Briefer Greenpeace tentang Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut serta Kabut Asap 2015 18 Sep 2015 Ringkasan: siapa yang harus disalahkan atas krisis kebakaran ini dan bagaimana memperbaikinya 1. Apa krisisnya? ● Lahan gambut Indonesia yang dibuka tengah terbakar ● Taman Nasional dan kawasan di bawah moratorium juga terbakar ● Kebakaran ini menimbulkan korban jiwa ● Dan merusak iklim 2. Siapa yang bertanggung jawab? ● Sektor perkebunan menciptakan krisis ini dengan mengeringkan lahan gambut untuk memproduksi pulp dan minyak sawit ● Pemerintah memberikan kawasan hutan dan lahan gambut yang rentan terbakar kepada perusahaan dan menutup mata terhadap maraknya pengrusakan secara ilegal 3. Apa solusinya dan siapa yang harus melakukannya? ● Mencegah lebih baik daripada mengobati ● Apa yang harus dilakukan perusahaan ● Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia ● Apa yang harus dilakukan kawasan ASEAN secara bersama-sama
Ringkasan: siapa yang harus disalahkan atas krisis kebakaran ini dan bagaimana mengatasinya Melindungi seluruh lahan gambut dan hutan hanyalah solusi jangka panjang yang kita miliki untuk menghentikan kebakaran hutan dan menghindari bencana kesehatan masyarakat dan lingkungan di masa depan. Kabut asap yang tebal dari ribuan lokasi kebakaran di Sumatera dan Kalimantan adalah bukti kegagalan pemerintah secara terus-menerus dalam memenuhi komitmennya untuk mengakhiri kerusakan hutan dan lahan gambut. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa tahun ini, 40% titik api di seluruh Indonesia berlokasi di lahan gambut, yang membentuk sebagian daratan negara ini. Sampai bulan April 2014, 75% peringatan bahaya kebakaran di Sumatera berasal dari lahan gambut.1 Apabila dibiarkan dalam kondisi alaminya yang tergenang air, lahan gambut akan jarang sekali terbakar. Hutan hujan tropis yang dibiarkan alami juga
1
http://www.wri.org/blog/2014/04/preventing-forest-fires-indonesia-focus-riauprovince-peatland-and-illegal-burning
jarang sekali terbakar. Namun, dalam jangka dua dekade, pengrusakan hutan dan lahan gambut oleh sektor perkebunan telah membuat sebagian wilayah Indonesia menjadi tungku raksasa. Tanah gambut menyimpan banyak karbon. Ketika lahan gambut dibuka dan dikeringkan untuk dijadikan perkebunan, lahan tersebut akan terdegradasi dan karbon yang tersimpan di dalamnya mulai terlepas ke atmosfer sebagai emisi CO2. Jika tanah gambut terbakar, maka api dapat membara di bawah permukaan tanah sehingga sangat sulit untuk dipadamkan. Bara bersuhu rendah ini mengeluarkan asap sekitar tiga kali lebih banyak per kilogram material yang terbakar dibandingkan kebakaran hutan bersuhu tinggi biasa.2 Kebakaran-kebakaran ini mengancam kesehatan jutaan orang. Asap dari kebakaran lahan membunuh sekitar 110.000 orang setiap tahunnya di Asia Tenggara, yang sebagian besar diakibatkan oleh masalah jantung dan paru-paru, juga menurunkan kondisi kesehatan bayi-bayi yang baru lahir.3 Dampaknya bahkan semakin buruk selama masa El Niño berkecamuk – misalnya tahun 2015, yang diperkirakan oleh Badan Meteorologi Australia menjadi bencana El Niño terburuk dalam 20 tahun terakhir – akibat musim kering yang berkepanjangan di Indonesia.4 Kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan Indonesia adalah krisis yang ditimbulkan oleh manusia, yang dampaknya pada kesehatan tidak hanya menimpa rakyat Indonesia, namun juga negara-negara tetangga di Asia Tenggara sebagai bencana global. Beroperasi di bawah penegakan hukum yang lemah dan buruk, perusahaan perkebunan dan pelaku lainnya terus melanjutkan ekspansi mereka dengan tidak mempedulikan bahaya – membuka hutan dan mengeringkan lahan gambut basah yang kaya karbon – yang menjadi penyebab kebakaran-kebakaran ini. Keengganan pemerintah Indonesia untuk mempublikasikan