RESPON GENOTIPE TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) DARI BERBAGAI NEGARA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN TUMBUH AGROEKOSISTEM TROPIKA BASAH
DEWI VALENTINA BUTAR BUTAR
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Genotipe Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) dari Berbagai Negara Terhadap Kondisi Lingkungan Tumbuh Agroekosistem Tropika Basah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 10 November 2014 Dewi Valentina Butar Butar NIM A24100039
iv
v
ABSTRAK DEWI VALENTINA BUTAR BUTAR. Respon Genotipe Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) dari Berbagai Negara Terhadap Kondisi Lingkungan Tumbuh Agroekosistem Tropika Basah. Dibimbing oleh ISKANDAR LUBIS. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan produksi 130 genotipe kedelai dari berbagai negara terhadap kondisi lingkungan tumbuh agroekosistem tropika basah. Percobaan ini disusun dengan rancangan augmented dalam rancangan acak lengkap (RAL). Benih kedelai yang digunakan sebagai pembanding (kontrol) adalah kedelai varietas Tanggamus, Anjasmoro, Argo Mulyo, Wilis dan Tachinagaha (varietas Jepang) yang terdiri dari 5 ulangan sehingga terdapat 150 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe GmWMC192 yang berasal dari Nepal berdaya hasil tinggi dan beradaptasi baik pada lahan kebun percobaan IPB Sawah Baru. Hal ini dilihat dari persentase tanaman yang tumbuh di lapangan, tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah polong per tanaman, dan persentase biji penuh yang tinggi. Selain itu, genotipe GmWMC019 dan GmWMC042*2 yang berasal dari Korea Utara dan Republik Rakyat Cina berumur sangat genjah (66 hari) serta beradaptasi baik pada lahan kebun percobaan IPB Sawah baru. GmWMC019 dan GmWMC042*2 merupakan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi. Kata kunci: biji penuh, jumlah buku, rancangan augmented, tropika basah
ABSTRACT DEWI VALENTINA BUTAR BUTAR. Response of Soybean Genotypes (Glycine max L. Merrill) from Various Countries to Environmental of Grow Conditions at Wet Tropical Agroecosystem. Supervised by ISKANDAR LUBIS This research aims to study the response of growth and production of 130 soybean genotypes from various countries to the condition at wet tropical agroecosystem. The experimental design used was augmented design in randomized complete design (RCB). Soybean seed that was used as check varieties are Tanggamus, Anjasmoro, Argo Mulyo, Wilis and Tachinagaha (Japan soybean variety) consist of 5 replicates so there are 150 units of the experiment. The results indicated that the genotype GmWMC192 from Nepal has high result and adaptable at the field of Bogor Agricultural University. It is seen from the percentage of the survived plants, plant height, the number of node, number of pods per plant, and higher percentage of full seeds. In addition, genotypes GmWMC042*2 and GmWMC019 from North Korea and China have very fast growth (66 days) and also adaptable at the field of Bogor Agricultural University. Both of the genotypes may be useful as a source in soybean breeding. Keywords: full seeds, number of node, augmented design, wet tropical
vi
vii
RESPON GENOTIPE TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) DARI BERBAGAI NEGARA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN TUMBUH AGROEKOSISTEM TROPIKA BASAH
DEWI VALENTINA BUTAR BUTAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
ix
Judul Skripsi : Respon Genotipe Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) dari Berbagai Negara Terhadap Kondisi Lingkungan Tumbuh Agroekosistem Tropika Basah Nama : Dewi Valentina Butar Butar NIM : A24100039
Disetujui oleh
Dr Ir Iskandar Lubis, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi kekuatan dan kelancaran sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah seleksi genotipe kedelai dari berbagai negara, dengan judul Respon Genotipe Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) dari Berbagai Negara Terhadap Kondisi Lingkungan Tumbuh Agroekosistem Tropika Basah. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terkhusus penulis sampaikan kepada: Bapak almarhum Abel Butar Butar, Ibu Almarhumah Rosmaida Sitinjak, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik materi dan moril Dr Ir Iskandar Lubis, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan sampai skripsi ini berhasil diselesaikan Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan selama mengikuti perkuliahan di IPB Prof Dr Tatsuhiko Shiraiwa dan Dr Koki Homma selaku dosen di Universitas Kyoto, Jepang yang telah memberikan benih kedelai Jepang untuk penelitian ini National Institute of Agrobiological Sciences (NIAS) yang telah memberikan benih kedelai dari berbagai negara untuk penelitian ini. Prof Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc yang telah memberikan galur-galur kedelai untuk penelitian ini Dr Willy Bayuardi Suwarno, SP, MSi yang telah memberikan pengarahan pengolahan data penelitian Bapak Rahmat selaku penanggung jawab Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor Gatra Saputra selaku alumni angkatan 46 yang telah membantu penulis selama penelitian Para petani yang bekerja di Sawah Baru, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor Semua teman-teman yang telah membantu penulis selama penelitian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, 10 November 2014 Dewi Valentina Butar Butar
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Hipotesis Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kedelai
3
Bunga
3
Perkembangan Polong
3
Biji
3
Fase Tumbuh
4
Respon Kedelai Terhadap Lingkungan Tumbuh
4
Rancangan Augmented
7
METODE Waktu dan Tempat
7
Bahan dan Alat
7
Metode Penelitian
8
Analisis Data
8
Pelaksanaan Penelitian
8
Pengamatan
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian
9
Keragaan Karakter Agronomi dan Hasil Genotipe-Genotipe Kedelai
10
Persentase Tumbuh
11
Umur Berbunga (Fase R1)
13
Waktu Muncul Polong (Fase R3)
15
Waktu Perubahan Polong Menjadi Kuning, Coklat, Matang (Fase R7)
16
Umur Panen (Fase R8)
18
Tinggi Tanaman pada Fase R1
19
Tinggi Tanaman pada Fase R7
21
Jumlah Buku pada Fase R1
21
xii
Jumlah Buku pada Fase R8
23
Jumlah Cabang per Tanaman
24
Bobot Kering Tajuk
27
Jumlah Polong per Tanaman
27
Ukuran Biji dan Warna Biji
30
Persentase Kondisi Biji
31
Kadar Air Biji
34
Korelasi Antarkarakter
37
SIMPULAN DAN SARAN
40
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
66
xiii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Karakteristik fase tumbuh vegetatif pada tanaman kedelai Karakteristik fase tumbuh reproduktif pada tanaman kedelai Rentang waktu dari fase tumbuh ke fase tumbuh selanjutnya Perbedaan agroklimat dan teknik budidaya di wilayah tropika (Indonesia) dan di wilayah subtropika (Amerika Serikat) 5 Hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah kebun percobaan IPB Sawah Baru 6 Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai karakter genotipe tanaman kedelai yang diamati 7 Persentase daya tumbuh dari 125 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 8 Tinggi tanaman rata-rata pada fase R1 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 9 Tinggi tanaman rata-rata pada fase R7 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 10 Jumlah buku rata-rata pada fase R1 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 11 Jumlah buku rata-rata pada fase R8 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 12 Jumlah cabang rata-rata dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 13 Bobot kering tajuk rata-rata dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 14 Jumlah polong rata-rata per tanaman dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 15 Pengelompokan biji berdasarkan ukuran 16 Pengelompokan warna biji dari masing-masing genotipe 17 Persentase biji penuh, keriput, rusak, dan unfertile dari 125 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 18 Kadar air benih dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding 19 Korelasi fenotipik antarkarakter varietas/galur kedelai pada pengujian di kebun percobaan IPB Sawah Baru
4 5 5 7 10 11 12 20 22 23 25 26 28 29 30 31 32 35 39
DAFTAR GAMBAR 1 Tampilan daya tumbuh benih dilapangan 2 Tampilan benih yang dorman 3 Tampilan serangan lalat bibit 4 Umur berbunga (fase R1) 5 Tampilan tanaman pada fase R1
13 13 13 14 14
xiv
6 Tampilan serangan ulat penggulung daun 7 Tampilan serangan penyakit rebah semai 8 Tampilan gulma yang dominan tumbuh dilapangan 9 Waktu muncul polong (fase R3) 10 Tampilan tanaman pada fase R3 11 Tampilan serangan kepik polong 12 Waktu perubahan warna polong (fase R3) 13 Tampilan tanaman pada fase R7 14 Tampilan tanaman yang terkena penyakit karat daun 15 Umur panen (fase R8) 16 Tampilan tanaman pada fase R8 17 Tampilan kegiatan panen 18 Tampilan persentase kondisi benih 19 Tampilan alat dan pengunaan Moisture Tester
14 14 14 15 16 16 16 17 17 18 19 19 34 36
DAFTAR LAMPIRAN 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan 2 Deskripsi varietas benih kedelai pembanding 3 Tata letak percobaan dilapangan 4 Pengelompokan benih berdasarkan iklim 5 Persentase Kondisi Benih
44 50 54 55 56
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merril) termasuk komoditas tanaman pangan terpenting setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan salah satu sumber protein yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena harganya yang relatif terjangkau. Kebutuhan kedelai akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan sebagai bahan baku industri pangan. Konsumsi kedelai pada tahun 2013 sebesar 2.5 juta ton (BAPPENAS 2014) sedangkan produksi kedelai nasional tahun 2013 sebesar 807.57 ribu ton biji kering atau turun 4.22 % dibandingkan tahun 2012 (BPS 2013). Peningkatan konsumsi kedelai nasional tersebut sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 sebesar 242 juta jiwa (BPS 2013). Kekurangan kedelai harus dipenuhi lewat impor sebesar 624 000 ton sampai akhir tahun 2013, sehingga total kedelai impor nasional setiap tahun terus meningkat. Konsumsi kedelai yang terus meningkat tersebut membutuhkan adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas nasional. Peningkatan produktivitas kedelai nasional saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan seperti adanya persaingan dengan komoditas lain, alih fungsi lahan dan perubahan iklim yang mengakibatkan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) meningkat sehingga berdampak nyata pada upaya peningkatan produksi kedelai. Tantangan tersebut mengakibatkan pemenuhan kedelai nasional sebagian besar masih bergantung pada negara lain. Berbagai penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai, salah satu upaya yang dilakukan adalah program pemuliaan tanaman. Tantangan yang akan dihadapi dalam program pemuliaan tanaman semakin besar dengan adanya pemanasan global. Pemanasan global mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu di sentra-sentra produksi kedelai. Sumarno dan Manshuri (2007) menyatakan suhu yang tinggi mengakibatkan terjadinya aborsi polong pada tanaman kedelai sehingga berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai. Perubahan fenologi pertumbuhan dan produksi suatu tanaman merupakan fenomena yang sudah lazim ketika terjadi perubahan lingkungan tumbuh yang sangat besar. Perubahan lingkungan tumbuh dari subtropis ke tropis merupakan perubahan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan fenologi dari seluruh fase pertumbuhan dan produksi, perubahan fenologi akan terjadi lebih besar lagi ketika di lingkungan tropis memiliki temperatur yang cukup tinggi (Nur et al. 2010). Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim topika basah. Subowo et al. (2010) menjelaskan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan usahatani di kawasan tropika basah adalah tingkat curah hujan dan pelapukan tinggi, pencucian hara, erosi tanah, serta serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu, pemulia tanaman berupaya untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara menghasilkan varietas yang sesuai dengan kawasan topika basah. Langkahlangkah yang dilakukan oleh pemulia tanaman sebelum menghasilkan atau mengembangkan suatu varietas adalah introduksi, seleksi, hibridisasi, dan seleksi
2
setelah hibridisasi. Koleksi berbagai genotipe (plasma nutfah) dapat berupa nutfah lokal atau yang diintroduksikan dari luar negeri yang digunakan sebagai keragaman sumber gen untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan untuk tujuan pemuliaan. Tahapan selanjutnya adalah kegiatan seleksi dengan cara memilih beberapa tanaman terbaik dari suatu populasi tanaman. Kajian ini penting digunakan untuk mendapatkan genotipe-genotipe yang beradaptasi baik dan berpenampilan stabil pada lingkungan tropika basah tersebut. Rasyad dan Idwar (2010) menjelaskan galur atau varietas yang stabil umumnya mempunyai keragaman yang kecil jika ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda atau memiliki keragaan yang tetap pada berbagai lingkungan. Oleh karena itu, varietas yang stabil akan memberikan tanggap hasil yang relatif sama meskipun lingkungannya berbeda. Kestabilan suatu varietas bukan hanya ditunjukkan oleh hasilnya saja tetapi juga diperlihatkan oleh kestabilan sifat-sifat agronomis lain seperti komponen hasilnya. Varietas kedelai dari wilayah subtropika yang sesuai untuk panjang hari 1416 jam apabila ditanam di Indonesia yang panjang harinya 12 jam maka akan mempercepat pembungaan pada umur 20-22 hari walaupun batang tanaman masih pendek, dan tanaman sudah berbunga. Varietas asal subtropika di tempat aslinya, berbunga pada umur tanaman sekitar 50 hari saat batang kedelai sudah tumbuh setinggi 60-70 cm (Sumarno dan Manshuri 2007). Oleh karena itu, penelitian respon genotipe tanaman kedelai dari berbagai negara terhadap kondisi lingkungan tumbuh agroekosistem tropika basah perlu dilakukan untuk mempelajari pengaruh perbedaan lingkungan tumbuh genotipe-genotipe kedelai tersebut terutama akibat suhu terhadap pertumbuhan dan produksinya. Genotipe yang memiliki karakter unggul tersebut, selanjutnya dapat diusulkan kepada pemulia tanaman untuk dikembangkan sebagai sumber gen dalam melakukan persilangan tanaman untuk merakit varietas unggul nasional. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari respon pertumbuhan dan produksi 130 genotipe kedelai dari berbagai negara terhadap lingkungan tumbuh agroekosistem tropika basah. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan dan produksi diantara genotipegenotipe yang diuji. 2. Terdapat satu atau lebih genotipe yang memiliki pertumbuhan dan produksi lebih tinggi daripada pembanding. 3. Terdapat satu atau lebih genotipe yang memiliki daya adaptasi paling baik.
3
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kedelai Tanaman kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan anggota dari famili Leguminosae, subfamili Papilionideae dan tergolong kedalam genus Glycine L. Kedelai merupakan tanaman semusim, tanaman tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, memiliki daun tunggal dan daun bertiga, bulu pada daun dan polong tidak terlalu padat, umur tanaman antara 72-90 hari dan memiliki akar tunggang. Kedelai introduksi umumnya tidak memiliki atau memiliki sangat sedikit percabangan (Adie dan Krisnawati 2007). Bunga Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang bersifat kleistogami. Periode perkembangan vegetatif bervariasi tergantung pada varietas dan keadaan lingkungan, panjang hari dan suhu. Tanaman memasuki fase reproduktif saat tunas aksiler berkembang menjadi kelompok bunga dengan 2 hingga 35 kuntum bunga setiap kelompok. Ada dua tipe pertumbuhan batang dan permulaan pembungaan pada kedelai. Tipe pertama adalah indeterminit, yaitu tunas terminal melanjutkan fase vegetatif selama pertumbuhan. Tipe kedua adalah determinit dimana pertumbuhan vegetatif tunas terminal terhenti ketika terjadi pembungaan. Periode berbunga dipengaruhi oleh waktu tanam, berlangsung 3-5 minggu. (Adie dan Krisnawati 2007). Perkembangan Polong Jumlah polong bervariasi mulai 2-20 dalam satu pembungaan dan lebih 400 dalam satu tanaman. Satu polong berisi 1-15 biji, namun pada umumnya berisi 2-3 biji per polong. Polong masak berwarna kuning muda sampai kuning kelabu, coklat, atau hitam. Panjang polong maksimum dicapai 20-25 hari setelah berbunga. Lebar dan tebal polong maksimum dicapai sekitar 30 hari setelah berbunga. Periode pengisian biji (seed filling period) pada kedelai merupakan fase paling kritis dalam pencapaian hasil optimal. Pada fase tersebut terjadinya kekurangan atau kelebihan air, serangan hama atau penyakit, dan sebagainya akan berpengaruh buruk pada proses pengisian biji (Adie dan Krisnawati 2007). Biji Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat, dan sebagian besar kedelai yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Pengelompokan ukuran biji kedelai berbeda antarnegara, di Indonesia kedelai dikelompokkan berukuran besar (berat >14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Di Jepang dan Amerika biji kedelai berukuran besar jika memiliki berat 30 g/100 biji (Adie dan Krisnawati 2007).
