RETURN MIGRATION, DETERMINAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP MIGRAN STUDI KASUS : RETURN MIGRATION SUKU MADURA KE KALIMANTAN TENGAH
OLEH :
Oldestia Vianny Sri Isnawati Erita Agustin Hardiyanti
PROGRAM KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA 2013
RETURN MIGRATION, DETERMINAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP MIGRAN STUDI KASUS : RETURN MIGRATION SUKU MADURA KE KALIMANTAN TENGAH Oleh : Oldestia Vianny, Sri Isnawati, Erita Agustin Hardiyanti
1. PENDAHULUAN Kebanyakan teori dan literatur tentang migrasi memperlihatkan bahwa migrasi adalah permanen.
Sehingga
dapat
salah
mengarahkan
kesimpulan
pada
analisis
yang
mengasumsikan bahwa migrasi adalah permanen. Dustmann dan Weiss (2007) berpendapat bahwa banyak (bahkan sebagian besar) migrasi adalah bersifat sementara daripada permanen. Berdasarkan sejarah manusia, ada dua alasan utama mengapa individu bermigrasi yaitu motif ekonomi dan motif yang berkaitan dengan bencana alam atau penganiayaan. Migrasi yang berkaitan dengan motif ekonomi bisa berbentuk permanen atau sementara. Disebut sementara jika dilihat dari perspektif daerah penerima, jika mereka tinggal di sebuah daerah untuk waktu yang terbatas. Migrasi bisa permanen dilihat dari perspektif migrant, yang meninggalkan daerahnya secara permanen tapi tinggal sementara waktu di
kota lain
(Dustmann dan Weiss, 2007) Menurut mereka migrasi sementara bisa terbagi 4 yaitu : 1. Circulatory Migration, dimana pekerja migran sering berpindah-pindah antara kota asal dan kota tujuan. Mereka hanya tinggal untuk jangka pendek di daerah tujuan, misalnya, diwaktu panen saja. 2. Transient Migration menggambarka situasi dimana migran bergerak melintasi daerah tujuan yang berbeda-beda sebelum mencapai tujuan terakhirnya. 3. Contract Migration, dimana migran tinggal di daerah tujuan untuk beberapa tahun dan lama migrasi dipengaruhi faktor-faktor dari luar (misalnya : ijin tinggal atau kontrak kerja) 4. Return Migration Dalam penelitiannya di Inggris, mereka menemukan lebih dari 45 persen imigran dari Eropa, Amerika dan Austral-Asia kembali ke daerah mereka setelah 5 tahun setelah kedatangan, dibandingkan dengan mereka yang masih tinggal disana. Sedangkan imigran berkulit putih punya kecenderungan untuk kembali lebih tinggi daripada yang tidak berkulit putih. Setelah 6 tahun kedatangan, hanya sekitar 55 persen yang masih tinggal di Inggris, kemudian turun menjadi 40 persen setelah 10 tahun. Sehingga menarik apabila meneliti migrasi kembali, terutama bila dikaitkan dengan daerah asal dan etnis.
2
Hal yang paling penting dari rantai migrasi adalah saat memutuskan untuk kembali atau migrasi sebuah keluarga tersebut adalah untuk tinggal secara permanen. Semua migrant yang datang untuk bekerja sementara waktu harus membuat keputusan ini. Proses dari rantai migrasi tergantung pada apakah sejumlah besar migran kembali ke negara asal mereka atau mengatur keluarga dan kerabat untuk menetap di negara penerima. (Haug, 2010)
2. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Definisi Migrasi Kembali Robert Norris (1972) dalam Puspitasari (2010) mengemukakan 3 tambahan komponen dalam migrasi, salah satunya adalah migrasi kembali. Robert Norris (1972) adanya tambahan tiga komponen dari pendapat Lee, yaitu migrasi kembali, kesempatan antara, dan migrasi paksaan (force migration). Noriss berpendapat bahwa faktor daerah asal merupakan faktor terpenting. Dapat dikatakan bahwa penduduk migran adalah penduduk yang bersifat bi local population, yaitu dimanapun mereka bertempat tinggal, pasti mengadakan hubungan dengan daerah asal. Dalam literaturnya, Bovenkerk (1975) menyebutkan beberapa istilah untuk migrasi kembali antara lain back migration, countercurrent, counterflow, re-emigration, reflux migration, remigration, return flow, return migration, return movement, second time migration and repatriation. Sebagian besar istilah memiliki spesifikasi, bukan hanya mengartikan tentang migran yang kembali ke daerah asalnya. Berikut penjabaran dari istilah-istilah tersebut: 1. Back migration, yaitu ketika orang kembali setelah emigrasi untuk pertama kalinya ke negara asal mereka. 2. Transilient migration, yaitu ketika orang-orang beralih ke tujuan kedua. 3. Re-emigrasi, yaitu ketika orang pindah sekali lagi ketujuan yang sama setelah kembali untuk pertama kalinya. 4. Second time emigration, yaitu ketika orang pindah ke tujuan baru setelah kembali. 5. Circulation, yaitu ketika gerakan bolak balik mencakup lebih dari satu antara dua tempat kembali.
