RINGKASAN HASIL PENELITIAN
Judul : Sikap Mental Masyarkat Gunung Kidul (Studi Pada Masyarakat Desa Banyu Suco Kecamatan Playen Kabupaten, dan Desa Giri Suko Kecamatan Panggang Daerah TK II Gunung Kidul, Yogyakarta) Peneliti: Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd (Dosen FIAI UII Yogyakarta saat ini menempuh program Doktor Psikologi di UGM Yogyakarta)
Abstract
This research aims at understanding and analyzing the phenomenon of the mentality attitude of Gunung Kidul societies (in this case especially at Banyu Suco and Giri Suko societies). This study used the qualitative approach with phenomenology design. The setting was the Banyu Suco and Giri Suko District, Gunung Kidul Municipality. This model was expected to give a description of deep meaning of the daily activities of the societies in accordance with the focus of this study. Observation participation and dept interview were done in collecting the data. The interactive design from Milles and Huberman adopt to reduce, classify and analyze the data obtained to describe the empirical facts. The result of the study concluded that nrima (in negative term it means: fatalistic) from Banyu Suco and Giri Suko societies referred to positive connotation. The activity orientation from the people just to fill the live needs. The man-nature orientation, still negative. The time orientation: the people at the research location tend to appreciate the past more than the future; it’s referred to farmer societies like Koentjaraningrat said. But in relational orientation, the Gunung Kidul people were maintenance the mutual help (gotong royong).
Key Words: mentality attitude, the human nature activity orientation, time orientation, man-nature orientation,
1
A. Later belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan suatu masyarakat adalah hasil prakarsa dan aktivitas budi daya manusia. Dalam pergumulan yang demikian tidak dapat dihindari adanya hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Sehingga menjadi suatu keniscayaan bahwa satu faktor akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor lain yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, perkembangan dan pertumbuhan dalam suatu masyarakat merupakan suatu dinamika yang harus terjadi, dan biasanya dinamika yang ada bukan hanya dipengaruhi oleh satu faktor tertentu saja melainkan banyak faktor. Faktor tersebut dapat berupa kehidupan psikologis, faktor yang bersifat lahiriah ataupun yang bersifat batiniah. Alfian (1980: 17) menegaskan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola fikir dan tingkah laku seseorang atau masyarakat bahkan akan menjadi kunci yang menentukan dinamika kemampuannya serta mempengaruhi aspek kehidupannya adalah sikap mental. Dari pandangan Alfian tentang sikap mental ini ternyata lebih menjurus pada sikap hidup dan bukan pandangan hidup. Tentang sikap hidup dan pandangan hidup De Jong menjelaskan bahwa “sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup”. “Orang yang berlainan pandangan mereka tentang Tuhan, dunia dan manusia dalam prakteknya dapat memperlihatkan sikap hidup yang sama”. Lebih lanjut dikatakan De Jong bahwa “sikap hidup tidak hanya berhubungan dengan agama yang dianut oleh seseorang, melainkan juga bahkan mungkin dengan adat dan latar belakang kebudayaannya, bahkan dengan watak bangsanya (1976: 9). Dari hasil risetnya De Jong menemukan bahwa yang banyak mewarnai kebudayaan dan sikap hidup orang jawa adalah aliran mistik. Salah satu aliran yang berdasarkan kebudayaan Jawa dan memiliki pengikut paling banyak adalah Pangestu, yang mengajarkan sikap hidup dengan tiga sikap pokok yaitu: rila, narima dan sabar. Dalam kitab Sasangka Djati yang dikutip De Jong dijelaskan bahwa sesungguhnya yang disebut rila itu adalah keikhlasan hati dengan rasa bahagia dalam hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dan semua buah pekerjaannya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas karena mengingat semuanya itu ada dalam kekuasaannya maka dari itu tiada satupun yang membekas di dalam hatinya (1976: 18).
2
Selanjutnya dijabarkan De Jong bahwa manusia harus menyerahkan segala keinginannya dan menyerahkan dirinya tanpa keinginan dan kemuan sedikitpun kepada Yang Maha Kuasa. Juga dalam pekerjaan manusia harus bersikap rila sedangkan nafsu prestasi justru mengikat dan rila justru membebaskannya. Tentang narima De Jong mengutip kitab Sasangka Djati bahwa yang dimaksud dengan narima adalah suatu ketenangan afektif dalam menerima segala sesuatu dari dunia luar, harta benda, kedudukan sosial, nasib malang atau untung. Narima tidak menyelamatkan seseorang dari mara bahaya yang akan menimpanya, malainkan merupakan sesuatu perisai terhadap penderitaan (penghayatan subyektif) yang diakibatkan oleh malapetaka. Yang menjadi pusat perhatian adalah fikiran atau lebih tepatnya rasa,akibat malapetaka itu. Lebih lanjut ditambahkan De Jong bahwa sebab musabab lahiriah hendaklah diterima apa adanya. Jangan sekali-kali timbul pertanyaan apakah kita dapat berbuat sesuatu terhadap sebab lahiriah itu sehingga penderitaan berkurang. Kemajuan dan perbaikan pertama-tama diwujutkan dalam sikap kita, bagaimana menerima dan menghayati suatu nasib yang tak terelakkan (lihat De Jong 1976: 19-20). Tentang sabar diungkap De Jong bahwa istilah sabar dapat dijumpai secara bersamaan dengan istilah rila dan narima serta merupakan akibat keduanya. Hal ini dapat dilihat dalam tulisannya (1976: 20) bahwa “hanya orang yang menjalankan rila, narima akan menjadi sabar. Seorang yang dengan rila hati menyerahkan diri dan menerima dengan senang hati sudah bersikap sabar”. Gambaran sikap rila, narima dan sabar merupakan ungkapan dan bahkan menjadi sikap hidup bagi kebanyakan orang Jawa. Hal ini menyebabkan dirinya begitu pasif dalam menerima nasib yang ada. Pepatah Jawa “mangan ora mangan asal ngumpul” mensinyalkan bahwa bagi kebanyakan orang Jawa yang terpenting adalah kedekatan hubungan fisik antar anggota keluarga, sehingga mengabaikan sisi lain dari kehidupan. Sikap yang muncul kemudian adalah adanya sebahagian kelompok masyarakat tertentu yang berupaya semaksimal mungkin untuk tetap dekat dengan keluarga walaupun sumber daya alam sekitarnya tidak mungkin lagi dikelola, mengingat keterbatasan alam. Bertambahnya usia sejarah ternyata tidak menjanjikan adanya perubahan sikap pada kelompok masyarakat tersebut. Keadaannya justru lebih menguatkan bahwa muncul keharusan untuk tetap dekat dengan tanah nenek moyangnya. Istilah yang muncul kemudian adalah jangan melupakan leluhur yang diartikan secara negatif.
3
Untuk kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta, kelompok masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul mungkin merupakan pemegang teguh “filsafat” Jawa di atas. Hal ini terlihat jelas di daerah Semanu, Rongkop dan Tepus, dengan kondisi alam yang sedemikian sulitnya mereka masih mempertahankan untuk tetap tinggal di daerahnya walaupun tidak seluruh penduduk bersikap demikian, sebab ada juga sebahagian kecil yang mau untuk bertransmigrasi ke luar Pulau Jawa. Kesulitan itu semakin menjadi manakala terjadi kemarau seperti saat ini. Di daerah Tepus tanah yang terbelah telah dapat dimasuki oleh kepalan tangan orang dewasa, belum lagi ketidak-adaan air yang merupakan sumber hidup bagi manusia. Ketika kawan ataupun karib mereka yang berhasil di daerah transmigrasi datang dan mengajak mereka untuk berangkat transmigrasi mereka menolak dan tetap ingin tinggal di daerah tanah moyang mereka. Di satu sisi, keberanian mereka untuk menghadapi kerasnya alam patut dihargai, kecintaan terhadap tanah tumpah darah (mereka mengistilahkan dengan kata “pepunden”) merupakan salah satu sebab mereka untuk tetap di daerahnya sekarang ini. Namun demikian pada sisi lain, tampilan sikap mereka yang menolak untuk meninggalkan daerahnya menjurus kepada sikap negatif, mereka selalu berdalih bahwa manusia hidup di dunia harus rila, menerima dan sabar dalam menghadapi segala cobaan, termasuk cobaan yang diberikan alam. Bahkan terkadang muncul pernyataan “mangan ora mangan asal kumpul”, sehingga biarlah menderita asal penderitaan itu ditanggung secara kolektif bersama keluarganya. Fenomena di atas merupakan fenomena menarik untuk dikaji dan diteliti secara lebih lanjut. Sepanjang sepengetahuan penulis belum ada penelitian yang dipublikasikan yang mengungkap sikap mental masyarakat di daerah Gunung Kidul.
