PARASTERNAL
The parasternal line is a vertical line on the front of the thorax. It is midway between the lateral sternal and the mammary line.
RETRAKSI INTERKOSTA
Retraksi interkostal (penarikan otot sela iga ketika penderita berusaha keras untuk bernafas)
(meningkatnya pemakaian otot-otot leher dan dada sebagai usaha untuk bernafas).
KARDIOMEGALI
Kardiomegali adalah sebuah keadaan anatomis (struktur organ) di mana besarnya jantung lebih besar dari ukuran jantung normal, yakni lebih besar dari 55% besar rongga dada. pada Kardiomegali salah satu atau lebih dari 4 ruangan jantung membesar. Namun umumnya kardiomegali diakibatkan oleh pembesaran bilik jantung kiri (ventrikel kardia sinistra)
Pada kardiomegali dapat oto-ototnya yang membesar atau rongganya yang membesar, manapun itu semua adalah adaptasi jantung utnuk menghaapi perubahan dalam tuntutan kerjanya.
Penyebabnya ada banyak sekali, hampir semua keadaan yang memaksa jantung untuk bekerja lebih keras dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada otot jantung sehingga jantung akan membesar. analoginya adalah misalnya pada binaragawan otot-otonya membesar karena seringnya mereka melakukan aktivitas beban tinggi. jantung juga demikian.
Penyebab penyakitnya apa saja??? Hmmm. banyak sekali... kalau di buku Hurst's Heart Disease saja bisa sampai 20 bab lebih... dan bukunya hapir 2000 halaman... Singkatnya saya akan beritahu penyebab yang terbanyak...
1. Penyakit Jantung Hipertensi Pada keadaan ini terdapat tekanan darah yang tinggi sehingga jantung dipaksa kerja ekstra keras memompa melawan gradien tekanan darah perifer anda yang tinggi...
2. Penyakit Jantung Koroner Pada keadaan ini sebagain pembuluh darah jantung (koroner) yang memberikan pasokan oksigen dan nutrisi ke jantung terganggu sehingga otot-otot jantung berusaha bekerja lebih keras dari biasanya menggantikan sebagian otot jantung yang lemah atau mati karena kekurangan pasokan darah.
3. Kardiomiopati (Bisa karena diabetes) Yakni penyakit yang mengakibatkan gangguan atau kerusakan langsung pada otot-otot jantung. Hal ini dapat bersifat bawaan atau karena penyakit metabolisme seperti diabetes. Akibatnya oto jantung harus kerja ekstra untuk menjaga pasokan darah tetap lancar.
4. Penyakit Katup Jantung Di jantung ada 4 katup yang mengatur darah yang keluar masuk jantung. Apabila salah satu atau lebih dari katup ini mengalami gangguan seperti misalnya menyempit (stenosis) atau bocor (regurgitasi) akan mengakibatkan gangguan pada curah jantung (kemampuan jantung untuk memopa jantung dengan volume tertentu secara teratur). Akibatnya jantung juga perlu kerja ekstra keras untuk menutupi kebocoran atau kekurangan darah yang dipompanya.
5. Penyakit Paru Kronis Nah loh.. Pasti bingung... mengapa penyakit paru kronis juga bisa menyebabkan kardiomegali... Karena pada penyakit paru kronis dapat timbul keadaan di mana terjadi perubahan sedemikian rupa pada struktur jaringan paru sehingga darah menjadi lebih sulit untuk melewati paru-paru yang kita kenal dengan nama "HIPERTENSI PULMONAL". Karena itu bilik jantung kanan yang memompa darah ke paruparu perlu kerja ekstra keras, sehingga tidak seperti kebanyakan kardiomegali bukan bilik kiri yang membesar tapi bilik kanan, tapi jika sudah berat bahkan bilik kiri pun akan ikut membesar.
Nah kardiomegali itu sering kali disertai dengan keadaan gagal jantung... Oleh karena itu kardiomegali seringkali menunjukkan bahwa jantung telah lama mengalami kegagalan fungsi yang sudah berlangsung cukup lama dan berat. selain itu kardiomegali cenderung membuat jantung mudah terkena penyakit hjantung koroner karena jantung yang besar perlu pasokan darah dan oksigen yang besar sedangkan pasokan darah belum tentu lancar... Kardiomegali berpotensi berbahaya tapi yang lebih berbahaya adalah penyakit yang menyebabkannya karena seringkali timbul gejala-gejala klinis lain yang berpotensi fatal seperti gagal jantung dan stroke.
Pengobatannya adalah kita obati penyakit dasarnya, tapi jantung yang membesar tidak serta merta akan mengecil kembali (seringkali permanen) yang perlu kita cegah adalah komplikasi yang mungkin timbul dari kardiomegali tersebut. Jadi yang kita obati bukan kardiomegalinya tapi penyakit yang menyebabkannya, tapi kata mengobati juga tidak tepat karena rata-rata penyebabnya tidak dapat diobati. kata yang tepat adalah mengontrol keadaan yang menyebabkannya.
ISPA
Infeksi saluran napas atas dalam bahasa Indonesia juga di kenal sebagai ISPA (Infeksi Saluran naPas Atas) atau URI dalam bahasa Inggris adalah penyakit infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan, hidung, sinus, faring, atau laring.
Tanda dan gejala Yang termasuk gejala dari ISPA adalah badan pegal pegal (myalgia), beringus (rhinorrhea), batuk, sakit kepala, sakit pada tengorokan.
Penyebab terjadinya ISPA adalah virus, bakteri dan jamur. Kebanyakan adalah virus. Diagnosis yang termasuk dalam keadaan ini adalah, rhinitis, sinusitis, faringitis, tosilitis dan laryngitis.
[sunting] Terapi
Terapi yg diberikan pada penyakit ini biasanya pemberian antibiotik walaupun kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian obat obatan terapeutik, pemberian antibiotik dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini dibandingkan hanya pemberian obat obatan symptomatic, selain itu dengan pemberian antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi lanjutan dari bakterial, pemberian, pemilihan antibiotik pada penyakit ini harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi resistensi kuman/baterial di kemudian hari. Namun pada penyakit ISPA yg sudah berlanjut dengan gejala dahak dan ingus yg sudah menjadi hijau, pemberian antibiotik merupakan keharusan karena dengan gejala tersebut membuktikan sudah ada bakteri yg terlibat. Tanda-tanda klinis
Pada sistem pernafasan adalah: napas tak teratur dan cepat, retraksi/ tertariknya kulit kedalam dinding dada, napas cuping hidung/napas dimana hidungnya tidak lobang, sesak kebiruan, suara napas lemah atau hilang, suara nafas seperti ada cairannya sehingga terdengar keras Pada sistem peredaran darah dan jantung : denyut jantung cepat atau lemah, hipertensi, hipotensi dan gagal jantung. Pada sistem Syaraf adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan coma. Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak. Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk.
Tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, mendengkur, mengi, demam dan dingin
DISTENSI VENA JUGULARIS
Tekanan vena jugularis Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Tekanan vena jugularis atau Jugular venous pressure (JVP) dalam bahasa Inggris, adalah tekanan sistem vena yang diamati secara tidak langsung (indirek). Secara langsung (direk), tekanan sistem vena diukur
dengan memasukkan kateter yang dihubungkan dengan sphygmomanometer melalui vena subclavia dextra yang diteruskan hingga ke vena centralis (vena cava superior).
Karena cara tersebut invasif, digunakanlah vena jugularis (externa dexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik nol (zero point) di tengah atrium kanan. Titik ini kira-kira berada pada perpotongan antara garis tegak lurus dari angulus Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua linea midaxillaris.
Vena jugularis tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Ia baru terlihat pada posisi berbaring di sepanjang permukaan musculus sternocleidomastoideus.
JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi daripada normal.
[sunting] Pengukuran JVP diukur pada seseorang dengan posisi setengah duduk 45° dalam keadaan rileks. Pengukuran dilakukan berdasarkan tingkat pengisian vena jugularis dari titik nol atau dari sudut sternum. Pada orang sehat, JVP maksimum 3-4 cm di atas sudut sternum.