peta konsesi yang ada, menyulitkan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kebakaran-kebakaran tersebut atau praktik-praktik yang merusak. Kerusakan terus berlanjut meskipun ada komitmen dari banyak pedagang dan produsen besar komoditas seperti minyak sawit dan pulp di Indonesia untuk menghentikan degradasi lahan gambut dan memberlakukan kebijakan ‘tanpa pembakaran’ yang ketat. Sesungguhnya, menurut laporan, banyak kebakaran terjadi di dalam konsesi perusahaan yang memiliki kebijakan ‘nol deforestasi’ – ini sebuah peringatan yang jelas bahwa warisan pembukaan lahan dan degradasi lahan gambut oleh sektor perkebunan butuh waktu tahunan untuk dapat diperbaiki. Pada akhirnya, kebakaran-kebakaran ini akan terus berlanjut sampai perusahaan perkebunan menghentikan deforestasi dan mulai memulihkan hutan dan lahan gambut. Para pedagang komoditi dan konsumen mereka, harus bekerja bersama-sama untuk memberlakukan larangan melakukan perdagangan dengan perusahaan yang terus merusak hutan dan lahan gambut di seluruh industri, yang dengan demikian menghilangkan insentif ekonomi dari pembukaan hutan. Perusahaan yang menggunakan, memperdagangkan dan menghasilkan komoditas Indonesia harus mendukung program besar-besaran untuk memulihkan hutan dan lahan gambut serta menghentikan kebakaran sebelum itu terjadi. Pemerintah Indonesia harus mendukung prakarsaprakarsa ini, mempublikasikan peta konsesi agar mereka yang terlibat dalam kebakaran dapat dimintai pertanggungajawabannya, serta mereformasi sektor perkebunan untuk menghentikan kerusakan serta degradasi hutan dan lahan gambut Indonesia.
2
http://environmentalresearchweb.org/cws/article/news/62044 Johnston, F., Henderson, S., Chen, Y., Randerson, J., Marlier, M., DeFries, R., Kinney, P., Bowman D & Brauer, M. 2012. Estimated global mortality attributable to smoke from landscape fires. Environmental Health Perspectives 120: 695-701. 4 http://media.bom.gov.au/releases/203/enso-updatea-strong-el-nio-and-recordwarm-indian-ocean-continue/ 3
1. Apa krisisnya? Lahan gambut Indonesia yang dibuka, tengah terbakar Tahun ini, 40% kebakaran terjadi di lahan gambut. Lebih dari tiga perempatnya terjadi di lahan gambut yang telah dibuka. Analisis pemetaan Greenpeace menunjukkan bahwa sepanjang tahun ini, 40% dari titik api di seluruh Indonesia terletak di lahan gambut, yang hanya menempati 10% luas daratan Indonesia. Sampai dengan bulan April 2014, 75% dari peringatan bahaya kebakaran di Sumatera berasal dari lahan gambut.5 Analisis Greenpeace menunjukkan adanya kaitan yang jelas antara titik api kebakaran hutan dengan lahan gambut yang mengalami deforestasi di Sumatera dan Kalimantan. Titik api pada tahun 2015 3,4 kali lebih sering terjadi pada lahan gambut yang gundul sampai tahun 2013 dibandingkan pada lahan gambut yang masih utuh. Banyak dari lahan gambut ini akan dibuka untuk sektor perkebunan. Meskipun provinsi Riau hanya menempati 5% luas daratan Indonesia, analisis Greenpeace menemukan bahwa pada tahun 2014, Riau mencatat 40% dari semua titik api dan hampir tiga perempatnya berada di lahan gambut. Sebagian besar kebakaran tersebut terkonsentrasi hanya di beberapa kabupaten. Pada tahun 2013-2014, Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir, Pelalawan dan Siak menyumbang lebih dari setengah dari semua titik api di seluruh Indonesia.6 Kebakaran di Riau sangat terkait dengan pengembangan bubur kertas dan kelapa sawit. Riau adalah lokasi sebagian besar sektor perkebunan di Indonesia. Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia. Di Riau juga terletak dua pabrik bubur kertas terbesar di Indonesia. Di luar Riau, konsentrasi kebakaran besar tahun ini berada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Selatan - semuanya provinsi yang memliki lanskap lahan gambut yang luas.
