Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015
ISSN: 2407-3881
KEPEMIMPINAN PADA DIREKTORAT SABHARA KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH (STUDI PENANGANAN AKSI UNJUK RASA) Oleh Muhaimin Noor dan Baihaqi Program Studi Administrasi Negara FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh memalalui wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan dokumentasi secara deskripsi analisa, kemudian ditarik kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian ini, agar terciptanya situasi dan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat yang diinginkan, seorang pemimpin perlu menekankan beberapa hal, yaitu tipe kepemimpinan yang digunakan, hubungan antara pemimpin dan bawahan, pengambilan keputusan di lapangan, dan kecakapan dalam suatu bidang tertentu. Kata Kunci : Kepemimpinan, Unjuk Rasa PENDAHULUAN Penyampaian pendapat di depan umum merupakan hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan atau tulisan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Terlebih lagi saat ini pada masa reformasi, masyarakat dalam menanggapi setiap kebijakan publik yang muncul dari pemerintah apabila hal tersebut dirasa merugikan tentunya menggunakan saluran unjuk rasa untuk menyampaikan pendapatnya. Akan tetapi disayangkan dalam pelaksanaannya, unjuk rasa tersebut terkadang menimbulkan efek samping yang merugikan masyarakat yaitu unjuk rasa yang cenderung anarkis bahkan sampai terjadi keadaan kacau sehingga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tidak menentu. Kita masih ingat beberapa kasus unjuk rasa yang apabila tidak tertangani dengan baik maka akan menjadi kekacauan yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit yaitu korban jiwa dan korban harta benda bahkan aktivitas transportasi dan ekonomi menjadi terhambat dikarenakan unjuk rasa yang bersifat anarkis tersebut. Pada setiap kegiatan unjuk rasa, kata-kata kotor seakan menjadi lagu wajib yang harus dinyanyikan dengan penuh semangat sebagai media guna mencaci maki, menghasut, bahkan
tidak jarang memprovokasi sehingga berujung anarkis. Jika sudah demikian, pelajaran demokrasi, ahklak, dan budi pekerti yang diajarkan di sekolah sama sekali tak berarti. Sungguh mengherankan dalam keadaan seperti ini masih saja ada orang berucap “Inilah Pendidikan Politik”. Hal yang tidak kalah mencengangkan dari fenomena demokrasi atau unjuk rasa ini selain di perguruan tinggi kini juga marak terjadi di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal tingkat menengah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah yang mestinya menjadi pusat berkembangnya budaya positif berubah menjadi ajang artikulasi kata-kata yang teramat jauh dari kategori santun. Inilah demonstrasi atau unjuk rasa yang sering terjadi di negeri ini yang dapat dikatakan sudah jauh dari mendidik dan yang perlu kita khawatirkan bersama adalah fenomena buruk ini kian menguat dan secara perlahan menjadi bagian dari kultur yang kemudian melekat sebagai bagian dari jati diri bangsa. Namun tentunya pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) tidak tinggal diam dalam mengantisipasi keadaan tersebut. Semenjak dulu Polri telah melakukan upaya-upaya baik dalam tataran pembenahan instrument maupun dalam tataran operasional
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 23
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 untuk meredam keganasan unjuk rasa yang kadang bersifat anarkis tersebut. Polri merupakan sebuah organisasi profesi, pengabdian dan perjuangan yang dilandasi keyakinan dan kebenaran akan nilai-nilai Pancasila, maka dalam melaksanakan tugasnya, Polri lebih mengutamakan tindakan mencegah dengan mendorong, mengarahkan dan menggerakan masyarakat untuk taat kepada peraturan perundang-undangan dan normanorma sosial lainnya. Agar tercipta situasi dan kondisi yang aman dan tertib di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya dalam menangani unjuk rasa, Kepolisian Daerah (Polda) Kalteng melalui Direktorat Sabhara mempunyai satuan yang bertugas untuk menangani unjuk rasa tersebut selain disamping tugas pokoknya sehari-hari, yaitu Satuan Pengendali Massa atau yang sering disebut Satuan Dalmas. Satuan Pengendali Massa bekerja berdasarkan surat perintah