IRAMA GALOP
A gallop rhythm refers to a (usually abnormal) rhythm of the heart on auscultation.[1] It includes three or four sounds,[2] thus resembling the sounds of a gallop.
The normal heart rhythm contains two audible heart sounds called S1 and S2 that give the well-known "lub-dub" rhythm; they are caused by the closing of valves in the heart.
A gallop rhythm contains another sound, called S3 or S4, dependent upon where in the cycle this added sound comes.
It can also contain both of these sounds forming a quadruple gallop, and in situations of very fast heart rate can produce a summation gallop where S3 and S4 occur so close as to be indistinguishable.
[edit] Associated conditions Gallop rhythms may be heard in young or athletic people, but may also be a sign of serious cardiac problems like heart failure.
RALES
Rales From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search Rales ICD-10 R09.8 ICD-9 786.7
Rales, crackles or crepitations, are the clicking, rattling, or crackling noises heard on auscultation of (listening to) the lung with a stethoscope during inhalation.
Crackles are caused by the "popping open" of small airways and alveoli collapsed by fluid, exudate, or lack of aeration during expiration. The word "rales" derives from the French word râle meaning "rattle".
Crackles can be heard in patients with pneumonia, atelectasis, pulmonary fibrosis, acute bronchitis, or bronchiectasis. Pulmonary edema secondary to left-sided congestive heart failure can also cause rales.
Terminology
The terms rales and crepitations are both still in common use in the US but less common elsewhere.[1] Use of the term rales has been discouraged by the American Thoracic Society and American College of Chest Physicians since 1977 [2] by numerous authors, [3] and this is enforced by the editorial policy of a number of major medical journals.[1]
In Sweden, crepitations refer specifically to fine, dry crackles.[4]
[edit] The sound of crackles Crackles are caused by explosive opening of small airways,[3] are discontinuous, [5] nonmusical and brief. Crackles are much more common during the inspiratory than the expiratory phase of breathing, but they may be heard during the expiratory phase. Crackles are often associated with inflammation or infection of the small bronchi, bronchioles, and alveoli. Crackles that don't clear after a cough may indicate pulmonary edema or fluid in the alveoli due to heart failure or Acute respiratory distress syndrome.
Crackles are often described as fine, medium, and coarse. They can also be characterized as to their timing: fine crackles are usually late-inspiratory, whereas coarse crackles are early inspiratory. Fine crackles are soft, high-pitched, and very brief. This sound can be simulated by rolling a strand of hair between one's fingers near the ears, or by moistening one's thumb and index finger and separating them near the ears. Their presence usually indicates an interstitial process, such as pulmonary fibrosis or congestive heart failure. Coarse crackles are somewhat louder, lower in pitch, and last longer than fine crackles. They have been described as sounding like opening a Velcro fastener. Their presence usually indicates an airway disease, such as bronchiectasis. They can also be described as unilateral or bilateral, as well as dry or moist/wet.[6]
Crackles can be heard over the lower lobe of the lungs. Pulmonary edema makes it much more audible.
MURMUR
Murmur pada Stenosis Aorta
Pada stenosis aorta darah disemburkan dari ventrikel kiri melalui sebuah lubang yang sempit di katup aorta. Akibat tahanan terhadap semburan, kadang2 tekanan dalam ventrikel kiri meningkat sampai setinggi 300 mmHg, sedangkan tekanan di aorta tetap normal. Jadi, terbentuk pengaruh pipa semprot yang terjadi selama sistol, dengan darah yang disemburkan dengan kecepatan sangat tinggi melalui lubang kecil di katup. Keadaan ini menyebabkan turbulensi hebat pada darah di pangkal Aorta. Darah turbulen yang mengenai dinding aorta menimbulkan getaran yang hebat, dan murmur yang keras dihantarkan sepanjang Aorta bagian atas dan bahkan ke dalam arteri-arteri besar di leher. Suara ini kasar dan pada stenosis berat kadang-kadang demikian kerasnya sehingga dapat terdengar beberapa kaki dari pasien.
Murmur pada Regurgitasi Katup Aorta Pada regurgitasi Aorta tidak terdengar selama sistol, tetapi selama diastole, darah mengalir balik dari Aorta ke Ventrikel kiri, menimbulkan murmur”seperti suara meniup”. Yang relative bernada tinggi dan mendesis, serta terdengar secara maksimal diatas ventrikel kiri. Murmur ini disebabkan oleh darh turbulen yang menyembur balik dengan darah yang telah berada dalam ventrikel kiri. Murmur pada Regurgitasi Katup Mitral Pada regurgitasi mitral, darah mengalir balik melalui katup mitral ke dalam atrium kiri selama sistol. Keadaan ini juga menimbulkan suara “seperti tiupan” berfrekuensi tinggi dan mendesis yang serupa dengan regurgitasi katup aorta, dan terutama dihantarkan keras ke atrium kiri. Namun atrium kiri terletak dalam sekali di rongga dada sehingga sukar sekali untuk mendengar suara ini tepat diatas atrium. Akibatnya, suara pada regurgitasi mitral dihantarkan ke dinding dada terutama melalui ventrikel kiri, dan biasanya terdengar paling baik di apek jantung.
Murmur pada Stenosis Katup Mitral Pada stenosis katup mitral, darah mengalir susah payah melalui katup mitral yang mengalami stenosis dari atrium kiri ke ventrikel kiri, dank arena tekanan dalam atrium kiri jarang meningkat diatas 30 mmHg kecuali untuk jangka waktu pendek, selisih dari tekanan yang besar yang mendorong darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri tidak pernah terjadi. Akibatnya bunyi abnormal yang terdengar pada stenosis katup mitral biasanya lemah dan dengan frekuensi sangat rendah sehingga sebagian besar spectrum suara berada di bawah frekuensi terendah dari pendengaran manusia. Selama bagian awal diastol, ventrikel mengandung sedikit sekali darah dan dindingnya demikian lunak sehingga darah tidak memantul bolak balik diantara dinding-dinding ventrikel. Karena alas an ini, bahkan pada stenosis katup mitral yang hebat sekalipun, sama sekali tidak terdengar murmur selama sepertiga awal diastole. Kemudian, setelah sepertiga awal diastole berlalu ventrikel sudah cukup teregang sehingga darah dipantulkan bolak-balik, dan seringkali mulai terjadi murmur yang bergemuruh rendah. Pada stenosis ringan, murmur hanya berlangsung selama separuh pertama pada bagian kedua dari
ketiga bagian diastole, tetapi pada stenosis berat, murmur bias lebih awal dan menetap selama sisa diastole.
Heart murmur From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search Cardiac murmurs and other cardiac sounds Auscultogram from normal and abnormal heart sounds ICD-10 R01. ICD-9 785.2-785.3 DiseasesDB 29151 MedlinePlus 003266 MeSH D006337
Murmurs are extra heart sounds that are produced as a result of turbulent blood flow which is sufficient to produce audible noise. Murmurs may be present in normal hearts without any heart disease. These types of murmurs, often referred to as innocent murmurs, usually cause no trouble for the patient.[1] Murmurs may also be the result of various problems, such as narrowing or leaking of valves, or the presence of abnormal passages through which blood flows in or near the heart. Such murmurs, known as pathologic murmurs, should be evaluated by an expert.
Classification Murmurs can be classified by seven different characteristics: timing, shape, location, radiation, intensity, pitch and quality.[2]
Timing refers to whether the murmur is a systolic or diastolic murmur. Shape refers to the intensity over time; murmurs can be crescendo, decrescendo or crescendodecrescendo.
Location refers to where the heart murmur is auscultated best. There are 6 places on the anterior chest to listen for heart murmurs; the first five out of six are adjacent to the sternum. Each of these locations roughly correspond to a specific part of the heart. The locations are: 2nd right intercostal space, 2nd 5th left intercostal spaces, and 5th mid-clavicular intercostal space. Radiation refers to where the sound of the murmur radiates. The general rule of thumb is that the sound radiates in the direction of the blood flow. Intensity refers to the loudness of the murmur, and is graded on a scale from 0-6/6. The pitch of a murmur is low, medium or high and is determined by whether it can be auscultated best with the bell or diaphragm of a stethoscope. Some examples of the quality of a murmur are: blowing, harsh, rumbling and musical.
