Sekretariat Negara Republik Indonesia
Rumah Sebagai Platform Kemerdekaan Bangsa
Mohammad Yusuf Asy’ari Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia.
Indonesia telah menetapkan dalam pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar RI tahun 1945, bahwa setiap orang memiliki hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya, rumah sebagai wadah tempat tinggal perseorangan ataupun dalam entitas sosial baik dalam bentuk keluarga1 atau lainnya merupakan hak setiap orang. Secara fungsional rumah dijadikan sebagai wadah untuk berlindung dari tantangan alam dan ancaman binatang, sekaligus wadah interaksi sosial keluarga dan pada kasus tertentu mewadahi aktivitas ekonomi penghuninya. Hak perumahan secara nasional didefinisikan sebagai hak bagi setiap orang untuk mendapatkan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat secara berkelanjutan. Lebih jauh kelayakan didefinisikan sebagai kelengkapan rumah dengan jaminan keamanan dan hukum, jaminan perolehan prasarana, sarana dan utilitas dasar, akses pada pembiayaan, dan atau hal lain untuk memenuhi martabatnya sebagai manusia. Menghuni rumah yang layak berarti pengakuan status legal kependudukan yang membuka identitas sosial, akses pada program peningkatan kesejahteraan serta peluang usaha yang membutuhkan kredibilitas hunian.
Kesepakatan universal telah mengelompokkan rumah sebagai bagian dari hak dasar bersama dengan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, layanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya terutama ketika mengalami pemutusan hubungan kerja, sakit, cacat, menjanda, masa tua dan atau kondisi ketidakberdayaan di luar kendali dirinya. Deklarasi hak dasar ini telah diratifikasi oleh 108 negara termasuk Indonesia, dan membawa konsekwensi kepada negara negara tersebut untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka merealisasikan hak tersebut. Deklarasi ini selanjutnya diperkuat oleh Deklarasi PBB tentang pembangunan dan kemajuan sosial tahun 1969, deklarasi permukiman Vancouver tahun 1976 dan deklarasi PBB di Istambul tahun 1996.ÂÂ
Pembahasan tentang kemerdekaan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan dasar seperti perumahan lebih nyata kalau merujuk pada pembahasan konsep kemerdekaan dari Ignas Kleden (2005) yang menyebutkan bahwa kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah proses pemerdekaan yang bukan hanya terkait dengan kemerdekaan geo-politik (penguasaan dan kemandirian wilayah), melainkan usaha pemerdekaan bangsa dalam dimensi kehidupan yang lainnya, terutama kemandirian pemenuhan kebutuhan dasar sebagai manusia maupun bangsa. Pemenuhan kebutuhan dasar dimaknai sebagi upaya untuk membangun kemandirian atau kedaulatan bangsa, baik dari segi geopolitik, ekonomi, sosial budaya, sebagai modal dasar untuk melengkapi ketatanegaraan Indonesia sebagai negara yang merdeka secara penuh.
Patut dipahami bahwa tantangan pemenuhan kebutuhan dasar ini adalah suatu proses dinamis yang dipengaruhi oleh konteksnya. Ketika proses globalisasi berlangsung secara lebih cepat, ketika perubahan tatanan politik nasional bergerak, ketika alam berubah; maka kebutuhan dasar orang per orang, keluarga, kelompok, dan bangsa pun turut berubah. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan dasar dalam hal ini kebutuhan perumahan perlu dijaga dan diarahkan sebagai bagian dari proses pemerdekaan bangsa yang meningkatkan nilai kemanusiaan dan kebangsaan rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Momon Sudarma (2006) menyatakan bahwa kemerdekaan dimaknai sebagai upaya untuk menaikkan peradaban dari peradaban yang lemah ke peradaban yang unggul, dari peradaban terjajah ke peradaban merdeka, dari peradaban tidak berdaya ke peradaban berdaulat. Tantangan Pembangunan Perumahan Pada dasarnya penyediaan tempat tinggal atau rumah di Indonesia adalah kewajiban perseorangan, negara dalam hal ini membantu akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar perumahannya secara adil dan merata. Faktanya ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik hunian dalam lingkungan sosial–ekonominya.
