Foto : info publik.depkominfo.go.id
Edisi 1/ April/ 2011
Memastikan Kecukupan Energi Berkelanjutan Bagi Rakyat Dimensi Kerakyatan dalam Subsidi BBM Menghitung Penerimaan Pemerintah dari Penjualan BBM
Revitalisasi Bahan Bakar Nabati (BBN) Sebagai Upaya Mengatasi Ketergantungan Akan BBM Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid Surya-Angin-Diesel Subsidi BBM dan Hak Warga Negara dalam Pembangunan
Diterbitkan Oleh :
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 2011 Tim Redaksi Pengarah : Penanggungjawab :
Pemimpin Umum
:
Tifatul Sembiring (Menteri Kominfo) Basuki Yusuf Iskandar (Sekretaris Jenderal) Ahmad Mabruri Mei Akbari (Staf Khusus Menkominfo) Freddy H Tulung, (Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik) Suprawoto (Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya) Sadjan (Direktur Pengelolaan Media Publik)
Pemimpin Redaksi : Anggota Dewan Redaksi : Ismail Cawidu (Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik) Bambang Wiswalujo (Direktur Pengolah dan Penyediaan Informasi)
Redaktur Pelaksana : Penyunting/ Editor : Design Grafis : Sekretaris Redaksi : Sekretariat :
Supomo (Direktur Komunikasi Publik) Erlangga Masdiana (Direktur Layanan Informasi Internasional) James Pardede (Direktur Kemitraan Komunikasi) Mardianto Soemaryo 1. Hypolitus Layanan 2. Endang Kartiwak 3. Taufik Hidayat Danang Firmansyah M. Taofik Rauf 1. M. Azhar Iskandar Zainal 2. Jatmadi 3. Sarnubi 4. Inu Sudiati 5. Elpira Inda Sari N.K 6. Lamini 7. Nur Arief Hidayat
Edisi 1 / April / 2011
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Daftar Isi
Daftar Isi
i
Salam Redaksi
ii
Memastikan Kecukupan Energi Berkelanjutan Bagi Rakyat Dimensi Kerakyatan Dalam Subsidi BBM
1
Kepemilikan Faktor Produksi Produksi dan Alokasi Konsumsi Solusi Sistemik Ekonomi Kerakyatan Pertama, solusi kepemilikan dan kontrol migas Kedua, solusi produksi dan alokasi migas Ketiga, solusi konsumsi migas Daftar Pustaka
7 9 12 14 16 17 18 18 19
Menghitung Penerimaan Pemerintah dari Penjualan BBM
21
Revitalisasi Bahan Bakar Nabati (BBN) Sebagai Upaya Mengatasi Ketergantungan Akan BBM
25
Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH) surya-angin-diesel
35
Subsidi BBM dan Hak Warga Negara dalam Pembangunan
43
Laporan Studi Lapangan
57
Apa dan Mengapa Bahan Bakar Nabati (BBN) Payung Hukum dan Kebijakan Ketersediaan Bahan Baku Biofuel dan Proyeksi Nasional Revitalisasi dan Rekomendasi Indikator Keberhasilan Revitalisasi BBN Penutup Referensi Kondisi beban rendah Kondisi beban menengah Kondisi beban puncak
Krisis ekonomi dan ketidakstabilan Subsidi BBM dan stabilisasi Ethico-politico demokrasi dalam subsidi BBM Hakekat Kebijakan BBM Bersubsidi Papua: Pertimbangan Kewilayahan Bontang: Subsidi Risiko Makasar: Antara Pesimisme dan Optimisme Surabaya: Perlu Pengawasan
26 28 28 29 33 33 34 39 39 40 47 51 53 61 62 65 67 70
i
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
Salam Redaksi Terbitan Jurnal kita kali ini mengangkat masalah Subsidi BBM. Mengapa masalah ini penting kita angkat dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik kita kali ini? Pembaca mungkin bertanya-tanya bukankah ini masalah lama dan mengapa harus kita angkat lagi? Apa urgensi masalah ini dengan permasalahan pembangunan dan masalah-masalah sosial-ekonomi yang kita hadapi sekarang? Sebagaimana dipaparkan dalam terbitan kali ini, memang subsidi BBM merupakan masalah lama, sejak lama kita hadapi. Apakah subsidi BBM oleh negara memang harus dilepas, atau sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, seperti banyak disarankan kalangan mendukung liberalisasi, ataukah memang sebaiknya negara tetap harus campur tangan mengintervensi pasar dengan memberikan subsidi BBM kepada masyarakat, sebagaimana disampaikan banyak kalangan yang mendukung peran negara kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi. Disinilah letak mengapa kemudian ketika pemerintah sekarang menjajagi kemungkinan mencabut subsidi BBM muncul kontroversi
ii
di masyarakat. Tekanan-tekanan efisiensi terhadap RAPBN menjadi alasan utama. Demikian juga asumsi bahwa kemungkinan sebagian golongan masyarakat tidak begitu memerlukan subsidi BBM karena itu kalau subsidi BBM dicabut dan harganya naik mereka masih mampu mengkonsumsi dengan kekuatan sendiri. Asumsi ini mendorong pemerintah menjajaki kemungkinan mencabut subsidi BBM, dan melihat kelompok mana atau siapa saja yang lebih siap dan kelompok mana belum siap, sehingga bisa dirumuskan kebijakan politik redistribusi yang tepat seputar masalah sosial-ekonomi pembangunan ini. Disinilah pula alasan utama mengapa Jurnal kita kembali mengangkat masalah ini. Kita berpendapat masalah politik redistribusi kesejahteraan sosialekonomi ini merupakan salah satu masalah krusial yang kita hadapi dalam kebijakan publik sekarang. Dengan mengangkat masalah ini kita berharap menemukan format kebijakan publik redistribusi yang tepat dalam berbagai dimensi masalah yang kita hadapi. Kita disini menjadikan subsidi BBM sebagai fokus bahasan, selain untuk
Edisi 1 / April / 2011
menemukan alternatif menjawab kepentingan banyak pihak, juga penting mengelaborasi kapasitas sumberdaya energi kita dalam menopang keberlanjutan sosialekonomi. Memaparkan topik-topik analisis disini dengan membagi menjadi dua tema pokok. Pertama, paparan analisis berkaitan dengan masalah sumberdaya energi alternatif dan daya dukungnya terhadap keberlanjutan pembangunan; kedua, paparan analisis masalah sumberdaya energi dalam kaitannya dengan kebijakan subsidi BBM. Dalam kaitan dengan topik pertama, Prof. Karna Wijaya dalam tulisannya ‘Revitalisasi Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai Alternatif Bahan Bakar Minyak (BBM)’ secara khusus menekankan pentingnya energi alternatif dari Bahan Bakar Nabati (BBN) karena BBM semakin terbatas kapasitas produksinya. Sejak sepuluh tahun terakhir kapasitas produksi BBM semakin menurun karena tingginya biaya eksplorasi. Karena ini, diperlukan pengembangan teknologi dan eksplorasi sumber energi BBN sebagai alternatif. Selain secara ekonomi
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
tidak mahal dan menguntungkan, juga tidak menimbulkan populasi karena minimnya emisi dibuang dan dalam jangka panjang meningkatkan ketahanan energi. Kholid Ahmad dan Andhika Parstawa, dalam tulisannya ‘PLTH sebagai Solusi Memenuhi Energi Listrik di Daerah Terpencil’ mengetengahkan beberapa alternatif pengembangan energi listrik menggunakan sumberdaya energi terbaharukan. Hal itu diperlukan untuk daerah terpencil yang masih banyak kesulitas akses pada sumberdaya listrik. Dengan pengembangan alternatif ini, maka permasalahan beban listrik melayani kebutuhan begitu besar bisa dikurangi sehingga lisrik tidak sering mati seperti terjadi selama ini. PLTH merupakan solusi alternatif penting untuk mengatasi krisis energi listrik masih sering terjadi selama ini. Alternatif ini sekaligus penting mengurangi ketergantungan pada energi minyak yang sumbernya kian terbatas sekarang ini. Masih dalam kaitan pengembangan energi alternatif, Andi Rahmah dalam paparan ‘Memastikan Kecukupan Energi Berkelanjutan’ membahas
iii
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
kemungkinan pengembangan energi biofuel dengan mengambil potensi tanaman jarak sebagai energi alternatif. Andi Rahmah menekankan, selain mengubah lahan kritis menjadi produktif juga sumberdaya energi alternatif ini juga sekaligus menopang kecukupan energi. Hal penting diperlukan untuk kebijakan ini adalah dukungan kebijakan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan sekaligus pengembangan teknologi diperlukan yang langsung bisa digunakan mengolah energi ini tanpa modifikasi atau suplemen mesin lain yang akan menyedot biaya tinggi. Dari masalah ketersediaan energi, kita kemudian membahas subsidi BBM dalam berbagai dimensinya. Dalam paparan ‘Menghitung Penerimaan Pemerintah dari Penjualan BBM’, Baso Siswadarma membahas secara khusus dari sudut ekonomi. Ditekankan, sesungguhnya subsidi BBM bukanlah dalam arti harafiah pemerintah memberikan dana untuk membeli BBM. Tetapi, merupakan kebijakan redistribusi, yaitu penggunaan selisih penerimaan penjualan minyak luar dan dalam negeri untuk kesejahteraan rakyat. Dari sudut ini, kuncinya adalah kapasitas dalam negeri; semakin mampu mengelola sumber minyak secara mandiri, termasuk mengurangi kontrak dengan asing, maka sumberdaya minyak bisa semakin kita nikmati dalam meningkatkan pendapatan dan subsidi BBM tidak
iv
Edisi 1 / April / 2011
kita perlukan lagi karena harganya terjangkau. Masalah subsidi BBM bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga sosial-ekonomi kesejahteraan dan politik hak-hak warga negara dalam pembangunan. Awan Santosa, dalam paparan ‘Dimensi Kerakyatan dalam Subsidi BBM’ menekankan masalah subsidi BBM berkisar tiga hal, yaitu tekanan ekonomi RAPBN, peningkatan konsumsi karena subsidi, dan masalah keadilan distribusi. Selama ketiga masalah itu belum tersentuh, sulit penyelesaian nasional kita dapatkan. Permasalahan ini harus dikembalikan pada bangunan ekonomi Indonesia, sebagai mana disepakati, sumberdaya penting dikuasai negera dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau negara kesejahteraan. Dimensi kerakyatan dalam hal ini penting ditekankan dalam pengelolaan sumberdaya energi oleh negara terkandung dalam bumi Indonesia. Lebih menekankan pentingnya dimensi politik pembangunan dalam subsidi BBM, Lambang Trijono dalam paparan ‘Subsidi BBM dan Hak Warga Negara dalam Pembangunan’ mengemukakan pentingnya etika-politik demokrasi, ‘kebebasan dan kesetaraan’ dalam kebijakan pembangunan, termasuk dalam kebijakan subsidi BBM. Hal itu perlu ditempatkan dalam dimensi politik hak-hak warga negara dalam
Edisi 1 / April / 2011
pembangunan, sehingga kebijakan yang diambil memperoleh legitimasi dan dukungan kuat dari masyarakat. Selain dimensi sosial-ekonomi dan kesejahteraan, dimensi politik dan stabilitas dan keamanan menjadi bagian penting dari kebijakan dan peran negara dalam kaitan dengan subsidi BBM dan subsidi-subsidi lain menyentuh masalah kesejahteraan. Dari berbagai paparan di atas, kita menemukan masalah kemandirian energi nasional menjadi sangat krusial, Sebagaimana disinggung, masalah subsidi BBM ini masalah lama yang selalu menekan dan karena itu memerlukan solusi dari kebijakan dan politik redistribusi. Dari sudut pandang ini, satu kunci terpenting adalah kapasitas
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
ketersediaan BBM dalam negeri. Semakin mampu mengelola sumber minyak dan energi lain secara mandiri, maka sumberdaya minyak dan energi akan semakin kita nikmati dari meningkatnya pendapatan yang bersumber dari minyak dan energi. Dengan demikian subsidi BBM tidak kita perlukan lagi karena keberhasilan dari kemandirian dan peningkatan ekonomi dari pengelolaan produksi minyak dan energi dalam negeri. Perbaikan politik redistribusi dan kapasitas menuju ke sana harus kita tingkatkan dan kemudian rakyat akan merasakan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan secara keseluruhan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya minyak dan energi lainnya di dalam negeri.***
v
I
Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Memastikan Kecukupan Energi Berkelanjutan Bagi Rakyat Oleh : Andi Rahmah
1
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Ketergantungan manusia terhadap ketersediaan energi dewasa ini membuat kita memahami bahwa tanpa energi, standar hidup manusia tidak dapat ditingkatkan lagi. Sedemikian vitalnya ketersediaan energi bagi pertumbuhan ekonomi di suatu negara, menyebabkan hampir semua negara berlomba-lomba untuk menguasai sumber energi yang disediakan alam dalam bentuk energi fosil.
Edisi 1 / April / 2011
N
amun, seiring pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, menyebabkan eksploitasi sumber energi fosil yang dilakukan selama ratusan tahun ini telah memberikan lampu kuning. Indonesia yang semula merupakan anggota negara pengekspor minyak bumi, diprediksi akan menjadi negara pengimpor energi pada tahun 2030. Pada saat itu, negeri ini akan mengalami defisit hingga 650 juta barel setara dengan minyak yang harus ditutupi dengan impor. Jika asumsi selama ini laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang dari ketersediaan energi, maka kemungkinan mimpi buruk terpuruknya perekonomian negeri kita akan menjadi kenyataan bila kita tidak melakukan langkah dramatis dalam penyediaan sumber energi alternatif. Terbitnya perpres no. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional merupakan bentuk kbijakan pemerintah terhadap langkah antisipatif yang harus
2
Edisi 1 / April / 2011
dilakukan pemerintah untuk memastikan kecukupan pasokan energi nasional untuk menopang tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Ironisnya, tanpa disertai dengan program yang jelas, demam biofuel yang bersumber dari tanaman jarak yang pernah terjadi pada tahun 2006 ternyata menyisakan trauma mendalam bagi kelompok masyarakat petani penggarap lahan kritis yang disulap menjadi kebun jarak. Pada waktu itu ribuan hektar tanaman jarak pagar ini terbengkalai dan sebagian diganti dengan tanaman lain yang di mata petani lebih produktif dan menguntungkan secara ekonomi. Apakah masa depan sumber energi bilogi ini memang benar-benar suram? Jawabannya tentu saja tidak. Terlebih saat ini Amerika telah mengumumkan bahwa mereka telah menemukan teknologi yang dapat membuat biofuel dapat langsung digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak, tanpa memerlukan modifikasi pada mesin yang menggunakannya. Kabar ini sudah selayaknya disikapi serius oleh pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah kebijakan yang mendukung program kemandirian energi berkelanjutan ini. Penulis memilih jarak pagar sebagai sumber energi alternatif terbarukan.
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Beberapa alasan pemilihannya adalah karakteristik tanaman jarak pagar yang dapat tumbuh di semua jenis tanah, termasuk tanah gambut. Perawatan tanaman jarak yang nyaris tidak ada, selain pembersihan tanaman pengganggu yang dilakukan dua mingguan. Keunggulan lain dari tanaman jarak pagar ini adalah seluruh hasil buahnya dapat dimanfaatkan dan tidak menyisakan sampah sama sekali. Kenyataan bahwa negeri ini memiliki lahan kritis hampir 1 juta hektar yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, sebenarnya merupakan peluang yang sangat baik bagi pengembangan bio energi berbasis tanaman jarak pagar ini. Tentu saja upaya menggalakkan kembali kebun energi ini harus disertai dengan perencanaan yang matang. Sehingga, masyarakat dan daerah di mana perkebunan ini berada merupakan pihak yang mendapat keuntungan paling besar. Strategi perkebunan jarak dengan sistem plasma, merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap ketersediaan energi. Dengan perkiraan jumlah produksi buah jarak yang dihasilkan setiap hektarenya sebesar 5-7 ton, maka minyak jarak yang dihasilkan akan berkisar pada angka 1-1,4 ton/.ha. Anggap saja asumsi tingkat produksi
3
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
Gambar 1. Distribusi Luas Lahan Kritis di Provinsi di Indonesia (dalam juta hektar) Sumber: BPPN 2004
minyak jarak per hektarnya adalah 1 ton, artinya setiap hektar lahan kritis yang tadinya tidak bernilai ekonomi, dalam waktu satu tahun dapat berubah menjadi lahan produktif yang menghasilkan setara 1 ton biofuel bernilai 3 juta rupiah/ ha setiap tahunnya. Sedangkan sisa proses produksi minyak jarak, berupa ampas buah jarak sebesar 4 ton/ha, dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak sebagai energi lebih tinggi daripada kayu bakar yang bernilai 3 juta rupiah / ha. Maka, dengan memperhatikan distribusi penyebaran luasan lahan kritis di setiap provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada gambar.1, program kemandirian energi melalui perkebunan jarak ini dapat mengurangi disparitas ketersediaan
4
bahan bakar seperti yang terjadi selama ini. Berdasarkan distribusi lahan kritis yang disajikan pada gambar 1. di atas, beberapa provinsi berpeluang menjadi sentra produksi bio fuel berbasis tanaman jarak ini adalah Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, NTT dan Papua. Potensi nilai ekonomi dari produksi kebun energi ini membuktikan peran strategis upaya kemandirian energi yang memiliki manfaat berganda, kepastian pertumbuhan ekonomi yang mensejahterakan masyarakat lokal dan perbaikan kualitas lingkungan. Jika
pemerintah
bersungguh-
Edisi 1 / April / 2011
sungguh memanfaatkan 80% lahan kritis ini menjadi kebun energi berbasis jarak, maka pada tahun pertama paling tidak kita akan mendapatkan suplai biofuel setara 5 juta barrel minyak atau 1% dari target lifting minyak bumi Indonesia di tahun 2010. Uniknya, produksi kebun energi ini meningkat hingga
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
3 kalinya pada tahun ke-3 dan dapat terus berproduksi dengan baik selama 30 tahun. Begitu besarnya peluang yang ditawarkan energi alternatif dari sumber jarak pagar ini, lalu apalagi yang membuat pemerintah ragu melakukannya?