Diastolic heart murmur From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search
Auscultogram from normal and abnormal heart soundsDiastolic heart murmurs are heart murmurs heard during diastole.[1][2][3]
Diastolic murmurs start at or after S2 and ends before or at S1.
Many involve stenosis of the atrioventricular valves or regurgitation of the semilunar valves.
[edit] Types Early diastolic murmurs start at the same time as S2 with the close of the semilunar valves and typically ends before S1. Common causes include aortic or pulmonary regurgitation and left anterior descending artery stenosis. Mid-diastolic murmurs start after S2 and end before S1. They are due to turbulent flow across the atrioventricular valves during the rapid filling phase from mitral or tricuspid stenosis.
Late diastolic (presystolic) murmurs start after S2 and extends up to S1 and have a crescendo configuration. They can be associated with AV valve narrowing.[4] They include mitral stenosis, tricupsid stenosis, myxoma, and complete heart block. [edit] Individual murmurs Time Condition Description Early diastolic Aortic regurgitation The murmur is low intensity, high-pitched, best heard over the left sternal border or over the right second intercostal space, especially if the patient leans forward and holds breath in full expiration. The radiation is typically toward the apex. The configuration is usually decrescendo and has a blowing character. The presence of this murmur is a good positive predictor for AR and the absence of this murmur strongly suggests the absence of AR. An Austin Flint murmur is usually associated with significant aortic regurgitation. Early diastolic Pulmonary regurgitation Pulmonary regurgitation is most commonly due to pulmonary hypertension (Graham-Steell murmur). It is a high-pitched and blowing murmur with a decrescendo configuration. It may increase in intensity during inspiration and best heard over left second and third intercostal spaces. The murmur usually does not extend to S1. Early diastolic Left anterior descending artery stenosis This murmur, also known as Dock's murmur, is similar to that of aortic regurgitation and is heard at the left second or third intercostal space. A Coronary artery bypass surgery can eliminate the murmur. Mid-diastolic Mitral stenosis This murmur has a rumbling character and is best heard with the bell of the stethoscope in the left ventricular impulse area with the patient in the lateral decubitus position. It usually starts with an opening snap. In general, the longer the duration, the more severe the mitral stenosis. However, this rule can be misleading in situations where the stenosis is so severe that the flow becomes reduced, or during high-output situations such as pregnancy where a less severe stenosis may still produce a strong murmur. In mitral stenosis, tapping apical impulse is present. Mid-diastolic Tricuspid stenosis Best heard over the left sternal border with rumbling character and tricuspid opening snap with wide splitting S1. May increase in intensity with inspiration (Carvallo's sign). Tricuspid stenosis often occurs in association with mitral stenosis. Isolated TS are often associated with carcinoid disease and right atrial myxoma. Mid-diastolic Atrial myxoma Atrial myxomas are benign tumors of the heart. Left myxomas are far more common than right myxomas and those may cause obstruction of the mitral valve producing a middiastolic murmur similar to that of mitral stenosis. An echocardiographic evaluation is necessary. Mid-diastolic Increased flow across the atrioventricular valve This can also produce a mid-diastolic murmur, such as in severe mitral regurgitation where a large regurgitant volume in the left atrium can lead to "functional mitral stenosis."
Mid-diastolic Austin Flint murmur An apical diastolic rumbling murmur in patients with pure aortic regurgitation. This can be mistaken with the murmur in mitral stenosis and should be noted by the fact that an Austin Flint murmur does not have an opening snap that is found in mitral stenosis. Mid-diastolic Carey-Coombs murmur A mid-diastolic murmur over the left ventricular impulse due to mitral valvulitis from acute rheumatic fever. Late diastolic (presystolic) Complete heart block A short late diastolic murmur can occasionally be heard (Rytand's murmur).
Bising jantung (cardiac murmur) timbul akibat aliran turbulen dalam bilik (dinding jantung) dan pembuluh darah jantung, sumbatan terhadap aliran atau adanya aliran dari diameter kecil ke diameter yang lebih besar. Aliran turbulen ini terjadi bila melalui struktur yang abnormal (penyempitan lubang katup, insufisiensi katup,atau dilatasi segmen arteri), atau akibat aliran darah yang cepat sekali melalui struktur yang normal, atau akibat aliran darah balik yang abnormal (regurgitasi) 1,2,3 Turbulensi menyebabkan arus berlawanan (eddies) yang memukul dinding dan menimbulkan getaran yang didengar pemeriksa sebagai bising. Bising dapat pula timbul bila sejumlah besar darah mengalir melalui lubang normal. Dalam keadaan ini lubang normal relatif stenotik untuk volume yang bertambah itu. 1 Bising jantung digambarkan menurut: 1. Waktu relatifnya terhadap siklus jantung 2. Intensitasnya 3. Lokasi atau daerah tempat bunyi itu terdengar paling keras dan 4. Sifat-sifatnya 2 Untuk menentukan daerah dengan bising jantung maksimal sering digunakan lima daerah standar pada dinding dada yaitu: daerah aorta, trikuspidalis, pulmonalis, mitralils atau apikal, dan titik erb (ICS II, parasternalis sinistra). Tempat-tempat ini merupakan tempat yang paling sering dipakai untuk lokalisasi daerah bising maksimum. Bising terdengar paling keras pada daerah-daerah yang terletak searah dengan aliran darah yang melalui katup, bukan di daerah tempat katup-katup itu berada. Spesifikasi sifat-sifat bunyi yang unik (seperti bunyi tinggi, kualitas, lama, atau penyebarannya) juga harus ditulis sewaktu menggambarkan suatu bising jantung. 2 Semua bising jantung dapat dilokalisasi tempat terdengarnya yang paling keras (pungtum maksimum bising). Bising mitral biasanya terdengar paling keras di apeks, bising trikuspid di para sternal kiri bawah, bising pulmonal di sela iga 2 tepi kiri sternum, bising aorta di sela iga ke 2 tepi kanan atau kiri sternum. 4
Lokalisasi suatu bising adalah tempat bising itu paling keras terdengar (punctum maximum). Punctum maximum bising tertentu perlu ditentukan untuk membedakan bising itu dengan bising lain yang mungkin terdengar juga di tempat yang sama karena penyebaran dari tempat lain. Selain itu, punctum maximum dan penyebaran suatu bising berguna untuk menduga darimana bising itu berasal. Misalnya dengan punctum maximum pada apeks kordis yang menyebar ke lateral sampai ke belakang, biasanya adalah bising yang berasal dari katup mitral. 3 Dalam pemeriksaan bising jantung harus diperhatikan: - Fase dimana bising itu terjadi dan saat bising tersebut - Intensitas dan nada bising - Bentuk (tipe) bising serta lama dan saatnya bising - Lokasi bising dengan punctum maximum-nya serta arah penjalaran bising (punctum maximum) adalah tempat dimana bising itu terdengar paling keras - Apakah bising yang terdengar berubah-ubah menurut posisi badan atau pernafasan - Tinggi nada - Kualitas - Hubungan dengan pernafasan - Hubungan dengan posisi tubuh 1,2 Terlebih dahulu ditetapkan dengan tepat dalam fase mana bising jantung itu terdengar; bising jantung dibagi menjadi bising sistolik dan bising diastolik. 2 1. Bising Diastolik Bising diastolik terjadi sesudah bunyi S2 saat relaksasi ventrikel. Bising stenosis mitralis dan insufisiensi aorta terjadi selama diastolik. 2 Bising diastolik terdengar dalam fase diastolik (diantara BJ II dan BJ I) sesudah BJ II. Macam-macam bising jantung diastolik menurut saatnya:
- Early diastolik Terdengar segera sesudah BJ II. Bila bising ini terutama terdengar di daerah basal jantung, mungkin sekali disebabkan insufisisensi aorta, bising ini timbul sebagai akibat aliran balik pada katup aorta. Bising mulai bersamaan dengan bunyi jantung II, dekresendo, dan berhenti sebelum bunyi jantung I; terdapat pada insufisiensi aorta atau insufisiensi pulmonal.
