dihadapkan pada pilihan teramat sulit. Untuk menurunkan defisit, terpaksa diambil berbagai kebijakan yang sangat membebani publik. Selain menaikkan pajak, tarif dasar listrik dan harga BBM, pemerintah juga “ditekan” untuk secepatnya menjual aset-aset BPPN dan BUMN dengan harga murah. Kasus BCA merupakan contoh menarik. Dengan harga penjualan sekitar Rp 5 triliun, APBN tetap akan menanggung beban bunga rekapitalisasi BCA Rp 7-8 triliun dari tahun ke tahun jika obligasi rekapnya tidak ditarik. Menurut Rizal Ramli, kebijakan mafia ekonom Orde Baru yang didukung oleh IMF dengan mengandalkan utang ketimbang investasi dalam pembangunan telah menjerat ekonomi Indonesia ke jebakan utang (debt trap) yang lebih dalam. Akibat resep-resep IMF yang salah dan dipaksakan kepada Indonesia, negara mengambil alih sebagian besar utang tambahan, termasuk mengambil alih beban yang seharusnya dipikul oleh sektor swasta akibat kebijakan BLBI yang mencapai Rp 144 triliun maupun rekapitalisasi perbankan. “Bahkan kasus BLBI tercatat sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia,” kata Rizal Ramli. IMF sendiri dalam laporan internalnya tahun 1999, mengakui telah melakukan sejumlah kesalahan dalam menangani krisis keuangan Asia 1997-1998, sehingga sejumlah negara, termasuk Indonesia, harus menjalani program yang ketat. Sayangnya, kendati si pasien sudah terlanjur koma, sang dokter masih pura-pura tidak tahu, bahkan mengelak dari tanggung jawab profesionalnya. “Padahal dalam dunia kedokteran, pasien yang salah obat berhak meminta kompensasi finansial kepada dokter yang melakukan malpraktek,” kata Rizal Ramli. 138
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Koleksi Pribadi
Rizal Ramli bersama Paul Volcker, mantan Ketua Federal Reserve Amerika Serikat. Meski begitu, sejumlah ekonom dan pendukung Mafia Berkeley terus menerus menghembuskan mitos untuk tetap mempertahankan ketergantungan Indonesia kepada IMF. Akibat terjerat krisis berkepanjangan, mau tidak mau perekonomian Indonesia tergantung pada IMF. Mitos pertama adalah bahwa IMF akan menarik dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Kenyataannya, setelah belasan kali Letter of Intent (LoI) dan sepuluh tahun di bawah pengawasan IMF, termasuk post program monitoring, tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia belum juga pulih. “Hambatan utama investasi bukan terletak pada ada atau tidaknya IMF, tetapi lebih pada ketidakstabilan politik, tiadanya penegakan hukum, prosedur pajak, dan jejaring birokrasi yang ruwet,” kata Rizal Ramli. Nah, jika hal-hal tersebut dipenuhi dan dibenahi, kepercayaan investor pasti akan meningkat tanpa perlu melibatkan IMF. Mitos kedua adalah bahwa utang kepada IMF akan segera diikuti oleh Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
139
140
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Rizal Ramli bersama Menteri Keuangan Jepang. mengalir masuknya modal swasta ke Indonesia. Namun selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Sejak sepuluh tahun terakhir, telah terjadi decoupling antara aliran modal multilateral dengan aliran modal swasta ke Indonesia. Semakin banyak utang kepada IMF, semakin sedikit modal yang masuk. Mitos ketiga adalah bahwa IMF akan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah. “mitos tersebut benar-benar telah menjadi bahan lelucon karena rupiah tetap gonjang-ganjing, terutama karena perubahan faktor eksternal dan dinamika politik dalam negeri,” kata Rizal Ramli. Yang terjadi justru sebaliknya, sejak Oktober 1997, setiap kali tim IMF datang ke Jakarta, nilai rupiah terus menerus merosot. Dalam kesempatan seperti itu, Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi puluhan juta dolar AS untuk memperkuat rupiah. Atau terpaksa mengerek naik tingkat bunga. Berbagai mitos tersebut terus didengungkan, sehingga masyarakat Indonesia terkecoh bahwa tanpa IMF Indonesia akan bangkrut dan hancur berantakan. Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
