Universa Medicina
April-Juni 2005, Vol.24 No.2
Resurgensi poliomyelitis : status terkini dari infeksi poliovirus di Indonesia Julius E. Suryawidjaja Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK Upaya eradikasi global telah berhasil menurunkan kasus poliomielitis secara dramatis dari jumlah 350.000 per tahun pada tahun 1988 menjadi hanya 1267 pada tahun 2004; jumlah negara di mana polio endemik juga berkurang dari 125 tahun 1988 menjadi tinggal 6 saja di tahun 2003. Program-program untuk memutus transmisi virus terus berlanjut di negara-negara yang endemik polio. Namun, pada tahun 2003, dua negara di Afrika mengalami resurgensi polio yang disebabkan oleh poliovirus liar. Serangan ini terus berlanjut pada tahun 2004 dari sumber endemik Nigeria-Niger ke 14 negara yang selama lebih dari 1 tahun tidak ada kasus polio yang dilaporkan. Masuknya poliovirus liar tipe 1 juga dilaporkan dari Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia, pada bulan April 2005. Penyelidikan kasus-kasus dan respons imunisasi berskala luas sedang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I. Upaya pemberantasan poliovirus liar harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan bila diperlukan dapat dilakukan imunisasi suplementer. Dengan demikian cita-cita untuk menyatakan Dunia Bebas Polio pada tahun 2008 dapat tercapai. Kata kunci: Poliomielitis, Indonesia, wabah
Poliomyelitis resurgence : current status of polio infection in Indonesia ABSTRACT Global eradication efforts have reduced the number of polio cases dramatically from 350,000 annually in 1988 to 1267 cases in 2004 and the number of countries where polio is endemic declined from 125 in 1988 to six by the end of 2003. Further progress toward interruption of transmission has continued in countries where polio were still endemic. However, in 2003, two countries in Africa experienced a resurgence of polio cases caused by wild poliovirus. The resurgence continued to spread in 2004 from the Nigeria-Niger endemic reservoir to involve a total of 14 countries that had not reported polio more then 1 year. The introduction of wild poliovirus type 1 was also reported in Sukabumi, West Java, Indonesia, on April 2005. Cases investigations and wide-scale immunization response are conducted by the Ministry of Health. The Global Polio Eradication Initiative is minimizing the risk of re-occurrence to interrupt the virus transmission. This program for stopping transmission globally will push eradication of polio by 2008. Keywords: Poliomyelitis, Indonesia, outbreak
92
Universa Medicina
PENDAHULUAN Meskipun program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika Subsahara dan Asia, di mana kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Dalam upaya pemberantasan polio ini disadari bahwa vaksinasi rutin tidaklah cukup memadai untuk melenyapkan transmisi poliovirus liar di banyak negara (terutama yang endemik) sehingga suatu kegiatan berupa vaksinasi suplementer sangat diperlukan. Suatu kampanye masal dengan tema Hari Imunisasi Nasional dilakukan di banyak negara dengan sukses. Pada kampanye ini, diberikan dua dosis oral polio vaccine kepada semua anak-anak dalam kelompok umur yang menjadi sasaran (target age group) tanpa melihat apakah sudah pernah mendapat vaksinasi polio sebelumnya. Dosis vaksin diberikan dengan interval 4-6 minggu antara yang pertama dan kedua. Kendati telah dilakukan upaya pemberantasan poliovirus liar secara intens, wabah polio dilaporkan melanda bebeberapa negara di Afrika sejak tahun 2003 dan masih berlanjut. Bahkan, pada tahun 2004 kasuskasus polio yang disebabkan oleh poliovirus liar yang berasal dari bagian utara Nigeria tersebut dilaporkan dijumpai di 11 negara Afrika termasuk Sudan di mana poliovirus liar sebenarnya sudah tidak dijumpai lagi sejak t a h u n 2 0 0 1 . (1) D e n g a n g a m b a r a n s i t u a s i terakhir ini, disadari pentingnya untuk melanjutkan kegiatan imunisasi suplementer (supplementary immunization activities) dan mempertahankan kualitas surveilan acute flaccid paralysis (AFP).