- Mid-diastolik Terjadi akibat aliran darah berlebih (stenosis relatif katup mitral atau trikuspid), misalnya pada defek septum ventrikel besar, duktus ateriosus persisten yang besar, defek septum atrium besar, insufisiensi mitral/ trikuspid berat. Terdengar kurang lebih pada pertengahan fase diastolik. Bila terdengar dengan punctum maximum di apeks, menunjukkan adanya stenosis mitral. - Diastolik akhir (Pre-systolic) Dimulai pada pertengahan fase diastolik, kresendo dan berakhir bersamaan dengan bunyi jantung I (terdengar pada akhir fase diastolik, tepat sebelum BJ I). Bising jantung tersebut terdapat pada stenosis mitral organik dengan punctum maximum-nya biasanya di apeks kordis. 3,4
Tabel 1. Bising diastolik 1 Stenosis Regurgitasi aorta Lokasi Apeks Daerah aorta Penyebaran Tidak ada Tidak ada Bentuk Dekresendo Dekresendo Nada Rendah Tinggi Kualitas Bergemuruh Meniup Tanda terkait S1 mengeras Opening snap RV rock Aksentuasi perisistolik S3 PMI terdorong ke lateral Tekanan nadi melebar Denyut meloncat Bising austin flint Bising ejeksi sistolik
Bising atrioventrikular diastolik dimulai pada waktu tertentu setelah S2 dengan membukanya katup atrioventrikular Stenosis mitral dan stenosis trikuspid merupakan contoh bising jenis ini. Ada jeda di antara S2 dan permulaan bising. Relaksasi isovolumetrik sedang terjadi selama periode ini. Bisingnya berbentuk dekresendo, dan dimulai dengan opening snap, jika katupnya mobil. Bising ini bernada rendah dan paling jelas didengar dengan bel stetoskop dan pasien berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri. Karena katup atrioventrikular mengalami stenosis, pengisian cepat tidak terjadi dan ada perbedaan tekanan di sepanjang diastol. Jika pasien mempunyai irama sinus yang normal, kontraksi atrium akan memperbesar perbedaan tekanan pada akhir diastole, atau presistole, dan akan terjadi peningkatan bising pada saat ini. Bising atrioventrikular diastolik merupakan tanda yang sensitif dan spesifik untuk stenosis katup atrioventrikular. 1 Bising semillunar diastolik dimulai segera setelah S2, seperti terdengar pada regurgitasi aorta atau pulmonal. Berbeda dengan bising atrioventrikular diastolik, setelah S2 tidak ada keterlambatan sampai mulai timbulnya bising itu. Bising bernada tinggi berbentuk dekresendo dan paling jelas didengar dengan diafragma stetoskop, dengan pasien dalam posisi duduk membungkuk ke depan. Bising semulinar diastolik adalah suatu tanda dengan sensitivitas rendah tetapi spesifitas tinggi. 1 2. Bising Sistolik Bising sistolik dianggap sebagai bising ejeksi, yaitu bising selama mid-diastolik sesudah fase awal kontraksi isovolumetrik, atau bisa juga dianggap sebagai bising insufisiensi yang terjadi pada seluruh sistolik. Bising yang terjadi pada seluruh sistolik disebut sebagai pansistolik atau holosistolik. 2 Bising sistolik terdengar dalam fase sistolik (di antara BJ I dan BJ II) sesudah bunyi jantung I. Dikenal 4 macam bising sistolik:
- Bising holosistolik (Tipe pansistolik) Timbul sebagai akibat aliran yang melalui bagian jantung yang masih terbuka (seharusnya dalam keadaan tertutup pada kontraksi jantung) dan mengisi seluruh fase sistolik. Bising dimulai bersamaan dengan bunyi jantung I, terdengar sepanjang fase sistolik dan berhenti bersamaan dengan bunyi jantung II, terdapat pada defek septum ventrikel, insufisiensi mitral, atau insufisiensi trikuspid. - Bising sistolik dini Bising mulai terdengar bersamaan dengan bunyi jantung I dekresendo, dan berhenti sebelum bunyi jantung II; bising ini terdapat pada defek septum ventrikel kecil, biasanya jenis muskular. - Bising ejeksi sistolik (ejection systolic) Timbul akibat aliran darah yang dipompakan melalui bagian yang menyempit dan mengisis sebagian fase sistolik. Misalnya pada stenosis aorta, dimana bising tersebut mempunyai punctum maximum di daerah aorta dan mungkin menjalar ke apeks kordis. Bising dimulai setelah bunyi jantung I, bersifat kresendo-
dekresendo, dan berhenti sebelum bunyi jantung II; bising ini terdapat pada bising inosen, bising fungsional, stenosis pulmonal atau stenosis aorta, defek septum atrium, atau tetralogi fallot. - Bising sitolik akhir Bising mulai setelah pertengahan fase sistolik, kresendo, dan berhenti bersama dengan bunyi jantung II; terdapat pada insufisiensi mitral kecil dan prolaps katup mitral.3,4
Tabel 2. Bising sistolik 1 Stenosis aorta Regurgitasi mitral Lokasi Daerah aorta Apeks Penyebaran Leher Aksila Bentuk Wajik Holosistolik Nada Sedang Tinggi Kualitas Kasar Meniup Tanda terkait A2 melemah Ejection click S4 Tekanan denyut sempit Denyut meningkat perlahan dan terlambat S1 S3 Titik impuls maksimum difus dan pindah ke lateral.
Tabel 3. Perbedaan bising sistolik lain 1 Stenosis pulmonal Regurgitasi trikuspid Defek septum ventrikel Venous hum Innocent murmur Lokasi Daerah pulmonar Daerah trikuspid Daerah trikuspid Di atas klavikula Tersebar luas Penyebaran leher Kanan sternum Kanan sternum Kanan leher Minimal Bentuk wajik holosistolik holosistolik kontinu Wajik
Nada sedang Tinggi tinggi tinggi Sedang Kualitas kasar meniup kasar Menderu, mendengung Berdenting, bergetar
3. Bising diastolik dan sistolik - Bising kontinu Bising ini dimulai setelah bunyi jantung I, bersifat kresindo, mencapai puncaknya pada bunyi jantung II kemudian dekresendo dan berhenti sebelum bunyi jantung I berikutnya; terdapat pada duktus arteriosus persisten, fistula, atau pirau ekstrakardial lainnya.