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian Koentjaraningrat di desa Bagelen, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah tahun 1958 tentang hakekat hidup ditemukan kenyataan bahwa masyarakat menganggap hidup sebagai serangkaian peristiwa yang penuh kesengsaraan, yang harus dijalankannya dengan tabah dan pasrah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mereka pada umumnya lekas menyerah pada kesukaran. Untuk mengatasi hal itu mereka sering melemparkan permasalahan dengan ungkapan bahwa orang hidup itu harus nrimah, pasrah serta sumarah.
4
Tentang hakekat kerja masyarakat umumnya jarang berani untuk berspekulasi dan tidak mengetahui apa tujuan kerja mereka. Seperti diketahui pembedaan jelas antara masyarakat moderen dengan tradisional salah satunya adalah pada sikap penghargaan terhadap kerja. Masyarakat moderen lebih berani untuk berspekulasi dibanding dengan masyarakat tradisional, hal ini karena mereka mengetahui tentang hakekat dari kerja yang mereka lakukan. Adapun tentang hubungan mereka dengan alam, masyarakat meyakini bahwa alam ada yang memilikinya hal ini terungkap dengan istilah “mbaurekso”. Masayarakat lebih banyak belajar dengan alam, walaupun secara riil mereka tidak tunduk kepadanya, akan tetapi muncul jiwa atau kesadaran dalam diri bahwa fungsi manusia salah satunya adalah harus dapat “memayu hayyuning bawono”. Alam tidak boleh dirusak, karena kewajiban manusia untuk menjaganya. Akan tetapi ada yang lebih utama selain keinginan untuk menjaga alam, yaitu kesadaran dalam diri bahwa alam ada yang menjaga. Kesadaran ini menyebabkan mereka segan untuk bertindak sembrono terhadap alam. Dalam hal waktu orientasi priyayi lebih banyak kepada masa lalu. Sikap ini sepertinya sengaja dipertahankan oleh para priyayi mengingat dengan kondisi masa lalu penghargaan masyarakat terhadap mereka akan leih tinggi jika dibandingkan dengan saat ini. Sedangkan untuk petani, lebih pada masa kini. Sikap ini menumbuhkan rasa seolaholah hidup hanya untuk saat ini saja, sedangkan masa yang akan datang tidak ada lagi kehidupan lain. Berkaitan dengan hubungan dengan sesamanya masyarakat Jawa pada umumnya lebih bersikap koleteral. Sikap ini menumbuhkan kesadaran dalam diri mereka bahwa hidup di alam dunia ini selalu membutuhkan orang lain. Dengan kata lain mereka menyadari hadirnya orang lain di sekeliling mereka. Sikap ini menimbuhkan keinginan dalam diri orang jawa untuk selalu berusaha menyambung tali persaudaraan dengan keturunan dalam satu garis nasab. Fenomena yang muncul adalah hadirnya trah-trah keluarga tertentu, ataupun kelompok bani dari golongan tertentu. Budi Herusatoto dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa satu sikap hidup orang Jawa adalah nrimo. Konsep ini berpengaruh terhadap ketentraman hati. Nrimo bukan berarti malas bekerja akan tetapi merasa puas akan nasibnya saat ini. Mereka bekerja dengan hati tidak ngongso. Nrimo berarti pula tidak menginginkan hak orang lain, tidak iri, maka orang nrimo adalah orang yang suka bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konsep hidup orang Jawa juga ditemukan ungkapan jer basuki mowo bea yang berarti untuk mencapai kesejahteraan perlu pengorbanan (1991).
5
C. Pertanyaan Penelitian Berkaitan dengan latar belakang penelitian yang diajukan serta beberapa hasil penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini ada beberapa pertanyaan yang hendak dicari jabannya yaitu: Bagaimana sikap mental masyarakat di Desa Giri Suko Kecamatan Panggang Desa Banyusoco Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui tentang kecenderungan sikap mental masyarakat di Desa Giri Suko Kecamatan Panggang dan Desa Banyusoco Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul. E. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak pemerintah daerah tingkat Kabupaten Gunung Kidul tentang kondisi sikap mental masyarakat, khususnya masyarakat Desa Giri Suko dan masyarakat Banyusoco. Selanjutnya pihak pemerintah dapat mengantisipasi model pembinaan yang tepat untuk pembentukan sikap mental yang diharapkan bagi pembangunan nasional. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologik, artinya peneliti akan melihat gejala yang terjadi di masyarakat dan memaparkan seperti apa adanya tanpa diikuti persepsi peneliti (verstehen). Dalam melihat gejala yang terjadi, peneliti berusaha untuk tidak terlibat secara emosional. 2. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini istilah yang digunakan untuk subyek penelitian adalah informant dan key informant. Pada dasarnya kedua istilah di atas sama bermakna pada subyek penelitian, penekanan yang diinginkan dengan menyebut subyek penelitian dengan istilah informan adalah dari yang bersangkutan peneliti akan memperoleh informasi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan dirinya sendiri ataupun tentang lingkungan sekitarnya yang menjadi topik penelitian ini. Pemilihan informan dan informan kunci lebih menekankan pada data apa yang hendak dicari. 3. Tehnik Pengumpulan Data
6
Data dalam penelitian dikumpulkan dengan mempergunakan tehnik wawancara sebagai tehnik utamanya. Selain itu dilakukan juga observasi partisipatif artinya peneliti mengikuti setiap prosesi yang ada dalam masyarakat. 4. Analisa Data Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model interaktif sebagaimana diajukan oleh Miles dan Huberman yaitu terdiri dari tiga hal utama yaitu, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi). sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Miles dan Huberman, 1992 ). 5. Obyektivitas dan Keabsahan Data Dengan mengacu pada Moleong (1994) untuk pembuktian validitas data penelitian ini ditentukan oleh kredibilitas temuan dan intepretasinya dengan mengupayakan temuan dan penafsiran yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang senyatanya dan disetujui oleh subyek penelitian. Agar kondisi di atas dapat terpenuhi dengan cara memperpanjang observasi, pengamatan yang terus menerus, triangulasi dan membicarakan hasil temuan dengan orang lain, menganalis kasus negatif dan menggunakan bahan referensi. Adapun untuk reliabilitas dapat dilakukan dengan pengamatan sistematis, berulang dan dalam situasi yang berbeda. G. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di desa Banyusoco, Kecamatan Playen dan di desa Girisuko, Kecamatan Panggang yang kesemuanya berada di Daerah Tingkat II Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. H. Konsep Teoritik 1. Sikap Mental Orang Jawa Seperti yang diungkap oleh Alfian (1980: 17) bahwa sikap mental merupakan semacam frame of refference (kerangka pikir) yang dapat mempengaruhi pola fikir dan tingkah laku seseorang aau masyarakat bahkan akan menjadi kunci yang menentukan dinamika kemampuannya serta mempengaruhi aspek kehidupannya. Istilah sikap mental walaupun sering dikacaukan dengan istilah nilai budaya sebenarnya memiliki arti yang berlainan. Hal ini terbukti dari pandangan Alfian tentang sikap mental ini ternyata lebih menjurus pada sikap hidup dan bukan pandangan hidup.