Vol.24 No.2
ASPEK MIKROBIOLOGIS DAN KLINIS POLIO Poliovirus telah dikenal sejak jaman dulu dan tersebar luas di banyak negara. Virus ini bertahan hidup dalam bentuk endemis dengan cara terus menerus menyebabkan infeksi pada bayi-bayi yang rentan dan dengan demikian berkembang di masyarakat. Kebanyakan infeksi polio adalah subklinis maka kasuskasus yang menimbulkan paralisis saja yang mendapat perhatian, khususnya pada bayi dan anak-anak. Apa yang dulu dikenal sebagai infantile paralysis dapat pula dijumpai pada remaja dan dewasa muda. K e t i k a v i r u s b e rg e r a k d a r i t e m p a t masuknya (portal of entry) yaitu mulut, implantasi dan multiplikasi terjadi di daerah orofaring dan usus halus. Masa inkubasi ini berlangsung antara 7-14 hari, tetapi dapat pula merentang dari 2 sampai 35 hari. Setelah 3-5 hari sejak terjadinya paparan, virus dapat ditemukan dari tenggorok, darah dan tinja. (1) Pada saat ini gejala-gejala ringan dapat dijumpai atau penyakit dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatik). Viremia terjadi beberapa hari sebelum onset dari gejala susunan saraf pusat. Poliovirus hanya menyerang tipe sel saraf tertentu dan pada p r o s e s m u l t i p l i k a s i i n t r a s e l u l e r, v i r u s menimbulkan kerusakan sel-sel tersebut. Bilamana seseorang yang rentan terpapar dengan poliovirus maka satu dari beberapa respons berikut ini akan terjadi, yaitu: (i) infeksi tidak nyata dan tanpa gejala-gejala, (ii) timbul sakit ringan (abortive poliomyelitis), (iii) nonparalytic poliomyelitis, (iv) paralytic poliomyelitis. Pada waktu infeksi berlangsung, salah satu repons yang terjadi mungkin akan bergabung dengan respons lain yang lebih berat. Penyakit yang pada awalnya ringan 93
Surjawidjaja
tanpa gejala, beberapa hari kemudian akan disertai dengan gejala-gejala yang berat. Perjalanan penyakit yang sifatnya bifasik ini biasanya lebih tampak dijumpai pada infeksi pada anak-anak dari pada orang dewasa. Hanya sekitar 1% infeksi polio berupa penyakit kelumpuhan. (2) Manifestasi dari penyakit polio yang berat berupa gejala-gejala umum dari suatu infeksi disertai kelemahan yang menetap dari satu atau lebih kelompok otot, baik otot skeletal maupun kranial dan dijumpai pada sekitar 1% penderita. Gejala yang menonjol adalah terjadinya kelumpuhan flasid sebagai akibat dari kerusakan neuron motor bagian bawah. Besarnya kerusakan sangat bervariasi dan umumnya otot-otot yang terkena secara maksimal terjadi dalam beberapa hari. Penyembuhan secara maksimal terjadi dalam waktu 6 bulan, namun paralisis residual berlangsung lebih lama, bahkan sering seumur hidup. (2) Untuk pembiakan virus digunakan kultur jaringan. Berbeda dari jenis enterovirus lainnya, poliovirus jarang sekali dapat diisolasi dari cairan serebrospinal. Poliovirus bisa didapatkan dari usapan tenggorok (throat swab) yang diambil segera setelah terjadinya serangan (onset) penyakit; tetapi seringkali dari usapan dubur (rectal swab) atau tinja memberikan hasil lebih baik bahkan dalam waktu 1-2 bulan setelah serangan penyakit (onset) meskipun dengan berjalannya waktu konsentrasi virus itu menurun. Poliovirus dapat diisolasi dari 80% penderita dalam waktu 2 minggu masa sakitnya dan angka isolasi ini menurun menjadi 25% pada minggu keenam. Subyek yang imunokompeten tidak pernah menjadi karier, sebaliknya penderitapenderita dengan imunosupresi dilaporkan mengekskresi virus dalam jangka waktu yang lebih lama. (2) 94
Resurgensi poliomyelitis di Indonesia
Pemeriksaan serologis dapat pula digunakan untuk mendeteksi infeksi polio.Bahan pemeriksaan berupa serum penderita yang diambil berpasangan (paired) yaitu pada waktu akut dan konvalesen diuji untuk melihat adanya kenaikan titer antibodi. Neutralizing antibody timbul awal dan biasanya sudah dapat dideteksi pada saat penderita masuk rumah sakit (hospitalisasi). Jika bahan pemeriksaan diambil dalam waktu dini maka kenaikan titer dapat dijumpai pada saat penyakit berlangsung. Hanya infeksi pertama dengan poliovirus yang memberikan respons fikasasi komplemen yang tipe-spesifik. Infeksi-infeksi selanjutnya dengan poliovirus heterotopik menyebabkan produksi antibodi terhadap grup antigen yang sama-sama dimiliki oleh ketiga tipe poliovirus. Metode cepat, terutama yang mendasarkan kepada polymerase chain reaction (PCR), telah banyak digunakan untuk deteksi langsung poliovirus dan lain-lain enterovirus dari spesimen klinis. (3) Secara epidemiologis, manusia adalah satu-satunya reservoir infeksi poliovirus. Virus ini seringkali dijumpai di tempat-tempat pembuangan sampah (sewage) di daerah urban yang selanjutnya berlaku sebagai sumber transmisi langsung ataupun tidak langsung melalui lalat atau melalui air yang terkontaminasi dan digunakan untuk minum, mencuci dan irigasi. Namun, kontak yang erat (close contact) adalah cara utama untuk terjadinya penyebaran penyakit. Dari individu yang mengalami infeksi, tak perduli apakah mereka ini menunjukkan gejala-gejala klinis atau tidak, poliovirus dapat diisolasi dari orofaring dan usus halus individu tersebut. Virus yang dikeluarkan bersama-sama dengan tinja dapat berlangsung selama satu atau dua bulan, tetapi yang melalui sekresi oropfaring berlangsung lebih singkat. Seperti biasanya, sumber penularan dan penyebaran penyakit
