Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
RESPONS KYAI SALEH DARAT SEMARANG TERHADAP BUDAYA LOKAL DALAM KITAB MAJMÛ’AT
ASY-SYARÎ`AT AL-KÂFIYAH LI AL-`AWÂM Muslich Shabir
Pendahuluan Apabila kita meneliti perkembangan penulisan kitab-kitab keagamaan berbahasa Jawa yang sudah dapat didapatkan sebelum abad ke-19 M. (Bruinessen, 1995: 113) tidak hanya menenkankan kepada tasawuf saja, tetapi meliputi berbagai cabang ilmu keislaman seperti: tafsir, tauhid, fiqh dan tasawuf. Kitab-kitab berbahasa Jawa itu ada yang merupakan terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab maupun bukan terjemahan. Di antara pengarang kitab agama yang berbahasa Jawa itu adalah Haji Ahmad Rifa`i dari Kalisalak (1786 -1875) dengan karyanya antara lain: Husn a1Mathâlib, Asn al-Maqâshid, Jam' a1-Masâ’i1, Abyân a1-Hawâ’ij dan Ri'âyat a1-Himmah. (Steenbrink, 1984: 106) Kitab keagamaan yang berasal dari Bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, bahkan dengan menggunakan huruf Jawa (hanacaraka) adalah kitab Tuhfah (diterbitkan oleh S. Keyzer pada tahun 1853) (Bruinessen, : 114) yang merupakan kitab fiqh madzhab Syafi`i. Penulis lain yang cukup produktif yang hidup pada abad ke-19 M. sampai awal abad ke-20 M. adalah Kyai Haji Muhammad Shalih bin `Umar as-Samarani (1820-1903), yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Saleh Darat. Karya-karya tulisnya kurang lebih berjumlah 12 buah dengan menggunakan bahasa Jawa bera ksara Arab. Salah satu kitab yang ditulisnya adalah Majmû`at asy-Syarî`at al-Kâfiyah li al-`Awâm. Kitab Majmû’at yang menggunakan bahasa Jawa berhuruf Arab pegon itu mempunyai kekhususan tersendiri, di mana di dalamnya diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan budaya lokal, yakni budaya yang terjadi di lingkungan kehidupan Kyai Saleh. Dalam pengertian yang luas, budaya adalah pancaran daripada budi dan daya, dan merupakan aktivitas yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi tradisi atau adat istiadat. Tradisi merupakan khazanah yang terus hidup dalam masyarakat secara turun temurun yang keberadaannya selalu dijaga dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi mengandung makna adanya kesinambungan antara kejadian di masa lalu dan kondisi sekarang. Dalam memahami tradisi, disyaratkan adanya gerak yang dinamis. Dengan demikian, tradisi tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang diwariskan tetapi sebagai sesuatu yang dibentuk. Dengan demikian, tradisi merupakan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan yang otomatis mengacu pada masa lalu. Dalam tradisi ada dua hal penting yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk pada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk pada pembentukan dan penanaman tradisi kepada orang lain (Yahya, 1999: 2).
374 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Kyai Saleh yang hidup di daerah Semarang, Jawa Tengah sangat memperhatikan budaya atau adat istiadat sekitar sehingga secara langsung beliau memberikan respons atas budaya yang berkembang. Di antara budaya lokal itu, ada yang dinilainya positif sehingga perlu dilestarikan dan ada yang dinilanya negatif sehingga perlu diluruskan. Budaya yang diresponsnya itu ada yang menyangkut masalah akidah, syari’ah dan akhlak. Biografi Kyai Saleh Darat dan Karya Tulisnya Nama yang sering dicantumkan dalam beberapa kitab karyanya adalah Syeikh Haji Muhammad Shalih bin `Umar as-Samarānī, tetapi dia lebih dikenal dengan Kyai Saleh Darat. Dicantumkannya kata Darat karena dia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yakni suatu daerah dekat pantai utara Semarang tempat mendaratnya orang-orang dari luar Jawa. Wilayah itu kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Semarang Barat. Kyai Saleh dilahirkan di Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara. Secara tepat, tidak diketahui tanggal dan bulan kelahiranya, sedangkan tahunnya diperkirarakan 1820. Ayahnya bernama `Umar, biasa dipanggil Kyai `Umar, salah seorang pejuang dan kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa bagian utara, khususnya Semarang. Riwayat pendidikan Kyai Saleh adalah bahwa pertama-tama ia belajar agama kepada ayahnya sendiri kemudian dilanjutkan belajar kepada beberapa