Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
REVOLUSI KARAKTER BERBASIS EMOSIONAL QUETIONT PRESPEKTIF PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM Evita Yuliatul Wahidah STIT Muhammadiyah Bojonegoro
[email protected]
ABSTRAK Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karena arus globalisasi, modernisasi yang merambah dunia pendidikan mengantarkan pola pikir kearah hedonisme, dekadensi moral merosot, sehingga citra diri, karakteristik bangsa terwarnai dengan budaya barat. Oleh karena itu pentingnya revolusi karakter perlu ditegakkan dengan acuan emosional quetiont untuk mengarah pada tetap sasaran dengan menggunakan frame psikologi pendidikan Islam sebagai batasan. Keyword : Revolusi Karakter, Emoional Quetiont, Psikologi Pendidikan Islam A. PENDAHULUAN Semakin kompleks dan maraknya kekerasan di Indonesia membuat banyak kalangan merasakan keresahan yang mendalam. Berbagai konflik, bencana dan masalah lain melanda Republik tercinta. Paling menyedihkan tentunya konflik antar kelompok beragama dan kalangan muda. Budaya tawuran antar kampung, pelajar, mahasiswa dan suku masih terjadi. Kita pantas bertanya, mengapa Indonesia menghadapi krisis kronis dan mengalami erosi moralitas. Perilaku positif hilang termakan zaman digantikan produksi perilaku negatif yang cenderung destruktif. Harga manusia sangat rendah, penghilangan nyawa dianggap biasa dan budaya kecurigaan antar kelompok sangat tinggi.
1
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Merespon fenomena itu, kita layak bertafakur dan merumuskan kembali sendi kehidupan agama dan kesalehan kolektif yang memudar. Salah satunya mengembalikan kembali posisi ajaran Islam yaitu Al Qur‟an dan Hadits. Rasulullah secara proporsional, mengakar kuat dan mampu dirasakan sentuhannya dalam kehidupan masyarakat. Ada baiknya, kita juga kembali belajar membaca ulang bagaimana peri kehidupan teladan terbaik yaitu Rasulullah SAW. Dalam kacamata kaum muslimin, gejala merusak yang ada di masyarakat terjadi akibat hilangnya karakter dan kepribadian Islam. Kita kecanduan produk Barat yang hedonistik, serba bebas dan berkiblat pada kesenangan duniawi. Konsep permissif itu berdampak rusaknya tatanan kehidupan sosial, kacaunya moralitas dan mengendurnya nilai kebersamaan antar individu. Jelas, ini konsepsi yang bertentangan dengan nilai Islam yang mengatur tawazun (keseimbangan) kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW dalam membentuk generasi pilihan sangat mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu emosional, spritual dan intelektul. Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Namun dalam Pendidikan karakter ini hanya satu basis dari multi kecerdasan yaitu Emotional Quetiont. Karena sumber karakter dominan pada ranah emosi dalam gejala psikis manusia. Penyebab terjadinya dekadensi moral yang melunturkan karakter bangsa diantaranya : Pertama, Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika. Kedua, hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya. Ketiga munculnya antagonisme dalam pendidikan moral. Keempat, lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral. Krisis moral ini menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam masyarakat yang tentunya tidak membuat masyarakat bahagia. Maka solusi yang sangat tepat bagi masalah ini hanya satu yaitu : Kembali menempuh jalan Allah (SWT), kembali kepada jalan islam.
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
“Maka, barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 38) Dari paparan inilah penulis tertarik lebih jauh untuk mengupas tentang Revolusi Pendidikan Karakter Berbasis Emotional Quetiont Perpektif Psikologi Pendidikan Islam. B. PEMBAHASAN Revolusi karakter berangkat dari istilah karakter. Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa latin charakter, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti „to mark‟ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟. Seseorang baru bisa disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu
3
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang, definisi dari The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik. Pengertian Makna Pendidikan Karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Semoga anda sedikit mendapatkan gambaran tentang pengertian makna pendidikan karakter. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar
4
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Dengan
demikian,
Revolusi
pendidikan
karakter,
secara
implisit
mengandung arti membangun kembali sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ‟character strength‟ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari „character strength‟ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya. Sedangkan kecerdasan emosional atau EQ bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik
pribadi.
Penelitian-penelitian
sekarang
menemukan
bahwa
keterampilan sosial dan emosional ini mungkin bahkan lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Dengan kata lain memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan nonverbal. Pengendalian rasa marah, sedih, gembira, takut, membantu seseorang untuk berhasil dalam bidang tertentu. Hal ini yang dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya “emotional intelligence”, dan Peter Salovey dari Harvard University mencetuskan kecerdasan emosi serta memperluasnya menjadi lima wilayah utama kecerdasan emosi, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.
