ROMBA, Spesies Baru Makhluk Amphibi dari Merauke OLEH : NAMEK-NAMUK1 http://nameknamukasli.wordpress.com
PUBLIK DI MERAUKE,
secara khusus kaum pribumi Papua Selatan, mulai resah dengan kehadiran spesies baru makhluk amphibi berkelamin ganda yang beracun, yang diketahui bernama RoMba, sebuah nama yang diberikan secara spontan. Sesuai jenisnya, dia bisa dengan leluasa hidup di dua alam : Darat dan Air. Dengan racun mematikan sebagai senjata biologisnya, keanehan bentuk fisik dan tingkah laku buruk yang dimilikinya, RoMba telah menjadi ancaman serius bagi Orang Asli Papua Selatan (OAPS) sejak awal kemunculannya di tengah-tengah publik pada tahun 2011. Bagi mereka yang belum mengenal RoMba dan baru mendengar namanya, kemunculan spesies baru ini dianggap akan menjadi pelengkap julukan Tanah Papua sebagai surga bumi yang eksotik dengan segudang binatang endemik, dimana para ahli dipastikan akan berlomba-lomba melakukan penelitian dan menjaga serta melindungi kelestarian populasinya melalui sebuah produk regulasi resmi dan proyek ilmu pengetahuan berbiaya tinggi. Sebaliknya, mereka yang tahu persis seperti apa spesies makhluk amphibi bernama RoMba, akan terus memaki dirinya dan mengutuk bentuk fisik dan tingkah lakunya yang buruk serta berusaha menyelamatkan diri dari racunnya yang mematikan. Dialah RoMba, Romanus Mbaraka, laki-laki keturunan suku Kei bermarga Tadubun dari Kampung Namar, Kei Kecil, Maluku Tenggara, yang secara licik menampilkan dirinya sebagai Orang Asli Papua Selatan (OAPS) dari suku Marind Anim dan berhasil merebut kursi Bupati Merauke periode 2010-2015 tanpa hambatan yang berarti. Romanus Mbaraka secara sadar dan sistematis berhasil menampilkan dirinya seperti Binatang Amphibi sejati. Pria bermuka dua ini di satu sisi bebas hidup sebagai Orang Marind Anim, memeluk adat suku ini dan mengaku sebagai anak Marind Anim di hadapan komunitas Marind Anim dalam setiap kesempatan. Disisi lain, dia juga menampilkan dirinya sebagai Orang Kei sesuai garis keturunan ayah biologisnya. 1
1
Namek-Namuk adalah Representasi Orang Asli Papua Selatan (OAPS) yang tersebar di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel. Tulisan ini dibuat sebagai bahan kampanye menelusuri sepak-terjang komunitas Kei di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel (dimana Romanus Mbaraka menjadi Tokoh Sentral mereka saat ini) maupun Tanah Papua secara umum. Perlu digarisbawahi bahwa materi yang terkandung di dalam tulisan ini merupakan bahan perbincangan dan keresahan OAPS yang diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut. Namek-Namuk hanya merangkumnya dengan dukungan beberapa literatur yang relevan agar perbincangan dan keresahan OAPS bisa terekam dengan jelas dan dapat dijadikan pedoman untuk bertindak. Karena tulisan ini akan terus dikembangkan sehingga menjadi sebuah Buku Putih yang akan diterbitkan dan disebarkan dalam bentuk E-Book (Buku Elektronik), maka kami mengharapkan sumbangan data, saran dan kritikan yang membangun. Data atau informasi tambahan, saran dan kritikan untuk memperkaya tulisan ini menuju terbitnya Buku Putih dapat dikirim ke e-mail :
[email protected]. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Darah Kei yang mengalir dalam tubuhnya mengharuskan dia untuk menggunakan posisinya sebagai Bupati Merauke untuk melindungi dan mengamankan semua kepentingan suku Kei, sebuah suku asal Kepulauan Maluku Tenggara yang didatangkan dan ditanam pemerintah kolonial Belanda dengan dukungan Misi Gereja Katolik di Kabupaten Merauke. Saat ini, mulai dari jabatan-jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan, Lapangan Akademis, LSM, pembagian proyek di setiap SKPD, Yayasan, Partai Politik pendukungnya sampai Kepolisian, semua dimanfaatkan secara baik untuk memperkuat posisi suku Kei di Merauke. Tindakan Romanus Mbaraka dalam membela kepentingan suku Kei jelas bertolak-belakang dengan perjalanan hidupnya sebagai seorang anak lak-laki yang lahir dari rahim seorang perempuan Papua. Dia dibesarkan dalam komunitas ibunya dan disekolahkan tanpa bantuan biaya sepeser pun dari keluarga Kei lantaran statusnya yang dianggap sebagai anak haram atau Inisyaf dalam bahasa Kei, yang artinya Anak Ular atau Anak Setan. Inisyaf adalah status paling hina yang biasa disematkan kepada anak-anak hasil hubungan gelap atau anak hasil perkawinan campur antara suku Kei dengan suku lain. Seseorang dengan status Inisyaf tidak akan diakui sebagai Orang Kei. Kehadirannya di tengah-tengah komunitas Kei akan dianggap sebagai kotoran yang mencoreng wajah komunitas ini, sehingga dalam perjalanan sejarah Papua Selatan sejak orang luar masuk dan menancapkan kuku kekuasaannya atas wilayah berjulukkan surga kecil ini, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun anak-anak Inisyaf yang diakui dan diterima dalam marga asal mereka. Romanus Mbaraka baru mengaku berdarah Kei bermarga Tadubun dari Kampung Namar, mengunjungi saudara-saudari biologisnya dari garis ayah, diangkat menjadi Sesepuh Masyarakat Namar SeKabupaten Merauke, mengundang Pemda Kabupaten Maluku Tenggara hadir dalam setiap acara di Merauke sebagai tamu spesial dan membela kepentingan suku Kei secara ekstrim setelah dia berhasil merebut kursi Bupati Merauke, sebuah posisi yang eksklusif diperuntukkan dan dikhususkan bagi Orang Asli Papua sesuai amanat Otonomi Khusus.2 Didorong oleh kepentingan besar untuk menancapkan dominasi Dinasti Feodal Kei di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel, komunitas Kei terpaksa melanggar adat mereka sendiri dengan cara menerima Romanus Mbaraka, seseorang yang secara adat tidak boleh diterima karena berstatus Inisyaf, sebagai bagian resmi dari Komunitas Kei bermarga Tadubun dari Kampung Namar. Hal ini membuktikan bahwa adat mereka yang dipatuhi sebagai norma sakral dalam hidup ternyata bisa dengan mudah dikorbankan atau dilanggar apabila bersinggungan dengan kepentingan pengembangan Dinasti Feodal Kei di Papua Selatan. Penolakan mereka terhadap seseorang yang berstatus Inisyaf menjadi sebuah anomali atau pengecualian dalam kasus ini. 2 2
Dalam satu kesempatan, Romanus Mbaraka pernah menghardik isterinya Yohana Mekiuw dan mengatakan bahwa dia bukan Orang Papua sehingga para kerabat isterinya asal suku Marind - Yeinan tidak boleh bertamu ke rumahnya. ―Saya bukan orang Papua jadi bilang dorang jangan datang tamu ke rumah untuk minta uang, garam dan tembakau atau pinang,‖ kata Romanus Mbaraka kepada isterinya dengan nada marah. Akibat larangan itu, kini rumahnya tidak pernah dikunjungi oleh kerabat isterinya. Dalam adat Papua, kelakuan seperti ini dianggap hina karena Ipar atau Anak Mantu seperti ini dianggap bernaluri binatang karena tidak mau tahu dari mana perempuan yang menjadi isterinya berasal. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Diterimanya Romanus Mbaraka menyusul 'pembersihan dan daur ulang' dirinya dari noda Inisyaf ternyata membuat para Inisyaf lainnya menjadi percaya diri dan berlomba-lomba mengikuti jejak Romanus Mbaraka. Bagaimana strategi mereka menguasai Merauke demi menegakkan dominasi Kei dan melakukan ekspansi dari Merauke ke Mappi, Asmat dan Boven Digoel, dengan dikendalikan langsung oleh Romanus Mbaraka dari kediamannya di Jl. Brawijaya Merauke akan diulas di bagian lain serial ini.
JOHN TABO DARI PAPUA SELATAN
membahas tindak-tanduk Romanus Mbaraka, ada baiknya kita sedikit membahas tentang John Tabo. John Tabo, Mantan Bupati Kabupaten Tolikara, adalah anak yang lahir dari seorang perempuan suku Lani. Ibunya adalah seorang gadis bisu, mengandung dari tentara, seorang laki-laki tidak bertanggungjawab asal suku Toraja dan melahirkan anak laki-laki, itulah dia, John. Dia dibaptis dengan nama John Tabo, dimana Tabo adalah marga ibu kandungnya. SEBELUM LEBIH JAUH
Beberapa sumber Anonim asal Tolikara mengatakan, Ayah John Tabo yang asli Toraja dan bertugas sejak muda sampai pensiun sebagai prajurit di Korem 172 Praja Wira Yakti Jayapura tidak pernah mengakui, memberi makan dan membiayai pendidikan John Tabo. Pria Toraja ini bahkan tidak mengetahui kalau seorang gadis bisu di Tolikara yang pernah dia jadikan sasaran pelampiasan nafsu biologis ternyata telah mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama John Tabo. John Tabo dibesarkan dalam tradisi suku Lani yang sangat kental. Dia fasih berbahasa Lani, memahami adat Lani dan seluk-beluknya, mengenal baik kampung halaman dan basis Honai atau Kunume-nya, selalu menangis dan bagi-bagi uang ke masyarakat dan selalu ber-Lendawe, ratapan khas suku Lani saat digelar ritual duka. John Tabo mulai dikenal sebagai sosok makhluk amphibi di kawasan Pegunungan Tengah Papua ketika dirinya berhasil merebut kursi Bupati Tolikara. Dia mengambil inisiatif mencari ayah biologisnya sampai ketemu. Dia berhasil menemukan saudara-saudari biologisnya dari garis ayah, membangun rumah mewah bagi mereka, mengunjungi kampung halamannya di Tana Toraja, membangun Tongkonan (Rumah Adat) di sana, menyembelih Tedong Saleko (spesies kerbau termahal) dalam jumlah besar di Tana Toraja dan menjadikan Kabupaten Tolikara sebagai basis bagi suku Toraja. Semua ini dilakukan sebagai wujud baktinya kepada suku Toraja dari mana 50% darahnya berasal dan 100% menggunakan dana yang bersumber dari APBD Kabupaten Tolikara, dimana semua perbuatannya dilakukan secara terbuka di hadapan masyarakat Lani di Tolikara.
3
Selama menjabat Bupati, dia lebih mementingkan Orang Toraja daripada Orang Lani. Sebanyak 9 dari 12 SKPD di jajaran Pemerintah Kabupaten Tolikara dikuasai oleh Orang Toraja, mulai dari Kepala Dinas sampai PNS dan Tenaga Honorer. Proyek bernilai Milyaran Rupiah yang dananya bersumber dari APBD Kabupaten dan Provinsi maupun APBN semua jatuh ke tangan Kontraktor Asal Toraja, diantaranya ke tangan Samuel Kadang, seorang kontraktor kaya asal Toraja yang berbasis di Merauke.
