24
Keterangan :
aj : nilai aktivasi dari unit j. Wj,i : bobot dari unit j ke unit i Ini : penjumlahan bobot dan masukan ke unit i g : fungsi aktivasi ai : nilai aktivasi dari unit
3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PADA BERBEDA DAERAH
PENDAHULUAN Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah. Keunggulan genetik seekor ternak sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro (Santoso et al. 2003). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Santoso et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Cekaman panas lingkungan pada sapi perah menjadi salah satu masalah utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas (StPierre et et al. 2003). Pada saat akhir abad 19 dan abad 20 ditandai dengan meningkatnya rataan temperatur global dari 0.8 menjadi 1.7 0C (FAO 2006). Akibatnya terjadi peningkatan rataan temperatur global selama 5 tahun terakhir. Oleh karena itu, diduga terjadi peningkatan cekaman panas dan kemampuan adaptasi sapi perah yang menyebabkan pergeseran kisaran suhu termonetral dan suhu kritis. Di daerah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak berproduksi optimal sesuai kemampuan genetik yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler dan Enseminger 2006).
25 Pada tempat-tempat tertentu bagi pengembangan sapi perah FH di daerah tropis, suhu lingkungan siang hari mencapai 290C selama lebih dari 6 jam. Hal tersebut dapat menyebabkan sapi mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak akan tercapai. Dalam keadaan cekaman panas diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, akibatnya produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis di daerah tropis untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan. Penentuan suhu kritis didasarkan respon fisiologis sapi perah cukup intensif dilakukan di daerah subtropis. Namun demikian, penentuan suhu kritis didasarkan pada respon fisiologis sapi perah yang dipelihara di daerah tropis seperti Indonesia, masih belum dilakukan secara intensif. Selain itu hasil penentuan suhu kritis dari daerah subtropis belum tentu dapat diterapkan di daerah tropis, akibat lingkungan yang berbeda sehingga akan memberikan hasil yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat suhu kritis pada sapi perah yang telah adaptasi berdasarkan respon fisiologis di dataran menengah (Bogor) dan dataran rendah (Jakarta). Model penentuan suhu kritis tersebut dicoba melalui simulasi Artificial Neural Network (ANN). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai suhu kritis pada sapi perah berdasarkan respon fisiologis di dua daerah, dan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat di Kebon Pedes Bogor sebagai daerah menengah (400-600 dpl) dan peternakan sapi perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta Timur sebagai dataran rendah (200-400 dpl). Lama penelitian dilaksanakan masing-masing daerah selama satu bulan dari bulan Januari 2011 hingga Februari 2011.
Materi Penelitian Kegiatan penelitian ini untuk menganalisis penentuan suhu kritis sapi dara PFH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan dengan berbeda daerah. Enam ekor sapi PFH dara menempati tiap petak kandang dengan ukuran 1 x 1,8 m. Sapi-sapi dipelihara selama 14 hari, dengan kurun waktu tersebut setiap hari diberikan pakan pada pagi hari (pukul 06.00) dan sore hari (pukul 15.00), rasio pemberian rumput dan konsentrat setiap hari antara 60 : 40%. Selama pengamatan sapi tidak dimandikan. Rancangan penelitian secara pengamatan langsung pada sapi dara PFH untuk menganalisis suhu kritis sapi dara dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan dengan berbeda daerah. Selanjutnya dilakukan pengamatan respon fisiologis pada masing-masing
26
waktu dan suhu lingkungannya, dari pukul 5.00 hingga pukul 20.00 dengan interval satu jam.
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respon fisiologis sapi perah. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), kecepatan angin (Va), dan menghitung Temperature Humidity Indeks (THI). Pengamatan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin dalam kandang dilakukan setiap hari dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 dengan interval satu jam selama 14 hari. Respon fisiologis sapi dara yang diukur adalah suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), menghitung suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), dan denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), dan denyut jantung (Hr) dilakukan selama 14 hari dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 dengan interval satu jam. Konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul 07.00.
Metode Pengukuran Parameter Pengukuran faktor-faktor iklim yang dilakukan meliputi suhu udara dan kelembaban udara kandang diukur dengan termometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai). Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985), yaitu : THI = DBT + 0.36 WBT + 41.2, DBT = suhu bola kering (0C) dan WBT = suhu bola basah (0C). Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer digital (TAYLOR-Roschest, New York) yang diletakkan di dalam kandang. Anemometer merekam data setiap 15 menit kemudian di baca kecepatan rata-ratanya. Parameter dan prosedur yang dilakukan pada pengukuran respon fisiologis sapi dara PFH meliputi: 1. Suhu rektal (Tr), diukur dengan memasukkan termometer rektal (SAFETY, Japan) ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. 2. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur dengan termometer pengukur suhu kulit digital di empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (A), dada (B), tungkai atas (C), dan tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaaan kulit dihitung berdasarkan modifikasi rumus McLean et al. (1983); Ts = 0.25 (A + B) + 0.32 C + 0.18 D. 3. Suhu tubuh (Tb), dihitung dari suhu permukaan kulit (Ts) dan menjumlahkan dengan suhu rektal (Tr) menurut McLean et al. (1983). Suhu tubuh (Tb) dihitung dengan rumus : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts. 4. Denyut jantung (Hr) diukur dengan menempelkan stetoskop (STETOSCOPE, Japan) di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama satu menit. 5. Frekuensi respirasi (Rr), diukur setelah pengukuran denyut jantung dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama satu menit.
