ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
SKRIPSI
Disusun oleh Riste Isabella 071115023
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Gasal/ Tahun 2014/2015 i
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Disusun oleh Riste Isabella Panjaitan 071115023
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Gasal/Genap Tahun 2014/2015
iii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penelitian (skripsi) ini saya persembahkan untuk orang-orang yang sudah menginspirasi, memotivasi, dan yang memberikan segenap cinta dan kasih sayang secara eksplisit maupun implisit. Terimakasih untuk semuanya ya~
“Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yesaya 40:29) Terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus, Bapa Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang tidak ada hentinya menyemangati saya sejak memasuki perkuliahan hingga akhirnya berhasil menuntaskan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa S1. Bersyukur punya Allah yang luar biasa karena memampukan saya untuk menghadapi “godaan masa muda” tetapi juga menyertai saya untuk mengincipi manisnya dan berharganya pengalaman-pengalaman sebagai mahasiswa S1. Dan ayat ini diberikan-Nya sebagai penguat serta pengingat ketika saya mulai lelah bahkan berencana untuk berhenti meneruskan perjuangan ini. Terimakasih ya Tuhan.
Semester depan sudah ga bayar uang kuliah lagi berarti ya? Terimakasih Mama dan Bapak yang memulai motivasi dengan kalimat pengharapan besar seperti ini. Lantas inilah yang membulatkan tekad saya untuk menuntaskan skripsi ini, agar semester depan tidak bayar uang kuliah lagi. Berterimakasih juga kepada kakak-kakak dan adik saya (Kak Lisa, Kak Lia, Kak Bellina, dan Maikel) yang selalu menunjukkan tiap cinta dan kasihnya dengan cara masing-masing. Untuk Kak Lisa dan Kak Lia, kangeeen kalian semua, sering-sering main ke rumah, mamak bapak kangeeen juga! Semangat buat Kak Bellina untuk perjuangan skripsinya, semangat juga buat Maikel untuk perjalanan kuliahnya. Yang serius kuliahnya ya, dek.
Kandi Tomasoa & BSK (Bimbingan Skripsi Kandi) Terimakasih kepada dosen pembimbing saya, Mbak Kandi. Perjalanan panjaaaaang untuk menyakinkan Mbak Kandi kalau mahasiswa bisa menyelesaikan skripsi satu semester. Terimakasih untuk diskusi-diskusi berat yang menyenangkan, dan tiap tawaan di sela-selanya. Semoga kenang-kenangan yang sudah kita buat bersama bisa jadi kenangan yang bisa dikenang-kenang ya mbak! Untuk Asis, teman seperjuangan skripsi yang dibimbing Mbak Kandi, iv
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
selamaaat sudah melewati perjalanan panjang jugaaa, sukses ya kedepannya! Untuk temen-temen BSK lain, Mandor, Lela, Ermeyta, Bima, Sakti, Sugab, Kopler selamat berjuang yaaaa semuanya. Resistensi (perlawanan) yang paling ampuh menghadapi skripsi itu adalah dengan cara menyelesaikannya. Skripsi jangan dihindari, tapi dihadapi biar cepat selesai. Semangat!
WARGA KPS Terimakasih untuk dosen-dosen dan karyawan Departemen Ilmu Komunikasi. Mbak Nisa, Mbak Chus, Mbak Sari, Mbak Dina, Bu Moer, Bu Ida, Bu Lis, Bu Santi, Bu Andria, Mas Igak, Mas Irfan, Mas Rendi, Mas Kukuh, Pak Yayan, Pak Henri, semuanya yang sudah pernah membagi ilmu-ilmunya pada saya sejak semester satu sampai semester akhir. Spesial untuk dosen-dosen penguji, Mas Igak dan Bu Lis, terimakasih untuk diskusi sidangnya, semoga skripsi ini sudah dapat melengkapi tiap saran yang diberikan dan memuaskan Mas Igak dan Bu Lis ya!hehe...
BATAK KARIB Bersyukur punya komunitas “R-NHKBP Surabaya”. Terimakasih ya teman-teman untuk setiap motivasinya supaya semakin semangat ngerjain skripsi, hiburanhiburannya saat suntuk skripsi, sampai doa-doanya dari awal ngambil matkul skripsi, pengumpulan skripsi, sebelum sidang, sesudah sidang, sampai revisian. Untuk Friska, selamaaaat yaa! Seneng banget bisa sama-sama selesai, tetep jadi teman karib ya sampai maut memisahkan fris! Untuk Yosa, selamat berjuang ya ngerjain skripsinya, kamu pasti bisaaaa! Untuk Barry, sukses sidangnyaaa, rajin latihan naposo laaah, jangan mamichi mamichi’an teruss bar haha! Untuk Hotang, cepet sembuh juga yaa biar bisa nyusun skripsi!Selamatkan barry ya tang, haha.. Terimakasih juga untuk abang kakak naposo lainnya yang rajin nanya progres skripsi sampai minta traktiran. Juga buat yang sudah nyemangatin dan ngedoain diem-diem, makasi yaaa! Untuk Kak Rere, makasi hadiahnya ya kak hehe! Untuk Bang Rio, makasi buat traktiran dan hiburan-hiburannya, sukses di NY ya! Untuk Bang Fre, makasi ya bang semangat-semangatnya hehe.. Untuk penghuni bawah tangga, teman pimpongan, teman nongkrong, teman main piano, teman bungkul (Bang Fredy, Bang Arga, Bang Mario, Bang Yudha, Bang Septian, Bang Andre, Bernard, Tagor, Bang Joseph, Bang Gerry, Kak Bethesda, Kak Maris, Kak Vita, Kak Dita, Kak Desi, Kak Marta, Kak Ira, Kak Irene, dan semua abang-abang kakak-kakak lainnya) makasi yaaa buat motivasi v
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dan petuah-petuahnyaaa. Makasi buat Tagor dann Bang Gerry yang bantuin bikinin page skripsi sampai bantuin benerin abstrak huahah... Love you pokoknya lah! Dan selamat berjuang untuk adik-adik yang masih kuliah (Melda, Retha, Ella, Tasya, Miranda, Gorin-Erosta, Raja-Alida, Jenny, Ignes, Renny, dsb), makasi ya doa dan selamatnya! Yang semangat kuliahnyaaa... Untuk, Sekolah Minggu HKBP Surabaya tercinta! Terimakasih untuk pengalamannya mendidik anak-anak (Kak Atik, Kak Hilda, Kak Rina, Kitty, Kak Lusi, Kak Ria). Terimakasih untuk kakak-kakak sekolah minggu yang baik hati. Terimakasih doa dan dukungannya ya kakak-kakak! Juga untuk teman-teman Batak karib lain Bang Devri, Bang Brian, Bang Frans, Mike, Nuel, Bang Reynol, Bang Tian, Bang Denis, dan yang lainnya yang belum disebutkan. Terimakasih ya sudah mengisi hari-hari selama jadi mahasiswa S1, terimakasih juga motivasinya dan doa-doanyaaa. Spesial untuk Bang Devri, terimakasih bantuannya buat DAFTAR ISI otomatis, juga buat Bang Pals tercinta yang setia menemani via bbm!
COMMERS Terimakasih untuk teman-teman Komunikasi angkatan 2011 tercintaaaa! Terimakasih untuk pengalaman-pengalaman berharganya, semoga pertemanan kita berlanjut terus ya rek! Selamat dan sukses ya kedepannya buat teman-teman seperjuangan yang uda selesai sidang juga! Buat yang masih berjuang, semangat nyusun skripsinya yaaa. Spesial Untuk Merli, ayo cepet selesain skripsinya biar kita bisa nyari pilot di rawa-rawa sama cuci mata liat Koya dan Koci! Untuk Bidadari Ines, semangat ya ngerjain skripsinya bidadari, jangan lupa main-main ke khayangan ya! Semangat juga buat bidadari-bidadari lain (the girls), apfia, jerry, audrey, koko, ayip, dkk, kalian pasti bisa rek! Untuk Ririe, selamaaat ya akhirnya kita bisa mengalahkan kemalasan masing-masing, sukses ya rie untuk semua rencanamu. Semoga masih bisa kumpul-kumpul, becandaan geje kayak biasanya. Bakal kangen, sungguhan! Hiks.. Grup 3GP (Mandor, Cenitz) Semoga tetap jadi grup canda tawa yang ngobrolin hal-hal ringan ya! Untuk Mandor, Pasti bakalan kangen nih aku huaaa! Kalo nikah, bilangbilang ya ndoooor. Sungguhan! Untuk Cenitz, sering main-main ke Surabaya ya Cah Nganjuk!
vi
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sarjana 03/15 aamiin (Cenitz, Permata, Andin, Mira) Seneng bisa sama-sama berhasil ngelewatin masa-masa sulit ngelawan rasa malas masing-masing. Selamat ya teman-teman, salut sama kalian semua. Tetep jadi teman-teman terbaik ya! Semoga sukses semua kedepannya Mira, Andin, Permata, dan Cenitz. Love you muah! Petro Seru (Cenitz, Ajeng) Terimakasih untuk pengalaman bersama jadi anak magang sebulan di Gresik yaaa.. Selamat buat Ajeng yang uda lulus juga, salam buat mas ehem jeng, semoga langgeng haha.. Tamas (Rara, Lela, Virgi) Rara, selamat ya uda selesai sidang! Lela, dan Virgi semangat ya nyusun skripsinya. Kalahkan ketamasan kita, pasti bisa rek! KOMA Terimakasih klub KOMA yang sudah menjadi tempat bermain dan belajar! Terus berkarya ya KOMA
SAHABAT KEPOMPONG, SOE-SOE, REPUTHU & SINCHAN SEMLOHE Terimakasih teman-teman semuanyaaaa (Gembol, Rena, Rizuki, Deby, Kikik, Titil, Resi, Sakti, Denny, Fadiah, Karbol, Boyon, Hadi, Redi, Mami, Intan, Sapto, Putri, Agnes, Citra, Fatinah, Stefanus, dkk), makasi ya doa-doanyaaa!
PSUA Terimakasih untuk pengalaman-pengalamannya ya Tim Lomba Paduan Suara (LPS) Unair, Tim Konser Music is My Life, Tim Chandelier. Semoga sukses juga untuk Tim Estonia!
LAINNYA Terimakasih untuk semuanyaa yang sudah berbagi pengalaman dan sudah menginspirasi. Terimakasih untuk PD Fisip UA, Grup Murid Yesus, Grup Demdem Tugas UAS, Ikamaba (Ikatan Mahasiswa Batak), Vostic (Voice of Social Politic), Eugeners, pembina magang (Mas Edri), Ibu Kost (Bu Ani), dan semuanya yang belum sempat disebutkan. Terimakasih ya~ vii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
viii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ix
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis wacana resistensi perempuan Batak yang direpresentasikan oleh film Demi Ucok yang menentang adanya dominasidominasi sistem patrilineal dalam etnis Batak. Penelitian ini menggunakan analisis wacana (discourse analysis) berperspektif kritis yang meliputi teks, discourse practice (pelibat teks) dan sociocultural practice sebagai bahan analisis. Pisau analisis tersebut digunakan peneliti untuk mengungkap bagaimana resistensi perempuan Batak tersebut diwacanakan sekaligus melihat dominasi-dominasi yang diwacanakan dalam film sehingga menyebabkan munculnya wacana resistensi tersebut. Untuk dapat menjelaskan bagaimana wacana dominasi dan resistensi perempuan Batak diartikulasikan dalam film, peneliti mengaitkan dengan wacanawacana lain yang saling berkorelasi dengan penelitian. Wacana kekuasaan (power), konsep mayoritas dan minoritas, stereotipe hingga mengaitkan dengan identitas etnis khususnya kaitannya dengan sikap etnosentrisme etnis Batak. Selain itu, dalam menganalisis peneliti memandang melalui kacamata feminisme untuk membongkar dominasi-dominasi yang diwacanakan dan kacamata postfeminisme dalam melihat bentuk resistensinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa teks kultural yang direproduksi film Demi Ucok ternyata memperlihatkan adanya bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan kaum perempuan. Tiap kaum perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang beragam seperti halnya yang dibicarakan dalam perspektif postfeminisme. Namun, ternyata resistensi perempuan tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki. Dalam hal ini, resistensi kaum perempuan tersebut justru menguatkan dominasi sistem patrilineal tersebut. Sehingga sebenarnya wacana resistensi perempuan Batak terhadap sistem patrilineal ini masih dilematis karena resistensi perempuan sebenarnya hanya mengukuhkan sistem patrilineal itu sendiri. Kata kunci: perempuan Batak, film, dominasi, resistensi, analisis wacana, etnis Batak.