7
Lebih lanjut jika ditilik tentang istilah sikap hidup dan pandangan hidup, maka De Jong berpendirian bahwa sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Logika yang diajukan oleh Jong adalah bahwa permasalahan pandangan hidup lebih cenderung identik kepada sesuatu yang dianut sebagai acuan hidup. Dalam bahasa lain istilah ini disebut dengan agama. Sehingga yang terjadi mungkin seseorang berlainan pandangan hidup (baca: agama) dengan orang lainnya, akan tetapi dalam prakteknya dapat memperlihatkan sikap hidup yang sama”. Dalam bahasa yang lebih luas dijabarkan Jong bahwa “sikap hidup tidak hanya berhubungan dengan agama yang dianut oleh seseorang, melainkan jugabahkan mungkin dengan adat dan latar belakang kebudayaannya, bahkan dengan watak bangsanya (1976: 9). Jika dilihat pada kenyataannya sehari-hari apa yang diungkap Jong memang menjadi sesuatu hal yang telah terbuki. Dalam ke-Bhineka-annya di Indonesia memiliki 5 macam agama yang diakui secara resmi, belum lagi berbagai aliran kepercayaan ataupun aliran kebatinan yang intinya memiliki perbedaan yang jelas dalam hal obyek yang disembah. Pluralitas tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia berbeda dalam sikap hidup misalnya tentang keharusan merdeka. Berbicara masalah sikap mental, maka tidak akan terlepas dari sistem nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di sekitarnya. Nilai-nilai budaya yang telah lama diterima baik secara sadar ataupun tidak akan direfleksikan dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dengan demikian dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku seseorang salah satunya dapat dipengaruhi oleh sikap mentalnya (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Alfian, 1980: 17). Dalam teori kontemporer pembicaraan mengenai nilai akan dengan sendirinya berkorelasi dengan sikap dan tingkah laku. Oscar Lewis (dalam Prodjosantosa, 1991) mendeskripsikan bahwa tingkah laku seseorang akan dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kepercayaan, sikap dan nilai. Sementara itu Koentjaraningrat (1984: 25) mengartikan nilai budaya sebagai suatu tata kehidupan yang lebih tinggi dari sekedar tata tindakan yang lain seperti sistem norma, hukum, hukum adat, aturan sopan santun dan lain-lain. Di sisi lain, Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1984: 28) membagi sistem nilai budaya dalam seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini atas lima masalah pokok. Kelima masalah tersebut adalah : (a). Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia; (b) Masalah mengenai hakekat dari karya manusia; (c) Masalah mengenai hakekat dari kedudukan
8
manusia dalam ruang daan waktu; (d) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (e) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Secara lebih spesifik Koentjaraningrat menyatakan bahwa pada kelompok etnik Jawa terdapat dua golongan, yaitu golongan “priyayi” yang biasa hidup di kota dan umumnya bekerja sebagai pegawai, pedagang, wiraswasta dan tentara. Kelompok ini pada umumnya dipengaruhi mentalitas priyayi
atau mentalitas pegawai. Golongan yang lain adalah
mereka yang hidup di desa-desa pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, mereka ini dipengaruhi mentalitas petani. Karakteristik ataupun gambaran mentalitasnya priyayi menurut Koentjaraningrat (1984: 37-42) bercirikan pada hal sebagai berikut : (1) menganggap karya adalah kekuasaan, kedudukan dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran, (2) persepsi waktu mereka lebih ditentukan oleh masa lampau; (3) mereka sangat menggantungkan pada nasib; (4) mereka sangat berorientasi ke arah atasan, sehingga mematikan hasrat untuk berdiri sendiri. Sedangkan mentalitas petani bercirikan: (1) tidak biasa berspekulasi tentang hakekat hidup dan karya manusia; (2) persepsi waktu mereka terbatas dan sebagian keputusan penting serta orientasi hidupnya ditentukan oleh keadaan masa kini; (3) menganggap bahwa nasib sangat menentukan dan bahwa hidup harus selaras dengan alam; (4) petani menilai tinggi konsep sama rasa, sama rata, mereka beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia di dunia tidak berdiri sendiri maka dari itu harus saling membantu. Pendapat yang lain mengenai orang Jawa diungkap De Jong (1976: 19-20), ia mendasarkan pendapatnya pada ajaran aliran kebatinan “Pangestu” dan sastra Jawa seperti Mintorogo, Arjuna Wiwaha dan Serat Wedatama. Ia mengemukakan bahwa orang Jawa menilai tinggi tiga macam sikap hidup yaitu : (1) rila, yang berarti menyerahkan segala keinginan maupun kemauan kepada Yang Maha Kuasa; (2) Narima, yang berarti merasa puas dengan nasibnya, tidak berontak, menerima segala sesuatu dengan rasa terima kasih; dan (3) sabar yang merupakan akibat dari sikap rila dan narima di atas. Tentang narima seperti yang terdapat dalam kitab Sasangka Djati dan telah pula penulis singgung dalam pendahuluan di muka dijelaskan bahwa hendaklah menerima sebab musabab lahiriah seperti apa adanya. Ditekankan pula untuk bersikap menerima dan menghayati suatu nasib yang tidak mungkin terelakkan lagi. Terlihat adanya sikap pasrah
9
mutlak (Jawa: pasrah bongko’an) bahkan jangankan untuk mengatasi atau memperbaiki situasi, untuk mempertanyakan hal tersebut saja sudah dilarang. Dalam pendahuluan telah pula penulis ungkap tentang pengertian sabar seperti apa yang diungkap De Jong, sehingga hanya orang yang mampu menjalankan rila hati menyerahkan diri dan menerima dengan senang hati saja yang mampu bersikap sabar. Sebagai implikasi dalam menghayati sikap-sikap tersebut makaorang Jawa untuk mencapai sesuatu akan menjalankan apa yang dinamakan “tapabrata” dan bukannya dengan jalan kerja keras. Pada akhirnya “tapabrata” yang semula dijadikan jalan dan sarana untuk mencapai tujuan telah berubah menjadi tujuan itu sendiri. Dari uraian di muka maka jika ditinjau dari mentalitas orang Jawa yang dikemukakan Koentjaraningrat, analisis sikap yang diajukan De Jong dapat disimpulkan bahwa sikap mental orang Jawa dikelompokkan menjadi dua yaitu, yang bermental “priyayi” dan yang bermental “petani”. Kelompok priyayi adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai, pedagang, wiraswasta dan tentara, sedangkan yang digolongkan “petani” adalah mereka yang hidup sebagai petani. Dalam mensikapi hidup keduanya baik yang priyayi ataupun petani dalam segala hal cenderung menggantungkan pada nasib dan bersikap pasif. Selanjutnya menurut analisis De Jong, untuk mencapai sesuatu orang Jawa cenderung tidak bekerja dengan keras, melainkan berusaha dicapai dengan “tapabrata”. Selain itu, sikap rila, narima dan sabar yang ditunjukkan orang Jawa menurut De Jong cenderung kepada sikap mental pasif. Dalam beberapa pustaka istilah sikap mental pasif dikenal dengan sebutan sikap mental fatalis. Adapun jika ditinjau dari model pembagian nilai sosial yang diajukan Siagiaan (1987), maka dalam diri orang Jawa setidaknya terdapat dua sikap mental yaitu sikap mental positif yang dapat mendorong untuk berprestasi secara lebih baik dan sikap mental negatif yang sedikit banyak dapat memperlambat proses kemajuan yang hendak dicapai. Sedangkan jika melihat orientasi nilai budaya yang ada maka sikap mental orang Jawa dapat dilihat berdasar persepsinya mengenai: (a). Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia; (b). Masalah mengenai hakekat dari karya manusia; (c). Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (d). Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (e). Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