3
Diagram sederhana berikut menggambarkan migrasi kembali menurut Bovenkerk (1975) :
IOM (2004) mendefinisikan : Migrasi kembali diartikan secara luas sebagai suatu tindakan untuk kembali dari negara yang ditempati saat ini (transit atau negara tujuan) ke negara transit sebelumnya atau negara asal. Terdapat banyak sekali subkategori dari migrasi kembali yang menjelaskan bagaimana cara migrasi kembali dapat terjadi, seperti migrasi sukarela, migrasi paksaan, migrasi spontan atau yang didampingi; dan juga banyak subkategori migrasi kembali berdasarkan siapa yang ikut dalam migrasi kembali, misalnya pemulangan migran (untuk pengungsi). 1. Migrasi sukarela dilakukan berdasarkan keputusan individu yang telah mendapatkan informasi sebelumnya. 2. Migrasi sukarela dengan pendampingan meliputi pendampingan dari segi finansial maupun organisasional untuk migrasi kembali dan jika memungkinkan, tindakan reintegrasi ditawarkan untuk individu yang melakukan migrasi kembali.
4
3. Migrasi tidak dengan sukarela atau paksaan adalah migrsi kembali yang dilakukan oleh individu tidak dengan sukarela. Istilah ini biasanya disamakan dengan “deportasi” yang kerap kali disalahartikan. Sedangkan Dustmann and Weiss (2007) mendefinisikan konsep migrasi kembali sebagai tipe migrasi yang seringkali dianggap sebagai migrasi temporer. Migrasi kembali menjelaskan situasi dimana migran kembali ke negara asalnya berdasarkan keputusannya sendiri, biasanya setelah menetap beberapa waktu di negara lain, seperti yang terjadi pada banyak migrasi di Eropa. Sills (2008) mendefinisikan migrasi kembali sebagai tindakan emigran untuk kembali ke daerah asalnya. Menurutnya, migrasi siklus atau sirkular tidak termasuk dalam jenis migrasi ini karena migran secara rutin pulang-pergi dari satu negara ke negara lain, seperti pekerja yang dikontrak dalam jangka waktu singkat dan pemullangan pengungsi juga tidak termasuk dalam migrasi kembali. Definisi migrasi kembali yang digunakan oleh International Organization for Migration atau IOM (2010) adalah pergerakan seseorang kembali ke daerah asalnya setelah menghabiskan setidaknya satu tahun di daerah lain, baik secara sukarela maupun tidak.
2.2. Tipe Migran Tipologi migrasi kembali mungkin dibuat berdasarkan berbagai penelitian tentang migran yang kembali. Tipologi yang di formulasikan oleh Francesco Cerase dalam Sills (2008) membedakan rencana kepindahan migran yang bersifat temporer ataupun permanen, alasan untuk bermigrasi kembali, dan lamanya tinggal di daerah tujuan. Berdasarkan tipologi tersebut berikut adalah klasifikasi para migran: 1. Migran yang gagal yaitu migran yang gagal mencari pekerjaan atau menyesuaikan diri di daerah tujuan. Migran ini biasanya kembali di awal-awal kepindahan mereka ke negara tujuan. 2. Migran konservatif yaitu migran yang berorientasi untuk memperoleh pendapatan untuk beberapa waktu tertentu dan kemudian mereka kembali ke daerah asalnya. 3. Migran inovatif yaitu migran yang berencana untuk menetap di daerah tujuan, namun karena adanya perubahan politik, sosial dan ekonomi mereka kembali ke daerah asal. Migran ini meliputi mereka yang bersekolah atau mengikuti pelatihan di daerah tujuan. 4. Migran pensiun yaitu migran yang telah merantau dalam jangka waktu yang lama dan telah sukses yang kemudian kembali ke daerah asal untuk memaksimalkan simpanan pesiunnya. Migran jenis ini memperoleh keuntungan dari perbedaan upah yang berasal 5
dari hasil kerja mereka selama bertahun-tahun dan juga keuntungan perbedaan biaya hidup di masa pesiun. Cassarino (2004) juga menspesifikasikan para migran berdasarkan teori yang mendasari terjadinya migrasi kembali antara lain: 1. Migran kembali pada teori Neoclassical Economy, yaitu migran yang gagal untuk memaksimalkan pengalamannya di daerah tujuan. 2. Migran kembali pada teori New Economic of Labour Migration, yaitu migran yang telah sukses di daerah tujuan dan mencapai targetnya. 3. Migran kembali pada teori Structuralism, yaitu baik migran yang sukses maupun gagal yang membawa tabungannya kembali ke daerah asal. Keinginan mereka saat kembali yaitu dapat menyesuaiakan diri dan beradaptasi kembali terhadap struktur di daerah asal. Akan tetapi, migran ini menghadapi tantangan “perbedaan tingkah laku” ketika berada di daerah tujuan dan di daerah asal. Biasanya migran pada teori ini adalah mereka yang sakit, berusia tua, pesiunan, atau mereka yang tidak memiliki ketrampilan. 4. Migran kembali pada teori Transnationalism biasanya terkait dengan persebaran kelompok etnis. Mereka yang kembalai ke daerah asala sebelumnya pernah pulang ke daerah asal dan memiliki strategi untuk beradaptasi di daerah asal. 5. Migran kembali pada teori Cross-Border Social Network merupakan “aktor sosial” yang memiliki nilai, proyek dan persepsi mengenai laingkungan daerah asal. Biasanya migran jenis ini telah memiliki informasi (kerabat atau relasi) di daerah asal.
