P e rp u s ta k a a n F a k u lta s S a s tr a itiv e rs ita s In d o n esia
899.232 S 402(5
BULAN MERAH OLEH
SOEKANTO S. A.
1958 DTNAS PENERBITAN BALAI PUSTAKA DJAKARTA
PERPUSTAKAAN PAKULTAS SASTRA
Gam bar k u lit: B A H A R U D IN G am bar dalam : D A H L A N D JA Z H Penerbit: Dinas Penerbitan Balai Pustaka Pertjetukan : Balai Pustaka Djakarta
B. P. No. 2052 Hak pengarang dilindungi oleh Undang-undang
R p 12,50
FAK. SASTRA Tangg#l N o .—
BULA N M E R A H
1.
Kenangan Hitam
2. Pengantin M aut 3. Bulan Merah 4 . Gali dan Kemudian Timbuni
Kenangan hit am K A K I- K A K I jang kurus itu teius djuga melangkah memasuki kehitaman malam. Langit tldak berbintang dan malam terasa hampa seperti langkah-langkahnja. Pandangku masih terpaku pada sosok tubuli jang menghilang digelap malam, pada kepergiannja, kepergian
jang membawa
kekosongan,
seperti
kedatangannja,
seperti djuga hidupnja: kehampaan jang memandjang! Saat terachir belum hilang dari kenangan : Dia datang ! Dan gambaran lama kembali melela didepan mataku : Manusia jang tidak pernah tegas. Manusia jang selalu menjerahkan nasibnja pada kebetulan’ . Manusia jang memandang dunia sebagai nerakanja, manusia jang selalu mentjoba melarikan diri dari kenjataan, manusia sentimen jang terlalu pertjaja kepada perasaan2nja, ma nusia jang menganggap hidupnja hanja gumpalan kegagalan dan jang djelas kuingat : Mimpi ! Manusia jang membiarkan hidupnja hanja mimpi jang pandjang ! Dia datang ! Dan pintu malas terbuka ketika dia masuk dan angin ketjil jang menerobos tjelah dinding, memberi njawa pada masa jang belum lama mati. Teriakan terachir sebelum ia pergi dulu, masih mengiang : — Kaulihatlah ! Kaulihatlah nanti, kalau segala timbunan ini sudah kutiadakan, aku akan kembali, kembali menghadapi kenjataan ! Kaulihatlah ! Jah, saat itu belum lama mati. Sebulan jang lalu dia masih satu kelas dengan aku disekolah. Masih kuingat: duduknja selalu
memodjok, pandangnja tak atjuh pada guru jang sedang menerangkan suatu peladjaran. Dan seperti ada apa-apa diluar peladjaran jang menarik perhatiannja, ketika itu nampak dahinja berkerutkerut. Mentjoba mengingat sesuatu! Dan kalau kerut2 itu telah rata kembali, dia menghela nafas dan perlahan sekali terdengar dari mulutnja : Gagal ! Hariku jang ini penuh djuga dengan kegagalan! Kegagalan itu akan nampak pada awan jang meliputi airmukanja hari itu. Dibalik-balikkannja halaman2 buku didepannja dan pandangnja ketika itu nampak pandang menjesal: mengapa hidupnja bukan halaman2 buku itu, akan dapat dibalikbalikkannja bila dia mau ? Dia tahu, dia tidak berkuasa atas hidupnja, itulah sebabnja dia selalu membiarkan hidupnja bergerak merdeka diluar kekuasaannja, itulah sebabnja dia tidak pernah menahan-nahan keinginannja, nafsunja, amarahnja! Perkenalan pertama dengan dia — sebelum itu tidak saling m cngenal, meskipun satu kelas — masih kuingat: di Senen Lama,
dibawah bajang-bajang deretan gerbong2 kosong, disamar .tjahaja lampu doger jang mengepulkan asap menjesakkan nafas ! Ditengah keributan tabuhan jang berpadu dengan nafsu manusia jang menjembur-njembur! Aku tersenjum dan senjumku jang biasanja tertumbuk pada airmukanja jang mesum, kali ini heran disambut oleh senjum pula senjum jang banjak mengudung arti, antaranja tentu sematjam tjemooh : Kau djuga di Senen Lama! Kau djuga pemimpi, hidupmu djuga menudju kehantjuran seperti hidupku, kau djuga tidak mempunjai kuasa apa2 atas hidupmu ! Dan persamaan ini dianggapnja kemenangan. Dia tersenjum: kekosongan ?! -
Kita sekelas bukan?! Kita sama2 tjari isi
Ha ha ha ha h a ! ! !
Dia tetawa terbahak-bahak, tidak
tertahan-tahan. Dan inilah pertama aku melihat dia tertawa.
Aku tak tahu apa sebetulnja jang lutju dalam pertemuan ini, tapi bolehlah tertawa ini diartikan tertawa kemenangan! — Kita sama-sama tjari isi kekosongan hidup kita! Begitulah hendaknja hidup ini. Mentjari is i! Tahu kau bagaimana hidupmu musti kauisi ? Ah, aku sebetulnja tidak biasa membawa persoalan untuk orang Iain dan soal isi ini memang soal perseorangan. Begitulah seperti djalan2 dikampung djalan pikirannja tidak rata : naik turun ! — Aku saban malam disini. Katanja tak atjuh, pandangnja djauh menembus kehitaman malam, dan suara selandjutnja, terlalu tegang : — Segar ! Memang segar memandang alam jang montok ! Doget djuga sebagian dari alam dan adalah alam karena sebagian daripadanja. — Aku saban malam disini — ulangnja — dan ini mimpi jang indah bagiku. Aku tak mau terbangun dari mimpi ini, itulah sebabnja aku saban malam disini: memandang alam jang montok, menikmati seni jang indah ! Kau sudah beladjar bukan dari halaman2 buku, apa seni itu ? Seni adalah hasil dari pertjobaan mewudjudkan haruan djiwa, dan manusia jang gagal dalam pertjobaan itu, harus dapat menghargai apa jang sudah terwudjud! Dan doger adalah manusia jang tidak kenal putusasa dalam pertjobaan pewudjudan itu. Tjoba kautembus dadanja, dibaliknja: laut, laut jang bergelombang besar2, laut jang bertaufan! Lihatlah pinggang jang melenggok lenggang itu! Itu pertjobaan!, pertjobaan mewudjudkan jang bergeTora didadanja, antaranja tentu: penderitaan, penderitaan jang menindas hidup djiwanja! Kaulihat P Kaurasakan itu semua ? Kalau tidak, maka terang sudah kau manusia batu, jang hidup hanja karena kebetulan harus hidup! Dan aku harus bertanja: mengapa kau ada disini ? Mengapa djustru ditempat ini kita harus bertemu pula ? Pulanglah !
)
Disini bukan duniamu ! Aku taliu duniamu masili harus kaubentuk! Dan nasihatku : djanganlah kaubentuk duniamu diatas dasar kekosongan ! , Itulah perkenalanku pertama dengan dia — perkenalan dari dekat. Malam larut seperti biasa dan hatiku bertanja-tanja: Mengapa harus di Senen Lama aku berkenalan dengannja ? Apa jang menarikku ke Senen ? Semuanja terdjadi karena kebetulan ? Mengapa — kalau benar dem'kian — hidupku harus djuga terdiri dari kebetulan2 ? Malam larut seperti biasa dan pertanjaan2 itu kubiarkan tidak berdjawab! Esoknja dia tak kudapati disekolah. Dan pertjobaanku mentjarinja ditempat semalam, berhasil! Pertemuan kembali ini dimulai pula dengan senjum. Dan seperti orang jang tak dapat membendung deras aliran pikirannja, tertjurahlah pertanjaan terhadapku, mengimbangi hatinja jang selalu bertanja: — Kau kembali kesini. Apa jang menarikmu kemari ? Alam montok ? Keindahan jang kau tak dapat nikmati ? Atau ingintahumu akan apa jang kuperbuat di Senen Lama ini ? Mengapa tidak kaumulai sadja membentuk duniamu Tahukah kau bahwa ingintahumu itu sadja sudah menundjukkan bahwa kau tersesat ? Tahu kau Tentu tidak! Ini kekuranganmu! Kau lari barangkali ? Lari dari segala jang mem'nta tanggungdjawabmu ? Melarikan diri dari
?
?
sesuatu jang telah mendjadi dirimu sendiri ? Tidak mungkin! — Mengapa
?—
suaranja merendah — mengapa kau berlaku
tuli terhadap pertanjaan2 sematjam itu ? Pertanjaan jang sebetulnja telah lebih dulu timbul dihatimu ? Mengapa ? — Ah, aku sebetulnja tidak berhak menghudjani kau dengan pertanjaan2 tadi. Senen Lama terlalu suram untuk dapat menerangi hatimu gelap gulita. Tetapi akupun tak kuasa membendung alir pertanjaan jang menderas dari hatiku!
PERPUSTAKAAN
f x k u lt a s
s a s tr s
}
Masih djelas kuingat sesudah itu dia berdiam diri dan akupun mengimbangi
kekosongannja dengan berdiam diri pula.
Dan
kekosongan jang menekan-nekan suasana ketika itu, membuat hatiku bertanja kembali : Mengapa aku djuga berada di Senen Lama ? Mengapa ? Dia masih berdiam diri. Pandangnja terus, kelangit jang tidak berbintang, mengatas suara tabuhan jang menggemakan ke kosongan, gelak orang2 senu dan ketjup orang2 jang tidak pernah mentjoba menahan pelepasan nafsunja. Pandangnja lepas kelangit luas : langit jang tidak berbintang! —
Hidupku djuga tidak berbintang! katanja tiba2, seolah-olah
ia mengetahui apa sebenarnja jang sedang berketjamuk dalam fikiranku,
atau
kebetulan2
jang
selalu
berada
disepandjang
hidupnja ? Ma'las dia melandjutkan berkata, sedang pandangnja terus djuga kelangit, langit jang tidak berbintang! — Aku besok tidak kesekolah, seperti kemarin, dan djangan pula kauharapkan melihatku besok lusa disekolah, tidak! Aku sudah tjukup ditindas selama duduk dibangku sempit memandangi putih atas hitam. Hidupku jang sepuluh tahun habis sudah antara hitam dan putih dan aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku disitu pula. Aku mau beri udara baru pada kehidupanku, dan udara baru itu akan kutiupkan djuga kedunia tempatku h id u p ! Aku mau hidupku kedepan berisi, dan aku mau aku jang mengisi dan bukan orang lain, jang mengertikan mengisi dengan menimbun ! — Bukan itu sadja, — suaranja menurun — ada lagi, dan ini jang tidak mudah kulupakan, tak mudah kuatasi: Kedjemuan; Kautahu, hidupku terlalu rata, hidupku tidak mengenal klimaks — aku suka klimaks2, hidupku tenggelam selalu ditimbun kasihan2 orang la in ! Kautahu ? Hidupku selalu dikedjar-kedjar perasaan berhutang. Hidupku terdiri dari hutang-hutang! Dan
ini jang sangat kusesali! Kemerdekaanku sudah lenjap, karena kasihan2 orang la in ! Kasihan jang ditundjukkannja hanja karena ia mau dinamai manusia, manusia jang berperikemanusiaan! Jang tinggal kini ? Jang kulihat kini ? Bukan kemerdekaan! kau tahu ? Ini anarki ! Dan kau ? Kau djuga mentjoba mengasihaniku ? Aku tahu, engkau tak pernah memandang mukaku, karena engkau kasihan! Aku tahu — aku memang jang paling tahu, mukaku selalu menimbulkan kasihan orang, muka jang tumbuh ditengah kasihan2 orang! Aku tahu mukaku mengingatkan orang pada tanah jang baru selesai ditjangkul: tidak rata I Kau tahu ? Aku sudah kenjang! Aku kenjang dengan segala kasihan orang ! Kenjang ! Bosan ! Djemu ! Kautahu ? Kasihan2 itu telah mendesakku kepinggir, aku selalu takut menghadapi kenjataan ! Kasihan itu menjuruhku menjadari tempuhan hidupku : Ajah jang lari dari tanggungdjawabnja ! Ibu jang mentjoba menghindari tekanan ekonomi, jang mentjoba meringankan beban dibahunja dengan membiarkan hidupnja dan hidupku drtimbuni kasihan2 ! Masih ingat kau bagaimana aku duduk dikelas ? Dipodjok ! Takut2 ! Malu2 ! Masih ingat kau bagaimana merah mukaku kalau bertjakap-tjakap dengan manusia seperti engkau disekolah ? Merah ! Ja Merah ! Darahku naik kekepala, dan 'lainnja larut kebawah sadar; djuga pikiran sehatku! — Dan sekarang........... ? — suaranja naik mengganas — pandang mukaku! Pandang! Djangan kautjoba mempertebal timbunan kasihan ini dengan kasihanmu! Kaulihat ? Kaulihat apa jang ada dibalik mukaku ? Urat! Dan didalamnja ? Darah merah jang menderas! Darah hidup jang tidak pernah berteriak minta dikasihani! — Aku besok tidak kesekolah, ini sudah pasti! katanja sesudah sedjenak terpesona, — djuga tidak esok lusa! Aku tidak
mau lagL mempertebal kasihan jang menimbuni kemerdekaanku ! Karena, buat aku masih tetap : sekolah dan kasihan ini tak dapat dipisah-pisahkan ! Dan aku mau lepas dari timbunan itu ! Hidupku sesudah itu akan kuisi sendiri ! Akan kuisi.................... akan kuisi! Besok akan kumulai perdjuangan! Dan djangan '
kaunamakan aku pengetjut karena aku la ri! Lari dari kenjataan ! Aku lari untuk kembali! Kaulihatlah nanti! Aku akan kembali menghadapi kenjataan kalau segala timbunan ini sudah kutiadak a n ! Kaulihatlah! Ia diam. Pandangnja mulai nampak lelah. Mataku jang nientjari sesuatu jang tersembunji dibelakang airmukanja jang tidak rata itu, tidak berhasil menemukan sesuatu selain: kekesalan putusasa irihati jang berpadu dengan keketjewaan, ketakutan dan keinginan lari jang tidak tertahan-tahan! Dan hidupnja hanja merupakan gumpalan dari itu semua. — Besok kumulai perdjuangan!
Perdjuangan
meniadakan
timbunan2 i n i ! Kaulihatlah! Sudah itu dia berdiam diri pula. Malam kembali larut dan dengan tak mengutjapkan apa2 dia pergi, menghilang dihitam malam! Hari2 satu persatu mati bersama teriakan2nja. Dan ketika hariku ini hendak mati djuga, dia datang I Kemarahan jang meluapluap, keputusasaan dan kekosongan mendahului kedatangannja. Dan tiba2 : — Kekalahanku ini tidak berarti kemenangan buat kau ! Sedang airmukanja jang keruh itu nampak penuh dengan kegandjilan2 ! — Tidak! Samasekali tidak! Kekalahanku adalah kekalahanku ! katanja mengulang, seperti memaksa aku mejakini kata2nja. — Kau masih ingat ? Teriakan2ku pada malam pertemuan kita terachir ? dia meneruskan berkata sedang matanja liar memandang keliling : — Aku tidak bisa lari! Dimana-mana tertebar kenjataan! Malam jang dulu kukira tempatku bersem-
bunji, penuh djuga dengan kenjataan. Dan malam surani di Senen Lama salah satunja ! Kautahu Teriakan2ku tak djuga berkuasa
?
atas kehidupanku! Dan beberapa saat sesudah aku berteriak, kuhitami sedjarah! Disana djuga, di Senen Lama! Kau masih ingat ? Beberapa meter dari tempat nongkrong kita dulu ? Gumpaian hitam diatas rel mati Gerbong ! Dan arti gerbong buat aku sudah lain. Bukan lagi tempat barang, bukan tempat penumpang tapi tempat aku menghitami sedjarah ini. Dan bagiku
?
malam itu tidak pemah larut! Masih dapatkah kau membajangkan
r
Bunji gendang jang memukul-mukul perasaan ? Alam montok jang mendeburkan darah ? Semua itu ada pada malamku itu ! Dan perasaan ingintahu tak dapat ditahan-tahan : dapatkah djuga kunikmati kemontokan alam ini Dapatkah ? Dan seperti sudah dapat diramalkan sebelumnja: satu avontir akan kual'ami! Aku naik gerbong! Gelap tentu sadja, karena gerbong ini gerbong barang! Dan hidupku saat2 itu djuga gelap gulita! Dapatkah kaubajangkan kelandjufcan hidup gelap gelita ini ? Tidak! Aku tahu pasti, tidak! Kau tidak dapat memandang djauh! Pandanganmu tjuma sampai hari in i! Kautahu ? Saat selandjutnja begitu
?
dramatis! Badanku panas, darah ditubuhku mengalir deras! Dan ketika hendak kudjamah alam montok jang terhampar didepanku, sinar bulan masuk kedalam gerbong! Dan api nafsu jang sedang mentjapai puntjak kedahsjatannja, tiba2 padam karena hudjan turun dengan derasnja, hudjan kesadaran akan harga diri, kesadaran bahwa alam montok itu hanja kekosongan, tidak dapat didjadikan tempat pentjurahan tjinta! Kautahu ? Kautahu bagaimana bulan mentjibir ketika aku lari dari gerbong jang mendjadi maut pada penghitaman sedjarahku ? Kautahu ? Tidak ! Kau tidak dapat memandang djauh ! — Senen Lama sudah penuh djuga dengan kenjataan buat aku !