4
Fase Tumbuh Adie dan Krisnawati (2007) menjelaskan penentuan waktu perlakuan agronomis berdasarkan umur tanaman dapat memberikan hasil yang berbeda dibandingkan yang berdasarkan fase tumbuh karena setiap varietas kedelai memiliki fase tumbuh yang berbeda. Selain ditentukan oleh varietas. Fehr dan Caviness (1977) menjelaskan karakteristik pertumbuhan tanaman kedelai fase vegetatif dan fase generatif pada Tabel 1 dan 2, serta rentang waktu tumbuh tanaman setiap fase yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 1 Karakteristik fase tumbuh vegetatif pada tanaman kedelai Sandi Fase Pertumbuhan Keterangan fase Ve Kecambah Tanaman baru muncul di atas tanah Daun keping (kotiledon) terbuka dan dua daun Vc Kotiledon tunggal di atasnya juga mulai terbuka Daun tunggal pada buku pertama telah V1 Buku kesatu berkembang penuh, dan daun berhurufi tiga pada buku di atasnya telah terbuka Daun berangkai tiga pada buku ketiga telah V2 Buku kedua berkembang penuh, dan daun pada buku keempat telah terbuka Daun berangkai tiga pada buku keempat telah V3 Buku ketiga berkembang penuh, dan daun pada buku kelima telah terbuka Daun berangkai tiga pada buku keempat telah V4 Buku keempat berkembang penuh, dan daun pada buku kelima telah terbuka Vn Buku ke-n Daun berangkai tiga pada buku ke-n telah berkembang penuh Respon Kedelai Terhadap Lingkungan Tumbuh Suhu berinteraksi dengan panjang penyinaran (photo period) dalam menentukan waktu berbunga dan pembentukan polong. Suhu yang tinggi berakibat pada aborsi polong, sebaliknya suhu di bawah 15 °C menghambat pembentukan polong. Suhu di atas 30 °C berpengaruh negatif terhadap kualitas biji dan daya tumbuh benih. Suhu di atas 27 °C kurang optimum untuk kualitas biji sebagai benih, berkaitan dengan laju pengisian dan pemasakan biji yang kurang optimal (Sumarno dan Manshuri 2007). Jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan jumlah polong total dipengaruhi secara nyata oleh intensitas cahaya tetapi tidak dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi keduanya. Bobot 100 butir tidak dipengaruhi secara nyata oleh intensitas cahaya sedangkan genotipe berpengaruh sangat nyata dan interaksi keduanya berpengaruh nyata. Bobot kering tajuk dipengaruhi oleh intensitas cahaya secara nyata sedangkan genotipe dan interkasi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk (Anggraeni 2010).
5
Tabel 2 Karakteristik fase tumbuh reproduktif pada tanaman kedelai Sandi Fase Pertumbuhan Keterangan fase Terdapat satu bunga mekar pada batang R1 Mulai berbunga utama Pada dua atau lebih buku batang utama R2 Berbunga penuh terdapat bunga mekar Mulai pembentukan Terdapat satu atau lebih polong R3 polong sepanjang 5 mm pada batang utama Polong berkembang Polong pada batang utama mencapai R4 penuh panjang 2 cm atau lebih Polong pada batang utama berisi biji R5 Polong mulai berisi dengan ukuran 2 mm x 1 mm Polong pada batang utama berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah R6 Biji penuh memenuhi rongga polong (besar biji mencapai maksimum) Satu polong pada batang utama Polong mulai kuning, R7 menunjukkan warna matang (berwarna coklat, matang abu-abu atau kehitaman) 95% telah matang (kuning kecoklatan R8 Polong matang penuh atau kehitaman) Tabel 3 Rentang waktu dari fase tumbuh ke fase tumbuh selanjutnya Fase tumbuh Penanaman-VE VE-VC VC-V1 V1-V2 V2-V3 V3-V4 VA-V5 V5-V6 R1-R2 R2-R3 R3-R4 R5-R6 R6-R7 R7-R8
Rata-rata waktu (hari) 10 5 5 5 5 5 5 3 0-3 10 9 9 15 9
Rentang waktu (hari) 5-15 3-10 3-10 3-10 3-8 3-8 3-8 3-5 0-7 5-15 4-26 11-20 9-30 7-18
Kecukupan hara dan tersedianya hormon pengatur pertumbuhan akan mampu meningkatkan jumlah dan bobot polong sehingga secara tidak langsung juga akan mampu meningkatkan jumlah dan bobot biji. Meskipun jumlah biji yang dihasilkan tanaman kedelai dibatasi oleh jumlah buku, bunga per buku, proporsi bunga yang berkembang sampai menjadi polong dewasa, dan jumlah biji per polong namun komponen tersebut sangat peka terhadap perubahan lingkungan
6
yang berdampak pada fotosintesis tanaman. Ukuran biji, rata-rata pertumbuhan biji dan lama pengisian biji merupakan salah satu komponen hasil yang dipengaruhi faktor lingkungan dan dibatasi oleh faktor karakteristik genetik kultivar (Soedradjad dan Avivi 2005). Pertumbuhan kedelai akan terhambat jika ketinggian tempat lebih dari 750 m dpl namun masih berproduksi baik pada ketinggian 110 m dpl. Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah dengan syarat drainase dan aerasi tanah cukup baik. Kecuali untuk tanah (podzolik merah kuning) dan tanah-tanah yang banyak mengandung pasir kwarsa pertumbuhannya kurang baik. Oleh karena itu, perlu diberikan pupuk organik dan kapur pertanian dalam jumlah cukup. Sebaiknya kedelai ditanam pada bulan-bulan yang agak kering tetapi air tanah masih cukup tersedia agar pertumbuhan optimal. Air diperlukan sejak pertumbuhan awal sampai pada periode pengisian polong (Kementan 2013). Genotipe tanaman yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh umumnya mengembangkan strategi adaptasi yang unik untuk mendapatkan unsur hara tertentu dari dalam tanah sedangkan genotipe yang tidak adaptif umumnya mengandalkan pupuk sebagai sumber hara yang siap tersedia (Bertham dan Abimanyu 2011). Penanaman kedelai pada tanah basah akan menghambat perkecambahan dan pertumbuhan awal karena kekurangan oksigen untuk pertumbuhan biji maupun akar tanaman. Biasanya populasi tanaman yang tumbuh akan berkurang pada tanah-tanah yang kelebihan air. Perbaikan drainase pada tanah-tanah seperti ini akan meningkatkan populasi tanaman, perakaran menjadi lebih baik sehingga tanaman menjadi lebih tegak dan berproduksi meningkat (Irwan 2005). Kondisi ternaungi membuat tanaman kedelai tumbuh lebih memanjang dibandingkan dengan pada keadaan terbuka. Pemberian naungan pada suatu penambahan kontinu di lapang tidak dapat memperbaiki keadaan pertumbuhan tanaman membuat tanaman menjadi lebih tinggi. Tanaman yang tumbuh lebih dari 1 meter tampak rebah dan tumbuh merayap sehingga tidak menguntungkan pada tanaman kedelai (Agusta dan Santosa 2005). Intensitas cahaya rendah menyebabkan kepadatan trikoma berkurang. Kondisi ini sangat menguntungkan tanaman kedelai karena jumlah cahaya yang akan direfleksikan menjadi sedikit sehingga daun semakin efisien dalam menyerap cahaya (Muhuria et al. 2006). Menurut Sumarno (1991) perbedaan agroklimat dan teknik budidaya merupakan faktor berbedanya produktivitas kedelai di Indonesia dan di wilayah subtropika seperti Amerika Serikat. Perbedaan agroklimat dan teknik budidaya di wilayah tropika (Indonesia) dan wilayah subtropika (Amerika Serikat) disajikan pada Tabel 4.
7
Tabel 4 Perbedaan agroklimat dan teknik budidaya di wilayah tropika (Indonesia) dan di wilayah subtropika (Amerika Serikat) Komponen Wilayah tropika Wilayah subtropika Kesuburan tanah Sedang-subur Sangat subur Lapisan olah tanah Dangkal-sedang Sangat dalam Penyiapan lahan Tanpa olah/minimal Intensif – optimal Panjang hari 12 jam 14-16 jam Curah hujan Sering berlebih, kering Hujan rintik-rintik Kesesuaian lahan Sangat beragam Sangat sesuai Hama Sangat banyak Minimal Penyakit Sangat banyak Minimal Rancangan Augmented Tahap awal pemuliaan tanaman pada umumnya terdapat genotipe dalam jumlah besar tetapi jumlah benih yang tersedia tiap genotipe terbatas sehingga untuk mengatasi masalah ini dan mengoptimalkan sumberdaya yang ada biasanya pemulia menggunakan rancangan perbesaran (rancangan augmented). Rancangan perbesaran digunakan untuk menyaring genotipe-genotipe dalam percobaan pemuliaan (Syukur et al. 2010). Rancangan ini pada genotipe baru yang diuji tidak diulang tetapi genotipe pembanding yang diulang (Federer et al.2001). Scott dan Milliken (1993) menjelaskan pembanding dalam rancangan perbesaran ini digunakan untuk menduga pengaruh blok dan pengaruh lingkungan. Menurut Peterson (1994) tujuan dari rancangan perbesaran yaitu merupakan suatu cara membandingkan antara genotipe yang diuji dengan pembanding dan untuk menyesuaikan hasil genotipe yang berbeda dari blok ke blok.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan IPB Sawah Baru, Dramaga, Bogor. Penelitian berlangsung pada tanggal 17 Februari sampai 30 Juni 2014. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 130 genotipe kedelai dari berbagai negara, pupuk urea, SP-36 dan KCl, legin, serta karbofuran. Identitas genotipe kedelai yang digunakan pada percobaan disajikan pada Lampiran 1 sedangkan 4 varietas benih kedelai Indonesia dan 1 varietas Jepang yang digunakan sebagai pembanding (kontrol) disajikan pada Lampiran 2. Alat yang digunakan adalah cangkul, sprayer, meteran, timbangan, alat penanda percobaan (label), ember, kamera, moisture tester.
8
Metode Penelitian Penelitian ini disusun dengan rancangan augmented dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan genotipe kedelai sebagai perlakuan (P) tunggal. Benih kedelai yang digunakan sebagai pembanding (kontrol) adalah kedelai varietas Tanggamus, Anjasmoro, Argo Mulyo, Wilis dan Tachinagaha (varietas Jepang) terdiri dari 5 ulangan sehingga terdapat 150 satuan percobaan. Setiap petak percobaan berukuran 5 m × 2 m dengan jumlah 10 tanaman per baris. Tata letak percobaan terdapat pada Lampiran 3. Model matematika percobaan ini mengikuti model Gomez dan Gomez (2007) : Yij = µ + τi + εij, dimana i = 1, 2, 3..., 130 ; j = 1, 2, 3, 4, 5 Keterangan : Yij = respon pengamatan genotipe kedelai ke-i (i = 1, 2,3..,130), ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5) µ = rataan umum τi = pengaruh perlakuan genotipe kedelai ke-i (i =1, 2,3..,130) εij = pengaruh galat percobaan perlakuan genotipe kedelai ke-i (i = 1, 2,3..,130), ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5) Analisis Data Data yang diperoleh diuji melalui uji F menggunakan aplikasi SAS dan jika menunjukkan adanya pengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 𝛼 = 5% (pada selang kepercayaan 95%). Pelaksanaan Penelitian Persiapan dan pengolahan tanah dilakukan dua minggu penanaman untuk membersihkan gulma. Masing-masing petak percobaan dibuat dengan ukuran 5 m × 2 m dan saluran drainase atau selokan dengan lebar 0.5 meter untuk menghindari genangan air. Penanaman dilakukan dengan ditugal sebanyak 2 butir/lubang dengan jarak tanam 50 cm × 20 cm. Benih direndam dengan legin selama 4-5 menit dan saat penanaman diberikan karbofuran 5-7 butir pada masing-masing lubang tanam. Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan cara dialur di samping barisan tanaman. Dosis pupuk yang digunakan adalah 50 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl. Pengendalian gulma dilakukan secara manual setiap minggu dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimiawi apabila diperlukan. Pengamatan dimulai pada satu minggu setelah tanam (MST) dengan menghitung daya tumbuh benih dilapang. Penyulaman dilakukan dengan mencabut tanaman kedelai yang tumbuh pada lubang tanam secara hati-hati agar akar utama tidak terputus dan dilakukan pada sore hari. Pemanenan dilakukan apabila 95% dari populasi polong per tanaman contoh telah berwarna kuning kecoklatan (100-110 HST) dan daun gugur. Waktu panen berbeda-beda tergantung pada masing-masing genotipe.
9
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap 3 tanaman contoh untuk setiap genotipe kedelai. Peubah tanaman yang diamati dilapangan terdiri atas : 1. Persentase tanaman tumbuh : diamati setelah 2 MST, 2. Tinggi tanaman (cm) : diukur dari pangkal batang hingga bagian ujung (titik tumbuh) batang utama pada saat fase R1 dan R7, 3. Umur berbunga (hari) : diamati saat 50% jumlah populasi berbunga, 4. Waktu muncul polong (hari) : diamati pada saat terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang utama (fase R3), 5. Jumlah buku per tanaman : diamati pada saat fase R1 dan R3, 6. Warna bunga : diamati pada saat fase R1, 7. Waktu perubahan polong menjadi matang (hari): diamati pada fase R7, 8. Waktu panen (hari) : diamati apabila 95% polong telah matang (kuning kecoklatan atau kehitaman), 9. Bobot kering tajuk (g) : Bagian tajuk tanaman dipisahkan dari akar dengan cara memotong pada bagian pangkal batang lalu tajuk tersebut dioven pada suhu 80 °C selama 3 hari (kadar air 0%), 10. Jumlah polong per tanaman: diamati pada saat setelah panen, 11. Jumlah cabang per tanaman : diamati pada saat fase R8, 12. Warna biji : diamati pada saat setelah panen, 13. Kadar air benih (%) : diamati dengan menggunakan alat moisture tester agar benih tidak rusak, 14. Bobot 100 biji (g) : adalah bobot biji yang dihasilkan setelah dipanen dan dijemur di bawah sinar matahari selama 3-5 hari (kadar air 14%), 15. Persentase kondisi biji yaitu menghitung benih penuh/sempurna, keriput, rusak dan unfertile, 16. Ukuran biji : diamati setelah menimbang bobot 100 biji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian Kondisi iklim rata-rata per bulan di wilayah Dramaga, kabupaten Bogor pada bulan Februari sampai Mei 2014 adalah; curah hujan rata-rata sebesar 424 mm, suhu rata-rata sebesar 25.3 °C dan kelembaban rata-rata sebesar 88% (BMKG 2014). Kondisi iklim dari waktu fase pertumbuhan R1 sampai fase R8 relatif konstan dengan tingkat curah hujan yang tinggi. Sumarno dan Manshuri (2007) menjelaskan kondisi optimum untuk pertanaman kedelai adalah; curah hujan berkisar 120-135 mm/bulan, suhu rata-rata 22-27 °C, kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara 70-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan kelembaban udara rendah antara 60-75%. Oleh karena itu, hal ini sangat berpengaruh terhadap fase pertumbuhan tanaman kedelai terutama pada periode pengisian biji (seed filling period) sebab sebagian besar genotipe yang berasal dari wilayah subtropika mulai mengalami masalah saat memasuki fase pertumbuhan R3 (waktu muncul polong)
10
yaitu terdapat miselium cendawan pada polong. Berikut disajikan hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah kebun percobaan IPB Sawah Baru pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah kebun IPB Sawah Baru Walkley HCl pH 1:1 and Kjeldhal Bray I N NH4OAc pH 7.0 25% black C-org N-Total P Ca Mg K Na KTK H2O KCl (%) (%) Ppm (me/100g) 5.7 4.9 1.2 0.13 26.7 593.93 7.06 1.97 0.44 0.37 15.65
KB (%) 62.88
N KCl Al H (me/100g) Tr 0.20
0.05 N HCl Fe
Tekstur
Cu Zn Mn Pasir Debu (ppm) (%) 20.97 2.44 8.44 35.88 12.26 46.00
Liat 41.74
Sumber : Laboratorium Departemen ITSL IPB 2014
Selain itu, kriteria kesesuaian agroklimat untuk pertanaman kedelai adalah pH 6.0-6.5, unsur K sedang-tinggi, Ca dan Mg sedang, serta kejenuhan liat sekitar 36-43 (Sumarno dan Manshuri 2007). Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia dan fisik tanah menurut Hardjowigeno (1995), maka data hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah kebun percobaan IPB Sawah Baru pada Tabel 5 termasuk dalam kriteria rendah-sedang dengan tingkat keasamaan tanah (pH) agak masam. Oleh karena itu, lahan percobaan tersebut layak digunakan untuk penelitian budidaya kedelai walaupun curah hujan tinggi karena penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon genotipe kedelai dari wilayah iklim yang berbeda-beda pada kawasan Indonesia yang tropika basah terhadap pertumbuhan dan produksinya. Keragaan Karakter Agronomi dan Hasil Genotipe-Genotipe Kedelai Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 6 menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata pada peubah pengamatan umur dan tinggi tanaman pada setiap fase, jumlah cabang, jumlah buku pada saat fase R8 dan bobot kering tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada antargenotipe dan varietas pembanding (kontrol). Peubah pengamatan seperti kadar air, bobot 100 biji, persentase biji penuh/sempurna, biji rusak dan biji unfertile tidak berpengaruh nyata pada antargenotipe dan varietas pembanding (kontrol) sehingga peubah tersebut tidak perlu dilakukan uji lanjut BNT. Berikut disajikan hasil rekapitulasi sidik ragam berbagai karakter genotipe tanaman kedelai yang diamati pada Tabel 6.
