ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH A 14105569
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
MUHAMMAD UBAYDILLAH. Analisis Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System of Rice Intensification) Kasus Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat. (Di bawah bimbingan RITA NURMALINA) Penggunaan faktor produksi pertanian yang menekankan pada input kimia turut andil dalam penurunan kualitas hidup dan lingkungan karena pencemaran residu bahan kimia berbahaya. Berawal dari usaha untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk, pemerintah menerapkan sistem intensif penggunaan input yang semasa itu dikenal sebagai revolusi hijau. Tahun 1984 merupakan kesuksesan pemerintah dalam berswasembada pangan nasional tanpa bergantung pada pangan impor. Bagi Indonesia, pangan identik dengan beras karena sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok. Kesuksesan swasembada beras tidak bertahan lama karena selang beberapa tahun Indonesia kembali mengimpor beras. Bukan hanya itu, ternyata berubahnya teknik budidaya dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang modern dengan menggunakan input anorganik membawa dampak negatif, salah-satunya adalah pencemaran residu kimia pada lingkungan termasuk pada komoditi pangan. Kerusakan lingkungan terus berlanjut karena penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sulit dihindari oleh petani. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan terhadap pendapatan yang diterima petani karena petani semakin tidak mandiri dalam mencukupi input usahataninya. Sementara disisi lain, harga input cenderung terus naik akibat kondisi ekonomi nasional yang tidak mendukung sejak krisis moneter tahun 1997 yang disusul kebijakan pemerintah menaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan petani dari penggunaan input anorganik dalam usahataninya khususnya pada komoditi padi, saat ini muncul berbagai format pertanian alternatif salah satunya yaitu padi ramah lingkungan metode SRI (System of Rice Intensification). Desa Ponggang merupakan salah satu daerah di Kabupaten Subang yang menerapkan teknik budidaya padi ramah lingkungan dengan metode SRI. Pada awalnya, teknik budidaya metode SRI dikenalkan di awal tahun 2005 oleh petani pada Kelompok Tani Ponggang Jaya. Sejalan dengan perkembangannya, teknik budidaya padi ramah lingkungan SRI yang berbasis pada kearifan lokal mulai diadopsi oleh petani lainnya diluar anggota kelompok tani meskipun hanya dalam hal penggunaan jenis input produksinya (bahan organik). Permasalahan muncul ketika ketersediaan bahan organik seperti kotoran hewan mulai terbatas karena intensitas penggunaannya meningkat, sehingga bahan-bahan organik tersebut tidak lagi murah diperoleh petani. Fakta lain yang ditemukan di Desa Ponggang yaitu harga jual gabah padi ramah lingkungan khususnya padi SRI tidak berbeda dengan harga gabah padi konvensional begitupun dengan produk turunannya yaitu beras. Sementara biaya pengusahaan yang dibutuhkan dalam produksi padi ramah lingkungan metode SRI lebih besar dibandingkan usahatani padi konvensional. Hal ini menjadi pertanyaan apakah usahatani padi ramah lingkungan metode SRI
yang dilakukan petani di Desa Ponggang masih menguntungkan secara ekonomi bila dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. Oleh karena itu, muncul pertanyaan bagaimana pengusahaan padi ramah lingkungan dan padi konvensional terhadap pendapatan petani di Desa Ponggang? Bagaimana pemasaran hasil produksi padi ramah lingkungan yang dikembangkan di Desa Ponggang dan bagaimana persepsi petani terhadap kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan metode SRI? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1) Menganalisis usahatani padi ramah lingkungan dan usahatani padi konvensional, 2) menganalisis saluran dan lembaga pemasaran, 3) Menganalisis margin masing-masing pelaku pasar dan farmer’s share pada pemasaran padi ramah lingkungan, 4) Menganalisis hubungan karakteristik responden dengan persepasinya mengenai kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi ramah lingkungan metode SRI lebih menguntungkan dibandingkan usahatani padi konvensional meskipun membutuhkan biaya usahatani yang lebih besar. Petani padi ramah lingkungan metode SRI menerima pendapatan kotor sebesar Rp 16.452.414,47/ha dan sekitar 62 persen bagian penerimaan tersebut digunakan untuk membayar biaya total usahatani sehingga pendapatan bersih yang diterima petani padi ramah lingkungan sebesar Rp 6.237.060,47/ha. Petani padi konvensional menerima pendapatan bersih hanya Rp 1.890.098,03/ha dari total pendapatan kotor sebesar Rp 9.968.755,2/ha karena sekitar 81,04 persen penerimaan petani digunakan untuk membayar biaya total usahatani. Pendapatan petani padi konvensional relatif kecil bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh petani padi ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan produksi GKP tanaman padi konvensional hanya sebesar 4.625,53 kg/ha (3.931,70 kg GKG). Sementara produktivitas tanaman padi ramah lingkungan metode SRI mencapai 7.837,89 kg/ha atau sebesar 6.665,54 kg GKG (susut 15 %). Berdasarkan tingkat pendapatan petani terhadap biaya total input produksi yang digunakan dapat diketahui efisiensi dari kedua usahatani tersebut yang terlihat pada nilai R/C ratio atas biaya total masingmasing yaitu 1,61 untuk usahatani padi ramah lingkungan metode SRI dan 1,23 untuk nilai R/C ratio usahatani padi konvensional. Secara aktual R/C ratio masing-masing usahatani sebesar 3,08 dan 1,72. Tataniaga padi ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang memiliki tiga saluran pemasaran yang melibatkan lima lembaga pemasaran, yaitu petani/produsen, pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul tingkat daerah (PPTD), pedagang beras non lokal yaitu Grosir dan pengecer. Biaya pemasaran tertinggi terdapat pada saluran pemasaran I. Hal ini dikarenakan lembaga pemasaran yang terlibat lebih banyak dibanding pada dua saluran lainnya (saluran pemasaran II dan III). Sementara saluran pemasaran yang memiliki margin biaya total (biaya pemasaran) paling rendah terdapat pada saluran III. Secara operasional, saluran pemasaran III dapat dikatakan sebagai saluran yang paling efisien karena memiliki margin biaya total paling kecil dalam tataniaga padi ramah lingkungan metode SRI. Selain itu, petani pada saluran pemasaran III memperoleh farmer’s share paling tinggi (78,79 %) bila dibandingkan dua saluran lainnya (75,06 %). Lembaga pemasaran yang menerima keuntungan paling besar dalam pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI yaitu petani (100 %), disusul pedagang pengecer non lokal, pedagang grosir, pedagang pengumpul dan
pedagang PPTD. Pedagang PPTD memperoleh keuntungan paling kecil karena melakukan paling banyak fungsi pemasaran. Saluran pemasaran IV dijadikan sebagai skenario alternatif pemasaran langsung oleh petani. Saluran yang pendek dengan menghilangkan peranan pedagang perantara pada pola IV menjadikan kegiatan pemasaran langsung oleh petani tidak efisien secara operasional. Dengan demikian keberadaan pedagang perantara seperti PPTD pada kasus pemasaran di Desa Ponggang sangat diperlukan.
Berdasarkan hasil uji X2test diketahui bahwa semua karakteristik responden tidak memiliki hubungan terhadap manfaat yang dirasakan oleh responden. Artinya pembagian karakteristik responden pada kategori (golongan) tertentu tidak mempengaruhi persepsi tentang kelebihan dan kelemahan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagian besar petani yang dijadikan responden penelitian telah merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lignkungan metode SRI.
ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH A 14105569
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
Analisis Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Nama
:
Muhammad Ubaydillah
NRP
:
A 14105569
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS NIP : 131 685 542
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP : 131 124 019
Tanggal Lulus: 10 Mei 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR MENGANDUNG
HASIL
KARYA
SAYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2008
Muhammad Ubaydillah A 14105569
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Karawang pada tanggal 10 Juni 1983, sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Putra dari pasangan Bapak Piyan dan Ibu Umroh. Penulis memulai pendidikannya di Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Mathla’ul Anwar Segaran I pada tahun 1990 dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di Madrasah Tsanawiyah Mathla’ul Anwar Segaran hingga tahun 1999. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di Sekolah Menengah Umum Negeri I Rengasdengklok sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 dan pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program diploma III di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Selepas menempuh program diploma III, penulis melanjutkan studi pada pendidikan strata satu (S1) Program Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2005 hingga tahun 2008. Semasa kuliah, penulis aktif pada beberapa organisasi kampus, antara lain sebagai staff Divisi III Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagron) pada tahun 2002, Ketua Divisi Sosial Kemasyarakatan Badan Koordinasi Mahasiswa Diploma Perbenihan (BKMDP), staff divisi Guru Tambahan Biro Pendidikan IPB Crisis Center (ICC) BEM KM IPB tahun 2003 hingga 2004 dan terakhir sebagai staff Departemen Pertanian BEM KM IPB 2004-2005.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu tercurahkan kepada sang khalik pencipta alam beserta isinya, Allah SWT atas kebesaran dan limpahan rahmat serta hidayahNya, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas
terselesaikannya penyusunan skripsi
yang berjudul “Analisis
Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System of Rice Intensification), (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat)”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan sarjana pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, namun seperti pepatah bilang “tak ada gading yang tak retak”. Akhirnya penulis hanya berharap semoga skripsi ini menjadi karya yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dan bagi pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, diawali dengan ucapan syukur kepada Allah SWT penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : 1. Kedua orang tua, Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dengan kasih sayang dan ridhonya. 2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. Selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, dukungan, saran dan perhatiannya yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai. 3. Muhammad Firdaus Ph.D. Selaku dosen penguji utama yang telah memberikan banyak masukan yang berarti bagi penyempurnaan skripsi ini. 4. Tanti Novianty, SP, Msi. Selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. 5.
Keluarga besar Bapak Agan Dedi (Ibu, Emi, Abah serta adik kecilku Santi dan Yopi) yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama pengumpulan data di tempat penelitian.
6. Keluarga besar Kelompok Tani Ponggang Jaya khususnya Bapak Asep Suryana (ketua kelompok tani), Bapak Edo, Bapak Tatang Carmid, Bapak Uyo, Bapak Dede, Keluarga Bapak Maman, Sobatku Mamat dan Asep.
7. Bapak Dedi M. Nur selaku Kepala Bagian Sumberdaya Manusia Dinas Pertanian Kabupaten Subang atas sambutan yang ramah dan pemberian izin serta membantu penyediaan informasi penelitian. 8. Teman-teman satu pembimbing : Avnita (terimakasih atas dukungan moril dan motivasinya), Siska, Timbul dan Eda (terimakasih atas kepedulian dan perhatiannya). 9. Bona, Baim dan Sudarlin yang menyediakan failitas komputer serta masukan yang sangat berarti. 10. Teman-teman kost Pioneer Arief (personal advisor), fajar (computer programe consultant) atas pinjaman laptopnya, Jam’an (sangat membantu dalam persiapan slide), Sudarsono, Wawan, Aris, dan Rian. 11. Teman-teman Veteran Tekben : Restu dan Keluarga (terimakasih buat kekeluargaannya serta dukungan materi dan moril), Ole (Ali), Ncep, Maria, Timbul, Riki, Sari (Iie), Nci dan Heda, khususnya Rizki yang bersedia menjadi pembahas seminar. Perjalanan dan perjuangan ini tidak akan memiliki warna dan arti tanpa kalian semua. 12. Teman-teman Ekstensi’13 khususnya Baban (Cimande), mba Endah dan kang Agung (business inspirator), Mrs. Inggit dan Mr. RER yang telah memberikan arti”ketawa itu penting” Nde, Dewi, Iil, Ida, dan temen-temen lainnya. Semoga segala amal kebaikan yang telah dilakukan menjadi hitungan ibadah dan hanya Allah SWT yang dapat menilai dan membalas semuanya, Amin.
Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
iv vi vii
I
PENDAHULUAN............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian............................................................ 1.5 Kegunaan Penelitian ....................................................................
1 1 5 8 9 10
II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Pertanian Berkelanjutan .............................................................. 2.2 High External Input Agriculture (HEIA)..................................... 2.3 Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)................. 2.4 Pertanian Organik......................................................................... 2.5 Tinjauan Empiris Tentang Usahatani Padi Organik.....................
11 11 12 12 13 14
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual ................................................. 3.1.1 Konsep Usahatani ............................................................... 3.1.1.1 Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani ..... 3.1.1.2 Pengeluaran Usahatani ........................................... 3.1.1.3 Penerimaan Petani................................................... 3.1.1.4 Pendapatan Usahatani ............................................. 3.I.2 Konsep Pemasaran.............................................................. 3.1.2.1 Fungsi-Fungsi Pemasaran ....................................... 3.1.2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran............................ 3.1.2.3 Efisiensi Pemasaran ................................................ 3.1.2.4 Margin Pemasaran dan Farmer’s Share ................ 3.I.3 Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Manfaat Padi SRI ................................................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
17 17 17 21 22 23 23 24 25 26 28 28
METODE PENELITIAN ................................................................ 4.1 Lokasi dan Waktu ........................................................................ 4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................. 4.3 Metode Pengambilan Sampel....................................................... 4.4 Metode Analisis Data................................................................... 4.5 Analisis Usahatani........................................................................ 4.5.1 Analisis Sistem Usahatani...................................................
36 36 36 37 37 38 38
III
IV
31 32
ii
4.5.2 Analisis Pendapatan Usahatani ........................................... 4.6 Analisis Pemasaran ...................................................................... 4.6.1 Analisis Margin Pemasaran ................................................ 4.6.2 Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran ......................... 4.7 Uji Chi-square (X2test).................................................................. 4.8 Definisi Operasional .....................................................................
38 40 40 41 41 45
V
GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN ......................... 5.1 Wilayah dan Topografi ................................................................ 5.2 Sosial Ekonomi Masyarakat......................................................... 5.3 Gambaran Umum Usahatani ........................................................ 5.4 Budidaya Padi Ramah Lingkungan Metode SRI ......................... 5.4.1 Pengolahan tanah ................................................................ 5.4.2 Pembibitan .......................................................................... 5.4.2.1 Persiapan Lahan Pembibitan ................................... 5.4.2.2 Perlakuan Benih Sebelum Sebar ............................. 5.4.3 Penanaman (Tandur)........................................................ 5.4.4 Penyiangan ....................................................................... 5.4.5 Pemupukan ...................................................................... 5.4.6 Pengendalian Hama dan Penyakit.................................... 5.4.7 Pengairan Sawah .............................................................. 5.4.8 Pemeliharaan Pematang Sawah........................................ 5.4.9 Panen ................................................................................ 5.4.10 Kegiatan pasca panen....................................................... 5.5 Karakteristik Responden ..............................................................
49 49 57 53 55 55 57 57 57 58 60 60 63 65 67 67 68 69
VI
ANALSISIS SISTEM USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL 6.1 Penggunaan Input......................................................................... 6.1.1 Benih ................................................................................... 6.1.2 Pupuk .................................................................................. 6.1.3 Pestisida .............................................................................. 6.1.4 Tenaga Kerja ....................................................................... 6.2 Output Usahatani.......................................................................... 6.3 Analisis Pendapatan Usahatani ................................................... 6.3.1 Penerimaan Usahatani............................................................... 6.3.2 Biaya Usahatani ........................................................................ 6.3.3 Pendapatan Usahatani ...............................................................
71 71 71 74 78 80 83 84 84 85 89
VII ANALISIS PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) ............................. 7.1 Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran.................................... 7.1.1 Petani................................................................................... 7.1.2 Pedagang Pengumpul Lokal................................................ 7.1.3 Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah (PPTD)................... 7.1.4 Pedagang Besar non Lokal (Grosir).................................... 7.1.5 Pedagang Pengecer (non Lokal)......................................... 7.2 Analisis Saluran Pasar .................................................................
92 92 92 93 94 97 97 98
iii
7.3 Margin Pemasaran dan Farmr’s Share ........................................
100
VIII HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN TERHADAP MANFAAT USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI .....................................................
107
IX
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 9.1 Kesimpulan .................................................................................. 9.2 Saran ............................................................................................
112 112 113
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN...............................................................................................
115 117
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perhitungan Analisis Pendapatan dan Analisis R/C Ratio.................
39
2. Luas Tanah Sawah Berdasarkan Sistem Irigasi di Desa Ponggang (Hektar) ..............................................................................................
51
3. Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan di Desa Ponggang Tahun 2007 (Hektar) ..........................................................................
52
4. Beberapa Jenis Ternak yang dikembangkan Penduduk di Desa Ponggang............................................................................................
54
5. Kandungan Unsur Hara Paad Beberapa Kotoran Hewan ..................
61
6. Serangan Beberapa Jenis Hama Pada Usahatani Padi di Desa Ponggang Musim Tanam Ke III (Periode Agustus-November 2007)
65
7. Sistem Pengairan pada Lahan Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (HST) ..........................................................................................
66
8. Kebijakan pada Bagi Hasil Sistem Nyeblokan dan Sistem Ngawesi yang digunakan di Desa Ponggang .....................................
68
9. Karakteristik Petani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Padi Konvensional .....................................................................................
69
10. Varietas Benih yang digunakan Petani Responden di Desa Ponggang (Perode Tanam Agustus-November) Tahun 2007 ............................
73
11. Penggunaan Pupuk Urea, TSP dan Ponska dalam Usahatani Padi Konvensional Periode Tanam Agustus-November Tahun 2007 (kg/ha) ................................................................................................
76
12. Penggunaan Pupuk Daun pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Musim Tanam (MT) Periode AgustusNovember 2007 (ml/ha) .....................................................................
77
13. Merek dagang dan Jenis Pupuk Daun pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode AgustusNovember 2007 (Hektar) ...................................................................
78
14. Jenis Obat-Obatan Pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (Hektar)..................
80
v
15. Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (HOK/Ha) .............
81
16. Produktivitas Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Padi Konvensional Pada Musim Tanam Periode Aguastus-November Tahun 2007 ......................................................................................
84
17. Penerimaan Petani Padi Ramah Lingkungan Dan Petani Padi Konvensional Musim Tanam Peride Agustus-November Tahun 2007 (hektar)...........................................................................
85
18. Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November Tahun 2007 (Rp/Ha) ..........................................................................
86
19. Pengeluaran Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November Tahun 2007 (Rp/Ha).............................
88
20. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional Pada Musim Tanam AgustusNovember Tahun 2007 di Desa Ponggang (Rp/Ha) ......................... 91 21. Fungsi Pemasaran Padi Ramah Lingkungan pada Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah di Desa Ponggang Tahun 2008 ............
96
22. Margin dan Farmer’s share yang diterima Masing-Masing Lembaga Pemasaran Padi Ramah Lingkungan di Desa Ponggang Bulan Februari Tahun 2008 (Rp/Kilogram) ................................................ 102 23. Pendapat Petani Responden Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Berdasarkan Kategori dari Karakteristik Responden .............................................
108
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kurva Permintaan Asal dan Turunan .............................................
29
2. Kerangka Operasional Penelitian....................................................
35
3. Pola Saluran Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI di Desa Ponggang ...................................................................
99
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian .....................................................................
118
2. Seleksi Benih Padi Ramah lingkungan dengan Perlakuan Larutan Garam..............................................................................................
119
3. Pembuatan Pupuk Bokashi .............................................................
120
4. Pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL)/Pestisida Nabati ......
122
5. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007 (Hektar) ........................................................................................... 123 6. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Pada Luas Rata-Rata 0,29 Ha Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007..............................................................
124
7. Rincian Penggunaan Biaya dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Ponggang Pada Musim Tanam (MT) Periode AgustusNovember Tahun 2007 (Hektar) .....................................................
125
8. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Konvensional Pada Luas RataRata 0,42 Ha Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007...............................................................................
126
9. Tabel Analisis Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI di Desa Ponggang (Bulan Februari 2008) ..................
127
10. Hubungan Umur dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI ........................... 128 11. Hubungan Lamanya Pendidikan Formal dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI ..................................................................................... 129 12. Hubungan Tingkat Pendapatan Usahatani dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI ................................................................
130
13. Hubungan Luas Lahan dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI .............
131
viii
14. Hubungan Lama Bertani dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI .............
132
15. Kebutuhan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (HOK/Ha) ................................................................... 133 16. Kebutuhan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Konvensional (HOK/Ha)........................................................................................
136
17. Karakteristik Petani Responden Padi Ramah Lingkungan Metode SRI .....................................................................................
139
18. Karakteristik Petani Responden Padi Konvensional ......................
140
19. Kuesioner Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI ..........
141
20. Kuesioner Usahatani Padi Konvensional .......................................
145
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Swasembada beras tahun 1984 merupakan keberhasilan Indonesia dalam
mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Swasembada beras mampu merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor menjadi negara pengekspor beras (Krisnamurthi, 2001). Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan tingginya tingkat inflasi. Kenaikan harga secara umum berdampak pada kenaikan harga input usahatani padi, seingga petani tidak mampu membeli pupuk dan pestisida dalam jumlah yang cukup untuk usahataninya sehingga berdampak pada penurunan produksi beras nasional. Gema keberhasilan swasembada beras tidak dirasakan lagi hingga saat ini, bahkan pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk. Sementara itu laju pertumbuhan penduduk terus meningkat yang tentunya diikuti pula oleh peningkatan konsumsi pangan penduduk. Tahun 2001 tingkat konsumsi penduduk Indonesia sebesar 27.427.000 ton beras dengan jumlah penduduk sebesar 209.372.000 jiwa.1 Saat ini penduduk Indonesia sebesar 210 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,6 persen membutuhkan sekitar 54 juta ton GKG pertahun atau setara dengan 35 juta ton beras dengan laju kebutuhan 2-3 persen pertahun. Keadaan di lapang menunjukkan produktivitas padi rata-rata 4,7 ton/ha. Sementara dari luasan lahan yang ada sekitar 11 juta ha, produktivitas padi rata-rata harus mencapai diatas 4,9 ton/ha agar ketahanan pangan tercapai.2
1
http://www.euromonitor.com.2007/20/07. http;//www.balitpa.litbang.deptan.go.id.2007/20/07/sudah perlukah organik?Irsal Las.20 juli 2007
2
2
Melihat kondisi demikian, pemerintah melakukan percepatan peningkatan produksi dengan menetapkan sasaran peningkatan produksi beras nasional dua juta ton tahun 2007. Salah satu usaha yang ditempuh pemerintah yaitu melalui pengembangan padi hibrida varietas unggul. Potensi genetik varietas unggul padi hibrida tersebut dapat diaktualisasikan dengan dukungan input produksi yang relatif tinggi seperti penggunaan pupuk anorganik dan racun pestisida. Sementara di sisi lain, kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari penggunaan bahan-bahan kimia terutama yang bersumber dari residu kimia pertanian telah banyak dirasakan dampak negatifnya. Residu bahan kimia tidak hanya mencemari lingkungan seperti air dan tanah, tetapi juga banyak residu pestisida yang tertinggal pada produk tanaman pangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan bila mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Penelitian Maastricht Ageing Belanda menyimpulkan bahwa unsur kimia dan pestisida yang terkandung dalam makanan konsumsi sehari-hari dapat menyebabkan gangguan kesadaran (cognitive dysfunction) seperti sulit mengeja, membaca, menulis, membedakan warna, termasuk berbicara (830 responden, 629 orang terpapar pestisida). Lebih berbahaya lagi, resiko terhadap gangguan fisik otak akan semakin besar. Bagi wanita, pestisida menjadi salah satu penyebab kanker payudara (sangat rawan).3 Pertanian alternatif banyak berkembang saat ini sebagai dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan telah direkomendasikan sebagai pertanian
3
http://www.sragen.go.id/pertanian.php2007/08/28.dampak negatif pestisida kimia.
3
alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Selain itu, berkembangnya slogan Back to Nature di berbagai negara dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat, merubah gaya hidup sebagian masyarakat modern termasuk pola konsumsi yang mensyaratkan pangan aman dikonsumsi dan bergizi tinggi. Akibatnya permintaan produk-produk pangan yang bebas penggunaan bahan kimia dalam produksinya atau dikenal sebagai produk organik meningkat termasuk komoditi beras. Situasi pasar dunia produk organik di negara-negara Eropa cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 1997 meningkat kurang lebih 1.5 persen, dan kenaikan pangsa pasar produk organik 3 persen sampai 10 persen cukup realistik (Thimm, 1991 dalam Sutanto 2006). Sementara perdagangan produk organik di Amerika Serikat meningkat lebih dari 20 persen dengan potensi segmen konsumen baru sebesar 25 sampai 35 persen dan pangsa pasar mencapai dua persen (Sutanto, 2006). Pertumbuhan pasar beras organik Indonesia sendiri sekitar 22 persen per tahun dan pada tahun 2005 pasar beras organik mencapai Rp 28 milyar. Melihat potensi yang besar dari pasar beras organik, pemerintah bertekad untuk menjadi produsen terbesar dunia produk pertanian organik melalui program “Go Organic 2010”. Untuk melaksanakan program tersebut, Subdit Pengelolaan Lingkungan, Direktorat Pengambangan Usaha, Departemen Pertanian melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Memasyarakatkan pertanian organik kepada konsumen, petani pelaku pasar, serta masyarakat luas.
4
2. Memfasilitasi percepatan penguasaan, penerapan, pengembangan dan penyebarluasan teknologi pertanian. 3. Memberdayakan potensi dan kekuatan masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur pendukung pertanian organik. 4. Merumuskan kebijakan, norma, standar teknis, sistem dan prosedur yang kondusif untuk pengembangan pertanian organik. Berkembangnya pertanian yang berbasis pada bahan-bahan organik dalam penggunaan input produksi menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung pengembangan pertanian organik bertolak pada keperihatinannya terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan pertanian, dan kesejahteraan petani secara mikro. Sementara kelompok yang kontra diwakili para peneliti padi di berbagai negara bertitik tolak dari kekhawatirannya terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani sacara menyeluruh. Pandangan dari golongan kontra menyatakan bahwa secara teknis sistem organik tidak mampu mendorong produktivitas dan bahkan cenderung menurun. Hal ini tidak relevan dengan keberlanjutan ketahanan pangan. Sistem pertanian organik akan lebih menguntungkan bila diterapkan pada komoditas bernilai ekonomi tinggi.4 Konsep padi organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal oleh petani sebagai sistem pertanian tradisional, hingga pemerintah mengenalkan paket teknologi pertanian yang mengutamakan penggunaan input produksi anorganik sebagai upaya peningkatan produktivitas pangan nasional. Penerapan pertanian organik 4
mengacu pada standar organik yang berlaku seperti standar pangan
http;//www.balitpa.litbang.deptan.go.id.2007/20/07/sudah perlukah organik?Irsal Las
5
organik SNI 01-6729-2002, sementara ditingkat internasional standar yang digunakan yaitu IFOAM Basic Standard (IBS) atau Codex Alimentarius Commission (CAC) (CAC/GL-32-1999). Proses produksi pertanian organik mengacu pada dua standar tersebut agar produk yang dihasilkan dapat diklaim sebagai produk organik. Sistem pertanian organik murni sulit diupayakan dalam budidaya tanaman padi karena pada umumnya ditanam pada hamparan lahan yang luas dengan sumber irigasi yang sama. Mengacu pada istilah yang digunakan dalam standar nasional SNI tentang pangan organik, sistem pertanian yang belum sepenuhnya menghilangkan residu kimia dalam proses produksinya lebih tepat menggunakan istilah pertanian ramah lingkungan. 1.2
Perumusan Masalah Ketergantungan petani pada pupuk anorganik dan obat-obatan kimia
menyebabkan usahatani semakin beresiko terhadap berkurangnya pendapatan yang diterima petani. Resiko tersebut tidak dapat dihindari petani karena input produksi termasuk faktor eksternal yang tidak dapat dikuasai petani dan berpengaruh langsung terhadap biaya dan pendapatan petani (Suratiyah, 2006). Kenaikan BBM pada bulan Oktober 2005 berdampak pada kenaikan harga-harga secara umum termasuk biaya input produksi usahatani. Lebih lanjut disusul kebijakan pemerintah meningkatkan HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk yang menyebabkan biaya usahatani meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya pendapatan petani yang sebelumnya memperoleh pendapatan Rp
6
73.218,68 perbulan menjadi Rp 63.193,05 perbulan dari luas lahan rata-rata 0.3 ha.5 Saat ini banyak dikembangkan format pertanian alternatif yang menerapkan konsep pertanian organik di berbagai daerah. Konsep pertanian organik dianggap mampu meningkatkan kemandirian petani dalam usahataninya karena memanfaatkan input produksi dari lingkungan (berbasis pada kearifan lokal). Salah satunya adalah konsep pertanian yang diusahakan oleh sebagian petani khususnya kelompok tani Ponggang Jaya di Desa Ponggang, kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Format pertanian yang dikembangkan di Desa Ponggang sudah mengarah pada pertanian organik yang hanya menggunakan bahan-bahan organik sebagai input produksinya. Namun, residu bahan kimia belum sepenuhnya bisa hindari karena masih satu areal dengan pengusahaan padi konvensional termasuk penggunaan saluran irigasi. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang sesuai dengan format pertanian yang di usahakan Kelompok Tani Ponggang Jaya menggunakan istilah pertanian ramah lingkungan dan teknik budidayanya dikenal sebagai metode SRI (System of Rice Intensification). Usahatani padi ramah lingkungan metode SRI menjadi pertanian alternatif yang mampu mengakomodasi permasalahan petani kecil dalam usahataninya khususnya masalah pengadaan input produksi. Permasalahan muncul ketika penggunaan bahan-bahan organik di daerah pengembangan pertanian ramah lingkungan meningkat, sementara upaya meningkatkan ketersediaan bahan-bahan organik melalui pengadaan sarana dan fasilitas belum optimal. Peningkatan biaya tidak dapat dihindari ketika ketersediaan input produksi mulai terbatas. Lebih 5
http://pusri.wordpress.com/2007/11/01/produsen-pestisida-naikkan-harga/
7
lanjut, belum adanya pasar yang menerima padi ramah lingkungan dengan harga layak sesuai dengan kualitas produk sehat dan aman dikonsumsi membuat pengusahaan padi ramah lingkungan menjadi sangat rentan terhadap rendahnya pendapatan yang diterima petani. Disisi lain biaya usahatani yang dibutuhkan pada pengusahaan padi ramah lingkungan relatif lebih besar dari usahatani padi konvensional, terutama saat awal pengembangan. Masalah-masalah tersebut merupakan gambaran permasalahan dalam usahatani dan pemasaran hasil produksi yang dihadapi petani padi ramah lingkungan khususnya petani padi di Desa Ponggang. Beberapa masalah lain yang ditemukan dalam usahatani padi ramah lingkungan sebagai berikut6: 1. persepsi tentang produktivitas padi ramah lingkungan yang lebih rendah 2. kendala pada fasilitas seperti akses jalan bagi lahan yang luas untuk mengangkut bahan organik. 3. kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak dan jumlah bahan organik yang besar. 4. kebutuhan
modal
usahatani
yang
lebih
besar
terutama
diawal
pengembangan. 5. kompetisi memperoleh bahan-bahan organik semakin tinggi, baik untuk usahatani maupun usaha lainnya. Sejak awal dikembangkan pada tahun 2005, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI masih dilakukan oleh petani di Desa Ponggang hingga
6
Hasil wawancara dengan beberapa petani di kecamatan Cilamaya dan kecamatan Sagalaherang.
8
saat ini. Hal ini menunjukkan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI mampu memberikan insentif bagi petani untuk terus bertahan pada pertanian ramah lingkungan metode SRI daalam mengusahakan lahan sawahnya. Meskipun demikian, pro-kontra tentang kelebihan dan kekurangan dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI tetap ada. Oleh karena itu, penelitian tentang padi ramah lingkungan di Desa Ponggang penting dilakukan sebagai format pertanian alternatif dari pengusahan padi konvensional yang ada. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pengusahaan padi ramah lingkungan dan padi konvensional terhadap pendapatan petani ? 2. Bagaimana pemasaran hasil produksi padi ramah lingkungan yang dikembangkan di Desa Ponggang ? 3. Bagaimana persepsi petani terhadap kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan metode SRI? 1.3
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis usahatani padi ramah lingkungan dan usahatani padi konvensional. 2. Menganalisis saluran dan lembaga pemasaran padi ramah lingkungan. 3. Menganalisis margin masing-masing pelaku pasar dan farmer’s share pada pemasaran padi ramah lingkungan. 4. Menganalisis hubungan karakteristik responden dengan persepasinya mengenai kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI.