Taman nasional dan kawasan moratorium juga terbakar Taman nasional terbakar, dan hampir sepertiga kebakaran terjadi di kawasan moratorium. Taman nasional dan daerah lain yang secara teoritis dilindungi dari pembukaan, ternyata tidak terhindar dari kebakaran. Pada bulan Juli dan Agustus 2015, kebakaran meluas di seluruh Taman Nasional Tesso Nilo Riau – daerah yang menjadi habitat penting harimau telah hancur oleh perambahan ilegal termasuk pengembangan kelapa sawit. Kebakaran kini tengah berlangsung di Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah - tempat perlindungan orang utan- yang terkenal di seluruh dunia. Meskipun pemerintah telah memberlakukan moratorium perijinan konsesi baru di hutan primer dan lahan gambut sejak Mei 2011,7 kebijakan tersebut masih memiliki terlalu banyak 5
http://www.wri.org/blog/2014/04/preventing-forest-fires-indonesia-focus-riauprovince-peatland-and-illegal-burning 6 WRI (2014) Preventing Forest Fires in Indonesia: Focus on Riau Province, Peatland, and Illegal Burning, World Resources Institute, April 3, 2014 http://www.wri.org/blog/2014/04/preventing-forest-fires-indonesia-focus-riauprovince-peatland-and-illegal-burning 7 President of the Republic of Indonesia 2013. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan
pengecualian,tidak menerapkan sanksi tegas, dan belum diwujudkan menjadi perlindungan tambahan untuk hutan dan lahan gambut. Analisis Greenpeace mengungkapkan bahwa hampir 30% dari titik api di tahun 2014 dan di tahun ini sesungguhnya terjadi di daerah yang dimaksudkan untuk dilindungi di bawah moratorium. Dari semua titik api di kawasan moratorium, lebih dari 60%-nya berada di lahan gambut.
Kebakaran ini menimbulkan korban jiwa Polusi udara yang diakibatkan kebakaran-kebakaran ini tidak hanya mengganggu kehidupan manusia, namun juga mengorbankan masyarakat yang berada di seluruh kawasan tersebut. Di Asia Tenggara, kebakaran yang berkaitan dengan deforestasi, terutama di hutan gambut, merupakan sumber utama kabut asap di wilayah tersebut.8 Kebakaran menambah parah polusi udara perkotaan yang ada, khususnya di tahun-tahun El Niño berkecamuk dimana skala kekeringan dan jangka waktu kebakaran meningkat.9 Asap dari kebakaran ini mengganggu kesehatan masyarakat, tidak hanya di desa-desa tetangga tetapi juga di daerah perkotaan di seluruh wilayah tersebut. Proses modelling mengaitkan rata-rata 110.000 kematian per tahun di seluruh Asia Tenggara dengan kebakaran-kebakaran tersebut, terutama yang berkaitan dengan paparan jangka panjang musiman terhadap partikel asap. Perkiraan ini naik menjadi 296.000 kematian untuk El Niño tahun 1997/810 di bawah kondisi iklim yang diperkirakan sama dengan El Niño tahun ini.11
Dan merusak iklim Gambut adalah salah satu tempat simpanan karbon terkaya di dunia. Pembukaan dan pengeringan lahan gambut, terutama untuk sektor perkebunan menciptakan kondisi di mana api akan membara, melepaskan banyak CO2. Lahan gambut tropis terdiri dari vegetasi mati yang sebagian telah membusuk yang terakumulasi selama ribuan tahun. Oleh karena itu, lahan gambut adalah penyimpan karbon raksasa, mengunci karbon di bawah tanah dan mencegahnya terlepas ke atmosfer. Hutan hujan tropis dan lahan gambut tidak biasanya terbakar. Namun, pembukaan hutan dan pengeringan akan mengeringkan daerah-daerah ini sehingga meningkatkan kerentanan terjadinyakebakaran. Pengeringan setempat seringkali mempengaruhi seluruh lanskap gambut, bukan hanya di daerah sasaran. Pembakaran sering digunakan untuk membersihkan daerah-daerah tersebut.
Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173769/Inpres0062013.pdf. 8 Johnston, F., Henderson, S., Chen, Y., Randerson, J., Marlier, M., DeFries, R., Kinney, P., Bowman D & Brauer, M. 2012. Estimated global mortality attributable to smoke from landscape fires. Environmental Health Perspectives 120: 695-701. 9 Johnston, F., Henderson, S., Chen, Y., Randerson, J., Marlier, M., DeFries, R., Kinney, P., Bowman D & Brauer, M. 2012. Estimated global mortality attributable to smoke from landscape fires. Environmental Health Perspectives 120: 695-701; Marlier, M., DeFries, R., Voulgarakis, A., Kinney, P., Randerson, J., Shindell, D., Chen, Y. & Faluvegi, G. 2013. El Niño and health risks from landscape fire emissions in Southeast Asia. Nature Climate Change 3: 131-136. 10 Johnston, F., Henderson, S., Chen, Y., Randerson, J., Marlier, M., DeFries, R., Kinney, P., Bowman D & Brauer, M. 2012. Estimated global mortality attributable to smoke from landscape fires. Environmental Health Perspectives 120: 695-701. 11 http://media.bom.gov.au/releases/203/enso-updatea-strong-el-nio-and-recordwarm-indian-ocean-continue/
Ketika lahan gambut dikeringkan, karbon yang tersimpan akan terlepas, memicu proses degradasi di mana karbon itu akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Meskipun hutan tropis dan lahan gambut yang terdegradasi mungkin melepaskan karbon yang mereka simpan selama puluhan tahun, kebakaran melepaskan karbon ke atmosfer dengan cepat. Hal ini juga merusak kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri dan mulai menyerap lebih banyak karbon lagi. Lahan gambut yang telah dikeringkan bisa membara secara perlahan, sementara vegetasi (terutama di hutan yang rusak) mudah terbakar dan kebakaran dapat menyebar dengan cepat.12 Karena kebakaran di lahan gambut dapat menyebar jauh ke dalam tanah, kebakaran tersebut sulit dipadamkan, dan kadang-kadang bisa terus menyala selama berbulan-bulan. Mereka menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cepat dan besar-besaran, serta kabut asap. Lahan gambut Indonesia menyimpan hampir 60GtC (selain karbon di hutan).13 Ini sama dengan enam kali jumlah karbon yang dilepaskan oleh bahan bakar fosil setiap tahunnya. Kebakaran di Indonesia melepaskan konsentrasi gas rumah kaca yang besar ke seluruh dunia. Pemerintah Indonesia sendiri memperkirakan bahwa lebih dari 20% emisi nasional berasal hanya dari kebakaran lahan gambut saja.14 Situasi di Indonesia semakin buruk di tahun-tahun El Niño berkecamuk, yang ditandai dengan peningkatan skala musim kering dan jangka waktu kebakaran. Diperkirakan bahwa kebakaran gambut dan vegetasi yang meluas pada El Niño tahun 1997 melepaskan antara 0,81 dan 2,57GtC, yang ternyata setara dengan 13-40% emisi karbon global dari bahan bakar fosil. Perubahan iklim global diperkirakan akan meningkatkan frekuensi terjadinya El Niño.15