141
Status Majikan-Pembantu Perlahan namun pasti, IMF dan bangsa kita sendiri membangun status majikan-pembantu. IMF adalah majikan yang harus dipatuhi segala perintah dan keinginannya. Sementara Indonesia adalah pembantu yang harus melaksanakan semua tugas dengan baik dan benar. Bukan itu saja, Indonesia dilarang keras membuat sang majikan tidak enak hati, tersinggung, apalagi marah. Nah, status majikan-pembantu itu mewujud dalam butir-butir program yang digariskan IMF untuk Indonesia. Butir-butir itu dituangkan dalam apa yang disebut letter of intent (LoI). Uniknya, sebagai “surat perintah” penandatangan LoI adalah pihak yang diperintah. Ya, LoI demi LoI yang sarat dengan ratusan program itu hanya ditandatangani pemerintah Indonesia. Penandatanganan LoI itu kemudian dilakukan oleh Menko Perekonomian dan Gubernur BI. LoI penuh berisi perintah yang cenderung mendikte. Indonesia tidak punya pilihan lain, kecuali melaksanakan semua hal yang tercantum dalam LoI dengan baik dan benar. Sekali sang tuan tidak berkenan, maka pencairan pinjaman yang dijanjikan akan ditunda. Jika ini terjadi, menurut mitos yang disebarkan Mafia Berkeley, akibatnya akan sangat mengerikan. Dunia internasional akan menangkap sikap IMF itu sebagai sinyal negatif.
Kena Batunya Dana Moneter Internasional (IMF) kena batunya ketika Rizal Ramli ditunjuk menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian. Sebagai orang yang kritis dan paham dengan sepak terjang IMF di Indonesia, Rizal 142
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Ramli enggan mengikuti jejak menteri-menteri ekonomi sebelumnya. Rizal Ramli merasa terpanggil untuk “meluruskan” praktik pembuatan LoI yang dinilainya merendahkan martabat bangsa dan negara Indonesia. “Di mana letak harkat dan derajat bangsa Indonesia yang berdaulat kalau pembuatan LoI saja drafnya didikte oleh IMF,” ujarnya.
Rizal Ramli bersama Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Anwar Nasution, menandatangani LoI.
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
143
Ketika rombongan IMF yang dipimpin Direkur Asia Pasifik Anoop Singh datang ke Kantor Menko Perekonomian mengutarakan maksudnya untuk membuatkan draf LoI terbaru, Rizal Ramli tegas menolaknya. “Kita diskusikan saja apa poin-poin kuncinya, lalu kemudian kami yang akan membuat drafnya,” kata Rizal Ramli. Sesaat Anoop Singh kaget mendengar ucapan itu. Bukankah selama ini LoI selalu dibuatkan oleh IMF, dan pemerintah Indonesia –- yang diwakili oleh Menko Perekonomian – tinggal meneken. Tapi karena Anoop Singh tahu reputasi Rizal Ramli sebagai ekonom nomor satu yang sangat kritis terhadap IMF di Indonesia, ia cuma manggut-manggut saja. “Mister Anoop Singh kami persilakan kembali saja ke Hotel Grand Hyatt. Nanti kalau draf LoI sudah selesai kami buat, akan kami antarkan ke kamar Anda,” kata Rizal Ramli. Ia memaparkan alasan yang melandasainya: LoI itu kelak akan dilaksanakan oleh Indonesia. Jadi, pemerintah dan rakyat Indonesialah yang paling mengetahui kebutuhan negeri ini. Selain itu, dan ini yang lebih penting lagi, kinilah saatnya duduk sejajar dengan pihak asing, setelah sekian lama selalu menjadi subordinat kepentingan asing lewat IMF. Anoop Singh mulai keder. “Silakan draf LoI dibuat, tapi kita bantu rumuskan konsepnya. Biasanya juga seperti itu,” ujarnya. Rizal Ramli tersenyum, meski dalam hatinya terasa agak kesal karena ia disamakan dengan Menko pendahulunya yang selalu mengekor pada kehendak IMF. “Begini saja, poin-poin apa yang harus masuk dalam LoI 144