pimpinan, melaksanakan tugas dilapangan dengan petunjuk pelaksana, dan peraturan-peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI) serta berdasarkan pedoman tentang pengendalian massa. Satuan Dalmas adalah merupakan satuan anggota polri yang setingkat Polda Kalteng terdiri dari 2 (dua) kompi pasukan dalmas, yang memiliki pemimpin di masing-masing jabatan mulai jabatan teratas sampai bawah. Setiap pemimpin memiliki tugas dan tanggung jawab, fungsi serta peranan masing-masing dalam menjalankan tugasnya sehari-hari maupun dalam pelaksanaan tugas dilapangan. LANDASAN TEORI “Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitasaktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan” (Kartini Kartono, 1994:181). Menurut Miftha Thoha (1983:255) pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
ISSN: 2407-3881 atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Henry Pratt Faiechild (Kartini Kartono, 1994:33) mengatakan pemimpin dalam pengertian ialah seorang yang dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuasaan dan posisi. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya. Menurut Sondang P Siagian (2010:9), bahwa seseorang hanya akan menjadi seorang pemimpin yang efektif apabila secara genetika telah memiliki bakat kepemimpinan dan bakatbakat tersebut dipupuk dan dikembangkan melalui kesempatan untuk menduduki jabatan kepemimpinannya, serta kemampuan tersebut dapat ditopang oleh pengetahuan teoritikal yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, baik yang bersifat umum maupun yang menyangkut teori kepemimpinan. 1. Tipe Kepemimpinan Dalam suatu organisasi ada beberapa tipe-tipe pemimpin yang dimiliki seseorang yang dapat mempengaruhinya dalam menjalankan organisasi, antara lain sebagai berikut : a. Tipe Otokratik Seorang pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan otokratik dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Hal ini dilihat dari sifatnya dalam menjalankan kepemimpinannya sangat egois dan otoriter, sehingga kesan yang dimunculkan dalam karakter tipe kepemimpinan ini selalu menonjolkan “keakuannya”. Adapun ciri-ciri tipe kepemimpinan ini adalah : b. Tipe Paternalistik Tipe pemimpin paternalistik ini bersifat kebapaan yang mengembangkan sikap kebersamaan. Salah satu ciri utamanya sebagaimana yang digambarkan masyarakat tradisional yaitu rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini menunjukkan
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 24
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 ketauladan dan menjadi panutan di masyarakat. Biasanya tipe seperti ini dimiliki oleh tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru. c. Tipe Kharismatik Karakteristik yang khas dari tipe ini yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi. d. Tipe Laissez Faire Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin tidak terlalu sering intervensi. e. Tipe Demokratik Pemimpin yang demokratik biasanya memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung harkat dan martabat manusia. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti. Dari kelima tipe kepemimpinan diatas, masing-masing tipe memiliki kelebihan dan kelemahannya. Untuk penempatan tipe tersebut tergantung pada organisasi yang akan di pimpin. Misalnya untuk organisasi kemiliteran diperlukan tipe kepemimpinan yang otoriter, sebab pada organisasi tersebut dibutuhkan kesatuan komando dalam pengambilan keputusan. Sehingga senang atau tidak senang, semua anggota organisasi didalamnya harus melaksanakan perintah dari atasan. Jadi, dalam menentukan tipe kepemimpinan yang akan diterapkan oleh seorang pemimpin harus disesuaikan dengan jenis organisasi yang akan dipimpin. 2. Ciri-ciri Pemimpin dan Kepemimpinan Yang Baik Sebagai seorang pemimpin yang mengingikan kemajuan bagi anggota dan organisasi yang dipimpinnya, hendaknya seorang pemimpin harus memiliki :