27 6. Konsumsi pakan dihitung dengan menimbang sisa pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan setiap hari.
Analisis Data Data iklim mikro dan respon fisiologis ternak dianalisis untuk mendapatkan nilai rataan dan standar deviasi. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network), mengikuti model dan persamaan-persamaannya, sehingga dapat diketahui pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis sebagai indikator penentuan suhu kritis pada sapi dara paranakan Fries Holland. Jaringan Syaraf Tiruan (ANN) yang digunakan adalah metode algoritma propagasi balik. Algoritma pelatihan propagasi balik banyak dipakai pada aplikasi pengaturan, karena proses pelatihannya didasarkan pada hubungan yang sederhana, yaitu bila keluaran memberikan hasil yang salah, maka penimbang (weight) dikoreksi supaya galatnaya dapat diperkecil dan respon jaringan selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati nilai yang benar. Back propagation juga berkemampuan untuk memperbaiki penimbang pada lapisan tersembunyi (hidden layer). Algoritma propagasi balik dapat dijelaskan sebagai berikut; ketika jaringan diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan, maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapisan sambungan antar tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapisan keluaran. Unit-unit lapisan keluaran memberikan tanggapan yang disebut keluaran jaringan. Pada saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan, maka keluaran akan menyebarkan mundur (backward ) bagi lapisan tersembunyi yang diteruskan ke unit pada lapisan masukan. Berdasarkan hal tersebut, maka mekanisme pelatihan dinamakan propagasi balik (back propagation). Tahap pelatihan tersebut merupakan langkah suatu jaringan syaraf berlatih, yaitu dengan cara melakukan perubahan penimbang sambungan antar lapisan yang membentuk jaringan melalui masing-masing unitnya. Bagi pemecahan masalah baru akan dilakukan bila proses pelatihan tersebut selesai, fase tersebut adalah fase mapping atau proses pengujian (testing). Pemodelan Artificial Neural Network (Jaringan Syaraf Tiruan) Pemodelan dimulai dengan membangun model Jaringan Syaraf Tiruan (JST), untuk mendapatkan nilai respon fisiologis pada ternak berdasarkan kondisi iklim mikronya dengan menggunakan metode propagasi balik. Arsitektur jaringan syaraf terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan masukan (input layer) terdiri atas variabel masukan tiga unit sel syaraf, lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri atas enam unit sel syaraf, dan lapisan keluaran terdiri atas dua sel syaraf. Struktur ANN metode propagasi balik yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 6.
28
Tabel 6 Struktur ANN (Artificial Neural Network) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian Lapisan masukan (input layer) 3 unit x0: bias
Lapisan tersembunyi (hidden layer) 6 neuron h0: bias
x1: suhu udara (Ta)
h1, h2, h3, h4, h5
Lapisan keluaran (output layer) 2 unit y1: suhu rektal dan frekuensi respirasi y2: suhu kulit dan denyut jantung
x2: kelembaban udara (Rh)
Setiap penghubung antar lapisan digunakann pembobot. Bobot sebagai jembatan menghubungkan input layer ke setiap neuron pada hidden layer adalah wij: bobot yang menghubungkan unit input layer ke-I ke neuron ke-j pada hidden layer. Penghubung setiap neuron pada hidden layer ke output layer adalah vjk: bobot yang menghubungkan neuron ke-ja pada hidden layer menuju ke-k pada ouput layer. Skema arsitektur ANN untuk respon fisiologis yang terdiri atas suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung sapi dara peranakan Fries Holland pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda sebagai penentu suhu kritis tertera pada Gambar 4.
h0=1
Wij X0 = 1
Vjk h1
h2
Y1
X1 h3 Y2
X2 h5
Input layer
h4
Output layer
Hidden layer Gambar 4 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara peranakan FH pada suhu dan kelembaban udara berbeda.
