restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi. Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
BAB III PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA
A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen hukum Internasional yang menindak lanjuti perlindungan hak asasi manusia yang telah
Universitas Sumatera Utara
dideklarasikan didalam piagam PBB, dan DUHAM (Declarations Universal of Human Rights Tahun 1948).51 Ketentuan di dalam ICCPR seringkali dijadikan asas di dalam proses pengadilan bagi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya termasuk saksi dan korban. Hal yang sangat penting yang menyangkut korban dalam ICCPR ini adalah Optsional Protokol-nya, karena protokol ini bertujuan untuk mewujudkan tujuan dari ICCPR dengan cara menindak lanjuti perlindungan bagi korban dari pelanggaran ketentuan ICCPR. 52 Selain itu juga asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, persamaan didepan hukum (equality before the law), asas ganti rugi dan rehabilitasi, bantuan hukum serta asas pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan merupakan asas di dalam hukum acara pidana yang berdimensi perlindungan terhadap HAM, yang telah terakomodir dalam hukum positif Indonesia. 53 Upaya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk menjamin kepentingan korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi adalah dengan menetapkan PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagai aturan pelaksana dari UU Perlindungan Saksi dan Korban. PP tersebut setidaknya telah mengatur jelas mengenai jaminan perlindungan pada korban berupa pemberian kompensasi dan restitusi. Namun ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Pertama, PP tersebut tidak disusun dengan perspektif korban sehingga memunculkan banyak ketentuan yang akan berpotensi menghambat pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban. Kedua, beberapa ketentuan 51
Mukadimah ICCPR Mukadimah Opsional Protokol dari ICCPR. Opsional Protokol ICCPR tidak diratifikasinya oleh Pemerintah Indonesia yang menjadikan penegakan HAM di Indonesia menjadi timpang 52
53
Asas ini memberikan perlindungan terhadap HAM bagi orang yang terlibat pada peradilan pidana, maka asas ini bersifat umum, dalam artian dapat kita temukan di dalam hukum acara peradilan di seluruh dunia
Universitas Sumatera Utara
dalam PP tersebut masih melanjutkan kesalahan konsep dari regulasi sebelumnya yang seharusnya disinkronkan. Hal ini terkait dengan definisi dari kompensasi pada Pasal 1 ke4 PP No. 44 Tahun 2008, yang berbunyi: Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Definisi dari kompensasi tersebut tidak mengalami perubahan seperti halnya pada definisi kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Kompensasi dalam PP ini tidak memunculkan konsep tanggung jawab negara secara penuh dalam menjamin kompensasi dan restitusi bagi korban khususnya korban pelanggaran HAM berat. Prosedur mengenai syarat-syarat permohonan kompensasi dan bantuan oleh korban akan berimplikasi pada gagalnya korban memperoleh hak-haknya. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa korban dalam pengajuan permohonan kompensasi harus memenuhi syarat sebagai berikut:54 (1)
a. identitas pemohon; b. uraian tentang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat; c. identitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat; d. uraian tentang kerugian yang nyata-nyata diderita; dan e. bentuk Kompensasi yang diminta.
(2)
Permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
dilampiri: 54
Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP No. 44 Tahun 2008
Universitas Sumatera Utara
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang; b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan; d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia; e. surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban atau Keluarga Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat; f. fotokopi putusan pengadilan hak asasi manusia dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diputuskan oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan h. surat kuasa khusus, apabila permohonan Kompensasi diajukan oleh kuasa Korban atau kuasa Keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan pengajuan permohonan korban terhadap kompensasi dan restitusi yang diatur dalam The Procedure and Evidence Statuta Roma, yang hanya mengandung hal-hal khusus mengenai identitas korban, deskripsi tentang kerugiannya, lokasi dan tanggal terjadinya peristiwa, deskripsi tentang restitusi dan ganti rugi, tuntutan untuk mendapat kompensasi, tuntutan untuk mendapat rehabilitasi, dan dokumentasi termasuk nama dan alamat saksi. Prosedur tersebut memudahkan korban dalam mendapatkan hakhaknya. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia memang sudah merujuk pada standar hukum internasional yang termuat dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1985. Dalam PP No. 44 Tahun 2008 juga sudah diatur mengenai prosedur pengajuan kompensasi dan restitusi bagi korban, jangka waktu pengajuan dan pemberian kompensasi dan restitusi, tugas dan wewenang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan siapa yang berhak dalam mengajukan
kompensasi
dan
restitusi.Namun
dalam
PP
tersebut
perlunya
penyempurnaan dan penambahan atas aturan mengenai jumlah atau besaran kompensasi yang harus diterima korban pelanggaran HAM berat dan pertimbangan putusan mengenai kompensasi dan restitusi yang harus ada dalam amar putusan yang dapat menyebabkan korban menunggu untuk waktu yang lama dalam memperoleh hak-haknya.