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
nanti didiskusikan antara staf IMF dengan staf saya dan para dirjen,” kata Rizal Ramli. Anoop Singh mengalah. Ia kembali ke hotelnya dengan meninggalkan stafnya untuk berdiskusi. Ia tidak tahu bagaimana hasilnya nanti. Padahal, biasanya, agenda pertemuan dengan pemerintah Indonesia selalu bisa “disetir” oleh IMF. Caranya, mengadakan pertemuan terpisah dengan para menteri bidang ekonomi sehingga dapat diadu-domba. Dengan begitu, ia bisa mendiktekan keinginan IMF. Sebab, jika ada satu menteri yang tidak berkenan pada usulan IMF, dengan gampang ia akan mengemukakan alasan: “Menteri-menteri lain sudah menyetujuinya, tinggal Anda yang belum.” Rizal Ramli tentu saja tidak mau termakan oleh strategi memecah belah Tim Ekonomi oleh IMF. Karena itu, sebelum bertemu dengan IMF, kepada para menteri bidang ekonomi Rizal Ramli menekankan: “Kita berunding dengan IMF sebagai satu tim yang solid. Jangan mau kalau IMF minta bertemu secara terpisah.” Maka perundingan pun segera dimulai antara tim IMF dengan tim ekonomi Indonesia. Yang duduk di meja perundingan bukan hanya dengan para menteri, melainkan juga dengan para dirjen dan pejabat eselon satu. “Mereka menguasai teknis. Mereka juga doktor lulusan luar negeri. Kita beri kepercayaan kepada mereka,” kata Rizal Ramli. Para dirjen dan pejabat eselon satu itu tetu saja sangat senang mendapat kepercayaan seperti itu. Semangat mereka menyala-nyala. Pertemuan Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
145
berlangsung dua hari dua malam. Hasilnya praktis menemui jalan buntu. “Argumen yang dikemukakan oleh tim IMF dibantah terus oleh para dirjen kita,” kata Rizal Ramli sambil tersenyum. Anoop Singh terus memantau dari kamar hotelnya. Sehari empat hingga lima kali dia menelepon Menko Perekonomian Rizal Ramli untuk menanyakan perkembangan pembuatan draf LoI.
Rizal Ramli bersama Anwar Nasution dan John Donsworth, IMF.
146
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
“Anda tenang saja. Silakan santai mendengarkan musik sambil minum wine. Draf LoI akan selesai tepat pada waktunya. Saya jamin itu,” kata Rizal Ramli. “Tapi, tim Anda terus memreteli usulan dan program yang sudah disusun oleh IMF,” kata Anoop Singh dengan suara khawatir. Betapa tidak? LoI harus ditandatangani hari Senin, sementara sampai hari Sabtu perundingan masih sangat alot.
Titipan Asing Rizal Ramli tersenyum. Ia memang meminta para dirjen menolak materi LoI jika usulan yang dibawa oleh IMF itu berupa titipan dari pihak lain di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Keberadaan hypermarket, misalnya, IMF minta tidak dibatasi lokasinya di Indonesia. Boleh berdiri di mana saja. Usulan seperti itu tentu saja ditentang karena tidak masuk akal. Di Amerika Serikat dan Eropa, hypermarket biasanya hanya beroperasi di pinggiran kota. Masak di Indonesia boleh berdiri di mana saja tanpa batasan sama sekali. Usulan yang berbau titipan itu akhirnya didrop, tetapi sayangnya disetujui kembali oleh pemerintahan berikutnya. Ada juga permintaan IMF untuk mengaudit TNI. Pada prinsipnya Rizal Ramli setuju TNI harus diaudit. “Saya senang jika TNI diaudit. Dengan demikian ada transparansi dan akuntabilitas lembaga ini terhadap publik,” ujarnya. Namun dia tidak setuju bila audit itu dilakukan IMF atau lembaga asing yang ditunjuk. Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap pertahanan
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
147
