank asing (Bank Indonesia, 2006). Kemudian dalam rangka meningkatkan kinerja industri perbankan di Indonesia yang lebih baik, sehat dan stabil maka diterapkan adanya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Penerapan API notabene menyebabkan terjadinya gelombang merger pada beberapa industri perbankan di Indonesia. Merger yang terjadi antar bank akan menimbulkan terjadinya industri yang semakin terkonsentrasi yang ditandai dengan semakin sedikitnya jumlah bank yang ada di dalam pasar. Rendahnya persaingan antar bank yang disebabkan oleh pasar yang terkonsentrasi semakin meningkatkan resiko kerugian sebagai akibat dari kemungkinan kolusi yang semakin besar akibat pasar dengan konsentrasi yang tinggi (Kusumastuti, 2008). Sutardjo dkk (2011) melakukan investigasi terhadap struktur pasar dan menguraian beberapa variabel yang [ 101 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat mempengaruhi pendapatan perbankan Indonesia dengan menggunakan Herfindal Indeks dan Consentration Ratio 4 yang dilakukan sejak tahun 1999-2009 menunjukan bahwa terjadi penurunan konsentrasi pasar perbankan yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa struktur pasar perbankan Indonesia memiliki ciri-ciri persaingan pasar yang mengarah pada pasar monopolistik dan persaingan yang terjadi adalah persaingan bebasis suku bunga. Kemudian dalam penelitian ini juga menemukan bahwa struktur pasar perbankan di Indonesia tidak menunjukan perubahan sejak periode pengamatan. World Bank menyatakan hasil yang berbeda, bahwa market power yang ada di Indonesia menggunakan pendekatan perhitungan indeks lerner meunjukan adanya peningkatan market power pada perbankan Indonesia setiap tahunnya.
Gambar 12. Indeks Lerner Perbankan Indonesia (Sumber, Economic Research, 2013) [ 102 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Lihat gambar 12. menunjukan bahwa indeks lerner yang mengukur tingkat market power di perbankan Indonesia secara umum menunjukan nilai yang relatif semakin meningkat setiap tahunya. Kenyataan ini menunjukan bahwa angka penguasaan pasar pada sebagian bank-bank di Indonesia menunjukan adanya peningkatan dari tahun ketahun, akibatnya terjadi pengurangan tingkat persaingan di dalam persaingan yang juga berarti bahwa pasar ada industri perbankan Indoneia semakin terkonsentrasi. Al-Jarrah (2009) menemukan bukti bahwa adanya pengurangan kompetisi pasar di industri perbankan US menghasilkan pengurangan pada efisiensi biaya operasi yang disediakan. Adanya penurunan kompetisi yang dinyatakan oleh Hiks mengakibatkan berkurangnya usaha manajer untuk memaksimalkan efisiensi biaya operasionalnya. Quiet life hypothesis adalah bentuk kekuasaan monopoli memungkinkan manajer untuk menetapkan harga diatas biaya marginal dan mengurangi usaha untuk memaksimalkan efisiensi operasional. Empat alasan market power berpengaruh terhadap efisiensi biaya antara lain (Berger 1998): 1) Jika konsentrasi pasar tinggi, maka perusahaan akan menetapkan harga diatas harga kompetitif. 2) Market power yang dimiki suatu perusahaan akan meningkatkan untuk manajer mengejar tujuan lain selain keuntungan. Seperti perluasan karyawan dan tindakan lain diluar tingkah laku yang dapat memaksimalkan keuntungan. 3) Manajer menggunakan sumber daya untuk memperoleh [ 103 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dan mepertahankan market power. 4) Adanya bantalan dari harga antara selisih harga yang ditentukan dengan harga kompetitif tadi akan membuat manajer lalai untuk memaksimalkan efisiensi biaya yang dilakukan. Kenyataanya penguasaan bank asing terhadap bank swasta di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir menunjukan peningkatan tajam dan semakin mendominasi pasar. Pangsa aset bank nasional yang dimiliki pemodal swasta lokal menurun dari 42% pada tahun 1998 tinggal 19% ditahun 2011. Sebaliknya pangsa aset bank swasta milik asing melonjak tajam dari 0 % menjadi 21-34% pada 2011. Pengucuran Kredit Indonesia
Aset Perbankan Indonesia 39% 34% 8% 19%
38%
37%
17% 8%
Asing
Pemda
Swasta
Pemerintah
Asing
Pemda
Swasta
Pemerintah
Gambar 13. Aset Perbankan dan Pengucuran Kredit di Indonesia (Sumber: Bank Indonesia, 2011)
Data Bank Indonesia (2011) menunjukan bahwa rasio Biaya operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perbankan di Indonesia tercatat sekitar 80% tertinggi di ASEAN dibandingkan dengannegara ASEAN yang lain [ 104 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
seperti Filipina 74%, Thailand 54%, Singapura 42%, dan Malaysia 40%. Dari data tersebut diketahui bahwa perbankan di Indonesia mengalami inefisiensi terparah di antara negara-negara ASEAN yang lain. Selain itu perbankan asing di Indonesia juga mepunyai efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan bank asing. Hal ini ditunjukan oleh rasio BOPO bank domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank asing. Perbandinganya adalah 85,4% dengan 83% artinya bank domestik mengalami inefisiensi yang lebih besar. Persaingan dari satu sisi memberikan keuntungan bagi konsumen, namun bagaimana bila persaingan tersebut kemudian dimenangkan oleh bank asing dibandingkan dengan bank domestik? Bank asing yang memenangkan persaingan berarti memiliki market power yang besar. Akibatnya pasar akan terkonsentrasi pada bank-bank asing, marginya-pun akan dikuasai oleh bank asing tersebut. Disisi lain market power mempunyai beberapa biaya yang ditimbulkanya, dari segi internal market powerakan menimbulkan adanya inefisiensi biaya yang harus ditanggung oleh bank tersebut, hal ini akan mempengaruhi keberlangsungan dan efisiensi dari bank itu sendiri. Disisi lain adanya market power menimbulkan adanya welfare loss yang di tanggung oleh konsumen sebagai akibat dari harga (tingkat bunga) yang ditetapkan diatas harga di pasar persaingan.
[ 105 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog Pembahasan mengenai hubungan diantara market power dan inefisiensi biaya yang dihadapi oleh perbankan Indonesia melalui kajian teoritis maupun studi kasus (perbandingan) memberikan hasil bahwa: Adanya kepemilikan market power yang semakin besar mengakibatkan terjadinya inefisiensi biaya yang dihasilkan oleh perbankan tersebut. Kesimpulan tersebut mendukung adanya Quiet Life Hypotesis. Namun beberapa kasus menunjukan hasil yang berbeda. Kasus perbankan di Eropa (Maaudos dan Guevera, 2007) menunjukan penolakan terhadap hipotesis tersebut. Kondisi ini senada dengan penelitian Al-Jarrah (2009) yang menolak adanya hipotesis tersebut pada perbankan di Jordhan tahun 20012005. Keadaan perbankan asing di Indonesia, seperti pada pembahasan sebelumnya memaparkan bahwa bank asing mempunyai porsi yang tinggi dalam perbankan Indonesia, mencapai 55 persen. Selain itu fakta yang menunjukan bahwa total kepemilikan aset pada bank-bank asing tersebut besar, sehingga hal ini memberikan warning adanya kepemilikan market power yang besar pula pada bank-bank asing tersebut. Namun kesimpulan tersebut tidak langsung memberikan bukti bahwa telah terjadi inefisiensi biaya akibat market power. Hal tersebut masih sangat tergantung pada pemilihan periode pengamatan dan alat uraian yang digunakan. Market power menghasilkan dua macam biaya yaitu biaya inefisiensi dan welfare loss. Beberapa penelitian [ 106 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
meunjukanbahwa besarnya biaya inefisiensi lebih besar dibandingkan dengan biaya welfare loss. oleh karena itu, kemungkinan hal ini juga akan terjadi padaa kasus pengamatan pada perbankan asing di Indonesia. Alasanya inefisiensi biaya berlaku pada setiap unit output yang dihasilkan, sedangkan welfare loss hanya berlaku pada setiap unit yang terkena kenaika harga yang diterima oleh konsumen akibat dari kewenangan bank dalam menentukan harga diatas harga kompetitif akibat dari market power yang dimilikinya. REFERENSI AL-Jarrah Idries dan Gharalbah. (2009). The efficiency cost of market power in banking: a test of the “quiet life” and related hypotheses in the Jordan’s banking industry. Investment Management and Financial Innovations, Volume 6, Issue 2, 2009. Al-Muharrami, S. & Matthews, K. (2009). Market power versus efficient structure in Arab GCC banking Applied Financial Economics, Vol. 19, No. 18, pp. 1487 – 1496. Athoillah, Moh. 2010. Struktur Pasar Industri Perbankan Indonesia: Rosse-Panzar Test. Journal of Indonesia Applied Economics Volume. 4, No. 1 Mei 2010, 1-10. Beccalli, E. Casu, B. And Girardone, C. 2006. Efficiency and Stock Performance in European Banking. Journal of Business, Finance, and Accounting Vol. 33, No. 1-2, pp. 245-262. Berger, A., T. Hannan (1998). The Efficiency Cost of Market Power in the Banking Industry: A Test of the “Quiet Life” and Related Hypotheses”. Review of Economics and Statistics 27(2), 404-43. [ 107 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Bhatti Ghulam ali. (2010). Evidance on Structure Conduct Performance Hypotesis in Pakistan Commercial Banks. International Journal of Business and Management, Vol. 5 No. 9; September 2010. Chortareas, G.E., Garza-Garcia, J.G. & C. Girardone, C. (2009). Banking Sector Performance in Latin America: Market Power versus Efficiency, Centre for Global Finance, Working Paper Series No. 01/09. Ferreira Candida. (2012). Bank Market Concentration and Effiency in The European Union; A Panel Granger Causality Approach. Working Papers ASSN No. 08744548. Ferrier, G dan Lovell, C.A.K. 1990. Measuring Cost Efficiency in Banking: Econometric and Linear Programing. Evidence. Journal of Econometrics, No.46, pp.229-245. G.E. Chortareas; J.G. Garza-Garcia; C. Girardone. Banking Sector Performance in Latin America: Market Power Centre for Global Finance Working Paper Series (ISSN 2041/1596). Kusumastuti, Sri Yani. 2008. Derajat Persaingan Industri Perbankan indonesia: Setelah Krisis Ekonomi. Jurnal Ekonomi dan bisnis Volume 23, No.1, Januari 2008. Manthos D Delis and Efthymios Tsionas. 2009. The joint estimation of bank-level market power and efficiency. MPRA Paper No. 14040, posted 13. March 2009 06:16 UTC, Online at http://mpra.ub.unimuenchen.de/14040/ Martin Stephen. 1993. Industrial Economics (Economic Analysis and Public Policy, Second Edition). New York: Macmillan PublishingCompany Maudos, J. and J. Guevara (2007). The Cost of Market Power in Banking: Social Welfare loss vs. Cost Efficiency. Journal of Banking & Finance, 31 [ 108 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Mensi Sami. (2010). Efficiency Structure Versus Market Power: Theory and Empirical Evidance. International Journal of Economics And Financial, Vol. No.4; November 2010 Naylah Maal. (2010). Pengaruh Struktur Pasar Terhadap kinerja Industri Perbankan Indonesia. Tesis, Universitas Diponegoro Semarang Sutardjo dkk. 2011. Struktur Pasar Perbankan Indonesia dalam Periode konsolidasi. Jurnal manajemen dan Agribisnis, Volume 8, No. 2 oktober 2011
[ 109 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BAURAN KEBIJAKAN MONETER DAN MAKROPRUDENSIAL DI INDONESIA Achmad Fawaid Hasan dan Pamungkas Candrono
Prolog Bank Indonesia sebagai salah satu otoritas moneter, saat terjadinya krisis ekonomi dan keuangan tahun 2008 merupakan kejadian penting yang dapat digunakan refleksi, pengalaman dalam pengambilan kebijakan dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang dilakukan selama ini (Agung, 2010). Sedangkan menurut Taylor (2014) terjadinya krisis 2008 dapat digunakan sebagai pembelajaran antara sistem keuangan dan siklus bisnis riil. Hal itu sejalan atas apa yang ditanyakan oleh Maddaloni (2013), bahwa adanya krisis tahun 2008 memunculkan pertanyaan bagaimanakah kebijakan moneter tersebut mempengaruhi stabilitas perbankan. Pelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka kebijakan moneter yang selama ini kita pahami dan kita gunakan. Pelajaran yang paling berharga dari krisis ekonomi global bagi otoritas moneter adalah bahwa upaya menjaga stabilitas perekonomian makro tidak cukup dengan menjaga stabilitas harga. Pelajaran ini muncul karena fakta menunjukkan bahwa ketidakstabilan [ 110 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