5
II Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Dimensi Kerakyatan Dalam Subsidi BBM
Oleh : Awan Santosa*
* Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Staf Pengajar di Universitas Mercu Buana Yogyakarta
7
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai permasalahan keuangan dan energi Indonesia. Pada tahun ini subsidi BBM yang sebesar Rp. 95,9 triliun dinilai sudah sangat membebani anggaran negara. Beban makin membesar ketika sampai bulan Maret 2011 harga minyak mentah dunia melonjak menjadi lebih dari US $ 100/barel. Seperti diketahui sejak tahun 2008 Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebanyak 247 ribu bph dan BBM sebesar 424 ribu bph. Impor BBM tersebut saat ini sudah meliputi 30% dari kebutuhan BBM dalam negeri.
8
Edisi 1 / April / 2011
K
enaikan penerimaan karena Indonesia juga mengekspor minyak mentah sebesar 399 ribu bph dikalkulasikan tetap lebih kecil dibanding kenaikan besaran subdisi akibat lonjakan harga tersebut. Menteri Keuangan memperkirakan beban tambahan subsidi karena lonjakan harga sebesar Rp 7 trilyun, ketika konsumsi BBM bersubsidi mencapai 42 juta kilo liter, melebihi kuota BBM bersubsidi sebanyak 38,5 juta kilo liter. Subsidi BBM juga dianggap turut mendorong peningkatan konsumsi BBM yang pada tahun ini sudah mencapai 1.3 juta bph. Oleh karena itu, subsidi BBM juga dijadikan alasan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong konservasi energi dan pengembangan energi alternatif terbarukan. Aspek “ketidakadilan” dalam penyaluran subsidi BBM pun dijadikan sebagai dasar pembenaran. Menteri ESDM mengungkapkan bahwa sekitar 25% dari kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Sementara 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah
Edisi 1 / April / 2011
hanya menerima subsidi sekitar 15%. Berbagai “daftar hitam” subsidi BBM tersebut menjadi rujukan bagi upaya untuk menyesuaikan harga BBM sesuai dengan “harga keekonomian”. Sepintas tidak terlihat lagi alternatif jalan selain selain pengurangan (penghapusan) subsidi BBM seperti yang sedang diupayakan pemerintah. Seolah pula semua yang dijadikan pijakan kebijakan pemerintah tersebut adalah sudah di jalur yang benar. Pada akhirnya akademisi perguruan tinggi hanya sekedar diminta masukan perihal opsi teknikal pengurangan subsidi seperti apa yang layak dijalankan. Pada kenyataannya, dengan asumsi harga minyak sebesar US $ 80 per barel maka penerimaan negara adalah sebesar Rp. 205,5 trilyun dan subsidi BBM tercatat Rp. 136,6 trilyun. Sementara dengan kenaikan harga minyak internasional menjadi sebesar US $ 100 per barel maka penerimaan menjadi Rp. 256,9 trilyun dan subsidi sebesar Rp. 206,4 trilyun (Reforminer Institute, 2011). Dengan begitu, istilah “subsidi BBM” adalah karena sisi penerimaan dan sisi pengeluran BBM pemerintah dikalkulasi secara terpisah. Paper ini akan memberikan alternatif pandangan dan masukan bagi pemerintah perihal subsidi dan harga BBM, pengelolaan energi/
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
sumber daya alam, serta pengelolaan anggaran dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Paparan dan analisis dalam paper ini merujuk pada perspektif ekonomi kerakyatan, seperti yang telah diamanatkan para pendiri bangsa dalam Pasal 33 ayat (1), (2). Dan (3) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 ayat (1) sebelum amandemen menyebutkan secara eksplisit perihal demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), yaitu sistem ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Penghapusannya dalam UUD pasca amandemen bukan berarti dihapuskannya pula substansi ekonomi kerakyatan. Bahkan paper ini akan menguraikan pula keterkaitan antara penghapusan frasa tersebut dengan agenda penghapusan berbagai subsidi, termasuk subsidi BBM. Kepemilikan Faktor Produksi Dimensi dasar dalam ekonomi kerakyatan adalah aspek kepemilikan dan kontrol faktor produksi, termasuk di dalamnya terhadap energi dan sumber daya alam. Ketimpangan, ketidakadilan, ketergantungan, kerusakan alam, dan kemelaratan umumnya adalah permasalahan struktural yang berkaitan dengan terjadinya dominasi, monopoli, dan
9
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang. Minyak dan gas sebagai barang publik (common property) maka idealnya berlaku kepemilikan bersama (common ownership), sehingga setiap orang memiliki aksesi terhadap sumber daya tersebut (Shadr, 2007 dan Baidhawy, 2007). Para pendiri bangsa pun memiliki paham demikian. Dalam Pasal 33 ayat (2) disebutkan jelas bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sementara pada ayat (3) disebutkan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Lebih lanjut pendiri bangsa sudah member peringatan dalam bagian penjelasan Pasal 33, di mana “kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”. Demikian, permasalahan menjadi makin nyata ketika substansi frasa penjelasan ini tidak lagi mendapat tempat di UUD, UU, dan berbagai peraturan di bawahnya saat ini. Selepas diabaikannya ruh pemikiran pendiri bangsa tersebut
10
Edisi 1 / April / 2011
maka saat ini kita menghadapi era di mana setiap orang berlomba-lomba untuk berkuasa atas sesuatu yang sebenarnya menjadi milik bersama. Dominasi dengan merebut dan menguasai, yang sering diperkenalkan dengan istilah rumit “privatisasi” dan “liberalisasi” sejak puluhan tahun belakangan ini telah berakibat pada konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang, kebanyakan dari luar negeri. Ketimpangan antara orang banyak dan kepemilikan bersama dengan segelintir elit dan kepemilikan pribadi menjadi telah kian nyata. Sebagian besar kontrol migas Indonesia berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Dari total produksi minyak mentah sebanyak 976 ribu bph, 88,21% dihasilkan oleh segelintir KKKS, dan Pertamina sebagai perwakilan dari 230 juta warga bangsa hanya menghasilkan 11,79%-nya. Penguasaan produksi ini berdampak
Edisi 1 / April / 2011
pada alokasi produksi yang akan di bahas pada bagian tersendiri. Sejauh yang teramati di lapangan maka struktur produksi ini telah menjelma menjadi “negara dalam negara”. Dominasi segelintir orang atas tampuk produksi nyatanya bukan terlihat pada sektor migas semata. Di sektor perbankan, menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007). Konsentrasi ekonomi nasional oleh segelintir orang ditunjukkan dengan data BPS (2010) di mana usaha besar yang hanya meliputi 0,01% pelaku usaha dan 2,70% tenaga kerja menguasai sebesar 43,47% dari total produksi nasional. Sementara usaha mikro yang menghidupi 98,88% pelaku usaha serta menyediakan 91,03% lapangan kerja hanya menguasai 33,03% total produksi tersebut. Situasi ini adalah juga refleksi atas konsentrasi penguasaan 67% perusahaan di BEI oleh segelintir pelaku pasar luar negeri, yang juga menguasai sumbersumber air, areal pekebunan besar, perdagangan, perbankan, saprodi
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
pertanian, dan aneka bahan mineral tambang di Indonesia. Penguasaan tampuk produksi strategis oleh orang-seorang ini memungkinkan akumulasi kekayaan oleh segelintir orang, sementara kebanyakan yang lainnya tertinggal dalam kesusahan. Derajat ketimpangan meningkat, di mana indeks gini tahun 1999 yang sebesar 0,31 menjadi sebesar 0,37 pada tahun 2009. Pada tahun yang sama BPS merilis bahwa 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 21,22% total pendapatan, sedangkan 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi menikmati 41,24% total pendapatan. Sudah begitu, taraf kesejahteraan sebagian warga bangsa masih berada di titik yang sungguh memprihatinkan. BPS mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan di bawah Rp. 7000,- per orang per hari pada tahun 2010 adalah sebanyak 31,02 juta atau 13,33% dari penduduk keseluruhan. Dengan ukuran kemiskinan Bank Dunia maka nilai tersebut akan menjadi hampir 3 kali lipatnya. Ketimpangan struktur penguasaan faktor produksi akan selalu berimplikasi pada ketimpangan akses konsumsi. Akan selalu terjadi orang kaya yang mendominasi konsumsi terhadap barang-barang dan jasa publik, baik bandara, jalan
11
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
tol, kepolisian, perbankan, anggaran negara, bahkan termasuk keberadaan pemerintahan itu sendiri. Tanpa merunut pada akar ketimpangan akibat penguasaan tampuk produksi kolektif oleh orang-seorang ini maka berbagai treatment konsumsi BBM terhadap masyarakat tidak selalu dapat dibenarkan. Produksi dan Alokasi Dimensi berikutnya dalam perspektif ekonomi kerakyatan adalah menyangkut produksi dan alokasi. Kepemilikan dan kontrol atas migas Indonesia oleh orangseorang mayoritas dari luar negeri telah menimbulkan ketergantungan produksi dan alokasi hasil-hasil produksi migas. Optimalisasi sumber daya dan kebutuhan masyarakat dalam negeri dengan mode ketergantungan tersebut tentu tidak lagi menjadi prioritasi. Tersedianya kapital, teknologi, dan ahli-ahli migas dalam negeri dengan begitu tidak mampu didayagunakan secara optimal. Produksi minyak dengan berbagai kepentingan dialokasikan 40%-nya untuk pasar luar negeri. Demikian halnya 47,8% produksi gas juga dialokasikan ke pasar luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena di Indonesia migas bagian negara dijual pihak ketiga (trader) di Singapura, di mana biaya produksinya pun juga ditentukan berdasar Mean of Plat
12
Edisi 1 / April / 2011
Singapore (MOPS) dan biaya distribusi serta marjin alapha. Oleh karenanya, sampai saat ini berapa sebenarnya biaya produksi BBM per liternya masih sepenuhnya terang dan jelas. Pada tahun 2010 pemerintah menetapkan cost recovery sebesar US $ 12 milyar atau setara dengan Rp. 108 trilyun, yang ditambah dengan perkiraan biaya produksi Pertamina maka rata-rata biaya produksi total per tahun adalah Rp. 120 trilyun (Kurtubi, 2010). Di sisi lain, penerimaan migas pada APBN 2010 adalah sebesar Rp. 201 trilyun, sehingga beban anggaran pemerintah kiranya terkait dengan kepemilikan, kontrol, produksi, dan alokasi oleh orang-seorang (korporasi) luar negeri. Ketergantungan produksi pada korporasi juga telah melemahkan upaya untuk mengembangkan kilang pengolahan BBM dalam negeri. Ironis bahwa sebagian minyak Indonesia justru diolah di kilang BBM Singapura. Data pada 2009 menunjukkan, Pertamina perlu mengimpor BBM berupa 8,8 juta kiloliter premium, 6,3 juta kiloliter solar. Setiap tahun sejak 2005 hingga 2009, angka konsumsi BBM masingmasing 216,21, 218,02, 202,91 dan 256,67 juta barel dan impor BBM masing-masing 120,16, 113,54, 111,06 dan 100,02 juta barel (Batubara, 2011).
Edisi 1 / April / 2011
Dominasi korporasi migas di sektor hulu (upstream) kini mulai diperluas pada sektor hilir (downstream), di mana Sheel, Petronas, dan Total sudah membuka usaha eceran BBM dengan mendirikan 68 SPBU di beberapa kota besar. Korporasi swasta yang berorientasi laba maksimum pemiliknya yang orang-seorang tentu tidak akan sanggup bersaing dengan harga BBM Pertamina yang dimiliki oleh 230 juta warga bangsa. Oleh karenanya, “subsidi BBM” dianggap sebagai batu sandungan bagi kepentingan ekspansi mereka dan harus dihapuskan sesuai saran ADB, Bank Dunia, dan USAID. Harga yang disebut sebagai “harga keekonomian” dengan begitu menurut mereka adalah harga minyak internasional, yang ditentukan para pialang minyak di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia. Harga tersebut tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara berdaulat, dan bukan dengan mempertimbangkan biaya produksi, distribusi, dan marjin keuntungan yang wajar.. Harga spekulatif diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga telah mencapai US$ 123 milyar atau setara
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
dengan Rp 1.131 trilyun (voanews. com/, 3 April 2008). Sesuai dengan konstetasi tersebut, maka bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008). Di sisi lain, politik alokasi juga menyangkut bagaimana hasil produksi dan penjualan migas tersebut didistribusikan. Sebagai instrument alokatif langsung dalam hal ini adalah APBN. Politik alokasi pararel dengan corak kepemilikan dan kontrol produksi, sehingga lebih memberi manfaat besar bagi orang-seorang (korporat) migas. Berbeda dengan minyak di Alaska yang dimiliki bersama dan dikelola pemerintah, maka setiap tahun warga Alaska mendapat transfer “deviden” dari Alaska Petrolium Fund (APF) sebesar US $ 1,507 per orang untuk 600.000 warganya. Pemerintah Norwegia yang mengelola minyak juga menyalurkan “deviden” kepada pemiliknya yang adalah semua warga Norwegia sebesar US $ 1,333 per orang melalui Norway State Petrolium Fund (NSPF).
13
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Selain ditransfer langsung dana tersebut juga digunakan untuk mengembangkan energi alternatif. Kedua hal ini tentu berbeda dengan Indonesia, di mana transfer langsung terkait BBM adalah melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada sebagian warga secara tidak permanen. BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Beban sesungguhnya APBN adalah seperempatnya (Rp. 250 trlyun) yang setiap tahun harus dialokasikan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Termasuk di dalamnya biaya “subsidi” bagi pemilik bank yang memperoleh dana obligasi rekap perbankan. Demikian pula, biaya pemborosan belanja pemerintah dan kebocoran pajak dan korupsi besar-besaran oleh beberapa pejabat tinggi. Konsumsi Dimensi terakhir dalam perspektif ekonomi kerakyatan adalah
14
Edisi 1 / April / 2011
menyangkut konsumsi BBM. Dalam logika barang publik maka akses konsumsi diperoleh dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Bukankah tidak jadi soal ketika orang-orang kaya yang berusaha keras lalu membayar pajak ke negara lebih besar? Persoalannya sekali lagi terletak pada korporat migas yang sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis eceran BBM, ketika harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat, seperti halnya BBM dipersepsikan, akan selalu dianggap salah sasaran. Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli BBM. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki. Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Di negara maju pun pendidikan
Edisi 1 / April / 2011
dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya sudah sangat kaya). “Privatisasi” BBM memang sejalan dengan privatisasi di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Pembukaan SPBU baru tentu justru berpotensi menguras cadangan minyak nasional Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu slogan gerakan hemat energi nasional kiranya tidak lagi menjadi perhatian. Sama halnya dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif yang tidak sungguh-sungguh. Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya.
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Tingginya subsidi BBM karena harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/ liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Ratarata pendapatan per kapita di negaranegara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita. Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/ liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/ bulan (nizaminz, 2008). Pemikiran bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk
15
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid). Seperti telah diuraikan di bagian awal, corak konsumsi BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh corak kepemilikan, kontrol, dan produksi migas. Pada dasarnya produsen orang-seorang (korporat) menjadikan masyarakat sebagai pasar, sedangkan semestinya pemerintah bertindak untuk melayani hajat hidup orang banyak. Dua hal yang mengandung kontradiksi mendasar. Demikian, maksimisasi keuntungan produsen sekaligus pengecer BBM dengan melakukan ekspansi pembukaan SPBU baru di berbagai wilayah di Indonesia tentu menjadi dorongan bagi peningkatan konsumsi BBM. Hal ini tidak sejalan dengan usaha penghematan BBM dan pengembangan sumber energi alternatif non BBM. Oleh karenanya sekali lagi treatment di sisi konsumsi masyarakat tanpa ada koreksi di sisi struktur produksi, alokasi, dan harga yang liberal tersebut tentu kembali hanya akan merugikan negara dan masyarakat luas. Solusi Sistemik Ekonomi Kerakyatan Demikian dimensi kerakyatan dalam memandang permasalahan subsidi BBM. Dalam perspektif
16
Edisi 1 / April / 2011
ekonomi kerakyatan maka tentu tidak diinginkan adanya pemborosan energi dan keuangan negara. Namun menimpakan dua hal tersebut pada pola konsumsi masyarakat tidaklah tepat. Koreksinya melalui pengurangan subsidi BBM tidak akan mampu memberi solusi mendasar dan permanen. Pengurangan subsidi BBM saat ini hanya akan mengukuhkan dominasi produksi dan memuluskan upaya dominasi korporat atas pasar BBM dalam negeri. Kementerian ESDM menyebutkan bahwa pembatasan BBM bersubdisi akan meningkatkan impor Pertamax sebesar 1.144%, dari 340 ribu kilo liter menjadi sebesar 4,23 juta kilo liter, meskipun impor premium akan turun dari 12,58 juta kilo liter menjadi 8,69 juta kilo liter. Namun karena harga Pertamax yang lebih mahal maka konsumsi masyarakat kurang mampulah yang akan terkoreksi. Dengan ketersediaan premium yang makin terbatas dan permintaan tetap maka kenaikan harga seperti yang diinginkan pengecer BBM kiranya tidak dapat dielakkan. Dengan begitu pemerintah akan selalu dihadapkan pada masalah yang selalu berputar karena tidak diselesaikan sampai ke pangkalnya. Oleh karena itu, solusi permasalahan tersebut dalam dimensi
Edisi 1 / April / 2011
ekonomi kerakyatan semestinya meliputi usaha koreksi mendasar dan menyeluruh atas tiga elemen dalam dimensi ekonomi kerakyatan seperti diuraikan di awal. Solusi akan meliputi bagaimana koreksi kepemilikan dan kontrol migas, produksi dan alokasi migas, dan konsumsi migas seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertama, solusi kepemilikan dan kontrol migas Sesuai dengan pemikiran bahwa “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, maka pengusahaan migas Indonesia semestinya dilakukan oleh negara, melalui Pertamina sebagai badan usaha milik bersama. Pertamina yang dimiliki secara kolektif oleh bangsa Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola kapital, teknologi, dan ahli-ahli yang diperlukan dalam produksi, distribusi, dan penjualan BBM. Perusahaan swasta hanya diperbolehkan menjadi subkontraktor Pertamina, yang juga memegang kendali atas alokasi produk (BBM). Solusi ini memerlukan amandemen UU Migas yang menjadi instrumen liberalisasi yang memungkinkan terjadinya dominasi dan kontrol migas atas orangseorang (korporat) terutama dari
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
luar negeri. Implikasinya adalah BP Migas tidak diperlukan lagi, karena Pertamina yang semestinya bertindak sebagai negosiator dengan para subkontraktor migas dalam kapasitasnya sebagai perusahaan negara. Segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Pemerintah perlu menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan KKKS lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS dominan dari luar negeri. Solusi ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari produksi migas, sehingga dapat memperkuat kapasitas fiskal pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat. Solusi ini diharapkan juga akan menghilangkan ketergantungan migas (energi) Indonesia pada orangseorang (korporat) dan pedagang
17
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
minyak dari luar negeri. Kedua, solusi produksi dan alokasi migas Pemerintah dan Pertamina harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumbersumber energi nasional. Di samping itu, tingkat harga migas semestinya ditentukan oleh pemerintah dan Pertamina secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini. Alokasi migas sebesar-besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Solusi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi Pertamina dan menekan harga BBM pada tingkat yang wajar disesuaikan dengan biaya produksi dan distribusi riilnya, serta marjin keuntungan yang layak guna pengembangan usaha Pertamina dalam melayani masyarakat sebagai pemiliknya. Ketiga, solusi konsumsi migas
18
Edisi 1 / April / 2011
Bauran energi nasional masih didominasi oleh konsumsi BBM yaitu sebesar 48%, diikuti batu bara 30%, gas bumi 19%, air 2%, dan panas bumi 1%. Pemenuhan kebutuhan konsumsi BBM dilakukan dengan meningkatkan kapasitas produksi dan pengolahan BBM Pertamina. Dalam hal ini juga diperlukan penambahan kilang-kilang pengolahan baru untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Penghematan konsumsi BBM dapat ditempuh dengan pembatasan pendirian SPBU baru dengan melihat faktor lokasi dan kebutuhan masyarakat. Diversifikasi konsumsi BBM dilakukan dengan mengotimalkan pengembangan sumber energi alternatif di antaranya gas bumi, coal bed methane, panas bumi, air, dan tenaga matahari. Solusi ini diharapkan dapat menekan pemborosan konsumsi BBM dan stagnasi dalam pengembangan sumber energi alternatif seperti yang terjadi saat ini. Diharapkan bauran energi lebih proporsional sesuai dengan potensi sumber daya energy yang terdapat di Indonesia, di mana rasia pemanfaatan panas bumi baru sebesar 4%, batu bara 20%, gas bumi, 51%, minyak bumi 14%, Demikian pengeluaran pemerintah atau yang lebih sering disebut dengan subsidi BBM adalah implikasi dari pola kepemilikan dan kontrol migas,
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
yang berpengaruh terhadap pola produksi, alokasi, dan konsumsi BBM. Pengeluaran pemerintah tersebut dapat dibenarkan sejauh meliputi ketiga dimensi kerakyatan, sebagai manifestasi dari produksi oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan dan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Besar kecilnya pengeluaran BBM akan bergantung pada sejauh mana kontrol negara atas ketiga dimensi tersebut. Solusi ekonomi kerakyatan dalam paper ini diharapkan mampu memecahkan hingga ke akar persoalan.