29 Keterangan: x: masukan / input (x1 dan x2), x0: bias pada masukan /input, Wij: Bobot pada lapisan tersembunyi, Vjk : Bobot pada keluaran, h; jumlah unit pengolah pada lapisan tersembuunyi (h1…..h5), h0; bias pada lapisan tersembunyi, y; keluaran hasil Aktivasi Jaringan Artificial Neural Network Algoritman back propagation membagi proses belajar ANN menjadi empat tahapan utama yang dilakukan secara iterative, sehingga jaringan menghasilkan perilaku yang diinginkan. Tahapan-tahapan aktivasi jaringan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi; pada tahap inisiasi, dilakukan pengkodean dan normalisasi data input (xi) dan target tk menjadi nilai dengan kisaran (0…1), kemudian memberikan nilai pada wij dan vjk secara random dengan kisaran (-1 sampai 1). 2. Perambatan maju (feed forwards step); yaitu melakukan training pada xi dan tk kemudian menghitung besarnya hj dan yk. 1 1 hj = yk = 1 + е-∑wij xi 1 + е-∑vijk hj Selama perambatan maju, tiap unit masukan (xi) menerima sebuah masukan sinyal ini ke tiap-tiap lapisan tersembunyi hi, …,hj. Tiap unit tersembunyi ini kemudian menghitung aktivasinya dan mengirimkan sinyalnya (hj) ke tiap unit keluaran. Tiap unit keluaran (yk) menghitung aktivasinya untuk membentuk respon pada jaringan untuk memberikan pola masukan 3. Perambatan mundur (backward step); menentukan nilai wij dan vjk, menghitung error pada output layer, menentukan ðk, vjk, ιj dan wij ðk = yk (1-tk)(tk-yk) vjk= vjk + βðk . hj ιj = hj (1-hj)∑kðk . vjk wij= wij + βιj . xi dimana β adalah constant of learning rate (misal β=0,5). Selama pelatihan pada tiap unit keluaran membandingkan perhitungan aktivasinya yp dengan nilai targetnya yt untuk menentukan kesalahan pola tersebut dengan unit. Berdasarkan kesalahan tersebut, faktor ðk(k=k1 dan k2) dihitung ðk digunakan untuk menyebabkan kesalahan pada unit keluaran yk kembali ke semua unit pada lapisan sebelumnya, yaitu unit-unit tersembunyi yang dihubungkan ke yk. Cara sama dengan faktor (h = 1, 2……5) dihitung untuk tiap tersembunyi hj. Nilai ðk digunakan untuk mengafdet bobot-bobot antara lapisan tersembunyi dan lapisan masukan. Setelah seluruh faktor ð ditentukan, bobot untuk semua lapisan diatur secara serentak. Pengaturan bobot vjk dari unit tersembunyi hj ke unit keluaran yp didasarkan pada faktor ðk dan aktivasi hj dari unit tersembunyi hj, didasarkan pada faktor ðj dan xi unit masukan, karena perubahan bobot ini akan terjadi secara terus menerus selama proses iterasi. 4. Menentukan error atau galat acuan dengan cara jumlah kuadrat dari selisih output yang diharapkan dengan output aktual melalui rumus sebagai berikut: N
E = 0,5 ∑ ( Yk - tk)2 < Ƹ k=1
30
Keterangan : tk = vektor nilai output yang diharapkan yk = vektor nilai output aktual N = banyaknya jumlah data dalam training Ƹ = besar galat yang diharapkan Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat belajar dengan baik. Kesalahan pada keluaran dari jaringan merupakan selisih antara prediksi (current output) dan keluaran target (desired output). Menghitung nilai Sum Square Error (SSE) yang merupakan hasil penjumlahan nilai kuadrat errorneuron ke-1 dan neuron ke-2 pada lapisan output tiap data, hasil penjumlahan kesseluruhan nilai SSE akan digunakan untuk menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE) tiap iterasi (Kusumadewi 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Iklim Mikro Daerah Penelitian Hasil pengamatan selama penelitian berlangsung dari pukul 05.00 hinggga pukul 20.00, kondisi lingkungan iklim mikro di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut memiliki rataan kisaran suhu udara antara 22.79-32 0C dan 23.9633.11 0C, kelembaban udara antara 60.14-86.64 % dan 56.57-88.00 %, nilai THI antara 72.23-82.32 dan 73.26-84.05, dan kecepatan angin antara 0.01-0.53 m/detik dan 0-0.4 m/detik (Gambar 5). Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Kisaran zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara 13-18 0C (McDowell 1972), 5-25 0C (Jones dan Stallings 1999), suhu udara antara 13-25 0C dan kelembaban udara antara 50-60 % (McNeilly 2001). Pada Gambar 5 menunjukkan pola perubahan kondisi lingkungan iklim yang berfluktuasi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta. Pada Gambar tersebut, nilai rataan suhu udara (Ta) dan THI dalam kandang di lokasi Bogor dan Jakarta mengilustrasikan pola perubahan yang baku yaitu pola parabolik, dengan mengikuti pola suhu lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang diamati dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). Sementara itu, nilai rataan kelembaban udara (Rh) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola baku dari BMG, tetapi di lokasi Jakarta masih ada nilai rataan Rh tidak mengikuti pola kelembaban udara lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang baku dari BMG, karena pada saat pengamatan berlangsung terjadi hujan terus menerus dari pukul 13.00 hingga pukul 15.00 sehingga Rh meningkat pula. Nilai Ta (0C) dan THI yang tertera pada Gambar 5, mencapai puncak di lokasi Bogor pada pukul 12.00-13.00 WIB dan di lokasi Jakarta pada pukul 12.00 WIB, serta menurun setelah menjelang sore hari. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak.
31 Kondisi iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal (McNeilly 2001; Pennington dan VanDevender 2004). Kecepatan angin berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Selain itu, angin dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Pada Gambar 5 tersebut, nilai rataan kecepatan angin (m/detik) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola yang baku, tetapi di lokasi Jakarta tidak mengikuti pola yang baku, karena kecepatan angin yang masuk dalam kandang sewaktu waktu terjadi perubahan kecepatan angin mendadak, terhalang rumah, dan tumpukan rumput. Pada saat Nilai Ta (0C) dan THI yang tinggi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta, angin berada pada kecepatan yang rendah. Nilai kecepatan angin mencapai puncak di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut pada pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00. Yani dan Purwanto (2006) mengatakan bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas.