ulama' baik di tanah air maupun di Makkah al-Mukarramah. Nama-nama gurunya yang berada di tanah air antara lain: KH Muhammad Syahid (Waturojo, Margoyoso, Kajen, Pati), KH Raden Muhammad Shalih bin Asnawi (Kudus), Kyai Ishak Damaran Semarang, Kyai Abu `Abdillah Muhammad al-Hadi bin Baquni Semarang, Ahmad Bafaqih Ba`alwi Semarang, dan Syekh `Abdul Ghani Bima Semarang. Selanjutnya Muhammad Shalih melanjutkan pelajarannya ke Makkah karena waktu itu (sejak sebelum abad ke-19 Masehi apalagi pada abad ke-19) banyak orang Islam Indonesia yang menuntut ilmu di sana. Oleh karena itu Karel A. Steenbrink mengambil kesimpulan bahwa pada abad ke-19, hubungan antara Indonesia dan Makkah sudah sangat erat. (Steenbrink, 1984: 4). Nama-nama gurunya ketika ia belajar di Makkah al-Mukarramah antara lain: Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad al-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi al-Makki, Syekh Zaid, Syekh `Umar al-Syami, Syekh Yusuf as-Sanbalawi al-Mashri, dan Syekh Jamal. (AsSamarani, 1343: 118). Setelah kembali dari belajar di Makkah al-Mukarramah, Kyai Saleh mendirikan sebuah pesantren di daerah pantai utara Semarang (kini bernama Jalan Bojong). Saat ini bangunan pesantren sudah tidak ada lagi, telah berubah menjadi tempat tinggal biasa; yang masih dapat dilihat adalah bekas bangunan suraunya saja. Di antara santri yang belajar kepadanya ada yang dari dalam kota sendiri dan ada yang dari luar kota. Santri-santri yang berasal dari dalam kota antara lain: Ali Barkan (Kampung Pencikan), Syakban (Kampung Terboyo), Sahli (Kampung Kauman). Santri-santri yang berasal dari luar kota ada yang daro Kendal, Pekalongan, Sayung, Demak Bareng, Rembang, Salatiga, Yogyakarta, Tremas dan lain-lain. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan pondoknya, jumlah santri yang belajar kepada Kyai Saleh lebih dari seratus orang. Ada beberapa santrinya yang kemudian dikenal luas dalam masyarakat tidak hanya di tingkat Jawa Tengah, tetapi di tingkat nasional,
MUSLICH SHABIR
Respons Kyai Saleh Darat 375
misalnya: KH Hasyim Asy`ari (Tebuireng Jombang, pendiri Jam`iyah Nahdlatul `Ulama), KH Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KHR Dahlan (Tremas), Kyai Amir (Pekalongan), Kyai Idris (Surakarta), KH Abdul Hamid (Kendal), Kyai Khalil (Rembang), Kyai Penghulu Tafsir Anom (Kraton Surakarta). (Salim, 1995: 44-47). Kyai Saleh wafat di Semarang pada tanggal 28 Ramadhan 1321 H. bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1903, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota yang kemudian jalan menuju ke pemakaman itu diberi nama Jalan Kyai Saleh. Meskipun wafatnya tanggal 28 Ramadhan, akan tetapi masyarakat memperingati hari wafatnya atau yang dikenal dengan istilah khol tanggal 10 Syawal. Dipilihnya tanggal itu barangkali dengan pertimbangan bila dilaksanakan pada tanggal 28 Ramadhan akan merepotkan masyarakat karena masih berada dalam suasana puasa dan menjelang hari raya (`Idul Fithri). (Salim, 1995: 57-58). Kitab-kitab yang ditulis oleh Kyai Saleh hampir semuanya menggunakan Bahasa Jawa, dan sebagian besar merupakan karya terjemahan. Di antara kitab-kitab yang ditulisnya adalah: Majmû`at asy-Syarî`at al-Kâfiyah li al-`Awâm, Kitab Munjiyât Metik Saking Ihyâ’ `Ulûm ad-Dîn, merupakan petikan dari Kitab Ihyâ’ `Ulûm ad-Dîn karya Imam alGhazali jilid 3 dan 4; Matn al-Hikam, ringkasan dari kitab Al-Hikam karya Ahmad bin `Athaillah al-Iskandari, ditulis pada tahun 1289 H; Lathâ’if ath-Thahârah wa Asrâr ash-Shalâh, menjelaskan tentang rahasia dan hakikat şalat dan puasa, keutamaan bulan Muharram termasuk `Asyura, keutamaan bulan Rajab dan keutamaan bulan Sya`ban, ditulis pada tahun 1307 H; Manâsik al-Hajji wa al-‘Umrah; Kitab Pasolatan; Sabîl al-`Abîd `alâ Jauharat atTauhîd, merupakan terjemahan dari kitab tauhid karya Ibrahim Laqqani; Al-Mursyid alWajîz, membahas secara rinci tentang al-Qur’an; Hadîts al-Mi`râj, ditulis pada tahun 1315 H; Kitâb al-Mahabbah wa al-Mawaddah fî Tarjamah Qaul al-Burdah fî al-Mahabbah wa al-Madh ‘alâ Sayyid al-Mursalîn, ditulis tahun 1321 H, merupakan syarah atas kitab Maulid al-Burdah karya Muhammad bin Sa`id al-Bushiri (1212-1296 H.); Faidh ar-Rahmân fî Tarjamah Tafsîr Kalâm al-Mâlik al-Dayyân, hanya sampai pada