Revitalisasi Masyarakat Madinah: Membangun Masyarakat Ideal Islam dalam Konteks Kekinian dan Kedisinian
Permasalahan yang terus melanda ilmu-ilmu sosial hingga saat ini adalah ketidakmampuan menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya tatanan ideal sebuah masyarakat. Civic Society, yang selama ini menjadi sebuah paradigma ideal mengenai masyarakat dalam diskursus para ahli di Barat, terus mengalami kebingungan dan distorsi konseptual ketika pemahaman itu harus diaplikasikan dalam aktifitas masyarakat riil. Walhasil, teori-teori yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu sosial pasca Renaisans ini terbatas pada wacana yang tidak pernah membumi. Namun, jauh empat belas abad yang lalu, telah berdiri sebuah masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar peradaban dengan berdirinya sebuah komunitas yang bernama Masyarakat Madinah (Umari, 1999: 69). Transformasi radikal dalam kehidupan individual dan sosial mampu merombak secara total nilai, simbol, dan struktur masyarakat yang telah berakar kuat dengan membentuk sebuah tatanan baru yang berlandaskan pada persamaan dan persaudaraan. Bentuk masyarakat Madinah inilah, yang kemudian ditransliterasikan menjadi „Masyarakat Madani‟, merupakan tipikal ideal mengenai kosepsi sebuah masyarakat Islam. Eksistensi masyarakat Madinah tidaklah serta merta terbentuk begitu saja, melainkan melalui sebuah proses panjang. Namun, lompatan besar yang berhasil dilakukan oleh masyarakat Madinah pada masa itu adalah sebuah proses panjang dari kemampuan mereka mengaplikasikan nilai dan simbol Islam secara bersamaan. Nilai Islam ini bersumber dari al-Qur‟an dan perintah Nabi sebagai penjelasan nilai-nilai tersebut. Nilainilai Islam sebagai dasar terbentuknya masyarakat merupakan buah sosialisasi nilai yang dilakukan Nabi dan sahabat selama tiga belas tahun di Makkah. Dengan demikian, saat proklamasi masyarakat Madinah, setiap individu tidak lagi mengalami kebingungan dengan apa dan bagaimana seharusnya mereka bertindak. Simbol Islam menjadi penting dalam proses pembangunan masyarakat Madinah yang membedakan sebuah masyarakat baru ini dengan masyarakat jahiliyah yang ada di sekitarnya. Simbol Islam merupakan bentuk aktualisasi nilai-nilai Islam ke dalam konteks lingkungan sosial pada masa tersebut. Karenanya, keberadaan simbol-simbol Islam menjadi lekat dengan kewajiban individu muslim menjalankan syi‟ar Islam. Sehingga, gaung Islam semakin menggema di dunia. Sementara itu, Piagam Madinah menjadi sebuah konsepsi fenomenal dan sangat penting yang mampu mengabadikan masyarakat di Madinah sebagai sebuah masyarakat ideal yang melegenda sepanjang masa. Pada masa itu, nilai, simbol, dan struktur sosial masyarakat merupakan sebuah warisan dari para leluhur yang tidak boleh diganggu-gugat. Namun, Nabi dan masyarakat Madinah melakukan sebuah terobosan sejarah dengan membuat sebuah kontrak sosial di dalam masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Dari Piagam Madinah inilah kemudian banyak pemikir di era Revolusi Perancis yang menandakan perubahan di masyarakat Eropa.