Gambar 5 Rataan Fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu kelembaban (THI) dan Kecepatan angin (Va) selama Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta
32
Konsumsi Pakan Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Pakan diberikan harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), proein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN) (Sudono et al. 2003). Selama pengamatan berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi tersebut muncul diakibatkan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan baik di lokasi Bogor maupun Jakarta. Tabel 7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama penelitian Peubah Bahan kering (kg): Hijauan Konsentrat TDN (kg): Hijauan Konsentrat Protein kasar (kg): Hijauan Konsentrat
Bogor
Jakarta
4.2±1.07 3.2±1.07
4.0±0.88 3.3±0.88
2.4±0.41 1.8±0.54
2.3±0.41 1.9±0.53
0.33±0.06 0.37±0.07
0.34±0.09 0.37±0.08
Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar daerah (P>0.05)
Pada Tabel 7 menunjukkan rataan tingkat konsumsi BK pakan sapi dara di Bogor dan Jakarta, berturut-turut sebesar 7.4 kg dan sebesar 7.3 kg. Besarnya konsumsi BK di Bogor dan Jakarta tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001), bahwa sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg dan 300 kg dengan PBB 0,6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9 kg dan 7.4 kg per hari. Kondisi cekaman panas, efisiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi. Berdasarkan Tabel 7 tersebut, konsumsi BK pakan pada sapi dara antara di lokasi Bogor dengan lokasi Jakarta menunjukkan jumlah relatif sama. Begitu juga konsumsi TDN dan PK di lokasi Bogor dan Jakarta menunjukkan relatif sama pula, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara di lokasi Bogor dan Jakarta terhadap konsumsi BK, TDN, dan PK. Pemberian konsentrat TDN di lokasi Bogor menunjukkan konsumsi BK lebih tinggi dibanding di lokasi Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari pakan.
Respon Fisiologis Ternak Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang umum digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah pengukuran di lapangan. Hasil pengukuran suhu rektal harian ternak di
33 lokasi Bogor dan Jakarta sebagian besar masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 38.59-39.05 0C dan 38.84-39.22 0C. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara 38.2-39.1 0C (Schutz et al. 2009). Pada penelitian ini, untuk lokasi Bogor dan Jakarta, suhu rektal terendah terjadi pada pukul 05.00 (pagi) dan meningkat setelah ternak mengkonsumsi pakan dan seiring meningkatnya suhu udara (Gambar 6).
Gambar 6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta Berdasarkan Gambar 6, suhu rektal ternak mulai mengalami stress panas pada siang hari pukul 12.00 saat suhu udara tertinggi, suhu rektal di bogor (39.04 0 C) dan Jakarta (39.22 0C). Pada pukul 13.00 menunjukkan perbedaan antara suhu rektal di Bogor (39.03 0C) dengan Jakarta (38.83 0C). Perbedaan suhu rektal tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan terjadi hujan terus menerus. Suhu rektal di Bogor dan Jakarta terjadi perbedaan pada sore hari pukul 16.00 (38.98 0C) dan (39.13 0C), begitu pula terjadi perbedaan antara suhu rektal pada pukul 17.00 di Bogor (39.05 0C) dengan di Jakarta (38.90 0C). Terjadinya perbedaan suhu rektal tersebut diakibatkan adanya peningkatan panas metabolisme tubuh, karena ternak baru mengkonsumsi pakan di Bogor pada pukul 16.00 dan di Jakarta pada pukul 15.00, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan pelepasan panas. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendal et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 0C serta 32.2 0C, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39.8 0C serta 40 0C. Permukaan kulit hewan dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat pembuangan panas yang utama melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi (Berman 2003). Pada penelitian ini, suhu kulit harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 29.22-34.31 0 C dan 30.36-33.78 0C. Suhu kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 33.5-37.1 0C (Tucker et al. 2008). Suhu kulit terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul 05.00 pagi (29.22 0C) dan (30.360C). Suhu kulit pada pukul 12.00 siang (34.310C) dan (33.78 0C) masing-
34
masing untuk Bogor dan Jakarta. Suhu permukaan kulit pada pukul 13.00 menunjukkan perbedaan di Bogor (33.47 0C) dengan Jakarta (32.23 0C). Perbedaan suhu kulit tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan selama penelitian terjadi hujan terus menerus. Suhu kulit pada pukul 16.00 sore (31.77 0C) dan (33.40 0C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 7). Perbedaan suhu permukaan kulit tesebut diakibatkan adanya penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara di lokasi Bogor, dan terjadi penurunan suhu dan kelembaban udara di lokasi Jakarta, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh. Kulit sangat berkorelasi dengan fluktuasi unsur cuaca karena mengalami kontak langsung dengan cuaca. Suhu permukaan kulit bervariasi berdasarkan kadar uap air lingkungan, lokasi kandang (naungan), dan ventilasi (Marcilae et al. 2009).
Gambar 7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta. Proses pelepasan panas melalui kulit terjadi melalui mekanisme vasodilatasi. Mekanisme vasodilatasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar. Bulu kulit ditegakkan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara adalah konduktor panas yang baik. Ganong (1983) mengemukakan jumlah panas yang hilang dari tubuh dalam batas-batas yang luas di atur oleh perubahan jumlah darah yang mengalir melului kulit. Kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas
35 yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni 2006). Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh dan organ-organ di luar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Peningkatan beban panas yang disebabkan oleh kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh (Hahn 1999; Ominski et al. 2002; West 2003). Hasil perhitungan suhu tubuh harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta sebagian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 37.29-38.37 0C dan 37.65-38.45 0C. Suhu tubuh sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 38.3-38.6 oC (Schutz et al. 2008). Suhu tubuh terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul 05.00 pagi (37.29 0C) dan (37.65 0C) serta meningkat seiring meningkatnya beban panas dari lingkungan dan dari hasil metabolisme. Respon suhu tubuh terhadap stress panas berbeda-beda tiap individu dan respon tersebut disebabkan oleh produksi dan pelepasan panas tubuh. Suhu tubuh tertinggi pada pukul 12.00 siang (38.37 0C) dan (38.45 0C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 8). Sementara itu suhu tubuh tertinggi di Bogor dan Jakarta terjadi pada sore hari pukul 17.00 (38.10 0C) dan pukul 16.00 (38.33 0C).