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Semua ini dilakukan John Tabo secara sadar dan sistematis dengan mengabaikan semangat Papuanisasi di berbagai sektor di Papua. Sampai saat ini, walaupun Kabupaten Tolikara yang beribukota di Karubaga itu telah dipimpin oleh anak asli Suku Lani, Orang Toraja masih tetap menikmati hak-hak istimewa di hampir semua sektor, karena basis mereka telah berakar kuat secara sempurna berkat strategi jitu yang ditempuh dan diterapkan selama kepemimpinan John Tabo. Gereja, Kekristenan, nyaman hidup di daerah Pegunungan, kebiasaan memelihara Babi dan mengkonsumsi daging Babi adalah sarana yang digunakan sebagai senjata ideologis untuk mengelabui masyarakat Lani demi menegakkan dominasi Toraja. Dominasi Toraja yang sukses mengambilalih hak kesulungan Orang Lani menyebabkan kata TOLIKARA, oleh masyarakat setempat, diplesetkan menjadi TOraja LIngkar KARubagA. Dominasi orang Toraja atas Orang Lani di Tolikara tidak membuat masyarakat Lani sadar akan permainan John Tabo, karena dia berhasil secara licik memanipulasi alam pikiran masyarakat yang masih polos itu. Dia berhasil melakukan kamuflase secara sempurna dengan menggelar ritual bakarbatu secara rutin, aktif ber-Lendawe di setiap acara duka dan akhirnya dia berhasil dinobatkan sebagai Nagawan (Kepala Suku) dan Ap Kain (Pria Sejati) dari kalangan suku Lani. Pengukuhan ini, pada saat yang bersamaan, telah menjustifikasi dominasi Orang Toraja di Tolikara secara tidak langsung. Tidak dapat dibayangkan, betapa gembiranya Orang Toraja sebagai salah satu Kaum Pencari Harapan Hidup Baru di Tanah Papua ketika mendapati fakta bahwa salah satu kabupaten pemekaran di Papua ternyata dipimpin oleh orang yang, di satu sisi merupakan kerabat mereka, tetapi disisi lain selalu menampilkan dirinya sebagai OAP dari suku Lani dengan segala atribut kesukuan yang melekat pada dirinya. Faktanya, profil pribumi-lah yang secara efektif dikelola untuk membius masyarakat Lani agar mereka mati rasa terhadap dominasi Orang Toraja di Tolikara. Dominasi Orang Toraja di Tolikara yang dibangun oleh John Tabo mendapat dukungan penuh dari beberapa tokoh penting asal Toraja di Papua seperti Daniel Rendeng, Benyamin Ngali, Frederik Hendrik Batti Soring, Yohannes Rante, Yohanis Basang, Eddy Rantesasak, Agus Sumule, dan masih banyak lagi. Tokoh Toraja yang disebutkan ini bersarang di sebuah paguyuban bernama Ikatan Keluarga Toraja (IKT), sebuah lembaga kesukuan yang dibentuk untuk memperjuangkan dan mewujudkan dominasi Orang Toraja di seluruh pelosok Tanah Papua. 3 3
4
Beberapa Agenda yang diperjuangkan oleh IKT dalam rangka menancapkan dominasi Orang Toraja di Tanah Papua adalah : (1) Memfasilitasi Orang Toraja yang potensial untuk duduk di kursi legislatif DPRD tiap Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua, DPR Provinsi Papua, DPR Provinsi Papua Barat dan DPR-RI; (2) Untuk mencapai poin (1) maka IKT berperan mengorganisir masyarakat Toraja untuk tidak memilih Calon lain selain Calon dari suku Toraja; (3) Memperjuangkan Orang Toraja menduduki posisi Wakil Bupati/Wakil Wali Kota di Provinsi Papua dan Papua Barat kemudian memperjuangkan orang Toraja lain menjadi Kepala Dinas atau sebaliknya, memperjuangkan banyak Orang Toraja menjadi Kepala Dinas kemudian mendorong Orang Toraja lain menjadi Wakil Bupati/Wakil Wali Kota; (4) Mendorong Wakil Bupati/Wakil Wali Kota dan Kepala Dinas asal Toraja untuk memberikan proyek APBD maupun APBN kepada Pengusaha asal Toraja dengan syarat tenaga kerja proyek tersebut harus didatangkan dari Tana Toraja; (5) Memfasilitasi Orang Toraja untuk masuk PNS, TNI-Polri dan Swasta di Papua dan Papua Barat; (6) Memfasilitasi anak-anak putra-putri Toraja di Papua dan Papua Barat untuk masuk kuliah di Universitas Cenderawasih Jayapura dan Universitas Negeri Papua Manokwari melalui SLSB (Seleksi Lokal Siswa Berpotensi); (7) Memfasilitasi Orang Toraja yang telah sukses di Papua untuk menginvestasikan modalnya untuk pembangunan Ruko, Bangunan Pemerintah dan Gereja serta fasilitas publik di Tana Toraja; (8) Agenda IKT seperti disebutkan dalam poin (1) sampai poin (7) tidak dijalankan secara ketat, artinya tidak semua Orang Toraja di Papua menyetujui dan menjalankannya. Hal ini karena IKT oleh sebagian Orang Toraja dianggap elitis dan lebih mengutamakan kepentingan elit Toraja. Dengan lain perkataan, ada banyak Orang Toraja di Papua yang merasa dieksploitasi oleh elit IKT. Oleh karena itu mereka lebih memilih membangun aliansi dengan Orang Papua untuk mencapai tujuannya tanpa melalui IKT. Hal yang nyata adalah dalam hal kepentingan merebut kursi legislatif. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Karena jasanya terhadap Orang Toraja dan berdasarkan 50% darah Toraja-nya, John Tabo sempat dicalonkan oleh IKT untuk menjadi Wakil Gubernur Papua berpasangan dengan Barnabas Suebu tahun 2012. Pasangan ini populer dengan istilah Bas-Jon. Dia berhasil ‗dikawinkan‘ dengan Kaka Bas berkat lobby Agus Sumule, putra Toraja kelahiran Paniai yang saat itu menjadi Staf Ahli Gubernur Papua. Sayangnya, pasangan ini tidak berhasil mengikuti Pilgub 2013 karena dibatasi oleh aturan – Barnabas Suebu sudah pernah dua kali menjabat sebagai Gubernur. Padahal, semua kekuatan Orang Toraja, tentu digabung dengan kekuatan masyarakat Lani yang telah terbius, telah disiapkan untuk memenangkan pasangan Bas-Jon. Saat ini John Tabo dan kelompok Toraja di IKT sedang berusaha menggulingkan pemerintahan Kabupaten Tolikara yang dipimpin oleh Bupati Usman Genongga Wanimbo dan Wakil Bupati Amos Jikwa. Jaringan John Tabo saat mulai bolak-balik Kejati Papua dan mendekati serta membujuk Kejati Papua Maruli Hutagalung, SH agar segera menangkap Bupati Tolikara Usman Genongga Wanimbo yang sedang dipolitisasi dan dikriminalisasi melalui dugaan korupsi dana pengadaan Solar Cell. Kisah Romanus Mbaraka sama persis dengan John Tabo. Romanus Mbaraka adalah John Tabo-nya Papua Selatan. Kakeknya adalah Bernadus Tadubun, seorang Guru asal Kampung Namar, Kei Kecil, Maluku Tenggara yang pada zaman Belanda ditugaskan oleh Misi Katolik sebagai Guru di Pulau Kimaam, tepatnya di Kampung Kalilam. Guru Tadubun, seperti kebanyakan guru-guru Kei yang bertugas saat itu di Papua Selatan, kerap menjadikan perempuan setempat yang dijadikan Pembantu Rumah Tangga (PRT) sebagai obyek pelampiasan nafsu biologis. Akibat hubungan gelap Guru Tadubun4 dengan seorang gadis Kampung Kalilam yang menjadi PRT, lahirlah seorang anak laki-laki yang statusnya tidak diakui dalam keluarga Tadubun karena dia berstatus Inisyaf dalam tatanan adat Kei.5 Oleh keluarga ibunya dia diberi nama Bernadus Kramair. Bernadus Kramair yang menyandang status sebagai Inisyaf itu kemudian dibesarkan di kalangan keluarga ibunya. Setelah dewasa, dia bekerja sebagai seorang Juru Mudi Motor Tempel di Misi Katolik dimana dia ditugaskan untuk melayani seorang Pastor Katolik asal Belanda di kawasan Pulau Kimaam dan Selat Mariana. Sebagai Juru Mudi yang bekerja untuk Misi Katolik, dia juga kerap mengantar-jemput anak-anak sekolah di beberapa kampung di sekitar Kimaam dan Selat Mariana. Saat itulah, dia berhubungan dengan seorang gadis asal Kampung Tabonji bernama Veronika Mbaraka dan lahirnya seorang anak laki-laki pada tanggal 8 April 1969. Anak ini diberi nama Romanus Kramair dan dibesarkan oleh kerabat 4
5
Apa yang dilakukan oleh Guru Bernardus Tadubun dalam kasus Romanus Mbaraka maupun oleh Orang-Orang Kei lainnya yang telah merendahkan martabat Perempuan Papua Selatan dengan memanfaatkan keluguan dan kepolosan mereka secara nyata telah bertentangan dengan Hukum Adat Kei yang disebut Hukum Hanilit yang terkandung di dalam Hukum Sakral Lar Vul Nga Bal. Guru Tadubun telah melanggar Hukum Hanilit yaitu : (1) Sissawar, tev laan hol : Mengganggu kaum wanita dengan cara mendesis, bersiul, melempar, mengikuti atau mengejar; (2) Kifuk mat ko dedan mat ket : Menggangu kaum wanita dengan cara bermain mata, membuat kode pada malam hari; (3) Ngis kafir temar uh mur : Mengganggu wanita dengan cara mencubit, mengorek atau korek dengan busur anak pana baik dari muka maupun dari balakang; (4) Homak-woan, aa lebak : Mengganggu wanita dengan cara mencium, memeluk atau merangkul; (5) Laa lee, walngutun tenan rattan, siran baraung: mengganggu dan menodai kehormatan kaum wanita dengan cara membuka pakaiannya dan mengajak berhubungan intim; (6) Marvuan fo ivun taha ken taha sa : Menodai kaum wanita dengan cara menghamili baik yang tertangkap basah maupun yang tidak kedapatan; (7) Manuu marai naa met tahit tutu ne or wat roa : Membawalari perempuan atau memperkosa perempuan di ujung pantai mau pun di hutan tepi pantai / tanjung. Sumber informasi : Toran X di Bambu Pemali, Merauke. 5 Dalam adat Kei, Posisi anak haram atau Inisyaf jelas tidak akan diakui atau diterima kehadirannya di tengah-tengah keluarga asal. Hal ini untuk menjaga dan menjunjung tinggi kesucian isteri sah dan rumah tangga sebagaimana telah diatur dalam Hukum Hanilit tentang Hak Kehormatan dan martabat kaum wanita sebagai bagian dari Hukum Sakral Lar Vul Nga Bal : (1) Reek fo kelmutun : Ambang abu atau kesucian kaum wanita diluhurkan; (2) Moryaian fo kelmutun : Kesucian Rumah Tangga dijunjung tinggi. Sumber informasi : Toran X di Bambu Pemali, Merauke. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
ibu kandungnya. Bernasib sama seperti ayahnya, Romanus Kramair pun tidak diakui sebagai bagian dari marga Tadubun karena dia berstatus Inisyaf. Romanus Kramair pun berubah nama menjadi Romanus Mbaraka. Alasan perubahan namanya dari Romanus Kramair menjadi Romanus Mbaraka tidak diketahui dengan jelas. Salah satu sumber di Kimaam menyebutkan, hal itu dikarenakan konflik internal antara Bapak Bernardus Kramair dan Mama Veronika Mbaraka sehingga berdampak pada perubahan marga Romanus dari Kramair menjadi Mbaraka. Alasan ini bisa diterima karena baru-baru ini, beberapa saat setelah Romanus Mbaraka menjadi Bupati, Bapaknya muncul dari Kimaam dan bermaksud mengucapkan selamat. Ternyata Romanus Mbaraka mengusir Bapaknya dari kediamannya di Jl. Brawijaya. Tindakan Romanus Mbaraka sempat mengingatkan publik tentang kisah Malinkundang, hanya saja Malinkundang yang satu ini berlaku durhaka terhadap ayahnya, berbeda dengan Malinkundang jaman purba yang berlaku durhaka terhadap ibunda-nya. Masyarakat pun menganalogikan Kapal Malinkundang yang karam dengan Jabatan Bupati di pundak Romanus Mbaraka yang dipastikan akan berakhir dengan tragis : ditangkap karena kasus Korupsi! Seperti telah disinggung diatas, Romanus Mbaraka tidak pernah dibesarkan dan dibiayai oleh Keluarga Tadubun. Hal ini disebabkan oleh tradisi berdasarkan stratifikasi sosial yang umum di kalangan suku Kei, bahwa membiayai anak yang dianggap haram atau berstatus Inisyaf adalah sesuatu yang tabu. Tindakan itu juga akan menurunkan derajat laki-laki Kei karena tabu bagi mereka untuk mengakui dan membiayai anak hasil hubungan gelap dengan perempuan yang menurut kaca-mata Feodalisme Kei dianggap berderajat rendah. Didukung dengan posisi Romanus Mbaraka yang merupakan generasi ke2 dari Guru Bernardus Tadubun dimana Bapak-nya yang merupakan keturunan langsung dari Guru Tadubun saja berstatus Inisyaf maka hal ini menjadi dasar bagi keluarga besar Tadubun untuk begitu saja mengabaikan Romanus Mbaraka dari kehidupan mereka. Romanus Mbaraka dibesarkan dalam tradisi suku Marind, dibiayai oleh keluarga Ibunya dan akhirnya berhasil menyelesaikan studi S-1 di Manado. Dia kemudian menjadi Staf di Bappeda Merauke dan melanjutkan studi S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB), meraih gelar Master Teknik (MT) kemudian menjadi Kepala Bappeda Merauke saat kepemimpinan John Gluba Gebze. Perlu digarisbawahi bahwa posisi Kepala Bappeda Merauke tidak diberikan berdasarkan kualifikasi dan jenjang kepangkatan yang dimiliki Romanus Mbaraka, melainkan karena kebijakan ‗Affirmative Action‘ oleh Bupati John Gluba Gebze sebagai wujud keberpihakan dan pemberdayaan anak-anak Marind Anim di jajaran Pemkab Merauke dalam semangat Otonomi Khusus.