makroekonomi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir semakin banyak bersumber dari sektor keuangan. Menurut Quint (2011) mengatakan terjadinya krisis tahun 2008 bersumber dari tidak tepatnya kombinasi kebijakan moneter yang menyebabkan pertumbuhan kredit yang tinggi pada sektor perumahan yang selanjutnya menyebabkan prosiklikalitas sektor keuangan. Krisis global yang baru kita lewati, krisis yang bermula di sektor keuangan terjadi ketika dunia berhasil mencapai prestasi terbaiknya dalam menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Banyak yang mengklaim bahwa bahwa era great moderation ini sebagai buah dari semakin kuatnya kerangka kebijakan moneter di negara maju dan berkembang, ditandai dengan tren digunakannya Inflation Targeting Framework dan didukung bank sentral yang independen. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan (Bank Indonesia, 2005). Namun, stabilitas harga ternyata tidak menjamin stabilitas keuangan dan makro-ekonomi (Lima, 2012). Faktanya, justru seringkali mendorong risiko terjadinya pertumbuhan kredit yang berlebihan dan terciptanya gelembung harga aset yang didorong oleh perilaku search for yield yang berlebihan (Agung, 2010). Sebuah kondisi yang sering disebut sebagai suku bunga rendah yang berlangsung lama telah menciptakan moral hazard [ 111 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari pelaku pasar terhadap risiko makroekonomi dan merasa risiko dari sisi makroekonomi ini sudah dijamin oleh bank sentral yang kredibel, sehingga cenderung mengejar aset-aset yang lebih berisiko dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Di Indonesia, dalam satu dekade terakhir ini, tekanan terhadap stabilitas makroekonomi juga semakin sering bersumber dari sektor keuangan. Krisis Asia yang menghantam Indonesia juga bermula di sektor perbankan dan sektor korporasi yang over-leverage dipicu oleh optimisme yang berlebihan dan moral hazard yang timbul dari akhir tahun 2008 juga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di sektor keuangan, daripada karena ketidakseimbangan internal dan eksternal di perekonomian makro kita. Inflasi ketika itu berada dalam tren menurun, neraca berjalan juga berada dalam kondisi surplus. Namun, arus modal masuk yang sebelumnya cukup tinggi mengering secara tiba-tiba. Risiko antar bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan kredit turun secara drastis dari 38% di akhir triwulan III-2008 menjadi 10% di akhir tahun 2009 (Bank Indonesia, 2007). Fenomena krisis tahun 2008 yang disebabkan oleh sektor keuangan memberikan implikasi bahwa perlunya mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam kebijakan moneter. Bauran kebijakan tersebut akan membawa implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kerangka kebijakan moneter dan secara otomatis hal ini akan berdampak pada [ 112 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
bentuk kebijakan moneter dalam menstabilkan harga. Sebagaimana yang yang telah dipaparkan oleh Lima (2012) bahwa interaksi kebijakan macroprudential dan moneter di perlukan dalam menjaga kestabilan makro ekonomi. Menurut Claessens (2013) mencatat bahwa kebijakan moneter tidak dapat berdiri untuk kestabilan keuangan karena ketidakstbilan keuangan selalu tidak dapat dihubungkan dengan tingkat suku bunga dan tingkat liquiditas, selanjutnya dalam tulisan Jansson (2014) menjelaskan instrumen yang digunakan dalam macroprudential dalam prespektif Inflation Targeting Framework yaitu salah satunya melalui capital buffer. Isu yang menarik dari paper ini yaitu bagaimana memasukan kebijakan makroprudential kedalam kerangka kebijakan moneter yang fleksibel dengan tujuan akhir kestabilan makroekonomi. Berdasarkan isu tersebut, maka dapat didekomposisikan menjadi beberapa uraian pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana dampak kebijakan makroprudential terhadap kerangka kebijakan moneter dan Bagaimana integrasi kebijakan makroprudential dan moneter dalam mempengaruhi stabilitas sistem keuangan dan harga. Prosiklikalitas Sistem Keuangan di Indonesia Prosiklikalitas sistem keuangan yang berlebihan menciptakan ketidakstabilan makroekonomi. Berulangnya episode krisis dan peran sektor keuangan dalam memperburuk krisis yang terjadi mengharuskan Bank Indonesia untuk secara serius memikirkan [ 113 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kebijakan untuk memitigasi prosiklikalitas dari sistem keuangan di Indonesia. Di banyak negara emerging, seperti Indonesia, mengelola prosiklikalitas dari sistem keuangan pada dasarnya adalah mengelola prosiklikalitas sektor perbankan karena perekonomian masih sangat tergantung pada perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi. Sebagai contoh, selama periode ekspansi, PDB tumbuh di atas 6%, pertumbuhan kredit tumbuh ratarata 25,8%. Namun, begitu pertumbuhan ekonomi dalam fase kontraksi, ketika PDB tumbuh 3-4%, kredit hanya tumbuh secara rata-rata 14,3%. Pada kondisi ekstrim ketika pertumbuhan PDB di bawah 3%, kredit secara rata rata tumbuh -12,3%. Perilaku perbankan yang tercermin dari sikap kehatihatian bank dan kekhawatiran terjadinya peningkatan kredit bermasalah mendorong bank untuk menempatkan dananya pada aset dengan resiko rendah seperti, SBI, SUN dan FASBI. Hal itu terlihat dari meningkatnya porsi surat-surat berharga terhadap aktiva produktif, sebaliknya porsi kredit mengalami penurunan. Menurunnya keyakinan bank dan sikap risk averse juga mendorong bank meningkatkan spread suku bunga kredit. Masih tingginya yield dari aset tanpa risiko (riskfree assets), seperti SUN juga menyebabkan dalam periode downswing ketika risiko meningkat, riskadjusted return kredit menjadi kurang menarik jika dibandingkan dengan SUN. Hal ini menyebabkan bank cenderung menggeser portfolio kreditnya ke aset berisiko [ 114 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
rendah. Insentif untuk melakukan pergeseran portfolio ke aset yang berisiko rendah ini semakin didorong oleh risk dan return antara pilihan portfolio kredit dan surat-surat berharga. Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi, karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan moneter dapat secara efektif menjaga stabilitas makroekonomi. Menurut Rubio (2013) dan Claessens (2013) memaparkan bahwa kebijakan makroprudensial dalam kerangka ITF digunakan sebagai alat untuk mengitimidasi dampak dari boom dan bust perekonomian ketika terjadinya kenaikan dan penurunan kredit Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan Ozkan dan D. Filiz unsal (2013) menyatakan bahwa krisis di tahun 2008 dan 2009 disebabkan oleh terjadinya kenanikan kredit di sektor properti. Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini muncul kembali setelah krisis global karena adanya argumen bahwa krisis global yang terjadi sebagaian disebabkan oleh kebijakan moneter [ 115 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yang melakukan pembiaran terjadinya akumulasi imbalances dan kenaikan harga aset yang berlebihan menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi fundamentalnya (Kannan, 2009). Dalam perdebatan ini, ada dua pendangan mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus pada inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung informasi mengenai kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan harga aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen. Pertama, tidak mudah membedakan antara kenaikan harga aset yang disebabkan oleh spekulasi dengan yang disebabkan oleh optimisme yang masih rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul untuk menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi kebijakan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Bagi bank sentral, boom dan bust dari harga aset tidak hanya dapat dilihat sebagai bubble dari harga aset itu sendiri, namun harus dilihat dalam konteks yang lebih fundamental sebagai gejala-gejala meningkatnya leverage dan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi. Dalam periode ekspansi, optimisme terhadap imbal hasil kedepan mendorong kenaikan harga aset, memicu para pelaku untuk meminjam lebih banyak dalam rangka membiayai akumulasi kapital. Kenaikan harga aset tersebut mendorong kenaikan kolateral sehingga semakin mendorong akumulasi kapital. [ 116 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Upswing
Bauran kebijakan makroprudential dan moneter
Siklus yang diharapkan Donwswing Gambar 14. Kebijakan Moneter dan Makroprudensial dalam Meredam Prosiklikalitas
Bauran kebijakan makroprudential dan moneter pada gambar 1 memberikan pemahaman tentang bagaimana kedua kebijakan tersebut dapat meredam proxycycle dari pertumbuhan kredit. Ketika perekonomian tumbuh maka kebijakan makroprudential dan kebijkan moneter akan mengerem pertumbuhan kredit yang terlalu berlebihan dengan tujuan agar tidak terjadi prosiclycal yang berlebiahan terhadap pertumbuhan kredit, sehingga pada saat terjadi krisis, perbankan masih mempunyai cadangan untuk memberikan kredit. Integrasi Kebijakan Makroprudential dan Moneter untuk Stabilitas Sistem Keuangan dan Harga Kerangka kebijakan moneter sebelum krisis global ditandai oleh tren penerapan Inflation Targeting [ 117 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Framework (ITF) sebagai best practice kebijakan moneter yang banyak diterapkan, baik oleh negara maju maupun negara emerging. 19 Praktek ini dilakukan sejalan dengan independensi bank sentral dengan mandat yang berfokus pada menjaga stabiltas harga. Di Indonesia, kerangka ITF telah diterapkan sejak tahun 2005. Secara operasional, Flexible ITF menggunakan Taylor-type rule sebagai benchmark rule, dimana suku bunga kebijakan merespon inflation gap selisih antara proyeksi inflasi dan target inflasi, dan output gap selisih antara proyeksi output dan output potensial. Inflasi dan output gap adalah variabel target, yaitu variabel yang masuk di dalam fungsi loss function bank sentral. Kerangka Flexible ITF dalam Kebijakan Moneter Implikasi penting dari paradigma baru terhadap kerangka kerja operasional ITF adalah perlu disain ITF yang fleksibel. Kenaikan suku bunga BI rate di bulan Oktober 2008 sebagai respon kenaikan ekspektasi inflasi terkait dengan kenaikan harga komoditas di tengah krisis keuangan global yang berpotensi berdampak pada sistem keuangan Indonesia adalah kasus yang menarik perlunya horizon yang lebih panjang terutama ketika sistem keuangan dalam risiko. Permasalahan horison yang berbeda antara tujuan stabilitas harga dan finansial dapat diatasi dengan dua cara. Pertama, memperpanjang horison pencapaian target inflasi untuk memberikan fleksibilitas pada kebijakan moneter untuk melakukan respon. Kedua, harga aset, khususnya harga [ 118 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
rumah, dimasukkan kedalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) sehingga menginternalisir kenaikan harga aset. Flexible ITF adalah salah satu strategi dalam menjembatani perbedaaan horison waktu untuk pencapaian stabilitas harga dan sistem keuangan. Penerapan Flexible ITF pada intinya dilakukan dengan menggunakan dua pilar, yaitu pilar kebijakan moneter dan pilar kebijakan makroprudensial. Kebijakan moneter merupakan instrumen utama dalam mempengaruhi suku bunga dan nilai tukar, sedangkan kebijakan makroprudensial digunakan untuk mendukung kebijakan moneter melalui perannya secara langsung mempengaruhi neraca bank dan perusahaan dengan menggunakan instrumen makroprudensial, seperti surcharge CAR dan dynamic provision. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga inflasi yang rendah dan stabil serta mengurangi fluktuasi output. Sementara, tujuan akhir kebijakan makroprudensial adalah memitigasi prosiklikalitas yang berlebihan sehingga juga akan menekan fluktuasi output yang berlebihan. Dengan kerangka ini diharapkan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan dapat dicapai (Gambar. 15).