Daftar Pustaka Yusuf, Arief Anshory, Adilkah Subsidi BBM?, dalam harian Pikiran Rakyat 27 Mei 2008
Indonesia Energy Statistic 2010
Neraca Gas Indonesia 2007-2015
Batubara, Marwan, 2011, Mendesak Pembangunan Kilang BBM
Rencana Strategis ESDM 2010-2014
Baswir, Amerikanisasi BBM, dalam Awan Santosa, Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, 2009, UMBY-Sekra, Yogyakarta
Indonesian Energy Outlook 2009
BPS, 2010, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia Data Strategis BPS tahun 2010 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2011, Nota Keuangan RAPBN 2011 Data Pokok APBN 2005-2011 Kementerian ESDM, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 20062025
Kementerian
Hartzok, Alanna, 2004, Citizen Dividends And Oil Resource Rents: A Focus on Alaska, Norway and Nigeria, dalam http://www.earthrights.net/docs/ oilrent.html Komaidi, Harga Minyak dan Ruang Gerak APBN 2011, dimuat dalam Harian Media Indonesia, 1 April 2011 Nugroho, Hanan, Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM?, dimuat dalam Perencanaan Pembangunan Edisi 02, Tahun X, 2005 Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak
19
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Penghasilan di Bidang Usaha Hulu MInyak dan Gas Bumi Rakhmanto, Pri Agung, Subsidized Fuel Pricing, dimuat dalam Indonesia Finance Today, March 30th 2011 Santosa, Awan, 2009, Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, UMBY dan Sekra, Yogyakarta
20
Edisi 1 / April / 2011
Wahyudi, Agus, Moralitas, Keadilan, dan Peran Negara: Masalah Pengalihan Subsidi BBM, dimuat dalam Majalah FLAMMA, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta, Edisi 23, Volume 10, April 2005 Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi
III Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Menghitung Penerimaan Pemerintah dari Penjualan BBM Oleh : Baso Siswadarma*
* Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin
21
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Eksplorasi minyak mentah di Indonesia, adalah kontrak kerjasama antara pemerintah yang diwakili oleh Pertamina dengan kontraktor asing. Berapa besar jumlah minyak mentah yang menjadi hak pertamina, angka pastinya tidak diketahui, tetapi sesuai yang diberitakan oleh media massa, perbandingannya sekitar 80 persen untuk pertamina dan 20 persen buat kontraktor asing. Berdasarkan asumsi Makro ekonomi dalam RAPBN 2011, harga minyak mentah dunia (ICP) US $ 80 per barel, produksi minyak mentah per hari 970.000 barel, dan nilai tukar rupiah terhadap US $ sebesar Rp 9.250 per 1 US $, maka sisi penerimaan BBM dalam RAPBN 2011 adalah jumlah dikalikan dengan harga, yaitu sebesar 365 hari x 970.000 barel x US $ 80 x Rp 9.250 = Rp 261.997.000.000.000. jika dikurangi 20 persen (sesuai kontrak bagi hasil untuk kontraktor asing) sisanya Rp 209.597.600.000.000. Angka ini adalah perhitungan kasar sesuai asumsi dalam RAPBN 2011. Angka Rp 209.597.600.000.000. ini sebenarnya tidak akan pernah diterima oleh pemerintah karena harga Bensin premium yang berlaku di dalam negeri ditetapkan lebih rendah yaitu sebesar Rp 4.500. Bandingkan dengan harga minyak dunia per liter sesuai asumsi RAPBN 2011 (US $ 80 per barel dikali Rp 9.250 kemudian dibagi 159) diperoleh
22
Edisi 1 / April / 2011
angka sebesar Rp 4.650 per liter. Jadi ada selisih sebesar Rp 150. Angka dari hasil selisih penjualan dalam negeri inilah yang dicantumkan pada sisi pengeluaran RAPBN dengan pos yang diberi nama “Subsidi BBM”, dan angka ini juga tidak akan pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Perkiraan jumlah konsumsi dalam negeri sepanjang tahun sesuai alokasi RAPBN 2011 sebesar 38,6 juta kilo liter atau 38.600.000.000 liter. Jika angka tersebut dikalikan dengan besarnya subsidi Rp 150 per liter. maka diperoleh angka sebesar Rp 5.790.000.000.000. Angka ini jauh lebih kecil dibanding hasil perhitungan penjualan minyak mentah keluar negeri. Jadi, tanpa merubah asumsi RAPBN 2011 pemerintah akan meraup penerimaan dari hasil penjualan bahan bakar minyak sebesar Rp 203.807.600.000.000. Jadi jelas bahwa yang dinamakan subsidi oleh pemerintah adalah pengertian yang abstrak, hanya di atas kertas, karena tidak berimplikasi adanya uang pemerintah yang dikeluarkan untuk membantu rakyatnya membeli bensin premium. Bahkan sebaliknya, pemerintah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan minyak mentah yang digali dari bumi pertiwi oleh kontraktor asing kemudian dijual keluar negeri dengan mengacu pada harga yang ditetapkan di New York.
Edisi 1 / April / 2011
Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini membuat asumsi-asumsi makro ekonomi yang ditetapkan dalam RAPBN 2011 tidak sesuai lagi. Karena itu, pemerintah perlu melakukan koreksi-koreksi penyesuaian. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah adalah yang mereka sebut sebagai subsidi BBM. Kalau harga minyak mentah dunia naik melampaui harga yang di asumsikan pada RAPBN 2011 maka alokasi subsidi BBM juga mengalami kenaikan. Mengapa jika harga minyak mentah dipasar internasional naik, pemerintah mengatakan bertambah alokasi subsidi BBM? Ingat yang kita konsumsi adalah bensin premium yang di impor, sedangkan yang di jual/diekspor adalah minyak mentah. Karena itu, jika harga minyak mentah di pasar internasional naik, tentunya harga bensin premium juga mengalami peningkatan. Katakanlah, harga minyak mentah dipasar internasional saat ini US $ 100 per barel, dikalikan dengan kurs yang berlaku Rp 8.800 dibagi 159 liter maka didapatkan harga minyak mentah dipasar dunia per liter dibulatkan Rp 5.550. jika ditambah biaya penyulingan sampai menjadi bensin premium dan biaya transportasi ke SPBU, katakanlah per liternya Rp 700 akan diperoleh harga bensin premium per liter Rp
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
6.250. Harga ini adalah harga bensin premium yang mengikuti harga pasar (tanpa subsidi). Apakah pemerintah tidak memperoleh penerimaan lagi jika harga mionyak mentah naik? Mari kita hitung dengan merubah dua asumsi penting dari RAPBN 2011 sesuai yang berlaku sekarang, yaitu harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Jumlah produksi 365 hari x 970.000 barel x US $ 100 x Rp 8.800 = Rp 311.564.000.000.000. dikurangi 20 persen diperoleh angka sebesar Rp 249.251.200.000.000. Angka ini dikurangi dengan angka selisih harga bensin premium tanpa subsidi Rp 6.250 dengan harga jual dalam negeri Rp 4500 sama dengan Rp 1.750. kemudian dikalikan dengan perkiraan konsumsi sepanjang tahun sebesar 38.600.000.000 liter diperoleh hasil Rp 67.550.000.000.000. Selanjutnya, Rp 249.251.200.000.000. dikurang Rp 67.550.000.000.000, diperoleh hasil akhir sebesar Rp 181.701.200.000.000. Angka Rp 181.701.200.000.000 ini adalah total penerimaan pemerintah dari hasil penjualan bahan bakar minyak, tanpa menaikkan harga bensin premium. Hanya saja hasilnya tentu tidak sebesar seandainya masyarakat diharuskan membeli bensin premium dengan harga dunia.
23
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Angka-angka yang dipergunakan dalam tulisan ini tentunya tidak akan sama betul dengan perhitungan pemerintah, khususnya pada jumlah minyak mentah yang dikuasai oleh pemerintah. Berapa persisnya penerimaan pemerintah dari hasil penjualan bahan bakar minyak memang tidak pernah dipublikasikan. Tetapi terlepas dari angka-angka yang disederhanakan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran/penjelasan kepada masyarakat bahwa tanpa menaikkan harga bensin premium pemerintah tetap memperoleh penerimaan dari
24
Edisi 1 / April / 2011
hasil penjualan bahan bakar minyak, meskipun harga minyak mentah dipasar internasional mengalami peningkatan. Bagi pemerintah, diminta untuk lebih transparan menyangkut pemakaian istilah subsidi BBM. Yang perlu dijelaskan oleh pemerintah adalah jika harga bahan bakar minyak/ bensin premium dalam negeri tidak mengikuti harga pasar internasional maka hilang kesempatan pemerintah untuk memperoleh penerimaan yang lebih besar dari hasil penjualan bahan bakar minyak.
IV Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Revitalisasi Bahan Bakar Nabati (BBN) Sebagai Upaya Mengatasi Ketergantungan Akan BBM Oleh : Prof.Dr. Drs.Karna Wijaya,M.Eng*
* Manajer Biofuel, Katalis dan Energi Hidrogen Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
25
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Rencana pemerintah untuk melarang atau membatasi kendaraan berpelat hitam menggunakan BBM bersubsidi pada tahun 2011 ini seyogyanya kita sikapi dengan pikiran jernih. Kebijakan ini sebenarnya merupakan indikasi kesulitan pemerintah untuk menyediakan BBM dalam jumlah cukup kepada masyarakat, jika tidak mau dikatakan sebagai kegagalan pemerintah (government failure) dalam mengantisipasi pasar BBM di Indonesia. Selain itu kelemahan institusional untuk mengimplementasikan kebijakan, meningkatnya konsumsi energi fossil karena jumlah kendaraan, industri dan pemakaian energi rumah tangga yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, - konsumen terbesar sektor industri (51,3%), diikuti oleh sektor transportasi (30,3%), sektor rumah tangga (10,7%), sektor komersial (4,6%), dan sektor lain (3,1%) - , belum tersedianya sumber energi alternatif pengganti BBM yang memadai dan belum diketemukannya sumursumur minyak baru juga merupakan faktor-faktor penting penyebab munculnya kebijakan tidak popular ini. Sebagai suatu kebijakan,tentu ada implikasi positif dan negatifnya (manfaat dan mudharat) kepada masyarakat. Berimplikasi positif bagi mereka yang patut mendapatkan subsidi dan para penggiat bahan bakar alternatif, karena dengan
26
Edisi 1 / April / 2011
diberlakukannya kebijakan ini pemakai subsidi akan membayar harga yang pantas untuk setiap liter BBM yang mereka beli dan untuk para penggiat bahan bakar alternatif peristiwa ini akan menjadi momentum penting untuk kembali menggalakkan biofuel (BBN) dan mengingatkan masyarakat akan arti penting BBN yang pada umumnya lebih ramah lingkungan, terbarukan, murah dan mudah diproduksi daripada BBM. Implikasi negatif yang mungkin timbul adalah trauma masyarakat seperti pada tahun 2004 ketika harga BBM melambung tinggi dan langka sehingga mengakibatkan antrian panjang pembelian BBM dimana-mana.
Apa dan Mengapa Bahan Bakar Nabati (BBN) Bahan Bakar Nabati (biofuel) adalah bahan bakar yang bersumber dari bahan-bahan nabati, (biomassa) seperti bioetanol, biodiesel dan biogas. Definisi yang lebih sempit mendefinisikan biofuel sebagai cairan atau gas yang berfungsi sebagai bahan bakar transportasi yang berasal dari biomasssa. Biofuel dipandang sebagai bahan bakar alternatif yang penting karena dapat mengurangi emisi gas dan meningkatkan ketahanan energi. Bioetanol merupakan etanol yang diperoleh dari hasil fermentasi biomassa dengan bantuan
Edisi 1 / April / 2011
mikroorganisme (ragi). Bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi bisa memilki berbagai macam kadar. Kadar bioetanol bisa sangat bervariasi, tergantung kepada bahan baku dan pemrosesannya. Bioetanol dengan kadar 90-94% disebut bioetanol tingkat industri. Bioetanol berkadar 94-99,5% disebut dengan bioetanol tingkat netral. Kebanyakan bioetanol jenis ini dipakai untuk campuran minuman keras, dan yang terakhir adalah bioetanol tingkat bahan bakar yaitu bioetanol dengan kadar minimum 99,5%. Bioetanol dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar, namun bioetanol murni hanya memiliki dua-pertiga energi bensin dan penguapan bioetanol dari cair ke gas juga tidak secepat bensin. Oleh karena itu penggunaan bioetanol murni pada kendaraan akan menimbulkan masalah. Tetapi masalah dapat diatasi dengan mengubah desain mesin dan reformulasi bahan bakar, misalnya dengan pencampuran alkohol dan premium dengan perbandingan tertentu. Hasil pencampuran ini kemudian disebut dengan Gasohol (Gasoline Alkohol). Gasohol memiliki performa yang lebih baik daripada premium karena angka oktan etanol lebih tinggi daripada premium. Selain itu gasohol juga lebih ramah lingkungan daripada premium. Biodiesel merupakan senyawa monoalkilester dengan rantai karbon
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
antara 12 sampai 20. Adanya oksigen membedakan biodiesel dengan petroleum diesel yang mengandung karbon dan hidrogen. Sejatinya secara komposisi kedua bahan bakar tersebut berbeda namun memiliki kesamaan dalam sifat fisikokimiawi. Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Campuran 20% biodiesel di dalam petroleum diesel atau dikenal sebagai minyak diesel B-20 adalah bahan bakar yang dapat digunakan secara langsung oleh mesin diesel tanpa mengubah konstruksi mesin. Di Indonesia biodiesel biasanya menggunakan bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil), minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, palm fatty acid distillate (PFAD) dan minyak ikan. Biodiesel dibuat dengan berbagai metode. Transesterifikasi adalah salah satu teknik pembuatan biodiesel yang paling popular dewasa ini karena aman, murah dan mudah dilakukan. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena tidak memberi kontribusi kepada pemanasan global, mudah didegradasi, mengandung sekitar 10% oksigen alamiah yang bermanfaat dalam pembakaran dan dapat melumasi mesin. Keuntungankeuntungan lain pada penggunaan biodiesel adalah mudah dibuat sekalipun dalam sekala rumah tangga (home industry) dan menghemat sumber energi yang tidak terbarukan (bahan bakar fosil)
27
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
serta dapat mengurang biaya biaya kesehatan akibat pencemaran udara. Pemanfaatan sumber-sumber nabati seperti minyak kelapa dan CPO (Crude Palm Oil) baik minyak segar maupun bekas (jelantah) sebagai bahan baku produksi biodiesel juga merupakan keuntungan karena dapat membuka peluang usaha bagi petani dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM). Selain itu biodiesel dan bioetanol, dikenal pula biogas, biokerosen, arang dan biohidrogen yang dewasa ini semakin mendapat perhatian para peneliti, produsen dan pengguna energi berbasis biomassa karena potensi-potensi yang dimilikinya.
Payung Hukum dan Kebijakan Upaya pemanfaatan biofuel sebagai BBN sesungguhnya sudah dilakukan sejak lama, payung hukumnya juga jelas, seperti Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Instruksi Presiden kepada instansi/lembaga terkait di pusat (13 kementerian) dan daerah (Gubernur dan Bupati) dalam rangka penyediaan dan pemanfaatan BBN/biodiesel , Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Tugas Timnas Pengembangan BBN , Undang-undang No.30 tahun 2007 tentang amanat kepada pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Undang-undang ini kemudian diperkuat lagi oleh
28
Edisi 1 / April / 2011
peraturan Menteri (PERMEN) ESDM nomer 32 tahun 2008 yang memuat mandatori BBN di Indonesia. Meski demikian, fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa penggunaan BBN masih jauh dari harapan kita semua. Pemakai kendaraan di Indonesia saat ini umumnya masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif murah daripada menggunakan BBM bercampur BBN atau BBN murni yang lebih mahal.