juz enam, ditulis pada tahun 1312 H/1894 M; dan Minhâj al-Atqiyâ’ fî Syarh Hidâyat al-Adzkiyâ’ ilâ Tharîq al-Auliyâ’ yang selesai ditulis tanggal 11 Dzulqa`dah 1316 H. Kitab ini merupakan terjemahan dan syarah atas kitab Hidâyat al-Adzkiyâ’ ilâ Tharîq al-Auliyâ’ karya Zainuddin bin `Ali al-Malibari (872-928 H.) (Danuwiyoto, 1977: 48-56; Munir, 2008: 60-71). Sekilas tentang Kitab Majmû`at asy-Syarî’at al-Kâfiyah li al-`Awâm Kitab Majmû`at karangan Kyai Saleh ini ditulis oleh Jazuli pada tanggal 8 Sya`ban 1309 H/1892 M. Kitab ini diterbitkan pertama kali oleh Haji Muhammad Shadiq di Singapura tahun 1317 H, kemudian oleh al-Karimi di Bombay tahun 1336 H, dan oleh alMishriyah di Cirebon tahun 1374 H. (Salim, 1995: 8-9; Munir, 2008: 92). Kitab ini dikatagorikan sebagai kitab fiqh dan merupakan satu-satunya karya penting berbahasa Jawa di bidang ini. (Bruinessen, 1995: 128). Sesuai dengan judulnya, kitab ini merupakan rangkuman atau ensiklopedi dari syari`at yang diperuntukkan bagi orang awam. Para ulama’ memberikan pengertian tentang syari’at Islam yaitu apa yang disyari`atkan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang
376 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
meliputi akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah (Al-Qaththan, tt.: 15). Pengertian ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh kitab Majmû`at yang meskipun menitikberatkan pada masalah fiqh yang erat kaitannya dengan hukum yang sangat dibutuhkan oleh orang awam dibahas juga tentang akidah dan akhlak. Kitab Majmû`at yang dicetak oleh al-Mishriyah dan kemudian dicetak ulang oleh Karya Toha Putera Semarang terdiri atas 275 halaman dengan rincian: 1. Pendahuluan, halaman 1-4; di dalamnya dijelaskan tentang pentingnya menuntut ilmu dan masalah hidayah dari Allah. 2. Masalah akidah, halaman 4-41; di dalamnya terdapat 12 fasal/bab yang menjelaskan tentang: rukun Islam, rukun iman, ihsan, sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul termasuk nasab Nabi Muhammad s.a.w., wajibnya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, rukun syahadat, menjaga iman dan Islam agar jangan sampai rusak/murtad, macam-macam dosa dan maksiat. 3. Masalah shalat, halaman 41-95; di dalamnya terdapat 23 fasal/bab yang menjelaskan tentang: syarat shahnya shalat, hadas dan najis termasuk cara mensucikannya, masalah wudhu’, tayammum, mandi, haidh, macam-macam najis, shalat-shalat yang wajib, waktu shalat, syarat dan fardhu/rukun shalat, shalat jama`ah, syarat makmu, shalat Jum`at termasuk keutamaan hari Jum’at dan macam-macam shalat Jum`at, bepergian, shalat dua hari raya, shalat istisqa’, shalat gerhana, shalat-shalat sunat, pakaian, dan shalat jenazah. 4. Masalah zakat, halaman 95-100; di dalamnya terdapat satu fasal yakni zakat fithrah. 5. Masalah puasa, halaman 100-110; di dalamnya terdapat lima fasal yang membahas: hal-hal yang membatalkan puasa, macam-macam puasa, fidyah puasa, i`tikaf, dan kafarat. 6. Masalah haji dan `umrah, halaman 110-145; di dalamya terdapat 15 fasal/bab yang membahas: pengertian haji dan `umrah, keutamaan baitullah, keutamaan haji dan `umrah, rukun haji, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, thawaf dan sa`i, potong rambut, mabit di Mina, wada`, waktu untuk haji dan `umrah, ihram, hal-hal yang haram ketika ihram, ihshar, tata kerama berhaji, dan amalan-amalan yang penting ketika berhaji. 7. Masalah jual beli dan hal-hal yang terkait dengan mu`amalah, halaman 145-174; di dalamnya terdapat sembilan fasal/bab yang membahas: riba, hutang piutang, halal dan haram, jual beli yang dilarang,` âriyah, ghashab, qardh, mukhâbarah wal muzâra`ah, dan ijârah. 8. Masalah nikah, halaman 174-256; di dalamnya terdapat 18 fasal/bab yang membahasa: pentingnya nikah dan hal-hal yang terkait dengan hukum nikah, sunat nikah, khithbah, nazhar, rukun-rukun nikah, akad nikah, menikahi orang yang merdeka, kafâ’ah, apa-apa yang diharamkan dalam nikah, khiyâr, maskawin, gugurnya maskawin, tata cara akad nikah, walimah, etika mu`âsyarah, hak suami atas istri, `iddah, masa `iddah, dan rujuk. 9. Masalah hudud, halaman 256-258; di dalamnya tidak ada fasal/bab, pembahasannya tentang: had orang yang berzina, peminum minuman keras, pencuri dan perampok/penyamun.