x
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT
This research analyzes Batak’s female resistence discourse which is represented by movie “Demi Ucok” which is against domination of patrilineal system in Batak ethnic.This research uses critical perspective discourse analysis which includes discourse, discourse practice, and sociocultural practice as materials analysis.The researcher uses those methods to reveal the Batak's female resistence is discoursed and to see the dominations, which is discoursed in the movie, which is giving rise to the resistence discourse. The researcher connects to the other discoures which corelates each other with the research to explain the domination discourse and resistence of Batak's women in the movie. Power discourse, majority and minority concept, stereotype, up to ethnic identities, specifically those connection with the Batak ethnic ethnocentrism attitude.Moreover, the researcher uses 2 methods of analyzation, feminism perspective to reveal the dominations and post-feminism perspective to know the resistence's form. This research indicates that cultural text which is reproduced by movie Demi Ucok shows many resistence forms which is done by the women. Every female has different resistence forms which is informed at post-feminism perspective.Truthfully, the female resistence can't be separated from males's role. On the contrary, female resistence even strengthen the domination of patrilineal system.So that the actual Batak's female resistence discourse towards the patrilineal is still dilematic, because it is just strengthened the patrilineal system. Keywords: Batak’s female, movie, domination, resistence, discourse analysis, Batak ethnic.
xi
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada keluarga, teman, serta keluarga besar Departemen Komunikasi Universitas Airlangga yang telah mendukung sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Terimakasih pula kepada pihak-pihak terkait proses pengerjaan skripsi mulai dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data hingga analisis data. Terimakasih juga kepada Sammaria Simanjuntak, selaku sutradara dan penulis skenario Film Demi Ucok yang telah bersedia menjadi informan dalam skripsi ini. Peneliti tertarik membahas wacana terkait resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem patrilineal dalam Film Demi Ucok karena sistem patrilineal di Indonesia khususnya pada etnis Batak sangat kuat sementara wacana resistensi masih jarang didengungkan. Disamping itu, Film Demi Ucok juga menghadirkan wacana resistensi tersebut dengan memposisikan perempuan sebagai tokoh sentral serta tokoh-tokoh lain yang didominasi oleh kaum perempuan. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis media discourcse untuk melihat bagaimana resistensi perempuan yang dikonstruksi
pada Film Demi Ucok ditengah tekanan dominasi sistem
patrilineal yang terus mengakar hingga saat ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem patrilineal masih dilematis mengingat resistensi perempuan tersebut digambarkan tidak lepas dari xii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
peran laki-laki itu sendiri. Kaum laki-laki memiliki andil dalam bentuk-bentuk resistensi perempuan Batak yang ditampilkan. Resistensi ini bukan mendobrak dominasi tersebut tetapi justru memperkuat sistem sehingga mengukuhkan dominasi patrilineal tersebut. Peneliti sebagai penyusun skripsi ini berharap agar penelitian ini dapat berguna bagi pembaca. Namun memang, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mohon maaf atas kekurangan yang ada dalam skripsi ini.
Surabaya, 18 Desember 2014
(Riste Isabella Panjaitan)
xiii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DALAM 1 (SATU) ....................................................... HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ............. HALAMAN JUDUL DALAM 2 (DUA) ......................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ...................................... ABSTRAK ......................................................................................................... ABSTRACT ....................................................................................................... KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 1.5 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 1.5.1 Perempuan dalam Konsep Gender .............................................. 1.5.1.1 Seks dan Gender .......................................................... 1.5.1.2 Peran Gender ............................................................... 1.5.1.3 Ketidakadilan Gender ................................................. 1.5.1.3.1 Subordinasi (Penomorduaan) Perempuan 1.5.1.3.2 Stereotipe pada Perempuan ...................... 1.5.1.3.3 Marginalisasi (Peminggiran) Perempuan 1.5.1.3.4 Kekerasan pada Perempuan ..................... 1.5.2 Resistensi (Perlawanan) Perempuan ........................................... 1.5.2.1 Resistensi bagi Kaum Feminis .................................... 1.5.2.1.1 Feminisme Gelombang Pertama .............. 1.5.2.1.2 Feminisme Gelombang Kedua ................. 1.5.2.2 Resistensi bagi Kaum Postfeminis .............................. 1.5.3 Perempuan dalam Budaya Patriarki ............................................ 1.5.4 Konsep Identitas .......................................................................... 1.5.4.1 Identitas Etnis............................................................... 1.5.4.1.1 Sikap Etnosentrisme .............................. 1.5.4.2 Konsep Mayoritas dan Minoritas ................................ 1.5.5 Film dan Perkembangan .............................................................. 1.5.5.1 Kuasa Author pada Film ............................................. 1.5.5.2 Shot Kamera dalam Film ............................................. 1.5.6 Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis / CDA) ..... 1.5.6.1 Karakteristik Analisis Wacana Kritis ......................... 1.5.6.2 Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough .... 1.6 Metodologi Penelitian ................................................................................ 1.6.1 Tipe Penelitian ...............................................................................
i ii iii iv viii ix x xi xii xiv xvi xvii I-1 I-1 I-20 I-20 I-20 I-21 I-21 I-21 I-22 I-24 I-24 I-25 I-26 I-28 I-30 I-32 I-34 I-35 I-36 I-38 I-40 I-40 I-41 I-42 I-47 I-51 I-52 1-54 I-56 I-59 I-61 I-62
xiv
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.6.2 Metode Penelitian .......................................................................... 1.6.3 Objek Penelitian ........................................................................... 1.6.4 Unit Analisis .................................................................................. 1.6.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 1.6.6 Teknik Analisis Data ...................................................................... BAB II GAMBARAN UMUM KAJIAN PENELITIAN .............................. 2.1 Perkembangan Perfilman Indonesia .......................................................... 2.1.1 Film Bertemakan Etnisitas di Indonesia ........................................ 2.2 Film Demi Ucok sebagai Subjek Penelitian .............................................. 2.2.1 Sammaria Simanjuntak, Sutradara Film Demi Ucok ..................... 2.3 Etnis Batak dengan Sistem Patrilinealnya ................................................. 2.3.1 Perkawinan dalam Suku Batak ...................................................... BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................... 3.1 Dominasi Sistem Patrilineal dalam Konsep Perkawinan pada Film Demi Ucok ........................................................................................................... 3.1.1 Konsep “Kaum Mayoritas dan Minoritas” dalam Etnis Batak ...... 3.1.2 Stereotipe tentang Identitas ‘Perempuan Batak Ideal” .................. 3.1.3 Sikap Etnosentrisme Kaum Batak ................................................. 3.2 Resistensi Perempuan Batak dalam Film Demi Ucok ............................... 3.2.1 Perempuan sebagai Pemimpi ......................................................... 3.2.2 Negosiasi Peran Perempuan dalam Ranah Domestik dan Publik .. BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 4.2 Saran .......................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
I-62 I-63 I-63 I-64 I-64 II-1 II-1 II-9 II-14 II-17 II-21 II-23 III-1 III-2 III-6 III-24 III-38 III-49 III-51 III-74 IV-1 IV-1 IV-3
xv
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3
Tabel Produksi Film di Indonesia sejak tahun 1945-1955 Tabel Produksi Film Sejak Tahun 1956-1969 ................... Kontribusi-Kontribusi Sammaria Simanjuntak dalam Perkembangan Film Indonesia ...........................................
II-4 II-6, II-7 II-20
xvi
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13 Gambar 3.14 Gambar 3.15 Gambar 3.16 Gambar 3.17 Gambar 3.18 Gambar 3.19 Gambar 3.20 Gambar 3.21 Gambar 3.22 Gambar 3.23 Gambar 3.24 Gambar 3.25
Skema Analisis Wacana Model Norman Fairclough ......... Film Bulan di Atas Kuburan .............................................. Secangkir Kopi Pahit (Tahun 1985) .................................. Naga Bonar (Tahun 1987) .................................................. Film Rokkap (Tahun 2010) ................................................ Film Nagabonar Jadi 2 (Tahun 2017) ................................ Film Mursala (Tahun 2013) .............................................. Film Demi Ucok (Tahun 2013) .......................................... Glo bersama Mak Gondut dalam Salah Satu Scene Film Demi Ucok ......................................................................... Sammaria Simanjuntak, Sutradara Film Demi Ucok ......... Gondut Menangis Saat Pemakaman Suaminya .................. Mak Gondut Sesaat Sebelum Dioperasi ............................. Glo dan Niki Terlihat Saling Bertatapan Oleh Mata Kamera Mak Gondut .......................................................... Ekspresi Glo Menanggapi Tawaran Mak Gondut .............. Glo Bersama Niki Memperlihatkan Kemesraan Pada Mak Gondut ................................................................................ Mak Gondut Saat Jatuh Sakit ............................................. Perdebatan Panjang Mak Gondut Dan Glo Mengenai Pasangan ............................................................................. Mak Gondut Membawa Kue Tart Saat Ulang Tahun Glo Mak Gondut Bersama Kedua Anjing Peliharaannya ......... Mak Gondut Dan Kedua Anjing Peliharaannya Dalam Nilai Harga Masing-Masing ............................................... Glo Bersama Dengan Tompul Di Rumah Niki .................. Glo Bersama Opung Sedang Ngobrol ................................ Gloria Heran Dengan Jawaban Opung Tentang Konsep Batak Cantik ....................................................................... Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Glo tentang Perempuan Pemimpi ............................................................................. Hal. 2 Cerita Perempuan Pemimpi ..................................... Hal. 3 Cerita Perempuan Pemimpi ..................................... Hal. 4 Cerita Perempuan Pemimpi ..................................... Hal. 5 Cerita Perempuan Pemimpi ..................................... Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Mak Gondut tentang Perempuan Pemimpi .......................................................... Hal. 2 Cerita Mak Gondut .................................................. Hal. 3 Cerita Mak Gondut .................................................. Hal. 4 Cerita Mak Gondut .................................................. Hal. 5 Cerita Mak Gondut .................................................. Tante Nora (Namboru Glo) ................................................ Mak Gondut Tampak Bahagia Melihat Glo Bersedia Kawin .................................................................................
I-61 II-10 II-11 II-11 II-12 II-13 II-14 II-15 II-16 II-17 III-8 III-10 III-14 III-17 III-19 III-26 III-28 III-32 III-40 III-41 III-43 III-47 III-48 III-52 III-52 III-52 III-53 III-53 III-59 III-59 III-60 III-60 III-60 III-64 III-70
xvii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3.26 Gambar 3.27 Gambar 3.28 Gambar 3.29 Gambar 3.30 Gambar 3.31
Mak Gondut Saat Meminta Glo Untuk Kawin .................. Mak Gondut Saat Menjawab Glo Mengenai Mimpinya Yang Tak Kunjung Tercapai .............................................. Mak Gondut Melotot Dan Mengigit Bibirnya Seperti Dongkol (Kesal) Dengan Perkataan Glo ............................ Segelintir aktivitas Mak Gondut ........................................ Mak Gondut Sebagai Pelaku Sosial ................................... Kegiatan Mak Gondut Sebagai Politisi ..............................