6
John Gluba Gebze, Tokoh Sentral Papua Selatan yang saat itu menjabat Bupati Kabupaten Merauke, tidak menyadari bahwa tindakan ‗Affirmative Action‘ dalam rangka pemberdayaan anak-anak Marind Anim di jajaran birokrasi Pemkab Merauke akan berujung pada malapetaka bagi OAPS ketika posisiposisi penting jatuh ke tangan mereka yang berjenis ‗Amphibi‘ seperti Romanus Mbaraka. Komitmen untuk membangun Merauke membuat John Gluba Gebze lupa dan tidak mengantisipasi bahaya ‗ditusuk dari belakang‘ oleh mereka yang diberikan posisi penting.
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Untuk mengelabui masyarakat Marind Anim sebagaimana dilakukan oleh John Tabo terhadap masyarakat Lani, Romanus Mbaraka selalu mengedepankan pendekatan budaya. Beberapa waktu terakhir dia mulai mengeksploitasi tradisi Ndambu milik masyarakat Pulau Kimaam dengan tujuan menampilkan dirinya sebagai OAPS. Dia juga meluncurkan program GERMANI atau Gerakan Makan Ikan dan program GERBANGKU atau Gerakan Membangun Kampungku. Padahal, jika diteliti secara detail, akan ketahuan bahwa kedua program ini hanyalah bentuk ―Kamuflase Papan Nama‖ untuk mengelabui masyarakat Kabupaten Merauke. GERMANI sebenarnya merupakan program asal-asalan karena sekedar menunggangi kebiasaan makan
ikan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Merauke sebagai daerah dengan kekayaan melimpah. Bagi orang Merauke dan semua komunitas Rawa-Pantai di Tanah Papua, Ikan adalah Makanan Pokok sejak jaman purba sehingga tidak makan ikan sama saja dengan tidak minum air. Lebih mengerikan, Program GERMANI tidak dijalankan secara tepat, misalnya memobilisasi masyarakat Merauke melakukan pemeliharaan ikan dengan teknologi moderen kemudian mengolahnya dengan berbagai cara sehingga disajikan bagi keluarga dalam bentuk menu yang beragam dan bisa menunjang gizi keluarga. Atau menjadikan usaha perikanan air tawar sebagai salah satu komoditi unggulan yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat. Ternyata GERMANI diterjemahkan secara sempit sebagai lomba adu kecepatan makan ikan sehingga sempat dijadikan mata lomba di berbagai acara, salah satunya di acara HUT RI Ke-67 di Merauke. Ikan disamakan dengan Kerupuk atau jenis Camilan tertentu yang sekedar dijadikan lomba dan ketika lomba makan ikan selesai, pemenang diumumkan maka Program GERMANI dianggap sukses.6 Sedangkan GERBANGKU adalah Program Nasional yang dulu bernama Inpres Desa Tertinggal atau IDT yang diubah dengan PNPM MANDIRI kemudian diganti cover-nya di Papua menjadi RESPEK oleh Kaka Bas Suebu, selanjutnya cover RESPEK diganti lagi menjadi PROSPEK oleh Lukas Enembe. Program inilah yang oleh Romanus Mbaraka disebut GERBANGKU, entah dengan maksud positif atau hanya sekedar untuk ‗bikin enak lidah‘ dan ‗bikin enak telinga‘ mereka yang mengucap dan mendengar kata GERBANGKU. Terlihat ada semacam politisasi program nasional, seolah-olah program di daerah diciptakan oleh otak brilian Gubernur atau Bupati. Padahal, jika diteliti secara baik, ternyata IDT = PNPM MANDIRI = RESPEK = PROSPEK = GERBANGKU.7
7 6
Baca : Lomba Makan Ikan Meriahkan HUT RI Ke 67 - http://greenbirepapua.blogspot.com/2012/08/lomba-makan.html
7
Program Gerbangku ternyata tidak diteliti oleh Pemerintah Pusat. Kementrian Dalam Negeri entah sadar atau tidak, ternyata telah memberikan penghargaan kepada Romanus Mbaraka karena dianggap sukses melakukan inovasi melalui Program Gerbangku. Ternyata Kemendagri telah mengambil langkah yang keliru. Baca : Kemendagri Keliru Berikan Penghargaan ke Romanus Mbaraka - http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/02/01/kemendagrikeliru-berikan-piagam-ke-romanus-mbaraka/ | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
KELOLA ENERGI KELOMPOK ANTI MIFEE, KELOLA KECURANGAN DAN BAYAR MAHKAMAH KONSTITUSI
merebut kursi Bupati Merauke periode 2010-20158 dengan cara mengeksploitasi sentimen masyarakat yang saat itu lagi gencar melawan Investasi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Seperti diketahui, kelompok Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) berhasil membangun opini perlawanan yang cukup masif, walaupun akhirnya dimoderasi oleh beberapa LSM yang kemudian, sampai saat ini, masih terus mengelola energi rakyat itu menjadi sesuatu yang mendatangkan keuntungan bagi para pegiat LSM dari sisi ekonomi. 9 SORPATOM berhasil dikebiri dan beberapa aktivisnya dibayar oleh Romanus Mbaraka sehingga mereka berhenti melawan Mega Proyek MIFEE. Salah satu aktivis yang dibayar dan berhasil menjilat Romanus Mbaraka serta menjadi pembisik utama yang provokasinya banyak dituruti oleh Romanus Mbaraka adalah Fransiskus X. Sirfefa, S.IP.10 ROMANUS MBARAKA BERHASIL
Romanus Mbaraka, Ketua Bappeda Merauke saat itu yang paling bertanggungjawab atas rancangan dasar dan perencanaan Investasi MIFEE seharusnya mengkampanyekan konsep 'Ekonomi Empat Pilar' berbasis rumah tangga yang dicetuskan oleh Bupati John Gluba Gebze sebagai fondasi dasar konsep MIFEE. Tetapi, didasari oleh ambisinya untuk merebut kursi bupati, dia secara licik menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak tahu-menahu tentang mega proyek tersebut. Hal ini merupakan strategi jitu yang dia terapkan dalam kampanye politik. Dia, bersama beberapa LSM Anti Rakyat yang berada dibawah dominasi kaum pendatang dan terkenal paling rajin mengelola setiap isu penderitaan kaum pribumi bagi kebahagiaan pengurusnya seperti SKP Keuskupan Agung Merauke, Yasanto Merauke dan WWF Cabang Merauke, berhasil membentuk opini publik, bahwa hanya Romanus Mbaraka yang, apabila dipilih menjadi Bupati Merauke Periode 2010-2015, akan menyelamatkan masyarakat pribumi Marind Anim dari bencana peminggiran dan eksploitasi yang akan dilakukan oleh MIFEE. Advokasi SKP Keuskupan Agung Merauke maupun tulisan-tulisan dan laporan provokatif dari Jago Bukit, Koordinator Komunitas Homoseksual Indonesia Cabang Merauke yang juga menjabat sebagai salah satu petinggi Yasanto Merauke, dimana MIFEE digambarkan sebagai ‗Kejahatan Diktator John Gluba Gebze‘, dapat menjadi bukti keterlibatan LSM dalam rangka membangun opini buruk untuk membuat Romanus Mbaraka mengungguli pesaing-pesaingnya, terutama pasangan Daniel WalinaulikLaduani Ladamay (WALI) yang didukung John Gluba Gebze. Jago Bukit dan Leonardus Mahuze (Direktur Yasanto Merauke), seorang Keturunan Tionghoa yang sebelumnya bernama Leonardus Khok Sun tetapi secara tiba-tiba mengganti namanya dan 8
8
Romanus Mbaraka adalah seseorang yang bermental Penipu sehingga gelar MT yang disandangnya diplesetkan oleh Masyarakat Merauke sebagai Master Tipu. Berbagai Penipuan Romanus Mbaraka dapat dibaca di link ini - http://oapsnetwork.wordpress.com/category/penipuan-romanus-mbaraka/ 9 Beberapa LSM yang dikelola oleh Kaum Pendatang masih terus mengelola energi masyarakat. Mereka memanfaatkan isu penolakan Investasi di wilayah Marind untuk pemenuhan kepentingan ekonomi, pendidikan dan karir. Dalam hal ini terjadi saling klaim diantara LSM, masing-masing saling berlomba melakukan pendekatan ke masyarakat dengan berbagai isu. Isu Sidang PBB pun dipakai sebagai alat untuk terus mengelabui masyarakat sehingga pengorganisiran di tingkat bawah untuk mendidik masyarakat secara aktif melakukan perlawanan sendiri tidak berjalan. Masyarakat yang dirugikan oleh Investor dan dieksploitasi oleh LSM terus diarahkan menunggu sidang-sidang PBB. Sudah banyak foto dan video yang beredar di berbagai jejaring sosial dan media kampanye LSM di Indonesia, Asia Tenggara dan Eropa. Semua ini dilakukan dalam rangka memperlancar kucuran dana dari donatur, diantaranya dari Ford Foiundation, ke kantung para aktivis LSM. Foto dan Video sangat memilukan karena masyarakat Marind Anim digambarkan sebagai komunitas yang tidak berdaya sehingga membutuhkan uluran tangan orang kulit putih sebagai Juru Selamat. 10 Karena berjasa bagi Romanus Mbaraka, Fransiskus X. Sirfefa, S.IP direkrut menjadi Caleg dari Partai Gerindra Nomor Urut 5 untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Merauke 3. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
bermetamorfosa menjadi seorang Asli Papua Selatan dengan tujuan memanfaatkan 'Mahuze' untuk memudahkan akses terhadap berbagai hak istimewa yang dikhususkan untuk OAP sesuai amanat Otsus, merupakan dua orang yang dimanfaatkan oleh Romanus Mbaraka untuk membombardir John Gluba Gebze dengan isu utama : Bahaya Investasi Mega Proyek MIFEE! Selain menggunakan isu Anti MIFEE untuk memenangkan Romanus Mbaraka, Jago Bukit dan Khok Sun, menurut sebuah sumber Anonim di Yasanto Merauke, diketahui secara sadis mengorganisir kaum penderita HIV/AIDS atau ODHA yang selama ini menjadi obyek pihak Yasanto sebagai penghasil uang. Para penderita yang tidak memiliki harapan hidup itu akhirnya menggunakan hak suaranya secara terpaksa untuk memilih Romanus Mbaraka karena dicekoki berbagai janji palsu oleh Tim Suskes Romanus Mbaraka-Sunarjo (dikenal dengan Tim ARB) yang diberi akses untuk secara bebas memasuki penampungan para ODHA oleh Jago Bukit dan Khok Sun. Salah satu janji palsu adalah soal peluang kesembuhan mereka dari virus mematikan itu setelah Romanus Mbaraka terpilih menjadi Bupati.11 Orang-orang Kei yang bersarang di beberapa tempat strategis seperti LSM, Kampus, Gereja, Sekolah, Media Massa dan Birokrasi Pemerintahan, semua dimobilisasi secara efektif oleh Romanus Mbaraka untuk mencapai kemenangan. Rose Kebubun, Seorang Perempuan Kei, Akademisi di Kampus STISIPOL Yaleka Merauke yang merupakan pendukung ARB bahkan hampir 24 jam selalu Online di Media Sosial Facebook selama masa kampanye Pilkada Tahun 2010 dengan menerbitkan banyak status yang kontroversial, salah satunya berbunyi : 'ARB Susah Bujuk'.12 Kecurangan dalam Pilkada Kabupaten Merauke Tahun 2010 merupakan aspek lain yang dikelola oleh Romanus Mbaraka untuk mencapai kemenangan. Dia terbukti melalui Tim Sukses-nya, bahkan dia sendiri sempat terjun langsung ke lapangan untuk melakukan kecurangan. Kecurangan yang dia lakukan secara sistematis ternyata mendapat dukungan dari KPUD Kabupaten Merauke, Polres Merauke, Dandim Merauke dan Danrem 174/Anim Ti Waninggap Merauke. 13 Didukung dengan kekuatan dana yang bersumber dari MIFEE dan dukungan politik dari Partai Demokrat yang terkenal korup dan curang dalam hampir semua Pilkada, Romanus Mbaraka berhasil memenangkan sengketa di Mahkamah Konstitusi dan akhirnya dilantik sebagai Bupati Merauke Periode 2010-2015. Ketika dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akan dilantik sebagai Bupati, Romanus Mbaraka memanipulasi opini publik dengan menggambarkan kemenangan dirinya yang tidak lain merupakan
11
9