[ 119 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Nilai tukar
Intervensi FX
Permintaan agregat
Kebijakan moneter BI rate
Suku Bunga
Inflasi Stabilitas makroekonomi
Kredit Mitigasi prosiklikalitas
Perilaku resiko Kebijakan makroprudential
Harga Aset
Regulasi makroprudential : Countercyclical CAR Dynamic Provision [ 120 ]
Neraca bank, perusahaan, dan rumah tangga
Gambar 5. Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter tidak dapat berdiri sendiri, perlu adanya dukungan dari kebijakan makroprudensial. Mengingat bahwa krisis yang terjadi di tahun 1997 dan 2008 menjadi pembelajaran bagi para pembuat kebijakan. Krisis yang menghantam kestabilan keuangan membuat kebijakan moneter tidak bisa berbuat banyak. Sehingga perlu adanya suatu redaman dari sektor keungan untuk mendukung keseimbangan ekonomi makro secara keseluruhan. Memasukkan kebijakan makroprudensial kedalam kerangka kebijakan moneter memberikan gambaran baru terhadap kerangka framework bekerjanya kebijakan moneter. Terkait dengan hal tersebut horizon pencapaian inflasi dalam flexible ITF perlu lebih diperpanjang memberikan ruang bagi kebijakan moneter untuk merespon berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan, terutama apabila ketidakseimbangan tersebut dapat menyebabkan risiko sistemik yang menggangu perekonomian dan outlook inflasi. Namun, instrumen kebijakan moneter tidak perlu secara eksplisit diarahkan untuk merespon kenaikan asset bubble, terutama yang bukan bersumber dari kredit perbankan. Hal ini mengingat bahwa aset bubble biasanya ditandai oleh kenaikan imbal hasil yang berlebihan sehingga sulit dikendalikan hanya dengan kenaikan suku bunga kebijakan secara marjinal. Kenaikan suku bunga yang berlebihan yang bekerja across the board akan berdampak pada aset yang tidak mengalami bubble. [ 121 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Oleh sebab itu, kenaikan asset bubble dapat diserahkan pada instrumen makroprudensial. REFERENSI Agung, Juda. 2010. “Mengintegrasikan kebijakan moneter dan makroprudensial: menuju paradigma baru kebijakan moneter di indonesia pasca krisis global.” Working paper.WP/07/2010. Bank Indonesia Ayomi, S dkk. 2013. “Mengukur risiko sistemik dan keterkaitan finansial perbankan di indonesia.” Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, Oktober 2013. Bank Indonesia . 2014. “Kajian stabilitas sistem keuangan” . Bank Indonesia Bank Indonesia.2014.“Kebijakan makroprudensial dan stabilitas sistem keuangan “. Bank Indonesia. Bank Indonesia. 2014. “Kebijakan makroprudensial dan stabilitas sistem keuangan.”. Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. Bank Indonesia. 2005. “Kebijakan Moneter Dalam Kerangka Inflation Targeting”. Dkm Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Bank Indonesia. 2007. “Laporan perekonomian indonesai”. Bank Indonesia Bank Indonesia. 2013. “Kebijakan makroprudential”. Bank Indonesia Bank Indonesia. 2014. “Kajian stabilitas sistem keuangan”. Bank Indonesia. Borio C. 2007. “Monetary and prudential policies at a crossroads? New Challenges in the new century.” Moneda y Credito, 224, pp 63-101. Also available as BIS Working Papers, no 216, September 2006.
[ 122 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Claessens, Stijn. 2013. “Interaction Between Monetary and Macroprudential Policies In An Interconnected Word”. International Monetary Fund. Ellis, Luci: 2012. “Macroprudential policy: what have we learned ?”. Reserve Bank of Australia. Frait, Jan and Zlatuse Komarkova. 2011. “Financial Stability, Systemic Risk and Macroprudential Policy”. Czeech National Bank. Jansson, Magnus and Kevin Moran. 2014. “The Linkage Between Monetary and Macroprudential Policies”. University Laval. Lima, Diana dkk. 2012. “Optimal Macroprudential and Monetary Policy”. University of Surrey. Maddaloni, Banangela and Jose Luis Pedro. 2013. “Monetray Policy, Macroprudential Policy and Banking Stability : Evidence From The Euro Area”. Barcelona: european central bank. Ozkan and D. Filiz Unsal. 2013. “On the use of monetary and macroprudential policies for financial stability in emerging market”. York: University Of York. Quint, Dominic and Pau Rabanal.2011. “Monetary and Macroprudential Policy In An Estimated Dsge Model Of The Euro Area”. Wangsington DC: IMF. Rubio, Margarita and Jose A Carrasco. 2013. “Macroprudential and Monetary Policies : Implications for Financial Stability and Welfare”. University of Nottingham. Taylor, William and Roy Zilberman. 2014. “Macroprudential Regulation and The Rule Of Monetary Policy”. Paper MPRA no 54885: Lancester University. Walsh Carl E. 2010. “Monetary Theory and Policy.” United States of America. [ 123 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAMPAK KEBIJAKAN PELONGGARAN KUANTITATIF AMERIKA SERIKAT TERHADAP STABILITAS PEREKONOMIAN INDONESIA Dina Dwi Septiani dan Ika Nurjannah
Prolog Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral selaku otoritas moneter dalam bentuk pengendalian tingkat suku bunga dan besaran moneter untuk menjaga stabilitas harga dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjaga stabilitas harga merupakan tujuan utama setiap bank sentral di dunia. Akan tetapi setelah terjadi resesi global terburuk tahun 1930-an dan berbagai krisis keuangan global beberapa dekade terakhir memunculkan sejumlah tantangan baru bagi kebijakan moneter dan bank sentral, dimana salah satunya adalah kemampuan kebijakan moneter konvensional dalam merangsang ekonomi selama proses pemulihan pasca krisis mulai dipertanyakan. Terlebih dewasa ini selain menargetkan inflasi, bank-bank sentral dunia memiliki fokus yang lebih besar terhadap stabilitas keuangan. Dalam kondisi normal, bank sentral dapat melakukan kebijakan moneter konvensional dengan mempengaruhi tingkat suku bunga atau jumlah uang beredar dalam [ 124 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perekonomian. Namun pada kondisi tidak normal, kebijakan moneter konvensional dianggap tidak mampu mencapai tujuan bank sentral, dikarenakan guncangan ekonomi yang begitu kuat sehingga menyebabkan bank sentral harus menurunkan suku bunga acuan hingga nol persen. Pada tingkat itu, kebijakan penurunan suku bunga tidak mungkin mampu lebih rendah lagi, karena menurut Miyagawa dan Morita (2013) hal tersebut diakibatkan munculnya perangkap likuiditas dimana uang dan obligasi menjadi pengganti sempuna, sehingga setiap tindakan stimulus moneter tambahan hanya dapat dilakukan dengan beralih menggunakan kebijakan moneter nonkonvensional. Secara umum, Internasional Monetary Fund (2013) mendefinisikan langkah-langkah non-konvensional sebagai kebijakan-kebijakan yang secara langsung menargetkan biaya dan ketersediaan pembiayaan eksternal untuk bank, rumah tangga, dan perusahaan non-keuangan. Sumbersumber keuangan bisa dalam bentuk likuiditas, kredit, sekuritas, pendapatan tetap bank sentral atau ekuitas. Selain itu, langkah-langkah non-konvensional dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi spread antara berbagai bentuk pembiayaan eksternal, sehingga mempengaruhi harga aset dan aliran dana dalam perekonomian. Salah satu langkah non-konvensional yang dapat dijadikan kebijakan alternatif ketika kebijakan konvensional tidak mampu lagi mendorong perekonomian adalah pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) sebagaimana yang diterapkan oleh beberapa bank sentral [ 125 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
besar dunia, termasuk Federal Reserve Amerika Serikat. Blinder berpendapat bahwa (2010) pelonggaran kuantitatif mengacu pada perubahan dalam komposisi dan/atau ukuran neraca bank sentral yang dirancang untuk memudahkan likuiditas dan/atau kondisi kredit. Kebijakan ini adalah cara tidak lazim yang dilakukan untuk memompa uang ke dalam perekonomian dan bertujuan untuk menurunkan suku bunga jangka panjang dalam memerangi resesi. Krisis global tahun 2008 yang ditandai oleh runtuhnya salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat Lehman Brother, dilatarbelakangi oleh pecahnya gelembung kredit (credit bubble) akibat macetnya pinjaman hipotek yang sudah diubah menjadi Collateralized Debt Obligation (CDO), yaitu salah satu produk investasi derivatif rumit di pasar saham. Krisis tersebut cukup memberikan hantaman keras yang menyebabkan perekonomian Amerika Serikat menjadi tidak stabil yang tercermin melalui peningkatan angka pengangguran, inflasi, dan pertumbuhan GDP tahunan. Data Labor Force Statistic of United State (2014) menunjukkan bahwa terjadi peninggkatan jumlah pengangguran di Amerika serikat sebagai akibat terjadinya krisis tahun 2008. Pada Januari 2008, angka pengangguran di Amerika Serikat sebesar 5 persen, meningkat menjadi 7,8 persen pada Januari 2009, dan terus meningkat hingga mencapai level tertinggi 10 persen pada Oktober 2009. Peningkatan angka pengangguran di Amerika Serikat tersebut merupakan dampak dari kerugian yang [ 126 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ditimbulkan oleh CDO dan turunnya harga saham-saham di pasar modal. Dengan adanya kerugian tersebut, sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan pengetatan keuangan dengan mengurangi pengeluaran, salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK). Tingkat inflasi dan pertumbuhan GDP Amerika Serikat juga cukup berfluktuatif sebagai akibat krisis tahun 2008. Pada tahun 2007, inflasi di Amerika sebesar 2,85 persen dan pertumbuhan GDP pada tahun yang sama sebesar 1,79 persen. Pada akhir tahun 2008 inflasi di Amerika Serikat meningkat menjadi 3,84 persen, sebaliknya pertumbuhan GDP Amerika Serikat turun mencapai -0,29 persen. Resesi ekonomi terus berlanjut pada tahun 2009 dimana inflasi turun secara drastis hingga menyentuh -0,36 persen yang diiringi dengan semakin memburuknya pertumbuhan GDP Amerika Serikat yang mencapai -2,80 persen. Persentase (%)
5,00(5,00)
20 20 20 20 20 20 20 20 20 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Inflation 2, 3,33,22,83,8 -0, 1,63,12,0 rate
GDP growth
3, 3,32,61,7 -0, -2, 2,51,82,7
Gambar 16. Tingkat inflasi dan pertumbuhan GDP Amerika Serikat (Sumber: World Bank, 2014)
[ 127 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Diperlukan upaya-upaya khusus untuk mencegah perekonomian Amerika Serikat menjadi semakin terpuruk, namun di sisi lain kebijakan moneter ekspansif melalui penurunan suku bunga tidak mungkin lagi dilakukan karena tingkat suku bunga acuan (federal fund rate) pada akhir tahun 2008 telah mencapai 0,25 persen. Pada kondisi tersebut Federal Reserve akhirnya mengambil langkah kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) untuk memperbaiki fundamental perekonomian Amerika Serikat agar tidak terjebak pada resesi yang berkepanjangan. Penerapan quantitative easing sebagai kebijakan moneter non-konvensional di negara-negara maju seperti Amerika Serikat akan berdampak pada pasar negara berkembang. Ketika bank sentral negara maju mengerahkan pelonggaran moneter untuk memperbaiki dampak resesi, besarnya kolektif pelonggaran moneter tidak dapat dipungkiri akan mendatangkan konsekuensi yang tidak diharapkan negara lain, terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pelaksanaan QE di Amerika Serikat dapat menyebabkan kelebihan aliran liduiditas masuk ke negara-negara berkembang dan secara tidak langsung akan mengganggu mata uang, ekspor, tingkat inflasi dan stabilitas perekonomian secara menyeluruh. Mengingat pentingnya menjaga stabilitas perekonomian bagi suatu negara, maka tulisan ini akan sedikit mengulas bagaimana dampak yang ditimbukan oleh kebijakan pelonggaran moneter Federal Reserve Amerika Serikat terhadap stabilitas perekonomian Indonesia. [ 128 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Pelonggaran Kuantitatif Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia Implementasi quantitatif easing (QE) di Amerika Serikat dilakukan secara bertahap. Kebijakan QE1 dan QE2 masing-masing berlangsung selama 6 bulan dimana QE1 diluncurkan di bulan Maret 2009 senilai $1,25 triliun, sementara QE2 diluncurkan tahun 2010 senilai $600 miliar. QE1 dan QE2 diluncurkan pada kondisi ekonomi domestik dan global yang berbeda. QE1 diluncurkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat setelah melewati krisis ekonomi global sedangkan QE2 diluncurkan setelah Eropa dan China menunjukkan sinyal perlemahan ekonomi. Dibandingkan QE1 dan QE2, QE3 jumlahnya relatif lebih kecil yaitu sebesar $40 miliar setiap bulannya. Selain melakukan QE, Federal Reserve juga telah menerapkan Operation Twist dimana dalam hal ini ukuran neraca bank sentral tidak terpengaruh, tetapi bank sentral mencoba untuk mempengaruhi suku bunga non-standar. Dalam Operation Twist, Fed menjual obligasi pemerintah jangka pendek dan menggunakan hasilnya untuk membeli obligasi jangka