Dan masihkah engkau niau djuga mendjadikan Senen Lama tempat pentjurahan tjintamu, sesudah kaulihat bahwa alam montok itu suatu kekosongan belaka
?
Masihkah engkau mau lari djuga
dari kenjataan ? Diniana-mana tertebar kenjataan ! — Aku sudah sama hitam dengan malam ! katanja putus asa, — dan dunia s.'ang tidak memberi tempat lagi bagi kelandjutan sedjarahku ! Tetapi b.arlah, biarlah aku akan mengembara dalam kehitaman malam ! Biarlah kumandjakan hidupku dalam kehitaman malam ! Akan kub.'arkan hidupku bergerak merdeka dikehitaman malam p u la ! Dan akan kubiarkan pula hidupku menudju kekehantjuran dalam pelukan malam ! Aku toch sudah sama hitam dengan malam ! — Tapi, katanja penuh semangat, — satu hal mesti kaubenarkan ! Kekalahanku ini 'tidak berarti kemenanganmu ! Tidak ! Samasekali tidak! Demikian detik penghabisan dan djiwa negatif jang berupakan sentimen! Dan bersama kekosongan ditinggalkannja aku. Pintu malas terbuka, angin ketjil menerobos dan kaki-kaki
jang
kurus
kehitaman malam !
itu
terus djuga
melangkah
memasuki
Pengcmtin Maut
K
ALAU ada orang jang akan menjamakan aku dengan perekam
suara, dia lak salah. Karena tiap-tiap kata jang tersembul dari dua buali mulut jang benentangan hatinja masih tersusun teratur dalam ingatanku. Si anak jang memulai, berapi-api : —
Enak sadja, kau mengelak dengan hanja mengatakan bahwa
semuanja terdjadi diluar kekuasaanmu. Kau bilang soal djodoh sama sadja dengan soa! niati dan dengan begitu kau mau mengata kan bahwa perkawinanmu sesuatu jang harus kauterima seperti kau menerima mati. Enak sadja ! Kalau begitu, apa arti hidupmu ? Tua bangka ! Gila-g:!a basa ! Matamu jang haus daging perempuan itu dapat berkata, bahwa perkawinan gila ini sesuatu jang ditakdirkan Tuhan ? Dan aku harus memanggil kau bapak! Daa aku harus berlaku hormat pada orang jang mabuk, mabuk konde berkemenjan ! Hem... Musa! Kautahu Musa — lebih baik memang kupanggil sadja namamu, kau sedar Musa ? Tidak dapatkah kau mengerti Musa, bahwa rumah kita, waning kita akan segera runtuh dibakar asap kemenjan perempuan pengeret itu ? LihatV sidenok Rahajti itu sudah minta dibelikan giwang! Dan kau buta, Musa! Buta melihat denok itu menggeliat penuh birahi. Kau tidak tahu bahwa Ratimah isterimu, Ratimah ibuku, jang 1*1uni lama terkubur di Karet itu akan mengutuk ? Kaulihat Musa ? Kaulihat ini Musa? (diatjukannja tangan kanannja) Kaulihat ini? Ditangan kananku ini mengalir darah Ratimah ! Dan aku tegak karena patahan2 tulang dan sungsum Ratimah! Aku Suwandi
Bulan Merah
2
kautahu? Aku tidak mau melhat rumah'jang dibangun dengan tjutjuran peluh ibuku ini akan runtuh oleh perempuan pengerct jang telah memabukkan kau dengan asap kemenjannja ! Dan kau mesti tahu Musa, tangan kananku ini selalu sedia mcntjekek siapa Sadja jang mentjoba niemntuhkan rumah kita ! Kaudengar
? Kau
mengerti tuabangka ? Dan kau tak usah mengatakan itu seniua takdir! Takdir da rah panasmu barangkali! Katakan sadja bahwa kau tak pernah dapat mcnding'nkan darahmu! Katakan sadja bahwa kau tak dapa: mengendorkan urat2mu ! Musa, dimana tjutju2mu akan berlindung ka!au rumah kita ini runtuh
? Dimana ?
Musa, ka'au kau tidak dapat nienjadari bahwa pipimu sudah pcot, kalau kau tidak mau mcndjadi tua, tangan kananku ini akan mendjadikannja ! Kaudengar kan kau tua!
? Tangan
kananku ini akan mendjadi-
Akan membuka matanui, melihat bahwa gigrmu hanipir semua sudah berpindah pada tjutju2m u ! Musa, tidak dapatkah kau mengerti bahwa denok Rahaju mau kawin dengan kau hanja karena gedungmu, warungmu, hartamu ? Dan bukan karena pipi peotmu ? Dan bukan karena gigi ompongmu ! Dan kaulupa Musa, bahwa gedung, waning dan harta jang kini kaumiliki itu dulu berdikit-dik't bersama Ratimah dikumpulkan, bersama Ratimah ibuku ! Dan kau berpura-pura melupakan bahwa Ratimah dari kuburnja tidak menjetudjui kegilaanmu i n i! Dan kau mau aku panggil kau bapak, bapak jang harus dihormati! Dan kau mau aku memanggil perempuan pengeret itu ibu ! Musa, kapan kau -dapat kembali membuka matamu dan merasa malu terhadap mata"hari jang tersenjum melihat kegilaanmu Kapan Kapan ?
?
?
Ratimah ibuku tadi bilang: — Kau mesti pergi! Pergi dengan sundalmu! Rumah kita mesti dibersihkan! Rumah kita tjuma buat orang-orang jang t;dak gila! Pergi! Scmua pergi! Semua
pergi ! Djuga kau M usa! Bawa perenipuan pengerct itu ! Aku tidak takut dan tidak perduli dia akan membakar kemenjan segudang lagi ! Aku tidak takut! Peluhku djuga peluh Ratimah jang telah membangun rumah ini, akan memadanikan njala kenienjannja ! Pergi ! Pergi ! Ka'au kau tidak pergi sekarang djuga, tangan Pergi !
kananku
ini
akan meniaksamu ! Kaudengar,
Musa ? ?
— Sabar, Di ! Aku tidak meramalkan bahwa akan begini djadinja. Aku kira dianimu selama ini berarti setudju akan perkawinanku ini ! Bukankah engkau mau supaja aku melupakan kehilangan jang baru lalu P Bukankah itu maunm
?
— Sabar! Setudju! Diam ! T dak!
Aku tidak dapat diam
lebih lama lagi ! Aku mesti bukakan matamu ! Itu bukan tjara; melupakan! Kautahu, tadi Ratimah datang. Ratimah ibuku ? Datang dari Karet. Dan dia marah kepadaku karena rnmah kita ini kubiarkan dipenuhi asap kemenjan! Asap kemenjan dan sedap bunga jang telah memabukkan kau, Musa ! Dan diberinjaaku darah, patahan tulang dan sungsum ! Dan semuanja kini ada ditangan kananku ini ! Dan tangan kananku ini nanti akan menjapu bersih asap it u ! Kaudengar Musa ? Kaudengar, tuabangka ? Kautahu bahwa asap kemenjan pengeret itu tidak sehat bagi keh'dupan tjutju2mu ? — Aku mengerti, Di ! Aku mengerti ! — Mengerti! Apa artinja mengertimu itu ! Tidak ! Sudah terlainbat M usa! Randjang ibuku — Ratimah — sudah d'nodai perempuan pengeret itu ! Telingaku sudah dikotori bunji keringkit per randjang dihimbau ! Dan itu tak mudah hilang lagi! Biar dibakar sekalipun! Biar ditjutji dengan air tudjuh segarapun ■ Seumpama tiang, kau kini sudah lapuk, Musa ! Tapi kau tidak mau tahu ! Kau tidak mau tahu bahwa kaii tinggal lag’ menanti-
kan suatu keruntuhan. Keiuntuhaii jang penuli sadar! — Tidak, Di ! Aku mungkin tidak segila itu ! Aku masih p un ji hati, D i ! Aku masih punja rasa dan pertimbangan ! Tidak, Di ! Aku tidak segila itu ! Aku tidak mail lapuk dan runiah kita runtuh ! Kau tidak adil, D i ! Tidak adil dapat mengatakan aku gila-gila basa, haus daging mengapa kau menghalangi aku nielepaskan hausku Kau tidak a d il! Kau mau aku merana
?
mcmbiarkan ! Kalau kau perempuan, ? Mengapa ?
Aku tahu sekarang Di, kata2mu selama ini bohong belaka f Kau bilang berkali-kali baliwa aku mesti istirahat, melupakan kehilangan jang belum lama lalu. Tetapi mengapa sekarang kaulialang-halangi aku ? Bukankah ini suatu tjara djuga untuk melupakan ? Aku taliu sekarang Di, dalam sekam-diammu membara api jang gembira melihat orang lain haus, melihat aku haus! — Lupa ? Kau mau melupakan suatu kehilangan dengan memabukkan diri ? Tidak dapat, Musa ! Kautahu bukan, berapa lama
?
orang dapat mabuk ? Kautahu bukan Kautahu bukan, berapa lama orang dapat melupakan jang lama ketika mendapatkan jang baru ? Tapi kau mungkin agak lain, M usa! Ketika aku ketjil dulu dan aku kehilangan uang sepitjis dan ibuku menggantinja dengan memberiku sepitjis lagi, aku malah m e n a n g is . Karena apa ? Karena ingat kehilangan jang baru lalu ! Dan kau memang bukan kanak2 la g i! Ini aku ketahui. Jang baru ini tidak dapat mengingatkan jang lama buat kau. Jang lama jang kini telah hilang! Kau dengan matakerandjangmu ! Dan dengan matakerandjangmu kau tjuma dapat liViat sate dan bir jang dapat disuguhkan oleh perempuan pengeret itu ! Jang dapat kauperoleh dari pengeret itu
\
Dan kau tidak dapat melihat bahwa dia djuga rajap, dia djuga bubuk jang akan melapukkan tiang2 peruinahan kau, perumahan kita ! Kau tidak '1ill a t ! Pergi! Kau mesti pergi. Musa! Sekarang
djuga! Kalau tidak, awaslah ! Tanganku makia kaku sekarang dan ini membahajakan tiap leher ! Lehermu, leher pengeret itu ! Tidak usali kautunggu sampai pagi ! Dan dimataku malam itu, djari2 kaku Suwandi sudah serupa sadja dengan kuku2 liarimau jang tiap saat dapat mentjengkam tiap leher jang berani mendekat ! Musa kulihat duduk sadja tenang dan aku terus sadja bersembunji dikamar dan hanja dari tjelah dinding kulihat kekuatiran dan ketakutan berketjamuk dihati Musa, meski disaput dengan ketenangan jang pura2. Hatiku jang ketjut kuhudjani tanja : Aku rajap ? Aku bubuk
?
Sundal
?
Pengeret ?
Alangkah liinanja! Dan untuk mengelakkan tuduhan2 ini aku harus kembali membuka halaman2 sedjarah jang ingin kulupakan ! Aku perIu pembelaan ! Dan untuk itu perlu bukti2 ! Dan untuk mendapatnja aku liants kembali membuka lembaran2 jang telah lama kututup! Dan ini dia : Lembaran pertama membajangkari kelahiran bahagia seorang baji — aku — ditengah tumpukan padi. Dan sudah itu bertunit lembaran jang kuanggap terlalu biasa : pertumbuhan dari ketjil kebesar! Dan sampaikh achirnja aku pada lembaran jang sedianja akan kututup untuk se'ama-lamanja. Teiapi tidak dapat rupanja. Kalau perkawinan dengan tuabangka ini tadinja akan kudjadikan sebagai pertjobaan menebus dosa, maka
orang tidak dapat mengertikan
lagi.
Djuga
Suwandi !
(Drang terlalu kedjam meniang! Mereka tidak mau memberi kesempatau kepadaku untuk menundjukkan bahwa aku bukan rajap, bukan bubuk ! Orang terlalu dikuasai perasaan2 ! Djuga Suwandi! Djuga situabangka! Djuga aku sendiri ! Mengapa ketjantikanku dan kedenokanku harus disalahkan ? Mengapa ? Suwandi ir i! Dia iri melihat bini ajahnja lebih tjantik dan lebih denok dari bininja sendiri!
Dan ini djuga salah satu dari pululian matjam perasaan jang mcnguasai dirinja! Dan kcdjadian malam inilah jang meniang serupa topan dengan sigap dan tjepatnja membalik-balikkan lcmbaran2 scdjarah jang sedianja kututup untuk selamanja tadi. Dan berhcnti scrta tertjenunglah aku pada suatu halaman jang kuanggap sebab dari kutuk dan hukuman jang harus kuterima malam ini : — Anakku jang baru berumur 2 bulan dan masih mcnjusu dulu kutinggalkan! Djuga suamiku jang d u lu ! Aku selalu dikuasai perasaan2 seperti kataku tadi. Dan perkawinan jang membuahkan anak tidak dapat kumengerti sebagai rachmat! Aku djenut ! Aku bosan mehjusui, mentjeboki, niemanclikan baji ! Aku bosan me!adeni suamiku jang mandja! Dan aku pergi! Pergi! Aku ingin kembali keniasa keemasanku sebagai perawan ! Alangkah mesranja berniain dengan perasaan memang! Dan terbanglah aku kembali mengawan tinggi. Tak perlu lagi kini aku menjandjung tapi seballknja aku disandjung! Dan aku tidak perduli bahwa mcskipun tipis masih ada sesuatu jang merentang antara aku dan suamiku jang dulu, sesuatu jang meng:kat! Aku tidak perduli ! Bukankah apa jang mengikat merentang itu seget.i h :lang artinja djika ketjintaan ini sudah berbalik mendjadi kedjcmuan jang meradjalela ? Tapi akupun sebetulnja tidak dapat mcnghargai kebebasan ! Djuga tidak tahu sebenarnja apa arti dan bagaimana udjud kebebasan ! Tapi jang terang, ketika itu hidup bunga kutukar dengan hidup kunibang. Dan terbanglah aku mcngangkasa! Dan liinggaplah aku dimana sadja, dimana sadja jang menurut perasaanku dapat kuperoleh madu dis:tu. Aku tidak mau tahu bahwa alamku tidak dapat ditukar! Aku tidak mau tahu bahwa aku tetap bunga! Dan seperti biasa kesadaran terlambat datangnja ! Dan daun bungaku jang da'am m:mpiku kukira sajap itu kini
menundjukkan tanda2 bahwa sebentar lagi saat datang! Saat bahwa daun bunga itu akan mengerinjut — laju ! Dan sesudah bcrmimpi bersajap kumbang 'itulah aku disebut orang : sunda! ! Bermatjam-matjam sebutan bukan sebetulnja jang ada didunia ini? Tapi orang — lagi2 — dengan perasaannja menentukan bahwa untuk aku itulah sebutan jang tepat. Alangkah sakitnja telinga mendengarnja ! Tapi perkataan itu memang t'dak sia-sia adanja dalam perbendaharaan bahasa! Artinja sepandjang kehidupan bahasa itu selalu ada orang jang harus disebut dengan perkataan itu ! Dan keinsjafan selalu datang kemudian sekali ! Kemudian sekali ! Sesudah orang merasa segan untuk kembali keperniulaan djalan dan nicmilih kembali djalan jang benar! Djuga keinsjafan jang datang padaku ! Dan kalaupun ada ke~ mauanku untuk kembali keperniulaan djalan, orang akan menertawakan, mentjemoohkan! Bukankah suatu kegandjilan jang menggelikan kalau orang berdjalan mundur didjalan raja
?