B. Praktik Pemberian Kompensasi dan Restitusi di Indonesia 1. Pengadilan HAM Timor-Timur Kasus Timor-Timur bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia pada tanggal 27 Januari 1999 untuk memberikan dua opsi kepada rakyat Timor-Timur. Opsi tersebut
Universitas Sumatera Utara
adalah menerima atau menolak otonomi khusus. 55 Kekerasan bermula setelah jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Masyarakat internasional memandang kekerasan ini sebagai kejahatan HAM yang berat. Usul beberapa negara agar Dewan keamanan PBB untuk membentuk badan peradilan ad hoc seperti halnya kasus Yugoslavia dan Rwanda, berhasil digagalkan oleh Indonesia. Indonesia menyatakan masih dapat mengadili pelakunya berdasarkan hukum nasional Indonesia. 56 Berkaitan dengan diplomasi tersebut pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264 (1999). Resolusi tersebut mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat di Timor-Timur. Resolusi juga mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. 57 Atas dasar itulah pemerintah Indonesia mengundangkan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM. Bulan Februari 2002, Pengadilan HAM ad hoc ini mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur memeriksa dan mengadili 18 (delapan belas) orang terdakwa yang dibagi menjadi 12 (dua belas) berkas perkara. 58 Secara keseluruhan para terdakwa didakwa dan dituntut telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga wilayah di TimorTimur, yaitu Dili, Covalima dan Liquisa.
55
Bila menolak berarti rakyat Timor-Timur memilih untuk merdeka. 56 I wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV Yrama Widya, Bandung, 2004, hlm. 95.
57
Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 234. dalam Sumaryo Suryokusumo, Pengadilan Ad hoc bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di TimTim, Suara Pembaruan, Jakarta, 7 Maret 2002. Dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., hlm. 10. 58 Yaitu Abilio Soares; Timbul Silaen; Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito); Eurico Guterres; Soedjarwo; Endar Priyanto; Adam Damiri; Hulman Gultom; M Noer Muis; Jajat Sudrajat; Tono Suratman dan Asep Kuswani dkk (Adios Salova, Leonito Martins).
Universitas Sumatera Utara
Dari 18 orang terdakwa ini, 12 orang dinyatakan bebas dan 6 orang lainnya dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi pidana. Namun, putusan pengadilan, baik yang menyatakan bebas maupun bersalah, semuanya mengakui bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat Timor-Timur telah mengakibatkan jatuhnya korban penduduk sipil yang banyak, baik harta maupun nyawa, laki-laki dan perempuan. Namun, pada Proses Pengadilan HAM Timor-Timur ini, walaupun dinyatakan telah jatuh korban, isu atau masalah hak-hak korban ini sama sekali tidak muncul. Bahkan, tidak ada satupun putusan pengadilan, baik dalam pertimbangan maupun amar putusannya yang membahas atau mencantumkan mengenai hak kompensasi dan restitusi. Tidak dibahas atau dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat mengherankan, mengingat pengadilan telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM yang berat di TimorTimur menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa tersebut. Tidak adanya pembahasan ataupun putusan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana yang ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Namun, terlepas dari tidak adanya permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban dalam pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip internasional yang telah diakui oleh hukum internasional.
