Riwayat Penulis
P
erhatian Dr. Andriansyah., M.Si., pada dunia pendidikan tampaknya memang tidak main-main. Sebelum benarbenar terjun sebagai pendidik, pria kelahiran Jakarta, 01 Oktober 1971 ini sempat aktif di berbagai organisasi, di antaranya menjadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1992-1993, sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1993-1994, Ketua Bidang I SMPT Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 1994-1995. Suami dari seorang dokter bernama Eva Mardhiati dan ayah dua puteri Ghifari Azhar Fadiyah dan Ghifari Zahra Mutmainnah ini bahkan juga sempat aktif di berbagai organisasi seperti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Provinsi Banten 20002004, Sekjen Gabungan Pengusaha Muda Islam Tahun 2003 – sekarang, menjadi Sekretaris Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Wilayah DKI Jakarta. Andriansyah yang berhasil meraih S-1 Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) lulus tahun 1995 dan S-2 Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) lulus tahun 2002 ini pernah menjadi Tenaga Ahli Lembaga Studi Pembangunan (LSP) Tahun 1997-2005, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat (LPSEM) 1998-2005, Praktisi Program Keluarga Harapan (PKH) pada Kementerian Sosial RI tahun 2014-sekarang, dan menjadi Tim penilai pekerja sosial (PSM) berpretasi tingkat nasional di Kementerian Sosial RI tahun 2012sekarang. Pria yang sudah menulis buku Administrasi Pemerintahan Daerah dalam Analisa, Kepemimpinan Visioner Kepala Daerah, dan Manajemen Transportasi dalam Kajian dan Teori ini sekarang adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1998 hingga sekarang, pernah menjabat Kasubag Kemahasiswaan FISIP UPDM (B) tahun 2004-2005, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 2005-2006, memangku jabatan Wakil Dekan Bidang Administrasi dan keuangan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu politik Universitas Prof. Dr. Meostopo (Beragama) tahun 2006 – sekarang, hingga akhirnya menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 2012-2016.
PENERBIT
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama
Manajemen Materiil
KontemporeR
I
Cetakan Pertama Diterbitkan oleh Alamat Telepon Fax Editor Design Sampul Layout
2016 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama : Jln. Hang Lekir I, No. 8, Senayan, Jakarta Pusat, 10270 : (021) 7220269, 7252682 : (021) 7252682 : Dr. Eva Mardhiati : Resta. Jumena : Resta. Jumena
No. ISBN
: 978-6029-00636-0
Manajemen Materiil
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku Tanpa izin dari penerbit
Manajemen Materiil
II
U
Kata Pengantar
ntuk dapat mengelola aset dengan baik, diperlukan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu dengan baik seperti, ekonomi, akuntansi, teknik, computer, dan manajemen. Disiplin-disiplin ilmu ini kemudian diracik sedemikian rupa sehingga menjadi satu ilmu yang dikenal dengan manajemen materiil. Manajemen atas aset negara yang benar meliputi pembuatan prakiraan dan perencanaan, penilaian kondisi, pengelompokan, dan penggolongan sesuai dengan kriteria masing-masing aset. Buku Manajemen Materiil Kontemporer lebih banyak berdasarkan pandangan tentang materiil yang mengarah kepada pengelolaan aset negara atau barang milik negara (BMN), meski sebenarnya ketiga istilah tersebut memiliki landasan sendiri-sendiri. Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Materiil atau Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dimiliki negara adalah kekayaan di mana melekat hak milik negara (domein privat). Domein privat ini merupakan hak untuk ‘memiliki’ suatu barang atau jasa. Kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945. Saya berharap, buku ini bisa menambah pengetahuan kita tentang materiil dengan pengelolaan dan manajemen yang bertanggungjawab, semata-mata untuk kemakmuran masyarakat Indonesia dan menciptakan good governance. Penulis
Dr. Andriansyah., M.Si. III
Manajemen Materiil
Manajemen Materiil Manajemen Materiil
KontemporeR KontemporeR
Manajemen Materiil
IV
Daftar ISI BAB I TENTANG MANAJEMEN Penjelasan tentang Manajemen Era Manajemen Ilmiah Era Manusia Sosial Era Modern Manajemen Ilmiah Pendekatan Kuantitatif Fungsi Manajemen Pengertian dan Definisi Manajemen menurut Para Ahli Pengertian Manajemen Materiil
01 01 02 04 05 05 06 07 09 09
BAB II MANAJEMEN BARANG/ASET MILIK NEGARA Sekilas tentang Aset Negara Manajemen Aset Negara Strategi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pengertian BMN Pengertian Manajemen Materiil dan Keuangan Administrasi Materiil dan Keuangan Sistem Administrasi Materiil Sistem Administrasi Keuangan
14 14 15 18 19 22 23 24 25
BAB III STRATEGI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH Babak Baru Pengelolaan BMN Roadmap Strategic Assets Management Penertiban Barang Milik Negara/Daerah Kurangnya Tingkat Akurasi Nilai Aset yang Dikelola Ketidakjelasan Status Aset yang Dikelola Penggunaan BMN untuk Mendukung Tugas Pokok/Fungsi Pemerintah Kurang Optimalnya Pemanfaatan dan Pemindahtanganan BMN Meminimalisasi Terjadinya Kerugian Negara sebagai Akibat dari Pengelolaan BMN BMN Berupa Tanah dan Bangunan V
Manajemen Materiil
29 29 29 31 33 33 34 34 35 36
Pengelolaan Barang Milik Daerah Strategi Optimalisasi Pengelolaan Barang Milik Negara Meliputi Identifikasi dan Inventarisasi Nilai dan Potensi Aset Daerah Adanya Sistem Informasi Manajemen Aset Daerah Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Aset Strategi Pengelolaan BMN Lainnya
36 37 37 37 37 40
PENGELOLAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL YANG BERSTATUS SEBAGAI BMN Pemanfaatan Pemindahtanganan Penilaian
41 43 43 44
PENTINGNYA PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA
45
BAB IV PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA Tahapan Pengelolaan Barang Milik Negara Landasan Hukum Pengelolaan Barang Milik Negara
47 47 47
PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pengertian Aset Negara Tata Kelola Aset Negara (Tanah) Pengelolaan Aset Negara yang Profesional dan Modern
51 51 54 69
EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ASET NEGARA Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset Negara Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktik Penatausahaan Pemindahtanganan Penatausahaan Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) Pemanfaatan BMD Struktur dan Komposisi Aset Negara (Khususnya Aset Tetap Berupa Tanah)
70 75 75 83 83 84 90 91 93 98
Manajemen Materiil
VI
BAB V PENTINGNYA PENGHAPUSAN DAN TATA CARA LELANG BMN Latar Belakang Penghapusan Barang Milik Negara Persyaratan Agar BMN Dapat Dihapuskan
100 100 100
TATA CARA PENJUALAN/LELANG BMN Pertimbangan Penjualan BMN Barang Milik Negara yang Dapat Dijual Ketentuan dalam Pelaksanaan Penjualan/Lelang Subjek Pelaksanaan Penjualan Tata Cara Penjualan Tanah/Bangunan Tata Cara Penjualan Bangunan yang Harus Dihapuskan Tata Cara Penjualan/Lelang BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan
103 106 106 106 106 108 109 110
DAFTAR PUSTAKA
112
VII
Manajemen Materiil
BAB I TENTANG MANAJEMEN Penjelasan tentang Manajemen
K
ata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno managemen yang memiliki arti ‘seni melaksanakan dan mengatur’. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia (1561) maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’, terutama dalam konteks mengendalikan kuda yang berasal dari bahasa latin manus yang berarti tangan. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi management yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Pendapat lain menyebutkan, Manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu manage, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan yaitu mengendalikan atau mengelola. Sedangkan, definisi manajemen adalah suatu seni mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan utama dalam suatu organisasi melalui proses perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), dan mengelola (Controlling) sumber daya manusia dengan cara efektif dan efisien. Manajemen merupakan seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi Mary Parker Follet ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara, Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. Banyak kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen, namun diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100 ribu orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang -tanpa memedulikan apa sebutan untuk manajer ketika itu- yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana. Praktik-praktik manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Itali yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdaManajemen Materiil
1
gangan. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal, pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan yang dikembangkan oleh Henry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya. Daniel Wren membagi evolusi pemikiran manajemen dalam empat fase, yaitu pemikiran awal, era manajemen sains, era manusia sosial, dan era modern. Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labour), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugastugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang - masingmasing melakukan pekerjaan khusus- perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan dua puluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan : 1. Meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja 2. Menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas 3. Menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja Peristiwa penting kedua yang memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut ‘pabrik’. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Era Manajemen Ilmiah
Era ini ditandai dengan berkembangnya ilmu manajemen dari kalangan insinyur - seperti Henry Towne, Frederick Winslow Taylor, Frederick A. Halsey, Manajemen Materiil
2
dan Harrington Emerson. Manajemen ilmiah dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya, Principles of Scientific Management, pada tahun 1911. Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah sebagai ‘penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan’. Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirnya teori manajemen modern. Perkembangan manajemen ilmiah juga didorong oleh munculnya pemikiran baru dari Henry Gantt dan keluarga Gilberth. Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor di Midvale Steel Company, menggagas ide bahwa seharusnya seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin (industrious ) dan kooperatif. Ia juga mendesain sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt Chart yang digunakan untuk merancang dan mengontrol pekerjaan. Sementara itu, pasangan suami istri Frank dan Lillian Gilbreth berhasil menciptakan micromotion, sebuah alat yang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut. Alat ini digunakan untuk menciptakan sistem produksi yang lebih efesien. Era ini juga ditandai dengan hadirnya teori administratif, yaitu teori mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh para manajer dan bagaimana cara membentuk praktik manajemen yang baik. Pada awal abad ke-20, seorang industriawan Prancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang. Selain itu, Henry Fayol juga mengagas 14 Prinsip Manajemen yang merupakan dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen. Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosiologi Jerman, Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang disebut sebagai birokrasi -bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hirarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk ‘birokrasi yang ideal’ itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini. Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1940-an ketika Patrick BlackManajemen Materiil
3
ett melahirkan ilmu riset operasi yang merupakan kombinasi dari teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dengan ‘manajemen sains’, mencoba pendekatan sains untuk menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker -sering disebut sebagai Bapak Ilmu Manajemen- menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan: Konsep Korporasi (Concept of the Corporation). Buku ini muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang organisasi.
Era Manusia Sosial
Era manusia sosial ditandai dengan lahirnya mahzab perilaku (behavioral school) dalam pemikiran manajemen pada akhir era manajemen sains. Mahzab perilaku tidak mendapatkan pengakuan luas sampai tahun 1930-an. Katalis utama dari kelahiran mahzab perilaku adalah serangkaian studi penelitian yang dikenal sebagai eksperimen Hawthorne. Eksperimen Hawthorne dilakukan pada tahun 1920-an hingga 1930-an di Pabrik Hawthorne milik Western Electric Company Works di Cicero, Illenois. Kajian ini awalnya bertujuan mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap produktivitas kerja. Hasil kajian mengindikasikan bahwa ternyata insentif seperti jabatan, lama jam kerja, periode istirahat, maupun upah lebih sedikit pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok, penerimaan kelompok, serta rasa aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan bahwa norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku kerja individu. Kontribusi lainnya datang dari Mary Parker Follet. Follet (1868–1933) yang mendapatkan pendidikan di bidang filosofi dan ilmu politik menjadi terkenal setelah menerbitkan buku berjudul Creative Experience pada tahun 1924. Follet mengajukan suatu filosifi bisnis yang mengutamakan integrasi sebagai cara untuk mengurangi konflik tanpa kompromi atau dominasi. Follet juga percaya bahwa tugas seorang pemimpin adalah untuk menentukan tujuan organisasi dan mengintegrasikannya dengan tujuan individu dan tujuan kelompok. Dengan kata lain, ia berpikir bahwa organisasi harus didasarkan pada etika kelompok daripada individualisme. Dengan demikian, manajer dan karyawan seharusnya memandang diri mereka sebagai mitra, bukan lawan. Pada tahun 1938, Chester Barnard (1886–1961) menulis buku berjudul The Functions of the Executive yang menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka untuk merangsang orang lain memeriksa sifat sistem koperasi. Melihat perbedaan antara motif pribadi dan organisasi, Barnard menjelaskan dikotonomi ‘efektif-efisien’. Menurut Barnard, efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan, dan efisiensi adalah sejauh mana motif-motif individu dapat ter4
Manajemen Materiil
puaskan. Dia memandang organisasi formal sebagai sistem terpadu yang menjadikan kerjasama, tujuan bersama, dan komunikasi sebagai elemen universal, sementara itu pada organisasi informal, komunikasi, kekompakan, dan pemeliharaan perasaan harga diri lebih diutamakan. Barnard juga mengembangkan teori ‘penerimaan otoritas’ yang didasarkan pada gagasan bahwa atasan hanya memiliki kewenangan jika bawahan menerima otoritasnya.
Era Modern
Era modern ditandai dengan hadirnya konsep manajemen kualitas total (total quality management-TQM) pada abad ke-20 yang diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yang paling terkenal di antaranya W. Edwards Deming (1900–1993) and Joseph Juran (lahir 1904). Deming, orang Amerika, dianggap sebagai Bapak Kontrol Kualitas di Jepang. Deming berpendapat bahwa kebanyakan permasalahan dalam kualitas bukan berasal dari kesalahan pekerja, melainkan sistemnya. Ia menekankan pentingnya meningatkan kualitas dengan mengajukan teori lima langkah reaksi berantai. Ia berpendapat bila kualitas dapat ditingkatkan dengan : 1. Biaya akan berkurang karena berkurangnya biaya perbaikan, sedikitnya kesalahan, minimnya penundaan, dan pemanfaatan yang lebih baik atas waktu dan material 2. Produktivitas meningkat 3. Pangsa pasar meningkat karena peningkatan kualitas dan penurunan harga 4. Profitabilitas perusahaan peningkat sehingga dapat bertahan dalam bisnis 5. Jumlah pekerjaan meningkat Deming mengembangkan 14 poin rencana untuk meringkas pengajarannya tentang peningkatan kualitas. Kontribusi kedua datang dari Joseph Juran. Ia menyatakan bahwa 80 persen cacat disebabkan karena faktor-faktor yang sebenarnya dapat dikontrol oleh manajemen. Dari teorinya, ia mengembangkan trilogi manajemen yang memasukkan perencanaan, kontrol, dan peningkatan kualitas. Juran mengusulkan manajemen untuk memilih satu area yang mengalami kontrol kualitas yang buruk. Area tersebut kemudian dianalisis, kemudian dibuat solusi, dan diimplementasikan.
Manajemen Ilmiah
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pasangan suami-isteri Frank dan Lillian Gilbreth. Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan micromotion yang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut. Gerakan sia-sia yang luput dari pengamatan mata telanjang dapat diidentifikaManajemen Materiil
5
si dengan alat tersebut, untuk kemudian dihilangkan. Keluarga Gilbreth juga menyusun skema klasifikasi untuk memberi nama tujuh belas gerakan tangan dasar (seperti mencari, menggenggam, memegang) yang mereka sebut Therbligs (dari nama keluarga mereka, Gilbreth, yang dieja terbalik dengan huruf th tetap). Skema tersebut memungkinkan keluarga Gilbreth menganalisis cara yang lebih tepat dari unsur-unsur setiap gerakan tangan pekerja. Skema itu mereka dapatkan dari pengamatan mereka terhadap cara penyusunan batu bata. Sebelumnya, Frank yang bekerja sebagai kontraktor bangunan menemukan bahwa seorang pekerja melakukan 18 gerakan untuk memasang batu bata untuk eksterior dan 18 gerakan juga untuk interior. Melalui penelitian, ia menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak perlu sehingga gerakan yang diperlukan untuk memasang batu bata eksterior berkurang dari 18 gerakan menjadi 5 gerakan. Sementara untuk batu bata interior, ia mengurangi secara drastis dari 18 gerakan hingga menjadi 2 gerakan saja. Dengan menggunakan teknik-teknik Gilbreth, tukang baku dapat lebih produktif dan berkurang kelelahannya di penghujung hari.
Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah penggunaan sejumlah teknik kuantitatif –seperti statistik, model optimasi, model informasi, atau simulasi komputeruntuk membantu manajemen mengambil keputusan. Sebagai contoh, pemrograman linear digunakan para manajer untuk membantu mengambil kebijakan pengalokasian sumber daya; analisis jalur kritis (Critical Path Analysis) dapat digunakan untuk membuat penjadwalan kerja yang lebih efesien; model kuantitas pesanan ekonomi (economic order quantity model) membantu manajer menentukan tingkat persediaan optimum, dan lain-lain. Pengembangan kuantitatif muncul dari pengembangan solusi matematika dan statistik terhadap masalah militer selama Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, teknik-teknik matematika dan statistika yang digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan militer itu diterapkan di sektor bisnis. Pelopornya adalah sekelompok perwira militer yang dijuluki Whiz Kids. Para perwira yang bergabung dengan Ford Motor Company pada pertengahan 1940-an ini menggunakan metode statistik dan model kuantitatif untuk memperbaiki pengambilan keputusan di Ford. Ada 6 macam teori manajamen di antaranya: 1. Aliran Klasik - Aliran ini mendefinisikan manajemen sesuai dengan fungsi-fungsi manajemennya. Perhatian dan kemampuan manajemen dibutuhkan pada penerapan fungsi-fungsi tersebut. 2. Aliran Perilaku - Aliran ini sering disebut juga aliran manajemen 6
Manajemen Materiil
hubungan manusia. Aliran ini memusatkan kajiannya pada aspek manusia dan perlunya manajemen memahami manusia. 3. Aliran Manajemen Ilmiah - Aliran ini menggunakan matematika dan ilmu statistika untuk mengembangkan teorinya. Menurut aliran ini, pendekatan kuantitatif merupakan sarana utama dan sangat berguna untuk menjelaskan masalah manajemen. 4. Aliran Analisis Sistem - Aliran ini memfokuskan pemikiran pada masalah yang berhubungan dengan bidang lain untuk mengembangkan teorinya. 5. Aliran Manajemen Berdasarkan Hasil - Aliran manajemen berdasarkan hasil diperkenalkan pertama kali oleh Peter Drucker pada awal 1950-an. Aliran ini memfokuskan pada pemikiran hasil-hasil yang dicapai bukannya pada interaksi kegiatan karyawan. 6. Aliran Manajemen Mutu - Aliran manajemen mutu memfokuskan pemikiran pada usaha-usaha untuk mencapai kepuasan pelanggan atau konsumen.
Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, Fayol menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi tiga, yaitu: 1. Perencanaan (planning) - adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsifungsi lainnya tak dapat berjalan. 2. Pengorganisasian (organizing) - dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, dan pada tingkatan mana keputusan harus diambil. 3. Pengarahan (directing) - adalah suatu tindakan untuk mengusahakan Manajemen Materiil
7
agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha. Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men, money, materials, machines, method, dan markets. Berikut penjelasannya : 1. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.
2. Money atau Uang merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi. 3. Material terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi.
Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang dikehendaki.
4. Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja. 5. Metode adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbanganpertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam manajemen tetap manusianya sendiri. 6. Market atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan (memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah barang tentu sangat 8
Manajemen Materiil
penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan) konsumen.
Pengertian dan Definisi Manajemen menurut Para Ahli
1. Manajemen adalah adalah suatu proses yang berbeda terdiri dari planning, organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya (George R. Terry, 1997). 2. Manajemen adalah suatu seni yang produktif yang didasarkan pada suatu pemahaman ilmu, ilmu dan seni tidaklah bertentangan, namun masing masing saling melengkapi (Koontz) 3. Ilmu Manajemen merupakan proses dalam membuat suatu perencanaan, pengorganisisasian, pengendalian serta memimpin berbagai usaha dari anggota entitas atau organisasi dan juga mempergunakan semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Stoner) 4. Manajemen sebagai sebuah rangkaian tindakan tindakan yang dilakukan oleh para anggota organisasi dalam upaya mencapai sasaran organisasi. prosess merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dijalankan dengan sistematis (Wilson) 5. Manajemen adalah sebuah seni dalam mencapai tujuan yang diinginkan yang dilaksanakan dengan usaha orang yang lain (Lawrance A Appley) 6. Manajemen sebagai suatu seni, tiap tiap pekerjaan bisa diselesaikan dengan orang lain (Mary Parker F)
Pengertian Manajemen Materiil
Secara semantik atau menurut kamus, materiil adalah segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda. Sedangkan pengertian materiil secara umum adalah seluruh barang-barang milik/kekayaan negara baik yang berwujud tahan lama (inventaris) maupun yang berwujud pakai habis yang satuan-satuannya dapat diukur, ditimbang dan dihitung terkecuali surat-surat berharga dan uang. Istilah materiil masih banyak digunakan di ketentaraan/kepolisian kadang-kadang juga digunakan istilah logistik. Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya Manajemen Materiil
9
kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat). Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara. Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara yang telah menjadikan lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara. Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi di bidang administrasi keuangan negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara telah mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan administrasi dalam 10
Manajemen Materiil
suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Materiil atau Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dimiliki negara adalah kekayaan di mana melekat hak milik negara (domain privat). Domain privat ini merupakan hak untuk ‘memiliki’ suatu barang atau jasa. Kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945. Kekayaan negara yang dipisahkan dapat berupa investasi pemerintah pada BUMN dan investasi pemerintah lainnya. Sedangkan kekayaan negara yang tidak dipisahkan berupa Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan keseluruhan barang yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah atau perolehan lainnya yang sah. Pengaturan kekayaan negara dalam domein privat yang mengacu pada Pasal 23 UUD 1945, selama ini diatur dalam berbagai undang-undang yang mengatur mengenai perbendaharaan Negara dan keuangan negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Kekayaan yang dikuasai negara adalah kekayaan di mana melekat mandat hukum atau kewenangan negara untuk mengelola dan mempergunakan kekayaan tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (domein publik). Domein publik adalah hak untuk ‘menguasai’ suatu kekayaan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Berdasarkan hak menguasai tersebut, UUD 1945 memberikan kewenangan kepada negara untuk ‘mengatur’ pengelolaan kekayaan negara agar kekayaan negara itu dapat dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Hak mengatur ini merupakan hak publik, sehingga hak tersebut bersifat ekslusif, artinya hak ini hanya dapat dimiliki oleh negara dan tidak dapat dimiliki oleh pihak-pihak lain. Di dalam pengertian negara menguasai kekayaan, terkandung maksud agar penggunaannya dapat diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pemerataan dan kesinambungan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran Manajemen Materiil
11
rakyat. Ketentuan mengenai pengelolaan Barang Milik Negara diatur secara singkat dalam Undang-Undang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan pengaturan yang lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Selain UndangUndang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengenai pengelolaan keuangan negara diatur pada beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Saat ini, pengelolaan kekayaan negara dalam domein privat termasuk ruang lingkup keuangan negara, sehingga kekayaan negara harus dilihat dari perspektif yuridis keuangan Negara. Pemahaman tentang keuangan negara mempunyai keterkaitan dengan konsepsi hukum administrasi negara, karena perencanaan atas anggaran negara merupakan bagian dari “tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public service). Dengan adanya reformasi ekonomi, maka saat ini pengelolaan kekayaan negara telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Tujuan dari optimalisasi pengelolaan kekayaan negara menurut Doli D. Siregar adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan transparansi dan kejelasan arah dari kebijakan pemerintah tentang pengelolaan harta kekayaan negara yang sangat berguna sebagai arahan dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya 2. Menciptakan sinergi dan keterpaduan gerak antara pengelolaan harta kekayaan negara dan berbagai kebijakan dan program pemerintah terutama dalam rangka mendukung program penyehatan perekonomian nasional 3. Meningkatkan pendayagunaan dan sistem operasi pengawasan dalam penguasaan dan pemanfaatan harta kekayaan negara dengan tujuan untuk mengarahkan, mengendalikan dan mengamankan pengelolaan harta kekayaan negara demi tercapainya pemerataan kemakmuran rakyat 4. Menciptakan sistem dan mekanisme pengelolaan harta kekayaan negara yang terpadu, efisien dan efektif serta memiliki kewenangan dan otoritas yang jelas. Sementara manfaat yang bisa dirasakan dari pengelolaan kekayaan negara adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui nilai terkini dan nilai potensi serta lokasi harta kekayaan negara yang sangat bermanfaat dalam rangka mendukung penguatan struktur ekonomi nasional 2. Mempermudah pengendalian, efisiensi pemanfaatan dan optimalisasi pemanfaatan harta kekayaan Negara 12
Manajemen Materiil
3. Mendukung dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan bisnis bagi institusi yang menguasai dan mengeloa harta kekayaan Negara 4. Mendukung dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan bisnis bagi institusi yang menguasai dan mengelola harta kekayaan negara dalam rangka mengoptimalkan manfaat dan potensi yang ada
----o0o----
Manajemen Materiil
13
BAB II MANAJEMEN BARANG/ASET MILIK NEGARA Sekilas tentang Aset Negara
Manajemen Aset atau Asset Management dalam pikiran sebagian orang mungkin berkisar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan portfolio, investasi, atau keuangan. Akan tetapi, sesungguhnya manejemen aset lebih luas dari hal-hal tersebut di atas. Aset merupakan hal yang sangat fundamental bagi perseorangan ataupun organisasi yang memilikinya, karena aset merupakan bagian yang penting dalam pencapaian tujuan dari pemilik aset, di mana aset terletak di dalam bagian dari proses yang membantu dalam pencapaian tujuan sebelum nantinya menjadi output yang diharapkan (goals). Berbicara kata ‘aset’ berarti berbicara kekayaan atau harta yang nantinya diharapkan menghadirkan benefit bagi pemiliknya. Pemiliknya bisa siapa saja. Bisa pribadi, perusahaan, daerah atau bahkan negara. Aset pribadi bisa berarti kendaraan, tempat tinggal, tabungan, relasi bahkan kepribadian. Aset perusahaan bisa berarti pabrik, karyawan, sistem manajemen, supplier dan pasar atau pelanggan. Sedangkan aset daerah atau negara bisa juga berarti sumber daya alam, ekonomi, dan sosial yang dimiliki oleh daerah atau negara t4ersebut. Ini bisa berarti dimiliki oleh daerah atau negara sebagai institusi resmi atau dimiliki oleh rakyat suatu daerah atau negara. Untuk dapat mengelola aset dengan baik, diperlukan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu dengan baik seperti, ekonomi, akuntansi, teknik, computer, dan manajemen. Disiplin-disiplin ilmu ini kemudian diracik sedemikian rupa sehingga menjadi satu ilmu yang dikenal dengan manajemen aset. Manajemen atas aset yang benar meliputi pembuatan prakiraan dan perencanaan aset, penilaian kondisi aset, pengelompokan dan penggolongan sesuai dengan kriteria masing-masing aset.