Dan
aku memang tidak mau djadi tertawaan! Dan itulah sebabnja aku pergi djauh ! Djauh sekali dari tempat aku bermimpi djadi kumbang, dengan harapan orang2 didaerah baruku tidak akan mengenali bekas2 kehidupan lanipauku ! Suatu harapan jang tidak
?
gila, bukan Tetapi djauh ini tjuma pengertian jang fana rupanja ! Dan aku tidak pernah berhasil mendjauhkan diri dari hatiku jang mentjatat segala jang telah pernah kupcrbuat! Karena hatiku ada selalu padaku ! Dan segala peristiwa melekat erat padanja : suatu bungarampai jang tidak laras! Dan pertjobaan jang kuiakukan kini sebetulnja sudah suatu kenekatan ! Aku jang selalu takut mendjadi tertawaan orang kini mentjoba mcnganggap bunji tawa sebagai dendang sajang ! Dan tuabangka itu masih dapat melihat satu sudut jang menurut perhitungannja masih dapat memberi keuntungan padanja dan aku
didjadikan pengganti jang hilang! Aku akan didjadikan sesuatu jang dapat melupakan bahwa ia pernah kehilangan. Dan tiga hari ■jang kualami bersama dia menundjukkan bahwa d:a dapat lupa ! Dan untuk itu aku disebut rajap bubuk, pengeret jang akan merubuhkan segala tiang! Dan satu2nja djasa jang kuanggap dapat kubuat adalah membawa dia supaja lupa ! Tapi orang — terutama Suwandi, anaknja — tidak dapat menghargai itu ! Dan diniatanja, aku ini rajap, bubuk jang hanja dapat memakan kaju dan tidak mempunjai arti apa2 ! Dan anggapan ini kuanggap kutuk jang sudah dapat kuranialkan kedatangannja! Dan aku tidak dapat lebih lama lagi membohongi pendengaranku dengan mengatakan bahwa tjemooh penghinaan itu suatu dcndang sajang. Aku tidak dapat berlaku tidak perduli terhadap itu sennia. Dan nialam itu Suwandi sudah serupa harimau sadja dimataku, harimau dengan kuku pandjang runtjing. Dan urat2 leherku mu!ai mendjangkadjangka bagaimana kalau jang nintj'ng itu menghundjam diatasnja dan kemud'an mcndjora ketakutan jang tidak tertahan-tahan dan aku la ri! Dari djendela kamar tempatku bersembunji aku terdjun kegelap malam dan tenis lari! Lari! Malam itu aku lari, lari dari situabangka, lari dari Suwandi, lari dari rumah jang tanpa akupun sudah menundjukkan keruntuhan! Rumah itu tidak luput djuga djadi gelanggang perebutan! Dan
dalam perebutan orang selalu
ngin menang,
meskipun apa jang diperebutkannja itu sebetulnja belum tjukup berharga untuk diberi pengurbanan, pengurbanan jang diminta dalam perebutan itu. Malam itu aku terus lari! Dan dibelakangku mengikut gema jang hilang datang dimalani gelap itu : Pergi! Kau mesti pergi sekarang djuga! Kau pengeret! Kau rajap! Kau bubuk ! Pergi! Pergi! Dan sesudah agak djauli tertegun aku oleh teriakan orang
minta tolong jang hilang mendjauh ! Aku tahu itu tcntu Musa ! Kuku nuitjing Suwandi mcnghundjam sudah diatas unit2 leher Musa — bapaknja, korban dalarn perebutan ! Dan Suwandi tentu hingga kini belum tahu mana jang lebih berhaiga : korban atau kemenangannja !
Bulan M erah J .' ERUS
kedjar Dung
! Terus kedjar ! Kau
mesti menaiki kereta
i t u ! Seluruh Djakarta sudah tcrbakar! Tidak ada lagi tempat buat kau ! Tidak ada Jagi tempat terluang buat kau ! Terus kedjar 1 Kau musti menaiki kereta itu ! Kau musti, kau musti, kau musti. kau musti, terus kedjar! Terus kedjar! Terus! Terus kedjar • Dcm ikanlah Dudung
diburu
perasaannja sendiri,
lari rae-
mandjang rel kefetaap', mengedjar kereta jang telah tjepat membusa. Tepat ketika aku dan dia sampai di Gambir, kereta berangkat. Terlambat sedikit sadja. Dan Dudung lari mengedjar kereta jang meladju, lari terus! Kopornja dilemparkannja begitu sadja’ disetasiun. Teriakanku tidak lagi didengarnja. Aku ikuti dia, aku ik u ti! Dudung betul2 gila ! Keretaapi jang telah setjepat itu hendak dikedjarnja. Aku mengerti akan keniestian Dudung pergi dari Djakarta, tetapi tidak begini! Tidak ! Dan aku lari, lari mengedjar D u d u n g ! Aku djuga lari tjepat! : — D ud un g ! Berhenti Dung ! Berhenti! Tapi Dudung lari terus, diburu perasaannja. diburu kemcstiannja pergi saat itu djuga! Makin kutjepatkan lariku dan ketika tinggal beberapa langkah lagi sadja aku dari Dudung, Dudung terantuk bantalan rel dan d'a djatuh terdjerembab kedepan, menelungkup! Dari hidungnja jang terbcntur besi, ke!tiar darah: merah kehitaman! Tercngah-engah dia mentjoba bangun dan lari kembali, tetapi untung dapat terpegang olehku. Dia meronta: Lepaskan aku ! Lepaskan ! Lihat, api mengedjarku ! Seluruh Djakarta sudah
terbakar! Sudah terbakar! Aku xnesti kedjar kereta itu ! Aku mesti selamatkan djiwaku ! Aku musti 'kedjar kereta itu ! Lepaskan aku! Lepaskan! Keretaa!! Tunggu aku, tunggu ! Tungguuu... Dan darah dari hidungnja keluar terus: merah kehitaman! — Lepaskan aku ! Lepaskan! Lihat, Djakarta sudah terbakar seluruhnja! Aku musti lari! Aku musti! Lepaskan a k u ! Tangan Dudung jang kupegangi lepas, litjin karena keringat, dan dia lari kembali! Lari kembali, tetapi kemudian — belum lagi djauh, dia sudah tertelungkup lagi! Nafasnja jang pendek2 itu tidak dapat mengimbangi keinginannja mengedjar kereta jang telah djauh lepas dari pandangan. Kini Dudung menjerah ditanganku. Darah dihidungnja kusapu dengan saputanganku, djuga keringat jang mengalir dimukanja. Kemudian kupapah Dudung kembali kesetasiun, kududukkan dibangku dalam kamartunggu. Dudung putjat lesi ! Terlalu banjak tenaga hidup jang tadi disemburkannja! Dan kini dia duduk tak berdaja. Orang2 jang melihat, kusuruh pergi. Dan aku dengan seorang pegawai setasiun, mentjoba menjadarkan D udung* Dudung lemah terkulai! Angin jang sedikit-sedikit meniup mclalui djendela kamartunggu itu — angin pagi — sedikit-sedikit mcmberikan tenaga hidup Dudung kembali! Dan perlahan sekali Dudung menatapkan pandangnja keatas, kelangit-langit ! Dan kemudan, tjepat penuh kemarahan dia menunduk kembali: Kau memaksaku! Kau jang harus dibakar! Kau ! Bukau aku ! Kau jang harus terbakar! Kau ! Dan kau memang telah terbakar djadi abu ! Djadi abu !, Aku mengerti akan kemestian Dudung meninggalkan Djakarta! Aku mengerti! Karena itu kubiarkan Dudung menunduk ! Aku sendiri melihat ke langit2 kamar tunggu itu ! Aku djuga melihat api menjala ! Aku lihat — dan Dudung jang menunduk djuga
—
api
menjala !
D an
kemudian . nampak
ditengah
njala
D u d u n g , D u d u n g jang merah, nienjobek-njobck bukunja melemparkajinja kedalam api, api jang bernjala :
itu' dan
■ —• B u ku telali mcmatikan bakatku sebagai manusia ! A ku bakar kau ! A ku bakar siapa sadja jang berani mematikan aku! D a n semua b u k u 2nja jang dilemari ditum pahkannja kedalam api ! A p i tamhah bcsar menjala ! D a n disebelahnja kulihat D u d u n g jang putih, bertekun niembatja b u k u 2nja, tekun mencriakkan harapan
bahwa
dengan beladjar dan
lulus
pada udjian
peng-
habisan kali inilah ia akan dapat merebut kasih jang selama ini dlhausinja.
Dan
ditangannja
tergenggam
im pian
penuh
kesom-
bongan : A ku dapat ! Aku akan dapat dan aku harus dapat lulus ! A ku harus buktikan bahwa seorang D u d u n g dapat djuga merebut kasih. bahwa seorang D u d u n g dapat djuga mcndjadi sardjana liukum. bahwa seorang D u d u n g dapat djuga kaja, bahwa seorang D u d u n g dapat djuga berumah mentereng, bahwa seorang D u d u n g dapat djuga berbini tjantik, berauto sedan ! Tapi api membesar djuga, dan b uk u2 jang seharusnja ditelanrija. kini djuga terbakar, terbakar bersama im pian dan kesoinbongannja. kesombongannja : Tiada tj.inta jang dapat melepas hausnja. D an D u d u n g putih kini mcmerah, mcndjadi satu ! D a n aku tjuma melihat D u d u n g jang merah ! Merah membakar semua buku2nja. harapan dan kesombongannja ! Semua bukunja habis djadi abu malam itu ! D u d u n g pergi malam itu dari rumali sebelum apf bukannja padam. M uka dan hatinja kusut ! Aku tak dapat men a* hannja malam itu ! Aku tidak merasa berhak menahan dia dalam melepaskan kemarahannja jang lahir dari keketjewaan, kegagalan I Nafsu hidupnja jang begitu besar pada D u d u n g hanja didukung oleli kemauan ketjil, dan besok bukankah dia masih harus menghadapi udjian penghabisan Tetapi m a’am itu buku2nja semua
?
d.bakarnja,
buku
jang
telah dianggapnja mematikan bakatnja
sebagai manusia. Dan Dudung lari keluar rumah sesudah mereguk habis berbotol bir ! Dudung keluar rumah dengan kesintingannja. Dan aku hanja dapat mengikuti dari belakang. Dudung mula2 berdjalan terhujung, tecapi kemudian kulihat dia tegak berdjalan penuh kepastian madju ingin menghantjurkan sesuatu, menghempaskan sesuatu, dan kemudian dia ladju berdjalan kedepan sambil tertawa terbahak. Dudung g'la — begitu pasti perasaanku malam itu ! Kehendak jang tidak seimbang dengan kemauan melaksanakan! (Ini jang sering kudengar dari induksemangku ka’au dia melihat Dudung jang malas beladjar itu ingin djuga berhasil !) Begitu pasti perasa anku ma'am itu bahwa Dudung g ila ! G ila ! — Ha ha ha ha, aku mau tjinta jang murah sadja deh ! Akif mau tjinta jang murah sadja deh ! Aku mau beli tjinta ketengan sadja ! Aku bentji buku2 ! Aku bentji ! Tetapi mengapa tjinta jang kudambakan dapat melepas hausku itu hanja dapat ditjapai dengan buku2, hanja mau ditjapai dengan buku2 ! Aku djadi setuden, baru dia mau ! Studen ! Djadi mester, mester kornelis ! Ha ha ha ha ! ! ! Mester kornePs ! Aku mau beli tjinta ketengan sadja deh di Pontjol ! Dan Dudung !adju terus penuh kepastian akan mendapat se suatu jang dapat melepaskan kehausannja, kehausan — lebih2 — sesudah mendekati api dengan mata njelang. Dudung ladju terus ! Aku tahu, bir jang telah diminumnja lebih2 memanaskan tubuhnja, dan kukira dia k'ni harimau, har'mau jang hanja mau menerkam. Aku ikuti dia dari belakang. Aku rasa ini.'ah sebaikbaiknja: membiarkan dia berbuat menuruti teriakan hatinja. Kedjam aku Aku jang membiarkan ? Api tak mungkin di~
?
padamkan dengan minjak ! Dan aku, aku tahu, aku minjak, dan
tjuma Dudung scndiri jang bisa djadi air pcmadam dalam halnja i n i ! Aku tahu dia dapat sadar djika dia tidak takut melihat kegagalannja, keketjewaannja! Aku berharap dia akan berhasil djadi air bagi apa jang kini menjala ! Dia harus insjaf sendiri, dia harus ! Aku tahu, hatinja — djuga hatiku, adalah persimpangan, dan dia kubiarkan memilih. Dia kubiarkan memilih ! Aku tjuma melihat dari belakang dan berdjandji akan datang djika Dudung mcmerlukan aku, berteriak memanggil aku ! Tetapi tidak rupanja, Dudung bcrdjalan terus kepasar Pontjol, terus tidak menengok kebelakang dan begitu pasti ! (Aku dan Dudung tinggal di Kwitang Timur — 500 m kurang iebih dari Pasar Pontjol)
Dudung kulihat masuk kedalam pasar, masuk terus
kegang dimana rumah atap seng berpetak-petak. Dudung mau mengetcng tjinta, Dudung menghendaki sekedar pelepas haus! Apa harus kubuat sekarang ? Menahan Dudung supaja tidak tersesat ?! Orang lebih mudah merasakan djika mengalami ! Dan aku ingat kesombongan Dudung, tetapi aku djuga ingat bahwa sebagai kawan aku harus menjelamatkan Dudung dari kemungkinan djatuh ! Setjepat kilat Dudung kupegang tangannja dari be'akang, tetapi Dudung meronta! Meronta melepaskan genggamanku : — Mau apa kau
?
Mau
sutji ? Tidak ada lagi kesutj'an
didun'a ! Semua tenipat didunia ini sudah didjalari lalat, 'lalat jang djuga hinggap ditahi ! Lalat jang djuga hinggap diborok. Lepaskan aku ! Dan Dudung masuk terus kekamar dimana telah menanti apa jang d'niata Dudung air bening: tjinta ketengan! Dan aku berdiri terpaku. Apa hakku atas kehidupan Apa hakku
? Orang2 ditenipat
Dudung
P
itu bentji melihat aku, tetapi aku
duduk djuga diluar menunggu apa sadja jang mungkin terdjadi
atas diri Dudung ! Apa hakku atas Dudung. atas kehidupan jang didukungnja ? Apa hakku ? Apa hakku
?
Dan kemudian, diatas latar belakang kesuraman, kegelapan, kudengar sajup-njata : —
Djangan kaupadamkan lampu ! (Suara
Dudung. ini tak
kusangsikan!) Djangan kaupadamkan lampu ! Aku mau menikmati segalanja ini meliwati niata ! Dalam gelap aku tjuma dapar meraba ! Tak berdjawab. Dan dibajangku masih nampak, latar belakang kesuraman. Suara Dudung lagi : — Darkness has no shame ! Ha ha ha ha h a ! ! ! Tapi begitu djalan terasa lebih dekat meliwati mata ! Dalam gelap segalanja hanja dapat ditjapai dengan meraba, meraba dengan tangan jang tak bermata. — Lekas m u la i! (Suara ini bukan suara Dudung, aku pasti) Berapa lama lagi aku harus menanti ? —
Aku harus memikirkan ! (Suara Dudung dan aku
harap bahwa Dudung sehat,bahwa Dudung
penuh
mendapat tjahaja
kembali). — Perbuatan jang diplkirkan tidak akan pernah djadi perbuatan. (Ini bukan suara Dudung, lagi2 aku pasti). Dan kemudian, berturut: — Tapi aku sudah biasa berfikir, berhitung ! — Kesampingkan perhitungan dan pemikiran. Kau dapat kalau kau punja tenaga hidup, kalau sadja kau p u n ja! — Tenaga hidup kupunjai, tetapi bukan disini tempat memperlihatkannja, bukan disini ! (Ini suara Dudung ? Dudung sehat! Dudung sehat! Aku penuh harap menanti). Kemudian aku tidak mendengar apa2. Aku tidak mau mem-
bajangkan suatu apapun hingga achirnja aku ditegunkan oleh bunj: geretan jang dikorekkan. Dan cliajalku kembali bekerdja. Dudung telah menghenipaskan sesuatu, sesuatu jang memanas didadanja. Dan aku niendengar lagi pertjakapan : — Kau lemah. (Ini bukan suara Dudung, aku pasti). — Aku menjesal! (Suara Dudung, suara jang kukira membersit dari hati jang memperoleh kembali tjahaja). Dan kemudian, demikian tak kusangka, kudengar orang memukul dan tawa jang terbahak-bahak. Tawa Dudung. Dudung jang memukul ? Mengapa benar ia perlu memukul ? — Memukul bukan tanda kelaki-Iakian ! Kau lemah ! (bukan suara Dudung). — Aku menjesal! (suara Dudung). — Kau gila ! (bukan suara Dudung). — Kau gila! (suara Dudung). — Kau tak berbakat laki2 ! — Kau gila, kau harus kupukul, kau mendjerumuskan aku ! (suara Dudung penuh kemarahan dan ketakutan). — Kau sudah dewasa, sudah tjukup dewasa untuk berfikir! — Tapi aku tak kauberi kesempatan untuk berfikir! (Suara Dudung kembali penuh ketakutan. sesuatu perasaan pasti telah mentjamuki dirinja). Kemudian padam! Keresak-kerisik orang memakai
pakaian
dan kemudian Dudung membuka pintu dan. kembali dihadapanku. Sekaligus airmukanja menampakkan berpuluh perasaan: takut, takut matahari masih djuga akan terbit esok, djidjik melihat lalat hinggap diborok, kesal, kesal bahwa hatinja masih djuga tetap kosong, bahwa usahanja mengisi kekosongan gagal djuga. Dan malas Dudung berkata :
Bulan Merah
3
— Kau ? Aku mengangguk dan kemudian mcnengadah kelangit-’angit rumah atap seng itu dan sampai disini kulihat api dilangit-Iangit kamar tunggu disetasiun itu padam. Dan padam! Padam! Setjepat itu segala kenangan malam itu terpapar lagi dilangit-Iangit kamar tunggu setasiun itu ! Setjepat itu dan menjeluruh! Selandjutnja ? Selandjutnja mengapa Dudung merasakan kemestian pergi dari Djakarta ? Aku tidak pasti tentang kesehatan Dudung, kesehatan rochani dan djasmaninja. Malam itu Dudung tidak bcrani lagi datang kerumah dan aku terpaksa mengikuti dia kemana pergi! Malam itu Dudung dan. aku menghabiskan waktu dengan
mendjeladjah sepandjang djalan. Dan
keletihan jang
mendatang tidak tertahan lagi pada Dudung, dan kemudian dengan betiak kubawa Dudung pulang! Malam itu Dudung kutidurkan dibalai-balai! Dan paginja dia bangun, kusuruh mandi! Dia ke’ihatan sehat kembali. Aku gembira! Kepadanja aku berdjandji tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang apa jang kulihat semalam ! Aku berdjandji kepadanja dan dia kelihatan tenteram! Tenteram! Dia t:dak lagi memikirkan tentang udjian, tentang apa jang terdjadi semalam ! Jang belum hilang 'lagi padanja ialah kekesalan, keketjewaan jang kini nampak sebagai kemasabodohan! Sehabis makan siang itu — dan saat inilah jang lebili2 tak mudah kulupakan — terdengar teriak2 : A p i! A p i! dan ketika aku keluar rumah, kelihatan api menjala membubung keangkasa megah dengan asapnja. Api jang telah membakar buku2 Dudung, api jang telah menjalakan lampu ! Api jang sempa ! Tapi api ini begitu besar! Kebakaran! Pasar Pontjol terbakar ( Tempat dimana Dudung memperlihatkan bahwa ia punja tenaga hidup, kini ter bakar ! Terbakar! Dan Dudung demi melihat api, membanting
did dilantai, menangis sebagai kanak2 menjcsa!i sesuatu : Mengapa tidak kemarin terbakarnja, mengapa ? Mengapa tidak kemarin! Dan aku tentu takkan membakar bukuku dan mempertontonkan bahwa aku punja tenaga hidup kepada orang jang tidak berhak! Kalau kemarin terbakarnja mungkin aku dapat dibangunkan dari ke ifiduran dan kekanak-kanakanku! Bahwa keketjewaanku belum apa2! Bahwa aku masih mungkin berhasil! Orang jang rumahnja terbakar tocli masih dapat berusaha membangun kembali rumah baru diatas abunja ! Tapi mengapa tidak kemarin Pontjol terbakar
? Mengapa ?
Dan kebakaran itu kini tidak punja arti apa2 lagi padaku, kebakaran tjuma menjelamatkan orang2 jang akan tersesat nanti malam ! Dan Dudung menangis terus, keras, makin keras menghempaskan pcnjasalan ! Hidup dianggapnja terlalu berat untuk dapit didukung ! Terlalu ! Terlalu berat! Induk semangku makin bingung melihat perangai Dudung — djuga aku. Dan ketetapan datang bahwa besok Dudung kembali kekampung orangtuanja dengan keretatjepat paling pagi, keretaijepat ke Surabaja. Sedikit sadja teriamba; dan kereta telah berangka: ! Harapan Dudung jang terachir bahwa ia segera akan dapat berlindung dibajangkasih orangtuanja, gaga1! Kereta telah berangkat! Dan Dudung sia2 mengedjar! Mengedjar kesempatan terachir untuk menjelamatkan djiwanja dari kebakaran-kebakaran lain jang masih mungkin terdjadi di Djakarta jang panas kering dan gersang! •
Djiwa tak m’udah tumbuh di Djakarta memang ! Dan Dudung terpaksa tertahan di Djakarta, karena kesempatan lari untuk menjela matkan diri dari Djakarta, telah pula hilang ! Kereta berangkat! Dudung masih terduduk lemah dibangku bersandar ketembok dalam kamartunggu ketika akan diangkat kedalam au:o ambulance : ke RSU P!
Gali dan Kemudian Timbuni
G
ALI dan kemudian timbuni. Sebuah kehidupan berachir. Tetapi seperti djuga segala jang ada punja arti, begitu pulalah keachiran ini. Keachiran jang didepanku kini ditimbuni tanah merah, punja arti bagi kelandjutan suatu kehidupan jang lain, hingga kehidupan inipun nanti sampai pada keachiran itu pula. Siang terik itu sehabis kantor aku dan teman sedjawat dikantor menudju rumah almarhum Kartika — seorang kawan sekerdja jang semalam meninggal dunia. Dalam truck jang inembawa kami kerumah almarhum Kartika, kami berdesakan dan panas matahari makin terasa membakar meTalui mota jang menutupi truck itu. Ketika kami sampai, majat almarhum sedang dimandikan. Dan kami untuk penghabisan ka'li berkesempatan melihat airmuka almarhum, melihat almarhum membudjur bermandikan air mawar. Apa jang kurasa melihat kawanku jang kini majat, atau katakanlah apa jang terasa padaku ketika aku melihat kematian, ialah penjangsian hargadiriku sebagai manusia, kengerian bahwa suatu saat aku akan mengalami pula nasib sematjam Kartika, sebudjur jang tak punja arti. Aku sering mendengar orang2 mentjoba menutupi kengerian menghadapi kematian jang pasti datang itu dengan pendapat bahwa kematian adalah alat untuk melepaskan manusia dari penderitaan duniawi. Tetapi aku saat ini tjuma dapat merasakan bahwa kematian bagi tiap manusia adalah kekalahan, kekalahan jang selama ini selalu dialami manusia se-
pandjang sedjarah keinanusiaannja. Apa ani segala kekuasaan manusia jang ditjapainja semasa hidup, djika kematian tiba2 menghentikan segalanja ? Satu hal jang baik dari kematian ini ialah bahwa kematian itu pada orang jang masih hidup jang menjaksikannja, memberikan perasaan mu!ia. perasaan per’unja berbuat baik sebanjak mungkin semasa hidupnja. Kematian jang disaksikannja menjedarkan kesesatan djalan jang pernah ditempuhnja. Dan arti kematian jang 'ain — masih ada satu lagi — akan kutjeritakan nanti, dan ini pulalah memang jang mendorongku menuliskan tjerita ini. Tjuma sedjenak aku menjaksikan penghabisan kali airmuka Kartika. Aku pikir memang 'lebih baik mengenangkan Kartika seperti ketika masih hidup. Tapi itu tadinja. Pandangku jang tjuma sedjenak terpaku pada airmukanja jang kuju — airmuka jang sebentar lagi akan ditutupi kafan dan tumbukan kaju tjendana — merusakkan kenanganku akan kelembuitan Kartika semasa hidup nja. Kini dikenanganku jang terdepan adalah kekujuan penuh putusasa ' — keputusasaan seoiang jang kalah — dari airmuka Kartika. Tjuma sedjenak dan kemudian aku keluar rumah. Aku berdiri menunggu selesainja majat dikemasi. Rasa kasihku kepada Kartika biar’ah nanti kutumpahkan dengan djalan ikut memikul majatuja. Aku tidak mudah melupakan apa jang pernah kulihat, itulah sebabnja aku tidak ikut mengemasi majat Kartika. Sesudah disembahjangkan dilanggar jang kebetulan tidak djauh dari rumah Kartika, majat diantarlah kekubur. Aku — seperti kukatakan tadi — ikut memikulnja. Dan tidak hanja hohuku jang merasakan beratnja memikul majat tapi djuga perasaanku sebagai seorang kawan. kawan sekerdja. Disepandjang djalan kekubur kenangan2 hidup kembali, kenangan semasa masih se-
kantor dengan Kartika. Kini Kartika djauh dialam lain, a1am jang berbeda dasar dengan dunia dimana aku kini hidup. Sebuah laut tak terhingga mcmbatasi. Mendjelang asar majat dan jang mengiringkan memasuki gerbang pekuburan. Keringat kini membasahi tubuhku dan bau2an jang menjertai Kartika hampir2 memabukkanku ketika itu, tetapi kutahankan hingga achirnja sampai iring2an itu keliang lahat jang masih dalam penjelesaian menggali. Usungan majat diturunkan dari bahu pemikulnja dan hati2 diletakkan ditanah dekat liang lahat. Aku mengusapi mukaku dengan saputangan dan kemudian melihat keliling, melihat muka2 jang mengantarkan. Aku tidak melihat ibu Kartika hadir, ah tetapi kemudian aku ingat bahwa pada orang Djawa Tengah ada kepertjajaan bahwa ibu kalau ikut mengantarkan kekubur hanja akan memberati kepergian anaknja. Dan dasar kepertjajaan ini aku kira sederhana sadja, hati ibu jang •tidak mudah menahan getaran ham seorang jang kehilangan suatu jang dikasih. Aku tidak melihat kekasih Kartika hadir di penguburan ini. Manusia2 lain jang hadir ketika itu tak banjak lagi menarik perhatianku. Perhatianku kini tertarik kepada kanak2 jang sedang asjik meratakan pinggiran liang lahat, mereka — lima orang — masih dibawah umur
9
tahun kurasa.
Terlalu egoistis memang terasa djika disaat aku mengantarkan teman kekubur ini aku tidak pula menguntukkan seluruh pikiranku pada penguburan ini. Tetapi Kartika akan memaafkan, jah seperti kata ajahnja sebehim majat diusung kekubur tadi, Kartika berkata sebelum menghembuskan nafasnja penghabisan bahwa ia memaafkan segalanja dan dia minta maaf pula atas segalanja. Mendengar ini tadi akupun membersitkan kesangsian: Setenang itukah kematian, setenang itukah Kartika mati, Kartika jang begitu gelisah hidupnja, gelisah jang tertahan-tahan muntjul djuga dari
kelembutan2nja itu ? Setenang itukah hingga sempat menjadari kesalahan2 disaat menghadapi kekalahan besar itu ? Dan kesangsian ini ditebalkan oleh kekujuan penuh putusasa jang membersit dari muka majat Kartika. Dan memang pikiranku kini tak terpusat lagi pada kematian Kartika, aku kini tertarik sudah pada kanak2 penggali lubang jang sedalam 1 m, selebar % m dan sepandjang tubuh majat. Mereka berlima. Warna tubuh mereka.umumnja merah kehitaman,
Vz
dan dalam usianja jang semuda itu aiimuka mereka nampak begitu penuh kesungguhan. Ketika achirnja — beberapa saat kemudian — liang 'lahat selesai tergali, meminggirlah keUma anak itu, dan mulailah penguburan. Kain2 dan bunga jang menjelubungi usungan dan kini membudjur putih majat Kartika. Seorang dari keluarga Kar tika dan seorang lagi tukang kubur turun keliang lahat dan hati2 diterimanja majat jang diangkat dari usungan. Hati2 pula diletakkan majat itu kedasar liang. Tali2 jang mengikat bungkusan majat itu di'lepaskan. Kepalan2 tanah kini djadi penahan supaja gu'lungan tidak lepas. Mataku berpindah-pindah. dari liang keairmuka-airmuka jang mengelilingi Hang lahat dan kini lagi2 tertarik aku pada airmuka anak2 penggali kubur. Bagi mereka kematian sudah barang biasa jang dilihatnja beberapa kali tiap hari. Bagi mereka menimbuni orang jang mungkin dalam hidupnja terhormat adalah sudah barang biasa. Dimatanja orang mati sama sadja, harus ditimbun: dengan tanah merah jang tadinja djuga digali olehnja. Tidak ada jang membeda-bedakan, ketjuali bahwa mungkin kubur jang satu kemudian dikidjing dan jang 'lain hanja ditumbuhi rumput. Tapi satu hal mereka sama, mereka — majat-majat — itu ditimbuni tanah. Mereka ada dibawah tanah jang dimasa hi dupnja mereka indjak2.
,
k
Dan aku lebih tertarik lagi akan muka atnak2 penggali kubur tadi. ketika kulihat airmuka mereka dalam mendengarkan azan jang diserukan ditelinga simati. Airmuka kanak2 penggali kubur itu biasa sadja seperti tadi, keras penuh kesungguhan, tapi tiada sedikitpun memantjarkan keliaruan. Melihat kematian bagi mereka adalah kerdja, kerdja jang dilakukannja beberapa kali tiap hari. Dan kematian sudah suatu hal jang lumrah. Mungkin bahwa ini disebabkan oleh karena kematian jang mereka saksikan tiap hari adalah kematian jang telah terbungkus, terbungkus keputihan kain mori dan keharuman air mawar jang disiramkan kedalam liang lahat, jang disiramkan sepandjang tubuh majat. Mungkin akan lain djadinja airmuka2 mereka djika disaksikannja suatu kematian jang agak lain, kematian jang terbengkelai dipadang perang umpamanja. Ketika selesai azan,
tukang kubur
dan
seorang
keluarga
Kartika jang tadi masuk kedalam liang untuk mengatur penguburan, kini naik keatas. Papan2 kini menutupi simati. Dan pelan2 tanah jang merah gembur menggunduk disekitar lahat diturunkan kedalam lubang, dan kini Kartika sendiri tertimbun. Tanah merah gembur ini tanah subur sebetulnja untuk tanaman singkong, dan kini bukan singkong tetapi Kartika. Kedjam memang kalau pikiran sematjam ini membersit — djuga — dariku — seorang kawan Kartika semasa hidupnja. Tetapi kesangsianku
atas segalanja
memungkinkan
timbu'l itupun
aku
menganggap pikiran jang
bukan suatu jang djahat. Apalagi djika diingat bahwa aku pernah tiga tahun sekolah pertanian. Kini lahat jang tadinja meliang djadi menggunduk. Papan tanda jang bertuliskan : Kartika, wafat 11-11-1953, ditanamkan dibagian kepala disebelah utara dan papan tanda jang satunja lagi di tanamkan dibagian kaki, disebelah selatan. Bunga2, antaranja
melati dan mawar, kini ditaburkan. Berganti seorang-seorang jang hadir dalam penguburan itu ikut menaburkan bunga diatas tanah merah menggunduk jang menimbuni Kartika, jang menimbuni keachiran. Satu-satu mereka pergi sesudah menaburkan bunga. Demikian pula aku. Dan achirnja lengang disekitar Kartika. Dari djalan diseberang kuburan aku melihat lima orang anak penggali kubur sedang membagi-bagikan upah menggali lahat. Aku tidak tahu berapa banjaknja, karena ketika seorang dari keluarga Kartika memberikan uang itu aku sudah ada diluar kuburan. Gali dan kemudian timbuni. Sebuah kehidupan berachir: kehidupan Kartika. Dan keachiran ini memberi kesempatan landjut kehidupan !ain : anak2 penggali kubur, tukang kubur dan orang2 jang meminta sedekah d'gerbang kuburan.
PO T R E T DIR I 1.
Siti Aisah
2.
Setangkai Kembang Chrysant
3.
Bernaung Diatap Biru
4.
Potiet Diri
Siti Aisah H a m p i r setahun lebih aku tidak menghasilkan sebuah tjeritapendekpun. Dan aku makin jakin, bahwa saat buat aku sudah datang, saat. aku dilupakan oleh orang2 jang dulu tertarik raembatja tjerita2 pendekku. Begitu tjepat saat itu datang, lebih tjepat dari dugaanku semu'la. Tetapi aku belum mau dilupakan, itulah sebabnja aku mentjari terus, mentjari sebab kematian sumber kekuatanku menulis. Aku berusaha terus dan kini kuketahui bahwa pekerdjaan kantorkulah jang mematikan kemampuanku menulis. Ilham jang biasanja menderas dipagi hari kalau aku terbangun dari tidur dan udara sedjuk pagi masih nikmat kurasakan menembus sarung jang kukerudungkan, biasanja akan segera berserakan djika air dingin terpaksa kusiramkan diatas ubun2ku : Aku harus mandi. Hari sudah pukul enam seperempat. Pukul tudjuh tepat aku harus sudah berada dikamor. Dan dalam waktu seperempat djamlah aku harus siap segalanja, mandi berpakaian dan mereguk beberapa teguk kopi. terasa dipaksakan.