Secara fisik kesenjangan penyediaan di perkotaan berwujud kekumuhan, kemacetan dan pemanfaatan sempadan, lahan lindung atau pertanian untuk perumahan. Gejala ini berdampak pada kekurang jelasan identitas (alamat), http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 3 February, 2017, 23:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
besarnya beban penghidupan dan rasa tidak aman masyarakat dari ancaman becana, kekurangan, dan penggusuran. Artinya kelompok masyarakat ini tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang telah merdeka, karena ketidakpastian huniannya. RPJMN mencatat peningkatan luas kawasan kumuh dari 40.053 ha pada tahun 1996 menjadi 47.500 Ha pada tahun 2000 yang tersebar di 10.000 lokasi dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa.2
Inisiatif Daerah dalam Percepatan Pembangunan Perumahan Sebagian Pemerintah Daerah telah menangani sektor perumahan dan pemukiman sebagai salah satu prioritas pembangunannya. Umumnya kegiatan diarahkan pada stimulasi perbaikan rumah tidak layak huni. Pemerintah Daerah Provinsi seperti Jawa Barat melakukan fasilitasi penguatan program dan kelembagaan termasuk menyediakan stimulasi PSU perumahan dan pemukiman. Provinsi Jawa Tengah menyediakan dana stimulasi perbaikan rumah tidak layak huni, demikian pula halnya Provinsi DKI yang memperluas upayanya dengan membangun Rusunawa bagi masyarakat yang tergusur. Beberapa kabupaten seperti Magetan, Jember, Klaten, Solo, Indramayu, dan Kabupaten Bandung melaksanakan program pemugaran rumah tidak layak huni yang dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan dan pembentukan kelompok masyarakat.
Kesenjangan kelayakan perumahan di pedesaan muncul dalam wujud yang berlainan. Tantangan di pedesaan yang sangat terasa adalah kekurangsinambungan rumah yang ada dengan sistem jaringan prasarana–sarana, sehingga perseorangan–keluarga penghuninya dapat menjalankan penghidupan sosial–ekonomi secara menerus dan mendorong peningkatan kesejahteraan. Kajian dari Smeru, 2006, tentang keterkaitan kemiskinan dengan pertumbuhan sektor menyebutkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di pedesaan harus dilakukan dengan mendorong produktivitas ekonomi pertanian. Artinya, strategi pembangunan perumahan di pedesaan harus dikembangkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan produktivitas pertanian.
Tantangan di luar Jawa muncul sebagai dampak lanjutan dari sistem prasarana–sarana secara makro yang terlambat disediakan serta akumulasi penduduk dalam satu kesatuan pemukiman yang terbatas sehingga skala ekonomi yang kecil tidak mampu mengimbangi besarnya investasi pengembangan sistem utama Prasana Sarana dan Utilitas3. Artinya, pengembangan perumahan di luar Jawa perlu didorong oleh inovasi teknologi dan rancang-bangun yang menawarkan pola pemukiman yang memenuhi kebutuhan PSU-nya secara lokal.
Dalam konteks perumahan di pedesaan dan luar Jawa, kesenjangan yang ada meningkatkan kerentanan dan sekaligus memperkecil peluang bagi masyarakat untuk menjaga kedaulatannya serta meningkatkan kemandiriannya.
Visi yang saat ini menjadi dasar kegiatan dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam RPJMN 2004–2009 mengamanahkan ketersediaan rumah layak huni bagi seluruh keluarga. Artinya, rumah sebagai kebutuhan dasar tidak selalu dipenuhi melalui kepemilikan. Artinya, jaminan penghunian harus diperluas dan diperjelas menjangkau penghunian atas dasar kepemilikan, sewa, kontrak, dan pola lain yang disepakati oleh para pemangku kepentingan.ÂÂ
Data statistik perumahan tahun 20004, menerangkan lebih dari 4% rumah berfungsi juga untuk kegiatan lain di luar hunian, 63% rumah yang ada dikategorikan belum dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang layak huni, 6,8% rumah tidak dihuni (kosong). Analisa dari data susenas tahun 2000 menunjukkan adanya kesenjangan kepemilikan rumah bagi 4.338.864 rumah tangga.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 3 February, 2017, 23:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Percepatan pembangunan Rumah susun kawasan perkotaan Konsep Rusun kawasan perkotaan digagas untuk meningkatkan efisiensi sistem perkotaan dan meningkatkan akses perumahan bagi masyarakat menengah bawah di kawasan strategis perkotaan.