MUSLICH SHABIR
Respons Kyai Saleh Darat 377
10. Masalah penyembelihan binatang, halaman 258-273; di dalamnya terdapat tiga fasal, pembahasannya: rukun dan tata cara menyembelih binatang, makanan yang halal dan haram serta masalah qurban dan aqiqah. 11. Masalah memerdekakan budak, halaman 273-275, di dalamnya tidak ada fasal/bab, pembahasannya adalah tentang keutamaan memerdekakan budak dan macam-macam budak. Kitab Majmû`at memang tidak bisa dikatagorikan sebagai kitab fiqh utama seperti Muharrar atau Tuhfat al-Muhtâj, tetapi juga tidak bisa dikatagorikan sebaggai fiqh pengantar Safînat an-Najâh atau Taqrîb. Kitab Majmû`at ini bisa dikatakan sebagai kitab fiqh sederhana untuk orang awam namun pembahasannya cukup lengkap dan dilengkapi dengan dalil-dalil AlQur’an, hadits, pendapat para shahabat dan ulama. Hadits yang ada di dalamnya baik yang terjemahan maupun yang berbahas a Arab berjumlah 117 hadits, 65 di antaranya dikutip dari Ihyâ’ `Ulum ad-Dîn karya Imam Ghazali. (Salim, 1995: 210). Kyai Saleh tidak memperhatikan kualitas hadits -hadits yang dipergunakan sebagaimana Imam Ghazali juga kurang memperhatikan kualitas hadits-hadits yang ada di dalam Ihyâ’ `Ulum ad-Dîn. Tampaknya kitab Ihyâ’ menjadi rujukan utama terutama di dalam masalah ibadah (di samping kitab-kitab fiqh seperti Fath al-Wahhâ dan al-Iqnâ’) sehingga Kitab Majmû`at ini mengandung unsur-unsur tasawuf. Hal itu bisa dilihat misalnya ketika membicarakan ruh shalat seperti hadirnya hati ketika shalat, paham akan arti yang dibacanya, mampu mengagungkan Allah ketika shalat, merasa takut kepada Allah yang disembah, merasa malu karena shalatnya belum sempurna dan lain sebagainya. Kitab Majmû`at merupakan salah satu kitab yang banyak diajarkan di daerahdaerah yang banyak dihuni oleh umat Islam, khususnya di Semarang, Kendal, Pekalongan, Cirebon, Demak, Kudus, Rembang dan lain-lain. Di daerah Wedung Putih Demak, sekitar tahun 1950-an, ada suatu kebiasaan bahwa sebelum menikah seseorang harus sudah khatam membaca kitab ini. Di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, bila ada santri yang tidak mengalami kemajuan dalam mengaji kitab berbahasa Arab dianjurkan untuk berhenti dan selanjutnya mempelajari Majmû`at karena kitab ini sudah dapat membimbing orang Islam yang awam. (Salim, 1995: 93-96). Budaya Lokal yang Mendapatkan Respons Kyai Saleh Darat dalam Kitab Majmû`at
asy-Syarî’at al-Kâfiyah li al-`Awâm
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa meskipun Kitab Majmû`at ini dikelompokkan ke dalam kitab fiqh, namun di dalamnya dibahas pula masalah akidah dan akhlak. Dengan demikian, budaya atau adat istiadat yang direspons oleh Kyai Saleh Darat meliputi tiga bidang, yang penjelasannya sebagai berikut: Pertama, masalah akidah, di mana di sini beliau menyoroti beberapa hal: 1. Kyai Saleh menyatakan bahwa murtad itu ada tiga macam, yaitu pertama murtad yang terkait dengan i`tiqad seperti meyakini qadimnya alam, kedua murtad karena ucapan
378 Annual Conference on Islamic Studies
1.