5
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Tidak setiap individu dapat mewujudkan kecerdasan emosi dalam perilakunya, karena tidak sedikit individu yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi namun mempunyai kecerdasan emosi yang rendah. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan kecerdasan emosi individu maka sangatlah diperlukan melalui latihan dan bimbingan sejak dini baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah. Goleman beranggapan bahwa kecerdasan emosional sama dengan karakter moral, juga dia beranggapan bahwa kemampuan untuk mengikuti aturan main, optimisme, kemampuan bersosialisasi merupakan bagian dari kecerdasan emosi, padahal yang namanya motivasi, ketekunan/ketabahan, kemampuan mengontrol hati, kemampuan menunda rasa gembira/bahagia dan kemampuan berharap belum digambarkan sebagai bagian dari EI, karena belum teruji dengan tes secara ilmiah. Hal-hal tersebut lebih banyak berhubungan dengan tingkah laku, bukan berhubungan dengan kemampuan mental. Dalam hubungannya dengan karakter yang ditilik dari kecerdasan, Islam menyiapkan beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta‟lîm‟, tarbiyah, ta‟dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta‟lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta‟dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient). Tarbiyah dan Ta‟dib memiliki ruang yang luas dalam kajian ini. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan
6
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah. Metode ta‟dîb digunakan untuk membangkitkan raksasa tidur, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta‟dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”. Pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) ini, mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Serta bagi mereka yang sudah dewasa tetap dituntut adanya pengembangan diri agar kualitas keperibadian meningkat serempak dengan meningkatnya tantangan hidup yang selalu berubah. Dalam hubungan ini dikenal apa yang disebut Pendidikan sepanjang hidup. Pembentukan pribadi mencakup pembentukan cipta, rasa, karsa (kognitif, afektif, psikomotor) yang sejalan dengan pengembangan fisik. Faktor-faktor pembentuk karakter manusia antara lain : Pertama, Faktor internal, meliputi; Instink biologis (seperti lapar, dorongan makan yang berlebihan dan berlangsung lama akan menimbulkan sifat rakus, maka sifat itu akan menjadi perilaku tetapnya, dan seterusnya), Kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, penghargaan, penerimaan, dan aktualisasi diri), Kebutuhan pemikiran (yaitu akumulasi informasi yang membentuk cara berfikir seseorang seperti mitos, agama, dan sebagainya. Faktor
Kedua,
Faktor eksternal, meliputi;
Lingkungan
keluarga,
Lingkungan sosial, Lingkungan pendidikan. Islam membagi akhlak menjadi dua yaitu : Pertama, fitriyah yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang yang dengannya ia diciptakan, baik
7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
sifat fisik maupun jiwa. Kedua, muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Proses pembelajaran dalam konsep Islam, karakter tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan, sebab sumber karakter perolehan ada dan bersifat tetap. Karenanya orang yang membawa sifat kasar bisa memperoleh sifat lembut, setelah melalui mekanisme latihan. Namun, sumber karakter itu hanya bisa bekerja efektif jika kesiapan dasar seseorang berpadu dengan kemauan kuat untuk berubah dan berkembang, dan latihan yang sistematis. Tahapan perkembangan perilaku, Pertama, Tahap I (0 - 10 tahun), Perilaku lahiriyah,
metode
pengembangannya
adalah
pengarahan,
pembiasaan,
keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan (hukuman), indoktrinasi. Kedua, Tahap II ( 11 - 15 tahun), Perilaku kesadaran, metode pengambangannya adalah penanaman nilai melalui dialog, pembimbingan, dan pelibatan. Ketiga, Tahap III ( 15 tahun ke atas), Kontrol internal atas perilaku, metode pengembangannya adalah perumusan visi dan misi hidup, dan penguatan tanggung jawab kepada Allah (SWT) swt. Ambivalensi Kejiwaan Manusia, Ambivalensi adalah dua garis jiwa yang berbeda bahkan berlawanan, namun saling berhadapan. Fungsinya : Merekatkan sisi-sisi kepribadian manusia tetap utuh, memperluas wilayah kepribadian manusia dengan tetap menjaga pusat keseimbangannya, menjaga dinamika perkembangan jiwa manusia. Seseorang akan memiliki tingkat kesehatan mental yang baik, jika garis jiwa yang ambivalen berjalan dan bergerak secara harmonis, seakan simfoni indah orkestra handal. Maka langkah yang harus ditempuh agar simfoni tersebut mengalun indah dan harmonis adalah: Pertama, Atur posisi dan komposisi garis jiwa itu secara benar, dan hilangkan semua kecenderungan jiwa yang salah, Kedua berikan atau tentukan arah kecenderungan jiwa secara benar dan natural.Ktiga, lihat ekspresinya dalam bentuk sikap dan perilaku kesehariannya. Garis jiwa yang ambivalen ada dalam diri manusia sejak ia lahir sampai ia mati, melekat, dan mewarnai semua sisi kehidupannya. Walaupun demikian, tetap ada perbedaan
8
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