2.3
Determinan Migrasi Kembali berdasarkan Studi Empiris Pada bagian ini akan disajikan beberapa pertemuan empiris terdahulu yang terkait
dengan penelitian ini. Studi empiris yang disajikan nantinya tidak hanya terkait dengan determinan migrasi kembali tapi juga temuan terkait dengan dampak migrasi kembali, baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Dustmann (1994) mengatakan ada 3 motif potensial terjadinya migrasi kembali, yaitu: (1) migran lebih memilih untuk menghabiskan pendapatan/tabungannya di daerah asal; (2) jika harga di daerah asal lebih rendah daripada daerah tujuan, migran akan memperoleh keuntungan untuk mendapatkan upah yang besar di daerah tujuan namun mengonsumsi barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah di daerah asal; (3) ketrampilan yang didapatkan di daerah tujuan dihargai lebih di daerah asal. Dalam penelitiannya di Eropa pada tahun 1996, Dustmann menemukan bahwa di Eropa yang memotivasi migran untuk kembali adalah keuntungan bersih, terutama perbedaan upah. 6
Berbagai penelitian menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan migrasi kembali. Kebanyakan teori pada integrasi migran atau asimilasi menunjukkan bahwa jika migran lebih lama tinggal di daerah tujuan, mereka menjadi semakin terintegrasi dalam masyarakat, semakin sulit untuk kembali ke daerah asal dan cenderung untuk menetap. Hal ini memiliki hubungan yang kuat dengan teori migrasi neoklasik, seperti yang dirumuskan oleh Todaro, yang menyatakan bahwa migrasi sebagai upaya oleh individu untuk memaksimalkan utilitas mereka dengan pindah ke tempat di mana mereka dapat menjadi lebih produktif (Todaro dan Smith, 2006). Teori tersebut cenderung menafsirkan migrasi sebagai investasi dalam modal manusia, memprediksi bahwa migran pindah ke tempat di mana mereka dapat mengharapkan keuntungan ekonomi tertinggi pada sumber daya manusia. Jika integrasi migran dengan daerah tujuan berhasil dan mereka bisa lebih produktif daripada daerah asal, dan tidak akan ada alasan untuk kembali. Sebaliknya, jika masing-masing migran gagal untuk mencari pekerjaan dan untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui migrasi, mereka lebih cenderung untuk kembali. Jadi, dalam perspektif ini, migrasi balik terutama diartikan sebagai akibat dari struktur kegagalan integrasi pendidikan dan ekonomi (Hass dan Fokkema, 2011). Kemungkinan dan keinginan untuk kembali menurun ketika hubungan sosial dan ekonomi dengan negaranegara asal melemah, dan migran semakin mengalihkan fokus mereka terhadap masyarakat menerima. Pada literatur lain, Hass dan Fokkema berhipotesis bahwa (1) integrasi ekonomi dan sosial budaya di negara tujuan (Italy dan Spanyol) dan (2) hubungan sosial dan ekonomi yang kuat dengan negara tujuan memiliki efek negatif pada kemungkinan pengembalian. Migran yang sudah berniat untuk kembali akan merasa kurang terdorong untuk mengintegrasikan ke dalam masyarakat tujuan dan akan memiliki motivasi kuat untuk mempertahankan hubungan sosial dan ekonomi dengan negara-negara asal untuk mempersiapkan dan memfasilitasi kepulangan mereka. Kemajuan teknis dalam teknologi transportasi dan komunikasi telah memungkinkan imigran untuk menjaga hubungan intensif dengan masyarakat asal mereka melalui telepon (seluler), fax, (satelit) televisi, internet, dan mengirimkan uang melalui sistem perbankan global. Hal ini telah memperluas ruang lingkup bagi para migran untuk mendorong barang ganda dan loyalitas ganda, untuk memegang kewarganegaraan ganda, untuk perjalanan bolak-balik, dan untuk bekerja dan untuk melakukan bisnis secara bersamaan di tempat yang jauh (de Haas 2005; Glick Schiller, Basch, dan Szanton- Blanc 1992, Portes 1999; Vertovec 2004, dalam Hass dan Fokkema, 2011). 7
Hass dan Fokkema melakukan penelitian tentang migrasi kembali yang dilakukan di Italia dan Spanyol terhadap migran dari Mesir, Ghana, Maroko, dan Senegal, apakah mereka akan melakukan migrasi kembali ke Afrika atau tidak. Melalui merode regresi multinomial logistik, akan dilihat kecenderungan mereka sebagai stayer potensial, kembali potensial, dan mereka yang belum yakin tentang kembali ke negara kelahiran mereka (sebagai variabel dependent). Dari hasil pengolahan statistik, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap preferensi untuk melakukan migrasi kembali atau tidak adalah pendidikan, investasi di negara asli, adanya anak di negara asli, dan integrasi budaya. Sedangkan variabel yang tidak signifikan adalah rata-rata lama tinggal di daerah tujuan, umur, jenis kelamin, pengalaman bermigrasi sebelumnya, dan status pekerjaan saat ini. Hasil deskriptif menunjukkan bahwa 28% dari semua migran yang disurvei ingin kembali, 40% ingin tinggal di negara tuan rumah dan 33% tidak yakin. Pendidikan berpengaruh secara positif terhadap niat untuk migrasi kembali. Hal ini agak bertentangan dengan teori karena migran berpendidikan lebih tinggi diharapkan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menemukan pekerjaan yang menarik dan menghadapi masalah integrasi lebih sedikit secara keseluruhan, dan karena itu kurang cenderung memiliki niat kembali. Kehadiran anak-anak di daerah tujuan menurunkan kemungkinan untuk melakukan migrasi kembali. Ada korelasi negatif antara integrasi sosiokultural dan niat kembali: semakin tinggi tingkat integrasi sosial budaya, semakin kecil kemungkinan para migran adalah untuk mengekspresikan niat kembali. Adanya investasi dan motif bisnis di negara-negara asli memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap niat kembali. Para migran cenderung mempunyai pengalaman bisnis, (misalnya dalam pertanian komersial atau konstruksi), memperoleh keterampilan bahasa, dan membangun jaringan sosial sementara di luar negeri. Begitu mereka telah mengumpulkan sumber daya keuangan yang memadai dan atau modal manusia untuk memulai sebuah bisnis, mereka bisa lebih produktif di negara-negara asal. Alasan ekonomi rupanya menjadi salah satu alasan utama dalam melakukan migrasi kembali. Talib Kilic dkk (2007) menganalisa tentang migrasi kembali penduduk dari Albania tahun 2005. Awalnya, migrasi penduduk Albania ke luar negeri disebabkan oleh runtuhnya birokrasi publik dan digantikan oleh dominasi swasta, sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan yaitu angka pengangguran yang tinggi. Penciptaan lapangan kerja menjadi kata kunci di dalam platform politik partai, dan migrasi keluar berevolusi menjadi tak terelakkan dari ketidakmampuan pengembangan sektor swasta dan kebijakan pemerintah untuk menciptakan pekerjaan yang cukup di dalam negeri untuk bersaing dengan pasokan 8