2.
3.
4.
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
seperti mengatakan ”Tuhan itu tiga”, dan yang ketiga murtad yang terkait dengan perilaku dan pakaian. Dalam murtad yang ketiga ini beliau mengatakan sekiranya ada seseorang sujud kepada berhala atau memuliakan danyang1 merkayangan dengan memberikan sesajian berupa makanan di dapur, di sawah atau di tempat-tempat lain yang diperkirakan ada jin dengan harapan dapat memberikan manfaat atau menolak madarat. Beliau mengingatkan supaya orang Islam jangan sekali-kali melestarikan adat untuk memberikan sesaji karena perbuatan semacam itu bisa menjadikan kafir seseorang. (As-Samarani, 1374: 23-24). Kebiasaan orang desa yang suka membuat acara shadaqah bumi dengan tujuan menghormati danyang yang dianggap menjaga desa dan dapat memberikan manfaat kepada penduduk desa dan juga yang menjaga sawah dan lain sebagainya maka yang demikian itu dapat membawa kepada kekufuran karena setiap manusia harus mempunyai keyakinan bahwa semua makhluk, termasuk jin, manusia, syetan, malaikat, iblis dan hewan itu lemah, tidak bisa membuat apa-apa tanpa kehendak Allah. (AsSamarani, 1374: 24). Terkait dengan pakaian, Kyai Saleh berpendapat bahwa orang Islam haram mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian non muslim seperti menggunakan jas, topi atau dasi meskipun hatinya tidak suka.2 Demikian juga seorang muslim tidak boleh makan seperti makannya orang non muslim. Beliau mengemukakan dalil ”Laisa minnâ man tasyabbaha bighairinâ”. (As-Samarani, 1374:25) Meskipun di sini Kyai Saleh tidak secara langsung menyatakan anti penjajah, namun tersirat suatu pandangan ketidaksenangannya terhadap penjajah. Fatwa semacam ini tersebar luas sebelum Indonesia merdeka. Sudah menjadi kebiasaan sebagian orang Jawa ketika sungkem kepada orang yang lebih tua atau juga kepada kedua orang tuanya sendiri menundukkan diri dengan berlebihan. Kyai Saleh memberikan hukum haram atas perbuatan yang semacam itu. Perbuatan itu bisa menjadikan kufur bila terkandung niat menghormati orang yang disungkemi sebagaimana ta`zhimnya kepada Allah. Demikian juga haram bagi seseorang untuk membungkukkan punggungnya kepada orang kaya karena mengharapkan hartanya (As-Samarani, 1374: 26). Di kalangan orang Jawa sudah menjadi kepercayaan dan tradisi ketika melaksanakan suatu hajatan, misalnya melangsungkan pernikahan, khitanan, mendirikan rumah dan lain sebagainya menghitung hari dan pasarannya. Orang Jawa memiliki hari pasaran yaitu: pahing, pon, wage, kliwon dan legi/manis. (Tanojo, t.t.,: 16). Hari-hari pasaran itu mempunyai arti penting bagi seseorang sehingga penentuan pelaksanaan suatu kegiatan yang penting harus dihitung hari dan pasarannya terlebih dulu. Dalam merespons kepercayaan yang seperti ini, Kyai Saleh sangat menentangnya dan mengatakannya sebagai sesuatu yang haram, berdosa besar bahkan bisa menjadikan kufur murtad. (As-Samarani, 1374:31).
Kedua, masalah syari`ah atau hukum-hukum yang terkait dengan ibadah, mu`amalah, munakahat dan makanan. 1. Kyai Saleh tidak sependapat dengan khutbah Jum`ah yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa.3 Beliau berpendapat bahwa dua khutbah Jum’ah harus
MUSLICH SHABIR
2.
3.
4.
5.
6.