Saat ini Yasanto dan pihak Pemkab Merauke melalui Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Merauke semakin gencar mengeksploitasi para penderita dengan mengobyekkan mereka demi mendapatkan dana dari berbagai donatur di dalam dan luar negeri. Berbagai upaya penyembuhan alternatif menggunakan ramuan tradisional yang terbukti ampuh dalam menyembuhkan para penderita tidak dikembangkan. 12 Rose Kebubun baru-baru ini namanya masuk 10 Besar seleksi Calon Anggota KPUD Merauke. Oleh beberapa anggota Tim Seleksi yang secara khusus dipasang oleh Romanus Mbaraka untuk mengamankan kepentingannya di KPUD Merauke, dia disiapkan untuk harus lolos seleksi 5 besar sebagai wakil Perempuan Papua Selatan mengalahkan Maria Kurupat yang merupakan Perempuan Asli Papua Selatan dari Suku Muyu. Tetapi, karena kuatnya oposisi yang dilakukan oleh OAPS dan jaringan Papua di tingkat Provinsi, Rose Kebubun akhirnya tidak jadi diorbitkan sebagai wakil Perempuan Papua Selatan. Rose Kebubun saat ini bekerja sebagai akademisi di STISIPOL Yaleka Merauke. Ketika Blogsite Namek-Namuk dikunjungi oleh banyak pembaca, Rose Kebubun merupakan salah satu perempuan yang ikut mengorganisir Masyarakat Kei melakukan pertemuan di Rumah Paulinus Maturbongs di Sesate kemudian melakukan demonstrasi massa ke Polres Merauke menuntut Polisi menangkap pembuat Blog Namek-Namuk dan meminta Romanus Mbaraka bertanggungjawab. Baca : http://oapsnetwork.wordpress.com/masyarakat-kei-minta-romanus-mbaraka-bertanggungjawab/ 13 Kecurangan Pilkada yang berujung pada suap kepada Hakim Konstitusi Akim Mochtar kini mulai terkuak ke publik setelah Akil ditangkap dan menjadi tahanan KPK. Baca : http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/02/21/kpk-panggil-kepala-daerah-yang-diduga-menyuap-hakim-akil/ | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
kemenangan komunitas Kei itu sebagai kemenangan masyarakat Kabupaten Merauke secara umum dan kemenangan anak Marind Anim dari Pulau Kimaam secara khusus. BUKTI STANDAR GANDA ROMANUS MBARAKA
SATU HAL YANG patut dicatat adalah, bahwa komunikasi secara efektif
yang dibangun Romanus Mbaraka dengan pihak MIFEE akhirnya melahirkan kesepakatan gelap tentang nasib MIFEE di Kabupaten Merauke pasca kepemimpinan John Gluba Gebze. Dipimpin oleh PT Rajawali Group milik Partai Gerindra, Bakrie Group milik Partai Golkar dan Medco Group yang berafiliasi dengan Partai PDIP, dimana DPC Kabupaten Merauke ke-3 partai tersebut kini secara ketat dikuasai oleh keluarga Romanus Mbaraka dan para pengusaha yang menjadi donaturnya, terjadilah kesepakatan gelap MIFEE-Romanus Mbaraka yang tidak pernah diketahui publik. Inti kesepakatan adalah : (1) MIFEE menanggung biaya Pilkada dalam rangka kampanye, sengketa sampai pelantikan Romanus Mbaraka; (2) Apabila Romanus Mbaraka terpilih, MIFEE tetap beroperasi dan akan dilindungi oleh Pemkab Merauke berupa payung hukum dan pendekatan ke basis untuk menguasai tanah di 20 distrik dengan isu ‗Kontrak‘ dan ‗Ganti Rugi‘ sebagai metode untuk menipu kaum pribumi Marind Anim agar bersedia melepaskan tanah pusakanya tanpa perhitungan; (3) MIFEE akan membiayai kampanye dan pemenangan semua Caleg dari Partai yang ditentukan oleh Romanus Mbaraka dalam rangka merebut DPRD Kabupaten Merauke Tahun 2014; (4) MIFEE akan mendukung Romanus Mbaraka untuk menjadi Bupati Merauke Periode 2015-2020. Sampai saat ini, MIFEE yang menurut Romanus Mbaraka akan ditutup apabila dia terpilih sebagai Bupati, masih tetap beroperasi dengan leluasa, tentu saja dengan mengabaikan konsep 'Ekonomi Empat Pilar' sebagaimana dicanangkan John Gluba Gebze. Perlawanan masyarakat Marind Anim terhadap beberapa Investor yang termasuk grup MIFEE membuktikan bahwa Mega Proyek MIFEE tidak akan ditutup, tetapi justru mendapat perlindungan hukum dan keamanan dibawah kepemimpinan Romanus Mbaraka. Untuk mengelabui publik, melumpuhkan kelompok kritis dan menyelamatkan MIFEE dari amukan massa, Romanus Mbaraka menerapkan standar ganda. Dia terlihat membela masyarakat dengan berusaha menempuh jalan negosiasi dimana para anteknya dari LMA Malind Anim, beberapa LSM maupun eksekutor lapangan yang hampir semua merupakan anak-anak peranakan, dimobilisasi untuk membujuk MIFEE menerima aspirasi masyarakat, tetapi disisi lain, dia menjalin hubungan akrab dengan Investor MIFEE dan mengganti sejumlah Kepala Distrik yang diketahui membantu masyarakat melawan mega proyek MIFEE.
10
Di balik penampilannya yang sederhana, kalem dan penakut, Romanus Mbaraka ternyata menyimpan naluri militer yang cukup tinggi. Hal ini terbukti ketika dia menggunakan jasa Brimob dan Polisi untuk memaksa masyarakat melepas tanah leluhur mereka kepada Investor. Masyarakat yang tidak mau melepas tanahnya kepada investor akan dianggap sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Intimidasi sebagai bagian dari pelayanan terhadap Investor ini dia lakukan dengan dukungan penuh dari Kapolres Merauke Patrige Renwarin yang merupakan kerabatnya dari Kei. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Dia juga membangun komunikasi dengan beberapa kampus, terutama Kampus Universitas Musamus Merauke (Unmus) yang secara khusus dikuasai oleh komunitas Kei dibawah pimpinan Philipus Betaubun. Philipus Betaubun diberi tugas khusus untuk membungkam suara kritis kalangan kampus tersebut dengan target agar komunitas terpelajar yang dididik untuk berpikir logis itu berhenti menggunakan akal sehatnya dan tidak menyoroti kebijakan Romanus Mbaraka terkait MIFEE yang telah melenceng jauh dari konsep 'Ekonomi Empat Pilar', maupun masalah-masalah lain yang bersifat merusak OAPS. Langkah yang diambil Philipus Betaubun sangat berhasil, ditandai fakta bahwa sampai dengan saat ini, kampus Unmus merupakan satu-satunya kampus di Tanah Papua yang Akademisi dan Mahasiswa-nya secara terbuka menunjukkan sikap apatis dan anti-sosial. Mereka secara nyata membungkam dan menutup diri terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi Orang Asli Papua, mulai dari masalah RoMba-MIFEE, Miras, Sex Bebas, Kriminal, KDRT, Penghancuran Ekonomi Kaum Pribumi, Praktek Mafia Peradilan, Jual-Beli Kasus Hukum, sampai pada masalah Genosida yang disponsori negara dan status politik Papua dalam NKRI. Fakta ini membuktikan bahwa kepentingan sebuah komunitas asal daerah tandus dan dipenuhi bebatuan di Kepulauan Maluku Tenggara untuk menguasai daerah Merauke yang dikawinkan dengan model kepemimpinan Romanus Mbaraka yang mengambil corak feodal suku tersebut ternyata bisa mematikan daya nalar mahasiswa sekaligus membuat salah satu butir Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berbunyi 'Pengabdian kepada Masyarakat' menjadi tabu untuk dibicarakan dan mustahil diterapkan di kampus Unmus. Bencana pembungkaman suara kritis yang menimpa Unmus saat ini memang patut disesalkan karena sangat bertolak-belakang dengan tujuan pendirian Unmus yang semula bernama Sekolah Tinggi Teknik Merauke (STTM) oleh Yayasan Pendidikan Anim Ha, sebuah Yayasan yang diinisiasi oleh John Gluba Gebze pada tahun 2001. Yayasan tersebut telah dimatikan dan asetnya berupa uang telah dialihkan ke tempat lain. Bagaimana Philipus Betaubun mengorganisir kekuatan Kei untuk menguasai STTM dan selanjutnya Unmus, setelah sebelumnya meracuni Soter Nautje, BA yang merupakan Direktur Yayasan Pendidikan Anim Ha, kemudian mematikan Yayasan itu sebagai cara membubarkan para staf yang asli Papua dan membiarkan Sekretariat-nya di Jl. Biak Merauke digerogoti rayap akan diulas di bagian lain serial ini. DINASTI FEODALISME KEI
Wikipedia disebutkan bahwa Feodalisme secara umum berarti struktur pendelegasian kekuasaan sosio-politik yang dijalankan kalangan bangsawan untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. DALAM ENSIKLOPEDIA BEBAS
11
Sebagai sebuah sistem sosial, Feodalisme memiliki setidaknya 10 ciri utama : (1) Adanya Lapisan Atas (Bangsawan) dan Lapisan Bawah (Rakyat Jelata); (2) Lapisan Atas memiliki 'Pegawai' yang bertugas mengontrol Lapisan Bawah; (3) Penguasaan Lapisan Atas terhadap Lapisan Bawah secara total; (4) Adanya Kepatuhan Total bersifat absolut dari Lapisan Bawah terhadap Lapisan Atas; (5) Nasib Lapisan | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Bawah sangat ditentukan oleh Lapisan Atas; (6) Kekuasaan dan kewenangan hanya dimiliki oleh Lapisan Atas; (7) Lapisan Bawah tidak memiliki hak untuk mengemukakan pendapat, apalagi mengkritik Lapisan Atas; (8) Lapisan Atas 'melindungi' Lapisan Bawah sebagai konsekuensi timbal balik Lapisan Bawah tetap mengabdi kepada Lapisan Atas; (9) Lapisan Sosial ini bersifat tertutup atau disamarkan; (10) Tidak terjadi mobilitas dari Lapisan Bawah ke Lapisan Atas. Dalam ulasan selanjutnya, kita akan melihat penerapan Feodalisme Suku Kei di Papua Selatan dengan meneropongnya menggunakan 10 ciri yang disebutkan diatas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui tindak-tanduk mereka secara gamblang agar kita sebagai Anak Negeri tidak terus ditipu untuk melepaskan hak kesulungan kita dinikmati oleh mereka yang hanya merupakan 'tamu yang tidak pernah diundang'. Feodalisme Kei akan diketahui kalau kita menggunakan kaca-mata Antropologi dan Sosiologi dimana diperlukan penelitian yang mendalam sebagaimana telah menjadi tradisi baku di kalangan Kampus. Akan tetapi, 10 ciri khas Feodalisme yang menjadi corak produksi masyarakat manusia secara umum dapat dijadikan patokan untuk memberi gambaran umum mengenai tingkah laku komunitas ini di tanah Papua, secara khusus di Papua Selatan. Masyarakat Kei yang merantau ke Papua Selatan mulai dari kawasan Fak-Fak sampai ke Merauke sebagai Kaum Pencari Harapan Hidup Baru adalah komunitas yang sebelumnya terikat dengan adat istiadat berbau feodal di tanah leluhurnya. Stratifikasi sosial dalam suku Kei terbagi atas tiga kelas, yaitu Kelas Bangsawan atau Mel, Kelas Penduduk Asli atau Ren dan Kelas Kalangan Rendah atau Iri. Stratifikasi seperti ini merupakan sisa-sisa peradaban Hindu yang sempat berkembang di Nusantara sebelum ditenggelamkan oleh dominasi Islam. Kelas Bangsawan atau Mel adalah kelas yang kastanya dianggap lebih tinggi dan dari kasta ini-lah para Raja atau Rat menurut istilah mereka berasal. Saat ini, setidaknya masih terdapat 22 Raja yang memerintah masyarakat Kei walaupun sering terjadi 'perlawanan' oleh para Ren dan Iri lantaran banyak dari para raja itu biasa mengorbankan kepentingan Ren dan Iri, untuk misalnya : (1) melayani Partai Politik menjelang momen pesta demokrasi; (2) melayani Perusahaan Nasional/Trans-Nasional yang hendak mengeksploitasi hasil alam di sana, terutama hasil laut. Perasaan suku Kei sebagai pemilik Tanah Papua Selatan atau salah satu suku asli Papua Selatan selain suku-suku asli yang tersebar di Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel, Mimika dan Fakfak sebenarnya didasari oleh klaim buta mereka sebagai Komunitas yang berjasa membuat Orang Asli Papua Selatan mengenal peradaban moderen menyusul penyebaran Agama Katolik.