III-76 III-77 III-78 III-83 III-83 III-83
xviii
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Penelitian ini akan menganalisis wacana mengenai resistensi perempuan
Batak terhadap dominasi sistem patrilineal budaya Batak dalam film Demi Ucok karya Sammaria Simanjuntak. Peneliti tertarik karena film tersebut menampilkan perlawanan atau resistensi kaum perempuan Batak terhadap kekuatan dominasi sistem patrilineal dalam konsep perkawinan etnis Batak yang justru diperkuat kaum perempuan Batak lainnya. Menariknya, kaum laki-laki tidak nampak begitu jelas menguasai wacana sistem patrilineal dalam film. Hal ini karena sebagian besar tokoh dalam film diperankan oleh kaum perempuan. Dalam Film Demi Ucok, perempuan menjadi tokoh sentral dimana kecenderungan film, temasuk film bertemakan etnis Batak, menggunakan kaum laki-laki sebagai tokoh sentral. Inilah yang menjadi titik tolak peneliti sehingga tercipta judul penelitian yaitu “Resistensi Perempuan Batak terhadap Sistem Patrilineal Batak dalam Film Demi Ucok Karya Sammaria Simanjuntak” karena peneliti hendak melihat bagaimana resistensi diwacanakan ditengah tekanan dominasi kaum laki-laki melalui sistem patrilinealnya dalam film tersebut. Penelitian ini akan berusaha mengungkap fenomena yang hendak diwacanakan dalam film. Sistem patrilineal etnis Batak terus mengakar hingga saat ini, hal itu ditunjukkan dalam berbagai ritual yang hingga saat ini masih terus dijalankan seperti: dalam perkawinan terdapat 9 (sembilan) ritual yang dijalankan, dalam I-1
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memasuki rumah baru, upacara kematian, dsb. Sistem patrilineal tersebut masih dipegang erat oleh masyarakat Batak untuk menentukan kelompok kekerabatan masyarakat Batak. Terdapat dua jenis kekerabatan pada masyarakat Batak yaitu kekerabatan
berdasarkan
geneologis
dan
berdasarkan
pada
sosiologis
(kebudayaanindonesia.net diakses pada tanggal 2 Mei 2014). Kekerabatan berdasarkan geneologis yaitu marga yang dimiliki oleh setiap suku bangsa Batak. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Marga merupakan sebutan ikatan sedarah yang menyatukan adat pada tradisi Batak. Marga merupakan istilah untuk menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatannya. Marga telah menjadi identitas dan status sosial masyarakat Batak. Sedangkan tarombo ialah istilah sebagai kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga. Ada anggapan yang mengatakan bahwa orang Batak yang tidak memiliki anak laki-laki, maka secara otomatis marga dan tarombo-nya akan punah. Sementara perempuan diposisikan sebagai “pencipta hubungan besan” sehingga perempuan diharuskan untuk menikah dengan laki-laki Batak agar memperoleh keturunan yang memiliki marga. Dalam suku bangsa Batak, terdapat enam kategori atau puak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Marga dijadikan sebagai tali persaudaraan. Satu puak dapat terdiri dari berbagai marga. Penyatuan kedua marga berdasarkan sistem patrilineal yaitu, yang berhak menurunkan marga pada keturunan ialah dari pihak laki-laki. Dalam adat Batak, perkawinan dianggap memiliki nilai sakral sehingga untuk menjaga kesakralannya dilahirkanlah sebuah adat perkawinan. Dianggap I-2
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sakral karena bermakna “pengorbanan” bagi pihak pengantin perempuan. Perempuan berkorban memberikan satu nyawa manusia yang hidup kepada pihak pria. Sehingga wujud penghargaan oleh pihak pria kepada perempuan adalah dengan mempersembahkan satu nyawa berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau yang kemudian menjadi makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan suku Batak). Hal ini merupakan pengakuan tersirat bahwa posisi perempuan juga dianggap “berarti” dalam suku Batak. Dalam hal pembagian harta warisan, adat Batak menggunakan sistem patrilineal dimana harta warisan diwariskan kepada anak laki-laki (Silaban, Peranan perempuan dalam adat dan budaya Batak diseminarkan, 2007). Seperti halnya kisah Siboru Tombaga, yang merupakan salah satu kisah rakyat adat Batak yang dikenal oleh rakyat Tapanuli. Cerita ini menggambarkan bahwa seseorang yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap kurang terhormat. Laki-laki dianggap sebagai penerus marga dan keturunan sehingga derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Harta warisan itu kemudian diberikan kepada paman, yaitu saudara laki-laki dari pihak ayah. Perampasan harta warisan ini kemudian menyebabkan putri-putrinya melarikan diri ke hutan (Silaban, Ende siboru tombaga i, 2007). Memiliki anak laki-laki dianggap sebagai sebuah peningkatan harkat serta martabat keluarga bagi adat Batak. Latar belakang patung ukir Sigale-gale juga menggambarkan bahwa betapa berharganya anak laki-laki bagi keluarga dalam adat Batak. Patung ukir ini dapat digerak-gerakkan seperti wayang golek dalam suku Jawa. Alkisah, terdapat sebuah keluarga yang menyandang julukan Raja I-3
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Rahat. Raja tersebut memiliki harta berlimpah tetapi hanya memiliki seorang anak laki-laki. Namun ternyata anaknya kemudian mati karena suatu penyakit sehingga menyebabkan Raja Rahat berduka. Maka di perintahkanlah pengukir kayu bernama Rahat Bulu yang bergelar Datu Manggeleng untuk membuat patung menyerupai anaknya tersebut. Patung Sigale-gale terus digerakkan dengan tarian tori-tor serta musik gondang selama memberangkatkan anaknya ke pemakaman. Kemudian Raja Rahat berpesan agar patung Sigale-gale tersebut menjadi teman menari penduduk kampung apabila ia telah meninggal nanti. Raja Rahat juga berjanji melimpahkan hartanya kepada seluruh penduduk kampung. Semenjak kematian
Raja
Rahat,
patung
Sigale-gale
kemudian
digunakan
untuk
memperingati kematian Raja Rahat dan anak laki-lakinya tersebut (Sidabutar, Legenda sigale-gale, 2012). Selain perkawinan dan hukum waris, struktur patrilineal juga digunakan dalam pemerintahan dan pemilikan tanah, pemujaan arwah, penyelenggaraan peradilan, tempat permukiman dan penggarapan tanah. Hampir seluruh kehidupan pada masyarakat Batak di atur oleh struktur patrilineal. Telah muncul sejak dulu adanya pengelompokkan berdasarkan silsilah dan disatu sisi penyebaran geografis yang memungkinkan masyarakat melestarikan dalam waktu yang lama. Lahan tempat kampung didirikan, tembok yang mengelilingi, pohon-pohon yang tumbuh ditanah yang dianggap sebagai daerah khusus yang dimiliki oleh para keturunan patrilineal. Muncul kesadaran yang tajam pada pemilahan kepentingan menurut garis-garis keturunan. Bentukan
struktur patrilineal telah disadari sejak dulu
I-4
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sehingga menyebabkan sistem yang menjadi acuan hingga saat ini ialah sistem patrilineal tersebut (Vergouwen dalam Mustafid, 2004). Sistem patrilineal yang berlaku pada adat Batak inilah yang akhirnya memposisikan perempuan pada nomer dua setelah pria. Perempuan hanya diberikan penghargaan atas pengorbanan nyawanya untuk melahirkan manusia yang hidup (anak) namun kemudian laki-laki yang menurunkan marga-nya kepada anak tersebut. Perempuan juga dianggap sebagai “pencipta penghubung besan” sehingga perempuan diharuskan menikah agar keturunannya ber-marga. Hukum waris yang diturunkan kepada pihak laki-laki hingga aspek-aspek kehidupan lain yang semua menerapkan sistem patrilineal menjadi wujud ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Posisi perempuan dalam suku adat Batak tidak jauh berbeda dengan kedudukan perempuan dalam kebudayaan tradisional Jawa. Perempuan disebut sebagai kanca wingking yang berarti anggota keluarga yang “hanya” mengurusi urusan belakang sehingga tidak boleh tampil didepan (Munawar, B Rachman, 1996). Ada pula gambaran ideal perempuan Jawa yang diharuskan memiliki sifat gemi, ati-ati nastiti. Sifat ini merupakan bentuk dari bakti istri pada suami (Sukri, SS 2001). Bentuk-bentuk inilah yang menjelaskan adanya ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan terhadap superioritas laki-laki. Sistem patrilineal membentuk inferioritas perempuan. Perempuan seakan memiliki keterbatasanketerbatasan akibat bentukan sistem patrilineal yang berlaku. Ada anggapan bahwa perempuan harus bisa masak, perempuan yang hanya bekerja di ranah I-5
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
domestik serta anggapan bahwa perempuan terlahir hanya untuk menjadi “pencetak generasi”. Tak heran bila muncul anggapan bahwa superioritas laki-laki bersifat mutlak. Superioritas tersebut diciptakan Tuhan sehingga tidak dapat diubah (Marlia, M 2007). Kekuatan sistem patrilineal akan cukup merugikan dan menyulitkan perempuan apabila mulai mengandung bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan unsur kemanusiaan, juga apabila menentang fakta-fakta sosial yang berujung kekerasan pada perempuan. Pada data pengaduan Komnas Perempuan, sepanjang 2012, tercatat 8.315 kasus kekerasan terhadap istri (Wardah, F 2013). Kekerasan bukan berarti hanya dalam bentuk fisik, namun juga kekerasan dalam bentuk psikis, seksual maupun ekonomi. Namun, perempuan tidak hanya tinggal diam. Perempuan memiliki potensi dan dapat melakukan peran-perannya. Tidak hanya sebagai “milik” lakilaki, tidak pula hanya mengikuti sistem yang berlaku. Tak sedikit perempuan yang mengadakan perlawanan terhadap struktur patrilineal yang mencekik kebebasan perempuan. Muncul kaum perempuan yang resisten yang kemudian membuka suara-suara perempuan yang dianggap lemah.
Gerakan-gerakan feminis di
Indonesia terbentuk untuk melawan hegemoni sistem patriarkhal. Gerakan perempuan tersebut sebenarnya dilakukan untuk mengkritisi serta mensetarakan peran perempuan dalam pembangunan tanpa memandang jenis kelamin. Salah satu penyalur aspirasi perempuan ialah dengan menggunakan media komunikasi publik yaitu media massa itu sendiri.
I-6
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Media massa merupakan sarana informasi serta hiburan bagi masyarakat. Media massa juga telah menjadi sumber pengetahuan atau wawasan masyarakat. Seperti halnya dikatakan humoris Will Rogers atau Jerry Seinfield, ‘yang saya tahu hanyalah apa yang saya baca.’ (Nurudin, 2007).
Setiap media massa
mewakili pesan masing-masing yang tak sama. McLuhan dalam bukunya Understanding Media-The Extension of Man (1999) menyebutkan “medium is the message”. Media itu sendiri merupakan pesannya. Hal inilah yang menyebabkan media massa hingga saat ini masih tetap eksis dan bahkan telah menjadi bagian dalam masyarakat itu sendiri. Nurudin (2007) dalam bukunya berjudul Pengantar Komunikasi Massa, juga mengatakan ‘[...], tanpa media massa manusia akan mati’. Artinya, masyarakat telah bergantung pada media massa. Sebenarnya cukup banyak peran perempuan hadir sebagai bentuk perlawanan yang dikemas melalui media massa. Perempuan menunjukan “women power” melalui berbagai bentuk media massa. Mulai dari media cetak hingga media internet. Misalnya, wacana
perempuan aktif dan cerdas yang dapat
ditemukan pada jurnal perempuan. Ada pula novel karya Ayu Utami yang berjudul “Cerita Cinta Enrico”. Novel yang dikemas dengan bahasa dan cerita yang cukup sederhana ini ternyata juga mengungkapkan wacana mengenai perempuan dilihat dari adanya paradoks superioritas laki-laki. Bahwa sebenarnya laki-laki memiliki ketergantungan pada perempuan yang kemudian membongkar dan mempertanyakan kembali superioritas yang dimiliki oleh laki-laki (http://www.goodreads.com diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Sehingga sebenarnya perempuan memiliki berbagai media untuk dapat mewacanakan I-7
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perlawanannya terhadap kekuatan sistem patrilineal yang diberlakukan selama ini. Namun wacana resistensi tersebut masih belum dapat mendobrak atau meruntuhkan dominasi kaum laki-laki yang begitu besar. Salah satu media yang juga cukup efektif untuk menunjukkan resistensi perempuan ialah film. Selain sifatnya menghibur, film mudah diterima oleh masyarakat karena dapat mengungkapkan realitas yang kemudian diproyeksikan kedalam layar. Dengan gambarnya yang dapat bergerak, film justru membantu penonton untuk menangkap maksud pesan dalam film tersebut. Koentjaranigrat (2000) mengatakan bahwa manusia telah mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru. Film merupakan media komunikasi (penemuan baru) hasil inovasi masyarakat. Ashadi Siregar (dalam Nugroho, G 2005) mendefinisikan film sebagai teks kultural yang menawarkan suatu nilai alternatif di antara dominasi tersebut. Sehingga sebenarnya film dapat dijadikan “alternatif media” untuk menyalurkan suara-suara minoritas seperti yang dialami oleh kaum perempuan. Menilik kembali sejarah, film telah lahir sejak abad ke-19 sebagai teknologi baru setelah media massa lainnya seperti koran, majalah, radio, maupun televisi. Pada waktu itu, film masih jarang dikonsumsi karena kurangnya pemahaman dan keterbatasan mengakses film. Namun, film kemudian mendapat perhatian khusus oleh masyarakat karena sebagian film hadir sebagai “respon” penemuan waktu luang dan jawaban untuk menikmati waktu senggang. Film membuka kemungkinan untuk masyarakat dapat mengkonsumsi unsur-unsur
I-8
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
budaya yang awalnya hanya dinikmati oleh sebagian orang. Hal ini berarti, film dapat memenuhi kebutuhan “tersembunyi” masyarakat (McQuail, 1987). Pada tahun 1926, muncul film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng yang menjadi film pertama yang lahir di Indonesia. Film karya G.Krugel dan L.Heuveldrop ini tampil di teater Elite Majestic Bandung pada tanggal 31 Desember 1962. Kemudian berkembang ditandai dengan munculnya berbagai genre film seperti genre film musikal, science-fiction, horor, cerita detektif, mythological, komedi, hingga thriller. Film yang membahas isu-isu sensitif pun juga hadir sebagai penanda adanya kebebasan berekspresi dalam film. Mengingat kembali, pada masa Orde Baru dimana terjadi diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki perhatian khusus sejak keberadaannya di Indonesia karena keterlibatannya dalam politik. Pemerintah seringkali memanfaatkan Etnis Tionghoa untuk mempertahankan kekuasaan karena karakteristik Etnis Tionghoa yang begitu kuat dalam persaudaraan, budaya serta
kecakapannya
dalam
bidang
pengembangan
ekonomi
(http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com diakses pada tanggal 18 Mei 2014). Pemanfaatan ini telah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda dan memuncak saat Orde Baru berkuasa. Semenjak itulah Etnis Tionghoa menjadi polemik tersendiri bagi bangsa Indonesia. Walau berbagai bentuk keterlibatan untuk Indoensia, etnis tersebut masih dianggap “pendatang”. “budaya” nasional baru yang dibangun Soeharto dengan menegaskan kembali pentingnya ideologi Pancasila tidak pernah secara efektif berupaya mewadahi kehadiran etnis Tionghoa. Dalam proses pendefinisian identitas nasional ini, orang Tionghoa tetap saja dianggap sebagai orang luar nonpribumi alias kaum pendatang (Salim, E Y dkk, 2012).