9
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada hal-hal berikut :
Penggunaan istilah pertanian ramah lingkungan dalam penelitian mengacu pada definisi yang digunakan dalam standar SNI 01-6729-2002 sebagai pertanian yang mengarah pada pertanian organik namun belum sepenuhnya menghilangkan residu kimia.
Penggunaan data usahatani padi konvensional digunakan sebagai bahan perbandingan dalam analisis pendapatan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI.
Efisiensi pemasaran didasarkan pada efisiensi operasional dimana pemasaran akan efisien bila penggunaan biaya pemasaran rendah dan petani memliliki bagian (share) paling besar terhadap harga yang diterima konsumen akhir. Analisis menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share.
Harga-harga yang digunakan dalam analisis pendapatan maupun pemasaran adalah harga yang berlaku saat penelitian dilakukan.
Istilah manfaat dalam menganalisis hubungan karakteristik petani terhadap persepsinya tentang kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan didefinisikan bermanfaat jika kelebihan yang dirasakan petani dari teknik budidaya padi ramah lingkungan metode SRI lebih banyak dibanding kekurangan yang dimilikinya.
10
1.5
Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan referensi bagi pihak yang memerlukan informasi tentang usahatani padi khususnya padi ramah lingkungan. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan institusi terkait dalam menetapkan kebijakan pertanian khususnya padi ramah lingkungan. 3. Sebagai sumber informasi bagi petani dalam pengambilan keputusan usahatani, baik usahatani padi ramah lingkungan maupun usahatani padi konvensional. 4. Sebagai proses pembelajaran bagi penulis dalam mengkaji dan pemecahan masalah yang dihadapi.
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pertanian Berkelanjutan Reijntjes, dkk (2004) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai
pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Model pertanian berkelanjutan terus berkembang saat ini. Menurut Fahmi, dkk (2004) penerapan model pertanian berkelanjutan berkembang dengan berbagai variasi sebutan seperti pertanian selaras alam, pertanian ramah lingkungan, Pertanian Pengendalian Hama Terpadu (PPHT), pertanian organik dan berbagai sebutan lainnya. Gagasan model pertanian berkelanjutan sendiri dikembangkan dalam rangka membangun kembali sistem pertanian yang mampu menjaga, memelihara dan melindungi keberlanjutan alam serta dalam rangka menegakkan kembali kedaulatan petani yang telah dihancurkan oleh pertanian modern (revolusi hijau). Sach (1987) dalam Reijntjes, dkk (2004) menambahkan ada dua kekeliruan penilaian yang telah dilakukan sebelum pengenalan revolusi hijau sebagai berikut : •
Tidak terduganya peningkatan harga pupuk kimia dan bahan baku minyak serta penurunan harga-harga di pasar dunia internasional sebagai akibat produksi biji-bijian yang berlebihan. Perubahan ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi ditingkat konsumen, sementara harga ditingkat produsen lebih rendah. Sehingga yang diuntungkan adalah ditingkat supplier pupuk buatan dan bahan bakar minyak.
12
•
Tidak terduganya ketergantungan yang semakin meningkat terhadap pestisida dan pupuk buatan. Input tersebut telah mencemari sungai dan air tanah dalam tingkat yang membahayakan manumur.
2.2
High External Input Agriculture (HEIA) HEIA merupakan sistem pertanian modern yang menggunakan input
anorganik dengan jumlah tinggi atau sistem pertanian konvensional. Sistem ini mengkonsumsi sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan posfat dalam tingkat yang membahayakan. Sistem pertanian ini berorientasi pada pasar dan membutuhkan modal besar (Reijntjes, dkk., 2004). 2.3
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) Sistem pertanian LEISA adalah pertanian yang telah memperhatikan
lingkungan dalam penggunaan input. Meskipun demikian, sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern, termasuk menggunakan benih hibrida berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, serta pengolahan tanah yang berasaskan konservasi (Sutanto, 2006). Sebagian besar input usahatani yang dimanfaatkan berasal dari lahan, desa, wilayah atau negara sendiri dan diupayakan tindakan yang tepat untuk menjamin dan menjaga keberlanjutan. Penerapan pertanian LEISA dibeberapa daerah telah dilakukan pemerintah dengan cara mengurangi penggunaan input anorganik seperti urea, TSP dan KCl serta menambahkan bahan organik ke areal usahatani. Hasil produksi yang diperoleh dapat melebihi produksi pertanian modern. Pertanian padi ramah lingkungan metode SRI yang menjadi objek penelitian termasuk dalam konsep pertanian LEISA.
13
2.4
Pertanian Organik Berkembangnya berbagai macam istilah dari pertanian berkelanjutan
terkadang menimbulkan persepsi yang salah dalam mendefinisikannya. Oleh karena itu penerapan pertanian berkelanjutan diberbagai daerah memiliki pengertian yang berbeda. Istilah dalam pertanian berkelanjutan ini harus dipahami dengan baik. Saat ini dimasyarakat sering mengistilahkan pertanian organik adalah pertanian alami. Pengertian dari dua istilah ini berbeda. Pertanian alami adalah model pertanian yan terbebas dari penggunaan pupuk kimia atau bahan agrokimia yang lain. Sistem ini berkembang dengan mengandalkan kekuatan alam yang terdiri atas sumberdaya matahari, air, bahan tanaman untuk kompos. Sehingga pertanian alami bersifat harmonis dengan kondisi ekologi. Fukuoka dalam Fahmi, dkk. (2004) mengartikan pertanian organik sebagai praktek bertani secara alami tanpa pupuk buatan dan pestisida. Sedikit mungkin mengolah tanah namun hasilnya sama besar jika dibandingkan dengan pemakaian zat-zat kimia sintetik. IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movement) mendefinisikan pertanian organik sebagai: 1. Memproduksi pangan dalam jumlah yang mencukupi. 2. Mengupayakan sistem budidaya yang alami. 3. Mempertahankan siklus biologis tanaman. 4. Mengupayakan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui, serta 5. Memungkinkan produsen memperoleh pengembalian yang cukup dalam jangka panjang.
14
2.5
Tinjauan Empiris Tentang Usahatani Padi Ramah Lingkungan Penelitian sebelumnya banyak yang menggunakan istilah pertanian
organik dalam penelitian mereka. Beberapa diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rohmani (2000), Nainggolan (2001), Kusumah (2004) dan Fitriadi (2005). Informasi yang diperoleh dari penelitian terdahulu bila ditinjau secara empiris pada umumnya memberikan kesimpulan yang sama. Informasi dari penelitian yang dilakukan ditempat yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya total usahatani padi organik lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total yang diperoleh dari usahatani padi konvensional, sementara pendapatan atas biaya tunai padi organik lebih rendah. Menurut Kusumah (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Perbandingan Usahatani dan Pemasaran antara Padi Organik dan Padi Anorganik (Kasus: Kelurahan Mulyahrja, Kecamatan Bogor Selatan) hal tersebut disebabkan karena dalam usahatani padi organik penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan penggunaan tenaga kerja luar keluarga, sehingga biaya yang dikeluarkan kecil. Lain halnya dengan usahatani padi anorganik atau konvensional yang banyak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga, petani harus membayar upah dari penggunaan tenaga kerja tersebut yang berdampak besarnya total biaya yang dikeluarkan. Namun dari hasil uji z yang dilakukan Kusumah (2004) menyimpulkan perubahan sistem usahatani dari usahatani anorganik ke uahatani padi organik yang dilakukan oleh petani Mulyaharja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan mereka. Produktivitas padi organik dibandingkan dengan padi anorganik menunjukkan kesimpulan yang berbeda dalam penelitian sebelumnya. Penelitian
15
yang dilakukan oleh Rohmani (2000) yang berjudul ” Analisis Sistem Usahatani Padi Organik. Suatu studi perbandingan kasus Desa Segaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah”
menunjukkan bahwa
produktivitas padi organik lebih rendah dibandingkan padi yang diusahaakan secara anorganik. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian Kusumah (2004), dimana rata-rata hasil produksi petani padi organik dikelurahan Mulyaharja sebesar 4.006,03 kg sementara padi anorganik memperoleh hasil 4.854,20 kg. Berbeda halnya dengan hasil yang diperolah Fitriadi (2005) dalam penelitiannya yang berjudul ” Analisis Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya)”. Produksi padi organik mampu melebihi produksi padi yang diusahakan secara anorganik atau konvensional dengan produksi rata-rata 7.415,91 kg sementara rata-rata produksi padi anorganik hanya sebesar 3408,30 kg. Hal serupa diungkapkan pula dalam penelitian Nainggolan (2001) yang berjudul ”Analisis Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat”. Bila dikaitkan dengan dua tempat penelitian sebelumnya yang memperoleh kesimpulan berbeda yaitu Desa Segaran dan Desa Mulyaharja, Kusumah mengungkapkan bahwa hasil produktivitas yang berbeda disebabkan karena kondisi lahan yang diusahaakan padi organik tersebut berbeda. Lahan yang digunakan di Desa Sukagalih dan kecamatan Tempuran telah melalui masa konversi lahan, usahatani yang dilakukan sudah berlangsung lama. Sementara usahatani padi organik yang dilakukan oleh petani Desa Segaran dan kelurahan Mulyaharja masih dalam tahap permulaan.
16
Berdasarkan hasil produksi pada penelitian sebelumnya, sistem usahatani konvensional yang dilakukan oleh petani di kecamatan Tempuran dan Desa Sukagalih sudah tidak lagi efisien. Artinya penggunaan input kimia seperti pestisida, pupuk urea, KCl dan TSP serta pupuk anorganik lainnya tidak lagi memberikan tambahan
hasil yang optimal bagi produktivitas tanaman padi
sementara harga input tersebut cenderung terus meningkat. Meskipun produktivitas padi organik di kelurahan Mulyaharja dan Desa Segaran lebih rendah dari produktivitas padi anorganik, petani padi organik tetap memperoleh pendapatan yang lebih tinggi seperti halnya yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini didukung dengan nilai R/C ratio usahatani padi organik yang diperoleh dari penelitian tersebut semuanya menunujukkan hasil yang positif. Penelitian yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal alat analisis yang digunakan terutama dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriadi (2005). Beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya diantaranya yaitu pemilihan tempat untuk penelitian dan variabel persepsi yang digunakan untuk melihat hubungan karakteristik responden terhadap pendapatnya tentang kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan.
17
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani bukanlah sekedar kumpulan tanaman dan hewan, dimana orang bisa memberikan input atau apa saja dan kemudian mengharapkan hasil langsung. Namun, usahatani merupakan suatu jalinan yang kompleks yang terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuannya dan aspirasinya (Reintjntjes, dkk. 2004). Sementara Suratiyah (2006) mendefinisikan usahatani sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahaakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaikbaiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari
cara-cara
petani
menentukan,
mengorganisasikan,
dan
mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin. Rahim dan Hastuti (2007) mendefinisikan ilmu usahatani sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani efektif bila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output). Petani sebagai manajer atau juru tani harus dapat mengatur, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan usahataninya baik secara teknis maupun ekonomis. Menurut Suratiyah
18
(2006) faktor-faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga dan modal. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya seperti ketersediaan air, suhu dan lain-lain. a. Faktor Iklim Faktor iklim sangat penting terkait dengan komoditas yang diusahakan dalam usahatani. Tiap daerah memiliki iklim yang berbeda sehingga komoditas yang ditanam harus disesuaikan dengan iklim dimana komoditas tersebut akan ditanam. Hal ini dilakukan agar komoditas yang ditanam memiliki produktivitas tinggi serta memberikan manfaat lebih baik bagi manusia. Iklim juga berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi yang cocok dengan iklim tersebut. b. Faktor Tanah Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak dan usahatani secara keseluruhannya. Tanah punya sifat istimewa antara lain bukan merupakan barang produksi, tidak dapat diperbanyak, dan tidak dapat dipindah-pindah. Oleh karena itu, tanah dalam usahatani memiliki nilai terbesar. c. Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang bergantung pada musim. Kelangkaan tenaga kerja dapat berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk. Selain itu tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga, khususnya tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Hal ini terkait dengan kemampuan rumah tangga petani yang dari segi finansial memiliki keterbatasan modal. Tenaga
kerja
dalam
usahatani
19
memiliki karakteristik yang berbeda dengan tenaga kerja dibidang yang lain. Menurut Tohir (1983) dalam Suratiyah (2006) karakteristik tenaga kerja dalam uahatanai sebagai berikut. 1) Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata. 2) Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas. 3) Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan. 4) Beraneka ragam coraknya dan kadangkala tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tenaga kerja dalam usahatani dibedakan menjadi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga. Tenaga kerja keluarga adalah tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga petani yang melakukan usahatani, sehingga dalam perhitungan usahatani, biayanya digolongkan menjadi biaya diperhitungkan. Sementara tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja yang digunakan untuk mencukupi kekurangan tenaga kerja keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani perlu dilakukan secara efisien agar
usahatani
layak
dilakukan.
Menurut
ILO
(International
Labour
Organization) yang dikutip dalam Hernanto (1991) dalam Kusumah (2004) efisiensi tenaga kerja perlu diukur dalam menyelesaikan proses produksi. Salah satunya dengan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas adalah perbandingan antara masukan (input) dan hasil keluaran (output). Faktor produksi yang efisien adalah setiap tenaga kerja yang digunakan dapat mencapai tingkat produksi yang tinggi. Kebutuhan tenaga kerja dapat diketahui dengan cara menghitung setiap kegiatan masing-masing komoditas yang diusahakan, kemudian dijumlah untuk
20
seluruh usahatani. Dengan demikian petani dapat menentukan apakah menggunakan tenaga kerja keluarga saja atau mengambil dari luar keluarga dengan sistem pembayaran yang disepakati. Satuan yang sering dipakai dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja adalah HKO (hari kerja orang). Kelemahan dari pemakaian HKO adalah masing-masing daerah memiliki HKO yang berbeda, sehingga perlu disesuaikan lagi HKO yang berlaku. d. Modal Menurut Suratiyah (2006) tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia serta dapat menghemat penggunaan dari dua faktor produksi tersebut. Oleh karena itu modal dibagi menjadi dua, yaitu land capital saving dan labour capital saving. Modal dikatakan land capital saving bila dengan penggunaan modal tersebut
dapat
menghemat
penggunaan
lahan,
tetapi
produksi
dapat
dilipatgandakan tanpa harus memperluas areal (misalnya penggunaan pupuk,benih nggul, pestisida) dan labour capital saving. Sementara labour capital saving jika dengan penggunaan modal tersebut dapat menghemat penggunaan tenaga kerja (misalnya penggunaan mesin traktor). Modal berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua yaitu modal tidak tetap dan modal tetap. Modal tidak tetap hanya dipakai dalam satu kali proses produksi, maka keseluruhan nilai modal tidak tetap dibebankan dalam proses produksi yang bersangkutan. Semetara modal tetap perlu diperhitungkan dahulu karena tidak semua nilai modal tetap dibebankan
21
pada proses tersebut, biasanya diperhitungkan nilai penyusutannya. Hernanto (1991) dalam Kusumah (2004) mengelompokkan alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman dan ternak termasuk dalam modal tidak tetap. Sementara tanah dan bangunan termasuk dalam modal tetap. 3.1.1.1 Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Istilah yang digunakan dalam melihat ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani bermacam-macam, sehingga perlu dilakukan penyeragaman istilah agar tidak membingungkan. Oleh karena itu dibawah ini diuraikan beberapa istilah yang digunakan untuk ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani (Soekartawi, 1986 ). 1. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain dari pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani. 2. Pendapatan kotor tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pendapatan kotor tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. 3. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. 4. Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan didalam produksi, tetapi tidak termasuk
22
tenaga
kerja
keluarga
petani.
Pengeluaran
usahatani
mencakup
pengeluaran tunai dan tidak tunai. 5. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang. Jadi segala keluaran utuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. 6. Pengeluaran tidak tunai adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Contoh keluaran ini adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. 7. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi. 8. Penampilan usahatani kecil dinilai dengan mengukur penghasilan bersih usahatani. Ukuran ini diperoleh dari hasil pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan dan penyusutan. 3.1.1.2 Pengeluaran Usahatani Menurut Rahim dan Hastuti (2007) pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) dalam mengelola usahanya untuk memperoleh hasil yang maksimal. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap atau fixed cost diartikan sebagai
23
biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit. Menurut Soekartawi (1986) biaya tetap adalah biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi, petani harus membayarnya berapapun jumlah komoditas yang dihasilkan usahataninya. Sementara biaya tidak tetap atau variable cost merupakan biaya yang besarkecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh atau terganutng pada input yang digunakan dalam produksi. Penentuan biaya tetap dengan biaya tidak tetap tergantung pada sifat dan waktu pengambilan keputusan tersebut. Misalnya keputusan untuk menyewa lahan adalah biaya variabel atau biaya tidak tetap terkait dengan keputusan petani menyewa tambahan lahan, namun lahan yang telah disewa adalah biaya tetap. 3.1.1.3 Penerimaan Petani Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Menurut Suratiyah (2006) penerimaan atau pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan atau penaksiran kembali (Rp). Pendapatan kotor = jumlah produksi (Y) x harga per satuan (Py) 3.1.1.4 Pendapatan Usahatani Menurut Rahim dan Hastuti (2007) pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan usahatani meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut. Pd = TR – TC TR = Y x Py
24
TC = FC + VC dimana : Pd : pendapatan usahatani TR : total penerimaan (total revenue) TC : total biaya (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost) VC : biaya variable (variable cost) Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py : harga Y 3.I.2
Konsep Pemasaran Pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan pada memuaskan
keinginan dan kebutuhan melalui proses pertukaran (Radiosunu, 1983 dalam Rahim dan Hastuti 2007). Kotler (1997 ) dalam Fitriadi (2005) menambahkan adanya kebutuhan dan keinginan manusia menimbulkan permintaan terhadap produk tertentu yang didukukung oleh kemampuan membeli. Produk tersebut diciptakan untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia sehingga timbul proses pertukaran untuk memperoleh produk yang diinginkan atau dibutuhkan dengan menawarkan sesuatu sebagai gantinya. Menurut Beierlein dan Michael (1991) dalam Rahim dan Hastuti (2007) pemasaran adalah semua kegiatan yang membantu memuaskan kebutuhan konsumen dengan mengkoordinasi aliran barang dan jasa ke konsumen atau produsen. Kotler (2005) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Definisi pemasaran oleh Limbong dan Sitorus (1987) dalam Fitriadi (2005) pemasaran adalah segala usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke
25
tantgan konsumen. Ditinjau dari segi ekonomis, kegiatan pemasaran bersifat produktif karena memberikan nilai tambah dari kegiatan suatu barang. Pemasaran komoditas pertanian dikenal pula dengan istilah tataniaga pertanian. Menurut Dahl and Hammond (1977) tataniaga petanian merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen (tingkat usahatani) sampai ke pengguna akhir. Tataniaga menjembatani gap antara petani produsen dengan konsumen akhir. Sementara Rahim dan Hastuti (2007) mendefinisikan tataniaga pertanian saebagai proses aliran komoditas yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu (time utility), guna tempat (place utillity), dan guna bentuk (form utility) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan salah satu atau lebih fungsi-fungsi pemasaran. 3.1.2.1 Fungsi-Fungsi Pemasaran Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Fitriadi (2004) fungsi pemasaran merupakan kegiatan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran komoditas pertanian yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemasaran pada prinsipnya terdapat tiga fungsi pemasaran, yaitu fungsi pertukaran, fungsi pengadaan fisik, dan fungsi fasilitas atau pelancar (Dahl and Hammond, 1977). 1)
Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, dan fungsi pengumpulan.
2)
Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan fungsi pengolahan.
26
3)
Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standardisasi, fungsi keuangan, fungsi penanggungan resiko dan fungsi intelijen pemasaran (informasi pasar).
3.1.2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran Menurut Rahim dan Hastuti (2007) lembaga pemasaran merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditas sesuai waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran. Memilih secara tepat saluran pemasaran yang digunakan dalam pemasaran komoditas pertanian merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan, karena dapat menentukan efisiensi pemasaran yang dilakukan. Menurut Kotler ( 2005) saluran pemasaran adalah beberapa organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses mengupayakan agar produk atau jasa tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi. Saluran pemasaran terbentuk karena produsen tidak menjual barangnya secara langsung kepada konsumen akhir, sehingga diperlukan adanya perantara untuk menutupi gap tersebut. Kotler (2005) mendefinisikan beberapa istilah lembaga yang terlibat dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir sebagai berikut :
27
1) Pedagang, yaitu perantara yang membeli, memiliki dan menjual barang tersebut. Lembaga yang termasuk dalam pedagang seperti pedagang besar dan pengecer. 2) Agen, yaitu mencari pelanggan dan mungkin melakukan negosiasi atas nama produsen tetapi memiliki barang tersebut. Contohnya adalah pialang, perwakilan produsen dan agen penjualan. 3) Fasilitator yaitu lembaga yang membantu dalam proses distribusi, tetapi tidak memiliki barangnya dan juga tidak melakukan negosiasi pembelian atau penjualan. Contohnya seperti perusahaan angkutan, pergudangan independen, bank dan agen iklan. Panjang pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu hasil komoditas pertanian bergantung pada beberapa faktor, antara lain : pertama, jarak antara produsen dan konsumen. Saluran pemasaran akan semakin panjang dengan semakin jauhnya jarak antara produsen dan konsumen. Kedua, cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat rusak harus segera diterima oleh konsumen, dengan demikian menghendaki saluran yang pendek. Ketiga, skala produksi. Bila produksi dalam skala kecil maka tidak akan menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Keempat, posisi keuangan pengusaha. Pedagang yang memiliki modal yang kuat akan dapat melaksanakan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan pedagang yang memiliki modal kecil, sehingga cenderung memperpendek saluran pemasaran (Rahim dan Hastuti, 2007).
28
3.1.2.3 Efisiensi Pemasaran Efisiensi pemasaran komoditas pertanian merupakan rasio yang mengukur keluaran suatu sistem/produksi komoditas pertanian atau proses untuk setiap unit masukan untuk membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran (output) yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran (Rahim dan Hastuti, 2007). Rahim dan Hastuti (2007) menambahkan efisiensi pemasaran didefinisikan sebagai peningkatan rasio output-input yang dapat dicapai dengan cara sebagai berikut: pertama, output tetap konstan sedangkan input mengecil; kedua, output meningkat sedangkan input tetap konstan; ketiga, output meningkat dalam kadar yang lebih tinggi daripada peningkatan input; dan keempat, output menurun dalam kadar yang lebih rendah ketimbang penurunan input. Menurut Rahim dan Hastuti (2007) pemasaran yang efisien diperoleh dari efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional dianalisis dengan menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share sementara untuk efisiensi harga menggunakan pendekatan integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga. Analisis efisiensi pemasaran dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan efisiensi dimana pemasaran akan efisien bila memiliki biaya pemasaran yang rendah dan masing-masing lembaga pemasaran tidak dirugikan (mendapat keuntungan yang layak) 3.1.2.4 Margin Pemasaran dan Farmer’s share Teori harga menyebutkan bahwa penjual dan pembeli bertemu langsung sehingga harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan secara agregat. Dengan demikian, tidak ada perbedaan harga baik di tingkat produsen
29
(petani) maupun konsumen, namun kenyataan di lapang tidak demikian. Banyak kendala yang dihadapi pelaku pasar untuk bertemu langsung dalam melakukan transaksi, sehingga diperlukan perantara yang menyampaikan produk dari produsen ke konsumen akhir. Dengan demikian, harga produk ditingkat produsen atau petani akan berbeda dengan harga yang diterima oleh pengguna akhir. Dahl and Hammond (1977) mendefinisikan margin pemasaran sebagai perbedaan antara harga di tingkat yang berbeda dalam sistem pemasaran. Margin pemasaran adalah perbedaan antara harga di tingkat petani (Pf) dan harga di tingkat pengecer (Pr). Secara grafis margin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 1.
P
Sr
Sf
Pr MP Pf
Dr Df
0
Qrf
Q
Gambar 1. Kurva Permintaan Asal dan Turunan Sumber: Hammond dan Dahl, 1977 Keterangan: Pr Sr Dr Pf Sf Df Qrf
: harga ditingkat pengecer : penawaran ditingkat pengecer : permintaan ditingkat pengecer : harga ditingkat petani : penawaran ditingkat petani : penawaran ditingkat petani : jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pengecer
Sudiyono ( 2001) dalam Rahim dan Hastuti (2007) mengemukakan bahwa terdapat dua cara dalam mendefinisikan margin pemasaran. Pertama, margin
30
pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Kedua, margin pemasaran merupakan biaya dari jasajasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran. Dengan demikian, efisiensi pemasaran dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan margin pemasaran. Margin pemasaran diperoleh dari selisih harga jual ditingkat produsen (petani) dengan harga jual ditingkat konsumen. Margin yang diterima lembaga pemasaran masih mengandung biaya-biaya pemasaran (margin biaya total) dan keuntungan pemasaran (margin keuntungan). Sementara besarnya bagian yang diterima petani akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan farmer’s share. Secara matematis margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut (Rahim dan Hastuti, 2007) : M=
m
∑ Cij +
i , j =1
n
∑∏ π j =1
dimana : M Cij
: margin pemasaran : biaya pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j Πij : keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-j m : jumlah jenis biaya pemasaran n : jumlah lembaga pemasaran Secara operasional, margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : MP = Pr – Pf dimana : MP : margin pemasaran (Rp) Pr : harga di tingkat pengecer (Rp) Pf : harga di tingkat produsen/petani (Rp) Nilai margin yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat adalah perbedaan harga pada dua tingkatan sistem pemasaran dikalikan
31
dengan jumlah produk yang ditransaksikan dikenal sebagai nilai margin pemasaran (VMP) dimana dapat dirumuskan sebagai berikut : VMP = (Pr – Pf)*Q dimana : VMP Pr Pf Q 3.1.3
: Value of Marketing Margin (nilai margin pemasaran) : harga di tingkat pengecer (Rp) : harga di tingkat produsen/petani (Rp) : jumlah yang diproduksi
Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Manfaat Padi SRI Uji chi-square digunakan untuk beberapa penelitian sosial ekonomi yang
menggunakan data berkategori nominal untuk mengukur atribut-atribut dari fenomena tertentu. Secara umum, uji chi-square digunakan dalam penelitian untuk mencari kecocokan ataupun menguji ketidakadaan hubungan antara beberapa populasi (Nazir, M.,2003). Oleh karena itu, penulis menggunakan uji chi-square sebagai alat dalam menganalisis hubungan manfaat usahatani padi SRI yang dirasakan petani dengan karakteristik petani responden. Menurut Waluyo (2001) uji X2test menentukan pada apakah suatu populasi punya suatu sebaran teoritis tertentu. Uji ini didasarkan pada derajat kebebasan antara frekuensi hasil pengamatan dengan frekuensi harapan yang didasarkan pada sebaran teoritis yang dihipotesiskan. Menurut Fitriadi (2005) uji chi-square merupakan alat analisis yang sangat sederhana, namun memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat melihat 1) apakah hubungan positif atau negatif, 2) bagaimana hubungan tersebut (linear atau nonlinear) dan 3) seberapa eratnya hubungan yang terjadi.
32
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Pertanian organik sebagai konsep pertanian yang berkelanjutan menjadi
solusi alternatif dari masalah-masalah yang dihadapai saat ini, khususnya masalah kerusakan lingkungan dan ketergantungan petani terhadap input kimia yang tinggi. Masalah kerusakan lingkungan akibat residu kimia termasuk yang terdapat pada produk-produk hasil pertanian, menjadi isu global sebagai dasar dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Oleh karena itu diperlukan konsep pertanian yang mampu menekan kerusakan lingkungan akibat penggunaan input pertanian serta tidak meninggalkan residu racun berbahaya pada produk pertanian. Dengan demikian, kelestarian ekologi lingkungan dapat terjaga dan pangan dari produk pertanian aman dikonsumsi. Konsep pertanian organik yang berkembang saat ini mampu mengakomodasi dari kedua kepentingan tersebut. Salah satu sistem usahatani yang dilakukan secara organik yaitu System of Rice Intensification (SRI). Usahatani padi ramah lingkungan SRI relatif berbeda dengan usahatani padi konvensional terutama dalam penggunaan input. Hal ini berdampak pada penggunaan biaya input yang berbeda, namun kondisi tersebut tidak selalu menunjukkan pendapatan yang diperoleh petani berbeda. Oleh karena itu, untuk melihat pendapatan usahatani padi ramah lingkungan maka digunakan data pengusahaan padi konvensional sebagai pembanding yang dapat menunjukkan kedua sistem usahatani tersebut berbeda dalam hal output yang dihasilkan. Pendapatan usahatani merupakan hasil akhir yang akan diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam usahataninya. Oleh karena itu, petani harus melakukan tindakan efisiensi dalam menggunakan
33
sumberdaya dimana keluaran output diharapkan melebihi semua input produksi yang telah dikeluarkan. Efisiensi usahatani dapat diketahui dengan melihat rasio R/C yang menunjukkan berapa penerimaan yang diperoleh petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Informasi lain yang dapat diperolah dari hasil analisis R/C ratio yaitu untuk melihat apakah usahatani yang dilakukan petani menguntungkan secara ekonomi. Semakin besar nilai R/C ratio maka usahatani yang dilakukan akan semakin menguntungkan. Nilai total dari hasil kegiatan produksi akan menguntungkan bila dapat dipasarkan dengan harga yang layak. Tentunya kelayakan tersebut masih relatif bagi para pelaku pasar termasuk petani. Oleh karena itu dilakukan analisis saluran pemasaran padi ramah lingkungan. Pemasaran padi ramah lingkungan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan beberapa pendekatan dalam pemasaran yaitu pendekatan fungsi, kelembagaan dan saluran pasar. Fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga atau pelaku pasar yang terlibat sebagai aktivitas pemasaran, sehingga jumlah pelaku pasar yang terlibat dalam proses pemasaran tersebut akan menentukan panjang pendeknya saluran pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pemasaran itu sendiri adalah untuk meningkatkan atau menciptakan nilai guna waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan. Aktivitas dari lembaga pemasaran dalam menyalurkan produk hasil pertanian hingga sampai ke konsumen melalui berbagai saluran alternatif. Pemilihan saluran pemasaran didasarkan pada berbagai pertimbangan yang dapat meningkatkan keuntungan masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat.
34
Efisiensi pemasaran tidak ditentukan oleh panjang-pendeknya saluran pasar, meskipun saluran pasar yang pendek terlihat lebih efektif dalam menyampaikan produk hingga diterima oleh konsumen. Saluran pasar yang pendek tidak menjamin keuntungan yang diterima pelaku pasar lebih tinggi dari saluran pemasaran yang panjang. Pemasaran dianggap efisien bila memiliki biaya pemasaran yang kecil dan masing-masing pelaku pasar menerima bagian keuntungan yang layak atas pengorbanan biaya yang telah dikeluarkan selama kegiatan pemasaran. Efisiensi pemasaran padi dianalisis dengan menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share untuk melihat bagian keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran dan petani dari proses pemasaran tersebut. Hubungan karakteristik responden dengan persepsi mereka terhadap manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI dianalisis dengan uji chisquare.