11
Tabel 6 Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai karakter genotipe tanaman kedelai yang diamati Parameter Umur tanaman pada fase R1 Umur tanaman pada fase R3 Umur tanaman pada fase R7 Umur tanaman pada fase R8 Tinggi tanaman pada saat fase R1 Tinggi tanaman pada saat fase R7 Jumlah buku pada saat fase R1 Jumlah buku pada saat fase R8 Kadar air Jumlah cabang Bobot kering tajuk Bobot 100 butir Jumlah polong Persentase biji penuh/sempurna Persentase biji keriput Persentase biji rusak Persentase biji unfertile
G
K
G*K
KK (%)
** ** ** ** ** ** tn ** tn ** ** ** tn tn ** tn tn
** ** ** ** ** ** ** ** tn ** ** ** * tn tn tn tn
** ** ** ** ** ** * ** tn ** ** tn tn tn ** tn tn
8.56 5.96 2.27 2.75 16.72 11.86 a) 20.03 14.96 8.02 14.98 6.24 10.61 a) 20.28 a) 26.49 a) 21.96 a) 28.02 b) 23.95
** = Berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, * = Berbeda nyata pada taraf uji 5%, tn = Tidak berpengaruh nyata, G = Genotipe, K = Kontrol (varietas pembanding), G*V = Interaksi, a) = Data ditransformasikan dengan log(x+2), b) = Data ditransformasikan dengan log(x+3).
Persentase Tumbuh Pengamatan terhadap persentase daya tumbuh benih di lapangan dilakukan pada 2 MST. Persentase daya tumbuh benih di lapangan disajikan pada Tabel 7 dengan memberikan nomor kode lapangan (NKL) yang dijelaskan pada Lampiran 1 dan 2. Menurut Koesrini dan William (2004) hasil observasi rata-rata daya tumbuh kedelai di lahan sulfat masam pada 2 MST cukup tinggi yaitu antara 89.897.9%. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini bahwa ada 99 genotipe yang memiliki persentase tumbuh yang tinggi yaitu diatas 80% dan 19 genotipe yang memiliki persentase tumbuh rendah yaitu dibawah 50%. Anjasmoro dan Pangrango dengan NKL 106 dan 130 memiliki persentase tumbuh yang rendah meskipun tergolong varietas unggul nasional. Menurut Ichsan (2006) pengamatan peubah viabilitas benih dapat dilihat dari potensi tumbuh dan daya berkecambah benih. Varietas Anjasmoro dan Pangrango memiliki persentase tumbuh yang rendah, mungkin disebabkan benih yang digunakan memiliki umur simpan benih yang lama. Hal ini akan mempengaruhi daya berkecambah benih sehingga persentase tumbuh benih di lapangan menjadi rendah meskipun benih tersebut tergolong varietas kedelai nasional.
12
Tabel 7 Persentase daya tumbuh dari 125 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding Daya Tumbuh (%) (90 – 100) 80 (70 – 50) (40 – 20) 0 105, 129, 2, 3, 4, 5, 7, 9 8, 107,13, 14 6, 26, 44, 51 1, 24, 28, 27, 31, 10, 11, 12, 16, 17,18, 19 15, 20, 22, 41 59, 65,79,81 29, 30, 50, 54, 61, 21, 23, 25, 32, 33, 34,35 42, 49, 63, 64 84, 85, 86, 55, 70, 76, 70, 116, 36, 37, 38, 39, 40, 43,45 71, 108, 120 112 80, 106, 130 117 46, 47, 48, 52, 53, 56,57 58, 59, 60, 62, 66, 67,68 69, 72, 73, 74, 75, 77,78 82, 83, 87, 88, 89, 90, 91 92, 93, 94, 95, 96, 97,98 99, 100, 101,102, 103, 104, 109, 110, 111, 113, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128 84 genotipe 15 genotipe 12 genotipe 12 genotipe 7 genotipe Angka-angka di dalam tabel merupakan nomor kode lapangan (NKL)
Tabel 7 menunjukkan bahwa genotipe dengan nomor 27, 31, 54, 61, 70, 116, dan 117 merupakan genotipe yang paling tidak adaptif pada lingkungan tropika basah karena tidak ada satu pun tanaman yang hidup di lapangan. Beberapa faktor penyebab hal tersebut adalah rendahnya viabilitas benih, benih yang doman, dan adanya perbedaan lingkungan tumbuh asalnya terutama akibat suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya matahari. Kartahadimaja et al. (2013) menyatakan bahwa gejala turunnya viabilitas benih akibat penyimpanan pada periode 4 tahun setelah diuji di laboratorium dan di lapangan terjadi karena benih tetap berkecambah, tetapi tidak normal, atau karena benih tidak tumbuh sama sekali atau karena benih sudah mati. Beberapa genotipe kedelai dari wilayah subtropika yang memiliki persentase tumbuh yang rendah (<50%) seperti genotipe dengan nomor 27, 29, 30, 50, 55, dan 61 yang berasal dari Korea, genotipe dengan nomor 28, 31, dan 54 yang berasal dari Republik Rakyat Cina (RRC), genotipe dengan nomor 70 dan 80 yang berasal dari Pakistan dan Nepal. Genotipe dari wilayah subtropika tersebut memiliki persentase tumbuh yang rendah diduga akibat berbedanya iklim di lingkungan tumbuh percobaan dengan iklim negara asal. Genotipe dengan nomor 76 yang berasal dari Thailand juga memiliki persentase tumbuh yang rendah meskipun berasal dari wilayah tropika, diduga diakibatkan rendahnya viabilitas benih sehingga daya berkecambah benih di lapangan rendah. Selain itu, terdapat satu genotipe yang mengalami dormansi benih dengan NKL 84 yang berasal dari Nepal. Genotipe tersebut mengalami dormansi benih akibat kulit benih yang tebal walaupun sebelumnya telah diberi perlakuan dengan cara melakukan pengamplasan. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya persentase tumbuh genotipe tersebut adalah serangan hama dan penyakit. Hama yang menyerang pada saat tanaman masih muda lalat bibit kedelai (Ophiomyia phaseoli). Gejala yang
13
ditimbulkan akibat lalat bibit kedelai adalah terdapat bintik cokelat pada keping biji dan daun sehingga tanaman menjadi layu, mengering, dan akhirnya mati. Serangan yang ditimbulkan akibat lalat bibit kedelai sekitar 10%. Berikut disajikan tampilan daya tumbuh benih di lapangan, tampilan benih yang dorman dan serangan lalat bibit pada Gambar 1, 2, dan 3.
Gambar 1 Tampilan daya tumbuh benih
Gambar 2 Tampilan benih yang dorman
Gambar 3 Tampilan serangan lalat bibit
Umur Berbunga (Fase R1) Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 28-52 HST. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa Tachinagaha merupakan varietas pembanding yang berbunga paling cepat yaitu pada saat 31 HST sedangkan Wilis merupakan varietas pembanding yang berbunga paling lama yaitu pada saat 45 HST sehingga kedua varietas ini menjadi acuan untuk membandingkan genotipe-genotipe yang diuji berbunga cepat atau lambat. Menurut Susanto dan Sundari (2011) rentang umur berbunga tanaman kedelai pada lingkungan tidak tenaungi berkisar antara 36-48 hari HST dengan rata-rata 41 HST. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa ada 21 genotipe yang berbunga paling cepat terjadi pada saat 28 HST yaitu Enrei, KOUKOU 6514-2, Athow, LD003309, TIEFENG 18, GmWMC001, GmWMC006, GmWMC015, GmWMC019, GmWMC024, GmWMC035, GmWMC036, GmWMC038, GmWMC042*2, GmWMC046, GmWMC070, GmWMC071, GmWMC073, GmWMC084, GmWMC086, GmWMC107, GmWMC113, GmWMC119, GmWMC123, dan GmWMC159 yang tergolong kedalam tipe determinit. Sebaliknya terdapat 1 genotipe yang berbunga paling lama terjadi pada saat 52 HST yaitu GmWMC191 yang tergolong kedalam tipe indeterminit. Oleh karena itu, data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa genotipe tersebut memiliki umur berbunga yang lebih cepat dan lebih lama dari literatur. Genotipe yang berbunga paling cepat tersebut sebagian besar merupakan kedelai yang berasal dari wilayah subtropika yaitu Jepang, Korea, dan Republik Rakyat Cina. Hal ini sesuai dengan Sumarno dan Manshuri (2007) bahwa varietas kedelai dari wilayah subtropika yang sesuai untuk panjang hari 1416 jam apabila ditanam di Indonesia yang panjang harinya 12 jam maka akan mempercepat pembungaan pada umur 20-22 hari walaupun batang tanaman masih pendek, tanaman sudah berbunga. Berikut disajikan umur berbunga (fase R1) dari genotipe yang diuji dan varietas pembanding (kontrol) pada Gambar 4.
14
Umur fase R1 (hari)
55 50 45
40 35 30 25 0
10
20
30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 Nomor Kode Lapangan (NKL) Genotipe Gambar 4 Umur berbunga (fase R1)
Hama yang menyerang tanaman pada saat fase R1 ini adalah ulat penggulung daun (Lamprosema indicata). Gejala yang timbul akibat ulat penggulung daun adalah adanya daun-daun yang tergulung menjadi satu sehingga bila gulungan dibuka dapat dilihat ulat atau kotorannya yang berwarna coklat hitam. Serangan yang ditimbulkan akibat ulat penggulung daun sekitar 15%. Penyakit yang menyerang tanaman pada saat fase R1 adalah penyakit rebah semai. Marwoto dan Hardaningsih (2007) menjelaskan gejala yang timbul akibat penyakit ini adalah tanaman menjadi mendadak layu. Daun-daun yang terinfeksi membentuk bercoklat bulat berwarna cokelat tua kemudian mengering. Gulma dominan yang tumbuh pada saat tanaman mengalami fase R1 adalah gulma dari golongan rumput seperti Eleusine indica, Cynodon dactylon, Digitaria ciliaris dan Cyperus sp. dari golongan gulma teki. Gulma tersebut cepat mengalami pertumbuhan karena curah hujan yang cukup tinggi. Berikut disajikan tampilan tanaman pada fase R1, serangan ulat, serangan ulat dan gulma pada Gambar 5, 6, 7, dan 8.
Gambar 5 Tampilan tanaman pada fase R1
Gambar 7 Tampilan serangan penyakit
Gambar 6 Tampilan serangan ulat penggulung daun
Gambar 8 Gulma yang tumbuh dominan
15
Waktu Muncul Polong (Fase R3) Pengamatan waktu muncul polong dimulai pada saat 35 HST dan berakhir pada saat 55 HST. Berikut disajikan waktu muncul polong (fase R3) dari genotipe yang diuji dan varietas pembanding (kontrol) pada Gambar 5.
Umur fase R3 (hari)
60 55 50 45 40 35 30 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 Nomor Kode Lapangan (NKL) Genotipe Gambar 9 Waktu muncul polong (fase R3)
Gambar 9 menunjukkan bahwa Tachinagaha merupakan varietas pembanding yang paling cepat membentuk polong yaitu pada saat 35 HST sedangkan Anjasmoro merupakan varietas pembanding yang paling lama membentuk polong yaitu pada saat 50 HST karena benih Anjasmoro yang digunakan memiliki viabilitas yang rendah akibat umur simpan yang lama. Oleh karena itu, kedua varietas ini menjadi acuan untuk membandingkan genotipegenotipe yang diuji berpolong cepat atau lama. Berdasarkan hasil pengamatan, rentang waktu dari fase R1 menuju fase R3 adalah 6-10 hari sehingga waktu muncul polong pada penelitian ini menunjukan waktu yang lebih cepat dibandingkan Fehr dan Caviness (1977) yang menyatakan bahwa rentang waktu fase R1 sampai R3 sekitar 15 hari. Dapat dilihat pada Gambar 9 bahwa ada 26 genotipe yang membentuk polong paling cepat yang terjadi pada 35 HST yaitu Enrei, KOUKOU 6514-2, Athow, LD003309, GmWMC001, GmWMC006, GmWMC015, GmWMC019, GmWMC024, GmWMC035, GmWMC036, GmWMC038, GmWMC042*2, GmWMC046, GmWMC070, GmWMC071, GmWMC073, GmWMC084, GmWMC086, GmWMC113, GmWMC107, GmWMC119, GmWMC123, dan GmWMC159. Genotipe-genotipe tersebut merupakan genotipe yang paling cepat berbunga sedangkan 2 genotipe yang membentuk polong paling lama yang terjadi pada 55 HST yaitu GmWMC173 dan GmWMC191. GmWMC173 dan GmWMC191 merupakan genotipe yang paling lama waktu munculnya bunga 50% dari populasi sehingga hal ini berkorelasi dengan lamanya pembentukan polong. Genotipe yang membentuk polong paling cepat tersebut sebagian besar berasal dari wilayah subtropika yaitu Jepang, Korea, Republik Rakyat Cina dan Nepal sedangkan genotipe yang paling lama membentuk polong adalah yang berasal dari Taiwan dan Filipina.
16
Hama yang menyerang pada masa pembentukan polong adalah ulat penggulung daun (Lamprosema indicata) dan kepik polong (Riptortus linearis). Serangan yang ditimbulkan akibat kepik polong adalah pertumbuhan polong dan biji kempes lalu mengering kemudian polong gugur. Berikut disajikan tampilan tanaman pada fase R3 dan serangan kepik polong pada Gambar 10 dan 11.
Gambar 10 Tampilan tanaman pada fase R3
Gambar 11 Tampilan serangan kepik polong
Waktu Perubahan Polong Menjadi Kuning, Coklat, Matang (Fase R7) Pengamatan terhadap waktu perubahan warna polong menjadi kuning, coklat, matang dimulai pada saat 61 HST dan berakhir pada saat 102 HST. Berikut disajikan waktu perubahan warna polong (fase R7) dari genotipe yang diuji dan varietas pembanding (kontrol) pada Gambar 12.