ISSN: 2407-3881 a. Pengetahuan umum yang luas b. Kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam memajukan organisasi. c. Sikap yang intuitif atau rasa ingin tahu. d. Kemampuan Analitik e. Daya ingat yang kuat f. Kapasitas integrative. g. Ketrampilan berkomunikasi secara efektif. h. Keterampilan Mendidik. i. Rasionalitas. j. Objektivitas. k. Pragmatisme. l. Kemampuan Menentukan Prioritas. m. Naluri yang Tepat. n. Rasa Kohesi yang tinggi. o. Rasa Relevansi yang tinggi. p. Keteladanan. q. Menjadi Pendengar yang Baik. r. Fleksibilitas. s. Ketegasan. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang berarti bahwa dalam prosedur penelitianya menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang yang diamati di lapangan. Dalam penelitian ini data yang diperoleh di lapangan, dikembangkan menjadi konsep dan teori, kemudian kategorikategori, konsep-konsep dan teori dikembangkan oleh peneliti di lapangan melalui observasi partisipasi. Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah anggota Sat Dalmas Dit Sabhara Polda Kalteng, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi. HASIL PENELITIAN Prosedur dan Penahapan Pelayanan Unjuk Rasa 1. Tahap persiapan a. Cek jumlah anggota dan kelengkapan yang dibutuhkan dalam penanganan unjuk rasa disesuaikan dengan jumlah massa. b. Pimpinan pasukan memberikan APP kepada anggota yang berisi : 1) Gambaran umum massa yang dihadapi
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 25
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 2) Harus menjaga sikap, perilaku dan perbuatan 3) Tidak boleh melakukan kekerasan kepada massa 4) Tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan massa 5) Bertindak berdasarkan perintah 6) Apabila dicaci, dimaki atau disakiti tidak boleh mengambil sikap atau tindakan yang sifatnya membalas cacian, makian atau rasa sakit yang diderita 7) Tidak boleh terpancing atau memancing emosi massa 8) Tidak menganggap pelaku unras sebagai musuh melaikan anggap sebagai saudara, teman, rekan, ortu, dan anak 9) Sabar, mampu mengendalikan diri 10) Cegah bentrokan antara aparat keamanan dengan pelaku unras guna mencegah timbulnya kerugian dan korban 11) Tidak arogan 12) Berdoa untuk meminta perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa 2. Tahap pelaksanaan a. Unjuk rasa yang sudah diketahui mempunyai ijin 1) Sesampainya di objek, diterima oleh perwira pengendali atau kepala pegamatan objek 2) Kasatwil/kapam objek/danki/danton dalmas memberikan APP 3) Kasatwil/kapam objek/danki/danton dalmas membagi tugas dan ploting anggota di objek 4) Apabila di objek sudah terdapat police line, maka pasukan tidak perlu berhadapan dengan massa akan tetapi berada dibelakang police line dan tetap waspada terhadap setiap kemungkinan yang bisa terjadi 5) Para perwira berada diluar police line untuk melakukan negosiasi (tindakantindakan persuasif) dengan massa pengunjuk rasa 6) Apabila sasaran pengunjuk rasa berupa instansi tertentu, maka perwira pengendali garu berupaya (sebagai mediator) pimpinan massa dengan pihak
ISSN: 2407-3881 yang berkepentingan dengan tuntutan mereka. 7) Apabila pengunjuk rasa sudah tidak terkendali maka kasatwi/kapam objek /danki /danton dalmas memerintahkan anggotanya untuk melakukan penutupan terhadap gerakan massa yang akan menuju kearah berbahaya dengan cara menyusun formasi. b. Unjuk rasa tanpa surat ijin 1) Sesampainya di objek perwira pengendali menempatkan anggota dalam posisi yang tepat. 2) Perwira pengendali/negosiator melakukan negosiasi dengan pemimpin massa. 3) Win-win solution, sama-sama merasa senang (tidak ada yang merasa kalah). 4) Negosiasi dilaksanakan secara persuasif/sopan, yang mencakup : a) Salam persahabatan (sambil menanyakan identitas pengunjuk rasa). b) Pemberitahuan bahwa kegiatan mereka dilaksanakan sesuai aturan. c) Mohon supaya tidak anarki d) Ucapan terima kasih atas pengertiannya. c. Cara bertindak pada Dalmas untuk situasi tertib/hijau adalah : 1) Pada saat unjuk rasa bergerak dan mau pawai, dilakukan pelayanan melalui pengawalan dan pengamanan oleh anggota Sabhara/Lantas. 2) Pada saat unjuk rasa tidak bergerak atau mogok, komandan pleton/kompi dalmas awal membawa pasukan menuju objek membentuk formasi dasar bersaf satu arah dengan memegang tali dalmas yang sudah direntangkan oleh petugas dalmas. 3) Melakukan/merekam jalannya unjuk rasa menggunakan video kamera selama berlangsungnya unjuk rasa. 4) Mengedepankan peran negosiasi yang mengambil posisi di depan pasukan Dalmas awal untuk melakukan perundingan dengan koordinator lapangan (Korlap) guna menampung dan menyampaikan aspirasi.