Universa Medicina
dari tinja yang terinfeksi adalah jari-jari tangan yang terkontaminasi. Keadaan ini mudah terjadi di dalam lingkungan satu keluarga. Sekali sudah didapatkan satu kasus di dalam keluarga maka biasanya semua individu yang rentan di dalam keluarga telah terinfeksi oleh poliovirus dan suatu penyebaran yang cepat berlangsung. Penyakit dapat mengenai semua golongan umur, tetapi anak-anak biasanya lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa. Pada penduduk yang terisolasi seperti misalnya bangsa Eskimo, poliomielitis menyerang penduduk dari golongan semua usia. Di negara berkembang, dengan kondisi yang mendukung penyebaran virus secara luas dan mudah, polio merupakan penyakit yang mengancam bayi dan anak-anak. Di bawah kondisi higiene dan sanitasi yang buruk di daerah tropik, dengan hampir semua anak-anak sudah menjadi kebal pada usia dini dari hidupnya, poliomielitis mempertahankan keberadaannya dengan cara menyebabkan infeksi terus menerus secara berkesinabungan pada sejumlah kecil populasi. Iklim yang hangat mendukung perkembangan dan penyebaran virus. Akan tetapi poliovirus tidak dapat hidup di luar tubuh manusia dan suatu vaksin yang efektif akan dapat mencegah dan menghentikan transmisi virus. Vaksinasi polio Ada 2 bentuk vaksin yang dikenal dan digunakan dalam upaya pemberantasan polio, yaitu, (i) vaksin dari virus yang dilemahkan dan diberikan secara oral (oral poliovaccine = OPV), dan (ii) vaksin yang berasal dari virus yang dinonaktifkan dengan formalin dan d i b e r i k a n s e c a r a s u n t i k a n (i n j e c t a b l e poliovaccine = IPV). Pada umumnya banyak negara menggantungkan upaya pemberantasan polio pada vaksin oral (OPV) seperti yang
Vol.24 No.2
direkomendasikan oleh WHO. Pada tahun 1977, hanya 5% dari seluruh anak-anak di dunia yang telah menerima 3 dosis OPV yang dipersyaratkan, tetapi pada tahun 1995 persentasi ini meningkat menjadi 80% dan sejak tahun 1995 itu OPV telah berhasil mencegah sedikitnya 400.000 kasus poliomielitis paralitik setiap tahunnya. (2) Karena OPV mengandung virus hidup maka akan berkembang biak, menyebabkan infeksi dan menimbulkan kekebalan. Di dalam proses multiplikasinya pada tubuh anak, virus dapat mengalami mutasi dan mungkin terbentuk progeni viral dengan neurovirulensi yang cukup besar (walaupun jarang terjadi) yang dapat menimbulkan terjadinya paralisis pada resipien vaksin tersebut. Namun, kejadian poliomielitis paralitik pada anak yang divaksinasi ini sangat jarang sekali terjadi; hanya sekitar 1 per 500.000 dari anak-anak yang rentan yang mengalami keadaan tersebut. Vaksinasi ulangan (booster) penting sekali untuk mendapatkan kekebalan permanen. Va k s i n menginduksi pembentukan imunoglobulin M (IgM) dan IgG di dalam darah, dan juga sekresi antibodi IgA di intestin yang menyebabkan tubuh menjadi resisten terhadap reinfeksi polio. OPV trivalen umumnya digunakan di Amerika di mana imunisasi primer dimulai pada usia 2 bulan, diberikan secara bersamaan dengan vaksinasi pertama dari difteri-pertusis-tetanus (DPT). Dosis atau vaksinasi kedua dan ketiga diberikan dalam interval 2 bulan sesudahnya dan dosis keempat diberikan pada usia 18 bulan. Dosis multipel ini dianjurkan untuk memperoleh kekebalan maksimal terhadap ketiga serotipe poliovirus tersebut. Booster vaksin trivalen direkomendasikan untuk diberikan pada semua anak-anak ketika memasuki sekolah dasar. 95
Surjawidjaja