14
Manajemen aset didefinisikan sebagai sebuah proses pengelolaan aset (kekayaan) baik berwujud dan tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis, nilai komersial, dan nilai tukar, serta mampu mendorong tercapainya tujuan. Melalui proses management planning, organizing, leading dan controlling bertujuan mendapat keuntungan dan mengurangi biaya (cost) secara efisien dan efektif. Dalam pengelolaan suatu kekayaan diperlukan ilmu manajemen yang khusus dan spesifik mengelola kekayaan (asset). Banyak aset yang tidak maksimal dalam pemanfaatannya, sangat diperlukan kompetensi pengelola aset atau manajer aset. Realita di lapangan menunjukkan banyak kasus yang sebenarnya dimulai dari salah kelola dan salah urus masalah aset, sehingga berdampak kerugian yang tidak sedikit. 14
Manajemen Materiil
Manajemen Aset Negara
Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat). Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara. Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara yang telah menjadikan lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara. Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu lebih penting lagi, negara hendaknya punya itikad kuat untuk mengusahakan bagaimana dalam anak negeri dapat memetakan untuk selanjutnya lebih mampu memanfaatkan aset-asetnya dan tidak serta merta hanya puas menjadi bawahan dari pihak-pihak luar negeri. Indonesia cukup kaya dengan aset alam maupun jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar menjanjikan pasar yang besar baik dari pasar customer maupun pasar tenaga kerja. Manajemen Materiil
15
15
Namun seringkali sumber daya besar yang kita miliki menjadi mentah karena pikiran kita sendiri yang kurang percaya diri. Kita merasa, untuk sukses haruslah dengan dan pada perusahaan asing. Sedangkan perusahaan lokal kualitasnya tidak sebanding dengan perusahaan asing. Perusahaan lokal milik anak negeri cenderung kalah bersaing karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan modal. Sebuah alasan klasik yang menyebabkan kita menundukkan pandangan di hadapan korporasi-korporasi asing. Sebenarnya mindset bahwa aset ilmu pengetahuan dan modal kita terbatas sehingga harus selalu tergantung dengan asing tentu perlu dievaluasi kembali. Banyak anak negeri yang sudah berpengalaman di perusahaan-perusahaan luar negeri bahkan ada yang telah mampu memimpin di sana. Sudah waktunya kita pikirkan bagaimana bukan ‘kita’ yang bekerja pada “mereka” tetapi ‘merekalah’ yang bekerja pada ‘kita’. Begitu pula tentang permodalan. Dalam ilmu dan praktek manajemen, apabila pengelolaan aset dapat dilakukan dengan baik, didukung oleh visi dan sistem manajemen yang prima, yang terjadi bukan kita yang mencari modal, tetapi justru para pemodal (investor) yang akan berlomba-lomba menawarkan modalnya untuk kita kelola. Begitu pula, apabila pengelolaan dapat dilakukan dengan baik, maka pekerja dari luar negeri (baca : pegawai) tentu akan mau bekerja di perusahaan made in Indonesia dengan gaji yang pantas. Terbitnya Peraturan Pemerintah No.27 tahun 2014 yang mencabut PP No.06 tahun 2006 jo PP 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Negara/Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No.78 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pengeloaan Barang Milik Negara di Kementerian/Lembaga dan Permendagri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah yang ruang lingkupnya mulai dari Perencanaan kebutuhan sampai dengan Pelaporan sesungguhnya sudah dapat memberikan guide/ petunjuk pelaksanaan yang cukup memadai. Bagaimana strategi optimalisasi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang nantinya akan menjadi aset agar menjadi lebih tertib, transparant dan akuntabel. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang baik tentunya akan memudahkan penatausahaan aset negara/daerah dan merupakan sumberdaya penting bagi pemerintah sebagai penopang utama pendapatan negara dan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk dapat mengelola aset secara memadai dan akurat. Dalam hal pengelolaan aset, pemerintah harus menggunakan pertimbangan aspek perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan atau penggunaan, pengamanan 16
16
Manajemen Materiil
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi agar aset daerah mampu memberikan kontribusi optimal bagi pemerintah. Contoh kasus, musibah bendungan Situgintung, Ciputat yang menelan korban 100 orang tewas dan 100 orang lainnya hilang. Musibah tersebut tidak hanya menelan korban jiwa namun juga kerugian material yang tidak sedikit akibat sapuan banjir bandang. Lalu apa hubungannya manajemen aset dengan kejadian di atas? Hubungannya adalah kalau saja bendungan Situgintung yang menjadi aset daerah dikelola (dipelihara dan diaudit) dengan baik, kecil kemungkinan bobolnya tanggul Situgintung terjadi dan kerugian yang dideritapun dapat diminimalisasi. Kalau bendungan/tanggul di Jakarta dan sekitarnya menjadi aset daerah dan dipelihara dengan baik, kejadian situgintung-situgintung lainnya tidak akan terulang. Kalau saja semua pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mau bersungguh-sungguh melaksanakan modernisasi manajemen aset, maka seharusnya aset pemerintah dan daerah bisa memberikan nilai tambah bagi semua pihak termasuk masyarakat sebagai stakeholder. Kita juga dapat belajar dari pengalaman kerjasama antara PT. PAM Jaya dengan Mitra Swasta hampir seluruh aset yang dimiliki PAM JAYA diserahkelolakan kepada mitra swastanya tanpa dikenakan biaya apapun. Artinya, pihak swasta menggunakan berbagai aset yang dimiliki oleh PAM JAYA (sebagian besar adalah aset produksi dan distribusi) tanpa membayar biaya atas penggunaan aset tersebut. Perjanjian ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi PT. PAM Jaya dan Pemerintah. Lebih parahnya, pada titik tertentu, masyarakat pengguna air dibebankan atas pembelian aset yang dilakukan pihak swasta. Selain memanfaatkan aset yang sudah ada, mitra swasta juga melakukan pengadaan aset baru yang terdiri atas aset bergerak baru dan aset tidak bergerak baru yang hak miliknya ada pada mitra swasta, namun beban pembiayaannya secara penuh dikompensasikan secara finansial kepada harga tarif kemahalan yang terus dibayar oleh pengguna air. Sebenarnya masalah di atas adalah cuplikan kecil dari buruknya manajemen aset dari pemerintah kita. Sebagaimana diketahui bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 s/d 2008 oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer/tidak memberikan pendapat apapun. LKPP merupakan rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dan lain-lain). Salah satu catatan yang diberikan BPK terhadap pemerinManajemen Materiil
17
17
tah terkait masalah ini adalah buruknya manajemen aset oleh pemerintah.
Strategi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Beberapa isu penting terkait lingkup aset negara/daerah dimulai dengan kegiatan perencanaan dan penganggaran. Sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan di tingkat bawah (Satuan Kerja). Tahap pengadaan yang rawan dengan korupsi sehingga banyak aparat yang enggan jadi pejabat pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Tahap Pemeliharaan alokasinya cukup selalu incremental meskipun aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang, hal ini karena dalam penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset pemerintah tidak ditatausahakan dengan tertib. Demikian juga ketika pembukuan aset dalam perpektif dalam jurnal akuntasi bisa berubah fungsi, maka pembenahan manajemen aset mutlak diperlukan. Sebelum masuk ke proses manajemen aset, di dalam melaksanakan pencatatan, inventarisasi dan revaluasi asset harus ada strategi manajemen aset agar koordinasi antara program dan pelaksanaan dapat terkoordinasi dengan baik. Istilah Strategic Asset Management atau SAM digunakan untuk menggambarkan sebuah siklus pengelolaan aset, yaitu mulai dari proses perencanaan dan diakhiri dengan pertanggungjawaban/pelaporan aset. Keberhasilan SAM seringkali dikaitkan dengan keberhasilan menghemat anggaran sebagai dampak dari keberhasilan mengintegrasikan proses perencanaan dan pengelolaan aset. Pada dasarnya, manajemen asset di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu UUNo.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang ditindaklanjuti PP No.27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pasal 85 menyebutkan agar dilakukan inventarisasi atas BMN/D (barang milik negara/daerah), khusus berupa tanah dan/atau bangunan yang berada di kementerian/lembaga minimal sekali dalam 5 tahun. Sedangkan untuk selain tanah dan/atau bangunan hal itu merupakan kewenangan dan menjadi domain/ tanggungjawab masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Barang. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN (Pengelola Barang), menginstruksikan kepada Dirjen Kekayaan Negara, sebagai unit organisasi yang vital dalam pengelolaan BMN, agar menjadi garda terdepan mewujudkan best practices tata kelola barang milik/kekayaan negara dengan langkah pencatatan, inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan Negara yang diharapkan akan mampu memperbaiki/menyempurnakan administrasi pengelolaan BMN yang ada saat ini.
18
Manajemen Materiil
Inventarisasi seluruh barang milik negara yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia mutlak harus dilakukan agar terpotret secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan masing-masing kementerian/lembaga negara. Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap penilaian ulang (revaluasi) aset/kekayaan negara, khususnya yang berupa tanah dan/atau bangunan oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas aset tetap tersebut. Inventarisasi dan reevaluasi barang milik negara/daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari proses manajemen aset negara itu sendiri, Dari 87 entitas di Kementerian/Lembaga namun masih 65 Kementerian/ Lembaga yang mendapatkan opini BPK dengan catatan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2013. Yang patut digarisbawahi adalah kementerian/ lembaga ini sebagian besar adalah kementerian lembaga baru dibentuk yang asset atau BMN-nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN/D yang mereka miliki. Perjalanan untuk menciptakan manajemen aset yang modern memang masih memerlukan waktu yang panjang, akan tetapi tidak mustahil untuk dilakukan apabila semua unsur yang telah disebut di atas mau melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawab masing-masing dengan amanah dan komitmen yang tinggi. Bagaimanapun juga barang/kekayaan milik negara harus dikelola oleh SDM yang profesional dan handal, karena hal tersebut menjadi kebutuhan yang vital dan strategis pada masing-masing kementerian/lembaga negara. Penataan pengelolaan barang milik negara/daerah yang sesuai dengan semangat good governance tersebut, saat ini menjadi momentum yang tepat karena mendapat dukungan politik dari pemerintah. Pentingnya inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan negara yang ada saat ini sebagai bagian dari penyempurnaan manajemen aset negara secara keseluruhan. Tuntutan penerapan good governance dalam manajemen aset/kekayaan negara/daerah saat ini sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi. Tentunya hal tersebut akan membuka cakrawala kita bersama tentang urgensi dan pentingnya kegiatan inventarisasi dan reevaluasi BMN/D itu, sehingga dapat diharapkan mampu meningkatkan status opini LKPP yang semula masih disclaimer menjadi unqualifiedopiniona atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sudah saatnya kita berubah menjadi negara yang mampu menerapkan fungsi penganggaran sebagaimana yang telah ditetapkan menurut peraturan yang telah dibuat agar akuntabilitas keuangan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan.
Pengertian BMN
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN, Manajemen Materiil
19
sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008, Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam PMK No.29/PMK.06/2010 tentang kodifikasi barang, Barang Milik Negara dirinci menjadi Persediaan, Tanah, Mesin dan Peralatan, Gedung dan Bangunan, Jalan, Jaringan dan Irigasi, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi Dalam Pengerjaan, serta Aset tidak Berwujud. Contoh dari aset tidak berwujud adalah aset tetap dalam bentuk software komputer dan hasil kajian. International Accounting Standard Committee (IASC) mendefinisikan aset sebagai suatu sumber daya yang dikendalikan oleh suatu entitas sebagai hasil kejadian masa lalu yang mana manfaat ekonomis masa depan diharapkan didapatkan oleh perusahaan. Sedangkan Kerangka konseptual Akuntansi Pemerintah (Lampiran II PP No. 24 tahun 2005) mendefinisikan aset lebih luas lagi, yaitu sebagai sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh suatu pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari padanya diperoleh manfaat ekonomi baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, dan dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Lalu, apa perbedaan aset dengan sumber daya? Dari wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, sumber daya didefinisikan sebagai suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumber daya adalah : 1. Faktor produksi yang terdiri atas tanah, tenaga kerja, dan modal yang dipakai dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang jasa, serta mendistribusikannya; 2. Bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya; 3. Segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang digunakan untuk mencapai hasil, misal peralatan, sediaan, waktu, dan tenaga. Menurut Undang- undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sumber daya merupakan unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan. Dengan demikian, semua sumber, baik manusia, materi maupun energi yang secara nyata dan potensial dapat di gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut sumber daya (Manan, 1978). Karena manusia tidak/sukar 20
Manajemen Materiil
diukur dengan satuan uang, maka sumber daya manusia tidak masuk ke dalam definisi aset menurut Kerangka konseptual Akuntansi Pemerintah (Lampiran II PP No. 24 tahun 2005). Dengan demikian, yang termasuk ke dalam pengertian aset milik negara adalah uang, surat-surat berharga, barang-barang yang bersifat kebendaan, dan aset tidak berwujud, serta sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Dari ketiga pengertian di atas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Ruang lingkup sumber daya lebih luas daripada aset 2. Ruang lingkup aset lebih luas daripada materiil dan Barang Milik Negara 3. Materiil dan Barang Milik Negara merupakan bagian dari aset negara 4. Pengertian BMN lebih luas dari pengertian materill karena di dalam Barang Milik Negara termasuk aset tidak berwujud, sedangkan materiil hanya yang berwujud saja. 5. Barang Milik Negara sama dengan aset dikurangi monetary items (pos-pos yang bersifat keuangan, yaitu uang dan surat-surat berharga milik negara) Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila daerah dapat mengelola pemerintahannya dengan di antaranya adalah Administrasi Keuangan. Sistem pengelolaan Keuangan yang baik akan memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan publik dengan pemberian pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan mutu pelayanan publik, biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources, alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan transManajemen Materiil
21
paransi informasi anggaran kepada publik.
Pengertian Manajemen Materiil dan Keuangan
Istilah perbekalan juga biasa disebut dengan beberapa istilah seperti logistik, barang, material, peralatan, perlengkapan dan sarana prasarana. Oleh karena itu, manajemen perbekalan pun lazim disebut dengan beberapa istilah seperti manajemen logistik, administrasi perbekalan, manajemen barang, administrasi barang, manajemen material ataupun administrasi material. Administrasi materiil adalah barang-barang milik/kekayaan negara. Barangbarang milik/kekayaan negara adalah semua barang-barang milik/kekayaan negara yang berasal/dibeli dengan dana yang bersumber untuk seluruhnya ataupun sebagian dari anggaran belanja negara yang berada di bawah pengurusan dan penguasaan departemen-departemen, lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen serta unit-unit dalam lingkungannya yang terdapat baik di dalam maupun di luar negeri, barang milik/ kekayaan negara tersebut tidak termasuk kekayaan Negara yang telah dipishkan (kekayaan Perum dan Persero) dan barang-barang/kekayaan daerah otonom sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: KEP-225/ MK/V/4/1971, pasal 1. Administrasi material/perbekalan diartikan sebagai usaha pelayanan dalam bidang material dan fasilitas kerja lainnya bagi personil dalam satuan kerja di lingkungan suatu organisasi guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja. Sementara, Administrasi Keuangan adalah kegiatan yang berkenaan dengan pencatatan, penggolongan, pengolahan, penyimpanan, pengarsipan terhadap seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang timbul karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengelolaan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hokum publik ataupun privat, badan-badan usaha negara dan badan-badan usaha lainnya di mana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta terikat dalam perjanjian dengan penyertaan pemerintah ataupun penunjukkan pemerintah. Administrasi keuangan terdiri dari serangkaian langkah-langkah di mana dana-dana disediakan bagi pejabat-pejabat tertentu di bawah prosedur-prosedur yang akan menjamin sah dan berdaya-gunanya pemakaian dana-dana itu. Bagian utama ialah menyusun anggaran belanja, pembukuan, pemeriksaan pembukuan, pembelian, dan persediaan. Dalam upaya menentukan dan menetapkan kebutuhan perbekalan/materil, ada beberapa faktor yang harus senantiasa diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Fungsional - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya 22
Manajemen Materiil
dipertimbangkan bahwa dengan keberadaan perbekalan tersebut akan memperlancar proses pelaksanaan pekerjaan dan akan mempengaruhi hasil kerja (output), baik berkaitan dengan kuantitas maupun kualitas output sesuai dengan fungsi jenis perbekalan tersebut. 2. Faktor Biaya dan Manfaat - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan bahwa dengan sejumlah pengeluaran biaya tertentu, organisasi haruslah paling tidak memperoleh manfaat yang sepadan dengan sejumlah biaya yang telah dikeluarkan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, tentu tidak boleh mengabaikan kualitas barang yang dibutuhkan, sumber barang yang harus dapat dipertanggungjawabkan, dan jangka waktu atau umur pemakaian barang yang paling menguntungkan. 3. Faktor Anggaran - Dalam pangadaan perbekalan harus senantiasa mempertimbangkan ketersediaan anggaran dalam organisasi. Dengan memperhatikan faktor ini, maka akan dapat disusun skala prioritas kebutuhan perbekalan maupun berbagai macam alternatif jenis dan spesifikasi barang maupun caracara pengadaan logistik dengan tidak meninggalkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi. 4. Faktor Keamanan dan Kewibawaan (Prestise) - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan pejabat pemakai perbekalan tersebut untuk mendukung dan menjamin keamanan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya dan kewibawaan, baik bagi pejabat yang bersangkutan maupun bagi lembaga, baik dilihat dari publik internal maupun publik eksternal organisasi. 5. Faktor Standarisasi dan Normalisasi - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan adanya standardisasi dan normalisasi yang ditetapkan organisasi. Standardisasi merupakan pembakuan mengenai jenis, ukuran, dan mutu suatu perlengkapan. Sementara normalisasi merupakan pembuatan ukuran-ukuran yang normal berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Administrasi Materiil dan Keuangan
Ada beberapa alternatif bagi suatu organisasi untuk memilih dan menentukan sistem pengadaan perbekalan. Sistem pengadaan perbekalan tersebut meliputi sistem sentralisasi, sistem desentralisasi dan sistem campuran dan Pembahasan Administrasi Keuangan dikelompokkan ke dalam 5 pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan ketatalaksanaan keuangan, pendekatan keuangan negara, pendekatan administrasi negara termasuk administrasi pembangunan, pendekatan sejarah perkembangan sistem anggaran, pendekatan Manajemen Materiil
23
organisasi sebagai sistem terbuka.
Sistem Administrasi Materiil
Sistem Sentrasisasi - Sistem sentralisasi dalam pengadaan perbekalan merupakan cara pengadaan perbekalan di mana kewenangan dalam pengadaan perbekalan bagi seluruh unit kerja dalam organisasi diberikan pada satu unit kerja tertentu sehingga segala macam pengadaan perbekalan dalam organisasi hanya dilayani oleh satu unit kerja/bagian tertentu tersebut. Pengadaan perbekalan dengan menggunakan sistem ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: a. Dapat mengurangi harga per satuan karena biasanya dengan menerapkan sistem sentralisasi ini pengadaan/pembelian dilakukan dalam partai besar sehingga organisasi/perusahaan (sebagai pembeli) diberikan potongan oleh penjual (pemasok). b. Dapat mereduksi (mengurangi) biaya tambahan (overhead cost), sehingga akan mendukung efisiensi. c. Dapat mendukung program standarisasi dan sistem pertukaran perbekalan antarbagian. Adapun kekurangan-kekurangan dari pengadaan sistem sentralisasi ini adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan yang mendesak dari suatu unit tertentu dimungkinkan tidak dapat cepat dilayani dan dipenuhi karena bagian pembelian masih menunggu daftar kebutuhan perbekalan dari unit-unit kerja yang lain ataupun karena prosedur pengajuan maupun distribusi penyampaian perbekalan yang berlikuliku/birokratis sehingga hal ini tentunya akan dapat mempengaruhi tingkat efektifitas dan efisiensi kerja unit-unit kerja dan organisasi secara keseluruhan. b. Pemenuhan permintaan kebutuhan perbekalan pada unit-unit kerja sebagai pengguna (user) dimungkinkan tidak sesuai dengan kebutuhan, terutama berkaitan dengan spesifikasi barangnya maupun waktunya, karena bagian perbekalan khususnya bagian pengadaan perbekalan tidak mengetahui persis kebutuhan masing-masing unit kerja. Sistem Desentralisasi – Sistem desentralisasi yaitu sistem pengadaan perbekalan, di mana kewenangan pengadaan perbekalan diserahkan pada masing-msing unit kerja. Beberapa kelebihan dari penggunaan sistem desentralisasi ini yaitu sebagai berikut: Kebutuhan atas perbekalan dari masing-masing unit kerja akan cepat dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan. Menjamin ketepatan pembelian perbekalan karena masing-masing unit kerja mengetahui persis akan spesifikasi kebutuhan perbekalannya. 24
Manajemen Materiil
Adapun kekurangan sistem ini yaitu: a. Ada kecederungan masing-masing unit kerja untuk memiliki perbekalan (barang-barang) baru, padahal perbekalan yang ada masih berdaya guna sehingga hal ini akan menimbulkan tertumpuknya barang-barang yang tidak diperlukan di beberapa bagian. b. Terdapatnya bermacam-macam perbekalan yang berbeda-beda bentuknya, ukuran, dan tipenya sehingga hal ini jelas tidak mendukung program standardisasi dan normalisasi, sekaligus tidak mendukung kemungkinan pertukaran perbekalan antar bagian/unit kerja dalam suatu organisasi. c. Biaya per satuan barang relatif lebih besar, karena pembelian dengan sistem ini tentunya dalam partai yang lebih kecil bila dibandingkan apabila menggunakan sistem sentralisasi sehingga otomatis jumlah potongan yang diberikan penjual juga relatif lebih kecil. d. Biaya tambahan (overhead cost) relatif lebih besar bila dibandingkan apabila menggunakan sistem sentralisasi. Sistem Campuran - Sistem campuran merupakan sistem atau cara pengadaan perbekalan dengan mengkombinasikan antara sistem sentralisasi dan desentralisasi. Pertimbangan penggunaan sistem campuran ini selain menjamin ketepatan dalam pemenuhan kebutuhan perbekalan dari setiap unit kerja khususnya kebutuhan perbekalan yang sifatnya spesifik sesuai dengan tugas operasional unit kerja tersebut, juga untuk mendukung program standardisasi dan normalisasi organisasi. Dengan demikian, apabila perbekalan dibutuhkan oleh seluruh unit kerja atau beberapa unit kerja, pengadaan perbekalan dilakukan dengan sistem sentralisasi, sedangkan apabila kebutuhan perbekalan bersifat khusus untuk suatu unit kerja, pengadaan perbekalan dilakukan dengan sistem desentralisasi.Ada beberapa alternatif bagi suatu organisasi untuk memilih dan menentukan sistem pengadaan perbekalan. Sistem pengadaan perbekalan tersebut meliputi sistem sentralisasi, sistem desentralisasi dan sistem campuran.