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 26
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 5) Apabila massa pengunjuk rasa tuntutannya meminta kepada pimpinan instansi/pihak yang dituju untuk datang di tengah-tengah massa pengunjuk rasa guna memberi penjelasan, maka negosiator melaporkan kepada kapam objek, (Kapolsek/Kapolres) agar pimpinan instansi/pihak yang di tuju dapat memberikan penjelasan dengan tetap dalam pengawalan. 6) Peran para danton atau danki dalmas melaporkan setiap perkembangan, dan apabila situasi meningkat dari tertib/hijau ke tidak tertib/kuning, maka dilakukan lapis ganti dengan dalmas lanjut. d. Cara bertindak pada dalmas untuk situasi tidak tertib/kuning adalah : 1) Pada saat massa menutup jalan dengan duduk-duduk, tidur-tiduran, aksi teatrikal dan aksi sejenis, pasukan dalmas awal membantu menertibkan, mengangkat dan memindahkan ke tempat yang netral dan lebih aman dengan cara persuasif. 2) Negosiator tetap melakukan negosiasi dengan korlap semaksimal mungkin. 3) Dapat menggunakan unit satwa dengan formasi bersaf didepan dalmas awal untuk melindungi saat melakukan proses lapis ganti dengan dalmas lanjut. 4) Atas perintah kapam objek pasukan dalmas lanjut maju dengan cara lapis ganti dan membentuk formasi bersaf di belakang dalmas awal, kemudian saf kedua dan ketiga dalmas awal membuka ke kanan dan kekiri untuk mengambil perlengkapan dalmas guna melakukan penebalan kekuatan dalmas lanjut, di ikuti saf kesatu untuk melakukan kegiatan yang sama setelah tali dalmas digulung. 5) Setelah dalmas lanjut dan dalmas awal membentuk formasi lapis bersaf, unit satwa di tarik ke belakang menutup kanan dan kiri dalmas. 6) Apabila eskalasi meningkat massa melempari petugas dengan benda keras, dalmas lanjut melakukan sikap
ISSN: 2407-3881 berlindung, selanjutnya kapolsek/ kapam objek memerintahkan danki dalmas lanjut untuk melakukan tindakan hukum, sebagai berikut : a) Kendaraan taktis pengurai massa bergerak maju melakukan tindakan bergerak maju melakukan tindakan merurai massa, bersamaan dengan itu dalmas lanjut maju melakukan pendorongan. b) Petugas yang membawa pemadam api dapat melakukan pemadaman api (bila ada pembakaran ban, spanduk, bendera dan alat peraga lainnya) c) Evakuasi terhadap pejabat VIP menggunakan kendaraan taktis penyelamat. 7) Apabila situasi meningkat danki melaporkan ke kapolres/kapolsek agar segera dilakukan lintas ganti dengan kompi penanggulangan huru-hara (PHH) Brimob. 8) Setelah lintas ganti dari pasukan dalmas lanjut ke pasukan PHH Brimob, pasukan dalmas lanjut melakukan penutupan serong kiri/kanan, dalmas lanjut dan rantis pengurai massa sabhara bergerak mengikuti aba-aba dan gerakan kompi PHH brimob. 2. Tahap Konsolidasi/Pengakhiran a. Kepala satuan dalmas dengan dibantu oleh petugas lainnya mengadakan apel dan pengecekan hasil pelaksanaan tugas terhadap keutuhan jumlah personel dan peralatan/perlengkapan serta data korban dan pengecekan korban ke rumah sakit serta mencatat identitasnya baik dari pihak massa pengunjuk rasa. b. Kepala satuan dalmas melaporkan pelaksanaan tugas dan hasil konsolidasi personil kepada maupun peralatan/perlengkapan kepada penanggung jawab operasi polri c. Penanggung jawab operasi polri memerintahkan kepala satuan dalmas untuk segera melakukan kaji ulang dan evakuasi atas pelaksanaan tugas dan cara bertindak di lapangan.