I-9
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kelompok minoritas (dalam hal ini Etnis Tionghoa) kemudian distereotipekan oleh kelompok mayoritas. Pedagang yang tidak jujur dan memiliki kebiasaan jelek dalam berdagang merupakan salah satu yang melekat yang distereotipekan kepada Etnis Tionghoa. Dalam relasi antara kelompok minoritas dan mayoritas, akan selalu terjadi konflik. Kelompok mayoritas akan membangun pandanganpandangan atau stereotipe bagi masyarakat minoritas. Stereotipe tersebut akan menimbulkan pertentangan dan konflik satu sama lain (http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com diakses pada tanggal 18 Mei 2014).
Stereotipe tersebut mungkin benar namun tidak tepat apabila disebut sebagai identitas suatu kelompok tertentu, karena hal tersebut tidak dapat digeneralkan. Hal ini menguatkan asumsi bahwa memang sejak dulu rakyat Indonesia dibiasakan untuk tidak menerima adanya perbedaan. Ketika perbedaan ini muncul seringkali ditampilkan dalam bentuk stereotipe-stereotipe. Hal ini kemudian mendatangkan konflik antar kelompok. Stereotipe yang ada tidak hanya pada Etnis Tionghoa, stereotipe juga seringkali dilekatkan pada kelompok-kelompok tertentu.
Media seringkali
menampilkan stereotipe-stereotipe pada etnis-etnis tertentu. Seperti Madura yang identik dengan membunuh atau santet, Padang yang dikenal dengan sifat pelit, hingga Batak yang dikenal dengan cara berbicaranya yang kasar dan sifat keras kepalanya. Bahwa “perbedaan” tidak diperkenankan hadir karena akan menimbulkan konflik, karena memungkinkan munculkan adanya stereotipestereotipe tersebut. Itulah sebabnya film-film yang seringkali menampilkan “perbedaan” tersebut dianggap film yang “berani” karena mengangkat isu-isu sensitif. Hal-hal I-10
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang demikian dianggap akan mendatangkan konflik antar kelompok. Namun hingga saat ini, film-film yang mengangkat isu-isu sensitif seperti ini mulai bermunculan yang sejatinya hendak menyuarakan kaum-kaum minoritas yang seringkali terabaikan, walau memang stereotipe-stereotipe ini masih sering muncul. Salah satunya, Film berjudul “Cin(t)a” merupakan salah satu film sensitif, yang mengangkat isu ras, agama, cinta dan Tuhan, dimana terdapat seorang lakilaki bernama Cina, yang merupakan keturunan campuran Batak Cina, yang bertemu
dengan
Annisa,
seorang
muslimah
beretnis
Jawa
(http://filmindonesia.or.id diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Selain itu juga ada film “Babi Buta Yang Ingin Terbang” yang mengangkat isu mengenai etnis yang memperlihatkan bagaimana masyarakat memperlakukan kaum minoritas Cina (http://filmindonesia.or.id diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Walau film-film ini sempat tidak diperkenankan hadir dalam perfilman Indonesia namun film-film “sensitif” tersebut telah membuktikan bahwa memang Indonesia tidak dapat dipisahkan dari unsur keragamannya. Etnisitas dalam film yang muncul, dengan stereotipe-seterotipe yang dilekatkan tersebut menjadi menarik ketika film tersebut justru hendak menampilkan suara minoritas dari kelompok kaum tertentu. Dengan film, masyarakat dapat mengangkat identitas-identitas
tertentu yang
semula terabaikan. Wright (1959) mengatakan bahwa fungsi film berkaitan dengan sejarahnya dimana terdapat fungsi penyampaian warisan dari generasi kegenerasi (dalam Sejati, S 2011, hal.1).
I-11
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selaras dengan pemikiran kritis Khrisna Sen mengenai sinema Indonesia. Sen fokus untuk meneliti lembaga serta teks sinema pada tahun 1965. Bahwa sejarah Indonesia merupakan pertarungan bangsa dengan kepentingan negara. Dan pertarungan tersebut dimenangkan negara. Di kubu negara terdapat sekutu-sekutu tambahan yaitu kelompok ekonomi, etnis dan gender dominan. Walaupun begitu, kemenangan tidak dilihat bersifat mutlak atau bersifat final. Sen melihat sebaliknya adanya bentuk kerawanan dimana kaum elite merasa “takut” apabila posisinya digulingkan. Sen memberi contoh “ketakutan” penguasa kolonial yang melakukan penyensoran film impor dengan alasan bahwa film-film amerika dapat merusak harga diri orang-orang Eropa di Timur Jauh. Padahal hal tersebut dilakukan karena kecemasan akan posisi yang digulingkan (dalam Susanto, B 2005). Pada akhirnya masyarakat merasa “kehadiran” itu sehingga dampaknya film kemudian dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat perlu untuk memilah-milah ketika hendak mempercayai sebuah film karena tidak semuanya ditelan mentah-mentah karena film dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat sehingga sulit bagi masyarakat untuk memisahkan realitas yang sesungguhnya dengan representasi realitas yang dikonstruksi film. Walau memang film seringkali mengungkapkan realitas, namun perlu diketahui bahwa bukan sepenuhnya realitas yang ditampilkan. Film membentuk maknanya sendiri melalui tanda-tanda visual dan verbal yang ditampilkan. Menurut Sue Thornham, dalam Feminisme dan Film, film merupakan teks-struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna I-12
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
khusus (Gamble, S 2010). Sehingga film yang secara terus-menerus ditonton dapat dianggap sebagai realitas ‘alamiah’. Film seharusnya tidak dijadikan sebagai cerminan realitas karena bukan merupakan sepenuhnya gambaran atau stereotipe. Sutradara merupakan salah seorang pelaku yang mengambil andil cukup besar karena secara sadar atau tidak telah menyelipkan nilai-nilainya kedalam sebuah film tersebut. Tak jarang film dianggap sebagai propaganda karena makna yang dibentuk tersebut. Bahkan Denis McQuail (2011, hal.35) menyebutkan film sebagai ‘bisnis pertunjukan’ bagi pasar. Sependapat pula dengan Ashadi Siregar (dalam Nugroho, G 2005) bahwa film telah menjadi bisnis raksasa dari produksi dan pemasarannya. MetroGoldywin-Mayer, Paramount, Universal, Warner Brothers, dkk menandai awal mula film sebagai lahan industri. Pembuatan film berubah dari ide, visi dan kemampuan sinematografis dari tangan seseorang yang kemudian menjadi manajemen industri dengan sistem fabrikasi. Hal ini karena film memiliki kemampuan membentuk pola pikir masyarakat ketika film menjadi konsumsi sehari-hari. Film dapat menjadi produk propaganda yang disengaja maupun hasil fantasi bawah sadar. Secara tidak sadar, film secara terus menerus menghegemoni masyarakat. Hegemoni merupakan proses penciptaan, pelanggengan dan reproduksi makna dan praktik oleh pihak ‘atas’ (Barker, C 2013). Hegemoni ini terjadi melalui ideologi-idelogi yang ditampilkan dalam film. Ideologi bisa didefiniskan sebagai sistem representasi/penggambaran, ‘sebuah cara pandang’ terhadap dunia yang terlihat menjadi ‘universal’ atau ‘natural’ tetapi sebenarnya merupakan struktur kekuatan tertentu yang membentuk masyarakat kita (Gamble, S 2010).
I-13
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Senada dengan cirikhas yang mendasari manusia menurut filsuf kontemporer, Henry W Johnstone (Nugroho, G 2005) bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk membujuk maupun dibujuk. Masyarakat terhegemoni dan biasanya perempuan menjadi korbannya. Perempuan menjadi salah satu “objek” dalam film. Tentu perempuan disandingkan pula dengan laki-laki. Namun, penggambaran perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan cenderung digambarkan lemah, tak berdaya, emosional, dsb. Sedangkan laki-laki cenderung digambarkan kuat, pelindung dan menggunakan logika sehingga laki-laki digambarkan mampu menguasai emosi dan pandai menentukan keputusan. Perempuan juga seringkali dalam film dijadikan sebagai alat untuk memenuhi kesenangan laki-laki. Perempuan diperankan sebagai pendamping lakilaki misal seperti kekasih, tunangan, atau istri. Perempuan hanya menjadi kaum pendukung dalam film, tidak seperti laki-laki. Biasanya film beralur penuh permasalahan, dan kemudian muncul pahlawan sebagai penyelesai masalah. Kebanyakan peran tersebut hanya dimiliki oleh laki-laki. Seperti yang diungkap oleh Centre for the Study of Women in Televisi and Film di San Diego yang mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam karakter utama hanya 15% dengan 29%, sedangkan dalam karakter besar serta 30% untuk karakter yang mendapat peran berbicara (http://www.bbc.co.uk diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Laki-laki menjadi hero bagi kaum perempuan. Dipertegas oleh Mulvey bahwa citra yang tersedia dalam film disajikan dalam sosok pahlawan. Namun I-14
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sosok ini hanya disediakan untuk laki-laki. Perempuan hanya objek pandangan bukan subjek. Tubuh perempuan dierotiskan dan sering dipisahkan (Thornham dalam Gamble, 2010). Saat perempuan menjadi peran utama, peran itu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik, sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak perempuan yang penurut. “peran protagonis perempuan dalam film-film ini mungkin dimulai sebagai agen aktif yang kemudian berkembang menjadi objek pasif” (Gamble, 2010). Perempuan masih dianggap pelengkap dalam sebuah film. Amelia Butterly (wartawan BBC) mengatakan, “hanya 13% dari 100 film papan atas yang memiliki keseimbangan dalam karakter perempuan dan laki-laki” Bahkan di belakang layar pun, perempuan juga tidak terwakili secara seimbang karena hanya 16% sutradara perempuan, produser esekutif, penulis naskah, serta editor (http://www.bbc.co.uk diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Perempuan seakan disubordinasikan oleh kaum superioritas, yaitu laki-laki. Dikatakan oleh Gamble (2010) bahwa feminisme Amerika fokus pada gambarangambaran film sebagai citra-citra palsu tentang perempuan. Sharon Smith juga membuktikan dari semua penelitiannya yang menggunakan metodologi survei memusatkan serangan pada isu ‘sex-role stereotyping’ yaitu pembentukan stereotipe atas peran laki-laki/perempuan’ (Gamble, 2010). Hal ini mengundang perhatian untuk “mengungkap aspek kepalsuan serta penindasan pada tingkat tertentu dalam citra perempuan yang ditawarkan dalam film”. Dalam perspektif postfeminsme, setiap perempuan dianggap berbeda. Perempuan tidak dapat digeneralkan baik dari segi mana pun. Adanya keberagaman perempuan dapat pula dilihat dari I-15
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
keberagaman etnis yang dimiliki perempuan itu sendiri. Perempuan Batak berbeda dengan perempuan Jawa, begitu pula dengan sesama perempuan Batak akan berbeda satu sama lain. Sehingga apabila perempuan digeneralkan kemudian dibandingkan dengan laki-laki maka akan cenderung tidak adil. Dan perempuan yang seringkali didapati sebagai kaum yang tidak mendapatkan keadilan. Dalam budaya pun begitu. Budaya menjadi penguat kekuatan patriarkat yang kita jumpai dalam film. Tentunya, juga berdampak pada kuatnya sistem patrilineal. Dikatakan oleh Huyssen, “kritik modernisme terhadap budaya massa dan ‘serangan avant-garde pada seni tinggi sebagai suatu sistem pendukung hegemoni budaya selalu terjadi pada tumpuan seni
tinggi itu sendiri” (dalam
Brooks, 2011). Bahwa sifat dasar budaya yang semakin tersebar dan terfragmentasi menyebabkan sulit untuk memuat budaya dalam kategori aman atau institusi yang stabil. Diperjelas lagi oleh Stuart Hal bahwa subjek tersembunyi dari perdebatan budaya massa adalah “massa”, walau memang juga terdapat subjek tersembunyi lainnya. Film-film yang diterima oleh masyarakat dikonsumsi dengan konteks budaya yang berbeda. Film Demi Ucok merupakan film karya Sammaria Simanjuntak yang berkisah tentang seorang perempuan Batak ambisus. Perempuan ini bernama Glori Sinaga atau Glo (diperankan oleh Geraldine Sianturi). Ia tidak ingin seperti ibunya yang menikah kemudian melupakan impinya karena harus menjalankan hidup rutin selamanya. Ibunya, Mak Gondut bersikeras mencarikan anaknya “Ucok” disisa hidupnya karena ia telah divonis sakit dan umurnya tinggal setahun. “Ucok” yang dimaksud ialah sosok laki laki Batak idaman untuk Glo. Namun Glo I-16
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bersikeras untuk tidak menikah dulu, ia hendak mengejar mimpinya untuk membuat film keduanya. Glo bermimpi menjadi seorang sutradara terkenal. Namun, mimpi Glo bukanlah mimpi yang mudah untuk diwujudkan. Glo harus menerima kenyataan susahnya mencari orang yang akan menjadi produser dan investor untuk filmnya. Tekanan bertambah ketika Mak Gondut memaksanya terus untuk menikah dengan “Ucok”. Sebagai perempuan Batak, Mak Gondut, percaya bahwa kesuksesan seorang perempuan Batak diukur dari keberhasilannya membangun rumah tangga.Glo tidak setuju dengan pemikiran itu. Di sisi lain, Mak Gondut yang juga berambisi menikahi anaknya tersebut dengan “Ucok” akhinya menawarkan jalan keluar untuk mendanai filmnya, namun apabila Glo mau untuk menikah dengan sosok Batak yang diharapkan oleh Mak Gondut. Film ini mengungkapkan bahwa sistem patrilineal masih eksis dalam budaya Batak. Kekuatan sistem patrilineal tersebut dibentuk oleh Mak Gondut yang termasuk dalam kaum perempuan Batak juga (http://filmindonesia.or.id diakses pada tanggal 3 Mei 2014). Yang menarik dalam film ini, perlawanan yang dilakukan oleh perempuan dalam cerita film ini bukan untuk menghadapi kaum laki-laki, melainkan melawan kaum perempuan yang justru mendukung sistem patrilineal yang berlaku tersebut. Perlawanan kaum perempuan melawan kaum sejenisnya ini menjadi keunikan dalam film ini yang membedakannya dengan film-film lainnya. Perempuan dalam film ini juga tidak digambarkan memiliki bentuk fisik yang ideal seperti yang ditampilkan pada film. Mulai dari bentuk tubuh, sifat dan perilaku
yang
cenderung
maskulin
dan
memiliki
keterkaitan
dengan
I-17
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
penggambaran perempuan Batak dalam film. Dimana perempuan Batak digambarkan memiliki karakteristik yang dominan dan melawan. Melihat penelitian sebelumnya, terkait perempuan dan film, penelitian cenderung menganalisis representasi perempuan. Berikut beberapa penelitan yang menganalisis representasi perempuan dalam film: 1. Penelitian berjudul “Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A Kartini” (Dianingtyas, EA 2010). Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan metode analisis semiotik. Dengan menggunakan teori John Fiske,
peneliti hendak melihat
adanya ketidakadilan gender pada budaya Jawa yang identik dengan ideologi patriarkhi. Peneliti tersebut melihat bahwa perempuan selalu menjadi kaum pinggiran dan hanya dimanfaatkan untuk menghayati film. 2. Penelitian berjudul “Representasi Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita Karya Robi Erantanto Studi Analisis Semiotik” (Astuti, AP 2013) yang menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan teori Charles Sanders Pierce (teori Triangle Meaning). Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini hendak melihat ketidakadilan yang terjadi pada perempuan, bahwa adanya penindasan yang dilakuan kaum laki-laki yang menyebabkan perempuan menjadi korban.