panjang. Karena penjualan dan pembelian obligasi dilakukan dengan jumlah yang sama maka hanya akan menurunkan suku bunga jangka panjang tetapi tidak mempengaruhi neraca bank sentral (Joyce et al, 2012) Meinusch dan Tillmann (2014) berpendapat bahwa penggunaan QE sebagai kebijakan moneter nonkonvensional lebih efektif mempengaruhi kegiatan [ 129 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekonomi riil di Amerika Serikat dibandingkan dengan menggunakan kebijakan moneter konvensional. Pendapat tersebut diperkuat oleh Mthuli Ncube dan Kjell Hausken (2014) melalui hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa meskipun gagal dalam merangsang kegiatan ekonomi secara keseluruhan, QE sampai batas tertentu memiliki pengaruh positif pada produksi industri di Amerika Serikat, berkontribusi untuk pengurangan pengangguran dan peningkatan ekspektasi inflasi di Amerika Serikat. Namun, bukti bahwa QE berdampak pada harga rumah, harga saham, kepercayaan konsumen, dan nilai tukar kurang meyakinkan. Hal ini dikarenakan kebijakan moneter saja tidak cukup tanpa diiringi dengan reformasi struktural dan langkah-langkah kebijakan lainnya. Bagi perekonomian Amerika Serikat, penerapan QE menyebabkan naiknya tingkat inflasi yaitu dari 0,99 persen tahun 2008 menjadi 2,96 persen tahun 2011 dan kembali turun menjadi 1,5 persen tahun 2013. Selain inflasi, implementasi QE yang dilakukan secara bertahap perlahanlahan menurunkan angka pengangguran di Amerika Serikat sehingga berada pada kisaran 7 persen pada tahun 2013 dan mencapai angka terendah 5,9 persen pada September 2014. Angka ini sesuai dengan hasil penelitian Ncube dan Hausken (2014) yang menyatakan bahwa QE berpengaruh terhadap peningkatan ekspektasi inflasi dan pengurangan pengangguran di Amerika Serikat. Menurunnya angka pengangguran dan semakin membaiknya kondisi fundamental perekonomian Amerika Serikat inilah yang [ 130 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
melatarbelakangi Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve untuk mengurangi stimulus moneter terhadap perekonomian Amerika Serikat. Implementasi QE tidak hanya akan mempengaruhi perekonomian dalam negeri Amerika Serikat, melainkan juga akan berpengaruh terhadap perekonomian negara lain secara global. Tillmann (2014) melalui penelitiannya menunjukkan bahwa stimulus moneter yang dilakukan Federal Reserve melalui QE terbukti dapat meningkatkan aliran dana masuk (capital inflows), harga obligasi, harga saham dan nilai tukar negara-negara emerging market, tidak terkecuali Indonesia. Dampak kebijakan pelonggaran moneter Amerika Serikat terhadap stabilitas perekonomian Indonesia terlihat ketika QE dilaksanakan sejak tahun 2008 hingga munculnya isu pengurangan atau penghentian stimulus moneter (tapering off) yang akan dilakukan oleh Federal Reserve dalam waktu dekat. Stimulus moneter melalui program QE menyebabkan likuiditas yang melimpah dan mendorong para investor untuk berburu saham-saham di bursa negara berkembang yang diharapkan akan memberikan imbal hasil yang menarik, salah satunya adalah bursa saham di Indonesia. Pada program QE1 di tahun 2009, sebagian besar aset investasi baik berupa saham maupun obligasi domestik memberikan respon yang cepat berupa kenaikan signifikan dalam periode waktu 3-9 bulan setelah program QE diluncurkan. Pada QE2, meskipun memerlukan periode 9 bulan setelah program QE2 diumumkan, Jakarta Composite Index (IHSG) kembali [ 131 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan indeks saham negara-negara Asia (MSCI Asia Pacific) (Commonwealth Bank, 2012:1). Aliran modal asing yang berasal dari stimulus QE Amerika Serikat yang sebagian besar berupa investasi portofolio berpotensi mempengaruhi kurs di Indonesia. Nilai tukar rupiah selama awal periode QE cenderung menguat dimana pada awal tahun 2009 sebesar Rp 11.005 per dolar menjadi Rp 9.718 per dolar pada akhir tahun 2012 dengan posisi terkuatnya sebesar Rp 8.523 per dollar Amerika Serikat pada tanggal 1 Agustus 2011. Persentase (%)
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0
2,0 0,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Inflasi
7,4
11,1
2,8
7,0
3,8
4,3
GDP growth
6,3
6
4,6
6,1
6,5
6,1
Gambar 17. Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan GDP Indonesia (Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2013)
Apresiasi nilai tukar rupiah akan berdampak pula terhadap laju inflasi dan pertumbuhan GDP Indonesia. Tahun 2008 inflasi Indonesia mencapai titik tertinggi yaitu sebesar 11,1 persen, sedangkan pertumbuhan GDP Indonesia pada tahun yang sama sebesar 6 persen, atau [ 132 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
turun 0,3 persen dari periode sebelumnya. Tahun 2009 baik inflasi maupun pertumbuhan GDP menurun, kemudian kembali meningkat pada 2010 yaitu inflasi sebesar 7 persen dan pertumbuhan GDP sebesar 6,1 persen. Perbaikan kinerja yang ditunjukkan oleh perekonomian Amerika Serikat beberapa bulan terakhir memunculkan isu penghentian stimulus moneter dalam perekonomian yang rencananya akan dilakukan awal tahun 2015. Adanya rencana penghentian QE, telah menciptakan guncangan pada pasar uang di banyak negara. Efek limpahan (spillover effect) dari rencana percepatan penghentian QE3 terlihat semakin menekan ekonomi negara-negara Asia termasuk Indonesia. Sejak awal Juni 2013 indeks pasar saham Indonesia telah turun 10 persen, dan terjadi penjualan saham dan surat utang secara besarbesaran di Asia yang menyebabkan penguatan dolar terhadap sejumlah mata uang Asia tidak terkecuali rupiah. Setelah mengalami apresiasi selama penerapan QE, rencana tapering off telah menyebabkan nilai tukar rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat. Data Bank Indonesia (2014) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah yang pada akhir Desember 2012 sebesar Rp 9.718 per dolar terus menurun hingga akhir Oktober 2014 yaitu sebesar Rp 12.142 per dolar dengan nilai terendah sebesar Rp 12.328 per dolar pada 28 Januari 2014. Tingkat inflasi juga menunjukkan peningkatan yang tajam dari 4,30 persen pada Desember 2012 menjadi 8,38 persen pada Desember 2013, kemudian secara perlahan kembali turun hingga mencapai 4,83 persen pada Oktober 2014. [ 133 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Penghentian stimulus moneter juga dapat menyebabkan risiko pelarian modal (capital outflow) secara besar-besaran mengingat peranan asing yang cukup tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia, kepemilikan saham asing per kuartal II 2013 adalah 57-58 persen dari total saham yang diperdagangkan di BEI. Angka ini memang jauh lebih kecil daripada akhir 2008 yang lebih dari 70 persen. Namun, pengurangan stimulus akan membuat yield imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat naik, sehingga selisih yield obligasi perusahaan–perusahaan di negara berkembang termassuk Indonesia akan semakin lebar. Dana-danapun diproyeksiakan kembali mengalir ke Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ingin menerbitkan obligasi akan kesulitan untuk mendapatkan investor, jikapun ada yang mau membeli pasti akan meminta bunga yang lebih tinggi. Efek lanjutan yang terjadi dari tapering off QE ialah kenaikan harga komoditas impor baik yang di konsumsi langsung maupun yang digunakan sebagai bahan baku atau barang modal untuk produksi. Kenaikan tersebut akan membebani konsumen produk impor. Produsen yang paling terpukul adalah yang menggunakan sebagian besar bahan bakunya impor namun sebagian besar produknya dijual di pasar domestik. Selain itu pelemahan nilai tukar rupiah akan menyebabkan utang dalam mata uang rupiah semakin membengkak. Kondisi ini menjadi beban pihak swasta maupun pihak pemerintah yang mempunyai utang [ 134 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
luar negeri yang pada umumnya dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Epilog Berdasarkan hasil pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pelonggaran moneter Amerika Serikat melalui QE sangat berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian Indonesia. Implementasi QE menyebabkan membanjirnya aliran dana masuk ke Indonesia yang pada gilirannya menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah, fluktuasi tingkat inflasi dan peningkatan pertumbuhan GDP Indonesia. Sebaliknya, ketika muncul rencana penghentian stimulus moneter yang akan dilakukan Federal Reserve, perekonomian Indonesia mengalami guncangan yang diantaranya terlihat dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar secara terus-menerus, dan meningkatnya risiko pelarian modal (capital outflow) secara besarbesaran dari Indonesia. Untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh tapering off Federal Reserve terhadap perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia telah menyiapkan beberapa usaha antisipatif. Selain menggunakan instrumen suku bunga BI rate, Bank Indonesia juga akan melakukan bauran kebijakan moneter meliputi pengetatan loan to deposit rasio, menoleransi depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan menekan impor, memperbaiki transaksi berjalan untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia, dan melakukan pendalaman pasar keuangan. [ 135 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dalam melakukan pendalaman pasar keuangan, Bank Indonesia telah mengeluarkan instrumen baru diantaranya adalah hedging valas, mini Master Repo Aggreement (MRA), dan revisi transaksi swap lindung nilai jangka. Di sisi lain, langkah antisipatif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia meliputi stabilisasi dana (bound stabilization fund) dan mempersiapkan protokol manajemen krisis apabila terjadi guncangan yang disebut sebagai diverse capacity flow dalam pasar keuangan. Serangkaian upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia untuk meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional ketika tapering off resmi diberlakukan. REFERENSI Bernanke, B. S. Reinhart, V. R. dan Sack, B. P. 2004. Monetary Policy Alternatives at The Zero Bound: An Empirical Assesment. Finance and Economics Discussion Paper Federal Reserve Blinder, S.A. 2010. Quantitative Easing: Entrance and Exit Strategies. Federal Reserve Bank of St. Louis Review 92(6): 465-479 Commonwealth Bank. 2012. Market Perspective. Wealth Management Newsletter - Oktober 2012: 1-5 Fawley, B.W. dan Neely, C.J. 2013. Four Stories of Quantitative Easing. Federal Reserve Bank of St Louis Review 95(1): 51-88 Fic, T. 2013. The Spillover Effect of Unconventional Monetary Policies in Major Developed Countries on [ 136 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Developing Countries. Department of Economic dan Sosial Affairs Working Paper No. 131 Joyce, Miles, Scott dan Vayanos. 2012. Quantitative Easing and Unconventional Monetary Policy – an Introduction. The Economic Journal 122: 271-288 Meinusch, A. dan Tillman, P. 2014.The Macroeconomic Impact of Unconventional Monetary Policy Shocks. MAGKS Joint Discusstion Paper Series in Economics No.26-2014 Miyagawa, S. dan Morita, Y. 2013. Effectiveness of Quantitative Easing Monetary Policy in Japan: An Empirical Analysis. Helsinki Center of Economic Researc Discussion Papers No.371 September 2013 Mortimer-Lee, P. 2012. The Effects and Risks of Quantitative Easing. Journal of Risks Management in Financial Institution 5(4): 372-389 Ncube, M dan Hausken, K. (2014) The Impact of Quantitative Easing in the US, Japan, the UK and Europe. African Development Bank Group [serial online]. http://www.afdb.org/en/blogs/afdbchampioning-inclusive-growth-acrossafrica/post/the-impact-of-quantitative-easing-in-theus-japan-the-uk-and-europe-12812/ [8 September 2014] The World Bank. 2013. Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia Menanggapi Berbagai Tekanan. Indonesia Economic Quarterly July 2013 Tillmann, P. 2014. Unconventional Monetary Policy Shocks and The Spillovers to Emerging Market. Hong Kong Institute and Monetary Research (HKIMR) Working Paper No.18/2014 Official website Bank Indonesia http://www.bi.go.id/ [ 137 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA : SISI EKSPOR Nur Umahatul Qomariah dan Yayang Oktafiani Putri
