Resume buku: MEMBACA GELOMBANG IJTIHAD Buku yang berjudul “Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi” ini ditulis oleh bapak Prof. Dr. H.M.Atho’ Mudzhar. Penulis berupaya memaparkan bagaimana ijtihad dilakukan oleh para pemikir Islam dari masa awal Islam sampai pada abad ke 20. Pembahasa Buku ini terdidri dari tiga bagian. Bagian pertama dijelaskan tentang sejarah sosial hukum Islam di awal perkembangannya, yang dimulai pada masa Sahabat dengan menampilkan ijtihad Umar bin Khattab yang cukup fenomenal. Kemudian dilanjutkan dengan perkembangan hukum Islam pada masa-masa berikutnya sampai ke negara-negara Islam di dunia. Pada bagian kedua menjelaskan perkembangan Hukum Islam di Indonesia, khusus mengenai pemegang otoritas fatwa dan keberadaan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Kajian ini merupakan upaya untuk melihat bagaimana sosial budaya dan sosial politik telah mempengaruhi lahirnya fatwa-fatwa itu. Fatwa yang akan diteliti adalah fatwa yang lahir pada rentang waktu periode 1975 – 1988, kemudian periode 1989 -1996 dan terakhir pada bagian kedua ini dibahas tentang gagasan pembaharuan pemikiran Hukum Islam oleh Munawir Sazali khususnya mengenai hukum waris. Selanjutnya pada bagian ketiga buku ini diketengahkan uraian tentang perkembangan pemikiran Hukum Islam dalam bidang hukum keluarga pada abad moderen. Pengurainnya menyangkut kategori negeri muslim di dunia dalam kaitannya dengan penerapan Hukum Islam, fase-fe pembaharuan hukum keluarga di berbagai negeri Muslim didunia pada abad 20, dan metode-metode reformasi yang digunakan diberbagai negeri muslim dalam bidang hukum keluarga. Namun pada kesempatan ini hanya akan di revieuw bagian kedua dari buku ini
1
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia: tinjauan legalitas syar’i dan politis Sejak berdirinya tahun 1975 sampai 1988, , MUI telah mengeluarkan fatwa sebanya 39 buah. Fatwa itu menyangkut berbagai hal, yaitu masalah ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, hubungan antara agama, kedokteran dan gerakan Islam sempalan. Disebabkan wibawa dan publisitasnya, kadang fatwa yang dilahirkan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, yang akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang metodologi yang digunakannya dalam menetapkan hukum; ditinjau dari keabsahan fatwa yang dikeluarkan ditinjau dari segi dalil hukum. kemudian karena keberadaanya atas legalitas pemerintah, apakah ada situasi sosial politik yang yang ada pada waktu fatwa itu lahir, mempengaruhi isi fatwa tersebut. Dua persoalan ini akan dianalisa secara tekstual dan kontekstual. a. Masalah metodologi Secara teori urutan dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum adalah Alquran, sunnah, ijma’ dan qias. Namun dalam kenyataannya, dari fatwa yang telah dipulikasikan terlihat ketidak kekonsistenan MUI dalam menggunakan dalil-dalil tersebut. Dalam hal ini terlihat beberapa pola metode yang lakukan MUI ketika memberikan fatwa. Pertama, dalam menggunakan ayat Alquran; terkadang ada fatwa itu sarat dengan ayat Alquran. fatwa seperti ini biasanya menyangkut hubungan antar agama. Terkadang ada juga fatwa ituyang tidak menyinggung sama sekali dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran. Dan bahkan kadang-kadang melewati batas Alquran. Seperti tentang kebolehan kawin dengan ahl kitab. Dalam fatwa yang dikeluarkan pada 1 Juni 1980 menetapkan bahwa baik laki-laki muslim atau perempuan muslim dilarang kawin dengan orang non muslim. Dalam hal ini MUI tidak memilah pendapatnya, karena berdasarka surat al Maidah ayat 5 dan pendapat-pendapat ulama klasik membolehkan laki-laki muslim boleh mengawini perempuan ahl kitab. Dalam hal ini tentunya MUI bukan menyalahi ketatapan yang telah digariskan oleh Alquran, tetapi tentunya mereka mempunyai argumen yang lebih rasional seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Karena berdasarkan menarik mashlahah dan menghindari kemafsadatan, sehingga beliau banyak mengeluarkan fatwa kontra dengan ketetapan hukum yang pernah ada. Kedua, ada fatwa yang langsung merujuk kepada hadis Nabi tanpa merujuk terlebih dahulu kepada Alquran. Seperti tentang kehalalan daging kelinci, MUI langsung 2