- Bising to and fro Merupakan kombinasi bising ejeksi sistolik dan bising diastolik dini; terdapat pada kombinasi stenosis aorta dan insufisiensi aorta, stenosis pulmonal dan insufisiensi pulmonal 4 Pada penjalaran bising yang dicari ialah ke arah mana bising paling baik dijalarkan. Bising mitral biasanya menjalar baik ke lateral/aksila, bising pulmonal ke sepanjang tepi kiri sternum, dan bising aorta ke apeks dan daerah karotis. 4 Nada dan kualitas bising sebaiknya juga diperhatikan. Bising dengan nada rendah (low pitched) pada umumnya berkualitas kasar (rumblling quality), bising dengan nada tinggi (high pitched) kadang-kadang juga berkualitas seperti bunyi tiupan. Kadang-kadang bising jantung sedemikian nyaringnya sehingga terdengar seperti musik. Bising semacam ini disebut sea-gull (elang laut) murmur. 3 Intensitas (kerasnya) bising, tergantung pada: - Kecepatan aliran darah melalui tempat terbentuknya bising itu. - Banyaknya aliran darah melalui tempat timbulnya bising itu. - Keadaan kerusakan-kerusakan yang terdapat pada daun-daun katup atau beratnya penyempitan. - Kepekatan darah. - Daya kontraksi miokardium 2 Derajat intensitas bising jantung menurut American Heart Association), dinilai dengan skala I sampai VI. Skala I : Intensitas terendah, sering tidak terdengar oleh pemeriksa yang belum berpengalaman Skala II : Intensitas rendah, biasanya dapat didengar oleh pemeriksa
yang belum berpengalaman. Skala III : Intensitas sedang tanpa thrill Skala IV : Intensitas sedang dengan thrill Skala V : Bising terkuat yang dapat didengar bila stetoskop diletakkan di dada. Berkaitan dengan thrill Skala VI : Intensitas terkuat: dapat didengar sewaktu stetoskop diangkat dari dada. Berkaitan dengan thrill. 1 Dari nada dan kualitas bising tidaklah dapat dibedakan bising faali atau bising yang terjadi karena kelainan jantung organis. 3 Bising dapat dilukiskan, misalnya, sebagai derajat “II/VI”, “derajat IV/VI”, atau “derajat II-III/VI”. Tiap bising yang berkaitan dengan thrill paling sedikit mempunyai derajat IV/VI. Perlu diketahui bahwa bising derajat IV/VI lebih kuat daripada bising derajat II/VI hanya karena ada turbulensi yang lebih besar, kedua-duanya mungkin mempunyai makna klinis, mungkin pula tidak. Penulisan “/VI” dipakai karena ada sistem penggolongan lain yang kurang populer yang hanya memakai empat kategori. Aksioma penting yang perlu diingat adalah: umumnya, intensitas bising tidak memberikan informasi mengenai beratnya keadaan klinis. 3 Kadang-kadang intensitas bising berubah-ubah pada gerakan badan atau pernafasan dan sikap badan. Intensitas bising harus ditentukan pada punctum maximum bising, selanjutnya harus pula ditentukan arah penyebaran bising menurut intensitasnya. 3 Identifikasi dan deskripsi bunyi-bunyi ekstrakardia juga penting dilakukan. Biasanya, pembukaan katup tidak menimbulkan bunyi; akan tetapi pada daun katup yang menebal dan kaku seperti pada stenosis mitralis, timbul bunyi yang dapat didengar dan disebut sebagai opening snap, bunyi ini terjadi pada awal diatolik. Sedangkan inflamasi perikardium akan menyebabkan friction rub yang terdengar seperti bunyi gesekan kertas ampelas yang kasar. 2 Bising jantung tidak selalu menunjukkan keadaan sakit. Pada anak-anak seringkali terdengar bising sistolik yang innocent. Pada keadaan anemia dan keadaan demam seringkali terdengar bising jantung faali, dalam hal ini kita sebut hemic murmur yang tidak menunjukkan kelainan jantung organik. Hal ini disebabkan aliran darah yang menjadi lebih cepat dari biasa dan kepekatan darah yang menurun. 3
Ikhtisar penemuan auskultasi pada beberapa kelainan jantung: A. Bising inosen
Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan struktural jantung. Bising ini sering sekali ditemukan pada anak normal; pada lebih dari 75% anak normal pada suatu saat dapat ditemukan bising inosen. Bising ini dibedakan dari bising fungsional, yaitu bising akibat hiperaktivitas fungsi jantung, misalnya pada anemia atau tirotoksikosis. Karakteristik bising inosen: 1. Hampir selalu berupa bising ejeksi sistolik, kecuali dengan vena (venous hum) dan bising a. Mamaria (mammary soufle) yang bersifat bising kontinu 2. Berderajat 3/6 atau kurang, sehingga tidak disertai getaran bising 3. Penjalarannya terbatas, meskipun kadang-kadang dapat terdengar pada daerah luas di prekordium 4. Cenderung berubah intensitasnya dengan perubahan posisi; biasanya bising ini terdengar lebih baik bila pasien terlentang dan menghilang atau melemah bila pasien duduk, kecuali pada dengung vena yang justru baru dapat terdengar bila pasien duduk 5. Tidak berhubungan dengan kelainan struktural jantung B. Defek septum atrium Pada defek septum atrium bunyi jantungI normal, atau mengeras bila defek besar. Bunyi jantung II terdengar terpecah lebar dan menetap (wide and fixed split). Beban volume jantung kanan akibat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan menyebabkan waktu ejeksi ventrikel kanan memanjang, sehingga bunyi jantung II terpecah lebar. Variasi akibat pernafasan tidak terjadi, karena setiap perubahan volume di atrium kanan akan diimbangi oleh perubahan besarnya pirau dari atrium kiri ke atrium kanan. C. Defek septum ventrikel Pada defek septum ventrikel tanpak komplikasi, bunyi jantung I dan II normal. Bunyi jantung III dapat terdengar cukup keras apabila terdapat dilatasi ventrikel. Bising yang khas aialah bising pansistolik di sela iga ke-3 dan ke-4 tepi kiri sternum yang menjalar ke sepanjang tepi kiri sternum. Biasanya makin kecil defek makin keras bising yang terdengar, karena arus turbulen lebih nyata. Kebanyakan bising bersifat meniup, bernada tinggi, berderajat 3/6 samapi 6/6. Pada defek septum muskular yang kecil, bising mungkin hanya terdengar pada awal fase sistolik oleh karena kontraksi miokardium akan menutup defek. Pada defek septum ventrikel besar sering terdengar bising mid-diastolik di apeks akibat stenosis mitral relatif. Karena resistensi vaskular paru yang masih tinggi, maka pada bayi baru lahir dengan defek septum ventrikel belum terdengar bising. Bising baru terdengar bila resistensi vaskular paru telah menurun (menurun 2-6 minggu). D. Duktus arteriosus persisten Pirau dari aorta ke a. Pulmonalis menyebabkan terjadinya bising kontinu di sela iga ke-2 tepi kiri sternum yang menjalar ke daerah infraklavikular, daerah karotis, bahkan sampai ke punggung. Bunyi jantung I dan II biasanya normal, meskipun bunyi jantung II sulit diidentifikasi karena tertutup oleh puncak bising.
Pada bayi baru lahir, karena resistensi vaskuler paru yang masih tinggi, sering hanya terdengar bising sistolik. Bising mid-diastolik di apeks juga dapat terdengar bila pirau kiri ke kanan besar E. Stenosis pulmonal Bunyi jantung I normal, bunyi jantung II terpecah agak lebar dan lemah, bahkan pada stenosis berat bunyi jantung II terdengar tunggal karena P2 tidak terdengar. Bising ejeksi sitolik terdengar di sela iga ke-2 di tepi kiri sternum. Pada stenosis pulmonal valvular sering terdengar klik; bunyi abnormal ini tidak terdengar pada stenosis infundibular atau stenosis valvular berat. Makin berat stenosisnya, makin lemah P2 dan makin panjang bising yang terdengar, sampai mungkin menempati seluruh fase sistolik. F. Tetralogi fallot Karakteristik bunyi dan bising jantung pada tetralogi fallot mirip dengan bunyi dan bising jantung pada stenosis pulmonal, tetapi makin berat stenosisnya makin lemah bising yang terdengar, karena lebih banyak dialihkan ke ventrikel kiri dan aorta dari pada ke a. Pulmonalis. Pada tetralogi fallot dapat terdengar klik sistolik akibat dilatasi aorta. G. Stenosis aorta Pada stenosis aorta berat dapat terjadi reversed splitting, artinya A2 mendahului P2 dan terdengar lebih jelas pada saat ekspirasi. Bising yang terdengar ialah bising ejeksi sistolik di sela iga ke-2 tepi kanan atau tepi sternum dan menjalar dengan baik ke apeks dan daerah karotis, biasanya disertai getaran bising. Pada stenosis valvular terdengar klik yang mendahului bising. H. Insufisiensi pulmonal Pada insufisiensi pulmonal bising diastolik dini terdengar akibat regurgitasi darah dari a. Pulmonalis ke ventrikel kanan pada saat diastole. Bising terdengar di sela iga ke-2 tepi kiri sternum. Bising diastolik dini pada insufisiensi pulmonal yang menyertai hipertensi pulmonal berat disebut bising graham steele, bunyi jantung II biasanya mengeras dengan split sempit. I. Insufisiensi aorta Karakteristik bising pada insufisiensi aorta mirip dengan bising pada insufisiensi pulmonal, dengan nada yang kadang-kadang sangat tinggi hingga baru terdengar jelas apabila membran stetoskop ditekan cukup keras pada dinding dada. Pada insufisiensi aorta berat dapat terdengar bising mid-diastolik di apeks yang disebut bising Austin-Flint. J. Insufisiensi mitral Insufisiensi mitral lebih sering merupakan gejala sisa penyakit jantung reumatik. Pada insufisiensi ringan bunyi jantung I normal, sedangkan pada insufisiensi berat bunyi jantung I melemah. Bising yang khas ialah bising pansistolik bersifat meniup, terdengar paling keras di apeks yang menjalar ke aksila dan mengeras bila pasien miring ke kiri. Derajat bising dari 3/6 samapai 6/6. Pada insufisiensi berat dapat terdengar bising mid-diastolik bernada rendah di apeks. Pada valvulitis mitral akibat demam reumatik