I-18
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Namun, bentuk perlawanan tersebut ditujuan kepada kaum laki-laki. Berbeda dengan penelitian ini karena perlawanan yang dilakukan ditujukan pada kaum sejenis yaitu sesama kaum perempuan. Terdapat pula penelitian yang membahas resistensi perempuan yang juga dikaitkan dengan budaya. Penelitian tersebut ditulis oleh Aisha Aulia Rahma, mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Penelitian tersebut berjudul “Resistensi terhadap Ketidakadilan Gender di Papua melalui Fokalisator dalam Novel Tanah Tabu Karya Anindita S.Thayf”. Dalam penelitian tersebut, peneliti mengaitkan resistensi dengan budaya Papua sehingga berbeda dengan penelitian ini yang memakai budaya Batak dalam resistensi – resistensi yang dilakukan oleh perempuan Batak. Penelitian ini menganalisis resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem patrilineal budaya Batak. Peneliti tertarik karena film ini menampilkan dominasi sistem patrilineal yang justru diperkuat oleh kaum perempuan lain sehingga perlawanan yang terjadi ialah antar kaum perempuan. Disatu sisi perempuan Batak merasa perlu mengadakan perlawanan terhadap sistem patrilineal tersebut, kemudian disatu sisi perempuan Batak lain justru mendukung sistem patrilineal tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan sifat penelitian eksploratif. Peneliti menggunakan metode analisis wacana karena peneliti hendak mengungkapkan hal-hal apa saja terkait resistensi-resistensi oleh kaum perempuan Batak yang hendak diwacanakan dalam film.
I-19
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
I.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti
menarik rumusan masalah sebagai berikut: I.2.1
Bagaimana dominasi sistem patrilineal budaya Batak yang mensubordinasi identitas lainnya diwacanakan dalam film ini?
I.2.2
Bagaimana resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem patrilineal diwacanakan dalam film ini? a. Bentuk resistensi-resistensi apa yang dilakukan oleh perempuan Batak? b. Bagaimana negosiasi peran perempuan dalam ranah domestik dan publik?
1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1 Untuk mengungkap dominasi sistem patrilineal budaya Batak yang diwacanakan dalam film 1.3.2
Untuk mengeksplorasi resistensi-resistensi perempuan Batak dalam mendobrak dominasi sistem patrilineal dan mengungkap negosiasi peran perempuan dalam ranah domestik maupun ranah publik.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem
patrilineal budaya Batak dalam film Demi Ucok karya Sammaria Simanjuntak ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
I-20
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.4.1
Mengungkap dominasi sistem patrilineal budaya Batak yang hendak diwacanakan dan resistensi kaum perempuan Batak yang diwacanakan dalam film sehingga kemudian menyebabkan negosiasi peran dalam ranah domestik dan publik.
1.4.2
Memberikan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan postfeminisme serta kaum perempuan yang melakukan perlawanan terhadap sistem patrilineal yang berlaku.
1.5
Tinjauan Pustaka 1.5.1
Perempuan dalam Konsep Gender 1.5.1.1 Seks dan Gender Seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda namun saling berkaitan. Seks adalah kondisi biologis manusia dilahirkan. Sehingga seks mutlak hanya terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki. Disebut perempuan karena memiliki rahim, sementara laki-laki memiliki penis. Sedangkan definisi gender berbeda dengan definisi seks. Menurut Saparinah Sadli (2010, hal. 27), gender merupakan pembagian berdasarkan seksual biologi termasuk yang didalamnya karakteristik yang “dianggap” khas perempuan dan laki-laki. Adanya suatu pengakuan dalam mendefinisi diri sendiri mengenai diri baik sebagai perempuan atau laki-laki, yang merupakan interaksi kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan atau laki-laki.Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial I-21
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
laki-laki maupun perempuan, yang terbentuk oleh aspek-aspek seperti sosial dan budaya (Wiliam-de Vries, D 2006, hal. 3). Gender atau seksualitas merupakan sebuah konstruk sosial namun serngkali terjadi pemahaman yang keliru mengenai makna seksualitas yang dianggap sebagai fakta kromosomik atau seks itu sendiri. Meminjam sebutan Foucault bahwa gender adalah “akibat relasi kuasa-pengetahuan-kenikmatan” (Amili, MY 2004, hal.34). Gender tercipta melalui proses sosial dan budaya yang cukup panjang pada suatu lingkungan tertentu sehingga dapat berubah dari satu tempat ke tempat yang lain. Seringkali masyarakat keliru, dan menganggap bahwa seks dan gender merupakan sesuatu yang harus diterima secara taken for granted (Muslikhati, 2004, hal.18). Ditekankan lagi oleh Judith Butler bahwa gender merupakan struktur bersifat imitatif atau dampak dari proses imitasi, pengulangan serta performativitas (dalam Alimi, MY 2004, hal. 52). Identitas gender lahir sebagai akibat dari ekspresi gender. Sehingga tidak akan ada identitas gender tanpa ada ekspresi gender. 1.5.1.2 Peran Gender Peran gender (gender roles) adalah apa yang diharapkan, ditentukan atau dilarang bagi satu jenis kelamin tertentu (Handayani, CS Novianto, A, 2004, hal. 161). Peran gender seringkali
distereotipekan.
Stereotipe
gender
berarti
suatu
I-22
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
keyakinan tentang ciri sifat maupun karakteristik psikologis yang tepat pada laki-laki atau perempuan, maka berarti peran gender adalah perilaku yang akan terekspresi dalam peran sosial yang dijalankan. Peran gender yang seringkali diidentikan pada sifat atau ciri-ciri tertentu. Bem Sex-Role Inventory (BSRI) (dalam Handayani, CS Novianto, A, 2004, hal.161-162) menuliskan sifat atau ciri-ciri yang melekat pada dimensi feminim maupun maskulin. Untuk dimensi feminim, biasanya mencakup sifat atau ciri-ciri berikut: Penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasian; pendengar yang baik; hangat dalam pergaulan; berhati lembut; senang pada anak-anak; lemah lembut; mengalah; malu; merasa senang bila dirayu; berbicara dengan suara keras; mudah terpengaruh; polos/naif; sopan; dan bersifat kewanitaan.
Sedangkan
ciri-ciri
yang biasanya
dilekatkan pada
maskulin ialah: Mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri; berjiwa bebas/tidak terganggu dengan pendapat lain; berkepribadian kuat; penuh kekuatan (fisik); mampu memimpin atau memiliki jiwa kepemimpinan; berani mengambil resiko; suka mendominasi/ menguasai; punya pendirian atau berani bersikap; agresif; percaya diri; berpikir analitis atau melihat hubungan sebab-akibat; mudah mengambil keputusan; mandiri; egois atau mementingan diri sendiri; bersifat kelakilakian; berani bersaing atau berkompetisi; dan bersikap atau bertindak sebagai pemimpin.
Banyak pula anggapan lain mengenai sifat atau ciri-ciri pada dimensi feminim maupun maskulin. Sehingga memang cukup I-23
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
jelas terlihat bahwa sifat atau ciri-ciri ini pada dimensi feminim maupun maskulin tidak sama. Baik maskulin maupun feminim saling bertolak belakang. Sifat atau ciri –ciri yang dilekatkan pada kedua dimensi ini tidak hanya berbeda namun memang diinginkan untuk berbeda. Sehingga stereotipe ini muncul karena sifat atau ciri yang dilekatkan tersebut. 1.5.1.3 Ketidakadilan Gender Gender merupakan hasil konstruksi dimana memungkinkan munculnya ketidakadilan gender. Kontruksi yang disepakati oleh masyarakat menjadikan gender sebagai ideologi. Ketidakadilan gender ini muncul karena adanya kerancuan ideologi pada gender. Relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi rusak dengan adanya ideologi gender yang dominan mensubordinasikan perempuan atau marginalisasi yang dialami oleh perempuan. Karena sebagian besar ketidakadilan gender berada pada pihak perempuan. Walau memang keadilan gender dapat terjadi pada laki-laki, namun hal ini jarang. 1.5.1.3.1 Subordinasi (Penomorduaan) Perempuan Subordinasi ialah sebuah pembedaan perilaku pada salah satu identitas sosial (Wiliam-de Vries, D 2006, hal. 12). Dimana seringkali dialami oleh kaum perempuan. Tradisi, adat, bahkan aturan agama seringkali dijadikan sebagai alasan subordinasi perempuan. Sehingga peran I-24
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan
diabaikan
dalam
proses
pengambilan
keputusan. Perempuan tidak dibiarkan terlibat secara aktif dalam segala aspek karena dianggap kalah kuat dengan laki-laki. 1.5.1.3.2 Stereotipe pada Perempuan Stereotipe menentukan arah perilaku seseorang karena seringkali hal tersebut menentukan cara pandang suatu kelompok atau cara seorang berinteraksi (Sadli, 2010, hal. 24). Ini berarti ada batasan-batasan yang mana merupakan konstruksi-konstruksi identitas budaya (Said dalam Susanto, 2008). Banyaknya stereotipe pada gender menimbulkan
adanya
ketidakadilan,
yang
lagi-lagi
dominan dilakukan terhadap perempuan. Perempuan seakan memiliki banyak keterbatasan terkait peran gender yang dibentuk kepada dimensi feminim. Perempuan yang pulang
malam
dianggap
perempuan
tidak
benar,
perempuan emosional, lemah, penggoda, pendendam, hingga pelabelan perempuan tidak berpikir rasional seringkali menjadi bahan untuk menyudutkan perempuan. Ada lagi yang mengatakan, perempuan hanya patut untuk diamati dan dilihat saja (Kuntjara, 2003, hal.12). Inilah mengapa penampilan fisik menjadi salah satu bahan stereotipe bagi perempuan untuk mencapai titiik I-25
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“pantas” seperti yang diharapkan (Sadli, 2010, hal.31). Mengutip Murniati (2004, hal.6) dikatakan juga bahwa perempuan menikah disebut ‘sumangali”, sebab membawa keberuntungan suami. Ia menolong suami untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu dharma (kewajiban), artha (kesuburan dan kekayaan), serta kama (kenikmatan seks). Selain
itu,
perempuan
menikah
dipandang
sebagai
pembayar utang suami (Murniati, 2004, hal.6). Stereotipe umum juga mengatakan bahwa perempuan identik dengan kesetiaan (Munti, 2005, hal. 173). Sebagaimana dikatakan Haryatmoko (hal.129) mengenai dominasi laki-laki : Penguasaan atas wacana menjadikan dominasi laki-laki seakan seperti sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Bahkan situasi paling menyiksa dan tak bisa ditolerir nampak wajar.