Umur fase R7 (hari)
110 105 100 95 90 85
80 75 70 65 60 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 Nomor Kode Lapangan (NKL) Genotipe Gambar 12 Waktu perubahan warna polong (fase R7)
17
Gambar 12 menunjukkan bahwa Tanggamus merupakan varietas pembanding yang paling cepat mengalami fase R7 yaitu pada saat 85 HST sedangkan Anjasmoro merupakan vaietas pembanding yang paling lama mengalami fase R7 terjadi pada saat 97 HST. Oleh karena itu, kedua varietas ini menjadi acuan untuk membandingkan genotipe-genotipe yang diuji mengalami fase R7 tercepat dan terlama. Berdasarkan hasil pengamatan, rentang waktu dari fase R3 menuju fase R7 adalah 26-47 hari sehingga waktu perubahan polong menjadi matang pada hasil penelitian ini lebih cepat dibandingkan Fehr dan Caviness (1977) yang menyatakan bahwa rentang waktu fase R3 sampai R7 berkisar antara 36 sampai 91 hari. Dapat dilihat pada Gambar 11 bahwa ada 5 genotipe yang mengalami fase R7 paling cepat terjadi pada saat 61, 72 dan 73 HST yaitu GmWMC019, GmWMC042*2, 317 RINGGIT, SUMBING dan M20013-47-7 sedangkan 3 genotipe yang mengalami fase R7 paling lama terjadi pada 103, 104 dan 107 HST yaitu GmWMC115, GmWMC192, GmWMC191. GmWMC019 dan GmWMC042*2 merupakan genotipe yang mengalami fase tumbuh paling cepat dilihat dari waktu pada saat fase R1, R3 sampai R7 sedangkan GmWMC191 merupakan genotipe yang mengalami fase tumbuh paling lama dilihat dari waktu pada saat fase R1, R3 sampai R7. Hama yang menyerang pada saat tanaman mengalami fase R7 tidak berbeda pada saat fase R3 yaitu ulat penggulung daun (Lamprosema indicata) dan kepik polong (Riptortus linearis). Serangan hama yang diakibatkan ulat penggulung daun dan kepik polong tersebut sekitar 50% sehingga dilakukan penyemprotan insektisida 2 kali seminggu secara rutin. Penyakit yang menyerang tanaman pada saat tanaman mengalami fase R7 adalah karat daun yang disebabkan oleh patogen cendawan (Phakopsora pachyrhizi). Marwoto dan Hardaningsih (2007) menjelaskan gejala yang ditimbulkan oleh karat daun adalah terdapat bercak berwarna coklat kemerahan pada daun seperti warna karat. Penyakit karat daun terjadi akibat lamanya daun dalam kondisi basah dan periode dengan suhu <28 °C. Penyebaran cendawan ini melalui hembusan angin dan percikan air di waktu hujan. Tanaman yang terserang penyakit karat daun adalah GmWMC171 yang berasal dari Nepal. Berikut disajikan tampilan tanaman pada fase R7 dan serangan penyakit karat daun pada Gambar 13 dan 14.
Gambar 13 Tampilan tanaman pada fase R7
Gambar 14 Tampilan salah satu genotipe yang terkena penyakit karat daun
18
Umur Panen (Fase R8)
Umur fase R8 (hari)
Pengamatan umur panen dimulai pada saat 66 HST dan berakhir pada saat 112 HST. Berikut disajikan umur panen (fase R8) dari genotipe yang diuji dan varietas pembanding (kontrol) pada Gambar 15. 115 110 105 100 95 90 85 80 75 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 Nomor Kode Lapangan (NKL) Genotipe Gambar 15 Umur panen (fase R8)
Berdasarkan data dari fase R1 sampai R8 dapat dilihat bahwa Tachinagaha merupakan varietas pembanding yang mengalami masa reproduktif paling lama, Argo Mulyo merupakan varietas pembanding yang mengalami dari pembentukan polong sampai polong matang penuh (fase R3-R7) paling cepat. Tanggamus tergolong varietas pembanding yang mengalami waktu perubahan polong menjadi kuning, coklat, matang sampai polong matang penuh (fase R7-R8) yang cepat. Wilis merupakan varietas pembanding yang mengalami masa vegetatif paling lama. Anjasmoro merupakan varietas pembanding yang mengalami fase pertumbuhan paling lama saat umur berbunga sampai polong matang penuh (fase R1-R8). Hal ini disebabkan karena benih yang digunakan memiliki viabilitas rendah sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman di lapangan. Gambar 15 menunjukkan bahwa Tanggamus dan Argo Mulyo merupakan varietas pembanding yang paling cepat mengalami fase R8 terjadi pada 94 HST dan Anjasmoro merupakan varietas pembanding yang paling lama mengalami fase R8 terjadi pada 105 HST. Oleh karena itu, kedua varietas ini menjadi acuan untuk membandingkan genotipe-genotipe yang diuji mengalami fase R8 tercepat dan terlama. Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semua varietas pembanding yang digunakan pada penelitian ini yaitu Anjasmoro, Tanggamus, Argo Mulyo, dan Wilis memiliki umur panen yang lebih lama dari deskripsi varietas. Menurut Adisarwanto et al. (2007) umur panen 1-2 hari lebih lama dari deskripsi varietas menunjukkan tingkat kadar airnya rendah dan mempunyai vigor diatas 95%. Gambar 15 menunjukkan bahwa ada 10 genotipe yang mengalami fase R8 paling cepat terjadi pada saat 66, 79, 84 HST yaitu GmWMC019, GmWMC042*2, SUMBING, TAMBORA, M100-47-52-13, M150-29-44-10, M150-69-47-2, M150-7B-41-10,M150-92-46-4 dan M200-13-47-7 sedangkan 6 genotipe yang mengalami fase R8 paling lama terjadi pada 110, 111, dan 112 HST yaitu GmWMC191, GmWMC160*2, GmWMC163, Tambaguro-E 200,
19
Tambaguro 100, dan Pangrango. Dapat dilihat bahwa ada 2 genotipe yang selalu mengalami fase pertumbuhan paling cepat mulai dari fase R1 sampai fase R8 yaitu GmWMC019 dan GmWMC042*2 yang berasal dari Korea Utara dan Republik Rakyat Cina sedangkan 1 genotipe yang selalu mengalami fase pertumbuhan paling lama mulai dari fase R1 sampai fase R8 yaitu GmWMC191 yang berasal dari Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa pada beberapa genotipe semakin cepat umur berbunga maka akan semakin cepat pula umur panen. Sebaliknya jika semakin lama umur berbunga maka akan semakin lama pula umur panennya. Hal ini sesuai dengan Hakim (2012) bahwa koefisien korelasi antara umur berbunga dengan umur polong masak adalah nyata. Adie dan Krisnawati (2007) menjelaskan bahwa umur tanaman kedelai dikelompokkan menjadi genjah (< 80 hari), sedang (80-85 hari), dan dalam (>85 hari). Oleh karena itu, GmWMC019 dan GmWMC042*2 tergolong kedelai berumur genjah sedangkan GmWMC191 tergolong kedelai berumur dalam. Berikut disajikan tampilan tanaman pada fase R8 dan kegiatan panen pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16 Tampilan tanaman pada fase R8
Gambar 17 Tampilan kegiatan panen
Tinggi Tanaman pada Fase R1 Hakim (2012) menjelaskan varietas kedelai yang batangnya tinggi cenderung mempunyai jumlah cabang, jumlah buku subur, dan jumlah polong per tanaman yang lebih banyak dan bobot brangkasan lebih tinggi daripada varietas yang berbatang pendek. Selain itu, genotipe kedelai yang batangnya tinggi berpotensi memberikan bobot biji dan hasil yang tinggi. Data tinggi tanaman rata-rata pada fase R1 disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding yang terbaik adalah Wilis dengan NKL 129. Dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa GmWMC022 dengan NKL 34 merupakan genotipe yang paling rendah dan nyata lebih rendah dibandingkan Wilis sedangkan GmWMC191 dengan NKL 103 merupakan genotipe paling tinggi namun tidak berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Wilis. Berdasarkan data hasil pengamatan, GmWMC022 merupakan tanaman yang berumur pendek (genjah) sedangkan GmWMC191 merupakan tanaman yang berumur dalam. Selain itu, sebagian besar genotipe yang berasal dari Jepang memiliki nilai tengah tinggi tanaman yang rendah dan berumur pendek. Hal ini menunjukkan bahwa pada beberapa genotipe semakin rendah tanaman maka fase pertumbuhan akan semakin cepat. Sebaliknya jika semakin tinggi tanaman maka akan semakin lama pula fase pertumbuhannya dan hasil ini sesuai dengan Hakim (2012) yang menjelaskan bahwa koefisien korelasi antara umur polong masak dengan tinggi tanaman adalah nyata.
20
Tabel 8 Tinggi tanaman rata-rata pada fase R1 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL
Tinggi (cm)
NKL
8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 28 29 30
30.88 48.28 46.95 39.06 50.84 24.40b 33.50 24.70b 27.70b 18.70 29.40b 28.10b 59.40 23.90b 46.90 25.70b 23.30b 33.70 57.90 32.40b 28.70b 53.80 49.60 50.20 65.00 32.60b 34.60 22.90b 20.20 26.00b 25.10b 22.70b 22.00b
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62 63 64 65 66
Tinggi (cm)
NKL
20.80b 67 29.00b 68 69 14.10b 20.80 71 28.00b 72 33.00b 73 25.40b 74 17.00 75 26.70b 76 15.60 77 27.60b 78 17.80 79 27.60b 80 28.40b 81 19.50 82 23.00b 83 24.00b 84 28.70b 85 22.10b 86 29.00b 87 18.60 88 21.70b 89 25.40b 90 21.90b 91 26.00b 92 54.00 93 27.10b 94 23.70b 95 23.60b 96 39.30 97 28.60b 98 22.90b 99 24.40b 100 KK = 23.71%
Tinggi (cm) 30.40b 33.10b 51.70 49.60 43.10 17.80 24.30b 31.40b 25.90b 25.80b 22.70b 33.00b 34.60 31.60b 18.30 18.70 30.50b 46.30 33.70 59.10 49.50 45.90 21.80b 32.60b 27.60b 65.50 24.80b 49.20 48.10 56.70 44.10 55.50 50.30
NKL
Tinggi (cm)
101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
54.40 47.40 68.10 43.50 51.70 40.00 50.30 41.30 36.50 46.30 47.80 51.10 27.00b 53.90 38.90 38.10 32.40b 51.50 37.90 38.50 40.40 35.70 37.60 38.30
b = berbeda nyata lebih kecil daripada Wilis berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
21
Tinggi Tanaman pada Fase R7 Pengukuran tinggi tanaman pada fase R7 bertujuan membandingkan tinggi tanaman pada fase R1 dengan R7 sehingga dapat dilihat tipe pertumbuhan tanaman dari masing-masing genotipe. Data tinggi tanaman pada fase R7 disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Wilis dengan NKL 129. Dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa GmWMC022 yang berasal dari Korea Utara dengan NKL 34 merupakan genotipe yang paling rendah dan nyata lebih rendah dibandingkan Wilis sedangkan GmWMC183 yang berasal dari Taiwan dengan NKL 98 merupakan genotipe yang paling tinggi dan nyata lebih tinggi dibandingkan Wilis. Menurut Adie dan Krisnawati (2007) perbedaan pertumbuhan vegetatif pada tipe determinit dan indeterminit adalah pada tipe determinit, pertumbuhan vegetatif akan berhenti setelah berbunga (fase R1) sedangkan tipe indeterminit, pertumbuhan vegetatif akan berlanjut setelah berbunga. Selain itu, varietas kedelai yang ada di Indonesia pada umumnya bertipe tumbuh determinit. Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman rata-rata pada fase R1 dan R7 menunjukkan bahwa GmWMC022 tergolong tipe determinit sedangkan GmWMC183 tergolong tipe indeterminit. Sebagian besar genotipe yang diuji pada penelitian ini memiliki tipe pertumbuhan determinit, dan hanya ada 3 genotipe yang memiliki tipe pertumbuhan indeterminit. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa sebagian besar genotipe yang diuji tidak lagi mengalami pertumbuhan vegetatif setelah berbunga. Ketiga genotipe yang memiliki tipe pertumbuhan indeterminit tersebut merupakan genotipe yang berasal dari Taiwan, dan Nepal dengan NKL 87, 98, dan 104. Genotipe tersebut mengalami pertambahan tinggi yang sangat pesat pada saat fase pertumbuhan R7. Jumlah Buku pada Fase R1 Berdasarkan Hakim (2012) pada penelitian sebelumnya mengenai korelasi jumlah buku terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong per tanaman dan bobot brangkasan sehingga perhitungan jumlah buku tanaman kedelai perlu dilakukan pada penelitian ini. Data jumlah buku pada fase R1 disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Tanggamus dengan NKL 105. Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa terdapat 7 genotipe yaitu GmWMC115, GmWMC001, GmWMC046, GmWMC107, GmWMC113, GmWMC129*2, dan GmWMC143 dengan NKL secara berurut 60, 25, 43, 57, 59, 67, dan 73 yang merupakan genotipe dengan jumlah buku pada fase R1 yang paling sedikit dan tidak nyata lebih rendah dibandingkan Tanggamus sedangkan GmWMC192 dengan NKL 104 merupakan genotipe dengan jumlah buku pada fase R1 yang paling banyak dan berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Tanggamus. Meskipun hasil penelitian Hakim (2012) menjelaskan bahwa kedelai yang batangnya tinggi cenderung mempunyai jumlah buku subur yang lebih banyak daripada varietas yang berbatang pendek. Namun, pada penelitian ini tinggi tanaman tidak selalu berkorelasi positif dengan jumlah buku subur. Berikut disajikan data jumlah buku tanaman rata-rata saat fase pertumbuhan R1 pada Tabel 10.