Respons Kyai Saleh Darat 379
menggunakan Bahasa Arab, tidak boleh dengan bahasa lokal. Kalau ada keinginan agar khutbah itu bisa dipahami oleh para jama`ah, maka beliau memberikan solusi dengan menerjemahkan khutbah itu dengan bahasa setempat. (As-Samarani, 1374: 75). Bila ada orang meninggal dunia, menjadi suatu kebiasaan untuk membuat selamatan sekembalinya dari makam atau pada malam harinya yang dinamakan dengan nyahur tanah. Demikian juga pada hari ketiga, ketujuh dan sebagainya. Kyai Saleh berpendapat bahwa bila mayit meninggalkan anak yang belum baligh maka haram hukumnya untuk membuat shadaqah semacam itu. Beliau menyatakan bahwa shadaqah semacam itu termasuk bid’ah munkarah yang tidak boleh dikerjakan. Beliau menjelaskan bahwa sebenarnya shadaqah untuk mayit itu sunat tetapi tidak dengan menggunakan harta mayit yang belum diwaris dan dengan tidak menentukan tiga hari dan tujuh hari tetapi membuat shadaqah kapan saja dan tidak usah diungkapkan di depan orang banyak namun cukup diniyatkan saja tanpa diucapkan. Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah dengan shadaqah mengirimkan fatihah dan surat ikhlash setiap selesai shalat dihadiahkan kepada kedua orang tua serta leluhur yang sudah meninggal dunia. (As-Samarani, 1374: 89). Dalam benda yang harus dizakati, Kyai Saleh menjelaskan tentang hasil-hasil bumi yang menguatkan yang wajib dizakati tidak hanya padi, tetapi juga jagung, jagung cantel, jagung jali, kacang hijau, kacang putih, kedelai, kacang kuning, kacang benggala. Lebih jauh, beliau menjelaskan tentang berat benda-benda itu dengan menggunakan alat timbangan yang berlaku saat itu yakni dacin dan kati.4 (AsSamarani, 1374: 97). Pendapat ini beliau sampaikan untuk memberikan kepastian hukum kepada para petani baik mengenai jenis maupun berat hasil bumi yang harus dizakati dan batasan nishabnya. Setiap kali memulai puasa di bulan Ramadhan, biasanya masyarakat memasang lampu lentera di menara masjid atau memukul bedug atau membunyikan meriam. Kyai Saleh menyebutkan bahwa dengan adanya tanda-tanda semacam itu maka wajib bagi orang awam untuk memulai puasa. Karena sasaran kitab Majmû`at adalah orang awam maka beliau tidak menyinggung masalah hisab atau ru’yat. (As-Samarani, 1374: 100) Dalam hal jual beli, terkait dengan riba, Kyai Saleh berpendapat bahwa tidak sah jual jagung dengan ubi kayu kecuali dengan kontan dan langsung, boleh ada kelebihan. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa jual nasi dengan padi atau dawet dan beras dengan padi kalau tidak sama timbangannya adalah haram hukumnya. (As-Samarani, 1374: 151). Hal ini untuk memberi kepastian hukum karena sampai beberapa tahun yang lalu, ketika musim panen banyak orang yang berjualan nasi dan dawet di sawahsawah dan membayarnya dengan padi hasil panenan. Melihat perempuan yang akan disunting sebagai istri itu dibenarkan dalam agama, bahkan perlu mengamatinya dengan saksama agar tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari. Kyai Saleh menyatakan bahwa dengan melihat wajah perempuan akan diketahui kecantikan, watak dan budi pekertinya; dan dengan melihat kedua telapak tangannya akan diketahui halus dan kasar badannya. Dengan memperhatikan ciri-ciri fisik melalui muka dan tangan itu dapat diketahui sebagian dari perangai perempuan
380 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
sampai pada miliknya yang sangat pribadi. Dalam primbon Jawa hal tersebut dinamakan ilmu katuranggan.5 7. Di dalam memilih jodoh, Kyai Saleh sangat mendukung perlunya ada kesetaraan dalam hal nasab, profesi maupun kecerdasan. Secara spesifik beliau menjelaskan bahwa orang yang nasabnya tinggi tidak setara dengan orang yang nasabnya rendah, sehingga anak laki-laki dari orang yang tidak keturunan raden itu tidak setara dengan anak perempuan yang keturunan raden karena raden itu merupakan nasab yang tinggi menurut orang Jawa. Akan tetapi orang tua boleh menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan yang nasabnya atau pekerjaannya lebih rendah karena orang laki-laki itu tidak malu bila mempunyai istri yang nasab dan pekerjaannya lebih rendah, berbeda dengan orang perempuan karena kemuliaan orang perempuan itu tergantung pada orang tua atau suaminya. Dengan demikian, orang perempuan akan malu bila mempunyai suami yang nasab dan pekerjaannya lebih rendah dibanding dirinya. (As-Samarani, 1374: 221). 8. Dalam hal makanan yang haram untuk dimakan, Kyai Saleh menjelaskan bahwa kepiting dan yuyu itu haram karena bisa hidup di dua alam. Sedangkan rajungan (sejenis kepiting) yang hanya bisa hidup di air, halal untuk dimakan. (As-Samarani, 1374: 262). 