Segalanja terasa diburu-buru.
Segalanja
Segala jang sedang kufikirkan, segala jang
kutjoba rangkaikan, harus terhenti. Aku harus kekantor, aku harus kembali tenggelam antara setat2 gadji dan setat2 Iembur jang harus kuperiksa. Dan pikiran2 indah jang biasanja bermuntjulan dipagiliari kini harus bertebaran dibenakku dan sepotong-sepotong tenggelam ditumpuki oleh kesibukan kantor, bunji mesin hitung jang mendjemukan, angka2 jang bermain-main didepan hidungku dan jang terutama ialah mata2 para inspektur dikantorku jang seolah berat menekan djiwaku. Kalau aku menurutkan kata hati.
aku sudah lama lari dari kamor gila ini, kantor jang dikuasai oleli manusia2 robot jang digerakkan oleh radar ambisi, gila pangkar, gila hormat. Tapi aku masih sajang pada tigaratus perak jang kuperoleh tiap bu’an. Aku tahu mentjari kerdja kini tak mudah. Tetapi pertimbangan inipun tak dapat menenteramkan aku untuk dapat terus bekerdja. Aku ingin menulis tjeritapendek lagi seperti dulu, aku ingin dapat berfikir lama2 dengan tak usali dibum-buru o'.eh waktu, oleh mandi, oleh pekerdjaan kantor jang serupa sadja setiap hari. — Kanto, ajuh bangun! Nanti kesiangan lagi! (Suara ini suara ibuku jang kudengar setiap pagi). Dan aku bangun! Bangun, tetapi biasanja aku tak segera meninggalkan tempat tidur, aku duduk sadja ditempat tidur, sampai nanti suara ibuku terdengar lagi : Ajuh lekas mandi! Dan enggan sekali aku pergi kekamar mandi. Sarung mula2 jang kulepaskan, kemudian berturut-turut, badju, tjelana. Aku kini telandjang bulat. Dan mataku tertumbuk pada air jang meneriakkan kedinginan. Dan dalam saat2 itulah — saat2 antara memandang daii merasakan kedinginan air djika kusiramkan diubun — timbul kernbali fikiran2 lamaku, tjita2ku untuk djadi pengarang besar, pertanjaan2 mengapa aku harus terikat oleh pekerdjaan kantor, oleh hidup jang teratur, segala jang hanja mematikan sumber kekuatanku menulis. Aku ingat biografi2 seniman-seniman besar jang begitu berani melepaskan ikatan dan mengorbankan hidupnja untuk suatu kenikmatan jang lebih tinggi, kenikmatan melahirkan segala jang seni, jang indah, kenikmatan berhasil memetjahkan masaalah jang bersimpang siur dalam hidup ini dan mengemukakannja kepada manusia2 jang tidak dapat melihat sendiri, jang tidak dapat memetjahkan sendiri.
— Kanto, kenapa beluni terdengar djuga kau mandi ? (Suara ibuku lagi, ibuku memang tjerewet, tetapi dia baik, dia baik kepadaku.) Dan aku kembali memandangi air, dan timbul tiba2 keinginan untuk menulis kembali, keinginan jang besar sekali. Aku musti menulis kembali. Aku harus paling sedikit meninggalkan 10 kumpulan tjeritapendek bila aku mati dan bukan hanjs meninggalkan djanda jang berpensiun klerk. Aku bukan matjamnja orang jang bisa hidup menghadapi angka2, mendjumlahkan gadji pokok tundjangan kemahalan potong padjakupah dan sebagainja setiap hari. Aku seniman — huh sombongnja, aku seniman, aku pengarang, mengaranglah pekerdjaan jang sesuai dengan bakatku. Tetapi tentang apa akan kutulis sekarang? Perhatianku selama ini sudah terlalu banjalc tertumpah pada pekerdjaan kantor sadja, djiwaku makin ketjil tertekan oleh inspektur2 robot dikantorku. Ja, tentang apa ? Aku tegak terus masih. Air dingin belum kudjamah. Tentang apa akan kutulis ? Dan aku ingat masa'aku subur dengan ilham untuk tjeritera2 pendekku. Tulis sadja tentang apa sadja! Pengarang bebas ! Bebas mentjiptakan tokoh2nja dan bebas pula nienentukan djalan hidup tokoh2nja. Kaumatikan tokoh itu dan dia mati. Hehm ja, aku pernah dulu mentjium gadis tokoh dalam salah satu tjeritaku, suatu jang saat ini beluni berlaku dalam kenjataan, karena gadis jang kutjinta; tak mentjintaiku dan kini sudah pula kawin. Lutju ! Hehm lutju ! Tapi tragis ! — Tulis To, tulis tentang apa sadja, kau toch tjuma perlu supaja tidak dilupakan ? Bandjiri semua madjalah dengan tjerita2pendekmu, dan namamu nanti akan djadi buah bibir tiap orang jang membatja madjalah. Tulis To, mulai sekarang! Ambil mesin tulis, pasang kertas, karbori dan m ulai! M u la i! M u la i! Kau toch banjak mengendapkan pengalaman2 selama kau tidak menulis
dalam hampir setahun ini bukan ? Tuiis To ! — Kenapa kau memaksaku As, kau ingin aku djadi pengarang terkenal ? Tetapi apa artinja terkenal kalau aku sendiri selalu tidak puas dengan apa jang nanti kuhasilkan ? Hasil jang serampangan ! — He, pergi kau As, pergi! Aku telandjang begini ! Kau pergi dulu. Kau pergi! — Siaipa jang kausuruh pergi To ? Hari sudah siang kau belum djuga terdengar mandi. Apa sadja kerdjamu didalam kamar mandi ? (suara ibuku dari rumah). Dan aku tertumbuk kembali pada air dingin. Aku telah berlarat-larat dengan perasaanku, kenanganku. Diair tadi kulihat Aisah — Siti Aisah — mendorong-dorong aku untuk menulis kembali. He, mengapa tak kutulis sadja tentang Aisah ini? Ah, tjerita tentang dia tidak ada jang .luar biasa. Dan orang suka membatja tentang hal2 jang luar biasa. Ah, tetapi bukankah Aisah bukan biasa? Bukan, bukan Aisahnja jang tidak biasa, itetapi hubunganku dengan dia. Ja, aku ketika itu djualan koran, bukan ? Ja, dan ketjuali djualan koran aiku djuga merangkap mengantarkan koran untuk langganan2. D i Tegal ’kan ketika itu aku masih ? Ja. Aku sekolah SM, 'kan ? Ja. Dan salah seorang langgananku, seorang pegawai balaikota, mempunjai anak manis jang djuga sekolah SM — hanja berbeda kelas denganku. Aku harus merasa geli kini djika kufikirkan bahwa ketika itu — umurku baru 15 ketika itu — sudah djatuh tjinta kepadanja. Tetapi kenangan selama mentjintai dia hingga kutinggalkan Tega'l ke Djakarta, memang indah! Langganan jang selalu pertama kuantari koran adalah bapaknja dan alangkah gembiraku kalau dengan kebetulan dialah jang sedang berada diberanda depan dan dialah jang menerima koran
dari tanganku. Aku tjuma senjum hormat. Dia sendiri seperti enggan melihatku, aku jang hanja seorang pengantar koran memang dan serba kotor pakaianku. Aku tahu dia djuga mengerti bahwa aku sesekolah dengan dia di SM, bahwa aku kelas tiga sudah, tetapi wudjud lahirku kukira jang tak menarik perhatiannja. Aku satu2nja anak jang tak bersepatu disekolahku dan aku ter lalu pertjaja ketika itu bahwa pakaian bukan suatu jang utama dalam hidup. Betul, pikiran ini sudah timbul ketika itu, meskipun kini kurasakan itu sebagai kesombongan kanak2 jang banjak memendam rasa rendah diri. Tetapi aku memang mentjintai dia. Aku senang memandang dia. Dan impian kanak2ku timbul sudah ketika itu, bahwa alangkah bahagianja nanti djika aku berhasil memperisterinja, djika aku bisa djadi orang jang dapat mengasihinja. Dan lalu keinginan untuk sekolah terus mendjadi besar, keinginan untuk berhasil dalam hidup. Kalau koranku habis terdjual aku biasa duduk dialun-alun depan rumahnja dan dengan pandangku kutembus rumahnja. Alangkah djauhnja djara'k antara rumah itu denganku. Aku mengiri melihat teman2ku jang dapat berkenalan dengan dia. Dan biasanja kalau sudah demikian, aku kembali dengan djandji2 bahwa nanti orang toch akan kubuat mau memperhatikanku, mengenal aku. Dan aku mentjari-tjari djalan mana sebaik-baiknja kutempuh supaja orang memperhati kanku, mengenali kehadlitanku didunia. Djadi pegawai tinggi ? Ah tidak, terlalu terbatas orang jang mengenalnja. Dan aku ingat koran2 jang kudjual, madjalah2 jang kudjadjakan tiap hari, aku tiba2 ingin djadi pengarang. Ja, siapa tahu aku dapat menarik perhatian seluruh dunia hanja dengan karangan2ku ? Siapa tahu ? Sebuah karangan jang dimuat dalam sebuah madjalah dalam waktu singkat tersebar keselurah Indonesia, bahkan kadang2 meluas keseluruh dunia. Dan orang2 akan mengenalku kelak sebagai
Bulan Merah
4
pengarang besar, dan diantara orang2 itu terdapat Aisah, ja Aisah nanti akan mengenalku, nanti dia akan datang kepadaku, dan kalau hal itu terdjadi aku tidak menjambutnja dengan kesombongan, tidak, aku akan menjambutnja dengan penuh rasa bahagia jang tiada tara, aku akan melupakan pandang Aisah jang mengedjek melihat kakiku jang tidak bersepatu, aku akan melupakan segalanja dan memandang kedatangannja sebagai rachmat. Dan keinginan itu ketika itu memang begitu besar dan -tidak tertaliantahan. Aku membatja terus, membatja apa sadja dan mengarang. Keinginanku supaja lekas2 namaku tertjetak menjebabkan — all malu.aku kini mengenangnja — aku mendjiplak suatu sadjak dan setelah kurombak disana-sini mengirimkannja kemadjalah kanak2. Dan dimuat. Tjuma seorang jang mengetahui perbuatan tidak djudjur itu, iaTah induk semangku, tempat aku bekerdja mengantarkan koran, pemimp n toko buku. Dan aku sedjak itu bernji terhadap kerakusanku. Dengan pertimbangan kanak2 jang. tidak bersalah kuperbuat dan dengan kekanak-kanakan pula aku membentji kerakusanku. Umung bahwa hingga kini aku tidak pernah mengulangi lagi perbuatan itu. Padaku lalu timbul keinginan untuk mengarang betul2 ! Aku ingin mengemukakan suatu jang betul2 Iahir dari diriku. Aku ingin dan aku berusaha terus. Aku berusaha dan dalam hal ini aku merasa bahwa Aisah adalah pendorong bagiku. Kegilaanku sampai pada menambalikaiv monogram SA dibelakang namaku, seolah dengan nama itulah aku merasa akan berhasil. Dan jang kulihat achirnja memang, aku berhasil, berhasil menulis, namaku ditjetak dimadjalah. tjerita2pendekku jang betul-betul sepenuhnja kubuat dengan seluruh kemampuanku menarik perhatian orang dan aku mendapat tempat digelanggang. Semuanja entah berkat usahaku, entah karena hiknlat monogram SA, aku tidak tahu. Tetapi pada waktu aku
telah agak berhasil itu aku malu mengenangkan bahwa sekalipun akan djadi pengarang besar kelak (pengarang tjeritapendek, aku tak pernah lagi menjadjak), aku adalah pengarang besar jang pernah mendjiplak — meskipun seka'li. Tetapi haruskah aku mentjambuk kanak2 jang tidak berkuasa apa2 atas naluri2 jang ada didirinja. Tetapi biasanja aku lalu menghibuf diri dengan kata- : Kerdja sadjalah terus dan dosamu — kalaulah apa jang telah terperbuat itu suatu dosa — nanti akan tertebus dengan djasa2mu mcmperkaja kesusasteraan. Tiap pengarang aku kira selalu nieniulai demikian. Tiap pengaiang pasti — biar sekali — pernah djadi plagiator, mendjiplak.
Hanja banjak dari mereka
jang tidak ketahuan, jang selamat. Tjobalah mereka disttruh djudjur. Chairil djuga pernah mendjip’ak, tapi djasanja dalam pembaruan puisi Indonesia, menebusnja, memaafkannja. He, mengapa demikian tjaraku membela diri. Pcrlukah pembelaan jang kulantjarkan ini ? Aku kira tidak! Tidak perlu ! Setahun lebih sudah berlalu, masa aku subur menghasilkan tjeritapendek2, dan selama setahun lebih pula aku tidak meng hasilkan satu tjeritapendekpun. Dan aku belum dapat menarik perhatian Aisah. Tetapi aku tidak mau, aku tidak mau dilupakan oleh siapapun. Karena itu aku mau menulis lagi, menulis! Aku mau djadi pengarang seperti kutjitakan dulu ketika aku masih djadi anak2 pendjualkoran. — Kanto ! Kau belum djuga mandi. Adik2mu sudah menunggu, mereka harus kesekolah. Masa dikamarmandi sampai setengah djam lebih? Kau terlambat kekantor nanti! (suara ibuku). Aku masih telandjang bulat. Air belum kudjamah. Sebuah tjerita selesai dalam kenanganku. Tjerita pertjobaanku untuk hidup kembali, mengarang kembali. Tjelana kupakai lagi, djuga badjuku dan samngku. Aku tidak djadi mandi. Aku takut apa jang sudah
tersusun teratur dibenakku akan berserakan djika air jang dingin itu kusiramkan diatas ubun2. — Kok kau belum mandi ? (tanja ibuku) Mengapa sadja kau dikamar mandi ? — Mengarang b u ! (djawabku pendek). Aku tidak kekantor hari ini, demam.
Setangkai Kembang Chrysant H i d u p matjam inilah mungkin jang lebili sesuai dengan nafas hidupku ? Tak ada jang mengikat. Berdja'an bila mau berdjalan. Tidur bila aku mengantuk. Makan bila lapar. Dimana sadja. Djuga tempat tak usah mengikatku memang! Semalam aku tidur dirumah Ajip, tadi pagi makanpagi disana, siang tadi makansiang dirumah Elly, tidursiang dikursi dirumah Giario, dan sore ini liiandi segar dengan airleding, djuga dirumah Giarto. Sebetulnja bukan makan benar jang merupakan keharusan bagiku, tetapi kebebasan, seolah aku tidak pernah memilikinja. Ja, mengapa kebebasan benar jang kuingini. Aku selalu berfikir bahwa hidupku tak akan lama, dan haruskah itu kuhabiskan tiap hari tudjuh djam duduk dikursi dikantor
? Ditambah
pula dengan beberapa
djam mempeladjari peladjaran kursus Thesaurie Negara jang ditugaskan djawatan kepadaku ? Aku lebih suka bersepeda keliling kota, tiduran dirumput ditaman Suropati, minum kopi dan makan kuwih pantjong sambil nongkrong diemperan kantorku. Aku dapat menahan lapar satu hari, tapi aku tidak dapat menahan kegelisahanku harus duduk sehari menghadapi medja. Aku memang gelisah. Aku terlahir sebagai orang jang demikian. Pada diriku serasa bergolak sematjam nafsu untuk bergerak, terus bergerak! Dan rumahku jang terl'alu sempit untuk lima orang itu membuatku makin tak ingin pulang kerumah. Alangkah sempitnja dunia ini bila aku sudah menggeletak keletihan dibalai-balai. Panas. Buku2 berserakan dibalai-balai. Aku ini tak pernah tenang lagi membatja.