Haryatmoko
menambahkan
dengan
memberi
contoh
seorang perempuan yang rela menanggung malu tidak mau mengungkapkan nama kekasih yang menghamilinya supaya nama baik dan karier lelaki itu tidak ternodai.Perempuan terhakimi oleh asumsi-asumsi yang distereotipkan pada perempuan. 1.5.1.3.3 Marginalisasi (Peminggiran) Perempuan Marginalisasi atau peminggiran kaum perempuan ini merupakan akibat dari subordinasi yang dilakukan terhadap perempuan serta stereotipe yang terbentuk I-26
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengenai perempuan. Perempuan tidak memiliki peluang, akses serta kontrol seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Dalam kerja, perempuan kurang memiliki tempat karena perempuan dianggap kurang mampu bila dibandingkan hasil kerja laki-laki. Itulah mengapa penggunaan istilah yang berkaitan dengan pekerjaan seringkali berbias gender. Kebanyakaan orang akan mengasoisasikan pekerjaan dengan laki-laki (Kuntjara, 2003, hal.17). Perempuan dicegah untuk masuk dalam ranah publik dimana pekerjaan berada (Sunarto, 2009, hal.42). Penyebabnya adalah adanya internalisasi nilainilai sosial, agama, budaya bahwa perempua tidak sama dengan laki-laki, termasuk dalam aspek kemampuan inteligensinya dan kapasitasnya memimpin di ruang publik (Sadli, 2010, hal. 304). Bahkan bentuk pekerjaan pun seringkali dipisahkan antara perempuan dan laki-laki, lagilagi perempuan mendapat peminggiran (subordinasi) dalam pekerjaan. Semisal pekerjaan sebagai artis,
perempuan
yang bekerja sebagai seorang artis (penghibur) kerap kali dikaitkan dengan isu-isu sensualitas/erotisme (Munti, 2005, hal. 118). Penerimaan perempuan dalam ranah publik tak sebaik penerimaan terhadap laki-laki, bahkan dalam segi I-27
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
upah yang diperoleh, perempuan memperoleh upah yang lebih sedikit bila dibandingkan laki-laki (Sunarto, 2009, hal.41). Pandangan ini merujuk pada isu perbedaan biologis
antara
laki-laki
dan
perempuan,
yang
menempatkan biologis laki-laki sebagai yang utama atau superior daripada yang lainnya sehingga berimbas pada masalah gender (Munti, 2005, hal.168). Hal itu dianggap sebagai ketimpangan gender. Sementara itu, sebagian besar perempuan memilih kawin untuk mendapatkan jaminan keamanan keuangan sama seperti mereka mendambakan cinta dan persahabatan (Then, 2008, hal.68). Perempuan tidak seharusnya bekerja dalam ranah publik. Menilik tahun 1950-an, perkawinan merupakan satu-satunya tujuan untuk mencapai standar hidup yang layak (Then, 2008, hal. 68). 1.5.1.3.4 Kekerasan pada Perempuan Ketidakadilan gender yang seringkali terjadi pada perempuan yaitu kekerasan. Telah cukup banyak kasus yang berkaitan dengan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan. Perempuan yang mengalami kekerasan paling banyak ketika dalam keluarga. Plato (dalam Suhelmi, 2007, hal.40)
melihat
menciptakan
bahwa
lembaga
ketidaksamaan
perkawinan
antara
laki-laki
telah dan
I-28
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan. Perempuan dianggap hanya memiliki peran dalam ranah domestik dan tidak memiliki kemampuan untuk memasuki ranah publik. Pertentangan atau konflik seringkali
menimbulkan kekerasan. Maka
seringkali
dikenal dengan sebutan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Simbolon dalam bukunya, mengutip beberapa pendapat penulis feminis: By patriarchal control they refer not just to individual husband and fathers controlling their wives and daughters, but also male dominated institutions controling women as a group. Patrilineal kinship is the core of what is meant by patriarchal control: the idea that paternity is the central social relationship (Simbolon dalam Irianto, 2003, hal.81).
Artinya
bahwa
pembatasan
terhadap
akses
kontrol
perempuan juga dilakukan secara institusional oleh kelompok kekerabatan laki-laki. Mengutip pandangan Leclerc (dalam Haryatmoko, hal 128) mengenai kaum perempuan: Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki (Annie Leclerc, 1999).
Telah terjadi proses ideologis yang bertanggung jawab atas perubahan dari sejarah yang seakan-akan sesuatu yang alamiah, dari budaya menjadi seakan sesuatu yang semestinya (Haryatmoko, 2010, hal.129). Maka benar I-29
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengenai fakta bahwa pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral/parental, dimana garis keturunan dihitung boleh melalui laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu), perempuan mendapatkan separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara laki-lakinya (Irianto, 2006, hal.32) 1.5.2
Resistensi (Perlawanan) Perempuan Ketidakdilan gender menyebabkan sulit untuk adanya kesetaran
antara perempuan dan laki-laki. Hal ini karena, sebagai berikut: 1. perempuan tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki 2. perempuan tidak diberi penghargaan yang sama dengan laki-laki Bahwa masih ada sebagian kelompok masyarakat yang menggunakan pola pemikiran tradisional-patriarkhi
dimana perempuan sesuai dengan
kodratnya yaitu mengurus ranah domestik, bukan ranah publik seperti lakilaki. Padahal gender dan kodrat tidaklah sama dan tidak bisa untuk disama-sama kan. Karena kodrat menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan. Misal, seorang perempuan seharusnya pintar masak karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masak-memasak. Kegiatan memasak ini sebenarnya dapat dilakukan oleh kedua sepasang suami istri, mereka dapat saling bertukar peran. Maka muncul resistensi atau perlawanan untuk mencapai kesetaraan tersebut. Namun, ketika berbicara perlawanan seringkali ada pandangan bahwa perlawanan hanya didasarkan atas struktur yang ganda I-30
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
seringkali bersifat kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu, dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkar (Lo and Gilbert dalam Susanto, 2008, hal 25). Sebenarnya tidak hanya itu, perlawanan juga dapat dilakukan dengan diam membisu ketika diperlakukan tidak berkenan, dalam hal ini perempuan hanya menerima saja (Irianto dkk, 2006, hal.59). Konsep mimpi merupakan salah satu bentuk resistensi. Dalam hal ini Novel karya Lan (2006) mengisahkan kehidupan manusia yang penuh dengan uang, seks, sekaligus cinta dan kebersamaan melihat mimpi sebagai tanda dimana kehidupan itu ada, Maka seperti inilah kutipan dalam novel tersebut: Aku butuh mimpi. Aku butuh hidup. Aku butuh asa. Ku butuh cinta. Aku butuh mimpi yang hidup tentang asaan cinta. Karena mimpi, hidup itu ada (Lan, 2006, hal.271).
Masih dalam konteks mimpi, ketika seseorang dalam keadaan penuh kita memandang segala permasalahan dari sudut pandang praktis dan harafiah, namun pada saat tidur dan bermimpi, masalah yang sama akan dilihat secara intuitif dan simbolis (Dee dkk, 2005, hal.2). Dibalik mimpi tersimpan makna simbolis yang mana mengandung pesan agar kita tidak “melarikan diri” dari kenyataan (Dee dkk, 2005, hal.9). Mimpi yang sesungguhnya diinginkan perempuan ialah kebahagiaan yang berkelanjutan, yaitu ketika ia berhasil memasuki institusi perkawinan itu sendiri. Institusi perkawinan memberikan perlindungan pada setiap hakhak perempuan (Burhanudin, 2002, hal.168). Dipertegas pula bahwa
I-31
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan yang dapat memahami mimpi, berarti mampu memahami diri sendiri (Dee dkk, 2005, hal.1). 1.5.2.1 Resistensi bagi Kaum Feminis Feminisme berkaitan dengan relasi perempuan dengan lakilaki yang menyangkut hak, status dan kedudukan perempuan baik di ranah domestik maupun ranah publik. Feminisme, berbedabeda sesuai realitas sosio-kulturalnya yang melatarbelakangi kelahiran, begitu pula dengan tingkat kesadaran, persepsi, dan tindakan yang dilakukan feminis. Feminis modern periode awal di Inggris berbeda dalam bentuk aktivitasnya dengan feminism abad 20. Muncul Spice Girls sebagai bentuk kehadiran kaum feminis untuk mendapat hak pilih (pertarungan suffragettes) dengan menunjukkan “girl power”. Germaine Greer dan Julie Burchill mengutarakan pandangannya dalam diskusi di radio BBc 4’s Woman Hour (Februaru 1999) bahwa feminisme berbeda menurut perbedaan kelas, pendidikan, kesempatan dan generasi (Hodgson, S Wright, dalam Gamble, S 2010, hal.3). Mulai tahun 1550-1700, kondisi pendidikan perempuan memang mengalami peningkatan namun masih ada larangan bagi perempuan untuk mendapat pendidikan pada tingkat universitas begitu juga keuntungan yang seharusnya didapatkan. Kondisi ini akibat sterotipe yang mengatakan perempuan tidak memiliki penguasaan
lebih
dibanding
laki-laki.
Selain
hambatan
I-32
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengenyam pendidikan, juga adanya keterbatasan mencapai kemandirian ekonomi. Kondisi ini mengakibatkan pernikahan menjadi salah satu solusi yang digunakan untuk bertahan hidup. Sebagian besar menerapkan bahwa semua kekayaan istri dan kekayaan yang diterimanya menjadi milik suami. Perempuan juga tidak
memiliki
hak
atas
anak-anaknya
dalam
aspek
perkembangan, pendidikan dan pengaturan karena menjadi hak penuh suami. Dalam mata hukum pun, anak menjadi milik ayah, dimana apabila suami-istri bercerai maka ayah dapat mencegah ibu untuk meghubungi anak-anaknya. Pada tahun 1550-1700 perempuan menentang kekuasaan patriarkhal (Gamble, S 2010, hal.5). Namun, sering berjalannya waktu, perempuan mulai diberikan hak dan kesempatan. Perempuan
mulai dapat
menghiasi dunia politik dan seni. Feminis secara umum diartikan sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan (diskriminasi) terhadap perempuan dalam masyarakat, tempat kerja, dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki dalam mengatasi kondisi tersebut (Muslikhati, 2004, hal.18). Feminis bukan hanya sebuah gerakan melainkan cara pandang untuk menilai keberadaan wanita dalam masyarakat dan pola relasi yang digunakan. Dikatakan secara tegas bahwa feminsime
I-33
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan untuk meghadapi manifestasi patriarkal yang berlaku selama ini. Kaum feminis memperjelas bahwa inferioritas hadir sebagai bentukan budaya, dan tidak bisa dihubungkan dengan kodrat. Sejarah menentukan pembangunan makna sehingga menimbulkan pengakuan publik. Permikiran pada waktu itu, filsafat klasik, kitab Injil, hingga gereja periode awal menganggap perempuan
sebagai
manusia
inferior
dengan
penguatan
interpretasi penciptaan Hawa sebagai “Posterior et inferior” (terakhir dan lebih rendah) sehingga masih berdasarkan kelompok maskulin (Gamble, S 2010, hal. 6). Sehingga sejarah membentuk makna yang didasarkan pada sumber-sumber yang dipercaya oleh sekelompok masyarakat tertentu. 1.5.2.1.1 Feminisme Gelombang Pertama Gerakan
feminis
dalam
era
Victoria,
memunculkan beberapa pembaharuan dalam hal posisi perempuan dalam sosial maupun hukum. Namun, beberapa memiliki pandangan yang berlawanan satu sama lain mengenai feminisme sehingga kontribusi feminisme gelombang pertama hanya dalam skala kecil (sempit). Salah satunya dengan memusatkan kampanye tertentu seperti universitas bagi perempuan, perlindungan terhadap anak
untuk
menyingkirkan
orang
lain.