9. Kyai Saleh berpendapat bahwa ikan kecil (yang besarnya tidak lebih dari dua jari yang didempetkan) yang tidak dibuang kotoran/tinjanya halal dimakan dan sekiranya digoreng maka minyaknya tidak menjadi najis. Hal ini dikarenakan akan mengalami kesulitan bagi manusia untuk membuang tinja ikan yang kecil sehingga Allah tidak menuntut untuk membersihkan tinjanya meskipun hukumnya tetap najis. Inilah yang dikenal dengan istilah ma`fu. Ma`fu ini tidak berlaku bagi ikan yang besar karena untuk membuang tinjanya tidak akan mengalami kesulitan sehingga bagi ikan yang besar tinjanya wajib dibuang karena najis. Dengan demikian, seseorang boleh makan terasi yang terbuat dari ikan-ikan kecil yang tidak dibuang tinjanya maupun makan ikan-ikan kecil yang tidak dibuang tinjanya. Akan tetapi setelah seseorang makan ikan kecil yang tidak dibuang tinjanya atau makan sambal yang memakai terasi maka ia harus berkumur dan membasuh tangan atau mulut yang terkena terasi karena tinja ikan itu najis tidak dima`fu dalam masalah shalat tetapi dima`fu untuk dimakan. (AsSamarani, 1374: 262). Ketiga, dalam masalah akhlak, Kyai Saleh menyatakan bahwa orang Islam boleh menghormati pemimpinnya dengan cara adat penghormatan setempat. Dengan demikian orang Jawa boleh memberi hormat kepada penguasa/pemimpinnya dengan cara mempertemukan kedua telapak tangan dan mengangkatnya ke hidung. (As-Samarani, 1374: 35). Sikap semacam itu sangat lazim di lingkungan kraton, dan juga sering dijumpai antara laki-laki dan perempuan tidak bersalaman tetapi dengan cara seperti itu. Penutup Kitab Majmû`at adalah kitab fiqh sederhana yang sasaran utamanya adalah orang Islam awam Jawa. Salah satu perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain adalah diungkapkannya beberapa hal yang berkaitan dengan adat istiadat atau
MUSLICH SHABIR
Respons Kyai Saleh Darat 381
budaya setempat. Di dalamnya, Kyai Saleh menyoroti berbagai kebiasaan dan adat istiadat yang berkembang baik yang menyangkut akidah, syari`ah dan akhlak. Di dalam merespons adat istiadat yang ada di sekitarnya, ada yang dinilainya positif sehingga perlu dilestarikan seperti dalam hal memilih calon istri dengan melihat ciri-ciri yang ada pada diri perempuan itu dengan melihat muka dan telapak tangannya. Beliau mempercayainya bahkan memberikan uraian yang cukup rinci. Akan tetapi ketika berbicara tentang akidah, beliau sangat kuat di dalam mempertahankan akidah, misalnya beliau tidak mentolerir adanya sesajian dan hitungan hari dan pasaran, dan juga shadaqah atau selamatan orang yang meninggal dunia yang dikaitkan dengan hari-hari tertentu. Demikian pula di dalam berpakaian yang meniru ala Barat maupun memberi hormat semacam menundukkan kepala dan membungkukkan belakang yang berlebihan. Pengungkapan kebiasaan yang salah dan harus diluruskan itu sangat penting karena orang-orang Islam awam di Jawa masih banyak yang melaksanakannya. Mereka harus diberi arahan agar akidah/ keyakinan mereka dapat terjaga, tidak terjerumus ke dalam kesesatan yang bisa membawa kepada kemusyrikan bahkan kekufuran. Semoga makalah yang sederhana ini ada manfaatnya. Daftar Pustaka Al-Anshari, Abu Yahya Zakariya. T.t. Fath al-Wahhâb bi Syarh Manhaj ath-Thullâb, Indonesia: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-`Arabiyyah Bruinessen, Martin van. 1415 H/1995. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, cetakan. Danuwiyoto. 1977. ”Kyai Saleh Darat Semarang Ulama Besar dan Pujangga Islam Sesudah Pakubuwono ke-IV”, Mimbar Ulama, No. 17. A1-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. 1989. Ihyā' Ulūm adDīn, Beirut: Dar al-Fikr. Munir, Ghazali. 2008. Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-Samarani, Semarang: Walisongo Press, cetakan I. Pusat Bahasa, Tim Penyusun Kamus. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi III, cetakan II. Al-Qaththan, Manna`. T.t. At-Tasyrî` wa al-Fiqh fî al-Islâm, Beirut: Asy-Syirkat alMuttahidat li at-Tauzi. Salim, Abdullah. 1995. Majmu`at al-Syari`at al-kafiyat li al-`Awam Karya Kyai Saleh Darat (Suatu Kajian terhadap Kitab Fiqh Berbahasa Jawa Akhir Abad 19), Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, disertasi tidak dipublikasikan. As-Samarani, Muhammad Shalih bin `Umar. 1374 H. Majmû’at asy-Syarî’at al-Kâfiyah li al-’Awâm, Cirebon: Al-Mishriyah. _______, Al-Mursyid al-Wajîz. 1343 H./1925. Bombay: Al-Karīmī, cetakan ke-3. Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang. Tanojo, R. T.t. Primbon Sabda Pandito, Surabaya: Trimurti. Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta, LkiS, cetakan II.