35
Permasalahan padi ramah lingkungan : • Biaya produksi ramah lingkungan yang tinggi • Ketersediaan input bahan organik yang mulai terbatas • Harga jual output usahatani ramah lingkungan yang sama dengan output usahatani konvensional
Usahatani padi konvensional Usahatani padi ramah lingkungan
Analisis sistem usahatani : 1.Penggunaan input-output 2.Analisis pendapatan Penerimaan Biaya 3. Efisiensi (R/C ratio)
Analisis pemasaran
Lembaga dan saluran pemasaran
Atribut karakteristik petani : • Umur • Tingkat pendidikan • Tingkat pendapatan • Status kepemilikan lahan • Pengalaman bertani padi sri Uji Chi- square Keterangan : : ruang lingkup penelitian
Efisiensi pemasaran Marjin pemasaran Farmer’s share
Manfaat padi ramah lingkungan SRI
Rekomendasi
Gambar 2. Kerangka Operasional Penelitian
36
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Ponggang kecamatan Sagalaherang,
kabupaten Subang, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Berdasarkan informasi yang diperoleh, Desa Ponggang merupakan daerah yang pertama kali mengembangkan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI di Kabupaten Subang. Pertanian ramah lingkungan metode SRI ini kemudian dikembangkan ke wilayah lainnya di Kabupaten Subang. Pengusahaan padi ramah lingkungan metode SRI hingga saat ini masih tetap konsisten dilakukan petani padi di Desa Ponggang khususnya anggota Kelompok Tani Ponggnag Jaya. Oleh karena itu, penelitian difokuskan pada kelompok tani Ponggang Jaya. Pengumpulan data responden dilakukan pada bulan Januari 2008 hingga Februari 2008. 4.7
Jenis dan Sumber Data Data penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yang dipandu dengan kuesioner. Data sekunder digunakan untuk mendukung penelitian yang diperoleh dari beberapa instansi yang terkait seperti balai desa, kecamatan, Dinas Pertanian Kabupaten Subang. Selain itu digunakan literatur-literatur lain yang relevan, baik dari buku, hasil penelitian maupun media elektronik (internet).
37
4.8
Metode Pengambilan Sampel Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara yang dipandu kuesioner
terhadap 19 petani padi ramah lingkungan metode SRI dan 19 petani padi konvensional. Penetapan responden dilakukan secara sengaja (purpossive sampling). Responden padi ramah lingkungan merupakan seluruh anggota Kelompok Tani Ponggang Jaya yang masih melakukan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI (sensus) sementara responden padi konvensional ditetapkan secara sengaja sebanyak 19 orang sebagai data pembanding dalam analisis usahatani. Data pemasaran dikumpulkan dengan cara mengikuti alur pemasaran yang ada berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya (Snowball sampling). Responden yang diwawancara sebanyak empat orang pedagang. 4.9
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara
kualitatif dilakukan untuk melihat perbandingan gambaran umum proses produksi padi ramah lingkungan SRI dengan padi konvensional yang dilakukan oleh di tempat penelitian. Selain itu, digunakan untuk mendeskripsikan pemasaran padi ramah lingkungan SRI. Analisis kuantitatif dilakukan pada analisis pendapatan, analisis R/C ratio, efisiensi pemasaran serta analisis X2 (chi-square). Hasil pengolahan data primer disajikan dalam bentuk tabel yang kemudian diinterpretasikan, selanjutnya dilakukan pembahasan. Proses pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer (kalkulator dan program excel).
38
4.10 Analisis Usahatani 4.10.1 Analisis Sistem Usahatani Analisis
sistem
usahatani
dilakukan
secara
deskriptif
untuk
membandingkan usahatani padi ramah lingkungan SRI dan padi konvensional. Dalam hal ini perbandingan usahatani dilakukan pada penggunaan input serta hasil produksi (output) dari kedua sistem usahatani tersebut. 4.10.2 Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani diperoleh dari semua penerimaan (revenue) setelah dikurangi biaya-biaya (cost) yang dikeluarkan selama periode usahatani. Sementara untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya dilakukan analisis B/C ratio. Adapun rumus R/C ratio sebagai berikut : R/C ratio = jumlah penerimaan (Rp) Jumlah biaya (Rp) Kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil analisis R/C ratio sebagai berikut : R/C ratio > 1 : usahatani menguntungkan R/C ratio < 1 : usahatani rugi R/C ratio = 1 : usahatani impas Secara sederhana, perhitungan analisis pendapatan dan R/C ratio dapat disajikan seperti pada Tabel 1.
39
Tabel 1 Perhitungan Analisis Pendapatan dan Analisis R/C Ratio A Pen. Tunai B
Biaya Tetap
Harga x hasil panen (kg) Tunai (X) Diperhitungkan (Y) • Benih • Benih tradisional • Pupuk urea, TSP, KCl • Pupuk bokashi • Obat-obatan (pestisida • MOL dan PPC cair dan padat) organik • Tenaga kerja luar • Tenaga kerja dalam keluarga (TKLK) keluarga (TKDK) • Sewa alat bajak • Biaya sewa lahan* • Biaya lain-lain • Sewa alat bajak* • Biaya lain-lain Penyusutan alat • Pajak
Total Biaya Pend. Atas Biaya Tunai Pend. Atas Biaya Total R/C Ratio biaya tunai R/C Ratio biaya total
B+C A– X A–D A/X A/D
Biaya Variabel
C D E F G H
Keterangan : Pen. = penerimaan, Pend. = Pendapatan *diperhitungkan atas penggunaan milik sendiri Pendapatan dalam perhitungan di atas dibagi menjadi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai atau pendapatan kotor adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total setelah dikurangi oleh biaya-biaya yang dibayar dengan uang (biaya input, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa alat dan pajak). Sementara pendapatan atas biaya total atau pendapatan bersih adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total setelah dikurangi biaya-biaya usahatani yang telah dikeluarkan termasuk biaya yang diperhitungkan. R/C ratio diperoleh dari hasil bagi penerimaan dengan biaya tunai dan penerimaa dibagi dengan biaya total (biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan). R/C ratio biaya tunai merupakan efisiensi usahatani yang aktual terjadi dalam usahatani. Biaya yang diperhitungkan yaitu biaya yang memperhitungkan atas penggunaan milik sendiri (sewa atas alat bajak dan lahan milik sendiri, dan
40
penyusutan alat), input produksi yang diperoleh dengan cara membuat sendiri, dan tenaga kerja keluarga serta nilai penyusutan alat yang digunakan dalam satu musim tanam. Biaya penyusutan alat dihitung dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dibagi umur ekonomi dari alat tersebut. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Biaya penyusutan = Nb − Ns n dimana : Nb Ns n 4.11 4.6.1
: Nilai pembelian (Rp) : Nilai sisa (Rp) : Umur ekonomi alat (tahun)
Analisis Pemasaran Analisis Margin Pemasaran Analisis margin dilakukan untuk mengetahui komponen biaya pemasaran
serta bagian yang diterima masing-masing pelaku pasar yang terlibat dalam pemasaran padi SRI. Adanya perbedaan harga persatuan ditingkat petani dengan konsumen menyebabkan margin yang diterima masing-masing pelaku pasar akan berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran dalam menjalankan fungsi pemasaran. Secara matematis margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut: MP = Pr – Pf dimana : MP : margin pemasaran (Rp) Pr : harga di tingkat pengecer (Rp) Pf : harga di tingkat produsen/petani (Rp)
41
Bagian yang diterima petani dengan harga yang terjadi dikonsumen akhir dapat diketahui melalui farmer’s share dengan rumus sebagai berikut: Fs =
Pf Pr
× 100%
dimana: Fs Pf Pr
: Farmer’s share : Harga yang diterima Petani (Rp) : Harga yang dibayar konsumen (Rp)
4.6.2 Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran Analisis saluran pemasaran dilakukan dengan cara mengidentifikasi lembaga pemasaran yang terlibat serta mendeskripsikan alur pemasaran yang terjadi dalam bentuk skema. Skema pemasaran dapat terbentuk beberapa macam tergantung alur pemasaran yang terjadi. Kemudian, dengan melihat beberapa skema yang terbentuk dapat ditentukan alur pemasaran alternatif yang lebih efisien untuk pemasaran padi ramah lingkungan SRI. 4.7
Uji Chi-square (X2) Variabel yang akan dianalisis adalah karakteristik responden dengan
mengukur atribut-atribut seperti umur, pendidikan formal, tingkat pendapatan, status kepemilikan lahan, dan pengalaman bertani. Variabel-variabel tersebut diduga memiliki hubungan dengan keputusan yang diambil responden terhadap manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan. Untuk melihat hubungan
dari
atribut-atribut
tersebut
maka
karakteristik
responden
dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Teknik membagi karaktersitik kedalam beberapa kategori menggunakan sebaran frekuensi. Sebaran frekuensi berguna untuk mengetahui ciri-ciri penting
42
sejumlah besar data dengan cara mengelompokkan data tersebut kedalam beberapa kategori dalam tabel frekuensi (Walpole, 1995). Secara sederhana prosedur membuat tabel frekuensi sebagai berikut (Nazir, 2005): 1. Menentukan range pengamatan dengan cara mengurangi nilai pengamatan tertinggi (limit atas) dengan pengamatan terendah (limit bawah). 2. Menentukkan jumlah kelas (kategori) yang ingin dibuat, kemudian cari besar kelas dengan cara membagi range pengamatan dengan jumlah kelas tersebut. Besar kelas ini merupakan nilai beda antar kelas. Buat interval kelas hingga kelas berikutnya. 3. Menghitung dan menjumlahkan frekuensi pengamatan yang masuk kedalam masing-masing interval kelas. Sebaran frekuensi dapat dirumuskan sebagai berikut : K=
R , I
dimana : K R I
: jumlah interval kelas : range : besar interval kelas
Asumsi dasar dalam mendefinisikan variabel-variabel karakteristik responden sebagai berikut. 1. Umur petani yang dijadikan responden dibagi kedalam dua kategori, yaitu petani yang berumur 31 s/d 50 tahun dan usia 51 s/d 70 tahun. Umur responden tersebut diperoleh dari sebaran frekuensi dari semua umur petani responden. Responden pada usia produktif (31 s/d 50 tahun) diduga lebih mampu melihat keragaan usahatani padi ramah lingkungan yang dilakukannya
43
termasuk kelebihan dan kelemahan dari usahatani tersebut dibandingkan petani yang berusia di atas 50 tahun. 2. Lamanya menempuh pendidikan diduga mempengaruhi responden dalam menjawab pertanyaan tentang manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Semakin lama menempuh tingkat pendidikan formal maka tingkat pemahamnnya terhadap usahatani padi ramah lingkungan yang dilakukannya akan semakin baik dan lebih rasional. Tingkat pendidikan responden dibedakan kedalam kategori lamanya menempuh pendidikan yaitu petani yang menempuh enam tahun atau kurang dari enam tahun dan lebih dari sembilan tahun. 3. Tingkat pendapatan responden yang diperolehnya dari usahatani padi ramah lingkungan diduga mempengaruhi responden dalam menilai manfaat dari usahatani tersebut. Pendapatan usahatani responden dari usahatani padi yang dilakukannya dibagi menjadi dua kategori yaitu < Rp 1.700.000,00 dan > Rp 1.700.000,00 per bulan. 4. Petani yang memiliki lahan sawah luas diduga akan lebih memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari teknik budidaya yang digunakannya. Hal ini karena menyangkut modal yang dikeluarkannya relatif besar dibanding petani yang memiliki lahan sempit. Luas lahan sawah dibagi menjadi kategori luas 0,7 s/d 0,4 hektar dan 0,41 s/d 0,75 hektar. 5. Responden yang telah lama berusahatani diduga lebih kritis dalam menilai keunggulan dan kelemahan usahatani yang dilakukannya dengan bekal berpengalamannya. Lamanya bertani dikategorikan menjadi 9 s/d 28 tahun dan 29 s/d 48 tahun.
44
Data yang terkumpul ditabulasi dengan menggunakan tabel kontingensi r x
c. Karakteristik responden disajikan dalam baris dan variabel manfaat disajikan dalam kolom. Prosedur uji chi-square sebagai berikut (Bluman, 1992) : 1. Merumuskan hipotesis yang ingin diuji H0 : Tidak ada hubungan antara karakteristik dengan manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI yang dirasakan responden. H1 : Terdapat hubungan antara karakteristik dengan manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI yang dirasakan responden. 2. Menentukan daerah-daerah penolakan hipotesis dengan mencari harga chi-
square pada tabel distribusi chi-square, pada taraf nyata 0,05, Derajat bebas (degree of freedom) df = (r-1) (k-1), dimana: r = baris, k = kolom. Dapat dituliskan : Nilai kritis X20,05; df (1) = 3,811 3. Menghitung harga chi-square dengan rumus sebagai berikut: 2
X =
∑ i
dimana: X2 cij eij 4.
(cij − eij ) 2 ∑j eij : uji chi-square : frekuensi yang diamati, kategori ke-ij : frekuensi yang diharapkan dari kategori ke-ij
Membuat keputusan. ¾
Jika X2 hitung > X20,05; df (1): tolak H0, terima H1
¾
Jika X2 hitung < X20,05; df (1): terima H0, tolak H1
5. Penarikan kesimpulan
45
4.8 Definisi Operasional Beberapa istilah yang digunakan dalam analisis usahatani padi ramah lingkungan SRI sebagai berikut: 1. Usahatani padi ramah lingkungan metode SRI yaitu usahatani padi dengan sistem tanam tunggal yang menggunakan input organik. 2. Usahatani padi konvensional adalah usahatani yang diusahaakan dengan teknik budiaya konvensional yang menggunakan pupuk anorganik dan pestisida kimia sebagai input usahataninya. 3. Nampingan yaitu kegiatan membersihkan pematang serta merapikan tepi pematang dengan menggunakan cangkul. 4. Pemopokan yaitu kegiatan merapikan pematang dengan cara menambahkan kembali pematang dengan tanah/lumpur hingga pematang tertutup secara merata. 5. Maculan yaitu mencangkul bagian tanah sawah yang tidak ikut terbajak. 6. Gagaruan yaitu papan yang digunakan untuk meratakan lahan. 7. Caplakan yaitu alat yang digunakan untuk membuat pola tanam padi. 8. Menaplak yaitu kegiatan membuat pola tandur dengan jarak tanam yang telah ditentukan menggunakan alat yang terbuat dari bambu dan kayu. 9. Mojokan yaitu mencangkul bagian tanah disudut petakan sawah yang tidak ikut terbajak saat pengolahan tanah. 10. Ngarambet (penyiangan) yaitu kegiatan membersihkan gulma di lahan tanaman padi. 11. Ngagarok adalah bagian dari kegiatan penyiangan menggunakan alat terbuat dari kayu yang dilengkapi roda berduri.
46
12. Nyopak yaitu bagian kegiatan pemeliharaan untuk membersihkan bagian atas pematang sawah dari gulma. 13. Ngabutik yaitu pemeliharaan bagian bawah pematang sawah dari gulma. 14. Pupuk kandang yaitu kotoran hewan yang telah disimpan beberapa lama sebagai substitusi atau pelengkap pupuk kimia konvensional (ton per ha). 15. Ulu-ulu yaitu petugas desa yang mengatur pembagian air irigasi untuk sawah. Jasa ulu-ulu dibayar tiap musim tanam dengan menggunakan GKG. 16. Pupuk kompos yaitu pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik (sisa dedaunan, jerami, dedak padi dan lain-lain) yang dibuat dengan pengomposan tanpa penambahan mikroba pengurai (ton per ha). 17. Pupuk organik cair MOL (mikro organisme lokal) yaitu pupuk yang berbentuk cairan, terbuat dari berbagai campuran bahan organik (rebung bambu, bonggol pisang, ikan asin, limbah dapur, buah matang, dan lain-lain) yang telah difermentasi sebelumnya (liter per ha). 18. Pupuk bokasi atau pupuk fermentasi yaitu pupuk kompos atau pupuk kandang yang ditambahkan mikroba pengurai untuk mempercepat proses pengomposan (ton per ha). 19. Bawon yaitu kegiatan bagi hasil panen. 20. Ngawesi yaitu sistem bagi hasil panen antara petani pemilik dengan buruh tani dengan proporsi 5 : 1 atau 6 : 1. 21. Nyeblokan yaitu sistem bagi hasil panen antara petani pemilik dengan buruh tani dengan proporsi 8 : 1. Variabel yang digunakan dalam menganalisis pendapatan, pemasaran dan persesi petani padi ramah lingkungan SRI sebagai berikut:
47
1. Biaya tunai yaitu biaya yang dibayarkan dengan uang yang meliputi pembayaran untuk jasa tenaga kerja luar keluarga dan pembelian sarana produksi (benih dan pupuk) dalam satuan rupiah (Rp). 2. Biaya diperhitungkan yaitu biaya yang dicatat bila penggunaan tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan, penggunaan lahan sendiri diperhitungkan sebagai lahan sewa, penggunaan benih hasil produksi sebelumnya dan peralatan yang dihitung penyusutannya (Rp). 3. Biaya usahatani/produksi yaitu biaya total yang dikeluarkan petani dalam satu musim tanam (rupiah per musim tanam). 4. Penerimaan petani adalah hasil penjualan panen yang diterima petani sebelim dikurangi biaya-biaya usahatani. 5. Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total setelah dikurangi oleh biaya-biaya usahatani (biaya input, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa alat dan pajak). 6. Pendapatan atas biaya total atau pendapatan bersih adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total setelah dikurangi biaya-biaya usahatani yang telah dikeluarkan termasuk biaya yang diperhitungkan. 7. Jumlah tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam satu musim tanam, diukur dalam satuan HOK (hari orang kerja). HOK terdiri dari hari kerja pria (HKP), dan hari kerja wanita (HKW) termasuk ternak dan mesin yang digunakan. Jam kerja yang digunakan adalah jam kerja yang berlaku di tempat penelitian untuk masing-masing HOK.
48
8. Upah tenaga kerja yaitu imbalan atas jasa dari setiap satuan tenaga kerja yang dipergunakan. Besarnya upah bergantung pada HOK yang berlaku di daerah tersebut (dalam satuan rupiah per jam kerja). 9. Saluran pemasaran yaitu rantai tataniaga padi ramah lingkungan SRI yang terbentuk dari petani hingga sampai kepada konsumen akhir yang melibatkan lembaga-lembaga pemasaran. 10. Lembaga pemasaran yaitu pihak-pihak yang menjalankan fungsi-fungsi pemasaran padi ramah lingkungan SRI. 11. Harga jual petani yaitu harga GKP atau GKG yang diterima petani dari tengkulak atau pedagang perantara (Rp). 12. Harga beli pedagang yaitu harga gabah atau beras yang diterima pedagang disetiap level pemasaran (Rp). 13. Harga beras konsumen adalah harga transaksi antara pedagang pengecer dengan pembeli (Rp per kg).
49
V GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN
5.1
Wilayah dan Topografi Luas wilayah kabupaten Subang sebesar 222.203,56 ha atau 4,64 persen
dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara administratif kabupaten Subang terdiri dari 243 desa dan 8 kelurahan dengan 22 kecamatan diantaranya yaitu : Sagalaherang, Jalancagak, Cisalak, Tanjungsiang, cijambe, Cibogo, Subang, Kalijati, Cipeundeuy, Pabuaran, Patokbeusi, Cikaum, Purwadadi, Pagaden, Cipunagara, Compreng, Binong, Ciasem, Pamanukan, Pusakanagara, Legonkulon, dan Blanakan. Kabupaten Subang dikenal sebagai lumbung pangan yang menyediakan kebutuhan pangan penduduk Jawa Barat. Hal ini didukung dengan peggunaan tanah yang luas untuk pertanian tanaman pangan dibandingkan penggunaannya lahan untuk komoditi lainnya. Luas tanah yang digunakan untuk lahan pertanian tanaman pangan mencapai 84.714 ha atau 41,9 persen dari total luas Kabupaten Subang. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya penduduk Kabupaten Subang sebagian besar masih mencukupi kebutuhan hidupnya dari sektor pertanian khususnya tanaman padi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Subang tahun 2004, luas lahan yang digunakan untuk usahatani padi sebesar 66,58 persen disusul kemudian dengan tanaman rambutan (6,86 %). Saat ini banyak diperkenalkan ke masyarakat paket teknologi pertanian ramah lingkungan yang digunakan sebagai solusi dari permasalahan lahan dan produktivitas tanaman pangan terutama tanaman padi. Kecamatan Sagalaherang merupakan salah satu tempat yang dijadikan pilot projek dinas pertanian dalam
50
pengembangan pertanian ramah lingkungan metode SRI. Luas tanah sawah di kecamatan Sagalaherang sebesar 2.574 ha dan tanah kebun 7.650 ha yang didukung dengan sarana irigasi teknis dan setengah teknis. Pengembangan petanian padi ramah lingkungan yang hingga kini masih dilakukan oleh petani yaitu di Desa Ponggang. Desa Ponggang terletak disebelah Barat ibukota kabupaten Subang tepatnya berbatasan dengan kecamatan Wanayasa kabupaten Purwakarta. Topografi Desa Ponggang terletak di daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan tanah 30 derajat pada ketinggian 600 mdpl. Jarak Desa Ponggang dari ibukota kabupaten Subang + 31 km atau sekitar 1,5 jam ditempuh dengan kendaraan, sementara jarak ke ibukota kecamatan Sagalaherang sekitar 8 km atau setengah jam perjalanan dengan kendaran (peta wilayah pada Lampiran 1). Secara geografis Desa Ponggang terletak pada batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Telagasari
Sebelah Selatan
: Desa Cipancar
Sebelah Timur
: Desa Cijengkol
Sebelah Barat
: Kabupaten Purwakarta
Luas total wilayah Desa Ponggang 608.856 ha/m2 yang merupakan dataran tinggi berbukit. Berdasarkan buku pendataan profil desa/kelurahan tahun 2007 diketahui sebagian wilayah Desa Ponggang merupakan tanah sawah (55,51%). Lahan persawahan terbagi menjadi tanah sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis dan sawah tadah hujan. Sebagian besar tanah sawah diairi dengan irigasi teknis dan setengah teknis yang sekaligus merupakan sebagai bagian dari sumber penerimaan kas desa. Sawah dengan sistem irigasi teknis
51
dapat diusahakan tiga musim dalam setahun karena ketersediaan air terjamin. Sementara sawah tadah hujan tidak dapat dilakukan sepanjang musim karena hanya mengandalkan air untuk pengairan sawah dari air hujan. Luas tanah sawah berdasarkan pembagian sistem irigasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas Tanah Sawah Berdasarkan Sistem Irigasi di Desa Ponggang (Ha) Jenis tanah sawah Luas Sawah irigasi teknis 156 Sawah irigasi setengah teknis 112 Sawah tadah hujan 70 Sawah pasang surut Total 338 Sumber : Pendataan profil desa/kelurahan tahun 2007 (diolah)
5.2
Persentase (%) 46,15 33,14 20,71 -
Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk desa Ponggan berdasarkan propil desa tahun 2007
tercatat sebesar 4.293 jiwa penduduk dengan rincian laki-laki 2.014 jiwa dan permpuan 2.279 jiwa atau sekitar 1.045 KK dengan kepadatan penduduk 13 jiwa per km2. Sebagian besar penduduk Desa Ponggang didominasi oleh suku Sunda (75%) dan sisanya adalah suku Jawa yang pada umumnya beragama Islam (99%). Sebanyak 10,11 persen penduduk bekerja pada sektor pertanian karena didukung dengan sumberdaya lahan yang luas disusul dengan sektor industri sebagai karyawan perusahaan swasta (5,52%). Sisanya bekerja sebagai buruh tani (3,82%), TKI (6,34%), peternak (0,21%), pedagang keliling (0,29%), dan profesi lainnya seperti TNI, PNS. Gambaran umum tentang pekerjaan penduduk yang didominasi pada sektor pertanian didukung dengan tingkat pendidikan penduduk yang sebanyak 70,79 persen hanya mengecap pendidikan SD, sebanyak 15,05
52
persen tamat SLTP dan 3,98 persen berpendidikan SLTA. Sementara penduduk yang menempuh studi hingga perguruan tinggi hanya 1,30 persen. Besarnya luas lahan wilayah yang digunakan untuk lahan pertanian mendukung sektor pertanian sebagai matapencaharian utama bagi penduduk Desa Ponggang. Luas lahan pertanian khususnya tanaman pangan yang dimiliki penduduk sangat beragam dan pada umumnya kurang dari satu hektar. Lahan pertanian tanaman pangan yang dimiliki penduduk di Desa Ponggang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan di Desa Ponggang Tahun 2007 (Hektar) Luas
Kepemilikan (keluarga)
Persentase (%)
Tidak memiliki < 1,00 1,00 – 5,00 5,00 – 10,00 > 10,00 Jumlah total keluarga petani
265 163 108 128 664
39,9 24,55 16,27 19,28 100
Sumber : Buku pendataan profil desa/kelurahan tahun 2007 (diolah)
Tabel 3 menunjukkan rumah tangga petani banyak yang tidak memiliki lahan pertanian, namun jumlahnya tidak lebih besar bila dibandingkan dengan total rumah tangga petani yang memiliki lahan pertanian. Seperti dijelaskan sebelumnya penduduk yang tidak bekerja disektor pertanian diserap oleh sektor lainnya seperti pabrik pengolahan dan buruh tani. Secara umum sarana dan prasaran di Desa Ponggang sudah cukup memadai, baik sarana pendidikan, kesehatan, penerangan dan fasilitas vital lainnya seperti kondisi jalan sebagian telah di aspal sehingga dapat membantu melancarkan aktivitas ekonomi masyarakat. Sementara Lahan pertanian didukung
53
dengan saluran irigasi primer (8.000 m), irigasi sekunder (3.200 m), irigasi tersier (1431 m). Dengan demikian ketersediaan air dapat mendukung kegiatan usahatani padi khususnya dilakukan sepanjang musim. 5.3
Gambaran Umum Usahatani Usahatani di Desa Ponggang pada umumnya mengusahakan tanaman
pangan terutama padi. pengusahaan tanaman padi sebagian besar dilakukan sepanjang tahun (tiga musim tanam) dengan dukungan saluran irigasi yag dikelola oleh desa. Teknik budidaya yang dilakukan petani di Desa Ponggang masih banyak yang menggunakan cara-cara konvensional. Usahatani padi yang dilakukan petani di Desa Ponggang sudah mulai terorganisir dalam kelembagaan kelompok tani, diantaranya adalah kelompok tani Ponggang Jaya. Kelompok tani Ponggang Jaya aktif mengadakan pertemuan dan kegiatan pertanian lainnya seperti penyuluhan pertanian. Tahun 2005 awal kelompok tani Ponggang Jaya mengembangkan sistem pertanian ramah lingkungan model SRI (System of Rice Intensifiation) yang kemudian dikembangkan ke daerah lain di kabupaten Subang. Pengembangan padi ramah lingkungan memberikan kesadaran kepada petani untuk bersikap arif terhadap penggunaan input pupuk kimia dan lebih mandiri tanpa harus tergantung pada input tersebut. Saat ini petani di Desa Ponggang telah mengenal beberapa istilah teknik budidaya dalam usahatani padi, yaitu : 1. Budidaya padi metode SRI ramah lingkungan, 2. Budidaya padi metode SRI ramah lingkungan input non organik 3. Budidaya padi konvensional ramah lingkungan 4. Budidaya padi konvensional non organik
54
Istilah-istilah teknik budidaya padi yang berkembang di Desa Ponggang didasarkan pada penggunaan input khususnya pupuk, sementara tahapan kegiatan budidaya pada umumnya sama saja. Teknik budidaya yang ramah lingkungan telah menggunakan bahan-bahan organik sebagai inputnya seperti pupuk kandang baik diberikan hanya sebagian maupun sebagai pengganti input anorganik secara keseluruhan. Pertanian
ramah
lingkungan
telah
menggeser
teknik
budidaya
konvensional yang ada di Desa Ponggang. Hal ini menyebabkan kebutuhan bahan organik seperti pupuk kandang meningkat sebagai substitusi pupuk kimia. Namun, ketersediaan pupuk kadang di Desa Ponggang tidak sulit dicari. Sektor peternakan yang terdapat di Desa Ponggang cukup mendukung ketersediaan bahan-bahan organik seperti kotoran hewan. Beberapa ternak yang diusahakan oleh penduduk Desa Ponggang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Beberapa Jenis Ternak yang dikembangkan Penduduk di Desa Ponggang Jenis ternak
Jumlah pemilik
Perkiraan populasi
Sapi 29 73 Kerbau 234 244 Ayam kampung 1.019 36.000 Jenis ayam broiler 10 27.000 Bebek 2 720 Kambing 80 310 Domba 106 438 Sumber : Buku pendataan profil desa/kelurahan tahun 2007
(%) 0,11 0,38 55,57 41,68 1,11 0,48 0,68
Budidaya padi dengan metode SRI dibedakan dengan teknik budidaya padi konvensional karena ada beberapa perbedaan dalam hal penggunaan jumlah bibit per umpun , umur bibit tanam, cara seleksi benih dan tatacara penggunaan
55
air. Sehingga pada bagian ini hanya diuraikan kegiatan budidaya padi dengan metode SRI yang sekaligus menggambarkan pula kegiatan usahatani padi konvensional di Desa Ponggang. 5.4
Budidaya Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Kegiatan usahatani padi metode SRI yaitu teknik budidaya tanaman padi
yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengolahan tanah, tanaman dan air. Kegiatan budidaya padi metode SRI tidak lagi menggunakan input anorganik (pupuk pabrik dan pestisida kimia) namun masih belum sepenuhnya bebas dari residu kimia karena menerima air dari areal sawah padi konvensional, sehingga disebut sebagai pertanian ramah lingkungan. Budidaya usahatani padi di Desa Ponggang meliputi pengolahan tanah, pembibitan, penanaman (tandur), pemupukan, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan panen. 5.4.1 Pengolahan Tanah Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan struktur tanah yang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga diharapkan hasil yang diperoleh akan maksimal. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengolahan tanah yaitu pembajakan, ngegaru, mojokan, nampingan dan memopok pematang. Pengolahan tanah dimulai dengan kegiatan membajak. Kegiatan membajak tanah dilakukan dengan menggunakan alat bajak kerbau atau traktor. Petani di Desa Ponggang biasanya menggunakan bajak kerbau karena lahan yang diusahaakan memiliki kontur yang bertingkat-tingkat dan luas lahan yang relatif
56
sempit. Kegiatan pembajakan dilanjutkan dengan kegiatan Ngegaru, yaitu kegiatan menghaluskan struktur tanah hasil pembajakan yang masih berupa bongkahan-bongkahan tanah. Pembajakan tanah biasanya tidak mencapai sudutsudut sawah, sehingga tanah yang tidak terbajak diselesaikan dengan cara dicangkul (Mojokan). Pada waktu yang bersamaan, biasanya petani merapikan pematang sawah. Pematang sawah dirapikan dengan cara dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke lahan, kegiatan ini disebut nampingan. Setelah itu, pematang kembali ditambal dengan tanah berlumpur hingga rata (memopok). Setelah kegiatan pembajakan selsesai dilakukan, kemudian lahan diberakan selama beberapa minggu. Lamanya waktu pemberaan tanah tergantung pada umur bibit disemai. Penyemaian benih (pembibitan) pada kedua usahatani memerlukan waktu yang berbeda. Bibit yang digunakan untuk usahatani padi ramah lingkungan metode SRI yaitu bibit yang berusia 7-14 hari setelah disemai. Sementara bibit untuk usahatani padi konvensional menggunakan bibit yang berumur 20-28 hari setelah semai. Sehingga waktu pemberaan untuk masing-masing usahatani berbeda. Tanah kembali dibajak dengan kerbau atau traktor setelah bibit siap dipindah ke lahan (tandur). Pembajakan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tanah setelah beberapa waktu diberakan (diistirahatkan). Setelah pembajakan selesai dilakukan, kemudian lahan diratakan dengan gagaruan (papan perata) hingga permukaan lahan relatif rata.