2. Pengadilan HAM Tanjung Priok September 1984
Universitas Sumatera Utara
Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok ini bermula dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Atas kejadian tersebut pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, didalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Musholla As Sa’adah yang ditahan. Akan tetapi ke-empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Dari peristiwa di atas, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus Tanjung Priok ini. Untuk itu dibentuklah Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan ini sama dengan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc TimorTimur yang didasari oleh UU Pengadilan HAM. 59 Dalam proses peradilan perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini terdapat ishlah antara pihak korban dan tertuduh. Dalam dokumen piagam ishlah kasus Tanjung Priok jelas terlihat bahwa adanya perubahan persepsi dari korban kasus Tanjung Priok dalam melihat permasalahan peristiwa Tanjung Priok. Perubahan cara pandang
59
Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000
Universitas Sumatera Utara
juga terlihat dalam hal bagaimana seharusnya kasus Tanjung Priok ini akan diselesaikan. Piagam ishlah tersebut berisikan, bahwa pilihan melakukan ishlah adalah pilihan yang didasarkan pada keyakinan agama dan kesadaran para pihak secara sukarela. Para korban dan pelaku yang dalam piagam ishlah tersebut menyatakan perdamaian dan melakukan permaafan. 60 Kasus ini ditangani oleh Komnas HAM pada tahun 2000. Komnas HAM membentuk tim ad hoc dengan nama Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM untuk KP3T (Kasus Tanjung Priok). Hasil penyelidikan dan pemeriksaan pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus Tanjung Priok kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung yang kemudian meminta Komnas HAM untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T mengenai beberapa hal yaitu: 61 a. Pemastian jumlah korban 24 orang dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan dan pemeriksaan dokumen di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. b. Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 (sembilan) orang (keluarga Tan Keu Lim) oleh massa. c. Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi. d. Perumusan ulang rekomendasi.
60
Proses pemeriksaan kesaksian di Kejaksaaan Agung dilakukan sekitar bulan Februari 2001, sedangkan ishlah dilakukan pada tanggal 1 Maret 2001. Proses pemeriksaan di sidang pengadilan mengacu pada berkas acara pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung bulan Februari 2001 sebagaimana tertuang dalam BAP. 61
Laporan Tahunan 2002, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta April 2003.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu Komnas HAM dalam rapat paripurna 12 Juli 2000 telah memutuskan untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T. Dalam kesimpulan akhirnya tim lanjutan menyatakan antara lain: 1. Tentang Jumlah Korban a) Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto, dan usaha mencari saksi-saksi tambahan. Dari hasil penggalian di Tempat Pemakaman Umum Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dan TPU Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya, walaupun ada selisih jumlahnya korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon. b) Korban terbakar Keluarga Tan Keu Lim 9 (Sembilan) orang meninggal terbakar di rumah tempat tinggal korban. Kebakaran ini diduga keras sengaja dilakukan oleh rombongan massa yang bergerak ke arah markas Kepolisian Sektor Koja.
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok yang terjadi pada 1984. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2 orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti bersalah. 62 Dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok praktik mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut diterapkan secara progresif oleh pengadilan, terutama dalam
62
Yang dinyatakan bersalah adalah R. Butar-butar dan Sutrisno Mascung dkk. Sedangkan yang dinyatakan tidak bersalah adalah Sriyanto dan Pranowo.
Universitas Sumatera Utara
putusan Sutrisno Mascung, dimana dalam amar putusan pengadilan yang secara tegas mencantumkan mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok.63 Signifikansi diakuinya hak-hak korban tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim dalam memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, yakni : 1. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan. 2. Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka secara otomatis, akibat dari peristiwa (yang dilakukan terdakwa), korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. 3. Adanya pengajuan permohonan secara tertulis dari korban dan atau ahli waris korban kepada ketua majelis hakim yang memeriksa perkara. 4. Korban (pemohon) belum pernah mendapatkan bantuan apapun, berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dari pihak manapun (baik terdakwa/pelaku maupun dari pihak lainnya).