382 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Yahya, Ismail dkk. 2009. Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam, Solo: Inti Medina, cetakan I. Endnotes :
Dosen Sejarah Peradaban Islam pada Fak. Syari`ah IAIN Walisongo Semarang artinya hantu penjaga (rumah, pohon dan sebagainya) (Pusat Bahasa, 2002: 236). Dalam konteks ini diartikan sebagai roh-roh halus yang menguasai suatu tempat dan diyakini mempunyai kekuatan ghaib. 2Berpakaian ala Barat sebenarnya bukanlah merupakan tradisi atau adat kebiasaan orang Islam Jawa, akan tetapi pendapat beliau bisa dimaknai sebagai sebuah peringatan agar mereka jangan sampai berpakaian seperti itu. 3Pendapat Kyai Saleh seperti ini sudah barang tentu merespons adanya kebiasaan khutbah yang menggunakan bahasa Jawa; dan pada masa itu tampaknya masalah ini menjadi masalah yang khilafiyah sehingga beliau perlu menyatakan pendapatnya. 4Dacin adalah alat untuk menimbang sesuatu berupa tongkat yang diberi skala yang dilegkapi dengan anak timbangan dan tempat untuk meletakkan barang (yang ditimbang, digantungkan pada tongkat tersebut). (Pusat Bahasa, 2002: 227); kati adalah ukuran berat yang berbobot 6,25 ons. (Pusat Bahasa, 2002: 517). 5Dengan mengacu kepada pendapat ahli firasat, Kyai Saleh menyebutkan secara rinci beberapa hal yaitu sebagai berikut: bila mulut perempuan itu lebar maka kemaluannya juga lebar dan bila mulutnya sempit maka kemaluannya juga sempit dan rapat; bila kedua bibir perempuan itu tebal maka kedua bibir kemaluannya juga tebal dan bila kedua bibirnya tipis maka kedua bibir kemaluannya juga tipis, dan bila bibir bawah kecil maka kemaluannya kecil; bila lidah perempuan itu merah maka kemaluannya kering, dan bila lidahnya papak (rata) maka kemaluannya basah; bila ujung hidung perempuan itu papak (rata) maka ia tidak suka bersetubuh, dan bila ujung hidungnya lancip (runcing) maka ia sangat suka bersetubuh; bila belakang telinga perempuan itu cekung maka ia sangat suka bersetubuh; bila dagu perempuan itu panjang maka kemaluannya terbuka dan tidak ada rambutnya, dan bila dagunya kecil maka kemaluanya dalam; bila muka perempuan itu lebar dan lehernya tebal maka pantatnya kecil, kemaluannya besar dan rapat; bila kulit kedua telapak kaki dan badan perempuan itu gemuk maka kemaluannya tebal dan sangat mencintai suami; bila betis perempuan itu runcing dan tipis maka ia sangat suka bersetubuh dan tidak sabar untuk tidak bersebutuh; bila mata perempuan itu lebar dan seperti memakai celak maka ia suka bersetubuh dan kemaluannya sempit; bila pantat perempuan itu kecil dan bahunya besar maka kemaluannya besar; bila kedua telinga perempuan itu besar dan pantatnya kecil maka kemaluannya besar, dan bila pantatnya runcing maka ia suka bersetubuh. Perempuan yang ideal adalah perempuan yang: rambut, alis, bulu mata dan kelopak matanya hitam; badan, gigi dan kedua telapak tangannya putih; bibir, pipi dan gusinya merah; bentuk kepala, dagu dan teteknya sedang; bau keringat, mulut, hidung dan seluruh tubuhnya harum. (Salim, 1995: 197-198). 1Danyang