57
5.4.2 Pembibitan 5.4.2.1 Persiapan Lahan Pembibitan Persiapan lahan untuk pembibitan biasanya dilakukan setelah lahan selesai dibajak (pembajakan pertama) atau saat waktu pemberaan lahan setelah dibajak. Lahan yang telah dibajak pada pengolahan tanah dibuat menjadi beberapa petak. Petak-petakan tersebut dibuat lebih tinggi dari permukaan lahan sekitarnya yang kemudian petak semai tersebut diratakan permukaannya. Luas lahan yang digunakan untuk pembibitan tergantung jumlah benih, namun tidak ada anjuran tertentu yang digunakan untuk luasan lahan semai/pembibitan. Luas lahan pembibitan padi ramah lingkungan SRI di Desa Ponggang rata-rata 82 m2 atau hanya 0.82 persen dari total lahan yang akan digunakan untuk usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Sementara lahan pembibitan untuk padi konvensional rata-rata 159.26 m2 per hektar atau 1.59 persen. Perbedaan dalam penggunaan lahan semai tersebut karena jumlah benih yang digunakan berbeda untuk kedua usahatani padi tersebut. 5.4.2.2 Perlakuan benih sebelum sebar Benih merupakan faktor produksi yang sangat menentukan dalam kegiatan usahatani selain faktor-faktor produksi lainnya. Benih yang baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal dilahan. Beberapa kegiatan yang dilakukan petani di Desa Ponggang dalam mempersiapkan benih untuk sebar yaitu proses seleksi dan perendaman benih. Perlakuan benih untuk padi ramah lingkungan metode SRI sedikit berbeda dengan perlakuan benih padi konvensional. Terdapat perlakuan tambahan bagi benih padi ramah lingkungan metode SRI dalam proses seleksi benih dimana benih diseleksi dengan perlakuan
58
air garam (Lampiran 2). Namun untuk proses selanjutnya benih mendapat perlakuan yang sama (perendaman benih). Perendaman benih dilakukan untuk merangsang perkecambahan, sehingga diperoleh benih yang siap disebar dan tumbuh secara optimal di lahan persemaian. Kegiatan ini berlaku bagi benih padi ramah lingkungan metode SRI maupun padi konvensional, namun benih padi ramah lingkungan sebelumnya telah diseleksi dengan larutan garam sebelum direndam. Benih dimasukan kedalam karung, kemudian direndam selama 24 jam. Setelah perendaman, benih dicuci sambil dipisahkan antara benih yang bernas dengan benih hampa dan kotoran lainnya. Setelah itu, benih kembali didiamkan selama 12 jam sebelum tanam. 5.4.3 Penanaman (Tandur) Bibit siap ditanam ketika mencapai umur yang optimal untuk dipindah ke lahan. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama perkembangan anakan setelah ditanam. Selain itu, faktor yang berpengaruh dalam menentukan umur bibit yaitu musim tanam. Penentuan umur bibit untuk padi ramah lingkungan SRI lebih didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lahan. Bibit umur muda akan menghasilkan anakan yang banyak karena masih dalam masa pertumbuhan generatif yang tinggi. Petani padi ramah lingkungan menggunakan bibit yang relatif masih muda (7-14 hari). Bibit pada umur ini sudah memiliki dua helai daun atau lebih dengan tinggi + 10-15 cm. Sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati-hati terutama pada bagian akar agar tidak rusak saat dicabut dari persemaian. Tanaman padi konvensional menggunakan bibit yang telah berumur 20-28 hari setelah disemai. Petani padi konvensional di Desa Ponggang menggunakan
59
bibit umur 20-23 hari setelah semai untuk penanaman musim kemarau. Sementara penanaman untuk musim hujan menggunakan bibit yang berumur 26-28 hari setelah disemai. Umur bibit yang digunakan untuk penanaman musim hujan (paceklik) relatif lebih tua dibandingkan musim tanam kemarau (musim Ketiga). Alasannya adalah tingkat serangan penyakit dan hama pada musim paceklik lebih tinggi, sehingga membutuhkan bibit tua karena relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit. Musim tanam paceklik dimulai pada bulan Desember hingga Maret dan dilanjutkan pada Agustus sampai November. Sementara musim tanam
ketiga dimulai pada bulan April hingga Juli. Sebelum bibit ditanam, lahan dibuat pola jarak tanam dengan menggunakan alat caplakan. Menaplak lahan dilakukan dua kali dengan arah berlawanan (vertikal-horisontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang telah ditentukan pada caplakan. Usahatani padi ramah lingkungan SRI menggunakan jarak tanam lebar yaitu 25 x 25 cm2 sampai 30 x 30 cm2. Jarak tanam tersebut relatif lebih luas dibandingkan jarak tanam padi konvensional (22x22 cm2 sampai 25x25 cm2). Asumsinya adalah, jarak tanam luas akan memberikan banyak ruang bagi tanaman untuk memperoleh oksigen dan unsur hara, sehingga tanaman akan tumbuh optimal dengan jumlah anakan maksimal. Jumlah anakan untuk padi ramah lingkungan SRI minimal 45 anakan, bahkan ada yang mencapai 120 tunas/anakan. Cara penanaman padi ramah lingkungan metode SRI sedikit berbeda dari penanaman padi konvensional pada umumnya. Bibit ditanam satu bibit per umpun (tanam tunggal) atau maksimal dua bibit per umpun dengan kedalaman yang dianjurkan sekitar 1-1.5 cm. Batang dan akar bibit ditanam membentuk huruf L.
60
Sementara bibit padi konvensional biasanya ditanam minimal 4 bibit per umpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah. 5.4.4 Penyiangan Penyiangan dilakukan untuk membersihkan atau mengurangi tanaman selain tanaman pokok (padi) atau tanaman gulma. Kegiatan penyiangan dilakukan untuk mengurangi populasi gulma yang dapat menjadi pesaing dalam penyerapan hara, selain itu mencegah serangan hama terutama tikus. Gulma dicabut secara manual dengan tangan (ngarambet) terutama disekitar rumpun padi, kemudian dibenamkan ke lumpur atau dibuang ke pematang sawah. Sebelum kegiatan ngarambet dilakukan, biasanya petani mengurangi gulma dengan kegiatan ngagarok. Kegiatan ini dilakukan dengan bantuan alat yang pada umumnya dibuat sendiri oleh petani. Beberapa petani padi ramah lingkungan metode SRI tidak melakukan kegiatan ini karena dapat merusak perakaran tanaman padi. Kegiatan. Penyiangan pada umumnya dilakukan dua kali yaitu ketika tanaman padi berumur 15 HST dan umur tanaman 30 HST. Namun kegiatan ini dapat disesuaikan dengan pertumbuhan gulma di lahan. Pada penyiangan kedua, kegiatan ngagarok tidak dilakukan karena pertumbuhan gulma sudah berkurang. 5.4.5 Pemupukan Kandungan unsur hara yang terdapat dalam tanah tidak cukup untuk kebutuhan tanaman, karena ketersediaannya terbatas. Sehingga kebutuhan hara tanah perlu ditambah dari luar dengan pupuk organik maupun pupuk anorganik (kimia). Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani padi ramah lingkungan dan
61
petani pemupukan padi konvensional dalam satu musim tanam pada umumnya sama, yaitu 2-3 kali pemupukan. Sementara pemupukan berdasarkan rekomendasi pemerintah untuk padi konvensional dilakukan tiga kali untuk pupuk urea, sementara TSP dan KCl diberikan sekaligus saat pemupukan pertama. Dosis yang diberikan per hektar sebagai berikut 200-300 kg urea, 100 kg TSP dan 50 kg KCl. Perbedaannya hanya terletak pada jenis pupuk yang digunakan. Pupuk yang digunakan dalam usahatani padi ramah lingkungan metode SRI menggunakan pupuk bokashi, Sementara petani padi konvensional masih tetap menggunakan pupuk buatan pabrik (urea, TSP, KCl). Pupuk bokashi terdiri dari bahan-bahan organik yang sebagian besar terdiri dari kotoran hewan atau pupuk kandang, sisanya adalah sekam, hijauan dan bahan-bahan lainnya yang telah dikompos dengan bantuan mikroorganisme. Kotoran hewan banyak mengandung unsur hara seperti yang terdapat dalam pupuk kimia konvensional. Kandungan unsur hara beberapa kotoran hewan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Hewan Jenis kotoran hewan
Unsur hara (%) Nitrogen
Fosfor
Kalium
Ayam 1,0-2,1 8,9-10,0 0,4 Sapi 0,5-1,6 2,4-2,9 0,5 Kerbau 0,6-0,7 2,0-2,5 0,4 Kuda 1,5-1,7 3,6-3,9 4,0 Sumber : laboratorium ilmu tanah, Fak. Pertanian UGM dalam Sutanto, 2006.
Pupuk bokashi pada umumnya dibuat sendiri oleh petani dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di lingkungan masing-masing, sehingga secara aktual petani tidak mempunyai pedoman khusus dalam komposisi bahanbahan organik yang digunakan. Biasanya sebagian besar komposisi bokashi terdiri
62
dari kotoran hewan (60-70 %), sisanya adalah hijauan, jerami, sekam. Secara umum pembuatan bokashi dapat dilihat pada Lampiran 3. Pupuk bokashi diaplikasikan dengan dua cara, yaitu disebar langsung sepanjang alur antara rumpun padi dan cara kedua yaitu dengan menempatkan bokashi pada tiap rumpun padi. Awal pengembangan padi SRI, pupuk bokashi diberikan saat pengolahan tanah. Hal ini dikarenakan sebelumnya tanah belum menerima pupuk organik (non kimia). Pemberian pupuk bokashi dilakukan saat umur tanaman 15 HST atau setelah ngarambet pertama. Kebutuhan pupuk bokashi yang digunakan oleh petani ramah lingkungan di Desa Ponggang rata-rata 3,862.18/ha.
Pemberian
pupuk
bokashi
dapat
dilakukan
kembali
bila
perkembangan tanaman dirasakan belum optimal. Pemupukan kedua ini dapat dilakukan setelah tanaman berumur 30 HST. Pupuk daun atau pupuk pelengkap cair (PPC) yang digunakan petani biasanya menggunakan pupuk buatan pabrik. Sementara, petani padi ramah lingkungan pada umumnya memperoleh pupuk daun dengan cara membuat sendiri dari bahan hijuan dan bahan-bahan lainnya. Pupuk daun yang digunakan petani padi ramah lingkungan tersebut dikenal sebagai Mikro Organisme Lokal (MOL). MOL merupakan larutan dari berbagai bahan organik yang telah difermentasi. Bahan organik yang digunakan dalam pembuatan MOL disesuaikan dengan bahan-bahan organik yang tersedia. MOL terbuat dari berbagai bahan organik yang biasanya dinamakan sesuai dengan bahan dasar pembuatan MOL seperti MOL rebung, MOL Bonggol pisang, MOL ikan asin dan lain-lain. Cara pembuatan MOL dapat dilihat pada Lampiran 4. MOL tidak memiliki efek
63
samping
yang
menyebabkan
overdosis
pada
tanaman
padi,
sehingga
penyemprotan bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman padi dan kemampuan petani. Namun, pada beberapa tanaman hortikultura dapat menyebabkan kematian tanaman bila diberikan dosis berlebihan. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan MOL pertengki sprayer yaitu 50:50. Namun petani di Desa Ponggang biasanya menggunakan dosis + 250 ml (seukuran gelas air minum mineral). Rata-rata kebutuhan MOL yang digunakan petani sebanyak 47.94 liter/ha. Kegiatan penyemprotan pupuk daun biasanya dilakukan pada umur tanaman padi sebagai berikut : 15 HST, 25 HST, 35 HST, 45 HST dan 60 HST. 5.4.6
Pengendalian Hama dan Penyakit Kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani padi
konvensional dan padi ramah lingkungan dilakukan dengan cara kimiawi dan teknik budidaya. Penggunaan obat-obatan anorganik seperti pestisida
kimia
buatan pabrik dalam pengendalian hama dan penyakit merupakan pengendalian kimiawi yang pada umumnya dilakukan petani, khususnya petani padi konvensional. Cara ini dianggap efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit karena mengandung racun yang langsung kontak dengan hama atau meracuni hama secara sistemik. Berbeda halnya dengan petani padi konvensional, petani padi ramah lingkungan menggunakan pestisida nabati yang ramah terhadap lingkungan. Biasanya pestisida nabati dibuat sendiri oleh petani seperti halnya pembuatan MOL. Bahkan sebagian petani tidak membedakan kedua jenis obat-obatan tersebut, sehingga dalam aplikasinya sering disatukan dengan pemupukan daun.
64
Bahan-bahan yang digunakan petani untuk pestisida nabati diperoleh dari lingkungan sekitar yang telah diketahui efektif dalam mengendalikan hama. Pengendalian dengan teknik budidaya merupakan pengendalian secara tidak langsung yang biasa dilakukan oleh petani baik padi ramah lingkungan maupun petani padi konvensional. Kegiatan ini dilakukan petani melalui pemeliharaan pematang sawah dan penyiangan gulma. Sehingga diharapkan tidak ada tempat bagi hama dan patogen lain yang hinggap dan berkembang biak di tempat-tempat tersebut. Selain dua kegiatan pengendalian di atas, sebagian petani padi ramah lingkungan melakukan pengendalian secara fisik dengan cara mengumpulkan hama dari pertanaman padi (pengendalian fisik). Pengendalian hama dan penyakit tidak mutlak dilakukan. Artinya bila gangguan hama tidak mengganggu tanaman padi maka tidak perlu dilakukan penyemprotan. Serangan hama tinggi terjadi pada musim hujan (musim rendeng), sehingga hasil produksi tidak maksimal. Pestisida nabati terkadang tidak cukup efektif mengendalikan serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan pestisida kimia. Sehingga pada musim hujan ada beberapa petani yang menggunakan pestisida kimia. Kerusakan yang cukup berarti bagi kehilangan hasil panen banyak disebabkan oleh hama merah. Serangan hama merah dapat menyebabkan kehilangan hasil panen mencapai 80 persen. Kehilangan tersebut dialami oleh petani baik petani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional di Desa Ponggang. Serangan hama merah diindikasikan dengan pertumbuhan tanaman yang sakit dan daun berwarna kemerahan yang dilanjutkan dengan kematian tanaman. Berdasarkan informasi dari Dinas pertanian kabupaten Subang, hama
65
merah sebenarnya adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Tingkat serangan hama lainnya tidak cukup berarti dan masih dapat dikendalikan petani. Beberapa hama yang menyerang tanaman padi baik padi ramah lingkungan maupun padi konvensional dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Serangan Beberapa Jenis Hama Pada Usahatani Padi di Desa Ponggang Musim Tanam Ke III (Periode Agustus-November 2007) No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Hama Hama Merah Hama Putih Tungro Bulir Buluk Wereng Coklat Wereng Putih Tikus
Tingkat Serangan (%) Padi Ramah Lingkungan SRI Padi Konvensional 62,50 60,71 25,00 12,50 3,57 3,57 12,50 3,57 3,57 12,50 -
Berdasarkan Tabel 6, tingkat serangan hama dan penyakit pada padi konvensional lebih tinggi dibandingkan serangan yang terjadi di usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Data tersebut mendukung pendapat petani yang menyatakan serangan hama dan penyakit pada tanaman padi ramah lingkungan metode SRI lebih rendah dibandingkan tanaman padi konvensional. 5.4.7 Pengairan sawah Kebutuhan air untuk kegiatan usahatani di Desa Ponggang pada umumnya tercukupi dengan irigasi (selokan) yang bersumber dari mata air. Sebagian besar pengelolaan air sawah dilakukan oleh pegawai desa yang dikenal Ulu-ulu. Ulu-ulu adalah petani yang dipercayakan oleh desa untuk mengatur pembagian air ke sawah-sawah petani lainnya. Jasa ulu-ulu dibayar setelah panen dalam bentuk gabah kering (GKG). Rata-rata dalam satu musim tanam bagian ulu-ulu sebanyak 47.12 kg GKG perhektar. Beberapa petani tidak memperoleh air dari irigasi yang
66
dikelola oleh desa sehingga mereka tidak menggunakan jasa ulu-ulu untuk pengairan sawah mereka. Biasanya petani yang tidak menggunakan jasa ulu-ulu adalah petani yang sawahnya tidak mendapatkan air dari irigasi. Usahatani padi di Desa Ponggang dilakukan tiga kali dalam setahun (tiga musim tanam), sehingga sepanjang tahun lahan hanya ditanami padi. Setelah panen selesai, lahan langsung diairi untuk persiapan pengolahan tanah. Pengairan lahan pada umumnya dilakukan sepanjang musim terutama saat dilakukan pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dan pemupukan. Pengairan dihentikan menjelang tanaman dipanen. Kebutuhan air untuk lahan padi ramah lingkungan Metode SRI sebenarnya tidak membutuhkan pengairan sepanjang musim. Tanaman padi pada prinsipnya bukan tanaman air, tetapi tanaman yang membutuhkan air. Pengairan yang dianjurkan dalam usahatani padi ramah lingkungan metode SRI dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sistem Pengairan pada Lahan Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (HST) Umur No. 1. 2. 3. 4. 5.
(HST) 1-8 9-10 11-18 19-20 21-29
Lahan macaktergenang macak √ √ √ -
kering √ √
Keterangan Mengoptimalkan pertumbuhan akar Saat penyiangan Saat penyiangan Dilakukan terus dengan interval sama hingga tanaman berbunga
6. 50-60 √ 7. > 61 √ Hingga menjelang panen Sumber : Modul Pelatihan Penggunaan Air Irigasi, Direktorat Jendral Sumber Daya Air (2004)
67
5.4.8
Pemeliharaan Pematang Sawah Kegiatan pemeliharaan pematang dilakukan untuk mengurangi gulma atau
mencegah perkembangan hama pengganggu tanaman disekitar tanaman. Pematang yang dipenuhi dengan rumput gulma menjadi tempat yang tempat berkembangnya hama, sehingga perlu dibersihkan untuk mencegah kemungkinan tersebut. Pemeliharaan pematang sawah dilakukan dengan dua kegiatan yaitu
Nyopak dan Ngabutik. Nyopak yaitu kegiatan membersihkan gulma di tepi pematang sawah (bagian atas) dengan menggunakan cangkul. Sementara Ngabutik yaitu kegiatan membersihkan seluruh bagian pematang sawah, baik bagian tepi pematang maupun dinding pematang (sistem terasering), sehingga kebutuhan tenaga kerja lebih banyak dibanding kegiatan Nyopak. Kegiatan ini diselesaikan dengan menggunakan cangkul dan parang. Pemeliharaan pematang sawah dilakukan saat umur tanaman 45 HST. 5.4.9 Panen Panen dapat dilakukan setelah bulir padi sebagian besar telah menguning (90 %). Tanaman dipotong menggunakan pisau potong khusus untuk panen (arit). Setelah dipotong kemudian dikumpulkan pada suatu tempat untuk di rontokan. Merontokan bulir padi dilakukan secara sederhana dengan cara dibanting pada papan perontok. Setelah gabah diperoleh dari hasil perontokan, gabah dibersihkan dari sisa-sisa daun dan kotoran lain dengan cara diangin-anginkan.
68
5.4.10 Kegiatan pasca panen Kegiatan pasca panen meliputi kegiatan bagi hasil panen (Bawon) dan pengangkutan. Bagi hasil panen biasanyan dilakukan di lahan. Kedua belah pihak (pemilik dan buruh panen) memperoleh bagiannya masing-masing sesuai sistem bagi hasil yang disepakati. Beberapa cara yang digunakan oleh petani dalam membagi hasil panen yaitu dengan sistem Nyeblokan dan sistem Ngawesi. System bagi hasil panen ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan yang berlaku bagi buruh tani terkait dengan upah bekerja dari beberapa kegiatan yang dilakukannya, seperti kegiatan menanam, penyiangan dan panen. Kebijakan kembayaran upah tergantung pada system bagi hasil yang digunakan. Terdapat dua system bagi hasil yang digunakan petani dalam membagi hasil panen, yaitu Nyeblokan dan Ngawesi. Deskripsi sistem bagi hasil panen (bawon) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kebijakan pada bagi hasil system Nyeblokan dan system Ngawesi yang digunakan di Desa Ponggang No.
Kegiatan
1. Menanam (tandur) 2. Penyiangan (ngarambet) 3. Bagi hasil
System Nyeblokan Tidak dibayar (hanya diberikan uang makan) Dibayar 8:01
System Ngawesi Dibayar. Ada beberapa yang tidak dibayar Tidak dibayar 5:1 atau 6:1*
* proporsi bagi hasil tergantung kesepakatan GKP diangkut setelah kedua belah pihak (pemilik dan buruh panen) memperoleh bagiannya masing-masing. Pengangkutan GKP dapat dilakukan setelah gabah dikemas kedalam karung (volume + 50 kg). mengangkut gabah biasanya dilakukan dengan cara dipikul atau menggunakan kendaraan (motor/mobil pick up). Biasanya pengangkutan dibayar dengan cara diborongkan.
69
5.5
Karakteristik Responden Variabel yang dijadikan kriteria untuk melihat karakteristik responden
dalam penelitian yaitu umur, pendidikan formal, tingkat pedapatan, luas lahan usahatani, dan pengalaman bertani seperti yang terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik Petani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Padi Konvensional Karakteristik Umur (th) 30-43 44-56 57-70
Padi SRI (%)
Padi Konvensional (%)
42 37 21
21,05 52,63 26,32
Pendidikan Formal (th) <6 9-12
63 37
73,68 26,32
Tingkat Pendapatan (Rp) < 1000,000,00 1,000,000.00-2,000,000.00 > 2,000,000.00
26 21 53
47,37 31,58 21,05
Luas Lahan (ha) < 0,30 0,31-0,60 > 0,60
63 32 5,3
68,42 15,79 15,79
Pengalaman Bertani (th) Mei-19 20-34 35-50
26 53 21
21,05 47,37 31,58
Tabel 9 menunjukkan bahwa petani yang mengusahakan padi ramah lingkungan didominasi oleh petani umur produktif yaitu berkisar 30 sampai 43 tahun, sementara padi konvensional banyak dilakukan oleh petani dari umur produktif hingga usia tidak produktif. Hal ini menunjukkan bahwa petani pada umur produktif cenderung untuk mencoba sesuatu hal yang baru seperti halnya pada penerapan padi ramah lingkungan metode SRI. Pendidikan formal petani di
70
Desa Ponggang pada umumnya hanya menempuh pendidikan maksimal enam tahun, baik petani padi ramah lingkungan maupun petani padi konvensional. Sementara sebagian kecilnya mengenyam pendidikan hingga sembilan tahun. Tingkat pendapatan petani padi ramah lingkungan diketahui sebesar 52,63 persen diatas Rp 2.000.000,00 perbulan yang diperoleh dari kegiatan usahatani dan pendapatan diluar usahatani. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi petani padi konvensional yang sebagian besar menerima pendapatan totalnya dibawah satu juta perbulan. Pendapatan petani sangat penting bagi keberlanjutan usahatani yang dilakukan karena sebagai sumber modal utama usahatani. Disisi lain luas lahan petani yang dimiliki pada umumnya lahan milik sendiri yang sebagian besar dibawah 0,3 hektar. Pengusahaan lahan sawah diatas setengah hektar lebih banyak dilakukan oleh petani padi konvensional yaitu sebesar 15,79 persen sementara petani padi ramah lingkungan yang mengusahakan lahan sawahnya diatas setengah hektar hanya sebesar 5,26 persen. Petani di Desa Ponggang pada umumnya memiliki pengalaman bertani selama 24 sampai 34 tahun dan kebanyakan mereka telah melakukan usahatani sejak remaja.
71
VI ANALISIS SISTEM USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL
Analisis sistem usahatani dilakukan dengan cara membandingkan keragaan usahatani yang dilakukan oleh petani di Desa Ponggang baik petani padi ramah lingkungan metode SRI maupun padi konvensional. Usahatani dianalisis dengan cara mengidentifikasi penggunaan sumberdaya (input) hingga output yang dihasilkan. Kemudian analisis dilanjutkan dengan menghitung tingkat pendapatan masing-masing usahatani baik padi ramah lingkungan maupun padi konvensional. 6.1 Penggunaan Input 6.1.1 Benih Benih yang digunakan petani di Desa Ponggang baik petani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional pada umumnya menggunakan benih hasil panen sebelumnya (benih tradisional). Berdasarkan data yang diperoleh, petani padi ramah lingkungan yang menggunakan benih hasil pertanaman sebelumnya sebesar 62,42 persen, sisanya menggunakan benih berlabel (44,16 %). Jumlah petani padi konvensional yang menggunakan benih tradisional jauh lebih besar dari jumlah petani padi ramah lingkungan yaitu 94,73 persen, sisanya menggunakan benih berlabel (5,27 %). Hal ini menunjukkan bahwa keputusan petani padi ramah lingkungan dalam hal penggunaan benih sudah lebih rasional dengan melihat potensi produksi yang akan diperolehnya. Berdasarkan data yang diperoleh, kebutuhan benih yang digunakan petani padi ramah lingkungan pada musim tanam periode Agustus-November 2007 (musim rendeng pertama) rata-rata sebesar 13,53 kg/ha. Jumlah tersebut melebihi jumlah benih yang dianjurkan yang berkisar 5-7 kg/ha. Faktor tingginya serangan
72
hama dan penyakit serta tanaman muda yang lebih rentan mati di lahan saat musim hujan membuat petani menggunakan benih dalam jumlah yang melebihi anjuran sebagai tindakan antisipasi. Namun jumlah tersebut masih dalam jumlah yang ditoleran (maksimal 15 kg/ha). Bila dibandingkan dengan penggunaan benih pada usahatani padi konvensional, jumlah tersebut jauh berbeda dimana petani padi konvensional rata-rata menggunakan benih sebesar 59,37 kg/ha dari jumlah yang dianjurkan pemerintah sebesar 25 kg/ha. Padi konvensional biasanya ditanam 3-5 bibit per umpun bahkan lebih dengan jarak tanam rapat (22x22 cm2 25x25 cm2). Selain itu, banyaknya gabah hampa saat proses seleksi benih mempengaruhi jumlah benih yang digunakan. Dengan demikian, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI dapat menghemat penggunaan benih sebanyak 11,47 kg atau mengurangi biaya pembelian benih sebesar Rp 75.994,49/ha pada harga
rata-rata
Rp
6.625,50/kg.
Sebaliknya,
petani
padi
konvensional
menggunakan benih yang melebihi anjuran pemerintah sehingga terjadi pemborosan biaya untuk pembelian benih Rp 97.068,76/ha (harga rata-rata benih tradisional Rp 2.823,84/kg). Tabel 10 memperlihatkan bahwa varietas yang banyak digunakan oleh petani di Desa Ponggang pada umumnya menggunakan benih varietas Ciherang kemudian disusul varietas Bapuk. Varietas Ciherang sudah lama dikenal di masyarakat sehingga sulit dipisahkan dari usahatani padi. Sementara benih Varietas Bapuk merupakan benih lokal sejenis IR-64 yang telah lama digunakan petani di desa Ponggang. Namun, kualitas beras dari benih varietas Bapuk tidak lebih baik dari padi Ciherang, karena berasnya tidak pulen, sehingga gabah padi jenis Bapuk kurang diminati pedagang. Petani padi konvensional lebih banyak
73
menggunakan benih Bapuk (52,63 %) dan sebanyak 31,58 persen menggunakan benih Ciherang. Kondisi sebaliknya pada petani padi ramah lingkungan, sebanyak 47,37 persen petani menggunakan benih ciherang, kemudian benih bapuk (21,05 %). Penggunaan benih oleh petani padi ramah lingkungan lebih variatif seperti yang terlihat pada Tabel 10. Tabel 10 Varietas Benih yang digunakan Petani Responden di Desa Ponggang (perode tanam Agustus-November) Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. * OP :
Varietas
Padi Ramah Lingkungan Jumlah Responden ( %)
Ciherang 47,37 IR 64 10,53 Bapuk 21,05 Bromo 5,26 Mekongga 10,53 Intani 5,26 Widasari Benih Open Pollinatian (persarian terbuka)
Padi Konvensional Jumlah Responden (%) 31,58 10,53 52,63 5,26
Informasi lain yang dapat diperoleh dari Tabel 10 yaitu hampir seluruhnya (99 %) benih yang digunakan merupakan benih non hibrida (persarian terbuka) baik yang diperoleh dari produsen benih (benih berlabel) maupun benih dari hasil tanaman sebelumnya (benih tradisional). Hanya satu persen petani yang menggunakan benih hibrida dengan merek dagang Intani. Benih hibrida sulit ditemukan di Desa Ponggang dan sekitarnya, sehingga tidak banyak petani yang menggunakannya. Selain itu, harganya relatif lebih mahal dari benih non hibrida. Harga benih non hibrida berlabel yang digunakan petani padi ramah lingkungan rata-rata Rp 6.625,50/kg dan benih tradisional Rp 2.823,84/kg, sementara benih hibrida varietas Intani Rp 40.000,00/kg. Benih padi hibrida memiliki
74
produktivitas yang lebih tinggi (mencapai 6-7 ton/ha) sementara benih non hibrida rata-rata memiliki produktivitas 4 ton/ha. 6.1.2 Pupuk Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pupuk yang digunakan petani padi ramah lingkungan metode SRI seluruhnya telah menggunakan pupuk organik, sementara petani padi konvensional masih menggunakan pupuk anorganik (pupuk kimia) seperti urea, TSP dan KCl. Definisi pupuk organik dalam International Organization for Standardization
(ISO) adalah bahan
organik atau bahan karbon yang ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai unsur hara yang mengandung nitrogen dari tumbuhan atau hewan (Sutanto (2006). Pada umumnya pupuk diberikan melalui serapan akar tanaman dengan cara disebar atau ditabur dan melalui daun dengan cara disemprot. Petani padi ramah lingkungan memupuk tanamannya dengan pupuk kompos. Pupuk kompos dibuat dari berbagai campuran bahan organik seperti pupuk kandang (kotoran ayam, domba, sapi), sekam, sampah dapur, hijauan dan bahan lainnya yang berasal dari hasil limbah pengolahan produk ternak yang kemudian didekomposisikan. Bila ditambahkan campuran mikroorganisme dalam proses dekomposisi maka hasilnya disebut pupuk bokashi. Biasanya petani membuat sendiri pupuk kompos/bokashi dengan bahan-bahan yang tersedia disekitar pekarangan mereka. Pupuk bokashi yang digunakan petani padi ramah lingkungan rata-rata sebesar 3.862,18 kg/ha dengan harga Rp 473,25/kg. Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang dianjurkan yaitu sebesar 20 ton/ha. Hal ini dikarenakan petani masih memanfaatkan bahan-bahan organik yang tersedia di lingkungan mereka.