10
I. Gambaran Lokasi Penelitian Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu dari lima kabupaten (lebih tepatnya empat kabupaten dan satu kotamadya) yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.). Letaknya yang berada di daerah pegunungan selatan membuat lokasi Kabupaten Gunung Kidul menjadi salah satu kabupaten di D.I.Y. yang memiliki lokasi tertinggi. Namun demikian, dengan semboyan Gunung Kidul HANDAYANI, yang berarti Hijau, Aman, Normatif, Dinamis, Amal, Yakin, Asah Asih Asuh, Nilai tambah, Indah menjadikan Kabupaten menjadi salah satu Daerah Tingkat II yang memiliki akselerasi pembangunan yang cepat. 1. Daerah Banyusoco, Kecamatan Playen Banyusoco, sebuah desa di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, memiliki luas areal seluas 17.824.975 Ha. Dengan batas-batas wilayah sebelah utara dengan Desa Dlingo, Kabupaten Bantul. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Girisoko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Sebelah barat dengan desa Mangunan, Kabupaten Bantul, sedangkan di sebelah timur dengan desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Secara geografis, Desa Banyusoco berada di dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata 200 sampai 400 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai desa Banyusoco dapat ditempuh dengan kendaraan umum (kendaraan colt Isuzu) yang cukup ramai pada saat-saat hari pasaran, sedangkan hari-hari biasa lainnya menunggu angkutan umum harus memiliki kesabaran dan hanya sampai di balai desa saja. Untuk masuk ke lokasi-lokasi pedusunannya tidak memungkinkan dengan kendaraan roda empat mengingat jalannya masih belum baik (berbatu cadas dan terjal) juga mendaki. Dan biasanya angkutan umum tersebut sudah tidak ada lagi setelah pukul 12.00 siang. Adapun jarak tempuh dari pusat kota Kecamatan ke desa Banyusoco sejauh 11 Km. Desa Banyusoco dihuni oleh 1.145 Kepala Keluarga dengan komposisi 3.020 orang laki-laki dan 3.113 orang perempuan. 2. Daerah Girisoko, Kecamatan Panggang Desa Girisoko merupakan sebuah desa di Kecamatan Panggang dengan luas desa seluas 2.554.345 Ha. Desa ini terletak di ketinggian 140 M dari permukaan laut dengan suhu rata-rata sebesar 30oC. Untuk menuju desa Girisoko dapat ditempuh dengan kendaraan umum yang biasanya ramai pada hari pasaran, dan itupun hanya sampai di
11
daerah Banyusoco (Balai desa Banyusoco) setelah itu harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 10 Km. Jika menggunakan kendaraan roda dua dapat sampai ke lokasi dengan melalui sebuah jembatan yang menghubungkan kedua daerah tersebut. Jarak antara desa Girisoko dan kecamatan sebenarnya jika ditarik garis lurus adalah sejauh 2 Km, namun mengingat kondisi daerah maka jika ada yang ingin menuju ke kecamatan maka yang bersangkutan harus menempuh sejauh 13 Km dan ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang mendaki. Selain itu untuk menuju balai desa dapat juga ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun, jarak yang semula 13 Km akan bertambah menjadi 2 kalinya, yaitu 26 Km. Hal ini karena harus memutar melewati desa Banyusoco yang terletak di Kecamatan Playen. Desa Girisoko berpenduduk sebanyak 1.038 kepala keluarga dengan komposisi penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 2.591 jiwa dan wanita sebanyak 2.794 jiwa. Penduduk yang beragama Islam sebanyak 5.005 orang, beragama Kristen 162 orang, Katholik 15 orang, sedangkan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 203 orang. Sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani sebanyak 2.863 orang, pegawai negeri sipil sebanyak 47 orang, ABRI sebanyak 13 orang, tukang (baik tukang kayu, maupun tukang batu) sebanyak 35 orang, pensiunan sebanyak 9 orang, sektor jasa sebanyak 36 orang, dan sisanya sebagai wiraswastawan sebanyak 79 orang. Bagi mereka yang bekerja di sektor pertanian, ternyata banyak yang menggeluti pekerjaan nderes kelapa. Kelapa tidak diambil buahnya, akan tetapi diambil sarinya (legen) yang kemudian dimasak dan dijadikan gula kelapa. Untuk menjualnya mereka membawa ke pasar-pasar desa atau menunggu pedagang yang akan mengambil ke rumah-rumah. Desa Girisoko, seperti juga desa Banyusoco merupakan salah satu desa dalam kategori IDT (Inpres Desa Tertinggal) di Kabupaten Gunung Kidul. Seperti daerah pedesaan pada umumnya kedua lokasi desa yang saling berdampingan ini memiliki penduduk yang ramah. Hubungan antar mereka tidak terbatas pada satu desa saja, tetapi penduduk lain desa biasanya mengenal secara baik orang per orang yang ada di desa tetangganya. Secara geografis kedua desa ini dipisahkan oleh sungai dan ada lokasi yang memang saling berdekatan di antara keduanya, sehingga jika berdiri di atas garis batas tersebut, maka kita akan berada di dua desa yang terpisah secara administratif. J. Hasil Penelitian
12
Berikut ini akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian di lapangan. Dalam bagian ini hasil penelitian akan langsung dikelompokkan sesuai dengan pembagian menurut Kluckhon. Dengan demikian hasil penelitian akan dibagi dalam lima kategori yaitu: pandangan masyarakat tentang hakekat hidup manusia, pandangan tentang hakekat karya, pandangan tentang kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, pandangan tentang hubungan manusia dengan alam sekitar, pandangan manusia tentang sesamanya. 