22
Tabel 9 Tinggi tanaman rata-rata pada fase R7 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL Tinggi (cm) 8 32.38 105 53.52 106 48.77 107 52.60 129 64.52 1 25.10b 2 36.30b 3 30.10b 4 41.50b 5 22.70b 6 32.80b 7 34.70b 9 60.30 10 32.00b 11 49.20b 12 28.20b 13 25.40b 14 34.90b 15 65.40 16 33.70b 17 30.90b 18 62.70 19 63.70 20 54.50 21 67.00 22 34.10b 23 35.20b 24 30.50b 25 24.70b 26 27.10b 28 27.20b
NKL Tinggi NKL (cm) 29 23.10b 63 30 22.60 64 32 30.00b 65 33 29.80b 66 34 14.90b 67 35 21.00b 68 36 28.10b 69 37 33.90b 71 38 25.80b 72 39 25.70b 73 40 34.00b 74 41 33.10b 75 42 27.70b 76 43 44.70b 77 44 28.30b 78 45 29.70b 79 46 49.60 80 47 23.50b 81 48 33.30b 82 49 29.50b 83 50 22.10b 84 51 30.10b 85 52 19.10b 86 53 22.40b 87 55 27.80b 88 56 28.80b 89 57 34.10b 90 58 65.60 91 59 54.80 92 60 24.50b 93 62 24.70b 94 KK = 28.37%
Tinggi (cm) 44.50b 32.50b 23.30b 25.00b 32.30b 41.70b 70.50 51.40 43.10b 19.07b 25.20b 35.50b 33.70b 27.70b 23.10b 33.90b 35.70b 33.50b 19.80b 33.70b 39.50b 47.70b 45.80b 113.70a 50.20 47.20b 22.50b 49.40 27.90b 68.90 31.50b
NKL 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
Tinggi (cm) 78.10 49.90 66.90 114.00a 50.30 75.10 80.70a 59.70 107.50a 55.40 68.70 57.50 40.90b 54.70 61.90 95.40a 64.30 62.10 37.70b 68.90 45.90b 47.50b 46.60b 56.30 47.80b 46.80b 49.40 56.60 37.60b 64.00
a= Berbeda nyata lebih besar daripada Wilis dan b = berbeda nyata lebih kecil daripada Wilis berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
23
Tabel 10 Jumlah buku rata-rata pada fase R1 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL 8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 28
Jumlah buku 9 55 24 24 34 11 11 10 8 9 9 17 50 8 27 10 9 9 38 12 12 44 30 31 40 11 17 15 7b 8 10
NKL 29 30 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62
Jumlah NKL buku 21 63 9 64 17 65 14 66 10 67 15 68 9 69 24 71 10 72 12 73 11 74 15 75 17 76 7 77 15 78 11 79 8 80 9 81 8 82 12 83 12 84 12 85 9 86 9 87 13 88 9 89 7b 90 18 91 7b 92 7b 93 12 94 KK = 28.12%
Jumlah buku 9 10 9 10 7b 15 44 46 25 7b 30 20 16 23 14 26 34 39 16 9 31 35 26 38 37 43 8 67 20 76 8
NKL 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
Jumlah buku 54 33 61 25 37 25 60 58 53 82 46 39 38 38 26 43 41 64 8 20 23 23 18 34 18 21 18 20 16 26
b = berbeda nyata lebih kecil daripada Tanggamus berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, data ditransformasikan dengan log(x+2), NKL = Nomor kode lapangan
Jumlah Buku pada Fase R8 Menurut Hakim (2012) genotipe yang mempunyai jumlah buku subur banyak, juga memberikan hasil biji lebih tinggi dan sebaliknya. Oleh karena itu,
24
perhitungan jumlah buku pada fase R8 perlu dilakukan untuk menentukan jumlah buku setelah berbunga dan membandingkannya dengan jumlah buku pada fase R1 sehingga dapat ditentukan tipe pertumbuhan tanaman dari masing-masing genotipe. Data jumlah buku pada fase R8 disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Tanggamus dengan NKL 105. Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa GmWMC115 dengan NKL 60 yang berasal dari Amerika Serikat merupakan genotipe yang memiliki jumlah buku tanaman pada fase R8 yang paling sedikit dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan Tanggamus sedangkan GmWMC192 dengan NKL 104 yang berasal dari Nepal merupakan genotipe yang memiliki jumlah buku pada fase R8 yang paling banyak dan berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Tanggamus. Berdasarkan data hasil pengamatan bahwa GmWMC115 tidak mengalami pertambahan jumlah buku tanaman yang besar dari fase R1 sampai fase R8 sedangkan GmWMC192 mengalami pertambahan jumlah buku tanaman yang pesat dari fase R1 sampai fase R8. Menurut Adie dan Krisnawati (2007) perbedaan jumlah buku setelah berbunga pada tipe determinit dan tipe indeterminit adalah tipe determinit, jumlah buku tanaman setelah berbunga tidak mengalami pertambahan sedangkan tipe indeterminit, jumlah buku tanaman setelah berbunga mengalami pertambahan. Oleh karena itu, GmWMC115 tergolong kedalam tipe determinit sedangkan GmWMC192 tergolong kedalam tipe indeterminit. Jumlah Cabang per Tanaman Data jumlah cabang per tanaman disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Wilis dengan NKL 129. Dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa terdapat 2 genotipe yaitu GmWMC123*2 dan GmWMC169 dengan NKL 65 dan 90 yang berasal dari Nepal dan Republik Rakyat Cina merupakan genotipe yang memiliki cabang paling sedikit dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan Wilis sedangkan SUMBING dengan NKL 19 yang berasal dari Indonesia merupakan genotipe yang memiliki cabang yang paling banyak dan berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Wilis. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa Wilis merupakan varietas yang paling banyak memiliki cabang namun hasil ini berbeda dengan penelitian Ghulamahdi (2011) bahwa varietas Tanggamus memiliki cabang terbanyak dibandingkan Wilis, Anjasmoro, dan Slamet pada teknologi budidaya kedelai jenuh air maupun tanpa pengairan. Hal ini berbeda diduga akibat adanya perbedaan lingkungan tumbuh terutama akibat pengaruh intensitas cahaya matahari. Yono (2008) menjelaskan bahwa jumlah cabang berkorelasi positif terhadap hasil kedelai dan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang diperoleh tanaman. Semakin tinggi jumlah cabang kedelai maka akan semakin tinggi hasil kedelai yang diperoleh, dan jumlah cabang akan semakin berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya. Selain itu, menurut Hakim (2012) genotipe kedelai yang bercabang banyak cenderung memiliki jumlah polong lebih banyak dan bobot brangkasan lebih tinggi. Oleh karena itu, genotipe SUMBING tergolong genotipe yang
25
memiliki daya hasil lebih tinggi dibandingkan kelima varietas pembanding tersebut jika dilihat dari jumlah cabang yang sangat banyak Tabel 11 Jumlah buku rata-rata pada fase R8 dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL 8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 28
Jumlah buku 17 66 54 37 65 17b 27b 22b 12b 13b 14b 20 81 15b 29b 14b 11b 12b 45b 33b 19b 62 46b 45b 59 18b 24b 30b 11b 18b 29b
NKL 29 30 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62
Jumlah NKL Jumlah buku buku 24b 63 12b 15b 64 19b 48b 65 21b 22b 66 17b 15b 67 15b 24b 68 41b 20b 69 74 34b 71 58 19b 72 40b 37b 73 22b 26b 74 32b 28b 75 24b 24b 76 19b 21b 77 27b 24b 78 17b 19b 79 38b 25b 80 39b 28b 81 47b 28b 82 27b 17b 83 30b 14b 84 48b 19b 85 39b 11b 86 36b 13b 87 68 13b 88 41b 11b 89 46b 10b 90 10b 24b 91 72 33b 92 64 93 81 7b 16b 94 31b KK = 21%
NKL 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
Jumlah buku 85a 45b 49b 116a 29b 68 90a 60 57 190a 62 54 74 56 49b 69 62 109a 33b 43b 33b 39b 36b 57 56 34b 38b 45b 32b 84a
a= Berbeda nyata lebih besar daripada Tanggamus dan b = berbeda nyata lebih kecil daripada Tanggamus berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
26
Tabel 12 Jumlah cabang rata-rata dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL Jumlah cabang 8 5 105 9 106 7 107 9 129 12 1 4b 2 6b 3 5b 4 5b 5 4b 6 4b 7 6b 9 11 10 6b 11 4b 12 8b 13 5b 14 7b 15 5b 16 6b 17 7b 18 14 19 23a 20 8b 21 7b 22 8b 23 7b 24 9b 25 5b 26 6b 28 6b
NKL 29 30 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62
Jumlah NKL Jumlah cabang cabang 5b 63 5b 4b 64 4b 6b 65 3b 6b 66 8b 6b 67 5b 8b 68 6b 5b 69 12 8b 71 14 9b 72 9b 8b 73 7b 4b 74 10b 7b 75 6b 6b 76 7b 5b 77 7b 7b 78 10b 7b 79 6b 4b 80 8b 9b 81 10b 15 82 7b 5b 83 6b 7b 84 14 8b 85 9b 8b 86 9b 6b 87 9b 5b 88 13 6b 89 9b 6b 90 3b 7b 91 20a 7b 92 11b 6b 93 8b 8b 94 9b KK = 20.99%
NKL Jumlah cabang 95 10b 96 9b 97 9b 98 14 99 10b 100 11 101 12 102 10b 103 8b 104 8b 108 12 109 12 110 9b 111 6b 112 7b 113 7b 114 9b 115 12 118 5b 119 7b 120 5b 121 6b 122 7b 123 10b 124 7b 125 9b 126 7b 127 7b 128 5b 130 11
a= Berbeda nyata lebih besar daripada Wilis dan b = berbeda nyata lebih kecil daripada Wilis berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
27
Bobot Kering Tajuk Hakim (2012) menjelaskan pada penelitian sebelumnya bahwa bobot kering tajuk berkorelasi terhadap tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah cabang, dan jumlah polong per tanaman sehingga pengamatan bobot kering tajuk tanaman kedelai pada penelitian ini perlu dilakukan. Data bobot kering tajuk rata-rata disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Tanggamus dengan NKL 105. Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa GmWMC001 dengan NKL 25 yang berasal dari Swedia merupakan genotipe yang memiliki bobot kering tajuk paling rendah dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan Tanggamus sedangkan GmWMC191 dengan NKL 103 yang berasal dari Filipina merupakan tanaman yang memiliki bobot kering tajuk yang paling tinggi dan berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Tanggamus. Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa GmWMC191 memiliki tinggi tanaman, jumlah buku, dan jumlah cabang yang paling besar sehingga karakter tersebut yang mempengaruhi bobot kering tajuk rata-rata GmWMC191 paling tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Hakim (2012) bahwa varietas kedelai yang batangnya tinggi cenderung mempunyai jumlah cabang, jumlah buku subur, dan jumlah polong per tanaman yang lebih banyak dan bobot brangkasan lebih tinggi daripada varietas yang berbatang pendek. Berikut data bobot kering tajuk rata-rata yang disajikan pada Tabel 13. Jumlah Polong per Tanaman Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Wilis dengan NKL 129. Dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa Tambaguro 100 yang berasal dari Jepang dengan NKL 24 merupakan genotipe yang memiliki jumlah polong per tanaman paling sedikit dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan Wilis sedangkan GmWMC192 dengan NKL 104 yang berasal dari Nepal memiliki jumlah polong per tanaman yang paling banyak namun tidak berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan Wilis. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa Wilis merupakan varietas pembanding yang paling banyak memiliki jumlah polong per tanaman namun hasil ini berbeda dengan penelitian Ghulamahdi (2011) yang menjelaskan bahwa varietas Tanggamus menghasilkan jumlah polong lebih terbanyak dibandingkan Wilis, Anjasmoro, dan Slamet pada teknologi budidaya kedelai jenuh air maupun tanpa pengairan. Hal ini juga berbeda diduga akibat adanya perbedaan lingkungan tumbuh. Jumlah polong per tanaman memberikan pengaruh langsung yang penting terhadap hasil biji kedelai. Perbedaan jumlah polong per tanaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor genetik, kondisi lingkungan tumbuh dan daya adaptif suatu tanaman. Menurut Adie dan Krisnawati (2007) tidak semua bunga kedelai berhasil membentuk polong dengan tingkat keguguran 20-80%. Umumnya varietas dengan banyak bunga per buku memiliki persentase keguguran bunga yang lebih tinggi daripada yang berbunga sedikit. Keguguran dapat terjadi pada beberapa fase perkembangan, mulai dari pertunasan, selama perkembangan organ-organ pembungaan, saat pembuahan, selama perkembangan awal embrio, atau pada berbagai tahapan perkembangan kotiledon.
28
Tabel 13 Bobot kering tajuk rata-rata dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL 8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 28
Bobot kering tajuk (g) 7.14 14.85 13.39 11.91 14.40 3.14b 6.65b 6.84b 10.61b 5.76b 4.09b 5.98b 16.22 5.88b 12.71 4.02b 5.01b 11.72b 15.35 9.72b 8.82b 9.51b 7.34b 14.96 15.99 13.69 14.14 13.13 1.77b 3.11b 4.93b
NKL 29 30 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62
Bobot Bobot kering tajuk NKL kering tajuk (g) (g) 3.56b 63 13.80 4.00b 64 14.76 8.10b 65 2.56b 8.24b 66 4.29b 3.96b 67 14.28 6.39b 68 15.09 5.87b 69 15.72 12.34b 71 15.31 11.22b 72 14.16 5.01b 73 3.75b 7.50b 74 5.19b 4.83b 75 13.42 8.61b 76 13.80 2.74b 77 2.96b 5.77b 78 3.19b 7.49b 79 6.77b 15.64 80 6.54b 6.37b 81 6.79b 6.98b 82 3.76b 9.44b 83 4.72b 6.80b 84 8.18b 9.29b 85 13.13 5.77b 86 11.45b 7.25b 87 8.42b 9.08b 88 11.98b 9.86b 89 15.68 12.03b 90 5.84b 18.09a 91 10.12b 15.85 92 10.25b 7.21b 93 14.07 9.21b 94 3.30b KK = 8.83%
NKL
Bobot kering tajuk (g)
95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
15.30 14.48 15.25 14.37 11.90b 13.54 21.44a 10.59b 24.30a 11.40b 15.57 10.40b 15.08 14.63 14.60 14.84 15.38 14.07 4.65b 10.66b 8.72b 10.31b 9.25b 12.49b 10.76 11.99b 8.82b 11.53b 11.07b 13.19
a= Berbeda nyata lebih besar daripada Tanggamus dan b = berbeda nyata lebih kecil daripada Tanggamus berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
29
Tabel 14 Jumlah polong rata-rata per tanaman dari 125 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding NKL 8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Jumlah polong 33 238 96 118 250 44 39 63 63 87 24 49 296 77 97 63 61 67 127 50 58 109 117 129 141 55 25 7b 57 47 60 50
NKL 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Jumlah polong 33 41 41 113 201 48 116 17b 23 170 47 127 16b 64 53 33 64 73 28 40 44 50 101 29 105 45 104 86 68 83
NKL Jumlah polong 43 63 84 64 17 65 173 66 11 67 120 68 122 69 70 91 71 104 72 50 73 107 74 48 75 81 76 138 77 119 78 85 79 106 80 193 81 137 82 89 83 141 84 176 85 118 86 95 87 155 88 211 89 61 90 260 91 116 92 297 93 96 94 185 95
NKL 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130
Jumlah polong 93 184 188 52 205 150 249 235 400 196 175 200 83 103 173 176 294 88 131 53 218 205 197 211 180 73 82 55 165
KK = 1.10% b = berbeda nyata lebih kecil daripada Wilis berdasarkan Uji BNT pada taraf α = 5%, huruf yang dicetakv tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, data ditransformasikan dengan log(x+2), NKL = Nomor kode lapangan
30
Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa GmWMC192 merupakan genotipe yang memiliki jumlah buku paling banyak pada saat fase R1 dan R8. Hal ini sesuai dengan penelitian Hakim (2012) bahwa varietas kedelai yang mempunyai jumlah buku subur yang banyak cenderung mempunyai jumlah polong yang tinggi, dan jumlah polong per tanaman berkorelasi positif sangat nyata dengan bobot biji per tanaman. Ukuran dan Warna Biji Menurut Hakim (2012) bobot 100 biji menunjukkan korelasi positif nyata dengan bobot biji per tanaman dan berkorelasi sangat nyata dengan indeks panen. Bobot 100 biji merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi produksi biji. Karakter bobot 100 biji merupakan perbandingan ukuran secara kuantitatif antara biji dari masing-masing genotipe. Ukuran biji dapat ditentukan setelah menghitung bobot 100 biji. Berikut disajikan pada Tabel 15 pengelompokan biji berdasarkan ukuran dengan nomor kode lapangan (NKL) dari masing genotipe. Tabel 15 Pengelompokan biji berdasarkan ukuran Ukuran biji Kecil 32, 39, 41, 78, 83, 87, 99, 100, 101, 104,
Sedang 105, 129, 9, 18 19, 30, 34, 44, 48, 52, 58, 68, 69, 71, 72, 79, 81, 82, 84, 86, 88, 89, 92, 93, 95, 102, 103, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 130
Besar 8, 106, 107, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 42, 43, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 85, 90, 91, 94, 96, 97, 98, 118, 119, 120, 121, 122,123,124, 125, 126, 127, 128
Menurut Adie dan Krisnawati (2007) pengelompokan ukuran biji kedelai di Indonesia yaitu biji kedelai yang berukuran besar (berat >14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa sebagian besar genotipe yang digunakan pada penelitian ini berukuran besar yaitu >14 g/100 biji. Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa kedelai yang berasal dari Jepang tergolong kedelai yang berukuran besar. Tambaguro-E 200 dan Tambaguro 100 dengan nomor 24 dan 23 merupakan 2 genotipe dari Jepang yang memiliki bobot 100 biji dan umur panen (R8) yang paling tinggi sedangkan GmWMC042*2 dengan nomor 41 merupakan genotipe dari Republik Rakyat Cina yang memiliki bobot 100 biji dan umur panen (R8) yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa bobot 100 biji juga bepengaruh terhadap umur panen (fase R8), semakin tinggi bobot 100 biji maka umur panen akan semakin lama. Sebaliknya semakin rendah bobot 100 biji maka umur panen akan semakin cepat. Hal ini sesuai dengan Damanik A et al.( 2013) yang menyatakan
31
bahwa biji besar memiliki umur panen yang lebih lama dibandingkan biji kedelai yang berukuran kecil. Data pengelompokan warna biji dari masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 16. Karakter warna biji diperlukan untuk menentukan pemanfaatan kedelai. Menurut Wirnas et al. (2012) selama ini kedelai hitam umumnya digunakan sebagai bahan kecap, sedangkan kedelai kuning selain untuk kecap juga dimanfaatkan untuk bahan baku industri tempe, tahu, dan susu. Adie dan Krisnawati (2007) menjelaskan bahwa warna kulit biji kedelai bervariasi dari kuning, hijau, coklat, hitam hingga kombinasi berbagai warna atau campuran. Pigmen kulit biji sebagian besar terletak di lapisan palisade, terdiri dari pigmen antosianin dalam vakuola, klorofil dalam plastisida, dan berbagai kombinasi hasil uraian produk-produk pigmen tersebut. Kombinasi berbagai pigmen yang ada di kulit biji dan kotiledon akan membentuk warna biji yang bermacam-macam pada kedelai. Dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa pada penelitian ini lebih banyak menggunakan kedelai kuning dan sebenarnya warna biji tidak menjadi karakter utama di dalam penelitian. Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa warna biji tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji dan ukuran biji. Tabel 16 Pengelompokan warna biji dari masing-masing genotipe Warna biji Kuning Cokelat Hitam Hijau 8, 105, 106, 107, 129, 1, 2, 48, 65, 80, 81, 23, 24, 34, 35, 49, 67, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 83, 36, 39, 45, 52, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 53, 58, 78, 82, 21, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 87, 88, 89, 91, 31, 32, 33, 37, 38, 40, 41, 42, 93, 99, 100, 101 43, 44, 46, 47, 50, 51, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 84, 85, 86, 90, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 128, 1130 Persentase Kondisi Biji Persentase kondisi biji dihitung dengan mengelompokkan biji berdasarkan kondisinya yaitu biji penuh, keriput, rusak, dan unfertile sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Kriteria kondisi biji penuh, keriput, rusak, dan unfertile disajikan pada Lampiran 5. Berikut disajikan data persentase kondisi biji dari masingmasing genotipe pada Tabel 17.