1
Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: “Muhammad memiliki kekuatan besar yang mampu menjaga persatuan dalam sistem politik masyarakatnya, dan selama pemerintahannya mampu melahirkan kekhalifahan yang dapat mewarisi kesukesesannya, pemerintah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, hal inilah yang membuat masyarakat muslim semakin berkembang.” (Azizi, 2000: 94). Piagam Madinah merupakan sebuah kontrak sosial yang pertama di dunia ketika setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembentukannya sebagai elemen penting dalam politik masyarakat. Kotrak sosial merupakan sebuah prasyarat mutlak dalam rangka pembentukan Masyarakat Madani. Keberadaannya merupakan sebuah proses inovatif yang memadukan antara nilai dasar Islam dengan kondisi situasional di setiap zaman. Mengambil istilah Marx, bahwa setiap periode memiliki mode of production yang berbeda-beda (Allan, 1951: 76). Hal serupa pun menjadi sebuah karakteristik umum pembentukan kontrak sosial dalam masyarakat Madani selanjutnya, yang mampu menyesuaikan dengan kondisi di mana nilai Islam dari teks suci al-Qur‟an dan sunnah diinterpreatasikan berdasarkan konteks kehidupan masayarakat pada masanya. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah ketidakmampuan kaum muslimin menjalankan nilai dan simbol Islam secara bersamaan yang saling berkaitan erat. Individu dan masyarakat muslim seakan tertarik pada dua kutub ekstrim antara nilai atau simbol keagamaan yang terbawa oleh peradaban di luar Islam. Pada satu sisi, nilai keagamaan, mendominasi masyarakat dengan cengraman yang sangat kuat. Akibatnya, setiap individu muslim dalam masyarakat mengkultuskan nilai-nilai Islam sebagai sesuatu yang sangat sakral. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat jauh dari realitas sosialnya yang berdampak pada terkucilnya Islam pada sudut-sudut masjid atau „goa-goa yang jauh dari peradaban‟. Mereka tidak mampu menciptakan sebuah produk nilai Islam yang terintegrasi dengan konteks sosial masyarakat. Karakteristik Masyarakat Madani Sayyid Quthb dalam Petunjuk Jalan (1992: 18-20), menyatakan bahwa dalam menciptakan masyarakat madani sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan adalah hanya bisa direalisasikan dengan mengambil langkah-langkah yang telah Rasulullah lakukan. Al-Qur‟an menjadi sumber dari mereka. Al-Qur‟an tidak sekedar menjadi bahan-bahan bacaan. Tapi, menjadikannya sebagai sumber nilai yang membatasi perilaku individu dan masyarakat, landasan peradaban. Hal itu dilakukan bukan karena ketiadaan model peradaban lain yang bisa ditiru. Sebaliknya, pada masa itu, telah berkembang peradaban lain yang secara materi jauh lebih maju. Di sini, seakan-akan Rasulullah ingin memberikan titik tekan bahwa peradaban Islam dalam masyarakat madani, semestinya memiliki karakteristik unik. Sebuah karakteristik yang membedakannya dengan peradaban lain, dan karakteristik itu adalah karakteristik masyarakat Qur‟ani. Yakni, masyarakat yang menanamkan nilai-nilai ajaran al-Qur‟an di dalam jiwanya, dan menegakkan konsep-konsep al-Qur‟an tersebut di dalam kehidupan masyarakatnya. Hingga, dalam sejarah, tercatat bahwa masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang sama sekali baru dan sangat berbeda dengan tradisi kejahiliyahan yang
2
berkembang dalam lingkungannya. Hal ini dikarenakan, masyarakat tersebut mendasarkan dirinya pada ajaran al-Qur‟an, bukan sekedar mensintesis konsep peradaban jahiliyah yang ada. Walaupun, terlihat sangat berupaya menjaga nilai-nilai dasarnya (al-Qur‟an) dengan sangat steril dari intervensi nilai kebudayaan jahiliyah yang ada di sekitarnya, masyarakat Madinah tersebut sama sekali tidak menolak teknik pembangunan peradaban yang sudah ada di masa tersebut. Di sini, dalam masyarakat Islam, ada ranah yang disebut ushul, yakni konsep tauhid yang tidak bisa ditawar berikut tata cara ibadahnya. Dan, ada ranah yang disebut furu’, yakni ruang di mana semua bentuk ijtihad diperkenankan, dan