12
"Kita yang bikin kamorang tahu baca-tulis", "Kita yang bikin kamorang berhenti baku bunuh dan baku makan sendiri", "Kita yang bikin kamorang Buka Mata", "Kita yang bawa dan ajarkan Agama Katolik sama kamorang", "Kita yang bikin kamorang turun dari rumah pohon", adalah beberapa klaim yang disebarkan oleh Orang-orang Kei ke kalangan penduduk asli Papua Selatan dengan maksud mereka
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
bisa mendapat perlakuan istimewa atau diakui posisinya sebagai penyelamat atau kelompok yang berjasa besar.14 Klaim ini sebenarnya mengaburkan fakta bahwa Ajaran Agama Katolik yang disebarkan di seluruh dunia, termasuk Papua Selatan, sebenarnya merupakan program dari Tahta Suci di Vatican. Hanya saja, penyebarannya ke seluruh pelosok dunia menggunakan jasa para penjajah bangsa Eropa yang saat itu sedang mencari wilayah baru sebagai bagian dari ekspansi kolonialisme dan imperialisme. Orang-orang Kei hanya menjadi kaum bayaran pemerintah kolonial Belanda dan Misi Katolik untuk menjadi guru sekaligus menyebarkan agama Katolik di Papua Selatan. Sebagai balasannya, mereka menerima gaji, bahan makanan, perabot rumah tangga dan jaminan keamanan dari Pemerintah Belanda dan Misi Katolik. Bantuan makanan dan perumahan dari masyarakat juga mereka dapatkan dengan cuma-cuma. Masih segar dalam ingatan para orang tua kita, bahwa para guru asal Kei selalu menugaskan mereka menangkap Udang, Kepiting dan Ikan untuk diberikan kepada guru. Banyak juga siswa yang dikerahkan untuk menanam singkong yang varietasnya khusus didatangkan dari Kei. Singkong jenis ini kemudian diolah menjadi Enbal atau Sagu Ubi menurut istilah Orang Saparua, yang merupakan makanan khas Masyarakat Kei. Hal ini sudah cukup jelas bagi kita bahwa Orang Kei tidak pernah secara sukarela datang ke Papua Selatan untuk menyebarkan Agama Katolik. Lagi pula, pembaptisan penduduk pribumi semuanya dilakukan oleh Misionaris Belanda dan bisa dipastikan tidak ada tangan Orang Kei yang membaptis OAPS saat awal penyebaran Agama Katolik. Banyak juga OAPS yang dididik oleh para Misionaris Katolik kemudian menjadi guru Katekis dan ditugaskan untuk menyebarkan Agama Katolik. Satu catatan penting, bahwa sebagai kaki tangan Belanda yang bertugas menyebarkan Pendidikan dan Agama Katolik, Orang Kei menerjemahkan kebijakan pemerintah Belanda dan Gereja Katolik sesukahati mereka. Melalui mereka, kebijakan pemerintah Belanda dan Misi Katolik menjadi lebih menyeramkan karena ditumpangi kepentingan terselubung untuk membangun Dinasti Feodalisme Kei di kawasan Papua Selatan. Perlawanan terhadap dominasi Kei dan mentalitas Bangsawan yang memposisikan OAPS sebagai komunitas berstatus sosial rendah pernah terjadi di daerah Muyu awal tahun 1960-an. Orang Kei diusir dari seluruh wilayah Muyu karena kehadirannya dianggap tidak menghargai aturan adat suku Muyu. Setelah diusir dari daerah Muyu dengan kekerasan, mereka meninggalkan daerah Muyu dan menyebar serta memperkuat cengkeraman mereka di Bade, Mur, Kepi, Agats, Kimaam dan terutama Merauke.
13
14
Komunitas Kei adalah Komunitas yang melekat dengan Gereja Katolik. Kita bisa melihat dengan jelas, Gereja Katolik di Papua Selatan selalu dikepung oleh rumah-rumah Orang Kei. Mereka terlihat menjaga Gereja Katolik karena menganggapnya seperti kebun yang tidak boleh diganggu oleh pencuri atau babi liar dari hutan. Posisi mereka yang melekat dengan Gereja Katolik membuat Orang Papua merasa bahwa menyerang orang Kei sama saja menyerang Gereja Katolik. Saat ini ada pertentangan antara Orang Kei dengan Orang NTT. Orang NTT berusaha merebut Gereja Katolik sementara Orang Kei berusaha mempertahankannya. Orang Kei mulai tersisih karena dari sisi SDM mereka sangat lemah dibandingkan dengan Orang NTT. Dalam perselisihan dua kelompok ini, dalam beberapa kasus, mereka terlihat saling berebut simpati dari Orang Papua Selatan. Padahal, sebenarnya mereka sedang memperebutkan apa yang menjadi hak mutlak Orang Asli Papua Selatan sesuai amanat Tahta Suci di Vatican tentang Pribumisasi Gereja Katolik. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Orang Kei yang membangun basis di Bade, Mur, Kepi, Kimaam, Agats dan Merauke menyimpan dendam kesumat terhadap Orang Muyu. Beberapa tokoh Kei seperti Kris Rumlus dan John Rumlus merupakan otak dibalik konflik antara pemuda suku Muyu dan Pemuda suku Yahray di Merauke selama dekade 1980-an dan 1990-an. Konflik ini banyak menelan korban jiwa maupun cacat permanen dari kedua belah pihak. Konflik ini baru berhenti saat para pemuda suku Yahray membuka rahasia ini di Posko Satgas Kelapa V di hadapan Komandan Satgas Alm. Nikolaus Yeem 15 pada awal tahun 2000. ―Kami selalu dihasut oleh Keluarga Rumlus untuk baku jaga, baku-pukul dan baku bunuh dengan anakanak Muyu‖, kata pemuda suku Yahray dari Kampung Tokompatu. Saat ini sedang terjadi upaya terselubung komunitas Kei untuk kembali menguasai daerah Muyu sebagai upaya balas dendam. Mereka menyusup lewat Pemerintahan, LSM dan Partai Politik. Beberapa dari mereka mulai terlibat bersama Marthinus Torip memperjuangkan Pemekaran Kabupaten Muyu dengan harapan akan mendapat posisi strategis di Kabupaten Muyu setelah dimekarkan. Akibat infiltrasi mereka di kalangan penduduk asli, terjadi konflik terselubung diantara beberapa suku asli Boven Digoel.16 Nafsu Suku Kei untuk menjadikan Tanah Papua Selatan sebagai Tanah Leluhur mereka dan menyingkirkan suku-suku asli Papua Selatan sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Belanda, ditandai dengan penggabungan ketiga kasta Mel, Ren dan Iri ketika mereka menginjakkan kakinya di Tanah Papua. Jika di tanah leluhurnya mereka hidup dalam tiga kasta, di Papua Selatan tiga kasta ini dikonsolidasi menjadi satu dan bermetamorfosa menjadi Mel kemudian mengelompokkan OAPS kedalam satu kasta yaitu Iri atau kelas yang paling rendah. Pandangan Orang Kei selanjutnya adalah jelas : Hanya ada dua kelas/kasta dalam masyarakat yaitu Mel (Orang Kei) dan Iri (OAPS). Apa yang membuat mereka mengkonsolidasikan tiga kasta menjadi satu sementara di tanah leluhurnya stratifikasi sosial dengan tiga kasta tetap berlaku? Apa yang melatarbelakangi konsolidasi tiga kasta tersebut menjadi satu kasta yaitu Mel dan secara nyata beroposisi dengan OAPS yang mereka klaim sepihak secara diam-diam sebagai kasta paling rendah atau Iri? Jawaban dari pertanyaan diatas adalah : Bahwa mereka ingin membangun Dinasti Feodalisme Kei di Merauke, Mappi, Boven Digoel, Asmat, Mimika dan Fakfak dan menjadikan Tanah Papua Selatan sebagai tanah leluhur sendiri kemudian menguasai OAPS dalam segala aspek hidup. Dengan kata lain, mereka ingin mendirikan dan memperkuat Dinasti Feodal Kei dimana mereka berposisi sebagai Bangsawan atau Lapisan Atas dan OAPS adalah Rakyat Jelata atau Lapisan Bawah.
15
14
Pengakuan ini dikisahkan kembali oleh Alm. Nikolaus Yeem pada tahun 2006. Nikolaus Yeem adalah Komandan Satgas Papua di Merauke. Ulasan tentang Nikolaus Yeem setelah kematiannya dapat dibaca di Laporan Fahri Salam dari IndoProgress : Musim Penyiksaan – http://indoprogress.com/2013/12/musim-penyiksaan/ 16 Konflik dimaksud bersifat terselubung tetapi dampaknya berupa roda pemerintahan yang macet dan korupsi besar-besaran dilengkapi dengan dominasi kaum Non Papua sangat dirasakan oleh masyarakat Boven Digoel. Sebuah analisis yang cukup memadai tentang konflik etnis di Boven Digoel telah diangkat oleh Damianus Katayu, seorang Akademisi Stisipol Yaleka Merauke dalam Thesis di Universitas Gajah Mada berjudul : Kayapak dan Kopndaman ((Studi Kasus Implikasi Terhadap Relasi Antara Suku Muyu dan Wambon Pasca Pemekaran Kabupaten Boven Digoel Propinsi Papua) http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=56185&obyek_id=4 | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Untuk kasus ini kita hanya akan membahas rencana pembangunan Dinasti mereka di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel, walaupun OAPS di Mimika dan Fak-Fak pun sebenarnya sedang dipaksa, tentu saja tanpa disadari, untuk bermetamorfosa menjadi Iri agar dapat dikelola untuk melayani Dinasti Feodal Suku Kei. Sekedar contoh kasus Mimika, baru-baru ini terjadi pemerkosaan Hak Kesulungan Masyarakat Amungme-Kamoro dimana Athanasius Allo Rafra secara tiba-tiba menyamar sebagai seorang asli Papua dan mencalonkan diri sebagai Calon Bupati (Cabup) dalam Pilkada Mimika Tahun 2013. Kekuatan suku Kei dan Gereja Katolik dimobilisasi secara besar-besaran untuk memenangkan Athanasius Allo Rafra dengan alasan dia adalah Cabup beragama Katolik. Pandangan dan seruan moral soal Pilkada Mimika 2013 oleh Uskup Timika John Saklil, Pr yang merupakan putra Kei, secara tersamar merupakan bentuk dukungan terselubung terhadap Rafra. Namun, ketika kekuatan PT Freeport, Pengusaha Pemasok Miras dan dominasi pendatang lainnya memenangkan Abdul Muis, seorang Makassar beragama Islam yang telah dianggap sebagai OAP hanya karena beristeri Perempuan Papua Selatan (Putri Mantan Bupati Merauke Jacob Pattipi), Gereja Katolik dan Komunitas Kei kemudian secara naif melampiaskan kemarahan mereka kepada masyarakat Amungme-Kamoro. Amandus Rahadat, seorang Pastor Katolik asal suku Kei yang terkenal kritis dan progresif dalam berbagai khotbah-nya di Mimbar Gereja Katolik Gembala Baik Abepura beberapa tahun silam 17, ternyata menampilkan naluri suku-nya secara terbuka. Dalam sebuah khotbah mingguan di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Pastor Paroki Katedral Tiga Raja itu memaki masyarakat Amungme-Kamoro dan menyebut mereka sebagai komunitas yang tidak tahu malu dan tidak tahu berterima kasih karena tidak memilih dan memenangkan Cabup beragama Katolik. Amandus Rahadat bahkan sempat menghasut Umat Katolik di Mimika untuk memboikot Pilkada Mimika Putaran Kedua. Ternyata 'Cabup beragama Katolik' yang dimaksudkan oleh Pastor Amandus Rahadat adalah Athanasius Allo Rafra asal Suku Kei yang berpasangan dengan Titus Natkime, bukan Cabub Katolik Pribumi seperti Yoseph Yopi Kilangin. Pastor Amandus Rahadat menganggap Orang AmungmeKamoro sebagai bangsa primitif dan tidak berbudaya yang baru dimanusiakan oleh Orang Kei beberapa tahun belakangan maka sebagai bentuk balas budi, Orang Amungme-Kamoro harus memilih Orang Kei, yaitu Ahtanasius Allo Rafra, menjadi Bupati Mimika. Hal ini sebenarnya menutupi fakta bahwa saat ini sudah banyak anak Asli Amungme-Kamoro yang bisa memimpin dan mengatur daerahnya sendiri. Sadar atau tidak, Amandus Rahadat sebenarnya telah menanggalkan panggilan Imamat-nya sebagai seorang Gembala yang seharusnya merangkul semua 15 17
Pastor Amandus Rahadat adalah satu-satunya Pastor Katolik yang menjadi idola para aktivis Mahasiswa di Jayapura saat represi Aparat TNI-Polri meningkat di awal reformasi tahun 1998. Khotbah-khotbahnya di Gereja Katolik Gembala Baik Abepura terkenal progresif dan banyak memberi inspirasi bagi para mahasiswa untuk tetap gigih dan pantang menyerah berhadapan dengan situasi represif. Tetapi, patut disesalkan, suara kenabiannya lenyap begitu saja ketika dia terperangkap kedalam pemikiran sukuisme dan memperjuangkan penegakkan dominasi feodalisme suku Kei atas Orang Asli Papua di Kabupaten Mimika. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Domba tanpa membedakan warna bulu-nya. Parahnya, Sang Pastor bisa menyangkal Imamat-nya hanya karena memperjuangkan misi dominasi suku Kei terhadap Masyarakat Amungme-Kamoro. Kita kembali ke Merauke. Tanda-tanda penerapan dominasi Feodalisme Kei di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel - Papua Selatan - sebenarnya sudah ditunjukkan oleh guru-guru Kei yang bertugas pada jaman Belanda. Sikap angkuh dan merendahkan OAPS dan dominasi mereka di berbagai sektor, terutama di bidang Pendidikan dan Institusi Gereja Katolik terlihat sangat nyata. Dominasi dan diskriminasi dalam Gereja Katolik berlangsung secara sempurna dan menjadi biang matinya Proses Pribumisasi Gereja Katolik yang diprogramkan oleh Paus Johanes Paulus II di Vatican. Dominasi mereka di lingkaran Gereja Katolik dan sektor Pendidikan yang terkait Gereja Katolik yaitu YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) secara nyata telah memperkuat basis sosial mereka untuk kemudian melakukan ekspansi secara terbuka ke sektor Birokrasi, Politik dan Swasta, hal mana sektor-sektor tersebut telah menguntungkan mereka secara Ekonomi. Berakhirnya kekuasaan Belanda di Tanah Papua ternyata tidak mengakhiri dominasi Orang-orang Kei di Papua Selatan. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah : Ketika dominasi Belanda berakhir maka tugas Orang-Orang Kei sebagai petugas pemerintah Belanda juga ikut berakhir, karena tujuan Misi Katolik dan Pemerintah Belanda untuk mendidik dan men-serani-kan OAPS sudah berhasil. Orang Kei seharusnya sudah meninggalkan Tanah Papua Selatan dan kembali ke kampung halamannya di Maluku Tenggara karena tugas mereka telah berakhir. Tetapi fakta ternyata berkata lain. Papua Selatan adalah Surga Kecil dan merupakan 'The Promised Land' atau 'Tanah Terjanji' bagi mereka. Mereka berpikir, dari pada pulang ke daerah sendiri yang tandus dan penuh dengan batu, lebih baik menetap di Papua Selatan sambil memperkuat basis pertahanan dan kemudian mengundang saudara mereka untuk sebanyak mungkin datang dari Maluku Tenggara memenuhi Tanah Papua Selatan. Ketika Tanah Papua menjadi rebutan Indonesia dan Belanda, dimana Uni Sovyet membantu Indonesia merebut Papua pada tahun 1963 dan sebagai balasannya, AS yang takut akan ekspansi Komunisme terpaksa memakai Jenderal Soeharto untuk melakukan 'Kudeta Merangkak' terhadap Soekarno pada tahun 1965-1966 kemudian secara sempurna merebut ulang Papua dari tangan Soekarno pada tahun 1969, Orang-orang Kei turut membantu Pemerintah Indonesia untuk memastikan Papua masuk dalam NKRI.