akut bising jantung yang sering terdengar ialah kombinasi bising pansistolik dan mid diastolik di daerah apeks (disebut bising carrey-coombs). K. Stenosis mitral Bunyi jantung I pada stenosis mitral organik sangat mengeras, bunyi jantung II dapat normal atau terpecah sempit dengan P2 keras bila sudah terjadi hipertensi pulmonal. Bising yang khas ialah bising mid-diastolik dengan aksentuasi presistolik (bising presistolik) bernada rendah, berkualitas rumbling seperti suara guntur, dan terdengar paling baik di apeks. L. Prolaps katup mitral Bunyi jantung I dan II pada pasien prolaps katup mitral biasanya normal. Bising yang terdengar adalah bising sistolik akhir, mirip dengan bising pada insufisiensi mitral ringan, dan biasanya didahului oleh klik sistolik, oleh karena itu kelainan ini disebut juga click murmur syndrome. Pada sebagian kasus hanya dapat ditemukan klik sedangkan bising tidak terdengar. Prolaps katup mitral lebih sering terdapat pada wanita remaja, atau dewasa muda, dan pada sebagian besar kasus etiologinya tidak diketahui. M. Bunyi gesekan perikard (pericardial friction rub) Bunyi gesekan perikard terdengar baik pada fase sistolik maupun fase diastolik, terdengar seolah-olah dekat di telinga pemeriksa dan makin jelas bila diafragma stetoskop ditekan lebih kuat di dinding dada. Intensitas bunyi ini bervariasi pada fase siklus jantung. Keadaan ini dapat terdengar pada perikarditis, terutama pada perikarditis tuberkulosa dan perikarditis reumatik. Suara sejenis yang bervariasi dengan siklus pernapasan disebut friksi pleuroperikardial; keadaan ini lebih sering berarti normal, akibat dekatnya jantung dengan paru, akan tetapi mungkin pula menunjukkan terdapatnya adhesi pleuroperikardium. 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Swartz Mark. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Hal; 204-214, EGC: Jakarta; 1995 2. Price Sylvia, Wilson Lorraine. Patofisiologi Konsep Klilnis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Hal;553-554. EGC: Jakarta;2006 3. Markum. H.M.S. Anamnesis dan Pemriksaan Fisis. Hal; 95-100, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005 4. Matondang. C.S. Dr. Prof, Wahidayat Iskandar Dr. DR. Prof, Sastroasmoro Sudigdo Dr. DR. Prof. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2. Hal; 83-93. CV. Sagung Seto: Jakarta; 2003
HIPERTROPI
adalah peningkatan ukuran sel sehingga organ atau jaringan yang dibentuk membesar. Hipertropi tidak memerlukan pembelahan sel dan tidak ada sel baru yang terbentuk. Etiologi, meningkatnya fungsi oleh karena kenaikan beban dan adanya stimulasi hormon (peningkatan sintesis protein pada sitoplasma, retikulum endoplasmik, mikrofilamin dan mitokondria) bukan pada cairan sel.
Ada dua bentuk fisioogik dan patologik
Contoh,
1) pada kehamilan membesarnya rahim disebabkan adanya hipertropi dan hiperplasia sel-sel otot rahim oleh karena rangsangan hormon
2) Menurut Kissane (1990), hipertrpi otot jantung diwali dengan pembesaran ukuran organ jantung yang disebabkan karena dilatasi bilik jantung akibat beban berat yang diikuti sintesis protein dan sintesis DNA. Sel otot jantung termasuk sel permanen, sehingga sel jantung yang sudah dewasa tidak dapat mitosis (Contrans, 1994).
3) pada otot skletal pekerja berat, dan pada oto jantung penderita tekanan darah tinggi, oleh karena meningkatnya beban, sel-sel otot menjadi hipertropi.
Secara ultrastruktur terdapat peningkatan jumlah mitokondria, retikulm endoplasmik dan miofibril, tetapi kemampuan adaptasi ini ada batasannya, sehingga bila terlampaui sel akan sakit dan mati.
Makroskopis, orgam membesar dan tambah berat
Mikroskopis, sel-sel tambah besar dibanding keadaan nomral.
Hipertropi dan hiperpalisa sering berjalaman bersama-sama, namun melihat kemampuan adaptasi dari jaringan tersebut kita dapat menentukan apa yang terjadi.
APEKS
Types and causes Polyuria is increased diuresis. This may be due to large fluid intake, various illnesses (diabetes insipidus, osmotic diuresis due to diabetes mellitus or hypercalcemia) or various chemical substances (diuretics, caffeine, alcohol). It may also occur after supraventricular tachycardias, during an onset of atrial fibrillation, childbirth, and the removal of an obstruction within the urinary tract. Diuresis is restrained by antidiuretics such as ADH, angiotensin II and aldosterone.
Cold diuresis is the occurrence of increased urine production on exposure to cold, which also partially explains immersion diuresis.
Substances that increase diuresis are called diuretics.
Substances that decrease diuresis allow more vasopressin or antidiuretic hormone (ADH) to be present in the kidney.
High-altitude diuresis occurs at altitudes above 10,000 ft and is a desirable indicator of adaptation to high altitudes. Mountaineers who are adapting well to high altitudes experience this type of diuresis. Persons who produce less urine even in the presence of adequate fluid intake probably are not adapting well to altitude. [1]
Diuresis adalah penambahan volume urin yang diproduksi dan jumlah (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukkan air. Seledri (Apium graviolens
L.) termasuk tanaman yang memiliki efek diuresis karena mengandung flavonoid, dan kalium. Cara kerjanya menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme sehingga terjadi peningkatan eksresi natrium dan elektrolit-elektrolit yang berakibat terjadi peningkatan volume urin. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian air rebusan seledri terhadap diuresis tikus betina galur wistar.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design yang menggunakan 4 kelompok uji. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Kelompok I (kelompok kontrol negatif), kelompok II (pemberian konsentrasi 10% air rebusan seledri), kelompok III (pemberian 20% air rebusan seledri), dan kelompok IV (pemberian 40% air rebusan seledri). Masingmasing tikus diberi konsumsi air. Volume air konsumsi dan urin diukur dengan menggunakan mikro spuit selama 90 menit perlakuan.
Data dianalisis dengan uji statistik parametrik anakova dan post hoc test untuk uji analisa berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan nilai probabilitas < 0,05. Air rebusan seledri dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40% memberikan efek diuresis yang berbeda dimana semakin tinggi konsentrasi air rebusan seledri maka volume urin akan semakin meningkat.
Penelitian ini disimpulkan bahwa seledri mempunyai pengaruh terhadap peningkatan efek diuresis pada tikus putih galur wistar.
DEKOMPENSASI JANTUNG
1.Definisi : jantung tdk adekuat shg suplai O2 menurun keseluruh tubuh, venous return masih baik (CJ menurun) 2.Insidens : PJB 90% umur < 1 thn, PJD umur > 5 thn 3.Etiologi :
?Beban tekanan (hipertensi sistemik/pulmonal, obstruksi) ?Beban isi (pirau ki – ka, reflux, retensi cairan)
?Hiperkinetik ( menigkat isi permenit) : anemia ?Aritmia (bradi / takiaritmia) ?Miokarditis ?Komplikasi pasca operasi ?Kombinasi 4.Patofisiologi :… 5.Faktor berpengaruh :…. 6.Gambaran klinik :… 7.Laboratorium : Hb menurun , lekositosis, glukosa menurun 8.Radiologi : Kardiomegali 9.DD : PJB pirau ka – ki 10.Prognosis : tergantung umur, sulit diatasi, cepat R/ 11.Terapi : (kausa & DC)
I. Pengertian Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price ,1995). II.Etiologi Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).