Di negara-negara berkembang dianjurkan agar jadwal vaksinasi dipercepat; imunisasi primer tidak saja harus diberikan pada saat yang paling dini tetapi juga harus diselesaikan secara lengkap (completed) pada awal masa infansi. (2) Di banyak negara, vaksinasi rutin secara sendiri saja mungkin tidak cukup untuk dapat memberantas transmisi poliovirus liar, aktivitas vaksinasi suplementer dan perlu dilakukan. PERKEMBANGAN ERADIKASI POLIOVIRUS Pada tahun 1988 Badan Kesehatan Dunia memutuskan untuk memberantas dan melenyapkan (eradikasi) poliomielitis secara global pada tahun 2000 setelah sukses di dalam eradikasi cacar pada tahun 1980. Kemajuan yang dicapai oleh apa yang disebut the Global Polio Eradication Initiative ini sangat menyakinkan dengan kasus terlapor (reported cases) poliomielitis menurun dari sekitar 350.000 di 125 negara pada tahun 1988 menjadi 682 kasus dan sirkulasi virus liar (wild virus) terbatas dan menetap hanya di 6 negara seperti India, Pakistan, Afganistan, Nigeria, Niger dan Mesir, pada tahun 2003. (4) Tiga daerah telah dinyatakan bebas polio oleh World Health Organization (WHO) yaitu Amerika (tahun 1994), Pasifik Barat (tahun 2001), dan Eropa (tahun 2002) serta poliovirus liar tipe 2 tidak lagi dapat diisolasi dari manapun di dunia sejak tahun 1999. WHO mengantisipasi isolasi virus liar yang terakhir adalah pada tahun 2004 atau 2005, kemungkinan dari Nigeria dan akan mendeklarasikan eradikasi polio dari seluruh dunia pada tahun 2008. (4) Janji secara implisit yang terkandung di dalam program eradikasi adalah untuk mengakhiri intervensi pada saat 96
Resurgensi poliomyelitis di Indonesia
suatu penyebab kausatif dari suatu penyakit telah berhasil dibasmi dan mengalihkan danadana ke prioritas intervensi lainnya. (5) Definisi “eradikasi” akan selalu berkembang dan mengalami perubahan namun pada saat ini yang diartikan dengan “eradikasi” adalah hilangnya suatu penyebab penyakit dari alam pada suatu area geografis tertentu sebagai akibat dari upaya-upaya yang disengaja. Usaha-usaha pengendalian dapat dihentikan bilamana risiko importasi penyakit tidak lagi ada. (5) Kemajuan lebih jauh yang telah dicapai pada tahun 2004 di dalam menghentikan transmisi polio terus berlanjut pada tiga negara di Asia di mana polio endemis yaitu Afganistan, India dan Pakistan. (6) Dalam upaya eradikasi polio ini negaranegara anggota WHO daerah Asia Tenggara pada tahun 1994 mempercepat penerapan strategi eradikasi tersebut dan Thailand menjadi negara pertama yang mengawali Hari Imunisasi Nasional (National Immunization Day atau NIDs) diikuti negara-negara lain di Asia yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Sri Langka, Myanmar, Nepal, Korea dan Maldives. (4) Melihat perkembangan yang dilaporkan dari berbagai negara, timbul rasa optimisme bahwa polio akan dapat diberantas dan dilenyapkan dari seluruh dunia pada 2004 atau selambat-lambatnya tahun 2005. Namun, banyak juga yang merasa ragu melihat adanya beberapa tanda-tanda yang mengarah kepada potensi terjadinya masalah di beberapa tempat atau foki di mana transmisi poliovirus menetap. (7) Meskipun jumlahnya sangat terbatas, foki tersebut menunjukkan persistensi transmisi yang bandel dari poliovirus liar tipe I kendati upaya-upaya dilakukan secara terus menerus untuk memberantasnya.
Universa Medicina
Untuk sebagian ahli, adanya persistensi transmisi poliovirus liar ini merupakan suatu tantangan yang menuntut tindakan lebih hatihati dan kebijakan yang lebih baik daripada yang telah dilaksanakan sebelumnya. Agaknya ada suatu spektrum geografis di mana pemutusan transmisi poliovirus di suatu negara atau daerah dapat dilakukan dengan mudah sedangkan di tempat lain sulit. (8) Ada 192 negara anggota WHO dan ketika pada tahun 1988 WHO mencanangkan eradikasi polio, 67 negara telah berhasil memutus transmisi poliovirus liar di daerahnya baik dengan IPV atau dengan OPV. Negara yang paling pertama mencapai sukses adalah Finlandia pada tahun 1961 di mana ketika 51% populasi telah menerima 3 dosis vaksin Salk transmisi virus liar dapat dihentikan. Amerika mencapai hasil serupa pada tahun 1972 di mana pada kampanye masal digunakan IPV yang k e m u d i a n d i i k u t i d e n g a n O P V. U p a y a selanjutnya adalah menggunakan OPV secara ekslusif pada program-program imunisasi anak-anak. Jepang hanya memerlukan dua dosis OPV pada setiap bayi untuk melenyapkan transmisi poliovirus liar. (5) Negara-negara ini mewakili satu kutub permasalahan eradikasi polio di mana upaya penghentian transmisi virus liar tidak banyak mengalami kesulitan atau hambatan. Namun, eko-epidemiologi poliovirus dan efikasi vaksin polio tidak menunjukkan hasil yang seragam untuk masing-masing negara di dunia sehingga upaya eradikasi tersebut memerlukan pendekatan yang berbeda-beda. Di Eropa, interupsi transmisi virus liar tidak semudah seperti di negara kelompok pertama tersebut. Di Jerman dan Perancis, misalnya, upaya-upaya untuk menekan virus liar dilakukan secara terus menerus dengan imunisasi secara teratur dan berkesinambungan dengan menggunakan jumlah dosis baku.