Tiap buku tentu hanja sebagian sadja kubatja, kemudian sudah pula kuambil buku baru dan demikian seterusnja. Terlalu gelap kamarku. Kalau aku membatja diruang depan, aku merasa djemu niendengar pertjakapan2 tetangga jang bersimpang siur. Rumah petak, dan demikian banjak penghuninja ! Dan kalau demikian aku lebih baik menghela sepedaku, berdjalan terus, memandjangi djalan-djalan dikota Djakarta. Lapanglah dunia ini rasanja. Tak ada pakaian jang tak teratur bergantungan sepeLti dirumahku. Tak ada tikus seperti jang memakani buku2ku jang kutumpuk sadja dalam tong bekas tempat sabun. Tak ada gelak perempuan jang memuakkan seperti gelak perempuan djanda tetanggaku. Tak ada tikar butut seperti tikar tempatku tidur. Tak ada sarang laba2 seperti dilangit-langit rumahku. Aku ingin segalanja indah. tetapi aku terlahir dirumah jang demikian tidak teratur. Haruskah ini disesali ? Aku ingin sebuah rumah tak beratap, sematjam tanian dan segalanja serba terbuka, serba lapang, hidjau dan indah! Tetapi didunia ini ada hudjan, dan atap harus ada. Aku mau segala rindang. tapi matahari demikian panas, betapapun rimbun sebuah pohon tempat berteduh matahari mentjelahi djuga. Aku sudah tidak mau menjakiti hati ibuku, tetapi- ibu ingin supaja aku djadi orang jang dapat dibanggakannja kepada tetanggatetangganja, saudaranja ; ibu ingin aku djadi orang jang seperti diinginkannja.
Segala
kehendak
bertentangan!
Betapa
aku ?
Kehendak mana jang harus kutuvut ? Kehendak akan kebebasan ? Mana jang akan lebih membawa arti soalnja. Ibuku harus disenangkan, ini aku tahu. Dia sudah sedjak ketjrl menderita, dia jang sudah demikian susah pajah membesarkan aku, haruskah kuketjewakan
?
Dia takkan pernah memaafkanku mungkin bila
harapannja kuketjewakan. Dan dia demikian tidak mengerti akan betapa scbenarnja nafas hidupku. Dia tidak mau kumengertikan
bahwa aku bukan orang jang dapat tekun beladjar, aku bukan orang jang dapat berdjam-djam lamanja duduk dikantor. Aku memang lebih suka beladjar dari kehidupan, dari manusia. Kalaupun aku suka membatja buku2, hanjalah jang berhubungan dengan kesukaanku mengarang. Dan ibuku tidak dapat pula mengertikan betapa menjakiti perasaanku peladjaran — keharusan mempeladjari — nremegang buku, ekonomi perusahaan, tehnik dan organfsasi perdagangan, hukuin dagang, ekonomi moneter, dan sebagainja dan sebagainja. Dia tjuma tahu aku harus djadi pembesar, harus punja rumah jang lebih baik dari sekarang. Dia tjuma ingin supaja aku dapat djadi ahli keuangan dan kemudian dapat memiliki kedudukan jang lebih baik dari se karang. Dan aku lebih suka mengarang, dan aku lebih suka pandjang2 berfikir tentang kehidupan jang terpapar didepanku tiap hari, tapi djarang manusia jang mau nienipeladjarinja langsung. Demikian jakin aku bahwa hanja disinilah aku mungkin berarti bagi hidup dan kehidupanku. Kehendak mana harus kuturut ? Selama ini aku tak pernah dapat menentukan pilihanku, Selama ini aku hidup dalam keraguan, selama ini aku terapung antara dua kehendak itu. Dan kufikir sematjam ini tak boleh berlangsung lama karena demikian akan samasekali membuatku orang jang tak berguna dan orang jang tak pernah mengetjap kebahagiaan. Tetapi apa harus kuperbuat ? Mungkin inilah jang disebut karma, kehidupan jang berarti penderitaan. Bukankah tidak dapat memilih itu suatu penderitaan ? Dan dalam hal jang demikian ini aku lebih suka berbuat jang aneh2, menirukan bunji andjing, bunji kutjing, bunji burung dan sebagainja, dan anak2 jang sedang bermain ditaman mengelilingiku. Melepas rasanja sebagian jang memberati perasaanku bila aku menirukan bunji2 binatang itu.
seolali saat2 itu aku djadi b natang jang tak usah memikirkan pertentangan2. Tetapi betulkah binatang tak diketjamuki pertentangan2 kehendak Dan bila anak2 sudah mendekat, aku djadi
?
membersitkan keinginan bam jang selama ini kutekan. Keinginan mempunjai anak, mempunjai isteri sebelum itu, dan sebelum itu lagi mempunjai kekasih. Kekasih jang dapat kuberi bunga.. Aku tidak dapat melupakan malam lebaran jang lalu. Pukul 1 malam kubeli bunga gladiolen putih, bedug bertalu dan mereka jang punja kekasih, membeli bunga bersama kekasihnja, bunga kubawa pulang. Aku ingin menjenangkan hati adikku perempuan, disamping keinginanku pula memberikan bunga kepada seorang jang seharusnja menjukai bunga. Dan alangkah sakit rasanja perasaan ini ketika kuketahui bahwa adikku tak suka bunga. Bunga laju digeletakkan sadja dibalai: Kami tak punja djanvbangan bunga, katanja. Siapa harus kusesali ? Adikku jang tak suka bunga? Kami jang tak punja djambangan bunga ? Atau aku jang terlampau mengedepankan perasaan
P
HE, demikian banjak sudah jang kufikirkan ! Enak memang tiduran dirumput hidjau seperti ini, memandang anak2 bermain. Sematjam ini sudah mendjadi suatu keharusan bagiku. Tiap habis kantor aku tentu kemari, ketaman Suropati, membatja buku sambil tiduran, ditempat jang teduh, atau menulis tjeritapendek, meskipun sebetulnja tidak mudah menulis berlandasan buku dan tidak diatas medja. Tetapi kelapangan membuatku lebih betah tiap kali mengundjungi taman ini. Sudah. beberapa hari aku tak makan dan tak tidur dirumah. Lebih enak rasanja makan gado2 atau soto kikil jang satu rupiah satu pinggan, sambil nongkrong. Kalau tak ada hudjan, angin dan panas, rumah ini tak perlu rasanja. Tak perlu ada rumah! Lebih baik taman, dan anak2
lebih banjak bcrmain. Anak2, kembang duni'a. Ibuku sudah pasti jnemikirkan aku. Sudah berkali dia suruh adikku memintaku pulang. Tetapi untuk apa pulang, untuk kem bali kesegala jang sempit dan meninggalkan segala jang serba lapang ? Lihat, anak2 mendckatiku lagi! Mereka tcntu memintaku kembali menirukan bunji2 andjing, kutjing dan burung. Biar nanti kutambah dengan bunji katak, bunji kerbau atau bunji kambing. Ja. Aku toch ikut senang bila mereka senang. Aku dapat mehipakan pertentangan2 sedjenak bila bersama mereka. — Ajo Oom bunji andjing! — Nanti ja As, duduk dulu dirumput situ, nanti oom bunji andjing. — Oom, bunji kutjing! — Och kau Maggie r Mengapa lama kau tak datang ketaman r Bagaimana sekolalimu ballet ? — Oom, Asti sudah bisa tajungan O o m ! (Asti menjela, dia sedang beladjar tari Djawa). — Oo, bagus-bagus, bagus Asti! Dan kau Maggie, sudah pandai pulakah balletmu ? Itu siapa itu
? Oh Poppie ja ? Nah ini ? Lebaran kemarin kau
Mennie ? Dan Sum ? Apa kabar Sum menjembelih apa dirumah Sum tentu tak tebal3 bukan
?
? Ajam tentu ja ? Dan
pupurannnt
Mari dekat-dekat Oom sini, nah ini
diusap ja jang belum rata pupurnja ja Sum ! Ah, lebaran kemarin
?
Sum tentu aju ja — Oom mana bunji burungnja Oom ! Burung kakatua ja Oom ! — Ooh kau Atun, apa kabar ? Mana Tarto adikmu, mengapa tak kauadjak ? Oh itu Mur ja ? Sini dekat oom sini M u r! Babu2 jang mengantarkan mereka main membiarkan asuhannja mendekatiku biasanja. Dan ah alangkah bahagianja ditengah
mereka. Aku merasa tak punja dosa apa2 lagi bila ada ditengahtengah anak2. Mereka biasanja berganti-ganti bemjanji dan menari dihadapanku, seolah aku gurunja. Pernah ada keinginanku untuk djadi guru memang, tapi kupikir itu hanjalah karena terlalu memadatnja keinginan mentjurahkan kemesraan. Dan kini dengan tak usah mendjadi guru aku toch dapat berdekatan dengan anak2 dan mentjurahkan kemesraan dengan tjaraku. Aku kini suka membatja buku2 dongeng2 kanak2 untuk mentjeritakan kembali kepada mereka. Karena terasa padaku tak ada kegembiraan jang nielebihi dari melihat mu'lu't2 ketjil ternganga mendengarkan tjerita jang keluar dari mulutku. Dan tak ada pula kegembiraan jang lebih besar melihat anak2 itu berdjingkrak melihat kepandaianku meniru bunji2 binatang. Anak2 manis semua. Mereka tentu anak orang baik2. Anak2 jang punja rumah lapang, jang punja piano, jang punja radio, jang punja djambangan bunga. Dan alangkah sepi kembali bila matahari menurun kebarat dan mereka harus pulang bersama babu2 jang mengantarkan mereka bermain. Dan bila demikian aku mulai berfikir dimana malam ini aku harus tidur ? Tetapi tidak dirumah, jang sempit gelap itu ! Dirumah jang penuh tikus jang merusak buku2k u ! Dirumah jang tidak punja djambangan bunga. Kalau malam, lapangan hidjau ini, taman ini berganti suasana, pasangan merpati jang takut sinar lampu dan suka ditempattempat jang 'lindap, mereka budak2 nafsunja. Aku lebih suka pergi dari taman ini bila matahari terbenam sudah. Karena taman ini tidak lagi dikerumuni kembang2 dunia seperti disoreharinja. Taman ini djadi suram, lebih suram dari malam! Aku bangun dari dudukku dirumput. Sepeda jang tadi kugeletakkan djuga dirumput. kuangkat dan perlahan sekali aku tuntun sepeda kedjalan raja, kemudian kunaiki. Biilan penuh!
Aku kembali mendjeludjuri djalan-djalan — djalan-djalan didaerah Mentcng terutama. Rumah3 jnandi sinar matahari disianghari, meriah oleh lampu dimalamhari — rumah2 jang lapang ! — piano, radio dan musik2 lembut, djambangan bunga. Tapi rumah jang lapang itu dapatkah memberi kebebasan seperti kukehendaki Aku tocli menghendaki suatu jang lebih lapang lagi, lebih luas lagi! Ketika sampai aku dihadapan rumah Wibawa, sepeda kubelok-
?
kan masuk kepekarangannja. Wibawa teman baikku dikantor. Dia dapat mengertikan nafas hidupku. Tapi rumah telah sepi, Diruang depan seperangkat kursi empuk, medja jang masih ditaplaki, djambangan bunga dan beberapa tangkai chrysant putih. Sepeda kuangkat masuk ruang depan. Dua buah kursi kuhadaphadapkan dan sambil memandangi bunga chrysant putih, warna jang selalu mengingatkanku kepada kebersilian, kesutjian dan betapa artinja bagi kehidupan, aku mentjoba memedjamkan mata. Malam chusus terasa. Bulan bersinar terus. Aku kira hari telah larut pukul duabelas. Aku sudah sering tidur dikursi Wibawa ini.
Bernaung D iatap Biru
A
KU tidur tengadah. Diiumah jang besar itu aku sendiri sadja menunggu rumah. Seperti direntjanakan semula, seminggu sesudah perajaan pernikahan dirumah pengantin perempuan, diadakanlah perajaan pula ditempat pengantin laki2 di Djatiharum. Langit2 randjang jang kutiduri adalah sutera biru dan kebiruan
jang memantul pada seprei jang putih berenda, pada alas2 bantal dan guling jang putih memplak, memberiku sematjam perasaan jang baru malam itu berketjamuk, sematjam perasaan jang akan kunamai sadja perasaan biru. Djendela kamar pengantin kubuka, dan bulan langsung menampak bila aku agak memiringkan pandangku. Djuga bintang. Harum bunga pinang masih menguasai kamar pengantin itu. Sebetulnja aku harus hadir diperajaan ditempat pengantin Jaki2. Aku sahabatnja terdekat. Tetapi penga.'aman jang kuperoleh, pengalaman perasaan, pada perajaan pernikahan dirumah ini — dirumah pengantin perempuan — membuatku memilih tunggu rumah sadja. Aku bentji keramaian jang mengingatkan aku pada kesepianku. Temanku jang kawin itu delapan tahun lebih niuda daripadaku. Dulu aku begitu pertjaja akan hakku berbahagia, tetapi ketika kulihat pengantin nuida-muda itu, gojah'lah kejakinanku. Jang meletihkan dari hidup ini adalah pentjar.'an dan aku betul2 merasa letih, deniikianlah selalu pikirku. Perasaan ini, pikiran sematjam ini, lrenguasaiku selalu, pada saat~ aku membantu pengantin lak:2
berhias, pada saat2 aku memapah pengantin laki2 memasuki rumah, pada saat2 kulihat pengantin laki2 mengindjak te'lur diambang pintu, dan memuntjak pada waktu pengantin perempuan mesra mentjutji kaki pengantin laki2 jang lumur oleh kuning telur. Dan angin jang kukipaskan ketika pengantin sudah duduk di~ singgasananja, seolah taufan sadja jang menggemuruhkan suara2 dalam hatiku. Dan sebelum itu, ketika kedua pengantin laki dan perempuan itu masih bersimpuh didepan penghulu dan aku duduk disampingnja, terharu aku melihat peresmian pernikahan itu. Muda2 mereka.
Dan
berani
sudah berdua sadja menempuh
?
hutan.
Mengapa kukatakan hutan Hutankah hidup ini sesudah perkawinan Hidjau, rimbun disamping kengerian keraksasaan. Kitjau merah disamping ngaum buas. Begitu berani mereka. Begitu ketjil mereka dibanding dengan pohon2 raksasa it u !
?
Meretas! Dan ketika pengantin laki2 mengutjapkan sjahadat, dalam hati aku ikut pula mengutjapkan : Ja sesungguhnja Allahlah Tuhanku dan Muhammad rasul-Nja. Dan pengakuan ini seolah menuntut kembali hakku berbahagia sebagai ummat Tuhan. Dan tiap kali tuntutan ini datang, gojahlah kejakinanku, akan halkku. Hidup hanjalah suatu jang meletihkan bagiku bila demiklan. Dan ketika kedua pengantin bersudjud kepada orang2tua mereka, dikenangku ibuku tua dirumah. Begitu ingin sudah dia mengemban tjutju sedang kedua kakakku perempuan meninggal remadja, dan kakakku laki2 belum djuga menikah. Tetapi mungkinkah tak ada tuntutan padanja hingga kesendiriannja tak merisaukannja Pagi2 dia bangun dan kebelakang, kemudian berolahraga, mandi, sarapan, meminum djamu, kekantor dan siang nanti pulang makan dari kemudian berangkat lagi beladjar, dan malam nafiti pulang bersama keletihan, dan lupa mudah didapatnja karena keletihan
?
mclekaskan tidurnja. Tak adakah cuntutan kepadanja ? HIDUP adalah bunga bagi kcdua pengantin. Seperti jang menghias dan mengelilingi tempat duduknja, seperti jang menghias rumah besar itu. Demikian benderang warna-wama, dan tamutamu berpesta, minuman- jang meneriakkan kcgcmbiiaan hidup : melepas remadja menempuh hutan. Bunga2 jang malam ini menge-
?
?
liling akan dit.'nggalkan sadja Dalam huian ada kali djuga bunga Bulan terasa biru seperti perasaanku, seperti sutera langit2
?
randjang pengantin jang kutiduri kini. Akankah aku menemui
Apa jang harus kutemui ? Selubung sutera biru bagi hidupku ? Tiap hari aku menemui, tetapi aku tak pernah berani memiliki. Tetapi dapatkah kumiliki apa jang tak mau mendjadi milikku r Untuk memiliki aku harus mau dimiliki. Dan aku tak mau men djadi milik seorang jang tak kusukai memilikiku. Dan ada jang kubiarkan memilikiku. tak menjukaiku. Betapa hidup ini kadang2 memang ! Mengapa hanja sekitar itu, sekitar dimiliki dan memiliki
?
Berpuluh gadis lalu lalang dalam hidupku, dan tak seorang datang padaku dengan sutera biru. Mungkinkah malam ini ? Bulan sudah biru, kelambu, seprei, dan alas2 bantal sudah-biru. dan wangi bunga pinang djuga sudah biru. Tetapi dapatkah aku memelihara kebiruan, bila ia datang Aku belum punja rumah. aku tak punja randjang dengan kasur empuk seperti jang kini kutiduri. Beran'kah aku menerima suatu kedatangan ? Maukah aku menerima Suatu jang bukan kiwemui dalam pentjarian Tetapi bukankah ia datang dalam aku mentjari Dan itu bukankah
?