Gambar 8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta Suhu tubuh dapat dijadikan indikator dalam menentukan dimulai cekaman panas pada ternak yang disebabkan lingkungan mikro dan pakan. Pengaturan suhu tubuh dilakukan melalui mekanisme umpan balik oleh saraf eferen, hipotalamus, dan efektor saraf eferen. Bagian-bagian tersebut berfungsi sebagai termostat dengan hipotalamus sebagai pusat kontrolnya. Tubuh akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan pembentukan dan pelepasan panas. Suhu dan kelembaban udara dalam kandang yang termasuk iklim mikro merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez dan Bouissou 1975).
36
Denyut jantung harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara 67-84 kali/menit dan denyut jantung ternak di lokasi Jakarta berkisar antara 72-88 kali/menit. Kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara 50-80 kali/menit (Kelly 1984). Pada pagi hari, peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak makan untuk daerah Bogor, tetapi denyut jantung ternak di daerah Jakarta relatif konstan, karena peningkatan suhu udara, kelembaban udara, dan THI di daerah Jakarta lebih rendah dibanding Bogor. Mekanisme peningkatan denyut jantung, yaitu terjadi peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung dan juga adanya pengaruh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral (Nikkah et al. 2008).
Gambar 9 Rataan fluktuasi denyut jantung (Hr) sapi dara FH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta. Denyut jantung ternak pada puncak cekaman cuaca panas pukul 12.00 di lokasi Bogor sebesar 82 kali/menit dan denyut jantung ternak di daerah Jakarta sebesar 83 kali/menit (Gambar 9). Terjadinya perbedaan rataan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta pada pukul 12.00 tersebut, karena puncak cekaman cuaca panas di daerah Bogor terjadi pukul 13.00 dengan denyut jantung ternak sebesar 83 kali/menit. Puncak cekaman cuaca panas pada pukul 13.00 di daerah Bogor, yaitu suhu udara sebesar 32 0C, kelembaban udara 60.14 %, dan THI sebesar 81.88, sedangkan puncak cuaca panas di daerah Jakarta pada pukul 12.00, yaitu suhu udara 33.11 0C, kelembaban udara 56.57 %, dan THI sebesar 84.05 (Gambar 5). Pada saat ada cekaman, suhu udara sebesar 32 0C dengan denyut jantung mencapai 79 kali/menit (Schutz et al. 2009). Tekanan darah dan denyut jantung berfluktuasi secara kontinyu setiap saat di bawah beberapa mekanisme pengaturan, seperti aktivitas syaraf otonom dan respirasi untuk menjaga homeostasis kardivaskuler (Yoshimoto 2011). Frekuensi respirasi harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara 27-38 kali/menit dan di lokasi Jakarta berkisar antara 26-46 kali/menit. Frekuensi respirasi sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman berkisar antara 20-30 kali/menit (Houpt 2005). Pada pukul 12.00 siang hari, rataan frekuensi
37 respirasi sapi dara FH tertinggi di lokasi Bogor sebesar 38 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 46 kali/menit (Gambar 10). Rataan frekuensi respirasi ternak pada pukul 12.00 siang hari tersebut, baik di lokasi Bogor maupun Jakarta telah mengalami stres panas yang diakibatkan suhu dan kelembaban udara dalam kandang. Peningkatan frekuensi respirasi seiring dengan peningkatan suhu udara dan nilai THI dalam kandang. Panas cuaca lingkungan dapat meningkatkan rataan suhu tubuh dan frekuensi respirasi (Schutz et al. 2010). Peningkatan beban panas yang disebabkan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi serta mengurangi konsumsi pakan (Ominski et al. 2002; West 2003). Peningkatan frekuensi respirasi dapat terjadi pada ternak untuk menjaga keseimbangan panas tubuh saat mengalami cekaman panas tubuh dari hasil metabolisme pakan dan cuaca lingkungan. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik melalui upaya cara peningkatan laju respirasi (McNeilly 2001). Sistem respirasi pada alveolus dapat mengatur suhu udara dan kelembaban udara yang masuk agar sesuai dengan suhu tubuh. Rataan frekuensi respirasi sapi dara FH, sore hari pukul 17.00 pada suhu udara rendah di lokasi Bogor sebesar 32 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 34 kali/menit. Terjadinya peningkatan frekuensi respirasi ternak pada pukul 17.00 sore hari tersebut, baik di daerah Bogor maupun Jakarta, karena ternak diberi pakan sore hari pukul 16.00. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi setelah ternak mulai mengkonsumsi pakan hingga empat jam berikutnya, karena tekanan darah memiliki kekuatan atau irama yang sama dengan respirasi (Yang dan Kuo 2000).
Gambar 10
Rataan fluktuasi frekuensi respirasi (Rr) sapi dara FH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta.
Pendugaan Suhu Kritis Berdasarkan Indikator Respon Fisiologis Pada Berbeda Daerah Melalui Simulasi Artificial Neural Network (ANN) Penerapan ANN merupakan langkah metode pelatihan propagasi balik yang dilakukan terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil.