2. Siapa yang bertanggung jawab? Sektor perkebunan menciptakan krisis ini dengan mengeringkan lahan gambut untuk memproduksi bubur kertas dan kelapa sawit Perusahaan perkebunan telah menciptakan tungku pembakaran. Apakah perusahaan sungguh-sungguh telah menyulut api atau tidak, mereka telah menciptakan kondisi di mana kebakaran hutan dan lahan gambut tumbuh dengan subur. Kebakaran-kebakaran tersebut mungkin terjadi tanpa disengaja (misalnya disebabkan oleh petir atau kecerobohan manusia), atau mungkin dimulai secara sengaja untuk membersihkan lahan untuk penanaman atau untuk meningkatkan kesuburannya. Disengaja atau tidak disengaja, kebakaran pada lahan gambut
12
Field, R.D., van der Werf, G.R. & Shen, S.S.P. 2009. Human amplification of droughtinduced biomass burning in Indonesia since 1960. Nature Geoscience doi: 10.1038/NGEO443. 13 Page, S.E., Rieley, J.O. & Banks, C.J. 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology 17: 798–818. 14 Secretariat RAN-GRK (2015) ‘Hasil Kaji Ulang dan Penyusunan INDC’ http://ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/component/content/article/92-bahasa/informasisektoral/193-hasil-indc Emisi tahun 2010:1.460MtCO2e total314MtCO2e kebakaran gambut (21,5%)245MtCO2e dekomposisi gambut (16,8%)= 559MtCO2e (38,2%) total gambut\340MtCO2e AFOLU nongambut/penggunaan lahan termasuk hutan (23,3%)= 899MtCO2e total penggunaan lahan (61,2%) 15 Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H-D. V., Jaya, A. & Limin, S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.
yang telah dikeringkan dan terdegradasi dapat berlangsung di luar kendali, terutama di musim kering. Pengrusakan hutan dan lahan gambut yang terus berlanjut untuk komoditas seperti kelapa sawit, termasuk pembukaan secara ilegal dan pembukaan lahan oleh pelaku kecil dan menengah, cukup besar. Kebakaran yang terkait dengan pembukaan tersebut mungkin berasal dari luar konsesi industri (atau dari enclave ilegal di dalam konsesi). Kebakaran tersebut dapat menyebar dengan cepat di lahan gambut yang telah dikeringkan di seluruh wilayah konsesi.
Pemerintah memberikan hutan dan lahan gambut yang rentan terbakar kepada perusahaan serta menutup mata terhadap maraknya pengrusakan secara ilegal Pemerintah Indonesia memikul tanggung jawab utama atas kehancuran hutan dan lahan gambut di negara tersebut. Pejabat pemerintah semakin memperbesar masalah dengan memberikan izin konsesi di atas wilayah hutan dan lahan gambut. Kementerian-kementerian yang ada terusmenerus gagal mengatasi praktik-praktik yang merusak di sektor perkebunan, meskipun dampaknya telah menghancurkan warga negara Indonesia dan lingkungan global. Tidak banyak tindakan diambil untuk mencegah pembukaan lahan secara ilegal dan pembakaran di luar daerah konsesi. Pemerintah juga terus menghalangi upaya masyarakat sipil dan sektor swasta untuk memastikan adanya penayangan peta konsesi untuk publik; kurangnya transparansi ini menyulitkan upaya untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan gambut.