Lokasi strategis di perkotaan dan teknlogi rusun menjadikan harga rusun tidak cocok dengan daya beli masyarakat golongan menengah bawah. Untuk meningkatkan daya beli masyarakat ini, pemerintah menggagas subsidi rusun melalui Permen 07-2007 bagi tiga kelompok sasaran berbasis pendapatan dalam bentuk subsidi selisih bunga dan bantuan uang muka. Pada sisi pasokan, pemerintah menggagas pembebasan pajak pertambahan nilai sehingga harga jual rumah yang harus dibayar masyarakat bisa diturunkan.
Dalam konteks kelembagaan, Keppres Nomor 22 Tahun 2006 telah menetapkan tim koordinasi di tingkat pusat yang dibantu oleh tim koordinasi daerah di tingkat provinsi sebagai fasilitator pelaksanaan terutama pada kawasan perkotaan dengan akumulasi penduduk lebih besar dari 1,5 juta jiwa.
Secara sinergis, Kementerian Negara Perumahan Rakyat mengembangkan strategi dan melaksanakan kegiatan untuk mendorong kiprah seluruh pemangku kepentingan dalam rangka 1) Mempercepat ketersediaan rumah layak huni bagi seluruh keluarga Indonesia di perkotaan dan pedesaan, termasuk jaminan kepemilikan dan penghunian; 2) Mendorong sinergi antarpemangku kepentingan; 3) Mendorong inisiatif dan inovasi pembangunan perumahan dan pemukiman di tingkat lokal; 4) Memperluas akses MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) pada kemudahan sumber daya perumahan. Agenda Tersisa Ada beberapa hal penting yang mendasari keberhasilan pelaksanaan peran pemerintah kepada rakyatnya, bahwa negara tetap harus menjadi prime mover/pendorong dalam peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan. Program perumahan dalam RPJMN yang difasilitasi oleh Kementerian Perumahan Rakyat sebagai bukti konkrit agenda politik pada perioda 2004– 2009 harus menjadi bagian dari pembangunan sistem sektor Perumahan.
Penanganan parsial dan belum menerus pada sektor perumahan selama ini menyisakan beberapa tantangan yang membutuhkan penanganan dalam jangka panjang diantaranya: 1) Penyiapan SDM terutama di tingkat lokal; kesiapan perencanaan sistem perumahan–pemukiman untuk memenuhi dinamika sosial–ekonomi, penghidupan, dan perubahan tantangan alam-kebencanaan; 2) Kesiapan teknologi dan pengetahuan untuk mendorong pembangunan perumahan dan pemukiman yang berkelanjutan, termasuk memahami pemanfaatan kearifan lokal untuk perubahan nilai serta kebutuhan; perubahan kondisi alam dan risiko kebencanaan; 3) Penguatan modal finansial jangka panjang yang memenuhi perkembangan kebutuhan pembiayaan pembangunan perumahan masyarakat.
Penguatan Kapasitas Pemangku Kepentingan Perumahan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 3 February, 2017, 23:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Sektor perumahan–pemukiman melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan kapasitas dan tujuan yang beragam. 68% masyarakat Indonesia berdasarkan analisa statistik perumahan 2004 membangun rumahnya sendiri. Dengan memperhatikan besarnya porsi penduduk yang bergantung kepada aktivitas ekonomi informal maka Kemenpera mendorong peran LKM dalam pembangunan perumahan secara paralel dengan kredit perumahan melalui perbankan.