Prolog Keterbukaan ekonomi yang dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia mengakibatkan adanya peluang terjadinya perdagangan bebas, salah satu perjanjian perdagangan bebas yang pernah dilakukan Indonesia adalah AFCTA. Perjanjian perdagangan bebas ACFTA berisikan beberapa hal diantaranya adalah negara-negara yang menjadi anggota perjanjian saling memberikan perlakuan yang khusus (preferential treatment) di tiga sektor yakni : sektor barang, sektor jasa dan sektor investasi. Pelaksanaan AFCTA memiliki tujuan memacu percepatan aliran barang, jasa dan investasi diantara negara-negara anggota sehingga dapat terbentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Preferential treatment adalah perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada negara mitra dagang lain yang bukan anggota pada umumnya. Kesepakatan di sektor barang komponen utamanya adalah preferential tariff. [ 138 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Semua negara anggota ACFTA ada beberapa ketentuan yang harus diberlakukan harus memberlakukan kebijakan mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 40% komoditas yang ada pada normal track sebelum 1 Juli 2006. Seluruh negara sudah harus mengurangi tarif menjadi 05% untuk 60% komoditas yang ada pada normal track sebelum 1 Januari 2007. Seluruh negara sudah harus mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 100% komoditas yang ada pada normal track sebelum 1 Januari 2010. Maksimum sebanyak 150 tarif dapat diajukan penundaan hingga 1 Januari 2012 (Daniel Pambudi dan Alexander C, 2006). Melalui diberlakukannya pengurangan tarif tersebut maka perdagangan bebas antara Cina dengan Negaranegara di kawasan Asia tenggara telah di laksanakan, sehingga negara anggota termasuk Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang yang ada agar dapat memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya terutama dalam peningkatan ekspor. Selain memberikan peluang, keuntungan perjanjian ACFTA juga akan mengakibatkan tantangan bagi Indonesia kedepan karena jumlah penduduk yang sangat besar mengakibatkan konsumsi dalam negeri yang cukup tinggi. Dapat dilihat bahwa pada era ini banyak sekali produkproduk dari China yang dapat menguasai pasar Indonesia. Hal ini dikarenakan harga yang terlalu murah dengan kualitas barang yang baik. Dengan mempertahankan jumlah ekspor pada posisi yang stabil dengan tetap mempertahankan jumlah impor dan tidak menambahnya, maka ekonomi China pun melonjak. Menurut Ragimun [ 139 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
(2011) peluang yang dapat dimaksimalkan untuk Indonesia yaitu China banyak mengimpor dan membutuhkan bahan baku (raw material) serta bahan penolong untuk menopang pembangunan negara yang sangat pesat. Pertumbuhan ekonomi China rata-rata diatas 8%. Meskipun terjadi krisis global belakangan ini hanya turun menjadi sekitar 6%. Melihat peluang yang cukup besar bagi Indonesia maka Indonesia harus memaksimalkan pemasaran berbagai sumber dayanya untuk diolah kembali dan kemudian baru di ekspor untuk memenuhi kebutuhan China. Tabel 3. Perbandingan Perdagangan Indonesia-China Terhadap Indonesia-Total Negara (persen) Sebelum Pasca Indikator Pergeseran ACFTA ACFTA (2002-2004) (2005-2008) Ekspor 5.91 8.2 2.29 Impor 8.55 11.37 2.82 Neraca Perdagangan 2.27 3.15 0.88 Total Perdagangan 6.87 9.4 2.53 Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Adanya perjanjian ACFTA juga dapat mempengaruhi perdagangan Indonesia- China terhadap Indonesia. Ratarata share total perdagangan Indonesia- China terhadap total perdagangan semua negara dengan Indonesia sebelum ACFTA 6,87%, meningkat menjadi 9,40% pasca adanya ACFTA. Perdagangan Indonesia-China juga dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 % [ 140 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
total perdagangan Indonesia-negara lain beralih ke Indonesia-China pasca ACFTA. Tingkat ekspor terjadi pergeseran share sebesar 2,29 % dan impor sebesar 2,81 % beralih ke China pada era pelaksanaan ACFTA. Data statistik perdagangan (IMF, 2012) menunjukkan bahwa Indonesia selaku negara anggota ASEAN dengan populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan China, terlebih setelah berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China FTA. Ekspor Indonesia ke China pada tahun 2010 mencapai US$ 15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia dari China mencapai US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki China sebesar kurang lebih US$ 5 miliar. Angka defisit tersebut meningkat sebesar US$ 2,9 miliar dibandingkan defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar, sehingga menimbulkan kepanikan banyak pihak di Indonesia yang kemudian menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk melakukan renegosiasi dengan China. Perlu dilakukan evaluasi dampak ACFTA untuk mengetahui apakah tujuan dari FTA dapat terpenuhi. Indikator terpenting yang digunakan untuk menilai dampak FTA adalah pendapatan nasional. Pendapatan nasional merupakan salah satu dari tiga indikator untuk menghitung dampak dari suatu FTA terhadap suatu negara dari aktivitasnya dalam perdagangan internasional (Liyoid dan Mclaren,2004). Sementara itu, salah satu komponen pendapatan nasional dalam model Keynesian empat sektor adalah kontribusi ekspor. Perubahan kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional Indonesia dan China dalam [ 141 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
konteks berlaku efektifnya perjanjian perdagangan barang ACFTA dapat mengindikasikan dampak dari ACFTA terhadap kedua negara. Urata dan Kiyota (2003) mengemukakan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh yang positif pada pertumbuhan ekonomi. Ekspor dengan daya saing tinggi akan meningkat. Penurunan subsidi ekspor dinegara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia Saktyanu et al (2007). Haryadi et al (2008) menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dengan cara menghapus semua hambatan-hambatan perdagangan yang berdampak pada penurunan PDB Indonesia dan China. Efek positif yaitu trade creation terjadinya perdagangan akibat beralihnya konsumsi dari produk domestik yang bersifat high-cost ke produk impor yang bersifat low-cost, yaitu dengan kata lain terjadinya perdagangan yang mengikat intra negara partner. Namu perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan nonpartner yang dapat merubah arah kecenderungan perdagangan sehingga menimbulkan efek negatif yaitu trade diversiona perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari negara non anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara partner (Viner and Jacob, 1950).
[ 142 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dinamika ACFTA dalam Perdagangan Internasional Indonesia Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara satu dengan negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan. Dalam suatu perdagangan internasional terdapat beberapa teori diantaranya : Teori perdagangan internasional oleh David Ricardo yang bermulai dengan anggapan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara, yang di antara mereka tidak ada wilayah perbatasan, serta kedua negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan. Teori Heckscher Ohlin (HO) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut Heckscher Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara [ 143 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Keunggulan- keunggulan tersebut dimiliki oleh China bila dibandingkan dengan Indonesia seperti ketersediaan kapas dan sutra yang melimpah, teknologi yang lebih baik, serta tenaga kerja yang banyak dan murah. Basis dari keunggulan komparatif adalah: a. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktorfaktor produksi di dalam suatu negara. b. Faktor intensity, yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity. Perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan China terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Dari sisi ASEAN, China termasuk mitra dagang penting sebagai negara tujuan ekspor. Rata-rata pangsa ekspor ke China oleh negara ASEAN dari 2001-2008 bervariasi namun secara umum cukup tinggi. Vietnam sebagai negara yang menempatkan China sebagai mitra dagang utama dengan pangsa tertinggi mencapai 9%, sementara bagi Indonesia pangsa ekspor ke China mencatat 7% (Grafik 2.1). Dari sisi China, negara ASEAN menjadi mitra dagang penting terutama untuk pasokan bahan baku. Pangsa impor China dari Singapura mencatat 35% dari total impor dari ASEAN atau merupakan pangsa tertinggi di antara negara ASEAN lainnya (Grafik 18).
[ 144 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 18. China sebagai Negara Tujuan Ekspor Utama Sumber : Data Statistik ASEAN 2008, diolah
Gambar 19. Sumber Impor China dari Negara-Negara ASEAN Sumber : Data Statistic ASEAN 2008, diolah
[ 145 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sementara pangsa impor barang dari Indonesia sebesar 13% dari total impor dari ASEAN. Perdagangan antara ASEAN dan China mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat yang semakin menunjukkan relatif pentingnya perdagangan ASEAN-China bagi keduanya. Dengan demikian, potensi keuntungan dari penghapusan hambatan perdagangan kawasan ASEAN-Cina akan menjadi relatif besar. Indonesia selaku negara anggota ASEAN yang mempunyai populasi dan pasar terbesar dan memiliki hubungan internasional yang erat dengan China. Setelah berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China Free Trade Area. Total perdagangan Indonesia dan China mencapai US$ 36,2 miliar (2010) dan Indonesia. Sedangkan untuk ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia ke China mencapai US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki China sebesar kurang lebih US$ 5 miliar. Data yang digunakan adalah data Ekspor Indonesia ke China dan Ekspor Cina ke Indonesia yang bersumber dari data IMF dan diunduh melalui CEIC Setiawan (2012). Keberhasilan China meningkatkan ekspornya secara signifikan ke pasar Indonesia terutama melalui strategi harga murah, walaupun dalam kenyataannya di pasar banyak produknya yang diekspor memiliki standar kualitas yang rendah dan cepat rusak. Untuk meningkatkan penetrasinya di pasar Indonesia dan mengantisipasi keharusan mengikuti SNI di masa depan, China telah bergerak secara proaktif dan agresif [ 146 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mempelajari standar produk Indonesia. Potensi pasar Indonesia di masa depan sejalan dengan pemenuhan standar domestik SNI sangat besar dan hal tersebut sudah diantisipasi oleh China melalui pembelian SNI tersebut. Sekitar 30% SNI telah digunakan oleh perusahaan Indonesia dan akan semakin besar lagi didorong oleh penerbitan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2011 tentang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yang mewajibkan pembelian barang yang sesuai dengan SNI. Berdasarkan database CEIC (IMF, 2012), ekspor Indonesia ke China periode Januari-Oktober 2011 adalah sebesar US$ 18,2 miliar atau naik 57% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 sebesar US$ 11,6 miliar. Dalam hal ini China sangat memaksimalkan adanya perjanjian ACFTA sehingga ekspor China terus mengalami peningkatan secara terus menerus dari tahun ketahun, dan China berhasil menguasai pangsa pasar Indonesia dengan produknya yang sangat murah. Terbukti dengan banyaknya produk Cina yang sekarang ini membanjiri pangsa pasar Indonesia. Total perdagangan antara kedua negara selama 5 (lima) tahun terakhir (2006-2010) tumbuh positif rata-rata sebesar 30% dengan surplus perdagangan berada pada sisi China. Pada tahun 2010 Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 4,8 miliar, atau naik 43,1% dibandingkan surplus tahun 2009 sebesar US$ 3,4 miliar. Namun khusus terhadap China, Indonesia mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 5,1 miliar. Angka defisit tersebut meningkat sebesar US$ 2,5 miliar dibandingkan [ 147 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar. Terjadinya defisit di Indonesia ini karena Indonesia masih belum mampu untuk menyaingi produk China yang murah dan juga masih belum bisa memanfaatkan peluang pasar yang ada. Seperti adanya peluang Cina banyak mengimpor dan membutuhkan bahan baku (raw material) dan bahan penolong untuk menopang pembangunannya yang sangat pesat. Sementara itu, impor Indonesia dari China periode Januari-Oktober 2011 tercatat sebesar US$ 21,4 miliar, suatu peningkatan sebesar 29% dibandingkan periode yang sama tahun 2010 yang tercatat sebesar US$ 16,6 miliar. Bila diproyeksikan hingga akhir tahun 2011 maka ekspor Indonesia ke China akan tercatat sebesar US$ 21,9 miliar dan impor Indonesia dari China akan sebesar US$ 25,7 miliar sehingga proyeksi defisit perdagangan Indonesia dari China untuk tahun 2011 adalah sebesar US$ 3,8 miliar. Proyeksi angka defisit ini merupakan penurunan sebesar 24% dari angka defisit tahun 2010 yang sebesar US$ 5 miliar. Maka dalam impor dari tahun 2010 ke 2011 mengalami kenaikan begitu pula sisi ekspor juga mengalami kenaikan namun dalam sisi neraca perdagangan mengalami penurunan defisit. Hal ini dikarenakan murahnya harga yang diberikan produsen China daripada produsen Indonesia dan Indonesia juga masih belum bisa menyaingi biaya produksi yangrkan dikeluarkan oleh produsen China.