tenaga kerja berlebih. Akibatnya, dalam kurun waktu satu dekade, lebih dari seperlima dari penduduk Albania diperkirakan telah pindah untuk hidup di luar negeri, terutama ke Yunani dan Italia. Didorong oleh situasi ekonomi yang memburuk yang berkaitan dengan transisi ke ekonomi pasar, dan difasilitasi oleh kedekatan geografis serta iming-iming kemakmuran Barat ditularkan melalui saluran televisi Italia, banyak rumah tangga Albania melakukan migrasi, baik sementara atau permanen. Hal ini menjadi strategi yang efektif untuk mempertahankan dan meningkatkan penghidupan ekonomi mereka (Kilic dkk, 2007). Membaiknya stabilitas ekonomi di Albania, membuat banyak migran ingin melakukan migrasi kembali. Akumulasi modal keuangan yang sudah di dapat di Italia dan Yunani serta modal manusia yang mencakup kemampuan manajemen dan kemampuan teknis memperbesar peluang untuk mengembangkan bisnis baru di Albania. Keberadaan anggota keluarga yang berusia produktif juga menentukan kemungkinan akan melakukan migrasi atau tidak (Kilic dkk, 2007). Variabel lain yang mempengaruhi migrasi kembali dalam kasus Albania ini adalah status kepemilikan tanah di Albania, faktor modal sosial seperti ada tidaknya sahabat yang akrab dari kepala rumah tangga di Albania, keberadaan lokasi dan ketersediaan layanan dan infrastruktur yang berperan dalam perkembangan usaha, seperti layanan dasar yaitu air, listrik, aksesibilitas pasar, serta keberadaan terminal bus. Diferensiasi dari adanya penduduk dewasa laki-laki dan perempuan dalam kegiatan usaha, dimana lakilaki lebih sering bekerja di lapangan pekerjaan yang benyak menggunakan kemampuan fisik seperti pertanian, sedangkan perempuan melakukan tugas di bisnis non pertanian. Berdasarkan penelitiannya di salah satu negara Maghreb yaitu Tunisia, Cassarino (2008) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi migrasi kembali. Penelitian ini mengambil sampel 330 migran yang sudah kembali ke Tunisia dan
bertujuan untuk
menguraikan profil migran serta melakukan studi perbandingan dari tiga langkah migrasi yaitu ketika berangkat ke luar negeri, selama tinggal di negara imigrasi, dan setelah kembali ke nagara asal. Untuk kasus migrasi kembali di Tunisia, dapat diidentifikasi melalui empat faktor kunci. Pertama, usia migran merupakan variabel kunci yang memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan bermigrasi kembali. Semua migran senior memutuskan kembali ke Tunisia atas inisiatif sendiri, sedangkan migran yang muda harus menghadapi banyak kesulitan dengan proses reintegrasi setelah kembali ke Tunisia. Sedangkan dari sisi gender, tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada penelitian ini. Kedua, migrasi berkontribusi pada perubahan situasi keluarga secara signifikan : jumlah keluarga inti di Tunisia bertumbuh, sehingga mempunyai pengaruh yang besar pada keputusan dan komposisi keluarga pada saat migrasi dilakukan. Ketiga, ketrampilan 9
pengalaman yang diperoleh saat bermigrasi (ke luar Tunisia) adalah sebuah keuntungan karena dapat meningkatkan standar hidup dan keadaan sosial ekonomi. Sejumlah migran yang memutuskan untuk kembali dimulai setidaknya dengan menjalankan satu proyek bisnis, dengan demikian dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pelayanan dan pertumbuhan ekonomi di Tunisia. Keempat, keberadaan keluarga dan teman-teman yang secara teratur mengadakan kontak dengan para migran dapat mempercepat dan memfasilitasi proses reintegrasi, serta meminimalkan kendala dan kesulitan yang mungkin dihadapi. Namun, jika proses reintegrasi tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan untuk melakukan reemigrasi. Pada kasus migrasi kembali di Maroko, Cassarino mencatat bahwa fungsi kelembagaan di Tunisia dalam administrasi kependudukan, sangat penting dirasakan oleh para migran dalam proses reintegrasi. Juga adanya pasar tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kapasitas untuk menyerap tenaga kerja dan menciptakan kesempatan kerja yang baru. Selanjutnya menyangkut migran itu sendiri sebagai subyek dalam migrasi kembali, yaitu dalam proses re-adaptasi dan reintegrasi kembali dimana peran lembaga-lembaga publik dan masyarakat yang berperan untuk memperkecil marginalisasi sosial dan pekerjaan (Cassarino, 2008). Dalam penelitian Black, King, dan Tiemoko (2003), tentang migrasi kembali di Ghana ditemukan motif ekonomi yang melatarbelakanginya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
hubungan
antara
migrasi,
pembangunan
dan
pengentasan kemiskinan melalui analisis kecenderungan sampel non-elit migran yang kembali ke Ghana untuk berinvestasi dalam usaha kecil sebelum, selama dan setelah mereka kembali. Selama bermigrasi keluar Ghana, para migran melakukan pengiriman uang dan tabungan untuk pembiayaan usaha kecil. Jenis usaha bisnis yang dijalankan migran beragam, kebanyakan usaha ini di sektor jasa dan ritel. Keinginan untuk bermigrasi kembali diikuti niat untuk kerja mandiri dan penciptaan usaha kecil, dan dapat merupakan strategi potensial untuk pengentasan kemiskinan. Karena sebelum bermigrasi keluar Ghana, umumnya para migran umumnya miskin dan kurang terdidik. Tetapi akumulasi tabungan dan aset yang didapatkan di luar Ghana, membuat mereka berniat untuk memulai bisnis di negara asal.