?
djuga menemukan
?
?
?
Datanglah datang gadis dalam sutera biru,
ibuku inginkan sudah mengemban tjutju sebelum ia sendiri diemban oleh bumi. Aku djuga umat Tuhan jang berasul Muhammad ! — Aku datang Mas Kanto ! — Hei, siapa itu didjendela, menghalang pandangku kebulan P
Bulan Merah
5
— Aku Mas Kanto, aku Tini, aku datang dengan sutera biru. Ini sutera biru. Mari kuselubungkan dalam hidupmu ! Mari Mas Kanto ! — Aku mau menemui bukan didatangi. — Kau telah lama menemuiku Mas Kanto, kau telah lama, kau sering mendjumpaiku, tetapi kau tak pernah mau merebutku meskipun sebetulnja kau ingin memilikiku. Te'lah 'lama kuselendangkan sutera biru ini, tetapi kau tak pernah berani memiliki. Kau takut aku tak suka kaumiliki
? Kau
takut ? Mari kuselubungi
hidupmu Mas Kanto, m ari! Dan hiduplah dengan bunga. Mari kusematkan aster putih ini didada kirimu. Hiduplah dengan bunga dan bukan dengan daun2 busuk. — Pergilah dari djendela, kau menghalang pandangku kebulan ! — Aku nanti djadi bulan Mas Kanto. Aku nanti djadi bulan ! Mari kutjutji dulu kaki jang berlumur kuning, kakiinu Mas Kanto, mari kutjutji dengan air tjendana dikendiku ini. Tak baik melekat bentji kepada hidup, meski dikaki ! Mari kutjutji ! Kau berhak bahagia ! Kau berhak bahagia dan djangan sangsikan hakmu.! — Bukan. kau bukan T in i! Kau bukan! — Aku Tini Mas Kanto, aku Tini. Ini rambut pandjangku jang mempesonamu. Ini rambut pandjangku. Mari kuusapkan dimukamu gersang dan terurailah harap hendaknja, terurailah kembali! — Tini berpipi kemerahan! Kau bukan T in i! Tini pandai memasak ! Tini penuh rasa keibuan ! Kau bukan ! Kau bukan! — Akulah Tini Mas Kanto ! Inilah pipi jang merah lembut itu Mas Kanto. Rabalah dengan tanganmu jang bertulang, tanganmu jang kaku oleh kebosanan mengharap, dan djadilah lembut kembali. Akulah Tini Mas Kanto, aku pandai memasak Mas Kanto, lihatlah mataku berair oleh asap kaju bakar. Akulah Tini jang
kaulihat dipcnuhi rasa keibuan. marilah anakku Mas Kamo, niari kubelai ! — Bemlkah ? Betulkah kau Tin' katja ?
?
kau
kubelai seperti
Mana mata jang berkatja-
— Inilah Mas Kanto, pandanglah dekat kemataku, pandanglah ! — Ja, kau Tini, dan untuk apa lalu kau datang? Untuk menghalang pandangku kebulan ? — Tidak Mas Kanto, aku datang untuk mendekatkan bulan kepadamu. untuk mendjadi bulan bagimu seorang ! — Djadi kita kawin ? Kawan seperti Ajip dan P a t! ? Ah ! — Ja kita kawin Mas Kanto, kita punja anak. kita punja rumahtangga. Kau lama sudah menginginkan anak bukan ? Aku selalu rerliarti kalau kau mendekap anak2 ketjil anak tetanggamu. Aku melihat senma kehendakmu. — Betapa mungkin ? — Kau toch umait Tuhan jang berasuil Muhaniad ! — Semudah itukah. niendjadikan harapan suatu kenjataan? Hanja kaTena pengakuanku ? — Ja Mas Kanto, hidup ini memang mudah, kau jang terlalu sadja mau dipenuhi ketakutan2 menghadapi hari depan ! Mari kita kawin ! — Dan punja anak, dan aku djadi bapak ? — Ja Mas Kanto ! — Tetapi dengan apa harus kuhidupi kau ? Dengan apa ? Lihat Ajip, betapa harus dia kini memikirkan mentjari uang untuk makan keluarganja. Dan alangkah bedanja dengan dulu ketika masih sendirian. — Dia berbahagia Mas Kanto, dan apalah lagi jang kautjari ? — Tapi aku tidak merasa mampu memasuki tingkat hidup itu, a]ai takut. Aku takut tidak dapat djadi suami jang baik, bapak
jang baik. Berapa gadjiku kautahu ? Sedikit! Dan riap hari sudah aku selalu dijakinkan oleh ibuku dengan keluhan2 kekurangan. Kawin, kawin tocli tidak tjukup dengan disjahkannja perpaduan dua manusia berlainan djenis didepan penghulu ? — Kawin adalah perpaduan atau lebih tepat pernjataan tjinta i Tjintamu padaku, dan tjintaku padamu. Itu sudah segalanja! — Ah omongmu, seolah kau belum pernah hidup didunia. — Kau belum pernah mentjoba, kau belum pernah berani. Kau perlu kesombongan, Mas Kanto. Kau laki2 ! Kau laki2 ! Mari Mas kita menghadap ajahku. Mari kita kekampungku Situbatu, Tjipareuan! M ari! Kau akan mendapat keamanan disana. Kita berakit mendjala ikan ditebat ajah nanti. Kita mendaki bukit Pangtjalikan nanti. Sudah aman Mas, aman disana. Tak ada pengatjau lagi. Tak ada ketakutan2 lagi seperti dulu. Kau nanti akan menikmati udara Garut. Kita menggembala kambing nanti. Kita membakar ubi diladang nanti. Malam2 nanti akan kuadjar kau bersembahjang, kau lama sudah ingin dapat bersembahjang, bukan ? Kau lama ingin beribadah bukan, Mas Kanto ? Aku dulu djuga selalu malam hari diadjar ajah sembahjang. Kau senang bukan, Mas Kanto, melihat airmulcaku bila aku habis mengambil air .wudhu dan mukaku basali masih ? Kau aman bukan ? Mari Mas Kanto! Nanti sesudah kawin kita kerumah kakak di Siimedang dan nanti kita mendaki gunung Kuntji. Kau suka gunung bukan, Mas Kanto? Kau suka mendaki-mendaki bukan, Mas Kanto? Kita menetap di Situbatu nanti ja Mas, ajah djuga sedjak kawin menetap disana dan dia kini sudah lebih Sunda dari orang Sunda sendiri. Udara Djawa Barat lebih segar dari Djawa Tengah, Mas. Djawa Barat lebih banjak mempunjai gunung2 ! Mari Mas keajahku sekarang, mintalah aku daripadanja Mas. mintalah aku dari dia Mas, mintalah aku dari dia !
— Kau terlalu menganggap enteng kehidupan! Tidak, aku tidak mau ! Aku sudah tjukup beribadah dengan kesendirianku k in i! Aku sudah tjukup mendaki gunung dengan kesiasiaanku k ini! Pergi! Kau pergi! — Bukan Mas, itu bukan ibadah! Perkawinan mungkin bisa djadi ibadah bagi kau! Mari Mas I — Pergi! Pergi ! Aku bentji kepada orang jang terlalu meminta! — Tapi Mas, mengapa kaubentji pula orang jang tak dapat menerima permintaanmu dulu
?
— Djadi aku jang mentjari, kini menemui ? — Ja Mas, demikian. Ja Allah redalah taufan ! — Tjoba datanglah kau dalam pelukanku! — Ja Mas, peluklah aku dan djangan kaulepaskan ! Terlalu tidak aman diluar pelukanmu ! — M ari! Tapi, tapi aku akan bersembahjang dahulu, aku akan bersjukur dahulu. Sesungguhnja aku umat Tuhan jang berasul Muhamad ! Engkaukah Tuhan itu ? Bukankah Tuhan jang memberi keamanan ? Biar aku berlutut didepanmu ! — Djangan Mas Kanto, aku bukan Tuhan, aku tjuma hambaNja! Aku tjuma pesuruhNja. Dan atas perintahNjalah akan kuamankan hatimu, akan kuramaikan hidupmu, akan kujakinkan kau bahwa tiada kesiasiaan dalam hidup ini. — Biar kutjium 2au sadja. Mentjium kau kukira sama sadja dengan mengutjapkan seribu matjam do’a. — Tidak Mas, aku hanja uniat Tuhan, pesuruh Tuhan. Bibirku hanjalah ditjiptakan Tuhan sebagai danau bagi kau bila kau memer'ukan kesegaran sesudah kegersangan mentjari. Dan sebaliknja bibirmu djuga danau bagiku ! Peluklah aku erat, Mas! Peluklah aku erat2 !
ANGIN malam jang bertiup keras menutupkan djendela. — Siapa itu ! Tini. kau dimana
?
Kau dimana ?
— Mas! Peluklali aku erat! Rebutlah aku dari tangan anginkerakutanmu ! — T in i! Kau penipu ! — (suara mendjauh) Tidak Mas, kau jang penakut! Aku dihanjuikan kekuasaan lain. Betapa tak berdaja aku ini M as! Dan betapa tak erat pelukanmu Mas! Aku do’akan kau berbahagia sepeninggalku Mas! — Aku tak butuli do’amu ! Njahlah kau ! DJENDELA terbuka pelan dan kemudian angin keras menghempaskan kembali daun djendela, menutup! Aku tak melihat bintang. Aku tak melihat bulan. Djuga kamar pengantin tak kulihat
biru
lagi.
He.
apa jang
kuremas ditanganku
ini
?
Undangan ? Siapa djadi pengantin ? Tini ? Ah, segala mimpi buruk itu ! Tidak, aku tidak man tidur dirandjang sial in i! Mengapa memang aku man sadja disuruh menunggu rumah setan ini ? Tinggalkan sadja! Tinggalkan ! Dan kembali ketanah air ? Tanah air Pelukan perempuan djalang ? Dan gendang doger jang ber-
?
talu memukuli dada kosong ? Aku keluar rumah. Pintu kututupkan keras. Ah mungkin mengganggu orang3 tetangga jang telah tidur. Perduli apa! Aku bentangkan sadja tikar dihalaman! Biar lebih dekat kebulan. kebintang ! Biar lebih aman ! Aku memang harus mulai bersembahjang. Aku kira ketawakalan bisa memberiku keamanan. Djodoh adalah seperti mati, diluar pengetahuan manusia jang maha tidak tahu i n i! Mengapa aku terlalu memburu tjinta! Matjam orang kelaparan mentjari nasi sesuap. Matjam orang kehausan mentjari air seteguk. Hidup ini adalah berpuasa dan nanti pada datangnja magrib kita berbuka. Dan alangkah akan
segarnja rudjak tape bila berbuka. Ja, alangkah segarnja ! Biat kubatja Fatihah seratus kali dan nanti tidur. Ah, aku punja Tulian dan Tuhanku tentu akan mau memberi ketiduran jang aman, seperti Dia mau djuga memberikan kesegeran berbuka puasa magrib nanti.
Potret Diri
S
EPERTI bahwa segalanja itu tidak demikian sadja terdjadi tanpa satu sebabpun, aku tidak pula demikian sadja m e n d ja d i pelukis. Beberapa waktu jang lalu, aku masih seorang guru pada sebuah SMA Partikuiir di Djakarta. Dan seperti umumnja guru2 SMA djaman sekarang akupun masih menuntut peladjaran pada sebuah fakultas dan mengadjar hanja dengan maksud
m enam bah
nafkah jang tak dapat ditjukupi hanja dari uang ikatan dinas. Biarlah aku tidak muluk2 dengan mengatakan bahwa aku menga djar untuk suatu tjita2 tertentu. Mungkin terasa tidak enak kedjudjuran jang kubentangkan disini. Tetapi memang demikianlah kenjataannja. Mula2 memang demikian giat aku beladjar pada djam2 diluar kuliah, tetapi kemudian banjak mendesak kebutuhan lain, kebutuhan memiliki seorang gadis umpamanja untuk dikasihi, untuk djadi sahabat terdekat, dan desakan ini makin terasa ketika aku menjadari bahwa mulai ada keseganan menjelinap dalam diriku, keseganan melandjutkan hidup jang seirama . beladjar dan beladjar! Aku memang harus mengakui betapa susahku bergaui dengan wanita.
Kekakuan selalu mengantaraiku. Mungkin karena aku
terlalu tidak puas selalu bila melihat kediriku. Tiap kali aku harus berdjuang mengalahkan rasa rendah diriku dengan memandangi diri ditjermin dan menghibur diri bahwa mataku tjoklat memantjarkan ketjerdasan dan intelegensi, a lis k u tebal m e n u n d ju k k a n keagungan djiwaku jang membersit bersama ke'ramahan. Rambutku ikal kusisir kebelakang. Ah siapa bilang aku tidak gagah. Tetapi
biasanja pada saat2 deniikian, pada saat2 aku menghibur diriku didepau tjermin, dibagian lain dari kesadaranku menjelinap tjemooh : Aku tidak laku, aku djedjaka tua! Gadis2 selalu lari takut melihat kumisku jang mengidjuk, melihat djanggutku jang lebat. Dan pada saat2 demikian, aku mentjoba mengutuhkan kembali perhatianku umuk berhasil dalam peladjaranku. Biarlah aku mentjari sukses dilapangan lain jang masih memberi kemungkinan kepadaku, dilapangan peladjaranku kin; umpamanja. Tetapi keinginan ini keraudian dibantah oleh suara2 lain dalam diriku : Bodoh kau ! Akan kaubiarkan sadjakah hidupmu kering merana
? Untuk
apa segala sukses jang kautjapai bila kau tidak
dapat mengetjap betapa bahagia meinpunjai isteri dan anak. betapa bahagia nientjinta dan ditjinta. Dapatkah kau menghabiskan hidupmu dengan hanja beladjar dan beladjar ? Kau masih muda. kau baru 27 kini. Masih banjak kemungkinan berbahagia bagimu. Kau belum pernah mentjoba ! Aku belum pernah mentjoba memang. Tetapi mana lebih baik. tidak mentjoba samasekali atau pernah menrjoba tetapi ketjewa r Mentjoba dan berhasil tentu jang lebih baik. Seorang kawankit dipergurunan tinggi pada suatu hari kawin dengan muridnja — dia mengadjar disorehari. Dan kalau orang talui betapa pikiran- jang ada didadaku. oraug akan mentjibir djika melihat balnva beberapa saat sesudah itu aku sudali beidir; didepan kelas sebuah SMA Partikelir di Djakarta : mengadjar. Bukan pertamakali kudengar perkawinan antara guru dan murid pada sekolah-sekolah sore sematjam sekolah tempat aku menga djar kini. Dan aku dalam menjadari ini merasa malu mula3 terhadap diriku sendiri, bahwa aku mengadjar tidak dengan suatu tnaksud jang baik bagi masjarakat. Aku mengadjar hanja karcna padaku ada keinginan lain, keinginan akan mengalanv apa jang
pernah dialami kawauku. Aku hanja meng ngatkan kepentinganku scndiri semata. Ketika akii diterima mengadjar oleh direktur sekolah itu jang kebetulan djuga seorang kawanku diperguruau tinggi, dalam bajangku sudah tergambar segala jang mungkin terdjadi bila aku seorang guru. Akan duduk dikursi tinggi didepan kelas. Mula2 aku lihat muridku satu persatu. kutanja namanja satu2. Murid2 putri tentu duduk didepan. Aku tentu harus lebih pandai dari mereka. Ja, tentu. tiapkali aku tentu mempcrsiapkaii diri untuk mendjawab pertanjaan2 jang mungkin datang dan mereka. Dan murid2ku akan tertjengang melihat betapa lantjarnja aku menguraikan mata peladjaran jang diserahkan kepadaku untuk diadjarkan. Dan suaraku jang memberat didepan kelas, akan meiiimbulkan rasa menghargai pada murid2 kepadaku. Dan nanti alangkah takutnja anak2 bila ulangan umum tiba dan aku menunggui kelas jang 'lengang oleh ketekunan. Dan nanti tentu sadja terhadap murid putri jang menarik perhatianku, ada perasaanku jang berbitjara dalam menentukan angka untuk rapportnja. Ah segala pikiran gila datang belaka. Aku sampai2 sudah memikirkan saat itu betapa sikapku kalau nanti aku berdjalan berdampingan dengan seorang muridku putri jang memang dapat ktitjintai dan mentfinta;ku. Dan betapa pula bila murid3ku jang Jain datang dengan olok-’nja. Dan bagaimana pula tjaraku menjurulmja supaja djangan memanggilku : pak, tetapi memanggil namaku sebagai kekasihnja. Tetapi akan kuasakah aku mengendalikan perasaanku beidiri didepan kelas. memandangi • paling sedikit 25 pasang mata jang memandang searah kepadaku - M'ata-
'■
mata itu Aku untuk pertamakalinja akan mengadjar. Dntanglah jnng mau dalaug ! Seberani itukah aku portaina aku mengadjar datanglali. Aku berpakaian rap/ sekali. Sengad/a untuk kali perfania mengadjar itu* kupakni dasi.