negara, pemerintah Indonesia berhak melindungi rahasia, harkat dan martabat TNI. Keruan saja Rizal Ramli curiga ada kepentingan asing di sini. Setelah didesak, tim IMF yang datang ke indonesia mengaku bahwa permintaan audit TNI itu merupakan titipan Pentagon, markas Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Maka, dari sekitar 120-an prakondisi yang diajukan IMF untuk masuk ke dalam LoI, akhirnya tinggal sekitar 60 – 80 butir saja yang tersisa. Yang lainnya, masuk ke keranjang sampah! Telepon Rizal Ramli kembali berdering. Yang mengontaknya siapa lagi kalau bukan Anoop Singh. Ia benar-benar berada di puncak kegelisahan. Maklum, waktu semakin mepet, sementara dari markas IMF di Washington dia diminta melaporkan perkembangan LoI. Seperti biasa Rizal Ramli berusaha menenangkannya. Ia menyatakan bahwa draf LoI akan selesai tepat pada waktunya, on time. “Atau apakah saya perlu menelepon Mr. Stanley Fisher?” tanya Rizal, menyebut nama Deputi Managing Director IMF, atasan Anoop Singh. “Jangan, tidak usah. Saya percaya sama Anda,” kata Singh buru-buru. Rizal Ramli tertawa geli. Tentu saja Anoop Singh akan ketakutan jika dia menelepon Fisher karena pekerjaannya akan dinilai lamban dan tidak beres.
148
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Setelah perdebatan yang panjang dan melelahkan, draf LoI selesai disusun oleh tim Indonesia, Minggu malam. Draf itu sebenarnya bisa langsung dikirim ke kamar hotel Anoop Singh malam itu juga. Tapi Rizal Ramli sengaja menahannya. Ia ingin mengulur waktu supaya tim IMF tidak punya banyak kesempatan untuk memelajarinya secara detail. Dengan strategi seperti itu, diharapkan IMF tidak rewel ketika acara penandatangan LoI keesokan harinya. Senin pagi, sekitar pukul enam, draf LoI itu diantarkan oleh staf Kantor Menko Perekonomian dengan menggunakan sepeda motor ke kamar Anoop Singh. “Katanya dia menerima draf itu masih memakai piyama,” kata Rizal Ramli sambi tergelak. Ia bisa membayangkan, tim IMF tidak punya banyak waktu untuk mempelajarinya. Diskusi tidak bisa dilakukan secara panjang lebar karena pukul 12.00 WIB LoI itu mesti diteken oleh kedua belah pihak. Apalagi mereka juga dikejar waktu untuk segera kembali ke Washington. Begitulah, draf LoI baru pertama kali dibuat oleh bangsa sendiri. Bukan oleh IMF sebagaimana kebiasaan sebelumnya. Walhasil, jika dalam pembuatan LoI biasanya IMF yang memegang kendali dan mendikte pemerintah Indonesia. Saat itu kondisinya terbalik: Tim Ekonomi Indonesia berhasil mendikte IMF, termasuk menggolkan 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi sebagai bagian dari LoI. Dan yang lebih penting lagi ini: harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat tidak lagi diinjak-injak pihak asing. Belakangan ini, banyak pihak yang berpendapat, bahwa IMF selama ini kerap
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
149
melakukan salah diagnosis dan karenanya perlu direformasi. Kongres Amerika Serikat, misalnya, membentuk Komisi Khusus yang dipimpin oleh Profesor Alan Metzler dari Universitas Carnigie Melon. Pandangan bahwa IMF perlu direformasi juga dikemukan oleh Prof. Ngaire Woods dari Universitas Oxford. Selain mengevaluasi kinerja IMF, komisi ini juga melontarkan kritik yang sangat tajam dan merekomendasikan agar IMF direformasi. Ini tidaklah mengherankan, karena selain memberi saran dalam bidang moneter yang berorientasi pada kebijakan fiskal ketat, IMF juga selalu menganjurkan kepada negara-negara pengutang untuk melakukan privatisasi “kurang senonoh”, liberalisasi perdagangan, sektor finansial, dan deregulasi berbagai kebijakan. Untuk mendorong rekomendasi-rekomendasi tersebut, IMF senantiasa didukung oleh Bank Dunia dan World Trade Organisation (WTO) dengan berbagai proyek, persyaratan dan peraturan.*
150
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan