RESP PON TER RMOREG GULASI DAN D TING GKAH LA AKU BE ERNAUNG SAPI PERAH P DA ARA PER RANAKAN N LAND PAD DA ENER RGI FRIIES HOLL RANSUM R YANG BE ERBEDA A
HAR AM MIR AZH
SE EKOLAH H PASCAS SARJANA A INS STITUT PERTANIA AN BOGO OR 2010
ABSTRACT AZHAR AMIR. Termoregulatory response and shade occupation behaviour of dairy heifers PFH offered diet content. Under supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and IDAT GALIH PERMANA A research was conducted to study, the effect of energy diets and environmental conditions on termoregulatory and behaviour responses of dairy heifers. A 4 x 4 latin square design was used for data analysis using 4 dairy heifers and 4 treatments of feed energy for 21 days periods. The treatments were A (TDN : 55%), B (TDN : 60%), C (TDN : 65%), and D (TDN : 70%). All diets content 12 – 15 % of CP. Observed variables were environment factors (air temperature, relative humidty, THI, wind speed, and solar radiation) and termoregulatory responses (Tr, mTs, Tb, HR and RR), TDN intake, animal growth and their behaviour especially shade occupation. Data were analized by variance and/or regression analysis followed by the LSD for any significant difference among treatments. The results showed that TDN intake for A, B, C, D were 4.2, 4.3, 4.4 and 4.3 kg/d, respectively. There was no differences in body gain among treatments (P>0.05). The treatments significantly influenced the thermoregulatory responses (P<0.01). The D treatment resulted in more heat stress than that of the other treatments. Shade occupation showed significantly correlated to environtmental factors or TDN intake (P<0.01). It was concluded that the animals under 60-65% of TDN intake showed optimum growth rate without experiencing of severe heat stress; The combination of environmental conditions and higher feed energy intake increased heat load on dairy heifers. Keywords : feed, energy, termoregulatory, behaviour, heat stress, dairy heifer.
RINGKASAN AZHAR AMIR. Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan IDAT GALIH PERMANA. Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetisnya. Ternak sapi Fries Holland (FH) yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas. Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Sejak lama diketahui bahwa pakan yang dikonsumsi berpengaruh meningkatkan laju produksi panas dalam tubuh atau biasa juga disebut efek kalorigenik pakan (EKP). Tujuan penelitian adalah mempelajari dan mengetahui kandungan energi ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai efek kalorigenik (respon termoregulasi). Mempelajari hubungan lingkungan mikro dan konsumsi energi ternak sapi perah. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010 di Laboratorium Lapang, Kandang Sapi Perah Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) 4x4 dengan perlakuan TDN konsentrat A (55%), B (60%), C (65%) dan D (70%). Parameter iklim mikro yang diukur yaitu suhu lingkungan (SL), kelembaban udara (Rh), Temperature Humidity Index (THI), kecepatan angin (v), dan radiasi matahari (RM). Respons termoregulasi yang diukur yaitu suhu rektal (tr), suhu permukaan kulit (ts), suhu tubuh (tb), denyut jantung (Hr) dan frekeuensi respirasi (Rr), konsumsi BK, dan PBB ternak sapi. Tingkah laku ternak yang diamati yaitu lama bernaung, ingestive (makan dan minum), lying (berbaring), ruminasi, standing not grazing (berdiri), frekuensi defekasi, urinasi, agonistik, allelomimetik dan playing (bermain). Data dianalisis secara statistik untuk mendapatkan rataan, standar deviasi, analisisi sidik ragam, deskripsi dan analisis regresi. Hasil pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data iklim mikro dan makro yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro suhu lingkungan berkisar antara 27.433.2oC, kelembaban udara antara 59.1-89.7%, THI (Temperature Humidity Index) antara 77.1-82.7, kecepatan angin 0.35-1.10 meter/detik dan energi radiasi matahari berkisar antara 210.8-459.9 watt/m2. Kondisi iklim mulai meningkat pada siang hari sampai puncak pukul 12.00-14.00 WIB dan turun menjelang sore hari, kecuali kelembaban udara menunjukkan hal yang sebaliknya. Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat
kenyamanan sapi perah. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ternak mengalami cekaman panas pada kondisi lingkungan tersebut. Rataan tingkat Konsumsi BK pakan sapi-sapi percobaan berkisar antara 7.07.4 kg. Perlakuan B dan C menunjukkan pertambahan bobot badan yang sama. Konsumsi TDN ransum A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg, 3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg. Konsumsi protein kasar (PK) untuk perlakuan A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan 630-850 g. Konsumsi BK ransum mendukung pertumbuhan sapi yang optimal, pada sapi perah dara PFH pada BB 240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal pada konsumsi TDN 3.2-4.3 kg dan protein kasar 660-850 g yang diperoleh pada perlakuan C dengan TDN 65% dan PK 13%. Tidak ada perbedaan PBB yang nyata antar perlakuan, meskipun demikian hasil PBB dari perlakuan D (0.55 kg/ekor/hari) jauh lebih rendah dari perlakuan lain A (0.63 kg/ekor/hari), B (0.68 kg/ekor/hari) dan C (0.65 kg/ekor/hari). Pada penelitian ini, pengamatan respon termoregulasi dilakukan pada setiap 2 jam mulai pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Konsumsi energi ransum pada penelitian ini menyebabkan respon termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr, Rr mengalami peningkatan dari perlakuan A ke perlakuan D (P<0.01). Terdapat hubungan linier antara Tb dan Rr (P<0.01,r2:0,90). Respon termoregulasi mulai meningkat dan mencapai puncak antara pukul 12.00-13.00 serta menurun menjelang sore hari. Respons termoregulasi tertinggi ditunjukkan pada pengamatan pukul 12.00 WIB yang disebabkan suhu lingkungan yang tinggi dan terjadi proses metabolisme energi di dalam tubuh 2-5 jam setelah ternak makan. Pengamatan tingkah laku di area penggembalaan antara pukul 09.00-15.00 WIB menunjukkan lama bernaung (LB) dipengaruhi oleh energi ransum yaitu perlakuan C memberikan waktu LB yang lebih (210 menit selama pengamatan 6 jam) dari perlakuan lainnya. Terdapat hubungan regresi LB dan TDN (LB = -691.6 + 532.3 TDN -109.1 TDN2 + 7.7 TDN3), r2 : 0.985 konsumsi TDN berpengaruh nyata (P<0.01) terhadap lama bernaung sapi perah dara. Kata kunci : ransum, energi, respon termoregulasi, lama bernaung, sapi perah.
RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA
AZHAR AMIR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Tesis
: Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda
Nama
: Azhar Amir
NIM
: D151080031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Anggota
Dr.Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 7 Mei 2010
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI LAIN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2010
Azhar Amir
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Sc.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRAKATA Puji dan syukur penulis ungkapkan kepada Allah SWT atas pemberian nikmat kesehatan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2009 ini ialah fisiologi, dengan judul Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Januari 2010 di kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. dan Bapak Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Sc. yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah memberikan bimbingan, masukan dalam proses belajar/akademik di IPB tercinta. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga atas dukungan dan doa restunya. Kepada Ri Dzikriyah Vanis tercinta dan keluarga yang selalu berdoa dan memberikan semangat. Kepada teman dan sahabat mahasiswa (i) SPS IPB mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP) 2008 yang telah membantu. Kiranya Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca. Apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan tesis ini, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalam
Bogor, Mei 2010
Azhar Amir
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bulukumba pada tanggal 7 Mei 1984 dari Ayah Amiruddin Bolong dan Ibu Hasirah. Penulis merupakan putra bungsu dari dua bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri Bulukumba dan pada tahun 2003 lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur SPMB. Penulis memilih jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di program studi Ilmu produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan status biasa dan biaya atau sponsor sendiri.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
viii
DAFTAR SINGKATAN ...........................................................................
ix
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................
1
Tujuan Penelitian ............................................................................
2
Manfaat Penelitian ..........................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat ..................................................................
3
Pertumbuhan Sapi Dara ..................................................................
5
Produksi panas Ternak dalam Kandang .........................................
7
Faktor Indeks Suhu dan Kelembaban (THI) ..................................
10
Termoregulasi ................................................................................
12
Suhu Rektal ....................................................................................
14
Denyut Jantung ..............................................................................
15
Respirasi .........................................................................................
16
Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak ......................................
16
Kandang dan Naungan ...................................................................
19
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat .........................................................................
21
Materi Penelitian ............................................................................
21
Metode Penelitian ..........................................................................
23
Rancangan Penelitian .....................................................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian ...............................
27
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB ..........
30
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal (Tr) .............................
33
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Kulit (Ts) ...............................
36
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh (Tb) ............................
37
Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (Hr) .......................
39
Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi (Rr) .................
40
Tingkah Laku Ternak .....................................................................
42
Hubungan antara Lama Bernaung (LB) Sapi Perlakuan Dengan Suhu Lingkungan (SL) dan Radiasi Matahari (RM) ......................
47
Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Respon Termoregulasi ..........
48
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
54
LAMPIRAN ...............................................................................................
57
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara .........................................
6
2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara .........
7
3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH ........
9
4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi Pakan .................................................................................................
9
5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan .....
11
6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan .........................................
12
7 Karakteristik sapi dara ......................................................................
20
8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat ........................
22
9 Skema perlakuan penelitian ..............................................................
25
10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang .................................
27
11 Rataan konsumsi BK ransum dan PBB sapi perah dara selama Perlakuan .........................................................................................
31
12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal ........................................
34
13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit .........................................
36
14 Pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh ........................................
38
15 Pengaruh perlakuan terhadap denyut jantung ..................................
39
16 Pengaruh perlakuan terhadap frekuensi respirasi ............................
41
17 Pengamatan tingkah laku ternak di area penggembalaan selama 6 jam (pukul 09.00-15.00) ...............................................................
43
18 Intensitas rata-rata lama bernaung ternak selama pengamatan perlakuan .........................................................................................
46
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara .........................................
4
2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara .........
8
3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas .................................................................................
14
4 Prosedur kerja per penelitian ............................................................
26
5 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (a) suhu lingkungan, (b) kelembaban udara dan (c) temperature humidity index (THI) Pada lokasi penelitian .......................................................................
28
6 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (d) kecepatan angin, (e) energi radiasi matahari pada lokasi penelitian .................
29
7 Rataan pola konsumsi BK ransum perlakuan sepanjang periode .....
32
8 Pola perubahan lama bernaung per pengamatan perlakuan energi ransum ...................................................................................
47
9 Persamaan regresi antara konsumsi TDN dengan suhu tubuh (Tb) ternak sapi dari perlakuan energi ransum .................................
49
10 Persamaan regresi antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi respirasi (Rr) ternak sapi dari perlakuan energi ransum ..................
50
11 Persamaan regresi kubik antara lama bernaung (LB) dan konsumsi TDN ternak dari perlakuan energi ransum ......................
51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambar area penelitian .....................................................................
57
2 Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit ........................................
58
3 Komposisi nutrien bahan pakan .......................................................
59
4 Data hasil pengukuran konsumsi ransum dan PBB ..........................
60
5 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu rektal .........
62
6 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu kulit ...........
63
7 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu tubuh .........
65
8 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Hr ......................
66
9 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Rr ......................
68
10 Analisis regresi Tb (Y) dan konsumsi TDN (X) .............................
69
11 Analisis regresi Rr (Y) dan Tb (X) ..................................................
70
12 Analisis regresi kubik LB (Y) dan konsumsi TDN (X) ..................
70
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu udara 13-18oC (Pennintong & van Devender 2004), 5-25oC (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah Fries Holland (FH) sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan sapi perah akan mengalami cekaman panas dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas dapat dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002). Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetis yang dimiliki.
Ternak yang tidak tahan terhadap panas,
produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler & Enseminger 2006). Proses mempertahankan suhu tubuh tersebut dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini terjadi bila sapi mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas (Isnaeni 2006).
Ternak akan
memproduksi panas dalam tubuhnya sebagai upaya menghasilkan energi yang diperlukan
untuk
kehidupannya
(beraktifitas
dan
penyesuaian
terhadap
lingkungan). Panas yang diproduksi tergantung dari aktivitas ternak dan intake pakan dinyatakan dalam TDN yang menunjukkan total bahan pakan yang dapat dicerna oleh ternak (Rahardja 2007). Perolehan panas dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman dan sebaliknya kehilangan panas bila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman.
2
Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna yang esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Sebaliknya, di lingkungan dengan suhu yang tinggi, EKP merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi susu (West 2003; Pennintong & van Devender 2004). Pada ternak yang digembalakan, cekaman panas dapat dikurangi dengan pemberian naungan pada ternak perah. Akses dan ketepatan penyiapan penggunaan naungan pada sapi perah yang baik, dapat meringankan pengaruh negatif dari beban panas tubuh ternak sapi perah (Kendall et al. 2006; Tucker et al. 2008).
Terdapat bukti bahwa pada musim panas, akses sapi perah pada
naungan menunjukkan tingkah laku berdiri yang rendah dan bernaung dengan tingkah laku berbaring yang tinggi (Schütz et al. 2008). Beradasar uraian diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai manajemen pakan dan pemberian naungan dalam kaitannya respons termoregulasi dan tingkah laku sapi perah pada kondisi lingkungan di Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1. Mempelajari dan mengetahui konsumsi energi ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai efek kalorigenik (respon termoregulasi). 2. Mempelajari mengenai hubungan lingkungan mikro dan konsumsi energi ternak sapi perah. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain : 1. Sebagai informasi mengenai metode pemberian pakan yang baik untuk kebutuhan hidup pokok dan respon termoregulasi sapi perah. 2. Mengetahui pengaruh energi pakan terhadap produksi panas yang dihasilkan sebagai kontrol daya tahan panas ternak terhadap lingkungannya.
3
TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor utama terbesar sebagai biaya produksi dalam industri peternakan yaitu sekitar 45-55%. Menurut Sudono et al. (2003), menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Kondisi tersebut menyarankan pemberian pakan yang baik akan sangat menguntungkan bagi para peternak. Pemberian pakan pada ternak hendaknya memperhatikan dua hal yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi.