ini biasanya terkait dengan bidang-bidang mu’amalat. Sterilisasi masyarakat yang dilakukan Rasulullah pada saat membangun masyarakat Madinah ditekankan pada konsep tauhid dan tata cara ibadah. Di sini, tidak ada ruang untuk mencipta definisi-definisi tentang tauhid dan konsep ibadah. Karena, semua itu telah dijabarkan secara jelas dalam al-Qur‟an dan sunnah Nabi. Ruang inilah yang membedakan komunitas keimanan dengan golongan kejahiliyahan. Bagi masyarakat Islam, ikatan aqidah inilah yang menjadi ikatan mereka dalam membentuk masyarakat yang Islami. Tauhid yang satu, dan konsep ibadah yang seragam. Tidak ada kreasi dalam hal ini. Keseragaman inilah yang menjadi atribut masyarakat Islam itu. Sementara, dalam Masyarakat Madinah, Rasulullah sebagai pemimpin masyarakat memberi ruang bagi publik untuk menciptakan beraneka ijtihad dalam berbagai bentuk mu‟amalah. Islam sebagai fondasi dasar masyarakat, tidak memberikan batasan yang rigid dalam hal ini. Tapi, membuka peluang kreasi seluas mungkin, namun semuanya itu masih dalam koridor-koridor syari‟at. Jika dalam ruang aqidah yang berlaku adalah ayat kauliyah. Maka, dalam ranah mu‟amalah ini berlaku ayat-ayat kauniyah, sunnatullah yang berlaku di alam semesta. Di sini, setiap elemen masyarakat Islam, dituntut untuk berfikir agar dapat memberdayakan potensi yang ada di lingkungannya untuk kemaslahatan manusia, menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Deskripsi inilah yang kemudian menjadi catatan historis masyarakat Islam pasca Rasulullah. Secara aqidah, masyarakat Islam memiliki konsep yang tunggal dalam masalah tauhid dan ibadah. Tapi, dalam hal mu‟amalah, terkait pembangunan peradaban dan segala bentuk format kebudayaan masyarakat Islam di berbagai belahan dunia, maka hal tersebut akan tampak bervariasi. Karena, kesatuan ummat Islam itu terletak pada ikatan aqidahnya, bukan pada penyamarataan kebudayaan seperti yang banyak disalahtafsirkan dalam memahami konsep Islam dalam masyarakat. Bisa jadi, produk peradaban dan kebudayaan dari setiap masyarakat Islam akan berbeda-beda. Bentuk masyarakat Islam di Arab akan berbeda dengan masyarakat Islam di Persia, India, Mediterania, Indonesia, Eropa, dan berbagai posisi geografis dunia lainnya. Hal tersebut karena Islam membenarkan adanya ijtihad dalam pembangunan mu‟amalah. Namun, secara aqidah, tidak ada tawar-menawar, aqidah masyarakat Islam di mana pun mereka berada adalah sama, laa ‘ila ha illallah. Bahkan, Taufik Abdullah dalam Islam dan Masyarakat (1987: 6-19), yang merupakan studi refleksi historis tentang masyarakat Islam di Indonesia, menarik kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Indonesia sendiri memiliki keragaman dalam produk budayanya. Memang benar Islam memiliki dasar nilai yang satu, tapi
3
dalam penerapannya dalam lingkungan sosial, maka hal itu akan memiliki keragaman dalam format-format yang terkait dengan mu‟amalah, satu panji beragam arti. Secara pokok, masyarakat Islam tersebut memiliki payung akidah yang satu, aqidah Islamiyah. Namun, dalam konteks kemasyarakatan terkait pembangunan budaya dan peradaban masyarakat, maka akan ditemui keragaman model masyarakat sebagai bentuk ijtihad kebudayaan masyarakat tersebut. Dengan dua kerangka tersebut, Tohir Luth (2002: 45-51) melihat bahwa masyarakat Islam merupakan masyarakat yang berkeadaban. Pertama, secara konsep dasar aqidah, masyarakat ini tidak mencampurbaurkan keyakinan dan nilai dasarnya, sehingga sampai kapan pun dan di mana pun, masyarakat Islam akan tetap utuh tanpa tergerus oleh batasan ruang dan jangkauan waktu. Masyarakat Islam menjadi masyarakat yang memiliki integritas nilai, yang tidak lacur mengikuti arus zaman. Kedua, masyarakat Islam merupakan masyarakat yang demokratis dengan musyawarah-nya dan inklusif dengan ruang ijtihad yang dimilikinya. Dalam ranah percabangan (furu’), Islam memungkinkan masyarakatnya untuk mengkreasikan bentuk kebudayaan. Namun, tentunya, hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketika, masyarakat