mengutip kepada hadis yang terdapat dalam kitab hadis nailul Authar, tanpa merujuk terlebih dahulu kepada keumuman ayat Alquran tentang kebolehan memakan daging hewan yang baik-baik. ketiga, ada yang langsung merujuk kepada pendapat ulama dalam kitab fikih tertentu tanpa terlebih dahulu merujuk kepada dalil-dalil yang ada. Keempat, ada pula fatwa yang dipublikasikan itu tidak menggunakan dalil sama sekali. Seperti fatwa tentang kebolehan menimpor film “the massege” yang dikeluarkan pada 23 maret 1980, karena dalam film itu tidak digambarkan wajah Nabi SAW. Fatwa ini setidaknya harus mendasarkan dan menjelaskan kepada dalil hadis nabi yang tercantum dalam kitab shahih Bukahri tentang larangan meggambar dan membuat patung Nabi SAW. Kelima, fatwa yang lebih banyak dikeluarkan oleh MUI adalah hasil dari pemikiran dengan menggunakan qias. Namun dalam beberapa fatwa MUI metode qias yang digunakan terlihat tidak memenuhi cara berfikir qias. Seperti fatwa tentang kebolehan pembudidayaan kodok, setelah menqiaskannya kepada kebolehan penyamakan kulit. Menurut penulis menganalogikan pembudidayaan kodok kepada penyamakan kulit adalah kurang tepat. Sebab tujuan akhir dari pembudidayaan kodok adalah untuk dimakan, sedangkan tujuan penyamakan kulit adalah untuk dipakai. Yang lebih tepatnya adalah mengqiaskannya kepada kepiting. Karena walaupun ada ulama yang mengharamkannya, namun setidaknya masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsinya. Jadi dalam hal ini mengqiaskannya kepada kebiasaan yang terjadi dikalangan masyarakat. Atau langsung mengambil pendapat ulama mazhab, seperti pendapat ulama Maliki yang membolehkan memakan dan membudidayakan kodok. Barangkali dalam hal ini MUI ingin menjaga kestabilan pendapatnya ditengah masyarakat yang sebagian besarnya mencanangkan bermazhab Syafi’i; seperti NU.
b. Latar belakang sosial politik fatwa MUI Disamping atas pertimbangan murni keagamaan, ternyata ada beberapa faktor lain yang memepengaruhi dikeluarkannya fatwa MUI. Pertama, untuk menunjang kebijakan pemerintah atau sosial politik yang berkembang pada waktu itu. Seperti fatwa tentang pembudidayaan kodok di atas. Dari cara pengambilan pendapat dari ulama mazhab, fatwa itu tergolong talfiq, karena dari segi keharaman memakannya menggunakan pendapat 3
Syafi’i, sedangkan kebolehan membudidayakannya menggunakan pendapat Imam Malik. Hal ini dilihat dari satu segal ini dilihat dari satu segi adalah untuk menunjang program pemerintah pada waktu itu untuk mencaanangkan pembudidayaan kodok. Contoh lainnya adalah tentang kebolehan penggunaan IUD. Pada tahun 1971 MUI yang terdiri dari 11 ulama besar mengharamkan penggunaan IUD. Disebabkan pemasangannya akan melihat aurat wanita. Namun pada tahun 1983, melalui munas ulama menetapkan bahwa penggunaan spiral sebagai alat KB dibolehkan asalkan pemasangannya dilakukan dengan disaksikan oleh suaminya. Alasan syar’inya maka dibolehkan itu adalah pada fatwa pertama kehararaamannya karena zatnya (lizatih) atau melihat aurat wanita. Sedangkan pada fatwa yang kedua karena sadduzzari’ah. Maka pada keadaan disaksikan oleh suaminya, boleh IUD itu dipasang oleh dokter baik wanita atau laki-laki. Dari 22 fatwa yang dianalisa pada rentang