Pada sapi dara, pemberian
pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan bobot badan (PBB). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan adalah kecukupan bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan energi (TDN). Pakan sapi perah yang ideal ditinjau dari segi biologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan sapi perah yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi yang tinggi. Akan tetapi apabila pakan sapi perah hanya terdiri konsentrat saja, produksinya akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan ada kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan yang menjuruskan sapi perah ke arah penggemukan. Padahal penggemukan ini bertentangan dengan efesiensi produksi susu (Sudono et al. 2003). Hijauan dan konsentrat sebagai komponen pakan sapi perah merupakan zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar zat-zat makanan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum yang dapat memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah. Oleh karena itu tanpa mengetahui komposisi zat-zat makanan dari bahan pakan dan kebutuhan zat-zat makanan, formulasi ransum tidak akan dapat dilakukan. Pada formulasi ransum, kebutuhan
4
air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Agenậs et al. 2006). Hijauan Hijauan
Konsentrat
Jumlah zat-zat makanan yang dibutuhkan Air Minum Formulasi ransum
Sapi Perah
Pokok Hidup : • Pengganti sel-sel tubuh yang sudah rusak • Basal metabolis • Regulasi suhu tubuh
Produksi : • Pertumbuhan • Penggemukan • Reproduksi • Produksi susu
Gambar 1. Hubungan antara tujuan dan kebutuhan pakan sapi perah (Tyler & Enseminger, 2006) Berkenaan hubungan antara konsumsi pakan dengan faktor iklim, hal yang harus diperhatikan adalah pengaruh iklim terhadap tingkat konsumsi. Rahardja (2007) menyatakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan water intake (air minum), efesiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air liur. Pengaruh tidak langsung iklim terhadap tingkat konsumsi adalah ketersediaan sumber makanan di wilayah tersebut.
5
Pertumbuhan Sapi Dara Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan dan biayanya mahal. Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi perah karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha pemeliharaan sapi perah dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan. Perkembangan organ reproduksi terjadi selama masa pertumbuhan sehingga status fisiologis sapi dara harus benar–benar diperhatikan, karena kekurangan gizi dapat menyebabkan tidak berfungsinya ovarium sebaliknya bisa mengalami gangguan reproduksi seperti terjadinya kegagalan kebuntingan dan terjadinya kemajiran bila berat badan meningkat secara berlebihan (McNeilly 2001). Pembesaran sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi; keberhasilannya tergantung pada pola pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh pakan, kesehatan dan faktor lingkungan. Keberhasilan reproduksi dan produksi sapi dara diharapkan berat badan saat kawin sekitar 250 kg–300 kg, namun menurut Sudono et al. (2003) berat badan minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan. Menurut Abeni et al. (2000) pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) 0.5 kg/hari membutuhkan protein kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5.99 Mkal bila berat badannya 100 kg. Bila target PBBH 0.5 kg/hari tersebut, maka berat badan minimal ideal untuk kawin pertama yakni sebesar 250 kg akan terpenuhi pada umur ± 16.5 bulan sehingga sapi dara langsung dapat dikawinkan untuk pertama kali,
dengan
demikian umur beranak pertama adalah pada umur 27 bulan. National Research Council atau NRC (2001) telah menentukan kebutuhan nutrisi sapi perah untuk program pertumbuhan sapi dara dan efek selanjutnya mengenai kebutuhan nutrisi sapi laktasi. Ada beberapa laporan mengenai studi keperluan protein untuk sapi dara, yang menghubungkan untuk pertumbuhan, pengganti induk, dan kelangsungan produksi susu. Laporan tersebut bertujuan memperkirakan prediksi yang akurat tentang kebutuhan zat makanan sapi dara. Kebutuhan energi dan protein untuk pertumbuhan yang diestimasi dari kandungan
6
energi dan protein bahan pakan selama pertumbuhan.
Jumlah energi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dihitung dari deposit net energi. Pemakaian energi dapat dinyatakan dengan bermacam cara antara lain; DE (Digestible Energy), ME (Metabolizable Energy), NE (Netto Energy) dan TDN (Total Digestible Nutrient). Konversi energi dapat dikalkulasi nilai yang sama dari TDN yaitu : o DE (Mkal/kg) = 0.04409 x TDN(%) o ME (Mkal/kg) = 1.01x DE (Mkal/kg) – 0.45 o NEL (Mkal/kg) = 0.0245 x TDN(%) – 0.12 Berdasarkan penghitungan BK, kandungan protein kasar dan TDN yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan telah ditentukan (NRC 2001) yang ditunjukkan pada Tabel 1. No 1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara Berat Badan (kg) PBB (kg/hari) BK (kg/hari) TDN (%) 100 0.5 4.1 58.4 0.7 4.2 61.7 0.9 4.2 65.3 1.1 4.2 69.2 200 0.5 5.1 58.4 0.7 5.2 61.7 0.9 5.2 65.3 1.1 5.2 69.2 250 0.5 6.0 58.4 0.7 6.1 61.7 0.9 6.2 65.3 1.1 6.2 69.2 300 0.5 6.9 58.4 0.7 7.0 61.7 0.9 7.1 65.3 1.1 7.1 69.2 350 0.5 7.8 58.4 0.7 7.9 61.7 0.9 8.0 65.3 1.1 8.0 69.2
PK (%) 13.0 14.9 16.9 18.9 11.9 13.4 15.0 16.6 11.1 12.4 13.7 15.1 10.6 11.7 12.9 14.1 10.2 11.2 12.3 13.3
Sumber : National Research Council (NRC) (2001).
Energi pakan yang dikonsumsi ternak dapat digunakan dalam 3 cara: (1) menyediakan energi untuk aktivitas; (2) dapat dikonversi menjadi panas; dan (3) dapat disimpan sebagai jaringan tubuh. Kelebihan energi pakan yang dikonsumsi setelah terpenuhi untuk kebutuhan pertumbuhan normal dan metabolisme biasanya disimpan sebagai lemak. Kelebihan energi tersebut tidak dapat dibuang
7
(diekskresikan) oleh tubuh ternak. Prediksi jumlah intake pakan yang diperlukan untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah dara ini harus mempertimbangkan kebutuhan energi untuk proses metabolisme, aktifitas dan regulasi temperatur. Pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan energi dihitung berdasarkan kehilangan panas relatif untuk produksi panas ternak, temperatur harian, isolasi internal dan eksternal (kandang dan penggembalaan), kecepatan angin, warna dan ketebalan bulu, dan kondisi fisiologi (NRC 2001). Penelitian Fox dan Tylutki (1998) yang ditunjukkan pada Tabel 2, memprediksi pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan nutrisi sapi perah yang mempertimbangkan bobot badan ternak untuk beberapa daerah di Amerika Serikat. Tabel 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara Netrala Northernb SouthWestc Peubah 1 1 2 3 4 1 2 3
4
PBB kg/d
0.94
0.88
0.60
0.53
0.68
0.88
0.88
0.78
0.88
Umur, bulan
20.3
21.1
28.5
28.5
25.9
20.7
20.7
22.4
20.7
BB, kg
603
588
560
501
574
580
580
561
580
Sumber : Fox dan Tylutki (1998) a
setara kebutuhan pemeliharaan NRC (1996, 2001) pertengahan temperatur perbulan antara daerah central utara dan tenggara Amerika Serikat. Situasi 1 = cerah dan kemarau, 2 = iklim sedang, 3 = kondisi 2 plus 10 cm mud dari November sampai Maret dan 4 = Kondisi 1 plus kecepatan angin 16 kph. c temperatur daerah barat daya Amerika Serikat b
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk pertumbuhan tergantung oleh interaksi antara DMI/bahan kering, tambahan panas dari pakan, insulasi ternak dengan variabel yang dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, angin, produksi dan kehilangan panas ternak.
Lingkungan yang
menyebabkan stress akan menunda pubertas pada ternak, sehingga waktu melahirkan pertama sapi dengan interval yang lebih lama. Bobot badan induk melahirkan pertama menurun jika terjadi lingkungan yang stres. Produksi Panas Ternak dalam Kandang Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari bobot badan dan jumlah makanan yang dikonsumsi, serta kondisi lingkungan mikro. Panas yang dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendesain sistem
8
kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas sensible heat (panas sensibel) dan latent heat (panas laten). Panas sensibel dan panas laten yang dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang. Perolehan panas dari heat gain (luar tubuh) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi heat loss (kehilangan panas tubuh) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) Brown-Brandl et al. (2006a).
Cekaman panas Cekaman panas Puncak
Mati
Batas suhu Nyaman
Panas
Dingin
Mati
Produksi Panas
produksi
Regulasi produksi panas
optimun ‐15oC 13oC
Produksi Panas Terendah
Rendah
18oC
Batas kritis suhu maksimum Suhu Lingkungan
27oC
Batas kritis suhu maksimum Tinggi
Gambar 2 Diagram produksi panas sapi perah pada suhu lingkungan. Pada sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3oC dengan kelembaban 55%. Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan
9
katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001); dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002) dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schütz et al. 2008). Respons fisiologis sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 yang menunjukkan respon yang berbeda pada temperatur yang nyaman dan temperatur tinggi. Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH Suhu Lingkungan Parameter Sumber Netral Cekaman Suhu Rektal (oC)
Denyut Jantung (kali per menit) Pernapasan (kali per menit)
Sumber :
38.7
40.0
McNeilly (2001) Schutz et al. (2008) Purwanto et al. (1993)
38.8
39.8
77.0
79.0
McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)
64.0
67.0
Purwanto et al. (1993)
48.0
87.0
McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)
31.0
75.0
Purwanto et al. (1993)
1. sapi FH dengan suhu netral 24oC (McNeilly 2001) dan cekaman 32oC (Schutz et al. 2008) 2. Purwanto et al. (1993) sapi FH dengan suhu netral 15oC dan cekaman 30oC
Tabel 4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan Suhu lingkungan Parameter 18oC 30oC Produksi susu (kg/d)
19.5
15.0
Volume urine (ml)
10.0
13.6
Konsumsi air minum (kg/d)
57.9
74.7
Konsumsi konsentrat (kg/d)
9.7
8.4
5.8
4.2
94.6 60.6
150.6 90.9
Konsumsi hay (kg/d) -2
-1
Evaporasi melalui (g m hari ) : - Permukaan tubuh - Respirasi Sumber : Bond dan McDowell (2008)
10
Faktor Suhu, Index Suhu dan Kelembaban (THI) Menurut Rahardja (2007) bahwa faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi. Suhu lingkungan yang naik sampai ± 27oC bagi sapi FH menyebabkan produksi susu menurun. Kemerosotan atau menurunnya produksi ini disebabkan oleh rendahnya napsu makan. Apalagi di masa ini, isu tentang
global warming (pemanasan global) sangat
memungkinkan naik dan turunnya produksi susu secara drastis sehingga dapat merugikan peternak tentunya.
Di lingkungan yang suhu tergolong tinggi,
meningkatkan pengeluaran panas dan bila diberikan pakan maka efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas sehingga dapat menurunkan produksi susu sapi tersebut. Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah (FH serta PFH) pada suhu lingkungan yang naik di atas normal, lebih dari 30oC misalnya, merupakan lingkungan yang kritis. Suhu yang tinggi akan memaksa sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun (Rahardja 2007). Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral (ZTN). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Bond & McDowell 2008). Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani & Purwanto 2006).
11
Kemampuan berproduksi susu sapi perah FH menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur. Seperti halnya penelitian pengaruh stres panas yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
o
Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan.
Temperatur ( C) 20
Perkiraan konsumsi dan produksi susu Konsumsi bahan Produksi susu (lb) Konsumsi air kering (lb) (Galon) 40.1 59.5 18.0
25
39.0
55.1
19.5
30
37.3
50.7
20.9
35
36.8
39.7
31.7
40
22.5
26.5
28.0
Sumber : Pennington dan van Devender (2004)
Tabel 5 menunjukkan perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang semakin tinggi membuat konsumsi air meningkat, mengurangi napsu makan seekor sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi susunya. Perubahan temperatur lingkungan dari 95oF ke 104oF (35 ke- 40oC) menyebabkan ternak tersebut mengalami stres panas yang ditunjukkan produksi susu menurun drastis secara signifikan.
Stres panas harus ditangani dengan
serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar dengan usaha yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi lingkungan agar ternak nyaman dengan kondisi tempat tinggalnya seperti perbaikan pakan, manajemen dan temperatur yang sesuai (Pennington & van Devender 2004). Ternyata banyak tanda stres panas pada sapi laktasi, khususnya mengurangi produksi susu dan menunjukkan prilaku lesu pada sapi.
Untuk
mengurangi pengaruh stres panas tersebut perlu memperhatikan index temperatur dan kelembaban di lingkungannya (THI = Temperature Humidity Index). Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak
12
membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC atau Temperature Humidity Index (THI) < 72. THI > 72 akan mengalami stress, dimana THI > 84 memungkinkan terjadi kematian pada sapi perah (West 2003 ; Pennington & van Devender 2004). Hubungan THI dengan tingkatan stress dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan
Sumber : Pennington dan van Devender, 2004.
Aspek Fisiologi Termoregulasi Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan, atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak, suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar (Isnaeni 2006).
Panas adalah sebuah bentuk energi yang
ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan suhu. Suhu mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Tyler & Enseminger 2006).
Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara
13
produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2) dan faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan dan air. Menurut Brown-Brandl et al. (2006b), bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas dengan secara sensible, menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Menurut Short et al. (1990) dalam Ălfarez-Rodrīguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweating.
Schütz et al. (2008)
menyatakan, evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi. Pada saat istirahat, hewan lebih toleransi pada suhu tinggi. Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak langsung. Kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan evaporasi (Martini 2007). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas dengan mengurangi evaporasi. Keseimbangan panas, menurut Isnaeni (2006), dipengaruhi oleh panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau diperoleh dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi dan radiasi. Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan, kerja pada otot dan metabolismeproses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari disekitar ternak (baik langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas dan melalui konveksi oleh aliran udara panas disekitarnya (Rahardja 2007).
14
Dipengaruhi oleh : Luas permukaan tubuh Penutup tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan : Suhu Kecepatan angin Kelembaban
Sensible Radiasi Konveksi Konduksi
Dipengaruhi oleh : Hormon kalorigenik Produksi : susu daging wool aktivitas otot kebutuhan pokok
Sumber : Makanan cadangan tubuh fermentasi rumen/ sekum Lingkungan
non sensible evaporasi - respirasi - kulit
[ Pelepasan panas ]
Hipotermia
[ Pelepasan panas ]
Hipertermia
Normal Suhu tubuh, oC Gambar 3
Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas.
Suhu Rektal Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Frandson 1992). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakilkan dan kondisinya stabil. Weeth et al. (2008) menyatakan bahwa suhu rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar pada saat tersebut.