[ 148 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI Adolf, Huala. 2012. Pesan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina. Andrian dan Sri . Analisis of ACFTA and cocoa trade policy in Chinese and Domestic Market. Badan Pusat Statistik. “Statistik Indonesia edisi 2009”. BPS Jakarta. Daniel dan Asniar. Pengaruh ASEAN- CHINA FREE TRADE AREA ( ACFTA ) terhadap Bisnis Indonesia dan Internasonal. Daniel Pambudi dan Alexander C, Chandra, 2006. Garuda Terbelit Naga-Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral ASEAN-Cina Terhadap Perekonomian Indonesia. jakarata : Institute For Global Justice. hal.3 IMF, 2012. World Economic Financial Surveys: Regional Economic Outlook Asia and Pacific. Joseph F. Francois, Luis Rivera dan Hugo Rojas-Romagosa. 2008. Economic perspectives for Central America after CAFTA. A GTAP-based analysia. Lincolin, Arsyad. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: AMP YKPN. Llyoid, P., D. Maclaren. 2004. Gains and Losses from Regional Trading Agreements: A Survey. The Economic Record. 80 (251). pp. 445-467 Mankiw, N. Gregory, 2003. Teori Makroekonomi, edisi kelima, Harvard University,Penerbit Erlangga Mutakin, Firman dan Rahmaniar Salam, Aziza. 2009. “Dampak Penerapan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia”, Economic Review, No. 218. Jakarta : Departemen Perdagangan RI. Ndaru, Herjuno dan Anaga, Andis. 2010. “Dampak FTA ASEAN-China dan FTA ASEAN-India bagi Indonesia”, [ 149 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Free Trade Watch Supremasi Organisasi Multilateral. Jakarta : Institute of Global Justice. Edisi II Okamoto, Yumiko 2005. ASEAN, China, and India: Are they more competitive or complementary to each other? Ragimun, 2011. Analisis Investasi China ke Indonesia Sebelum dan Sesudah ACFTA. Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal : Email :
[email protected] Saktyanu K. Dermoredjo, Wahida, dan Budiman Hutabarat; Analisis Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara Maju terhadap Produksi Pertanian Indonesia. Desember 2007. Sigit Setiawan. 2012. ASEAN-China FTA: The Impacts on The Exports of Indonesia and Chin. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan-RI. Tarmidi, Lepi T. 2010. Menghadapi tantangan Cina dalam ACFTA. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 39 No. 1. Hal 63-75. Jakarta. Urata, Shujiro and Kozo Kiyota. 2003. The Impacts of an East Asia Free Trade Agreement on Foreign Trade in East Asia. NBER Working Paper Series 10173, National Bureau of Economic Research, Cambridg Viner, Jacob. 1950. The Customs Union Issue, Carnegie Endowment for International Peace, New York Yue, Chia Siow. ASEAN-China Free Trade Area. Singapore Institute of International Affairs, Paper for presentation at the AEP Conference
[ 150 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DINAMIKA NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN SENSITIVITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR RIIL Indah Hotmian A. P dan Sucik Ayu W.
Prolog Keberhasilan suatu negara dalam membangun perekonomian yang mantap sangat ditentukan oleh berbagai potensi yang dimiliki oleh negara tersebut. Sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, serta penerapan kebijakan yang dilakukan dalam suatu negara dapat menentukan apakah negara tersebut dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat atau justru mengantarkan negara tersebut pada krisis berkepanjangan. Kebijakan suatu negara dalam mengelola sumber daya yang ada merupakan salah satu penopang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Namun perlu disadari bahwa kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak dapat berhasil secara mutlak. Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat tidak dapat selalu terpenuhi oleh produksi dan komoditi dalam negeri. Di sisi lain, ada beberapa komoditi dalam negeri yang butuh melebarkan pangsa pasarnya hingga ke luar negeri. Dengan kata lain, suatu negara butuh bertransaksi dengan negara lain untuk saling memenuhi [ 151 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kebutuhannya. Globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini membuat seluruh negara memahami pentingnya transaksi dan pertukaran barang dan jasa antar negara. Perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat tentu saling terkait dengan arus perputaran modal antar negara. Hal ini pula yang terjadi dengan Indonesia (Nopeline, 2009). Indonesia menyadari betapa pentingnya transaksi dengan negara-negara lain dalam usaha pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Salah satu contoh, peningkatan kegiatan ekspor Indonesia dengan mitra dagang utamanya terutama ASEAN membuat nilai indeks perdagangan ASEAN tetap stabil dan cenderung mengalami peningkatan pada kisaran tahun 2003 hingga 2013.
Gambar 20. Intra-Regional Trade Share negara-negara ASEAN (Sumber : Asian Development Bank, diolah)
Peningkatan intensitas dan konsentrasi ekspor Indonesia ke beberapa negara mitra dagang tentu [ 152 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
membawa banyak dampak bagi Indonesia. Apabila terjadi perubahan bidang ekonomi pada negara mitra dagang, sedikit banyak Indonesia akan terkena dampaknya. Salah satu hal yang sangat sensitif dan dapat memberikan dampak yang begitu besar bagi perdagangan internasional Indonesia adalah nilai tukar. Perbandingan nilai tukar mata uang negara terjadi ketika suatu negara menerapkan sistem perekonomian terbuka sehingga dapat terjadi interaksi internasional. Elekdag dan Han (2012), mengemukakan bahwa fleksibilitas nilai tukar yang lebih besar juga dapat berpengaruh pada stabilitas keuangan di suatu negara. Avdjiev (2012) juga mengemukakan bahwa apresiasi nilai tukar dapat mempengaruhi tingkat inflasi suatu negara. Apabila dikaitkan dengan perdagangan bilateral, perubahan nilai tukar dapat mengubah harga relatif suatu produk menjadi lebih mahal ataupun lebih murah sehingga nilai tukar sering digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya saing dengan mendorong ekspor yang diharapkan dapat menyeimbangkan neraca perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan perdagangan internasional merupakan hal yang penting bagi suatu negara dan terbukti menjadi alat untuk mendapatkan bahan baku dari negara-negara lain guna menyokong usaha pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Krugman dan Obstfels (1999) dalam Hapsari (2013) menyatakan ada beberapa hal yang dapat menyebabkan penurunan ekspor pada suatu negara. Pertama, adanya kontrak ekspor dan impor berjangka yaitu kegiatan ekspor dan impor yang baru akan dilaksanakan [ 153 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
beberapa bulan kemudian. Kedua, kesepakatan penggunaan nilai tukar pada saat terjadinya depresiasi. Alasan yang ketiga adalah walaupun kontrak ekspor dan impor mengikuti kebijakan nilai tukar yang baru, butuh waktu beberapa saat untuk penyesuaian. Secara teori, terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan antar negara dilandasi oleh beberapa kajian konsep. Adam Smith mengatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi pada produk yang mempunyai efisiensi produksi lebih baik dari negara lain dan melakukan perdagangan internasional dengan negara lain yang mempunyai kemampuan spesialisasi pada produk yang tidak dapat diproduksi di negara tersebut secara efisien. David Ricardo menyempurnakan pemikiran keunggulan absolut Adam Smith dengan mengemukakan pemikiran keunggulan komparatif. Hukum pada pemikiran komparatif ini mengatakan bahwa meskipun salah satu negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar dilakukannya perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang kurang efisien harus berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang kerugian absolutnya lebih sedikit (Salvatore, 2004). Neraca perdagangan terbentuk dari adanya keunggulan komparatif yang menggambarkan pola ekspor dan impor dari masing-masing negara di mana neraca perdagangan adalah bagian dari neraca transaksi berjalan yang mennghitung net trade dari barang (merchandise [ 154 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
goods) yang merupakan selisih dari ekspor dengan impor perdagangan barang (Batiz, 1994). Neraca perdagangan menyediakan informasi tentang ulasan dari performa perekonomian suatu negara dan juga pola perdagangan sebagaimana tergambar dalam perdagangan barangnya. Nilai tukar atau kurs (exchange rate) yang juga sebagi stimulan penyimbang neraca perdagangan merupakan pertukaran dua mata uang yang berbeda atau perbandingan nilai dari kedua mata uang tersebut. Para ekonom membedakan nilai tukar mata uang domesrik terhadap mata uang asing menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal merupakan harga relatif mata uang dua negara. Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif barang-barang di kedua negara (term of trade). Nilai tukar dapat berubah-ubah berupa depresiasi dan apresiasi. Terjadinya depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar AS merupakan suatu penurunan harga dollar AS terhadap rupiah di mana harga barangbarang domestik menjadi lebih rendah atau lebih murah bagi pihak luar negeri sedangkan apresiasi rupiah terhadap dollar AS merupakan kenaikan rupiah terhadap dollar AS di mana harga barang-barang domestik menjadi lebih mahal pagi pihak luar negeri (Sukirno, 1981:297). Pengertian nilai tukar memberikan pemahaman bahwa apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansial. Selain itu masalah mata uang timbul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang [ 155 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berbeda sehingga dapat diartikan bahwa nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain. Tren Performa Neraca Perdagangan Indonesia Neraca perdagangan (balance of trade) adalah selisih antara nilai ekspor dan impor. Neraca perdagangan suatu negara sedikit banyak dipengaruhi oleh krisis makroekonomi dan perubahan pola perdagangan internasional, terutama di era globalisasi. Keuntungan yang didapat oleh suatu negara bisa menjadi penyebab defisit neraca perdagangan negara mitra dagangnya (Zakir dan Ismail, 2010). Tabel 4. Neraca Perdagangan Indonesia 2003-2013 Tahun Ekspor Impor Defisit/Surplus 2003 61.058.246.995 32.550.684.286 28.507.562.709 2004 71.584.608.796 46.524.531.358 25.060.077.438 85.659.952.615 57.700.882.616 27.959.069.999 2005 100.798.624.280 61.065.465.536 39.733.158.744 2006 2007 114.100.890.751 74.473.430.118 39.627.460.633 2008 137.020.424.402 129.197.306.224 7.823.118.178 2009 116.510.026.081 96.829.244.981 19.680.781.100 2010 157.779.103.470 135.663.284.048 22.115.819.422 2011 203.496.620.060 177.435.555.736 26.061.064.324 2012 190.031.845.244 191.691.001.109 -1.659.155.865 2013* 91.068.762.794 94.410.645.297 -3.341.882.503
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Defisit neraca perdagangan saling mempengaruhi terhadap neraca transaksi berjalan seperti yang terjadi pada [ 156 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perekonomian Indonesia belakangan ini. Indonesia sempat mengalami defisit neraca perdagangan pada kuartal IV tahun 2013. Berikut adalah data defisit dan surplus neraca perdagangan Indonesia selama sebelas tahun terakhir. Pada Februari 2014 kembali mengalami surplus yang dikarenakan meningkatnya ekspor nonmigas dan turunnya angka defisit neraca perdagangan migas. Pengaruh penguatan rupiah terhadap dolar pada periode ini terbukti juga cukup signifikan terhadap neraca perdagangan. Namun surplus ini hanya berlaku pada jangka pendek karena pada periode berikutnya Indonesia kembali mengalami defisit neraca perdagangan. Sektor migas menjadi salah satu penyumbang angka defisit terbanyak selama beberapa tahun terakhir yang berdampak negatif pada neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran Indonesia. Impor migas terbesar adalah impor BBM (Bahan Bakar Minyak). Defisit neraca perdagangan migas selama 2012 dipicu oleh tingginya permintaan impor BBM yang mencapai 28,7 miliar USD atau naik 1,9 persen. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 1,6 Miliar USD. Konsumsi bahan bakar minyak yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan produktivitas masyarakat membuat Indonesia semakin banyak mengimpor bahan bakar minyak.