Ketersediaan Bahan Baku Biofuel dan Proyeksi Nasional Sebagai Negara agraris Indonesia sangat potensial mengembangkan industri biofuel nya sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman energi tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Produksi tanaman energi dari tahun ke tahun juga cenderung meningkat sehingga kita tidak perlu kawatir kekurangan sumber energi nabati ini. Sebagai contoh luas perkebunan tebu dan ubi kayu dari tahu ketahun meningkat dengan tajam. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan bahan baku pembuatan bioetanol (Tabel 1). Dalam bidang industri biodiesel Indonesia Indonesia memiliki kesempatan manjadi penghasil biodiesel nomor 1 di dunia. Menurut US Department of Agriculture’s Foreign Agricultural Service, dewasa ini Indonesia memproduksi sebanyak
Edisi 1 / April / 2011
41.4% (14.2 million tonnes) crude palm oil. Riset yang dilakukan oleh Indonesian Biodiesel Forum (FBI) menyebutkan bahwa 0,3 hektar perkebunan sawit akan mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 1000 liter biodiesel. Pada tahun 2009 proyeksi biodiesel dari minyak sawit diperkirakan mencapai 2% dari konsumsi diesel total dan pada tahun 2025 (Gambar 1) diperkirakan akan mencapai 5% dari konsumsi petroleum diesel, atau ekivalen dengan 4,7 juta kiloliter.
Revitalisasi dan Rekomendasi Seperti juga BBM, pengadaan, distribusi dan pemasaran BBN bukan tanpa masalah dan kendala. Misalnya untuk pengadaan biodiesel, produsen biodiesel mengalami kesulitan memperoleh bahan baku. Bahan baku berupa minyak nabati saat ini sulit diperoleh, karena minyak sawit misalnya, selain sebagai bahan baku biodiesel yang potensial, juga digunakan sebagai minyak goreng. Penggunaan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang merupakan by product proses pembuatan minyak goreng walaupun harganya jauh lebih murah dari minyak segar tetapi kandungan free fatty acid (FFA) yang tinggi pada PFAD memaksa produsen biodiesel menambah instalasi pengolahnya (reaktor Esterifikasi) yang pada gilirannya akan menaikkan biaya produksi. Disamping minyak sawit atau minyak nabati lainnya, metanol
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
sebagai bahan baku utama pembuatan biodiesel harganya relatif cukup mahal sehingga produsen hampir tidak mendapaatkan keuntungan apabila tetap menjual biodiesel dengan harga solar bersubsidi. Untuk bioetanol saat ini keadaanya juga tidak jauh berbeda. Sebagai contoh harga premium terkini di SPBU adalah Rp.4500,-/liter dan ini lebih rendah dari harga bioetanol yang mencapai sekitar Rp. 8000,-/ liter atau lebih tergantung kadarnya. Dengan harga seperti itu sudah pasti produsen bioetanol akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol sebagai substitusi BBM juga terhambat pasokan etanol pertahun yang relatif rendah. Konsumsi bensin premium di Indonesia tercatat mencapai 1,5 juta kiloliter/bulan sedangkan pasokan etanol di Indonesia hanya mencapai 500 kiloliter/bulan. Kendala pengembangan industri bioetanol juga disebabkan oleh kenaikan harga tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol yang mencapai 100% (USD 65/ton pada tahun 2008 menjadi USD 125-130/ton pada tahun 2009) dan akan dibukanya kran impor bioetanol dari Brazilia karena pertimbangan production cost berpotensi menghancurkan industri bioetanol di Indonesia. Pemberian subsidi kepada BBN
29
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
bioetanol dalam negeri seperti halnya BBM dan pembatasan impor bioetanol mungkin dapat menjadi solusi mempertahankan industri
BBN pemerintah jika tidak didukung oleh masyarakat maka program tersebut menjadi sia-sia dan tinggal menjadi wacana publik. Dewasa ini
Uraian
2006
2007
2008 2009 2010
Tebu : Luas (juta hektar) Volume (juta kiloliter/tahun
10 -
30 0,19
200 1,25
250 1,56
750 4,56
Ubi Kayu : Luas (juta hektar) Volume (juta kiloliter/tahun
100 -
100 0,042
400 1,70
700 2,98
1500 6,77
Tabel 1. Ketersediaan Bahan Baku Bioetanol dan produksi Bioetanol di Indonesia
bioetanol Indonesia. Kendala lain pengembangan BBN adalah masih tergantungnya produsen BBN terhadap biomassa edible, atau dengan kata lain kebijakan pengembangan BBN bisa bergesekan dengan kebijakan ketahanan pangan, oleh karena itu pengembangan BBN generasi kedua yang berbasis kepada biomassa non edible perlu dipertimbangkan. Betapapun Sumber
data:
bagusnya Rama
pemahaman masyarakat tentang arti penting BBN sebagai bahan bakar alternatif masih rendah, sehingga pemasyarakatan BBN menjadi kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan melalui bebagai media utamanya televisi dan surat kabar perlu ditingkatkan. Pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) yaitu desa yang dapat memenuhi sendiri minimal 60% kebutuhan akan energinya, merupakan strategi pemerintah untuk membangun
program
Prihandana
dan
Roy
Hendroko,dkk,
Bioetanol
Ubi
Kayu, 2007,hlm 57. (dikutip dari Gan Thay Kong, Peran Biomassa bagi Energi Terbarukan, 2002,jlm.12).
30
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
Gambar 1. Proyeksi Penggunaan Energi tahun 2025
ketahanan energi melalui masyarakat pedesaan. DME diyakini dapat menjadi solusi signifikan untuk mengatasi kebutuhan energi pedesaan. Sebagai contoh sukses pembangunan DME adalah Minahasa Selatan. Masyarakat lokal telah berhasil mengembangkan bioetanol dari nira. Melalui industri rumahan ini mereka dapat menghasilkan 1 liter bioetanol/pohon nira/hari. Bioetanol ini selanjutnya digunakan antara lain untuk kendaraan pemerintah setempat. Pembangunan DME masih terus berjalan sejak tahun 2009 dan sekarang sudah mencapai 1000 DME tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sekalipun sudah ada contoh sukses, pengembangan DME berbasis BBN juga harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik dan tersedianya bahan baku, artinya tidak semua desa dapat meniru begitu saja apa yang telah dikembangkan oleh Minahasa Selatan, sekali lagi pengembangan BBN secara prinsipiil tetap harus mengacu kepada potensi bahan baku yang dimiliki masingmasing desa. Sebagai Negara agraris Indonesia sejatinya berpotensi untuk mengembangkan BBN seperti bioetanol dan biodiesel secara mandiri.
31
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Syarat-syarat menjadi raksasa BBN sudah tersedia semua, Pertama, bahan baku berupa tanaman berpati dan berminyak dapat diperoleh di seluruh wilayah Indonesia. Produksinya dari tahun ke tahun juga cenderung meningkat. Dengan kata lain prihal ketersediaan bahan baku BBN yang berkelanjutan bukan merupakan masalah lagi. Bahan baku pembuatan bioetanol yang banyak terdapat di Indonesia antara lain ubi kayu, jagung, ubi jalar, dan tebu. Semuanya merupakan biomassa yang kaya karbohidrat dan berasal dari tanaman penghasil karbohidrat atau pati. Begitu pula dengan tanaman bahan baku biodiesel, seperti sawit, kelapa, nyamplung, algae dan jarak pagar. Kedua, tenaga ahli dan praktisi yang bekerja di sektor BBN sudah memadai. Boleh dikata hampir di semua universitas dan lembaga penelitian di Indonesia terdapat pakar-pakar BBN, Ketiga, payung hukum terkait BBN juga sudah ada, sehingga produksi, perdagangan atau pemakaian BBN di Indonesia bersifat legal. Pengembangan BBN bisa bersifat sektoral, sendiri-sendiri atau secara simultan, yaitu mengembangkan berbagai macam BBN secara bersamasama. Baik secara sektoral maupun simultan, pengembangan BBN harus memperhatikan aspek-aspek sosial, politik, ketersediaan bahan baku BBN serta kesiapan produsen dan konsumen menggunakan BBN. Dalam
32
Edisi 1 / April / 2011
rangka untuk menjamin suplai BBN nasional jangka panjang perlu adanya pengembangan dan percepatan implementasi berbagai kebijakan dan strategi, mengoptimalkan berbagai potensi sumber energi dalam negeri dan memanfaatkannya secara efisien dan berkelanjutan serta kepastian rencana pembangunan sektor BBN sesuai jadwal. Untuk menghadapi tantangan dan target peningkatan produksi perlu adanya optimalisasi dan pengefektifan kegiatan-kegiatan pendukung dan penguasaan penerapan teknologi BBN baik di sisi hulu maupun hilir. Meningkatkan produktivitas penggunaan BBN, dengan meningkatkan efisiensi penyediaan dan penggunaan BBN di hulu dan hilir, serta pemerataan akses BBN sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat serta memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Untuk menciptakan pasar domestik BBN perlu dukungan kebijakan yang konsisten baik di tingkat pusat maupun daerah seperti insentif fiskal dan non fiskal, pendanaan sarana pendukung serta ketersediaan cadangan dan bahan baku BBN. Rasionalisasi harga BBN yang mencerminkan harga keekonomiannya. Pengalihan subsidi BBM kesektor BBN. Mengusahakan berbagai terobosan pembiayaan melalui pemakaian dana perbankan lokal, menawarkan skema public private partnership dan skema nature for debt swap serta melakukan bisnis karbon. Terakhir Indonesia harus
Edisi 1 / April / 2011
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
memiliki visi dan misi yang jelas akan arah kebijakan BBN.
berkurangnya impor dan peningkatan ekspor BBN
Indikator Keberhasilan Revitalisasi BBN
Penutup
Di Indonesia road map perencanaan, produksi, pengembangan serta pemasaran BBN sejatinya sudah tersusun dengan baik, realisasinya walaupun terkendala banyak hal juga telah mulai dilaksanakan. Untuk mengetahui apakah revitalisasi BBN telah berjalan, beberapa Indikator berikut dapat digunakan sebagai patokan: Terimplementasinya undang-undang dan regulasi tentang BBN sampai tingkat pedesaan, beroperasinya instalasi-instalasi atau pabrik BBN secara merata di seluruh Indonesia, berfungsinya DME berbasis BBN di seluruh Indonesia, tersedianya SPBU-SPBU yang menyediakan BBN, tersedianya tanaman energi berlemak atau berminyak, berpati dan bergula serta biomassa berbasis lignoselulosa yang mencukupi permintaan pasar, peningkatan pemakaian BBM pada level pengguna bahan bakar dari tahun ke tahun, adanya tata niaga BBN yang konsisten, transparan dan bertanggungjawab, serta akuntabel,
Eksploitasi, dan pemakaian yang bijak terhadap energi fosil melalui penghematan dan kontrol yang ketat akan memperpanjang tingkat hidup cadangan bahan bakar fosil, namun dalam jangka panjang kedepan BBN yang lebih ramah lingkungan dan bersifat terbarukan benar-benar akan memainkan peranan yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan energi kita. Untuk beberapa tahun kedepan BBN mungkin belum dapat menggantikan sepenuhnya energi fosil, Namun BBN tetap akan menjadi sumber energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Pengembangan BBN melalui penggunaan produk samping industri pertanian atau sampah menjadi energi melalui pembakaran langsung atau dikonversi menjadi biofuel tidak saja menyediakan energi alternatif terbarukan namun juga dapat membuka lapangan kerja baru.
33
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
Referensi Anonim. 2005. Prospek Pertanian Biodiesel dan Bioetanol. http:// www.bppt.go.id/ Anonim. 2007. Bioetanol. http:// www.energiterbarukan.net/ Anonim. 2007. Ketika Kendaraan Bergantung pada Tumbuhan. http://www.trubus-online.com/ Anonim, 2009, Jurnal Ethanol Indonesia, ASPINDO, Malang
34
Gan, T. K. 2002. Peran Biomassa bagi Energi Terbarukan. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo. Sholekhudin,M. 2008. Saatnya Beralih Ke Bahan Bakar Nabati. Jakarta: Intisari hal 13-21. Wahyudi,B.S. 2009. Penyediaan Energi Naional: Problematika dan Strategi. Pidato Ilmiah dalam rangka Peringatan Dies natalis UGM ke-60, UGM.
V
Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH) surya-angin-diesel Solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di daerah terpencil Oleh: Kholid Akhmad dan Andhika Prastawa
35
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
PLTH adalah sistem pembangkit listrik yang menggabungkan pembangkit listrik konvensional dengan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kehandalan sistem dan menurunkan biaya operasional. Sistem ini sangat cocok diterapkan di daerah terpencil pada komunitas penduduk yang padat dan terkonsentrasi, serta mampu dioperasikan selama 24 jam. Dengan menerapkan sistem PLTH, maka rugi-rugi energi listrik dapat dihindari.
36
Edisi 1 / April / 2011
S
esuai dengan Peraturan Presiden RI No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional (KEN) maka pemanfaatan minyak bumi harus ditekan dari 51,6% saat ini menjadi hanya 20% pada tahun 2025. Sementara itu peranan dari gas bumi, batubara, energi baru dan terbarukan (EBT) harus ditingkatkan. Selanjutnya diamanatkan pula pada blue print pengelolaan energi nasional (BPPEN) bahwa peranan dari EBT, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin harus menjadi >5% terhadap total konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kita untuk memanfaatkan EBT yang sumbernya cukup berlimpah di tanah air khususnya tenaga surya dan tenaga angin. Radiasi surya (matahari) hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dengan nilai insolasi rata-rata sekitar 4,5 kWh/m2/hari, sedangkan tenaga angin banyak terdapat di wilayah Indonesia bagian timur dengan
Edisi 1 / April / 2011
kecepatan 4-8 m/detik. Sistem PLTH yang cocok diterapkan di Indonesia adalah menggabungkan sistem dieselgenerator dengan sistem pembangkit listrik tenaga surya (sel fotovoltaik, PV). Untuk daerahdaerah yang mempunyai sumber tenaga angin dengan kecepatan minimal 4 m/detik, maka sistem ini dapat digabungkan membentuk PLTH surya-angin-diesel. Agar pemanfaatan energi listrik sistem PLTH lebih efisien, maka sistem ini dilengkapi dengan battery bank untuk menyimpan kelebihan energi listrik yang dihasilkan. Energi ini dapat dimanfaatkan pada saat suplai listrik dari tenaga surya dan angin berkurang. Besarnya kapasitas daya sistem PLTH yang akan dibangun di suatu lokasi disesuaikan dengan jumlah rumah dan permintaan daya terpasang. Sistem PLTH akan lebih efisien apabila di daerah terpasang terdapat sekitar 300 rumah yang relatif berdekatan. Tujuannya agar biaya untuk pembangunan jaringan distribusi listriknya dapat diminimalkan, demikian pula dengan kapasitas daya dari masing-masing pembangkit. Pada umumnya jaringan listrik untuk sistem PLTH yang bersifat stand alone adalah tegangan rendah 220 volt. Oleh karena itu radius jaringan yang terpasang dari
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
sumber pembangkit tidak boleh melebihi 1 km agar tidak terjadi jatuh (drop) tegangan yang dapat merusak komponen listrik yang terpasang pada konsumen. Energi listrik yang dihasilkan oleh sistem PLTH terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya juga diutamakan untuk beban listrik rendah, misalnya penerangan, radio, tape recorder, televisi maupun komputer. Diharapkan tidak untuk beban listrik besar, seperti seterika, pompa air, kulkas, rice cooker, dll.. Untuk memperoleh keluaran energi listrik yang besar dari sistem PLTH, diperlukan juga kapasitas daya dari masing-masing pembangkit yang besar. Sudah kita pahami bahwa biaya untuk pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan cukup mahal, oleh karena itu diperlukan skala prioritas dalam pemanfaatannya. Untuk memahami komponen sistem PLTH dan prinsip kerjanya, berikut ini diperlihatkan bagan sistem PLTH. Secara prinsip komponen PLTH surya-angindiesel terdiri atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga angin atau bayu (PLTB), tenaga diesel, unit penyimpan energi listrik (battery bank), dan hybrid power controller (HPC). PLTS terdiri dari beberapa modul surya yang disusun secara seri membentuk array PV dengan keluaran tegangan dan arus listrik
37
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
searah (direct current, DC) tertentu. Beberapa array PV kemudian disusun secara seri dan paralel untuk memenuhi tegangan dan arus listrik yang diperluakan sebagai input ke HPC. Untuk PLTB atau wind turbin dapat terdiri dari satu atau beberapa pembangkit, disesuaikan dengan kebutuhannya. Kapasitas daya maksimum satu unit PLTB buatan dalam negeri baru mencapai 20 kW, kebanyakan yang terpasang berkapasitas 5 kW dan 10 kW. Teknologi PLTB yang dikembangkan di Indonesia mengacu kepada low speed generator, maksudnya untuk kecepatan angin sekitar 3 m/detik generator tersebut sudah mampu manghasilkan energi listrik. Untuk battery bank, battery yang digunakan biasanya dari jenis deep cycle. Battery jenis ini mampu menyimpan jumlah energi listrik yang cukup besar, dan mampu pula mengeluarkan energi yang disimpannya sebesar 80% dari kapasitasnya pada saat digunakan. Berbeda dengan jenis battery mobil misalnya yang hanya mampu mengeluar energi sekitar 30% dari kapasitasnya. HPC merupakan ”otak” dari sistem PLTH. Didalam HPC terdapat inverter dan modul kontrol. Inverter yang terpasang bisa dari jenis bi-directional inverter, artinya alat ini mampu merubah tegangan dan arus DC menjadi tegangan dan arus bolak
38
Edisi 1 / April / 2011
balik (alternating current, AC) atau sebaliknya. Sementara itu modul kontrol mengatur sistem kerja dari setiap komponen PLTH agar bersinergi dengan baik, dan mampu mensuplai energi listrik ke konsumen selama 24 jam secara otomatis. SecaraListrik yang dihasilkan oleh sel surya dan turbin angin adalah listrik DC (direct current) sama seperti listrik yang dihasilkan oleh batere. Listrik DC ini dirubah menjadi listrik AC (alternating current) menggunakan inverter yang siap digunakan oleh konsumen. Diesel (genset) menghasilkan listrik AC yang langsung dapat digunakan oleh konsumen. Apabila listrik AC dari genset tidak semuanya digunakan oleh konsumen maka sisanya akan disimpan pada batere setelah dirubah terlebih dahulu menjadi listrik DC menggunakan converter pada HPC. Inverter dan converter pada HPC ini biasanya disebut sebagai bi-directional inverter. Sistem kerja HPC dapat disamakan dengan kerja otak pada manusia. Dengan demikian sistem PLTH ini dapat bekerja secara otomatis selama 24 jam se-hari. Pada kondisi tertentu, misalnya ada perbaikan komponen tertentu, sistem inipun dapat dioperasikan secara manual sehingga suplai listrik ke masyarakat tidak terputus.