Sistem Administrasi Keuangan
Pendekatan Ketatalaksanaan keuangan - Dengan pendekatan ketetatalaksanaan keuangan (financial management), maka pembahasan administrasi keuangan mencakup fungsi perencanaan keuangan, ketatalaksanaan penggunaan dana, penyediaan atau penggunaan dana yang diperlukan. Menurut Robert W. Johnson, fungsi ketatalaksanaan adalah perencanaan keuangan (financial planning), pengambilan keputusan alokasi dana di antara berbagai kemungkinan investasi pada aktiva (managing assets), menarik dana dari luar (raising funds), dan penanganan masalah-masalah khusus (meeting special problems). Manajemen Materiil
25
Hakekat perencanaan adalah analisa, baik analisa intern maupun ekstern, baik jangka pendek, sedang maupun jangka panjang sebagai landasan untuk menyususn serangkaian tindakan pada masa mendatang dalam usaha mencapai tujuan tertentu. Perencanaan keuangan mencakup proyeksi terhadap aliran kas (cash flows) serta proyeksi terhadap kebutuhan investasi pada masa mendatang (capital budgeting). Perencanaan atas aliran masuk dan keluar dari kas dan proses pengambilan keputusan terhadap alokasi dana di antara berbagai kemungkinan merupakan dua fungsi ketatalaksanaan keuangan yang erat hubungannya. Jika aliran keluar dari kas melebihi aliran masuk ke kas sebagaimana yang diperkirakan akan terjadi pada masa mendatang dan saldo kas tidak mencukupi untuk menyerap kekurangan, maka perlu diperoleh atau ditarik dana dari luar melalui berbagai bentuk dan kemungkinan pemilihan dan pinjaman yang ada. Pendekatan Keuangan Negara - Bila administrasi keuangan ditinjau dari sudut pendekatan keuangan negara, maka pembahasan mencakup keuangan badan hukum publik, baik keuangan negara maupun keuangan badan hukum publik yang lebih rendah. Pembahasan biasanya lebih ditekankan pada segisegi yang berkaitan dengan pengeluaran negara, pendapatan negara, perpajakan, hutang negara dan anggaran negara. Pendekatan Administrasi Negara (public administration) - Dari sudut administrasi negara, ada dua segi yang berkaitan dengan administrasi keuangan (Dimock dan Dimock). 1. Pertama, merupakan bidang keuangan yang luas, meliputi fungsi perhitungan dan pemungutan pajak, pemeliharaan dana, hutang negara dan administrasi hutang negara. 2. Kedua, merupakan bagian dari administrasi negara, sebagaimana ditinjau melalui sudut pandangan pimpinan administrasi dan mereka yang mempunyai perhatian terhadap apa yang dilakukannya. Administrasi keuangan terdiri dari serangkaian langkah di mana dana disediakan untuk pejabat-pejabat tertentu menurut prosedur-prosedur yang dapat menjamin pertanggungjawaban yang sah dan menjamin apa daya guna penggunaan dana tersebut. Bagian utamanya adalah anggaran belanja, pembukuan, pembelian dan persediaan. Anggaran belanja adalah perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang seimbang untuk suatu waktu tertentu. Di bawah wewenang pimpinan administrasi, anggaran belanja itu merupakan catatan pelaksanaan pekerjaan pada masa lalu, suatu metode penga26
Manajemen Materiil
wasan pada waktu ini dan proyeksi melalui rencana-rencana untuk masa yang akan datang. Daya yang ada pada pemerintah terutama berasal dari pemungutan pajak, pinjaman-pinjaman serta pendapatan lain yang bukan berasal dari pajak. Administrasi keuangan menyangkut lima segi kebijaksanaan nasional yang terpisah-pisah (Allen D. Manvel dalam Abdullah,1982: 6) yaitu: 1. Kebijaksanaan ekonomi, menyangkut hubungan antara pengeluaran pemerintah dan semua pendapatan lainnya. 2. Kebijaksanaan utang (bagaimana pemerintah mengadakan dan membayar kembali utang-utang 3. Kebijaksanaan pendapatan (menentukan besarnya secara relatif dari berbagai sumber penerimaan serta persoalan pajak-pajak yang harus dikenakan) 4. Kebijaksanaan pengeluaran 5. Kebijaksanaan pelaksanaan Perumusan kebijaksanaan fiskal mempertimbangkan pengaruh dari administrasi keuangan pemerintah terhadap keseluruhan pola tingkah laku kehidupan ekonomi bangsa. Bukan semata-mata penemuan sumber penerimaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran tetapi juga pada masalahmasalah perpajakan, hubungan pengeluaran pemerintah pada perekonomian, sehingga bisa dimengerti peranan dan pengaturan pemerintah dalam bidang perekonomian nasional. Masalah kebijaksanaan fiskal demikian penting dalam rangka memberikan kerangka-dasar untuk proses anggaran. Nilai yang sangat penting dan menekan keseluruhan proses anggaran adalah pertanggungjawaban (accountability). Maksud utama dari pertanggungjawaban keuangan adalah untuk menjamin pertanggungjawaban demokratis kepada rakyat. Aparatur negara mempunyai dua bentuk pertanggung jawaban, yaitu pertanggungjawaban keuangan dan pertanggungjawaban pengambilan keputusan yang bijak dan jujur dalam bidang keuangan. Terjaminnya kejujuran dalam pemerintahan dapat dilakukan dengan membagi kekuasaan diantara berbagai aparatur negara (otorisator, ordonator, bendaharawan). Pendekatan Sejarah Perkembangan Sistem Anggaran - Ditinjau dari sudut sejarah perkembangan sistem anggaran, maka administrasi keuangan telah berkembang dari Administrasi Keuangan Tradisional (yang berorientasi pada pengawasan) yang telah dikembangkan (di Amerika Serikat) sejak tahun 1789 ke arah Administrasi Keuangan Hasil Karya (Performance Financial Administration) pada tahun 1949 (berorientasi pada ketatalaksanaan). Perkembangan selanjutnya terjadi dari Administrasi Keuangan Hasil Karya ke arah system Administrasi Keuangan Terpadu (Integrated Financial Administration) yang berorientasi pada perencanaan dan atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Robert Manajemen Materiil
27
Anthony memperkenalkan tiga proses administrasi berbeda yaitu : perencanaan strategis, pengawasan ketatalaksanaan dan pengawasan operasional. Gagasan ini berpengaruh pada tokoh-tokoh yang memperkembangkan SIPPA. Organisasi sebagai Sistem Terbuka - Organisasi keuangan, yang ada dalam batas-batas dan kendala-kendala lingkungan luar, mencakup lima unsur pokok yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Infut dari luar – diubah – disajikan kepada lingkungan luar (sebagai sebuah sistem terbuka). Organisasi keuangan terdiri atas lima unsur, di antaranya : 1. Unsur tujuan dan nilai (diperoleh dari lingkungan sosial budaya) 2. Unsur teknis (spesialisasi pengetahuan, kecakapan, dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi organisasi keuangan 3. Unsur psikososial (menunjukkan hubungan sosial vertikal maupun horisontal – faktor motivasional) 4. Unsur struktural (menunjukkan cara-cara melakukan spesialisasi dan koordinasi – struktur organisasi, struktur wewenang, struktur program, struktur perencanaan, prosedur-proedur keuangan, dan lain-lain) 5. Unsur yang mencakup keseluruhan unsur dari OK baik dengan lingkungan khusus maupun lingkungan umum Dari sudut pendekatan organisasi sebagai sistem terbuka dan terpadu, administrasi keuangan hanya merupakan salah satu bagian saja dari organisasi keuangan. Sedangkan organisasi keuangan termasuk sebagai salah satu unsur dalam lingkungan umum yang mencakup lingkungan budaya, teknologi, pendidikan, politik,fisik, perundang-undangan, demografi, ekonomi, dan lingkungan sosial.
28
Manajemen Materiil
BAB III STRATEGI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH Babak Baru Pengelolaan BMN
Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara telah memunculkan optimisme baru, best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan ke depannya. Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat/stake-holder. Tahun 2006 merupakan babak baru dalam sejarah pengelolaan kekayaan negara Republik Indonesia pada umumnya dan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) khususnya karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah sebagai kelanjutan dari 3 (tiga) paket undang-undang yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, telah dibentuk pula satu unit organisasi setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas dan fungsi (tusi) melakukan pengelolaan kekayaan negarayakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).
Roadmap Strategic Assets Management
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai satu-satunya unit pengelola kekayaan negara diharapkan mampu menjadi instansi yang mencanangkan efisiensi pengelolaan kekayaan negara. Pada tahun 2008 yang lalu, telah Manajemen Materiil
29
dibuat Roadmap Strategic Assets Management oleh DJKN dengan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terciptanya Strategic Assets Management (SAM) dengan ultimate goal-nya, aset negara sebagai indikator penting dalam pelaksanaan anggaran yang efektif. Sesuai Roadmap yang pernah dibuat pada tahun 2007, DJKN meletakkan fondasi untuk melengkapi atribut organisasi dan memulai penertiban BMN. Selanjutnya, di tahun 2008-2009, DJKN melakukan lanjutan penertiban BMN, penyempurnaan Sistem Pengendalian Internal dan tata kelola pengelolaan aset, dan penatausahaan yang andal dan akuntabel. Essensi dari SAM tersebut adalah adanya mindset bahwa untuk mengelola kekayaan negara dengan benar, DJKN harus mempunyai atribut organisasi yang lengkap dan berkualitas, bank data pengelolaan dan penatausahaan BMN berikut permasalahannya, serta kesadaran bahwa aset negara adalah indikator penting dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang efektif, efisien, dan akuntabel. Pada tahun 2010 dan tahun selanjutnya dalam Roadmap Strategic Assets Management tersebut, DJKN berupaya untuk melakukan integrasi perencanaan dan penganggaran aset negara dan optimalisasi pengelolaan aset negara (the highest and the best use). Sampai pada tahun 2012, integrasi perencanaan anggaran dan perencanaan BMN belum dapat dilaksanakan, penatausahaan BMN masih terdapat masalah, dan penyempurnaan peraturan serta tindak lanjut temuan BPK RI masih harus diselesaikan, sehingga Roadmap Strategic Assets Management yang pernah dibuat perlu dilakukan penyesuaian. Pada Roadmap Strategic Assets Management yang telah disesuaikan ini, dipertajam menjadi 3 periode sebagai berikut: Sejak tahun 2007 diterbitkan peraturan-peraturan antara lain Peraturan Men-
30
Manajemen Materiil
teri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tatacara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtangan Barang Milik Negara, PMK Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, PMK Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Kodifikasi Barang Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 29/PMK.06/2010 dan lain-lain. Pada tahun 2008 diterbitkan PP Nomor 38 Tahun 2008 yang merupakan Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Penertiban Barang Milik Negara/Daerah
Dalam satu tahun setelah lahirnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) adalah periode yang menuntut DJKN mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam membantu K/L dalam melaksanakan penertiban BMN melalui Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN. Ada 4 (empat) tujuan utama penertiban BMN, yaitu : 1. Melakukan pemutakhiran pembukuan BMN pada Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Keuangan BMN (SIMAK BMN) 2. Mewujudkan penatausahaan BMN di seluruh satuan kerja (satker) instansi Pemerintah Pusat 3. Menyajikan koreksi nilai aset tetap neraca awal 2004 pada Laporan Keuangan K/L 4. Melakukan tindak lanjut penatausahaan dan pengelolaan BMN yang tertib dan optimal Termasuk dalam objek penertiban BMN saat itu adalah aset yang dikuasai K/L termasuk yang berada pada satker Badan Layanan Umum (BLU), aset yang berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DK/TP), aset yang berasal dari Bantuan Pemerintah Yang Belum ditentukan Statusnya (BPYBDS), aset eks BPPN, aset bekas milik Asing/ Cina, aset eks Kepabeanan/Bea Cukai, aset Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), barang rampasan, benda cagar budaya/benda berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT), dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai BMN. Inventarisasi menjadi icon DJKN bermula dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penertiban BMN yang memberikan tanggung jawab kepada Pengelola Barang untuk menyusun pedoman pelaksanaan IP BMN dan pelaporannya dengan mempercepat tercapainya IP BMN yang dilakukan oleh K/L secara tertib, efektif, efesien, dan akuntabel. Meski demikian, sebetulnya dalam pasal 6 ayat (2) huruf l, Peraturan Pemerintah (PP) 6 Tahun 2006, disebutkan bahwa K/L sebagai pengguna BMN berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencatatan dan inventarisasi BMN yang berada dalam penguasaannya. Manajemen Materiil
31
Dalam rangka melaksanakan penertiban BMN, pada tingkat pusat, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Tim Penertiban BMN dengan masa tugas selama 17 (tujuh belas) bulan terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2007 s.d. 31 Desember 2008. Tim yang tugas utamanya melakukan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi BMN ini kemudian diperpanjang lagi dengan Keppres Nomor 13 Tahun 2009. Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi, DJKN melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait seperti BPK, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (APK) dan Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan, serta Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). Arah penertiban BMN (inventarisasi dan penilaian) adalah bagaimana pengelolaan aset negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan transparan, sehingga aset-aset negara mampu dioptimalkan penggunaan dan pemanfaatannya untuk menunjang fungsi pelayanan kepada masyarakat/ stake-holder. Pengelolaan aset negara memberikan acuan bahwa aset negara harus digunakan semaksimal mungkin mendukung kelancaran tupoksi pelayanan, dan dimungkinkannya fungsi budgeter dalam pemanfaatan aset untuk memberikan kontribusi penerimaan bagi negara. Penanganan aset negara yang mengikuti kaidah-kaidah tata kelola yang baik/good governance akan menjadi salah satu modal dasar yang penting dalam penyusunan LKPP yang akuntabel. Adapun subjek penertiban BMN yaitu: 1. BMN yang belum dicatat atau disertifikasi atau digunakan/ dimanfaatkan 2. BMN yang bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan 3. BMN yang berasal dari Kekayaan Negara Lainnya (KLN) 4. Barang Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) Penertiban BMN diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi sekarang berapa besar nilai seluruh aset negara, baik itu yang bersumber dari APBN maupun dari sumber perolehan lainnya yang sah. Ketersediaan database BMN yang komprehensif dan akurat pun dapat segera terwujud. Database BMN akan memainkan peran yang strategis dalam setiap pengambilan keputusan perencanaan kebutuhan barang nasional oleh Pengelola Barang dan usulan alokasi penganggarannya dalam APBN. Akan terjadi hubungan sinergis antara perencana anggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) dengan pengelola barang (Direktorat Jenderal Kekayaan 32
Manajemen Materiil
Negara) untuk duduk satu meja merumuskan dan menentukan besaran rencana kebutuhan barang milik negara secara nasional dalam tahun anggaran, sehingga anggaran belanja modal fisik tersebut dapat lebih dipertanggungjawabkan dan benar-benar mencerminkan kebutuhan barang /aset yang nyata sesuai kondisi di lapangan dan mampu menciptakan anggaran belanja modal yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Tidak hanya bersifat incremental. Permasalahan dalam pengelolaan aset beserta action yang dapat dilakukan untuk masing-masing identifikasi masalah menurut tim pengelola aset pada kementrian dalam negeri:
Kurangnya tingkat akurasi nilai aset yang dikelola
Tertib pencatatan harus dimulai sejak dari tahap pengadaan. Pada tahap pengadaan mengenai detail spesifikasi dari aset harus dirinci dengan dengan jelas, baik untuk aset tidak bergerak maupun untuk aset tidak bergerak. Masih banyak kelemahan dalam hal ini, antara lain terdapat kesalahan penulisan spesifikasi ataupun ukuran kuantitas pada kontrak, padahal ini menjadi sangat kruisal dan berpengaruh untuk proses selanjutnya. Kementerian/Lembaga selaku pemilik dan pengelola barang milik negara tidak tertib dalam masalah penilaian pencatatan barang milik Negara. Terdapat peraturan khusus yang mengatur dalam hal pencatatan dan rekonsiliasi barang milik Negara, yaitu PMK No. 102/05.PMK/2009 Tentang Tata Cara Rekonsiliasi Barang Milik Negara. Pentingnya penilaian dan rekonsiliasi ini adalah agar dapat diketahui nilai wajar sesungguhnya dari nilai aset. Pihak pengelola barang milik Negara sering menganggap remeh mengenai penilaian dan rekonsiliasi. Padahal dengan rekonsiliasi dapat diketahui nilai kesesuaian nilai aset dengan nilai wajar. Dengan demikian dapat diketahui apakah aset tersebut perlu dilakukan penilaian ulang atau tidak. Dan yang penting adalah mengenai rekonsiliasi ini menjadi salah satu komponen yang menjadi obyek pemeriksaan dari instansi pemeriksa (Inspektorat, BPKP, BPK-RI). Apabila tidak terdapat kesesuaian mengenai rekonsiliasi dengan Dirjen Kekayaan Negara, maka hal ini dapat diangkat menjadi temuan. Adanya temuan instansi pemeriksa ini akan bermuara pada penilain Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga.
Ketidakjelasan status aset yang dikelola
Hal ini bisa menjadi masalah yaitu ketika aset pusat yang berada di daerah tidak segera dilakukan penghibahan. Pemerintah daerah, ketika akan melakukan penganggaran untuk pemeliharaan aset pusat tersebut, tidak bisa dilakukan begitu saja, dikarenakan aset terebut adalah aset pusat maka untuk Manajemen Materiil
33 33
anggaran pemeliharaan tidak bisa diambilkan dari daerah. Apabila anggaran pemeliharaan ini diambilkan dari pusat, di tingkat pusat tidak terdapat alokasi untuk pemeliharaan. Hal ini yang menyebabkan banyak aset pusat di daerah banyak mengalami kerusakan meskipun umur pakainya masih sedikit, karena kurangnya pemeliharaan. Oleh karena itu, sejak dilakukan penganggaran terhadap rencana pengadaan barang milik Negara, perlu disiapkan pula mekanisme hibah/penyerahan ke daerah agar tidak terjadi permasalahan di belakang, yang akan bermuara pada opini instansi pemeriksa atas laporan keuangan kementerian lembaga. Mekanisme hibah ini akan menjadikan jelas mengenai status aset (barang milik Negara/daerah) apakah menjadi milik pusat atau daerah, sehingga alokasi untuk anggaran pemeliharaan dapat diyakini akuntabilitasnya. Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah masih rendahnya nilai tawar dari instansi pemerintah dalam hal ketika terjadi tukar guling atas aset, terutama aset tidak bergerak. Seperti kita ketahui bersama, banyak aset-aset pemerintah berupa aset tidak bergerak yang menyusut atau bahkan lenyap begitu saja ketika terjadi tukar guling dengan pihak instansi lain ataupun pihak swasta. Dalam hal ini terdapat indikasi adanya tindakan korupsi atau suap dari pengelola ataupun pemangku jabatan pada kementerian, lembaga, instansi daerah. Hal lain adalah lemahnya tindakan/pengetahuan hukum dari pengelola aset mengenai tekhnis tukar guling aset. Tukar guling aset adalah hal yang rumit, karena hal ini berkaitan dengan taksiran nilai dan kuantitas. Selain itu untuk aset tidak bergerak juga berkaitan dengan lembaga lain yang berkompeten, yaitu Badan Pertanahan Nasional. Diperlukan kecakapan dari pihak seumber daya manusia pengelola aset, agar tidak terjadi kerugian dalam hal tukar guling ini.
Penggunaan BMN untuk mendukung tugas pokok/fungsi pemerintah kurang optimal
Hal ini sering terjadi untuk aset-aset yang dianggarkan di pemerintah pusat namun penggunaan untuk di daerah dengan melalui mekanisme dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan urusan bersama. Misalnya untuk aset-aset bergerak yang membutuhkan jaringan listrik ataupun jaringan internet, di dalam perencanaan seharusnya sudah bisa dipetakan apakah aset yang dianggarkan tersebut bisa digunakan di daerah.
Kurang optimalnya pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN dalam rangka menghasilkan pendapatan Negara
Perlu adanya peningkatan kemampuan tekhnis dari user ataupun pengelola
34
Manajemen Materiil
aset agar dapat mengoperasikan aset sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja pemerintahan. Hal ini sering terjadi untuk aset berupa aset bergerak klasifikasi aset tak berwujud, berupa aplikasi computer. Pemerintah mempunyai banyak aset berupa aset tak berwujud, yang mempunyai fungsi guna sebagai tools dalam menunjang kinerja pemenrintahan, namun aset ini sering tidak didayagunakan dengan baik karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, ataupun kurang bagusnya pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Hal ini sering terjadi di daerah. Instansi daerah, sering tidak memperhatikan kekhususan keterampilan dari sumber daya manusia dalam hal penempatan pada wilayah kerja. Ataupun sdm yang menguasai mengenai aset tak berwujud tersebut ditempatkan pada tempat lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan aset tersebut. Sering terjadi tidak tertibnya dalam hal penguasaan aset, terutama untuk aset dalam penguasaan pejabat yang purna tugas, ataupun aset yang digunakan oleh pihak ketiga. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya dari pihak pengelola aset untuk menarik kembali aset yang telah selesai dalam masa pakai.
Meminimalisasi terjadinya kerugian Negara sebagai akibat dari pengelolaan BMN
Banyak terdapat aset-aset yang mempunyai masa pakai masih sedikit, namun yang banyak mengalamai kerusakan ataupun tidak dapat digunakan. Poin satu, tidak berfungsinya aset-aset yang masa pakai masih sedikit ini sebagai akibat dari kurangnya pemeliharaan dari aset. Apabila hal ini terjadi pada aset tidak bergerak seperti gedung, apabila gedung rubuh tidak hanya terdapat kerugian materiil namun juga kerugian jiwa. Kurang tertibnya dari mekanisme inventarisasi barang milik negara baik di tingkat pusat ataupun daerah. Pentingnya inventarisasi harus dilakukan agar diketahui secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan kementerian/lembaga ataupun instansi daerah. Banyak aset-aset di tingkat pusat ataupun di daerah yang tidak diketahui keberadaanya, dan hal ini sudah menjadi temuan bagi instansi pemeriksa BPK-RI. Permasalahan ini dikarenakan tidak tertibnya pengelola barang pada kementerian atau lembaga dan instansi daerah. Hal yang dapat dilakukan adalah menempatkan SDM yang mempunyai kapabilitas yang memadai dalam hal pengelolaan barang milik Negara/daerah, serta meningkatkan kapasitas SDM dengan memberikan kediklatan pengelola barang.
Manajemen Materiil
35
BMN Berupa Tanah dan Bangunan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN mengamanatkan agar BMN berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, kami mengambil langkah-langkah konkret, terukur, dan inovatif untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi BMN berupa tanah, yang selanjutnya disebut kebijakan sertifikasi aset yang dalam penyelesaiannya selalu berkoordinasi dengan BPN. Untuk menunjang tugas pengidentifikasian BMN berupa tanah sebagai pendukung proses sertifikasi yang dianggarkan secara On Top pada DIPA BPN, sejak bulan Januari 2012 telah diimplementasikan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pendataan Tanah pemerintah (SIMANTAP). SIMANTAP sekarang ini telah digunakan oleh semua satker. Melalui SIMANTAP ini akan diperoleh informasi mengenai data tanah yang sudah bersertifikat maupun yang belum, lokasi/ letak, luas serta penggunaannya. Adapun pengamanan yang dapat dilakukan terhadap barang milik negara/daerah adalah : 1. Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan 2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan 3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang 4. Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pemerintah daerah yan bersangkutan Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelanggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (selanjutnya disebut BMN idle) dan telah diserahkan kepada Pengelola Barang, selanjutnya akan didayagunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Hasil pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian (IP) menggambarkan bahwa terdapat Satuan Kerja (Satker) yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga namun terdapat juga Satker yang memiliki tanah dan/atau bangunan yang berlebih dan tidak digunakan. Untuk hal ini, Pengelola Barang harus menempatkan posisinya untuk mengalokasikan BMN idle kepada K/L yang membutuhkan dan meminta BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari Pengguna Barang.
36
Manajemen Materiil
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) sasaran strategis yang harus dicapai dalam kebijakan pengelolaan aset/barang milik daerah antara lain: 1. Terwujudnya ketertiban administrasi mengenai kekayaan daerah 2. Terciptanya efisiensi dan efektivitas penggunaan aset daerah 3. Pengamanan aset daerah 4. Tersedianya data/informasi yang akurat mengenai jumlah kekayaan daerah Strategi optimalisasi pengelolaan barang milik daerah meliputi :
Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah
Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah yang dimiliknya, baik yang saat ini dikuasai maupun yang masih berupa potensi yang belum dikuasai atau dimanfaatkan. Untuk itu pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang akurat, lengkap dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah. Identifikasi dan inventarisasi aset daerah tersebut penting untuk pembuatan Neraca Kekayaan Daerah yang akan dilaporkan kepada masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi aset daerah secara lebih objektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa penilai yang independen.
Adanya sistem informasi manajemen aset daerah
Untuk mendukung pengelolaan aset daerah secara efisien dan efektif serta menciptakan transparansi kebijakan pengelolaan aset daerah, maka pemerintah daerah perlu memiliki atau mengembangkan sistem informasi manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat untuk pengambilan keputusan. Sistem informasi manajemen aset daerah juga berisi data base aset yang dimiliki daerah. Sistem tersebut bermanfaat untuk menghasil laporan pertanggungjawaban. Selain itu, sistem informasi tersebut juga bermanfaat untuk dasar pengambilan keputusan mengenai kebutuhan pengadaan barang dan estimasi kebutuhan belanja (modal) dalam penyusunan APBD.
Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan aset
Pemanfaatan aset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah urus (miss management), kehilangan dan tidak termanfaatkan. Untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut, peran auditor internal sangat penting. Melibatkan berbagai profesi atau keahlian yang terkait seperti auditor internal dan appraisal (penilai) Pertambahan aset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh Manajemen Materiil
37
penilai yang independen. Peran profesi penilai secara efektif dalam pengelolaan aset daerah antara lain: a. Identifikasi dan inventarisasi aset daerah b. Memberi informasi mengenai status hukum harta daerah c. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud d. Analisis investasi dan set-up investasi/pembiayaan e. Pemberian jasa konsultasi manajemen aset daerah Sholeh dan Rochmansjah (2010) menyatakan pelaksanaan pengelolaan aset/barang milik daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik yang harus dipenuhi paling tidak meliputi: 1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality) 2. Akuntabilitas proses (process accountability) 3. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability) Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power) oleh pejabat dalam penggunaan dan pemanfaatan kekayaan daerah, sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang berlaku. Akuntabilitas hukum juga dapat diartikan bahwa kekayaan daerah harus memiliki status hukum yang jelas agar pihak tertentu tidak dapat menyalahgunakan atau mengklaim kekayaan daerah tersebut. Akuntabilitas proses terkait dengan dipatuhinya prosedur yang digunakan dalam melaksanakan pengelolaan kekayaan daerah. Untuk itu perlu kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen dan prosedur administrasi. Hal ini penting untuk mewujudkan akuntabilitas kebijakan pengelolaan aset daerah baik secara vertikal maupun secara horisontal. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap DPRD dan masyarakat luas atas kebijakan-kebijakan perencanaan, pengadaan, pendistribusian penggunaan atau pemanfaatan kekayaan daerah, pemeliharaan sampai pada penghapusan barang milik daerah. Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) agar pelaksanaan pengelolaan aset daerah dapat dilakukan dengan baik dan benar sehingga dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pengelolaan aset daerah hendaknya berpegangan teguh pada azas-azas sebagai berikut : 1. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa peng38
Manajemen Materiil
guna barang, pengguna barang, pengelola barang dan kepala daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing 2. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan 3. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar 4. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal 5. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat 6. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah. Subagya (1995) menyatakan untuk menghindarkan pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan terhadap perlengkapan dan peralatan. Kebutuhan harus ditentukan secara tepat terutama mengenai tipe dan spesifikasinya. Disamping itu ditentukan pula sumber dan jumlah dari perlengkapan dan peralatan yang akan dibeli, hal ini perlu dilakukan untuk menentukan cara yang akan dilaksanakan dalam pembelian tersebut. Perencanaan proses pengadaan/pembelian sejak dari awal sampai kepada barang diterima ditempat harus telah disusun dan tergambar dengan jelas, baik tahap demi tahap dari kegiatannya sendiri maupun jadwal waktu secara tepat. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Nomor 17 Tahun 2007, penilaian barang milik daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik daerah. Penetapan nilai barang milik daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 menyatakan bahwa penghapusan barang milik daerah meliputi penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna dan penghapusan dari daftar barang miManajemen Materiil
39
lik daerah. Penghapusan barang milik daerah dilakukan dalam hal barang milik daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. Penghapusan dilaksanakan dengan keputusan pengelola atas nama Kepala Daerah untuk barang milik daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan dengan Keputusan Kepala Daerah untuk barang milik daerah yang sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 barang milik daerah yang dihapus dan masih mempunyai nilai ekonomis, dapat dilakukan melalui pelelangan umum/pelelangan terbatas; dan/atau disumbangkan atau dihibahkan kepada pihak lain. Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik daerah meliputi penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah daerah. Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010), untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan dan menjamin tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah secara efisien dan efektif maka diperlukan fungsi berikut ini: 1. Pembinaan, yaitu usaha atau kegiatan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi 2. Pengawasan, yaitu usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau kegiatan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Pengendalian, yaitu usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Strategi Pengelolaan BMN Lainnya
Integrasi sistem pengelolaan BMN dan sistem anggaran merupakan amanat PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D, PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL), dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Integrasi tersebut diperlukan sebagai upaya pencapaian pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif, efisien, dan optimal. Agar dalam implementasinya sesuai dengan tujuan tersebut, koordinasi antara DJKN dengan instansi terkait seperti DJA, DJPB, dan K/L menjadi elemen keberhasilan penerapan perencanaan kebutuhan BMN. Di samping itu, sistem aplikasi, sumber daya manusia, basis data BMN existing yang valid menjadi faktor penting yang harus dipersiapkan secara matang. 40
Manajemen Materiil
Dalam rapat pimpinan DJKN awal tahun 2012 tercetus wacana untuk mengadakan kegiatan pemberian penghargaan kepada K/L yang dinilai memiliki kinerja yang baik dalam pengelolaan BMN. Kegiatan tersebut selain sebagai sebuah bentuk evaluasi dan apresiasi atas kinerja K/L, juga merupakan salah satu upaya memotivasi K/L untuk selalu menyelenggarakan pengelolaan BMN secara optimal dengan mengedepankan tertib administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum. Untuk penatausahaan dan pengelolaan BMN pada Kanwil DJKN atau KPKNL, diharapkan ke depan dapat berubah ke arah digital atau elektronik (electronic asset management atau e-BMN). Konkritnya, e-BMN tersebut harus dapat membantu dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan BMN mulai dari perencanaan, pengelolaan hingga rekonsiliasi data BMN mulai level kuasa pengguna barang hingga pengguna barang.
PENGELOLAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL YANG BERSTATUS SEBAGAI BMN
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 Tahun 2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan memberikan tugas kepada DJKN antara lain untuk melaksanakan penyiapan rumusan kebijakan dan standardisasi, penyusunan sistem dan prosedur, dan tindak lanjut keputusan perubahan status kekayaan negara lain-lain, penatausahaan dan penyusunan daftar, pemberian bimbingan teknis, perencanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi atas pelaksanaan pengelolaan kekayaan negara lain-lain sebagai akibat adanya ketentuan, penetapan atau pengalihan aset sebagai kekayaan negara yang dikelola Menteri Keuangan antara lain kekayaan negara yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual (HKI). Berdasarkan WTO, dalam perundingan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) telah disepakati mengenai norma-norma dan standar perlindungan HKI yang meliputi : a. Hak Cipta dan hak-hak lain yang terkait b. Merek dagang c. Indikasi Geografis d. Desain Produk Industri e. Paten, termasuk Perlindungan Varietas tanaman f. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu g. Perlindungan Terhadap Informasi yang dirahasiakan h. Pengendalian Praktek-praktek Persaingan Curang dalam perjanjian Lisensi Menurut Budi Agus Riswandi, Dosen Tetap Fakultas Hukum UII & Direktur Manajemen Materiil
41
Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual FH UII, saat ini ada sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, yaitu kecenderungan pembangunan ekonomi bangsa yang berbasis pada pengetahuan (economy based knowledge). Pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan pada dasarnya merupakan bentuk pembangunan ekonomi yang kini banyak diterapkan oleh negaranegara maju. Maka, tidaklah mengherankan model ekonomi berbasis kepada pengetahuan ini banyak diminati oleh negara-negara di dunia. Ada beberapa kelebihan yang dapat diidentinfikasi, sehingga ketertarikan negara terhadap pengembangan ekonomi ini sangat tinggi. Salah satu model pembangunan ekonomi yang berbasis pada pengetahuan, yakni berupa penerapan sistem HKI. Fakta menunjukan bahwa banyaknya jumlah paten yang dihasilkan dalam sebuah negara akan berbanding lurus dengan kemajuan teknologi dan ekonomi di negara tersebut Bila melihat trend saat ini HKI merupakan alat yang ampuh untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa (a powerful tool for economic development). Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari kekayaan negara yang tidak berwujud. Berdasarkan pendapat para ahli, potensi HKI ini merupakan potensi yang sangat besar yang selama ini belum tergali oleh Bangsa Indonesia. Trend yang ada pada saat ini di negara-negara maju pada umumnya cenderung telah memanfaatkan HKI dengan baik, karena potensi HKI tidak akan pernah habis dibandingkan dengan potensi alam. Hak Kekayaan Intelektual yang pertama kali harus mendapatkan perhatian dari DJKN adalah paten, karena berkaitan langsung dengan penelitian yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. Pada umumnya paten dikelola oleh lembaga penelitian dan pengembangan, dan mencakup berbagai jenis variasi dari mulai paten mesin yang dimiliki LIPI hingga paten terhadap varietas benih padi yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian. Pada saat ini pengelolaan HKI dalam bentuk administrasi berada pada Kementerian Hukum dan HAM sedangkan pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diserahkan ke masing-masing lembaga penelitian dan pengembangan dalam suatu wadah yang dinamakan sentra HKI. Namun, aturan-aturan pengelolaan HKI yang berstatus barang milik negara yang diatur dalam undang-undang ini ternyata belum dapat terimplementasi dan dipatuhi, sehingga pengelolaan HKI masih dilaksanakan sendiri-sendiri dan diserahkan ke masing-masing institusi lembaga penelitian dan pengembagan. Penataan dan pengelolaan kekayaan Negara yang baik sangat dibutuhkan oleh 42
Manajemen Materiil
Negara Indonesia pada saat ini, dan harus mencakup kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud. Terminologi pengaturan kekayaan negara khususnya Barang Milik Negara yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 pada umumnya mencakup pengaturan untuk barang berwujud baik berupa benda tidak bergerak yaitu tanah/bangunan, maupun benda bergerak yang pembeliannya dibiayai dari APBN, sehingga menurut pendapat Penulis PP 6 Tahun 2006 belum cukup dijadikan dasar untuk melakukan pengelolaan barang yang tidak berwujud khususnya HKI. Aturan dalam PP 6 Tahun 2006 yang tidak dapat diterapkan dalam pengaturan HKI adalah sebagai berikut:
Pemanfaatan
Istilah pemanfaatan yang berlaku dalam aturan HKI sama dengan kegiatan komersialisasi HKI, atau kegiatan untuk memberikan nilai ekonomi HKI yang tentunya berdampak pada masukan terhadap HKI yang dikomersialisasikan. Pada HKI yang berstatus BMN tentunya sudah dapat dipastikan bahwa hasil komersialisasi tersebut sepenuhnya harus masuk ke kas negara. Namun, dalam Undang-undang Paten telah diatur bahwa peneliti mempunyai hak atas hasil HKI yang telah dikomersialisasikan. Disharmonisasi aturan ini harus dapat ditengahi dalam aturan HKI nanti karena insentif bagi seorang peneliti merupakan daya rangsang untuk senantiasa melakukan inovasi. Jika insentif tidak diatur secara tegas akan menimbulkan moral hazard bagi para peneliti seperti illegal licensing dan illegal spin off. LIPI menghendaki agar insentif harus mempunyai ruang gerak yang lebih leluasa, dana penelitian dan dana riset hendaknya mempunyai porsi yang lebih besar jika Indonesia ingin menjadi membangun negara berbasis ilmu pengetahuan. Dari permasalahan tersebut, diharapkan agar Kementerian Keuangan dalam hal ini Dirjen Kekayaan Negara dapat melakukan harmonisasi peraturan pengelolaan HKI yang berstatus BMN dengan aturan yang berlaku di bidang HKI.
Pemindahtanganan
Bentuk-bentuk pemindahtanganan yang diatur dalam PP 6 Tahun 2006 adalah penjualan, tukar menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah. Pemindahtanganan merupakan perbuatan hukum mengalihkan kepemilikan dari suatu barang. Paten atau pemilikan paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian yang diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001. Pengalihan paten bisa disebabkan oleh pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan peManajemen Materiil
43
rundang-undangan. Pengalihan paten harus disertai dokumen asli paten berikut hal lain yang berkaitan dengan paten tersebut, serta harus dicatat dan diumumkan, mengingat paten merupakan hak milik yang diberikan oleh Negara sehingga pemakaian, pemanfaatan atau penggunaannya dibatasi dengan kurun waktu tertentu yaitu 20 tahun. Sebagai hak milik, pengalihan paten hanya dapat dilakukan oleh inventor atau oleh yang berhak atas invensi tersebut kepada perorangan atau badan hukum. Dalam pengalihan paten, yang beralih adalah hak ekonominya saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada Inventornya. Hak moral ini tetap mengikuti Inventor sampai kapanpun walapun patennya sudah berakhir. Di samping objek hak tersebut, yang perlu juga diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah tentang hak monopoli yang dimiliki oleh penemu untuk melaksanakan atau mendayagunakan hasil temuannya tersebut, sehingga atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya, atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya. Izin ini dinamakan lisensi. Lisensi merupakan alat dasar dalam perdagangan HKI. Terhadap paten yang merupakan barang milik negara harus dicarikan formulasi siapakah yang menjadi pemegang lisensi atas HKI tersebut, apakah akan disamakan dengan ketentuan yang berlaku dalam BMN yang berwujud, dimana dalam ketentuan yang berlaku saat ini setiap perbuatan hukum seperti pemanfaatan dan pemindahtanganan harus selalu mendapatkan izin dari Pengelola Barang dalam hal ini adalah Menteri Keuangan, ataukah mengikuti aturan yang berlaku dalam HKI. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dimana pekerja dibiayai oleh pemerintah dari dana APBN serta melakukan penelitian dengan menggunakan semua fasilitas negara, maka jelas berdasarkan Pasal 12 Undangundang Paten, yang memiliki paten adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut artinya adalah pemerintah. Pemerintah dalam hal ini merupakan Kementerian/Lembaga yang aktif dalam penelitian-penelitian yang dibiayai dari APBN. Berdasarkan hal tersebut seharusnya DJKN juga memperhatikan aturan tentang lisensi jika HKI akan dimanfaatkan yang telah diatur dalam Undangundang Paten ini.
Penilaian
Mekanisme penilaian barang milik negara telah ditetapkan dalam suatu peraturan menteri keuangan tentang penilaian barang milik negara berupa tanah dan atau bangunan, namun untuk HKI belum diatur secara jelas. LIPI mengh44
Manajemen Materiil
adapi kendala ketika Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan mereka, karena terdapat perbedaan persepsi tentang unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam meperoleh nilai. Berdasarkan pendapat BPK nilai HKI meliputi biaya riset, biaya yang dikeluarkan oleh peneliti, dan biaya komersialisasi, sedangkan LIPI berpendapat bahwa nilai dibentuk berdasarkan pendekatan harga pasar, modal dan ekonomi. Nilai HKI sangat penting artinya untuk menentukan harga komersialisasi sebuah HKI, sehingga LIPI mendorong agar Kementerian Keuangan segera menetapkan standardisasi aturan nilai dari suatu HKI. Berdasarkan hal tersebut tidak pelak lagi, maka kebutuhan Indonesia akan adanya aturan pengelolaan atau manajemen aset yang baik merupakan hal yang mutlak harus dilaksanakan dan mencakup seluruh harta kekayaan negara baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
PENTINGNYA PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA
Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk didalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat). Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara. Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah menjadikan lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara. Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adaManajemen Materiil
45
lah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi di bidang administrasi keuangan negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara telah mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan administrasi dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
o0o
46
Manajemen Materiil
BAB IV
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA Tahapan Pengelolaan Barang Milik Negara Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi: 1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan Pengamanan dan pemeliharaan 5. Penilaian 6. Penghapusan 7. Pemindahtanganan 8. Penatausahaan 9. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
Landasan Hukum Pengelolaan Barang Milik Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609); Permenkeu Nomor: 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/pmk.06/2007 tentang Tata cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara Kepmenkeu Nomor 271/KMK.06/2011 tentang pedoman pelaksanaan tindak lanjut hasil penertiban BMN pada Kementerian Negara/Lembaga Perpres No 54 Tahun 2010 Tentang Barang dan jasa Peraturan Bersama Menteri Keuangan Dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor: 186/PMK.06/2009 |Nomor: 24 Tahun 2009 Tentang Pensertipikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah Perdirjen KN Nomor PER-07/KN/2009 tentang Tata Cara Rekonsiliasi BMN Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran. - Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga. Standar barang dan standar kebutuhan ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait. Pengadaan - Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak Manajemen Materiil
47
diskriminatif dan akuntabel. Penggunaan - Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagaiberikut: a. Barang milik negara oleh pengelola barang b. Barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota Penetapan status penggunaan - Penetapan status penggunaan barang milik negara sebagaimana dimaksud dilakukan dengan tata cara sebagai berikut : a. Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud. c. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. Penggunaan - Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerjaperangkat daerah yang bersangkutan. Pemanfaatan - Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa : a. Sewa b. Pinjam pakai c. Kerjasama pemanfaatan d. Bangun guna serah dan bangun serah guna Penyewaan - Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk : a. Penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang; kepada gubernur/bupati/walikota b. Penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang c. Penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
48
Manajemen Materiil
Pemanfaatan Penyewaan – Pemanfaatan Barang Milik Negara diselenggarakan dalam bentuk : a. Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah b. Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang c. Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, barang milik negara oleh pengelola barang dan barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota. d. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat : Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu, tanggungjawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan, persyaratan lain yang dianggap perlu. e. Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah. Pinjam Pakai – Pinjam pakai Barang Milik Negara dilakukan dalam bentuk : a. Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah b. Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang c. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang - kurangnya memuat, pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu, tanggungjawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman, persyaratan lain yang dianggap perlu Kerjasama Pemanfaatan - Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/ daerah dilaksanakan dengan bentuk : a. Kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang b. Kerjasama pemanfaatan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang c. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. d. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara dilaksanakan oleh pengelola barang. Manajemen Materiil
49
e. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pengamanan dan Pemeliharaan - Pengelolaan barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. 1. Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. 2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. 3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang. Pemeliharaan : Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggungjawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. Pemeliharaan sebagaimana berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB). Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Penilaian - Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Sedangkan Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). 1. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang. 2. Hasil penilaian barang milik negara/daerah ditetapkan oleh, pengelola barang untuk barang milik Negara, gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. Penghapusan - Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: a. Penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna b. Penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah. c. Penghapusan barang milik negara/daerah dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang d. Pelaksanaan atas penghapusan selanjutnya dilaporkan kepada pengelola 50
Manajemen Materiil
barang e. Penghapusan dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari, Pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk barang milik negara, pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usu pengelola barang untuk barang milik daerah. Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian – Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian diselenggarakan dalam bentuk : 1. Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yan berada di bawah penguasaannya 2. Pelaksanaan pemantauan dan penertiban untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang 3. Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban 4. Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian juga meliputi : a. Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan yang berlaku b. Pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah c. Hasil audit disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-undangan.
PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pengertian Aset Negara
Aset Berdasarkan perspektif ilmu ekonomi mendefinisikan aset negara secara komprehensif, di antaranya, Sprague yang menyatakan aset yang dimiliki perusahaan harus memiliki nilai dan perusahaan dapat menikmati/memanfaatkan nilai tersebut. Paton mendefinisikan aset sebagai kekayaan baik dalam Manajemen Materiil
51
bentuk fisik atau bentuk lainnya yang memiliki nilai bagi suatu entitas. Sementara itu, Vatter lebih merinci lagi dengan meninjau aset dari sisi manfaat yang dihasilkan dengan mendefinisikan aktiva sebagai manfaat ekonomi masa yang akan datang dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, ditukar, atau disimpan. Dalam perkembangan dewasa ini beberapa lembaga perekonomian juga memberikan definisi mengenai aset yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sementara itu, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) juga memberikan definisi aset sebagai manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset, yang potensi aset tersebut memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak, arus kas dan setara kas kepada perusahaan. Sejalan dengan itu, Financial Accounting Standard Board pada 1980 mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi yang mungkin terjadi pada masa mendatang yang diperoleh atau dikendalikan oleh suatu entitas tertentu sebagai akibat transaksi atau peristiwa masa lalu. Definisi aset menurut Standar Akuntansi Pemerintahan lebih luas dan komprehensif, yaitu sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan yang diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Banyaknya definisi mengenai aset tersebut menunjukan tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, dapat dirumuskan karakteristik umum aset sebagai berikut : 1. Adanya karakteristik manfaat pada masa mendatang 2. Adanya pengorbanan ekonomi untuk memperoleh asset 3. Berkaitan dengan entitas tertentu 4. Menunjukkan proses akuntansi 5. Berkaitan dengan dimensi waktu 6. Berkaitan dengan karakteristik keterukuran Dengan mendasarkan pada karakteristik aset tersebut, pengakuan aset menurut IAI pada 2007 adalah berikut ini: 1. Aset diakui dalam neraca, kalau besar kemungkinan manfaat ekonominya di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal 2. Aset tidak diakui dalam neraca, kalau pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir setelah periode akuntansi Manajemen Materiil
52
berjalan. Sebagai alternatif transaksi semacam ini menimbulkan pengakuan beban dalam laporan laba rugi Dalam konteks peraturan perundang-undangan, definisi aset terdapat dalam RUU tentang Perampasan Aset. Dalam RUU tersebut Eddy Mulyadi Soepardi dalam ceramah ilmiahnya disalah satu universitas di Indonesia yang berjudul Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis, sedangkan hukum positif yang sekarang berlaku tidak menggunakan istilah ‘aset’, tetapi menggunakan istilah barang atau kekayaan. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, misalnya, menggunakan istilah ‘barang’ untuk Barang Milik Negara. Pengertian Negara atau batasan negara menurut hukum positif dalam penelitian ini ditujukan pada Pemerintah Republik Indonesia, dalam arti yang lebih spesifik adalah kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU Nomor 17 Tahun 2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah non kementerian negara. Aset Negara PP Nomor 6 Tahun 2006, yang menggunakan istilah barang negara untuk aset negara mendefinisikan barang milik negara (BMN), yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Mendasarkan pada definisi tersebut, aset negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006, yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 mendasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Adapun yang dimaksud BMN sesuai dengan Pasal 1 butir 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, tetapi juga yang berada pada BUMN dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan statusnya menjadi aset negara yang dipisahkan. Sementara itu, terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini. Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat Manajemen Materiil
53
lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sementara itu, untuk barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara. Jenis Aset Negara Menurut Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara terdiri atas dua jenis, yaitu barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/ APBD dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi: 1. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis 2. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/ kontrak 3. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang 4. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tata Kelola Aset Negara (Tanah)
Pengaturan aset negara (tanah) Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aset negara ada dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah aset negara yang dikuasai negara (bersifat publik), dalam hal ini negara bertindak sebagai penguasa, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada lembaga yang berwenang. Misalnya, dalam hal tanah, lembaga yang berwenang adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika aset mengenai hasil hutan, diserahkan pada Kementerian Kehutanan, sedangkan mengenai hasil laut, diserahkan kepada Kementerian Kelautan. Aset yang dikuasai negara bersumber pada Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Di samping itu, ada aset yang dikuasai negara, dan ada juga aset yang dimiliki Pemerintah. Aset negara yang dimiliki Pemerintah dibagi dua, yaitu aset yang tidak dipisahkan dan aset yang dipisahkan. Aset yang dipisahkan atau yang disebut Barang Milik Negara/Daerah adalah barang yang diperoleh/dibeli atas beban APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengeloaan aset negara yang tidak dipisahkan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan 54
Manajemen Materiil
pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Selain aset negara yang tidak dipisahkan tersebut, ada aset negara yang dipisahkan, yang disebut investasi pemerintah, terdiri dari penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/ BUMD), perseroan terbatas lainnya, dan badan hukum milik pemerintah lainnya. Landasan hukum pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan adalah UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 yang pelaksanaannya diatur dalam peratuan pemerintah mengenai pengelolaan investasi pemerintah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004. Pergantian pemerintahan pada era reformasi 1998 ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang pertanahan demi mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal tersebut sangat mendesak mengingat sudah sejak lama terjadi penguasaan atas tanah aset negara oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, usaha untuk melindungi aset negara (tanah) dari penguasaan pengguna yang tidak berhak, misalnya UU yang menjadi bahasan dalam kajian ini yaitu UU Nomor Prp 51 Tahun 1960. Pasal 1 huruf (a) UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 mengatur, “tanah ialah (a) tanah yang langsung dikuasai oleh negara; (b) tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh 17 perseorangan atau badan hukum.” Adapun maksud tanah pada butir a dan pada butir b tersebut adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah yang belum dihaki dengan hak-hak perseorangan. Selain itu juga disebut dengan tanah negara dalam arti luas, yaitu tanah yang belum diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28, 37, 41, 47 dan 49 UU Nomor 5 Tahun 19 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Para ahli membedakan tanah negara menjadi tiga, yaitu: 1. Tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara, dalam pengertian hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum Manajemen Materiil
55
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 2. Tanah negara yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah dan berdasarkan akta-akta peralihan hak. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi 2008, Cetakan kedua belas (Jakarta: Djambatan, 2008, hal.271) B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan Kedua (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2005, hal.79-80). 3. Tanah negara yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, badan hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial serta tanah-tanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing. Jika dilihat dari status penguasaannya, tanah negara masih dibagi menjadi : 1. Tanah wakaf 2. Tanah hak pengelolaan 3. Tanah hak ulayat 4. Tanah hak kaum 5. Tanah hak kawasan hutan 6. Tanah lainnya yang tidak termasuk lima klasifikasi itu, yang penguasaannya ada pada BPN Tanah negara mempunyai dua pengertian, yaitu : 1. Tanah negara dalam arti luas adalah tanah yang dikuasai BPN dan penguasaannya ada pada Kepala BPN 2. Tanah negara dalam arti sempit adalah tanah yang dikuasai oleh kementerian dan lembaga dengan hak pakai yang merupakanaset/ bagian dari aset negara dan penguasaannya ada pada Menteri Keuangan. Sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960, telah ada berbagai peraturan lain yang sejenis mengatur penguasaan dan pendudukan tanah secara illegal, di antaranya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat, yang kemudian diubah dan ditambah menjadi UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 yang berlaku bagi tanahtanah perkebunan, dan peraturan sejenis lainnya. Jika dilihat dari keberadaan peraturan yang pernah ada sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960, banyak penguasaan tanah tanpa hak, sehingga untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang mungkin muncul, diperlukan suatu tata kelola aset negara berupa tanah dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengikuti perkembangan zaman serta dilakukan dan ditangani oleh BPN. Hal ini berarti ada kejelasan mengenai lembaga yang bertanggungjawab, sistem 15I bid., hal. 272 19 pengadministrasiannya yang jelas dan mudah dipahami, 56
Manajemen Materiil
tata cara pelaporan sebagai pertanggungjawabannya serta dengan mengikuti ketentuan peraturan yang ada. Lembaga dan pejabat pengelola aset negara (tanah). Tanah merupakan bagian dari aset yang dikuasai negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, pemegang kekuasaan tertinggi adalah bangsa Indonesia dalam suatu organisasi yang disebut negara. Sebagai perwujudan kebijakan negara dalam hal pengelolaan tanah sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, negara menerbitkan UUPA menjadi pijakan hukum bagi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan tanah, di mana hak menguasai negara melahirkan kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960, yaitu: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut, negara telah mengeluarkan peraturan bagi lembaga yang bertugas mengatur dan mengelola aset negara berupa tanah demi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang 20 Badan Pertanahan Nasional. Ketiga fungsi utama tersebut di atas, yang harus dijalankan oleh negara diberikan kepada BPN sebagai lembaga pemerintah yang berwenang untuk menangani pertanahan. Namun, pada kenyataannya hingga saat ini kelembagaan pertanahan belumlah optimal, antara lain dapat dilihat dari pengelolaan tanah yang ditangani oleh lebih dari satu lembaga, tetapi tidak terkoordinasi dengan baik. Pengelolaan administrasi tanah selama ini ditangani oleh Kementerian Kehutanan untuk tanah hutan dan BPN untuk tanah non hutan.16 Di samping itu, dalam hal pengelolaan tanah, BPN juga bekerja sama dengan Kementerian Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 huruf (i) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 menyatakan BPN adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden, dan dipimpin oleh seorang Kepala. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Kepala BPN dibantu oleh Manajemen Materiil
57
Sekretaris Utama dan 5 (lima) Deputi serta Inspektur Utama. Kelima Deputi tersebut masing-masing adalah Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian dan penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Selanjutnya, menurut Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, dengan demikian lembaga Badan Pertanahan Nasional Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009, hal.11) merupakan organisasi tertinggi yang berwenang untuk melakukan penatausahaan tanah di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 3 yang menyatakan BPN menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan e. Penyelenggaraan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Kementerian Keuangan j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan 58
Manajemen Materiil
t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Mengingat BPN melaksanakan tugas pengelolaan secara nasional, regional dan sektoral, Badan Pertanahan Nasional membentuk Kantor Wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Perpres Nomor 10 Tahun 2006. Untuk mendukung pelaksanaan tugas, BPN juga membutuhkan keterlibatan masyarakat, sehingga diperbolehkan mengangkat paling banyak tiga (3) orang staf khusus untuk membantu Kepala BPN dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan. Staf khusus dapat berasal dari pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri dan bertugas paling lama sama dengan jabatan Kepala BPN. Selanjutnya, dalam rangka pengelolaan tanah negara BPN bekerjasama dengan instansi lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf (i), yaitu ”penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan. Menteri Keuangan/Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan adalah kementerian yang membidangi urusan keuangan yang dipimpin oleh seorang Menteri. Keberadaan Kementerian Keuangan dalam pengeloaan tanah dilandasi oleh beberapa peraturan di antaranya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, dan PP Nomor 6 Tahun 2006. Penjelasan umum PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan, Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara. Pengertian pengelola barang menurut Pasal 3 PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah Pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. Dengan demikian, pengelola berkaitan erat dengan orang/pejabat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2006. Kepala Daerah/Pemerintah Daerah Rujukan peraturan perundang-undangan mengenai lembaga/ pejabat pengelola aset negara (tanah) adalah UU Nomor 1 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2006. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2006, gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. Sementara itu, pejabat pengelola barang milik daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (3) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah ”sekretaris daerah adalah pengelola barang milik daerah.” Pejabat Pembuat Akta Tanah. Di samping pejabat pemerintah yang telah Manajemen Materiil
59
disebutkan sebelumnya, ada pejabat lain yang turut serta melakukan kegiatan pengelolaan aset negara (tanah), yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Selain itu, ada yang disebut PPAT sementara dan PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Di sisi lain, PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah, maka fungsi PPAT umum adalah membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu kepala kantor pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah, dengan membuat akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan dalam pendaftaran Tanah. PPAT wajib menyimpan dan memelihara kumpulan dokumen, yang biasa disebut Protokol PPAT, yang terdiri dari daftar akta, akta asli, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda, dan surat-surat lainnya. Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, pasal 1. Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Prestasi Pustaka karya, 2004),hal. 67. Warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah (Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1) 7. Pengelolaan aset negara (tanah) Pengelolaan pertanahan meliputi tanah hak dan tanah negara. Tanah hak yang dikuasai oleh perseorangan maupun badan hukum dengan hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai. Sementara itu, tanah negara, menurut Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Demi tertib administrasi, aset negara (tanah) perlu dilakukan pengurusan secara administratif dengan tujuan untuk memudahkan bagi pemilik atau pengguna hak tanah tersebut, sehingga dapat mengurangi konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari. Pengertian pengelolaan menurut Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 60
Manajemen Materiil
adalah suatu kegiatan yang meliputi: a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran b. Pengadaan c. Penggunaan d. Pemanfaatan e. Pengamanan dan pemeliharaan f. Penilaian g. Penghapusan h. Pemindahtanganan i. Penatausahaan j. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan pengelolaan. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan dan penghapusan. Pengelolaan dimaksud adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan terhadap barang milik negara (BMN). Pengertian pengelolaan BMN, sejalan dengan tugas dan fungsi BPN, yang sejak berlakunya UUPA menjadi lembaga yang mengurus segala sesuatu mengenai pertanahan. Kegiatan pengelolaan dilakukan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997. Pelaksanaan dari Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1960 yang menginstruksikan kepada pemerintah, agar seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah, yang bersifat rechts kadaster, bertujuan untuk menjamin kepastian hak atas tanah yang penyelenggaraan tugas dibebankan kepada jawatan pendaftaran tanah dengan berpedoman pada PP Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang PP Nomor 24 Tahun 1997). Menurut Pasal 1 (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Pasal 11). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendafataran secara sistematik dan pendafataran tanah secara sporadis. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa Badan Pertanahan Nasional yang didasarkan atas suatu rencana kerja jangka panjang dan rencana tahunan yang berkesinambungan, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadis dilaksanaManajemen Materiil
61
kan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: 1. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 2. Penyajian data fisik dan data yuridis, kegiatan penatausahaan pendafataran pengumpulan dan pengolahan data phisik, kegiatan ini mencakup pengukuran dan pemetaan, pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah serta membuat surat ukur 3. Pembuktian hak dan pembukuannya, kegiatan ini mencakup pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, dan pembukuan hak 4. Penerbitan sertifikat, sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak. Sertifikat juga merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan, ke dalam daftar umum yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama. 5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen, dokumen-dokumen yang merupakan alat pembuktian yang telah digunakan sebagai dasar pendaftaran, diberi tanda pengenal dan disimpan di kantor pertanahan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh menteri, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari daftar umum. Secara bertahap data pendaftaran tanah disimpan dan disajikan dengan menggunakan peralatan elektronik dan microfilm. Selain pendaftaran tanah, kegiatan pengelolaan lainnya adalah pemeliharaan dan pendaftaran tanah. Pemeliharaan dan pendaftaran tanah dilakukan jika terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar, misalnya : a. Pemindahan hak yang disebabkan oleh telah terjadinya jual-beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain b. Pemindahan hak dengan lelang c. Pemindahan hak karena pewarisan d. Pemindahan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan dan koperasi e. Jika terjadi pembebanan hak (hak tanggungan, hak guna bangunan, dan sebagainya 62
62
Manajemen Materiil
Di samping perubahan hak, maka perlu dilakukan pemeliharaan dan pendaftaran tanah jika terjadi perubahan data-data lainnya, yaitu : a. Jika ada perpanjangan jangka waktu hak atas tanah b. Jika terjadi pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah c. Jika ada pembagian hak bersama (rumah susun) d. Jika atas suatu pembebanan hak telah berakhir (hapusnya hak atas tanah dan hak milik rumah susun) e. Jika terjadi peralihan dan penghapusan hak tanggungan f. Jika ada pemberitahuan putusan atau penetapan pengadilan g. Jika pemegang hak berganti nama. Kegiatan pemeliharaan juga terjadi dalam hal ada permohonan dari pemegang hak atas tanah untuk diterbitkannya sertifikat baru sebagai pengganti sertifikat yang rusak atau hilang, dan alasan lainnya. Tata cara pengelolaan aset negara (tanah) yang menjadi tanggungjawab Kementerian Keuangan sebagai pengelola BMN/D meliputi : a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran. Perencanaan dimaksud disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja pemerintah daerah dengan memperhatikan kebutuhan BMN dan berpedoman pada standard barang, standard kebutuhan dan standard harga yang ditetapkan oleh pengelola barang, setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait b. Pengadaan, dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan c. Penggunaan, status penggunaan BMN ditetapkan oleh pengelola barang. Penetapan dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1), dimana pengguna barang melaporkan BMN yang diterimanya kepada pengelola barang disertai usul penggunaan, dan kemudian pengelola barang meneliti laporan tesebut dan menetapkan status penggunaannya. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tupoksi pengguna barang atau kuasa pengguna barang. Jika tanah dan/ atau bangunan tidak digunakan lagi, maka wajib diserahkan kembali kepada pengelola barang. d. Pengamanan dan pemeliharaan, yang dimaksud dengan pengamanan adalah pengamanan terhadap BMN/D yang ada dalam penguasaan pengguna barang (menteri/pimpinan lembaga selaku 30 pimpinan kementerian negara/ lembaga), yang meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan Manajemen Materiil
63
63
pengamanan hukum. (Pasal 32). Sedangkan kegiatan pemeliharaan barang adalah daftar hasil pemeliharaan yang dibuat oleh pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang, yang dibuat dalam satu tahun anggaran dan wajib dilaporkan kepada pengguna barang secara berkala. e. Pemanfaatan, pemanfaatan BMN tanah dilaksanakan oleh pengelola barang. Bentuk pemanfaatan dapat berupa sewa, pinjam pakai, kejasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. Tindak lanjut pengelolaan terhadap tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kembali tersebut meliputi: ditetapkan penggunaannya untuk penyelenggaraan tupoksi instansi pemerintah lainnya, dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi BMN, dan dipindahtangankan. f. Penilaian, penilaian barang dilakukan menurut Standar Akutansi Pemerintahan (SAP) dan dibuat dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Penilaian terhadap BMN berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang dan dapat melibatkan penilai independen. g. Penghapusan, kegiatan penghapusan BMN meliputi: penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna, penghapusan dari daftar BMN/D, dan dilakukan jika BMN/D sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang. Penghapusan wajib dilakukan dengan penerbitan Surat Keputusan Penghapusan (SKP) dari pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola dan SKP dari pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usul pengelola barang untuk BMD. Pelaksanaan penghapusaan wajib dilaporkan kepada pengelola barang. h) Pemindahtanganan, bentuk-bentuk pemindahtanganan dapat berupa: (a) penjualan, (b) tukar-menukar, (c) hibah, dan (d) penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. Pemindatangan tidak memerlukan persetujuan DPR jika tanah: sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota, diperuntukkan 31 untuk pegawai negeri, diperuntukkan bagi kepentingan umum, dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, pemindatanganan BMN tanah senilai diatas Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan presiden, jika nilai tanah sepuluh milyar ke bawah, maka cukup dilakukan oleh pengelola barang h. Penatausahaan, kegiatan penatausahaan meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan. Pembukuan dimaksud adalah tindakan kuasa pengguna 64
Manajemen Materiil
barang/pengguna untuk mendaftarkan dan mencatatkan BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan ke dalam Daftar Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodifikasi barang, dan kemudian menyimpan dokumen kepemilikan tanah/bangunan yang berada dalam pengelolaannya. Dalam hal inventarisasi, pengguna barang melakukan inventarisasi BMN/D minimal sekali dalam lima tahun, untuk kemudian dilaporkan kepada pengelola barang selambatlambatnya tiga bulan setelah selesai inventarisasi. Untuk pelaporan, maka pengelola barang harus menyusun Laporan BMN/D beruapa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. Hasil dari laporan dimaksud akan digunakan sebagai bahan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah. i. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Pembinaan pengeloaan BMN dilakukan oleh Menteri Keuangan, dan BMD dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Tugas pengguna barang adalah melakukan pemantauan terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan dan pengamanan BMN/D yang berada dalam penguasaannya. Kewenangan untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksaaan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan BMN/D ada pada pengelola barang, dan sebagai tindak lanjut, maka pengelola barang dapat minta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit terhadap pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Pelaporan aset negara (tanah) Tanah-tanah Negara dalam arti sempit harus dibedakan dengan tanahtanah yang dikuasai oleh kementerian dan lembaga pemerintah non departemen lainnya dengan hak pakai, yang merupakan aset atau sebagian kekayaan negara, yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan. Sedangkan penguasaan tanah-tanah negara dalam arti publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUPA ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.24 Pasal 1 (26) PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyatakan bahwa menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas penggunaan barang kementerian negara/ lembaga yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pada umumnya disampaikan dalam bentuk laporan. Laporan merupakan bagian dari kegiatan penatausahaan yang dihasilkan dari proses inventarisasi dan pembukuan. Ketentuan mengenai pelaporan penggunaan BMN/D diatur dalam Pasal 71 PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Laporan dibuat oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang dan pengelola barang. Laporan dibuat baik di tingkat pemerintah daerah maupun di tingkat pemerintah pusat dan dibuat B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta: PT Toko Gunung Manajemen Materiil
65
Agung, Tbk, 2005, hal.79). 33 secara berkala berupa laporan semesteran dan laporan tahunan. Kuasa pengguna, pengguna dan pengelola BMN/D adalah pejabat yang bertanggungjawab menyusun dan menyampaikan baik Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) maupun Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) terhadap barang yang berada dalam penguasaannya. Kuasa pengguna barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang. Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN/D, sedangkan pengelola adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN/D. Pada tingkat pemerintah pusat, menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara, sedangkan pada tingkat pemerintah daerah, kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang milik daerah. Kuasa pengguna barang menyampaikan laporan yang dibuatnya kepada pengguna barang, sedangkan pengguna barang menyampaikan laporan yang disusunnya kepada pengelola barang. Di samping harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan, maka pengelola barang juga harus menghimpun LBPS dan LBPT yang dilaporkan oleh pengguna BMN/D dan juga laporan yang disusun olehnya, yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah. Jangka waktu pelaporan, menurut ketentuan Pasal 69 (3), jangka waktu pelaporan hasil inventarisasi BMN/D adalah tiga bulan setelah selesai inventarisasi. Inventarisasi BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dikaitkan dengan Regulasi Pengelolaan Aset Negara (Tanah). Obyek tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 adalah meliputi tanah yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia, baik itu merupakan tanah negara maupun tanah yang telah dilekati Hak-hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh badan hukum maupun perorangan. UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak menyebutkan secara spesifik tentang tanah, melainkan menyebut tentang kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain yang dapat berupa uang, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan pada penyebutan barang yang dapat diukur dalam satuan uang dan dalam beberapa pasalnya menyebutkan tentang tanah. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah dengan jelas menyebutkan di berbagai pasalnya dan membedakan antara 66
Manajemen Materiil
BMN/D berupa tanah dan berupa bukan tanah. Definisi mengenai BMN/D yang dikemukakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D atau dari perolehan yang sah. Dari kata dibeli dan diperoleh kiranya dapat dikatakan bahwa obyek tanah yang diatur oleh UU ini hanya tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bukan meliputi tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960. Sehubungan dengan kegiatan pengelolaan, maka tindakan pelarangan dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 dapat dikategorikan sebagai tindakan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengeloaan barang milik negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, mengingat Perpu tersebut menghendaki adanya suatu tindakan atas pendudukan illegal, yaitu tindakan pelarangan, pengosongan dan bahkan pemberian sanksi pidana. Perpu ini menghendaki adanya pemakaian aset negara berupa tanah yang teratur, badan hukum atau perorangan dapat menggunakan tanah hanya jika mereka berhak, yang tentunya diikuti oleh bukti-bukti yang mendukung hak-hak pendudukan, penggunaan maupun pemanfaatan atas tanah. Mengenai pejabat yang berwenang dalam pengelolaan tanah, maka Perpu inipun sejalan dengan apa yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, maka Perpu menghendaki keterlibatan pemerintah pusat (Menteri Agraria) maupun pemerintah daerah (dalam hal ini Bupati/Walikota/Kepala Daerah, untuk Daerah Tingkat I, Gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah, Penguasa Darurat Militer Daerah dan Penguasa Perang Daerah untuk daerahdaerah yang dalam keadaan dengan tingkatan darurat sipil, darurat militer dan keadaan perang untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pendudukan illegal atas tanah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 berikut: Pasal 3 (1): Penguasa Daerah dapat mengambil tindakantindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masingmasing pada suatu waktu. Pasal 5 (2): Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian, dapat pula mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954. Dilihat dari hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka intisari pengaturan pelaksanaan pengelolaan aset negara (tanah) dalam Perpu Nomor 51 Tahun Manajemen Materiil
67
1960 sangat tidak memadai dan belum mengikuti perkembangan jaman. Pengaturan pengelolaan aset negara (tanah) lebih memadai diatur dalam: Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang adannya Pertanahan Nasional serta peraturan lain yang mengikutinya, UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2006. Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan dengan masalah aset negara. Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tentang aset negara ini, diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut di atas menyatakan bahwa: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hasil Perubahan Keempat UUD 1945. 37 Lebih lanjut dalam penjelasannya telah menyebutkan bahwa pengertian dan ruang lingkup keuangan negara melalui pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan26 2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 1 angka 1 UU tentang Perbendaharaan Negara ini menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Dengan definisi tersebut jelas bahwa UU tentang perbendaharaan negara telah memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara /aset negara yang ditandai dengan dikeluarkannya PP Nomor 6 Tahun 2006 yang merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih 26Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh 68
Manajemen Materiil
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahaan Negara, tertib, akuntabel, dan transparan ke depannya.
Pengelolaan Aset Negara yang Profesional dan Modern
Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat /stakeholder. Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektivitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara). Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Permasalahan tersebut antara lain, terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundangundangan di bidang BMN, antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 6 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodifikasi Barang Milik Negara. Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang Manajemen Materiil
69
kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur kabinet yang memunculkan penghapusan suatu kementerian di satu sisi dan pendirian kementerian pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi
EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ASET NEGARA Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset Negara
Analisis dam evaluasi kebijakan pengelolaan aser negara meliputi benda tidak bergerak dan benda bergerak. Sebelum tahun 2006, pengelolaan BMN belum dilaksanakan dengan baik, negara kita belum memiliki sistem pengelolaan BMN yang reliable, yang bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, transparan, dan akuntabel. Pemanfaatan BMN dari penatausahaan yang kurang baik itu berujung pada pemanfaatan BMN yang masih belum akuntabel dan belum transparan. Hal ini terlihat dari temuan BPK yang terkait penatausahaan dan pemanfaatan aset negara cukup banyak. Dalam LKPP 2004 dan neraca 2004, untuk neraca aset belum disajikan dengan nilai wajar, dilihat bahwa belum tertib secara fisik, belum tertib secara administrasi, belum tertib secara hukum. Perubahan paradigma pengelolaan aset negara terjadi setelah terbitnya undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu dari UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Guna mendukung pengelolaan BMN yang lebih baik telah diterbitkan PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagai peraturan pelaksanaan UU dimaksud yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan selain menjadi Bendahara Umum Negara juga menjadi Pengelola BMN. Dengan perubahan paradigma dimaksud, kebijakan pemerintah bahwa Menteri Keuangan adalah Pengelola barang dan Menteri/ Pimpinan Lembaga adalah Pengguna barang. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN/D. Dengan demikian pelaksana pengelolaan adalah Pengelola barang dan Pengguna barang. Kebijakan mengenai aset negara khususnya BMN yang dituangkan dalam UU di bidang keuangan negara dan PP mengenai pengelolaan BMN dilaksanakan dengan berbagai Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sehingga peraturan terkait pengelolaan aset negara khususnya BMN yaitu: 70
