Review film “Front of The Class”
Seorang anak bernama Brad Cohen, merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Usianya waktu itu kira-kira 12 tahun. Orang tuanya bercerai ketika Brad dan Jeff kecil. Keluhan utama dari Brad adalah kebiasaannya mengeluarkan suara seperti menggonggong sambil menolehkan kepalanya secara spontan. Di kelas, dia tidak bisa diam, kaki kirinya terus bergerak. Hal ini terjadi tanpa bisa dikontrol olehnya. Brad juga tidak suka membaca, kurang berkonsentrasi, dan suka membasahi telunjuk. Keluhan ini dialaminya sejak berumur 6 tahun. Perkembangan intelektual dan bahasanya normal, pertumbuhannya juga normal. Ayah Brad sama sekali tidak menerima keadaan anaknya yang tidak bisa diam tersebut. Ayahnya menganggap Brad selalu mencari perhatian dan tidak bisa mengontrol dirinya. Suatu hari, ibunya membawa Brad ke seorang dokter. Disana Brad dianamnesis dan dokter tersebut menyimpulkan bahwa gejala-gejala yang ditunjukkan oleh Brad merupakan cerminan penolakan terhadap perceraian kedua orang tuanya. Dokter tersebut mengatakan perilaku Brad sama sekali tidak bisa diterima. Dokterpun memberinya obat. Namun obat tersebut tidak memberikan efek apapun. Hal ini mendorong ibu Brad terus mencari informasi dan akhirnya ibunya membaca tentang Tourette Syndrome. Tourette syndrome adalah suatu gangguan saraf dan perilaku (neurobehavioral disorder), dicirikan oleh aksi tak disadari, berlangsung cepat (brief involuntary actions), berupa tics vokal dan motor, juga disertai gangguan kejiwaan (psychiatric disturbances). Tik muncul layaknya seperti tersedak (hiccup). Walaupun pikiran tidak ingin tersedak, tetapi tubuh tetap melakukannya. Tipe tik ada dua, motorik dan vocal. Tik motorik adalah tik dengan pergerakan tubuh, seperti berkedip, mengangkat bahu, atau menghentakkan lengan. Tik vocal adalah suara yang muncul dari seseorang. Contohnya seperti suara bersenandung, membersihkan tenggorokan, atau menyerukan kata atau kalimat. Penyebab dari Tourette syndrome belum diketahui dengan jelas. Diduga ada peran dari faktor genetik yang diturunkan orangtua. Laki-laki beresiko tiga sampai empat kali lebih besar mengalami Tourette syndrome daripada perempuan. Beberapa studi mengungkap beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya Tourette syndrome yaitu: -
Ibu yang merokok dan minum alkohol waktu hamil
-
Komplikasi selama melahirkan
-
Berat badan lahir rendah
-
Infeksi saat kanak-kanak
Bagi seseorang untuk dapat didiagnosis dengan Tourette syndrome, menurut DSM-IV dia harus memenuhi kriteria sebagai berikut: -
Orang tersebut harus memiliki satu atau lebih tik motorik (misalnya, berkedip atau mengangkat bahu) atau tik vokal (misalnya, bersenandung, membersihkan tenggorokan, atau menyerukan kata atau frase).
-
Orang tersebut harus memiliki tik yang terjadi berkali-kali sehari, hampir setiap hari atau setidaknya 4 minggu, tetapi tidak lebih dari 12 bulan berturut-turut.
-
Tik orang tersebut harus dimulai sebelum dia adalah 18 tahun.
-
Gejala-gejala ini bukan karena minum obat atau obat lain atau memiliki kondisi medis lain (misalnya, penyakit Huntington atau ensefalitis postviral).
-
Orang yang didiagnosis dengan TS harus tidak memeliki gangguan tik vokal atau tik motorik yang kronis.
Di film tersebut, dikatakan tidak ada pengobatan untuk TS. Brad akan mengalami serangan tik yang hebat jika emosinya “over” seperti terlalu senang ataupun sedih. Brad juga mengatakan gejalanya akan berkurang jika orang disekelilingnya bersikap menerima keadaannya, memperlakukan Brad seperti orang normal lainnya, dan tidak mengejek atau menertawakannya. Namun beberapa pasien TS yang memerlukan pengobatan untuk mengurangi frekuensi dan intensitas gejala tik dapat dirawat dengan pengobatan neuroleptik seperti haloperidol dan pimozide. Pengobatan ini biasanya diberikan dalam dosis kecil dan kemudian bertambah hingga keseimbangan antara gejala dan efek samping obat mencapai porsi seimbang. Clonidine dan guanfacine, keduanya merupakan antihipertensi, juga digunakan untuk pengobatan tic. Pengobatan yang lain yang juga efektif untuk pengobatan beberapa gangguan tingkah laku terkait TS adalah stimulant seperti methyphenidate dan dextroamphetamine, biasanya sebagai rujukan kurangnya konsentrasi-gangguang hiperaktif, yang juga diketahui efektif tanpa menyebabkan tik menjadi lebih sering. Brad Cohen yang berhasil lulus Universitas dan langsung mengajukan proposal diri di berbagai sekolah untuk bisa bekerja sesuai impiannya yaitu mengajar sebagai guru. Jalan yang ditempuh Brad tidaklah semulus yang diduga. Tourette syndrom lagi-lagi yang menjadi alasan penolakan dari berbagai sekolah. Brad pun sempat frustasi. Ia lalu mengisi waktu sebagai buruh lepasan ditempat Ayahnya bekerja. Hubungan Brad dengan Ayahnya kurang baik semenjak Ayahnya menikah lagi wanita lain. Brad berspekulasi kalau Ayahnya tidak menerima keberadaannya sehingga lari dari kenyataan. Ayahnya pun hanya membiarkan hubungan anak ayah tersebut tetap berlanjut, namun dalam suatu kondisi yang kikuk dan hanya “sekedar” saja.