15
Suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada hewan, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC dan ternak dibawah satu tahun berkisar 38.6-39.8 oC (De Rensis & Scaramuzzi 2003). Denyut Jantung Jantung adalah struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, parturition, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, olahraga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, temperatur lingkungan (Frandson 1992). Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali/menit, sedangkan pada pedet 100-120 kali/menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa. Pada sapi jika dalam kondisi tenang, denyut jantung dapat dideteksi dari arteri pada rahang bawah, arteri median, arteri koksigeal bagian tengah pada ekor, ± 10 cm dibawah anus (Seath & Miller 2008). Tucker et al. (2007) menyatakan bahwa ternak yang terekspos temperatur lingkungan yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Mekanismenya adalah peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung, yang juga dipengaruhi oleh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral. Proses terakhir adalah peningkatan jumlah adrenalin dan nonadrenalin yang disekresikan untuk pembentukan
energi, disertai sekresi hormon lainnya dari kelenjar endokrin
sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung. Menurut Seath dan Miller (2008) bahwa perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap denyut jantung, dengan nilai korelasi sederhana dan parsial kurang dari 0.2.
16
Respirasi Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen kedalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstaseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri dari paru-paru dan saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru-paru. Pusat respirasi pada burung dan mamalia adalah medulla yang sensitive terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Frandson 1992). Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespon kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi aktivitasrespirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similiritas pergerakan kedua sisi (Isnaeni 2006). Kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. mekanisme respirasi dikontrol oleh medulla yang sensitive terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika tekanan meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen yaitu setelah olahraga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi dan kegemukan (Frandson 1992). Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak Faktor produksi susu sapi yang tinggi merupakan suatu gabungan dari paduan sifat tingkah laku yang unik dengan lingkungan yang menyenangkan dan manajemen yang tepat.
Pengetahuan mengenai tingkah laku sapi atau
defenisinya, memerlukan penanganan dan pemeliharaan ternak sapi sapi perah secara sukses. Menghubungkan interaksi antara prinsip-prinsip teori dan aplikasi
17
tingkah laku sapi perah memberikan produkrivitas yang maksimal pada kawanan sapi. Tingkah laku ternak merupakan hasil yang bersumber dari genetik, simple learning (latihan dan pengalaman), dan suatu pembelajaran yang kompleks (inteligen) (Tyler & Ensminger 2006). Tingkah laku merupakan reaksi ternak untuk beberapa rangsangan atau cara dimana mereka memberi reaksi terhadap lingkungan. Melewati beberapa tahun, tingkah laku sapi perah disambut dengan sedikit perhatian dibanding kuantitas dan kualitas susu yang diproduksi.
Tetapi baru-baru ini, terdapat
pembaharuan perhatian yang menarik dalam tingkah laku terutama sebafai faktor yang menghasilkan efesiensi dan produksi yang maksimal (Tyler & Ensminger 2006). Menurut Philips (2002) bahwa peningkatan frekuensi di kandang, banyak sapi menimbulkan ekspresi tingkah laku abnormal termasuk kehilangan nafsu makan, pica, kurang pergerakan, prilaku maternal yang buruk, sifat agresif yang berlebihan, dan beberapa gangguan tingkah laku yang lain. Kita membutuhkan bangsa sapi perah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan buatan. Suatu kandang tidak hanya membatasi tetapi juga mengganggu habitat dan organisasi sosial dimana sapi beradaptasi. Beberapa tahun belakangan ini, sebagian besar aktivis kesejahteraan ternak, melihat peternakan modern sebagai hal yang tak wajar dan kondusif untuk kesejahteraan ternak. Beberapa sistem produksi intensif adalah kejam dan tidak kebal hukum. Selanjutnya, aktivis mempertahankan bahwa setiap ternak akan diberikan perlindungan moral yang sama selama bermanfaat untuk manusia. Ternak memerlukan kebutuhan esensial baik secara fisik dan tingkah laku, jika tidak maka menyebabkan menderita dan stres (Tyler & Enseminger, 2006). Hak-hak ternak yang berkaitan dengan kesejahteraannya yaitu bebas dari lapar dan dahaga; bebas dari luka, rasa sakit, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan penderitaan; bebas dari rasa panas dan tidak nyaman; dan bebas untuk mengeksperesikan tingkah laku normal dan alaminya. Memberikan kenyamanan adalah suatu usaha yang timbul dari kepedulian kita sebagai manusia untuk memberikan lingkungan yang sesuai untuk hewan. Terdapatnya usaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari hewan tersebut, khususnya bagi hewan yang dikandangkan.
Menyediakan tempat tinggal
18
memadai dengan fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku ternak dan adanya teman untuk berinteraksi sosial. Menghindari ketidaknyamanan dan cekaman panas dengan memberikan naungan atau tempat berteduh, tempat untuk beristirahat dan fasilitas yang sesuai dengan perilaku hewan. Selain itu juga memberikan pakan dan air minum dalam jumlah yang cukup, higienis dan memenuhi kandungan gizi yang sesuai dengan keperluan masing-masing hewan. Pemberian pakan harus tepat dan proporsional sehingga pertumbuhan hewan dapat maksimal dan dapat berproduksi sebagaimana mestinya (Philips 2002). Banyak
peternakan
rakyat
yang
masih
belum
memaksimalkan
kenyamanan pada sapi perah. Perlu diketahui bahwa observasi dan pengalaman menunjukkan bahwa sapi yang berada di kandang yang nyaman, memproduksi lebih banyak susu dan secara umum lebih sehat dan hidup lebih lama. Pakan dan minum yang cukup, udara yang bersih, permukaan bedding yang empuk dan bersih harus tersedia bagi ternak sapi, sehingga sapi dapat berdiri dan berbaring dengan nyaman, karna sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring. Menurut Schütz et al. (2009) bahwa sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu ternak hanya tidur selama 30 menit. Saat permukaan bedding tidak nyaman, sapi akan mengurangi waktu istirahat. Jika tidak dapat berbaring, sapi akan berdiri terlalu lama sehingga akan mengganggu siklus tingkah laku naturalnya. Sapi butuh untuk berbaring karena pengurangan waktu berbaring, akan mengurangi produksi susu. Selain itu, sapi bisa beristirahat dan ruminasi saat berbaring. Menurut Acatincăi et al. (2009) menyatakan bahwa pengamatan pada sapi perah selama 48 jam pada suhu 31.6oC selama musim panas di Rumania, menunjukkan waktu ruminasi selama 350.60 menit dengan rata-rata 24.81 menit pada frekuensi berkisar 14-18 kali. Kandang dan Naungan Pada daerah tropis, suhu lingkungan kandang wajib diperhatikan, terutama di daerah panas kering. Bila suhu lingkungan kandang di atas suhu lingkungan optimum untuk sapi perah, hal ini dapat menimbulkan masalah pada produksi susu. Suhu lingkungan kandang harus diatur dengan beberapa teknik agar suhu
19
lingkungan tidak berpengaruh terhadap sapi perah. Kandang yang terintegrasi dalam suatu sistem peternakan sapi perah dengan demikian dapat dan harus berfungsi secara maksimum untuk mencapai efisiensi optimum. Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara secara intensif adalah radiasi matahari yang mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang. Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi yang digembalakan. Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan menggunakan naungan untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran (Schutz et al. 2008). Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung sinar matahari dalam pembuatan naungan sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang memantulkan dan menyerap radiasi langsung tersebut, sehingga dapat mengurangi pengahantaran panas ke tubuh ternak. Bahan-bahan lokal yang dapat digunakan sebagai naungan di area penggembalaan yaitu rumbia, seng, genteng dan paranet. Data tentang penggunaan bahan naungan tersebut masih kurang, sehingga dianggap perlu untuk mengkaji dalam pengaruhnya terhadap respon fisiologi dan tingkah laku ternak. Di dekat kandang peternak sapi perah dianjurkan menanam pohon pelindung dan membuat saluran irigasi. Lantai semen terasa sangat dingin saat temperatur lingkungan rendah dan kelembaban tinggi; jadi, perlu dipasang alas lantai serbuk gergaji, jerami, atau karpet karet. Di Indonesia, sebaiknya kandang mempunyai dinding setengah. Bahan atap dapat memakai daun rumbia, daun alang-alang, ijuk, genting, seng, asbes, kaca, sirap, dan lain-lain. Kelebihan atap daun rumbia dan alang-alang adalah harganya relatif murah dan dapat menahan panas. Peternak sapi perah di Indonesia hingga saat ini paling banyak menggunakan atap genting. Atap genting mudah didapat, murah, dan tahan api. Seng dapat dipakai sebagai atap dan tahan api, tetapi tidak dapat menahan panas. Atap asbes lebih baik menahan panas dari genting, tetapi sayangnya asbes menghasilkan zat kimia berbahaya dan debu pada waktu diganti. Atap kaca tidak menghalangi sinar matahari masuk ke dalam kandang; kelemahannya adalah mudah pecah. Tempat tinggal hewan ternak yang ideal adalah tersedia dua areal, terbuka dan tertutup. Areal terbuka berfungsi sebagai tempat hewan melakukan
20
aktifitasnya disiang hari. Sedangkan areal tertutup berfungsi sebagai tempat beristirahat hewan di malam hari. Sapi yang dipelihara dalam sistem feedlot lebih sering mengalami stres dibandingkan sapi yang dilepas disuatu ranch. Kendala pemeliharaan ternak di areal penggembalaan ternak di Indonesia adalah radiasi matahari sehingga memerlukan perhatian yang lebih besar pula dalam hal kebutuhan naungan (Schütz et al. 2008, 2009).
Berbagai macam peneduh
digunakan dalam pemeliharaan feedlot. Pada naungan yang terbuka, dibutuhkan luas sekitar 3-5 m2 untuk tiap satuan ternak. Kandangnya dapat dibangun sederhana, mudah dibersihkan dan harganya pun tidak terlalu mahal.
21
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen IPTP dan analisis proksimat rumput gajah dan pakan dilakukan di Laboratorium Analisa Bahan Makanan Ternak, Departemen INTP Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Ternak Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi perah dara PFH dengan karakteristik ternak ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No
Kode ternak
Umur (bulan)
Lingkar dada (cm)
Bobot Badan (kg)
1.
KT 82
31
156
297
2.
KT 84
25
147
253
3.
KT 87
20
126
164
4.
KT 88
19
132
188
Ransum Ransum yang digunakan ada empat macam dan dihitung berdasarkan kebutuhan TDN untuk pertumbuhan bobot badan. Ransum ini terdiri atas rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan beberapa bahan pakan untuk formulasi konsentrat. Kandungan protein kasar konsentrat adalah sebesar 12%-15% dan bahan kering sebesar 86%. Pemberian ransum sebanyak ± 3% dari bobot hidup dan penghitungan kebutuhan gizi pakan mengacu pada petunjuk Nutrient Requirements of Dairy Cattle (NRC 2001). Rasio hijauan dan konsentrat adalah 60:40%, diberikan secara ad libitum. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pukul 07.00 dan 15.00 WIB dengan pengukuran tingkat konsumsi pakan di pagi hari.
22
Pemberian air minum disediakan secara ad libitum. Kandungan nutrien bahan pakan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat (%) Bahan Pakan
Konsentrat 21.6
B 24.04
Dedak halus
20
Dedak kasar
Onggok
A
C
D 26.2
30.4
20
20
20
20.18
17.7
-
0.24
4
3
3
28.56
30.13
23.11
15.61
5
Bungkil sawit
-
-
16
5
Pollard
-
8
12
5
Bungkil kedele
-
-
-
10
1.7
1.37
2.4
0.3
Garam
1.69
1.4
2.4
-
CaCO3
1.7
1.38
2.39
0.5
Bahan kering
86
86
86.7
86
Protein kasar
12
12
13
15
Abu
8.348
7.519
5.747
6.374
Lemak
6.299
5.847
5.305
5.833
Beta-N
45.92
46.457
44.951
43.179
Serat kasar
12.84
11.747
9.954
10.39
55
60
65
70
Ca
0.83
0.821
0.335
0.33
P
0.25
0.309
0.803
0.81
1863.83
1823.36
2550.03
2639.08
Mollases Bungkil kelapa
Urea
Analisis (%):
TDN
Harga (Rp)
Peralatan Peralatan yang digunakan adalah termometer rektal (Safety, Japan), termometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai), termometer pengukur suhu permukaan kulit digital/digital surface temperature/infrared thermometer
23
(Anritsu Hl-2000, Tokyo), termometer bola hitam (black globe thermometer) atau pyranometer dan display, kabel termokopel, pengukur waktu (stopwatch Alba, Tokyo), stetoskop (Stetoscope, Japan), pita ukur, BTU-psychrometer, timbangan rumput 110 kilogram dengan kepekaan 500 gram, timbangan konsentrat kapasitas lima kilogram dengan kepekaan 20 gram. Naungan Naungan digunakan untuk melindungi sapi dari sinar matahari langsung. Bahan naungan yang digunakan adalah paranet 75%. Pemberian naungan diarea penggembalaan untuk ternak sapi perah dilakukan pada setiap akhir perlakuan pemberian ransum, diantara pemberian pakan dengan pengamatan pada pukul 09.00-15.00 WIB. Pemberian naungan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan mikro, daya tahan panas dan konsumsi energi ransum dengan mengamati lama bernaung pada ternak. Fasilitas naungan tersebut berada di suatu padang penggembalaan dengan luas 650 m2.
Struktur bangunan naungan
2
mempunyai luas 27 m (9x3 m), dengan tinggi bangunan 2,3 m. Pada area penggembalaan ternak, menyediakan air minum secara ad libitum dan meniadakan hijauan. Deskripsi penelitian ini, dapat dilihat pada Lampiran 1. Metode Penelitian Pemeliharaan Ternak Sapi dipelihara pada tiap tiap periode perlakuan selama 21 hari, masa adaptasi dua pekan (14 hari) dengan setiap hari pengamatan yang dilanjutkan untuk pengumpulan data 7 hari terakhir. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respons fisiologis ternak sapi. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara bola basah dan bola kering (DBT-WBT), kelembaban (RH), kecepatan angin, menghitung temperature humidity index (THI) dan jumlah radiasi.
Pengamatan faktor iklim tersebut
dilakukan setiap hari pada pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60 menit. Respons fisiologis ternak sapi yang diukur adalah suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), menghitung suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr),
24
denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernapasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) setiap hari pada pukul 10.00, 12.00 dan 14.00 WIB. Konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul 06.30 WIB. Pemberian naungan pada dua hari terakhir periode perlakuan untuk menghitung lama bernaung ternak akibat adanya radiasi matahari, tingkah laku ingestif, ruminasi, lying behaviour (berbaring), agonistik dan allelomimetik. Pengamatan tingkah laku antara pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60 menit. Metode Pengukuran Parameter Faktor iklim. Suhu udara dan kelembaban diukur dengan termometer bola basah dan bola kering.
Pengukuran dilakukan dibawah kandang dan
naungan. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung dengan rumus yaitu : THI = DBT + 0.36DP + 41.2 dengan ; DBT : suhu bola kering (oC) dan DP
: dew point (oC) Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer digital diluar
kandang. Radiasi diukur dengan menggunakan pyranometer dimana mempunyai satuan watt/m2. Respons fisiologis sapi. Suhu permukaan kulit diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai bawah (d). rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu : Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan thermometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit.
suhu tubuh (Tb) dihitung
menggunakan data Ts dan Tr berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts. Tingkah Laku. Pengamatan tingkah laku bernaung ternak dihitung setiap 60 menit antara pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan menggunakan stopwatch. Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang sisa ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum setiap hari.
25
Rancangan Penelitian Terdapat dua faktor dalam percobaan ini yaitu individu sapi dan perlakuan, sehingga digunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 X 4. Perlakuan yang diujikan yaitu : A (Hijauan + konsentrat TDN 55%) B (Hijauan + konsentrat TDN 60%) C (Hijauan + konsentrat TDN 65%) D (Hijauan + konsentrat TDN 70%) Pola pengacakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Skema perlakuan penelitian Kode Ternak Sapi Periode KT 82 KT 84 KT 87
KT88
I
C
D
A
B
II
D
C
B
A
III
B
A
D
C
IV
A
B
C
D
Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah (Steel & Torrie 1995): Yijk = µ + αi + βj + τk + εijk Keterangan : Yijk : pengamatan dari perlakuan pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j µ
: nilai rataan umum
αi : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris) βj : pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom)
τk
:
pengaruh aditif dari urutan perlakuan
εijk : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-j dan periode ke-i Analisis Data Data mengenai iklim mikro dianalisis secara statistik untuk mendapatkan rataan dan standar deviasi. Respons termoregulasi dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova). Perbedaan nilai rata-rata pada peubah yang diukur dari setiap
26
perlakuan pakan diketahui melalui uji Beda Nyata Terkecil.
Tingkah laku
bernaung dianalisis secara statistik menggunakan korelasi, regresi.
Data
pengamatan lama bernaung yang diperoleh, diuji dengan menggunakan analisis regresi berganda (Walpole 1995) untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel yaitu : Y = βo + β1 x1 + β2 x2 + ε Keterangan : Y = intensitas lama bernaung βo = konstanta β1… β2 = koefisien masing-masing regresi β1 = Koefisien suhu lingkungan β2 = Koefisien radiasi matahari ε = galat Pengukuran BB Periode Awal
Pengukuran BB Akhir Periode
Pengamatan lingkungan mikro (1-21)
Tingkah laku
Kandang : Pengamatan respon termoregulasi (1-18) Masa adaptasi (1-14)
0
7
14
18
21
waktu pengamatan (hari) Keterangan :
Respons Termoregulasi : Pkl 10; 12 dan 14 WIB Suhu Rektal Suhu Kulit Suhu Tubuh Denyut Jantung Frekuensi Respirasi
Lingkungan Mikro : Pukul 09.00-15.00 WIB Suhu Lingkungan Kelembaban Udara Kecepatan Angin THI Radiasi Matahari
Gambar 4. Prosedur kerja per periode penelitian
Tingkah Laku Ternak : Pukul 09.00-15.00 WIB Bernaung Berbaring Ruminasi Ingestive Berdiri Agonistik, dll.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro suhu lingkungan berkisar antara 27.4-33.2oC, kelembaban udara antara 59.1-89.7%, THI (Temperature Humidity Index) antara 77.1-82.7, kecepatan angin 0.35-1.10 meter/detik dan energi radiasi matahari berkisar antara 210.8-459.9 watt/m2.
Nilai pengamatan yang diperoleh lebih
tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ternak mengalami cekaman panas pada kondisi lingkungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah tropis basah yang mempunyai sirkulasi angin yang rendah, suhu lingkungan maupun energi radiasi sinar matahari serta kelembaban udara yang tinggi pula. Rataan kondisi iklim mikro dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang Periode Parameter Lingkungan Mikro Pengamatan Ta (oC) RH (%) THI Va (m/s)
SR (watt/m2)
Periode I
30.1±1.27
73.6±3.69
79.9±1.34
0.7±0.07
315.3±82.29
Periode II
30.3±1.50
72.5±6.35
80.1±1.52
0.7±0.21
308.2±83.06
Periode III
31.6±1.68
64.5±5.63
81.2±1.62
0.8±0.22
357.6±90.92
Periode IV
30.1±2.14
74.7±5.19
79.2±1.53
0.6±0.19
338.7±109.65
Rataan
30.5±0.72
71.4±4.64
80.1±0,85
0.7±0.08
329.9±22.60
Keterangan : Ta = Suhu lingkungan RH = Kelembaban relatif THI = Temperature Humidity Index
Va = Kecepatan angin SR = Energi radiasi matahari
Tabel 10 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro, yaitu suhu dan kelembaban udara penelitian secara fisiologis tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang nyaman sapi FH dan berpotensi menyebabkan cekaman. Hal ini dikarenakan nilai suhu dan kelembaban udara melebihi zona termonetral (ZTN) sebesar 13-25oC dan 50-60% (McNeilly 2001). Berdasarkan tabel modifikasi
28
c cekaman paanas (Tabel 6) bahwa kkondisi peneelitian ini seecara umum m termasuk k kategori meddium stress (cekaman ( seedang) yang berpotensi teerjadi pada sapi s perah.
Suhu Lingkungan (OC)
(a)
85.0 0
Kelembaban udara (%)
(b) 80.0 0
79.6 6
75.0 0
74.5 72.0
70.0 0
0.8 70 6 68.6
66.8
mean
67.3
65.0 0 60.0 0 9.00
1 10.00
11.00
12.00
3.00 13
14.00
15.00
Temperature Humidity Index(THI)
82.0 81.5 81.0
8 81.0
(c)
81.3 80 0.5
80.0
79.7 79.2
79.0
mean 78.0 77.4 4 77.0 76.0 9.00
10.00
11.00 0
12.00
13 3.00
14.00
15.00
W Waktu Pengam matan (WIB)
G Gambar 5 Rataan R pola perubahan llingkungan mikro; m (a) suuhu lingkunggan, (b) kelembaban k udara dan (cc) temperatuure humidityy index (THI)) pada lokasi l peneliitian.
29 0.9 9
Kecepatan angin (m/s)
0.8 8
0.8
(d)
0.9
0 0.7
0.7 7 0.7 0.6 6
0.7
0.6
mean
0.5
0.5 5 0.4 4 0.3 3
Radiasi matahari (watt/m2)
9.00
10.00
11.00 0
12.00
13.00 1
14.00
15.00
(e)
W Waktu Pengam matan (WIB)
G Gambar 6 Rataan polaa perubahann lingkungann mikro; (d)) kecepatan angin, (e) energi radiasi mataharii pada lokasii penelitian. ola perubahaan kondisi ik klim mikro Padaa Gambar 5 dan 6 menuunjukkan po y yang berfluk ktuasi pada lokasi l peneliitian. Pada Gambar terssebut, suhu lingkungan l ( (Ta), THI daan energi rad diasi matahaari (SR) menngilustrasikaan pola perub bahan yang b baku yaitu pola p paraboliik. Nilai Taa (oC), THI dan d SR (wattt/m2) mencaapai puncak p pada pukul 12.00-13.00 1 dan 13.00-114.00 WIB dan d menurunn setelah mejjelang sore h hari. Naik turunnya energi e total radiasi mattahari sangaat mempengaruhi suhu l lingkungan d kelembaaban udara ((RH). Suhu dan kelembbaban udara merupakan dan m d dua faktor iklim yan ng mempenggaruhi prodduksi sapi perah, karrena dapat m menyebabka an perubahann keseimbanngan panas dalam d tubuhh ternak, keseimbangan
30
air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. (McNeilly 2001; Pennington & van Devender 2004). Pada Gambar 5c, ternak mulai mengalami stres ringan pada pukul 09.00 pagi dan stres sedang mulai pada pukul 11.00-14.00 siang. Peningtong and van Devender (2004) bahwa THI>72 mengindikasikan ternak mengalami stress dan THI 83 memberikan pengaruh yang buruk terhadap produksi susu dan kondisi fisiologi ternak. Kondisi iklim seperti ini harus diperhatikan oleh peternak di Indonesia khususnya Bogor untuk mengurangi pengaruh iklim mikro dengan beberapa cara yang disarankan oleh Velasco et al. (2002) melalui perbaikan sirkulasi kandang, manajemen pakan, imbangan nutrisi dan pemberian air minum ad libitum. Berbeda halnya dengan kecepatan angin (Gambar 6d), justru pada saat THI yang tinggi, angin berada pada kecepatan yang rendah. Yani dan Purwanto (2006) bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas. Menurut Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa pemberian kecepatan angin 1.12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi cekaman panas. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Sudono et al. (2003) pakan yang diberikan ke sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan serta periode lingkungan mikro penelitian.
Faktor penting dalam
penyusunan ransum dan tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi. Tabel 11 menunjukkan rataan tingkat konsumsi bahan kering ransum serta pola perubahan pbb sapi perah dara. Konsumsi BK pakan sapi-sapi percobaan berkisar antara 7.0-7.4 kg. Besarnya konsumsi tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001) bahwa sapi-sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg dan 300 kg dengan PBB 0.6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9 kg dan 7.4 kg
31
BK per hari. Pada kondisi cekaman panas, efesiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi. Tabel 11 Rataan konsumsi BK, TDN, PK ransum dan analisis ragam PBB sapi perah dara selama perlakuan Perlakuan Peubah A B C D Bahan Kering (kg) : Hijauan 4.2±1.17 4.0±0.98 4.3±0.16 4.1±0.57 Konsentrat 3.2±1.17 3.3±0.98 3.0±0.84 2.9±0.96 TDN (kg) : Hijauan 2.4±0.49 2.3±0.43 2.5±0.05 2.3±0.23 Konsentrat 1.8±0.64 1.9±0.58 1,9±0.55 2.0±0.68 Protein Kasar (kg) : Hijauan 0.33±0.06 0.34±0.08 0.36±0.01 0.34±0.03 Konsentrat 0.37±0.08 0.37±0.09 0.4±0.1 0.39±0.01 Lemak Kasar (kg) : Hijauan 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 Konsentrat 0.2±0.07a 0.19±0.06ab 0.16±0.04b 0.17±0.05ab Serat Kasar (kg) : Hijauan 1.6±0.45 1.5±0.38 1.6±0.06 1.5±0.22 b b a Konsentrat 0.4±0.14 0.38±0.11 0.30±0.08 0.30±0.08a Beta-N (kg) : Hijauan 1.0±0.29 1.0±0.25 1.0±0.04 1.0±0.14 Konsentrat 1.5±0.54 1.5±0.45 1.38±0.38 1.1±0.77 PBB (kg)
0.63±0.08ab
0.68±0.05b
0.65±0.06ab
0.55±0.08a
Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%.
Berdasarkan Tabel 11 di atas, konsumsi BK ransum antara perlakuan B dan C menunjukkan jumlah relatif sama. Konsumsi TDN A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg, 3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg. Konsumsi protein kasar (PK) konsentrat untuk perlakuan A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan 630-850 g. Hasil ini menguatkan data konsumsi BK untuk BB yang tidak berbeda jauh anjuran NRC (2001), sehingga dapat pula dikatakan bahwa untuk sapi perah dara PFH pada BB 240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal pada konsumsi TDN 3.2-4.3 kg dan protein kasar 660-850 gr yang diperoleh pada perlakuan C dengan TDN 65% dan PK 13%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan ransum
32
t terhadap konsumsi BK,, TDN dan PK. Tetapi pada perlaakuan C meenunjukkan p peningkatan n konsumsi PK dengan rataan 750 gram yang masih sesu uai batasan N NRC untuk sapi perah dara. Selaain itu, dilakkukan penguujian konsu umsi lemak k kasar (LK), serat kasar (SK) dan Beta-N. Terddapat perbeddaan yang ny yata antara
Konsumsi BK (kg/hari)
p perlakuan en nergi ransum m konsumsi L LK dan SK konsentrat k (P P<0.01).
Waktu Pengamataan (hari)
G Gambar 7 Rataan R pola konsumsi k BK K ransum peerlakuan sepanjang perioode. ransum A, ransum m B, ransum C, ransum m D. Sumbber energi untuk lemak dan u ternakk adalah zat makanan karbohidrat, k p protein. Karrbohidrat terrdiri atas 2 (ddua) fraksi, yaitu y serat kkasar dan bah han ekstrak t tanpa nitrog gen (Beta-N//pati). Terddapat perbed daan yang saangat mendaasar antara t ternak non-rruminansia dan d ruminannsia dalam menggunakan m n zat makan nan sebagai s sumber eneergi. Sumbeer energi uutama untukk ternak noon-ruminanssia (seperti u unggas, bab bi) adalah Beta-N, B seddangkan sum mber energii utama unntuk ternak r ruminansia adalah seratt kasar. Tyller dan Enseeminger (20006), bahwa persentase r rumput yan ng tinggi daalam ransum m dapat meeningkatkan produksi asam asetat d dalam rumeen, sedangkaan bila persentase konssentrat tingggi dalam ran nsum maka a asam propionat
perseentasenya ddapat melebbihi asam asetat. Asam
asetat
c cenderung m meningkatkan n kadar lemaak susu, seddangkan asam m propionat cenderung m meningkatka an produksi susu. Asam m lemak sussu akan mennurun bila asam a asetat d dalam rumen n kurang darri 40% atauu lebih besarr dari 60% ddalam total asam a lemak t terbang (VF FA).
Tabell 11 menunnjukkan konnsumsi hijauuan yang lebih tinggi,
33
sehingga produksi asam propionat lebih rendah dibandingkan dengan produksi asam asetat.
Gambar 7 menunjukkan pola konsumsi BK ransum yang
mengindikasikan bervariasi.
konsumsi konsentrat seragam dan konsumsi hijauan yang
Pengamatan pada setiap periode (hari 1-21), pemberian ransum
dengan TDN rendah menunjukkan pola konsumsi BK yang meningkat dan pemberian ransum TDN tinggi menunjukkan pola konsumsi yang menurun, hal ini mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari ransum. Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Rahardja (2007), kekurangan
energi pada hewan muda dapat memperlambat pertumbuhan dan menunda pencapaian pubertas, sedangkan kekurangan energi pada sapi laktasi dapat menurunkan produksi susu dan bobot badan. Semakin tinggi energi ransum yang diberikan maka tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro yang tropis basah, sehingga ternak mengatur suhu tubuhnya (termoregulasi) dengan mengurangi konsumsi energi yang berlebihan bagi kondisi suhu tubuhnya. Pertambahan bobot badan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan energi ransum (P>0.05).
Meskipun demikian, rataan PBB dari
perlakuan D dengan TDN konsentrat 70% jauh lebih rendah dibanding dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 0.55 kg per hari. Kondisi tersebut disebabkan tingkat konsumsi BK yang rendah dibanding dengan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan energi ransum yang tinggi menjadi tambahan panas selain suhu lingkungan sehingga ternak mengurangi konsumsi sebagai akibat menghindari produksi panas. Sebagai tambahan, konsumsi energi yang tinggi, tubuh bekerja ekstra dalam fungsi termoregulasi yang meyebabkan penurunan energi yang tercerna serta pelepasan panas dengan menurunkan laju metabolisme energi melalui peningkatan defekasi dan urinasi. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal (Tr) Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengukuran suhu tubuh yang lazim digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih
34
mudah dilakukan pengukurannya daripada parameter suhu tubuh lainnya. Dari hasil pengukuran, pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh berkisar antara 38.639.2oC (Q1-Q3). Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal sapi perah seperti yang dikemukakan Schütz et al. (2009) sebesar 38.2-39.1oC. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendall et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 oC serta 32.2 oC, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39.8oC serta 40 oC. Kondisi suhu yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik untuk pengeluaran panas. Selain suhu lingkungan, konsumsi energi yang berasal dari pakan perlu diperhatikan karena pakan merupakan tambahan beban panas bagi sapi perah. Ilustrasi tentang suhu rektal selama penelitian berlangsung, dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan a
38.7±0.09
a
38.8±0.15
D
b
39.0±0.17 c
Pukul 10.00
38.6±0.11
Pukul 12.00
38.8±0.07 a
38.8±0.87 ab
39.1±0.16 b
39.2±0.09 c
Pukul 14.00
38.7±0.13 a
38.8±0.05 ab
38.9±0.16 b
39.1±0.10 c
Rataan
38.7±0.11
38.7±0.10
38.9±0.09
39.1±0.12
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Data pengukuran suhu rektal sapi-sapi percobaan dianalisis per waktu pengamatan yaitu pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Hal tersebut dilakukan, karena pengamatan saat itu merupakan titik-titik kritis dengan suhu lingkungan dan radiasi matahari yang tinggi. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan energi ransum dalam pengaruhnya terhadap suhu rektal (P<0.01).
Hasil tersebut bisa disebabkan oleh kesamaan atau keseragaman
lingkungan mikro per periode sehingga data yang diperoleh, dipengaruhi oleh perlakuan energi ransum. Perlakuan A dengan energi ransum TDN 55% berbeda nyata dengan perlakuan D dengan energi ransum TDN 70% dalam pengaruhnya terhadap suhu rektal sapi perah dara PFH. Konsumsi Energi TDN yang tinggi, jelas produksi
35
panas yang diperoleh ternak tinggi pula karena energi yang berasal dari ransum merupakan tambahan beban panas selain dari lingkungan mikro. Fungsi tubuh bekerja secara ekstra sebagai termoregulasi untuk menyeimbangkan produksi panas dan pengeluaran panas melalui konsumsi air minum, evaporasi serta aktivitas dalam hal tingkah laku ternak. Perlakuan D dengan energi ransum yang tinggi berpotensi mengakibatkan ternak berada kondisi cekaman panas dengan indikasi rataan suhu rektal lebih dari 39.1oC sementara yang lainnya A, B dan C tergolong kisaran pengaruh yang normal terhadap suhu rektal. Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang ditransfer menjadi energi panas. Menurut Rahardja (2007) bahwa pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah suhu lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, fluktuasi suhu lingkungan dapat mempengaruhi pola perubahan suhu tubuh dan suhu rektal, terutama pada sapi dara yang membutuhkan energi yang efisien untuk fokus pada pertumbuhan. Pada lain hal selain perlakuan, berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh dari efek baris (periode) dan efek kolom (ternak sapi dara) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pengamatan pada pukul 10.00, sapi dan periode berpengaruh sangat nyata. West et al. (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah energi pakan, ukuran tubuh, spesies, bangsa, lingkungan mikro dan pemberian air minum. Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan yang nyata antar perlakuan pada setiap waktu pengamatan dan tidak berbeda nyata pada ternak sapi sebagai efek kolom dan periode sebagai efek baris terhadap suhu rektal. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Kulit (Ts) Rataan suhu permukaan kulit sapi-sapi selama perlakuan bervariasi antara o
36,6 C sampai 37,9oC yang terlihat pada Tabel 13. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33.5 oC-37.1oC (Tucker et al. 2008). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diberi perlakuan, sebagian besar mengalami cekaman panas.
36
Pada penelitian ini terdapat hasil suhu kulit yang berbeda antar perlakuan energi ransum (P<0.05) per waktu pengamatan. Perlakuan A, B berbeda dengan perlakuan C dan D dalam pengaruhnya terhadap suhu permukaan kulit ternak sapi. Rataan suhu yang diperoleh dari total waktu pengamatan yaitu perlakuan A (36.7±0.14oC), B (36.8±0.10 oC), C (37.5±0.07 oC) dan D (37.8±0.14 oC) Berdasarkan analisis sidik ragam, ternak sebagai efek kolom tidak berpengaruh nyata dalam hasil suhu kulit yang diperoleh, berbeda dengan efek baris yaitu periode pada pukul 10.00 berpengaruh sangat nyata dan pukul 12.00 dan 14.00 berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan adanya keseragaman lingkungan mikro selama penelitian berlangsung per periode. Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan a
a
D
36.7±0.62
b
37.5±0.45
37.7±0.30b
Pukul 10.00
36.6±0.51
Pukul 12.00
36.9±0.44a
36.9±0.60a
37.6±0.41b
37.9±0.23b
Pukul 14.00
36.7±0.52a
36.8±0.51a
37.5±0.39b
37.8±0.19b
Rataan
36.7±0.14
36.8±0.10
37.5±0.07
37.8±0.14
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Tabel 13 mengilustrasikan bahwa terdapat variasi data suhu permukaan kulit yang memperoleh perlakuan level energi ransum yang berbeda. Berdasarkan uji lanjut, perlakuan A dan B memberikan pengaruh yang sama dengan energi TDN 55% dan 60% nilai < 37oC sedangkan C dan D dengan TDN 65% dan 70 nilai suhu kulit > 37oC. Cekaman panas waktu siang hari dengan suhu lingkungan yang tinggi lebih besar dibandingkan dengan malam hari, sehingga pengeluaran panas secara sensible tertekan. Selain itu, tingginya RH juga menghambat proses pelepasan panas secara evaporasi heat loss. Rahardja (2007) menyatakan bahwa adanya tambahan panas yang berasal dari pakan mengakibatkan suhu kulit, suhu tubuh meningkat sebagai upaya untuk menyeimbangkan panas yang diperoleh ternak.
37
Pola perubahan suhu permukaan kulit ternak sapi, seirama dengan tingkat panas yang diterima.
Kulit merupakan organ terluar penerima panas yang
suhunya secara langsung mengikuti perubahan suhu lingkungan dan pada Gambar 8 yang menunjukkan level energi ransum yang berbeda mempengaruhi secara tidak langsung terhadap panas yang diproduksi oleh ternak. Isnaeni (2006), kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsifungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan vitamin D. Menurut Martini (2006) menyatakan bahwa kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit
pembuluh
darah
(vasokonstriksi)
sehingga
mengurangi
pengeluaran panas oleh tubuh. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh (Tb) Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ diluar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Rataan suhu tubuh ternak sapi selama perlakuan energi ransum berkisar antara 38.3oC sampai 39.06 oC yang disajikan pada Tabel 14. Nilai kisaran tersebut masih tergolong yang normal 38.3-38.6oC pada suhu lingkungan yang nyaman (Schütz et al. 2008), pengecualian suhu tubuh 39.06 oC mengindikasikan ternak mengalami cekaman panas. Nilai tersebut diperoleh pada waktu pengamatan pukul 12.00 WIB dengan perlakuan D energi TDN tinggi 70%. Pola perubahan suhu tubuh sapi-sapi selama perlakuan sesuai dengan pola perubahan suhu rektal. Suhu rektal mempunyai pengaruh sebesar 86% terhadap suhu tubuh, sedangkan suhu kulit pengaruhnya sebesar 14% (McLean et al. 1983). Besarnya cekaman panas yang dicerminkan oleh nilai suhu tubuh sebagian besar dipengaruhi oleh besarnya nilai suhu rektal dan sebagian lagi sisanya oleh suhu
38
kulit.
Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima rangsangan
panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni 2006). Tabel 14 Pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan
D
Pukul 10.00
38.3±0.16a
38.4±0.15a
38.7±0.18b
38.8±0.17c
Pukul 12.00
38.6±0.09a
38.6±0.15a
38.8±0.18b
39.06±0.09c
Pukul 14.00
38.5±0.17a
38.5±0.11a
38.7±0.15b
38.9±0.09c
Rataan
38.5±0.12
38.5±0.10
38.7±0.09
38.9±0.12
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Perlakuan C dan perlakuan D memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suhu tubuh, suhu rektal maupun suhu kulit.
Kedua perlakuan ini
memberikan makna besar karena memiliki energi TDN ransum yang tinggi sehingga suhu tubuh meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi
lingkungan yang panas, jumlah konsumsi energi ransum ikut menambah beban panas tubuh.
Isnaeni (2006) bahwa suhu tubuh pada kebanyakan hewan
dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Dilain hal, burung dan mamalia dapat mengatur suhu tubuh mereka tetap konstan meskipun suhu lingkungan eksternalnya berubah-ubah. Hewan yang termasuk homeoterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan sekalipun suhu lingkungannya berubah. Rahardja (2007) menyatakan bahwa ternak mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Sekalipun demikian, hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh ternak sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya, untuk memperoleh panas.
39
Pertukaran panas antara ternak dan lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi. Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (Hr) Pengaruh perlakuan energi ransum serta kombinasinya pada suhu lingkungan terhadap denyut jantung sapi perah dara disajikan pada Tabel 15. Rataan denyut jantung (Hr) sapi-sapi percobaan berkisar antara 61.9-74.2 kali/ menit. Nilai rataan ini hampir sama dengan hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan denyut jantung antara 52-76 kali/menit dan hasil penelitian Seath dan Miller (2008) yang mendapatkan nilai rata-rata 80.6±3 kali per menit pada kisaran suhu lingkungan 31oC. Tabel 15 Pengaruh perlakuan terhadap denyut jantung (kali/menit) (x ±SD) Perlakuan
Waktu Pengamatan Pukul 10.00
61.9±6.40
Pukul 12.00
A
B a
C a
D
64.4±3.17
68.5±4.37
b
71,.±4.47b
64.3±2.04 a
66.5±3.49 a
72.6±5.04 b
74.2±5.76 b
Pukul 14.00
62.3±2.02 a
64.5±4.62 a
69.6±3.66 b
70.9±5.97 b
Rataan
62.8±1.28
65.1±1.16
70.2±2.10
72.3±1.66
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antar perlakuan setiap waktu pengamatan. Sebagai tambahan, ternak sapi sebagai efek kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap denyut jantung sedangkan periode sebagai efek baris berpengaruh nyata pada setiap pengamatan denyut jantung (P<0.05).
Ada kecendrungan sapi-sapi yang memperoleh perlakuan energi
ransum yang tinggi, menunjukkan Hr yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan aktivitas metabolisme sapi. Sapi yang memperoleh produksi panas yang tinggi mengakibatkan aktivitas metabolisme yang cepat daripada sapi yang memperoleh produksi panas yang lebih rendah. Isnaeni (2006) bahwa produksi panas yang tinggi cenderung meningkatkan Hr yang merupakan mekanisme untuk menjaga tekanan darah stabil akibat dilatasi pembuluh darah. Disamping itu juga ikut membantu penyebaran
40
dan perpindahan panas dari dalam tubuh ke permukaan tubuh. Keadaan ini tentu saja membantu proses pelepasan panas baik sensible maupun evaporasi. Jantung merupakan organ vital pada seluruh aktivitas tubuh ternak, termasuk pengaturan suhu tubuh. Isnaeni (2006), bahwa aktivitas denyut jantung memiliki hubungan yang erat dengan laju respirasi. Hal ini berkaitan dengan fungsi jantung dan darah. Jantung berperan untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dan darah berperan sebagai media transportasi oksigen dan karbondioksida dan panas tubuh. Aktivitas kerja jantung dikendalikan secara alami oleh pengatur irama yang disebut nodus sinotrialis. Pengatur irama ini menghasilkan suatu impuls periode kontraksi (systole) dan periode relaksasi (diastole).
Nodus
sinotrialus menghasilkan antara 60 hingga 72 impuls seperti ini setiap menit ketika jantung sedang santai.
Melalui otak, jantung dipengaruhi oleh sistem
syaraf simpatetik dan parasimpatetik yang diatur oleh hipotalamus. Hipotalamus memiliki set-point yang kinerjanya mirip thermostat. Jika suhu tubuh melebihi suhu set-point, maka sinyal saraf menginisiasi mekanisme pendinginan. Begitu pula sebaliknya, jika suhu tubuh lebih rendah dari suhu set-point, maka sinyal syaraf menginisiasi mekanisme penyimpanan panas. Pengukuran siang hari menunjukkan semua perlakuan mengalami peningkatan denyut jantung, karena siang hari organ pembuluh darah yaitu pembuluh kapiler mengalami perluasan kapasitas pembuluh darah (vasodilatasi) dan terjadi penyesuaian laju darah. Vasodilatasi ini memberikan sinyal kepada hipotalamus untuk memerintahkan jantung memompa darah ke seluruh tubuh lebih banyak. Peningkatan aktivitas memompa darah inilah yang disebut dengan peningkatan denyut jantung. Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi (Rr) Aktivitas respirasi menurut Isnaeni (2006) memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer meliputi aktivitas pertukaran oksigen dengan karbondioksida, sedangkan fungsi sekunder meliputi aktivitas membantu mengendalikan suhu tubuh, regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, eliminasi air dan pembentukan suara (fonasi). Pada pembahasan kali ini lebih menitikberatkan kepada fungsi respirasi sebagai mekanisme pelepasan panas.