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
Prinsip kerja dari sistem PLTH seperti ditunjukkan pada bagan di atas dapat digolongkan menjadi 3 tingkatan sesuai kondisi beban konsumen, yakni: Kondisi beban rendah Pada kondisi ini umumnya
menghasilkan energi listrik yang cukup, maka kebutuhan listrik konsumen akan disuplai oleh baterai. Kondisi beban menengah Pada umumnya kondisi ini terjadi pada sore hari menjelang
Bagan sistem PLTH surya-angin-diesel
terjadi pada siang hari. Apabila cuaca cukup cerah, maka kebutuhan energi listrik ke konsumen disuplai oleh PLTS dan PLTB. Pada saat ini diesel pada kondisi tidak bekerja (OFF). Bila ada kelebihan energi listrik akan disimpan ke battery. Namun pada saat cuaca mendung atau pada sore dan pagi hari dimana PLTS dan mungkin juga PLTB tidak
malam. Kebutuhan listrik ke konsumen sebagian besar disuplai oleh PLTB bersamasama dengan battery. PLTS hanya menyumbang energi listrik yang kecil disebabkan cahaya matahari sore yang semakin redup. Pada saat PLTS tidak mampu lagi mensuplai listrik, sementara energi battery semakin berkurang, maka secara otomatis diesel akan
39
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
bekerja (ON). Sambil mensuplai listrik ke konsumen, kelebihan energi listrik diesel akan masuk ke battery untuk disimpan. Battery akan mengambil alih kembali suplai listrik bersama PLTB ke konsumen pada saat battery telah penuh, pada saat yang sama diesel akan OFF. Keadaan seperti ini akan kembali terulang saat energi battery terkuras habis.
Edisi 1 / April / 2011
paralel mensuplai energi listrik ke konsumen. Apa bila ada energi berlebih, akan disimpan ke battery. Sebaliknya apabila pada saat ini PLTB tidak bekerja l, maka battery dan diesel bekerja secara paralel mensuplai listrik ke konsumen. Pada umumnya kondisi beban puncak terjadi hanya beberapa jam saja, sehingga diesel tidak bekerja sepanjang malam.
Sistem PLTH surya-diesel di suatu pulau wilayah Sulawesi Tenggara
Kondisi beban puncak Pada umunya kondisi beban puncak terjadi pada malam hari, saat para konsumen menyalakan lampu, sound system, TV atau komponen listrik lainnya. Apabila pada saat itu kondisi energi battery kosong, maka PLTB dan diesel dapat bekerja bersama secara
40
Foto di bawah menunjukkan sistem PLTH surya-diesel yang dibangun di suatu daerah pulau terpencil wilayah Sulawesi Tenggara. Kapasitas daya PLTS 8 kWp, disesl 25 kWp, inverter 20 kW, dan battery 78 kWh. Jumlah rumah sekitar 200 buah dengan kapasitas daya listrik per-rumah bervariasi diantara 50 watt -
Edisi 1 / April / 2011
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
100 watt. Sistem PLTH telah banyak diterapkan di beberapa wilayah Indonesia yang jauh dari fasilitas listrik PLN, meskipun di beberapa tempat sistem PLTH di interkoneksikan dengan jaringan listrik PLN.
41
VI Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Subsidi BBM dan Hak Warga Negara dalam Pembangunan Oleh : Lambang Trijono*
* Dosen Fisipol UGM, Direktur Peace and Development Initiative Indonesian Institute (PADII), Yogyakarta.
43
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Kebijakan hendak digulirkan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, meski kali ini lebih dibebankan kepada kelas menengah perkotaan dengan menaikkan harga BBM untuk jenis kendaraan baru dan mewah, kembali menuai kontroversi di kalangan publik. Kebijakan ini meski dimaksudkan untuk mengurangi beban APBN tetap saja menjadi masalah sangat sensitif mengingat dampaknya yang luas pada kehidupan perekonomian berbagai lapisan sosialekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pro-kontra muncul di tengah publik dengan pertimbangan dan alasan masing-masing.
44
Edisi 1 / April / 2011
M
ereka yang setuju umumnya lebih mengedepankan rasionalitas ekonomi pasar bahwa subsidi BBM akan semakin membebani ekonomi, menimbulkan pemborosan dan inefisiensi dan kontraksi ekonomi, sehingga peran negara dalam intervensi ekonomi perlu dikurangi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sementara, mereka yang tidak setuju lebih menggunakan pendekatan kesejahteraan, melihat dampak pengurangan subsidi terhadap merosotnya kesejahteraan rakyat. Pengurangan peran negara dalam intervensi ekonomi, khususnya pengurangan subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, dilihan akan memicu munculnya berbagai masalah sosial, mengingat peningkatan kesejahteraan rakyat tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada bekerjanya ekonomi pasar tetapi hal itu sangat tergantung dari peran atau intervensi negara. Mereka yang pertama lebih pro-ekonomi pasar, sedangkan mereka yang kedua lebih prokesejahteraan.
Edisi 1 / April / 2011
Perdebatan kedua kelompok aliran ekonomi politik ini memang selalu mewarnai kebijakan politik ekonomi pemerintah selama ini. Biasanya mereka yang lebih condong ke ekonomi pasar disebut pula sebagai penganut aliran politik kanan (right wing). Sementara, mereka yang condong ke prokesejahteraan lebih dilihat sebagai penganut aliran politik kiri (left wing). Disebut demikian, sebagai aliran politik, karena perbedaan pandangan keduanya seringali muncul mewarnai perdebatan politik dalam pengambilan kebijakan, di kalangan angota parlemen dan partai politik, baik pendukung pemerintah maupun partai oposisi. Bahkan, perbedaan keduanya tidak jarang juga ikut mempengaruhi bekerjanya koalisi politik antar partai dalam tubuh parlemen, yang sedikit banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah penentuan kebijakan politik ekonomi. Paper ini membahas masalah ini dengan tidak ingin terjebak pada kedua aliran ekonomi politik idiologi kanan dan kiri yang seakan sudah baku (fixed) itu, yang selalu muncul mewarnai perdebatan politik ekonomi tanpa melihat kenyataan dan konteks dinamika sosial-politik berkembang di masyarakat, dan berusaha melampaui keduanya, atau meminjam istilah Gidden
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
‘beyond left and right’,1 dengan lebih melihat pada praktek kebijakan dan visibilitas kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan masalah-masalah kesejahteraan dan dampak sosial dihadapi akibat kebijakan pengurangan subsidi negara. Penulis menemukan dampak sosial-politik pengurangan subsidi negara menemukan visibilitasnya tersendiri yang sangat penting dipertimbangkan oleh kedua pendekatan tersebut. Sebagaimana akan dibahas dalam paparan di bawah ini, penulis menemukan dalam praktek sesungguhnya tidak ada kebijakan menggunakan pendekatan murni ekonomi pasar bebas sebagaimana dibayangkan ekonomi liberal selama ini, karena aliran politik kanan atau pendekatan ekonomi pasar sendiri selama ini, dalam banyak kasus, melakukan revisi dengan mempertimbangkan aspek kesejahteraan di dalamnya. Sehingga, muncul kemudian aliran baru politik kanan baru (new right), menjadikan politik kesejahteraan dalam kampanye kebijakan ekonomi politik mereka. Sebagaimana akan dibahas di bawah, kebijakan melampaui pendekatan pasar, melakukan revisi fundamental atas pendekatan ekonomi liberal, 1 Lihat Anthony Gidden, Beyond Left and Right, Polity Press, 1998.
45
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
dengan tetap mempertahankan peran negara dalam menjamin hak-hak sosial-ekonomi warga masyarakat untuk keberlangsungan ekonomi pasar, juga semakin tidak bisa diabaikan dan menjadi pilihan moderat dari pendekatan ekonomi liberal dewasa ini2. Sebaliknya, tidak ada pendekatan murni politik kiri, atau murni menekankan peran negara sekarang ini, terlebih sejak kegagalan negara kesejahteraan terjadi di beberapa negara Eropa Timur tahun 1980an, tanpa mempertimbangkan visibilitas peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Muncul pendekatan baru disebut aliran kiri baru (new left) dimana meski tetap menekankankan pentingnya peran negara dan dimensi kesejahteraan dalam kebijakan ekonomi mereka menambahkan dimensi baru kebebasan dan kesetaraan dalam pemenuhan hak-hak warga negara, sebagaimana dianut aliran politik liberal selama ini3. 2 Lihat Robert H. Bates, Beyond the Miracle of the Market, the Political Economy of Agrarian Development in Kenya, Cambridge University Press, 1991. 3 Lihat Chantal Mouffe, On the Political, Thinking in Action, Polity Press, 2005.
46
Edisi 1 / April / 2011
Faktor penting mempertemukan keduanya, menyebabkan terjadinya kovergensi kedua pendekatan ini, sebagaimana akan dibahas di bawah, adalah berlangsungnya krisis ekonomi bersifat multidimensi, tidak hanya membawa dampak ekonomi tetapi juga dampak penurunan kesejahteraan dan ketidakstabilan sosial-politik dan konflik dan kekerasan ditimbulkan, yang mendorong kedua pendekatan tersebut untuk melihat lebih realistis pentingnya pemenuhan hak-hak warga negara dalam pembangunan dalam formula kebijakan politik ekonomi. Dimensi hak-hak warga negara dalam pembangunan (rights to development) menjadi pertimbangan selain untuk menjamin pemulihan ekonomi dan kesejahteraan, juga menjamin kebebasan dan kesetaraan hal dalam pembangunan sebagai bentuk dari praktek politik demokrasi, yang sama-sama disepakati dan dijunjung tingi kedua pendekatan tersebut sebagai sistem politik paling kompatible untuk mendorong peningkatan ekonomi, kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan. Kontroversi kebijakan subsidi BBM hendak digulirkan pemerintah tidak terlepas dari perdebatan diantara kedua kubu aliran politik
Edisi 1 / April / 2011
ekonomi ini. Krisis ekonomi dan ketidakstabilan Batas-batas pertumbuhan (the limits to growth) dan krisis ekonomi menyertai selalu menghantui masyarakat kapitalisme yang selalu berusaha ingin terus maju meningkatkan produksi dan pendapatan ekonomi untuk memenuhi konsumsi penduduk semakin meningkat. Berbagai bentuk kebijakan kesejahteraan muncul berkaitan dengan krisis ekonomi selalu menghantui masyarakat ekonomi kapitalisme dengan tingkat konsumsi tinggi ini. Diperlukan semacam keterjaminan sosial untuk keberlangsungan sistem ekonomi ini. Bukan hanya untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi saja, agar penduduk tetap mampu produktif menjalankan kerja ekonomi. Tetapi, justru regulasi dan kebijakan mengatasi kemiskinan, penganguran dan menjamin kesejahteraan, dilakukan didorong terutama untuk mencegah terjadinya ketidakstabilan sosial (social disorder) yang mengancam kestabilan pembangunan ekonomi4.
4 Lihat Frances Fox Piven-Richard A. Cloward, Regulating the Poor: the Function of Public Welfare, Vintage Books, New York, 1971.
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Kebijakan subsidi negara, dalam berbagai bentuk subsidi untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi dasar penduduk, termasuk subsidi BBM yang terkait dengan banyak sektor menyangkut hajat hidup rakyat banyak, dapat dibaca dari sudut pandang ini, dilakukan bukan hanya atas dasar pertimbangan rasionalitas ekonomi, tetapi juga mengikuti logika sosial untuk mencegah terjadinya gejolak sosial-politik. Konteks pengalaman di berbagai negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menunjukkan kuatnya pertimbangan ini. Banyak kritis dilontarkan selama terhadap model pembangunan konvensional, baik kapitalisme maupun sosialisme, sebagai tidak mempertimbangkan pentingnya dimensi ketidakstabilan sosialpolitik dan biaya konflik ditimbulkan akibat krisis berlangsung ketika ekonomi sepenuhnya pada pasar atau kuat dikendalikan negara. Kedua model pembangunan konvensional ini mengabaikan dimensi ketidakstabilan sosialpolitik, konflik dan kekerasan ditimbulkan akibat krisis berlangsung. Sebagaimana kita ketahui, pembangunan model kapitalisme melihat manusia sebagai alat produksi semata untuk tujuan
47
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
perbesaran output produksi dan konsumsi massa. Kesejahteraan disamakan dengan peningkatan pendapatan dan konsumsi, karena itu upaya industrialisasi dan perbesaran produksi dan konsumsi massa selalu menjadi pilihan model ini. Model ini mengabaikan pemenuhan aspek kebutuhan dasar manusia lain, kebutuhan non-ekonomi, kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, yang sangat penting untuk menopang keberlanjutan hidup komunitas. Pembangunan model kapitalis sangat tidak realistis, terlalu abstrak dan seringkali reduksionis dalam melihat dimensi manusia dalam pembangunan. Pasar dipandang sebagai representasi kehendak-kehendak dan keinginan warga masyarakat. Apa yang muncul dalam penawaran (supply) dan permintaan (demand) dalam ekonomi pasar, atau pembentukan harga di pasar, dilihat sebagai representasi keinginan masyarakat, dengan tidak membedakan antara keinganan (wants) dan kebutuhan (needs). Padahal kebutuhan harus dibedakan dari keinginan, harapan, kemauan, dan permintaan yang terus berkembang. Keinginan merupakan kehendak dan artikulasi subjektif, mungkin mengekspresikan kebutuhan
48
Edisi 1 / April / 2011
mungkin tidak. Kebutuhan, di sisi lain, sangat terkait dengan apa yang diperlukan, dalam arti untuk keberlangsungan hidup, tidak berada dalam kondisi sub-human, atau dibawah kondisi dan kualitas hidup layak. Kebutuhan melekat pada keperluan-keperluan dasar yang seharusnya ada dan dipenuhi agar manusia dapat hidup layak, dapat bertahan dan mampu mengembangkan potensi dan kapasitasnya secara optimal5. Apa yang muncul didalam pertukaran pasar, sebagaimana dianut oleh pandangan ekonomi kapitalisme dan pasar bebas, sebagian besar merupakan keinginan, bukan kebutuhan dalam arti ini. Warga yang tidak mampu masuk dalam persaingan pasar karena hambatan-hambatan ekonomi maupun tiadanya peluangpeluang politik dan sosial yang bebas, misalnya, padahal sangat membutuhkannya tidak masuk dalam hitungan. Kelompokkelompok marginal, seperti kelompok pengangguran, atau setengah menganggur, kelompok miskin, pekerja perempuan domestik, dan kelompokkelompok dipandang tidak 5 Lihat Johan Galtung, “International Development in Human Perspectives”, dalam John Burton (ed), Conflict: Human Needs Theory. London: McMillan Press, 1990.
Edisi 1 / April / 2011
produktif, seperti orang tua, kaum jompo, anak-anak, pemuda, janda atau single parent, seringkali tidak masuk dan kalah bersaing dalam pasar dan tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan ekonomi politik. Persaingan ekonomi pasar bebas biasanya disertai kompetisi tidak wajar dan seimbang, kelompok ekonomi kuat akan memenangkan pertarungan, merebut aset-aset ekonomi melalui privatisasi, dan mengurangi peran negara yang sangat dibutuhkan untuk menjamin kebutuhan dasar penduduk. Perluasan ekonomi pasar bebas biasanya juga disertai oleh peningkatan ekonomi berskala besar mendorong berkembangnya korporasi bisnis yang hanya mempekerjakan penduduk dalam jumlah sedikit, sehingga menciptakan pengangguran, eksklusi sosial, marginalisasi mayoritas penduduk. Perluasan pasar bebas, disertai pengurangan peran negara ini, banyak mencabut akar lembaga-lembaga ekonomi lokal dan memutus hubungan rakyat dengan negara sehingga seringkali menimbulkan gejolak sosial. Program penyesuaian struktural (structural adjustment) dari IMF, khususnya di negaranegara sedang berkembang tahun 1980an, disertai privatisasi dan
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
pengurangan peran negara dalam memberikan subsidi kesejahteraan kepada penduduk, misalnya, telah menimbulkan gejolan sosial-politik yang luas di negaranegara sedang berkembang. Program ini terbukti telah menuai protes sosial, gejolak politik dan kerusuhan hebat di berbagai negara, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara, seperti terjadi di Indonesia pada bulan Desember-Mei 1998. Bahkan di Amerika Latin, misalnya, muncul istilah ‘kerusuhan IMF’ karena meluasnya protes sosial sebagai akibat dari rekomendasi IMF pada pemerintah negaranegara Amerika Latin untuk mengurangi subsidi pemerintah dan mendorong privatisasi ekonomi yang dulunya dibawah dikendalikan oleh negara6. Akan tetapi, pembangunan ala sosialisme bukanlah jawaban alternatif memadai untuk itu. Pembangunan model sosialis juga boleh dikata telah gagal 6 Dalam kasus Amerika Latin, lihat S. Bienen dan Marx Gersovitz, ‘Consumer Subsidy Cut, Violence and Political Stability’, Comparative Politics, Vol. 19, No. 1, 1986. Dalam kasus Afrika lihat, J. Bayo Adekanye, ‘Structural Adjustment, Democratization and Rising Ethnic Tensions in Africa’, Development and Change, Vol 26, 1995. Dalam kasus Indonesia, lihat Time, ‘A Week of Living Dangerously, March 2, 1998.
49
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
dalam memenuhi kebutuhan dasar dalam hidup sehingga mendorong ketidakstabilan sosial-politik. Sebagaimana kita tahu, pembangunan ala sosialisme meniadakan pemilikan pribadi, membatasi kebebasan usaha, menjadikan negara sangat berperan menentukan kehidupan sosial-ekonomi rakyat. Penerapan model ekonomi komando dan sosialisme ortodok melahirkan sistem politik totalitarianisme. Model ini telah menimbulkan kemandegan perkembangan ekonomi, disertai struktur politik yang kaku (rigid) dan timpang sehingga sulit beradaptasi dengan perkembangan ekonomi. Selain melahirkan struktur politik totalitarianisme, sistem ini juga melahirkan berbagai bentuk kekerasan, kemiskinan, kelaparan, kolonialisme ke dalam (internal colonialism). Paradoks seringkali kita temukan di negara sosialis; kemiskinan, kelaparan, dan kematian bayi meningkat di tengah-tengah pesatnya industrialisasi dan menguatnya negara, disertai militerisme yang menyerap sebagian besar anggaran pembangunan7. Kedua model pembangunan ini kini sedang mengalami krisis, 7 Lihat Jamil Salmi, Violence and Democratic Society, New Approach to Human Rights, London: Zed Books, 1998.