Islam menghadapi perbedaan dengan konsep masyarakat yang lain, ada dua solusi. Ketika hal tersebut terkait masalah ushul, maka masyarakat Islam menegaskan dirinya dengan ajaran Islam dan membiarkan komunitas lain dengan ajarannya. Namun, ketika yang dihadapi adalah masalah furu’, maka dibenarkan melakukan mu‟amalah dan terbuka semua bentuk ijtihad, tentunya dalam koridor syari‟at. Masyarakat Islam bukanlah masyarakat sosialis yang mengintervensi keberadaan individu untuk ter-kohesikan dalam keseragaman masyarakat yang satu. Masyarakat Islam merupakan kesatuan organis yang tersusun dari elemen-elemen pembentuknya. Di mana, setiap elemen tersebut memiliki dasar nilai Islam sebagai faktor determinan yang menjadi landasan tindakan mereka. Elemen terkecil dalam masyarakat Islam adalah individu. Dalam perspektif interaksi simbolik, individu memiliki peranan penting yang sangat menentukan pola relasi dan struktur dalam masyarakat (Ritzer, 2003: 289). Karenanya, Islam sangat menghargai eksistensi individu dan memberikan mereka kebebasan untuk berekspresi. Namun, dalam hal ini, untuk menciptakan masyarakat Islam, maka individu tersebut haruslah dibina dengan ajaran Islam (Natsir, 2008: 221-222). Elemen berikutnya dalam pembentukan masyarakat Islam adalah keluarga yang Islami. Di sini, keluarga menjadi pilar kelompok terkecil dalam masyarakat Islam. Secara rasional, tidak ada satu pun organisasi dalam masyarakat yang lebih kecil dari entitas keluarga. Dan, Islam sangat memperhatikan hal ini. Bahwa, basis sosialisasi individu sebenarnya telah dimulai dari keluarga. Karenanya, penting dalam masyarakat Islam untuk memastikan bahwa keluarga yang terbentuk memiliki basis nilai yang Islami. Sebagaimana dalam gambaran masyarakat Islam, bahwa aktor-aktor yang berada di dalamnya memiliki perspektif Islam yang baik. Hal itu hanya dapat terbentuk dari keluarga di mana aktifitas kesehariannya terjaga. Dengan keberadaan keluarga yang sangat penting dalam masyarakat Islam, maka Islam membangun konsep keluarga secara khusus dan dalam hal ini terkait dengan peran yang dimiliki oleh perempuan dalam masyarakat Islam. Dalam Islam, tidak ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama, karena yang membedakannya hanyalah ketakwaan manusia. Namun, Islam memberikan panduan yang jelas
4
tentang perempuan ini. Pada dasarnya, Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dan menjadikannya partner dalam hak dan kewajiban (al-Banna, 2006: 41). Diakui bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal fisik. Karenanya, Islam bertentangan dengan konsep (feminisme) marxis yang sangat ingin menyamaratakan laki-laki dan perempuan. Islam mengkhususkan perempuan sebagai agen utama pembentukan individu-individu yang kelak akan membangun masyarakat Islam. Peran perempuan tersebut terletak dalam institusi keluarga, di mana perempuan memiliki tanggung jawab bersama laki-laki untuk mendidik anak-anak mereka menjadi individu yang Islami. Di sini, distribusi tanggung jawab menjadi tak terelakkan, sehingga peran perempuan terkadang relatif besar mengingat kapasitas fisik yang dimiliki. Namun, Islam tidak melarang perempuan untuk berkreasi di luar itu semua, tentunya selama dalam batasan koridor syari‟at. Dalam institusi keluarga, laki-laki akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat atas keluarga yang mereka pimpin. Karenanya, dalam Islam, seorang perempuan yang taat kepada Allah, Rasul, dan pemimpin keluarganya, jauh lebih terhormat dari posisi apapun. Revitalisasi Masyarakat Islam Namun, kondisi masyarakat Islam saat ini sungguh sangat jauh dari gambaran ideal tersebut. Karenanya, diperlukan upaya-upaya perbaikan untuk merevitalisasi eksistensi masyarakat Islam dalam konteks kekinian dan kedisinian, melanjutkan rantai sejarah kejayaan ummat Islam yang telah perputus. Hasan AlBanna menyatakan bahwa setidaknya terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk merevitalisasi masyarakat Islam