Deklarasi Jakarta yang disusun secara bersama pada konvensi nasional dan workshop internasional Pembiayaan Mikro Perumahan yang diselenggarakan di Jakarta, 10-11 Juli 2007 menetapkan upaya penguatan melalui: 1) Bersama menggalang jejaring (network); 2) Bersama mewujudkan akuntabilitas dan transparansi publik; 3) Bersama menjaga dan memelihara kepentingan bersama. Diharapkan upaya tersebut mampu memperluas akses pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Deklarasi ditandatangani oleh perwakilan dari PINBUK, BMT (Baitul Maal Wat-Tamwil), Perbamida (Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia), IKPRI (Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia), Kopwani (Koperasi Wanita Indonesia), Perbarindo (Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia), Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia) serta UN-Habitat.ÂÂ
Kelayakan rumah sebagai entitas fisik dapat dicapai dengan memperhatikan tantangan alam, ketersediaan sumber daya dan pola penghidupan sosial-ekonomi penghuninya. Dapat dipahami bahwa keberadaan dan kapasitas lembaga di daerah yang memfasilitasi proses ini menjadi sangat penting dan menjadi ujung tombak dari pencapaian visi sektor perumahan di tingkat daerah. Tantangannya adalah baru sebagian pemerintah daerah mendudukkan sektor perumahan sebagai sektor prioritas pada upaya peningkatan kesejahteraan daerahnya, termasuk belum memadainya institusi yang ditugaskan memfasilitasi pembangunan perumahan–pemukiman.
Kesepakatan nasional yang dibahas pada peringatan Hari Habitat 2005 menguatkan pendekatan Tridaya sebagai konsep pembangunan perumahan di Indonesia yang mendudukkan pembangunan perumahan–pemukiman sebagai upaya holistik yang memberdayakan kapasitas ekonomi–sosial masyarakat dalam proses memberdayakan kualitas fisik lingkungan perumahan–pemukiman. Konsep ini mengenali dan menguatkan kapasitas setiap pemangku kepentingan, sehingga fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah bersifat sebagai stimulan. Kinerja yang dicapai oleh masing masing pemangku kepentingan menjadi bukti keberdayaan, kedaulatan dan kemerdekaan yang bersangkutan untuk menentukan pola penghidupan dan wadah hunian yang diperlukannya. Dalam hal ini stimulasi pemerintah berfungsi sebagai pendorong dan sekaligus pengarah sehingga pembangunan bisa berlangsung secara sinergis dalam kerangka sistemik perumahan sebagai bagian dari tata ruang wilayah.
Rasa aman perseorangan dan keluarga dalam huniannya memiliki potensi besar untuk didudukkan sebagai landasan bagi pembangunan masyarakat dan bangsa secara berkelanjutan. Secara teoritis dan praktis telah terbukti bahwa pendekatan yang dipilih Indonesia; konsep Tridaya telah memenuhi persyaratan keberlanjutan; konsep ini memperhatikan akseptasi sosial, mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan hanya akan terselenggara apabila memenuhi kaidah kelayakan ekonomi. Catatan penting yang harus ditangani secara bersama-sama adalah besarnya tantangan ke depan, keterbatasan kapasitas para pemangku kepentingan dan belum terbentuknya sistem pengelolaan perumahan dan pemukiman.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 3 February, 2017, 23:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
_______________ 1Budaya bermukim yang berkembang pada suku-suku bangsa di Indonesia ada yang berbasis keluarga dan ada pula yang berbasis komunitas, seperti hunian Honai di Papua, Rumah Panjang Kalimantan atau Rumah Gadang Sumatera Barat. 2Sayangnya data yang ada tidak mampu mendeteksi perubahan kerentanan penghidupan penghuninya dari waktu ke waktu. Riset yang ada sekitar pasca krisis ekonomi (SMERU, 1999) menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kualitas penghidupan secara sistematis, terutama pada kantong-kantong permukiman kumuh di perkotaan, yang ditandai oleh penurunan kesehatan, meningkatnya angka drop-out pendidikan dan persoalan sosial lainnya. 3Terutama kesenjangan penyediaan daya listrik, ketersediaan aksesibilitas jaringan darat atau air, sistem layanan air minum, sistem pengolahan dan distribusi koleksi produksi ekonomi. 4Data statistik Susenas 2000 dipakai sebagai dasar perhitungan, walaupun ada data lain dari tahun berikutnya yang dasarnya adalah perhitungan–ekstrapolasi susenas 2000 dengan sumber data sekunder lainnya.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 3 February, 2017, 23:25