50
Edisi 1 / April / 2011
atau mengalami kemandegan, ketika dihadapkan pada meningkatnya ketimpangan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakstabilan sosialpolitik. Pembangunan dikatakan mengalami ‘krisis’ atau ‘anomali’ ketika konsepsi dan teori pembangunan yang berlaku dipertanyakan kembali, digugat kembali, karena tidak mampu menjawab tantangan jaman. Krisis pembangunan yang terjadi sekarang ini bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis legitimasi, krisis kepercayaan, ketika pendekatan pembangunan yang ada tidak dipercaya lagi mampu menjawab berbagai masalah sosial dan tantangan jaman8. Sejauh ini, berbagai pendekatan dan model pembangunan sesungguhnya telah dikembangkan sebagai alternatif kedua model tersebut. Teori pertumbuhan ekonomi dan modernisasi sosial ala Rostownian direvisi oleh model pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). Kedua teori ini kemudian direvisi oleh model pembangunan alternatif (alternative development), menekankan pada pentingnya partisipasi, pengelolaan 8 Lihat Jan Nederveen Pieterse, Development Theory, Deconstruction/Reconstruction. New Delhi: Vistaar Publications, 2001.
Edisi 1 / April / 2011
sumberdaya lokal, dan peningkatan kapasitas serta kemandirian lokal. Selanjutnya, dengan menekankan pada pembangunan manusia (human development), pada pertengahan tahun 1980an, pembangunan kemudian difokuskan pada peningkatan kapasitas manusia dengan menciptakan perluasan ‘kesempatan-kesempatan dan pilihan-pilihan dalam hidup’. Perkembangan pendekatan dan model pembangunan ini membawa kemajuan tersendiri dalam praktek pembangunan untuk mengatasi berbagai masalah sosial. Namun, tantangan baru muncul ketika kita kini menghadapi berbagai ketidakstabilan sosial-politik, konflik dan kekerasan sosial sebagai akibat dari krisis ekonomi. Demikian itu melahirkan tanggung jawab etis atau etiko-politik baru dalam kebijakan pembangunan. Sebuah pendekatan dan model pembangunan baru berdimensi pemenuhan hak-hak dasar dalam hidup; kesejahteraan sosial-ekonomi dan keterjaminan keamanan dan kebebasan politik warga negara, sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Termasuk di dalamnya tanggungjawab negara untuk bekerjanya etiko-politik pembangunan ini. Pendekatan dan model pembangunan berdasarkan etiko-politico
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
demokrasi, menjunjung tinggi hak-hak kebebasan dan kesetaraan bagi semua (liberty and egality for all) sangat diharapkan untuk memastikan terpenuhinya hakhak dasar warga negara dalam pembangunan. Peran negara dalam hal ini tetap diperlukan, bukan untuk mengontrol ekonomi, tetapi untuk memastikan bekerjanya etiko-politik pembangunan ini. Subsidi BBM dan stabilisasi Dimensi hak-hak warga negara dalam pembangunan sangat penting dijadikan dasar pertimbangan bagi penentuan kebijakan subsidi BBM bukan saja karena semata pertimbangan ekonomi dibalik itu, yang sudah pasti sangat diperlukan dalam setiap kebijakan, dan juga bukan karena memang logika dan pertimbangan stabilisasi sosialpolitik selalu mengemuka dalam setiap kebijakan pemenuhan kesejahteraan dalam situasi krisis ekonomi. Tetapi, karena memang etiko-politik demokrasi mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara dalam pembangunan untuk mencapai stabilisasi pembangunan. Sesungguhnya bekerjanya etiko-politik demokrasi dan pemenuhan hak-hak dasar dalam pembangunan ini sepenuhnya tidak bertentangan dengan
51
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
pendekatan ekonomi pasar. Bekerjanya ekonomi pasar sangat memerlukan kepastian pemenuhan hak-hak warga negara dalam pembangunan yang dijamin negara dan dalam konteks ini hal itu memberikan sinyal tersendiri bagi bekerjanya sistem ekonomi pasar. Sebagaimana ditekankan Bates, kelembagaan politik sangat penting memberikan kepastian sinyal bagi bekerjanya ekonomi pasar. Berpijak pada semangat bringing state back in, Bates menegaskan jaminan kepastian hak-hak private dan kolektif penduduk, yang hanya bisa diwujudkan melalui pembentukan kelembagaan politik negara, memberikan insentif tersendiri bagi bekerjanya ekonomi pasar. Mengikuti teorema Coase, Bates mencontohkan bagaimana membangun infrastruktur jalan kereta api di tengah ladang pertanian9. Pertimbangan ekonomi akan mendorong investasi dan alokasi sumberdaya maksimal dengan membangun dua jalur kereta api akan membawa keuntungan maksimal. Tetapi, hal itu akan mengakibatkan biaya lahan pertanian dan kerusakan tanaman akibat arus kereta api akan dipikul petani dan karena itu petani kemungkinan besar akan menolaknya. Kelompok dan organisasi petani akan meminta 9 Lihat Robert H. Bates, Op.Cit, 1992, hal. 6-7.
52
Edisi 1 / April / 2011
biaya kerugian atas tanah yang digunakan oleh pembangunan dua jalur kereta api. Dan, kalau hal itu tidak terpenuhi maka pembangunan jalur kereta api akan berhenti. Menghadapi kenyataan ini, tentu ekonomi pasar akan berfikir ulang untuk membangun dua jalur kereta api. Pasar akan lebih suka memilih tetap membangun jalur kereta dengan satu jalur meski keuntungan sedikut turun tetap tetap mereka dapatkan. Sementara, petani akan menerimanya dengan kompensasi dan keuntungan dapat menggunakan sarana kereta api untuk berpergian dan menjual komiditi ke perkotaan. Dalam kasus ini kelembagaan politik menjadi penting. Kebijakan pemerintah memastikan hakhak petani dan pengorganisasian petani dalam pembangunan menjadi prasyarat penting bekerjanya ekonomi pasar. Demikian pula, pengorganisasian politik ini sejalan dengan semangat kesejahteraan sebagaimana dikemukakan kalangan populis dalam mengartikulasikan kepentingan petani dalam pembangunan. Pembentukan kelembagaan politik memastikan hak-hak dimiliki petani dalam pembangunan selain memberikan sinyal tersendiri bagi bekerjanya ekonomi pasar, juga hal itu tidak bertentangan dan masih sejalan
Edisi 1 / April / 2011
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
dengan kepentingan kaum populis mendukung partisipasi petani dan kelompok lemah dalam pembangunan. Kebijakan politik memberikan hak-hak rakyat secara progresif dalam pembangunan akan menciptakan stabilisasi bagi berlangsungnya proses pembangunan.
sinyal kepastian terhadap bekerjanya ekonomi pasar untuk mencapai keuntungan maksimal diterima berbagai pihak.
Hal yang sama metapor ini dapat kita berlakukan untuk kasus subsidi BBM. Pencabutan total seluruh subsidi BBM tentu akan memberikan keuntungan maksimal pada sektor swasta karena harga akan meningkat dan penjualan menjadi berlipat. Namun, hal itu berhadapan dengan rakyat dan penduduk yang selama ini bergantung pada subsidi pemerintah. Pencabutan seluruh subsidi BBM tentu akan ditolak masyarakat dan karena itu kebijakan itu akan menciptaka destabilisasi sosial. Pencabutan sebagian dengan memberikan kepastian hak-hak warga negara dalam pembangunan berupa pemberian subsidi diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan dan menaikkan produktivitas ekonomi dalam hal ini menjadi pilihan sangat mungkin dilakukan. Subsidi BBM dalam hal ini merupakan hak warga negara untuk menerimanya dari negara. Melalui kepastian pemberian hak dan pengorganisasian hak ini dalam politik akan memberikan
Politik demokrasi memberikan jaminan kepastian bekerjanya hak-hak warga negara dalam pembangunan. Dalam kasus kebijakan subsidi BBM hal ini penting dijadikan pijakan untuk memberikan jaminan kepastian bekerjanya sistem ekonomi dan sekaligus pemenuhan hak kesejahteraan penduduk. Demokrasi tidak menolak liberalisme ekonomi. Kepentingan individual dan hak-hak melekat padanya, sebagaimana ditekankan dalam ekonomi liberal, diakui dalam demokrasi. Demokrasi menekankan kebebasan setiap warga negara dalam berusaha untuk mengejar kepentingan ekonomi dan sekaligus mengakui hak-hak penduduk dalam kehidupan politik dan sosialekonomi. Penggunaan kebebasan dan hak-hak dasar ini diakui dan dijamin dalam demokrasi, sebagai fondasi penting bagi bekerjanya sistem politik demokrasi. Memang konflik kepentingan diantara warga negara dan kelompokkelompok dalam masyarakat
Ethico-politico demokrasi dalam subsidi BBM
53
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
selalu tak terhindarkan dalam demokrasi, karena itu resolusi konflik atas berbagai konflik kepentingan berlangsung menjadi bagian penting dari bekerjanya sistem demokrasi. Namun demikian, demokrasi juga menekankan kesetaraan diantara warga negara dalam kehidupan politik dan ekonomi. Termasuk di dalam kesetaraan ini adalah kebutuhan akan keadilan dan kesejahteraan di kalangan penduduk. Pencapaian kepentingan bersama dan juga resolusi konflik kepentingan terjadi tidak bisa dilakukan dengan pemaksaan kehendak kelompok kuat meskipun perjuangan diantara kelompok diakui. Konsensus tidak bisa dilakukan dengan eksklusi tetapi harus bersifat inklusif sebagai bagian dari pemenuhan kesetaraan politik dan sosialekonomi diantara warga negara ini. Konsensus yang dilakukan dengan eksklusi menimbulkan konflik dalam konsensus yang bisa berujung kekerasan dan tidak bekerjanya kelembagaan politik demokrasi. Mendamaikan kontradiksi antara kebebasan dan kesetaraan dalam demokrasi ini maka kebebasan dan kesetaraan bagi semua (liberty and equality for all) merupakan ethico-politico
54
Edisi 1 / April / 2011
penting dijadikan pijakan dalam penentuan kebijakan demokratis. Demokrasi tidak hanya menekankan kebebasan saja yang akan membawa kelembagaan politik jatuh dalam konflik dan kekerasan yang membuat kelembagaan politik tidak mampu bekerja dalam memenuhi kebebasan dan hak-hak warga negara. Namun, harus dijalankan atas dasar kesetaraan diantara warga negara sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Prinsip etika-politik demokrasi ini, kebebasan dan kesetaraan bagi semua, merupakan prinsip penting memungkinkan bekerjanya penentuan kebijakan demokratis. Kebijakan subsidi BBM sekarang ini harus ditempatkan dalam bekerjanya politik dan penentuan kebijakan demokratis. Kita disini berbeda dengan rasionalitas ekonomi liberal yang hanya menekankan pada rasionalitas ekonomi pasar sehingga terjadi konflik di masyarakat. Demikian pula, sebaliknya, berbeda dengan ekonomi sosialis yang hanya menekankan kesejahteraan dengan mengabaikan rasionalitas ekonomi. Tetapi, mengabungkan keduanya dengan memberikan kebebasan dan mengakui hakhak dalam pembangunan dalam penentuan kebijakan. Tetapi, kebebasan dan pengakuan hak-
Edisi 1 / April / 2011
hak dalam pembangunan ini ditempatkan dalam prinsip kebebasan dalam kesetaraan dalam politik demokrasi. Kebijakan subsidi BBM sekarang ini dengan demikian akan berbeda dengan kebijakan subsidi sebelumnya yang hanya menekankan pada rasionalitas ekonomi sebagaimana dianut ekonomi liberal. Demikian pula, berbeda dengan kebijakan subsidi yang hanya mengikuti tuntutan kesejahteraan penduduk dengan mengorbankan rasionalitas ekonomi. Tetapi, lebih menempatkan artikulasi, tuntutan dan pengorganisasian politik berkaitan dengan kepentingan kesejahteraan penduduk dan peran negara dalam pemberian subsidi BBM sebagai prasyarat utama terciptanya kelembagaan politik untuk bekerjanya rasionalitas ekonomi pasar. Pendekatan ekonomi melampaui bekerjanya ekonomi pasar sempurna (beyond the miracle of the market) dengan memberikan peran kelembagaan politik untuk memberikan kepastian bekerjanya ekonomi pasar dalam memenuhi kesejahteraan merupakan pendekatan politik ekonomi paling sesuai untuk memecahkan masalah ini. Masalah subsidi BBM ini merupakan konflik politik dan
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
ekonomi terpendam (latent political and economic conflict) terdapat dalam bekerjanya pembangunan ekonomi sekarang dalam sistem ekonomi dan sistem politik berlangsung sekarang. Masalah ini merupakan masalah setiap saat muncul dan tidak bisa diatasi dengan sederhana secara pragmatis, atau tambal sulam, hanya dengan memenuhi salah satu kepentingan demi rasionalitas ekonomi atau kesejahteraan saja. Tetapi, harus didasarkan pada etika-politik kuat berlandaskan etika-politik demokrasi dijunjung tinggi semua pihak untuk mendapatkan solusi mampu memenuhi keduanya, pertimbangan ekonomi pasar sekaligus memenuhi kesejahteraan rakyat. Pendekatan politik ekonomi dengan menekankan pentingnya penentuan kebijakan demokratis berdasar etika-politik menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan bagi semua penting ditekankan dalam kebijakan subsidi BBB. Artikulasi kepentingan, tuntutan dan hak-hak warga negara dalam pembangunan dan bekerjanya kelembagaan politik dalam menjalankan dan menjamin hak-hak warga negara dalam pembangunan ini memberikan arti tersendiri bagi bekerjanya sistem ekonomi pasar berlangsung sekarang ini. Bekerjanya
55
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
kelembagaan politik demokrasi mampu menjamin hak-hak warga negara dan pembangunan akan memberikan kepastian bagi bekerjanya ekonomi pasar dan penentuan kebijakan ekonomi
56
Edisi 1 / April / 2011
hendak digulirkan pemerintah untuk memberikan kepastian bagi peningkatan produksi dan pemenuhan kesejahteraan bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi.***
Edisi 14 / April / Tahun V / 2011
Laporan Studi Lapangan Respons Masyarakat terhadap Rencana Kebijakan Pengendalian BBM Bersubsidi Oleh Tim Redaksi
57
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Pemerintah segera akan mengimplementsikan kebijakan pengendalian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada akhir kuartal pertama atau bulan Maret 2011. Sebelumnya kebijakan ini akan dilaksanakan pada bulan Januari 2011, tetapi setelah mendapat masukan dari DPR dalam forum rapat di Komisi VII, akhirnya disepakati kebijakan ini diundur karena pemerintah diminta untuk melengkapi kajian sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011. Atas saran dan usul dari wakil rakyat tersebut, akhirnya pemerintah sepakat akan menunda kebijakan pengendalian BBM bersubsidi tersebut.
58
Edisi 1 / April / 2011
D
alam perdebatan di tingkat parlemen, kebijakan tersebut pada prinsipnya pihak wakil rakyat bisa memahami argumen pemerintah yang ingin mengurangi ketergantungan impor BBM dan mengalihkannya pada bahan bakar gas yang lebih akrab lingkungan. Di samping itu dengan meningkatkan bahan bakar gas akan lebih merangsang produksi energi dalam negeri. Namun demikian kalangan wakil rakyat menekankan pentinganya persiapan yang lebih matang sebelum pemerintah akan mengimplementasikan kebijakan yang cukup sensitif tersebut. Beberapa saran itu antara lain agar pemerintah meningkatkan infrastruktur di sektor energi, kata Sutan Batugana dari Fraksi Partai Demokrat. Sedangkan Fraksi Golkar meminta agar pemerintah melakukan sosialisasi yang intensif agar dampak negatifnya dapat dikurangi, dan pemberlakuannya agar bertahap, misalnya di sekitar Jabotabek dulu. Sementara F-PKS juga berpandangan sama, pemerintah sudah melakukan kajian dan membuat desain yang baik dari September 2010. F-PKS menyetujui pengaturan BBM bersubsidi, namun dilakukan secara
Edisi 1 / April / 2011
bertahap pada Maret 2011 dimulai di wilayah Jabodetabek. Fraksi PAN berpendapat, pengaturan BBM pemerintah merupakan konsekuensi logis UU 10 tahun 2010. Kuota tidak akan tercapai kalau tidak ada manajemen yang baik. F-PAN menambahkan, semakin cepat diimplementasikan akan semakin baik dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Fraksi itu juga menyarankan kuartal pertama tahun depan lebih baik dampaknya ke APBN 2011.Sementara itu, F-PPP meminta pemerintah melaksanakan pengendalian BBM dengan jadwal tentatif menurut kajian kesiapan di bidang infrastruktur, pemerintah harus mengantisipasi manipulasi pasar gelap, mempertimbangkan dampak sosial ekonomi, dan kesiapan pertamina siapkan BBM non subsidi. Selain itu, pemerintah juga harus menggunakan momentum untuk memprioritaskan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk transportasi nasional tanpa subsidi. “Memberikan kemudahan pelat hitam jenis angkutan barang mutasi ke pelat kuning untuk meminimalisir dampak,” kata Romahurmuzy, anggota Komisi VII dari F-PPP. Sedangkan Fraksi PKB dan Hanura mendukung pengalihan atau pengurangan subsidi BBM untuk kendaraan pribadi. Namun, pelaksanaannya tidak tepat di Januari 2011. Tentunya sampai waktu yang cukup, masa pengunduran, F-PKB mengharapkan ditetapkan kajian tambahan.