mendasar tentang objek dan alasan yang melahirkan garis jiwa menjadi perilaku, pada tahapan usia yang berbeda pula. Revolusi Karakter, karakter terbentuk ulang setelah melalui proses : Pertama, Adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, mungkin agama, ideologi, dan sebagainya. Kedua, Nilai membentuk pola pikir seseorang yang secara keseluruhan ke luar dalam bentuk rumusan visinya.Ketiga, Visi turun ke wilayah hati dan membentuk suasana jiwa yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk mentalitas. Keempat, Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap. Kelima, Sikap yang dominan dalam diri seseorang secara kumulatif mencitrai dirinya adalah kepribadian. Tiga langkah melakukan revolusi karakter: Pertama, Terapi kognitif. Cara yang paling efektif untuk memperbaiki karakter dan mengembangkannya adalah dengan memperbaiki cara berfikir. Langkah awal Pengosongan, berarti mengosongkan benak kita dari berbagai bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama maupun akal yang lurus. Setelah pengosongan dengan Pengisian, berarti mengisi kembali benak kita dengan nilai-nilai baru dari sumber keagamaan kita, yang membentuk kesadaran baru, logika baru, arah baru, dan lensa baru dalam cara memandang berbagai masalah. Terakhir kontrol, berarti kita harus mengontrol pikiran-pikiran baru yang melintas dalam benak kita, sebelum berkembang menjadi gagasan yang utuh Doa, berarti bahwa kita mengharapkan unsur pencerahan Ilahi dalam cara berfikir kita. Kedua terapi mental, Warna perasaan kita adalah cermin bagi tindakan kita. Tindakan yang harmonis akan mengukir lahir dari warna perasaan yang kuat dan harmonis. Langkah yang ditempuh yakni Pengarahan, berarti perasaanperasaan kita harus diberi arah yang jelas, yaitu arah yang akan menentukan motifnya. Setiap perasaan haruslah mempunyai alasan lahir yang jelas. Itu hanya mungkin
jika
perasaan
dikaitkan
secara
kuat
dengan
pikiran
kita
Penguatan, berarti kita harus menemukan sejumlah sumber tertentu yang akan menguatkan perasaan itu dalam jiwa kita. Ini secara langsung terkait dengan unsur keyakinan, kemauan, dan tekad yang dalam yang memenuhi jiwa, sebelum kita
9
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
melakukan suatu tindakan. Kontrol, berarti kita harus memunculkan kekuatan tertentu dalam diri yang berfungsi mengendalikan semua warna perasaan diri kita. Doa, berarti kita mengharapkan adanya dorongan Ilahiyah yang berfungsi membantu semua proses pengarahan, penguatan, dan pengendalian bagi mental kita. Ketiga Perbaikan fisik, Sebagaimana ahli kesehatan mengatakan bahwa dasar-dasar kesehatan itu tercipta melalui perpaduan yang baik antara tiga unsur : Gizi makanan yang baik dan mencukupi kebutuhan, Olahraga yang teratur dalam kadar yang cukup, Istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan relaksasi tubuh. Hadist riwayat Imam Ahmad : Rasulullah berkata, “Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk di majelis terdekat denganku di hari kiamat?” Kemudian Rasul mengulanginya sampai tiga kali, dan sahabat menjawab “Iya, ya rasulullah !” Lalu rasul bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya.”
C. PENUTUP Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Revolusi
karakter mengandung arti
membangun kembali sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Dengan demikian bahwa : Pendidikan karakter dalam islam adalah fokus, bertahap dan konsisten terhadap pembinaan sejak dini. Revolusi karakter berbasis emosinal quetiont menawarkan dua metode, pertama tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; kedua ta‟dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional.
10
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
DAFTAR PUSTAKA Agustian & Ginanjar, A. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient. The ESQ Way 165, 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Aga. Badingah S. 1993. Agresivitas remaja kaitannya dengan pola asuh, tingkah laku agresif orang tua dan kegemaran menonton film keras. Depok [ID]: Universitas Indonesia. Dennis C. 1983. Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co. Goleman, D. 2002. Emotional lntelligence (Terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Latifah M. 2011. Peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak. http://indo2.islamicworld.net/index.php?option=com_content&view=article&id=34:peranankeluarga-dalam-pendidikan-karakter-anak&catid=9:psikologiislam&Itemid=16 (22 Mei 2012) Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press. Puspitawati H. 2012. Interaksi dan Pengasuhan Anak Responsif Gender. Dalam: Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press. hlm.343. Megawangi R. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Sibli. 2011. Pengaruh lingkungan keluarga terhadap anak. [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 1 Mei 2012]. Bogor [ID]: Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka. 34 hal. Dapat diunduh dari: http://kelompok24bgr.wordpress.com/ Syafiruddin M. 2011. Pengertian psikologi menurut para ahli. www Google. http://www.infogue.com/viewstory/2011/07/23/pengertian_psikologi_men urut_para_ahli/ (22 Mei 2012). Wibowo T. 2011. Peran pola asuh dalam mambentuk karakter anak. http://www.pendidikankarakter.com/peran-pola-asuh-dalam-membentukkarakter-anak/ (31 Mei 2012). Wibowo T. 2011. Membangun karakter sejak pendidikan anak usia dini. http://www.pendidikankarakter.com/membangun-karakter-sejakpendidikan-anak-usia-dini/ (31 Mei 2012).
11