10
2.4. Dampak Migrasi Kembali Migrasi kembali tidak hanya mengulas tentang alasan untuk bermigrasi kembali, namun juga bervariasinya metode reintegrasi dan pola mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan kembali di daerah asal. Pola ini sebagian besar merefleksikan pengalaman bermigrasi para migran dari daerah sebelumnya dan juga membentuk kondisi politik, institusional, sosial dan ekonomi pasca migrasi kembali terhadap daerah asal ( Cassarino, 2008). Ekonomi Migrasi kembali akan berdampak pada daerah penerima (daerah tujuan), daerah pengirim (daerah asal), dan migran itu sendiri, terutama jika migran memiliki kemampuan yang tinggi (Wiesbrok (2008) dalam Khan). Negara tujuan dapat memperoleh tenaga kerja dengan upah rendah dan juga mengisi kekurangan tenaga kerja temporer (Khan). Akan tetapi, Gitter, Gitter and Southgate (2007) berpendapat bahwa lapangan pekerjaan di daerah tujuan akan berkurang untuk para migran kembali karena setelah tujuannya terpenuhi (seperti telah memperoleh tabungan yang cukup untuk hari tua), mereka akan kembali lagi ke daerah asalnya sehingga kebutuhan akan migran sebagai tenaga kerja pun menjadi berkurang. Migran juga memperoleh keuntungan untuk mendapatkan upah yang lebih besar daripada di daerah asal dan juga memperoleh ketrampilan dan pengalaman yang akhirnya berdampak juga pada negara asal yaitu adanya investasi dari remitans serta transfer pengetahuan dan ketrampilan dari para migran yang kembali (Khan; de Haas, Fokema, dan Fihri, 2009; Biondo, 2010). Seperti yang dinyatakan oleh Mayr dan Peri (2008) bahwa pekerja yang kembali setelah bekerja di luar negeri akan meningkatkan rata-rata modal sumber daya manusia di negara pengirim (daerah asal). Di sisi lain, menurut Sills (2008) dampak migran kembali pada daerah asal tidak selalu positif atau mendatangkan keuntungan atau sumbangan terhadap pembangunan selanjutnya. Migran yang gagal tidak selalu membawa ketrampilan baru, remitans juga tidak memberikan sumbangan yang mendasar terhadap perubahan ekonomi karena sebagian besar pendapatan yang diperoleh di daerah tujuan dibelanjakan untuk membeli barang-barang konsumsi ketimbang diinvestasikan untuk membeli tanah atau mengembangkan bisnis.
11
Sosial Reintegrasi para migran tergantung pada tingkat kesiapan mereka untuk kembali ke daerah asal (Cassarino, 2008). Kesulitan yang dialami oleh para migran untuk reintegrasi atau re-adaptasi biasanya dialami oleh mereka yang dipulangkan dengan terpaksa (Lahlou, 2008). Sills (2008) memberikan gambaran mengenai dampak sosial dari sisi budaya yang mempengaruhi cara pandnag ekonomis dan politis di daerah asal. Saat di daerah tujuan, migran mengadopsi praktik konsumerisme dan mengembangkan cita rasa yang lebih tinggi terhadap barang dan jasa. Ketika migran ini kembali, mereka “menularkannya” pada masyarakat di daerah asal. Pergeseran budaya ini menjadikan komunitas daerah asal memiliki keinginan untuk pergi ke luar dari daerah asalnya. Pendapat ini dikuatkan dengan hasil penelitian Ceballos (2011), para migran Mexico yang merantau ke Amerika Serikat untuk jangka waktu yang lama akan membangun jaringan sosial, hubungan sosial, dan pelayanan kesehatan di daerah asalnya seperti di lingkungan di Amerika Serikat karena fasilitas di Amerika Serikat lebih baik daripada daerah asalnya.
Politik Politik dalam negeri memiliki peranan yang sangat penting dalam penanganan migran. Akan tetapi, patut diingat bahwa dalam topik bahasan migrasi kembali melibatkan dua negara, yaitu negara pengirim dan penerima, sehingga dibutuhkan hubungan bilateral atau bahkan multilateral (Inglis dan Koening, 2004). Pembuat kebijakan di negara asal dan tujuan akan berpengaruh terhadap dampak dan efektivitas migrasi kembali (Cassarino, 2008).