32
Tabel 17 Persentase biji penuh, keriput, rusak, dan unfertile dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding
8 105 106 107 129 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Penuh (%) 35.39 85.94 32.73 80.55 84.27 46.43 39.57 26.69 66.26 56.77 37.80 39.47 81.25 77.41 65.63 20.17 68.55 74.07 87.61 31.41 71.37 77.82 98.21 98.58 92.63 36.58 0 0 62.08 78.65
Keriput (%) 22.60 1.43 7.32 0 0.02 13.57 21.39 31.47 0 0 2.43 8.94 0 5.64 0.23 75.50 21.13 0 0.53 47.64 6.45 0.38 0 0.35 0 14.63 0 36.36 14.83 6.70
Rusak (%) 23.60 12.22 21.80 16.57 15.16 38.57 37.43 41.03 32.12 43.22 59.75 49.47 18.42 16.93 32.93 2.30 10.30 25.67 11.44 20.94 22.17 21.08 0.83 1.06 6.79 45.12 92.03 54.54 10.43 8.53
Unfertile (%) 2.42 0.39 1.36 2.87 0.55 1.43 1.60 0.79 1.60 0 0 2.10 0.32 0 1.19 2.01 0 0.24 0.40 0 0 0.69 0.95 0 0.56 3.65 7.92 9.09 12.63 6.09
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 59 60 62 63 64 65 66 67 68 69 71 72
Penuh (%) 62.59 76.88 54.05 91.93 80.32 67.43 44.18 89.05 82.83 72.84 51.16 46.67 93.97 72.61 64.67 88.89 38.52 66.74 57.19 95.62 40.22 58.42 44.23 29.78 87.33 55.55 92.43 75.40 81.15 86.55
Keriput (%) 19.38 1.77 20.19 8.06 4.09 27.55 21.89 21.27 6.43 5.96 23.25 4.44 4.01 11.90 12.67 4.86 25.10 31.67 4.31 0 14.04 9.47 20.87 28.93 5.33 0 0.79 0 0 0.17
Rusak (%) 15.11 19.33 25.59 0 13.93 3.96 27.13 8.51 7.72 15.89 25.58 40.00 0 3.09 22.67 6.25 36.36 1.58 37.76 4.15 44.62 32.10 32.14 38.72 6.33 33.33 5.17 21.78 17.36 12.74
Unfertile (%) 2.92 2.00 0.15 0 1.63 1.04 6.78 0.30 3.00 5.29 0 8.88 2.00 12.38 0 0 0 4.07 0.71 0.21 1.10 0 2.74 2.55 1.00 11.11 1.59 2.80 1.47 0.52
28 29 30 32
88.28 28.57 37.50 33.41
4.68 21.42 15.21 61.33
7.03 48.21 46.19 0
0 1.78 1.08 5.25
73 74 75 76
50.32 75.04 92.15 85.77
0.64 8.65 0 0
49.03 15.80 7.84 14.22
0 0.49 0 0
33
31.95
29.89
32.47
5.67
77
71.03
0.31
27.05
1.59
34
78.90
8.22
12.65
0.21
78
91.69
0
6.84
1.46
35 36
52.54
21.75
24.30
1.38
79
76.63
1.08
20.43
1.84
94.80
3.89
1.29
0
80
96.98
2.34
0.50
0.16
37
65.86
5.98
24.25
3.89
81
95.46
0.43
2.53
1.57
38
69.38
10.20
13.26
7.14
82
77.00
10.06
20.10
1.81
39
61.67
30.23
0
7.14
83
97.76
0
1.62
0.60
NKL
NKL
33
Tabel 17 Persentase biji penuh, keriput, rusak, dan unfertile dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding (lanjutan) NKL
Penuh (%)
Keriput (%)
Rusak (%)
Unfertile (%)
NKL
Penuh (%)
Keriput (%)
Rusak (%)
Unfertile (%)
84
92.41
0.42
7.01
0.14
108
93.44
0
6.34
0.21
85
91.04
1.20
7.42
0.32
109
92.28
0
7.45
0.25
86
95.23
0
4.65
0.10
110
89.33
0
10.43
0.23
87
84.92
0
11.52
3.55
111
93.35
0
5.93
0.70
88
98.58
0
1.12
0.28
112
68.25
0.67
30.05
1.01
89
96.58
0.08
2.57
0.74
113
88.89
0
11.01
0.08
90
15.22
0
84.26
0.50
114
90.31
0
9.35
0.32
91
73.89
0
25.61
0.49
115
90.18
0.72
8.91
0.18
92
95.04
0
4.65
0.30
118
90.58
0.37
8.74
0.29
93
96.02
0.17
3.36
0.43
119
82.09
1.29
16.29
0.32
94
75.74
11.29
4.31
8.63
120
88.76
9.28
9.28
1.94
95
83.52
1.22
14.83
0.40
121
98.04
0
1.95
1.95
96
93.59
0
6.40
0
122
97.63
0
2.36
2.36
97
97.45
0
2.54
0
123
96.27
0
3.34
0.37
98
92.90
6.38
0.70
18.00
124
92.12
0
6.97
0.89
99
90.71
0
7.02
2.25
125
91.85
0
7.61
0.53
100
80.17
1.41
17.69
2.12
126
73.73
0
25.70
0.57
101
87.30
0
8.26
4.42
127
73.70
0
24.41
1.87
102
94.01
0
5.66
0.32
128
76.17
0
22.43
1.38
103
86.37
0
12.99
0.63
130
81.30
0
18.29
0.40
104 99.41 0 0.59 0 KK KK 26.49 21.96 28.02 23.95 26.49 21.96 28.02 23.95 (%) (%) Data persentase biji penuh, biji keriput, dan biji rusak ditransformasikan dengan log(x+2), data persentase biji unfertile ditransformasikan dengan log(x+3), huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
Berdasarkan uji lanjut BNT, varietas pembanding (kontrol) yang terbaik adalah Wilis dengan NKL 129. Dapat dilihat pada Tabel 17 bahwa genotipe dengan kondisi biji terbaik adalah genotipe yang memiliki persentase biji penuh yang tinggi sedangkan persentase biji keriput, rusak, dan unfertile rendah. Sebaliknya, genotipe dengan kondisi biji terburuk adalah genotipe yang memiliki persentase biji penuh yang rendah sedangkan persentase biji keriput, rusak, dan unfertile tinggi. Oleh karena itu, Wilis merupakan varietas pembanding dengan kondisi biji terbaik sedangkan Anjasmoro merupakan varietas pembanding dengan kondisi biji terburuk. Anjasmoro memiliki persentase biji penuh yang rendah disebabkan karena benih yang digunakan memiliki daya viabilitas rendah. Tambaguro 100 dengan nomor 24 yang berasal dari Jepang merupakan genotipe dengan kondisi biji terburuk karena memiliki persentase biji penuh yang paling rendah serta persentase biji keriput, rusak, dan unfertile yang tinggi sedangkan GmWMC192 dengan nomor 104 yang berasal dari Nepal merupakan genotipe
34
dengan kondisi biji terbaik karena nilai tengah persentase biji penuh tinggi serta persentase biji keriput, rusak, dan unfertile rendah. Berikut disajikan tampilan persentase kondisi biji dari contoh genotipe kedelai hitam dan kuning pada Gambar 18.
Gambar 18 Tampilan persentase kondisi benih Perhitungan persentase kondisi biji perlu dilakukan untuk mengetahui ketersediaan benih dalam kegiatan penelitian selanjutnya. Selain itu, untuk mengetahui respon tumbuh genotipe yang diuji terhadap lingkungan tumbuh. Adanya hama kepik polong (Riptortus linearis) yang menyerang pada saat terjadinya pembentukan polong sampai polong berubah warna (fase R7-R8) mempengaruhi persentase kondisi biji. Marwoto dan Hardaningsih (2007) menjelaskan bahwa serangan yang diakibatkan oleh kepik polong pada fase perkembangan biji dan pertumbuhan polong menyebabkan polong dan biji kempes, kemudian mengering dan polong gugur. Hal ini yang menyebabkan geotipe yang tidak toleran terhadap serangan kepik polong tersebut mengalami penurunan hasil dan kualitas biji seperti genotipe Tambaguro 100. Kadar Air Biji Pengukuran kadar air biji dilakukan untuk mengetahui daya umur simpan biji, jenis kemasan dan ruang simpan benih. Pengukuran kadar air biji pada penelitian ini menggunakan metode tidak langsung dengan memakai alat yang disebut Moisture Tester. Tujuan penggunaan alat ini adalah untuk mendapatkan hasil pengukuran kadar air secara cepat dan tidak merusak benih pada saat pengukuran kadar air karena biji-biji yang dalam jumlah terbatas tersebut akan digunakan untuk kegiatan penelitian selanjutnya dalam waktu dekat. Berikut disajikan data kadar air biji rata-rata pada Tabel 18. Menurut Indartono (2011) kedelai tergolong benih ortodoks. Kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih ortodoks adalah antara 611%. Hal ini sesuai dengan penelitian Tatipata (2007) bahwa kadar air awal 12% kurang tepat digunakan untuk menyimpan benih kedelai. Oleh karena itu, semua biji kedelai tersebut dijemur kembali untuk menurunkan kadar air karena kadar airnya masih diatas 11%.
35
Tabel 18 Kadar air biji rata-rata dari 118 genotipe kedelai yang diuji dan kelima varietas pembanding Kadar Kadar Kadar Kadar air air air air NKL NKL NKL NKL benih benih benih benih (%) (%) (%) (%) 8 14.44 29 14.90 63 15.10 95 13.70 105 11.04 30 12.00 64 14.40 96 14.00 106 10.62 32 13.10 65 15.10 97 14.30 107 13.80 33 15.20 66 15.50 98 15.00 129 13.56 34 14.90 67 14.80 99 14.10 1 13.70 35 16.30 68 14.90 100 13.70 2 13.10 36 14.30 69 13.70 101 14.00 3 14.20 37 15.60 71 102 15.50 10.90 4 13.70 38 14.40 72 14.30 103 13.90 5 13.10 39 15.10 73 14.70 104 12.80 6 14.20 40 14.30 74 14.80 108 12.60 7 15.30 41 13.90 75 15.00 109 12.50 9 14.70 42 11.80 76 15.30 110 12.30 10 14.80 43 14.50 77 13.80 111 12.70 11 13.80 44 15.50 78 12.10 112 12.50 12 14.20 45 15.00 79 14.00 113 13.00 13 13.90 46 16.00 80 14.20 114 12.30 14 14.50 47 81 13.70 115 13.30 19.10 15 13.70 48 16.60 82 13.80 118 14.40 16 13.90 49 16.00 83 12.90 119 15.40 17 14.80 50 15.80 84 12.70 120 13.70 18 15.00 51 13.20 85 13.20 121 14.10 19 14.80 52 13.70 86 14.10 122 14.30 20 14.10 53 12.90 87 15.00 123 13.80 21 15.10 55 15.20 88 14.30 124 12.90 22 17.80 56 13.40 89 14.47 125 12.70 23 16.50 57 14.70 90 13.10 126 14.40 24 17.00 58 11.50 91 13.20 127 15.40 25 18.20 59 15.30 92 14.30 128 13.70 26 12.10 60 13.00 93 14.10 130 13.50 28 15.60 62 15.50 94 15.00 KK = 8.02% huruf yang dicetak tebal dalam tabel menandakan genotipe yang memiliki nilai tengah tertinggi dan terendah, NKL = Nomor kode lapangan
Yaya (2003) menyatakan bahwa benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 6% dan 8% selama 4 bulan pada suhu 15 °C memiliki persentase perkecambahan di atas 70%. Begitu juga dengan korelasinya terhadap daya berkecambah dan vigor benih berdasarkan penelitian Tatipata (2007) yang menyatakan bahwa terjadi perubahan protein membran dalam mitokondria yang
36
menyebabkan deteriorasi benih kedelai selama penyimpanan namun deteriorasi masih relatif kecil yang ditunjukkan dari daya berkecambah dan vigor benih yang masih di atas 80%. Namun kondisi pada ruang penyimpanan benih dari hasil penelitian ini memiliki suhu 20 °C dan RH 36%. Kondisi tersebut disebabkan karena keterbatasan fasilitas ruang penyimpanan benih. Karakter kadar air biji berkisar antara 10.90-19.10% sedangkan varietas pembanding memiliki nilai tengah antara 10.62-14.44%. Nilai tengah kadar air biji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding sehingga tidak dilakukan uji lanjut BNT. Tabel 18 menunjukkan bahwa varietas pembanding yang memiliki nilai tengah kadar air paling rendah adalah Anjasmoro sebesar 10.62% sedangkan varietas pembanding yang memiliki nilai tengah kadar air paling tinggi adalah Republik Rakyat Cina dengan nomor 8 yang berasal dari Jepang sebesar 14.44%. GmWMC141 dengan nomor 71 yang berasal dari Indonesia merupakan genotipe yang memiliki nilai tengah kadar air paling rendah sebesar 10.90% sedangkan GmWMC071 dengan nomor 47 yang berasal dari India merupakan genotipe yang memiliki nilai tengah kadar air yang paling tinggi sebesar 19.10%. Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa Tachinagaha memiliki nilai tengah bobot 100 biji sebesar 24.10 gram sedangkan Anjasmoro memiliki nilai tengah bobot 100 biji sebesar 16.88 gram, dan GmWMC071 memiliki nilai tengah bobot 100 biji sebesar 19.33 gram sedangkan GmWMC141 memiliki nilai tengah bobot 100 biji sebesar 11.93 gram. Oleh karena itu, Tachinagaha memiliki bobot biji lebih besar daripada Anjasmoro, dan GmWMC071 memiliki nilai bobot biji lebih besar daripada GmWMC141. Hal ini menunjukkan bahwa bobot biji berkorelasi positif dengan jumlah kadar air biji. Semakin besar bobot biji maka semakin besar kadar air biji. Sebaliknya semakin rendah bobot biji maka semakin rendah kadar air benih. Hal ini sesuai dengan penelitian Hartawan (2013) yang menyatakan bahwa peningkatan cadangan makanan akan meningkatkan bobot biji dan bobot biji berhubungan dengan kadar air. Nilai kadar air biji meningkat sejalan dengan peningkatan kandungan protein, karohidrat, dan lemak. Berikut disajikan tampilan alat dan penggunaan Moisture Tester pada Gambar 19.