HARI
?
dan ketika kulangkahi ambang pintu kelas, mata jang berpasangpasang itu memandang tegang terasa olehku. Aku mentjoba sekeras-kerasnja menguasai diriku dengan menganggap bahwa semua muridku lebih bodoh daripadaku. Semuanja akan berguru kepadaku. Aku berusaha keras mejakinkan diri bahwa aku dapat menguasai mereka. Aku besarkan kepertjajaanku pada diri bahwa aku lebih pandai dari mereka. Mereka akan berguru kepadaku, ja, ini aku tahu. Mereka lebih bodoh daripadaku, ja, ini aku tahu. — Anak-anak, eh, saudara2 mustinja (aku senjum, murid2ku djuga tersenjum — ini kumaksudkan untuk memikat hati mereka, tetapi aku tetap bersikap sebagai orang jang lebih berumur dan sepatutnja dihargai — banjak dari murid2ku jang usianja tak banjak berbeda daripadaku). Saja diserahi mengadjar Sedjarah Kebudajaan kepada saudara2. menggantikan bapak Saleh. Nama saja: Sumarna. Seperti saudara2pun saja masih beladjar dalam segalanja. Fungsi saja disini sebenamja lebih dapat dikatakan membimbing saudara, daripada mengadjar. Dengan ini saja mau mengatakan bahwa bukan tidak mungkin saja mempunjai banjak kekurangan-kekurangan........... Murid2 jang nakal mendeham-deham dibelakang. Aku bersikap lebih tenang lagi dalam berbitjara, pura-pura tidak mendengar olok anak2 nakal dibelakang. Mataku dengan tak usah diketahui mereka — tentu sadja dengan melirik dan sebagainja — menjoroti wadjah murid2 putri jang duduk didepan. Dibenakku terfikir sudah: dengan mereka ini nanti aku dapat bergaul akrab. Dunia baru terbuka bagiku, bergaul dengan wanita2 jang sebaja denganku, suatu dunia jang selama ini diluar mauku djauh daripadaku. Difakultasku mahasiswanja semua laki2. diluar kuliah aku terlalu dibenanikan oleh buku2 peladjaran pula. Semuanja ada delapan murid putriku.
Sesudah kuutjapkan pidato singkatku, sebelum memulai peladjaran, aku suruh anak2 menjebutkan namanja berturut satu-satu. Nama2 murid2 Iaki2 tentu tak menarik perhatianku. Ketika sampa. giliran murid2 putri menjebutkan nama2nja, kulebarkan telingaku. Sebetulnja aku hanja ingin mengetahui nama seorang gadis jang telah demikian menarik perhatianku saat itu, gadis jang duduk dibangKu kediia paling kanan. Gadis itu demikian gagah dimataku. Sinarmatanja
tadjam,
tetapi
tak
membersitkan
kesombongan.
Rambutnja jang mengombak segar tidak didjalin tetapi diikat seperti buntut kuda. Blouse jang dipakainja ketika itu berwarna mu'his hidjau pupus dan roknja kemudian kuketahui : hidjau tua. Didadanja kulihat bros kupu2. Mengapa kegagahannja djustru jang menarikku ? Tangannja jang djuga sempat kulihat, menundjukkan bahwa dia dapat mengerdjakan segala jang diperlukan bagi kehidupannja sendiri. Tenang sekali suaranja ketika dia menjebutkan namanja : Ambarwati! Ah mengapa berlarut demikian perasaanku. Masih dua kelas lagi jang harus kuadjar dan mungkin masih ada gadis jang lebih lagi menarik perhatianku, tetapi hari pertama mengadjar kiranja berlal'u dengan meninggalkan kesan gadis gagah. Dua kelas jang kemudian kuadjar sesudahnja, tak ada dalamnja gadis jang lebih menarikku dari gadis gagah itu. Aku mulai memikirkan mengapa djustru
kegagahannja jang demikian
menarikku ? Mungkinkah
karena aku tidak dapat segagah dia menghadapi kehidupan ini ? :Merighadapi keinginan2ku ? Aku selalu takut memikirkan kemung kinan bahwa apa jang kuinginkan. kutjita-tjitakan tidak akan tertjapai. Senang
djuga
mengadjar
kenjataannja.
Murid2 putri
jang
aleman. Gurau murid2 jang belum terlalu banjak memikirkan kepahifan kehidupan. Ditengah mereka aku merasa kembali muda.
Ditengah mereka aku merasa memiliki kelebihan. Dan kepertjajaan jang sedikit-sedikii menimbul, kepertjajaan pada diri sendiri, membuatku menginginkan gadis gagah muridku itu mau mendjadi kekasihku. Dan perasaan ini membuatku kaku bila aku mengadjar dikelasnja, bila aku haius menjuruh dia madju kedepan, bila aku harus menjuruhnja menibatja peladjaran dan tentu sadja dalam memberi angka ulangannja aku tidak dapat lagf berlaku adil terhadap kawan2nja jang lain. Sekali pada perajaan sekolah, dia menari kupir, dia mendjadi kupu2 jang harus merebut madu sebuah bunga dari kupu3 lain, dan aku kembali dipcsona oleh kegagahannja. kegagahannja! Kegagahan jang sedikit sekali ada padaku, djuga dalam menghadapi keinginansku — keinginan untuk mendapatkan dia se bagai kekasihku antaranja. Tentu sadja dia tidak tahu bahwa aku demikian tertarik kepadanja, karena kurasa aku demikian rapi sudah menjimpan perasaan2ku jang sebenarnja terhadapnja. Aku terikat oleh keharusan mendjaga presrigeku sebagai guru. Kasih sajangku jang kadang2 kurasakan berlebih-lebihan kepadanja. tidak membuat perubahan2 perasaan apa2 padanja. Aku sering mentjoba-tjoba mengetahui apakah dia sudah mempunjai kekasih. tetapi tiap kali aku berbuat demikian, aku kembali kehilangan kegagahanku jang hanja sedikit itu dalam menghadapi keinginan2ku. Kegagahan jang kiuniliki bila aku menghadapi tjermin. Memang mataku tjoklat. tjoklat memantjarkan kctjerdasrm dan intelegensi seperti kjraku. Alisku tebal, ja, tebal menundjukkan keagungan djiwaku. Ranibut jang kuelus, rambutku, memang ikal kusisir kebelakang. Ja, semua itu kiraku bila aku berhadapan dengan tjermin. Tetapi apa arti semua perkiraanku ■itu bila aku tidak mcndjadi bahagia karenanja ? Hormatnja padaku. guraunja padaku, senjumnja padaku, terasa hanja senjum seorang murid
jang mengasihi gtirunja. tidak lebih dari itu * Padanja aku tak inenumbuhkan apa- kukira ! Dan jang tidak dapat kumaafkan liingga kini ialah bahwa laupa kegagahan aku masih djuga mail menghadapi kcinginanku. nicnuiutkan keinginanku untuk merebui kasihnja. Dalnm bebetapa hal aku agak demonstratif menundjukkan perasaan'ku jang lain dari perasaan guru tcrhadap mtiridnja, tetapi kini djustru kcdndukanku sebagai guru mcnjulitkanku. Aku tidak dapat mclepaskan keguruanku tiba2 dan menghadapi dia sebagai peniuda menghadapi gadis. Spring sekelompok anak2 putri niuridku kundjak bersama melihat bioskop, dan dalam kelompok itu tentu termasuk sigadis jang memiliki kegagahan. Kadang2 kuadjak djuga anak2 berpiknik ke Bogor, Tjibodas, Puntjak. Dan tiapkali aku mengadjak anak'-’, aku hanja mengharapkan supaja dia ikut pula. Keinginanku untuk selalu berdekatan dengan dia makin susah kukuasai. Tetapi dia sendiri tetap seperti pertama : kepatuhannja, Ketjintaannja, keniandjaannja. kurasakan hanja kepatuhan ketjintaan dan kemandjaan seorang murid terhadap gurunja jang dapat dekat kepadanja. Murid2 Jaki2 jang diluar peladiaran dapat bergaul sebagai temanku dengan aku sering sudah menjindirkan. artinja,
beiapapun aku mentjoba menjembunjikan
perasaanku.
mcreka arif djuga dan melihatnja. Dan mungkin olok2 sematjam itu aku kira pernah pula diluartahuku dihadapkan kepada gadis gagah itu. Ah saa( itu rnemang demikian mudah aku nierasa letih memikirkan betapa mengenangkan perasaan seorang gadis, tjinta seorang gadis. Mengapa kawan2ku jang djadi guru bisa dan aku tidak. Betapa ketjil kemampuanku. Haraskah kumatikan sadja keinginan-keinginanku ? Ja, saat itu aku sering mengulang pikiran jang demikian. Haruskah kumatikan sadja keinginan2ku. Haruskah aku kembali sadja kepada menekuni buku2 Haruskah aku kem-
?
bali mengisi hidup ini dengan beladjar dan beladjai dan kemudian o'.ahraga ? Volley, tennis, bulutangkis, sepakbola ? Tjukuplah itu semua untuk mengisi seluruh ruang kehidupanku ? Haruskah kutinggalkan dunia jang penuh matahari, senjum dan gelak jang membahagiakan ? Melihat senjum itu tiap hari, melihat kegagahan itu tiap hari dan tidak memilikinja, apakah tidak lebih buruk daripada tidak melihat samasekali, mendjauhi samasekali ? Ataukah akan kutjoba sadja menjatakan perasaan hatiku kepadanja ?• Meminta dan ditolak, apakah ini tidak lebih buruk dari tidak pernah meminta samasekali ? Ah, betapa sulit meladeni perasaan! Mengapa harus ada kebutuhan memiliki gadis, mengapa harus ada tuntutan kebutuhan akan beristeri, menjinta dan ditjinta ? Dan kalau kunjatakan djuga perasaanku kepadanja, ah alangkah akan menjakitkan perasaan bila nanti dia menahan tawa dan meman dang lutju bertjampur kasihan padaku seperti sudah pernah kualami! Ah betapa menjakitkan! Aku takut bajangan ini akan mendjadi kenjataan bila kulaksanakan keinginan2ku. Ah betapa penakutku. Betapa banjak hal jang mungkin menghalangiku bertindak ? Betapa banjak! Betapa takut aku menghadapi kemungkinan gagal ? Bukankah kegagalan biasa bagi hidup jang ingin mentjapai, bagi hidup jang berdjuang! ? Bukankah tak bedanja dengan orang jang berdjalan, terantuk, djatuh dan kemudian bangun ? Bukankah aku di SR dulu pernah pula tidak naik kelas f Ah tapi itu tidak sama! Tidak sama? AKU tidak tahu, haruskah aku mengutjap sjukur atau menjesal bahwa kini — sesudah hampir setahun mengadjar — aku meletakkan djabatanku sebagai guru. Biarlah aku dikatakan (ah siapa jang mengatakan ketjuali aku sendiri sebetulnja) bahwa aku penakut. Bahwa aku tidak pernah berani meminta, memperdjuangkan suatu jang mendjadi tuntutan hidupku. Aku kini beladjar
me'lukis, melukis potret diriku sendiri. Pada saat- senggang se sudah beladjar aku tentu berada didepan tjermin dan mentjoba lebih baik lagi mempeladjari airmukaku. Aku mau mentjoba melukiskan pengalaman2 jang pernah didapat o'leh airmuka ini dengan warna. Dikamav kini, didinding, penuh sudah bertempelan lukisan2ku jang lebih dapat dikatakan itjoreng-moreng. Tetapi itu tidak penting, jang penting aku banjak beladjar dari warna2. Beladjar dari warna2 dan nanti mentjoba memberi warna pada hidupku.
Airmuka jang putjat
ini
harus dimerahkan
Dengan apa? Tjinta ? Latar belakang sebaiknja hidjau. Aku suka alarn dan aku kira aku letap menjukai alam. Mata, bagaimana dengan mala ? Biru atau hitam jang lebih baik ? Hitam! Memandang hidup ini perlu ketadjaman dan kesombongan ! Ah, tetapi bukan itu sebetulnja jang terutama membuatku kini pelukis. Bukan itu. Dan ini jang i.ngin kutjeritakan sebenarnja. Saat itu aku masih mendjadi guru, dan gadis-gagah itu pada suatu hari mengundangku menghadiri pesta ulang tahunnja. Ah, kautahu, apa jang terpikir padaku mula2 saat itu ? Aku ingin memberi hadiah jang akan lama dikenang olehnja. Meskipun nanti aku tak dapat mendjadi suaminja. itiapkali tandamata itu dilihatnja dia akan temngat padaku. Ah dan betapa menjenangkan diingat oleh orang jang kutjintai ? Tetapi hadiah apa jang baik ? Ukir2an ? Ah terfalu biasa ! Selendang Bali sadja ? Ja, dulu ketika ulangtahun sekolah, ketika dia menari, dia memindjam selendang dari temannja. Ah, tetapi selendang lekas rusak — tetapi apa jang tak lekas rusak didunia ini ? Dan tiba2 seperti datangnja sebuah ilham, saat itu datang kawanku pelukis dan aku ingat koleksi lukisan2nja dan ah alangkah gembiraku ketika dia bersedia memberikan sebuah diantaranja kepadaku hanja dengan tukar tjat dan kanpas
— . Kaiena kau temanku maka kuberikan. Lukisan bunga. teratai ini sebetulnja tak kan pernah kudjual. la hanja akan kuberikan kepada orang jang kutjintai ! — Ah kau ada-ada sadja ! — Tidak. betul2 lho ! Aku hnrap sadja muridmu jang kauben hadiah mau djatuh tjinta kepadamu ! — Ah kau ini, Dia muridku dan aku gurunja. kauingai ? Demikianlah pada malam pesta ulangtahun itu kubungkus lukisan bunga teratai itu dengan dua helai sclendang Bali dan ah betapa bahagiaku melihat demikian gembira din menerima pemberianku. Aku dipeluknja didepan tamu2 lain : — Terimakasih Pak, teriniakasih ! Bagus sekajli lukisan in i! Saja suka Pak ! (dia tidak malu2 memelukku dan aku sendiri memang merasa bahwa pelukan itu pelukan seorang anak terhadap bapaknja). Dan kebahagiaanku harus lebih-lebih hilang ketika dia menanjakan siapa pelukisnja. Aku tidak tahu bahwa dia demikian suka kepada lukisan2. Aku tidak tahu samasekali. Dan berat sekali aku mendjawab, menjebutkan nama kawanku pelukis. Aku saat itu ingin supaja aku 'tadinja jang melukis dan bila dia tanja, bangga aku dapat mendjawab: Akulah jang meTukis, istimewa untuk hari ulang tahunmu ! Tapi aku kini mentjoba mendjadi pellukis. Kautahu. dia. muridku itu minta kepadaku supaja diperkenalkan kepada kawanku pelukis. Dan pada suatu hari kukenalkan dan sehari kemudian dia djadi model dan aku melihat mereka dapat mesra seka'li bergaul dan aku tidak tahu mengapa dengan melihat kenjataan itu lalu timbul tjemburuku jang njala2. Aku harus djadi pelukis. Aku harus bisa melukis. Aku berlienti djadi guru. Saat2 kosong sesudah kuliah kini kuisi dengan melukis. Aku mau kelak djika aku djatuh tjinta lagi kepada seorang gadis. aku dapat meng-
hadiahi dia dengan lukisanku sendiri. Suatu keinginan jang lutju bukan ? Djadi bohong tadi kalau kukatakan bahwa aku melukis karena aku mau banjak beladjar dari warna2. Bahwa aku mau mentjoba memberi warna kepada kehidupanku, memang benar, disamping keinginanku pula untuk me'Ienjapkan warna kuning dari diriku — tjemburu dan bentji. Aku mau berbahagia dengan keadaanku. dengan apa jang kutjapai dengan kemampuanku. Tapi ini bukan berarti aku tidak mempunjai keinginan mentjapai jang lebih !
Perpustakaan U1
01-10-07018061
P E R P U S T A K A A tJ J T X K .I I L T A .S S ^ v S T R & l
H. P. No. 427 -5>7