41
Data mengenai frekuensi respirasi (Rr) dan pola perubahan selama perlakuan energi ransum disajikan pada Tabel 16. Rataan Rr sapi-sapi percobaan berkisar antara 54.8-66.5 kali per menit, dengan nilai terendah diperoleh pada waktu pengamatan pukul 10.00 dan nilai tertinggi diperoleh pada pengamatan pukul 12.00 (siang) WIB. Rataan Rr ini masih tergolong kisaran normal sapi perah sesuai hasil penelitian McNeilly (2001) yaitu 27-56 kali per menit dengan suhu lingkungan 2oC dan 26.7oC. Hal ini juga didukung penelitian Yani dan Purwanto (2006) menyatakan respon respirasi akibat pengaruh radiasi matahari Bogor dengan sapi berada di naungan mencapai Rr 68 kali per menit. Tabel 16 Pengaruh perlakuan terhadap frekuensi respirasi (kali/menit) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C D Pengamatan Pukul 10.00
54.8±2.16 a
56.3±2.34 a
62.4±3.12 b
64.1±2.20 b
Pukul 12.00
57.5±1.82 a
59.0±2.45 b
65.1±2.40 c
66.5±2.45 c
Pukul 14.00
55.6±2.31 a
56.9±0.73 a
62.9±2.76 b
63.8±2.43 b
Rataan
55.9±1.34
57.4±1.41
63.5±1.43
64.8±1.48
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Data menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan dalam pengaruhnya terhadap laju respirasi (P<0.01). Waktu pengamatan pada pukul 12.00 WIB, menunjukkan frekuensi respirasi yang tinggi dimana ternak berada pada suhu lingkungan yang panas pada siang hari, serta lebih signifikan bila memperoleh giliran perlakuan energi ransum yang tinggi. Uji lanjut menampilkan pada pengamatan pukul 12.00 bahwa terdapat klasifikasi perlakuan dengan energi TDN rendah (A dan B), energi TDN medium (perlakuan C), dan energi TDN tinggi (perlakuan D). Kondisi suhu lingkungan yang tinggi dan adanya radiasi matahari menyebabkan aktivitas termoregulasi meningkat. Hal ini berarti proses pengeluaran panas secara sensible tidak mencukupi untuk mengeluarkan beban panas, sehingga proses pengeluaran panas evaporasi menjadi aktif yaitu meningkatnya laju pernafasan.
42
Hasil akhir dari aktivitas biologi organisme tingkat tinggi adalah CO2, energi (ATP) dan panas. Semakin besar oksidasi biologi yang berlangsung dalam tubuh ternak, maka semakin banyak CO2, energi dan panas yang dihasilkan tubuh. Peningkatan ini berimplikasi pada peningkatan laju respirasi. McNeilly (2001), menerangkan peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik. Peningkatan panas dapat mengakibatkan peningkatan respirasi, karena saat ternak meningkatkan laju respirasi, jumlah panas yang dikeluarkan mencapai 30% dari total panas yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu sapi perah. Produksi susu yang lebih tinggi menyebabkan panas tubuh metabolis yang diproduksi juga lebih tinggi, sehingga frekuensi respirasi lebih berfluktuasi untuk menjaga kestabilan panas di dalam tubuh. Stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera mempengaruhi proses fisiologis pada sapi. Terdapatnya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan suhu antara suhu tubuh dan lingkungannya. Tingkah Laku Ternak Sapi-sapi yang digembalakan di padang rumput, tidak memiliki batasan pergerkana aktivitas tubuhnya. Berbagai tingkah laku adaptasi yang dilakukan ternak terhadap kondisi lingkungan pada sapi yang digembalakan antara lain tingkah laku grazing (merumput), shade use (bernaung), sosial, lying (berbaring), standing not grazing (berdiri), rumination (ruminasi), agonistik, playing (bermain) (Philips 2002). Panjangnya waktu merumput siang hari bervariasi tergantung dari tingkat stres sapi terhadap iklim, bangsa dan tipe, kualitas dan kuantitas pastura yang tersedia. Schütz et al. (2008) bahwa batasan waktu merumput sapi yang dilepas atau digembalakan adalah 4-9 jam per hari tergantung pada kondisi kualitas pastura, kondisi iklim (hujan, panas, angin, dll) dan kompetisi dengan ternak
43
lainnya. Ditemukan sapi-sapi dengan kondisi merumput yang rendah oleh karena kondisi lingkungan yang tidak nyaman untuk ternak. Pada penelitian ini dimana ternak sapi dilepas ke area penggembalaan, terlebih dahulu diberikan perlakuan energi ransum saat pagi hari dan sore hari. Akhirnya pada Tabel 17 menunjukkan persentase tingkah laku merumput di area penggembalaan sangat rendah yaitu berkisar antara 6.7%-9% (24-33 menit) per pengamatan 6 jam (pukul 09.00-15.00 WIB). Schütz et al. (2009) melaporkan bahwa rataan tingkah laku merumput (eating) selama pengamatan 6 jam mencapai 45%, serta Muller dan Schrader (2003) bahwa tingkah laku makan dari ke empat sapi sebesar 17.2%-42.9% selama pengamatan sehari dimana hasil ini disebabkan adanya perbedaan jenis pakan, suhu lingkungan serta jenis sapi yang digunakan. Tabel 17 Pengamatan tingkah laku ternak di area penggembalaan selama 6 jam (pukul 09.00-15.00) Tingkah laku Lama tingkah laku dengan energi ransum A B C D 0.54 0.46 0.4 0.42 Grazing Standing not grazing
4.0
3.9
3.8
3.8
Lying
1.46
1.64
1.8
1.78
Rumination *)
0.9
1.08
0.93
0.93
*) Rumination merupakan bagian dari kegiatan Lying Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dari kedua laporan tersebut sesuai dengan penjelasan Muller dan Schrader (2003) dan sebelum dilepas atau digembalakan, sapi pada penelitian ini terlebih dahulu diberi pakan sehingga aktivitas merumputnya sangat rendah.
Pemberian perlakuan energi
ransum yang tinggi (seperti C dan D) menyebabkan tambahan konsumsi di area penggembalaan lebih rendah dibanding energi ransum A dan B.
Hal ini
disebabkan ransum merupakan tambahan beban panas bagi tubuh, sehingga pada siang hari, ternak mengurangi konsumsi ransum. Pada penelitian ini sebagai tambahan juga dilakukan pengamatan frekuensi minum
yang diperoleh
meningkat pada siang hari sebagai upaya untuk menyeimbangkan panas tubuhnya. Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi).
Pakan berserat (hijauan) yang dimakan
ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan
44
yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Tabel 17 menunjukkan sedikit variasi atau bisa dikatakan hampir seragam lama ruminasi oleh pengaruh perlakuan energi ransum. Korelasi positif yang diperoleh antara waktu merumput dan lama ruminasi, semakin banyak waktu merumput maka semakin lama ruminasi dari seekor ternak. Hasil yang diperoleh dari pengamatan ruminasi ini yaitu berkisar antara 15.4%-18% (55-65 menit) selama 6 jam dengan rata-rata frekuensi ruminasi antara 5-7 kali. Hal ini sesuai dengan Acatincăi et al. (2009) bahwa lama ruminasi sapi romanian black and white pada musim panas yang bersuhu 31.76oC yaitu rata-rata 350.6 menit, frekuensi 14.6 kali dengan durasi rata-rata ruminasi 24.8 menit selama pengamatan sehari (24 jam). Persentase hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang diperoleh. Banyak
peternakan
rakyat
yang
masih
belum
memaksimalkan
kenyamanan pada sapi perah. Perlu diketahui bahwa observasi dan pengalaman menunjukkan bahwa sapi yang berada di kandang yang nyaman, memproduksi lebih banyak susu dan secara umum lebih sehat, hidup lebih lama. Tingkah laku berbaring dan berdiri dari pengaruh perlakuan yaitu berkisar antara 26.1-27.2% dan 64-67%. Terdapat korelasi positif antara waktu berbaring ternak dengan produktivitas ternak, serta korelasi negatif antara lama berdiri, waktu berbaring serta produktivitas ternak. Menurut Schütz et al. (2009) bahwa sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit. Saat permukaan bedding tidak nyaman, sapi akan mengurangi waktu istirahat mereka. Jika sapi tidak dapat berbaring, mereka akan berdiri terlalu lama dan ini akan mengganggu siklus tingkah laku naturalnya. Sapi akan berdiri terlalu lama dan mengurangi makan dan minum. Pengurangan frekuensi ke tempat pakan dan kurangnya konsumsi bahan kering. Selain itu, cuaca, kualitas bedding, tipe kandang dan kepadatan ternak dalam kandang juga mempengaruhi lamanya dan
45
frekuensi berbaring. Sapi butuh untuk berbaring karena pengurangan waktu berbaring, akan mengurangi produksi susu. Pada penelitian ini, juga dilakukan pengamatan frekuensi defekasi, urinasi, tingkah laku agonistik dan allelomimetik. Frekuensi defekasi 5.3-5.6 kali dan urinasi untuk A dan B 6.4 kali, C 5.9 kali dan D 6.9 kali. Hasil yang diperoleh tersebut dari pengaruh perlakuan pakan yaitu hampir seragam dengan rentang selama 6 jam pengamatan. Tingkah laku agonistik dan allelomimetik pada penelitian ini, tidak terekspresikan secara jelas atau frekuensinya rendah karena kebutuhan pakan terpenuhi serta naungan yang cukup luas.
Abeni (2000)
menyatakan bahwa defekasi merupakan salah satu upaya ternak untuk mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara membuang feses, yaitu salah satu produk sisa organ pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi didegradasikan dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh. jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang dikeluarkan oleh seekor sapi.
Selain itu, pengamatan tingkah laku bernaung
dilakukan selama 6 jam di area penggembalaan. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 18. Pemberian naungan merupakan suatu upaya untuk mengurangi beban panas ternak dengan cara melindunginya dari radiasi langsung pancaran panas matahari sehingga dengan adanya naungan ini, proses termoregulasi dapat berlangsung dengan baik.
Pengaruh dari pancaran radiasi langsung matahari
terhadap respons termoregulasi dapat dijadikan indikator untuk menilai sejauh mana efektifitas dan daya dukung naungan dalam membantu melindungi ternak dari radiasi langsung panas matahari. Yani dan Purwanto (2006) bahwa sapi FH di daerah Darmaga, Bogor, mulai mencari tempat berteduh pada saat radiasi matahari di atas 450 watt/m2. Pada kondisi ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas, sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan. Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77.38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami
46
cekaman panas maksimal dari radiasi matahari pada pukul 12.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 watt/m . 2
Tabel 18
0900 - 1000
Intensitas rata-rata lama bernaung ternak selama pengamatan perlakuan RM Rata-rata lama bernaung (menit) (watt/m2) A B C D 282 10.8±2,75 10.0±3.89 23.1±5.11 22.5±9.8
1000 - 1100
Pengamatan
313
32.8±1,51
35.5±5.24
42.2±3.12
38.0±3.5
00
00
389
38.7±5,41
40.0±7.72
47.4±4.30
45.5±5.7
00
00
426
42.4±5,34
44.3±9.02
50.8±2.95
48.9±10.4
00
00
419
31.3±1,87
26.3±10.17
30.6±5.54
29.6±0.80
00
00
290
16.6±4,00
16.4±0.95
16.5±3.51
15.1±4.25
a
b
11 - 12 12 - 13 13 - 14 14 - 15 Total
172.6±12,4
Rataan
28.7±12.46
a
172.4±13.6
210.8±13.8
199.7±13.2b
28.7±13.60
35.1±13.87
33.3±13.22
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Tingkah
laku
bernaung
sapi-sapi
yang
dikeluarkan
ke
padang
penggembalaan pada pagi (pukul 09.00-10.00) dan menjelang sore hari (pukul 14.00-15.00) lebih banyak diluar naungan, dengan aktivitas merumput, bermain (playing) dan standing not grazing (berdiri tanpa merumput).
Kondisi ini
disebabkan kondisi lingkungan mikro dan makro seperti suhu lingkungan dan radiasi matahari belum meningkat di pagi hari dan menurun menjelang sore hari. Pada siang hari yang panas pada selang antara pukul 09.00-14.00 ternak mengalami cekaman, pengamatan lebih banyak berada di dalam naungan dengan posisi berdiri tanpa banyak melakukan aktivitas gerakan untuk mengurangi peningkatan metabolisme panas tubuh. Suhu lingkungan mencapai puncak pada pukul 12.00-13.00 yang diikuti dengan tingkah laku berbaring, istirahat untuk melakukan kegiatan ruminasi. Terdapat dua pola lama bernaung akibat pengaruh perlakuan energi ransum, pertama yaitu energi ransum rendah A dan B selama 172.6 dan 172.5 menit dengan rataan lama bernaung 28.7 dan 28.77 menit, kedua yaitu energi ransum tinggi C dan D selama 210.75 dan 199.67 menit dengan rataan lama
47
bernaung 35.13 dan 33.28 menit.
Energi ransum yang tinggi menyebabkan
metabolisme dalam tubuh meningkat sebagai beban tambahan panas sehingga proses termoregulasi dan tingkah laku berubah dengan mencari naungan. Meskipun demikian, pola perubahan lama bernaung per pengamatan seragam yaitu lama bernaung mulai meningkat pada siang hari dan turun menjelang sore hari, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Hal ini berarti, lingkungan mikro seperti suhu lingkungan, radiasi matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap lama bernaung ternak. 60.0
Lama bernaung (menit)
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 09.‐10.
10.‐11.
11.‐12.
12.‐13.
13.‐14.
14.‐15
Waktu Pengamatan
Gambar 8
Pola perubahan lama bernaung per pengamatan perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C, ransum D.
Hubungan antara Lama Bernaung (LB) Sapi Perlakuan dengan Suhu Lingkungan (SL) dan Radiasi Matahari (RM) Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan, sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya untuk mempertahankan panas tubuhnya agar tidak naik akibat cekaman panas dari suhu lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi akan bernaung lebih lama dengan intensitas yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas lama bernaungnya karena angin dapat mereduksi panas tubuh sapi FH. Pemberian naungan seperti kandang, dapat mengurangi cekaman panas tubuh sapi FH terutama pada siang hari. Total pengurangan panas tubuh ternak dengan naungan dapat mencapai 30-50% (Tucker et al. 2008). Cara
48
ternak sapi FH dalam mencari naungan sangat tergantung dari iklim mikro seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin. Hubungan antara lama bernaung (LB) per perlakuan sebagai variabel terikat dengan suhu lingkungan dan radiasi matahari sebagai variabel bebas dinyatakan dalam persamaan : LB A = -33.7 + 1.64 Ta + 0,037 SR
LB C = 26.3- 0.17 Ta + 0.0367 SR
LB B = -63.1 + 2.67 Ta + 0,0298 SR
LB D = 10.1 + 0.31 Ta + 0.043 SR
Antara peubah bebas (Ta dan SR) tidak ada korelasi yang tinggi yang berarti layak dibuat persamaan antara peubah LB dan peubah Ta dan RM. Persamaan regresi untuk setiap perlakuan energi ransum dapat dilihat di atas, namun kurang baik karena koefisien determinasinya rendah yaitu rsquare untuk A:0.294, B:0.245, C:0.10 dan D:0.176. Dari analisis ragam terlihat bahwa semua model atau persamaan cukup baik/sesuai karena berpengaruh nyata A (P<0.01), B (P<0.01), C (P<0.05) dan D (P<0.01) antara peubah bebas (Ta dan SR) dan peubah terikat (LB), serta pengujian parameter berpengaruh nyata sampai batas taraf nyata 3%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika terjadi
perubahan pada SL dan RM akan mengakibatkan perubahan secara signifikan terhadap lama bernaung sapi perah dara PFH. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Respons Termoregulasi Tingkat kandungan energi pakan yang dikonsumsi ternak merupakan manifestasi produktivitas yang akan ditampilkan. Namun pada suhu lingkungan yang panas, tingginya kandungan energi pakan merupakan beban tambahan panas. Keadaan ini menyebabkan ternak tidak mampu menampilkan produktivitas secara optimal apabila dipelihara di daerah beriklim tropis, sehingga menurunkan efesiensi pakan.