waktu 1975 sampai 1988 tersebut dihubungkan dengan keterkaitan ada atau tidaknya pengaruh pemerintah terhadap lahirnya fatwa tersebut, ternyata 11 fatwa termasuk fatwa netral dari pengaruh kebijakan pemerintah, 3 fatwa bertentangan dengan fatwa pemerintah dan 8 fatwa mendukung kebijakan pemerintah. Kedua, keinginan MUI untuk menjawab tantangan perkembangan moderen. Seperti tentang halalnya donor kornea mata, tentang tranplantasi katup jantung, tentang halalnya daging hewang yang disembelih secara mekanis dan tentang kebolehan bandara King Abdul Azis dijadikan sebagai miqat bagi calon jama’ah haji Indonesia. Pada fatwa-fatwa seperti ini independensi MUI terlihat lebih nyata, walaupun terlihat adanya kesamaan pendapat dengan keinginan pemerintah. Ketiga, menyangkut soal hubungan hubungan agama, atau faktor keinginan untuk memelihara aqidah ummat Islam dari segi kuantitasnya.Hal ini karena pengaruh suasana keberagamaan ummat Islam denga ummat lain dengan tujuan menjaga kuantitasnya. Seperti fatwa tentang larangan ummat Islam untuk mengikuti perayaan Natal, larangan laki-laki atau wanita untuk mengawini non muslim dan larangan adopsi anak muslim oleh orang non muslim. Keempat, keinginan untuk melepaskan diri dari batas-batas dan belenggu kemazhaban. Hal ini terlihat dari fatwa-fatwa yang muncul yang telah mulai meninggalkan
4
mazhab Syafi’i. Hal ini sejalan dengan proses yang ada pada waktu itu yaitu proses penaggalan formalisme keislaman, yang berwujud tanggalnya kepercayaan terhadap partaipartai yang berlabelkan Islam.
2. Ulama, Pemerintah dan Masyarakat di Era Indonesia Moderen Pada tahap akan
ini dikaji tentang bagaimana hubungan MUI dengan
masyarakat Indonesia dan pemerintah. Artinya sejauhmana keterpengaruhan MUI dalam memberikan fatwanya dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah dan kondisi masyarakat yang ada. Era masyarakat moderen yang dimaksudnya berkisar dari tahun 1989 – 1996. Semenjak mulai dicanangkan
pembentukan MUI pada tahun 1970 oleh
pemerintah, maka pada tahun 1975 lahirlah lembaga yang tujuan awalnya adalah untuk memberikan saran atau fatwa di sekitar yang berhubungan dengan persoalan ummat Islam dan menjadi media penghubung antara pemerintah dengan ummat Islam di Indonesia. Selama tahun 1975 – 1989 terlihat ada 4 sikap MI dalam beraktifitas; yaitu: Pertama, keinginan untuk dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai hubungan yang baik dengan organisasi Islam yang ada. Hal ini dilakukan karena sikap stereotip masyarakat akan kehadiran MUI, yang memandang bahwa keberadaan MUI hanyalah sebuah lembaga yang akan dijadikan instrumen politik oleh pemerintah. Anggapan negatif ini lama kelamaan menjadi berkurang seiring dengan usaha MUI untuk mengundang para ulama dan pakar Hukum Islam untuk berdiskusi di kantornya ataupun mengunjungi organisasi-organisasi Islam yang ada. Di samping itu wibawa dan kredibilitas dari pemegang pucuk pimpinannya, juga ikut menjadi faktor yang mempengaruhi berubahnya image masyarakat terhadap keberadaan lembaga ini. Seperti kharisma Buya Hamka yang menjadi ketua MUI pertama pada periode 1975 – 1981. Kemudian periode selanjutnya dipegang oleh Syukri Gazali pada periode 1981 -1984. Ia punya pengaruh yang cukup besar karena keilmuan keagamaannya yang yang cukum mendalam dan karena ia berasal dari kelompok tradisionalis yang terbesar dalam masyarakat Islam, dari Nahdhatul Ulama. Periode ketiga dilanjutkan oleh Hasan Basri tahun 1985-1990. Dengan kharismanya sebagai ulama yang mampu berpidato dan sikapnya yang moderat dalam mengahadapi masyarakat dan pemerintah. Sehingga keikutsertaan MUI dalam mendiskusikan UndangUndang Pendidikan tahun 1988 dan Undang-Undang tentang peradilan Agama yang lahir