Gambar 19 Tampilan alat dan penggunaan Moisture Tester
37
Korelasi Antarkarakter
Dapat dilihat pada Tabel 19 bahwa hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa umur tanaman pada fase R1 berkorelasi positif sangat nyata terhadap semua karakter pengamatan yaitu umur tanaman pada fase R3, umur tanaman pada fase R7, umur tanaman pada fase R8, tinggi tanaman pada fase R1, tinggi tanaman pada fase R7, jumlah buku pada fase R1, jumlah buku pada fase R8, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji dengan koefisien korelasi (r) masing-masing 0.961, 0.801, 0.817, 0.791, 0.865, 0.711, 0.646, 0.649, 0.954, 0.648, 0.995, 0.795, dan 0.978. Korelasi antara umur tanaman pada fase R1 dengan umur tanaman pada fase R3 tersebut menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang cepat berbunga (R1) cenderung akan lebih cepat berpolong (R3). Umur tanaman pada fase R3 berkorelasi positif sangat nyata terhadap semua karakter pengamatan yaitu umur tanaman pada fase R7, umur tanaman pada fase R8, tinggi tanaman pada fase R1, tinggi tanaman pada fase R7, jumlah buku pada fase R1, jumlah buku pada fase R8, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji. Nilai masingmasing koefisien korelasi (r) adalah 0.843, 0.857, 0.774, 0.859, 0.658, 0.857, 0.647, 0.944, 0.626, 0.995, 0.794, dan 0.909. Korelasi antara umur tanaman pada fase R3 dengan umur tanaman pada fase R7 tersebut menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang cepat berpolong (R3) cenderung akan lebih cepat mengalami perubahan warna polong menjadi matang (R7). Umur tanaman pada fase R7 berkorelasi positif sangat nyata terhadap umur tanaman pada fase R8, tinggi tanaman pada fase R1, tinggi tanaman pada fase R7, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji dengan koefisien korelasi (r) masing-masing 0.995, 0.536, 0.8457, 0.439, 0.863, 0.325, 0.991, 0.667, dan 0.997. Korelasi antara umur tanaman pada fase R7 dengan umur tanaman pada fase R8 tersebut menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang cepat mengalami fase tumbuh R7 cenderung akan lebih cepat umur panennya (R8). Korelasi umur tanaman pada fase R7 berkorelasi positif tetapi tidak nyata dengan jumlah buku pada fase R1 dan R8 (r = 0.316 dan r = 0.316). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang memiliki umur fase tumbuh R7 yang cepat memiliki jumlah buku yang sedikit. Umur tanaman pada fase R8 berkorelasi positif sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada fase R1, tinggi tanaman pada fase R7, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji dengan koefisien korelasi (r) masing-masing 0.542, 0.850, 0.456, 0.872, 0.456, 0.992, 0.643 dan 0.997. Umur tanaman pada fase R7 berkorelasi positif tetapi tidak nyata dengan jumlah buku pada fase R1 dan R8 (r = 0.327, dan r = 0.328). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe yang memiliki umur fase R8 yang cepat memiliki jumlah buku yang sedikit. Tinggi tanaman pada fase R1 berkorelasi positif sangat nyata terhadap semua karakter yaitu tinggi tanaman pada fase R7, jumlah buku pada fase R1, jumlah buku pada fase R8, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, persentase biji penuh, dan kadar air biji. Begitu juga dengan tinggi tanaman pada
38
fase R7 berkorelasi positif sangat nyata terhadap semua karakter yaitu jumlah buku pada fase R1, jumlah buku pada fase R8, jumlah cabang, bobot kering tajuk, jumlah polong, persentase biji penuh, dan kadar air biji. Nilai masing-masing koefisien korelasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang memiliki batang tinggi cenderung memiliki cabang, jumlah buku, dan jumlah polong per tanaman yang lebih banyak daripada genotipe yang berbatang pendek. Oleh karena itu, hasil data penelitian ini sesuai dengan pernyataan Hakim (2012) pada penelitiannya sebelumnya. Jumlah cabang berkorelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering tajuk, jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji dengan koefisien korelasi masing-masing 0.948, 0.543, 0.924, 0.762, dan 0.899. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang bercabang banyak cenderung memiliki bobot kering tajuk yang lebih besar dan jumlah polong yang lebih banyak. Oleh karena itu, hasil data penelitian ini sesuai dengan pernyataan Hakim (2012) pada penelitian sebelumnya. Bobot kering tajuk berkorelasi positif sangat nyata terhadap jumlah polong, bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air biji dengan koefisien korelasi masing-masing 0.935, 0.974, 0.967, dan 0.946. Hal ini menunjukkan bahwa bobot kering tajuk merupakan salah satu faktor penentu tingginya hasil produksi (jumlah polong, bobot 100 biji, dan persentase biji penuh). Jumlah polong berkorelasi positif sangat nyata terhadap bobot 100 biji, persentase biji penuh, dan kadar air benih dengan koefisien korelasi masingmasing 0.862, 0.923, dan 0.801. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah polong merupakan faktor penentu tingginya persentase biji penuh. Bobot 100 biji berkorelasi positif sangat nyata terhadap persentase biji penuh dan kadar air benih dengan koefisien korelasi masing-masing 0.929 dan 0.991. Persentase biji penuh berkorelasi positif sangat nyata terhadap kadar air biji dengan koefisien korelasi sebesar 0.913. Hasil produksi tinggi cenderung memiliki karakter morfologi tanaman yang tinggi, jumlah buku tanaman dan jumlah polong yang banyak, bobot kering tajuk dan persentase biji penuh yang tinggi berdasarkan hasil analisis korelasi antarkarakter tersebut. Berikut disajikan data hasil korelasi fenotipik antarkarakter varietas/galur kedelai pada Tabel 19.
39
Tabel 19 Korelasi fenotipik antarkarakter varietas/galur kedelai pada pengujian kebun percobaan IPB Sawah Baru Umur fase R7
Umur fase R8
Tinggi pada R1
Tinggi pada R7
Jumlah buku pada R1
Jumlah buku pada R8
Umur fase R1
0.801**
0.817**
0.791**
0.865**
0.711**
0.646**
Umur fase R3
0.843**
0.857**
0.774**
0.859**
0.658**
0.857**
0.995**
0.536**
0.846**
0.316
0.316
0.542**
0.850**
0.327
0.328
0.874**
0.771**
0.675**
0.758**
0.973**
Umur fase R7 Umur fase R8 Tinggi pada R1 Tinggi pada R7 Jumlah buku pada R1
0.821**
Jumlah buku pada R8 Jumlah cabang Bobot kering tajuk Jumlah polong Bobot 100 biji Persentase biji penuh
Jumlah cabang
Bobot kering tajuk
Jumlah polong
Bobot 100 biji
Persentase biji penuh
Kadar air benih
Umur fase R1
0.649**
0.954**
0.648**
0.995**
0.795**
0.978**
Umur fase R3
0.647**
0.943**
0.626**
0.995**
0.794**
0.909**
Umur fase R7
0.439**
0.863**
0.325
0.991**
0.667**
0.997**
Umur fase R8
0.456**
0.872**
0.456**
0.992**
0.643**
0.997**
Tinggi pada R1
0.566**
0.975**
0.634**
0.982**
0.819**
0.955**
Tinggi pada R7
0.936**
0.991**
0.797**
0.974**
0.974**
0.955**
Jumlah buku pada R1
0.591**
0.866**
0.771**
0.812**
0.858**
0.821**
Jumlah buku pada R8
0.574**
0.976**
0.783**
0.929**
0.799**
0.869**
0.948**
0.543**
0.924**
0.762**
0.899**
0.935**
0.974**
0.967**
0.946**
0.862**
0.923**
0.802**
0.929**
0.991**
Jumlah cabang Bobot kering tajuk Jumlah polong Bobot 100 biji Persentase biji penuh
* = nyata pada taraf 5% ** = nyata pada taraf 1%
0.913**
40
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Genotipe GmWMC192 yang berasal dari Nepal berdaya hasil tinggi dan beradaptasi baik pada lingkungan tumbuh agroekosistem tropika basah. Hal ini dilihat dari persentase tanaman yang tumbuh di lapangan, tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah polong per tanaman, dan persentase biji penuh yang tinggi. Genotipe GmWMC019 dan GmWMC042*2 yang berasal dari Korea Utara dan Republik Rakyat Cina berumur sangat genjah (66 hari) serta beradaptasi baik pada lingkungan tumbuh agroekosistem tropika basah. GmWMC019 dan GmWMC042*2 merupakan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada waktu musim tanam yang berbeda dan peubah pengamatan dilakukan pada setiap fase.
DAFTAR PUSTAKA Adie MM, Krisnawati A. 2007. Biologi Tanaman Kedelai. Di dalam : Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim K, editor. Teknik Produksi dan Pengembangan Kedelai. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 45-56. Adisarwanto T, Subandi, Sudaryono. 2007. Teknologi Produksi Kedelai. Di dalam : Sumarno, Suyamto, Widjono, Hermanto, Kasim K, editor. Teknik Produksi dan Pengembangan Kedelai. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 247-248. Agusta H, Santosa I. 2005. Indeterminasi sekuensi pembungaan dan ketidakmampuan produksi kedelai di lapang akibat penambahan cahaya kontinu pada kondisi terbuka dan ternaungi. Bul.Agron. 33(3):24-32 Anggraeni BW. 2010. Studi morfo-anatomi dan pertumbuhan kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014. Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) bidang pangan dan pertanian 2015-2019. [Internet]. [diunduh 2014 Sept 18]. Tersedia pada: http://www.bappenas.go.id. Bertham, Abimanyu DN. 2011. Mekanisme adaptasi genotipe baru kedelai dalam mendapatkan hara fosfor dari tanah mineral masam. J.Agron.Indonesia 39(1):24-30. [BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2014. Data iklim Bogor (ID): Stasiun Klimatologi Dramaga.
41
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Proyeksi penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2012-2013. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 20]. Tersedia pada: http://www.datastatistik-indonesia.com Damanik A, Rosmayati, Hasyim H. 2011. Respons pertumbuhan dan produksi kedelai terhadap pemberian mikoriza dan penggunaan ukuran biji pada tanah salin. J. Online Agroekoteknologi 1(2). [Deptan] Departemen Pertanian. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. 2006. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 20]. Tersedia pada: http//litbang.deptan.go.id. Federer WT, Reynolds M, Crossa J. 2001. Combining result from augmented designs over sites. J.Agron. 93(1):389-395. Fehr WR, Caviness CE. 1977. Stages of Soybean Development. CODEN:IWSRBC 80(1):1-12. Ghulamahdi M. 2011. Best practice dalam budidaya kedelai di lahan pasang surut. [Internet]. [diunduh 2014 Okt 05]. Tersedia pada: http//opi.lipi.go.id. Gomez KA, Gomez AA. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi II. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari : Statistical Procedures for Agricultural Research. Hakim L. 2012. Komponen hasil dan karakter morfologi penentu hasil kedelai. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(3). Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hartawan R. 2013. Peubah laju tumbuh relatif dan protein berperan penting dalam meningkatkan kualitas benih kedelai. J. Floratek 8(1):25-34. Ichsan CN. 2006. Uji viabilitas dan vigor benih beberapa varietas padi (Oryza sativa L.) yang diproduksi pada temperatur yang berbeda selama kemasakan. J. Floratek 2(1):37-42. Indarto. 2011. Pengkajian suhu ruang penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap kualitas benih kedelai. Gema Teknologi 16(3). Irwan AW. 2005. Kebutuhan air, iklim, dan waktu tanam kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. [Skripsi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Kartahadimaja J, Syuriani ER, Hakim NA. 2013. Pengaruh penyimpanan jangka panjang (long term) terhadap vaibilitas dan vigor empat galur benih inbreed jagung. J. Penelitian Pertanian Terapan 13(3):168-173. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementan. Koesrini, William E. 2004. Keragaan hasil dan daya toleransi genotipe kedelai di lahan sulfat masam. Bul.Agron. 32(2):33-38. Marwoto, Hardaningsih S. 2007. Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Kedelai. Di dalam : Surmano, Suyamto, Widjono, Hermanto, Husni K, editor. Teknik Produksi dan Pengembangan Kedelai. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 296-308. Muhuria L, Kartika NT, Nurul K, Trikoesoemaningtyas, Didy S. 2006. Adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah karakter daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Bul.Agron. 34(3):133-140. Nur A, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N, Sujiprihati S. 2010. Phenologi pertumbuhan dan produksi gandum pada lingkungan tropika basah. [Internet]. [diunduh 2014 27 Oktober]. Tersedia pada: http://www.balitsereal.litbang.pertanian.go.id.