III.Patofisiologi Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut: 1. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari 2. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit, akan tetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta angina 3. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat. 4. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.
Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dapat dilihat pada gambar DI LINK INI
Konsep Asuhan Keperawatan A.Pengkajian 1. Aktivitas dan Istirahat Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar. Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat malam hari). Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu. 2. Sirkulasi Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema. Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial. 3. Integritas Ego Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna. kepribadian neurotik,
4. Makanan/Cairan Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik. Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan mengi. 5. Neurosensoris Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing Tanda: Kelemahan 6. Pernafasan Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal. Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah, gelisah. 7. Keamanan Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi Tanda: Kelemahan tubuh 8. Penyuluhan/pembelajaran Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya. Tanda: Menunjukan kurang informasi.
B. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto polos dada - Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi arteria pulmonalis. - Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan pembesaran ventrikel kanan. 2. EKG Irama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
3. Kateterisasi jantung dan Sine Angiografi Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol. Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.
Kemungkinan diagnosa keperawatan 1.Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena. S: Mengeluh sesak, kelelahan, keletihan. O: Perubahan EKG/disritmia, kulit dingin dan basah, cyanosis, kulit pucat dan lembab, oliguri atau anuria. 2. Resiko tinggi kelebihan volume cairan: edema berhubungan dengan kongesti vaskuler pulmonalis dan perpindahan cairan ke ekstra vaskuler. S: Mengeluh badan terasa berat dan kemeng. O: Odema. 3.Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran arteri vena dengan keterlibatan katup mitral. S: Mengeluh lemah, cepat capek. O: Kulit dingin, cyanosis, kapiler reffil > 3 detik. 4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membram kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil. S: Mengeluh sesak nafas, batuk kering, tidak produktif dan kelelahan. O: Oedema pada ektremitas bawah, akral dingin, cyanosis. 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay dan demand oksigen. S: Mengeluh sesak nafas, dispneu pada saat aktivitas. O: Keluar keringat dingin, nyeri dada, fibrilasi arterial. 6. Resiko tinggi nyeri berhubungan dengan iskhemi jaringan miokard. 7. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan status metabolik.
8. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan dan situasi krisis. S: Mengelah tidak bisa tidur dan istirahat. O: Wajah nampak tegang, takikardi. 9. Kurang pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan informasi tentang penyakit katup jantung. 10.Gangguan pola nafas berhubungan peningkatan tekanan CO2. S: Mengeluh sesak nafas. O: Takipneu. 11.Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan pengeluaran keringat berlebihan. S: Mengeluh badan basah O: Gelisah, sering mengelap badan. 12.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake, mual dan anoreksia. S: Mengeluh mual, tidak nafsu makan. O: Makan hanya beberapa sendok, sediaan tidak habis. 13.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh. 14.Resiko tinggi konstipasi berhubungan dengan penurunan intake fiber dan penurunan bising usus. 15.Gangguan pola tidur dan istirahat berhubungan dengan dispneu. 16.Resiko tinggi penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak. 17.Resiko gangguan sensorik-motorik berhubungan dengan hipoksemia. 18.Resiko terjadinya gagal ginjal akut berhubungan dengan penurunan aliran darah pada ginjal. 19.Resiko terjadinya kontraktur berhubungan pembatasan gerak, kelemahan. 20.Resiko injury berhubungan pusing dan kelemahan.
Diagnose dan Tindakan keperawatan a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
Tujuan : Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2 TINDAKAN 1. Kaji kerja pernafasan ( frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya ) 2. Berikan tambahan O2 6 lt/mnt 3. Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA) 4. Koreksi kesimbangan asam basa 5. Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler) 6. Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam 7. Lakukan balance cairan 8. Batasi intake cairan 9. Eavluasi kongesti paru lewat radiografi 10.Kolaborasi : - RL 500 cc/24 jam - Digoxin 1-0-0 - Furosemid 2-1-0 RASIONAL • Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas. • Untu meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas. • Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas. • Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan. • Meningkatkan ekpansi paru • Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggunpertukaran gas.Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.
2.Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena. Tujuan perawatan : Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60 ), Frekwensi jantung normal,
TINDAKAN 1. Pertahankan pasien untuk tirah baring 2. Ukur parameter hemodinamik 3. Pantau EKG terutama frekwensi dan irama. 4. Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4 5. Periksa BGA dan saO2 6. Pertahankan akses IV 7. Batasi Natrium dan air 8. Kolaborasi : - ISDN 3 X1 tab - Spironelaton 50 –0-0 RASIONAL • Mengurangi beban jantung • Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerj a jantung • Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung. • Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole • Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer
• Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler. • Mencegah peningkatan beban jantung • Meningkatkan perfisu ke jaringan • Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.
b. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung. Tujuan: Kulit hangat dan kering klien memperlihatkan perbaikan status mental TINDAKAN 1. Kaji status mental klien secara teratur 2. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer dan diaforesis secara teratur. 3. Kaji kualitas peristaltik k/p pasang sonde 4. Kaji adanya kongesti hepar pada abdomen kanan atas 5. Ukur tanda vital, periksa lab : Hb, Ht, BUN, Sc, BGA sesuai peasanan. RASIONAL • Mengetahui derajat hipoksia pada otak • Mengetahui derajat hipsemia dan peningkatan tahanan perifer • Mengetahui pengaruh hipoksia terhadap fungsi saluran cerna. serta dampak penurunan elektrolit. • Sebagai dampak gagal jantung, kanan jika berat akan ditemuka adanya tanda kongesti • Untuk mengetahui keadekuatan fungsi dan vaskulrasisai sescara keseluruhan. Jika terjadi dekompensasi ditambah komlikasi Hb rendah, Ht tinggi akan memeperberat gangguan perfusi. Gangguan perfusi yang berat (PCO2 tinggi) akan mengurangi aliran darah ke ginjal sehingga ginjal dapat mengalami gangguan fungsi yang dapat dimonitir dari peningkatan kadar BUN, Sc.
c. Kelebihan volume cairan b.d kongesti vaskuler pulmonalis dan perpindahan cairan ke ekstra vaskuler.
Tujuan : haluaran urin adekuat akan dipertahankan dengan diuretika ( > 30 ml /jam ), tanda-tanda odem paru atau ascites tidak ada TINDAKAN 1. Kaji tekanan darah 2. Kaji distensi vena jugularis 3. Timbang BB 4. Beri posisi yang membantu drainage ektremitas, lakukan latihan gerak fasif, 5. Evaluasi kadar Na. Klien, Hb dan Ht. RASIOANAL • Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari meningkatnya tekanan darah. • Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis. • Kelebihan BB dapat diketahui dari peningkatan BB yang ekstrim akibat terjadiny penimbunan cairan ekstra seluler. • Meningkatkan venus return dan mendorong berkurangnya edema perifer. • Dampak dari peningkatan volume cairan akan terjadi hemodelusi sehingga Hb turun, Ht turun.
d. Resiko tinggi intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplay dan demand oksigen. Tujuan : Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala – gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur. TINDAKAN 1. Pertahankan klien tirah baring sementara sakit akut. 2. Tingkatkan klien duduk di kursi dan tinggikan kaki klien 3. Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis 4. Evaluasi tanda vital saat kemajuan akitivitas terjadi 5. Berikan waktu istirahat diatara waktu aktivitas
6. Pertahankan penambahan O2 sesuai pesanan 7. Selama aktivitas kaji EKG, dispnoe, sianosis, kerja nafas dan frekwensi nafas serta keluhan subyektif. 8. Berikan diet sesuai peasanan (pembatasan air dan Na ). RASIONAL • Untuk mengurangi beban jantung. • Untuk meningkatkan venus return • Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venus return. • Untuk mengetahui fungsi jantung, bila dikaitkan dengan aktivitas. • Untuk mendapatkan cukup waktu qresolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa kerja jantung. • Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan • Melihat dampak dari aktivitas terhadap fungsi jantung. • Untuk mencegah retensi cairan dan odem akibat penurunan kontraktilitas jantung.