Vol.24 No.2
Interupsi transmisi agak lebih sulit di negara Taiwan dan Oman di mana dibutuhkan lima dosis OPV untuk dapat memberikan hasil yang diharapkan. Penggunaan tiga dosis vaksin ternyata sangat tidak efisien. (8) Di sejumlah negara seperti Brazil, Cina, Bangladesh, Sri Langka, Indonesia, dan Filipina imunisasi suplementer dalam skala besar selama bertahun-tahun diperlukan untuk dapat menghentikan transmisi virus. Negara-negara yang merupakan kutub yang berseberangan dengan negara-negara kelompok pertama adalah India, Pakistan, Afganistan, Mesir, Nigeria dan Niger. Di sini sirkulasi virus liar tetap terjadi sepanjang tahun 2003 dan berlanjut sampai ke 2004. (1) Tempattempat ini tetap mengalami infeksi tanpa adanya suatu jedah (break) meskipun telah dilakukan upaya imunisasi reguler dan suplementer dengan kualitas yang baik. Apa yang tampak pada daerah-daerah ini adalah kesamaannya yang merupakan suatu faktor yang berperan dalam terjadinya transmisi persisten dari poliovirus. Faktor tersebut adalah penduduk yang sangat padat, derajat kelahiran yang relatif tinggi dengan akibat adanya bayi dan anak-anak yang jumlahnya besar yang merupakan “media” efektif untuk t e r j a d i n y a t r a n s m i s i p o l i o v i r u s l i a r. Kemiskinan, standar hidup yang rendah dengan higiene dan sanitasi yang buruk juga ikut menjadi penentu persistensi sirkulasi virus. (8) Juga, efikasi OPV menunjukkan suatu variasi geografis. Untuk Jepang dan negara kaya lainnya efikasinya tinggi, akan tetapi efikasi tersebut rendah untuk negara-negara yang tidak kaya seperti misalnya negara-negara berkembang pada umumnya sehingga sulit untuk mencegah transmisi dari virus liar tipe I yang paling besar daya penyebarannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa daya transmisi virus liar agaknya sangat besar 97
Surjawidjaja
di tempat-tempat tersebut sehingga intervensi yang dilakukan dengan sukses di tempat lain mungkin tidak akan bermanfaat di sini. Oleh karena itu, suatu strategi baru mungkin perlu dipikirkan untuk daerah-daerah ini. Resurgensi poliomielitis Kemajuan luar biasa yang dicapai dalam upaya eradikasi polio pada tahun 2002 mengalami perubahan dengan masih adanya beberapa negara Afrika yang endemik polio. Situasi juga berubah ketika Nigeria yang selama 2 tahun telah terbebas dari polio mengalami serangan wabah poliomielitis oleh poliovirus liar tipe I (wild polovirus type 1/ WPV1) yang kemudian menyebar ke negaranegara tetangga sehingga menempatkan anakanak dalam risiko yang besar terhadap infeksi polio. Peristiwa ini menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang serius yang memporakporandakan sasaran akan suatu dunia yang bebas polio, dan menjadi tantangan terhadap langkah-langkah menuju ke eradikasi polio secara global. Kini Nigeria merupakan negara yang memiliki jumlah kasus polio terbesar di dunia dan penyakit ini menjalar ke bagian lain dari negara tersebut yang sebelumnya bebas polio serta negara lainnya termasuk Sudan. Sudan, negara yang menjadi anggota WHO regio Mediterranean Timur memulai aktivitas eradikasi poliomielitis di daerah utara negara tersebut pada tahun 1994 dan di bagian Selatan pada tahun 1998. (9) Sejak tahun 1998, Sudan berhasil mencapai kemajuan yang substansial dalam mengimplementasikan strategi eradikasi polio dengan tidak ditemukannya poliovirus liar di negara tersebut dari tahun 2001 sampai dengan April 2004. Namun, pada bulan Mei 2004, satu kasus poliovirus liar tipe I yang menyebabkan paralisis ditemukan di Darfur Barat. Tujuh minggu kemudian, 2 kasus WPV1 juga 98
Resurgensi poliomyelitis di Indonesia
