Satu DI PAKUAN EXPRESS
Ya, awal tahun 2008. Pindah ke rumah sendiri. Berpisah dari orangtua, pindah kerja pula ke Jakarta. Meninggalkan kenyamanan kerja di Bogor rupanya membuatku terkaget-kaget dengan suasana ibu kota. Sarana transportasi utama yang kugunakan sekarang adalah Kereta Rel Listrik (KRL) jurusan Bogor - Jakarta Kota. Seminggu pertama aku mencoba membiasakan diri menggunakan KRL ekonomi. Namun kondisi badanku menjadi drop. Akhirnya di minggu ke-2 kuputuskan untuk naik express di pagi hari dan ekonomi saat pulang kerja. (kombinasi yang cukup menguntungkan dalam menghemat uang transport). Minggu-minggu awal, aku selalu berpindah-pindah gerbong ketika naik. Sampai suatu hari aku naik di gerbong 6. Disitulah Aku melihat pria yang menarik perhatianku. 5
Sosoknya yang menurutku tampan, telah mengganggu konsentrasiku tiap pagi, dan membuatku memutuskan untuk seterusnya, hari-hari kedepan akan selalu naik di gerbong 6. Rupanya individualitas yang tinggi di gerbong kelas berpendingin udara menyebabkan aku sulit mencari celah untuk membuka percakapan dengan si Iqbal (panggilanku buatnya). Aku hanya cukup puas memandangnya dari jauh ketika kita berdiri berjauhan. Berdebar kencang saat dia berdiri didekatku. Salah tingkah saat duduk disebelahku. Tak sabar ingin berkenalan. Hari-hari berikutnya akhirnya kesempatan mengobrol pun tiba. Dimulai dari perasaan senasib karena kereta tertahan di Stsiun Pasar Minggu selama lebih dari setengah jam. Obrolan pun dibuka.Si Iqbal (panggil terus saja begitu) menyapaku terlebih dahulu. Dia mengeluh karena akan terlambat sampai kantor. Jujur, saat itu aku masih takjub dan tidak memerhatikan omongannya, karena hari itulah aku dapat memandang wajahnya puas. Setelah berkenalan dan melanjutkan perjalanan, aku merasa hari-hariku ke depan akan lebih menyenangkan. Sambil berdiri menyandar di tiang peron tengah, aku menyambutnya dengan senyuman saat dia berjalan menghampiriku. Akhirnya kami naik, dan sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan 6
seru mengenai segala hal. Dari obrolan hari itu aku tahu kalau dia berusia tiga tahun lebih tua dariku, telah menikah dan dikaruniai anak perempuan berusia dua tahun. Ketika kereta telah mendekati tujuan akhir, gerbong bertambah sepi. Kami sama-sama duduk di kursi yang kini telah kosong. Dia bertanya padaku apakah aku telah memiliki calon pendamping, atau pacar. Dia juga bertanya mengapa aku belum menikah padahal usiaku beberapa tahun lagi menginjak kepala tiga dan telah memiliki rumah sendiri serta kerja yang mapan. Dengan mengecilkan suaraku aku berkata: "Saya kurang tertarik dengan cewek..." Kulihat perubahan ekspresi wajahnya menjadi bingung dan salah tingkah, begitu pula gerak-gerik badannya. Aku hanya bisa tersenyum geli melihatnya bersikap seperti itu. Dengan ekspresi ingin buru-buru pergi dia mengalihkan pembicaraan, namun ketika sampai di stasiun kota dia langsung pergi dengan hanya memberiku senyuman sekilas. Hari berikutnya aku tidak melihatnya. Hari selanjutnya aku melihatnya naik di gerbong berbeda. Aku tahu dia berusaha menghindariku.
Jum'at 1 Februari 7
Hujan besar terparah membuat Jakarta tergenang banjir, hujan juga menyebabkan kereta tertahan di stasiun Manggarai sampai 1 jam. Aku tidak melihat Iqbal di gerbong yang sama. Dalam hawa dingin aku duduk memejamkan mata sambil mendengarkan lagu dari ponsel seri musik milikku. Tiba-tiba aku terbangun dikejutkan dengan pukulan koran di paha. "Nih korannya jatuh... " ujar sebuah suara. Ternyata Iqbal sudah duduk didekatku. Kulepas earphone-ku, menerima koran dari tangannya dan mengucapkan terimakasih dengan senyuman. Kami duduk berdua dalam diam. Sesekali Iqbal melongok ke Jendela melihat derasnya hujan di luar. Aku tahu... dia sedang dilanda penasaran. Jadinya aku harus tetap bersikap tenang. "Ngg.. gimana rasanya...?" tanyanya pelan. Aku menoleh tak mengerti. "Rasanya jadi... yah.." lanjutnya lebih pelan "Rasanya...? biasa aja... cuma reaksinya yang gak biasa..." jawabku. "Maksudnya?" tanyanya tak mengerti. "Reaksi orang ketika tahu biasanya menjauh." Sindirku 8
Iqbal terdiam. "Aku mau tanya.." ujarku. "Menurut ente cewek itu cantik gak?" tanyaku menunjuk satu gadis manis diantara tiga penumpang di kursi khusus.1 "Cantik." jawab si Iqbal "Ente tertarik gak sama dia?" tanyaku lagi "Kalo belum punya istri, terus kenal lebih dekat mungkin iya.. tapi secara fisik, dia itu cantik yang bukan tipeku..." jawabnya sambil tidak melepaskan pandangan dari si gadis. "Yah begitulah..." ujarku "Kita sih sama aja, gak mungkin kan ane naksir setiap cowok yang ane temuin?" lanjutku lagi. Iqbal menatapku. Aku tertawa menenangkan.. "Sorry bro, ente cakep, tapi sayang bukan tipe ane..." (Bohong banget!!) lalu aku melanjutkan mendengarkan musik. Aku tahu ucapanku membuat dia makin penasaran. Ketika akhirnya kereta bergerak
Kursi khusus : kursi di gerbong kereta yang diperuntukkan untuk ibu hamil, manula, dan penyandang cacat. 1
9
melanjutkan perjalanan menembus hujan lebat, kami kembali duduk dalam diam.
1 Februari, Stasiun Kota, 9:30 Ketika akhirnya sampai di Stasiun Kota, suasana stasiun sangat ramai. Kebanyakan karena banyak orang tidak berani keluar menembus lebatnya hujan. Banjir menggenangi jalan raya, percuma saja keluar dengan payung karena tetap akan basah kuyup. Aku berdiri di pintu timur memandang hujan lebat di luar, Iqbal berdiri disebelahku diam. Hawa dingin membuat perutku lapar, hingga aku memutuskan untuk makan di restoran cepat saji di dalam stasiun. "Kemana?" tanya Iqbal saat melihatku pergi. "Makan di A-W. Laper... tanggung sekalian telat masuk kantor. mau ikut?" tanyaku. Iqbal jawabnya.
ragu-ragu.
"Um..
udah
sarapan.."
"Ya udah... yakin nih? dingin lho.. ane traktir kopi mau?" pancingku. Sejenak Iqbal masih ragu, tetapi akhirnya dia berjalan mengikutiku.
10