1. Hakekat dari Hidup Manusia Bapak S, seorang tokoh di desa Banyusoco, memiliki seorang istri dan 3 orang anak yang kesemuanya wanita. Dalam kehidupan sehari-hari selain bertani, S juga menjadi salah seorang perangkat desa. Berikut ini hasil beberapa wawancara dengan beliau yang penulis ambil intisarinya. Menurut S hidup di dunia ini hanya bersifat sementara saja, dan setelah kehidupan ini pasti akan ada kehidupan akhirat yang bersifat kekal. Kehidupan di akhirat nanti menurut S hanya akan dijalani oleh rohani manusia saja, sedangkan wadag (badan kasar) tidak akan ikut serta. Namun, S tidak dapat memberi penjelasan ke mana wadag ini nantinya. Perlambang yang diberikan S tentang kehidupan di dunia adalah diibaratkan sebagai seseorang yang sedang pergi ke pasar (dalam bahasa Jawa ngoko dinyatakan sebagai “urip mung koyo lungo nang pasar”). Selama ini dikenal umum di masyarakat bahwa hidup adalah seperti orang yang istirahat untuk minum (bahasa Jawa “urip mung mampir ngombe”), sehingga pendapat S ini merupakan pendapat yang baru pertama kali peneliti ketahui. Lebih lanjut diungkap oleh S bahwa diibaratkan seperti orang ke pasar, maka seseorang pasti akan kembali ke rumah tempat kediamannya. Di pasar orang akan saling bertemu, saling bertegur sapa, dan saling membantu untuk memenuhi keperluannya. Setelah apa yang dibutuhkan terpenuhi, maka yang bersangkutan akan pulang ke rumah asalnya. Adapun jika di pasar terjadi kesalahpahaman komunikasi, menurut S harus juga diselesaikan saat di pasar itu juga dan tidak di bawa pulang. Informan lain yang peneliti temui adalah bapak R, penduduk dusun Sanglor I, Desa Giri Suko Kecamatan Panggang salah seorang aparat desa. Bapak R mempunyai isteri 2 yang tinggal rumah secara berdampingan. Dari hasil amatan peneliti kehidupan mereka cukup sederhana, namun unsur kebahagiaan nampak dari masing-masing isteri serta anakanaknya. Berkaitan dengan kehidupan, bapak R menyatakan bahwa segala yang terjadi
13
pada diri manusia memang sudah menjadi suratan takdir yang maha kuasa. Dan manusia diwajibkan untuk menerima keadaan tersebut. Namun bagi R, hal ini bukan menjadi halangan untuk berusaha semaksimal mungkin. Namun begitu, bagi R permasalahan hasil yang akan dicapai tergantung pada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut R, kewajiban manusia sebatas pada usaha saja, permasalahan dikabulkan atau tidak menjadi urusan Yang Maha Kuasa (Bapak R menyebutnya dengan istilah Pangeran sebagai kata ganti Tuhan). Bapak A seorang mantan perangkat desa Giri Suko, berusia kurang lebih 69 tahun, tentang kepastian usia ini bapak A tidak dapat memperkirakan secara pasti mengingat pada masa dahulu tidak ada catatan pasti tentang kapan beliau dilahirkan. Namun demikian jika melihat anaknya yang tertua telah berusia sekitar 40 tahun, maka perkiraan tersebut akan mendekati kebenaran. Tentang keluarganya A bercerita bahwa dia memiliki satu orang isteri serta 7 orang anak. Anaknya yang bungsu baru saja selesai dari di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Pendidikan yang ditempuh Bapak A adalah Sekolah Rakyat pada jaman penjajahan dahulu, serta pendidikan agama yang diperolehnya dari salah seorang kyai yang bertempat tinggal di Bantul. Tentang pendidikan agama yang diterimanya ini A menyatakan bahwa, saat itu yang mau belajar agama tidak banyak. Dari desanya menurut beliau, yang belajar agama itu dapat dihitung dengan jari. Berkaitan dengan hidup, A meyakini bahwa setelah hidup saat ini akan ada kehidupan yang lain kelak. Tentang kehidupan lain ini, A meyakini sebagai balasan dari kehidupan saat ini. Untuk itu sebagai bekal kehidupan tersebut, A berprinsip untuk selalu berlaku baik dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Laku baik ini tidak terbatas pada anak dan saudaranya saja, akan tetapi juga pada seluruh tetangganya. Menurut A, kewajiban yang utama manusia dalam kehidupannya di dunia adalah melaksanakan segala syari’at agama yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa seperti apa adanya. Manusia harus menerima kehidupan ini dengan penuh rasa syukur yang besar kepada Tuhan. Namun demikian, seperti juga informan terdahulu A juga berpendapat bahwa hal tersebut bukan berarti bahwa manusia tidak usah ataupun tidak untuk berusaha untuk memenuhi segala keperluan bagi kehidupannya. Menurut A, justru manusia harus bekerja dan berbuat semaksimal mungkin. Adapun tentang hasil yang akan diperoleh itu
14
merupakan hak Yang Maha Kuasa. Manusia hanya berusaha saja. Pada intinya pendapat antara ketiga informan ini sama. 2. Hakekat Tentang Karya Bapak S menyatakan, bahwa kerja yang dilakukan manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini, serta untuk mempersiapkan kebutuhan bagi anak-anak mereka. Kesadaran yang tertanam dalam diri S adalah, seandainya dirinya sengsara dalam hidupnya saat ini (sengsara istilah yang dipakainya untuk menyatakan tentang sulitnya kehidupan yang dilaluinya), maka hendaknya kesengsaraan itu tidak terjadi pada diri anak dan cucu mereka, ojo nurun marang anak putu adalah bahasa yang digunakan S. Seperti juga S, informan lain seperti A, R, juga berharap bahwa, kesulitan hidup itu hendaknya hanya dirasakan oleh mereka saja. Sedangkan untuk anak dan cucu mereka, harapan yang selalu tumbuh adalah kehidupan yang berbahagia. Tentang kondisi kerja yang mereka rasakan bahwa yang mereka gunakan adalah abot cukil timbang hasil. Kalimat ini menurut mereka memiliki, bahwa dibandingkan dengan hasil yang mereka peroleh, maka usaha yang mereka lakukan lebih berat dari hasil yang akan mereka dapatkan. Sewaktu peneliti menanyakan apakah hakekat dari tujuan kerja itu sendiri, ratarata jawaban yang peneliti terima adalah, kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup agar dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. 3. Hakekat Tentang Kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu Dalam masyarakat Jawa ada falsafah ono dino ono upo, yang kurang lebih bermakna bahwa selama ada hari pasti ada nasi (kehidupan). Tentang hal tersebut, berikut ini komentar yang diberikan para informan berkaitan dengan pertanyaan peneliti ajukan tentang apa makna yang terkandung di dalam falsafah hidup tersebut? Bapak A, beliau merasakan bahwa tembung tersebut benar dan dia merasakan telah membuktikannya. Ono dino ono upo, menurut beliau bahwa, selama masih ada hari beliau mengistilahkan selama srengenge (matahari) masih terbit setiap harinya maka, pasti akan rejeki yang akan kita peroleh. Keyakinan Bapak A ini juga didukung oleh bapak S, yang menyatakan bahwa, selama manusia mau berusaha, pasti akan mendapatkan sesuatu yang akan dimakannya untuk hari tersebut. Bapak S mengistilahkannya dengan tembung, obah mamah, yang kurang lebih berarti jika berbuat sesuatu pasti akan makan. Senada dengan informan terdahulu, pendapat dari bapak M yang secara tegas juga mendukung kedua rekannya dan diungkap dalam kalimat, “manusia yang hidup di dunia
15