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Kritik dan saran juga datang dari para pengamat dan pakar di bidang energi. Menurut Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Miner Institute, menilai bahwa pemerintah masih belum memiliki rencana yang matang mengenai pembatasan BBM bersubsidi, sebagai indikator adalah mundurnya implementasi kebijakan tersebut hingga bulan Maret mendatang. Padahal rencana pembatasan itu sudah ada sejak tahun 2008, tetapi pemerintah selalu menunda rencana tersebut karena belum siap. Namun demikian, lebih dari itu, menurut Pri Agung, dalam kebijakan energi BBM pemerintah seharusnya jangan lagi berkutat pada masalah pembatasan BBM, karena kebijakan seperti hanya solusi instan karena terkait dengan penurunan anggaran untuk subsidi BBM. Masalah utama yang harus diselesaikan adalah bagaimana mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap BBM yang mencapai 70%. Oleh karena itu yang harus dilakukan pemerintah selain melakukan pembatasan terhadap BBM bersubsidi adalah dengan mengembangkan sumber bahan bakar lain dan mengembangkan transportasi massal. Sebagai contoh misalnya, pengembangan bahan bakar lainnya dapat dilakukan dengan mengembangkan bahan bakar gas (BBG) atau dengan bahan bakar nabati. Selama ini pengembangan bahan bakar lainnya hanya terbatas wacana. Rencana
59
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
pengembangan bahan bakar nabati sendiri sudah ada sejak tahun 2005 pada saat kita menaikkan harga BBM sebesar 120 %, namun hingga kini belum ada hasilnya. Padahal menurut Pri Agung, jika sejak saat itu sudah diberlakukan, saat ini kita sudah bisa menikmati hasilnya. Dengan mempertimbangkan nilai aktualitasnya yang tinggi kebijakan tersebut, dan di samping itu juga masih menimbulkan perdebatan, maka Jurnal Dialog Publik kali ini akan mengangkat tema Kebijakan Pengalihan BBM Bersubsidi, agar mendapatkan solusi yang konstruktif untuk pembangunan energi nasional ke depan. Diberlakukannya kebijakan pengendalian energi BBM bersubsidi tentu akan mengundang respons beragam di kalangan masyarakat. Ada pro-kontra yang berkembang di berbagai lapisan dan elemen masyarakat. Akan tetapi dari berbagai pendapat yang berkembang tersebut, tentu juga ada tawaran alternatif yang berguna bagi upaya gerakan hemat energi. Pemahaman masyarakat terhadap apa isi dan tujuan kebijakan ini juga beragam, ada yang paham dan tentu tidak sedikit yang kurang mengetahuinya. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi, sebelum kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di semua wilayah Indonesia. Sementara itu, dukungan dari para tokoh masyarakat juga sangat diharapkan dalam
60
Edisi 1 / April / 2011
mengefektifkan kebijakan tersebut demi untuk tercapainya tujuan bersama.Oleh karena itu, melalui pengumpulan data lapangan dengan metode observasi dan wawancara mendalam kepada segenap informan yang potensial di berbagai daerah, akan dapat diserap aspirasi dan harapan sebagai umpan balik dari masyarakat, yang akan sangat berguna bagi upaya mengefektifkan kebijakan pengendalian energi BBM bersubsidi ini. Lokasi pengumpulan data lapangan diselenggarakan di enam (6) kota di Indonesia untuk mendapatkan pendapat publik tentang berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat terkait dengan akan kebijakan pengendalian energy BBM bersubsidi. Keenam lokasi studi lapangan tersebar di wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur yang dianggap relevan dengan isu energi, yaitu meliputi, Surabaya, Surakarta, Bontang, Makasar, dan Jayapura. Adapun pertimbangan dipilihnya kota tersebut adalah, bahwa di samping untuk mewakili perimbangan territorial yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah dan timur, juga atas pertimbangan intensitas penggunaan energy dan potensi pengembangan energi BBM. Untuk daerah-daerah yang dianggap intensitas penggunaan energy BBM tinggi diwakili kota Surakarta, Surabaya, dan Makasar. Sedangkan untuk potensi pengembangan energi
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 / April / 2011
BBM diwakili oleh Jayapura.
Bontang, dan
Hakekat Kebijakan BBM Bersubsidi Kebijakan Pengendalian BBM Bersubsisdi cukup mendapat sorotan publik, karena sudah bisa dipastikan akan menambah beban hidup masyarakat, karena dengan menetapkan penggunaan premium hanya kendaraan niaga sedangkan kendaraan pribadi diharuskan menggunakan pertamax pemahamannya adalah kenaikan pengeluaran kurang lebih Rp 2.500,per liter. Belum lagi kalau kemudian pertamax nanti juga dinaikkan karena harga minyak dunia naik karena krisis Timur Tengah. Namun demikian, Pemerintah tentu punya alasan kenapa kebijakan tersebut harus dilakukan. Menurut penjelasan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr. Ing. Evita H. Legowo, ada lima faktor yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan ini, yaitu: (1) pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan komuditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak (pasal 8 ayat 2 UU No.22/2002); (2) subsidi adalah alokasi anggaran untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya bisa
dijangkau oleh masyarakat (pasal 1 ayat 16 UU No. 10/2010); (3) subsidi BBM yang diberikan saat ini belum tepat sasaran Sebagian besar subsidi dinikmati oleh kalangan mampu. Berdasarkan hasil sensus 2008 menunjukkan bahwa selama ini yang menikmati subsidi BBM hanya 23% rakyat Indonesia yang sebagian besar masuk ketgori mampu dan kaya, sedangkan 77% tidak dinikmati oleh rakyat yang kurang mampu, tepai justru dinikamti oleh mereka yang mempunyai pendapatan tinggi. Jadi Pemerintah merasa bahwa kebijakan subsidi BBM yang sudah dilakukan tidak tepat sasaran; (4) subsidi BBM meningkat tajam dan semakin membebani keuangan Negara. Subsidi BBM tahun 2010 meningkat 181 % disbanding subsidi BBM tahun 2009 (Realisasi APBN tahun 2009 dan perkiraan realisasi APBN 2010). Kemungkinan masih terus mengalami peningkatan jika tidak diambil langkah-langkah pengendalian. Oleh karena itu pemerintah berusaha agar supaaya BBM bersubsidi itu betulbetul jatuh kepada mereka yang harus menerimanya. Jadika kebijakan ini pada dasarnya merupakan model atau cara yang digunakan supaya subsidi BBM sampai pada orang yang kita tuju; dan (5) UU No. 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 mengamantakan agar pemerintah melakukan pengaturan BBM bersubsidi secara bertahap agar alokasinya dapat terlaksana dengan tepat volume dan tepat sasaran.
61
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Adapun tujuan dikeluarkannya kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini menurut Evita adalah bahwa subsidi BBM harus tepat sasaran dan tepat volume. Dari data yang kita peroleh, subsidi BBM jatuh pada orang- orang yang seharusnya tidak menerima. Pada tahun 2011 ini dianggarkan subsidi BBM sebesar Rp.95 triliun, padahal kalau kita membangun kilang minyak baru itu hanya sekitar Rp.50 triliun. Jadi sebetulnya jika ini digunakan kembali kepada rakyat, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. “Tetapi sekarang ini subsidi BBM habis dinikmati oleh oleh mereka yang mampu, jadi tidak tepat. Jadi prinsipnya subsidi BBM untuk rakyat yang kurang mampu tetap diberikan, hanya saja pelaksanaannya perlu secara bertahap. Sebelumnya kebijakan subsidi BBM bersifat terbuka, sehingga pada tahun 2011 ini subsidi sudah harus diatur dan bersifat tertutup, yakni hanya untuk orangorang terentu saja (kurang mampu)”, katanya. Lebih lanjut Evita menjelaskan bahwa untuk mengantisipasi reaksi masyarakat, pemerintah telah membentuk 5 pokja yaitu Pokja Operasional, Pokja Pengawasan, Pokja Sosialisasi, Pokja Hukum, dan Pokja Sosial-Ekonomi. Pokja-pokja ini akan bekerja optimal termasuk upaya mencegah berbagai bentuk manipulasisebagai ekses dengan melakukan langkah peningkatan
62
Edisi 1 / April / 2011
pengawasan dengan memperkuat kelembagaan dan sosialisasi, mengintensifkan persiapan alat kendali dan system pendukungnya, serta mengembangkan bahan baker alternatif yang terjangkau di samping pertamax. “Menteri sekarang telah bicara mengenai hal ini sebagai salah satu bentuk sosialisasi, meskipun belum ada aturan khusus. Juga telah mengeluarkan himbauan kepada masyarakat untuk menggunakan pertama sebagai upaya mengurangi kecenderungan menggunakan premium. Pelaksanaannya juga dilakukan secara bertahap, yaitu pertama kali di wilayah Jabotabek dan selanjutnya secara gradual akan diterapkan di seluruh Pulau Jawa dan luar Jawa”, katanya.
Papua: Pertimbangan Kewilayahan Papua merupakan daerah yang paling problematik jika berkaitan dengan kebijakan energi. Karena alasan kondisi geografis dan masih banyaknya wilayah yang belum memiliki infrastruktur transportasi memadai, maka masalah energi BBM sangat sensitif bagi fluktuasi perekonomian di daerah ini. Harga BBM dapat mencapai harga 5 hingga 7 kali lipat untuk wilayah terpencil, karena harus diangkut dengan transportasi udara. Oleh karena itu adanya kebijakan pengendalian subsidi BBM di daerah ini
Edisi 1 / April / 2011
penerapannya harus bersifat khusus. Sebagaimana diutarakan oleh Ave Lefaan, seorang antropolog dari Universitas Cenderawasih, jika memang pemerintah akan menerapkan kebijakan subsidi BBM yang prioritasnya bagi warga meskin, maka ukurannya tidak bisa digeneralisasi. Artinya, bukan melihat pada atribut sosial saja, tetapi harus dilihat dari pertimbangan kewilayahan, seperti posisi daerah terpencil. Jadi di wilayah Papua banyak daerah terpencil yang semua itu sudah cukup layak mendapat subsidi BBM. Sebab tanpa pertimbangan keterpencilan itu, maka subsidi BBM untuk rakyat miskin menjadi tidak efektif. “Sebagai ilustrasi, kalau aturan subsidi BBM ditetapkan sesuai dengan harga standar, misalnya Rp 4.500 per liter, lantaas bagaimana harga BBM jenis premium di daerah terpencil yang sudah mencapai Rp 20.000 atau bahkan Rp 60.000 per liter?”, kata Ave dengan nada bertanya. Dengan demikian menurut Ave subsidi BBM itu harus mengacu pada kondisi kewilayahan. Mereka yang bergerak pada jasa transportasi di daerah-daerah kabupaten terpencil seperti Kabupaten Bintang, Puncakjaya, Sarmi, dan lain-lain, subsidinya harus sesuai dengan harga BBM setempat. Jika tidak maka sama sekali tidak akan ada artinya bagi orang-orang yang bekerja sebagai sopir angkutan baik
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
di darat maupun di sungai-sungai. Harus diingat bahwa sepirit utama kebijakan pengendalian subsidi BBM adalah efektivitas, dalam arti tepat sasaran yaitu orang miskin. Untuk di daerah-daerah di perkotaan seperti kota Jayapura dan Sentani misalnya, boleh jadi bisa diberlakukan dengan daerah lain di Jawa, akan tetapi sekali untuk daerah lain yang terpencil harus diperlakukan khusus. “Karena itu, kebijakan pengendalian subsidi BBM harus bersifat fleksibel, tidak rigid-normatif”, ungkapnya. Sementara itu Habel Suwae, Bupati Kabupaten Jayapura, mengatakan bahwa untuk daerah perkotaan seperti Jayapura atau Sentani, yang menjadi masalah adalah soal pasokan BBM yang sering terlambat, sehingga sering terjadi kelangkaan BBM. Antrian panjang di SPBU sering terjadi, karena lambatnya pasokan BBM dari depo-depo Pertamina. “Kalau subsidi BBM untuk mereka warga yang meskin saya sangat setuju, tetapi di sini yang sering menjadi masalah adalah soal kelancaran distribusi. Ketidaklancaran distribusi menjadi faktor utama naiknya harga BBM di tingkat konsumen. Setiap terjadi kelangkaan BBM, maka harga otomatis akan meningkat, dan bersamaan dengan itu harga-harga kebutuhan ekonomi rumah tangga juga merambat naik”, ungkap Habel. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Abert Karabungu,
63
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
seorang kepala bagian Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Jayapura. Ia menceritakan di daerah Papua sering terjadi kelangkaan BBM, sehingga memicu keributan. “Saya kira kalau soal kebijakan subsidi pengendalian BBM yang diperuntukan bagi rakyat miskin itu, prinsipnya sangat setuju. Hanya saja yang perlu diingat adalah bagaimana pengaturannya di lapangan. Saya membayangkan pelaksanaannya tidak mudah, dan berpotensi memicu keributan. Belajar dari peristiwa kelangkaan BBM saja sudah menegangkan, apalagi soal distribusi subsidi BBM yang ditandai hanya dengan kupon. Jika tidak hatihati petugas di lapangan akan sering menjadi sasaran kemarahan warga”, katanya. Masalah pengaturan di lapangan ini memang sangat krusial, karena sangat sensitive. Belajar dari kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikkan BBM, meski kemudian relatif lancar, tetapi pada awalnya sangat ruwet dan tidak tepat sasaran karena masalah identifikasi siapa yang berhak mendapatkan BLT juga sangat subyektif bergantung pada pendataan di tingkat RT/RW. “Persoalan siapa yang mendapat subsidi BBM nantinya juga tidak mudah. Apakah mengacu pada jenis kendaraan atau atribut sosialnya. Kalau berdasarkan jenis kendaraan yang berplat kuning relatif mudah mengidentifikasikannya, tetapi jika mengacu pada atribut
64
Edisi 1 / April / 2011
sosial, maka akan sangat rumit. Orang yang memiliki atribut sosial sebagai tukang ojek misalnya, ini harus didefinisikan secara jelas siapa yang namanya tukang ojek, sehingga berhak mendapat bantuan subsidi BBM. Untuk tukang ojek yang memiliki organisasi yang jelas, maka mudah mengidentifikasi orang dan jumlahnya. Tetapi di daerah-daerah seperti Jayapura ini banyak tukang ojek belum memiliki organisasi yang rapi”, kata Yoris Tebay, salah seorang pegawai portal di Bandara Sentani. Hal itu belum lagi persoalan, bahwa motor tukang ojek masih berplat hitam. Jadi jika nanti acuan perolehan subsidi adalah kendaraan umum berplat kuning, maka kebijakan pengendalian subsidi BBM akan menuai protes keras dari kalangan tukang ojek, dan juga angkutan umum yang berplat hitam lainnya. Oleh karena itu, Maria Banoa, Penggerak Perempuan Kabupaten Jayapura, mengingatkan kalau mendistribusikan sesuai yang bernilai ekonomi, seperti kupon subsidi BBM, harus berhati-hati dan memiliki aturan yang jelas, sehingga tidak menimbulkan tafsir ganda. Terlebih lagi di wilayah yang warganya memiliki watak keras seperti di Papua, maka harus hati-hati sekali. “Sosialisasi menjadi sangat penting, sebelum kebijakan pengendalian subsidi BBM diterapkan. Keterlibatan tokoh masyarakat, terutama tokoh adat, adalah mutlak untuk memberikan penjelasan kepada
Edisi 1 / April / 2011
warga masyarakat Papua. Ini penting karena menentukan siapa yang berhak mendapat subsidi BBM adalah masalah yang sangat sensitif”, kata Maria.