Selain
itu
I-34
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kebanyakan aktivitasnya menggunakan bantuan laki-laki dalam masalah hukum dan birokrasi. Feminis gelombang pertama hanya memulai dari karya-karya individual untuk tujuan khusus. Momentum ini membangkitkan perhatian publik pada partisipasi penuh perempuan namun belum ada prestasi yang dihasilkan (Gamble, S 2010, hal. 34). 1.5.2.1.2
Feminisme Gelombang Kedua Feminisme
gelombang
kedua
telah
memunculkan dukungan dalam bidang akademik yaitu dalam bidang kajian perempuan (Women Studies). Namun dalam gelombang kedua ini telah retak karena perbedaan antar perempuan. Banyak yang telah percaya bahwa feminisme gelombang kedua ini telah berubah menjadi “postfeminisme”. Feminisme telah dianggap sebagai passe (sesuatu yang berlalu) menurut pandangan backclash (serangan balasan) ideologis, walaupun memang sebagian perjuangan yang dilakukan telah terpenuhi. Dikatakan bahwa
perempuan
menekakan
pada
persaudaraan
perempuan dam penindasan yang didapat serta kekuatan sebagai perempuan namun mengabaikan bahwa tidak dapat mengabaikan perbedaan yang seharusnya dikenal.
I-35
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.5.2.2 Resistensi bagi Postfeminis Istilah “postfeminisme” berawal pada tahun 1980-an dan selalu cenderung digunakan sebagai “tanda atas kebebasan dari belenggu-belenggu ideologis gerakan para feminis yang sudah ketinggalan zaman dan tak memiliki harapan” (Gamble, S 2010 hal.54). Dalam The Concise Oxford Dictionary edisi ke-9, feminisme didefinsikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan gagasan, perilaku, dsb, yang mengabaikan atau menolak gagasan feminis tahun 1960-an dan dekade setelahnya. Namun, kaum posfteminis tidak menganggap bahwa postfeminisme ini sebagai gerakan anti-feminis. Definisi “post” (postfeminisme) disini sebagai setelah masa tertentu namun bukan berarti sebagai penolakan pada yang sebelumnya (feminisme). Namun beberapa feminis melihat postfeminism sebagai penghinaan atau perjuangan feminis dan penolakan pada yang telah dicapai oleh kaum feminis. Tania Modleski, seorang feminis, melihat bahwa teks-teks yang ditulis oleh kaum postfeminis secara tersirat mengkritik dan merusak tujuan dari kaum feminis, seperti mengantarkan pada masa prefeminis” (Gamble, S 2010 hal.55). Begitu pula dengan Susan Faludi mengungkapkan, dalam The Backlash: The Underclared War Against Women, bahwa postfeminisme jelas merupakan respon keras atas ketetapan yang dibuat oleh feminis. I-36
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Ketika sejumlah perempuan yang lebih muda mendukung tujuan-tujuan feminis pada pertengahan tahun 1980-an (nyatanya, memang lebih banyak yang muda daripada yang tua) dan mayoritas perempuan menyebut diri sebagai feminis, media menyatakan bahwa feminis merupakan tren tahun tujuh puluhan dan bahwa “postfeminisme” adalah cerita baru yang dilengkapi dengan generasi yang lebih muda, yang diduga justru mencerca gerakan (Gamble, S 2010, hal.56)”.
Disatu sisi “post” berarti mengacu pada kondisi awal dalam hal kepercayaan ideologis. Namun disisi lain juga dapat berarti melanjutkan tujuan-tujuan dan ideologi awal yang diusung oleh istilah postfeminisme, namun memang dalam tingkat yang berbeda. Sheila Tobias dalam karyanya Faces of Feminism (Gamble, S 2010, hal.65) menuliskan bahwa feminisme harus tampil beda apabila feminisme hendak menyelamatkan masa yang akan datang. Tetapi kemudian memunculkan banyak pertanyaan mengenai perbedaan seperti apa yang harus ditampilkan sehingga inilah yang mendorong daya tarik postfeminisme. Germaine Greer menuliskan dalam bukunya berjudul The Whole Woman yang secara
jelas
melawan
ideologi
postfeminisme,
bahwa
“…feminisme berambut panjang, bercelana jengki dan memakai anting berjuntai, sedangkan postfeminisme berpakaian setelan seperti pekerja, berambut dan berlipstik tebal, suka pamer dan berperilaku menyimpang. Postfeminisme melihat perempuan dalam keberagaman. Seperti halnya pendapat yang dikemukakan Munti (2005, hal.174) mengenai perempuan lajang kosmopolit:
I-37
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sebagai lajang kosmopolit, mereka mengidentikkan diri mereka dengan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang, yakni gambaran (prototip) tentang perempuan yang cerdas dan berkualitas, memiliki wawasan luas, bebas dan mandiri, sukses juga aktif, memiliki karir yang cemerlang dibidangnya, serta memiliki komunikasi dan relasi yang luas dengan banyak orang. Di atas semua itu, kehidupan lajang dikaitkan dengan hasrat menikmati hidup sepuaspuasnya tanpa beban, sekaligus memiliki kemampuan dalam mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagai individu yang bebas dan percaya diri (Munti, 2005, hal. 174).
Bahkan pekerjaan tidak lagi dipandang oleh perempuan sebagai usaha
sampingan
dari
pekerjaan
utama
di
rumah
yang
mensyaratkan kepatuhan menaat aturan-aturan, yang berada dalam kendali laki-laki (Al-Sa’dawi, 2000, hal.52). perkawinan tidak lagi menjadi target utama pembuktian keberhasilan perempuan, sebagaimana disosialisasikan selama ini, bahwa “perempuan belum dikatakan sempurna dan berhasil jika belum menikah” (menjadi ibu) (Munti, 2005, hal. 175). 1.5.3 Perempuan dalam Budaya Patriarki Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu kaum feminis sosialis dan feminis radikal bahwa patriarki merupakan sebuah sistem otoritas yang dipegang oleh laki-laki yang fungsinya menindas perempuan melalui institusi sosial, politik dan eknonomi (dalam Munti, 2005, hal.43). Dimana budaya patriarki inilah yang menciptakan adanya perbedaan perilaku lakilaki dan perempuan, bukan akibat perbedaan biologis masing-masing. Sedangkan patrilineal merupakan bagian dari budaya patriaki itu sendiri. “Patrilineal descent is a rule that affiliates a person to kin of both sexes I-38
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
though males only” (Nanda dan Warms, 2013, hal.151), berarti sistem kekerabatan patrilineal ditentukan berdasarkan garis keturunan dari lakilaki (ayah). Budaya patriarki menyebabkan munculnya sistem patrilineal dimana kaum laki-laki pun memiliki otoritas dalam menentukan hubungan kekerabatan pada garis keturunan. Sementara ada lagi dinamakan sistem matrilineal, dimana keturunan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari perempuan (ibu). Walau dalam sistem matrilineal garis keturunan dilihat menurut garis perempuan (ibu), tetapi kontrol terhadap harta lebih berada pada saudara laki-laki
ibu
(mother’s
brother).
Ada
lagi,
sistem
kekerabatan
bilateral/parental, dimana garis keturunan dihitung boleh melalui laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu). Dalam sistem bilateral tersebut, perempuan hanya mendapatkan separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara laki-lakinya (Irianto, 2006, hal.32). Ini berarti dominasi kuat berada pada posisi laki-laki cenderung mensubordinasikan perempuan baik dari sistem kekerabatan manapun karena sama-sama memprioritaskan lakilaki dibandingkan perempuan. Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Simbolon dalam bukunya, mengutip beberapa pendapat penulis feminis: By patriarchal control they refer not just to individual husband and fathers controlling their wives and daughters, but also male dominated institutions controling women as a group. Patrilineal kinship is the core of what is meant by patriarchal control: the idea that paternity is the central social relationship (Simbolon dalam Irianto, 2003, hal.81).
I-39
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Artinya bahwa pembatasan terhadap akses kontrol perempuan juga dilakukan secara institusional oleh kelompok kekerabatan laki-laki. Pembatasan perempuan tersebut juga dilakukan dalam institusi perkawinan dimana garis keturunan menurut laki-laki (suami). Sedemikian besarnya dominasi sistem patrilineal untuk mengatur
kehidupan masyarakat,
bahkan hingga pada konsep perkawinan. Sifat masyarakat yang masih sangat patriarkhal juga mendukung hubungan kekuasaan yang timpang dan menyuburkan yang timpang antara laki-laki dan perempuan tersebut (Irianto, 2003, hal.19). 1.5.4 Konsep Etnisitas 1.5.4.1 Identitas Etnis Kata “etnis” dianggap menjadi suatu predikat dimana adanya peletakan identitas pada seseorang atau kelompok, atau individu-individu
yang
menyatukan
diri
dalam
kolektvitas
(Abdilah, U 2002, hal.15). Yang menjadi karakteristik dalam suatu kelompok etnis ialah adanya pertumbuhan atau perkembangan dari perasaan dalam satu komunitas (sense of community) diantara masing-masing anggota
kelompok
etnis.
Dari
sense
of
community
ini
memunculkan keterlibatan pada anggota. Menurut Nangen (dalam Abdilah, U 2002 hal.15), untuk dapat mengidentifikasi suatu etnis, terdapat dua pandangan pengertian, yaitu:
I-40
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1. sebagai sebuah unit objektif yang dapat diartikan melalui perbedaan sifat budaya seseorang, dimana bahwa adanya suatu identitas yang berdasarkan nilai objektif yang didapat dalam masing-masing anggota yang kemudian menjadi pembeda suatu etnis dengan etnis lainnya, atau 2. hanya sekadar produk pemikiran seseorang yang kemudian dinyatakan sebagai suatu etnis tertentu. Etnisitas merupakan hasil dari proses hubungan dimana interaksi menjadi hal yang penting dalam suatu kelompok, sehingga bukan karena proses isolasi. Maka, jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan orang luar, tidak ada namanya etnisitas (Abdilah, U 2002, hal.15). Erickson (Abdilah, U 2001, hal.16) menambahkan bahwa etnisitas muncul karena adanya jalinan hubungan, kontak serta adanya pertukaran gagasan dan ide-ide antara masing-masing anggota. Etnisitas juga hadir sebagai bentuk atau kerangka hubungan relasional dan interaksinya antara dunia luar dengan komunitas kelompok tersebut. 1.5.4.1.1 Sikap Etnosentrisme Entnosentrisme merupakan keyakinan mengenai perilaku kelompok budaya sendiri (seperti norma, cara berpikir,dsb)
yang
dianggap
bersifat
lebih
unggul
I-41
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dibandingkan kelompok budaya lain Priandono (2014, hal.200). Dalam hal ini Burhanuddin (2008, hal.192) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan adanya prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok mayoritas (dominan) dengan minoritas ialah etnosentrisme itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan Liliweri (2003, hal. 15), konsep etnosentris ini mewakili semangat
dan
ideologi
untuk
menyatakan
bahwa
kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Burhanuddin (2008, hal.192) juga mengemukakan bahwa etnosentrisme bersifat arbiter, artinya etnis manapun bisa bersikap etnosentris karena persoalannya hanya pada mayoritas
dan
minoritas.
Etnosentrisme
membawa
pengabdian individu ke titik ekstrim dimana individu tersebut tidak dapat mempercayai bahwa budaya lain yang terkait perilaku, norma-norma, cara berpikir, dan cara-cara menjadi sebagai baik atau layak bagi individu tersebut (Priandono, 2014, hal. 201). 1.5.4.2 Konsep Mayoritas dan Minoritas Pengertian mayoritas dan minoritas ini diberikan kepada kelompok suku bangsa, etnik, ras atau bahkan agama tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu. Ini sama halnya dengan mengulangi konstruksi yang sama yaitu menciptakan adanya I-42
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dikotomi-dikotomi baru seperti halnya dikatakan oleh Said (dalam Susanto, 2008, hal. 16) bahwa adanya dikotomi minoritasmayoritas,
pusat-pinggiran,
global-lokal
yang
secara
tidak
langsung mempunyai implikasi terhadap masalah “teritorial”, yakni batas-batas untuk menentukan siapa yang termasuk “kita” dan “mereka”. Batasan-batasan tersebut merupakan konstruksikonstruksi identitas budaya, yang menurut Said tidak dapat dilepaskan dari maslaah kepentingan dan kekuasaan. Dikotomi-dikotomi tersebut menghasilkan pertentangan antara dua identitas budaya yang dianggap mapan dan tetap bentuknya. Ketika Barat menciptakan Timur, maka demikian pula identitas minoritas muncul dengan adanya suatu kekuatan atau kekuasaan yang mensahkan dominasi mayoritas. Maka suara minoritas merupakan suatu bentuk resistensi untuk menggugat dominasi mayoritas. Tetapi jika identitas minoritas itu kemudian dibakukan seperti melembagakan sebuah departemen, maka masalah yang pertama, resistensi itu semu karena minoritas telah ikut
mensahkan
posisi
yang
semula
ditolaknya.