75
Sementara persaingan dalam penggunaan pupuk kandang diantara petani semakin meningkat, sehingga jumlah pupuk kandang yang digunakan untuk campuran bahan bokashi disesuaikan dengan ketersediaannya. Mengantisipasi ketersediaan pupuk kandang yang semakin berkurang, beberapa petani menambahkan hijauan dan bahan lainnya sebagai substitusi pupuk kandang. Biaya produksi untuk membuat kompos/bokasi bila dilakukan sendiri bervariasi sesuai dengan komposisi yang digunakan yaitu berkisar Rp 200,00-Rp 750,00 per kilogram. Pemberian pupuk organik yang selalu dilakukan sejak pengembangan padi ramah lingkungan di Desa Ponggang pada awal tahun 2005 diduga telah merubah struktur fisik tanah yang lebih baik dan menambah kandungan hara. Menurut petani responden, manfaat pupuk organik (bokashi) sudah dirasakan terutama saat pengolahan tanah. Lahan yang diberikan pupuk kompos/bokashi lebih cepat dikerjakan karena tanah lebih gembur, sehingga pengolahan lebih mudah. Selain itu, tanaman terlihat lebih hijau dan segar dibandingkan tanaman padi yang diusahakan secara konvensional. Namun, dampak negatif dari penggunaan pupuk organik yaitu sering terjadi longsor pematang sawah serta bertambahnya aktivitas hewan sawah yang merusak pematang sawah, seperti belut. Penggunaan pupuk kimia dalam usahatani padi konvensional biasanya menggunakan urea, TSP dan KCl. Dosis penggunaan yang dianjurkan untuk urea 200 kg/ha, sementara pupuk TSP dan KCl diberikan pada dosis yang sama yaitu 100 kg/ha. Berdasarkan data yang diperoleh, petani padi konvensional hanya menggunakan pupuk urea dan TSP, sementara pupuk KCl tidak digunakan karena sulit ditemukan di kioa-kios penjual saprotan. Sebagai penggantinya, petani menggunakan pupuk ponska (pupuk majemuk) untuk melengkapi pupuk urea dan
76
TSP. Jumlah petani yang menggunakan pupuk majemuk ponska hanya 26,32 persen dari total 19 responden karena harganya lebih mahal. Sisanya hanya menggunakan pupuk urea dan TSP untuk pupuk akar. Penggunaan pupuk pada usahatani padi konvensional disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Penggunaan Rata-Rata Pupuk Urea, TSP dan Ponska dalam Usahatani Padi Konvensional Periode Tanam Agustus-November Tahun 2007 (kg/ha) Jenis pupuk Urea TSP Ponska
Penggunaan 765,98 103,34 25,05
Dosis yang dianjurkan 200,00 100,00 100,00
Selisih 565,98 3,34 -74,95
Penggunaan pupuk anorganik oleh petani padi konvensional seperti pada Tabel 11 melebihi dosis yang dianjurkan. Bahkan kelebihan pupuk dari penggunaan pupuk urea sebesar 282,99 persen, kemudian disusul penggunaan pupuk TSP yang mencapai 103,34 persen. Hal tersebut menyebabkan tingginya biaya pengadaan pupuk anorganik dalam usahatani padi konvensional. Lebih lanjut biaya pengadaan pupuk merupakan biaya terbesar kedua (59,65 % dari biaya total) setelah biaya tenaga kerja. Jika melihat output yang dihasilkan, ternyata produksi GKP yang dihasilkan tidak lebih dari produktivitas padi kovensional pada umumnya yaitu 3,931.70 kg/ha. Dengan demikian petani perlu lebih bijak dalam menentukan jumlah penggunaan pupuk, khususnya pupuk urea. Pupuk daun yang diberikan pada tanaman padi ramah lingkungan metode SRI menggunakan mikroorganisme lokal atau MOL dan beberapa pupuk daun pabrikan yang diklaim sebagai pupuk organik, seperti Bioscore dan Saputra
nutrien. Pada umumnya MOL dibuat sendiri oleh petani karena menggunakan bahan-bahan organik yang mudah ditemukan di lingkungan. Berdasarkan data
77
yang diperoleh, kebutuhan MOL yang digunakan petani pada musim tanam periode Agustus-November 2007 rata-rata sebesar 47,94 liter/ha. Penggunaan MOL tidak memiliki rekomendasi khusus, Semakin banyak digunakan maka akan semakin bagus bagi tanaman. Namun, takaran yang dianjurkan yaitu 50:50. artinya setengah bagian MOL dicampur dengan setengah bagian air. Penyemprotan MOL yan dianjurkan dalam satu musim tanam dilakukan sebanyak tujuh kali. Bila handsprayer yang digunakan memiliki kapasitas 17 liter, maka diperoleh jumlah penggunaan MOL yang dianjurkan sebanyak 59,50 liter/ha. Dengan demikian, jumlah rata-rata MOL yang digunakan petani (47,94 liter/ha) sudah mendekati jumlah yang dianjurkan. Selain menggunakan MOL, petani menggunakan pupuk daun bermerek (pabrikan), namun jumlahnya sangat kecil yaitu hanya 1,58 persen dari total penggunaan pupuk daun. Penggunaan pupuk daun dalam usahatani padi ramah lingkungan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Penggunaan Pupuk Daun pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Periode Tanam Agustus-November 2007 (ml/ha) Jenis MOL Saputra Nutrien Bioscore
Jumlah 47.936,84 226,97 544,74
Persentase (%) 98,42 0,47 1,12
Pupuk daun yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya merupakan pupuk pabrikan yang lebih variatif. Jenis pupuk terdiri dari pupuk cair dan padat (tepung), namun aplikasinya sama yaitu dengan cara disemprot menggunakan handsprayer. Pupuk daun merek Bioscore masih mendominasi penggunaan pupuk daun jenis formula cair yaitu sebesar 42,86 persen kemudian disusul merek Top Jumbo sebesar 14,29 persen. Pupuk daun cair merek Bioscore
78
merupakan pupuk daun pabrikan yang digunakan baik oleh petani padi konvensional maupun petani padi ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena harganya yang relatif lebih murah diantara pupuk daun pabrikan yang ada.
Bioscore dijual dengan harga eceran Rp 10.000,00/liter. Pupuk daun jenis formula padat (serbuk/bubuk) terdiri dari beberapa merek yaitu Gandasil D, Plant Catalis dan Kapu. Diantara merek tersebut, pupuk daun Plant Catalis merupakan pupuk daun jenis formula serbuk yang banyak digunakan yaitu sebesar 85,11 persen. Beberapa merek pupuk daun yang digunakan oleh petani padi konvensional pada Tabel 13. Tabel 13 Merek dagang dan Jenis Pupuk Daun pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (Hektar) No
Jenis
6. 7. 8.
Cair Bioscore Top Jumbo Superpit Trobos Citonik Bubuk Gandasil D Plant Catalis Kapu
6.1.3
Pestisida
1. 2. 3. 4. 5.
Satuan
Penggunaan
Persentase (%)
ml ml ml ml ml
375,79 125,26 187,89 125,26 62,63
42,86 14,29 21,43 14,29 7,14
gr gr gr
25,05 501,05 62,63
4,26 85,11 10,64
Petani padi konvensional seluruhnya menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit dan sebagian kecil digunakan oleh beberapa petani padi ramah lingkungan. Pengendalian hama dan penyakit pada usahatani padi ramah lingkungan dilakukan dengan pengendalian fisik dan penyemprotan. Penyemprotan hama dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang biasanya dibuat sendiri seperti pada Lampiran 4. Seringkali petani melakukan
79
tindakan pengendalian bersamaan saat penyemprotan MOL dilakukan (pupuk daun) karena dalam komposisi MOL terkadang dicampurkan bahan-bahan organik seperti gadung, daun nimba dan lain-lain yang dapat mengendalikan hama. Namun, berdasarkan data yang diperoleh, beberapa petani menggunakan pestisida kimia meskipun dalam jumlah yang kecil yaitu sebesar 0,49 persen dari total penggunaan pestisida nabati. Hal ini dilakukan petani karena tingkat serangan hama dan penyakit pada musim tanam rendeng (musim hujan) lebih tinggi dibanding musim kemarau, dan dirasakan penggunaan pestisida nabati tidak mampu secara efektif mengendalikan hama. pengendalian lainnya yaitu dengan mengumpulkan langsung hama yang terdapat pada tanaman (pengendalian fisik). Pestisida yang digunakan oleh petani padi konvensional terdiri dari dua jenis (berdasarkan cara apliaksinya) yaitu pestisida semprot dan pestisida tabur. Pestisida semprot yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya dalam bentuk formula cair dengan beragam merek dagang seperti Cypermax, Meiothrin,
Fastac dan lain-lain. Sementara untuk pestisida tabur, petani hanya menggunakan satu merek dagang yaitu Furadan. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Hal serupa juga dilakukan dengan cara menaburkan furadan. Rata-rata penggunaan furadan yang dilakukan petani sebesar 4,76 kg/ha. Berdasarkan data yang diperoleh, pestisida yang banyak digunakan petani yaitu Fastac sebesar 41,55 persen kemudian disusul pestisida merek Chix sebesar 20,35 persen. Jenis obat-obatan lain yang digunakan dalam usahatani padi
80
konvensional yaitu herbisida. Petani menggunakan herbisida untuk mengurangi pertumbuhan gulma disekitar tanaman, biasanya petani menggunakan merek dagang Indamin. Jumlah petani yang menggunakan herbisida hanya satu persen dari total jumlah responden (19 petani). Beberapa jenis obat-obatan yang digunakan petani padi konvensional dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jenis Obat-Obatan Pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (Hektar) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
6.1.4
Jenis obat-obatan Pestisida semprot Cypermax Meiothrin Fastac Chix Decis Pestisida Tabur Furadan Herbisida (indamin)
Satuan
Penggunaan
Persentase (%)
ml ml ml ml ml
137,79 187,89 557,42 273,07 185,39
10,27 14,01 41,55 20,35 13,82
kg ml
4,76 187,89
100 100
Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja
dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Kebutuhan tenaga kerja dalam satu musim tanam yang digunakan petani baik usahatani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional di Desa Ponggang pada umumnya relatif sama. Hal ini dikarenakan pada beberapa kegiatan usahatani Namun, kebutuhan tenaga kerja pada beberapa kegiatan dalam usahatani padi ramah lingkungan dengan padi konvensional berbeda. Penggunaan tenaga kerja pada dua jenis usahatani di Desa Ponggang dapat dilihat pada Tabel 15.
81
Tabel 15 Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (HOK/Ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kegiatan Pengolahan Tanah Pembibitan Menaplak Menanam Ngagarok Ngarambet Pemupukan Penyemprotan Nyopak Ngabutik Panen Total
Metode Sri Kebutuhan 54,64 3,63 4,81 25,78 2,45 42,85 17,98 19,07 5,63 8,17 31,05 216,06
(%) 25,29 1,68 2,23 11,93 1,13 19,83 8,32 8,83 2,61 3,78 14,37 100,00
Konvensional Kebutuhan (%) 37,43 79,12 2,38 1,13 3,63 1,72 27,18 12,86 7,64 3,61 16,24 34,32 2,07 4,38 12,28 5,81 5,01 2,37 8,14 3,85 27,31 12,92 211,39 100,00
Tabel 15 memperlihatkan bahwa kebutuhan total tenaga kerja pada kedua jenis usahatani relatif sama, hanya saja metode SRI lebih banyak yaitu sebesar lima orang. Proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kedua jenis usahatani paling besar dialokasikan pada kegiatan pengolahan tanah, ngarambet dan panen. Pada usahatani padi ramah lingkungan, sebanyak 25,29 persen tenaga kerja dicurahkan untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah, kemudian diikuti kegiatan penyiangan dan kegiatan panen yang masing-masing sebesar 20,97 persen dan 14.37 persen. Persentase kebutuhan tenaga kerja yang dicurahkan dalam usahatani padi konvensional relatif sama meskipun dalam pengolahan tanah lebih besar yaitu 37,43 persen. Perbedaan besar terlihat dalam jumlah penggunaan tenaga kerja dimasingmasing usahatani terlihat pada kegiatan pengolahan tanah, pemupukan dan ngarambet. Tabel 15 memperlihatkan sebanyak 79 HOK dibutuhkan dalam pengolahan tanah padi konvensional, sementara padi ramah lingkungan membutuhkan kurang lebih 55 HOK. Perbedaan dalam penggunaan tenaga kerja
82
pada kegiatan pengolahan tanah tersebut sekitar 24 HOK atau sekitar 168 jam kerja (7 jam kerja/hari). Hal ini terjadi karena pengolahan tanah sawah yang diusahakan secara ramah lingkungan memiliki struktur tanah yang lebih gembur sehingga lebih cepat diselesaikan dibandingkan pengolahan tanah sawah padi konvensional. Kebutuhan tenaga kerja pada dua kegiatan lainnya yaitu pemupukan dan ngarambet lebih banyak digunakan pada usahatani padi ramah lingkungan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan tambahan tenaga kerja lebih banyak karena menggunakan pupuk organik dalam jumlah lebih besar dibanding pupuk anorganik serta pertumbuhan gulma yang lebih banyak. Pemupukan padi ramah lingkungan memerlukan 14 HOK lebih banyak dibanding pemupukan pada padi konvensional, sementara kegiatan nagarambet memerlukan tambahan sekitar 9 HOK. Upah yang diterima buruh tani pada umumnya sama di Desa Ponggang, baik pada usahatani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional. Kisaran upah yang berlaku sebesar Rp 20.000,00 - Rp 25.000,00 untuk hari kerja pria dan Rp 10.000,00 - Rp 15.000,00 untuk hari kerja wanita. Sementara kegiatan yang menggunakan hewan pada kegiatan pengolahan tanah disetarakan dengan 1,6 HKP atau sebesar Rp 40.000,00/HOK dan bagi yang menggunakan mesin traktor setara dengan 4,8 HKP atau sebesar Rp 120.000,00/HOK. Berdasarkan data di lapang, rata-rata upah dalam usahatani padi ramah lingkungan yang diterima buruh tani pria sebesar Rp 24.281,13/HOK dan upah yang diterima buruh tani perempuan sebesar Rp 15.269,72/HOK. Besaran upah untuk buruh tani pria masih dikisaran pembayaran yang berlaku, sementara upah untuk buruh tani wanita melebihi kisaran yang ada. Hal ini bisa terjadi karena bagi
83
hasil panen yang diperoleh buruh tani dihitung sebagai upah penyiangan dan panen. Sementara upah yang diterima oleh buruh tani pada usahatani padi konvensional rata-rata yang diterima buruh tani pria sebesar Rp 23.576,85/HOK dan upah yang diterima buruh tani perempuan sebesar Rp 15.429,99/HOK. 6.2
Output Usahatani Output dalam usahatani padi berupa gabah. Gabah adalah bulir padi yang
telah dirontokan melalui kegiatan panen. Gabah yang diterima petani di lahan atau gabah yang belum mendapat perlakuan pengeringan disebut gabah kering panen (GKP). Sementara gabah yang telah dikeringkan disebut gabah kering giling (GKG). Berdasarkan informasi yang diperoleh, kehilangan bobot GKP karena proses penjemuran sekitar 15 persen, dengan kata lain bobot GKG lebih rendah 15 persen dari bobot GKP. Jenis gabah yang sering dijual oleh petani biasanya GKG. Berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan usahatani padi pada musim tanam (MT) periode Agustus-November tahun 2007, petani padi ramah lingkungan memperoleh hasil panen yang lebih besar dibanding hasil panen petani padi konvensional. Luas lahan yang diusahakan petani padi ramah lingkungan metode SRI rata-rata 0.29 ha mampu menghasilkan gabah kering panen (GKP) sebesar 2.272,99 kg (Tabel 16). Hasil tersebut setara dengan 1.932,04 kg gabah kering giling (susut 15 %). Bila luas lahan dikonversikan kedalam satuan hektar maka produktivitas tanaman padi ramah lingkungan metode SRI sebesar 7.841,82 kg gabah kering panen (GKP). Jumlah tersebut melebihi produktivitas rata-rata usahatani padi khususnya di desa Ponggang. Rata-rata produktivitas tanaman padi di Desa Ponggang sebesar 4.000,00 kg/ha, sehingga surplus produksi dalam usahatani padi ramah lingkungan metode SRI sebesar 3.837,89 kg.
84
Gabah yang diterima petani padi konvensional yang diusahakan pada lahan rata-rata seluas 0.42 ha sebesar 1.943,50 kg GKP atau setara dengan 1.651,97 kg GKG. Bila dikonversi kedalam luasan hektar maka diperoleh produktivitas sebesar 4.627,38 kg. Jumlah ini lebih kecil dari hasil yang diperoleh petani padi ramah lingkungan dengan rasio 1 : 1,7. Aartinya, petani padi ramah lingkungan memperoleh 1,7 bagian dari hasil panen atau hampir dua kali lipat dari hasil yang diperoleh petani padi konvensional. Meskipun demikian, produktivitas padi konvensional masih berada dikisaran jumlah rata-rata produktivitas di Desa Ponggang. Lebih lanjut, penggunaan input anorganik (pupuk dan obat-obatan kimia) tidak lebih efisien bila dibandingkan penggunaan input dari bahan-bahan organik (kompos dan obat-obatan organik) pada usahatani padi ramah lingkungan. Tabel 16 Produktivitas Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Padi Konvensional Pada Musim Tanam Periode Aguastus-November Tahun 2007 Jenis Usahatani
Luas Lahan Rata-Rata (ha)
GKP (kg)
Produktivitas/ha
Ramah Lingkungan
0,29
2.272,99
7.837,89
Konvensional
0,42
1.943,50
4.627,38
Keterangan: GKP total seluruhnya diterima petani pemilik (gabah bawon diuangkan) GKP menjadi GKG susut 15 %
6.3 6.3.1
Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan Usahatani Penerimaan yang diperoleh petani merupakan nilai dari total produksi
usahatani yang dikelolanya. Hasil penjualan gabah yang merupakan output dalam usahatani merupakan pendapatan kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang digunakan dalam usahatani. Dalam menganalisis penerimaan petani, peneliti menggunakan asumsi bahwa gabah yang dihasilkan petani seluruhnya dijual (100
85
%). Petani pada umumnya menjual gabah dalam bentuk gabah kering giling (GKG) karena harga gabah kering giling lebih tinggi dari harga gabah kering panen (15 persen). Pedagang menghargai gabah GKG lebih tinggi karena biaya untuk pengeringan gabah ditanggung oleh petani. Berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan usahatani padi musim tanam periode Agustus-November 2007 (musim rendeng), petani padi ramah lingkungan memperoleh penerimaan total sebesar Rp 16.452.414,00 dari hasil penjualan GKG 6.665,54 kg/ha (harga rata-rata Rp 2.468,28/kg). Jumlah tersebut relatif besar bagi penerimaan petani padi ramah lingkungan bila dibandingkan dengan penerimaan petani padi konvensional. GKP yang diperoleh petani padi konvensional rata-rata sebesar 4.625,53 kg/ha atau setara dengan 3.931,70 kg GKG menghasilkan penerimaan sebesar Rp 9.968.755,26 pada tingkat harga ratarata Rp 2535,48. Penerimaan petani dari penjualan hasil panen dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Penerimaan Petani Padi Ramah Lingkungan dan Petani Padi Konvensional Musim Tanam Peride Agustus-November Tahun 2007 (hektar) Volume
Harga
(GKG)
(Rp/satuan)
Usahatani
Satuan
Ramah Lingkungan
kg
6.665,54
2.468,28
16.452.414,47
Konvensional
kg
3.931,70
2.535,48
9.968.755,26
6.3.2
Nilai (Rp)
Biaya Usahatani Biaya total yang dikeluarkan petani padi ramah lingkungan dalam satu
musim tanam diperoleh rata-rata sebesar Rp 10.215.354,00/ha. Biaya tersebut merupakan hasil penjumlahan dari total penggunaan biaya tunai dan biaya yang
86
diperhitungkan. Tabel 18 menunjukkan bahwa biaya tunai dan biaya diperhitungkan memiliki proporsi yang relatif sama dalam stuktur biaya total. Biaya tunai yang dikeluarkan petani sebesar Rp 5.342.457,45/ha atau sekitar 52,30 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu musim tanam, sisanya merupakan biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 4.872.896,55/ha atau 47,70 persen dari total biaya yang digunakan dalam satu musim tanam usahatani. Tabel 18 Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November Tahun 2007 (Hektar) No 1.
2.
1
3.
Jenis Pengeluaran Biaya tunai Biaya variabel • Benih • Obat-obatan organik1 • Obat-obatan non organik2 • TKLK • Biaya pengairan (ulu-ulu) • Mengangkut hasil panen • Pembelian karung Biaya tetap • Pajak Sub total Biaya diperhitungkan Biaya variabel • Benih • Pupuk bokashi • MOL • TKDK • Sewa saprotan • Sewa lahan Biaya tetap • Penyusutan alat Sub total Total biaya
Biaya (Rp)
Persentase (%)
63.988,42 35.861,84 11.984,21 4.668.440,13 122.720,13 311.370,51 102.546,71
0,63 0,35 0,12 45,7 1,2 3,05 1
25.545,49 5.342.457,45
0,25 52,3
25.638,95 1.827.773,68 245.131,58 716.555,92 39.947,37 1.689.977,96
0,25 17,89 2,4 7,01 0,39 16,54
327.871,09 4.872.896,55 10.215.354,00
3,21 47,7 100
Bioscore dan saputera nutrien 2 Pestisida meothrin dan decis
Berdasarkan data yang diperoleh, penggunaan biaya dalam usahatani padi ramah lingkungan sebagian besar dialokasikan untuk membayar upah tenaga kerja, pengadaan pupuk dan sewa lahan. Hal yang sama ditemukan pula pada usahatani padi konvensional. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi
87
ramah lingkungan metode SRI sebagian besar menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah TKLK sebesar Rp 4.668.440,13/ha atau sekitar 45,70 persen dari total kebutuhan biaya usahatani, sementara pengeluaran untuk biaya pengadaan pupuk bokashi sebesar Rp 1.827.773,68/ha (17,89 %) kemudian disusul sewa lahan sebesar Rp 1.689.977,96 (16,54 persen). Biaya diperhitungkan untuk membayar upah tenaga kerja dalam keluarga relatif kecil yaitu Rp 716.555,92/ha atau hanya 7,01 persen dari total kebutuhan biaya total. Artinya, kegiatan dalam usahatani tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh tenaga kerja keluarga sehingga kekurangan tenaga kerja sebanyak 86,69 persen dicukupi dengan menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Hal ini akan berdampak pada besarnya biaya tunai yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja. Dengan demikian, petani harus memperhatikan kebutuhan tenaga yang benar-benar diperlukan untuk menggarap sawahnya, sehingga pemborosan biaya karena penggunaan tenaga kerja yang berlebihan dapat diminimalisir. Biaya pengadaan pupuk bokashi dan sewa lahan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan karena pengadaan pupuk bokashi sepenuhnya dibuat sendiri dan lahan yang digarap petani padi ramah lingkungan seluruhnya merupakan lahan milik sendiri. Biaya sewa lahan
termasuk kedalam biaya variabel
dikarenakan
produktivitas
sistem
sewa
berdasarkan
lahan.
Berdasarkan
keterangan dari petani, sewa lahan dapat dilakukan dengan membayar 10 persen dari penerimaan hasil panen. Rincian penggunaan biaya dalam usahatani padi
88
ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang baik satuan hektar maupun ratarata perluasan lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Tabel 19
memperlihatkan biaya total yang dikeluarkan petani padi
konvensional sebesar Rp 8.078.657,24 per hektar. Bagian biaya total yang digunakan untuk biaya TKLK sebesar 43,59 persen atau Rp 3.521.232,78, pengadaan pupuk urea sebesar 12,74 persen (Rp 1.029.600,53) dan sewa lahan sebesar 12,34 persen (Rp 996.875,53), sisanya merupakan biaya TKDK, pupuk TSP, biaya pengairan dan lain-lain. Tabel 19 Pengeluaran Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November Tahun 2007 (Rp/Ha) No 1
Pengeluaran usahatani Biaya tunai Biaya variabel Benih • Pupuk padat : 1) Urea 2) TSP 3) Ponska 4) Pupuk pelengkap cair • Obat-obatan kimia • TKLK • Biaya pengairan (ulu-ulu) • Mengangkut hasil panen • Pembelian karung • Sewa saprotan • Retribusi tanah desa (10%) Biaya tetap • Pajak Sub total 2 Biaya diperhitungkan Biaya variabel • Benih • TKDK • Sewa saprotan • Sewa lahan Biaya tetap • Penyusutan alat Sub total 3 Total biaya *persentase terhadap biaya total
Biaya Rp
Persentase (%)*
18.037,89
0,22
1.029.600,53 184.763,16 49.604,21 60.001,05 234.492,63 3.521.232,78 88.748,95 464.287,89 74.218,42 25.052,63 27.056,84
12,74 2,29 0,61 0,74 2,90 43,59 1,10 5,75 0,92 0,31 0,33
16.121,37 5.793.218,35
0,20 71,71
149.626,84 987.301,44 11.273,68 996.875,53
1,85 12,22 0,14 12,34
140.361,39 2.285.438,88 8.078.657,24
1,74 28,29 100,00
89
Informasi lain yang diperoleh yaitu bagian biaya tunai dan diperhitungkan memiliki proporsi yang berbeda dalam membentuk biaya total usahatani padi konvensional. Sebagian besar biaya yang dikeluarkan petani padi konvensional merupakan biaya tunai (71,71%) dan sisanya merupakan biaya yang diperhitungkan (28,29%). Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan padi konvensional secara finansial sangat bergantung pada biaya tunai dalam pengadaan inputnya terutama pengadaan pupuk urea. Lebih lanjut, petani menggunakan pupuk urea jauh diatas jumlah yang disarankan oleh pemerintah. Volume penggunaan urea oleh petani padi konvensional mencapai 765,98 kg/ha, sementara jumlah yang dianjurkan sebesar 200 kg/ha atau terjadi kelebihan penggunaan pupuk urea sekitar 565,98 kg. Penggunaan pupuk urea yang tidak rasional tersebut berdampak pada pemborosan biaya usahatani sebesar sebesar RP 1.029.594,87 (harga rata-rata urea Rp 1.344,15/kg). Jumlah tersebut tentunya menambah biaya total yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan atas biaya total yang semakin rendah. Rincian biaya usahatani padi konvensional dapat dilihat pada Lampiran 7. 6.3.3
Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani dianalisis dengan menggunakan konsep pendapatan
atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari hasil pengurangan penerimaan petani terhadap komponen biayabiaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usahatani. Sementara pendapatan atas biaya total diperoleh dari penerimaan petani yang dikurangkan dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan dalam usahataninya, termasuk biaya yang
90
diperhitungkan. Sehingga hasil akhir dari pendapatan atas biaya total akan lebih rendah dari pendapatan tunai. Informasi yang diperoleh dari hasil panen musim tanam (MT) periode Agustus-November tahun 2007, penjualan gabah hasil panen padi ramah lingkungan metode SRI menghasilkan nilai total produksi rata-rata sebesar Rp 16.452.414,47 per hektar. Sementara perolehan penjualan hasil panen padi konvensional rata-rata hanya sebesar Rp 9.968.755,2 per hektar. Perbedaan jumlah penerimaan pada dua usahatani tersebut dikarenakan tingkat produktivitas tanaman yang relatif berbeda cukup besar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Penerimaan petani merupakan pendapatan kotor yang belum dikurangi biaya usahatani. Pada umumnya, usahatani padi ramah lingkungan memiliki biaya usahatani yang lebih besar dibandingkan padi konvesional, terutama pada komponen biaya TKLK, pengadaan pupuk dan sewa lahan. Namun perbedaan tersebut tidak lebih dari 41 persen. Tabel 20 memperlihatkan bahwa pendapatan usahatani padi ramah lingkungan ternyata memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan usahatani padi konvensional meskipun memiliki biaya total usahatani yang lebih besar. Petani padi ramah lingkungan memperoleh pendapatan atas biaya tunai Rp 11.109.957,02/ha. Sementara bila diperhitungkan pengeluaran yang tidak dibayar petani maka petani hanya memperoleh pendapatan sebesar Rp Rp 6.237.060,47 per hektar. Hal yang sama pada pendapatan usahatani padi konvensional dimana petani hanya menerima pendapatan atas biaya tunai Rp 4.175.536,91 atau sekitar Rp 1.890.098,03/ha setelah dikurangi biaya total. Uraian tersebut dapat dijelaskan
91
dengan nilai R/C ratio usahatani yang menunjukkan efisiensi masing-masing usahatani. Tabel 20 Analisis Pendapatan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional Pada Musim Tanam Agustus-November Tahun 2007 di Desa Ponggang (Rp/Ha) Uraian A. Pen. Usahatani B. Biaya usahatani Tb. Tunai Tb. Diperhitungkan Total biaya C Pend. Atas biaya tunai D Pend. Atas biaya total E R/C ratio biaya tunai F R/C ratio biaya total
Padi Ramah lingkungan (%)* 16.452.414,47 100,00 5.342.457,45 4.872.896,55 10.215.354,00 11.109.957,02 6.237.060,47 3,08 1,61
32,47 29,62 62,09
Padi konvensional 9.968.755,26 5.793.218,35 2.285.438,88 8.078.657,24 4.175.536,91 1.890.098,03 1,72 1,23
(%)* 100 58,11 22,93 81,04
Keterangan : pen = penerimaan, TB. = total biaya, pend. = pendapatan
Efisiensi usahatani yang aktual diperlihatkan oleh nilai R/C ratio atas biaya tunai. Tabel 20 memperlihatkan bahwa nilai R/C ratio atas penggunaan biaya tunai usahatani padi ramah lingkungan metode SRI sebesar 3,08, jauh lebih besar dari R/C ratio usahatani padi konvensional (1,72). Hal ini menjelaskan bahwa petani padi ramah lingkungan menerima 3,08 rupiah dari setiap satu rupiah input yang dikeluarkan sementara petani padi konvensional hanya menerima 1,72 rupiah dari setiap satuan inputnya. Lebih lanjut bila menggunakan biaya total usahatani, petani padi ramah lingkungan metode SRI akan memperoleh 1,61 rupiah sementara petani padi konvensional hanya menerima 1,23 rupiah dari setiap satu rupiah yang digunakan dalam usahatani. Meskipun demikian, kedua usahatani tersebut masih menguntungkan secara ekonomi karena nilai R/C ratio masing-masing usahatani tersebut lebih dari satu (R/C ratio > 1).
92
VII ANALISIS PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification)
7.1
Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran Tataniaga padi ramah lingkungan melibatkan beberapa lembaga
pemasaran hingga sampai ke konsumen akhir. Berdasarkan penelusuran pemasaran hasil usahatani padi ramah lingkungan di Desa Ponggang, lembaga pemasaran yang terlibat dalam tataniaga padi ramah lingkungan terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dalam daerah (PPTD), pedagang besar luar daerah (grosir) dan pengecer non lokal. 7.1.1
Petani Petani dalam pemasaran padi ramah lingkungan bertindak sebagai
produsen yang memproduksi gabah sebagai produk akhirnya yang kemudian akan dijual kembali. Sebagai lembaga pemasaran, petani melakukan beberapa fungsi dalam kegiatan pemasaran yaitu fungsi fisik dan fungsi pertukaran. Fungsi fisik dilakukan petani melalui kegiatan penjemuran dan pengemasan. Gabah yang telah melalui proses penjemuran (pengeringan) dikenal sebagai gabah kering giling (GKG). Petani biasanya menjual hasil usahataninya dalam bentuk GKG, hal ini dilakukan untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi (15 %) dari harga jual GKP dengan melakukan penjemuran sendiri. Kadar air GKP yang hilang setelah menjadi GKG rata-rata sebesar 15 pesen. Fungsi fisik lainnya yang dilakukan petani yaitu kegiatan pengemasan. Sebelum dijual, GKG dikemas terlebih dahulu karena setelah proses penjemuran (pengeringan GKP)
93
terdapat interval waktu sebelum dijual. Biaya penjemuran dan kemasan sudah termasuk dalam biaya produksi usahatani (Rp 1.542,55/kg). Fungsi pertukaran dilakukan petani terlihat dalam kegiatan penjualan, sementara fungsi pembelian tidak dilakukan petani karena dalam hal ini petani memproduksi sendiri dari output (gabah) yang dihasilkan. Petani padi ramah lingkungan biasanya menjual hasil usahatani ke pedagang pengumpul kecil (lokal) dan pedagang pengumpul tingkat daerah (PPTD) dengan harga jual yang tidak berbeda dengan padi konvensional. Sebagian besar GKG dijual ke pedagang pengumpul lokal karena beberapa pedagang pengumpul besar (PPTD) khususnya di Desa Ponggang membiayai pedagang pengumpul lokal untuk membeli gabah dari petani. Harga jual rata-rata yang diterima petani di tingkat pedagang pengumpul lokal sebesar Rp 2.468,28/kg, sementara bila menjual langsung ke PPTD petani menerima harga yang lebih tinggi yaitu Rp 2.600,00/kg. 7.1.2
Pedagang Pengumpul Lokal Pedagang pengumpul lokal biasanya adalah petani yang merangkap
sebagai pedagang. Kegiatan perdagangan yang dilakukan hanya terbatas pada musim panen saja. Pedagang pengumpul lokal melakukan beberapa fungsi dalam pemasaran padi ramah lingkungan yaitu fungsi fisik dan fungsi pertukaran. Fungsi lain yang biasa dilakukan pedagang yaitu fungsi keuangan. Namun untuk kasus di Desa
Ponggang,
sebagian
pedagang
pengumpul
ditingkat
lokal
tidak
mengeluarkan biaya karena seluruh biaya sepenuhnya dipinjamkan oleh pedagang pengumpul besar (PPTD). Sebagai konsekuensinya, pedagang pengumpul lokal harus menjual gabah pembeliannya kepada pedagang pengumpul besar tersebut.