Bontang: Subsidi Risiko Respons warga Kota Bontang terhadap rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM relatif biasan dan datar-datar saja. Artinya, mereka sangat setuju jika memang sasarannya adalah warga miskin. Namun problem utama bagi masyarakat kota Bontang di bidang kebijakan energi lebih berkaitan dengan elpiji. Ini terkait dengan keberadaan dua perusahaan raksasa yang bergerak di bidang pengolahan energi gas alam cair. Sebagaimana diketahui, Kota Bontang terkenal sebagai salah satu daerah kaya di Indonesia, setidaknya begitu persepsi yang berkembang dalam masyarakat. Orang mengenal Bontang adalah karena di situ terdapat perusahaan raksasa, yaitu PT Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim. PT Badak LNG merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan energi gas alam cair. Sementara itu PT Pupuk Kaltim merupakan salah satu pabrik pupuk terbesar di Indonesia dan pensuplai utama kebutuhan pupuk bagi petani di seluruh Indonesia. Atas usaha kedua perusahaan raksasa itu pula kemudian berdiri sebuah klub sepakbola, yaitu Bontang FC yang masuk dalam devisi utama
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
PSSI atau Liga Super Indonesia. Di samping itu di kota ini juga terkenal klub sepakbolanya, yang bernama Pupuk Kaltim. Sudah menjadi pandangan umum, setiap kota atau daerah yang memiliki klub sepakbola di tingkat nasional, identik dengan daerah kaya. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian masyarakat mengenal daerah Bontang adalah daerah kaya, karena memiliki perusahaan energi bahan bakar yang dikelola oleh Pertamina. “Kesan bahwa Kota Bontang adalah daerah kaya memang bisa dipahami. Akan tetapi pada kenyataannya adalah sebaliknya. Karena yang itu adalah PT Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim, dan perlu diketahui bahwa pemerintah Kota Bontang tidak mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kedua perusahaan tersebut, kecuali jasa angkutan pelabuhan”, kata Lukman salah satu kepala bagian Pemerintah Kota Bontang. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa yang banyak memperoleh keuntungan atas keberadaan kedua perusahaan tersebut adalah Kabupaten Kutai Kartanegara, karena bahan baku LNG dan pupuk memang berasal dari daerah tersebut. Sedangkan Bontang hanya merupakan tempat pengolahan dan distribusi lewat pelabuhan laut. Sementara itu menurut peraturan perundangan yang mengatur ketentuan pengolahan energi, hanya
65
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
merujuk pada asal bahan baku yang berhak mendapat pembagian keuntungan atas eksplorasi energi yang berasal dari sumber daya alam. “Inilah repotnya, karena ketentuan aturannya seperti itu, maka pemerintah Kota Bontang tidak mendapatkan pembagian keuntungan atas beroperasinya perusahaan pengolahan energi tersebut. Di sini hanya dipakai untuk lewat rejeki daerah lain saja, sementara Bontang tidak kecipratan rejeki itu”, kata Lukman. Keterangan Lukman tersebut juga dibenarkan oleh Damar, salah seorang pegawai PT Badak LNG. “Kota Bontang ini hanya tempat pengolahan energi saja, karena kebetulan daerah ini cukup strategis sebab memiliki pelabuhan yang merupakan infrastruktur utama untuk keperluan distribusi gas elpiji. Melalui pelabuhan itulah hasil olahan PT Badak didistribusikan ke berbagai negara, terutama ke Jepang”, kata Damar menjelaskan. Akan tetapi Damar menjelaskan, meskipun pemerintah Kota Bontang tidak mendapatkan hak bagi hasil atas pengolahan energi, tetapi dampak bagi meningkatnya denyut perekonomian cukup signifikan. Ribuan karyawan yang bekerja pada kedua perusahaan tersebut semuanya bermukim di wilayah kota Bontang, sehingga daya beli masyarakat meningkat. “Keberadaan PT Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim
66
Edisi 1 / April / 2011
merupakan urat nadi perekonomian Kota Bontang”, kata Damar. Dari hasil observasi menunjukan, memang denyut perekonomian di kota Bontang cukup ramai, terutama perekonomian yang memenuhi kebutuhan para pegawai perusahaan tersebut. Berbagai fasilitas perekonomian, seperti pusat perbelanjaan, super market, fasilitas rekreasi dan hiburan, serta sektor jasa, hampir semuanya untuk melayani kebutuhan para karyawan perusahaan tersebut. Oleh karena itu Dobi, Kepalah Humas Pemerintah Kotan Bontang, dan warga Kota Bontang pada umumnya mengakui, bahwa efek ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan kedua perusahaan tersebut sedikit banyak juga memberikan kontribusi bagi peningkatan PAD pemerintah Kota Bontang. Hanya saja, baik Damar maupun Lukman, serta warga Kota Bontang merasakan adanya ironi, bahwa sering kali harga elpiji jauh lebih mahal daripada di Jawa. “Padahal di sini kan daerah pengolahan gas alam cair, tetapi ironisnya justru harga gas elpiji jauh lebih mahal dari pada di Jawa misalnya. Ini kan ibaratnya seperti ayam kelaparan di lumbung padi” katanya. Sementara itu keluhan yang sama juga datang dari Muksin, salah seorang sopir taxi yang melayani rute SamarindaBontang. “Saya juga heran, katanya di sini daerah penghasil elpiji,
Edisi 1 / April / 2011
tetapi kok harga elpiji mahal sekali. Bahkan tidak jarang di sini langka pasokan elpiji kurang sehingga harus mengantri beli gas untuk bahan bakar kompor itu”, kata Muksin dengan raut muka tidak habis mengerti mengapa itu bisa terjadi. Satu hal lagi yang menjadi keluhan warga Kota Bontang adalah, bahwa risiko polusi yang diakibatkan oleh keberadaan PT Badak LNG dan Pupuk Kaltim yang menanggung adalah warga Kota Bontang. “Menurut para ahli, jika salah satu tangki itu mengalami kebocoran akan mengeluarkan udara dingin di bawah nol derajat Celsius, sehingga orang bisa mengalami gangguan kesehatan serius. Belum lagi polusi yang ditimbulkan oleh asap dan api yang keluar dari cerobong-cerobong itu. Kan semua itu berakibat buruk pada kesehatan warga”, kata Dobi menjelaskan. Oleh karena itu, Dobi berharap bahwa perlu mulai dipikirkan kebijakan dari pemerintah pusat adanya semacam subsidi risiko. Artinya, bagi warga masyarakat yang dekat dengan pengolahan energi dan berpotensi terkena risiko polusi atau kecelakaan yang ditimbulkan oleh perusahaan pengolahan energi tersebut, maka perlu diberi subsidi risiko. Misalnya harga elpiji mendapat subsidi dari pemerintah bagi daerah yang menjadi tempat perusahaan pengolahan energi seperti Bontang. “Dengan subsidi risiko itu, maka
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
harga elpiji bagi warga Bontang akan lebih murah daripada harga di pasaran. Jadi tidak malah lebih mahal daripada harga normal seperti yang terjadi di Bontang selama ini”, kata Dobi berharap. Memang harus diakui bahwa apa yang dialami oleh pemerintah Kota Bontang berkait dengan keberadaan PT Badak LNG dan Pupuk Kaltim ini, merupakan konsekuensi daerah pemekaran. Artinya, dahulu pada era Orde Baru, di mana kedua perusahaan tersebut berdiri, kota Bontang merupakan bagian dari Kabupaten Kutai. Akan tetapi setelah era Otonomi Daerah, Kota Bontang berdiri sendiri, dan kebetulan kedua perusahaan tersebut berada di wilayah pemerintahan Kota Bontang. “Oleh karena itu, sebagai kompensasi atas risiko yang ditanggung oleh warga Bontang, sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan adanya subsidi risiko dalam bentuk murahnya bahan bakar elpiji. Cara ini terasa lebih adil dan memang sudah selayaknya jika warga di seputar pabrik pengolahan hasil energi ikut menikmati keuntungannya”, kata Dobi.
Makasar: Antara Pesimisme dan Optimisme Kalangan pemerintah, pengusaha, akademisi, dan politisi di MakassarSulawesi Selatan memiliki pandangan yang seragam mengenai kebijakan pengendalian subsidi BBM yang
67
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
akan diberlakukan oleh pemerintah secara nasional. Menurut mereka, semua pihak berkepentingan di Sulawesi Selatan, dinilai belum siap. Baik pemerintah daerah, masyarakat, maupun pengusaha. Aspek strategi pelaksanaan kebijakan pengendalian BBM secara sistemik dan sosialisasi kebijakan yang masih sangat terbatas merupakan aspek krusial yang menjadi tolok ukur ketidaksiapan tersebut. Akan tetapi di sisi lain, mereka memiliki optimisme bahwa Sulawesi Selatan siap dengan berbagai energi alternatif yang dapat dieksplorasi lebih lanjut. Aspek strategi pelaksanaan yang belum dilakukan secara sistemik diakui oleh Kepala Dinas Energi dan SDM Propinsi Sulawesi Selatan, Ir. Gunawan Palaguna, bahwa lembaganya secara formal belum menerima petunjuk pelaksanaan kebijakan tersebut, termasuk petunjuk secara teknis dari Pemerintah Pusat, seperti diutarakan oleh. Tetapi langkah-langkah koordinasi lembaganya dengan Pertamina telah dilakukan. Demikian pula dengan pernyataan Ir. Affandi Agusman Aris, anggota Komisi D, DPRD Propinsi Sulawesi Selatan, bahwa belum ada pembicaraan resmi antara DPRD dan Pemerintah Propinsi untuk mempersiapkan segala sesuatu terkait dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Usulnya, jika itu sudah menjadi kebijakan pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota harus siap dan proaktif. Bahkan
68
Edisi 1 / April / 2011
Affandi dan Baso Siswadarma, dari kalangan akademisi, meminta agar kebijakan tersebut ditinjau kembali, setelah mengamati kekurangsiapan daerah saat ini. Lebih lanjut, Baso yang juga Wakil Dekan II pada Fakultas Ekonomi Universitas Hassanudin melihat bahwa mekanisme pelaksanaan pengendalian yang belum jelas, dikhawatirkan akan memungkinkan adanya upaya-upaya yang bersifat spekulasi dari masyarakat seperti penimbunan yang sudah lazim terjadi setiap ada kebijakan yang berkaitan BBM. Walaupun ditegaskan oleh Affandi spekulan di Sulawesi Selatan pemainnya relatif sedikit. Selain itu akan berkembang pasar gelap, karena ada selisih antara harga Premium untuk kendaraan niaga dan harga Pertamax untuk kendaraan pribadi agar memperoleh keuntungan besar atau pun terjadinya pengoplosan bensin dengan pertamax. Hal yang sama dinyatakan oleh Karya Hassanudin, seorang pengusaha di Makassar, bahwa pasar gelap BBM kemungkinan besar bisa terjadi di level end user, yaitu permainan antara SPBU dengan pembeli, termasuk dengan pete-pete (angkutan umum). Kekurangsiapan ini pun terbukti dengan adanya kelangkaan pasokan BBM akibat aksi-aksi spekulasi dari pihak-pihak tertentu tersebut. Oleh karena itu Firdaus Deppu, aktivis KNPI Sulawesi Selatan menganggap perlunya kesiapan infrastruktur dan sistem pengendaliannya.
Edisi 1 / April / 2011
Sementara pada aspek sosialisasi, kebijakan pengendalian subsidi BBM ini terlihat masih sangat rendah dan hanya pada tataran menginformasikan saja, tanpa mekanisme sosialisasi yang dapat membuat masyarakat tidak resah dan khawatir. Meskipun pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 di atas 8 persen, sehingga diperkirakan tidak banyak berdampak pada masalah sosial ekonomi di daerah ini, akan tetapi masyarakat umumnya belum tahun persis urgensi di balik kebijakan tersebut, seperti ditegaskan Affandi Agusman. Banyak masyarakat lebih memahami kebijakan ini hanya terkait dengan kenaikan harga BBM yang akan berdampak langsung pada kenaikan kebutuhan pokok masyarakat. Bisa jadi dengan persepsi seperti ini akan mengundang sikap penolakan dan reaksi-reaksi yang tidak konstruktif lainnya. Karya Hassanudin, dari kalangan pengusaha juga merasakan bahwa sampai saat ini tidak ada sosialisasi tentang kebijakan tersebut, sehingga dikhawatirkan selain akan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Sosialisasi lebih baik jika diarahkan pada usaha memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang alasan mengapa kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini perlu dilakukan. Sosialisasi juga harus memperhatikan kultur masingmasing daerah. Firdaus Deppu, menganggap bahwa keterlibatan organisasi kemasyarakatan, seperti
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
KNPI memegang peranan penting dalam proses sosialisasi karena dapat cepat menjangkau masyarakat banyak, juga untuk memperkuat tingkat kepercayaan masyarakat. Sementara Sumarni B. Jifri, Sekretaris Forum Masyarakat Sipil Kota Makassar, memandang sosialisasi melalui media kurang efektif, karena media dianggapnya tidak bisa memberi pemahaman yang tepat pada masyarakat. Oleh karena itu, senada dengan pendapat Deppu, sosialisasi secara langsung kepada masyarakat jauh lebih efektif khususnya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat. Di balik sejumlah kekhawatiran akibat belum siapnya strategi pelaksanaan dan rendahnya tingkat sosialisasi terbersit optimisme di kalangan masyarakat jika dilakukan pemberian kepercayaan pada pengelolaan hasil minyak bumi di dalam negeri mulai dari hulu sampai ke hilir yang dinilai akan jauh lebih menguntungkan dari pada seperti sekarang, pola yang digunakan dengan menjual minyak mentah kemudian membeli minyak jadi, sehingga keuntungannya kecil, bahkan terkadang bias jadi rugi. Sikap optimisme juga ditunjukkan tentang ketersediaan berbagai energi alternatif yang telah digunakan dan dalam pengembangan di Sulawesi Selatan. Energi alternatif diharapkan dipercepat penggunaannya, karena fosil BBM semakin menipis, sehingga cepat atau lambat akan habis. Bidang
69
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Geologi, Dinas Energi dan SDM Propinsi Sulawesi Selatan, sedang melakukan program pengembangan energi alternatif. Energi alternatif dimaksud terutama yang sifatnya terbarukan, seperti gas, air, dan matahari. Sulawesi Selatan telah memiliki PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) yang menggunakan potensi angin berkecepatan dua sampai tiga kilo meter per jam, dan tenaga matahari yang sudah diberdayakan sekitar 11 ribu unit. Demikian juga sedang dikembangkan bio gas dari kotoran sapi dan kerbau untuk kebutuhan bahan bakar rumahtangga. Energi as di daerah Wajo yang memiliki delapan sumur, tetapi saat ini baru diekploitasi tiga sumur. Selain itu, potensi tenaga air sudah ada di daerah Luwu Raya, Enrekan, dan Toraja. Selain itu di Sulawesi Selatan juga memiliki sumber energi panas bumi di Selayar, tetapi sampai saat ini investor belum tertarik untuk mengelolanya. Dalam skala terbatas, narasumber studi lapangan ini, yaitu Karya Hasanudin telah mengembangkan sendiri energi tenaga listrik, yang sudah digunakan untuk mobil golf, motor listrik, dan rencana akan memproduksi bus dengan bahan bakar listrik. Percepatan peralihan kepada energi alternatif ini membutuhkan waktu, sehingga harus dilakukan mulai saat ini dan terus dikembangkan. Kebijakan pengedalian subsidi BBM ini memang memiliki sejumlah masalah terkait strategi pelaksanaan
70
Edisi 1 / April / 2011
dan sosialisasinya, akan tetapi secara umum dinilai Palaguna, dari kalangan pemerintah, bahwa kebijakan tersebut baik, seperti penuturannya, “selain sasarannya agar subsidi lebih berfungsi tepat guna, mengurangi beban subsidi BBM dan ketergantungan pada BBM, juga agar terjadi penghematan BBM dan mendorong masyarakat agar semakin berupaya menggunakan energi alternatif.” Sama halnya Firdaus, aktivis kemasyarakatan, bahkan menyarankan agar pemerintah dapat menjamin keamanan investasi dan usaha serta upaya-upaya lain yang menjamin kemampuan dan daya beli masyaraakat yang bersifat konstruktif dan produktif. Berbagai strategi pelaksanaan yang saat ini telah disosialisasi seperti pembatasan tahun kendaraan bermotor dinilai tidak akan efektif karena diperlukan mekanisme pengawasan pihak terkait, yang selama ini dikenal lemah, dan teknologi rendah atau rentan manipulasi.
Surabaya: Perlu Pengawasan Langkah sosialisasi sampai ke masyarakat telah dilakukan oleh Dinas ESDM Jawa Timur melalui Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Jawa Timur sejak akhir 2010. Akan tetapi, ketidakpastian kebijakan ini dari pemerintah pusat menjadikan langkah-langkah tersebut terhenti, seperti diungkapkan oleh Kukuh Sudjatmiko, Kepala Seksi Pengawasan Pertambangan Umum dan Migas
Edisi 1 / April / 2011
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Timur. Selain itu Dinas ESDM Jawa Timur juga telah merencanakan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan, BP Migas, dan Organda di kota/kabupaten dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan tersebut. Tetapi langkah sosialisasi ini belum melibatkan Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Suraya, seperti dinyatakan oleh Drh. Ivan Dani Amanda, Kabid. Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Diskominfo Kota Surabaya. Akan tetapi, kalagan pengusaha angkutan umum sampai saat ini belum pernah mendengar adanya sosialisasi dari pemerintah Kota Surabaya tentang kebijakan pengaturan subsidi BBM seperti dinyatakan oleh Sutjipto, pegusaha angkutan umum di Surabaya. “Setiap kali mengisi bahan bakar di pom bensin (SPBU) hingga saat ini tidak hanya angkutan minibusnya yang berpelat kuning yang mengisi premium melainkan kendaraan pribadi yang berpelat nomor hitam juga mengisi tangkinya dengan bahan bakar bersubsidi”, ujar Sutjipto. Berbagai keluhan dan informasi mengenai permasalahan pengalihan subsidi BBM, seperti potensi penyelewengan, dan mencari alternatif pemecahan dengan tepat, ditampung oleh Dinas ESDM Jawa Timur dan masih menunggu kebijkan dari pusat, dan menyesuaikan dengan
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
keadaan masyarakat di daerahnya. Rencana kebijakan yang lebih efektif tentang pengaturan BBM, menurut kalangan pengusahapengusaha dan instansi-instansi terkait, adalah menaikkan harga premium tanpa pemilahan antara kendaraan pribadi ataupun niaga. Pemilahan justru akan menimbulkan kebocoran dan penyelewengan di lapangan dan subsidi tidak akan tepat sasaran akibat mekanisme pengawasan yang longgar. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Kukuh Sudjatmiko bahwa kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan pengawasan terhadap kendaraan niaga tersebut adalah belum adanya standar operasi pengawasan yang ditetapkan. Intansi-instansi yang melakukan pengawasan tersebut dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam melakukan pengawasan karena jumlah angkutan dan luas daerah pengawasan tidak sebanding dengan jumlah pengawas yang ada. Akan banyak modus yang muncul dalam penggelapan bahan bakar bersubsidi tersebut. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ir. Hera Widyastuti, Kepala Laboratorium Perhubungan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya bahwa kuncinya adalah kebijakan, tidak fair apabila masyarakat kelas bawah saja yang hanya dilarang menggunakan bahan bakar premium sementara pemerintah tidak menyediakan
71
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
sarana transportasi massal yang murah. Pada akhirnya masyarakat kelas bawah kembali menggunakan transportasi yang murah, seperti motor. Jumlahnya semakin tidak terkendali, sehingga kebutuhan akan premium juga meningkat. Untuk transportasi publik, usul Hera, alternatif penggunaan voucher atau stiker dapat digunakan dalam pengawasan. Subsidi tersebut pada akhirnya dapat digunakan dalam perbaikan, pembenahan atau menciptakan sarana transportasi publik. Masyarakat pun akan beralih dari kendaraan pribadi ke publik transportasi yang nyaman, seperti KRL, monorail, MRT ataupun busway, yang semua terintegrasi dan mudah diakses sekaligus murah. Dampak lainnya adalah berkurangnya kemacetan lalu-lintas. Sementara Kukuh Sudjatmiko mengusulkan pemberian pemahaman kepada masyarakat pengguna kendaraan pelat hitam terutama kendaraan baru bahwa bahan bakar beroktan tinggi lebih baik untuk kendaraan mereka daripada premium. Sehingga pada akhirnya masyarakat berpindah dan memilih menggunakan bahan bakar
72
Edisi 1 / April / 2011
beroktan tinggi daripada premium yang disubsidi. Energi alternatif di Jawa Timur pernah menggunakan tanaman Jarak di beberapa daerah. Namun dalam pelaksanaan kabarnya kurang efektif. Masalah yang ditemukan adalah pemrosesan tanaman Jarak sebagai bahan bakar sangatlah mahal. Kalau untuk alasan ilmiah dan go green cukup masuk akal, tapi ketika ditilik dari sisi kuantitas akan sangat sulit jika harus memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas, seperti dinyatakan oleh Kukuh Sudjatmiko. Sementara Hera menyatakan bahwa penggunaan biogas pernah dilakukan di Surabaya, tetapi masalahnya stasiun gas tidak banyak, sehingga masyarakat kesulitan dalam memperolehnya. Pada Akhirnya masyarakat tetap mencari bahan bakar yang mudah ditemui. Alternatif lainnya Pemerintah kota Surabaya pernah melaksanakan kerjasama dengan ITS untuk menciptakan alat penghemat BBM dan pengurang emisi. Alat tersebut telah di terapkan di kendaraan pelat merah di instansi-instansi pemerintahan, ratusan mobil telah diinstal perangkat tersebut.
Foto : http://alexindoerp.com
Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
74
Edisi 1 / April / 2011