16
Hal ini merupakan akal bulus mereka untuk mendapat perlindungan dari negara sekaligus untuk melanjutkan dominasi mereka terhadap OAPS. Fakta sejarah membuktikan, ketika menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, Orang-Orang Kei merupakan pihak yang berkomitmen memenangkan Opsi Ikut Indonesia. Sebanyak 28 dari 38 Guru-Guru Pensiun yang menandatangani Petisi pada tanggal 7 Maret 1969 di Merauke untuk mendukung Indonesia adalah orang-orang Kei.
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Orang-orang Kei juga terlibat membantu Militer Indonesia membujuk para Tokoh Masyarakat Papua Selatan yang telah dikarantina untuk memilih Ikut Indonesia dengan memberi anak-anak gadis mereka sebagai hadiah untuk ditiduri para Tokoh Masyarakat Papua Selatan sebelum pelaksaanan Pepera. Banyak dari para gadis itu, karena dianggap berjasa terhadap NKRI, akhirnya diterima sebagai PNS di Merauke dan dengan mudah dikenali indentitasnya. Saat ini beberapa dari mereka telah memasuki masa pensiun.18 Seorang tokoh Pepera 1969 di Merauke memastikan bahwa tidak ada Perempuan Jawa yang dijadikan hadiah bagi para Kepala Suku yang dikarantina. "Semua perempuan Kei dan ada satu yang saya sempat ketemu di Kantor Bupati Merauke tahun 1999, dia senyum-senyum saja waktu kami baku lihat muka," ungkap Sang Paitua. Puncaknya adalah ketika hari pelaksanaan Pepera pada tanggal 14 Juni 1969 di Merauke, banyak orang Kei yang terlibat sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera atau DEMUS Pepera dan secara aklamasi menyatakan Papua bergabung dengan NKRI. Pernyataan dukungan terhadap Indonesia saat itu dibacakan oleh Markus Yoseph Fofied. Atas jasanya, dia kemudian sempat diberikan jabatan Ketua DPRD Kabupaten Merauke sambil bersarang di Yasanto Merauke sebelum meninggal dunia. Saat ini, ada pandangan keliru dari Orang Papua bahwa keterlibatan Orang-Orang Kei saat itu hanya sebatas mewakili OAPS dalam Pepera. Faktanya adalah, mereka terlibat Pepera 1969 karena merasa diri sebagai OAPS dan oleh karena itu berhak menentukan masa depan tanah ini.19 Didasari oleh keterlibatan Orang Kei dalam Pepera 1969 seperti disebutkan diatas, maka untuk mengenang Petisi para Guru Pensiun, Gratifikasi Seksual yang melibatkan gadis-gadis Kei dan keterlibatan Orang-Orang Kei sebagai Anggota Demus Pepera, Romanus Mbaraka akhirnya membuat sebuah tugu untuk mengenang jasa besar komunitas ini di perempatan Jalan Brawijaya. Tugu itu bernama Tugu Libra dimana tertera angka 969 yang menurut Romanus Mbaraka memiliki makna historis.20 Tetapi Tugu Libra saat ini menjadi kontroversi. Berbagai kalangan kritis di Merauke menilai, Tugu Libra yang dibangun tidak memiliki identitas pribumi Marind Anim. Bahkan tugu tersebut dibangun diatas reruntuhan Tugu Empat Mata Angin yang dibongkar paksa atas perintah Romanus Mbaraka. Tugu Empat Mata Angin merupakan simbol kosmologi Orang Marind Anim.
18
17
Pemberian kado istimewa berupa gratifikasi seksual oleh Orang-orang Kei sebagai wujud sumbangan mereka terhadap upaya NKRI menganeksasi Papua terbukti berhasil mempengaruhi alam pikir para Tokoh Masyarakat dan melenyapkan pikiran mereka akan Papua Merdeka. Menurut ceritera yang kemudian dijadikan bahan lelucon, bahwa seorang Kepala Suku yang dikarantina, setelah puas meniduri seorang gadis Kei yang masih perawan, langsung merasa bersalah dan berhutang-budi. Dia kemudian mengajak teman-temannya yang lain untuk memilih Opsi ikut Indonesia. ―Ado, saya sudah paku orang punya anak perempuan cuma-cuma jadi mari kita tanda tangan ikut Indonesia saja‖, katanya sebagaimana dikisahkan kembali oleh seorang saksi. 19 Orang Kei menganggap diri sebagai OAPS karena mengklaim diri sebagai bagian dari Rumpun Melanesia. Klaim ini sebenarnya keliru karena Orang Kei sebenarnya tidak termasuk dalam Rumpun Melanesia. Mereka adalah keturunan Orang Bali dan hal ini diperkuat dengan fakta tak terbantahkan yaitu : (1) Komunitas mereka mengenal stratifikasi sosial yang terbagi dalam tiga kasta yaitu Mel, Ren dan Iri. Stratifikasi seperti ini berasal dari peradaban Hindu di Bali yang mereka bawa dan peluk di Maluku Tenggara dan tidak terdapat dalam kebudayaan Melanesia; (2) Hukum Adat mereka yaitu Lar Vul Nga Bal atau Darah Merah – Tombak dari Pulau Bali. Kata Bal berasal dari kata Bali yang telah diserap kedalam bahasa Kei menjadi Bal, sama seperti kata Guru yang diserap menjadi Gur. 20 Baca : Bangunan Libra Punya Makna Mendalam - http://tabloidjubi.com/2013/04/23/bangunan-libra-punya-makna-mendalam/ | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
UPAYA MEMBUNUH KARAKTER OAPS
Pembunuhan karakter sebuah komunitas pribumi merupakan idaman kaum penakluk dari mana pun mereka berasal karena hanya dengan cara inilah komunitas pribumi tersebut bisa kehilangan kepercayaan diri sendiri dan akhirnya akan dengan mudah dikuasai dan dikelola untuk memenuhi semua ambisi dan cita-cita kaum pebakluk. Konsep inilah yang mendasari alam-pikir orang-orang Kei sehingga dimanapun mereka menginjakkan kaki di Papua Selatan, karakter suku-suku pribumi dibunuh dengan berbagai cara. Kita telah sedikit mengulas tentang Pepera 1969 diatas yang jika ditelusuri secara teliti, Pepera 1969 sebenarnya merupakan proses pembunuhan karakter OAPS oleh orang-orang Kei yang menunggangi kepentingan Jakarta yang saat itu hanya mementingkan perebutan Papua secara sempurna lepas dari apakah penduduk pribumi Papua setuju atau tidak setuju. Pembunuhan karakter selanjutnya dalam periode 1969 – 1999 berlangsung secara masif dan boleh dikatakan merupakan titik terendah perkembangan OAPS di Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel yang saat itu masih dalam satu Kabupaten Induk yakni Merauke.21 Periode ini merupakan periode penuh konflik, dimana Orang-orang Kei selalu merekayasa konflik antara Orang Muyu dengan Orang Yahray, Orang Muyu dengan Orang Asmat, dan Konflik terselubung antara Orang Muyu dengan Orang Wambon.22 Upaya pembunuhan karakter OAPS mendapat tantangan yang agak keras ketika John Gluba Gebze menjadi Bupati Merauke pada tahun 2000 untuk periode pertama tahun 2000-2005 dan dilanjutkan dengan periode kedua tahun 2005-2010. Berbagai kebijakan Pro Rakyat Papua maupun Pendatang yang beliau terapkan ternyata tidak sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita jahat Orang-Orang Kei di Merauke. Peran utama John Gluba Gebze dibalik perubahan wajah Merauke dari Kota kumuh menjadi Kota yang mulai terlihat manusiawi ternyata membuat Orang-Orang Kei tidak menunjukkan sikap toleran. Pembagian motor dinas dan fasilitas lainnya kepada staf maupun PNS asli Papua Selatan dan kebijakan tegas lainnya membuat Orang-orang Kei menganggap John Gluba Gebze sebagai lawan yang harus diberantas.23 Orang-orang Kei mulai mengatur strategi untuk menjatuhkan John Gluba Gebze. Didasari oleh kebencian yang luar biasa, mereka membentuk Forum Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Merauke atau FORPAMMER. Tokoh-tokoh FORPAMMER diantaranya Fransiska Nuhuyanan, Guntur Ohoiwutun dan Efraem Fangohoi.