dilaporkan dari Darfur Selatan dan selanjutnya poliovirus liar tipe I menyerang 17 dari 26 negara bagian di Sudan. (9) Pengujian genetik (genetic sequencing) menunjukkan bahwa 95% isolat WPV1 mempunyai kesamaan dengan isolat yang berasal dari Nigeria utara. Sejak peristiwa tersebut, aktivitas vaksinasi secara besar-besaran dilakukan di negara bagian Darfur Barat, Utara dan Selatan dan beberapa tempat lain di Sudan. P a d a b u l a n A p r i l 2 0 0 5 , d a r i Ya m a n dilaporkan adanya kasus-kasus baru poliomielitis sehingga jumlah kasus yang terkait dengan wabah polio secara keseluruhannya ada 22 kasus. Sebelum terjadinya wabvah ini, di Yemen tidak pernah dijumpai poliovirus liar sejak surveilan penyakit lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis = AFP) dimulai tahun 1996. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan menguatkan hasil asebelumnya yaitu virus yang menyebabkan wabah di Yemen ini secara genetik sangat dekat dengan virus polio dari wabah di Sudan yang saat ini beredar di negara tersebut. (10) Indikasi awal akan terjadinya wabah adalah ditemukannya 4 kasus polio pada 20 April 2005 (7) di barat daya negara tersebut, di pantai Laut Merah. Delapan belas kasus yang menyusul kemudian dilaporkan dari 5 provinsi. Tim dari Kementerian Kesehatan Yaman bersama dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) merencanakan untuk melakukan imunisasi secara nasional dengan menggunakan vaksin monovalen yang baru-baru ini dikembangkan yaitu oral polio vaccine type 1 (mOPV1). Vaksin baru ini dianggap dapat digunakan secara tepat terhadap poliovirus tipe 1 yang menjadi penyebab wabah ini. Dibandingkan dengan vaksin yang biasa digunakan yaitu OPV trivalen yang memberikan perlindungan terhadap ketiga tipe
Universa Medicina
poliovirus liar, mOPV1 memberikan imunitas yang lebih besar terhadap poliovirus liar tipe 1 dengan dosis yang lebih sedikit. Surveilan acute flaccid paralysis (lumpuh layu akut = AFP) Surveilan penyakit lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP) dilakukan untuk mengenali atau mendeteksi semua kasus poliovirus yang mungkin ada dalam rangka mencapai sasaran aktivitas vaksinasi suplementer. Surveilan ini menitik beratkan kepada pembentukan jaringan unit reportasi berbasis fasilitas yang terorganisasi dan tersebar di seluruh negara. Informasi serologik dan virologik dikumpulkan dari setiap kasus AFP yang dilaporkan. Dukungan virologik disediakan melalui suatu jaringan laboratorium yang terakreditasi oleh WHO di Regio Asia Tenggara (South East Asia Region atau SEAR). Beberapa dari laboratorium ini juga melakukan pengujian diferensiasi intratipik untuk menentukan poliovirus galur liar atau berasal dari vaksin. Hasil-hasil isolasi virus dan studi klinis dalam bentuk follow-up digunakan untuk membuat klasifikasi kasus-kasus AFP apakah itu suatu polio ataukah bukan polio. Suatu kasus tersangka polio didefinisikan sebagai AFP, termasuk sindrom GuillainBarre, jika ditemukan pada anak-anak di bawah usia 15 tahun dan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi, atau penderita yang menunjukkan gejala serupa tanpa melihat usianya menunjukkan tanda-tanda polio. Informasi dari analisis detail mengenai genetic sequencing pada tahun 2004 menunjukkan adanya persistensi kesenjangan kualitas surveilan di banyak negara yang endemik polio atau yang mengalami re-transmisi. Situasi ini dikonfirmasi oleh analisis dari indikator primer kualitas surveilan pada tingkat
Vol.24 No.2
subnasional. Kedua tipe poliovirus liar yaitu tipe 1 dan 3 secara genetik menunjukkan bahwa sirkulasinya di Sudan telah terjadi sejak sedikitnya 3 tahun yang lalu tanpa terdeteksi dan di Nigeria serta di negaranegara Afrika bagian barat lainnya dalam waktu yang telah cukup lama. Kualitas surveilans AFP dimonitor melalui 2 indikator performa kunci yaitu: (i) de-rajat kasus-kasus nonpolio AFP (NPAFP), (ii) proporsi penderita dengan AFP dengan spesimen (tinja) yang adekuat (sasarannya adalah >80%). Semua spesimen diproses di laboratorium yang terakreditasi oleh WHO. Te r h a d a p s e m u a i s o l a t p o l i o v i r u s l i a r dilakukan genomic sequencing di laboratorium rujukan khusus. SITUASI TERKINI POLIOMIELITIS DI INDONESIA Poliomielitis merupakan penyakit yang endemik di Indonesia sejak era pre-vaksin dan telah menimbulkan beberapa kali kejadian luar biasa Setelah dilakukan program imunisasi pada tahun 1978 dan 1980, masih ada beberapa kali wabah polio yang terjadi. (11) Pada tahun 1988, Indonesia mencanangkan eradikasi poliomielitis pada tahun 2000. Meskipun cakupan rutin dengan tiga dosis vaksin poliovirus oral (OPV3) sejak tahun 1991 mencapai lebih besar dari 90% di antara anak-anak usia 1 tahun, kasus-kasus polio masih ditemukan. Untuk memutus transmisi poliovirus maka ditetapkanlah Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yaitu 13-17 September 1995 dan 18-22 Oktober 1995. PIN juga dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997. (12) Program ini menghasilkan cakupan vaksinasi terhadap lebih dari 22 juta anak usia di bawah 5 tahun (mewakili sekitar 100% populasi sasaran). 99