Namun, ada satu kekurangan mendasar dari putusan kompensasi dan restitusi yang diputuskan pengadilan HAM Tanjung Priok tersebut, Pengadilan tidak menerangkan bagaimana metode penghitungan ganti kerugian yang menghasilkan nominal yang ditetapkan pengadilan. Majelis hakim hanya mempertimbangkan kerugian 63
Walaupun putusan mengenai kompensasi ini terlebih dahulu diputuskan dalam Perkara No. : 03/Pid.HAM/Ad Hoc/2003 a.n. terdakwa R. Butar-Butar. Namun, dalam amar putusannya Majelis Hakim tidak menyebutkan kriteria mengenai korban yang berhak mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi. Dalam putusannya Majelis Hakim hanya menyebutkan bahwa karena korban sudah cukup lama menderita, tidak saja korban yang langsung tetapi juga dirasakan oleh keluarga korban dan ahli warisnya, yaitu para korban yang meninggal dunia dan korban yang menderita luka serta cacat baik itu cacat sementara ataupun cacat seumur hidup. Oleh karenanya, pengadilan memutuskan untuk memberikan kompensasi kepada korban atau ahli warisnya. Lihat putusan No. : 03/Pid.HAM/Ad Hoc/2003 atas nama terdakwa R. Butar-Butar, 30 April 2004, hlm. 59-60.
Universitas Sumatera Utara
materiil dan imateriil yang dialami korban. Kerugian materiil dimaksud adalah hilangnya harta benda, hilangnya pekerjaan, dan biaya pengobatan. Sedangkan kerugian imateriil berupa stigmatisasi dan pengungkapan kebenaran selama 20 tahun. 64 Korban yang diwakili oleh pendampingnya dari Kontras, telah menyampaikan metode penghitungan ganti kerugian untuk korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini. Dalam suratnya tertanggal 30 Juni 2004, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, korban dan Kontras mengajukan metode penghitungan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Metode yang diajukan tersebut dilakukan bersifat gabungan antara yang individualis dan kolektif, yang berarti ada penghitungan yang didasari atas kerugian yang dialami per pribadi dan ada kompensasi yang ingin diterima dan diperoleh secara bersama. Disamping itu, karakteristik korban dan tipologi kerugian yang dialami korban pun menjadi acuan untuk melakukan penghitungan terhadap kerugian yang dialami korban ini. Adapun cara untuk menghitung kerugian materiilnya, metode yang diajukan korban adalah dengan menghitung nilai kerugian (NK) x harga emas pada tahun 2004 : harga emas tahun (n) x 0,5. kemudian setelah diketahui hasilnya ditambah dengan 6% dari hasil tersebut. Majelis hakim juga tidak merinci tata cara pemberian dan kapan korban dapat mendapatkan kompensasi yang diterimanya. Majelis hakim secara sumir hanya menyatakan bahwa “kompensasi diberikan melalui mekanisme dan tata cara pelaksanaan yang telah diatur oleh PP No. 3 Tahun 2002, serta dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak”. 64
Penghitungan Kompensasi Korban Pelanggaran HAM Tanjung Priok”, yang dikeluarkan Kontras, Jakarta, Juni 2004.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan instansi terkait yang akan mengeksekusi putusan mengenai kompensasi tersebut, karena tidak jelas siapa yang harus menginisiasinya serta kapan kompensasi tersebut harus diberikan kepada korban. Dan sampai sekarang, ketiga belas orang korban yang disebutkan dalam amar putusan tersebut, tidak satupun dari mereka yang telah menerima kompensasi sebagaimana yang diputuskan pengadilan, walaupun mereka telah berjuang kemana-mana untuk mendapatkan haknya tersebut. 65 Bahkan, dalam perkembangan terakhir, korban melalui kuasa hukumnya dari Kontras telah mengajukan permohonan penetapan eksekusi atas putusan Pengadilan HAM ad hoc pada 20 Agustus 2004 yang memutuskan negara harus memberikan kompensasi kepada 13 (tiga belas) orang korban Tanjung Priok berupa kompensasi materil sejumlah Rp.658.000.000,- dan imateriil sejumlah Rp.357.500.000, yang tidak kunjung dipenuhi. 66 Permohonan korban tersebut kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam penetapannya hakim tunggal, Ny. Martini Marjan, S.H merujuk pada putusan Mahkamah Agung yang membebaskan para terdakwa peristiwa Tanjung Priok. Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk memenuhi apa yang dimohonkan para korban. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2007 tersebut seolah mengirim pesan kepada masyarakat bangsa Indonesia bahwa keadilan buat korban
65
Surat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) No. 250/SKKontras/VI/2004 yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI; Kompas, 26 Mei 2004, 18 Juni 2004, 24 Juni 2004, 7 Agustus 2004, 21 Agustus 2004, 6 September 2004, dan 10 September 2004. 66 Permohonan penetapan eksekusi putusan kompensasi, yang telah didaftarkan pada 31 Januari 2007 dengan No. Perkara 18/PDT.P/2007 PN Jakarta Pusat.