3. STUDI KASUS : KEMBALINYA SUKU MADURA KE KALIMANTAN TENGAH PASCA KONFLIK ANTARETNIS Telah banyak penelitian terkait dengan migrasi kembali, tapi kebanyakan adalah penelitian diluar negeri. Namun penelitian yang mengkaji migrasi kembali di Indonesia masih jarang sekali. Itu menjadi dasar bagi penulis untuk membangun kerangka teoritis ini. Migrasi Suku Madura ke Pulau Kalimantan diawali dengan adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah dahulu, utamanya secara swakarsa. karakter orang Madura yang terkenal keras, membuat mereka agak susah beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan barunya. Pola migrasi swakarsa suku madura menurut Sudagung (1984) adalah : (l) kebanyakan dengan pola migrasi langsung, (2) pada umumnya menggunakan sarana angkutan perahu layar Madura yang murah dan mudah dijangkau, ( 3 ) prakarsa migrasi pada 12
umumnya dari para migran sendiri, sebagian lagi atas ajakan keluarga atau teman, (4) biaya migrasi diperoleh dengan berbagai cara ialah biaya sendiri, sebagian lagi atas biaya keluarga, majikan atau calon majikan dan bekerja di perahu layar yang ditumpangi, (5) sebelum mendapat perumahan sendiri, penampungan diatur oleh keluarga, teman atau calon majikan, (6) sebelum mendapatkan pekerjaan atau penghasilan, biaya hidup kebanyakan ditanggung oleh keluarga, sebagian lagi oleh teman atau secara berhutang, (7) cara memperoleh pekerjaan di rantau dibantu oleh keluarga atau teman yang telah lama menetap, (8) pola pemukiman mereka di daerah pedesaan atau kota-pinggiran, merupakan pemukiman mengelompok, terpisah dari pemukiman etnik lain, sedangkan di kota merupakan pemukiman sisipan di tengah-tengah pemukiman kelompok etnik lain. Orang Madura pada dasarnya memiliki jiwa perantau. Jiwa perantau ini diakibatkan karena tanah Madura sendiri tidak subur untuk dijadikan lahan pertanian, sehingga memaksa mereka untuk merantau ke daerah-daerah lain untuk penghidupan yang lebih baik. Karakter orang Madura, terkenal dengan gaya bicara yang blak-blakan dan logat yang kental, memiliki sifat temperamental dan mudah tersinggung sehingga membuat mereka agak susah beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan barunya, dalam hal ini adalah masyarakat Suku Dayak. Meskipun banyak transmigran datang dari berbagai pulau, Orang Madura lebih banyak. Tidak seperti orang Jawa lainnya. Mereka cenderung meninggalkan lokasi transmigrasinya untuk bekerja di perkebunan dan industry penebangan kayu, bekerja di tempat yang sama dengan Dayak. Mereka membuka lahan baru dan membangun komunitas sepanjang jalan baru yang membuat daerah pedalaman Kalimantan lebih gampang diakses, terutama untuk perusahaan penebangan kayu dan pembangunan perkebunan. Saat orang Dayak merasa tersingkirkan, mereka melihat orang Madura mengambil keuntungan. Mereka memperoleh pekerjaan di pasar, transportasi sungai dan darat, komersial dan pelabuhan. Orang Dayak mengklaim, di tempat seperti Sampit di Kalimantan Tengah, dominasi Madura di sektor ekonomi bawah membuat mereka kehilangan kesempatan kerja. (Orang Madura membantahnya. Mereka berkata kebanyakan orang Dayak tidak tertarik mengerjakan pekerjaan seperti yang dilakukan orang Madura seperti buruh, transportasi dan perdagangan) (Achwan., Nugroho dan Prayogo, 2005) Kerusuhan di Kalimantan Tengah didahului oleh tanda-tanda ketegangan yang kian meningkat antara orang Dayak dan Madura selama paling tidak dua dasawarsa (ICG, 2001). Kerusuhan ini marak pada tanggal 17 Februari di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur dan memaksa warga yang harus mengungsi meninggalkan rumah. Konflik etnis di 13
Kalimantan Tengah terjadi dengan latar belakang dislokasi dan penyisihan yang dialami orang Dayak. Terutama dalam tiga dasawarsa masa Orde Baru Presiden Suharto yang didukung militer, orang Dayak semakin merasakan hilangnya kendali atas kehidupan mereka sendiri (ICG, 2001). Gelombang raksasa imigrasi menyisihkan orang Dayak di kampong halamannya sendiri. Pengungsi akibat kerusuhan Sampit terkonsentrasi di wilayah kabupaten Sampang. pengungsi terkonsentrasi di enam kecamatan, yaitu: Ketapang, Banyuates, Kedungdung, Robatal, Sokobanah, dan Tambilangan berjumlah 16.665 Kepala Keluarga (KK), atau 63.818 jiwa (Wiyata, A. Latief, 2008). Di desa-desa lain selain keenam desa tersebut dalam kenyataannya masih dapat ditemukan pula beberapa orang pengungsi namun jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar antara 5 sampai 10 jiwa. Sejak pertama kali menjalani kehidupan sebagai pengungsi mereka pada umumnya mengaku mengalami dan merasakan keterasingan di lingkungan sosial dimana mereka hidup. Kenyataan ini terutama dialami dan dirasakan oleh para pengungsi yang sudah tidak memiliki kerabat lagi di Madura atau mereka yang sudah puluhan tahun tidak pernah pulang ke Madura. Bahkan banyak di antara mereka baru mengunjungi Madura saat itu. Oleh karena sanak keluarga sudah tidak ada, mereka ditampung di keluarga-keluarga penduduk lokal yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Para pengungsi ini sering merasa terasing di tempat pengungsian. Salah satu faktor di antaranya adalah ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan tata-cara bersikap dan berperilaku sebagai orang Madura. Ini mudah dipahami, jangka waktu yang begitu lama meninggalkan kampung halaman, bahkan ada beberapa pengungsi adalah sebagai keturunan atau generasi kelima sejak keluarga mereka bermigrasi ke Kalimatan Tengah sehingga banyak sikap dan perilaku mereka sudah tidak sesuai dengan sikap dan perilaku sosial penduduk lokal. Dalam kondisi demikian kehidupan sehari-hari para pengungsi mengaku tidak mampu melakukan interaksi dengan penduduk lokal secara lebih akrab. Secara sosial, setelah hampir tiga tahun berstatus sebagai pengungsi mereka selalu mengeluh tidak betah tinggal di pengungsian karena hubungan sosial dengan para kerabat dan penduduk lokal yang semula sangat “welcome” atas kedatangan mereka, diakui oleh para pengungsi telah ada perubahan perlakuan. Banyak dari para pengungsi yang merasa diabaikan oleh penduduk lokal, meskipun penduduk lokal tersebut ternyata masih memiliki ikatan kekerabatan dengan mereka. Apalagi penduduk lokal yang sama sekali tidak ada ikatan itu. Mereka hidup dalam suatu suasana kehidupan rumah tangga yang sangat menyesakkan. Banyak di antara para penduduk lokal terpaksa menampung lebih dari 10 sampai 20 orang anggota keluarga pengungsi di rumah-rumah mereka. Kondisi sosial 14