5
pada tahun 1989 telah memberikan prestise yang cukup baik kepada MUI sebgai pengemban amanah masyarakat. Kedua. Keinginan MUI untuk menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah. Untuk mewujudkan ini MUI mengalami persoalan yang yang agak rumit, disebabkan hubungan ulama dan pemerintah yang kurang mesra. Hal ini disebabkan oleh kelahiran MUI yang dicuragai oleh ulama sebagai media untuk menghambat gerakan ulama. Ini terbukti dengan kekalahan partai Islam pada pemilu tahun 1971, penggabungan dan fusi politik menjadi satu partaiyang tidak lagi berlabelkan Islam; Partai Persatuan Pembangunan; dan pengajuan rancangan Undang Undang Perkawinan yang bersifat sekuler pada tahun 1973, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Islam. Tekanan-tekanan pemerintah itu semakin terlihat dengan permintahan pemerintah untuk melegalkan kebijakannya seperti kasus perayaan natal pada tahun 1981 dan maslah porkas pada tahun 1986, pada hal yang terakhir ini MUI
tidak mengeluarkan fatwa, yang menambah
memperkuat keraguan masyarakat bahwa MUI tidak mau berseberangan pendapat dengan kebijakan atau program pemerintah. Ketiga,
keinginan MUI untuk mendorong masyarakat
Islam
untuk
berpartisispasi dalam pembanguan nasional. Hal ini termanifetasi dalam fatwa-fatwanya dan aktifitasnya untuk mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan soaialnya. Begitu juga terlihat bahwa MUI mengadakan kerjasama dengan mentri agama dan koperasi untuk pengembangan koperasi dilembaga-lembaga pendidikan dan organisasi Islam. Keempat, keinginan MUI untuk memrlihara hubungan yang harmonis dengan kelompok-kelompok non muslim. Keinginan ini dirasakan cukup mengalami kesulitan, disebabkan adanya perseteruan antar umat beragama, terutama antara Islam dan Kristen yang telah dimulai oleh penjajah belanda semenjak abad ke 20. Namun dengan kegigihan dan bekerjasama denga berbagai elemen seperti Mentri Agama, akhirnya kiinginan itu terwujud denga lahirnya suatu Wadah Musyawarah Antar Umat Bergama pada tahun , Setelah periode 1975 – 1988, keinginan-keinginan MUI tersebut di atas masih tetap pada menampakkan posisinya. Namun pada tahun berikutnya kiprah MUI dNamun pada tahun berikutnya kiprah MUI dalam hubungan dengan pemerintah dan masyarakat semakin meningkat dalam hal intensitas dan manivestasinya. Jika diawal berdirinya tugas dan fungsi MUI hanya sebatas pemberian saran-saran dan menjadi organisasi penghubung daan koorn koordinasi. Namun pada tahun 1990 MUI telah mulai mencanangkan program6
prograam sendiri yang bersifat praktis. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan MUI dalam pengiriman da-i ke daerah-daerah
transmigrasi, pembentukan Bank Muamalah, dan
Lembaga Kajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika. Begitu juga dalam pemberian sertifikat halal terhadap setiap bahan konsumsi yang di produksi. Setelah Munas MUI pada tahun 1995, eksisitensinya bertambah semakin jelas, dengan menetapkan bahwa MUI untuk periode 1995 – 2000; yaitu program fungsional dan institusional. Program fungsinal merupakan fungsi asli dari MUI, sebagai pemberi saran baik kepada masyarakat maupun pemerintah, sedangkan program institusional mencakup bidang ukhwah Islakonomi Islam dan akhlak Islam. Hubungan MUI dengan pemerintah telah berkembang semakin pesat, berhubung telah dicabutnya berbagai sumber perselisihan yang muncul pada periode sebelumya. Hal MUI, seperti dimuatnya pada GBHN 1993 bahwa azas pertama dari pembangunan nasional adalah iman dan taqwa. Kemudian banyaknya jumlah kabinet yang terdiri dari menterimenteri yang beragama Islam telah meningkatkan kepercayaan masyarakat Islam kepada MUI, yang pada akhirnya semakin menambah semangat MUI.