18
21
Penulis sedang menginventarisir berbagai perlakuan Orang-Orang Kei terhadap OAPS di kalangan Gereja Katolik, YPPK, Birokrasi, Politik dan kehidupan sosial sehari-hari. 22 Beberapa isu Anti-Muyu berkembang dengan subur pada periode ini di kalangan suku-suku Papua Selatan lain, sementara posisi Orang-orang Kei aman dan tidak dibenci oleh siapa pun. Mereka terlihat suci karena dekat dengan Gereja Katolik. Adu-Domba tersebut berakhir saat kehadiran Satgas Papua pada tahun 2000. 23 Fasilitas penunjang pekerjaan sebelumnya hanya menjadi hak istimewa orang-orang Kei dan Pendatang lainnya, misalnya John Rumlus dan Chris Rumlus yang menampung banyak motor dinas di rumah dan digunakan oleh internal keluarga. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
FORPAMMER berkerja secara terbuka maupun tertutup dengan mengusung isu yang berbeda, tetapi tetap bertujuan untuk menjatuhkan John Gluba Gebze. Secar terbuka, mereka mendorong isu korupsi24 dengan bergabung dengan berbagai kelompok solidaritas di tingkat Provinsi maupun Nasional. Salah satu kelompok solidaritas yang dimanfaatkan untuk kepentingan menyerang John Gluba Gebze dengan isu korupsi adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), sebuah alat taktis yang dibentuk oleh beberapa LSM di Jayapura pada tanggal 1 Maret 2003. FORPAMMER secara licik memanfaatkan energi alat taktis ini untuk meloloskan tujuan terselubung di Merauke.25 Secara tertutup, FORPAMMER secara khusus dan orang-orang Kei secara umum mulai membangkitkan kebencian OAPS terhadap John Gluba Gebze. Mereka mengelola kalimat : “Kembali ke Habitat masing-masing” yang mereka sosialisasikan sebagai ―ucapan John Gluna Gebze untuk mengusir Orang Boven Digoel, Mappi dan Asmat dari Merauke‖. Trik ini bertujuan untuk membuat Orang Boven Digoel, Mappi dan Asmat yang wilayahnya baru dimekarkan dari Merauke tahun 2003 membenci John Gluba Gebze.26 Kedua upaya ini ternyata tidak berhasil, akhirnya FORPAMMER tidak lagi menunjukkan taringnya di Merauke untuk jangka waktu yang agak lama. Ternyata, Fransiska Nuhuyanan telah memperluas wilayah kerja FORPAMMER ke Kabupaten Mappi dengan merambah ke evaluasi terhadap Program PNPM Mandiri di Distrik Assue.27 FORPAMMER juga mendaftarkan diri di Foker LSM Papua sebagai salah satu LSM di Regio Selatan Papua diantara 10 LSM yang 8 diantaranya milik kaum pendatang.28 FORPAMMER yang dibentuk oleh Orang-orang Kei dengan tujuan melayani kepentingan mereka di Papua Selatan dengan mengelola isu dan penderitaan OAPS ternyata berhasil secara sukses mengakses dana hibah dari Yayasan HAPIN di Belanda, sebuah Yayasan yang mengkhususkan diri untuk membantu Orang-Orang Papua secara segera, sesuai dengan namanya Hulp Aan Papua’s in Nood. FORPAMMER sukses mengobyekkan Orang-orang Papua Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel.29
24
19
Guntur Ohoiwutun, SH adalah salah satu pentolan FORPAMMER yang pada tahun 2003 sempat membangun komunikasi dengan Ikatan Mahasiswa Merauke – IMMER - di Jayapura. Guntur sempat memaksa IMMER untuk membuat seminar di Jayapura tentang Korupsi di Merauke dimana dia harus diundang sebagai salah satu pembicara. ―Ade dorang rancang seminar dan kasih saja undangan ke FORPAMMER, kaka akan terbang ke Jayapura pakai pesawat Celebes karena tiketnya murah‖, kata Guntur sebagaimana dikisahkan kembali oleh seorang Anggota IMMER berdasarkan catatan Harian di Buku Agenda-nya. 25 Tentang hal ini silahkan pelajari laporan Kemitraan Partnership berjudul Melawan Korupsi dari Aceh sampai Papua : 10 Kisah Pemberantasan Korupsi di Indonesia - http://kc.monevacehnias.bappenas.go.id/dc/articles/20081115_Korupsi_Aceh_Papua.pdf 26 Kalimat ini selah-olah menggambarkan sebuah proses pengusiran oleh John Gluba Gebze terhadap orang-orang Boven Digoel, Mappi dan Asmat untuk meninggalkan Merauke. Padahal, kalimat ini sesungguhnya mengandung arti positif, yaitu wilayah yang baru dimekarkan harus diurus dan dikuasai oleh anak-anak asli setempat. Orang-orang Muyu merupakan kelompok yang paling mempercayai provokasi Botnarang atau Boldarang (Orang Kei menurut Bahasa Muyu yang artinya Batu Badaki) ini. Mereka melupakan fakta bahwa banyak Orang Muyu yang tetap memegang jabatan di Pemkab Merauke saat itu, diantaranya Daniel Kepok, Ben Morik, Yustus Kakom dan Domin Yomkondo. Sedangkan dari suku Yahray diantaranya ada Samuel Muyak. Sebagai Bupati Merauke setelah Pemekaran Wilayah, John Gluba Gebze juga tetap membantu membiayai studi S2 beberapa anak asli Papua Selatan tanpa membeda-bedakan asal suku, diantaranya Beatus Tambaip, Dosen FISIP Universitas Cenderawasih yang menyelesaikan S2 di Australia dan saat ini berhasil membangun STISIPOL Yaleka Maro di Merauke dimana banyak anak-anak Papua Selatan dari Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel menuntut ilmu. 27 Baca Laporan PNPM Mandiri dan PPK September 2007 : http://wahyudimukti.files.wordpress.com/2010/09/laporan-pnpm-mandiri-dan-ppk-september2007.pdf 28 10 LSM tersebut adalah Forum Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Merauke (FORPAMMER), Yayasan Alam Lestari Masyarakat Maju dan Sejahtera (Almamater), Yayasan Santo Antonius (Yasanto), Yayasan Suara Kalvari (Yasuka), Yayasan Rehabilitasi Ekonomi Mandiri (Yarem), Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Hidup (Yapsel), Yayasan Peduli Perempuan dan Anak (Yapepa), Yayasan Wasur Lestari (YWL), Yayasan Matahari Kehidupan (Yamapan), Yayasan AESCULAPE (Aesculape). Saat ini jumlah LSM milik kaum pendatang di Merauke telah meningkat tajam dan mereka semua mengelola isu penderitaan OAPS untuk mendapatkan hibah dari Pemerintah maupun donatur di luar negeri yang tentu saja digunakan untuk memperkaya diri karena tidak pernah ada auditor independen yang mengaudit penggunaan dana dalam pelaksanaan setiap program mereka. 29 Lihat Sumber HAPIN dalam Laporannya Edisi Bahasa Belanda Mei 2008 : Focus op Merauke - http://www.hapin.nl/files/pdf/HN2008-05.pdf | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
FORPAMMER dan Orang-orang Kei yang gagal menjebak John Gluba Gebze ternyata tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan sebuah skenario khusus dengan mengorganisir semua potensi yang ada guna memenangkan Romanus Mbaraka sebagai Bupati Merauke. 30 Langkah ini berangkat dari fakta bahwa seorang mantan Bupati, Wali Kota, Gubernur atau Presiden hanya bisa ditangkap oleh penggantinya yang berbeda Partai Politik. FORPAMMER secara nyata bekerja dibalik layar bersama kekuatan suku Kei yang akhirnya berhasil memenangkan Romanus Mbaraka sebagai Bupati Merauke Periode 2010-2015 dengan cara-cara kotor dan melawan konstitusi.31 Apa yang dilakukan Romanus Mbaraka setelah terpilih sebagai Bupati Merauke? Ikan selalu membusuk mulai dari kepalanya. Pepatah ini rupanya menjadi dasar bagi mereka untuk membunuh karakter OAPS dimulai dengan membunuh karakter John Gluba Gebze. Target mereka, apabila karakter John Gluba Gebze berhasil dibunuh maka OAPS akan kehilangan Tokoh Sentral dan mereka akan mudah dikuasai. Orang-orang Kei dan Romanus Mbaraka yang mendapat advis hukum dari dua pengacara mereka yaitu Guntur Ohoiwutun, SH dan Efraem Fangohoi, SH mulai menyiapkan skenario untuk menjebak John Gluba Gebze dengan kasus Souvenir Kulit Buaya. Langkah-langkahnya adalah : (1) Memakai beberapa orang, diantaranya Subandriono Lahaba, untuk mendekati para pengrajin souvenir dan meminta semua bukti pembelian souvenir oleh Pemkab Merauke semasa kepemimpinan John Gluba Gebze dengan tipuan bahwa Bupati Romanus Mbaraka akan memberikan bantuan usaha; (2) menyerahkan semua bukti-bukti itu ke Polisi; (3) Pemeriksaan saksi-saksi oleh Polisi; (4) Membayar Auditor di BPKP Provinsi Papua untuk melakukan Audit Investigasi yang hasilnya harus berbeda dengan Audit BPK Perwakilan Provinsi Papua; (5) Menangkap beberapa staf di pemkab Merauke dan memenjarakan mereka lebih dulu; (6) Menangkap John Gluba Gebze dan memenjarakan beliau.32 Pada saat yang sama, Romanus Mbaraka dan Orang-orang Kei mulai menyiapkan sebuah skenario untuk merebut Partai Golkar Kabupaten Merauke dari tangan John Gluba Gebze melalui Musdalub yang direkayasa.33 Upaya perebutan ini mendapat dukungan penuh dari Wagub Klemen Tinal memang yang sedang menunggu momen untuk melakukan balas dendam politik terhadap John Gluba Gebze karena kekalahan pasangan LUKMEN di Merauke saat Pilgub 2013 lalu.34
30
20
Sejak ditanam oleh pemerintah Belanda di Merauke, Orang-orang Kei selalu bermimpi untuk menjadi Orang Nomor 1 di setiap Organisasi, DPRD dan Kabupaten. Upaya mereka untuk menjadi Bupati selalu gagal. Salah satu keberhasilan mereka hanyalah jabatan kareteker Bupati Mappi yang pernah diberikan oeh John Gluba Gebze kepada Johannes Rumlus melalui Mendagri pada tahun 2003. Upaya Rumlus untuk menjadi Bupati defenitif di Mappi gagal, maka semua kekuatan Kei difokuskan untuk merebut Merauke. Oleh karena itu mereka mendukung dan memenangkan Romanus Mbaraka yang merupakan keturunan suku Kei dengan maksud menunggangi dirinya untuk meloloskan semua kepentingan jahat mereka, salah satunya mewujudkan agenda lama FORPAMMER yaitu menangkap John Gluba Gebze menggunakan tangan Aparat Penegak Hukum agar bisa diterima publik. 31 Baca : http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/03/08/tujuan-romanus-mbaraka-rebut-ketua-dpd-ii-golkar-merauke-bagian-1/ dan http://oapsnetwork.files.wordpress.com/2014/04/daftar-nama-calon-anggota-legislatif-kabupaten-merauke-periode-2014.docx 32 Proses hukum yang dijalani John Gluba Gebze di Pengadilan TIPIKOR pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura terlihat penuh deng an manipulasi karena (1) JPU tidak menggunakan keterangan saksi-saksi yang menjadi fakta persidangan untuk membuat tuntutan; (2) Ada orang yang keterangannya dipakai dalam materi tuntutan padahal dia tidak pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan; (3) Materi Tuntutan dicopy-paste dari tuntutan terhadap terdakwa lain yaitu terdakwa Kaslan yang lebih dulu sudah dihukum untuk kasus Souvenir Kulit Buaya. Informasi sidang John Gluba Gebze bisa diikuti di OAPS Network – http://oapsnetwork.wordpress.com/category/sidang-jgg/ 33 Baca Jadi Ketua DPD II Golkar Merauke, Romanus Mbaraka Tabrak PP Nomor 37 Tahun 2004 - http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/02/24/jadiketua-dpd-ii-golkar-merauke-romanus-mbaraka-tabrak-pp-nomor-37-tahun-2004/ 34 Klemen Tinal telah ditipu oleh Orang-Orang Kei, bahwa dengan menggantikan John Gluba Gebze dengan Romanus Mbaraka maka Partai Golkar akan menang di Merauke. Ternyata Romanus Mbaraka tidak populer di Papua Selatan seperti John Gluba Gebze. Kampanye Golkar di Merauke yang dihadiri Klemen Tinal tanggal 4 April 2014 ternyata tidak didukung banyak massa. Romanus Mbaraka yang merasa malu terhadap Klemen Tinal akhirnya memilih tidak ikut kampanye bersama Klemen Tinal. Pria Kei ini kabur ke Kimaan menggunakan pesawat yang di-sewa. Dari Kimaam dia memonitor kampanye Golkar di Merauke dan baru pulang sore harinya sekitar pukul 17.25 WIT setelah Kampanye Golkar berakhir dengan kekecewaan Klemen Tinal. | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
EKSPANSI ORANG KEI KE PARTAI POLITIK