semacam ini ikut berperan terhadap keinginan mereka untuk dapat segera kembali ke Kalimantan. Keinginan kembali ke Kalimantan semakin kuat karena dipicu lagi oleh kepentingan ekonomi mereka yang dalam kenyataannya tidak ada jaminan kepastian di masa depan. Mereka yang hanya bisa pergi dari Kalimantan tanpa membawa harta benda apa pun, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghidupi diri dan keluarganya kecuali mengharapkan bantuan dari pihak lain. Bagi sebagian pengungsi yang sempat membawa harta benda dapat melanjutkan usahanya di kota-kota lain di luar Madura, seperti kota Surabaya. Untuk mengatasi kebutuhan hidup secara ekonomi, banyak di antara para pengungsi (terutama kepala keluarga) yang nekad kembali ke Kalimantan Tengah hanya untuk sekedar menengok lahan perkebunan (kelapa atau tanaman lainnya) yang mereka tinggalkan. Hasil panenan itu mereka bawa kembali ke tempat pengungsian untuk menghidupi anak-anak dan isterinya. Selain itu, banyak pula yang bekerja apa adanya di desa-desa sekitar pengungsian dengan menjual jasa seperti mencangkul, kuli bangunan, dan menarik becak di kota Sampang atau berjualan makanan. Biasanya yang bekerja tidak jauh dari tempat pengungsian pulang sekali seminggu atau paling lama sebulan sekali ke keluarganya. Mereka yang nekad pergi ke Kalimantan Tengah biasanya lebih bertahan lama hingga dua atau tiga bulan. Selain menengok hasil panenan, mereka juga menjual jasa sebagaimana pekerjaan mereka sebelumnya. Baik para pengungsi yang bekerja di daerah Madura atau yang pergi ke Kalimantan mengaku tidak ingin dicoret namanya sebagai pengungsi. Alasannya, mereka ingin tertap mendapat atau menerima bantuan sehingga ketika mereka mendengar akan ada pemabagian bantaun dapat dipastikan mereka akan pulang ke kamp pengungsian. Beban hidup mereka semakin terasa berat oleh karena selama dalam masa pengungsian pertambahan penduduk akibat kelahiran sangat sulit dihindari. Beberapa penduduk mengaku selama hampir tiga tahun berada di kamp pengungsian telah melahirkan anak sampai dua orang. Para pengungsi asal Sampit yang terkonsentrasi di Kabupaten Sampang, sudah mulai ada yang “kembali” ke desa-desa tempat asal mereka di Kalimantan Tengah yaitu ke Kapuas dan Sampit secara bertahap sejak Maret sampai dengan Agustus 2003. Jumlah yang telah tercatat 3.885 Kepala Keluarga (KK) atau 16.450 jiwa yang sudah benar-benar kembali atau sudah mendaftar akan kembali. Alasan para pengungsi ini mau kembali ke Kalimantan Tengah selain alasan sosial ekonomi di atas, juga karena dukungan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sendiri yang sudah menjamin keamanan dan keselamatan para pengungsi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Achwan, Rochman, Hari Nugroho dan Dody Prayogo dengan Hadi, Suprayoga. 2005. Overcoming Violent Conflict : Peace and Development Analysis In West Kalimantan, Central Kalimantan and Madura Volume 1. CPRU-UNDP, LabSosio dan BAPPENAS. Jakarta Biondo, Emanuel Alessio. 2010. “Return Migration in Italy : What do We Know?” Journal of Advanced Research in Management Vo. 1 Issue 2 (2). Black, Richard, Russel King, Richmnd Tiemoko, 2003, Migration, Return and Small Enterprise Development in Ghana : a Route Out of Poverty?. Paper on International Workshop on Migration and Poverty in West Africa March 13-14, 2003. University of Sussex.Gitter, Seth R. Robert J. Gitter and Douglas Southgate. 2007. The Impact of Return Migration to mexico. Estudios Economicos Vol 23: No. 1 : 3-23. Bovenkerk, F,. 1975. “The Sociology of Return Migration : A Bibliographic Essay”. Publication of the research group for European Migration Problems. Volume 20. Springer
Netherlands
diunduh
tanggal
12
Maret
2013
di
http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-011-8009-2_2#page-1 Cassarino, Jean Pierre. 2008. Return Migrants To The Maghreb Countries Reintegration and Development Challenges. European University Institute. Florence Cassarino, Jean Pierre. 2004. “Theorising Return Migration : The Conceptual Approach to Return Migrants Revisited”. International Journal on Multicultural Societies (IJMS): Managing Migration and Diversity in the Asia Pasific Region and Europe 2004:Vol. 6 (2) :253-279. Ceballos, Miguel. 2011. Stimulating the Effect of Aculturation and Return Migration on the Maternal and Infant Health of Mexican Immigrants in the United States: A research Notes. Demography (2011) 48: 425-436. De Haas, Hein, Tineke Fokkema and Mohamed Fassi Fihri. 2009. Return Migration as a Failure or Success?: The Determinants of Return Migration Intentions Among Moroccan Migrants in Europe. Paper to be presented at XXVI IUSSP International Population Conference. De Hass, Hein, Tineke Fokkema. 2011. “The Effects of Integration and Transnational Ties on International Return Migration Intentions”. Demographic Research Volume 25, Article 25, Page 755-782 Published 6 December 2011.