3. Apa solusinya dan siapa yang perlu melakukannya? Mencegah lebih baik daripada mengobati Solusinya adalah mencegah kebakaran, bukan memadamkan kebakaran. Menjaga keutuhan kawasan luas hutan yang masih tersisa di Indonesia adalah prioritas. Ini termasuk melindungi dan memulihkan lanskap hutan dan lahan gambut yang rentan di sekitarnya. Mengairi kembali dan memulihkan lahan gambut akan secara signifikan mengurangi kemungkinan kebakaran. Pada tanggal 27 November 2014, Presiden Joko Widodo mengunjungi Sungai Tohor, Riau dan mengambil bagian dalam upaya masyarakat untuk membangun sejumlah bendungan di seluruh kanal drainase. Sebelum prakarsa ini, antara bulan Januari 2014 dan November 2014 tercatat ada 1.158 titik api di daerah tersebut. Setelah pembangunan sejumlah bendungan, tercatat hanya ada 22 titik api antara tanggal 28 November 2014 hingga 7 September tahun 2015.
Apa yang perlu dilakukan perusahaan Perusahaan harus menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut, mulai merestorasi hutan dan lahan gambut juga menuntut hal yang sama dari para pemasok mereka. Perusahaan yang menghasilkan, menggunakan atau memperdagangkan komoditas dari Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengatasi praktik-praktik destruktif yang menciptakan kondisi untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Meskipun banyak produsen dan pedagang minyak sawit terkemuka telah menyatakan komitmen nol deforestasi, sektor ini masih terus mendorong pengrusakan hutan dan lahan gambut. Perdagangan minyak yang berasal dari pekebun yang secara aktif membuka lahan terus berlanjut, dan dekatnya lokasi pabrik menciptakan insentif bagi deforestasi spekulatif lanjutan. Pedagang komoditas dan pelanggan mereka harus bekerja bersama-sama untuk memberlakukan larangan melakukan perdagangan dengan perusahaan yang
terus merusak hutan dan lahan gambut di seluruh industri, yang dengan demikian menghilangkan insentif ekonomi untuk pengrusakan hutan dan lahan gambut. Proyek restorasi besar-besaran juga dibutuhkan untuk mengatasi kehancuran selama puluhan tahun yang telah menanamkan bibit krisis ini. Perusahaan harus bekerja bersama-sama untuk melindungi serta memulihkan lanskap hutan dan lahan gambut, termasuk mengairi kembali lahan gambut kritis untuk mengurangi risiko kebakaran. Perusahaan juga perlu mengatasi deforestasi yang dilakukan petani kecil dengan memberikan kesempatan pengembangan alternatif yang tidak bergantung pada pembukaan hutan bagi masyarakat lokal.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia Pemerintah harus mengakhiri deforestasi, memulihkan hutan dan lahan gambut, mendukung peluang pembangunan yang nyata bagi masyarakat dan meningkatkan tata kepemerintahan.
Pemerintah Indonesia harus mengatasi akar penyebab kebakaran hutan. Presiden Indonesia telah berulang kali berjanji untuk menindak perusahaan perkebunan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Tapi janji ini belum diwujudkan menjadi tindakan yang berarti untuk melindungi hutan dan lahan gambut di Indonesia. Bulan November lalu, ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Sungai Tohor di Riau, yang merupakan salah satu provinsi yang paling terdampak oleh kebakaran lahan gambut, beliau secara pribadi menutup salah satu dari banyak kanal yang digali untuk menguras lahan gambut untuk perkebunan. Beliau mengidentifikasi konversi hutan dan lahan gambut sebagai penyebab utama dari kabut asap tahunan, dan menjanjikan penutupan seribu kanal di Riau dengan bantuan pemerintah. Tahun ini, meskipun kawasan hulu dari bendungan Presiden di Sungai Tohor sejauh ini telah aman dari kebakaran, sisa lahan gambut di provinsi tersebut masih dalam ancaman, dengan baru sedikit bendungan yang telah dibangun. Memastikan pembangunan yang cepat dari bendungan-bendungan yang tersisa dan menjalankan skema ini di seluruh negeri harus menjadi prioritas yang mendesak. Sebagai langkah cepat pertama untuk mengurangi risiko kebakaran hutan, pemerintah Indonesia harus segera mengidentifikasi peluang-peluang bagi restorasi satwa liar dan hutan juga lahan gambut yang ramah masyarakat di sejumlah lanskap prioritas termasuk di Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Upaya ini perlu dilakukan lewat satuan tugas multi-stakeholder yang menyatukan masyarakat, pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil. Pemerintah harus memastikan ada mandat untuk melaksanakan inisiatif ini bersama-sama dengan solusi iklim lainnya. Pemerintah Indonesia memiliki kesempatan untuk mengatasi deforestasi dan kebakaran hutan sebagai bagian dari INDC (kontribusi yang diniatkan dan ditetapkan secara nasional) yang akan diajukan kepada KTT iklim COP21. Ini adalah komunikasi internasional Indonesia yang menunjukkan bagaimana rencana pemerintah Indonesia untuk menangani perubahan iklim dalam konteks prioritas dan situasi nasional.