Universitas Sumatera Utara
peristiwa Tanjung Priok telah berakhir. Tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan korban dan keluarganya untuk memperoleh hak dan keadilan yang selama puluhan tahun diperjuangkan. Rekomendasi dari Komnas HAM: a. Para pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM yang berat harus dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku b. Untuk mewujudkan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, terhadap korban pelanggaran HAM, maka: -
Pemerintah meminta maaf kepada korban/keluarga dan masyarakat luas atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok
-
Merehabilitasi nama baik korban
-
Memberikan kompensasi yang layak kepada korban/keluarga korban
Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai orang hilang. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan korban dan mengembalikan kepada keluarga yang bersangkutan
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan terhadap permasalahan hukum yang berkenaan dengan kompensasi dan restitusi bagi korban dalam pelanggaran HAM yang dihubungkan dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Statuta Roma, maka penulis menarik kesimpulan dan kemudian memberikan saran-saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak “ganti rugi” kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas mengakibatkan adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa korban pelanggaran HAM mempunyai hak atas kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 3 Tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada satupun korban pelanggaran HAM yang berat mendapatkan hak atas kompensasi dan restitusi. Hal ini diakibatkan karena adanya kelemahan baik mengenai konsep kompensasi dan restitusi maupun mengenai prosedur pemenuhannya. Kelemahankelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan ketentuan tentang kompensasi dan restitusi dalam pengadilan HAM, dan dikomparasikan dengan ketentuan dalam hukum internasional. Bahwa sejak tahun 2006 telah muncul UU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga mengatur tentang hak
Universitas Sumatera Utara
korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan hak korban atas restitusi. Namun, pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ternyata tidak memberikan pengertian yang memadai tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan bahwa pengaturan tentang pemberiaan kompensasi dan restitusi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti UU Perlindungan Saksi dan Korban mengulangi kesalahan konsep kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan prosedur dan kegagalan dalam penerapan hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan semakin jauh dalam mendapatkan atas pemulihan yang efektif sebagaimana dipersyaratkan dalam berbagai instrumen internasional. Statuta Roma 1998 sebagai salah satu instrumen hukum internasional, telah jelas mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan hukum internasional dalam menjamin hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM berat, seperti pengaturan khusus tentang ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja yang menjamin mengenai ganti kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit Saksi dan Korban oleh Panitera yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas seperti yang ditentukan dalam Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat memudahkan korban untuk meminta hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi dan restitusi. 2. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban berupa kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Korban dan Saksi, sebagai aturan pelaksana dari UU Perlindungan Saksi dan
Universitas Sumatera Utara
Korban. PP tersebut telah menjelaskan bagaimana korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi dan yang terpenting adalah tugas dan wewenang dari LPSK sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian bantuan pada Saksi dan Korban.
B. Saran 1. Bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara jelas sebagai panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk kompensasi dan restitusi. Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam bentuk uang harus juga ada panduan dan rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti: kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan. 2. Perlunya pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul tanggung jawab negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
Universitas Sumatera Utara