pasti akan mendapat rejeki dari Allah SWT yang dapat dimakannya, wong pithik wae mung ceker, biso urip, demikian ucapan M dalam bahasa daerah yang kurang lebih berarti “ayam saja yang cuma mengais dapat hidup”. Selain itu, berbicara masalah perbandingan waktu antara saat ini dengan masa lalu yang telah mereka alami ternyata pendapat yang dikemukakan masyarakat desa tersebut rata-rata hampir senada. Bagi mereka saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu mereka. Saat ini telah ada fasilitas perhubungan berupa jalan aspal ataupun fasilitas kesehatan berupa puskesmas yang ada di balai desa walau terbatas jam buka serta jenis obat yang tersedia, obat yang biasa diberikan kepada para pasien yang datang ke puskesmas antara lain berupa, pil antalgin, dan vitamin-vitamin saja, sedangkan untuk obat khusus puskesmas tidak menyediakan. Namun demikian, dalam hal pengobatan penyakit puskesmas bukan menjadi tumpuan pertama dalam prosesi pengobatan, setelah “orang tua” (bahasa lain untuk menyebut dukun). Setelah kegagalan pengobatan pada orang tua, baru masyarakat akan pergi ke puskesmas, sehingga terkadang orang yang sakit akan berada pada posisi yang kritis saat dibawa ke puskesmas. Ironisnya seringnya kejadian kegagalan pengobatan pada orang tua tidak menyebabkan masyarakat menjadi jera. Selain itu dalam hal fasilitas perhubungan baik berupa, jalan tembus (jembatan ataupun jalan aspal) dan alat-alat transportasi lainnya menurut mereka lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu mereka. Kebanggaan mereka terhadap jalan tembus ataupun jembatan yang menghubungkan antar dua desa yang terpisahkan oleh jurang terasa dari sikap mereka saat menceritakan tentang keadaan saat ini. 4. Hakekat Tentang Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya Menarik sekali apa yang dipaparkan R, bahwa dalam hal keagamaan mayoritas penduduk beragama Islam namun dalam pelaksanaannya syari’at Islam tidak dapat sepenuhnya dijalankan dengan baik. Diakuinya bahwa banyak penduduk yang masih mempercayai adanya kekuatan lain yang menguasai alam ini, bahasa yang biasa dipakai adalah yang mbaurekso, danyang. Perwujudan pengakuan ini adalah sikap dari penduduk yang sepertinya takut pada alam. Masyarakat memandang alam ada yang mewengkoninya, ada yang menguasainya, yaitu mereka yang berasal dari mahkluk halus. Istilah mereka adalah danyang. Untuk menjaga agar penguasa tersebut tidak marah kepada mereka, biasanya dilakukan satu
16
kegiatan “bersih desa”. Selamatan bersih desa atau yang biasana disebut dengan istilah rasulan. Kegiatan rasulan ini dilaksanakan pada sekitar bulan-bulan kemarau (Juni sampai September) pada setiap tahunnya. Upacara rasulan dilaksanakan sebagai cara untuk menolak bala yang akan datang pada mereka. Kegiatan yang biasa dilakukan dalam upacara rasulan adalah dengan memberi sesaji di tempat-tempat yang dianggap keramat. Ada kepercayaan pada masyarakat jika mereka tidak melaksanakan upacara bersih desa, maka akan trtimpa malapetaka. Sehingga yang terjadi adalah jika ada satu musibah yang menimpa mereka entah apapun bentuknya maka akan menyatakan itu marena kesalahan tidak melaksanakan rasulan. Walaupun demikian jika ada yang tertimpa musibah dan sebenarnya telah melaksanakan rasulan, maka akan tetap pula dipersalahkan kemungkinan kesalahan ataupun kekuranganlengkapan sesaji yang harus disediakan. Dalam upacara rasulan ini seluruh penduduk akan ikut serta di dalamnya, tidak dipermasalahkan apa agama yang dianutnya. Dari sisi ini memang nampak unsur pluralitas agama. Bagi mereka yang penting adalah personalnya bukan penganut agamanya. Menurut R, kegiatan bersih desa untuk desa Giri Suko sekarang jarang dilakukan. Kondisi yang demikian menurutnya sebagai salah satu menguatnya nilai-nilai agama. Namun begitu, pada masa-masa tertentu muncul pula secara tidak langsung adanya pengakuan hadirnya kekuatan gaib di sekeliling mereka. Salah satu di antaranya pada kegiatan tahlilan yang dimaksudkan untuk mengiringi meninggal dengan doa-doa. Pada salah satu bacaan doa biasanya disebut istilah Kaki danyang dan nini danyang (entah siapa yang dimaksud) dalam doa mereka. Kenyataan
lain
juga
menunjukkan
bahwa,
tidak
seluruhnya
masyarakat
meninggalkan kepercayaan ada keterkaitan antara mereka yang hidup dengan yang sudah meninggal, ataupun antara si bayi dengan saudara-saudara mereka, kakang kawah, adik ari-ari. Seperti pernah terjadi pada keluarga bapak A, ketika ada anak bayinya sakit, tidak langsung dibawa ke puskesmas, tetapi dibawa ke “orang tua”. Dari orang tua, disarankan untuk menggali ari-arinya yang menurut orang tua tersebut tergenang air sehingga si bayi selalu rewel. Selanjutnya menurut Ibu A, ketika digali ari-ari si bayi, memang ada air yang menggenangi ari-ari si bayi. Setelah dikeringkan ari-ari tersebut dan ternyata si bayi dapat tenang kembali. Hal tersebut menurut mereka ada pertalian erat antara manusia yang hidup dengan alam.
17
Dari hasil observasi peneliti ternyata masyarakat tidak bisa melepaskan adanya unsur “gaib” alam. Salah satunya ketika ada salah satu warga yang menikah, ternyata keluarganya membuat sesaji yang cukup bervariasi jenisnya dan diletakkan di beberapa tempat, seperti di perempatan jalan, di tempat-tempat yang mereka anggap wingit (angker), ataupun di kamar-kamar orang tua mereka. Selain itu ada kepercayaan bahwa, selama akan menyelenggarakan hajat pernikahan tersebut orang tua tidak diperkenankan membuang sampah. Hal ini berlaitan dengan akan hadir tidaknya tetamu yang diundang keluarga mereka. 5. Hakekat dari Hubungan Manusia dengan Sesamanya Patut diakui kehidupan bermasyarakat di desa samngat kondusif. Hal ini terlihat dari prilaku gotong royong yang ditampilkan. Kegiatan gotong royong ini bukan hanya dilakukan pada saat ada satu kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan semesta, akan tetapi dalam skala yang lebih kecil jika ada seseorang warga hendak membangun rumah, maka masyarakat akan beramai-ramai terjun untuk membantunya. Istilah yang digunakan adalah “sambatan” (bekerja membantu tetangga, dan tidak memperoleh bayaran/upah). Mereka yang bekerja turut membangun rumah tersebut tidak diberi upah dan tidak meminta upah, cukup diberi makan atau rokok. Biasanya makan besar disajikan saat pukul 12-an (rolasan) dan makanan kecil sekali sebelumnya dan sekali sesudahnya. Sehingga bukan mustahil jika di desa pembangunan satu rumah akan cepat selesai. Wujud kebersamaan masyarakat desa juga nampak pada saat satu keluarga menerima kegembiraan, misalnya saat kelahiran bayi, hajat pernikahan ataupun kesusahan seperti kematian dan lain sebagainya. Tenggang rasa tepo seliro serta turut merasakan kegembiraan ataupun kesedihan yang ditampilkan masyarakat memang perlu mendapat acungan jempol. Pada saat kelahiran bayi, biasanya masyarakat sekitar akan datang pada malam hari untuk turut berjaga-jaga, istilah mereka adalah jagong bayi (menunggu bayi samibl bermain atau ngobrol dengan tetangga, dengan maksud menemani dan turut bersuka cita terhadap orang yang baru menerima kelahiran bayi). Kegiatan jagong bayi ini biasanya berlangsung sampai saat hari puputan (putusnya tali pusat bayi) tiba.