38
Setelah dilakukan iterasi berulang-ulang dihasilkan nilai kesalahan yang fruktuasi serta nilai kesalahan yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan terkecil pada output prediksi terhadap output target, baik di daerah Bogor maupun Jakarta pada Yp1 (suhu rektal), Yp2 (suhu kulit), Yp3 (frekuensi respirasi), dan Yp4 (denyut jantung) yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak 2.100.000/100 (21.000 kali). Masing-masing di daerah Bogor dan Jakarta diperoleh nilai error pada suhu rektal sebesar 0.199510 dan 0.693969, suhu kulit sebesar 0.392903 dan 0.828096, frekuensi respirasi sebesar 1.177737 dan 1.667858, dan denyut jantung sebesar 1.500040 dan 1.393270. Penurunan nilai error pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung untuk daerah Bogor dan Jakarta selama iterasi dapat ditunjukkan pada Tabel 8 dan 9. Validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) berdasarkan suhu dan kelembaban udara, dengan cara membandingkan data suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung hasil perhitungan ANN dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapang. Pelaksanaan validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang sama antara data hasil perhitungan ANN dan hasil pengukuran di lapang. Selanjutnya validasi dimulai setelah didapatkan nilai error terendah, kemudian dilakukan proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x1, x2), data target (yt1, yt2, yt3, yt4 ) dan hasil prediksi perhitungan ANN (yp1, yp2, yp3, yp4). Tabel 8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3), dan denyut jantung (Yp4) pada daerah Bogor Tahap iterasi ke 100 100.000 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.500.000 1.600.000 1.700.000 1.800.000 1.900.000 2.000.000 2.100.000
Error Yp1 0.838862 0.224526 0.227568 0.224922 0.205504 0.201277 0.200332 0.200014 0.199846 0.199780 0.199721 0.199665 0.199612 0.199560 0.199510 0.199510
Error Yp2 2.454982 0.412802 0.406260 0.395626 0.392124 0.391655 0.391882 0.392195 0.392462 0.392571 0.392663 0.392741 0.392806 0.392859 0.392902 0.392903
Error Yp3 2.809714 1.190661 1.189469 1.185524 1.179785 1.177126 1.177008 1.177385 1.177685 1.177772 1.177820 1.177820 1.177835 1.177822 1.177788 1.177737
Error Yp4 2.544321 1.673544 1.651128 1.633988 1.603280 1.577698 1.556823 1.540282 1.527407 1.522079 1.517351 1.513136 1.509355 1.505946 1.502855 1.500040
Nilai validasi menunjukkan kecenderungan hasil perhitungan ANN mendekati hasil pengukuran penelitian lapang dengan rataan nilai persentase error yang rendah, masing-masing untuk daerah Bogor dan Jakarta yaitu yp1 = 0.65 %
39 dan 0.80 %, yp2 = 1.34 % dan 1.40 %, yp3 = 0.82 % dan 0.95 %, dan yp4 = 1.50 % dan 1.80 %. Pada beberapa titik validasi terjadi perbedaan persentase error yang cukup besar, tetapi masih relatif dalam batasan yang rendah (% error < 5 %). Hasil nilai tersebut dapat diartikan bahwa nilai prediksi sudah mendekati nilai aktualnya. Nilai persentase error rendah menunjukkan bahwa hasil perhitungan ANN memiliki akuarasi tinggi, sehingga dapat dijadikan acuan untuk suhu dan kelembaban udara dalam penentuan suhu kritis sapi dara di daerah Bogor dan Jakarta. Tabel 9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3), dan denyut jantung (Yp4) pada daerah Jakarta Tahap iterasi ke 100 100.000 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.500.000 1.600.000 1.700.000 1.800.000 1.900.000 2.000.000 2.100.000
Error Yp1 0.838862 0.823883 0.773552 0.728715 0.713167 0.705930 0.701824 0.699201 0.697390 0.696683 0.696073 0.695541 0.695075 0.694663 0.694297 0.693969
Error Yp2 2.454982 0.784663 0.797834 0.812579 0.818506 0.821531 0.823201 0.824122 0.824663 0.824958 0.825371 0.825902 0.826487 0.827065 0.824604 0.828096
Error Yp3 3.232707 1.668305 1.651557 1.617578 1.621372 1.631273 1.640253 1.650627 1.655875 1.658115 1.660141 1.661980 1.663653 1.665180 1.666076 1.667858
Error Yp4 2.099220 1.465998 1.410462 1.395631 1.393471 1.393027 1.392966 1.393027 1.393084 1.393113 1.393141 1.393168 1.393195 1.393221 1.393246 1.393270
Simulasi merupakan teknik penyusunan dari kondisi nyata dan kemudian melakukan penelitian pada model yang dibuat dari sistem. Pada simulasi ini dilakukan dengan memperhatikan parameter suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis dengan respon fisiologis ternak untuk setiap kondisi, mulai dari nilai minimum sampai nilai maksimum yang terukur pada penelitian. Pada simulasi dengan mengkombinasi nilai input suhu dan kelembaban udara, maka didapatkan variasi nilai output suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta. Berdasarkan hasil simulasi suhu dan kelembaban udara, maka dapat mengetahui berapa respon fisiologis sapi perah pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung, tanpa perlu mengukur langsung kepada ternaknya, tetapi cukup melihat suhu dan kelembaban udara yang terukur saat itu, kemudian disimulasikan dengan ANN. Hasil simulasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat respon fisiologis sapi perah (Tr, Ts, Rr, dan Hr) terhadap perubahan suhu dan kelembaban udara yang berbeda. Hasil simulasi menggunakan ANN tertera pada Tabel 10 dan 11. Hasil prediksi dari simulasi ANN menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara, maka semakin meningkat pula suhu rektal dan suhu kulit sapi perah baik daerah Bogor maupun Jakarta (Tabel 10). Begitu juga, semakin meningkat