Akhirnya kesempatan yang ditunggu pun tiba, seorang Kepala Sekolah dalam suatu wawancara yang melibatkan semua unsur sekolah mulai dari kepsek, staff sekolah hingga guru mewawancarai Brad. Semuanya sangat antusias dan akhirnya Brad pun mendapatkan pekerjaan sebagai guru. Saat mengajar anak-anak Brad sangat antusias dengan pekerjaannya sebagai guru. Usahanya untuk mengajar kelas tak sia-sia, Brad menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Para murid, pada awalnya menghina kekurangan Brad tersebut. Namun, Brad dengan sabar menjelaskan tentang penyakit yang dideritanya. Hal pun berlanjut hingga dia mendapatkan predikat Guru Terbaik sekawasan daerah disana. Tourette syndrome juga tak bisa menghalangi Brad untuk jatuh cinta. Di akhir cerita Brad menikah dengan gadis pujaannya pada tahun 2006 yang menerima Brad apa adanya sejak awal pertama mereka kencan. Walaupun TS tidak bisa disembuhkan, kondisi pada kebanyakan individu berkembang ketika mereka dewasa. Individu dengan TS dapat menjalankan hidup normal. Bagaimanapun gejala tetap berlangsung dengan kronis. Tik tidak mempengaruhi proses berpikir. Tik akan berkurang seiring dengan bertambahnya umur, membuat beberapa pasien menghentikan penggunaan obat. Dalam beberapa kasus, penghentian pengobatan total dilakukan ketika memasuki masa lansia. Bagaimanapun juga gejala tik akan berkurang, tetapi gangguan neurobehavioral seperti depresi, panik, anti sosial tetap dapat terjadi dan menyebabkan ketidakseimbangan pada usia lanjut.
Review Film Temple Grandin Film ini mengangkat kisah nyata seorang pengidap autis yang meraih gelar doktor, Temple Grandin. Temple Grandin lahir di Boston, Massachusetts pada 29 Agustus 1947. Saat berumur 4 tahun Grandin dibawa oleh ibunya ke sebuah praktik dokter karena mengamuk di pesta. Saat itu Grandin sama sekali belum bisa bicara. Dokter mendiagnosis Grandin mengidap penyakit autisme infantile skizofrenia. Lambat laun Grandin akhirnya bisa berbicara dan ibunya memasukkannya ke sekolah formal. Ia merupakan “anak aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak lainnya. Ketika ia berjalan-jalan, orang-orang di jalanan akan mengejeknya “tape recorder” karena ia selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang. Untuk membantu perkembangan kondisinya, Grandin menggunakan “squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Saat dirinya merasa tertekan, Grandin menggunakan mesin tersebut untuk melegakan perasaannya. Mesin itu seolah-olah memeluknya dan membuatnya tenang. Hal ini dia lakukan karena Grandin tidak bisa menerima pelukan orang lain, bahkan ibunya sendiri. Grandin memiliki minat yang besar terhadap sains dan dia memiliki kemampuan mengingat potongan-potongan gambar yang tersimpan diotaknya. Dengan kemampuan tersebut Grandin menciptakan banyak karya yang berguna bagi orang sekitarnya. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire, pada tahun 1960-an, Grandin pun melanjutkan belajar ke universitas. Dia berhasil meraih gelar sarjana jurusan psikologi dari Franklin Pierce College pada tahun 1970, gelar master jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada tahun 1975, dan gelar doktor atau PhD jurusan pengetahuan binatang dari University of Illinois di Urbana Champaign pada tahun 1989. Bagi seorang penyandang autis, prestasinya itu tentulah sangat luar biasa. Berdasarkan pengalamannya sebagai penyandang autis, Grandin memebantu memberikan konsultasi dalam mengenali gejala autis sejak dini. Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru sehingga dapat memberikan penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat. Grandin dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang dan konsultasi autis. Kedua gerakan tersebut pada umumnya berhubungan dangan karya-karya tulisnya yang bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan filosofi. Pada tahun 2004, ia meraih penghargaan “proggy” untuk kategori “Visionary” dari People for the Ethical Treatment of Animals. Karya-karya
tulisnya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autis, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autis. Karya-karyanya antara lain, ”Journal of Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence: Labelled Autistic.” Grandin berkata: sejak dulu ia memiliki kebiasaan melakukan “self-stimulation” dengan berputar-putar di ayunan. Hal ini membuatnya lebih tenang. Banyak penderita autis yang sangat sensitif terhadap stimulasi suara maupun warna. Jika banyak orang berbicara dalam satu waktu, hal itu akan membuatnya panik. Tetapi di samping semua itu, Grandin bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dia bisa melihat detail yang tidak bisa dilihat oleh orang normal. Ibunya selalu mendorongnya untuk menjadi orang yang percaya diri. Ibunya mengirimnya ke sekolah dan ke perguruan tinggi, hal ini menurutnya sangat tidak nyaman pada awalnya. Tetapi berkat nasihat dari orang-orang terdekatnya, Grandin menganggap hal tersebut adalah suatu jalan baginya untuk membuka pintu ke dunia yang baru yang lebih baik. Film ini menunjukkan bahwa penderita autis bukanlah seseorang yang “kekurangan”. Banyak penderita autis yang malah memiliki keahlian dibidang tertentu seperti contohnya yang terjadi pada Grandin ini. Tentunya peran dari lingkungan dan keluarga terutama orang tua sangat berperan dalam menentukan prognosis dari autisme.