94
Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul lokal terlihat pada kegiatan pembelian dan penjualan gabah serta kegiatan pengumpulan GKG. Pembelian gabah biasanya dilakukan dengan cara mendatangi langsung petani yang akan menjual hasil usahataninya hingga ke pelosok desa. Gabah dari petani tersebut
kemudian
diumpulkan
pada
tempat
tertentu
untuk
dilakukan
penimbangan. Gabah (GKG) dibeli dengan harga pada kisaran yang berlaku pada saat itu, biasanya saat panen raya harga gabah lebih rendah dibanding musim lainnya. Namun, penetapan harga bisa dilakukan sesuai dengan kesepakatan tertentu antara petani dengan pedagang pengumpul. Misal harga gabah akan lebih tinggi bila biaya penimbangan dan muat ditanggung oleh petani. Pedagang pengumpul lokal menjual hasil usahatani padi ramah lingkungan ke pedagang pengumpul yang lebih besar (PPTD). Pedagang pengumpul lokal tidak mengeluarkan biaya pemasaran lain selain biaya penimbangan karena langsung dijual kembali ke pedagang yang lebih besar (PPTD) sebagai konsekuensi dari kesepakatan atas pinjaman modal yang diterima pedagang pengumpul lokal. Pedagang pengumpul lokal memperoleh keuntungan atas modal yang dipinjamkan pedagang besar dari selisih penjualan gabah. Fungsi lainnya berupa fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul lokal melalui kegiatan penimbangan. Dengan demikian, biaya pemasaran pada tingkat pedagang pengumpul lokal tidak banyak dikeluarkan karena aktivitas pemasarannya sedikit. 7.1.3
Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah (PPTD) Pedagang pengumpul tingkat daerah (PPTD) termasuk pedagang besar
karena memiliki fasilitas penggilingan gabah sendiri serta kendaraan operasional. Sebagai lembaga pemasaran, pedagang PPTD melakukan beberapa fungsi
95
pemasaran. Fungsi pemasaran yang dijalankan pedagang PPTD meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan PPTD meliputi pembelian, pejualan dan pengumpulan. Namun dalam hal ini, fungsi pertukaran yang dilakukan PPTD terjadi pada jenis komoditi yang berbeda. Kegiatan pembelian dilakukan terhadap gabah kering giling (GKG) dari pedagang pengumpul lokal atau petani yang langsung menjual di penggilingan, sementara produk (output) yang dijual berupa beras. Kapasitas pembelian gabah yang dilakukan pedagang PPTD relatif lebih banyak dari pedagang pengumpul lokal. Kapasitas pembelian gabah petani yang mampu diterima pedagang PPTD berkisar 1 – 5 ton atau lebih. Baik yang dibeli dari pedagang pengumpul lokal maupun langsung dari petani. Gabah yang telah dibeli kemudian diangkut ke pabrik penggilingan untuk segera diolah menjadi beras. Gabah yang diterima pedagang PPTD sudah dalam bentuk GKG sehingga gabah tersebut sudah bisa langsung diolah menjadi beras tanpa dilakukan enjemuran (pengeringan). Berdasarkan informasi dari pedagang PPTD, gabah hasil usahatani padi ramah lingkungan memiliki kualitas lebih bagus dari gabah padi konvensional. Kualitas gabah padi ramah lingkungan metode SRI terlihat dari rendemen yang diperoleh hanya sekitar 32 persen atau dari 1 kwintal gabah dapat dihasilkan beras sebanyak 68 kilogram. Lebih lanjut kualitas beras padi ramah lingkungan berbeda dengan beras padi konvensional. Nasi dari beras padi ramah lingkungan lebih pulen dan enak rasanya serta lebih tahan lama disimpan.
96
Setelah gabah diolah menjadi beras, kemudian dikemas dalam karung ukuran 25 kilogram. Biasanya beras langsung disusun (muat) dalam kendaraan untuk dipasarkan tanpa mendapat perlakuan penyimpanan yang berarti. Hal ini dilakukan karena dalam pemasaran beras tidak sulit mencari pembeli. Pemasaran beras padi ramah lingkungan dan beras padi konvensional pada umumnya dijual ke luar daerah (pasar Lembang). Sebelumnya pedagang PPTD mencari informasi harga pasar dengan memanfaatkan komunikasi telpon ke beberapa calon pembeli non lokal. Biaya pemasaran yang menjadi beban pedagang PPTD berupa biaya transportasi dan bongkar-muat beras. Tabel 21 menunjukkan kegiatan
yang
dilakukan pedagang PPTD dalam menjalankan fungsi pemasaran. Penetapan harga pada tingkat PPTD dilakukan dengan mekanisme pasar sementara sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Tabel 21 Fungsi Pemasaran Padi Ramah Lingkungan pada Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah di Desa Ponggang Tahun 2008 No. 1.
2.
3.
Fungsi pemasaran
Kegiatan
Pertukaran
• • •
Pembelian Penjualan Pengumpulan dari pedagang pengumpul lokal
Fisik
• • • • • •
Pengangkutan Bongkar-muat gabah Pengolahan Pengemasan Transportasi Bongkar-muat beras
• • •
Keuangan Penanggungan resiko (susut GKG-beras 32 %) Informasi harga pasar (gabah dan beras)
Fasilitas
97
7.1.4
Pedagang Besar non Lokal (Grosir) Grosir merupakan pedagang perantara yang memiliki skala usaha paling
besar diantara lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran padi ramah lingkungan. Fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga ini hanya meliputi fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Kegiatan pemasaran yang dilakukan grosir relatif sedikit karena lembaga ini hanya mengambil selisih dari kegiatan jual beli tanpa melakukan proses produksi. Kegiatan yang dilakukan pedagang grosir yaitu melakukan pengemasan ulang beras yang dikirim oleh PPTD. Kemasan yang digunakan pedagang merupakan kemasan bermerk perusahaan (kemasan 25 kg). Meskipun dikemas dalam kemasan bermerek, namun beras yang dijual tidak di grading berdasarkan kualitas tertentu. Volume penjualan yang dilakukan pedagang grosir rata-rata mencapai 10 ton per hari menyebabkan perputaran penjualan tinggi, sehingga penyimpanan beras relatif tidak banyak dilakukan dalam waktu yang lama. Grosir melayani penjualan dalam skala besar maupun skala kecil (eceran) dengan sistem pembayaran secara tunai. Biasanya beras kembali dikirim ke pedagang-pedagang sekitar Bandung dan pedagang pengecer di pasar Lembang sendiri sehingga terdapat biaya transportasi. Pedagang grosir mengambil margin yang relatif kecil dibanding lembaga pemasaran lainnya. 7.1.5
Pedagang Pengecer (non Lokal) Pedagang pengecer non lokal melakukan operasi usahanya di pasar luar
daerah (pasar Lembang). Kegiatan lembaga ini sama dengan kegiatan yang dilakukan pedagang beras grosir, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan meliputi kegiatan jual-beli beras. Pasokan beras yang diterima pedagang pengecer berasal dari beberapa pedagang
98
di daerah sekitar Bandung, diantaranya Indramayu, Sagalaherang, Pamanukan dan Cianjur dengan sistem pembayaran tunai atau kredit (kasbon) sesuai kondisi keuangan. Sementara penjualan pedagang pengecer rata-rata hanya satu ton per hari karena hanya melayani skala kecil seperti pengecer warung dan konsumen akhir (rumah tangga). Fungsi fisik terlihat kegiatan pengangkutan bila membeli dari beras dari grosir yang berada di sekitar pasar. Pengangkutan beras biasa dilakukan oleh buruh pasar dengan biaya Rp 15.000,00/ton. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer terlihat pada diversifikasi jenis beras yang dijual. Beberapa jenis beras dijual dengan harga yang lebih tinggi seperti beras pandan wangi dan beras cianjur. Sementara untuk beras ramah lingkungan tidak dijual dengan harga khusus karena dicampur dengan beras yang berasal dari daerah lain. Penetapan harga yang dilakukan pedagang pengecer mengikuti harga pasar yang berlaku (mekanisme pasar) dengan mark up rata-rata sebesar 8 persen dari setiap kilogram beras yang dijual ke konsumen. 7.2
Analisis Saluran Pasar Saluran pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI dianalisis secara
deskriptif untuk melihat pola saluran pemasaran yang terjadi. Penelusuran saluran pemasaran padi ramah lingkungan dilakukan dari level pemasaran paling rendah yaitu petani hingga ke pedagang pengecer yang berhubungan langsung dengan konsumen. Hal ini dilakukan untuk melihat biaya pemasaran yang dikeluarkan masing-masing lembaga pemasaran padi ramah lingkungan.
99
Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan
responden, dapat diketahui saluran pemasaran padi ramah lingkungan yang terbentuk terdiri dari tiga pola saluran pasar, yaitu : 1. petani-pengumpul-PPTD-grosir-pengecer-konsumen 2. petani-pengumpul-PPTD-pengecer-konsumen 3. petani-PPTD-pengecer-konsumen Pola saluran pemasaran padi tersebut ditentukan pada kecenderungan lembaga pemasaran dalam menyalurkan hasil pertanian khususnya padi ramah lingkungan. Secara skematis pola saluran pemasaran padi ramah lingkungan dapat dilihat pada Gambar 3. Petani
Padagang pengumpul
Pola I Grosir
PPTD Pola I I
Pola III
Pengecer
Konsumen
Gambar 3 Pola Saluran Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI di Desa Ponggang Berdasarkan Gambar 3, pola saluran pemasaran I merupakan saluran pemasaran yang melibatkan lembaga pemasran paling banyak. Lembaga yang terlibat dimulai dari level paling rendah hingga pada level tinggi. Pemasaran gabah dilakukan pada level pemasaran yang paling rendah yaitu ditingkat petani
100
dan pedagang pengumpul lokal, selanjutnya gabah dijual kembali ke pedagang PPTD. Pada level pemasaran ini, gabah GKG mengalami pengolahan menjadi beras yang akan dijual kembali ke pedagang non lokal. Hal yang sama terjadi pada pola pemasaran II. Pedagang PPTD menjual langsung berasnya ke pedagang grosir, namun PPTD menerima harga yang lebih rendah dibandingkan bila menjualnya ke pedagang pengecer. Keuntungan yang diperoleh Pedagang PPTD bila menjual ke pedagang grosir yaitu dapat langsung menerima hasil penjualannya secara tunai. Kegiatan pemasaran beras ramah lingkungan dilanjutkan oleh pedagang grosir dengan menjualnya kembali ke pedagang pengecer. Tanpa memberikan perlakuan khusus, pedagang pengecer menjual beras langsung ke pedagang pengecer lain atau konsumen akhir. Saluran pemasaran pada saluran II tidak berbeda dengan saluran I terutama saat pemasaran gabah. Namun pada saluran ini pedagang PPTD memilih menjual berasnya ke pedagang pengecer tanpa melalui grosir. Pedagang PPTD menerima harga jual yang lebih tinggi namun dengan resiko tidak memperoleh pembayaran tunai. Saluran pemasaran pada pola III tidak berbeda dengan pola II, hanya saja petani tidak menjual gabahnya kepada pedagang pengumpul tetapi langsung ke pedagang PPTD. Hal ini dilakukan karena lokasi petani dengan tempat penggilingan PPTD dekat, sehingga tidak memerlukan biaya transportasi yang berarti. Selain itu, petani menerima harga jual yang relatif lebih tinggi dibandingkan menjual ke pedagang pengumpul. 7.3
Margin Pemasaran dan Farmer’s share Margin digunakan dalam analisis saluran pemasaran sebagai indikator dari
efisiensi operasional yang mengukur produktivitas kegiatan pemasaran atau fungsi
101
pemasaran yang dijalankan masing-masing lembaga. Lebih lanjut margin merupakan penerimaan kotor dari setiap aktivitas pemasaran dimana didalamnya masih terdapat komponen biaya-biaya pemasaran (margin biaya total) dan keuntungan pemasaran (margin keuntungan). Dengan demikian, nilai margin yang besar pada saluran pemasaran belum dapat menggambarkan keuntungan yang besar bagi masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Sementara farmer’s
share menggambarkan bagian yang diterima petani atas harga jual ditingkat pengecer. Semakin panjang rantai tataniaga menyebabkan bagian yang diterima petani akan semakin kecil, karena biaya-biaya operasional yang digunakan dalam menjalankan fungsi pemasaran akan semakin besar. Artinya saluran pemasaran tidak efisien. Biaya operasional atau biaya tataniaga menunjukkan semua biaya yang digunakan oleh lembaga pemasaran dalam menjalankan fungsi pemasarannya, sehingga mencakup biaya pengolahan hingga biaya pemasaran seperti pengemasan, transportasi dan lain sebagainya. Tabel 22 memperlihatkan bahwa terdapata tiga saluran pemasaran yang menjadi alternatif bagi lembaga pemasaran dalam tataniaga padi ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang. Lebih lanjut lembaga pemasaran yang paling banyak terlibat dalam rantai tataniaga padi ramah lingkungan terdapat pada saluran pemasaran I dan paling sedikit terdapat pada saluran III. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran I menyebabkan biaya operasional lebih tinggi dibanding pada saluran lainnya, yaitu sebesar Rp 17.798,64/kg. Hal ini menunjukkan bahwa saluran pemasaran I memiliki aktivitas pemasaran yang lebih banyak sehingga biaya yang dibutuhkan
102
untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran tidak sedikit jumlahnya. Kemudian dilanjutkan oleh saluran pemasaran II dan saluran pemasaran III. Tabel 22 Margin dan Farmer’s share yang diterima Masing-Masing Lembaga Pemasaran Padi Ramah Lingkungan di Desa Ponggang Bulan Februari Tahun 2008 (Rp/Kilogram) No
Lembaga
I Rp/kg
1
2
3
4
5
4
*
Petani Biaya produksi (GKG) Harga jual Margin keuntungan Margin biaya total Pedagang pengumpul • Harga beli • Muat -bongkar Harga jual Margin keuntungan Margin biaya total PPTD • Harga beli1 • Ongkos angkut • Penggilingan • Tenaga kerja • Pengadaan karung • Muat beras • Transportasi • Bongkar beras Harga jual Margin keuntungan Margin biaya total Grosir • Harga beli • Pengemasan • Pengadaan karung Harga jual Margin keuntungan Margin biaya total Pengecer • Harga beli • Kemasan • Tenaga kerja • Angkut beras Harga jual Margin keuntungan Margin biaya total Konsumen Harga beli Total biaya operasional Total margin keuntungan Margin biaya total Konversi harga beras-gabah (1,47)2 Farmer’s share (%)
1.542,55 2.468,28 925,73 0,00 2.468,28 20 2.600,00 111,72 20 3.822,00 20,00 150,00 45,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.700,00 540,86 122,14 4.700,00 10,00 42,00 4.800,00 48,00 52,00 4.800,00 30,00 11,67 15,00 5.200,00 343,33 56,67 5.200,00 17.798,64 1.969,64 250,81 3.903,37 75,06
persentase terhadap margin pemasaran harga konversi 1,47 kg gabah-1 kg beras 2 harga 1 kg gabah setara 1 kg beras di tingkat konsumen akhir 3 harga beli GKG ditingkat PPTD 1
(%)*
100,00
85,00
82,00
Pola saluran pasar II Rp/kg (%)* 1.542,55 2.468,28 925,73 0,00 2.468,28 20 2.600,00 111,72 20 3.822,00 20,00 150,00 45,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.800,00 640,86 122,14
100,00
III Rp/kg 1.542,55 2.600,003 1.057,45 0,00
(%)*
100,00
85,00
84,00
3.822,00 0,00 150,00 45,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.800,00 660,86 122,14
84,00
48,00
86,00
89,00
4.800,00 30,00 11,67 0,00 5.200,00 358,33 41,67 5.200,00 13.031,64 2.036,64 183,81 3.903,37 75,06
90,00
92,00
4.800,00 30,00 11,67 0,00 5.200,00 358,33 41,67 5.200,00 10.523,36 2.076,64 163,81 4.097,00 78,79
90,00
93,00
103
Petani sebagai produsen pada saluran I sama sekali tidak mengeluarkan biaya pemasaran, karena biaya kemasan dan penjemuran sudah termasuk kedalam biaya produksi GKG. Hal ini terlihat pada margin keuntungan yang diperolehnya mencapai 100 persen atau sebesar Rp 925,73/kg, sehingga petani merupakan lembaga pemasaran yang menerima keuntungan paling besar pada semua saluran pemasaran padi ramah lingkungan. Besarnya margin yang diperoleh petani dikarenakan biaya produksi gabah padi ramah lingkungan per kilogramnya relatif kecil bila dibandingkan dengan biaya produksi padi konvensional yang mencapai Rp 2.535,48/kg. Kebutuhan biaya pemasaran paling rendah terdapat pada pedagang pengumpul lokal karena hanya melakukan penimbangan dan pengumpulan. Biaya pemasaran paling besar ditemukan pada pedagang PPTD yaitu sebesar Rp 122,14/kg beras. Hal ini dikarenakan gabah pada pedagang PPTD mengalami proses pengolahan (susut gabah-beras sekitar 38 persen), pengemasan, bongkar-muat dan transportasi. Margin biaya total pada pedagang grosir dan pengecer non lokal relatif sama yaitu sebesar Rp 52,00/kg dan Rp 56,67/kg beras. Beras pada pedagang non lokal hanya mengalami beberapa perlakuan seperti bongkar-muat dan pengemasan, sehingga memiliki margin biaya total yang rendah. Margin keuntungan paling tinggi pada saluran I berturut-turut diterima oleh petani (Rp 925,73/kg GKG), pedagang pengecer (Rp 343,33/kg beras), grosir (Rp 48,00/kg beras), pedagang pengumpul (Rp 111,72/kg GKG) dan PPTD (Rp 540,86/kg beras). Pedagang pengecer menerima margin keuntungan mencapai 86 persen terbesar kedua setelah margin keuntungan petani (100 %) karena menghadapi konsumen akhir dimana mark-up yang terjadi sebesar 8 persen, sementara
104
kegiatan pemasarannya relatif sedikit. Pedagang pengecer mengeluarkan biaya untuk kemasan, upah tenaga kerja dan biaya angkut karena membeli dari grosir. Rantai tataniaga pada saluran pemasaran II tidak jauh berbeda dengan saluran pemasaran I, hanya saja lembaga pemasaran yang terlibat lebih sedikit karena pedagang PPTD menjual berasnya ke pedagang pengecer non lokal (tidak melibatkan pedagang grosir). Saluran pemasaran II cenderung lebih banyak dilakukan oleh PPTD karena dianggap lebih menguntungkan dengan menerima harga jual beras yang lebih tinggi. Selain itu, lebih banyak pilihan alternatif bagi PPTD dalam menetapkan calon pembeli (pedagang pengecer) dengan harga yang maksimal. Namun resiko yang dihadapi yaitu sistem pembayaran tidak tunai. Hal ini tidak menjadi masalah karena skala penjualan PPTD ke pedagang pengecer relatif tidak besar (1-3 ton beras). Margin keuntungan PPTD pada saluran ini lebih tinggi dibandingkan pada saluran I yaitu sebesar Rp 640,86/kg beras atau sekitar 84 persen. Hal yang sama terjadi pada pedagang pengecer yang memperoleh margin keuntungan Rp 358,33/kg beras (90%). Pedagang pengecer memperoleh keringanan biaya pemasaran terutama biaya angkut yang ditanggung oleh PPTD. Keterlibatan lembaga pemasaran yang paling sedikit terdapat pada saluran pemasaran III. Pada saluran ini petani langsung menjual ke pedagang PPTD (tanpa melalui pedagang pengumpul lokal) karena alasan teknis yaitu dekat dengan penggilingan PPTD. Pedagang PPTD memperoleh keuntungan dari kegiatan pemasaran ini karena biaya angkut gabah ditanggung oleh petani. Petani menerima harga jual yang lebih tinggi dari saluran I dan II yaitu Rp 2.600,00/kg GKG sehingga memperoleh margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan
105
pada saluran pemasaran lainnya (saluran I dan II). Margin keuntungan yang diterima petani dan PPTD lebih tinggi dari dua saluran lainnya yang masingmasing menerima sebesar Rp 1057,45/kg GKG dan Rp 660,86/kg beras. Lebih lanjut dapat diketahui bahwa margin biaya total pada saluran pemasaran III paling rendah diantara dua saluran pemasaran lainnya, terutama saluran pamasaran I. Bila melihat total dari margin biaya yang dihasilkan masing-masing saluran pemasaran, terlihat saluran pemasaran III memiliki margin biaya total yang paling rendah diantara dua saluran lainnya. Artinya penggunaan biaya pemasaran dalam rantai tataniaga padi ramah lingkungan paling kecil, dengan demikian secara operasional dapat dikatakan paling efisien. Hal ini didukung dengan bagian petani (farmer’s share) yang dihasilkan pada saluran III paling besar yaitu 78,79 persen. Artinya harga yang diterima konsumen akhir ditingkat pengecer tidak berbeda jauh dengan bagian harga yang diterima petani. Saluran pemasaran IV pada Lampiran 9 dapat dijadikan sebagai skenario alternatif pemasaran langsung yang dilakukan oleh petani sendiri ke pedagang pengecer. Secara aktual saluran pemasaran ini tidak banyak digunakan di Desa Ponggang namun dapat digunakan untuk mengkaji saluran pemasaran yang pendek dan paling sedikit melibatkan lembaga pemasaran. Teori menyebutkan bahwa efisiensi tidak ditentukan oleh panjang-pendeknya saluran pemasaran. Kegiatan pemasaran pada saluran IV memerlukan total biaya pemasaran paling besar yaitu Rp 256,67/kg beras. Volume pemasaran yang kecil menyebabkan biaya pemasaran menjadi besar, terutama pada biaya transportasi (sewa pick up dengan kapasitas 1 ton beras). Biaya sewa kendaraan mencapai Rp 150,00/kg beras, sementara biaya transportasi yang dikeluarkan pedagang PPTD
106
hanya sebesar Rp 57,14/kg beras menggunakan mobil engkel (kapasitas 3,5 ton). Lebih lanjut bagian margin keuntungan yang diperoleh petani lebih kecil yaitu hanya 90,64 persen dan total margin keuntungan yang dihasilkan saluran IV sebesar 90,48 persen. Kelebihan dari saluran ini terdapat pada farmer’s share yang diterima petani paling besar diantara farmer’s share pada tiga saluran lainnya yaitu 92,31 persen. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga pemasaran yang sedikit. Berdasarkan uraian tersebut, maka saluran pemasaran III tetap menjadi saluran pemasaran yang paling efisien secara operasional dalam tataniaga padi ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang. Secara lengkap tabel margin pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI dapat dilihat pada Lampiran 9.
107
VIII HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN TERHADAP MANFAAT USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI
Teknik budidaya padi ramah lingkungan dengan metode SRI (Sistem Rice
Intensification) relatif baru dikenal oleh petani khususnya di Desa Ponggang. Usahatani padi ramah lingkungan metode SRI mulai dikenalkan oleh Kelompok Tani Ponggang Jaya di awal tahun 2005. Selama kurang lebih tiga tahun sejak awal dikenalkan kepada petani, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI masih tetap dilakukan dan bahkan memberikan kontribusi langsung terhadap kesadaran masyarakat khususnya petani untuk lebih arif terhadap penggunan pupuk dan obat-obatan kimia. Sebagian besar petani merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan karena mampu meningkatkan pendapatannya serta membuat struktur tanah sawah semakin subur (21,25 %). Manfaat lainnya yaitu rasa nasi yang lebih enak dari nasi padi konvensional (12,50 %) dan beras yang bebas residu kimia (11,25 %), usahatani yang hemat penggunaan air dan benih, tidak tergantung pada input anorganik dan lain-lain. Disisi lain, usahatani padi ramah lingkungan menghadapi beberapa kendala sebagai kekurangan yang dirasakan petani, diantaranya yaitu ketersediaan kotoran hewan (22,64%), kebutuhan modal yang lebih besar (11,32 %) dan tingginya serangan hama (9,43 %). Usahatani akan bermanfaat bila kelebihan yang dirasakan petani lebih banyak dibandingkan kekurangan yang dimilikinya. Sementara persepsi petani terhadap kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI diduga memiliki hubungan dengan karakteristik petani responden.
108
Tabel 23 memperlihatkan bahwa petani responden pada umumnya merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Hal ini diketahui dari banyaknya jumlah petani responden yang merasakan kelebihan padi SRI dibanding kekurangannya. Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa sebanyak 63,16 persen petani dari golongan umur produktif merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Sementara sekitar 16 persen jawaban yang sama diperoleh dari petani berumur 51 tahun hingga 70 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa umur produktif kemungkinan besar lebih mampu mengidentifikasi kelebihan usahatani padi SRI, sehingga jawabannya lebih rasional dibandingkan jawaban responden dari golongan umur diatas 50 tahun. Tabel 23 Pendapat Petani Responden Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Berdasarkan Kategori dari Karakteristik Responden Kategori Karakteristik Umur (th) 31 – 50 51 – 70 Pendidikan Formal (th) <6 9 – 12 Pendapatan (Rp) < 1,700,000.00 > 1,750,000.00 Luas lahan (ha) 0,07 – 0,4 0,41 – 0,75 Pengalaman Bertani (th) 9 – 28 29 – 48
Usahatani Padi Metode SRI Kelebihan % Kekurangan
%
Total
12 3 15
63,16 15,79
3 1 4
15,79 5,26
15 4 19
9 5 14
47,37 26,32
3 2 5
15,79 10,53
12 7 19
8 7 15
42,11 36,84
3 1 4
15,79 5,26
11 8 19
12 3 15
63,16 15,79
4 0 4
21,05 0
16 3 19
10 5 15
52,63 26,32
3 1 4
15,79 5,26
13 6 19
109
Penggolongan umur petani ke dalam dua kategori untuk melihat apakah jawaban responden dalam menilai manfaat usahatani padi ramah lingkungan dipengaruhi oleh golongan umur tersebut atau tidak ada hubungannya. Berdasarkan hasil uji X2 test, nilai hitung chi-square yang diperoleh sebesar 0,05, sementara nilai X2 test (X20.05, df = 1) pada tabel distribusi chi-kuadrat sebesar 3,811. Dengan demikian X2test < X20.05, hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara kategori umur dengan manfaat yang dirasakan responden diterima (terima H0). Hal ini menunjukkan ternyata pembagian umur responden kedalam dua kategori tidak ada pengaruhnya terhadap persepsi mereka tentang manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Artinya, tidak ada hubungan antara umur produktif dan umur yang tidak produktif dengan manfaat yang dirasakan responden. Hasil yang sama ditemukan pada karakteristik responden lainnya bahwa tingkat pendidikan (0,03), pendapatan (0,61), luas lahan usahatani (0,95) dan pengalaman bertani (0,10) tidak ada hubungan dengan kategori karakteristik yang dibuat. Responden yang menempuh pendidikan formal diatas enam tahun (9-12 tahun) memiliki persepsi yang berbeda terhadap kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan. Petani yang berpendidikan diatas enam tahun diduga memiliki persepsi yang lebih rasional dalam menilai manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Dugaan tersebut ternyata tidak terbukti setelah hasil pengujian chi-square menerima H0. Hal ini membuktikan bahwa semua responden dengan berbagai tingkat pendidikannya memiliki persepsi yang sama terhadap padi ramah lingkungan metode SRI. Petani responden yang memiliki pendapatan
110
usahatani dibawah Rp 1.700.000,00 per bulan diduga memiliki persepsi yang positif terhadap manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan. Penggunaan pupuk organik sebagai substitusi input produksi anorganik memberikan keringanan biaya usahatani bagi petani yang tidak memiliki modal usahatani yang cukup, namun, hasil uji chi-square menerima H0. Artinya petani responden yang memiliki pendapatan rendah hingga pendapatan relatif tinggi merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan. Petani yang memiliki lahan luas diduga lebih rasional dalam menilai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki usahatani padi ramah lingkungan. Pengusahaan lahan yang luas tentunya memiliki konsekuensi terhadap penggunaan biaya yang besar, sehingga diduga petani akan cenderung menggunakan pertanian ramah lingkungan selaama memberikan menfaat yang besar pula terhadap penggunaan lahan mereka. Semntara petani yang memiliki lahan sempit tidak terlalu merasakan manfaat dari pertanian ramah lingkungan karena modal (biaya) usahataninya relatif kecil. Dugaan tersebut tidak terbukti berdasarkan hasil uji chi-square yang menyimpulkan manfaat padi ramah lingkungan metode SRI dirasakan oleh petani yang memiliki lahan sempit hingga memiliki lahan luas. Petani yang telah berpengalaman dalam usahatani diduga memiliki persepsi yang berbeda terhadap kelebihan dan kekurangan padi amah lingkungan dibandingkan petani yang relatif baru di usahatani. Berbekal dari pengalamannya, petani dapat menilai lebih kritis kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan metode SRI sebagai format pertanian yang relatif baru. Namun, seperti halnya dengan karrakteristik petani responden yang lain, dugaan tersebut tidak terbukti,
111
sehingga terima H0. Artinya pertanian ramah lingkungan memiliki manfaat yang relatif baru dirasakan oleh semua responden baik yang sudah berpengalaman maupun baru berusahatani. Hasil perhitungan uji X2 test berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14.
112
IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan
1.
Komponen biaya terbesar pada kedua usahatani padi di desa Ponggang (padi ramah lingkungan metode SRI dan padi konvensional) berturut-turut yaitu biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK), pengadaan pupuk dan sewa lahan. Usahatani padi ramah lingkungan memiliki biaya usahatani yang lebih tinggi dibandingkan biaya usahatani padi konvensional, terutama pada ketiga komponen biaya diatas. Meskipun demikian, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI memiliki pendapatan yang lebih besar karena memperoleh penerimaan bersih 40 persen dari total penerimaan usahatani. Sementara petani padi konvensional hanya memperoleh penerimaan bersih sekitar 20 persen dari total penerimaan usahatani. Hal ini dikarenakan tingkat produktivitas tanaman padi SRI yang lebih tinggi dari padi konvensional. Secara ekonomi usahatani padi ramah lingkungan dan padi konvensional masih menguntungkan dengan nilai R/C ratio atas biaya toal masing-masing sebesar 1,61 dan 1,23.
2.
Tataniaga padi ramah lingkungan memiliki tiga saluran pemasaran dan melibatkan lima lembaga pemasaran yaitu petani/produsen, pedagang pengumpul lokal, pedagang PPTD dan pedagang non lokal (grosir dan pengecer). Pedagang PPTD memiliki fungsi pemasaran paling banyak diantara lembaga pemasaran lainnya.
3.
Petani merupakan lembaga pemasaran yang menerima keuntungan paling besar pada setiap saluran pemasaran, sementara lembaga pemasaran yang menerima keuntungan paling rendah yaitu pedagang PPTD. Saluran
113
pemasaran yang paling efisien secara operasional dan memiliki farmer’s
share paling tinggi terdapat pada saluran III. Saluran pemasaran yang pendek tidak selalu efisien secara operasional (kasus skenario saluran IV), hal ini menunjukkan peranan pedagang PPTD menunjang pemasaran lebih efisien. 4.