[ 157 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
2E+10 1,8E+10 1,6E+10 1,4E+10 1,2E+10 1E+10 8E+09 6E+09 4E+09 2E+09 0
Ekspor Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Saeptember Oktober Nopember Desember
Impor
Gambar 21 : Ekspor dan Impor Bulanan Indonesia tahun 2012 (Milyar USD)
Berdasarkan penelitian pada negara-negara OECD selama 20 tahun terakhir, apabila hubungan neraca perdagangan dikaitkan dengan kurs riil maka keduanya saling mempengaruhi. Pengembangan perdagangan internasional, sebagai contoh dalam industri, telah menyebabkan negara-negara memperdagangkan jenis barang yang sama sehingga meningkatkan substitusi jenis barang impor dan ekspor yang pada akhirnya meningkatkan sensitivitas neraca perdagangan terhadap nilai tukar riil (Kharroubi, 2011). Berbagai kajian empiris dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Hapsari (2013) melakukan peneliian mengenai pengaruh nilai tukar riil terhadap keseimbangan neraca perdagangan bilateral Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena kurva J, yaitu fenomena di mana depresiasi nilai tukar dalam jangka pendek tidak serta merta meningkatkan [ 158 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekspor, terjadi di Indonesia. Zuhroh et al (2007) meneliti dampak perubahan nilai tukar terhadap neraca perdagangan Indonesia dan mendapati pertumbuhan nilai tukar riil memiliki kontribusi yang sangat rendah dalam menjelaskan pertumbuhan neraca perdagangan meskipun fenomena kurva J juga terjadi. Marpaung (2013) menyatakan bahwa depresiasi akan menurunkan ekspor demikian juga apresiasi nilai tukar akan menurunkan impor. Berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar riil belum tentu diikuti dengan respon langsung pada neraca perdagangan. Secara teori, depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan daya saing barang domestik dan ekspor sedangkan apresiasi nilai tukar justru akan meningkatkan impor. Namun ada saat di mana hal tersebut berlaku sebaliknya yaitu depresiasi justru menurunkan ekspor dan meningkatkan impor pada jangka pendek. Fenomena ini disebut fenomena kurva J yang berdasarkan penelitian terdahulu hal ini terjadi pada perdagangan bilateral Indonesia dan mitra dagang utama seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Epilog Perdagangan internasional yang terjadi antar negara dipengaruhi oleh nilai tukar riil dan rasio harga kedua negara. Jika nilai tukar riil meningkat, dengan asumsi rasio harga konstan, maka akan ada hubungan positif dengan neraca perdagangan. Nilai tukar riil yang lebih tinggi akan [ 159 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memberikan indikasi rendahnya harga produk domestik Indonesia terhadap produk lain. Namun saat kurs fluktuatif, maka daya saing akan sangat ditentukan oleh kemampuan tiap-tiap negara atau otoritas moneter dalam mengendalikan laju harga dengan berbagai instrumennya. Ekspor Indonesia dari berbagai sektor sempat menunjukkan tren positif walaupun terjadi penurunan dan defisit neraca perdagangan pada beberapa tahun terakhir. Secara teori, apabila nilai tukar mata uang domestik mengalami depresiasi terhadap mata uang lainnya maka diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perdagangan internasional dan dapat menyeimbangkan neraca perdagangan internasiona melalui ekspor negara tersebut. Apresiasi mata uang domestik akan menyebabkan peningkatan harga relatif terhadap ekspor negara tersebut dan penurunan harga relatif impor. Depresiasi mata uang domestik sebaliknya akan menyebabkan penurunan harga relatif dari ekspor negara tersebut dan meningkatkan harga relatif dari impor. Namun pada studi kasus neraca perdagangan Indonesia, hal sebaliknya dapat terjadi yaitu fenomen kurva J di mana depresiasi nilai tukar justru menurunkan daya saing dan mengurangi ekspor sedangkan apresiasi nilai tukar yang seharusnya dapat memicu kenaikan impor berbanding terbalik dengan terjadinya penurunan impor pada jangka pendek.
[ 160 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI Adiningsih, Hapsari, et al. 2013. Does the J-Curve Phenomenon Exist in Teh Indonesia’s Bilateral Trade Balances With Major Trading Countries? ASEAN Journal of Economics, Management and Accounting 1 (1): 13-22 (June 2013) ISSN 2338-9710. Avdjiev, Stefan., McCauley, Robert dan McGuire, Patrick. 2012. Rapid Credit Growth and International Credit: Challenges For Asia. BIS Working Paper No. 377. Batiz, Fransisco Rivera and Luis Rivera-Batiz. 1994. International Finance and Open Economy Macroecomics. MacMillan Publishing Company, 1994. Elekdag, Selim dan Han, Fei. 2012. What Drives Credit Growth in Emerging Asia?. IMF Working Paper No. 43. Hubbard, R.G., O’Brein, A. P. dan Rafetrty, Matthew. 2012. Macroeconomics. United State of America: Pearson Education, Inc. Khan, M.Z.S. dan M.I. Hossain. 2010. A Model of Bilateral Trade Balance : Extensions and Empirical Tests. Economic Analysis and Policy, Vol. 40 No. 3, December 2010. Kharroubi, Enisse. 2011. The Trade Balances and The Real Exchange Rate. BIS Quarterly Review. Krugman dan Obstfelt. 1991. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Penerbit: Erlangga. Jakarta. Krugman, Paul. R. 2003. International Economics. Sixth Edition. Marpaung, Erlina. 2013. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap Trade Balance di Negara ASEAN (Pendekatan Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve). Economics Development Analysis Journal.
[ 161 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Niken, Paramita Purwanto. 2013. Subsidi BBM sebagai Penyebab Defisit Neraca Perdagangan. Info Singkat Kebijakan Publik Vol. V, No. 07/I/P3DI/April/2013. Nopeline, Nancy. 2009. Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia (MarshallLerner Condition dan Fenomena J-Curve). Tesis. Universitas Sumatera Utara Medan. Salvatore, Dominick. 2004. International Economics. USA : Jhon Wiley & Sons. Sukirno, Sadono. 2000. Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Zuroh, Idah et al. 2007. Dampak Pertumbuhan Nilai Tukar Riil terhadap Pertumbuhan Neraca Perdagangan Indonesia (Suatu Aplikasi Model Vector Autoregressive, VAR). Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 1 No.1 Oktober 2007, 59-73.
[ 162 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PENGARUH NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR MAKANAN DI INDONESIA Airin Septia Lygina dan Elani Umiyatul Halim
Prolog Perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subjek ekonomi negara yang satu dengan subjek ekonomi negara yang lain, baik mengenai barang ataupun jasa. Subjek ekonomi tersebut seperti penduduk di suatu negara, perusahaan ekspor dan impor, perusahaan industri, dan lain-lain (Sobri: 2000). Perdagangan atau pertukaran dapat diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Ketika membahas perdagangan internasional maka akan dihubungkan dengan nilai tukar (kurs) adalah harga sebuah mata uang dari suatu negara yang di ukur atau dinyatakan dalam mata uang lainnya. Kurs memiliki peranan yang penting dalam keputusan pembelanjaan, karena dengan adanya kurs kita dapat menerjemahkan harga-harga dari negara lain dalam bahasa yang sama. Teori perdagangan yang mengalami perubahan mengikuti jaman (modern) dimulai ketika ekonom Swedia [ 163 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yaitu Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai perdagangan internasional yang masih belum bisa dijelaskan dalam keunggulan komparatif. Pada teori Klasik Comparatif advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional akan terjadi apabila adanya perbedaaan dalam productivity of labor (faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan) antar negara (Salvatore: 2004). Teori H-O mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan bahwa penyebab perbedaab produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara, sehingga hal itu menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang sudah dihasilkan. Negaranegara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah dalam memproduksi akan melakukan spesialisasi produksi yang akan diekspor barangnya. Sedangkan negara yang faktor produksinya relatif mahal akan mengimpor barangnya. Penjelasan mengenai teori H-O ini menggunakan dua kurva. Pertama, kurva isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama serta kurva isoquant yang menyatakan bahwa jika terjadi persinggungan antara kurva isoquant dan kurva isocost maka akan ditemukan titik optimal sehingga dengan menetapkan biaya tertentu negara akan memperoleh produk maksimal atau sebaliknya dengan biaya yang minimal suatu negara dapat memproduksi sejumlah [ 164 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
produk tertentu. Ada beberapa penggunaan asumsi pada teori H-O, antara lain perdagangan internasional terjadi antara dua negara, setiap negara memproduksi dua komoditi yang sama, setiap negara menggunakan dua jenis faktor produksi yaitu labor dan kapital, dengan jumlah atau proporsi yang berbeda. Beberapa kondisi yang pada kenyataannya tidak sesuai dengan asumsi teori H-O sehingga perlu adanya perbaikan, antara lain kondisi permintaan dan penawaran komoditas perdagangan senantiasa mengalami perubahan, teori perdagangan terbaru menyatakan bahwa pengetahuan adalah variabel penentu keputusan perdagangan dan investasi, jumlah dan kualitas faktor produksi dan teknologi akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, variabel ongkos transportasi diperhitungkan. Adapun teori Adam Smith yang berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah berasal dari produksi hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Adam Smith sepakat dengan doktrin merkantilisme yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dapat dicapai dari surplus ekspor. Menurut Smith suatu negara akan mengekspor hasil produksinya karena dapat menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah daripada negara lain yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Teori absolute advantage mendasarkan pada besaran atau variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni perdagangan internasional. Murni disini dalam artian teori ini memusatkan [ 165 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perhatiannya pada variabel riil seperti nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan selama berproduksi. Makin banyak tenaga kerja yang dugunakan maka makin tinggi nilai barang yang diproduksi. Teori ini menggunakan teori nilai kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sederhana karena menggunakan asumsi bahwa tenaga kerja bersifat homogen serta merupakan satu-satunya faktor produksi. Pada kenyataannya, tenaga kerja tidak bersifat homogen, faktor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas. Teori David Ricardo (Comparative Advantage) menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang memiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang bila diproduksi sendiri akan memakan ongkos yang besar). Nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Dalam hal ini David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian suatu barang dapat ditukarkan bila barang tersebut memiliki nilai guna yang dibutuhkan. Perdagangan bebas akan dikaitkan dengan globalisasi dalam suatu negara. Sifat perekonomian Indonesia yang terbuka mengharuskan untuk diperkuatnya home front [ 166 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar - besarnya dari peluang yang tercipta di tengah persaingan terutama perdagangan yang semakin ketat. Seluruh potensi yang dimiliki harus dapat dieksploitasi secara optimal dan tepat (Basri,1995). Cyrillus Harinowo menyatakan bahwa perekonomian Amerika Serikat dalam sejarah perkembangannya hampir selalu mengalami defisit dalam neraca pembayarannya. Defisit pada APBN pemerintahan presiden Bush Jr mencapai rekor tertinggi dalam tahun fiskal 2004 yang berakhir pada tanggal 30 september 2004, yaitu dengan jumlah sebesar 413 miliar dollar 6. Defisit yang dialami oleh Amerika Serikat pada masa tersebut merupakan defisit Anggaran dan defisit neraca perdagangan sehingga disebut defisit kembar. Munculnya defisit kembar tersebut karena meningkatnya anggaran belanja negara dan pemotongan nilai pajak senilai 1,85 triliun dollar yang dimaksudkan untuk mendorong perekonomian Amerika serikat sehingga terjadi peningkatan penerimaan pajak, namun yang terjadi malah sebaliknya. Defisit kembar yang terjadi menyebabkan melemahnya nilai mata uang