K. Intepretasi Hasil Temuan 1. Hakekat dari Hidup Manusia
18
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa kebanyakan masyarakat di sekitar lokasi penelitian, memandang kehidupan di dunia sebagai sesuatu yang masih terus akan berlanjut. Pemaknaan hidup di dunia dikatakan sebagai terminal sementara yang digunakan untuk singgah, dan untuk selanjutnya akan dilanjutkan pada terminal akhir yaitu di akhirat kelak. Perlambang-perlambang tentang kehidupan manusia di dunia terungkap dalam falsafah hidup masyarakat seperti : urip mung mampir ngombe, atau urip mung koyo wong lungo pasar. Hal tersebut menyadarkan masyarakat bahwa kehidupan di dunia ini hanya untuk sementara saja, dan masih ada satu kehidupan yang lebih abadi, yaitu kehidupan di akhirat kelak. Falsafah urip mung koyo wong lungo nang pasar, bermakna dalam, bahwa sebenarnya manusia akan memperoleh hasil dari apa yang telah dibelinya di dunia. Dalam terminologi yang demikian, maka Pasar memiliki makna dunia dan seisinya, di pasar tersedia segala hal yang mungkin dibutuhkan manusia atau tidak dibutuhkannya. Dan manusia diberi kesempatan untuk memiliki mana yang menjadi kebutuhannya, dan mana yang tidak. Selanjutnya orang pergi ke pasar tidak akan abadi, pada saat tertentu di harus kembali ke rumah. Rumah lebih bermakna filosofis sebagai satu tempat sebagai asal manusia, dan tempat dia kembali setelah perjalannya. Apa yang dibelinya di pasar akan di bawanya ke rumah, benda baik ataupun benda buruk akan didapatkannya sesuai dengan pilihan dia di pasar. Adapun barang belanjaan itulah amal (dalam konsep Islam) yang akan dinikmatinya di rumah. Berkaitan dengan asumsi selama ini bahwa orang Jawa memiliki sikap nrimo, maka konsep sikap tersebut lebih bermakna positif. Dalam konteks yamng demikian, orang Jawa menyadari bahwa hidup adalah sesuatu yang pasti dan harus dijalani dengan segala kemampuannya. Satu hal yang diukur dari sisi kemanusiaan adalah sisi usaha. Konsep hasil yang akan diterima merupakan hal mutlak dari Tuhan, tidak dapat dipersalahkan. Sebenarnya sikap tersebut telah mengarahkan masyarakat Jawa kepada sikap untuk tidak berlaku sombong atas segala usaha yang telah ditempuhnya. Bagi mereka, masalah hasil dari usaha yang mereka kerjakan lebih banyak tergantung pada sisi Khalik, sang penguasa. Jika dilihat dari sikap nrimo yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, maka sikap tersebut lebih identik dengan konsep tawakal dalam Islam. Dalam konteks yang demikian, nrimo harus dimaknai sebagai kepasrahan kepada Tuhan (Allah SWT) atas segala hasil
19
dari segala kerja yang telah dilakukannya. Konsep tersebut labih menyadarkan manusia bahwa pada dasarnya atas manusia ada zat yang lebih tinggi, yaitu Tuhan sebagai penentu kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dan ini akan menghilang perasaan takabur atas segala prestasi yang telah diraihnya. Sebaliknya jika konsep nrima dimaknai sebagai satu sikap kepasrahan mutlak atas segala sesuatu yang akan terjadi, tanpa disertai adanya usaha untuk merubah kondisi yang ada, maka makna nrima akan lebih menjurus kepada konsep sikap fatalis. Sikap ini akan membawa manusia berlindung atas segala kegagalan yang telah diperbuatnya, dan menimpakan dosa tersebut kepada Tuhan sebagai penyebab kegagalan. 2. Hakekat Tentang Karya Ternyata banyak masyarakat yang belum mengetahui secara jelas apa tujuannya mereka melakukan kerja. Yang pasti menurut mereka kerja untuk menghidupi keluarga. Tidak terpikirkan oleh mereka untuk berkarya lebih baik dari karya hari ini. Apalagi jika dilihat dari pemeo yang diajukan di atas “obah mamah”. Kerja seolah-olah hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup, tidak ada sesuatu yang dicari ataupun dikejar. Begitu juga seandainya mereka menyimpan harta yang dimilikinya, orientasinya adalah untuk persiapan hidup pada masa yang akan datang. Salah satu kesepakatan tak langsung di antara informan adalah, bahwa segala kesusahan dan kesulitan hidup yang mereka rasakan saat ini hendaknya tidak tertimpakan juga kepada anak dan cucu mereka, ungkapan yang mereka gunakan adalah, ojo nurun marang anak putu. Secara keseluruhan orientasi mereka bekerja masuk dalam kategori sikap petani kebanyakan. Orientasi mereka adalah orientasi untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Dari sisi ini, maka terlihat mayoritas masyarakat masih berorinetasi pada sikap petani. Temuan lain yang peneliti peroleh adalah istilah abot cukil timbang hasil. Kalimat ini menurut mereka memiliki makna, bahwa dibandingkan dengan hyasil yang mereka peroleh, maka usaha yang mereka lakukan lebih berat dari hasil yang akan mereka dapatkan. Dampak yang terjadi pada mereka adalah, sikap terhadap kerja dapat dikatakan kurang dari semestinya. Pada dassarnya mereka memiliki potensi untuk menggarap kondisi alam desa secara lebih baik. Namun, potensi yang ada tersebut tidak mereka manfaatkan secara optimal. 3. Hakekat Tentang Kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu
20
Dari hasil temuan di lapangan peneliti melihat adanya keyakinan dalam diri masyarakat tentang falsafah ono dino ono upo, yang kurang lebih bermakna bahwa selama ada hari pasti ada nasi (kehidupan). Hal tersebut menandakan bahwa penghargaan masyarakat desa terhadap waktu masih berorientasi pada masa kini saja. Filsafat ono dino ono upo di satu sisi membuat mereka selalu optimis bahwa selama masih ada hari, mereka akan tetap mendapatkan nasi untuk dimakan. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya satu pemeo obah mamah, barang siapa yang melakukan satu kegiatan maka dengan sendirinya dia akan makan. Di sisi lain, keyakinan ini menyebabkan mereka enggan untuk memikirkan masa depan. Masa depan bagi mereka adalah gambaran hari ini yang harus dinikmati sekarang, masa depan bagi mereka hanya satu hari setelah hari ini (esok). Kenyataan ini didukung dengan kondisi perbandingan situasi yang terjadi pada masa sekarang ini dengan masa dahulu. Komentar yang mereka berikan adalah, situasi atau keadaan saat sekarang ini lebih baik dari masa lalu. Satu permasalahan lain yang cukup dilematik adalah, kenyataan bahwa mereka telah menyadari tentang majunya perkembangan jaman. Namun perilaku yang ditunjukkan mereka terkadang tidak mendukung pernyataan di atas. Sebagai contoh mereka lebih mengutamakan “orang tua” dalam hal pengobatan, dibandingkan dengan dokter di puskesmas. Setelah kegagalan pengobatan kepada orang tua, baru masyarakat akan pergi ke puskesmas. Bagi mereka kegagalan pengobatan yang dilakukan bukan merupakan satu kesalahan. Dan hal ini akan berbeda jika kegagalan tersebut dilakukan oleh dokter. Protes mereka lebih lama untuk hilang. 4. Hakekat Tentang Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya Fenomena tentang penghargaan masyarakat yang berlebihan terhadap alam munculnya pengakuan terhadap makhluk yangmbaurekso di satu tempat tertentu. Mereka beragama Islam, akan tetapi mereka juga melakukan hal-hal tertentu yang sebenarnya menyimpang dari ajaran Islam. Dalam kontek ini yang peneliti maksud adalah penyelenggaraan sesaji pada saat-saat tertentu, ataupun anggapan ada kekuatan lain yang lebih di luar dirinya dan Tuhan. Perwujudan pengakuan yang bervariasi di antara mereka lebih mendukung tesis bahwa kondisi keagamaan mereka sebenarnya belum mantap. Namun, bagi mereka menjalankan kegiatan sesaji merupakan satu keharusan budaya. Dan mereka tidak mampu
21
untuk mencerna, apakah hal itu bertentangan dengan nilai dasar keagamaan mererka atau tidak. Upacara bersih desa, merupakan salah satu manifestasi tentang pengakuan lebih mereka terhadap alam. Mereka yang memiliki sikap demikian sebenarnya belum beranjak dari sikap mental agraris mereka. 5. Hakekat dari Hubungan Manusia dengan Sesamanya Sambatan bagi masyarakat kedua dusun ini menjadi satu kegiatan yang mendapat dukungan semua pihak. Dalam kerja sambatan ini tidak lagi dibedakan apakah agama seseorang atau tingkat keturunan. Kerja sambatan bagi mereka bukan untuk mendapatkan uang sebagai upahnya, tetapi lebih sebagai manifestasi kuatnya persaudaraan di antara mereka. Sikap demikian telah hilang pada masyarakat perkotaan, yang telah berfikir individualis. Pada satu sisi sifat gotong royong ini baik untuk terus dijalankan dan dilestarikan. Namun begitu, perlu juga diingat kondisi psikis yangberbeda di antara mereka terkadang menyebabkan orang melakukan sambatan tersebut dengan “terpaksa”. Walaupun demikian, kelompok terakhir ini merupakan kelompok minoritas pada masyarakat desa. Wujud lain dari rasa kebersamaan di antara masyarakat desa adalah, keinginan untuk turut merasakan kebahagiaan ataupun kesedihan yang dirasakan tetangga mereka. Sikap itu nampak pada kegiatan jagong yang mereka lakukan. Jagong biasanya dilakukan saat menerima kelahiran bayi, saat kematian atau menjelang hajat pernikahan. Satu hal yang menarik, selama ini tumbuh asumsi kuat pada masyarakat kita bahwa masyarakat di pedesaan Jawa masih terikat dengan konsep “mangan ora mangan kumpul”. Khususnya bagi generasi muda, ternyata pada kenyataannya konsep ini telah berkurang dan hampir habis terkikis dengan perkembangan jaman. Bagi mereka saat ini di manapun berada yang lebih utama adalah dapat makan. Salah satu hal yang mendukung bergesernya sikap ini antara lain, konsep agama yang mereka terapkan, kemajuan tetknologi informasi, status pendidikan yang semakin meningkat serta pengaruh budaya yangdatang dari teman-teman mereka yang datang dari perantauan mereka. Walaupun begitu, di kalangan generasi tua terkadang masih menginginkan anak-anak mereka untuk dapat kembali berkumpul seperti saat mereka kecil. Salah satu kondisi yang dapat menghalangi sikap generasi muda adalah permintaan orang tua mereka untuk tetap tinggal di daerah dengan alasan yang diberikan oleh orang tua mereka, sesuk nek aku mati ora ono sing ngerti.