Surjawidjaja
Pada tahun 1995 Indonesia juga menerapkan surveilan acute flaccid paralysis (AFP); untuk ini semua kasus lumpuh layu (AFP) yang ditemukan harus segera dilaporkan kepada otoritas kesehatan. Spesimen tinja yang diambil dari penderita AFP dikirim ke salah satu dari 3 laboratorium yang telah ditetapkan yang berada di Jakarta, Bandung dan Surabaya, untuk dilakukan proses isolasi virus. Isolat poliovirus yang didapatkan kemudian dikirimkan ke laboratorium nasional di Jakarta untuk diferensiasi poliovirus tipe liar atau tipe vaksin (berasal dari vaksin). Pengujian genetic sequencing dilakukan oleh Center for Disease Control Sejak dilakukannya Expanded Program on Immunization (EPI), jumlah kasus-kasus polio yang terlapor (reported cases) menurun secara meyakinkan. Pada tahun 1995, sebanyak 22 kasus AFP dilaporkan dan 12 daripadanya diklasifikasikan sebagai kasus polio dengan menggunakan definisi kasus (case definition) yang baku menurut WHO dan dikonfirmasikan dengan isolasi poliovirus. Empat kasus dengan biakan virus positif berkaitan dengan poliovirus liar tipe 1 dan satu kasus berkaitan dengan tipe 3. Keempat kasus berasal dari anak-anak di Jawa dan Sumatera yang tidak divaksinasi. Untuk menentukan epidemiologi molekuler dari poliovirus liar tipe 1 yang diisolasi dari 4 kasus di atas, dilakukan genetic sequencing. Hasil mengenai kesamaan sekuens (sequence relatedness) di antara isolat poliovirus yang baru-baru ini dikenal endemik di Asia Timur dan Selatan menunjukkan bahwa poliovirus liar tipe 1 yang diisolasi di Indonesia tahun 1995 merupakan kelompok tersendiri (distinct cluster) dan telah beredar di negara ini selama lebih 10 tahun. Meskipun poliovirus liar tipe 1 dari Jawa dan Sumatera tahun 1995 itu ditemukan pada waktu yang bersamaan, namun 100
Resurgensi poliomyelitis di Indonesia
sekuens genetik dari isolat pada kedua tempat tersebut berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa kasus-kasus di jawa dan Sumatera itu secara epidemiologis tidak berhubungan. (12) Poliovirus liar dilaporkan tidak lagi dijumpai di Indonesia sejak tahun 1995 (7) dan dalam kurun waktu selama ini Indonesia dinyatakan bebas dari polio dan merupakan negara kedua di Asa Tenggara yang dinyatakan bebas polio. Hal ini dibuktikan oleh surveilan AFP dengan kualitas yang tinggi antara tahun 1996-1998. (11) Indonesia juga melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional dengan baik dalam tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 1995, 1996, 1997. Sebuah kajian internasional yang dilakukan pada tahun 1997 terhadap program surveilan AFP di Indonesia melaporkan bahwa baik surveilan maupun kegiatan imunisasi rutin dan suplementer dilaksanakan secara memadai. (11) Meskipun program imunisasi dan surveilans telah dilakukan sebaik-baiknya masih ada daerah-daerah yang endemik polio dan sampai semua peredaran virus dapat diputus secara global, negara-negara yang telah bebas polio masih tetap berada dalam risiko mengalami re-introduksi poliovirus. Apa yang menjadi keprihatinan di sini, benar-benar terjadi di Indonesia baru-baru ini di mana terjadi impor poliovirus liar yang berasal dari Afrika Barat. Di Asia, subkontinen India pada tahun 2001 masih merupakan sumber utama ekspor poliovirus liar ke negara-negara tetangga dan negara-negara yang letaknya jauh yang sudah bebas polio. Eksportasi poliovirus liar dari subkontinen India dilaporkan terjadi ke beberapa negara seperti Belanda, Malaysia, Cina bagian barat dan yang terbaru adalah ke Bulgaria. (11) Pada tanggal 21 April 2005, poliovirus liar tipe 1 ditemukan dan dilaporkan oleh laboratorium nasional untuk polio di Bandung.