Konsumsi energi ransum pada penelitian ini menyebabkan
respons termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr, Rr mengalami peningkatan dari perlakuan A ke perlakuan D. Akibat dari kenaikan kandungan tingkat energi yang dikonsumsi ternak, maka produksi panas tubuh akan mengalami peningkatan pula. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan core body temperature (suhu organ dalam) yang diwakili oleh suhu rektal. Tabel 12 menunjukkan bahwa suhu rektal meningkat
49
sangat nyata (P<0.01) sesuai dengan peningkatan energi ransum yang dikonsumsi sapi perlakuan. 3 9 .1 3 9 .0
Suhu tubuh (oC)
3 8 .9 3 8 .8
Tb (oC)
3 8 .7 3 8 .6 3 8 .5
Tb = 37.5 +0.262 TDN R2 = 0.966 ; P<0.01
3 8 .4 3 8 .3 3 8 .2 3 .0
3 .5
4 .0 4 .5 5 .0 Ko ns um s i T DN (kg/ha ri)
5 .5
6 .0
Konsumsi TDN (kg)
Gambar 9
Persamaan regresi antara konsumsi TDN dengan suhu tubuh (Tb) ternak sapi dari perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C dan ransum D.
Peningkatan suhu rektal juga berkaitan dengan panas yang dibentuk oleh proses metabolisme konsumsi pakan di dalam tubuh. Tingginya metabolisme intake energi tersebut, terjadi peningkatan denyut jantung sangat nyata (P<0.01) yang ditunjukkan pada Tabel 15, dimana peningkatan produksi panas berkaitan dengan proses fermentasi, absorbsi, transportasi dan penyimpanan pakan. Fungsi jantung dan salurannya sebagai alat transportasi (hasil metabolisme, hormon, cairan tubuh lainnya) dan alat pengatur keseimbangan panas (Frandson 1992). Alat pengatur keseimbangan tersebut menyebabkan panas dari dalam tubuh untuk dibuang keluar atau sebaliknya membawa panas dari kulit untuk didistribusikan
ke
semua
organ
akhirnya
keseimbangan untuk melakukan reaksi.
mendorong
organ
pengatur
Peningkatan denyut jantung akan
membantu pengangkutan oksigen dan sekaligus memindahkan panas metabolik ke permukaan tubuh, sehingga proses pelepasan panas dapat terjadi melalui jalur sensible dan evaporasi.
Pelepasan panas tersebut meningkatkan secara nyata
(P<0.01) frekuensi respirasi yang ditunjukkan pada Tabel 16, dengan energi metabolisme yang diperoleh dari konsumsi ternak. Hal ini berkaitan dengan usaha ternak melakukan pertukaran udara yang lebih dingin di luar tubuh dengan udara di dalam tubuh.
50
Proses pelepasan panas berlangsung melalui pernafasan, juga terjadi pelepasan panas dengan evaporasi melalui kulit secara nyata (P<0.01) pada Tabel 13. Pelepasan panas dengan jalur ini mengakibatkan suhu kulit meningkat, karena kelenjar kulit bekerja aktif membuang panas yang tersimpan oleh keringat di dalamnya. Kondisi ini juga mempengaruhi suhu tubuh yang meningkat secara nyata (P<0.01) pada perlakuan energi ransum. Terdapat hubungan antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi respirasi (Rr) dan yang diilustrasikan pada Gambar 10. 67.5
Rr (kali/menit) Rr (kali/menit)
65.0
62.5
60.0
Rr = ‐615 + 17.5 Tb R2 = 0.9055 ; P<0.01
57.5
55.0 38.4
38.6
38.8
39.0
Tb (oC)
Tb (oC)
Gambar 10
Persamaan regresi antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi respirasi (Rr) ternak sapi dari perlakuan energi ransum.
Hubungan antara Rr dan Tb diperoleh model persamaan yaitu Rr = -615 + 17.5 Tb. Berdasarkan persamaan ini diperoleh hasil pengujian bahwa suhu tubuh berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi respirasi dengan peluang nyata 0.0001. Disamping itu koefisien determinasi yang dihasilkan cukup tinggi 0.9055 artinya 90.5% keragaman dari Rr dapat dijelaskan oleh model regresi sederhana ini. Peningkatan suhu tubuh sebanyak 0.2oC akan meningkatkan Rr sebesar 17.5 kali/menit. Produksi panas yang diperoleh dengan indikator Tb yang meningkat menyebabkan pengeluaran panas yang tinggi pula melalui Rr secara sensible serta Ts secara evaporasi. Pada penelitian ini, pengamatan respons termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr dan Rr dilakukan pada setiap 2 jam mulai pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Pemberian ransum setiap 2 kali sehari yaitu pagi pada pukul 07.30 dan sore hari pukul 15.00. Respons termoregulasi mulai meningkat pukul 10.00 dan mencapai puncak antara pukul 12.00-13.00 serta menurun menjelang sore hari
51
pada pukul 14.00, seperti terlihat pada Tabel 12 (Tr), Tabel 13 (Ts), Tabel 14 (Tb), Tabel 15 (Hr) dan Tabel 16 (Rr).
Selain pengaruh lingkungan mikro,
konsumsi energi pakan juga bertanggung jawab terhadap proses termoregulasi yang dihasilkan. Respons termoregulasi tertinggi ditunjukkan pada pengamatan pukul 12.00 WIB yang disebabkan suhu lingkungan yang tinggi dan terjadi proses metabolisme energi di dalam tubuh. Frandson (1992) bahwa proses ruminasi, absorpsi dan metabolisme energi berlangsung 2-5 jam setelah ternak makan. Untuk menghasilkan energi, karbohidrat (glukosa), protein dan lemak
akan
berlangsung dua mekanisme utama yaitu secara anaerobik dan aerobik. Pada tahap aerobik, metabolisme energi menggunakan bantuan oksigen (respirasi seluler). Peningkatan transport O2 dalam darah ini menyebabkan peningkatan kontraksi dan relaksasi organ jantung. Berbeda halnya hubungan antara LB dan lingkungan mikro, pada model regresi ini (Gambar 9), baik untuk digunakan karena mempunyai koefisien determinasi (r) yang cukup tinggi yaitu 0.921 artinya 92.1% keragaman dari lama bernaung dapat dijelaskan oleh model regresi linier sederhana ini.
Hasil
pengujian menunjukkan bahwa TDN intake berpengaruh nyata terhadap lama bernaung sapi perah dara dengan peluang nyata sebesar 0.0001. Peningkatan TDN intake 1 kg akan mengubah lama bernaung 32 menit. 240
LB (menit)
Lama bernaung (menit)
220 200 180
160 140 120 3.0
Gambar 11
3.5
4.0 4.5 5.0 Konsumsi TDN (kg) Konsum si T DN (kg/hari)
5.5
6.0
Persamaan regresi kubik antara lama bernaung (LB) dan konsumsi TDN ternak dari perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C dan ransum D.
52
Gambar 11 menunjukkan hubungan yang erat antara lama bernaung ternak dengan konsumsi TDN. Konsumsi TDN yang tinggi diikuti dengan peningkatan frekuensi lama bernaung ternak. Konsumsi TDN 3.0-4.5 kg/hari menunjukkan ternak tidak mengalami cekaman panas yang dibuktikan suhu tubuh ternak berada pada kisaran normal 38.3-38.7oC seperti yang terlihat pada Gambar 9. Begitu halnya dengan hubungan ini, konsumsi TDN konsentrat 55-60% menghasilkan frekuensi lama bernaung yang lebih rendah dibanding konsumsi TDN konsentrat 65-70%.
Konsumsi TDN lebih dari 4,5 kg/hari menunjukkan cekaman panas
pada sapi perah yang dibuktikan frekuensi lama bernaung yang tinggi akibat kombinasi pengaruh lingkungan mikro dan konsumsi energi yang tinggi. Hubungan non linier antara konsumsi TDN ternak terhadap lama bernaung (Gambar 15) didapatkan model persamaan yaitu : LB = -691.6 + 532.3 TDN -109.1 TDN2 + 7.7 TDN3 Model persamaan tersebut baik untuk digunakan karena mempunyai koefisien determinasi sebesar 0.985, artinya 98.5% dari persamaan ini dapat menjelaskan keragaman lama bernaung ternak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi TDN berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan frekuensi bernaung ternak dengan peluang 0.001.
Lama bernaung ternak juga merupakan salah satu
indikator untuk penilaian bahwa ternak tersebut mengalami cekaman panas dari lingkungan dan energi ransum.
53
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Peningkatan kandungan
energi dalam ransum
sapi perah dara PFH
menyebabkan peningkatan respon termoregulasi (Tr, Ts, Tb, Rr, dan Hr). 2. Peningkatan respon termoregulasi sapi perah dara PFH tersebut menyebabkan penurunan konsumsi BK dan TDN. 3. Ternak sapi perah dara PFH dengan BB 240-354 kg yang mengkonsumsi TDN ≥ 4.5 kg/hari mengalami cekaman panas dengan level sedang-berat. 4. Peningkatan konsumsi energi dan kondisi lingkungan menyebabkan sapi bernaung lebih lama. Lama bernaung dapat dijadikan indikator stres panas. Berdasarkan pengamatan pada konsumsi TDN ≥ 4.5 kg/hari dengan kondisi lingkungan SR 255-460 watt/m2, menyebabkan sapi bernaung ≥ 3 jam 20 menit yang mengindikasikan terjadi stres panas.
Saran 1. Potensi terjadinya cekaman panas di daerah tropis akibat pengaruh lingkungan mikro dan makro, sehingga diperlukan upaya pemberian energi ransum yang tepat dan manajemen pemberian pakan yang tepat. 2. Pada pemeliharaan sapi perah dara PFH dengan bobot 240-354 kg, sebaiknya diberikan TDN pakan sebesar 60-65% karena PBB dapat dicapai secara optimal dengan menghindari cekaman panas melalui proses termoregulasi yang baik. 3. Kondisi lingkungan mikro penelitian yang merupakan kondisi umum iklim tropis basah di Indonesia diperlukan manajemen pemberian ransum pada sapi perah dara dengan konsumsi BK 7.0-7.4 kg/ekor/hari dan konsumsi TDN 4.04.7 kg/ekor/hari. 4. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai manajemen pemberian konsumsi energi menjelang malam hari untuk membandingkan respons termoregulasi dan produksi ternak sapi perah, serta penelitian menggunakan sapi laktasi untuk melihat faktor produksinya.
54
DAFTAR PUSTAKA Abeni F, Calamari L, Stefanini L, Pirlo G. 2000. Effects of Daily Gain in pre-and Postpubertal Replacement Dairy Heifers on Body Condition Score, Body Size, Metabolic Profile, and Future Milk Production. J Dai Sci 83:1468– 1478. Acatincăi S et al. 2009. Study regarding rumination behaviour in multiparous Romanian Black and White Cows during summer season. Lucrări ştiinţifice Zooteh Bio 42:126-135. Agenậs S, Heath MF, Nixon RM, Wilkinson JM, Phillips CJC. 2006. Indicators of undernutrition in cattle. Ani Welf 15:149–160. Ălvarez-Rodrīguez J, Sanz A. 2009. Physiological and behavioural responses of cows from two beef breeds submitted to different suckling strategies. Appl Anim Behav Sci 120:39-48. Bond J, McDowell RE. 2008. Repoductive performance and physiological responses of beef females as affected by a prolonged high environmental temperature. J Anim Sci 35:820-829. Brown-Brandl TM et al. 2006a. Comparison of heat tolerance of feedlot heifers of different breeds. Livest Sci 105:19–26. Brown-Brandl TM, Eigenberg RA, Nienaber JA. 2006b. Heat stress risk factors of feedlot heifers. Livest Sci 105:57–68. Chiba LI. 2007. Dairy Cattle Nutrition and Feeding. Handbook 15:307-408.
Animal Nutrition
De Rensis F, Scaramuzzi RJ. 2003. Heat stress and seasonal effects on reproduction in the dairy cow—a review. Theriogeno 60:1139–1151. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan:B. Srigandono dan K. Presno. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fox DG, Tylutki TP. 1998. Accounting for the effects of environment on the nutrient requirements of dairy cattle. J Dai Sci 81:3085–3095. Hartadi H, Soedomo R, Allen DT. 1993. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
55
Kendall PE, Nielsen PP, Webster JR, Verkerk GA, Littlejohn RP. 2006. The effects of providing shade to lactating dairy cows in a temperate climate. Livest Sci 103: 148–157. Lee CN, Keala N. 2005. Evaluation of cooling system to improve lactating Holstein cows comfort in the sub-tropics. J Anim Sci 82:128-136. Martini F. 2006. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7th edition. USA: Pearson Education Inc; p. 153-78. McLean JA, Downie AJ, Jones CDR, Stombough DP, Glasbey CA. 1983. Thermal adjustments of stress (Bos Taurus) to abrupt changes in environments temperature. J Agric Sci Camb 48:81-84. McNeilly AS. 2001. Reproduction, fertility and development. Publishing, 13:583-590.