3. Ijtihad dalam Hukum Waris Ketentuan waris Hukum Islam dan Pelaksanaannya Pada dekade delapan puluhan Munawir pernah memberikan sustu dalam masalah kewarisan untuk menyamakan bahgian anak laki-laki dengan anak perempuan. Munawir Sazali yang ketika itu berkedudukan sebagai Menteri Agama, pendapatnya mendapat tantangan ditengah masyarakat, karena dianggap bertentangan dengan penjelasn yang telah jelas atau sharih dalam Alquran. ( surat al Nisa’ ayat 11 ) Para mufassir melihat bahwa ketetapan Allah dalam surat an Nisa’ tersebut telah membatalkan kebiasaan masyarakat Arab yang tidak memberikan hak warisan kepada perempuan termasuk anak, ibu atau istri, bahkan kepada anak laki-laki yang masih kecil. Bahkan pemberian hak warisan itu kepada semua yang termasuk kerabat itu telah dijelaskan oleh Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 7. Sedangkan pada ayat 11 Allah menjelaskan bagaimana cara pembagian warisan itu. Dimana Allah menetapkan bahwa bagian anak laki-laki dua kali bahgian anak perempuan.
7
Menurut Munawir Sazali, sesuai dengan cara penetapan hukum Islam yang bertahap, bahwa penetapan bagian anak laki-laki dua bahagian anak perempuan, harus dilanjutkan pemahamannya sesuai dengan perubahan zaman. Jadi jika pada masa pra Islam anak perempuan tidak diberi hak warisan (ini telah menjadi budaya mereka), lalu Islam memulainya dengan memberinya hak, tetapi setengah dari bagian laki-laki. Agar perubahan ini tidak mendapat gejolak yang besar di tengah masyarakat. Menurut Munawir jiwa dari ayat waris itu adalah pada dasarnya usaha untuk meningkatkat hak dan derajat wanita harus terus dilakukan dan tidak boleh terhenti, karena dengan terjadinya perubahan masyarakat, maka untuk masa sekarang kewajiban dan tanggung jawab perempuan itu telah semakin meningkat pula, maka logis pula pemberian hak yang lebih besar atau sama dengan laki-laki. Untuk menanggapi ide dari Munawir itu adalah dengan menjawab sebuah pertanyaan: apakah ketentuan hukum waris yang telah ditetapkan Allah dalam Alquran itu dapat berubah dengan terjadinya perubahan sosial, atau sebaliknya apakah ketetapan Allah itu dipengaruhi oleh situasi masyarakat yang ada pada waktu? Jika dilihat dari penerapan Hukum Waris ditemukan dalam kitab fikih tentang adanya celah untuk merubah ketentuanketentuan Allah itu. Seperti dalam kasus penyelesaian ‘aul. Dalam kasus ini ketetapan Allah tentang jumlah bahagian untuk masing-masing ahli waris tidak dapat dilaksanakan berhubung tidak sesuainya ketentuan Allah itu dengan struktur ahli waris yang ada. Seperti dalam contoh kasus ahli warisnya terdiri dari istri, ibu, bapak dan dua orang anak perempuan. Istri yang seharusnya mendapatkan 1/8 atau 3/24 sebagaimana ketetapan Alquran, menjadi 3/27 atau 1/9 disebabkan dalam kasus itu terdapat kekurangan bahagian. Ternyata ide untuk menyamakan bahagian anak laki-laki dan anak perempuan dalam kewarisan telah bukan di Indonesia yang pertama. Seperti
Turki telah
memberlakukannya sejak tahun 1926, begitu juga dengan Somalia, telah memulainya semenjak tahun 1974. Bahkan mereka menetapkan bahwa bagian suami atau istri samasama mendapat bagian setengah jika yang meninggal tidak mempunyai anak. Ketika Kompilasi Hukum Islam (KHI) diumumkan pada tahun 1989 dan diperkuat dengan Inpres no I tahun 1991, gagasan Munawir itu tetap bergulir, hal ini daapat dilihat dalam salah satu pasalnya, yang terdapat dalam pasal 183, yang menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam membagi warisan setelah masing-masin menyadari bagiannya. Hal ini berarti bahwa ahli waris dapat keluar atau tidak
8
membagi warisan menurut ketentuan yang ada dengan persyaratan bahwa berapa hak yang akan dilepaskan itu telah mereka ketahui.