Universa Medicina
Pada tanggal 2 Mei 2005 hasil deteksi tersebut dikonfirmasi oleh laboratorium rujukan global di Mumbai, India. Kasus tersebut adalah seorang anak berumur 18 bulan berasal dari daerah Sukabumi, Jawa Barat dan mengalami serangan (onset) paralisis pada tanggal 13 M a r e t 2 0 0 5 . (10) K e m e n t e r i a n K e s e h a t a n Indonesia dengan didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) segera melakukan investigasi secara detail di daerah Sukabumi dan sekitarnya, dan sekaligus melakukan imunisasi sebagai respons terhadap wabah tersebut. Imunisasi dilaksanakan di daerahdaerah sekitar kasus ditemukan. Kasus-kasus AFP tambahan juga ditemukan dan diidentifikasi untuk memastikan apakah kasus-kasus tersebut adalah polio dan selanjutnya dilakukan investigasi. Temuan mengenai kejadian luar biasa baru-baru ini menunjukkan adanya introduksi atau masuknya poliovirus liar ke daerah tersebut. Analisis genetik dari virus menunjukkan bahwa asal (origin) virus adalah Afrika Barat, sama seperti virus yang menyebabkan wabah di negara tersebut pada tahun 2003-2004. Analisis lebih jauh memberikan kesimpulan bahwa virus tersebut menempuh perjalanan ke Indonesia melalui Sudan, dan virus ini sama dengan yang diisolasi dari Saudi Arabia dan Yemen, barubaru ini. (10) Pemerintah merencanakan akan melakukan imunisasi massal terbatas (mopping-up) pada anak balita pada tanggal 31 Mei dan 28 Juni 2005. Kegiatan tersebut akan dilakukan di tiga propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kegiatan mopping -up merupakan upaya memutuskan mata rantai penularan di wilayah yang lebih luas. (13) Ditemukannya kasus polio di Jawa Barat bukan saja merupakan masalah lokal,
Vol.24 No.2
tetapi juga menjadi masalah nasional dan bahkan internasional karena akan menghambat sertifikasi Dunia Bebas Polio pada tahun 2008. (14) PENUTUP Temuan kejadian luar biasa di Indonesia baru-baru ini menunjukkan masuknya poliovirus liar dari Afrika Barat. Upaya pemberantasan poliovirus liar harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan bila diperlukan dapat dilakukan imunisasi suplementer. Dengan demikian cita-cita untuk menyatakan Dunia Bebas Polio pada tahun 2008 dapat tercapai. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
World Health Organization. Poliomyelitis outbreak escalates in the Sudan. Wkly Epidemiol Rec 2005; 80: 2-3. Melnick JL. Current status of poliovirus infections. Clin Microbiol Rev 1996; 9: 293300. Romero JR, Rotbart HA. Enterovirus. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Pfaller MA, Yolken RH, editors. Manual of Clinical Microbiology. Vol.2. 8th ed. Washington: ASM Press; 2003. p. 1427-38. World Health Organization. Global Polio Eradication Initiative Plan 2004-2008. Wkly Epidemiol Rec 2004; 6: 55-7. Goodman RA, Forster KL, Throwbridge FL, Figueroa JP. Global disease elimination and eradication as public health strategies. Bull World Health Org 1998; 76 (Suppl 2): S1-162 Center for Disease Control and Prevention. Progress toward global eradication of poliomyelitis, January 2003-April 2004. MMWR 2004; 53: 532-5. Morbidity Mortality Weekly Report. Progress toward poliomyelitis eradication - Southeast Asia Region, 1997-1998. MMWR 1999; 48: 230-2.
101
Surjawidjaja 8.
John TJ. ‘Polar spectrum’ of problems in polio eradication. Indian J Med Res 2004; 120: 1335. 9. Center for Disease Control and Prevention. Progress toward poliomyelitis eradication poliomyelitis outbreak in Sudan, 2004. MMWR 2005; 54: 97-9. 10. World Health Organization. Poliomyelitis outbreak spreads across Yemen: case confirmed in Indonesia. Wkly Epidemiol Rec 2005; 80: 157-64. 11. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomyelitis eradication in Indonesia.
102
Resurgensi poliomyelitis di Indonesia Southeast Asian J Trop Med Public Health 2003; 34: 598-607. 12. Progress toward poliomyelitis eradication Indonesia, 1995. Morb Mortal Wkly Rep 1996; 45: 697-700. 13. Departemen Kesehatan R.I. Semua balita di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten mendapat imunisasi polio. Avaiable from URL: http:// w w w. d e p k e s . g o . i d / i n d e x . p h p / o p t i o n / viewarticle/sid. Accessed Mei 21, 2005. 14. Fleck F. Polio eradication: 7 countries and US$ 210 milion to go. Bull World Health Org 2003; 81: 9-10.