16
Dustmann, C., 1994a. “Speaking Fluency, Writing Fluency and Earnings of Migrants”. Journal of Population Economics. Dustmann, C., 1996. Return Migration The European Experience. Economic Policy. University
College,
London.
Diunduh
pada
tanggal
15
Maret
2013
di
http://www.ucl.ac.uk/~uctpb21/Cpapers/Returnmigration_europeanexperience.pdf Dustmann, C., dan Weiss, Y., 2007. Return Migration: Theory and Empirical Evidence. Centre for Research and Analysis of Migration. Department of Economics, University College London. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2013 di http://www.creammigration.org/publ_uploads/CDP_02_07.pdf Gitter, Seth R. Robert J. Gitter and Douglas Southgate. 2007. “The Impact of Return Migration to Mexico”. Estudios Economicos Vol 23: No. 1 : 3-23 Haug, S. (2010). MIGRATION AND RETURN MIGRATION : The Case of Italian Migrants in Germany. Paper (tidak dipublikasikan). was first presented to the workshop Labour Migration and Transnationalism in Europe – Contemporary and Historical Perspectives at the Südost-Institut, Regensburg. Diunduh tanggal 18 Maret 2013 di http://www.kakanien.ac.at/beitr/labourmigration/SHaug1.pdf ICG. 2001. Kekerasan Etnis di indonesia : Pelajaran Dari Kalimantan. Laporan International Crisis Group (ICG) Asia No.19. Jakarta/Brussels Inglis, Christine ang Matthias Koening. 2004, Editorial in International Journal on Multicultural Societies (IJMS): Managing Migration and Diversity in the Asia Pasific Region and Europe 2004:Vol. 6 (2) :196-201. IOM, 2004. Return Migration Policies & Practices in Europe. Prepared by the Migration Management Services Department in collaboration with the Research and Publications Division, International Organization for Migration, Geneva. Diunduh tanggal 17 Maret 2013 di http://www.ch.iom.int/fileadmin/media/pdf/publikationen/return_migration.pdf IOM, 2010. Return Migration Policies & Practices in Europe. Migration Policy and Research Department, International Organization for Migration, Geneva. Diunduh tanggal 17 Maret 2013 di http://publications.iom.int/bookstore/free/IDM15.pdf Khan, Mohd Imran. Tanpa tahun. Return Migration and Regional Innovation System; Evidence from India. Kerala: Center for Development Studies. Kilic, Thalib et.al.. 2007. Investing Back Home : Ownership in Albania. World Bank Development Research Group Poverty Team. Policy research Working Paper 4366.
17
Lahlou, Mehdi. 2008. Reintegration and Post Return Condition of Returnees to Morocco. General Report 2008 edited by Jean Pierre Cassarino. Florence: European University Institute. Mayr, Karin and Giovani Peri. 2008. NBER Working Paper Series : Return Migration as a Brain Gain. Massachusetts: National Bureau of Economic Research. Puspitasari, Ayu Wulan. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Migrasi Sirkuler ke Kabupaten Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro Sills, Stephen J. 2008. Return Migration in Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society edited by Richard T. Schaefer. Sage Publication. Diunduh pada tanggal 19 Maret 2013 pukul 04.28 WIB. Sudagung, Hendro Suroyo. 1984. Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, UGM.Yogyakarta.
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Penelitian
Detail&act=view&typ=html&buku_id=12576&obyek_id=4 Diunduh pada tanggal 13 Maret
2013 pukul 12.03 WIB Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Diterjemahkan oleh Drs Haris Munandar, MA dan Puji AL, SE dari Buku Economic Development Ninth Edition. Jakarta: Erlangga Wiyata, A. Latief. 2008. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Pengungsi Akibat Kerusuhan Sosial Akibat Kerusuhan Sosial Kalimantan di Kabupaten Sampang dan Bangkalan, Madura. Makalah ini dipresentasikan dalam Workshop tentang “Pengungsi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan (PMB-LIPI) bekerjasama dengan Refugee Studies Center (RSC), Oxford University, Inggris.
http://wiyatablog.blogspot.com/2008/11/kondisi‐sosial‐budaya‐dan‐
ekonomi_80.html Diunduh pada tanggal 12 Maret 2013 pukul 11.22 WIB.
18