Berdasarkan hasil uji X2test diketahui bahwa semua karakteristik responden tidak memiliki hubungan terhadap manfaat yang dirasakan oleh responden. Artinya pembagian karakteristik responden pada kategori (golongan) tertentu tidak mempengaruhi persepsi responden terhadap kelebihan dan kekurangan usaahatani padi ramah lingkungan metode SRI.
9.2
Saran
1.
Kendala yang ditemukan pada usahatani padi ramah lingkungan salah satunya yaitu kebutuhan biaya pengadaan pupuk bokashi yang tinggi. Penyediaan sarana dan fasilitas pendukung dapat mendukung ketersediaan pupuk organik khususnya bokashi agar mudah dan murah diperoleh. Permasalahan ini semestinya tidak hanya menjadi perhatian kelompok tani tetapi juga dinas pertanian setempat.
2.
Penggunaan pupuk anorganik yang tidak rasional terutama urea (765,98 kg/ha) perlu mendapat perhatian pemerintah, khususnya dinas pertanian setempat. Pemberian informasi mengenai penggunaan input yang bijak dan optimal melalui kegiatan penyuluhan lebih diintensifkan yang saat ini dirasakan sangat kurang.
3.
Pemasaran padi di Desa Ponggang khususnya pemasaran padi ramah lingkungan diupayakan menggunakan saluran pemasaran pola III atau
114
saluran yang melibatkan lembaga pemasaran paling sedikit karena lebih efisien secara operasional. Namun, pedagang perantara antar daerah seperti PPTD tetap dibutuhkan agar pemasaran lebih efsisien. Sarana dan fasilitas yang mendukung pemasaran seperti jalan desa yang kondisinya sudah rusak perlu diperbaiki agar menjadi insentif bagi pelaku pasar khususnya petani menjual langsung gabahnya ke PPTD. 4.
Pengembangan pertanian padi ramah lingkungan khususnya metode SRI memiliki peluang yang besar karena sebagian besar petani dengan beragam karakternya telah merasakan manfaat dari usahatani tersebut. Sosialisasi padi ramah lingkungan perlu disertai dengan menyediakan sarana dan fasilitas pendukung serta bantuan modal usahatani.
115
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2004. Modul Pelatihan Penggunaan Air Irigasi Secara Efisien dengan Metode SRI (System of Rice Intensification). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jendral Sumberdaya Air. Bandung. Anonymous, 2007. Propil Desa/Kelurahan Ponggang Tahun 2007. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang. Anonymous, 2004. Pelatihan Penggunaan Air Irigasi Secara Efisien Dengan Metode SRI. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Direktorat Jendral Sumber Daya Air.Proyek Irigasi Andalan Jawa Barat (Bagian Tataguna Air). Bandung. Bluman, Allan G. 1992. Elementary Statistic (A step by step approach). The Mc Graw-Hill Companies, inc. New York. Dahl, Dale C., dan Hammond, J.W. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. McGraw-Hill, Inc. New York. Darrah, L.B. 1965. Food Marketing. The Agricultural Development Council. New York. Fahmi, Ali, dkk.2005. Pertanian Organik Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melawan Neoliberalisme. FSPI. Jakarta. Fitriadi, Farid. 2005. Analisis Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya) (skripsi). Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irawan, Agus HSR. 2001.Cara Khusus Menyuburkan Tanaman. CV. Aneka. Solo. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran (edisi sebelas). Jilid I. PT Indeks, Jakarta. 2005. Manajemen Pemasaran (edisi sebelas). Jilid II. PT Indeks, Jakarta. Krisnamurthi, Bayu. 2001. Agribisnis. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Jakarta. Kusumah, S.J. 2004. Analisis Perbandingan Uahatani dan Pemasaran Antara Padi Organik dan Padi Anorganik (Kasus: Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan) (skripsi). Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor.
116
Nainggolan, SS. 2001. Analisis Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kecamatan Tempuran Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat (Skripsi). Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Rahim, Abd., dan Hastuti Dwi D.R. 2007. Pengantar, Teori, dan Kasus Ekonomika Pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta. Rahmani, D. 2000. Analisis Sistem Usahatani Padi Organik. Suatu Studi Perbandingan. Kasus: Desa Segaran, Kecamatan Delunggu, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah (skrpisi). Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reijntjes, C., Havercorf Bertus dan Bayer AW. 2004. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta Sudjana, M. A. 1990. Teknik Analisis Data Kualitatif. Penerbit Tarsito. Bandung. Soekartawi, A. Soeharjo., J.L Dillon., dan J.B. Hardaker. 1968. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil, Universitas Indonesia, Jakarta. Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Sutanto, Rahmat. 2006. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta. Walpole, Ronald E.1995. Pengantar Statistika (Edisi ke-3). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Waluyo, Sihono Dwi. 2001. Statistika (untuk pengambilan keputusan). Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
117
LAMPIRAN
118
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
119
Lampiran 2 Seleksi Benih Padi Ramah lingkungan dengan Perlakuan Larutan Garam Tujuan perlakuan: Tujuan perlakuan ini adalah memperoleh benih yang bernas serta memisahkannya dari benih hampa dan kotoran lainnya. Kegiatan ini biasanya dilakukan bagi benih tradisional (gabah hasil panen sebelumnya). Bahan dan alat : • Garam dapur • Telur ayam • Air • Satu buah ember • Wajan penyaring Cara perlakuan : • Siapkan ember, kemudian isi dengan air secukupnya untuk kebutuhan benih yang akan diseleksi. • Larutkan garam kedalam air secukupnya. Larutan garam akan meningkatkan massa jenis air untuk memisahkan benih berisi (bernas) dengan benih hampa. Gunakan telur ayam sebagai indikator untuk melihat apakah kebutuhan garam sudah cukup. Tambahkan garam sedikit demi sedikit kedalam larutan hingga telur terapung. Setelah telur terapung, maka seleksi benih dapat dilakukan. • Benih dimasukan secukupnya kedalam larutan garam dalam ember. Aduk perlahan hingga benih hampa dan bernas terpisah. Setelah diperoleh benih yang bernas segera cuci benih tersebut dengan air bersih. Kegiatan ini dilakukan hingga semua benih bernas dapat dipisahkan dari benih hampa dan kotoran lainnya. Selanjutnya benih siap direndam untuk merangsang perkecambahan sebelum di sebar.
120
Lampiran 3 Pembuatan Pupuk Bokashi Cara pembuatan Bahan-bahan • Kotoran hewan : Sapi (60%), Ayam (15%), Domba (5%). • Bahan-bahan lainnya (30%) seperti hijauan, batang pisang, rebung, sekam, serbuk gergaji dan MOL. Langkah-langkah pembuatan 1) Bahan-bahan seperti batang pisang dan rebung dipotong-potong terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bahan-bahan lainnya secara merata. 2) Siramkan larutan MOL secara perlahan dan merata pada timbunan bahan campuran organik (adonan) hinggá kandungan air sekitar 30%. MOL digunakan sebagai bahan substitusi EM4 untuk mempercepat proses pengomposan bahan-bahan organik. Konsentarsi larutan dibuat dengan 1 liter MOL dicampur dengan 100 liter air. 3) Proses pengomposan dilakukan secara terbuka ditempat yang teduh. Pengomposan biasanya dilakukan di tempat khusus yang dimiliki kelompok tani desa Ponggang. Suhu pada timbunan adonan bahan organik dipertahankan tidak terlalu panas (sekitar 400-500C). Mempertahankan suhu didalam timbunan adonan menggunakan pipa cerobong yang biasanya terbuat dari bambu. 4) Proses pengomposan hingga menjadi pupuk bokashi membutuhkan waktu dua minggu. Pupuk bokashi yang matang biasanya sudah berbau asam dan tidak panas. 2. Aspek ekonomi Pupuk bokashi yang dilakukan petani di desa Ponggang tidak memiliki aturan yang baku dalam penentuan komposisi bahan-bahan campuran organik. Sehingga biaya pembuatan yang dikeluarkan untuk menghasilkan pupuk bokashi berbeda. Berikut ini contoh kasus penggunaan biaya pembuatan pupuk bokashi yang dilakukan beberapa petani.
Input
Satuan
Kotoran Hewan kg Mol liter Bahan Lainnya (20%) kg Upah Tenaga Kerja HOK Ongkos Angkut Kotoran Hewan kg Total produksi Ouptut Produksi 360 Kg (Susut +50%) Biaya Produksi = Rp 560
Volume 600 1 120 2 600
Biaya (Rp) 125,00 5.000,00 125,00 35.000,00 60,00
Pengeluaran Rp) 75.000,00 5.000,00 15.000,00 70.000,00 36.000,00 201.000,00
121
Lampiran 3. (Lanjutan) Harga jual pupuk bokashi dipasaran lebih murah yaitu sekitar Rp 500,00/kg, sementara biaya produksi pembuatan pupuk bokashi oleh petani Rp 560,00/kg. Sehingga pembuatan pupuk yang dilakukan petani di desa Ponggang dianggap kurang efektif karena skala produksinya rendah. Namun, saat ini belum banyak produsen pupuk bokashi sehingga petani kesulitan menemukan pedagang yang menjual pupuk bokashi tersebut, khususnya kasus di desa Ponggang belum ada yang mengusahakan perbanyakan pupuk bokashi secara ekonomi.. Dengan demikian, usaha pembuatan pupuk bokashi dalam skala yang besar bisa menjadi peluang bisnis bagi petani untuk memenuhi kebutuhan banyak petani padi ramah lingkungan.
122
Lampiran 4 Pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL)/Pestisida Nabati Bahan dasar Prinsip pemilihan bahan MOL adalah memanfaatkan nutrisi atau zat pertumbuhan yang bermanfaat bagi tanaman. Bukan hanya itu, banyak petani menggunakan MOL untuk mengendalikan hama karena bahan-bahan dasarnya mengandung racun. Dengan demikian fungsi MOL tidak hanya untuk pupuk pelengkap cair, tetapi juga berfungsi sebagai pestisida nabati. MOL dapat dibuat dari semua bahan organic mulai dari buah-buahan, pucuk daun, rebung bambu, ikan asin, dan sampah dapur bahkan bangkai hewan dan telur busuk,. Sementara bahan-bahan yang efektif mengendalikan hama dan penyakit yaitu gadung, puntung rokok, daun nimba dan bahan lainnya sesuai ketersediaan. Bahan-bahan tersebut dibuat dengan dicampur maupun secara terpisah. Bahan dasar lainnya yaitu air beras dan lahang untuk mempercepat perkembangan bakteri. Cara pembuatan 1. Bahan-bahan dasar dihancurkan atau diekstrak terlebih dahulu (ditumbuk atau diblender). 2. Masukan bahan dasar kedalam wadah seperti toples, tambahkan air cucian beras secukupnya, kemudian untuk mengurangi bau dari bahan-bahan tersebut bisa ditambahkan air kelapa atau larutan lahang. Setelah semua bahan dimasukan kemudian wadah ditutup dengan kertas kano (kertan Koran). Hal ini untuk mencegah lalat masuk namun udara tetap bisa masuk. 3. Lakukan fermentasi selama dua minggu. Hasil fermentasi disaring untuk dapat diaplikasikan dengan sprayer. Penyimpanan MOL/pestisida nabati MOL bisa dikatakan sebagai bahan dekomposer karena banyak bakteri didalamnya. Sehingga penyimpanan MOL memerlukan teknik agar bakteri tetap hidup. Cara yang biasa dilakukan agar bakteri tetap hidup yaitu sebagai berikut. Masukan MOL dalam wadah tertutup rapat, kamudian hubungkan wadah MOL dengan wadah lain yang berisi air melalui pipa atau selang. Dengan demikian udara dalam wadah penyimpanan MOL hanya terhubung dengan air dalam wadah yang lain.
123
Lampiran 5 Penggunaan Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007 (Hektar) Uraian
Satuan
A. B. 1.
Penerimaan Komponen biaya: Sarana produksi 1) Benih 2) Kompos 3) Pupuk cair organik . MOL . Bioscore . Saputra nutrien 4) Pestisida . Meothrin . Decis Sub total Tenaga kerja 1) Pengolahan tanah I · membajak · memopok · namping 2) Pembibitan 3) Pengolahan tanah II · membajak · mojokan · meratakan 4) Menaplak 5) Menanam/tandur 6) Pemeliharaan . ngagarok · ngarambet I · pemupukan I · penyemprotan . ngagarok · ngarambet II · pembersihan pematang: " nyopak " ngabutik 7) Memanen Sub total Biaya lain-lain 1) Nilai penyusutan alatalat 2) Pajak 3) Sewa tanah 4) Sewa alat saprotan 5) Pengairan (ulu-ulu) 6) Mengangkut hasil panen "pikul "kendaraan 7) Karung Sub total Total biaya
kg
6.665,54
kg kg
13,53 3.862,18
6.625,50 473,25
89.627,37 1.827.773,68
0,88 17,89
liter ml ml
47,94 226,97 544,74
5.113,64 50,00 45,00
245.131,58 11.348,68 24.513,16
2,40 0,11 0,24
ml ml Rp
217,89 18,16
33,33 260,00
7.263,16 4.721,05 2.210.378,68
0,07 0,05 21,64
HKP HKP HKP HKP
12,35 9,81 8,35 3,63
23.897,06 23.796,30 23.804,35 24.000,00
295.065,79 233.328,95 198.828,95 87.157,89
2,89 2,28 1,95 0,85
HKP HKP HKP HKP HKW
9,88 7,63 6,63 4,81 25,78
24.613,97 23.928,57 24.315,07 24.056,60 8.028,17
243.134,21 182.486,84 161.151,32 115.756,58 207.000,00
2,38 1,79 1,58 1,13 2,03
HKP HKW HKP HKP HKP HKW
2,09 22,52 17,98 19,07 0,36 20,34
23.695,65 10.927,42 24.191,92 23.095,24 22.500,00 11.026,79
49.480,26 246.039,47 434.881,58 440.328,95 8.171,05 224.250,00
0,48 2,41 4,26 4,31 0,08 2,20
HKP HKP HKP Rp
5,63 8,17 31,05 216,06
23.225,81 24.000,00 62.192,98
130.736,84 196.105,26 1.931.092,11 5.384.996,05
1,28 1,92 18,90 52,71
327.871,09
3,21
25.545,49 1.689.977,96 39.947,37 122.720,13
0,25 16,54 0,39 1,20
255.556,35 55.814,16 102.546,71 2.619.979,26 10.215.354,00
2,50 0,55 1,00 25,65 100,00
2.
3.
*gabah GKG *Persentase terhadap biaya total
Volume*
Harga Nilai (Rp) (Rp/satuan) 2.468,28 16.452.414,47
No.
Rp/musim Rp/musim Rp Rp/hari Rp/hari Rp/musim Rp/kg Rp/kg Karung Rp
10.000,00 10.000,00 7,99 47,12 5.486,62 2.855,06 79,26
2,55 169,00 5.000,00
(%)**
124
Lampiran 6 Penggunaan Biaya Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Pada Luas Rata-Rata 0,29 Ha pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007 No. A. B. 1.
2.
3.
Uraian Penerimaan Produksi Komponen biaya: Sarana produksi 5) Benih 6) Kompos 7) Pupuk cair organik . MOL . Bioscore . Saputra nutrien 8) Pestisida . Meothrin . Decis Sub total Tenaga kerja 8) Pengolahan tanah I · membajak · memopok · namping 9) Pembibitan 10) Pengolahan tanah II · membajak · mojokan · meratakan 11) Menaplak 12) Menanam/tandur 13) Pemeliharaan . ngagarok · ngarambet I · pemupukan I · penyemprotan . ngagarok · ngarambet II · pembersihan pematang : " nyopak " ngabutik 14) Memanen Sub total Biaya lain-lain 8) Nilai penyusutan alat-alat 9) Pajak 10) Sewa tanah 11) Sewa alat saprotan 12) Pengairan (ulu-ulu) 13) Mengangkut hasil panen "pikul "kendaraan 14) Karung Sub total Total biaya
*Persentase terhadap biaya total
Volume
Harga (Rp/satuan)
1.932,04
2.468,28
4.768.815,79
kg kg
3,92 1.119,47
6.625,50 473,25
25.978,95 529.789,47
liter liter liter
13,89 0,07 0,16
5.113,64 50,00 45,00
71.052,63 3,29 7,11
liter liter Rp
0,06 0,01
33,33 260,00
2,11 1,37 626.834,92
0,88 17,98 0,00 2,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21,27
HKSP HKP HKP HKP
3,58 2,84 2,42 1,05
23.897,06 23.796,30 23.804,35 24.000,00
85.526,32 67.631,58 57.631,58 25.263,16
0,00 2,90 2,29 1,96 0,86
HKSP HKP HKP HKP HKW
2,86 2,21 1,92 1,39 7,47
24.613,97 23.928,57 24.315,07 24.056,60 8.028,17
70.473,68 52.894,74 46.710,53 33.552,63 60.000,00
2,39 1,79 1,58 1,14 2,04
HKP HKW HKP HKP HKP HKW
0,61 6,53 5,21 5,53 0,11 5,89
23.695,65 10.927,42 24.191,92 23.095,24 22.500,00 11.026,79
14.342,11 71.315,79 126.052,63 127.631,58 2.368,42 65.000,00
0,49 2,42 4,28 4,33 0,08 2,21
HKP HKP HKP Rp
1,63 2,37 9,00 62,63
23.225,81 24.000,00 62.192,98
37.894,74 56.842,11 559.736,84 1.560.868,42
1,29 1,93 18,99 52,96
Rp/musim Rp/musim Rp Rp/hari Rp/hari Rp/musim
2.900,00 2.900,00 2,32 13,66
2,55 168,91 5.000,00 2.604,43
95.035,10 7.404,49 489.848,68 11.578,95 35.571,05
3,22 0,25 16,62 0,39 1,21
1.590,33 827,55 22,97
46,58 19,55 1.293,81
74.074,30 16.178,02 29.723,68 759.414,28 2.947.117,62
2,51 0,55 1,01 25,77 100,00
Satuan
Rp/kg Rp/kg Karung Rp
Nilai (Rp)
(%)*
125
Lampiran 7 Rincian Penggunaan Biaya dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Ponggang Pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November Tahun 2007 (Hektar) No. A. B. 1.
2.
3.
Uraian Penerimaan Komponen biaya: Sarana produksi Benih Pupuk padat: " Urea " TSP " Ponska Pupuk pelengkap cair: " bioscore " top jumbo " suprapit " trobos " gandasil " Plant catalis " kapu " citonik Pestisida cair: " cypermax " miotrin " fastac " cix " decis Pestisida padat: " furadan Indamin (herbisida) Sub total Tenaga kerja Pengolahan tanah I · membajak · memopok · namping Pembibitan Pengolahan tanah II · membajak · mojokan · meratakan Menaplak Menanam/tandur Pemeliharaan . ngagarok · ngarambet I · pemupukan I · penyemprotan . ngagarok · ngarambet II · pembersihan pematang: " nyopak " ngabutik Memanen Sub total biaya lainnya Nilai penyusutan alat-alat Pajak Sewa tanah Sewa alat saprotan Sewa lainnya Pengairan (ulu-ulu) Mengangkut hasil panen "pikul "kendaraan Karung Retribusi tanah desa (10%) Sub total Biaya Total
Satuan kg
(%)*
Volume 3.931,70
Harga (Rp/satuan) 2.535,48
Nilai (Rp) 9.968.755,26
kg
59,37
2.823,84
167.664,74
kg kg kg
765,98 103,34 25,05
1.344,15 1.787,88 1.980,00
1.029.600,53 184.763,16 49.604,21
ml ml ml ml gram gram gram ml
375,79 125,26 187,89 125,26 25,05 501,05 62,63 62,63
10,00 35,00 21,33 15,00 25,00 80,00 48,00 200,00
3.757,89 4.384,21 4.008,42 1.878,95 626,32 40.084,21 3.006,32 12.526,32
ml ml ml ml ml
137,79 187,89 557,42 273,07 185,39
70,91 54,00 81,80 113,30 121,62
9.770,53 10.146,32 45.595,79 30.940,00 22.547,37
kg ml
4,76 187,89
24.026,32 6,00
114.365,26 1.127,37 1.736.397,89
HKP HKP HKP HKP
15,23 12,90 14,41 2,38
25.657,89 21.699,03 22.130,43 24.736,84
390.821,05 279.963,16 318.794,74 58.873,68
4,83 3,46 3,94 0,73
HKP HKP HKP HKP HKW
14,03 11,15 11,40 3,63 27,18
23.750,00 23.876,40 24.010,99 23.448,28 5.322,58
333.200,00 266.184,21 273.700,00 85.178,95 144.678,95
HKP HKW HKP HKP HKP HKW
5,39 22,17 4,38 12,28 2,25 12,15
23.837,21 10.480,23 24.285,71 23.775,51 25.000,00 10.206,19
128.394,74 232.363,16 106.473,68 291.863,16 56.368,42 124.010,53
HKP HKP HKP
5,01 8,14 27,31 211,39
23.625,00 23.538,46 40.561,93
Rp/musim Rp/musim Rp Rp/hari Rp/hari Rp/musim
10.000,00 10.000,00 2,13 1,00 33,32
1,61 99,69 9.411,76 16.250,00 2.663,53
118.373,68 191.652,63 1.107.639,47 4.508.534,21 0,00 140.361,39 16.100,00 996.900,00 20.042,11 16.284,21 88.748,95
Rp/kg Rp/kg Karung Rp
4.410,00 1.558,42 49,48 11,27
94,70 29,94 1.500,00 2.400,00
4,12 3,29 3,38 1,05 1,79 0,00 1,59 2,87 1,32 3,61 0,70 1,53 0,00 1,46 2,37 13,69 55,74 0,00 1,74 0,20 12,32 0,25 0,20 1,10 0,00 5,16 0,58 0,92 0,33 22,80 100,00
*persentase terhadap biaya total
417.627,37 46.660,53 74.218,42 27.056,84 1.843.999,82 8.088.931,92
2,07 0,00 12,73 2,28 0,61 0,00 0,05 0,05 0,05 0,02 0,01 0,50 0,04 0,15 0,00 0,12 0,13 0,56 0,38 0,28 0,00 1,41 0,01 21,47 0,00
126
Lampiran 8 Penggunaan Biaya Usahatani Padi Konvensional Pada Luas Rata-Rata 0,42 Ha Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2007 No. A. B. 1.
2.
3.
Uraian Penerimaan Produksi Komponen biaya: Sarana produksi 1) Benih 2) Pupuk padat: " Urea " Tsp " Ponska 3) Pupuk pelengkap cair: " Bioscore " Top jumbo " Suprapit " Trobos " Gandasil " Plant catalis " Kapu " Citonik 4) Pestisida cair: " Cypermax " Miotrin " Fastac " Cix " Decis 5) Pestisida padat (Furadan) 6) Indamin (herbisida) Sub total Tenaga kerja 1) Pengolahan tanah I · Membajak · Memopok · Namping 2) Pembibitan 3) Pengolahan tanah II · Membajak · Mojokan · Meratakan 4) Menaplak 5) Menanam/tandur 6) Pemeliharaan . Ngagarok · ngarambet I · pemupukan I · Penyemprotan . Ngagarok · ngarambet II · Pembersihan pematang : " Nyopak " Ngabutik 7) Memanen Sub total Biaya lainnya 1) Nilai penyusutan alat-alat 2) Pajak 3) Sewa tanah 4) Sewa alat saprotan 5) Sewa lainnya 6) Pengairan (ulu-ulu) 7) Mengangkut hasil panen . Pikul . Kendaraan 8) Karung 9) Retribusi tanah desa (10%) Sub total Biaya total
*Persentase terhadap biaya total
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
(%)*
Satuan
Volume
kg
1.651,97
2.535,48
4.188.552,63
kg
24,95
2.823,84
70.447,37
2,08
kg kg kg
321,84 43,42 10,53
1.344,15 1.787,88 1.980,00
432.605,26 77.631,58 20.842,11
12,74 2,29 0,61
ml ml ml ml gram gram gram ml
157,89 52,63 78,95 52,63 10,53 210,53 26,32 26,32
10,00 0,00 0,00 0,00 25,00 80,00 48,00 200,00
1.578,95 0,00 0,00 0,00 263,16 16.842,11 1.263,16 5.263,16
0,05 0,00 0,00 0,00 0,01 0,50 0,04 0,16
ml ml ml ml ml kg ml
57,89 78,95 234,21 114,74 77,89 2,00 78,95
70,91 54,00 81,80 113,30 121,62 24.026,32 6,00 32.772,82
4.105,26 4.263,16 19.157,89 13.000,00 9.473,68 48.052,63 473,68 725.263,16
0,12 0,13 0,56 0,38 0,28 1,42 0,01 21,37
HKP HKP HKP HKP
6,40 5,42 6,05 1,00
25.657,89 21.699,03 22.130,43 24.736,84
164.210,53 117.631,58 133.947,37 24.736,84
4,84 3,47 3,95 0,73
HKP HKP HKP HKP HKW
5,89 4,68 4,79 1,53 11,42
23.750,00 23.876,40 24.010,99 23.448,28 5.322,58
140.000,00 111.842,11 115.000,00 35.789,47 60.789,47
4,12 3,29 3,39 1,05 1,79
HKP HKW HKP HKP HKP HKW
2,26 9,32 1,84 5,16 0,95 5,11
23.837,21 10.480,23 24.285,71 23.775,51 25.000,00 10.206,19
53.947,37 97.631,58 44.736,84 122.631,58 23.684,21 52.105,26
1,59 2,88 1,32 3,61 0,70 1,54
HKP HKP HKP
2,11 3,42 11,47 88,82
23.625,00 23.538,46 40.561,93 399.942,68
49.736,84 80.526,32 465.394,74 1.894.342,11
1,47 2,37 13,71 55,81
Rp/musim Rp/musim Rp Rp/hari Rp/hari Rp/musim
4.200,00 4.200,00 0,89 0,42 14,00
1,61 99,73 9.411,76 16.250,00 2.663,53
58.975,38 6.773,68 418.855,26 8.421,05 6.842,11 37.289,47
1,74 0,20 12,34 0,25 0,20 1,10
Rp/kg Rp/kg Karung Rp
1.852,94 654,80 20,79 4,74
94,70 29,94 1.500,00 2.400,00 32.349,94
175.473,68 19.605,26 31.184,21 11.368,42 774.788,53 3.394.393,80
5,17 0,58 0,92 0,33 22,83 100,00
127
Lampiran 9 Tabel Analisis Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI di Desa Ponggang (Bulan Februari 2008) Pola saluran pasar No
Lembaga
I Rp/kg
1
Petani Biaya produksi (GKG) Biaya operasional Harga jual Margin Margin keuntungan Margin biaya total Pedagang pengumpul Harga beli Muat -bongkar Biaya total Penjualan Margin Margin keuntungan Margin biaya total PPTD/petani** "harga beli1 "muat-bongkar "ongkos angkut "penggilingan "tenaga kerja Biaya produksi beras "pengadaan karung "muat beras "transportasi "bongkar beras Biaya total Harga jual Margin Margin keuntungan Margin biaya total Grosir Harga beli "pengemasan "pengadaan karung Biaya total Jual Margin Margin keuntungan Margin biaya total Pengecer Harga beli "kemasan "tenaga kerja "angkut beras Biaya total Jual Margin Margin keuntungan Margin biaya total Konsumen Harga beli Total biaya fungsional Total margin Margin keuntungan Margin biaya total Konversi harga beras-gabah (1,47)2 Farmer's share (%)
2
3
4
5
4
*
1.542,55 1.542,55 2.468,28 925,73 925,73 0,00 2.468,28 20,00 2.488,28 2.600,00 131,72 111,72 20,00 3.822,00 0,00 20,00 150,00 45,00 4.037,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.159,14 4.700,00 663,00 540,86 122,14 4.700,00 10,00 42,00 4.752,00 4.800,00 100,00 48,00 52,00 4.800,00 30,00 11,67 15,00 4.856,67 5.200,00 400,00 343,33 56,67 5.200,00 17.798,64 2.220,45 1.969,64 250,81 3.903,37 75,06
II (%)*
100
85
81,58
Rp/kg 1.542,55 1.542,55 2.468,28 925,73 925,73 0,00 2.468,28 20,00 2.488,28 2.600,00 131,72 111,72 20,00 3.822,00 0,00 20,00 150,00 45,00 4.037,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.159,14 4.800,00 763,00 640,86 122,14
(%)*
100
Skenario III Rp/kg (%)* 1.542,55 1.542,55 2.600,003 1.057,45 1.057,45 0,00
IV Rp/kg (%)*
100
85
83,99
3.822,00 20,00 20,00 150,00 45,00 4.057,00 44,00 6,00 57,14 15,00 4.179,14 4.800,00 743,00 620,86 122,14
83,56
2.267,554 20,00 20,00 150,00 45,00 2.502,55 44,00 6,00 150,00 15,00 2.717,55 4.800,00 2.297,45 2.082,45 215,00
90,64
48,00
85,83
88,70
4.800,00 30,00 11,67 0,00 4.841,67 5.200,00 400,00 358,33 41,67 5.200,00 13.031,64 2.220,45 2.036,64 183,81 3.903,37 75,06
89,58
91,72
persentase terhadap margin pemasaran ** petani pada saluran IV 1 harga konversi 1,47 kg gabah-1 kg beras 2 harga 1 kg gabah setara 1 kg beras di tingkat konsumen akhir 3 harga beli GKG ditingkat PPTD 4 biaya produksi gabah setelah dikonversi (1.47)
4.800,00 30,00 11,67 0,00 4.841,67 5.200,00 400,00 358,33 41,67 5.200,00 10.563,36 2.200,45 2.036,64 163,81 4.097,00 78,79
89,58
92,56
4.800,00 30,00 11,67 0,00 4.841,67 5.200,00 400,00 358,33 41,67 5.200,00 7.559,22 2.697,45 2440,775 256,67 4.800,00 92,31
89,58
90,48
128
Lampiran 10 Hubungan Umur dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Interval Kelas 31-50 51-70
Frekuensi 13 6 19
Kategori Umur (Th) 31-50 51-70 Jumlah Responden Keterangan : (…) = nilai harapan cij 12 3 3 1
eij 11,84 3,16 3,16 0,84
(%) 68,42 31,58 100,00
Kelebihan 12 3 15
Kekurangan 3 1 4
Padi Sri Kelebihan Kekurangan 12 3 (11,84) (3,16) 3 1 (3,16) (0,84) 15 4
(cij-eij) 0,16 -0,16 -0,16 0,16
(cij-eij)2 0,02 0,02 0,02 0,02 X2test
Total 15 4 19
Total 15 4 19 (cij-eij)2/eij 0,00 0,01 0,01 0,03 0,05
Keputusan : X20,05;df (1) = 3,811 Karena nilai hitung X2test < X20,05;df (1), maka terima H0. Artinya tidak terdapat hubungan antara pendapat responden tentang manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan dengan kategori umur yang diuji pada taraf nyata 5 persen.
129
Lampiran 11 Hubungan Lamanya Pendidikan Formal dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Interval Kelas
Frekuensi
(%)
<6 9-12 Jumlah
12 7
63,16 36,84 100,00
Kategori Lama Pendidikan
Kelebihan Kekurangan Total 9 5 14
Metode Sri Kelebihan
Kekurangan
9 (8,84) 5 (5,16) 14
3 (3,16) 2 (1,84) 5
<6 9-12 Jumlah Responden Keterangan : (…) = nilai harapan
3 2 5
12 7 19
Total 12 7 19
cij
eij
(cij-eij)
(cij-eij)2
(cij-eij)2/eij
9 3 5 2
8,84 3,16 5,16 1,84
0,16 -0,16 -0,16 0,16
0,02 0,02 0,02 0,02
0,00 0,01 0,00 0,01
X2test
0,03
Keputusan : X20,05;df (1) = 3,811 Karena nilai hitung X2test < X20,05;df (1), maka terima H0. Artinya tidak terdapat hubungan antara pendapat responden tentang manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan dengan kategori lamanya pendidikan yang diuji pada taraf nyata 5 persen.