ini (Hussain, 2005: 360-365), yakni secara berturut-turut diperlukan proses pembinaan bagi individu, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia. Pertama, penting bagi setiap individu muslim untuk menyadari arti penting mereka dalam masyarakat Islam. Tanpa individu yang terintegrasi dengan nilai Islam, maka masyarakat Islam hanya sekedar mimpimimpi teoritik yang jauh dari realita. Karenanya, membangun masyarakat Islam adalah terlebih dahulu dengan menghadirkan individu-individu muslim yang meneguhkan Islam dalam dirinya, baik paradigma, lisan, dan tindakan. Kedua, setelah individu-individu tersebut terbentuk, penting bagi meneruskan semangat generasi individu muslim tersebut dengan menyiapkan perangkat sosialisasi berikutnya, yakni keluarga. Dalam Islam, pembentukan keluarga melalui pernikahan bukan sekedar memberikan pemenuhan akan kebutuhan biologis dan psikologis semata. Tapi, keluarga memiliki peran sosiologis, sebagai pusat sosialisasi nilai dasar sebelum individu-individu beraktifitas dalam masyarakat. Karenanya, keluarga haruslah dibentuk dan di-dinamika-kan sesuai dengan konsep Islam, karena keluarga itu merupakan pilar masyarakat Islam. Ketiga, masyarakat Islam. Di sini, keberadaan keluarga dengan sibghah Islam, tidaklah cukup. Upaya membentuk karakter individu yang Islami membutuhkan medium masyarakat yang Islami pula. Karenanya, ketika upaya merekonstruksi keluarga dengan nilai Islam, maka upaya tersebut juga diiringi dengan memperbaiki masyarakat, memberikan nuansa nilai Islam. Ketika masyarakat ini terwarnai dan dipenuhi
5
oleh keluarga-keluarga dengan basis nilai Islam, maka pembentukan individu dengan nilai Islam akan semakin kondusif. Keempat¸ masyarakat tanpa negara merupakan sebuah institusi yang sangat lemah. Karenanya, Islam tidak sekedar mengajarkan pembangunan sosial horizontal. Tapi, Nabi mencontohkan bagaimana membentuk masyarakat dan mendirikan negara. Nabi menegakkan Islam sebagai perintah Allah, dengan membentuk masyarakat dan bergandengan dengan didirikannya kota dan negara (Natsir, 2008: 99-100). Transformasi vertikal itu mutlak dilakukan. Karena, masyarakat Islami namun negara yang tirani (anti-Islam), akan mudah menghancurkan tatanan sosial yang telah susah payah dibentuk di dalam masyarakat tersebut. Kelima, dalam konteks saat ini, dunia merupakan sebuah kesatuan yang universal. Akan sangat sulit menutup diri dari keberadaan dinamika global yang terjadi. Karenanya, ketika transformasi vertikal yang memperbaiki negara dengan konsep Islam, tentunya akan sangat berpengaruh dengan tata kehidupan dunia internasional. Bisa jadi akan muncul resistensi karena tradisi masyarakat dunia saat ini cenderung sudah terbentuk, dengan Barat sebagai kiblatnya. Sementara, Islam menyatakan bahwa kiblat peradaban hanya didasarkan pada konsep tauhid, bukan kepada sesama manusia. Maka, upaya memperbaiki negara sebagai bagian dari membangun masyarakat Islam, perlu ditindaklanjuti dengan upaya merekonstruksi tatanan global dunia. Dan langkah tersebut, tidak akan pernah berhenti.
Daftar Pustaka Abdullah, Taufik (1987) Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Al-Banna, Hasan (2006) Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Jilid 1 dan 2. Solo: Era Intermedia. Allan, Kenneth (1951) Exploration in Classical Sociological Theor. London: Sage Publication Ltd. Azizi, A Qodri Abdillah (2000) Masyarakat Madani antara Cita dan Fakta:. Dalam Ismail SM, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Natsir, Mohammad (2008) Capita Selecta Muhammad Natsir, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Abadi. Hussain, bin Muhammad (2005) Menuju Jama’atul Muslimin. Jakarta: Rabbani Press. Ritzer, George (2003) Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Quthb, Sayyid (2001) Petunjuk Jalan. Depok: Gema Insani Press. Ibnu Khaldun (2000) Muqaddimah. Cetakan Keempat. Jakarta: Pustaka Firdaus. Umari, Akram Dhiyauddin (1999) Masyarakat Madani. Jakarta: Gema Insani Press.
6