40
kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu udara yang meningkat mengakibatkan peningkatan suhu rektal dan suhu kulit. Berdasarkan hasil simulasi ANN dapat diperoleh korelasi anatara suhu dan kelembaban udara dengan tingkat cekaman panas (suhu kritis) sapi berdasarkan suhu rektal dan suhu kulit. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara 38.2 – 39.1 0C (Schutz et al. 2009). Tucker et al. (2008) mengemukakan bahwa suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro nyaman berkisar antara 33.5-37.1 oC. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sapi perah mengalamami cekaman panas apabila suhu rektal lebih dari 39.1 oC dan suhu kulit lebih dari 37.1 oC. Tabel 10 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Suhu udara (oC) 24 24 24 26 26 26 28 28 28 30 30 30 32 32 32
Bogor Kelembaban udara (%) 86 84 82 86 84 82 86 84 82 86 84 82 86 84 82
Suhu rektal (oC) 38.89 38.88 38.86 39.11 38.83 38.83 39.23 39.15 39.01 39.14 39,.11 38.87 39.26 39.17 38.89
Suhu kulit (oC) 31.52 31.14 30.74 32.23 32.12 31.86 35.35 33.71 32.61 35.15 33.02 32.89 37.26 34.76 31.76
Suhu udara (oC) 24 24 24 26 26 26 27.50 27.50 27.50 29 29 29 33 33 33
Jakarta Kelembaban udara (%) 88 86 84 88 86 84 88 86 84 88 86 84 66 64 62
Suhu rektal (oC) 38.85 38.80 38.75 39.13 38.98 38.94 39.11 38.93 38.84 39.11 38.96 38.93 39.13 39.20 39.27
Suhu kulit (oC) 30.10 30.73 30.86 31.13 31.67 31.08 32.00 31.85 31.81 31.88 31.80 31.76 32.32 32.32 32.33
Nilai hasil prediksi dari simulasi ANN yang tertera pada Tabel 11 menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara dalam kandang, maka semakin meningkat pula frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi perah. Semakin meningkat kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat pula akan diperoleh hasil prediksi pada frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi semakin meningkat. Pada Tabel 11 juga dapat diperoleh korelasi antara suhu dan kelembaban udara dalam kandang dengan tingkat stress sapi berdasarkan frekuensi respirasi dan denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi pada kondisi normal dapat berlangsung 20-30 kali/menit dan pada kondisi stress dapat mencapai 10 atau 60 kali/menit (Houpt 2005). Denyut jantung sapi pada kondisi normal berkisar 50-80 kali/menit serta pada kondisi stress berat mencapai 40 atau 120 kali/menit (Radostits et al. 2005). Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan suhu dan kelembaban udara sangat sensitif mempengaruhi suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada sapi perah. Tingkat suhu kritis (cekaman panas)
41 berdasarkan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda baik di daerah Bogor maupun Jakarta dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13. Peningkatan kelembaban udara dan suhu udara yang sama dan suhu udara berbeda sangat mempengaruhi terhadap suhu kritis pada sapi perah. Pada saat udara 22.5-25.5 oC baik di daerah Bogor maupun Jakarta belum terjadi suhu kritis(cekaman panas) meskipun terjadi perubahan kelembaban udara. Suhu udara dan kelembaban udara tersebut, suhu rektal dan suhu kulit masih pada kisaran normal. Saat suhu udara 26-32 oC (Bogor) dan suhu udara 26-33.5 oC (Jakarta), sapi perah mulai terjadi suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator cekaman panas pada suhu rektal. Pada saat peningkatan kelembaban udara dengan suhu udara yang sama dan suhu udara yang berbeda sangat mempengaruhi terhadap perubahan suhu rektal dibanding perubahan suhu kulit. Suhu kritis dengan indikator suhu kulit mulai terjadi apabila suhu udara naik menjadi 31 oC dengan kelembaban udara 88 % (Bogor) dan suhu udara naik menjadi 32.5 oC dan kelembaban udara 88 % (Jakarta). Pada saat suhu udara yang tinggi yaitu 31-32 oC dan 32.5-33.5 oC masing-masing untuk daerah Bogor dan Jakarta, terjadi cekaman panas dengan indikator suhu rektal dan suhu kulit, tetapi suhu rektal lebih sensitif dibanding suhu kulit, karena suhu rektal dipengaruhi baik dari lingkungan eksternal berasal dari iklim mikro maupun berasal dari panas tubuh. Tabel 11 Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Suhu udara (oC) 23 23 23 26 26 26 29 29 29 31 31 31 32 32 32