e. Resiko gangguan pemenuhan nutrisi b.d nafsu makan menurun dan intake kurang. Tujuan : Setelah di rawat selama 3 hari klien mau makan, porsi makanan yang disediakan habis. PERENCANAAN 1. Jelaskan tentang manfaat makan bila dikaitkan dengan kondisi klien saat ini. 2. Anjurkan agar klien makan –makanan yang disediakan di RS. 3. Beri makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diit TKTPRG RASIONAL - Dengan pemahaman klien akan lebih kooperatif mengikuti aturan. - Untuk menghindari makanan yang justeru dapat menggaggu proses penyembuhan klien. - Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat perbaikan kondisi serta mengurangi beban kerja jantung.
f. Cemas b.d hospitalisasi dan kurangnya pengetahuan tentang penyakit serta penanganan yang akan didapatkan. Tujuan : Setelah di rawat kecemasan berkurang Kriteria : Tidur 6-8 jam/hari, gelisah hilang, klien kooperatif dengan petugas dan tindakan yang diprogramkan. TINDAKAN Senin, 28 Januari 2002 - Lakukan pendekatan dan komunikasi. 1. Berikan penjelasan tentang penyakit, penyebab serta penanganan yang akan dilakukan. 2. Tanyakan keluhan dan masalah psikologis yang dirasakan klien saat ini. 3. Kolaborasi - Activan 2 X 1 RASIONAL - Untuk membina saling percaya - Untuk memberikan jaminan kepastian tentang, langkah-langkah tindakan yang akan diberikan sehingga klien dan keluarga lebih pasti. - Untuk dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi klien sehingga dapat mengurangi beban psikologis klien. - Sebagai anti cemas
DAFTAR PUSTAKA Tabrani, (1998), Agenda Gawat Darurat Jilid 2, Penerbit Alumni Bandung Guyton, (1991), Fisiologi Manusia, EGC, Jakarta Barbara Engram, (1995), Perawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta Dongoes M.E, Marry F, Alice G (1997) Nursing Care Plans, F.A davis Company, Philadelphia. Carpennito L.J (1997), Nursing Diagnosis, JB. Lippincot, New York Hudak & Gallo (1997), Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik, Penerbit EGC, Jakarta. Price Sylvia A ( 1993) , Patofisiologi, Penerbit EGC, Jakarta.
DIGOKSIN
Digoksin [ Index Informasi Obat ] Deskripsi - Nama & Struktur Kimia : Sinonim : (3ß, 5 ß , 12 ß )-3-[(O-2,6-dideoxy- ß -D-ribo- hexopyranosyl-(1?4)-O2,6-dideoxy- ß - D-ribo-hexopyranosyl-(1?4)-2,6-dideoxy- ß -D- ribo-exopyranosyl)oxy]-12,14-dihydroxycard-20(22)-enolide. C41H64O14 - Sifat Fisikokimia : Digoksin merupakan kristal putih tidak berbau. Obat ini praktis tidak larut dalam air dan dalam eter, sedikit larut dalam alkohol dan dalam kloroform dan sangat larut dalam piridin - Keterangan : Digoksin adalah salah satu glikosida jantung (digitalis), suatu kelompok senyawa yang mempunyai efek khusus pada miokardium. digoksin diekstraksi dari daun Digitalis lanata
Golongan/Kelas Terapi Obat Kardiovaskuler
Nama Dagang - Fargoxin - Lanoxin - Digoksin Sandoz
Indikasi
Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama atrial fibrilasi)
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Oral, untuk digitalisasi cepat, 1 – 1,5 mg dalam dosis terbagi, bila tidak diperlukan cepat, 250 – 500 mikrogram sehari (dosis yang lebih tinggi harus dibagi).
Dosis pemeliharaan : 62,5 – 500 microgram sehari (dosis yang lebih tinggi harus dibagi). disesuaikan dengan fungsi ginjal dan pada atrial fibrilasi , tergantung pada respon denyut jantung; dosis pemeliharaan biasanya berkisar 125 – 250 mcg sehari (dosis yang lebih rendah diberikan pada penderita lanjut usia). Pada kondisi emergensi, loading dose (dosis muatan) diberikan secara infus intravena , 0,75 – 1 mg hingga paling sedikit 2 jam, kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan melalui oral .
Farmakologi
Farmakodinamik/Farmakokinetik
Onset of action (waktu onset) : oral : 1-2 jam; IV : 5-30 menit
Peak effect (waktu efek puncak) : oral : 2-8 jam; IV : 1-4 jam
Durasi : dewasa : 3-4 hari pada kedua sediaan
Absorpsi : melalui difusi pasif pada usus halus bagian atas, makanan dapat menyebabkan absorpsi mengalami penundaan (delay), tetapi tidak mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi
Distribusi :
Fungsi ginjal normal : 6-7 L/kg
Gagal ginjal kronik : 4-6 L/kg
Anak-anak : 16 L/kg
Dewasa : 7 L/kg menurun bila terdapat gangguan ginjal
Ikatan obat dengan protein (protein binding) : 30%
Metabolisme : melalui sequential sugar hydrolysis dalam lambung atau melalui reduksi cincin lakton oleh bakteri di intestinal , metabolisme diturunkan dengan adanya gagal jantung kongestif
Bioavailabilitas:
T½ eliminasi (half-life elimination) berdasarkan umur, fungsi ginjal dan jantung:
T½ eliminasi (half-life elimination): parent drug (obat asal ): 38 jam; metabolit: digoxigenin: 4 jam ; monodigitoxoside : 3 – 12 jam
Waktu untuk mencapai kadar puncak, serum: oral ~ 1 jam
Ekskresi : urin (50% hingga 70% dalam bentuk obat yang tidak berubah )
Konsentrasi serum digoksin :
Gagal jantung kongestif : 0,5 -0,8 ng/ml .Aritmia : 0,8-2 ng/ml
Dewasa : < 0,5 ng/ml, kemungkinan menunjukkan underdigitalization, kecuali jika terdapat hal-hal khusus
Toksik > 2,5 ng/ml
Merupakan prototipe glikosida jantung yang berasal dari Digitalis lanata. Mekanisme Digoksin melalui 2 cara yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung yaitu meningkatkan kekuatan kontraki otot jantung (efek inotropik positif). Hal ini terjadi berdasarkan penghambatan enzim Na+,K+ -ATPase dan peningkatan arus masuk ion kalsium ke inta sel. Efek tidak langsung yaitu pengaruh digoksin terhadap aktivitas saraf otonom dan sensitivitas jantung terhadap neorotransmiter.
Interaksi Obat
Kuinidin,Verapamil,Amiodaron dan Profapenon dapat meningkatkan kadar digitalis. Diuretik kortikosteroid dapat menimbulkan hipokalemia, sehingga mudah terjadi intoksikasi digitalis. Antibiotik tertentu menginaktivasi digoksin melalui metabolisme bakterial di usus bagian bawah. Propantelin,Difenoksilat,meningkatkan absoropsi digoksin. Antasida,Kaolinpeptin,Sulfasalazin,Neomisinia,Kolestiramin,beberapa obat kangker, menghambat absoropsi digoksin. Simpatomimetik,meningkatkan resiko aritima. Beta – bloker, Kalsium antagonis, berefek aditif dalam penghambatan konduksi AV.
PDA
Patent ductus arteriosus (PDA) is a heart problem that occurs soon after birth in some babies. In PDA, abnormal blood flow occurs between two of the major arteries connected to the heart.
Before birth, the two major arteries—the aorta and the pulmonary (PULL-mun-ary) artery—are connected by a blood vessel called the ductus arteriosus. This vessel is an essential part of fetal blood circulation.
Within minutes or up to a few days after birth, the vessel is supposed to close as part of the normal changes occurring in the baby's circulation.
In some babies, however, the ductus arteriosus remains open (patent). This opening allows oxygen-rich blood from the aorta to mix with oxygen-poor blood from the pulmonary artery. This can put strain on the heart and increase blood pressure in the lung arteries.
Normal Heart and Heart With Patent Ductus Arteriosus