Manajemen Materiil
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan KodIfikasi Barang Milik Negara 7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Pemerintah Pusat 9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2009 tentang Tatacara Rekonsiliasi BMN dalam rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 10. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/ Lembaga 11. Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 07/KN/2009 tentang Tatacara Rekonsiliasi Data Barang Milik Negara dalam rangka Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat; Pasal 1 angka 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi : a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara berupa BMN jenisnya sangat banyak, di antaranya barang dari hasil pembelian APBN, barang eks Kontrak Kerjasama Hasil di bidang migas, barang eks Badan Penyehatan Perbankan, barang rampasan berdasarkan putusan pengadilan, dan lainnya. Sistem pengelolaan barang milik negara Pengelolaan BMN sebagaimana Manajemen Materiil
71
diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 dimaksud meliputi kegiatan : a. Perencanaan kebutuhan b. Penganggaran c. Pengadaan d. Penggunaan e. Pemanfaatan f. Pengamanan dan pemeliharaan g. Penilaian h. Penghapusan i. Pemindahtanganan j. Penatausahaan k. Pengawasan dan pengendalian Lingkup pengelolaan BMN tersebut merupakan siklus logistik yang sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat 6 UU Nomor 1 Tahun 2004, yang antara lain didasarkan pada pertimbangan siklus perbendaharaan. Pokok-pokok pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Penggunaan-penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN/D yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang milik negara oleh pengelola barang; b. barang milik daerah oleh Gubernur/Bupati/Walikota 2. Pengamanan dan pemeliharaan Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan BMN/D yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan BMN/D pada ayat (1) meliputi: pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum. BMN/D berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. BMN/D berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. BMN selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang. Bukti kepemilikan BMN/D wajib disimpan dengan tertib dan aman. Penyimpanan bukti kepemilikan BMN berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang. Penyimpanan bukti kepemilikan BMN selain tanah dan /atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang. Penyimpanan bukti kepemilikan BMD dilakukan oleh pengelola barang. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan BMN/D yang ada di bawah penguasaannya. Biaya pemeliharaan BMN/D dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Kuasa peng72
Manajemen Materiil
guna barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan /menyampaikan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala. 3. Penilaian-penilaian BMN/D dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN/D. Penetapan nilai BMN/D dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penilaian BMN berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang. Penilaian BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP. Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh: Pengelola barang untuk BMN, Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah (BMD).Penilaian barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang. Penilaian BMD selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan pengelola barang.Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh: Pengguna barang untuk barang milik Negara, Pengelola barang untuk barang milik daerah. Pengelolaan atas barang milik negara (BMN) yang baik menjadi keharusan dalam rangka keakuratan dan keandalan penyajian data BMN dalam Neraca Pemerintah Pusat pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). 4. Pemanfaatan yang berarti pendayagunaan BMN/D yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Bentuk-bentuk pemanfaatan BMN/D berupa: sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. Mengenai rumah dinas, dengan inventarisasi dan penilaian dilakukan pemetaan terhadap pemanfaatan rumah dinas, secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pemanfaatan rumah dinas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pemanfaatan rumah dinas yang tidak mengikuti aturan/ ketentuan yang berlaku. Pada kondisi kedua banyak ditemukan pemanfaatan Manajemen Materiil
73
rumah dinas oleh pihak yang tidak berhak. 5. Penghapusan-penghapusan adalah tindakan menghapus BMN/D dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggungjawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Penghapusan BMN/D meliputi: penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna, penghapusan dari daftar BMN/D. Penghapusan BMN/D, dilakukan dalam hal BMN/D dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang; Penghapusan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk BMN, pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usul pengelola barang untuk BMD. Penghapusan BMN/D dari daftar BMN/D dilakukan dalam hal BMN/D dimaksud sudah beralih pemilikannya, terjadi pemusnahan atau sebab lain. Penghapusan dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: pengelola barang untuk BMN, pengelola barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati / Walikota untuk barang milik daerah. Penghapusan BMN/D dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila BMN/D dimaksud: tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Pemusnahan dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk BMN atau pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah. 6. Pemindahtanganan-pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN/D sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan BMN/D meliputi: penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. 7. Penatausahaan Mengacu pada Pasal 1 butir 20 PP Nomor 6 Tahun 2006, penatausahaan BMN adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BMN yang telah diperoleh tersebut harus dicatat dan dilaporkan sesuai dengan asas-asas pengelolaan BMN, yaitu fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Penatausahaan BMN bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan mendukung tertib pengelolaan BMN yang meliputi penatausahaan pada Pengguna/Kuasa Pengguna barang dan Pengelola barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN. Output utama pena74
Manajemen Materiil
tausahaan adalah terbitnya Laporan Barang Milik Negara (LBMN) sebagai media pertanggungjawaban pengelolaan BMN yang dilakukan oleh pengguna/ pengelola barang dalam suatu periode tertentu, yang dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengambilan keputusan masa depan (prediction value) terkait BMN. LBMN juga merupakan bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Oleh karena itu, kebijakan akuntansi BMN mengacu pada PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yang merupakan prinsipprinsip dasar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi keuangan pemerintah yang berlaku umum. Kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan aset negara yang meliputi benda tak bergerak dan benda bergerak telah tertuang dalam UU di bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktik Penatausahaan
Analisis dan evaluasi kebijakan praktik penatausahaan, penilaian, penggunaan, pemeliharaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan aset negara, benda Tak bergerak, dan benda bergerak. Mengingat besarnya kewenangan dan tanggungjawab Menteri Keuangan dalam melakukan pengelolaan BMN dimaksud, maka di Kementerian Keuangan telah dibentuk satu unit eselon I yang khusus menangani pengelolaan kekayaan/aset negara termasuk BMN yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian RI. Kegiatan Penertiban BMN menuntaskan inventarisasi dan penilaian BMN di seluruh Kementerian Negara dan Lembaga (K/L) adalah kegiatan yang menjadi prioritas bagi DJKN pada awal-awal berdirinya direktorat jenderal ini. Pemerintah juga berdasarkan Keppres 17 Tahun 2007 membentuk Tim Penertiban BMN untuk melakukan inventarisasi dan penilaian atas aset negara berupa BMN pada Kementerian dan Lembaga, yang diperpanjang oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres 13 Tahun 2009, di mana batas waktu Penertiban BMN diperpanjang yang semula berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2008 dan berakhir sampai dengan 31 Desember 2008, menjadi berakhir sampai dengan 31 Maret 2010. Tim diketuai oleh Menteri Keuangan dan sebagai wakilnya adalah Menteri Sekretaris Negara, anggotanya terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertahanan, Sekretaris Kabinet, Kepala Manajemen Materiil
75
BPKP dan Kapolri, sedangkan Sekretaris dijabat oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Tim Penertiban BMN mempunyai tugas merumuskan kebijakan dan strategi percepatan inventarisasi; mengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN di K/L; melakukan monitoring terhadap pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN yang dilakukan oleh K/L; dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam rangka pengamanan BMN yang berada penguasaan K/L. Dalam menjalankan tugasnya, tim dibantu oleh satuan tugas (satgas) yang keanggotaannya, susunan organisasi, tugas dan alat kerjanya ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Ketua Tim. Tugas satgas adalah 51 melakukan identifikasi permasalahan, inventarisasi dan evaluasi BMN, penyesuaian laporan K/L, sertifikasi dan pembangunan database BMN. Pelaksanan tugas Tim dilakukan oleh DJKN. Saat ini DJKN, sedang meletakkan pondasi sebagai aset manager pemerintah, dengan membangun perhatian dan kesadaran (awareness) dari setiap K/L agar dapat melaksanakan optimalisasi aset atau lebih dikenal dengan The Highest and Best Use of Asset. Setelah optimalisasi BMN ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka penganggaran aset yang efisien dan efektif dapat diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penertiban BMN yang dilakukan DJKN sesuai amanat PP 6 Tahun 2006 dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: Tertib administrasi. Setelah Inventarisasi dan Penilaian, setiap K/L harus menindaklanjuti hasil Inventarisasi dan Penilaian dengan rekonsiliasi secara berjenjang sesuai PMK nomor 102/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Rekonsiliasi BMN Dalam Rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, yakni : rekonsiliasi internal K/L antara unit akuntansi Barang/SIMAK BMN dan unit akuntansi keuangan/SAK, rekonsiliasi antara K/L dan DJKN selaku Pengelola barang, dan rekonsiliasi pada Bendahara Umum Negara (BUN) antara DJKN dengan Ditjen Perbendaharaan. 1. Tertib hukum. Terkait dengan tertib hukum, DJKN sudah menerbitkan aturan terkait dengan sertifikasi BMN. DJKN telah mengadakan sosialisasi terkait dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor 186/ PMK.06/2009 dan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pensertifikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah. Dengan diadakannya sosialisasi ini, diharapkan seluruh K/L mempunyai kesamaan persepsi tentang makna dan urgensi pensertifikatan BMN berupa tanah dalam rangka pengamanan aset sehingga dapat terwujud tertib hukum dalam pengelolaan BMN. 2. Tertib fisik Setelah dua tertib tersebut dapat dilaksanakan maka dilaksanakan tertib terakhir yaitu tertib fisik. Penertiban BMN didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan data BMN meliputi jenis, jumlah, nilai, berikut per76
Manajemen Materiil
masalahan dalam penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pengamanan, dan pemeliharaaan BMN serta tindak lanjut dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang tertib dan akuntabel, baik secara administratif, teknis maupun hukum. Jadi tujuan utama penertiban BMN adalah menginventarisasi dan mengamankan seluruh BMN pada K/L yang belum terinventarisasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan, menyajikan nilai koreksi BMN pada laporan keuangan K/L per 31 Desember 2007 dan melakukan sertifikasi BMN atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Adapun obyek inventarisasi dan penilaian adalah seluruh BMN yang diperoleh sampai dengan 31 Desember 2007, meliputi: BMN yang belum dicatat atau disertifikasi atau digunakan/dimanfaatkan, BMN yang bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, BMN yang berasal dari kekayaan negara lain-lain (KNL), Barang Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundangan ditetapkan sebagai BMN. Output yang diharapkan dari penertiban BMN ditinjau dari aspek administratif, yuridis dan teknis sebagai berikut: aspek administratif, database BMN yang lengkap dan handal, dan nilai aset yang wajar dan akuntabel, aspek yuridis, kejelasan status hukum BMN dan hasil inventarisasi dan penilaian BMN menjadi dasar pensertifikatan BMN yang belum bersertifikat, aspek teknis, perencanaan aset secara terintegrasi dengan mengutamakan pengadaan melalui optimalisasi aset idle, penggunaan BMN oleh K/L sesuai kebutuhan, penerimaan negara dari pemanfaatan aset dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat (digunakan untuk kepentingan umum). Dengan output ini diharapkan dapat mencapai tujuan akhir penertiban BMN yang terangkum dalam 3T, yaitu tertib administrasi, tertib hukum dan tertib fisik. Penertiban BMN yang dilakukan oleh DJKN, ditemukan kendala antara lain : a. Jumlah satuan kerja (satker) instansi vertikal yang banyak serta SKPD yang berubah-ubah b. Jumlah satker yang menjadi target penertiban BMN lebih dari 20 ribu satker yang di dalamnya juga memuat SKPD yang menguasai BMN yang berasal dari dana DK/TP c. Lokasi satker yang tersebar di pulau-pulau d. Lokasi satker tersebar di wilayah/pulau yang sulit untuk dilalui, sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pelaksanaan penertiban BMN e. Tidak semua satker membuat SABMN. Penertiban BMN, seyogyanya dapat dilakukan lebih cepat dan tepat apabila lebih dari 20 ribu satker yang menjadi Manajemen Materiil
77
target penertiban BMN mengaplikasikan Sistem Informasi Manajemen Akuntansi BMN 54 (SIMAK-BMN (dh. SABMN)). Walaupun pemerintah sudah membuat LKPP sejak tahun 2004, akan tetapi masih ditemukan sebagian besar satker tidak melaksanakan penatausahaan menggunakan SIMAK-BMN. 1. BMN properti khusus Pada beberapa kasus, khususnya BMN milik Kementerian Pekerjaan Umum yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti bendungan, jalan dan jembatan sulit untuk diberikan nilai wajarnya. Pendekatan yang paling tepat untuk memberikan nilai wajar pada BMN properti khusus ini adalah pendekatan biaya (Cost Approach), karena tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan data pasar (Market Data Approach). 2. BMN dari dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan (DK/TP) BMN yang berasal dana DK/TP pada umumnya belum ditatausahakan sesuai dengan ketentuan. Terdapat SKPD yang menerima dana DK/TP lebih dari satu eselon pada satu K/L. Terdapat SKPD yang sifatnya on/off, dengan kata lain boleh jadi tahun lalu menerima dana DK/TP akan tetapi tahun berikutnya tidak lagi menerima atau sebaliknya. 3. BMN milik Departemen Pertahanan Departemen Pertahanan memiliki struktur Pengelola Anggaran/Barang yang berbeda dengan K/L yang lain. Apabila di K/L lain terdapat satker/Kuasa Pengguna barang (KPB), maka di Kementerian Pertahanan kantor-kantor instansi vertikal/markas komando bukan sebagai KPB, melainkan seperti subsatker yang memiliki aplikasi penatausahaan BMN sendiri yang berbeda dari yang berlaku pada K/L lain. Dari 74 K/L tersebut, 71 K/L telah selesai dilakukan Inventarisasi dan Penilaian pada seluruh satkernya. Sedangkan terdapat 3 K/L yang progresnya belum mencapai 100% karena terdapat beberapa kendala terkait penyelesaian inventarisasi dan penilaian antara lain karena : 1. Terdapat satker yang dalam pelaksanaan inventarisasi dan penilaian satker dimaksud terdapat kekuranglengkapan data pendukung yang dibutuhkan oleh Tim Penertiban 2. Pelaksanaan inventarisasi dan penilaian pada satker yang ternyata dilaksanakan oleh pihak ketiga (outsourcing) sehingga memerlukan beberapa penyesuaian untuk dapat memenuhi standard dan ketentuan yang dipersyaratkan oleh Kementerian Keuangan 3. Terdapat 1.140 satker/subsatker dari 1.565 satker/subsatker yang telah 78
Manajemen Materiil
dilaksanakan inventarisasi dan penilaian, akan tetapi karena dilakukan perubahan sistem pengkodean barang pada Sistem Informasi Manajemen Keuangan (SIMAK) Pengguna barang yang bersangkutan, mengakibatkan diperlukannya waktu dan upaya tambahan bagi Tim Penertiban Inventarisasi dan Penilaian untuk menyesuaikan dengan sistem yang ada pada SIMAK-BMN. Selanjutnya hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut dijadikan sebagai dasar koreksi atas nilai BMN yang telah disajikan pada Neraca Awal Pemerintah per 31 Desember 2004. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan penilaian atas BMN yang dilakukan oleh Tim Penertiban bersama-sama dengan K/L menunjukkan bahwa dari total 22.619 satker yang menjadi target inventarisasi dan penilaian, sebanyak 22.506 satker telah dilakukan inventarisasi dan penilaian atau 98,4% dengan total nilai koreksi sebesar Rp409.274.152.965.644 sampai dengan tanggal 31 Maret 2010, yang sebelumnya Rp 363.735.295.478.025 menjadi Rp 773.009.448.443.669 (Laporan Intern Penertiban BMN 6 Mei 2010). Penertiban BMN ini akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 1 Juni 2009, BPK mengumumkan opini terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2009, yaitu Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Suatu opini di bawah opini terbaik Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dari sisi aset tetap, penertiban BMN ini memberi andil dalam perbaikan opini BPK. Sebagaimana dikutip dari Siaran Pers BPK tanggal 1 Juni 2009, ”Dalam tahun 2009 pemerintah telah melakukan perbaikan, berupa inventarisasi dan penilaian atas aset tetap yang diperoleh sebelum tahun 2005 yang telah mencapai 98%.” Dengan peningkatan opini ini, berarti LKPP lebih bisa dipertanggungjawabkan (lebih akuntabel). Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2004, LKPP Tahun 2005, dan LKPP Tahun 2006, terdapat beberapa temuan yang terkait dengan Barang Milik Negara (BMN), antara lain: 1. BMN yang disajikan pada neraca belum dapat diyakini kewajarannya 2. Aset Tetap K/L belum disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan 3. Prosedur pencatatan dan pelaporan BMN tidak dilakukan sesuai dengan sistem akuntansi yang telah ditetapkan 4. Sistem pengendalian intern pengelolaan atas BMN masih lemah. Penertiban BMN menghasilkan input bagi pembuatan database Kekayaan Negara. Untuk keperluan APBN, sesuai amanat PP 6 Tahun 2006, maka Pengelola barang berkepentingan untuk mengintegrasikan perencanaan kebutuhan aset dan penganggarannya (Integrated Asset Planning and Budgeting). Dengan kata lain fungsi perencanaan, penganggaran, pengelolaan, dan pertanggungjawaban aset adalah sebuah siklus yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan Manajemen Materiil
79
BMN. Untuk itu DJKN selaku Pengelola barang perlu membuat standar kebutuhan barang yang diperlukan oleh K/L dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam membuat Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL) ke depan, tidak hanya memperhitungkan berapa anggaran yang dibutuhkan oleh K/L, akan tetapi juga memperhitungkan berapa BMN yang dibutuhkan oleh K/L. Dengan terintegrasinya perencanaan aset dan anggaran, diharapkan optimalisasi, efisiensi dan efektivitas pembiayaan APBN dapat segera terwujud. Dari penertiban BMN dan praktek pengelolaan BMN yang dilaksanakan DJKN, ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai berikut: Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan BMN No Pengelolaan Masalah/Kendala 1 Penggunaan Adanya perbedaan penafsiran maupun kendala di lapangan dalam melakukan penetapan status penggunaan mengingat sebagaimana PMK Nomor 96/ PMK.06/2007 Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Penggunaan BMN untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi dilakukan berdasarkan penetapan status penggunaan oleh Pengelola barang”. Hal yang menjadi permasalahan atau pertanyaan adalah: 1. Apakah ketentuan penetapan status penggunaan tersebut berlaku bagi seluruh BMN, baik yang diperoleh sebelum adanya PMK tersebut maupun setelahnya dan bagaimana status hukum terhadap BMN yang belum ditetapkan status penggunaannya 2. Apabila harus ditetapkan status penggunaan terhadap seluruh BMN, apakah hal tersebut tidak memperpanjang birokrasi mengingat pada dasarnya setiap tahun DJKN membuat LBMN yang telah diaudit serta menjadi bagian dari LKPP 3. Terhadap BMN berupa tanah sebagaimana lampiran I PMK tersebut, dalam hal penetapan status penggunaannya dipersyaratkan telah bersertifikat an. Pemerintah RI, hal tersebut menjadi kendala tersendiri mengingat untuk saat ini hampir seluruh BMN berupa tanah belum memenuhi persyaratan tersebut. Pemeliharaan Dari hasil penertiban BMN diketahui beberapa hal berikut terkait pemeliharaan BMN: 1. Adanya indikasi biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan BMN tidak tepat sasaran mengingat terdapat BMN dengan kondisi rusak berat juga diajukan untuk memperoleh biaya pemeliharaan. Sedangkan di sisi lain KPPN tidak melakukan pengecekan kondisi fisik terhadap BMN yang diajukan untuk memperoleh biaya pemeliharaan 80
Manajemen Materiil
2. Perlunya kajian lebih lanjut terkait besaran biaya pemeliharaan BMN yang lebih sesuai, mengingat banyak keluhan biaya yang ada tidak mencukupi khususnya untuk biaya pemeliharaan kendaraan bermotor dan gedung/bangunan Pemanfaatan Pemanfaatan BMN terdiri dari sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan BGS/BSG Permasalahan terkait sewa: Terkait penentuan nilai sewa sebagaimana diatur dalam Lampiran II A PMK-96/PMK.06/2007 terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Seringkali nilai sewa yang dihasilkan dari penghitungan menggunakan rumus sewa tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan (kadang terlalu tinggi atau terlalu rendah), sebagai contoh penghitungan sewa tanah/bangunan untuk mesin ATM atau papan reklame/baliho bila menggunakan ketentuan tersebut maka dihitung hanya berdasarkan luas tanah dan/atau bangunan yang disewa (misal: 2x2 meter) sehingga menghasilkan nilai yang terlalu kecil dibanding nilai pasar. Belum ada pengaturan terhadap sewa BMN yang terjadi secara insidentil/ tidak sepanjang tahun, misal sewa terhadap gedung serba guna untuk kegiatan dengan waktu terbatas. Permasalahan terkait kerjasama pemanfaatan (KSP): Diusulkan untuk kajian lebih lanjut terkait tatacara KSP sebagaimana lampiran IV PMK dimaksud sehingga tidak terjadi multitafsir serta menjadi kendala dalam pelaksanaannya, sebagai contoh aturan mengenai pembagian keuntungan yang 59 wajib dibayar setiap tanggal 31 Maret tahun berikutnya, belum diatur mengenai apabila pihak ketiga belum memperoleh keuntungan; Belum adanya petunjuk yang jelas terkait penetapan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007 maupun dalam aturan penilaian BMN. Penghapusan. Terdapat perbedaan penafsiran terkait alur pelaksanaan penghapusan yang disebabkan adanya perbedaan pengaturan antara PP Nomor 6 Tahun 2006 dengan PMK Nomor 96/PMK.06/2007. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 PP Nomor 6 Tahun 2006 yang dapat diartikan bahwa pemindahtanganan merupakan tindak lanjut atas penghapusan BMN, sedangkan pada Pasal 9 ayat (4) PMK Nomor 96/PMK.06/2007 menyebutkan bahwa penghapusan BMN dilakukan dalam hal beralih kepemilikannya, dimusnahkan atau sebabsebab lainnya. Pemindahtanganan. Pemindahtanganan meliputi penjualan, tukarmenukar, hibah. Permasalahan penjualan: Terkait Pasal 13 ayat (1) pada PMK Nomor 96/ PMK.06/2007 yang menyebutkan bahwa penilaian terhadap BMN selain tanah dan bangunan oleh tim dilakukan untuk mendapatkan nilai tertinggi diantara Manajemen Materiil
81
nilai pasar, nilai buku dikurangi penyusutan dan nilai yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, karena sebagaimana diketahui bahwa kegiatan penilaian suatu barang adalah untuk memperoleh nilai wajar atas barang tersebut. Permasalahan terjadi apabila nilai yang dihasilkan dari kegiatan penilaian lebih rendah dari salah satu atau kedua nilai lainnya. Permasalahan tukar- menukar: Dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007 pelaksanaan tukar-menukar dilaksanakan dengan melalui tender dengan minimal lima peserta, dalam prakteknya hal ini banyak mengalami kendala terkait jumlah peserta tersebut. Untuk itu sebaiknya perlu 60 dilakukan pengkajian terkait kemungkinan pemilihan mitra tukar menukar tidak harus melalui tender. Permasalahan Penggunaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 6 Tahun 2006 menyebutkan bahwa penilaian BMN/D dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP. Hal ini menjadi kontradiktif mengingat di satu sisi penilaian dilakukan untuk memperoleh nilai wajar atas suatu BMN, namun di sisi lain “dibatasi” dengan adanya NJOP tersebut. Dalam praktek pengelolaan BMN hal tersebut menjadi kendala terutama dalam hal apabila terjadi hasil penilaian lebih kecil dibanding NJOP. Sumber: Direktorat BMN II DJKN Kementerian Keuangan Khusus praktek pengelolaan BMN berupa tanah yang dilaksanakan DJKN, ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai berikut: Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan BMN Berupa Tanah/Bangunan No Pengelolaan Masalah/Kendala 1 Penggunaan Hampir tidak ada K/L yang mengusulkan penetapan status penggunaan tanah. Penyebabnya antara lain: 1. Kekurang pedulian K/L terhadap hal ini karena tidak ada sanksi yang memadai bagi K/L yang tidak mematuhi. 2. Terkendala oleh proses sertifikasi tanah. Dalam Undang-undang Nomor 1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6 Tahun 2006 diatur bahwa BMN berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Pada kenyataannya hal ini tidak dapat dilaksanakan karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak bersedia menerbitkan sertifikat atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala BPN Nomor 186/PMK.06/2009 disebutkan Sertifikat Tanah akan diterbitkan “atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq Kementerian/ Lembaga…” Tahun 2010 belum dialokasikan dana untuk sertifikasi. Pemeliharaan. Biaya pemeliharaan BMN boros, karena: Dalam kegiatan IP diketahui terdapat cukup banyak BMN berupa tanah yang tidak dimanfaatkan (idle). BMN idle tetap harus dijaga dan dipelihara. Dengan demikian, biaya pe82
Manajemen Materiil
meliharaan secara keseluruhan menjadi lebih besar dibanding jika BMN tersebut dimanfaatkan. Banyak orang mengeluhkan mutu sarana prasarana umum seperti jalan, jembatan, dan sebagainya. Persoalan ini dapat diduga disebabkan oleh: 1. Biaya pemeliharaan kurang 2. Biaya cukup tapi pemeliharaan tidak benar 3. Pemanfaatan 4. Tatacara tender untuk pemilihan mitra, KSP, BGS/BSG 5. Tatacara perhitungan kompensasi pada KSP, BGS/BSG 6. Pengaturan tarif sewa tunggal. Tarif demikian tidak kondusif untuk menunjang penyelenggaraan tugas fungsi K/L karena mitra sewa tidak selalu profit oriented 7. Adanya peraturan yang hanya berlaku bagi Kementerian tertentu. Contoh PMK Nomor 23/PMK.06/2010. d. Di dalam PMK 96/2007 diatur bahwa kewenangan penghitungan nilai aset yang merupakan sebagian tanah/bangunan dan selain tanah/bangunan yang disewakan dan nilai sewa dilakukan oleh Tim K/L belum mempunyai Tenaga Penilai bersertifikat. Seringkali nilai yang diajukan oelh pengguna dalam usul pemanfaatan terlalu rendah. Penghapusan Tidak diatur pembongkaran mendahului ijin. Sementara itu, hal ini sering segera dilakukan. Contoh: karena bencana alam atau peristiwa kecelakaan, bangunan menjadi rusak berat dan membahayakan keselamatan. Seharusnya bangunan yang demikian dapat langsung dibongkar setelah diperiksa dan dikeluarkan surat keterangan dari instansi kompeten (Dinas Pekerjaan Umum).
Pemindahtanganan
a. Peraturan tidak secara rinci mengatur tatacara pemilihan mitra b. Keharusan tender untuk tukar menukar. Sementara tidak semuanya dapat dilakukan dengan tender. Contoh, tukar-menukar tanah berbatasan, tukarmenukar untuk mendapat akses jalan, tukarmenukar karena sungai pindah/dipindahkan c. Tidak ada tata cara tukar-menukar untuk menyatukan BMN
Penatausahaan
a. Terdapat cukup banyak BMN yang sesuai peraturan perundangan harus memiliki dokumen kepemilikan tidak didukung dokumen kepemilikan b. Dokumen terkait BMN tidak lengkap c. Tidak ada ruang penyimpanan dokumen d. Belum ada peraturan tentang Tatacara Pengelolaan Dokumen BMN. Sumber Direktorat BMN I DJKN Kementerian Keuangan Kendala-kendala yang ditemukan dalam praktek pengelolaan aset negara/BMN dimaksud akan diatasi Manajemen Materiil
83
dengan suatu rencana strategis dan pembuatan peraturan-peraturan terkait untuk meluruskan semua kegiatan pengelolaan sesuai dengan jiwa PP Nomor 6 Tahun 2006.
Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara
Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara Pada tahun anggaran 2008 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia kembali tidak menyatakan pendapat (disclaimer) 27atas 27 Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria, a. Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan b. Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures) c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan d. Efektivitas sistem pengendalian intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni : 1. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) 2. Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) 3. Opini tidak wajar (adversed opinion) 4. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) Penjelasan atas setiap jenis opini adalah sebagai berikut: 1. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Ini adalah opini yang dinyatakan dalam bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan. 2. Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini wajar dengan pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan ”yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa” dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. 3. Opini tidak wajar (adversed opinion), opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh 84
Manajemen Materiil
para pengguna laporan keuangan. 4. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion), pernyataan menolak memberikan opini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain, pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Dengan demikian, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008. Ini berarti, selama lima tahun berturut-turut, 2004 - 2008, BPK telah memberikan disclaimer of opinion atas LKPP. Opini atas LKPP yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa perbaikan sistem keuangan negara belum terjadi secara menyeluruh pada semua Departemen/Lembaga Negara. Salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya kesungguhan dan upaya yang mendasar, petunjuk maupun program terpadu dari pemerintah. Terdapat sembilan kelompok permasalahan yang ditemukan BPK, berkaitan dengan pemberian opini disclaimer pada LKPP 2008, yaitu: 1. Belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU PNBP ataupun ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku. 2. Masih adanya berbagai jenis pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dan dikelola di luar mekanisme APBN. Terdapat pungutan sekitar Rp731 miliar oleh 11 kementerian/lembaga negara yang tidak ada dasar hukumnya. 3. Belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang diselenggarakan departemen/lembaga sehingga masih ada selisih antara keduanya. Dilaporkan adanya penerimaan perpajakan Rp3,43 triliun yang belum dapat direkonsiliasikan. informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Dengan pertimbangan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur serta harapan akuntabilitas dan transparansi publik, SPKN mengakui bahwa tingkatan kualitas kewajaran penyajian Laporan Keuangan adalah. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini tidak wajar (adversed opinion), pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). 4. Rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu Treasury Single Account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan Panas Bumi atas Kontraktor Kontrak Kerja Sama Rp5,33 triliun. Manajemen Materiil
85
5. Inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan sangat lambat dan penilaiannya belum seragam 6. Belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi pemerintah. 7. Belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi. 8. Belum ada program mendasar untuk memberdayakan Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Intern dan Bawasda dalam peningkatan mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi 9. Peranan BPKP tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi pemerintah maupun dalam pemberdayaan pengawas internal pemerintah. Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara yang ditandai dengan keluarkannya PP Nomor. 6 Tahun 2006 yang merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat/stake-holder. Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara). Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan BMN. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundangundangan di bidang BMN, antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, PMK Nomor 20/ 86
Manajemen Materiil
PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur kabinet yang memunculkan penghapusan suatu kementerian di satu sisi dan pendirian kementerian pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi BMN. Pengendalian intern atas pengelolaan aset Negara. Walaupun sudah banyak kebijakan tentang sistem dan prosedur yang diterbitkan untuk mencegah penyalahgunaan asset negara, namun tampaknya hal itu masih belum cukup. Aset tetap negara merupakan salah satu sektor yang paling strategis dalam pengelolaan keuangan negara. Pada umumnya nilai aset tetap negara paling besar dibandingkan akun lain pada laporan keuangan. Selain itu, keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran roda penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen aset negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan aset tetap negara harus handal untuk mencegah penyimpangan yang dapat merugikan negara. PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) telah menetapkan definisi yang tegas tentang aset. Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumbersumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.” Berdasarkan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan (paragraf 60), sesuatu harus memiliki nilai agar dapat dikategorikan sebagai aset. Nilai dari suatu aset harus diukur dan dinyatakan dalam satuan moneter (yakni rupiah), sehingga aset tersebut dapat diakui (recognized) dalam laporan keuangan. Di Indonesia, manajemen aset diungkapkan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang menyebutkan: 1. Pengelolaan BMN/D dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian Manajemen Materiil
87
nilai 2. Pengelolaan BMN/D meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Tujuan dan sasaran dari manajemen aset adalah untuk mencapai kecocokan/kesesuaian sebaik mungkin antara keberadaan aset dengan strategi entitas (organisasi) secara efektif dan efisien. Hal ini mencakup seluruh siklus hidup aset sejak perencanaan dan penganggaran hingga pembinaan, pengawasan dan pengendalian serta pengaturan risiko dan biaya yang terkait selama siklus hidup aset. Maraknya kasus korupsi terkait aset tetap negara menunjukkan sistem pengendalian internnya masih lemah. Untuk itu setiap instansi pemerintah harus membangun sistem pengendalian intern (SPI) yang andal, hingga mampu mencegah terjadinya penyimpangan atau hambatan dalam pencapaian tujuan entitas. Seluruh komponen SPI pemerintah berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2008, yaitu lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi serta monitoring atas pengelolaan aset negara harus dibangun secara memadai. Sebagai pondasi bagi seluruh proses pengelolaan aset negara yang baik, setiap instansi pemerintah harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam organisasi (lingkungan pengendalian) yang mendorong perilaku (behavior) positif dan manajemen yang sehat. Utamanya adalah mendorong tersedianya seluruh pengelola aset negara yang memiliki kesadaran (awareness) yang kuat tentang pentingnya penegakan sistem pengendalian intern. Penciptaan ini dilakukan melalui penegakan integritas dan nilai-nilai etika oleh seluruh pegawai, komitmen terhadap kompetensi setiap komponen organisasi, adanya kepemimpinan yang kondusif, tersusunnya struktur organisasi yang mendukung strategi pencapaian tujuan, adanya pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, kebijakan yang sehat dalam pembinaan sumber daya manusia, adanya peran APIP yang efektif dan hubungan kerja yang baik antar instansi. Selain adanya lingkungan pengendalian yang kondusif, setiap instansi pemerintah perlu melakukan penilaian risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan instansi. Dengan memperhatikan siklus hidup dan tujuan manajemen aset negara, risiko yang dapat diidentifikasikan dalam pengelolaan aset negara, antara lain : a. Perencanaan dan penganggaran; Rencana pengadaan barang yang tidak mendukung strategi entitas/instansi dan anggaran pengadaan aset tidak realistis (terlalu besar/kecil). 88
Manajemen Materiil
b. Pengadaan; Pengadaan aset yang terlalu mahal (inefisiensi)/mark up dan spesifikasi aset yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan c. Penggunaan; Aset tidak dapat digunakan, biaya operasional terlalu tinggi d. Pemanfaatan; Pengadaan aset tidak bermanfaat, aset dimanfaatkan oleh yang tidak berhak dan kerjasama pemanfaatan aset negara merugikan negara e. Pengamanan dan pemeliharaan; Aset negara mengalami kerusakan, masa guna aset lebih rendah dari standar yang berlaku f. Penilaian, Aset tidak dapat diukur nilainya, nilai aset overstated atau understated g. Penghapusan; Aset masih bermanfaat tapi sudah dihapuskan h. Pemindahtanganan; Pelepasan aset dengan harga terlalu rendah i. Penatausahaan dan pelaporan; Laporan aset tidak sinkron dengan laporan keuangan j. Pengawasan, pembinaan dan pengendalian; Terjadi kegagalan dalam mitigasi risiko dan kegagalan mencegah penyimpangan. Selanjutnya, risiko-risiko harus dimitigasi dan dicegah. Jika tidak, risikorisiko tersebut dapat membawa konsekuensi yang sangat berat bagi setiap instansi yaitu timbulnya kerugian negara, bahkan tuntutan pidana korupsi terhadap pengelolanya. Mitigasi risiko dilakukan melalui aktivitas pengendalian yang terintegrasi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Sistem Pengendalian Intern (SPI) harus dibangun pada suatu titik yang optimal. SPI yang terlalu longgar akan meningkatkan probabilitas timbulnya risiko penyimpangan atau kegagalan. Sebaliknya, SPI yang terlalu ketat akan membuat proses bisnis menjadi lambat dan mahal. Membangun SPI tetap harus memperhatikan cost and benefit. Oleh karena itu, risiko-risiko yang ada harus dinilai dan diranking. Proses ini pada umumnya menggunakan dua parameter, yaitu semakin besar kemungkinan timbulnya dan semakin besar dampaknya. Semakin tinggi nilai parameter tersebut, maka risiko tersebut semakin tinggi dan harus diprioritaskan untuk dicegah. Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk memastikan berkurangnya risiko yang telah diidentifikasikan. Materi peraturan-peraturan tersebut mencakup proses reviu kinerja atas pengelolaan aset negara, pembinaan sumber daya manusia, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja, pemisahan fungsi, otorisasi atas transaksi dan kejadian penting, pencatatan yang akurat dan tepat waktu, pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya, akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya serta dokumentasi yang baik atas SPI serta transaksi dan kejadian penting. Manajemen Materiil
89
Garis besar kebijakan tentang pengelolaan aset negara diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Untuk tingkat daerah, peraturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Daerah. Ketentuan-ketentuan di atas mengatur secara normatif pengelolaan aset negara dari proses perencanaan kebutuhan hingga pelaporan dan pengawasannya. Aktivitas Pengendalian tersebut disusun agar seluruh proses manajemen aset dapat berjalan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Visi pengelolaan aset negara ke depan adalah menjadi the best state asset management on the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang manajer aset yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik negara secara nasional dengan akurat dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai dari aset negara tersebut. Tantangan untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari semua pihak mengingat problematika di seputar pengelolaan aset negara sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset negara harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata peraturan perundangan yang mengatur aset negara. Penertiban BMN pada kementerian/lembaga negara yang sekarang lagi berjalan harus dijadikan momentum bersama untuk menginventarisir dan menata kembali aset negara yang selama ini masih belum tertangani dengan baik, agar penggunaan dan pemanfaatan aset negara sesuai dengan peruntukannya, serta mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah
Analisis dan evaluasi pengelolaan aset daerah. Salah satu dasar pemikiran diterbitkannya undang-undang otonomi daerah adalah agar masing-masing daerah dapat mengatur dan berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan juga diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta memberdayakan sumber kehidupan yang terdapat di masing-masing daerah untuk kemakmuran masyarakat. Namun demikian, ada pembatasan otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan diantaranya: 90
Manajemen Materiil
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah 2. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan 3. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: (a) politik luar negeri, (b) pertanahan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, dan (f ) agama. Dalam kaitannya dengan tanah, maka tindakan pendaftaran tanah harus tetap melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan kantor perwakilannya di daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadministrasian tanah memerlukan biaya yang tinggi dan membebani pemerintah daerah, mengingat anggaran yang disediakan jauh dari cukup. Walaupun menurut UUPA bahwa pendaftaran tanah adalah merupakan kewajiban negara, akan tetapi ketersediaan keuangan negara tidak mencukupi sehingga tidak dapat melakukan pendaftaran tanah secara sistimatik (pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan). Oleh karena terbatasnya anggaran, maka kegiatan pendaftaran tanah hanya dapat dilakukan secara sporadik (pendafataran tanah untuk pertama kali secara individual), yang berdampak pada banyaknya tanah terlantar. Tanah merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang wajib dikelola dengan baik dan benar guna mendapatkan manfaat yang dapat menaikkan Pendapatan Asli Daerah.
Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
Pengelolaan BMD adalah rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang milik daerah yang ruang lingkupnya meliputi: a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran b. Pengadaan c. Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran d. Penggunaan e. Penatausahaan f. Pemanfaatan g. Pengamanan dan pemeliharaan h. Penilaian i. Penghapusan Manajemen Materiil
91
j. Pemindahtanganan k. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian l. Pembiayaan tuntutan ganti rugi, demikian menurut bunyi Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Selanjutnya, Pasal 2 menyatakan bahwa Pengelolaan BMD sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan BMN. Pasal 3 mengatur mengenai sumber BMN, yang berasal dari : 1. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, 2. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi, barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, atau barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk mengelola aset daerah, maka harus ada pengelola, yang dalam peraturan dimaksud adalah Pejabat Pengelola BMN, yaitu Kepala Daerah sebagai Pemegang kekuasaan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah sebagai Pengelola, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Pembantu Pengelola barang, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)- Kepala Unit Kerja sebagai Pengguna/Kuasa Pengguna, Penyimpan Barang yang bertugas menerima, menyimpan dan menyalurkan BMD dan Pengurus Barang yang bertugas mengurus barang dalam pemakaian. Sesuai dengan karakter dan kondisi wilayahnya, tiap-tiap daerah memiliki sumber daya yang berbeda yang dapat dioptimalkan pendayagunaanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Macam aset daerah tersebut diantaranya adalah: tanah, gedung/bangunan, kendaraan, alat-alat berat, kolam ikan, pasar-pasar tradisional dan sebagainya. Fokus pembahasan pada sesi ini adalah BMD yang berupa tanah. Untuk mengetahui secara pasti keberadaan aset daerah berupa tanah, maka perlu dilakukan pendataan administratif dan fisik secara terus-menerus serta berkesinambungan, yang dalam peraturan dimaksud disebut sebagai kegiatan penatausahaan. Penatausahaan BMD meliputi : 1. Pembukuan, yaitu kegiatan pelaksanaan dan pencatatan BMD dalam Daftar Barang Pengguna (DBP) dan Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP) 2. Inventarisasi, yaitu kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaksanaan pelaporan BMD dalam unit pemakaian 92
Manajemen Materiil
3. Pelaporan, adalah kegiatan sebagai tindak lanjut inventarisasi dan bentuk suatu pertanggungjawaban dalam format yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Pemanfaatan BMD
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMD yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jika BMD digunakan oleh pihak ketiga dengan cara yang benar yang bertujuan menguntungkan daerah, maka kerjasama dengan pihak ketiga dapat ditempuh dalam empat (4) bentuk sebagaimana Pasal 32 dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, guna mendukung kelancaran tugas kedinasan dan memberikan layanan kepada masyarakat. Bentuk pemanfaatan yang pertama adalah sewa yaitu pemanfaatan BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang. Penyewaan tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah, akan tetapi untuk tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Jangka waktu sewa adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang. Tata cara sewa wajib dituangkan dalam surat perjanjian sewa, dengan memuat sekurang-kurangnya, pihak-pihak terkait dalam perjanjian, luas, jangka waktu dan besaran sewa, tanggungjawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan, persyaratan lain yang dianggap perlu. Besaran formula tarif sewa ditentukan oleh gubernur, bupati/walikota, dan hasil dari sewa tersebut disetor ke rekening kas daerah. Sewa tidak mengubah status kepemilikan. Bentuk pemanfaatan yang kedua adalah pinjam pakai, dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu dan tidak menerima imbalan, dan jika jangka waktu telah berakhir, maka wajib diserahkan kembali kepada pengelola barang. Jangka waktu pinjam pakai adalah 2 tahun dan dapat diperpanjang, dituangkan dalam surat perjanjian yang sekurangkurangnya memuat: pihak-pihak terkait dalam perjanjian, jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan dan jangka waktunya, tanggungjawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka watu peminjaman, persyaratan lain yang dianggap perlu dan biaya pemeliharaan yang ditanggung oleh peminjam. Bentuk pemanfaatan yang ketiga adalah kerjasama pemanfaatan, dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna BMD serta meningkatkan penerimaan/pendapatan daerah. Dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang. Kerjasama Pemanfaatan wajib dituangkan dalam perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) dan hasilnya disetor ke rekening kas daerah. Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna Manajemen Materiil
93
(BSG), IMB untuk BSG/BGS harus atas nama pemerintah daerah. Penetapan mitra BSG/BGS dilaksanakan melalui tender dengan mengikut sertakan sekurangkurangnya 3 peserta. Jangka waktu BSG/ BGS adalah 30 tahun. Hasil dari pelaksanaan BSG/BGS ditetapkan penggunaannya oleh pengelola barang untuk penyelenggaraan tupoksi. Biaya persiapan dan pelaksanaan BGS/ BSG tidak dapat dibebankan pada APBD. Pemanfaatan dalam bentuk-bentuk tersebut di atas adalah tidak mengubah status kepemilikan, dan bertujuan menguntungkan daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan kepala daerah. Pengamanan BMD. Pengamanan BMD merupakan kegiatan/ tindakan pengendalian dan penertiban dalam upaya pengurusan BMD secara phisik, administratif maupun tindakan hukum agar BMD dapat dimanfaatkan secara optimal serta terhindar dari penyerobotan, pengambilalihan dan klaim pihak lain. Pengamanan administrasi untuk barang tidak bergerak dapat berupa pembukuan, inventarisasi dan pelaporan. Pengamanan fisik dapat dilakukan dengan pemagaran, pemasangan tanda pemilikan dan penjagaan. Sedangkan pengamanan hukum dapat dilakukan dengan cara pendaftaran tanah untuk mendapat bukti kepemilikan yang sah, dan jika terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan, maka perlu penerapan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemeliharaan BMD. Definisi pemeliharaan BMD adalah kegiatan atau tindakan agar semua barang selalu dalam kondisi baik dan siap digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sasarannya adalah semua barang inventaris yang tercatat dalam buku inventaris. Penyelenggaraan pemeliharaan dapat berupa pemeliharaan: ringan, sedang dan berat. Pemeliharaan ringan: pemeliharaan yang dilakukan sehari-hari oleh unit pemakai/pengurus barang tanpa membebani anggaran. Pemeliharaan Sedang: pemeliharaaan dan perawatan yang dilakukan secara berkala oleh tenaga terlatih yang mengakibatkan pembebanan anggaran, misalnya: pembayaran PBB secara rutin setiap tahun. Pemeliharaan Berat pelaksanaannya tidak dapat diduga dan memerlukan angggaran besar pula, dalam hal tanah, maka untuk mengambil alih tanah yang diduduki/diserobot oleh pihak lain memerlukan biaya yang tinggi. Tuntutan ganti rugi dikenakan terhadap pihak-pihak yang menyebabkan timbulnya kerugian negara/daerah dengan memberikan sanksi hukum seusai dengan perbuatannya. Tuntutan ganti rugi tidak didasarkan pada persangkaan, tetapi dengan fakta dan data yang jelas. Landasan hukum untuk melaksanakan Pengelolaan BMN diantaranya adalah sebagai berikut: 94
Manajemen Materiil
1. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 2. PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan 3. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah 4. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan barang milik daerah jo PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2006 5. Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman dan tata cara Pengadaan barang dan jasa 6. Kepmendagri Nomor 12 tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian Barang Daerah 7. Kepmendagri Nomor 153 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan barang Daerah yang dipisahkan 8. Kepmendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 9. PerMendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dan lain-lain yang berkaitan Jika melihat dan menyimak peraturan yang ada, sepertinya semua hal tentang pengelolaan aset daerah sudah tertata rapi dari dulu hingga hilir dan tampaknya sudah dimengerti dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari hampir semua website pemerintahan daerah yang menampilkan Bagan Pengelolaan Aset Daerah lengkap dengan visi, misi, strategi dan program kegiatan pengelolaan yang memadai. Akan tetapi dalam kenyataannya masih terjadi banyak masalah terutama mengenai pengelolaan aset daerah berupa tanah. Mengenai masalah pengelolaan aset daerah berupa tanah, perlu diteliti lebih seksama faktor penyebabnya, apakah peraturan yang ada belum cukup, atau sumber daya manusianya yang belum mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan, atau barangkali faktor lain, seperti minimnya anggaran yang tersedia. Masalah krusial terutama adalah dalam hal pengadministrasian dan pemanfaatan aset daerah berupa tanah, yang tercermin dengan seringnya terjadi berita tentang permasalahan aset pemerintah daerah yang berupa tanah di berbagai media cetak maupun elektronik, misalnya: adanya sertifikat ganda, penyerobotan, pendudukan illegal, aset hilang, dan lain-lain. Perbaikan dalam waktu dekat. Setelah melihat uraian tersebut di atas, sebetulnya kegiatan pengelolaan BMD sebagaimana dinyatakan dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007 mempunyai kegiatan yang lengkap, dan tetap memiliki nuansa seperti manajemen aset pada umumnya, yang juga mencakup perencanaan, pengadaan, pengendalian, pengamanan dan seterusnya. Jika berbicara mengenai manjemen Manajemen Materiil
95
aset, maka tidak terlepas dari manajemen keuangan dan sangat terkait dengan administrasi pembangunan daerah, baik dari segi nilai aset, pemanfaatannya, pencatatannya dalam neraca tahunan daerah yang akan menjadi prioritas dalam pembangunan. Apabila peraturan sudah baik tetapi masih terdapat masalah, maka perlu diperhatikan sumberdaya manusianya karena tampaknya pengelolaan aset daerah yang begitu 80 besar dan bervariasi memerlukan keahlian tersendiri, dan barangkali kemampuan tersebut belum dimiliki oleh pemerintah daerah. Untuk itu maka perlu ada pembenahan secara berkesinambungan dalam beberapa aspek sebagai berikut: Sumber Daya Manusia - Sebaik dan sesempurna apapun peraturan perundang-undangan yang telah dibuat, efektivitasnya akan kembali kepada kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia di dalam penerapannya. Dalam kaitannya dengan aset daerah berupa tanah, maka dituntut sumber daya manusia sebagai pengelola yang berkemampuan khusus, dari aparat penegak hukum dibutuhkan kewibawaan dan ketegasan dalam menegakkan hukum agar peraturan yang ada menjadi efektif. Dengan demikian dapat diminimalisir terjadinya penyalahgunaan aset daerah. Bagi pemerintah daerah kiranya harus peka terhadap kondisi sumber daya manusia yang dimilikinya dan oleh karena itu perlu untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya secara lebih profesional sehingga dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan lebih cepat, efektif dan efisien. 1. Anggaran - Mengingat terbatasnya keuangan negara, diharapkan masing-masing pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pendayagunaan dan pemanfaatan aset daerah yang berasal dari luar APBD atau pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, sehingga mempunyai sumber keuangan yang memadai dan dapat digunakan untuk mendaftarkan aset tanah dan sekaligus memelihara, memanfaatkan dan mengamankannya. Lebih lanjut perlu ada perubahan dalam hal sistem penganggaran agar apa yang direncanakan harus betul-betul merupakan kebutuhan yang diperlukan daerah sehingga anggaran dapat dimanfaatkan secara efektif dan bukan sebaliknya. 2.Evaluasi - Pemerintah daerah perlu secara berkala untuk mengadakan evaluasi terhadap kinerja aparatnya dan program kerja yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan aset tanah, perlu dicermati adanya sertifikat ganda karena telah terjadi penyerobotan oleh pihak lain yang disebabkan tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sah, tanah yang hilang karena tidak ada inventarisasi dan tidak diberi papan petunjuk atau sulit menentukan batas-batas tanah, atau pendudukan illegal yang terlalu lama didiamkan, yang semuanya diakibatkan oleh karena tidak dilakukan pengelolaan dengan baik. 96
Manajemen Materiil
Perbaikan pada Masa mendatang. Agar peraturan yang belum memadai dapat diperbaiki dan dapat diterapkan dengan maksimal, maka perlu mengkaji hasil evaluasi peraturan dan permasalahan serta hasil kinerja sebelumnya untuk dijadikan dasar membuat perbaikan regulasi dan perbaikan dalam pengelolaan di masa mendatang. Untuk itu perlu kiranya mempraktekkan dengan mengadopsi apa yang dikemukakan oleh pakar manajemen aset Doli D. Siregar yang disunting oleh Hemat Dwi Nuryanto, yang menyatakan bahwa manajemen aset merupakan salah satu profesi atau keahlian yang belum sepenuhnya berkembang di lingkungan pemerintahan maupun di satuan kerja atau instansi. Manajemen aset mempunyai lima tahapan kerja yang satu sama lain saling terkait, yaitu: Hemat Dwi Nuryanto, Mengatasi Rabun Dekat Aset Daerah, Artikel: September 2008 1. Inventarisasi aset, meliputi inventarisasi fisik dan yuridis. Aspek fisik meliputi bentuk, luas, lokasi, alamat dan lain-lain. Aspek yuridis meliputi status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain-lain. Pada tahap ini harus dilakukan pendataan, kodifikasi atau labeling, pengelompokan dan pembukuan 2. Legal audit. Ruang lingkup kerja manajemen aset yang berupa inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan atau pengalihan aset, identifikasi dan solusi masalah legal 3. Penilaian aset. Proses kerja untuk melakukan penilaian aset yang dikuasai, yang pada umumnya dikerjakan oleh konsultan Hasil penilaian dapt dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan dan informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual 4. Optimalisasi Aset. Proses kerja manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan aset dimaksud. Dalam tahapan ini aset-aset diidentifikasi dan dikelompokkan atas aset yang memiliki potensi dan yang tidak 5. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset, Sebagai wahana untuk pengawasan dan pengendalian aset diupayakan transparansi dalam pengelolaan aset dapat terjamin, sehingga setiap penanganan terhadap suatu aset bisa termonitor dengan baik Tahapan-tahapan tersebut di atas telah sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengelolaan BMN dilaksanakan berdasarkan asasasas sebagai berikut: a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah Manajemen Materiil
97
di bidang pengelolaan BMN yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggungjawab masing-masing. b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundangpundangan c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah. Pada butir (c), Asas transparansi perlu pembenahan lebih lanjut yaitu dengan ditambah dukungan adanya informasi yang dapat diakses masyarakat secara elektronik dan hal tersebut perlu waktu dan anggaran yang tidak sedikit serta sumber daya manusia yang kapabel.
Struktur dan Komposisi Aset Negara (Khususnya Aset Tetap Berupa Tanah)
Struktur dan Komposisi Aset Negara pada LBMN TA 2009 (audited) Terkait dengan kegiatan pengelolaan BMN tersebut, dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 telah ditetapkan bahwa Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Kekayaan Negara selaku Pengelola barang diharuskan secara periodik menyusun Laporan Barang Milik Negara Tahunan (LBMNT) dan Laporan Barang Milik Negara Semesteran (LBMNS). Laporan Barang Milik Negara (LBMN) dimaksud merupakan gabungan dari data seluruh BMN yang dihimpun berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) selaku Pengguna barang. Pasal 71 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengelola barang harus menyusun LBMN berdasarkan hasil penghimpunan Laporan Barang Pengguna 98
Manajemen Materiil
Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) dari Pengguna barang. Selanjutnya, dalam Pasal 72 diatur bahwa LBMN dimaksud digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat. Berdasarkan LBMN, BMN diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) golongan barang, yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, hewan, ikan dan tanaman, persediaan, konstruksi dalam pengerjaan, aset tak berwujud, dua golongan yang masih belum ditetapkan, dan Lain-lain. Masing-masing golongan barang tersebut terbagi atas bidang barang, yang kemudian terbagi lagi atas kelompok barang. Kelompok barang terbagi atas sub kelompok barang yang kemudian terbagi lagi atas subsub kelompok barang. LBMNT TA 2009 (audited) disusun berdasarkan data BMN yang dihimpun dari LBPT pada 80 (delapan puluh) pengguna barang, yang terdiri atas LBPT TA 2009 (audited) dari 70 (tujuh puluh) K/L, LBPT TA 2009 (unaudited) dari 3 K/L dan 6 pengguna barang lainnya, yakni : Departemen Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan, LPPTVRI, LPP-RRI, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, dan Otorita Asahan, dan LBPT TA 2008 dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD–Nias yang masa tugasnya telah berakhir pada tanggal 16 April 2009, sehingga nilai yang disajikan dalam LBMN adalah LBPT terakhir yang disampaikan ke DJKN. LBPT tersebut di atas dihimpun oleh masing-masing pengguna barang berdasarkan jenjang pelaporan, yaitu jenjang struktural di bawahnya seperti eselon I, kantor wilayah, dan satuan kerja, termasuk satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU), dan satuan kerja dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. LBMNT TA 2009 (audited) ini disusun dari LBPT (audited) yang dihasilkan melalui aplikasi SIMAKBMN, kecuali untuk Departemen Pertahanan dan Otorita Asahan yang sampai saat ini masih menggunakan aplikasi yang berbeda dan belum mengimplementasikan aplikasi SIMAK BMN.