Wasiat Wajib untuk Anak Angkat dan Orang Tua Angkat Di samping wacana pembaharuan pemikiran dalam bidang waris berkembang ditengah masyarakat, dalam KHI juga muncul suatu pemikiran baru dalam bidang wasiat. Atau lebih tepatnya lagi tentang wasiat wajibah. Dalam pasal 209 nya dinyatakan anak angkat dapat menerima wasiat wajibah dari orang tua angkatnya, begitu sebaliknya. Aturan tentang adanya wasiat wajibah telah ada sebelumnya, yaitu di negara Mesir. Melalui hukum waris pada tahun 1946 dinyatakan bahwa seorang yang lebih dahulu meninggal dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya melalui wasiat wajibah. Dapat dilihat bahwa pada hukum waris di Mesir tersebut penetapan adanya hak wasiat wajbah itu dperuntukkan untuk cucu, sedangkan dalam KHI hak wasiat wajibah diperuntukkan bagi orang tua atau anak angkat. Jika di analisa lebih lanjut, ternyata bukan berarti KHI tidak memberikan hak waris kepada cucu dalam kasus yang sama, namun ketentuan itu telah di atur pada pasal 185 tentang waris pengganti.
Reaktualisasi Hukum Islam dalam Hukum Keluarga Pembaharuan pemikiran Huku Islam ternyata lebih banyak lagi dalam hukum keluarga dibanding denga hukum waris. Hal ini dapat dilihat dari beberapa rumusan hukum sebagai berikut: 1. Pembatasan umur boleh menikah yang termuat dalam UU No. I tahun 1974, yang juga dilakukan oleh negara-negara Islam lainnya. 2. Masalah pencatatan perkawinan. 3. Masalah poligami. Hampir seluruh dunia Islam ( mayoritas Islam ) sekarang menuju kepada mempersempit terjadinya poligami. 4. Masalah penjatuhan thalak didepan sidang pengadilan. Hampir seluruh negeri Islam sekarang mengatur bahwa thalak harus diucapkan di muka sidang pengadilan atau minimal di catatkan. Demikianlah sekilas usaha reaktualisasi Hukum Islam atau ijtihad dalam hukum keluarga, perkawinan dan waris. Usaha reaktualisasi juga telah terjadi pada bidang lainnya, seperti bidang mu’amalah. Dalam konteks yang lebih luas, gagasan Munawir dalam masalah
9
waris tentang perbandingan bagian laki-laki dengan perempauan, sebenarnya hanyalah salah satu mata rantai yang panjang yang dibuat oleh umat Islam dunia untuk memperbaiki dan mensejahterakan kehidupan mereka. Penyusunan mata rantai itu sesekali mungkin salah atau menimbulkan kontroversi karena ummat belum siap menerimanya, tetapi yang jelas ia belum berhenti, ia akan terus tetap bergulir seiring dengan kehidupan manusia sampai akhir zaman.
10