Meskipun Indonesia sudah berkomitmen di bawah Deklarasi New York mengenai Hutan dan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan yang akan segera diratifikasi, rancangan INDC terbaru ini menunjukkan pergeseran tajam dalam kebijakan menjauh dari nol deforestasi. Pemerintah Indonesia juga tidak membuat komitmen untuk mengatasi kebakaran hutan, meskipun kebakaran di Indonesia menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang signifikan secara global. Sayangnya,
rancangan INDC saat ini adalah pengalih perhatian dari masalah nyata yang dihadapi Indonesia dan dunia akibat perubahan iklim.16 Perlindungan dan pemantauan hutan terhambat oleh kegagalan pemerintah untuk menjalani komitmennya untuk mempublikasikan informasi tentang konsesi kepada publik. Presiden Joko Widodo harus menunjukkan kepemimpinan, menjunjung transparansi dan tata kepemerintahan yang baik, serta membalikkan upaya kementerian untuk melarang perusahaan menerbitkan peta konsesi masing-masing. Pemerintah juga harus mempercepat inisiatif Satu Peta (One Map) dan mendukung proyek-proyek pemetaan masyarakat.
Apa yang perlu dilakukan kawasan Asia Tenggara secara bersama-sama Pemerintah harus bertindak untuk mendukung Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas Tahun lalu, Singapura mengesahkan UU Polusi Asap Lintas Batas, yang memberikan kuasa kepada otoritas Singapura untuk menuntut perusahaan perkebunan (dan pihak lain) yang bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan gambut hingga - menyebabkan polusi udara cukup parah di Singapura. Di saat yang sama, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas, dan berkomitmen untuk bekerjasama dengan negara-negara tetangganya untuk mengatasi kabut asap. Namun, pada tanggal 26 Agustus 2015, Dr Nur Masripatin, direktur jenderal bidang perubahan iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, mengatakan kepada the Straits Times bahwa Indonesia tidak dapat mengungkapkan informasi tentang konsesi perkebunan, bahkan meskipun lewat berbagi informasi antar pemerintah (G2G), sebagai bagian dari upaya untuk memerangi titik api.17 Menahan informasi inisangat melemahkan usaha untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan perkebunan atas kebakaran di lahan mereka. Banyak dari perusahaan perkebunan yang telah membuka hutan dan lahan gambut berasal dari Malaysia dan Singapura yang sekarang terdampak kebakaran. Pemerintah negara-negara tersebut perlu mengambil tindakan untuk mendorong perusahaan-perusahaan mereka bertanggung jawab atas kontribusi mereka terhadap kabut asap regional ini.
16
http://www.greenpeace.org/international/Global/international/briefings/forests/2015 /Indonesia%20INDC%20Briefer.pdf 17 http://www.thejakartapost.com/news/2015/09/12/ri-refuses-singapore-s-helpforest-fires.html