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 27
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 d. Kepala satuan dalmas menyampaikan evaluasi hasil penaggulangan unjuk rasa kepada penanggung jawab operasi. e. Hasil evakuasi tersebut selanjutnya digunakan oleh penanggung jawab operasi polri untuk menetapkan kebijakan dan strategi dalam upaya penanggulangan unjuk rasa selanjutnya. Penanganan aksi unjuk rasa merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dilakukan, dalam hal ini diperlukan suatu kepemimpinan dari seorang pemimpin yang mampu menciptakan situasi atau keadaan yang dapat dikendalikan, diarahkan, dan dapat mempengaruhi para anggotanya agar tidak melakukan hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi kekacauan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersamasama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan (Kartini Kartono, 1994:181). Kepemimpinan di Dit Sabhara Polda Kalteng dipilih tidak berdasarkan kecakapan dan kelebihan di satu bidang khususnya dalam menangani unjuk rasa, tetapi berdasarkan promosi jabatan yang akan menunjang kepangkatan dan karir pejabat untuk masa yang akan datang. Akan tetapi di lihat dari riwayat jabatan yang telah sebelumnya ditempati, ada pernah menduduki salah satu jabatan di fungsi sabhara, hal ini sudah cukup menjadi modal untuk menjadi seorang pemimpin tertinggi di fungsi sabhara untuk tingkat polda, yaitu direktur Dit Sabhara Polda Kalteng. Pertimbangan tersebut tidak terlalu menjadi masalah karena dilihat dari situasi dan kondisi wilayah hukum Kalimantan Tengah yang tidak terlalu dituntut selalu siap siaga dan waspada dibandingkan di wilayah hukum di luar pulau Kalimantan. Seperti yang dikatakan seorang anggota pasukan dalmas “…Pemimpin disini sebenarnya tidak banyak memiliki kemampuan dan keahlian soal dalmas, tapi sebelumnya beliau pernah menjadi pejabat di Dit Sabhara Polda Metro, kemudian bru
ISSN: 2407-3881 promosi jabatan ke sini, jabatan penting buat karir…” (wawancara, 21 juni 2013) Dalam penanganan aksi unjuk rasa sebenarnya yang berperan dilapangan adalah pasukan dalmas dan para pemimpin pasukan terutama danki dan danton. Pemimpin yang paling tinggi yaitu direktur dalam hal ini berperan mengarahkan, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab tentang apa yang dan bagaimana tindakan yang dilakukan. Disinilah kepemimpinan seorang pemimpin dilihat apakah hubungan antara pemimpin dan orang yang dipimpinya efektif. Veithzal Rivai dan Deddy Muliyadi (2003:29) mengatakan bahwa kepemimpinan memerlukan hubungan yang efektif, artinya hubungan manusia dalam kepemimpinan adalah seseorang pemimpin dalam memperlakukan orang yang dipimpinnya yang akan memberikan tanggapan berupa kegiatan-kegiatan yang menunjang atau tidak bagi pencapaian tujuan kelompok/organisasinya. Seperti yang diungkapkan salah seorang anggota pasukan dalmas “…Hubungan pemimpin dengan pasukan dalmas kurang begitu akrab, masih ada jenjang yang memisahkan, nah kecuali danki dengan pak dir dan danton dengan anggota dalmas…” (wawancara, 22 juni 2013) Perbedaaan status antara perwira dan bintara di organisasi kepolisian pada umumnya sudah kelihatan tidak asing lagi, begitu juga halnya pada Dit Sabhara Polda Kalteng. Ketika dihadapkan pada suatu keaadan aksi unjuk rasa yang damai maupun anarkis para bintara yaitu anggota pasukan dalmas tidak diperbolehkan melakukan tindakan di luar komando atau perintah atasan/pemimpin (perwira), dan harus bersifat bersama-sama atau kelompok dan pasukan. Atasan/pimpinan mengambil keputusan atau perintah berdasarkan masukan dari danki maupun danton yang sudah berpengalaman dalam hal penanganan unjuk rasa serta melihat situasi dan kondisi yang berkembang pada saat itu. Tetapi disini, yang tetap yang menentukan semua kebijakan yang diambil apakah itu berdasarkan msukan dari bawahan atau tidak adalah pemimin
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 28