CSIRO
Muller R, Schrader L. 2003. A new method to measure behavioural activity levels in dairy cows. Appl. Anim. Behav. Sci., 83; 247-258. National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 7th revised edition. National Academy Press. Pennington JA, van Devender K. 2004. Heat Stresss in Dairy Cattle. Agriculture and Natural Resources University of Arkansas. http://www.uaex.edu. Philips C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. 2nd edition. Blackwell publishing. Malden, USA. Purwanto BP, Matsumoto T, Nakamasu F, Ito T, Yamamoto S. 1993. Effect of standing and lying behaviours on heat production of dairy heifers differing in feed intake levels. AJAS. 6:271-274. Rahardja DP. 2006. Ilmu Lingkungan Ternak. Citra Emulsi, Makassar. Schütz KE, Cox NR, Matthews LR. 2008. How important is shade to dairy cattle? choice between shade or lying following different levels of lying deprivation. Appl Anim Behav Sci 114:307–318. Schütz KE, Rogers AR, Cox NR, Tucker CB. 2009. Dairy cows prefer shade that offers greater protection against solar radiation in summer: shade use, behaviour, and body temperature. Appl Anim Behav Sci 116:28–34. Seath DM, Miller GD. 2008. The Relative importance of high temperature and high humidity as factors influencing respiration rate, body temperature, and pulse rate of dairy cows. J Dai Sci 91:3710-3715.
56
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Gramedia, Jakarta. Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Cetakan ke-2. AgroMedia Pustaka, Bogor. Tucker CB, Rogers AR, Verkerk GA, Webster JR, Matthews LR. 2007. Effects of shelter and body condition on the behaviour and physiology of dairy cattle in winter. Appl Anim Behav Sci 105:1–13. Tucker CB, Rogers AR, Schütz KE. 2008. Effect of solar radiation on dairy cattle behaviour, use of shade and body temperature in a pasture-based system. Appl Anim Behavr Sci 109:141–154. Tyler HD, Enseminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th edition. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Velasco NB, Arguzon JA, Briones JI. 2002. Reducing Heat Stress in Dairy Cattle : Phlippines. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Weeth HJ, Hunter JE, Piper EL. 2008. Effect of salt water dehydration on temperature, pulse, and respiration of growing cattle. J Dai. Sci 21:688691. West JW. 2003. Effects of heat-stress on production in dairy cattle. J Dai Sci 86 :2131-2141. West JW, Mullinix BG, Bernard JK. 2003. Effects of hot, humid weather on milk temperature, dry matter intake, and milk yield of lactating dairy cows. J Dai Sci 86:232–242. Wredle E, Munksgaard L, Sporñdly E. 2006. Training cows to approach the milking unit in response to acoustic signals in an automatic milking system during the grazing season. Appl Anim Behav Sci 101:27–39. Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya (ulasan). Med Pet 1:35-46.
57
Lampiran 1 Gambar area penelitian
Area Penggembalaan Naungan
P : 32.5 m L : 20 m Luas 650 m2 : Air Minum
Padang Rumput
Padang Rumput
Kandang
58
L Lampiran 2 Lokasi penggukuran suhhu permukaaan kulit (oC)
R Rumus rataaan suhu kulitt (Ts) menurrut McLean et e al. (1983)) : Ts = 0.25 (a+b)) + 0.32 c + 00.18 d K Keterangan : a = daerah pungggung b = daerah dadaa c = daerah tunggkai atas kakki depan d = daerah tunggkai bawah kaki k depan
59
Lampiran 3 Komposisi nutrien bahan pakan (%) No. Pakan
BK
Abu
PK
SK
LK
BetaN
1
Rumput Gajah1
21.7
9.21
2
Onggok1
85.7
5.9
1.35
9.06
1.18
3
Dedak Kasar2
84.8
12.6
4.2
17.0
4.2
58.29
4
Dedak Halus1
86
10.1
11.9
10.0
12.1
5
Molasses2
77.3
8.1
4.2
7.7
6
Bungkil Kelapa1
86
5.5
18.6
7
Bungkil Sawit1
86
3.6
8
Bungkil Kedele2
86
9
Pollard2
86
10
Urea
100
11
Garam
100
12
CaCO3
100
8.7 38.98
1.26
25.33
TDN
Ca
P
56.2
0.81
0.45
46.7 68.899
0.68
0.05
29.07
-
-
41.9
67.9
0.06
1.35
0.2
57.1
70.7
0.71
0.07
10.4
8.8
42.7
73.8
0.08
0.67
15.4
9.6
4.1
53.3
71.4
0.31
0.85
5.8
44.6
4.4
1.1
30.1
72
0.2
0.74
4.2
16.1
6.6
4.5
61.9
69.2
0.23
283
1
Analisis proksimat, Lab Bahan Makanan Ternak FapetIPB
2
Hartadi et al. (1993)
60
Lampiran 4 Analisis ragam dan uji BNT konsumsi ransum •
Analisis ragam konsumsi BK ransum
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.5850000
0.19500000
1.34
0.3455
periode
3
8.2150000
2.73833333
18.89
0.0019
sapi
3
25.8500000
8.61666667
59.43
<.0001
Uji BNT konsumsi BK ransum Grup t
rataan
N
pakan
A
7.4750
4
A
A
7.3250
4
B
A
7.2500
4
C
A
6.9500
4
D
A A A
•
Analisis ragam konsumsi TDN ransum
SK
db
JK
KT
Fhitung
pakan
3
0.1025000
0.03416667
0.50
0.6959
periode
3
2.1225000
0.70750000
10.35
0.0087
sapi
3
8.9025000
2.96750000
43.43
0.0002
Uji BNT konsumsi TDN ransum Grup t
rataan
N
pakan
A
4.4000
4
C
A
4.3000
4
D
A
4.2750
4
B
A
4.1750
4
A
A A A
Pr > F
61
•
Analisis ragam konsumsi PK ransum
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.01021875
0.00340625
3.39
0.0951
periode
3
0.02476875
0.00825625
8.20
0.0152
sapi
3
0.15031875
0.05010625
49.80
0.0001
Uji BNT konsumsi TDN ransum Grup t A A A
B B B B B
rataan
N
pakan
0.76250
4
C
0.72750
4
D
0.70500
4
A
0.69750
4
B
Analisis ragam dan uji BNT PBB ternak •
Analisis ragam PBB ternak
SK
db
JK
KT
Fhitung
pakan
3
0.03966875
0.01322292
2.82
0.1291
periode
3
0.01466875
0.00488958
1.04
0.4384
sapi
3
0.01341875
0.00447292
0.96
0.4718
Uji BNT PBB ternak Grup t
B B B B B
A A A A A
rataan
N
pakan
0.68000
4
B
0.65500
4
C
0.63000
4
A
0.54750
4
D
Pr > F
62
Lampiran 5 Analisis ragam dan uji BNT suhu rektal •
Analisis ragam suhu rektal pukul 10.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.35706875
0.11902292
44.81
0.0002
periode
3
0.12121875
0.04040625
15.21
0.0033
sapi
3
0.08796875
0.02932292
11.04
0.0074
Uji BNT suhu rektal pukul 10.00 Grup t
N
rataan
pakan
A
39.00250
4
D
B
38.86500
4
C
C
38.68750
4
B
C
38.62250
4
A
C •
Analisis ragam suhu rektal pukul 12.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Pakan
3
0.39315000
0.13105000
13.20
0.0047
periode
3
0.02585000
0.00861667
0.87
0.5074
sapi
3
0.05735000
0.01911667
1.93
0.2266
Uji BNT suhu rektal pukul 12.00
Grup t
B C C C
rataan
N
pakan
A
39.24250
4
D
B
39.05500
4
C
38.88750
4
B
38.84500
4
A
B
63
•
Analisis ragam suhu rektal pukul 14.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.46451875
0.15483958
20.51
0.0015
periode
3
0.07276875
0.02425625
3.21
0.1041
sapi
3
0.04901875
0.01633958
2.16
0.1933
Uji BNT suhu rektal pukul 14.00 Grup t
B C C
rataan
N
pakan
A
39.18000
4
D
B
38.91250
4
C
B
38.79000
4
B
C
38.74000
4
A
Lampira 6 Analisis ragam dan uji BNT suhu kulit •
Analisis ragam suhu kulit pukul 10.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
3.14631875
1.04877292
20.17
0.0016
periode
3
2.21786875
0.73928958
14.22
0.0039
sapi
3
0.32721875
0.10907292
2.10
0.2020
Uji BNT suhu kulit pukul 10.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
37.6875
4
D
A
37.4875
4
C
B
36.7775
4
B
B
36.6550
4
A
A
B
64
•
Analisis ragam suhu kulit pukul 12.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
3.0071500
1.00238333
15.97
0.0029
periode
3
1.6827500
0.56091667
8.94
0.0124
sapi
3
0.2859000
0.09530000
1.52
0.3030
Uji BNT suhu kulit pukul 12.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
37.9525
4
D
A
37.6225
4
C
B
36.9600
4
B
B
36.9450
4
A
A
B
•
Analisis ragam suhu kulit pukul 14.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
3.10372500
1.03457500
12.88
0.0050
periode
3
1.40372500
0.46790833
5.83
0.0328
sapi
3
0.26372500
0.08790833
1.09
0.4209
Uji BNT suhu kulit pukul 14.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
37.8100
4
D
A
37.5350
4
C
B
36.8525
4
B
B
36.7775
4
A
A
B
65
Lampiran 7 Analisis ragam dan uji BNT suhu tubuh •
Analisis ragam suhu tubuh pukul 10.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.5739250
0.19130833
48.03
0.0001
periode
3
0.2000250
0.06667500
16.74
0.0026
sapi
3
0.1125250
0.03750833
9.42
0.0110
Uji BNT suhu tubuh pukul 10.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
38.81750
4
D
B
38.67000
4
C
C
38.42250
4
B
C
38.34500
4
A
C
•
Analisis ragam suhu tubuh pukul 12.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
0.6018750
0.20062500
16.94
0.0025
periode
3
0.0744250
0.02480833
2.10
0.2023
sapi
3
0.0778250
0.02594167
2.19
0.1901
Uji BNT suhu tubuh pukul 12.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
39.06000
4
D
B
38.85000
4
C
C
38.61500
4
B
C
38.58000
4
A
C
66
•
Analisis ragam suhu tubuh pukul 14.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Pakan
3
0.68221875
0.22740625
29.57
0.0005
Periode
3
0.11311875
0.03770625
4.90
0.0470
sapi
3
0.06481875
0.02160625
2.81
0.1302
Uji BNT suhu tubuh pukul 14.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
38.98500
4
D
B
38.75000
4
C
C
38.51750
4
B
C
38.46500
4
A
C
Lampiran 8 Analisis ragam dan uji BNT frekuensi denyut jantung •
Analisis ragam denyut jantung pukul 10.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
232.7073687
77.5691229
16.26
0.0028
periode
3
197.2019188
65.7339729
13.78
0.0042
sapi
3
44.7345688
14.9115229
3.13
0.1091
Uji BNT denyut jantung pukul 10.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
71.940
4
D
A
68.513
4
C
B
64.450
4
B
B
61.970
4
A
A
B
67
•
Analisis ragam denyut jantung pukul 12.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
267.7886188
89.2628729
16.81
0.0025
periode
3
143.3285188
47.7761729
9.00
0.0122
sapi
3
49.7558688
16.5852896
3.12
0.1093
Uji BNT denyut jantung pukul 12.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
74.163
4
D
A
72.570
4
C
B
66.465
4
B
64.340
4
A
A
B B
•
Analisis ragam denyut jantung pukul 14.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
201.6748188
67.2249396
10.05
0.0094
periode
3
127.1464188
42.3821396
6.34
0.0273
sapi
3
56.5698187
18.8566062
2.82
0.1295
Uji BNT denyut jantung pukul 12.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
70.918
4
D
A
69.615
4
C
B
64.470
4
B
B
62.315
4
A
A
B
68
Lampiran 9 •
Analisis ragam dan uji BNT frekuensi respirasi
Analisis ragam frekuensi respirasi pukul 10.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Pakan
3
245.9746188
81.9915396
56.26
<.0001
Periode
3
57.0924188
19.0308063
13.06
0.0049
sapi
3
8.3611688
2.7870563
1.91
0.2288
Uji BNT frekuensi respirasi pukul 10.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
64.1050
4
D
A
62.4500
4
C
B
56.3300
4
B
B
54.8575
4
A
A
B
•
Analisis ragam frekuensi respirasi pukul 12.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
239.079025
79.6930083
100.52
<.0001
periode
3
49.790075
16.5966917
20.93
0.0014
sapi
3
8.778425
2.9261417
3.69
0.0814
Uji BNT frekuensi respirasi pukul 12.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
66.5150
4
D
A
65.1375
4
C
B
59.0150
4
B
C
57.4575
4
A
A
69
•
Analisis ragam frekuensi respirasi pukul 14.00
SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
pakan
3
208.3124687
69.4374896
61.46
<.0001
periode
3
39.2229688
13.0743229
11.57
0.0066
sapi
3
12.2249687
4.0749896
3.61
0.0849
Uji BNT frekuensi respirasi pukul 14.00 Grup t
rataan
N
pakan
A
63.8250
4
D
A
62.9850
4
C
B
56.9650
4
B
B
55.5925
4
A
A
B
Keterangan : SK db JK KT Fh Pr
= = = = = =
sumber keragaman derajat bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah Fhitung probability
Lampiran 10 Analisis regresi Tb (Y) dan konsumsi TDN (X) The regression equation is Tb = 37.5 + 0.262 TDN Predictor Coef SE Coef T P Constant 37.5335 0.0578 649.68 0.000 TDN 0.26186 0.01322 19.81 0.000 S = 0.0448967 R-Sq = 96.6% R-Sq(adj) = 96.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.79116 0.79116 392.49 0.000 Residual Error 14 0.02822 0.00202 Total 15 0.81937 Unusual Observations Obs TDN Tb Fit SE Fit Residual St Resid 10 4.50 38.8000 38.7119 0.0116 0.0881 2.03R
70 Lampiran 11 Analisis regresi Rr (Y) dan Tb (X) The regression equation is Rr = - 615 + 17.5 Tb Predictor Coef SE Coef T P Constant -615.42 69.03 -8.91 0.000 Tb 17.477 1.785 9.79 0.000 S = 1.33484 R-Sq = 90.6% R-Sq(adj) = 89.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 170.79 170.79 95.85 0.000 Residual Error 10 17.82 1.78 Total 11 188.61 Lampiran 12 Analisis regresi kubik LB (Y) dan konsumsi TDN (X) The regression equation is LB = - 691.6 + 532.3 TDN - 109.1 TDN**2 + 7.734 TDN**3 S = 4.04476 R-Sq = 98.5% R-Sq(adj) = 98.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 3 12654.7 4218.23 257.84 0.000 Error 12 196.3 16.36 Total 15 12851.0 Sequential Analysis of Variance Source DF SS F P Linear 1 11830.4 162.28 0.000 Quadratic 1 518.1 13.40 0.003 Cubic 1 306.2 18.72 0.001