Manajemen Materiil
99
BAB V PENTINGNYA PENGHAPUSAN DAN TATA CARA LELANG BMN Latar Belakang Penghapusan Barang Milik Negara
Prosedur penghapusan Barang Milik Negara (BMN) seringkali dipandang rumit dan memakan waktu lama. Dipandang rumit karena banyak persyaratan yang dipenuhi agar dapat disetujuinya penghapusan suatu Barang Milik Negara. Penghapusan BMN apa saja yang dapat diusulkan untuk dihapus serta apa saja persyaratan yang harus dipenuhi. Terdapat kondisi yang melatarbelakangi penghapusan BMN, di antaranya : 1. BMN yang sesuai dengan peraturan harus diserahkan kepada pengelolan barang yaitu Tanah dan bangunan idle 2. Pengalihan Status Penggunaan dari pengguna barang (Kementerian/Lembaga) yang menatausahakan BMN ke pengguna barang (Kementerian/Lembaga) lain 3. Pemindahtanganan 4. Pemusnahan 5. Keputusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap 6. Sebab-sebab lain Uraian berikut menjelaskan kondisi-kondisi yang melatarbelakangi penghapusan BMN. Seperti, BMN harus diserahkan kepada Pengelola Barang. Sesuai dengan PMK 250/PMK.06/2011 tentang tatacara Pengelolaan BMN yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara/Lembaga, pasal 2 mengatakan bahwa Pengguna Barang wajib menyerahkan BMN idle pada Kementerian/Lembaga unit kerja Pengguna Pengguna Barang yang bersangkutan kepada Pengelola Barang. Berdasarkan PMK 250/ PMK.06/2011, pasal 3 ayat 1, BMN idle adalah : (a) BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga; atau (b). BMN yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga. Selanjutnya pada pasal 3 ayat 2, BMN tidak termasuk dalam kriteria BMN idle apabila: (a). BMN telah direncanakan untuk digunakan oleh Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan sebelum berakhirnya tahun ketiga; atau (b). BMN telah direncanakan untuk dimanfaatkan sebelum berakhirnya tahun kedua, terhitung sejak BMN tersebut terindikasi sebagai BMN idle. Prosedur penyerahan BMN idle tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor Per-5/KN/2012 tentang Prosedur Kerja dan Bentuk Surat 100 100
Manajemen Materiil
Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga. Dengan diserahkannya BMN berupa tanah dan/atau bangunan ke Pengelola Barang, BMN tersebut harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna, karena BMN ini sudah berpindah ke Pengelola Barang dan akan dicatat sebagai BMN di pembukuan Pengelola Barang. Pengalihan Status Penggunaan. BMN yang status penggunaannya berada pada satu Pengguna Barang dapat dialihstatuskan ke Pengguna Barang lainnya dengan mengikuti prosedur yang diatur dalam Lampiran I PMK Nomor: 3 96/ PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. BMN ini harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna yang menatausahakan BMN (yang mengalihsatuskan), karena BMN ini nantinya akan dicatat di Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna (Kementerian/Lembaga) yang menerima BMN tersebut. Pemindahtanganan BMN merupakan pengalihan kepemilikan BMN sebagai tindak lanjut dari penghapusan BMN dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah. Jika suatu BMN dijual, maka BMN tersebut akan diserahkan kepada pembeli BMN setelah pembeli menyetorkan harga BMN yang bersangkutan tersebut ke Kas Negara. Penjualan BMN ini umumnya dilakukan secara lelang. BMN juga dapat dilakukan tukar menukar melalui prosedur tertentu. Terdapat sedikit perbedaan prosedur tukar menukar BMN berupa tanah dan/atau Bangunan dengan prosedur tukar menukar BMN selain tanah dan/ atau bangunan. Namun BMN baik itu tanah dan atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan baru diserahkan kepada mitra tukar menukar setelah mitra tukar menukar telah melaksanakan kewajibannya yaitu menyediakan BMN pengganti dan jika nilai barang pengganti nilainya lebih rendah dari BMN yang diserahkan maka mitra tukar menukar harus menyetor uang ke kas Negara atas kekurangannya. BMN dapat pula dihibahkan ke Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dihibahkannya BMN ke penerima hibah maka BMN tersebut harus dihapuskan dari Daftar Barang di Kuasa Pengguna Barang (Satuan Kerja), Daftar Barang di Pengguna Barang serta catatan yang ada pada Pengelola Barang. BMN juga dapat digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara. Dalam hal ini penyertaan modal pemerintah ini hakekatnya merupakan pengalihan kepemilikan BMN yang semula merupakan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan menjadi Manajemen Materiil
101 101
kekayaan Negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham Negara pada BUMN, BUMD atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara. Jika BMN dijadikan penyertaan modal pemerintah, maka terjadi perpindahan kepemikian BMN tersebut ke BUMN/BUMD atau lembaga lainnya, oleh karena itu BMN yang bersangkutan harus dikeluarkan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang Pengguna serta catatan atas barang tersebut di Pengelola melalui proses penghapusan BMN. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa jika BMN dipindahtangankan melalui penjualan atau tukar menukar atau hibah atau penyertaan modal, maka barang tersebut sudah pindah kepemilikannya ke pihak lain sehingga harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara (yang dibuat oleh Pengelola Barang). Harus dimusnahkan, karena tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan, serta karena alasan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jika BMN dimusnahkan maka secara fisik barang tersebut dari ada menjadi tidak ada, oleh karena itu harus dilakukan penghapusan BMN tersebut dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara yang ada di instansi Pengelola Barang. Kemudian, adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya atau penghapusan untuk menjalankan ketentuan undang-undang. Terakhir, karena sebab-sebab lain, BMN harus dihapuskan karena sebab-sebab lain seperti hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair, terkena bencana alam, mati untuk tanaman dan hewan. BMN dapat hilang atau terbakar. Jika terdapat BMN yang hilang atau terbakar tentu ada kerugian Negara, sehingga di samping BMN tersebut perlu dihapus, atas kerugian Negara tersebut mungkin akan ada proses tuntutan ganti rugi. Jika ada BMN hilang maka BMN yang semula ada sekarang menjadi tidak ada sehingga terjadi ketidaksesuaian antara catatan dengan fisiknya sehingga perlu dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang Pengguna dan Daftar Barang Milik Negara yang ada di catatan Pengelola. BMN mungkin habis terbakar, sehingga BMN tersebut secara fisik musnah oleh karena itu perlu dihapuskan. Demikian juga jika ada BMN yang menguap atau menyusut (terutama untuk persediaan), jumlah yang menguap/menyusut tersebut juga harus dikeluarkan dari catatan/daftar melalui proses penghapusan BMN. Banyak BMN yang hilang atau rusak berat karena bencana, BMN tersebut harus segera dihapuskan. Jika ada BMN berupa hewan atau tanaman yang mati, BMN tersebut juga harus dikeluarkan dari catatan/Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara yang ada di catatan pengelola 102 102
Manajemen Materiil
melalui proses penghapusan.
Persyaratan Agar BMN Dapat Dihapuskan
Untuk dapat dihapuskan, BMN selain tanah dan bangunan harus memenuhi persyaratan teknis, ekonomis atau barang hilang, atau dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau kerugian karena kematian hewan atau tanaman. 1. Secara fisik BMN tersebut tidak dapat digunakan lebih menguntungkan bagi Negara 5 karena rusak, dan tidak ekonomis apabila diperbaiki 2. BMN juga tidak dapat digunakan karena modernisasi 3. Barang telah melampaui batas waktu kegunaannya/kadaluarsa 4. BMN mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti terkikis, aus, dan lain-lain sejenisnya 5. Berkurang barang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/ susut dalam penyimpanan/pengangkutan. jika barang dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Disarikan dari PMK no 96/PMK.06/2007 Secara teknis BMN selain tanah dan/atau bangunan dapat dihapuskan manakala secara fisik BMN tersebut tidak dapat digunakan karena rusak, dan tidak ekonomis apabila diperbaiki. Suatu BMN juga dapat dihapus manakala tidak dapat digunakan karena modernisasi dan karena kadaluarsa. BMN seperti obat memilki masa pemakaian dan jika sudah kedaluarsa, BMN tersebut harus dihapuskan. BMN seperti pita cukai misalnya, jika terjadi kebijakan penggantian pita cukai yang lama dengan yang baru, tentu persediaan pita cukai yang lama harus dihapuskan. Di samping itu BMN dapat mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti terkikis, aus, dan lain-lain sebagainya. BMN juga dapat berkurang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/susut dalam penyimpanan/pengangkutan. Persediaan tertentu dapat dengan mudah terjadi pengurangan secara fisik. Jika terjadi pengurangan maka perlu dihapuskan. Persyaratan ekonomis yang harus dipenuhi adalah lebih menguntungkan bagi Negara jika barang dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaan barang tersebut lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Khusus untuk kendaraan dinas operasional, PMK 96/PMK.06.2007 mengatur bahwa kendaraan bermotor dinas operasional hanya dapat dihapuskan apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai tanggal, bulan, tahun perolehannya untuk perolehan dalam kondisi baru. Sedangkan jika perolehan bukan kondisi baru, 10 (tahun) terhitung mulai tanggal, bulan, tahun pembuatannya. Di samping itu penghapusan BMN tersebut tidak akan mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga yang bersangkutan. Kendaraan bermotor operasional juga dapat Manajemen Materiil
103 103
dihapus apabila kendaraan bermotor tersebut hilang atau rusak berat akibat kecelakaan atau force majeure dengan kondisi paling tinggi 30 % (tiga puluh persen) berdasarkan keterangan instansi yang kompetent, dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan. Untuk penghapusan BMN berupa kendaraan bermotor pada perwakilan Pemerintah RI di luar negeri, persyaratannya mengikuti ketentuan Negara setempat. Misalkan suatu Negara menetapkan bahwa 6 kendaraan bermotor hanya boleh digunakan selama 5 tahun, tentu penghapusan BMN berupa kendaraan bermotor yang dimiliki Perwakilan RI di Negara tersebut harus mengikuti persyaratan tersebut. Setelah kendaraan tersebut tidak dibolehkan digunakan maka kendaraan tersebut harus segera dihapuskan. Secara teknis penghapusan BMN kendaraan yang dikuasai Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.06/2010 Tentang Tata cara Penghapusan BMN pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri BMN selain tanah dan/atau bangunan juga dapat dihapus jika BMN tersebut hilang. Dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau kerugian karena kematian hewan atau tanaman. Jika ada BMN yang hilang maka dilakukan penelitian/pemeriksaan untuk mengetahui apakah ada tuntutan ganti rugi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 59 ayat 1 mengatakan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya pada pasal 59 ayat 2 dikatakan bahwa Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. Masih pada pasal 59 ayat (3) dikatakan bahwa setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. BMN berupa tanaman dan hewan jika mati tentu harus segera dihapuskan dari daftar barang. b. Persyaratan Penghapusan BMN berupa Tanah dan/atau Bangunan Menurut PMK nomor 96/PMK.06/2007, lampiran VI angka II.2, BMN berupa tanah dan bangunan untuk dapat dihapus harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Barang dalam kondisi rusak berat karena bencana alam atau karena sebab lain di luar kemampuan manusia (force majeure) 2. Lokasi barang jadi tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Manajemen Materiil
104
(RUTR) karena adanya perubahan tata ruang kota 3. Sudah tidak memenuhi kebutuhan organisasi karena perkembangan tugas 4. Penyatuan lokasi barang dengan barang lain milik Negara dalam rangka efisiensi 5. Pertimbangan dalam rangka pelaksanaan rencana strategis pertahanan Tanah dan/atau bangunan dapat mengalami kondisi rusak berat karena sebab lain di luar kemampuan manusia seperti karena adanya bencana alam. Hal ini pernah terjadi atas BMN di tanah air. Untuk tertib administrasi BMN dengan kondisi seperti ini harus dihapuskan segera dengan mengikuti peraturan yang berlaku. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2006 tentang Tata Cara Penghapusan Barang Milik Negeri Akibat Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu contoh landasan hukum penghapusan BMN karena terkena Bencana alam di luar kemampuan manusia. Tata ruang diatur dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selanjutnya undang undang ini dilaksanakan oleh daerah dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Jika suatu peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah diberlakukan dan suatu BMN berupa tanah dan atau bangunan menempati suatu lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, maka BMN tersebut dapat dihapuskan dengan tindak lanjut yang tepat misalkan dengan pemindahtangan. Jika ada beberapa BMN berupa tanah dan atau bangunan yang tidak dalam satu lokasi, dalam rangka efisiensi, BMN tersebut dapat disatukan. Konsekuensinya dari beberapa BMN tersebut harus dihapuskan dengan tindak lanjut dipindahtangankan. BMN juga dapat dipindahtangankan dengan pertimbangan dalam rangka rencana strategis pertahanan. Konsekuensinya, BMN tersebut harus dihapuskan. Daftar Pustaka Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/ PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Manajemen Materiil
105
Pusat. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/ PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtangan Barang Milik Negara. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/ PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.06/2010 Tentang Tata cara Penghapusan BMN pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2006 tentang Tata Cara Penghapusan Barang Milik Negeri Akibat Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.06/2007 tentang Rekonsiliasi BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Rekonsiliasi Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. PMK 250/PMK.06/2011 tentang tata cara Pengelolaan BMN yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi kementerian/lembaga Kementerian Keuangan RI, Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor Per-5/KN/2012 tentang Prosedur Kerja dan Bentuk Surat Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga. Kementerian Keuangan RI, Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor: Per-07/KN/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rekonsiliasi Data Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
TATA CARA PENJUALAN/LELANG BMN Pertimbangan Penjualan BMN
1. Dalam rangka optimalisasi Barang Milik Negara (BMN) yang berlebih atau idle 2. Karena secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara 3. Sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Barang Milik Negara yang Dapat Dijual
1. Tanah dan/atau bangunan – Mencakup yang berada pada pengelola barang dan yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang 2. Selain tanah dan/atau bangunan
Ketentuan dalam Pelaksanaan Penjualan/Lelang
1.Pelaksanaan penjualan BMN tidak boleh mengganggu pelaksanaan tugas
106
Manajemen Materiil
106
pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintah 2. Penjualan BMN dilaksanakan dengan cara: Melalui lelang dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan tanpa melalui lelang 3. Barang Milik Negara yang bersifat khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : rumah Negara golongan III yang dijual kepada penghuninya dan kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang dijual kepada pejabat negara 4. Barang Milik Negara lainnya ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Pengguna Barang dan instansi teknis terkait yaitu, berupa tanah dan/atau bangunan yang akan digunakan untuk kepentingan umum, jika dijual secara lelang akan merusak tata niaga berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang, dan berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang meurut perencanaan awal pengadaannya digunakan umtuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran 5. Tindak lanjut penjualan BMN yang tidak laku dijual secara lelang, dilakukan pemindahtanganan dalam bentuk lainnya, dalam hal tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk lain BMN dimaksud dimusnahkan, dan pemusnahan dilakukan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang 6. Persyaratan untuk dapat dilakukannya penjualan BMN selain tanah dan/ atau bangunan adalah sebagai berikut, memenuhi pesyaratan teknis, secara fisik barang tidak dapat digunakan karena rusak, dan tidak ekonomis apabila diperbaiki, secara teknis barang tidak dapat digunakan lagi akibat modernisasi, barang mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti terkikis, aus dan lain-lain sejenisnya, berkurangnya barang dalam timbangan/ ukuran disebabkan penggunaan/susut dalam penyimpanan/pengangkutan 7. Memenuhi persyaratan ekonomis, secara ekonomis lebih menguntungkan bagi Negara apabila barang dijual karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar daripada manfaat yang diperoleh 8. Penjualan BMN berupa kendaraan bermotor dinas operasional diatur dengan ketentuan sebagai berikut, kendaraan dinas operasional hanya dapat dijual apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun : terhitung mulai tanggal, bulan, tahun perolehannya, untuk perolehan dalam kondisi baru; terhitung mulai tanggal, bulan, tahun pembuatannya, untuk perolehan selain tersebut pada point di atas, sebagaimana tercatat sebagai Barang Milik Negara dan tidak akan menggangu penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi 107
Manajemen Materiil
107
unit kerja. Penjualan kendaraan bermotor dapat dilakukan apabila kendaraan bermotor tersebut hilang, atau rusak berat akibat kecelakaan atau force majeure dengan kondisi paling tinggi 30% berdasarkan keterangan instansi yang bekompeten 9.Persyaratan untuk dapat dilakukan penjualan BMN berupa tanah dan/atau bangunan adalah sebagai berikut : lokasi tanah dan/atau bangunan menjadi tidak sesuai dengan RUTR disebabkan perubahan tata ruang kota, lokasi dan/ atau luas tanah dan/atau bangunan tidak emungkinkan untuk diguanakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi, tanah dan/atau bangunan yang menurut awal perencanaan pengadaannya diperuntukan bagi pembangunan perumahan pegawai negeri 10. Penjualan BMN berupa tanah kavling yang menurut awal perencanaan pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, pengajuan usul penjualan disertai dengan dokumen penganggaran yang menyatakan bahwa tanah tersebut akan diguanakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri dan penjualan dan pengalihan kepemilikan dilaksanakan langsung kepada masingmasing pegawai negeri
Subjek Pelaksanaan Penjualan
1. Pengelola Barang untuk tanah dan/atau bangunan, kecuali, untuk bangunan yang harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran, dan untuk penjualan tanah dan/atau bangunan yang merupakan kategori rumah negara golongan III 2. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola barang untuk tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas dan barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan
Tata Cara Penjualan Tanah/Bangunan
1. Pengelola Barang membuat perencanaan penjualan BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang memuat antara lain lokasi, jangka waktu penjualan dan pertimbangan dari aspek teknis dan ekonomis 2. Pengelola Barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dijual berdasarkan perencanaan tersebut dalam butir 1) atau permintaan pihak lain 3. Pengelola Barang membentuk Tim yang anggotanya terdiri dari unsur Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang yang menyerahkan barang yang akan dijual, serta instansi teknis yang berkompeten dengan tugas
108
Manajemen Materiil
108
4. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai tanah dan/atau bangunan yang akan dijual 5. Penilai menyampaikan laporan hasil penilaian kepada Pengelola Barang melalui Tim 6. Tim menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Pengelola Barang, dilampiri berita acara penelitian dan laporan penilaian 7. Berdasarkan laporan Tim, Pengelola Barang menyetujui atau tidaknya usulan penjualan tersebut 8. Dalam hal usulan penjualan tidak disetujui, Pengelola Barang Pemberitahukan kepada pihak yang mengajukan usulan disertai alasannya 9. Dalam hal usulan penjualan disetujui Pengelola Barang menerbitkan surat penetapan nilai BMN yang akan dijual 10. Dalam hal penjualan tanah dan/atau bangunan tersebut memerlukan persetujuan DPR, Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan penjualan kepada DPR 11. Dalam hal penjualan tanah dan/atau bangunan tidak memerlukan DPR tetapi hasil penilaiannya di atas Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar), maka Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan penjualan kepada Presiden 12. Dalam hal penjualan dilakukan secara lelang, pelaksanaannya mengikuti ketentuan yang berlaku dan serah terima barang dilaksanakan setelah pembeli menyelesaikan kewajibannya yang dituangkan alam berita acara serah terima barang 13. Hasil penjualan BMN harus disetor ke rekening kas umum Negara 14. Berdasarkan berita acara serah terima tersebut pada butir 12, Pengelola Barang menghapuskan barang dimaksud dari Daftar BMN dengan menerbitkan keputusan penghapusan barang
Tata Cara Penjualan Bangunan yang Harus Dihapuskan
1. Pengguna Barang membentuk Tim internal untuk melakukan persiapan pengusulan penjualan bangunan yang bangunan penggantinya sudah tersedia anggarannya dalam dokumen penganggaran dengan tugas, menyiapkan dokumen anggaran beserta kelengkapannya, melakukan penelitian data administrasi bangunan, antara lain tahun pembuatan, konstruksi, luas, dan status kepemilikan serta nilai perolehan bangunan, menyampaikan laporan hasil penelitian data administrasi dan fisik kepada Pengguna Barang. 2.Pengguna Barang mengajukan permintaan persetujuan atas penjualan bangunan kepada Pengelola Barang dengan disertai, fotocopi dokumen penganggaran bangunan pengganti dari bangunan yang diusulkan dijual, data administrasi bangunan, antara lain tahun pembuatan, konstruksi, luas dan status 109
Manajemen Materiil
109
kepemilikan serta nilai bangunan, nilai bangunan yang akan dijual dan instansi yang teknis kompeten 3. Pengelola Barang melakukan penelitian atas permohonan penjualan bangunan dimaksud, dengan tahapan sebagai berikut, melakukan penelitian kelayakan alas an dan pertimbangan permohonan penjualan, melakukan penelitian data administrasi bangunan antara lain tahun pembuatan, konstruksi, luas, dan status kepemilikan, apabila diperlukan, melakukan penelitian fisik atas bangunan yang akan dijual dengan mencocokkan data administrasi yang ada termasuk melakukan penilaian 4. Dalam hal nilai bangunan tersebut diatas Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), pengelola barang terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan penjualan bangunan dimaksud kepada Presiden, apabila usulan penjualan tersebut disetujui, Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan kepada Pengguna Barang, yang sekurang-kurangnya memuat objek penjualan dan nilai limit terendah penjualan bangunan dimaksud, tindak lanjut atas persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan dilaksanakan mengikuti ketentuan penghapusan karena pemindahtanganan BMN tentang Tata Cara Penghapusan
Tata Cara Penjualan/Lelang BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan
1. Pengguna Barang membentuk Tim internal yang bertugas untuk melakukan penelitian data administrasi dan fisik serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis; Dalam hal diperlukan, Tim dapt melibatkan penilai atau instansi terkait yang berkompeten untuk melakukan penilaian Barang Milik Negara tersebut 2. Tim menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Pengguna Barang, dilampiri berita acara penelitian dan penilaian 3. Berdasarkan laporan Tim tersebut Pengguna Barang mengajukan usul penjualankepada Pengelola Barang dengan disertai dengan penjelasan dan pertimbangan penjualan dan data administrasi antara lain mengenai tahun perolehan spesifikasi/identitas teknis, surat penetapan status penggunaan, bukti kepemilikan dan nilai perolehan dan nilai limit terendah penjualan 4. Pengelola Barang melakukan penelitian atas permohonan penjualan BMN dimaksud, dengan tahapan sebagai berikut, melakukan penelitian kelayakan alasan dan pertimbangan permohonan penjualan, terutama dalam kaitannya dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam penjualan BMN, melakukan penelitian data administrasi, apabila diperlukan melakukan penelitian fisik untuk mencocokkan data administrasi yang ada, termasuk melakukan penila110
Manajemen Materiil
110
ian
5. Berdasarkan penelitian atas usulan penjualan dimaksud, Pengelola Barang menetukan disetujui atau tidaknya usulan penjualan BMN dimaksud 6. Dalam hal nilai perolehan BMN tersebut di atas Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah), Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan kepada Presiden atau DPR sesuai batas kewenangannya 7. Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan BMN dimaksud, yang sekurang-kurangnya memuat, data objek penjualan meliputi tahun perolehan, spesifikasi/identitas teknis, bukti kepemilikan, jenis, jumlah dan nilai perolehan dan nilai limit terendah penjualan dan kewajiban Pengguna Barang untuk melaporkan pelaksanaan penjualan kepada Pengelola Barang 8. Tindak lanjut atas persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan dilaksanakan mengikuti ketentuan penghapusan karena pemindahtanganan BMN pada Peraturan Menteri Keuangan.
----o0o----
111
Manajemen Materiil
111
DAFTAR PUSTAKA BUKU
1. H Sukadarto, Drs, SH, MM, Manajemen Materiil, LAN Jakarta, 2001 2. Ernst & Young, International Generally Accepted Accounting Principle 2008, Wiley, London. 2007 3. PPAKP, Modul Manajemen Aset, 2012 4. Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : BPFG 5. Purwanto, Yadi. 2001. Manajemen Keuangan Pemerintah. Jakarta : PT. Cendekia Informatika 6. Ulum, Ihyaul. 2004. Akuntansi Sektor Publik.Yogyakarta : UMM PRESS 7. Van Fleet, James K. 1973. Manajemen Keuangan. Jakarta : Mitra Usaha 8. J. Fred Weston & Thomas E. Copeland. 1995. Manajemen Keuangan Edisi Revisi Jilid I. Jakarta : Bina rupa Aksara 9. Arifin P Soeria Atmadja. 1996. Kapita Selekta Keuangan Negara. Jakarta : Untar 10. Bastian Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BPFE UGM 11. Lembaga Administrasi Negara. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid II / Edisi Ketiga Hal 53.Jakarta : PT Toko Gunung Agung 12. Musgrave, Richard A. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Erlangga 13. Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, Edisi 2 14. Hadiyanto, Politik Hukum Tentang BUMN Persero Dikaitkan Dengan Kepastian Hukum Dalam Pengelolaan BUMN Persero Berdasarkan Undang Undang Perseroan Terbatas
UNDANG-UNDANG DAN PP
1. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah 2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah 3. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah 4. Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 5. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
112
Manajemen Materiil
6. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara 7. Pemerintah Republik Indonesia, 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 jo PP 38 tahun 2008 8. Peraturan Republik Indonesia, 2014.Peraturan Menteri Keuangan No.78 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pengeloaan Barang Milik Negara di Kementerian/Lembaga 9. Pemerintah Republik Indonesia, 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 10. Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 11. Pemerintah Republik Indonesia, 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 12. Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah 13. UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah 14. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara 15. UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah 16. PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 17. Permendagri 13/2006 18. Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Penjelasan Umum alinea 1 19. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 20. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 21. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara 22. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 trntang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindatanganan Barang Milik Negara
MAKALAH
Pentingnya Penghapusan Barang Milik Negara oleh Margono Widyaiswara – Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Manajemen Materiil
113
BLOG/WEBSITE
1. http://www.wikipedia.com 2. http://www.solopos.com 3. http://www.beritadewan.com 4. http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16554229/Mantan. Direktur.Merpati.Divonis.Bebas 5. http://www.jurnalparlemen.com/view/6685/uu-kekayaan-negara digugat-bpk-yakin-menang.html 6. https://investasidaerah.wordpress.com 7. http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16554229/Mantan. Direktur.Merpati.Divonis.Bebas 8. http://www.jurnalparlemen.com/view/6685/uu-kekayaan-negaradigugat-bpk-yakin-menang.html 9. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5226742f9a51b/asetbumn-bagian-kekayaan-negara 10. http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html 11. internet,http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/index.php
----o0o----
114
Manajemen Materiil