22
L. Simpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Pada masyarakat di lokasi penelitian, konsep narima lebih bermakna positif dibandingkan dengan beberapa temuan penelitian terdahulu. b. Dalam hal kerja, masyarakat desa belum memilii konsep kerja sebagai satu cara menghasilkan karya-karya. Kerja lebih dimaknai sebagai cara terbaik untuk menutupi kebutuhan hidup. c. Dalam hal apresiasi terhadap waktu, masyarakat desa lebih menghargai waktu sekarang dalam kontek perubahan yang mereka rasakan. Orientasi waktu masa yang akan datang, belum dapat terabstraksikan dalam pikiran mereka. d. Penghargaan masyarakat tentang alam, pada kondisi lokasi penelitian terbagi dua. Satu sisi menganggap alam sebagai wahana untuk hidup, di sisi lain menganggap bahwa alam memiliki kekuatan yang tidak dapat mereka prediksikan. e. Pola hidup bersama di masyarakat desa penelitian, lebih bersifat gotong royong. Unsur individualis tunduk dengan kebutuhan kelompok. 2. Saran Sikap masyarakat desa penelitian yang telah cenderung bergeser, perlu pembinaan dan pengarahan dari pihak pemerintah daerah tingkat II kabupaten Gunung Kidul agar tidak terjebak dalam model orientasi kehidupan modern yang salah. Untuk kalangan akademiki, penelitian ini dapat ditindak lanjuti, terutama terkait dengan model teori yang digunakan, yaitu tentang sikap mental, teori lain dapat digunakan sebagaimana yang diajukan oleh Eduard Spranger tentang tipologi kepribadian manusia.
PUSTAKA
Alfian. 1980. Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES Astrid Susanto. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta Budiono Herusatoto, 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita
23
De Jong. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius Koentjaraningrat. 1982. Intisari Sejarah Pendidikan di Indonesia dan Perubahan Orientasi Nilai Budaya, dalam Antropologi Masalah-masalah Pembangunan: Buna Rampai Antropologi. Penyunting Koentjaraningrat. Jakarta: LP3ES. -----------------. 1982. Masalah-masalah Pembangunan. Jakarta LP3ES -----------------. 1984. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia Lewis, Oscar. dalam Andree Bayo Ala (edit). 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty Miles, M.B., dan Huberman A.M., (1992). Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI Press Moleong. L.J., (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rogers and Floyd S. 1971. Communication of Innovation a Cross Cultural approach. New York: The Free Press. Siti Partini Suardiman, 1984. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Studying. Siagiaan, Sondang P, 1987. Administrasi Pembangunan. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Muhammad Idrus, lahir di Purworejo, 23 Agustus 1965. Pendidikan: (1972-1984) Pendidikan dasar dan menengah dilalui di Jakarta. (1984) Pernah kuliah di Univ. Jakarta Fak. Ketatanegaraan dan Ketataniagaan Persiapan
24
Tk.
(1991) Menyelesaikan S1 Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNY, dengan predikat Wisudawan terbaik. (1998) Menyelesaikan S2 di UNY, Jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Program Pascasarjana UNY termasuk tiga wisudawan terbaik. (1999-sekarang) menempuh program Doktor di Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Pengalaman Mengajar & Pelatihan: (1990) mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) PP Sunan Pandanaran Yogyakarta (1991-1992) mengajar di SMA Al-Chasanah Jakarta. (1992-sekarang) menjadi dosen di UII Yogyakarta. (1994-sekarang) aktif pada pelatihan AMT. (1995-1997) Dosen Akta IV di FIAI UII Yogyakarta (1999-sekarang) menjadi dosen di STIS Yogyakarta. (2001) Nara sumber pada pelatihan Supervisi Pendidikan bagi guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Departemen Agama dan Basic Education Project (BEP) untuk propinsi Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. (2002) Nara sumber pada pelatihan Supervisi Pendidikan bagi guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Departemen Agama dan Basic Education Project (BEP) untuk propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan (sejak 2002) menjadi dosen Pascasarjana MSI UII. Lain-lain: (1993) Ketua lab. UPPL Fak. Tarbiyah UII. (1994-1995) Kepala Pusat Pendidikan Agama di Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam (LPPAI) UII Yogyakarta. (1994-1995) pemimpin redaksi jurnal Al-Islamiyah UII tahun. (1996-sekarang) anggota Pusat Studi Wanita UII. (1997-sekarang) anggota redaksi jurnal ilmiah Unisia (1998-1999) kepala pusat penelitian pengembangan pendidikan Islam (P3I) FIAI. (1999) Pemimpin redaksi Jurnal Pendidikan Islam FIAI UII. (2000 – 2001) menjadi Pemimpin Umum Jurnal Pendidikan Islam FIAI UII Yogyakarta. (2000 dan 2001) Pengelola pelatihan Supervisi Pendidikan bagi guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Departemen Agama dan Basic Education Project (BEP). (2002-sekarang) sebagai Ketua Pengarah Jurnal Pendidikan Islam FIAI UII. Prestasi : Sejak tahun 1994 aktif menulis dan meneliti, tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media massa (a.l. Masa Kini, Yogya Post, Jawa Pos, Radar Yogyakarta, Surabaya Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Muqadimah, Jurnal Evaluasi UNY, Arkhe Jurnal Psikologi Univ. Tarumanegara, Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Univ. Tarumanegara, Jurnal Pendidikan Islam UII, Al-Mawarid UII, Unisia Jurnal Ilmiah dan kebudayaan) (1995) memenangkan sayembara penulisan artikel setengah abad UII (1996,1997,1998,1999) Mendapat penghargaan dari UII sebagai dosen paling produktif. (1997) Kontributor artikel pada buku Pendidikan Islam dan Peradaban Industrial, , Aditya Media, Yogyakarta. (2002) Penelitiannya tentang Kecerdasan Spiritual Mahasiswa Yogyakarta dibiayai DEPAG RI (in progress)
25
Penataran/Course: (1992) Pencangkokan Dosen di UNY; (1996) Penyunting Majalah Ilmiah, (1996) Workshop Curriculum-Based Assessment (1996) Item Response Theory. (1999) Workshop audit mutu ISO 9000, (1999) out bond training, (1999) parent effectiveness training dari Jaya Institut Jakarta. Penataran-penataran tentang metodologi penelitian (Meta analisis, content analysis, metode penelitian kualitatif, gender analysis). Organisasi Profesi : Pengurus HEPI (Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia)
26