42
Rasyad A, Idwar. 2010. Interaksi genetik x lingkungan dan stabilitas komponen hasil berbagai genotipe kedelai di provinsi Riau. J.Agron.Indonesia 38(1):25-29. Scot RA, Miliken GA. 1993. A SAS program for analyzing augmented randomized complete-block designs. Crop. Sci. 33(1):865-867. Subowo, Santosa E, Anas I. 2010. Peranan biologi tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian kawasan megabiodiversity tropika basah. J. Kesesuaian Lahan. 4(2):57-68. Soedradjad R, Avivi S. 2005. Efek aplikasi Synechcoccus sp. pada daun dan NPK terhadap parameter agronomis kedelai. Bul.Agron. 33(3):17-23. Sumarno. 1991. Kedelai dan Cara Budi Daya. Jakarta(ID): Yasaguna. Sumarno, Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia. Di dalam : Sumarno, Suyamto, Adi W, Hermanto, Husni K, editor. Teknik Produksi dan Pengembangan Kedelai. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 82-83. Susanto G, Sundari T. 2011. Perubahan karakter agronomi aksesi plasma nutfah kedelai di lingkungan ternaungi. J.Agron.Indonesia 39(1):1-6. Syukur M, Sujiprihati S, Siregar A. 2010. Pendugaan parameter genetik beberapa karakter agronomi cabai F4 dan evaluasi daya hasilnya menggunakan rancangan perbesaran (augmented design). J. Agrotropika 15(1):9-16. Tatipata A. 2007. Pengaruh kadar air awal, kemasan dan lama simpan terhadap protein membran dalam mitokondria benih kedelai. Bul.Agron. 36(1):8-16. Yaya Y, S Vearasilp, S Phoupongi, E Tpoweezik. 2003. Electrical conductivity of soybean seeds after storage in several environments. Seed Sci Technol 29(1):99-608. Yono D. 2008. Evaluasi genotipe kedelai F4 pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
43
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan No Nama Kultivar Status 1 Enrei 2 Ryuho 3 KOUKOU 6514-2 4 Athow 5 LD003309 6 TIEFENG 8 7 TIEFENG 18 8 Tachinagaha 9 TIDAR 10 Stressland 11 THAI-71 AGS 126 12 PI416937 13 KOUSHUREI 273 14 SUKHO THAI 1 15 SJ4 16 Hatsusayaka 17 UA4805 18 317 RINGGIT 19 SUMBING 20 TAMBORA 21 SJ1 22 Fukuyutaka 23 Tambaguro-E 24 Tambaguro
44
Asal Negara Jepang Jepang RRC Amerika Serikat Amerika Serikat RRC RRC Jepang Indonesia Amerika Serikat Thailand Jepang RRC Thailand Thailand Jepang Amerika Serikat Indonesia Indonesia Indonesia Thailand Jepang Jepang Jepang
Aksesi tetua *1
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan (lanjutan) No Nama Kultivar Status Breeders 25 GmWMC001 FISKEBY V line 26 GmWMC006 KS 1034 Landrace 27 GmWMC011 SEITA Landrace 28 GmWMC012 MANSHUU Landrace 29 GmWMC014 KLS 203 Landrace 30 GmWMC015 CHUUHOKU 2 Landrace 31 GmWMC018 RIGAI SEITOU Landrace 32 GmWMC019 CHOUSENSHU (CA) Landrace 33 GmWMC020 POCHAL Landrace 34 GmWMC022 NEZUMI META Landrace 35 GmWMC024 CHIENEUM KONG Landrace 36 GmWMC027*2 KONGNAMUL KONG Landrace 37 GmWMC029 SHIROSOTA Landrace 38 GmWMC035 PEKIN DAI OUTOU Landrace 39 GmWMC036*2 MASSHOKUTOU (KOU 502) Landrace 40 GmWMC038 ICHIGUUHOU Landrace 41 GmWMC042*2 MASSHOKUTOU (KOU 503) Landrace 42 GmWMC045 OKJO Landrace 43 GmWMC046 KE 32 Landrace 44 GmWMC048 HEAMNAM Landrace 45 GmWMC066 HEUKDAELIP Landrace 46 GmWMC070 CHOYOUTOU Landrace 47 GmWMC071 PK 73-54 Landrace 48 GmWMC072 M 581 Landrace 49 GmWMC073 URONKON Landrace 50 GmWMC075 CHEONGYE MYONGTAE Landrace Aksesi tetua *1 30465 35796 29781 28911 35506 29774 28415 28912 31111 27956 35462 27587 27587 30007 27605 30090 27603 29811 35788 29762 29803 30071 30272 30258 29496 29789
Asal Negara Swedia Malaysia Korea RRC Korea Korea RRC Korea Utara Taiwan Korea Utara Korea Korea Korea Utara RRC RRC RRC RRC Korea Filipina Korea Korea RRC India India Korea Utara Korea
45
45
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan (lanjutan) No Nama Kultivar Status Asal Negara 51 GmWMC083 KEUMDU Landrace Korea 52 GmWMC084 PEKING Landrace RRC 53 GmWMC086*2 ANTO SHOUKOKUTOU Landrace RRC 54 GmWMC089 BONGCHUNBAEKJAM Landrace RRC 55 GmWMC094 JEOKGAK Landrace Korea 56 GmWMC103 SENYOUTOU Landrace RRC 57 GmWMC107 HAKKA ZASHI Landrace RRC 58 GmWMC108 KARASUMAME Landrace RRC 59 GmWMC113 BARITOU 3 A Landrace Indonesia Breeders 60 GmWMC115 WILLIAMS 82 Amerika Serikat line 61 GmWMC118 OUDU Landrace Korea 62 GmWMC119 HAKUBI Landrace RRC 63 GmWMC120 U 1416 Landrace Nepal 64 GmWMC122 GAPSANJAELAE (I) Landrace Korea 65 GmWMC123*2 N 2295 Landrace Nepal 66 GmWMC125 BHATMAS Landrace Nepal 67 GmWMC129*2 AOKI MAME Landrace RRC 68 GmWMC132 L 2A Landrace Filipina LOCAL VAR (SEPUTIH 69 GmWMC136 Landrace Indonesia RAMAN) 70 GmWMC138 COL/PAK/1989/IBPGR/2326(1) Landrace Pakistan 71 GmWMC141 PETEK Landrace Indonesia 72 GmWMC142 JAVA 5 Landrace Indonesia 73 GmWMC143 M 44 Landrace India 74 GmWMC144 M 918 Landrace India 75 GmWMC146 HM 39 Landrace India
46
74682 30206 30216 30238 30335 30349
30207
29882 30025 40391 29794 40444 74676 28298 35787
31043
Aksesi tetua *1 29827 28432 35718 35105 29819 30072 27543 27584 43384
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan (lanjutan) No Nama Kultivar Status 76 GmWMC147 COL/THAI/1986/THAI-78 Landrace 77 GmWMC148 M 42 Landrace 78 GmWMC150 U 1042-1 Landrace 79 GmWMC151 JAVA 7 Landrace 80 GmWMC152 U 1290-1 Landrace 81 GmWMC154 MANSHUU MASSHOKUTOU Landrace 82 GmWMC156 U 8006-3 Landrace 83 GmWMC159 COL/PAK/1989/IBPGR/2323(2) Landrace 84 GmWMC160*2 N 2392 Landrace 85 GmWMC162 COL/THAI/1986/THAI-80 Landrace 86 GmWMC163 N 2491 Landrace KARASUMAME 87 GmWMC165 Landrace (SHINCHIKU) Breeders 88 GmWMC166 MERAPI line 89 GmWMC168 L 317 Landrace 90 GmWMC169 HAKUCHIKOU Landrace 91 GmWMC170 M 652 Landrace 92 GmWMC171 U-1741-2-2 NO.3 Landrace 93 GmWMC173 KARASUMAME (NAIHOU) Landrace 94 GmWMC175 BISHUU DAIZU Landrace 95 GmWMC176 SANDEK SIENG Landrace 96 GmWMC181 CHIENGMAI PALMETTO Landrace 97 GmWMC182 LOCAL VAR (TEGINENENG) Landrace 98 GmWMC183 KARASUMAME (HEITOU) Landrace Aksesi tetua *1 38385 30311 40354 30213 40382 29613 40403 74681 40452 38386 40464 30138 30196 30303 35719 30409 84093 30147 30032 30174 30176 30120 30146
Asal Negara Thailand India Nepal Indonesia Nepal RRC Nepal Pakistan Nepal Thailand Nepal Taiwan Indonesia India RRC India Nepal Taiwan RRC Kamboja Thailand Indonesia Taiwan
47
47
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan (lanjutan) No Nama Kultivar Status Asal Negara Breeders 99 GmWMC186 RINGGIT Indonesia line 100 GmWMC187 KADI BHATTO Landrace Nepal 101 GmWMC188 E C 112828 Landrace India 102 GmWMC190 SAN SAI Landrace Thailand 103 GmWMC191 MISS 33 DIXI Landrace Filipina 104 GmWMC192 U 1155-4 Landrace Nepal 105 Tanggamus Indonesia (IPB) 106 Anjasmoro Indonesia (IPB) Indonesia 107 Argo Mulia (Balitkabi) Indonesia 108 Kaba (Balitkabi) Indonesia 109 Sinabung (Balitkabi) Indonesia 110 Dering 1 (Balitkabi) Indonesia 111 Ijen (Balitkabi) Indonesia 112 Gema (Balitkabi) 113 PG-57-1 Indonesia (IPB) 114 SP304 Indonesia (IPB) 115 SC-1-8 Indonesia (IPB) 116 SC-54-4 Indonesia (IPB) 117 SC-38-1 Indonesia (IPB) 118 M100-29A-42-14 Indonesia (IPB)
48
30419 30363 30179 49014 40374
30197
Aksesi tetua *1
Lampiran 1 Identitas genotipe kedelai yang digunakan di percobaan (lanjutan) No Nama Kultivar Status 119 M100-33-6-11 120 M100-46-44-6 121 M100-47-52-13 122 M150-29-44-10 123 M150-69-47-2 124 M150-7B-41-10 125 M150-92-46-4 126 M200-13-47-7 127 M200-37-71-4 128 M200-39-64-4 129 Wilis 130 Pangrango Asal Negara Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB) Indonesia (IPB)
Aksesi tetua *1
49
49
50
Lampiran 2 Deskripsi varietas benih kedelai pembanding Deskripsi Kedelai Varietas Argo Mulyo Dilepas tahun Nomor galur Asal Daya hasil Warna hipokotil Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna hylum Tipe tumbuh Umur berbunga Umur saat panen Tinggi tanaman Percabangan Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan minyak Kerebahan Ketahanan terhadap penyakit Keterangan Pemulia Benih penjenis (BS)
: 1998 :: introduksi dari Thailand, oleh PT Nestle Indonesia pada tahun 1988 dengan nama asal Nakhon Sawan 1 : 1.5-2.0 t/ha : ungu : cokelat : ungu : kuning : putih terang : determinit : 35 hari : 80-82 hari : 40 cm : 3-4 cabang dari batang utama : 16.0 g : 39.4 % : 20.8 % : tahan rebah : toleran karat daun : sesuai untuk bahan baku susu kedelai : Rodiah S, C Ismail, Gatot Sunyoto dan Sumarno : dirawat dan diperbanyak oleh BPTP Karangploso, Malang
51
Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro Dilepas tahun SK. Mentan Nomor galur Asal Daya hasil Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong masak Warna hylum Bentuk daun Ukuran daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur polong masak Tinggi tanaman Percabangan Jumlah buku batang utama Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan lemak Kerebahan Ketahanan terhadap penyakit Sifat-sifat lain Pemulia
: 22 Oktober 2001 : 537/Kpts/Tp.240/10/2001 : Mansuria 395-49-4 : seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria : 2.03-2.25 t/ha : ungu : ungu : hijau : putih : ungu : kuning : coklat muda : kuning kecoklatan : oval : lebar : determinit : 35.7-39.4 hari : 82.5-92.5 hari : 64-68 cm : 2.9-5.6 cm : 12.9-14.8 : 14.8-15.3 g : 41.8-41.2 % : 17.2-18.2 % : tahan rebah : moderat terhadap karat daun : polong tidak mudah pecah : Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M., Susanto, Darman M.A, dan M. Muchlish Adi
52
Deskripsi Kedelai Varietas Wilis Dilepas tahun SK Mentan Nomor induk Asal Hasil rata-rata Warna hipokotil Warna batang Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong tua Warna hylum Tipe tumbuh Umur berbunga Umur matang Tinggi tanaman Bentuk biji Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan minyak Kerebahan Ketahanan terhadap penyakit Benih penjenis Pemulia
: 21 Juli 1983 : TP240/519/Kpts/7/1983 : B 3034 : Hasil seleksi keturunan persilangan Orba x No. 1682 : 1.6 t/ha : ungu : hijau : hijau-hijau tua : coklat tua : ungu : kuning : coklat tua : coklat tua : determinit : ± 39 hari : 85-90 : ± 50 cm : oval, agak pipih : ± 10 g : 37.0 % : 18.0 % : tahan rebah : agak tahan karat daun dan virus : dipertahankan di Balittan Bogor dan Balittan Malang : Sumarno, Darman M Arsyad, Rodiah, dan Ono Sutrisno.
53
Deskripsi Kedelai Varietas Tanggamus Dilepas tahun SK Mentan Nomor induk Asal Hasil rata-rata Warna hipokotil Warna epikotil Warna kotiledon Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong masak Warna hilum Bentuk biji Bentuk daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur saat panen Tinggi tanaman Percabangan Bobot 100 biji Ukuran biji Kandungan protein Kandungan lemak Kandungan air Kerebahan Ketahanan thd penyakit Sifat-sifat lain Wilayah adaptasi Pemulia dan Purwantoro
: 22 Oktober 2001 : 536/Kpts/TP.240/10/2001 : K3911-66 : hibrida (persilangan tunggal) : Kerinci x No. 3911 : 1.22 t/ha : ungu : hijau : kuning : coklat : ungu : kuning : coklat : coklat tua : oval : lanceolate : determinit : 35 hari : 88 hari : 67 cm : 3-4 cabang : 11.0 g : sedang : 44.5% : 12.9% : 6.1% : tahan rebah : moderat karat daun : polong tidak mudah pecah : lahan kering masam : Darman MA., M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro,
75
51
2
74
50
1
3
52
76
T
B
78
79
106 B
107 B
54
80
4
5
6
7
KYOTO (K1)
53
NIAS (N4)
77
NIAS (N7)
54
8A
55
81
105 A
56
129 C
9
57
82
25
10
8D
102
26
11
83
103
106 A
12
84
104
105 E
106 E 108
86
87
88
14
15
129 B
107 A 27
28
29
NIAS (N1)
13
KYOTO (K2)
85
NIAS (N8)
8E
30
16
89
109
31
17
90
110
32
18
105 D
111
NIAS (N11) + BALITKABI (B1)
33
58
19
112
114
115
116
117
107 E 118
119
34
59
106 D
35
60
107 D 21
22
23
8C
105 C
62
36
129 A
37
38
NIAS (N2)
61
NIAS (N5)
20
39
63
24
40
64
91
KYOTO (K3) + NIAS (N9)
113
IPB (I1)
Lampiran 3 Tata letak percobaan di lapangan
41
65
92
120
42
66
93
121
43
67
94
122
8B
68
95
123
126
127
129 D
97
98
70
71
106 C
105 B
44
45
46
NIAS (N3)
69
NIAS (N6)
96
125
NIAS (10)
124
IPB (I2)
47
107 C
99
129 E
48
72
100
128
49
73
101
130
55
Lampiran 4 Pengelompokan genotipe kedelai berdasarkan iklim Iklim negara asal Subtropika
Tropika
Tropika/Subtropika
Enrei
Tidar
M100-29A-42-14
KOUKOU 6514-2
GmWMC173
Ryuho
THAI-71 AGS 126
M100-33-6-11
KOUSHUREI 273
Athow
SUKHO THAI 1
M100-46-44-6
TIEFENG 8
LD003309
SJ4
M100-47-52-13
TIEFENG 18
GmWMC175 GmWMC183 GmWMC143
Tachinagaha
317 RINGGIT
M150-29-44-10
GmWMC012
GmWMC144
Stressland
SUMBING
M150-69-47-2
GmWMC018
GmWMC146
PI416937
TAMBORA
M150-7B-41-10
GmWMC020
GmWMC148
Hatsusayaka
SJ1
M150-92-46-4
GmWMC035
GmWMC154
UA4805
GmWMC006
M200-13-47-7
GmWMC036*2
Fukuyutaka
GmWMC046
M200-37-71-4
GmWMC038
Tambaguro-E
GmWMC132
M200-39-64-4
GmWMC042*2
Tambaguro
GmWMC136
Wilis
GmWMC070
GmWMC001
GmWMC141
Pangrango
GmWMC071
GmWMC011
GmWMC142
GmWMC072
GmWMC014
GmWMC147
GmWMC070
GmWMC015
GmWMC151
GmWMC120
GmWMC019
GmWMC152
GmWMC150
GmWMC022
GmWMC156
GmWMC152
GmWMC024
GmWMC162
GmWMC156
GmWMC027*2
GmWMC166
GmWMC159
GmWMC029
GmWMC168
GmWMC160*2
GmWMC045
GmWMC170
GmWMC163
GmWMC048
GmWMC176
GmWMC168
GmWMC066
GmWMC181
GmWMC170
GmWMC073
GmWMC182
GmWMC171
GmWMC075
GmWMC186
GmWMC187
GmWMC083
Tanggamus
GmWMC188
GmWMC094
Anjasmoro
GmWMC192
GmWMC115
Argo Mulia
GmWMC084
GmWMC118
Kaba
GmWMC086*2
GmWMC122
Sinabung
GmWMC089
Dering 1
GmWMC103
Ijen
GmWMC107
Gema
GmWMC108
PG-57-1
GmWMC119
SP304
GmWMC129*2
SC-1-8
GmWMC138
SC-54-4
GmWMC165
SC-38-1
GmWMC169
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen
56
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
57
57
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
58
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
59
59
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
60
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
61
61
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
62
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
63
63
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
64
Lampiran 5 Kondisi biji hasil panen (lanjutan)
65
65
68
66
RIWAYAT HIDUP Dewi Valentina Butar-Butar adalah seorang insan yang lahir di Sei Rampah tanggal 04 Maret 1992 dari pasangan almarhum Abel Butar-Butar dan almarhumah Rosmaida Sitinjak. Penulis adalah anak keempat dari empat orang bersaudara. Pendidikan penulis dimulai sejak SD di SDN No. 102016 Sei Rampah lulus tahun 2004 kemudian melanjutkan tingkat SMP di SMP Negeri 1 Sei Bamban dan lulus pada tahun 2007. Setelah itu, melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Tebing Tinggi dan lulus pada tahun 2010. Puji syukur kepada Tuhan, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui seleksi program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di departemen Agronomi dan Hortikultura. Selama di IPB, penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB dan sebagai anggota Komisi Pemerhati Anak. Penulis juga tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Siantar dan Sekitarnya (IKANMASS). Penulis pernah mengikuti magang di Dinas Pertanian Serdang Bedagai, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, Medan. Prestasi penulis selama di IPB adalah dapat menjadi partisipan dalam kegiatan kompetisi karya tulis ilmiah international “The 11th Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting (HISAS 11)” yang diadakan pada tanggal 08 Februari 2014 oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Hokkaido (PPI-Hokkaido) di Universitas Hokkaido, Jepang. Penulis juga merupakan salah satu penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) tahun 2011-2014 dan pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Manajemen Air dan Hara Tanaman tahun 2014.