130
Lampiran 12 Hubungan Tingkat Pendapatan Usahatani dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Interval Kelas < 1,700,000.00 > 1,750,000.00
Frekuensi 11 8
(%) 63,16 36,84 100,00
Kategori Pendapatan < 1,700,000.00 > 1,750,000.00 Jumlah Responden Keterangan : (…) = nilai harapan
Kelebihan Kekurangan 8 3 7 1 14 5
Metode Sri Kelebihan Kekurangan 8 3 (8,68) (2,32) 7 1 (6,32) (1,68) 15 4
Total 11 8 19
Total 11 8 19
cij
eij
(cij-eij)
(cij-eij)2
(cij-eij)2/eij
8 3 7 1
8,68 2,32 6,32 1,68
-0,68 0,68 0,68 -0,68
0,47 0,47 0,47 0,47 X2test
0,05 0,20 0,07 0,28 0,61
Keputusan : X20,05;df (1) = 3,811 Karena nilai hitung X2test < X20,05;df (1), maka terima H0. Artinya tidak terdapat hubungan antara pendapat responden tentang manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan dengan kategori tingkat pendapatan usahatani yang diuji pada taraf nyata 5 persen.
131
Lampiran 13 Hubungan Luas Lahan dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Interval Kelas
Frekuensi
(%)
Kelebihan
700-4000 4100-7500
16 3 19
84,21 15,79 100,00
12 3 15
Kekurangan Total
Metode Sri Kelebihan Kekurangan 700-4000 12 4 (12,63) (3,37) 4100-7500 3 0 (2,37) (0,63) 15 4 Keterangan : (…) = nilai harapan Kategori Luas (M2)
4 0 4
16 3 19
Total 16 3 19
cij
eij
(cij-eij)
(cij-eij)2
(cij-eij)2/eij
12 4 3 0
12,63 3,37 2,37 0,63
-0,63 0,63 0,63 -0,63
0,40 0,40 0,40 0,40 X2test
0,03 0,12 0,17 0,63 0,95
Keputusan : X20,05;df (1) = 3,811 Karena nilai hitung X2test < X20,05;df (1), maka terima H0. Artinya tidak terdapat hubungan antara pendapat responden tentang manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan dengan kategori luas lahan usahatani yang diuji pada taraf nyata 5 persen.
132
Lampiran 14 Hubungan Lama Bertani dengan Penilaian Responden Terhadap Manfaat Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Interval Kelas 9-28 29-48
Frekuensi
(%)
13 6 19
68,42 31,58 100,00
Kategori Pengalaman Bertani 9-28 29-48 Jumlah Responden
Kelebihan Kekurangan 10 5 15
3 1 4
Total 13 6 19 Total
Metode Sri Kelebihan
Kekurangan
10 (10,26) 5 (4,74) 15
3 (2,74) 1 (1,26) 4
13 6 19
Keterangan : (…) = nilai harapan cij 10 3 5 1
eij 10,26 2,74 4,74 1,26
(cij-eij) -0,26 0,26 0,26 -0,26
(cij-eij)2 0,07 0,07 0,07 0,07 X2test
(cij-eij)2/eij 0,01 0,03 0,01 0,05 0,10
Keputusan : X20,05;df (1) = 3,811 Karena nilai hitung X2test < X20,05;df (1), maka terima H0. Artinya tidak terdapat hubungan antara pendapat responden tentang manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan dengan kategori pengalaman bertani yang diuji pada taraf nyata 5 persen.
133
Lampiran 15 Kebutuhan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (HOK/Ha) Kegiatan
1.Pengolahan tanah I · membajak · memopok · namping 2.Pembibitan 3.Pengolahan tanah II · membajak · mojokan · meratakan 4.Menaplak 5.Menanam/tandur 6.Pemeliharaan . ngagarok · ngarambet I · pemupukan · penyemprotan . ngagarok · ngarambet II · Pembersihan pematang : . nyopak . ngabutik 7.Memanen Jumlah
Satuan
Atang Taryono
Ukar
Didin Zainuddin
Agus Hidayat
Tolib
Adang
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
HKP HKP HKP HKP
1,60 1,00 1,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
6,40 2,00 2,00 0,00
1,60 0,00 0,00 1,00
1,60 3,00 3,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 3,00 3,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
4,80 1,00 1,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
3,20 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
HKP HKP HKP HKP HKW
1,60 1,00 1,00 1,00 4,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,20 0,00 0,00 2,00 22,00
1,60 0,00 0,00 1,00 0,00
1,60 3,00 3,00 0,00 4,00
0,00 0,00 0,00 1,00 0,00
1,60 3,00 3,00 0,00 5,00
0,00 0,00 0,00 1,00 0,00
3,20 1,00 0,00 0,00 7,00
0,00 0,00 1,00 1,00 0,00
1,60 0,00 1,00 0,00 5,00
0,00 1,00 1,00 1,00 1,00
HKP HKW HKP HKP HKP HKW
0,00 3,00 0,00 0,00 0,00 3,00
1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 1,00
0,00 10,00 3,00 0,00 0,00 5,00
1,00 0,00 1,00 4,00 1,00 0,00
2,00 0,00 4,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 7,00 0,00 0,00
2,00 5,00 6,00 2,00 0,00 5,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 5,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,00 0,00 1,00 6,00 0,00 0,00
0,00 3,00 2,00 0,00 0,00 6,00
0,00 1,00 2,00 15,00 0,00 2,00
HKP HKP HKP
0,00 0,00 4,00 22,20
1,00 1,00 0,00 10,00
1,00 5,00 22,00 83,60
1,00 1,00 0,00 14,20
0,00 0,00 4,00 29,20
1,00 2,00 0,00 12,00
4,00 6,00 5,00 55,20
0,00 0,00 0,00 2,00
0,00 0,00 7,00 30,00
1,00 1,00 0,00 13,00
0,00 2,00 5,00 28,80
2,00 2,00 0,00 29,00 133
134
Lampiran 15 (lanjutan) Kegiatan
Satuan
1.Pengolahan tanah I · membajak HKP · memopok HKP · namping HKP 2.Pembibitan HKP 3.Pengolahan tanah II · membajak HKP · mojokan HKP · meratakan HKP 4.Menaplak HKP 5.Menanam/tandur HKW 6.Pemeliharaan . ngagarok HKP · ngarambet I HKW · pemupukan HKP · penyemprotan HKP . ngagarok HKP · ngarambet II HKW · Pembersihan pematang : . nyopak HKP . ngabutik HKP 7.Memanen HKP Jumlah
Tatang Carmid Dede Setiawan Atang Euis Maman Uyo Suyono TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK 0,00 2,00 0,00 0,00
2,40 0,00 1,00 1,00
3,20 2,00 2,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
3,20 6,00 6,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
1,60 1,00 1,00 1,00
0,00 0,00 0,00 0,00
4,80 1,00 1,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
4,80 2,00 2,00 0,00
0,00 0,00 0,00 2,00
0,00 0,00 0,00 0,00 4,00
1,60 1,00 1,00 1,00 0,00
1,60 1,00 1,00 1,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,20 6,00 5,00 2,00 12,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,60 1,00 1,00 1,00 2,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,20 1,00 0,00 0,00 7,00
0,00 0,00 1,00 1,00 0,00
3,20 2,00 2,00 0,00 10,00
0,00 0,00 0,00 1,00 0,00
0,00 12,00 3,00 0,00 0,00 8,00
1,00 0,00 0,00 3,00 0,00 0,00
0,00 6,00 7,00 6,00 0,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 14,00 0,00 8,00 0,00 7,00
0,00 0,00 3,00 0,00 0,00 0,00
0,00 2,00 4,00 0,00 0,00 4,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 3,00 0,00 0,00 0,00 2,00
1,00 0,00 4,00 1,00 0,00 0,00
0,00 10,00 6,00 8,00 0,00 10,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 4,00 33,00
1,00 1,00 0,00 15,00
0,00 0,00 6,00 48,80
1,00 0,00 0,00 2,00
1,00 0,00 12,00 85,40
0,00 0,00 0,00 3,00
1,00 1,00 2,00 25,20
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 7,00 30,00
1,00 1,00 0,00 11,00
0,00 0,00 40,00 100,00
0,00 0,00 0,00 3,00 134
135
Lampiran15 (lanjutan) Kegiatan
Satuan
1.Pengolahan tanah I HKP · membajak HKP · memopok HKP · namping HKP 2.Pembibitan 3.Pengolahan tanah II HKP · membajak HKP · mojokan HKP · meratakan HKP 4.Menaplak HKW 5.Menanam 6.Pemeliharaan HKP . ngagarok HKW · ngarambet I HKP · pemupukan HKP · penyemprotan HKP . ngagarok HKW · ngarambet II · Pembersihan pematang : HKP . nyopak HKP . ngabutik HKP 7.Memanen Jumlah
Iim Ibrahim
H. Iing
Ninik
Edo
Asep Suryana
Rosyid
Agan Dedi
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
1,60 0,00 0,00 0,00
0,00 1,00 1,00 1,00
3,20 2,00 2,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 3,00 3,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 3,00 3,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 4,00 4,00 0,00
0,00 0,00 0,00 2,00
11,20 10,00 5,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
6,40 7,00 5,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,50 0,50 2,00
1,60 2,00 2,00 0,00 8,00
0,00 0,00 0,00 1,00 0,00
1,60 3,00 3,00 3,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,60 4,00 4,00 1,00 10,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,60 4,00 2,00 1,00 3,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
11,20 5,00 2,00 3,00 14,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
6,40 3,00 2,00 2,00 10,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,50 2,00 2,00 6,00 0,00 0,00
0,00 4,00 4,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2,00 10,00 0,00 5,00 0,00 15,00
0,00 0,00 3,00 0,00 0,00 0,00
0,00 12,00 10,00 0,00 0,00 8,00
0,00 0,00 0,00 12,00 0,00 0,00
0,00 2,00 0,00 0,00 0,00 6,00
0,00 0,00 3,00 8,00 0,00 0,00
0,00 7,00 20,00 6,00 0,00 7,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 12,00 10,00 6,00 0,00 17,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
1,00 1,00 2,00
0,00 1,00 8,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 6,00
2,00 2,00 0,00
2,00 3,00 10,00
0,00 0,00 0,00
2,00 2,00 3,00
0,00 0,00 0,00
5,00 8,00 14,00
0,00 0,00 0,00
3,00 5,00 10,00
0,00 0,00 0,00
3,20
20,50
37,80
2,00
62,20
8,00
73,20
13,00
36,20
13,00
128,40
1,00
104,80
1,00
135
136
Lampiran 16 Kebutuhan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Konvensional (HOK/Ha) A. Rosmana Otang Karfi Kurdi Kegiatan Satuan Pengolahan tanah I · membajak HKP · memopok HKP · namping HKP Pembibitan HKP Pengolahan tanah II · membajak HKP · mojokan HKP · meratakan HKP Menaplak HKP Menanam/tandur HKW Pemeliharaan . ngagarok HKP · ngarambet I HKW · pemupukan I HKP · penyemprotan HKP . ngagarok HKP · ngarambet II HKW · pembersihan pematang : " nyopak HKP " ngabutik HKP Memanen HKP Jumlah
Mustopa
Jajang Sumarna
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
1,60 1,00 0,00 0,00
0,00 1,00 1,00 1,00
1,60 0,00 0,00 0,00
0,00 1,00 1,00 1,00
4,80 4,00 0,00 0,00
0,00 0,00 1,00 1,00
3,20 1,00 1,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
9,60 0,00 20,00 0,00
0,00 0,00 1,00 1,00
4,80 4,00 3,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
1,60 0,00 0,00 0,00 3,00
0,00 1,00 1,00 1,00 0,00
1,60 0,00 0,00 0,00 5,00
0,00 1,00 1,00 1,00 0,00
3,20 2,00 0,00 0,00 5,00
0,00 0,00 1,00 1,00 0,00
3,20 1,00 0,00 0,00 7,00
0,00 0,00 1,00 1,00 0,00
4,80 0,00 0,00 0,00 13,00
0,00 0,00 3,00 3,00 0,00
3,20 2,00 2,00 1,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 3,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,00 0,00 1,00 4,00 0,00 0,00
0,00 5,00 0,00 0,00 0,00 5,00
1,00 0,00 1,00 5,00 1,00 0,00
1,00 4,00 0,00 0,00 0,00 6,00
1,00 0,00 1,00 5,00 0,00 0,00
0,00 5,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2,00 0,00 2,00 7,00 0,00 0,00
0,00 18,00 0,00 0,00 0,00 0,00
4,00 2,00 6,00 3,00 4,00 0,00
2,00 4,00 1,00 4,00 0,00 4,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 3,00 11,60
1,00 1,00 0,00 14,00
0,00 0,00 5,00 21,60
1,00 2,00 0,00 17,00
0,00 1,00 6,00 32,20
1,00 1,00 0,00 13,00
0,00 0,00 7,00 25,20
1,00 1,00 0,00 16,00
0,00 5,00 13,00 73,80
3,00 5,00 0,00 35,00
0,00 4,00 6,00 46,20
1,00 0,00 0,00 2,00 136
137
Lampiran 16 (lanjutan) Kegiatan
Satuan
Pengolahan tanah I · membajak HKP · memopok HKP · namping HKP Pembibitan HKP Pengolahan tanah II · membajak HKP · mojokan HKP · meratakan HKP Menaplak HKP Menanam/tandur HKW Pemeliharaan . ngagarok HKP · ngarambet I HKW · pemupukan I HKP · penyemprotan HKP . ngagarok HKP · ngarambet II HKW · pembersihan pematang : " nyopak HKP " ngabutik HKP Memanen HKP Jumlah
Wana
Jaja Suparja
Wasid
Endang Suryana
Sarya
Eman Sulaiman
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
1,60 1,00 1,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
4,80 0,00 0,00 0,00
0,00 5,00 5,00 0,00
3,20 0,00 2,00 0,00
0,00 0,00 1,00 1,00
1,60 0,00 0,00 0,00
0,00 2,00 2,00 1,00
3,20 0,00 0,00 0,00
0,00 1,00 1,00 1,00
3,20 2,00 0,00 0,00
0,00 2,00 0,00 1,00
1,60 1,00 1,00 0,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,20 0,00 0,00 0,00 6,00
0,00 3,00 2,00 1,00 0,00
16,00 0,00 0,00 0,00 3,00
1,60 0,00 1,00 0,00 1,00
1,60 0,00 0,00 0,00 5,00
0,00 2,00 1,00 1,00 0,00
1,60 0,00 0,00 0,00 4,00
0,00 2,00 1,00 1,00 0,00
1,60 0,00 0,00 0,00 4,00
0,00 0,00 1,00 1,00 1,00
2,00 12,00 0,00 0,00 0,00 3,00
1,00 1,00 1,00 3,00 0,00 0,00
0,00 6,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,00 0,00 2,00 5,00 0,00 0,00
0,00 1,00 0,00 0,00 0,00 6,00
0,00 1,00 2,00 5,00 0,00 1,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5,00 5,00 1,00 5,00 0,00 0,00
0,00 10,00 0,00 8,00 0,00 10,00
2,00 0,00 2,00 0,00 0,00 0,00
2,00 3,00 0,00 0,00 0,00 3,00
0,00 1,00 0,00 7,00 0,00 1,00
0,00 0,00 6,00 34,60
1,00 0,00 0,00 8,00
0,00 0,00 6,00 21,20
2,00 3,00 0,00 31,00
0,00 0,00 3,00 31,00
3,00 5,00 1,00 23,60
0,00 0,00 5,00 11,60
1,00 3,00 0,00 29,00
0,00 0,00 4,00 37,60
1,00 1,00 0,00 13,00
0,00 0,00 4,00 19,60
1,00 2,00 1,00 19,00 137
138
Lampiran 16 (lanjutan) Kegiatan
Satuan
Pengolahan tanah I · membajak HKP · memopok HKP · namping HKP Pembibitan HKP Pengolahan tanah II · membajak HKP · mojokan HKP · meratakan HKP Menaplak HKP Menanam/tandur HKW Pemeliharaan . ngagarok HKP · ngarambet I HKW · pemupukan I HKP · penyemprotan HKP . ngagarok HKP · ngarambet II HKW · pembersihan pematang : " nyopak HKP " ngabutik HKP Memanen HKP Jumlah
Tarsidi
Yayat Sudrajat
Sargi
Rustama
Enjang
Rosyid
Rohmani
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
TKLK
TKDK
40,00 44,00 44,00 0,00
0,00 1,00 1,00 0,00
4,80 7,00 6,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00
12,80 0,00 0,00 0,00
0,00 5,00 5,00 1,00
6,40 12,00 12,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
4,80 7,00 6,00 6,00
0,00 0,00 0,00 0,00
12,80 0,00 0,00 0,00
0,00 5,00 5,00 1,00
6,40 12,00 12,00 0,00
0,00 0,00 0,00 1,00
32,00 44,00 44,00 0,00 80,00
0,00 1,00 1,00 4,00 0,00
6,40 6,00 6,00 3,00 15,00
0,00 0,00 1,00 0,00 0,00
11,20 0,00 0,00 0,00 10,00
0,00 5,00 5,00 0,00 0,00
6,40 12,00 12,00 6,00 24,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
6,40 6,00 6,00 3,00 15,00
0,00 0,00 1,00 0,00 0,00
11,20 0,00 0,00 0,00 10,00
0,00 5,00 5,00 0,00 0,00
6,40 12,00 12,00 6,00 24,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 20,00 0,00 3,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 6,00 0,00 0,00
0,00 10,00 5,00 0,00 5,00 0,00
0,00 0,00 3,00 12,00 0,00 0,00
6,00 10,00 0,00 0,00 6,00 10,00
2,00 0,00 2,00 3,00 2,00 0,00
4,00 40,00 3,00 5,00 0,00 40,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 6,00 10,00 0,00 10,00 5,00 3,00 0,00 0,00 12,00 0,00 5,00 0,00 6,00 0,00 0,00 10,00
2,00 0,00 2,00 3,00 2,00 0,00
4,00 40,00 3,00 5,00 0,00 40,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
10,00 0,00 0,00 0,00 80,00 0,00 401,00 14,00
0,00 9,00 15,00 99,40
0,00 1,00 0,00 17,00
0,00 5,00 4,00 0,00 8,00 6,00 10,00 0,00 24,00 63,20 43,00 210,40
0,00 0,00 0,00 1,00
0,00 0,00 0,00 5,00 4,00 9,00 1,00 0,00 8,00 6,00 15,00 0,00 10,00 0,00 24,00 99,40 17,00 63,20 43,00 210,40
0,00 0,00 0,00 1,00 138
139
Lampiran 17 Karakteristik Petani Responden Padi Ramah Lingkungan Metode SRI No
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Atang Taryono Ukar Didin Zainudin Agus Hidayat Tolib Adang Tatang Carmid Dede Setiawan Atang Euis Maman Uyo Suyono Iim Ibrahim H. Iing Ninink Edo Asep Suryana Rosyid Agan Dedi
Luas lahan padi (ha) 0,20 0,50 0,25 0,25 0,18 0,25 0,10 0,35 0,40 0,07 0,18 0,50 0,07 0,35 0,25 0,25 0,25 0,75 0,36
Luas total (ha) 0.20 0,75 1,00 1,00 1,00 0,75 0,20 0,10 0,40 0,10 0,18 1,50 0,10 1,50 1,00 0,75 1,50 4,00 0,36
Kepemilikian lahan
sifat usahatani
Pekerjaan diluar usahatani
pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
utama utama utama sampingan utama utama utama utama sampingan utama utama utama utama utama utama utama utama utama sampingan
karyawan pedagang pedagang peternak ayam supir kebun kebun,buruh tani pegawai perkebunan pegawai perum jasa tirta kebun cengkeh kaur desa pegawai perkebunan karyawan pabrik kebun peternak ayam pegawai perkebunan pegawai perkebunan pedagang, kebun wiraswasta
Pendapatan non tani (Rp/bln) 1.000.000,00 250.000,00 500.000,00 1.200.000,00 450.000,00 35.000,00 410.000,00 700.000,00 2.700.000,00 190.000,00 500.000,00 700.000,00 650.000,00 300.000,00 800.000,00 700.000,00 700.000,00 3.000.000,00 1.000.000,00
Pengeluaran (Rp/bln) 1.250.000,00 300.000,00 500.000,00 600.000,00 600.000,00 1.000.000,00 780.000,00 400.000,00 700.000,00 300.000,00 1.500.000,00 1.000.000,00 800.000,00 500.000,00 500.000,00 300.000,00 1.500.000,00 1.500.000,00 500.000,00
Anggota keluarga (orang) 5 3 4 4 4 4 4 2 6 3 4 5 4 2 2 1 8 2 4
Pengalaman bertani (th) 30 24 17 10 13 20 22 34 25 50 20 25 25 40 42 20 18 50 10
139
140
Lampiran 18 Karakteristik Petani Responden Padi Konvensional No
Nama
Luas lahan padi (ha)
Luas total (ha)
Kepemilikian lahan
sifat usahatani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
A. Rosmana Otang Karfi Kurdi Mustopa Jajang Sumarna Wana Jaja Suparja Wasid Endang Suryana Sarya Eman Sulaiman Tarsidi Yayat Sudrajat Sargi Rustama Enajng Rosyid Rohmani
0,25 0,25 0,32 0,25 0,25 0,30 0,12 0,50 0,15 0,25 0,15 0,15 0,25 0,07 0,23 1,00 2,00 0,50 1,00
1,00 0,25 0,64 0,25 0,75 0,30 0,30 1,00 0,25 0,50 0,50 0,20 0,30 0,07 0,23 2,00 3,00 0,96 1,00
pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik tanah desa pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama utama sampingan utama utama
Pekerjaan diluar usahatani pengemudi buruh pabrik kebun buruh tani kaur desa wiraswasta kebun penghulu kebun sekdes pengemudi wiraswasta buruh tani buruh tani pedagang pedagang TNI dagang ternak ayam
Pendapatan non tani (Rp/bln) 300.000,00 500.000,00 300.000,00 100.000,00 300.000,00 300.000,00 100.000,00 300.000,00 100.000,00 500.000,00 300.000,00 200.000,00 200.000,00 200.000,00 300.000,00 500.000,00 2.200.000,00 200.000,00 400.000,00
Pengeluaran (Rp/bln) 500.000,00 500.000,00 600.000,00 315.000,00 400.000,00 350.000,00 440.000,00 640.000,00 350.000,00 1.500.000,00 660.000,00 503.000,00 800.000,00 630.000,00 1.000.000,00 1.000.000,00 2.000.000,00 750.000,00 200.000,00
Anggota keluarga (orang) 4 5 3 2 4 4 2 5 3 4 5 3 4 3 4 5 4 6 2
Pengalaman bertani (th) 25 10 45 50 5 10 40 30 50 25 20 7 20 25 30 35 30 30 40
140
141
Lampiran 19 Kuesioner Analisis Pendapatan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penyusun skripsi ” Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System Of Rice Intensification) (Kasus Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)” oleh Muhammad Ubaydillah (A14105569), Mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. KUESIONER USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN SRI *) coret yang tidak perlu A. Karakteristik Petani Responden 1. Nama
:
2. Jenis kelamin
: L / P*
3. Umur
:
4. Pendidikan terakhir
:
a) SD
c) SMU
b) SLTP
d) perguruan tinggi :.....
e) lainnya :…
5. Luas lahan yang diusahakan untuk padi SRI : ………….ha dari total………ha 6. Status pengusahaan lahan : pemilik/…………………….* 7. Varietas yang digunakan : …………………….(hibrida/persarian terbuka)* 8.
Luas lahan untuk semai :...................m2
9. Musim tanam : .................. 10. Sumber modal usahatani : sendiri / pinjam ke petani lain / lainnya……..................* 11. penjualan hasil panen? ( tengkulak lokal/lainnya……………………………)* 12. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usahatani padi ramah lingkungan SRI : ................................................................................................................................... 13. Sifat usahatani : utama / sampingan* 14. Pekerjaan diluar usahatani :……. 15. Pendapatan rata-rata diluar usahatani : ……………(Rp/bulan) 16. pengeluaran rata-rata diluar usahatani :......................(Rp/bulan) 17. Jumlah tanggungan keluarga (termasuk responden) :…………. 18. Pengalaman bertani padi ramah lingkungan SRI :………..tahun
142
Lampiran 19 (lanjutan) 19. Darimana responden memperoleh informasi Padi ramah lingkungan SRI? 20. Apakah responden melaksanakan semua tahapan usahatani padi Ramah lingkungan SRI? Ya/tidak*Alasannya ……………………. B. Pertanyaan tentang manfaat usahatani padi ramah lingkungan SRI 21. Bagaimana pendapatan responden setelah melaksanakan pertanian ramah lingkungan SRI? (meningkat/tetap/menurun)* 22. Bagaimana penggunaan biaya usahatani setelah responden melakukan usahatani padi ramah lingkungan SRI? (meningkat/tidak meningkat/…………….)* Alasannya............ 22. Bagaimana penyerapan tenaga kerja dalam usahatani padi ramah lingkungan SRI? (meningkat/tidak meningkat)*tanggapan responden……….. 23. Manfaat apa yang dirasakan responden setelah melakukan usahatani padi ramah lingkungan SRI terhadap lingkungan tempat tinggal maupun sawah? -........................ -........................ 24. Apakah daerah tempat tinggal responden mendukung ketersedian kotoran hewan dan bahan organik lain untuk keberlanjutan usahatani padi ramah lingkungan SRI? (sangat mendukung/kurang mendukung)* Alasan………………….. 25. Manfaat usahatani padi SRI lainnya : -........................ C. Penggunaan input usahatani padi ramah lingkungan SRI No. Uraian Satuan Jumlah fisik Harga per satuan Nilai total (Rp) Keterangan 1 Pupuk organik pupuk padat ton • pupuk kandang kg • kompos kg • bokasi pupuk cair liter/ml* • MOL liter/ml* • ………….. liter/ml* • ………….. Pupuk non organik • ………….. • ………….. • ………….. 2 Pestisida organik • ………….. • ………….. • ………….. Pestisida kimia • ………….. • ………….. • ………….. 3 Benih kg 4 • ………….. 5 • …………..
143
Lampiran 19 (lanjutan) D. Penggunaan tenaga kerja No
Periode
1
Pengolahan tanah I • membajak • memopok • ……………. Pembibitan Pengolahan tanah II • membajak • mojokan • meratakan Menaplak Menanam/tandur Pemeliharaan • penyiangan I • ngagarok • pemupukan I • penyemprotan (………………) • penyiangan II • ngagarok • pembersihan pematang : 9 nyopak 9 ngabutik • …………… • …………… Panen Mengangkut hasil panen
2 3
4 5 6
7 8 9 10
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Upah (Rp/HOK) TKDK TKLK L P T M L P T M
Keterangan : L = laki-laki; P = perempuan; T = ternak; M = mesin Lamanya jam kerja untuk satu HOK : •
Laki-laki
= ..............jam
•
Perempuan
= ..............jam
•
Ternak
= ..............jam
•
Mesin
= ..............jam
144
Lampiran 19 (lanjutan) E. Peralatan yang digunakan dalam usahatani padi ramah lingkungan SRI No. 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah (buah)
Jenis alat
Harga beli (Rp)
Umur ekonomi (th)
Estimasi nilai sisa (Rp)
Cangkul Parang Handsprayer Garokan Caplakan Karung Terpal Garukan/perata tanah …………………….
8 9 F.
Pengeluaran usahatani lainnya
No.
Jenis pengeluaran
1
Pajak
2
Sewa
Jumlah (Rp)
lahan/……………………… 3
Ulu-ulu Total
G. Penerimaan hasil produksi No. 1
Produksi
Total produksi (kg)
Gabah Kering Panen (GKP)
2
Gabah Kering Giling (GKG)
3
Nilai Total Produksi
Harga (Rp/Kg)
145
Lampiran 20 Kuesioner Analisis Pendapatan Usahatani Padi Konvensional Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penyusun skripsi ” Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System Of Rice Intensification) (Kasus Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)” oleh Muhammad Ubaydillah (A14105569), Mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. KUESIONER USAHATANI PADI KONVENSIONAL (INPUT KIMIA) *) coret yang tidak perlu B. Karakteristik Petani Responden 23. Nama
:
24. Jenis kelamin
: L / P*
25. Umur
:
26. Pendidikan terakhir
:
a) SD
c) SMU
b) SLTP
d) perguruan tinggi :.....
e) lainnya :…
27. Pengalaman bertani padi konvensional :………..tahun 28. Luas lahan yang diusahakan : ………….ha dari total:……………ha 29. Status pengusahaan lahan : pemilik/…………………….* 30. Sifat usahatani : utama / sampingan* 31. Pekerjaan diluar usahatani :……. 32. Pendapatan rata-rata diluar usahatani : ……………(Rp/bulan) 33. pengeluaran rata-rata diluar usahatani :......................(Rp/bulan) 34. Jumlah tanggungan keluarga (termasuk responden) :…………. 35. Varietas yang digunakan :…………………….(hibrida/persarian terbuka)* 36. Luas lahan untuk semai :...................m2 37. Musim tanam :………. 38. Sumber modal usahatani : sendiri / pinjam ke petani lain / lainnya……* 39. Kemana hasil panen dijual ? ( tengkulak lokal/lainnya……………………………)* 40. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usahatani padi konvensional (budidaya, teknologi, modal, hama, lainnya.............................) Uraian singkat :
146
Lampiran 20 (lanjutan) B. Penggunaan input usahatani padi konvensional No. 1
2
3 4 5
Uraian Pupuk kimia Pupuk padat • Urea • TSP • KCl • … • … • … Pupuk cair • PPC • … • … • … Pestisida kimia Pestisida padat • Furadan • ..... Pestisida cair • ... • ... • ... • ... Benih .................. ..................
Satuan
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc*
Kg / .......* Kg / .......* Kg / .......* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Kg
Jumlah fisik
Harga per satuan
Nilai total (Rp)
Keterangan
147
Lampiran 20 (lanjutan) C. Penggunaan tenaga kerja No
Periode
1
Pengolahan tanah I • membajak • memopok • ……………. Pembibitan Pengolahan tanah II • membajak • mojokan • meratakan Menaplak Menanam/tandur Pemeliharaan • penyiangan I • ngagarok • pemupukan I • penyemprotan (………………) • penyiangan II • ngagarok • pembersihan pematang : 9 nyopak 9 ngabutik • …………… • …………… Panen Mengangkut hasil panen
2 3
4 5 6
7 8
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Upah (Rp/HOK) TKDK TKLK L P T M L P T M
Keterangan : TKDK (tenaga kerja dalam keluarga) ; TKLK (tenaga kerja luar keluarga) L = laki-laki; P = perempuan; T = ternak; M = mesin Lamanya jam kerja untuk satu HOK : •
Laki-laki
= ..............jam
•
Perempuan
= ..............jam
•
Ternak
= ..............jam
•
Mesin
= ..............jam
Catatan : ..................................................................................................................................................... ................................................................................................................................................................... ................................................................................................................................................................... ...................................................................................................................................................................
148
Lampiran 20 (lanjutan) D. Peralatan yang digunakan dalam usahatani padi konvensional No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis alat
Jumlah (buah)
Harga beli (Rp)
Masa pakai (th)
Estimasi umur ekonomis (th)
Cangkul Kored Parang Handsprayer Garokan Capalakan Karung Terpal Garukan/perata tanah
E. Pengeluaran usahatani lainnya No.
Jenis pengeluaran
1
Pajak
2
Sewa lahan
3
Ulu-ulu
Jumlah (Rp)
Keterangan
4 5 Total F. Penerimaan hasil produksi No. 1
Produksi
Total produksi (kg)
Gabah Kering Panen (GKP)
2
Gabah Kering Giling (GKG)
3
Nilai Total Produksi (NTP)
Harga (Rp/Kg)