Keterlibatan Orang-orang Kei di dalam pentas politik di kabupaten Merauke telah dimulai sejak Zaman Belanda dan mengalami peningkatan secara signifikan setelah mereka mendukung Pemerintah Indonesia melegitimasi proses integrasi melalui rekayasa Pepera 1969 sebagaimana telah diulas diatas. Karena Rezim Orde Baru yang hanya mengizinkan Golkar, PDI dan PPP sebagai Partai Politik yang boleh ikut Pemilu dimana PDI dan PPP hanya terlibat untuk melegitimasi kemenangan Golkar yang selalu sudah disiapkan lebih dulu, sementara Orang-orang Kei mayoritas beragama Katolik, maka mereka lebih memilih Partai Golkar dan PDI untuk menyalurkan kepentingan politik sekaligus menjadi kader Partai. Perlu dicatat, bahwa keterlibatan generasi tua Kei di Golkar dan PDI adalah awal dari keterlibatan generasi muda mereka saat ini di Golkar, PDI-P (sempalan PDI) dan Partai Politik lainnya. Politik Orde Baru sangat menguntungkan mereka karena setiap Anggota DPRD yang akan duduk di kursi legislatif ditentukan langsung oleh Ketua Partai Politik. Untuk Pemilu 2014 ini, orang-orang Kei yang maju sebagai Caleg di Merauke, Mappi,35 Asmat dan Boven Digoel36 cukup banyak.37 Jumlah mereka di Kabupaten Merauke adalah yang terbanyak, berjumlah 53 Orang.38 Romanus Mbaraka sebagai Tokoh Sentral Komunitas Kei di Papua Selatan sangat berperan aktif mendukung semua Caleg Orang Kei di tiap Partai Politik kecuali Frasisko Laiyanan, Caleg Partai Golkar dari Dapil Merauke 4. Ini lantaran keluarga Laiyanan adalah satu dari sedikit Keluarga Kei yang di Papua Selatan yang mencintai OAPS dan tidak berambisi membunuh karakter OAPS untuk tujuan dominasi.39 Partai Politik yang secara nyata mendapat dukungan penuh dari Romanus Mbaraka adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, PDIP dan PKPI. 40 Untuk Gerindra dan Golkar, Romanus Mbaraka adalah pengurus kedua Partai ini, dimana PNS Aktif ini menjadi Penasehat di DPC Partai Gerindra Kab. Merauke sementara pada saat yang sama, dia menjadi Ketua DPD II Golkar Kab. Merauke. 41 Partai PDIP juga dia dukung penuh, karena selain merupakan Partai Pengusung di saat mencalonkan diri 35
21
Di Kabupaten Mappi, geliat Orang-Orang Kei untuk memenangkan Caleg mereka terlihat dari permainan kotor mereka dimana mereka menempatkan Orang-Orang Kei di posisi Kepala Sekolah di hampir semua SD, SMP dan SMA di Kabupaten Mappi. Tujuannya untuk menggalang suara masyarakat di setiap tempat tugas mereka demi memenangkan para Caleg asal suku Kei yang maju di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua maupun Pusat. 36 Boven Digoel saat ini menjadi target khusus Orang-orang Kei yang ingin mdmbalas dendam terhadap Orang Muyu karena mereka pernah diusir dari daerah Muyu pada tahun 1960-an. Salah satu Caleg asal suku Kei yang maju di Boven Digoel adalah Martha Maturbongs dari Partai Hanura Dapil 1 Nomor Urut 9. DPC Partai Hanura di Boven Digoel tidak terlepas dari incaran Romanus Mbaraka. David Tom Tuwok yang akan mencalonkan diri sebagai Bupati Boven Digoel dalam Pilkada Tahun 2015 mendatang, difasilitasi oleh Romanus Mbaraka dan Pengusaha Robert Parako merebut DPC Partai Hanura Kabupaten Boven Digoel dari tangan Yoseph Wanan dan Paulina Yanit yang merupakan anak-anak asli Boven Digoel kemudian diberikan kepada Simon Theodorus Tuwok, saudara kandung David Tom Tuwok, yang merupakan keturunan suku Kei. Baca kronologis perampasan Partai Hanura Boven Digoel di sini - http://majalahselangkah.com/content/kpu-papua-digugat-penetapan-dct-boven-digoel-tak-berpedoman-dcs 37 Daftar Caleg DPRD Merauke Periode 2014-2019 secara lengkap bisa didownload di Link ini : http://oapsnetwork.files.wordpress.com/2014/04/daftarnama-calon-anggota-legislatif-kabupaten-merauke-periode-2014.docx 38 Baca 353 Caleg Siap Rebut 30 Kursi DPRD Merauke, Ada 53 Caleg Orang Kei dan 130 Caleg Sekutu Orang Kei http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/04/05/353-caleg-siap-rebut-30-kursi-dprd-merauke-ada-53-caleg-orang-kei-dan-130-caleg-sekutu-orang-kei/ 39 Perlu dicatat bahwa dari Mayoritas Orang Kei yang bernaluri penakluk, masih ada Orang Kei yang mencintai OAPS dalam tindakan mereka. Salah satunya adalah Keluarga Laiyanan yang berdomisili di Pulau Kimaam. Saat ini Orang Kei terbagi antara dua Kelompok Besar yaitu Kelapa atau Kei Lahir Papua dan Kepala atau Kei Paket Langsung. Kepala biasa juga disebut Ketela atau Kei Tembak Langsung. Kepala adat Ketela tidak seperti Kepala karena mereka masih berpegang teguh pada Hukum Adat Lar Vul Nga Bal. Berbeda dengan Kelapa yang selalu melanggar Hukum ini tetapi langsung mengatasnamakan Lar Vul Nga Bal kalau merasa terancam posisinya. 40 Partai lain tidak mendapat dukungan secara langsung, tetapi Romanus Mbaraka hanya membiayai para Caleg asal suku Kei. 41
Baca : http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/02/24/jadi-ketua-dpd-ii-golkar-merauke-romanus-mbaraka-tabrak-pp-nomor-37-tahun-2004/
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
sebagai Bupati, Partai ini juga merupakan Partai yang secara khusus telah menjadi milik keluarga Kei di Tanah Papua. PKPI mendapat dukungan Romanus Mbaraka karena Partai ini merupakan surganya para Bandar Togel di Merauke42 dan satu-satunya pengusung banyak Caleg asal Kei di Dapil Merauke 1. Partai lain yang juga didukung secara tersamar adalah Partai Hanura dan Partai Keadilan Sejahtera. Dari Daftar Calon Tetap (DCT) yang ada, publik akan salah paham, seolah-olah Romanus Mbaraka mendukung Partai Gerindra karena ada Kanisia Mekiuw yang merupakan ipar-nya, atau ada Vincentius Mekiuw yang merupakan menantunya. Sebenarnya dia mendukung Partai Gerindra karena bertujuan menyelamatkan kepala suku-nya yaitu Johannes Rumlus yang tidak lain adalah Ketua Dewan Adat Kei (DAK) Merauke. Rumlus terdaftar di DCT sebagai Caleg Partai Gerindra Dapil Merauke 1 Nomor Urut 4. Untuk tingkat Provinsi Papua, dukungan Mbaraka terhadap Partai Gerindra tidak lain adalah untuk menyelamatkan Viktorianus Ohoiwutun yang maju dari Dapil Papua 7 (Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel).43 Untuk Partai Golkar, Romanus Mbaraka ingin menyelamatkan Caleg yang anti John Gluba Gebze, Ketua DPD II Golkar Merauke sebelumnya yang posisinya dirampas oleh Romanus Mbaraka. Para Caleg tersebut diantaranya Yorgen Betaubun, S.Sos yang terdaftar di DCT sebagai Caleg Nomor Urut 2 untuk Dapil Merauke 1. Untuk tingkat Provinsi, dia bermaksud menyelamatkan Chris Risamasu, Benedictus Renyaan, Leonardus Mahuze (Leonardus Khok Sun), dan Masia Lay yang maju dari Dapil Papua 7 (Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel). Keempat orang ini berjasa kepada Mbaraka karena terlibat langsung dalam merekayasa Musdalub DPD II Golkar Merauke dalam rangka merampas posisi Ketua dari tangan John Gluba Gebze dan memberikannya kepada Mbaraka yang berstatus PNS aktif. Partai PDIP, yang merupakan basis suku Kei berakar tunggang di Papua, didukung penuh oleh pria yang selalu mengatasnamakan OAPS ini, karena PDIP merupakan Partai dengan Caleg Orang Kei paling banyak di Merauke, berjumlah 13 orang. Beberapa diantaranya dapat disebutkan, yaitu Quartus Petrus Dumatubun, Hilarius Ulukyanan, Yohanes Fofied, Paulinus Resubun, Heribertus Silubun dan Yulius Rahail. Yang disebutkan terakhir ini memakai marga Ndiken (Dalam DCT tertulis Yulius K.R.Ndiken) sebagai kamuflase untuk mengelabui masyarakat Marind-Anim. Tidak hanya di Kabupaten Merauke, Partai PDIP juga mengusung orang Kei sebagai Caleg DPR-Papua Dapil Papua 7 (Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel). Mereka adalah Paskalis Letsoin dan Herman Rahail. Bersama Komarudin Watubun (Ketua DPD PDIP Provinsi Papua), para Caleg PDIP di Merauke dan Kabupaten lain di seantero Tanah Papua saat ini sedang mengelola euforia Jokowi 44 yang mendominasi opini publik di Papua untuk meraup suara sebanyak mungkin di Pileg 9 April 2014 demi menegakkan dominasi Orang Kei di Tanah Papua. Dukungan Romanus Mbaraka juga datang untuk Partai Keadilan Persatuan Indonesia. Dukungan ini bukan datang secara gratis karena sosok Sutiyoso di Jakarta atau sosok kritis Ramses Wally sebagai Ketua DPD PKPI Provinsi Papua, melainkan karena PKPI di Merauke merupakan surga para bandar Togel, dibawah pimpinan Petrus Watratan yang mendapat perlindungan dari Polres Merauke. PKPI Merauke juga merupakan Partai yang mencalonkan paling banyak Orang Kei untuk Dapil Merauke 1 berjumlah 7 orang. Untuk tingkat Provinsi, Romanus Mbaraka mendukung Erwin Kelanit yang maju dari Dapil Papua 7 (Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel). 22 42
Baca : http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/04/05/tiga-bandar-togel-milik-polres-merauke-jadi-caleg-pkpi/ Baca : http://tabloidjubi.com/2014/03/27/inilah-daftar-caleg-dprp-dapil-papua-7/ 44 Baca : http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/05/n3jxct-jokowi-akhiri-kampanye-dengan-blusukan-di-pasar-jayapura 43
| Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |
Pertanyaannya sekarang adalah : (1). Mengapa Romanus Mbaraka mendukung begitu banyak Caleg asal suku Kei di banyak Partai Politik? Dan (2) Mengapa Orang-orang Kei dan sekutu mereka berusaha merebut kursi sebanyak mungkin di DPRD Kabupaten Merauke? Hal ini tidak lain karena Romanus Mbaraka ingin mempersiapkan basis di DPRD Merauke, apabila Sistem Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan ke DPR maka dia bisa dengan mudah berkuasa untuk periode kedua. Sementara tujuan Orang-orang Kei adalah mereka ingin menjalankan fungsi Anggota DPRD untuk melayani kepentingan mereka sendiri : (1) Fungsi Legislasi, berkaitan langsung dengan pembentukan Peraturan Daerah/Perda. Mereka akan membuat Perda yang menguntungkan komunitas mereka; (2) Fungsi Anggaran, berkaitan langsung dengan kewenangan dalam hal anggaran daerah (APBD). Mereka akan mengelola APBD Kabupaten Merauke untuk kepentingan komunitas mereka; (3) Fungsi Pengawasan, berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan Peraturan lainnya serta kebijakan Pemerintah Daerah. Mereka akan mengontrol Perda agak sebaik mungkin dijalankan untuk menguntungkan komunitas mereka sekaligus mengawal kebijakan Bupati yang menguntungkan mereka atau melawan kebijakan yang merugikan mereka. 45 Orang-orang Kei yang menjadi Caleg di Merauke melakukan kampanye bodoh dengan cara : (1) Mendatangi orang-orang Papua dan mengisahkan kembali jasa orang tua mereka sebagai pioner yang membawa agama katolik, pendidikan dan peradaban barat ke Papua Selatan maka OAPS harus memilih mereka dalam Pileg tanggal 9 April 2014 nanti; (2) Mereka menyuap para tokoh adat 46 sehingga terbitlah rekomendasi untuk mendukung Caleg tertentu asal suku Kei; (3) Meminta dukungan Romanus Mbaraka agar menggunakan kapasitasnya sebagai Bupati Merauke untuk memenangkan mereka dengan cara membayar peyelenggara Pemilu seperti pernah dilakukannya dalam Pilkada Merauke Tahun 2010 lalu; (4) Menipu masyarakat Papua dan Pendatang bahwa mereka didukung dan telah direstui oleh John Gluba Gebze sehingga layak dipilih; (5) Menipu OAPS dan memanfaatkan kelemahan ekonomi mereka dengan memberikan bahan makanan.47 Kabupaten Merauke hanya menyediakan 30 kursi legislatif yang secara abnormal diperebutkan oleh 183 orang Kei dan sekutu mereka melawan 170 orang yang setidaknya memiliki hati untuk OAPS. Untuk tingkat Provinsi, hanya ada 6 kursi yang diperebutkan oleh 72 Caleg. Dari total 72 Caleg, terdapat 6 Orang Kei dan 5 dari suku lain yang secara Partai merupakan sekutu Kei. Sementara OAPS berjumlah 13 Orang, yaitu Debby Carolin Gebze dan Maria Elizabeth Kaize (Partai Golkar), Yohan Mahuze, Robertus Kambun dan Isak Arr (Partai Nasdem), Yoke Yuliana Fachiri (Partai PKB), Edoardus Kaize (Partai PDIP), Agusta Kuruwop (Partai Gerindra), Valleria E. Butumtan (Partai Demokrat), Pdt. William Gandaimu (Partai Hanura), Paulus Mokai Gebze dan Yulianus P Aituru (PBB) dan Maria Magdalena Keramtop (PKPI). Bagaimana sikap OAPS di Injury Time ini? Suara OAPS hendaknya tidak diberikan kepada Orang Kei maupun sekutu mereka, baik di tingkat Kabupaten48 maupun Provinsi. Pengalaman kita menjadi kuda beban untuk Orang-orang Kei harus dihentikan. Saatnya kita OAPS hanya memberikan suara kepada OAPS yang menjadi Caleg untuk menata kembali rumah kita yang telah hancur selama lebih dari 100 tahun. --Oo00o0— 45
23
Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD bisa dibaca di Wikipedia Indonesia - http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_perwakilan_rakyat_daerah
46
Misalnya Yorgen Betaubun yang menyuap Ketua DAS Kati sehingga mendapat rekomendasi : http://oapsnetwork.wordpress.com/2014/04/05/caleg-keisukses-tunggangi-das-muyu/ 47 Yorgen Betaubun sebagai pemilik banyak Rumah Kos didukung oleh adiknya Sony Betaubun sebagai pemilik Hotel Solair yang ramai dijadikan tempat prostitusi dan Philipus Betaubun yang mengelola Kampus Unmus Merauke menggunakan cara ini sebagai metode untuk memenangkan Yo rgen Betaubun. Petrus Watratan sebagai Bandar Besar Togel di Merauke juga menggunakan cara ini. 48 Lihat Daftar Caleg DPRD Merauke di sini : http://oapsnetwork.files.wordpress.com/2014/04/daftar-nama-calon-anggota-legislatif-kabupaten-meraukeperiode-2014.docx | Namek-Namuk | http://nameknamukasli.wordpress.com | Copy, Sebarluaskan, Baca, Diskusi, Analisa dan Bertindak! |