Amerika serikat. Defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terjadi ketika ada ketimpangan neraca perdagangan amerika serikat dengan Jepang pada tahun 2004, dimana nilai ekspor Jepang ke Amerika Serikat meningkat drastis. Begitu juga dengan yang terjadi pada tahun 2007 dimana neraca perdagangan Amerika Serikat mengalami ketimpangan yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya ekspor Cina ke [ 167 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Amerika Serikat. Selain itu pemerintah Amerika Serikat juga melakukan peningkatan anggaran pertahanannya setelah serangan teroris dan menjadi lebih besar lagi dengan adanya serangan ke Afganistan dan Irak oleh Amerika Serikat. Nilai tukar yang semakin tinggi secara drastis tak terkendali akan menyebabkan hambatan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor. Oleh karena itu, pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Aulia Pohan, 2008:55). Gejala penurunan kinerja perdagangan tersebut tentunya tidak hanya berdampak kepada AS namun juga seluruh negara di dunia, hal ini melatarbelakangi dan meningkatkan sikap kecenderungan beberapa negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis untuk melindungi pasar dalam negeri (inward looking policy).Namun demikian, Presiden Obama, dalam pidatonya di State Union pada 27 Januari 2010, menyampaikan pandangannya untuk menetapkan tujuan yang ambisius terkait kebijakan perdagangan yaitu pertumbuhan nilai ekspor AS yang ditargetkan dapat meningkat sebesar 2 (dua) kali lipat dalam jangka waktu lima tahun (2010-2015), sehingga dapat menciptakan 2 juta tenaga kerja baru bagi masyarakat AS (New York Times, 2010). [ 168 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tantangan utama untuk Indonesia saat ini adalah bagaimana cara meningkatkan nilai ekspor serta meningkatkan penerimaan negara (persediaan devisa) dari sektor ekspor. Secara teoritis ekspor disini tidak sekedar membentuk surplus neraca perdagangan. Apabila terjadi keberhasilan peningkatan ekspor maka hal tersebut merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional. Pernyataan Aliman dan Ade (2000), masih terdapat perdebatan soal apakah ekspor menyebabkan pertumbuhan ekonomi (export-led growth) yang dibicarakan oleh Bank Dunia atau sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang mendorong ekspor (growthled export). Namun juga terbuka kemungkinan ekspor mengurangi pertumbuhan ekonomi (export reducing growth) atau pertumbuhan ekonomi berpotensi mengurangi ekspor (growth reducing export) yang dinyatakan oleh Jung dan Marshall (1985). Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) Terhadap Ekspor Indonesia Pengaruh perdagangan internasional terasa pada harga, pendapatan nasional, dan tingkat kesempatan kerja negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional tersebut. Ekspor akan meningkatkan permintaan masyarakat, yaitu jumlah barang dan jasa yang diinginkan masyarakat di dalam negeri. Sebaliknya, impor akan menurunkan permintaan masyarakat di dalam negeri. Permintaan masyarakat akan memengaruhi kesempatan kerja dan pendapatan nasional, dan di antara lain akan [ 169 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tergantung pada besarnya ekspor neto, yaitu selisih antara ekspor dan impor. Bila ekspor neto positif, berarti ekspor lebih besar daripada impor, kesempatan kerja dan pendapatan nasional cenderung akan naik. Besarnya ekspor neto sangat ditentukan oleh nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan. Misalnya, nilai rupiah turun dibandingkan dengan dolar AS, harga barang ekspor dari Indonesia relatif akan lebih murah di AS, sehingga ekspor akan cenderung meningkat. Sebaliknya, harga barang-barang dari AS relatif menjadi mahal sehingga impor akan akan cenderung menurun. Dengan demikian, penurunan nilai kurs mata uang sendiri akan cenderung meningkatkan ekspor neto, demikian pula sebaliknya. Jadi, kegiatan serta kejadian internasional akan memengaruhi ekonomi dalam negeri, melalui pengaruh nilai kurs mata uang pada impor, ekspor, dan akhirnya permintaan masyarakat. Perubahan nilai tukar dapat mengubah harga relatif suatu produk menjadi lebih mahal atau lebih murah, sehingga nilai tukar terkadang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya saing (mendorong ekspor). Neraca Perdagangan (balance of trade) merupakan bagian penting dari neraca pembayaran (balance of payment) yang merupakan ringkasan laporan rugi laba dari arus keluar-masuk barang, jasa dan asset-aset dalam suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu, maka untuk dapat mengetahui bagaimana hubungan perdagangan luar negeri Indonesia-Amerika akan dianalisis hubungan [ 170 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekonomi kedua negara tersebut dengan menggunakan data neraca perdagangannya. AFTA (ASEAN Free Trade Area) dalam perdagangan di Indonesia pada kasus ekspor yang menurun diharapkan dapat terselesaiakan namun dibutuhkan pembenahan dari apa yang akan diekspor misalnya dari segi kualitas dan kuantitas barang yang dijual. Neraca perdagangan Amerika Serikat dengan Indonesia periode Januari-April 2013, Indonesia berhasil surplus sebesar US$ 3.621,27 juta, atau meningkat sebesar 3,97% dibanding surplus pada periode yang sama tahun 2012, yang tercatat sebesar US$ 3.482,99 juta. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan ekspor makanan dan minuman. Salah satunya adalah membidik pasar di Amerika Serikat dan Kanada melalui misi penjualan pada 29 Maret-4 April 2014. Cara dari Indonesia dalam meningkatkan dan mengenalkan produk dalam negeri agar diterima di pasar Amerika Serikat dan Kanada adalah dengan diadakannya pameran makanan dan minuman Salon International de L'amentation (SIAL) Canada 2014. Selain itu, program ini untuk mempromosikan produk-produk Indonesia pada calon mitra bisnis di sana. Serta memperkaya wawasan perusahaan, sehingga dapat mempertajam strategi mereka memasuki pasar Amerika Serikat dan Kanada melalui berbagai kegiatan, seperti seminar dan kunjungan ke pasarpasar retail. SlAL Canada merupakan salah satu pameran makanan dan minuman terbesar di Amerika Utara dengan jumlah [ 171 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pembeli rata-rata 14.000 yang berasal dari 61 negara. Tahun 2013, pameran tersebut dilaksanakan di Toronto dan diikuti 758 peserta dari 45 negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Aljazair, ltalia, Korea Selatan, Maroko, AS, dan Meksiko. Partisipasi Indonesia pada SIAL 2013 memperoleh hasil yang cukup positif, yaitu dengan estimasi transaksi pembelian US$ 4,5 juta dan 300 inquiries. Berdasarkan data BPS pada 2013, produk makanan dan minuman Indonesia merupakan salah satu produk unggulan yang berkontribusi terhadap ekspor produk nonmigas Indonesia. Pada 2013, nilai ekspor produk ini ke seluruh dunia tercatat US$ 4,83 miliar dengan tren yang positif selama lima tahun terakhir (2009-2013) sebesar 14,93 persen. Adapun pada 2014, produk makanan dan minuman olahan ditargetkan mengalami pertumbuhan 10,5-11,5 persen dengan nilai ekspor US$ 4,9-5 miliar. Produk makanan dan minuman yang diimpor Indonesia dari AS antara lain suplemen, buah anggur, sirop, tembakau, kentang, dan daging. Sedangkan Kanada menempati peringkat 32 dengan nilai US$ 22,71 juta. Produk ekspor Indonesia ke Kanada terdiri atas sarang burung walet, kerang-kerangan, kepiting, udang, tuna, teh hitam, kacang mete, pasta udang, dan biskuit. Sedangkan impor dari Kanada tercatat US$ 17,66 juta. Produk makanan dan minuman yang diimpor Indonesia dari Kanada antara lain kentang, kacang-kacangan, es krim, ekstrak sayuran, suplemen, agar-agar, dan sayuran.
[ 172 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Kekuatan dan Kelemahan Hubungan Perdagangan antara Indonesia dan AS Indonesia memiliki beberapa kekuatan yang menarik AS untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih maju. Kekuatan Indonesia antara lain meliputi: a) Stabilitas makro ekonomi, yang dibuktikan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat stabil dan rasio hutang pemerintah yang rendah. Bahkan pengelolaan fiskal Indonesia dianggap terbaik se Asia- Pasifik. b) Potensi pasar yang besar, yang menurut World Economic Forum menempati ukuran terbesar ke-15 dunia. Besarnya pasar Indonesia ini juga diikuti daya beli yang makin besar dari kelas menengah yang makin berkembang. Namun demikian, Indonesia juga memiliki beberapa kelemahan yang menghambat hubungan ekonomi dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat, yaitu: a) Infrastruktur yang buruk dan menunjang kegiatan ekonomi merupakan kekurangan Indonesia yang paling sering dikeluhkan oleh mitra kerjasama ekonomi termasuk AS. Infrastruktur yang dikeluhkan mencakup sarana jalan, fasilitas pelabuhan dan transportasi udara, suplai energy dan jaringan telekomunikasi. b) Penerapan peraturan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang masih lemah di Indonesia. Meskipun Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan hukum HKI namun dalam implementasinya masih [ 173 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sering terjadi pelanggaran HKI dan penegakan hukumnya kurang efektif. c) Kualitas barang hasil produksi yang sering di bawah standar keamanan, keselamatan dan kesehatan, atau kalaupun berhasil mencapai standar maka sering tidak konsisten. d) Kurangnya kepastian hukum yaitu payung hukum yang dapat memberikan keamanan bagi mereka untuk menjalankan usaha pertambangan. Sebagai mitra dalam hubungan ekonomi, AS juga memiliki kekuatan dan kelemahan yang harus diperhatikan Indonesia. Kekuatan AS antara lain: a) Kemudahan dalam melakukan usaha sehingga International Finance Corporation (IFC) menempatkan Amerika Serikat sebagai salah satu negara terbaik untuk melakukan usaha. b) Posisi yang kuat dalam organisasi internasional, mengingat AS adalah pelopor sistem perdagangan internasional modern dan pendiri berbagai institusi perdagangan dan keuangan internaional. Dengan demikian pengaruh dan leverage Amerika Serikat sangat besar dalam menentukan aturan main yang terkait hubungan ekonomi internasional. c) Inovasi dan teknologi maju yang menjadi menggerak perdagangan dan investasi dan infrastruktur yang mendukung berbagai aktifitas ekonomi sehingga tercapai efisiensi yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi. [ 174 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Amerika Serikat juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terancamnya perkembangan daya saing Amerika Serikat di masa yang akan datang misalnya karena menurunnya perkembangan inovasi. Atlantic Report melaporkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2008, perbaikan dalam bidang inovasi di Amerika Serikat sangat minim. Epilog a. Hubungan perdagangan luar negeri antara IndonesiaAmerika Serikat dapat dilihat menggunakan neraca perdagangan. Dimana neraca perdagangan merupakan bagian penting dari neraca pembayaran. Dalam neraca pembayaran berisikan laporan laba-rugi dalam transaksi perdagangan. Di Indonesia, terjadi penurunan nilai ekspor migas dan non-migas akan tetapi akan ada perubahan pada tahun tertentu. b. Pada perdagangan luar negeri antara IndonesiaAmerika Serikat pastinya memiliki kekuatan dan kelemahan pada masing-masing negara. Di Indonesia sendiri mengalami peningkatan pada stabilitas ekonomi makro dan potensi pasar yang besar, akan tetapi ada kelemahan yang muncul seperti kualitas produk yang rendah serta infrastruktur yang buruk. Sedangkan di Amerika Serikat, posisi yang kuat dalam organisasi internasional menjadi suatu komponen unggul serta inovasi dan teknologi yang sudah maju, namun dibalik kekuatannya terdapat penurunan dalam perkembangan daya saing. [ 175 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI Aimon, Hasdi. 2013. Prospek Perdagangan Luar Negeri Indonesia-Amerika dan Kurs. Jurnal Kajian Ekonomi, Vol. I, No.02. Darwanto, S.E.,M.Si. Model Perdagangan Hecksher Ohlin (Teori, Kritik, Perbaikan). Fakultas Ekonomi UNDIP. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI. 2012. Kajian Kerjasama Bilateral Indonesia-Amerika Serikat. Sadono, Endiarjati Dewandaru. Teori Perdagangan Internasional dan Strategi Pembangunan. Universitas Gadjah Mada. Siregar. 2009. Perdagangan Luar Negeri Indonesia-Amerika. Kajian Vol.14 No.03. Wardhani, Francisca Wijauanti Kusuma. 2010. Kerjasama Cina-Amerika Serikat. FISIP. Universitas Indonesia. www.badanpusatstatistik.com www.lms.unhas.ac.id www.usu.ac.id
[ 176 ]