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015 utama yaitu direktur Dit Sabhara Polda Kalteng. Seperti yang di ungkapkan oleh seorang danton pasukan dalmas “…Kami disini hanya bisa memberi masukan atau saran kepada pimpinan dan menjalankan perintah beliau, diterima atau tidak yang memutuskan beliau (direktur)…” (wawancara, 25 juni 2013) Dilihat dari tipe kepemimpinan yang digunakan ini, kepemimpinan pada dit sabhara kepolisian daerah kalteng pada saat penanganan aksi unjuk rasa menganut tipe kepemimpinan otokratik-demokratik, hal ini dilihat dari beberapa ciri. Dalam pengambilan keputusan misalnya, seorang pemimpin dengan gaya yang otokratik akan mengambil keputusan sendiri, kemudian menyampaikan keputusan tersebut kepada para bawahannya yang pada gilirannya diharapkan menjalankan keputusan tersebut. Mungkin ciri kepemimpinan yang menonjol disini ialah ketegasan oleh perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas tanpa terlalu memperhitungkan unsur manusia pelaksana keputusan tersebut. Harus diakui bahwa ada tempat bagi gaya demikian, seperti misalnya apabila situasi yang dihadapi membuat faktor waktu dalam penyelesaian tugas menjadi pertimbangan utama. Sebaliknya, seorang pimpinan dengan gaya kepemimpinan yang demokratik akan berbagi wewenang pengambilan keputusan dengan para bawahannya dalam arti bahwa para bawahan diikuti sertakan dalam seluruh proses pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan dengan memilih model dan teknik pengambilan keputusan yang mengundang partisipasi maksimal dari dari para bawahan tersebut. Dengan gaya kepemimpinan yang demokratik, ciri kepemimpinan yang menonjol bukan lagi ketegasan, akan tetapi ciri lain, umpamanya menjadi pendengar yang baik dan perilaku manejerialnya pun bukan yang berorentasi kepada penyelesaian semata, melainkan juga memperhitungkan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
ISSN: 2407-3881 KESIMPULAN 1. Kepemimpinan pada Direktorat Sabhara Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dalam menangani unjuk rasa masih belum berpengalaman dan belum memiliki kemampuan khusus dalam menangani unjuk rasa. 2. Di dalam menangani unjuk rasa hubungan antara pemimpin yang paling tinggi yaitu direktur Dit Sabhara Polda Kateng dengan bawahan yaitu pasukan dalmas masih memiliki jarak. 3. Tipe kepemimpinan yang digunakan pada Dit Sabhara Polda Kalteng dalam menangani aksi unjuk rasa menganut tipe kepemimpinan otokrati-demokratik sesuai situasi dan kondisi di lapangan. SARAN 1. Kepada pimpinan Polri khususnya Polda Kalteng sebaiknya dalam menentukan pilihan seseorang yang akan menduduki jabatan sebagai pemimpin di satuan kerjanya agar diperhatikan atau dipertimbangkan apakah seseorang itu sudah berpengalaman atau memliki kemampuan khusus di bidang yang akan ditempatkan. 2. Kepada para pemimpin satuan kerja sebaiknya menerapkan hubungan interaksi antara bawahan dan atasan yang baik, guna kelancaran dalam melaksanakan tugas. 3. Untuk para anggota pasukan dalmas jalankan tugas dan perintah pimpinan dengan sungguh-sungguh, saling menghormati sesama rekan, junior, senior, maupun pimpinan, dalam rangka menciptakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya pada saat aksi unjuk rasa. REFERENSI Handoko, T Hani, 1984. Manajemen. Yogyakarta Kartono, Kartini, 1994. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Rajawali Pers Mabes Polri, 2007. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan. Jakarta Purwanto, M Ngalim, 1991. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 29
Restorica Vol. 1, Nomor 01, April 2015
ISSN: 2407-3881
Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Deddy, 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : Rajawali Pers. Siagian, Sondang P, 2010. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : PT Rineka Cipta Sugiyono,2008. Metode Penelitian Administrasi. Jakarta : Alfabeta Sutarto, 1998. Dasar Dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Pers Thoha, Miftah, 1983. Perilaku Organisasi. Jakarta : CV.Rajawali. Thoha, Miftah, 1983. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta : Rajawali Pers Mabes Polri, 2002. Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta Mabes Polri, 2006. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Jakarta Mabes Polri, 2008. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Jakarta UU RI No. 9 Tahun 1998, 1998. Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Jakarta
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara & Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Hal | 30