Rh (%) 78 76 74 74 72 70 74 72 70 74 72 70 74 72 70
Bogor Frekuensi Denyut respirasi jantung (kali/menit) (kali/menit) 28.69 61.32 29.65 67.90 32.27 67.82 30.14 57.65 30.93 55.33 31.84 53.37 30.53 62.67 31.32 62.96 32.20 62.03 31.79 83.29 31.90 83.28 32.33 83.19 30.93 62.60 31.70 63.14 32.51 63.64
Suhu udara (oC) 24 24 24 26.5 26.5 26.5 28.5 28.5 28.5 30 30 30 33 33 33
Rh (%) 88 86 84 80 78 76 82 80 78 82 80 78 82 80 78
Jakarta Frekuensi respirasi (kali/menit) 30.10 28.70 29.09 30.04 30.90 31.81 26.16 27.06 28.06 26.52 28.12 30.04 35.98 37.17 38.17
Denyut jantung (kali/menit) 80.57 80.65 80.72 80.18 80.50 80.64 80.17 80.28 80.28 79.56 79.83 80.29 79.54 79.83 80.31
Berdasarkan hasil prediksi menggunakan ANN, frekuensi respirasi sapi perah lebih sensitif dipengaruhi perubahan suhu udara dan kelembaban udara dalam kandang. Sapi perah mulai mengalami suhu kritis pada frekuensi respirasi di daerah Bogor dan Jakarta, masing-masing pada suhu udara 22.5 oC dengan kelembaban udara 78 % (31.93 kali/menit) dan suhu udara 23.5 oC dengan
42
kelembaban udara 78% (30.73 kali/menit). Denyut Jantung mulai terjadi suhu kritis di daerah Bogor dan Jakarta, masing-masing pada suhu udara 24.5 oC dengan kelembaban 78 % (80.87 kali/menit) dan suhu udara 23.5 oC dengan kelembaban udara 88 % (88.78 kali/menit). Tabel 12 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) di Bogor dan Jakarta Suhu Udara (oC) 22.5 – 25.5 26 27 28 29 30 31 31 32 32
Bogor Kelembaban udara (%) 58 86 84 84 84 84 86 84 84 86
Indikator cekaman Panas Tr Tr Tr Tr Tr Ts Tr Tr Ts
Suhu udara (oC) 23.5–25.5 26 27.5 29 30.5 31 32 32.5 33 33
Jakarta Kelembaban udara (%) 60 88 88 88 88 84 82 88 66 78
Indikator cekaman panas Tr Tr Tr Tr Tr Tr Ts Tr Ts
Tabel 13 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) di Bogor dan Jakarta Suhu Udara (oC) 22.50 23 24 24.50 25 25 26 27 28 28 29 30 30.50 31 31 32 32
Bogor Kelembaban udara (%) 78 74 74 78 74 70 74 74 74 70 74 74 68 60 74 74 60
Indikator cekaman Panas Rr Rr Rr Hr Rr Hr Rr Rr Rr Hr Rr Rr Hr Hr Rr Rr Hr
Suhu udara (oC) 23.5 23.5 24 25 25.5 26 26.5 27 27 28 28.5 29 30 31 32 33 33
Jakarta Kelembaban udara (%) 78 88 88 80 82 78 80 76 78 74 78 74 78 78 82 78 88
Indikator cekaman Panas Rr Hr Rr dan Hr Rr Hr Rr Hr Rr Hr Rr Hr Rr Rr dan Hr Rr dan Hr Rr Hr Rr
43 Hasil analisis menggunakan ANN untuk prediksi tingkat stress (suhu kritis) sapi perah berdasarkan perubahan suhu dan kelembaban udara dalam kandang lebih tahan terhadap panas bila dibandingkan dengan persyaratan kondisi lingkungan sapi perah yang nyaman yaitu pada suhu udara 5-21 oC dan RH sebesar 50-75 % (Smith 2002; Sudono et al. 2003). Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25 oC, Brown Swiss adalah 30-32 oC, dan Brahman adalah 38 oC (Sainbury dan Sainsbury 1982). Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi perah telah beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan dan secara genetik sapi perah peranakan FH tahan terhadap kondisi lebih panas. Pengaruh peningkatan kelembaban udara sangat mempengaruhi frekuensi respirasi sapi perah bila dibanding dengan perubahan denyut jantung. Peningkatan suhu udara sangat mempengaruhi frekuensi respirasi dibanding perubahan denyut jantung. Pada suhu udara lebih rendah (22.5-23.5 oC), frekuensi respirasi sapi perah lebih sensitif terkena stress akibat perubahan kelembaban udara dibanding dengan denyut jantung.
SIMPULAN Model penerapan Artificial Neural Network (ANN) dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland berdasarkan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang terhadap respon fisiologisnya pada indikator suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung. Penentuan suhu kritis pada sapi dara PFH berdasarkan indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi lebih sensitif dibanding suhu kulit dan denyut jantung. Suhu kritis dengan indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi sebagai acuan untuk menentukan cekaman panas dan untuk menentukan manajemen pakan dan perkandangan. Sapi dara FH mengalami suhu kritis pada suhu rektal dengan Ta 26 0C dan Rh 86 % di lokasi Bogor dan Ta 26 0C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara mengalami suhu kritis pada suhu kulit pada Ta 31 0C dan Rh 86 % di lokasi Bogor dan pada Ta 32.5 0C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara FH mengalami suhu kritis pada denyut jantung dengan Ta 24.5 0C dan Rh 78 % di lokasi Bogor dan Ta 23.5 0C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara mengalami suhu kritis pada frekuensi respirasi pada Ta 22.5 0C dan Rh 78 % di lokasi Bogor dan pada Ta 23.5 0C dengan Rh 78 % di lokasi Jakarta.