Kedua
pelembagaan itu menjadi sia-sia jika usaha minoritas itu berhasil, karena pada saat itu ia sudah bukan minoritas lagi. Lagi pula dikotomi dapat merupakan simplifikasi yang menyesatkan jika dianggap bahwa ia berkolerasi dengan hierarki kekuasaan. Perlu diingat bahwa hubungan mayoritas/ minoritas tidak selalu I-43
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berkolerasi
dengan
dikotomi
kekuasaan/tanpa
kekuasaan,
melainkan bisa juga sebaliknya. Masalah yang sama muncul pada dikotomi pusat-pinggiran. Sebagian kelompok budaya mengukuhkan identitasnya sebagai kelompok pinggiran dengan suara yang menggugat pusat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa posisi marjinal bersifat temporal dan historikal. Artinya suatu kelompok yang menduduki posisi marjinal pada suatu waktu
tertentu dapat saja berpindah posisi dan
menduduki tempat di tengah pada waktu yang lain. Posisi pusatpinggiran, seperti juga dikotomi mayoritas-minoritas juga bersifat relatif, karena tergantung dari sudut mana dilihatnya, apa yang dilihat dan siapa yang melihatnya. Konstruksi pusat-pinggiran seringkali juga bersifat elusif ketidak hendak dipastikan, karena kekuasaan dalam kebudayaan bersifat menyebar (Budianta dalam Susanto, 2008, hal. 21). Menurut John R. Hall, kelompok yang diuntungkan dalam matriks budaya yang ada “tidak selalu mendapatkan kemudahan ini melalui kekuasaan langsung dan orang-orang dari strata yang kurang diuntungkan tidak selalu dikesampingkan dari keterlibatan dalam aparatus budaya. Yang terjadi adalah menyebarnya seperangkat makna, objek dan tatanan yang berpengaruh dan menciptkan kekuasaan secara de fakto melalui meresap budaya dalam kehidupan kita sehari-hari.” (dalam Susanto, 2008, hal.21). I-44
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kekuasaan bukanlah sesuatu kapasitas atau entitas yang dimiliki oleh satu pihak, yang kemudian dapat ditransfer atau diambil alih oleh pihak yang lain. Bagi Faucault, kekuasaan diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana (Sarup dalam Susanto, 2008, hal. 24). Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, dari dan ke segala arah. Segala jenis hubungan dan interaksi bagi Foucault, juga berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaann ini mengejawantah dalam bentukbentuk diskursif, yakni melalui wacana. Sebagai modus untuk menyampaikan atau mengaktualisasikan pengetahuan, wacana secara langsung atau tidak langsung memproduksi kekuasaan, dan kekuasaan tak mungkin beroperasi tanpa pengetahuan. Menurut Faucault, kekuasaan berkaitan dengan pengawasan dan kontrol, yang tidak mesti dijalankan dalam bentuk represif (larangan atau hukuman), tetapi sebaliknya kreatif dan produktif, yakni sering dijalankan dengan penggunaan stimulasi (pembentukan hasrat). Dikatakan oleh Faucault (dalam Dhakidae, hal.63): Kalau kekuasaan semata-mata menindas, tidak mengerjakan apa pun selain mengatakan, tidak, apakah Anda sungguh-sungguh beranggapan orang akan mematuhinya? Apa yang membuat kekuasaan itu bertahan sebagai sesuatu yang baik, yang membuatnya diterima adalah semata-mata karena kenyataan bahwa kekuasaan tidak saja menimpa kita sebagai suatu kekuatan yang mengatakan tidak, akan tetapi bahwa kekuasaan itu bergerak [lintas batas] dan memproduksikan sesuatu, membawa kenikmatan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dilihat sebagai jaringan produktif yang
I-45
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
melilit tubuh sosial secara keseluruhan, jauh-jauh lebih daripada [sekadar] suatu hal negatif yang berfungsi menindas. (Foucault dalam Dhakidae, 2003, hal.63)
Di mana ada kekuasaan di situ pula ada resistensi, yang semuanya ada di dalam wilayah kekuasaan (Faucault dalam Munti, 2005, hal.9). Kekuasaan itu sendiri erat kaitannya dengan pengetahuan. Tidak ada praktik kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa Pengetahuan hanya mungkin berkembang di dalam wilayah kekuasaan. Begitu pun sebaliknya, kekuasaan selalu beroperasi melalui konstruksi berbagai pengetahuan. Namun, melalui wacanalah kekuasaan dan pengetahuan bertemu (Faucault dalam Munti, 2005, hal.10).
Identitas mayoritas bermula dari gejala yang tidak disadari dalam membentuk kategori ras, dimana ada tuntutan privilese agar diterima
sehingga menciptakan sebuah masyarkat rasial.
Kelompok minoritas merupakan kelompok yang kurang beruntung menjadi anggota sebuah organisasi, sebab mereka secara fisik maupun kultural merupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang dari kelompok dominan dalam perlakuan diskriminasi yang sering diberikan kepada mereka (Liliweri, 2005, hal 112). Konflik sering terjadi ketika kelompok minoritas disubordinasi dan terkekang oleh kelompok dominan (mayoritas) yang berkuasa. Muslihat ini bisa tidak dirasakan oleh korban atau bahkan disetujui oleh korban (Haryatmoko, 2005, hal.x). Dominasi, seperti dikemukakan Haryatmoko (2005, hal.x), bisa dalam bentuk-bentuk seperti
fisik,
ekonomi,
politik,
sosial,
budaya
atau
I-46
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
simbolik.Dikatakan bahwa masalah mayoritas dan minoritas tidak tergantung pada jumlah, tetapi terletak pada siapa yang terbanyak menguasai atau mendominasi apa dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2005, hal.113). Diperjelas oleh Multatuli (dalam Supriatno, 2009, hal.153) tentang posisi minoritas-mayoritas, “when a minority group into majority, it loses the spesific value, it initially gained by enlarging its number. It adopts all the errors of its defeated opponent, who, in their turn make a virtue of defeat”. Kaum minoritas memiliki peran spesifik yang berdampak pada kaum mayoritas (Supriatno, 2009, hal 153). I.5.5
Film dan Perkembangannya Kelahiran film pada abad ke-19 ditandai sebagai teknologi baru
setelah kemunculan media massa lainnya (koran, majalah, radio, maupun televisi). Fotografi pertama ciptaan Joseph Nicephore Niepce pada tahun 1826 mengawali perkembangan film. Kemudian pada tahun 1878 muncul istilah “gambar bergerak” dari hasil kumpulan gambar kuda berlari yang dilakukan oleh Edward Muybridge, Standford University, Inggris. Sehingga kemudian Muybridge disebut sebagai pencipta gambar rekaman/ film pertama (motion picture). Muybridge menggunakan zoopraxiscope (kombinasi zoetrope dan thaumatrope) dalam pembuatan gambar bergerak tersebut sehingga disebut sebagai pelopor teknologi gambar bergerak (motion display technologies). I-47
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Indonesia baru mengenal film pada tahun 1900, dimana film lebih dikenal dengan sebutan “gambar idop”. Film pertama kali diputar di Tanah Abang yang memperlihatkan perjalanan raja dan ratu Belanda di Den Haag. Namun memang tidak begitu mendapat respon baik dikarenakan tiket karcis yang mahal. Kemudian film berkembang, masuknya film-film impor dari Amerika yang saat itu masih diterjemahkan kedalam bahasa Melayu. Tahun 1926, barulah muncul film lokal pertama yang merupakan film bisu. Film tersebut berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film karya G.Krugel dan L.Heuveldrop ini tampil di teater Elite Majestic Bandung pada tanggal 31 Desember 1962. Film tersebut menjadi awal perkembangan film lokal di Indonesia. Mulai muncul film lokal lainnya seperti film berjudul Eulis Atjih, Lily van Java, dan Setangan Berloemoer Darah. Kemudian muncul film bersuara yang pertama kali hadir yaitu film “Nyai Dasima”, disusul kemudian “Zuster Theresia”, dsb. Muncul beragam film bergenre seperti genre film musikal, science-fiction, horor, cerita detektif, mythological, komedi, hingga thriller. Indonesia telah melahirkan film-film yang cukup bervariasi. Film diciptakan sebagai subjek, mengkonstruk realitas yang ada, kemudian diproyeksikannya kedalam layar. Sedangkan realitas hanyalah objek. Masyarakat tidak dibiarkan untuk mempengaruhi atau membentuk film, padahal realitas dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.
Sehingga
benar yang dikatakan oleh Karl Heider mengenai film bahwa “film hanya refleksi pasif dari budaya (bukan pembentuk budaya)”(Heider, 1991). I-48
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Yang perlu diingat pula, film merupakan lahan industri strategis bagi para pembuat film. “Pembuatan film kita pada umumnya tidak mempunyai kesadaran lingkungan, geografis, maupun sosial, sehingga mereka tidak pernah membuat film tentang lingkungannya yang Indonesia, karena itu film mereka bukan film Indonesia. Film-film mereka cuma rekaan dangkal dari impian dan obsesi mereka yang ditopang oleh semangat dagang yang berlebihan” (dikutip dalam Said 1991b: 193).
Denis McQuail (2011, hal.35)
menyebutnya sebagai ‘bisnis
pertunjukan’. Penulis Hikmat Darmawan (2007) juga mengungkapkan hal senada, mengatakan bahwa film-film sekarang “masih digerogoti penyakit deintelektualisasi”. Muncul anggapan bahwa film hanya berfokus pada keuntungan saja sehingga hanya melihat permintaan pasar. “…mengagung-agungkan para pembuat film dan gerakan-gerakan yang sebelumnya dianggap sebagai keterputusan-keterputusan atau patahan-patahan, tetapi […] kemudian dituliskan kembali sebagai perwakilan sinema nasional dengan mengabaikan praktik film populer (dan dengan demikian, arusutama), yang hampir seluruhnya bersifat komersial” (Zhang, Y 2009, hal. 23).
Ashadi Siregar (dalam Nugroho, G 2005) menyebut film sebagai sebuah “bisnis raksasa” dalam produksi serta pemasarannya. Bahwa memang terjadi perubahan dari pembuat film (film-maker) yang bermula dari gagasan atau ide yang dituangkan kedalam bentuk film, namun berubah dengan berorientasi pada keuntungan saja. Sehingga ide cerita hendak disampaikan seringkali terabaikan. Sejarah Indonesia merupakan pertarungan bangsa dengan kepentingan negara. Dan pertarungan tersebut dimenangkan negara (Sen dalam Susanto, B 2005). Walau begitu Sen mengatakan bahwa kemenangan itu tidaklah bersifat mutlak, artinya akan ada perubahan dimana posisi tersebut digulingkan. I-49
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Ashadi Siregar (dalam Nugroho, G 20005) mendefinisikan film sebagai teks kultural yang menawarkan suatu nilai alternatif di antara dominasi tersebut. film merupakan teks-struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna khusus (Gamble, S 2010). Hal ini berarti, film dapat memenuhi kebutuhan “tersembunyi” masyarakat (McQuail, 1987). Wright (1959) mengatakan bahwa fungsi film berkaitan dengan sejarahnya dimana terdapat fungsi penyampaian warisan dari generasi kegenerasi (dalam Sejati, S 2011, hal.1). Menurut Heider (1991) film terbagi kedalam dua kategori, yaitu: 1. Film Genre (Formula): film yang lebih melihat konteks budaya, bahwa film berakar dari suatu budaya. Disini, akar budaya terlihat jelas. 2. Film Auteur: film yang lebih mengutamakan kebebasan individu untuk berekspresi. Krishna Sen (1983; 1985) mengidentifikasi tahun 1965 sebagai momen paling menentukan dalam pembentukan narasi film Indonesia. Karya Sen berikutnya melanjutkan kritik ini dengan memfokuskan pada Orde Baru, dominasi dan kontrol terhadap industri film, termasuk keterputusan yang disengaja dari 1967. film Indonesia menggambarkan budaya nasional, melalui ekspresi, cerita, dan karakter yang tampak di layar (Karl Heider 1991).
I-50
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kehadiran film juga melahirkan peraturan. Namun, peraturan ini dapat menimbulkan kekerdilan sosial dimana ketika film menampilkan berbagai profesi, golongan dan etnis dalam bentuk “berbeda” tak jarang tercipta larangan-larangan yang dirasa berhak dilakukan karena telah mencoreng atau menyinggung suatu kelompok tertentu. Kemudian larangan-larangan ini lah yang membatasi ruang gerak para pembuat film (film-maker) ketika hendak mengeksplor cerita. 1.5.5.1 Kuasa Author pada Film Film diciptakan sebagai subjek dengan sistem kerja film yaitu mengkonstruk realitas yang ada kemudian diproyeksikannya kedalam layar menyebabkan film dapat mempengaruhi dan menghegemoni masyarakat melalui representasi realitas tersebut. Masyarakat seakan-akan menyadari setiap hal yang ada dalam film tersebut sebagai realitas sesungguhnya yang sebenarnya merupakan konstruksi produsen film itu sendiri (sutradara) terhadap realitas yang terjadi. Itulah sebabnya sub bab ini dirasa penting karena sutradara, yang disebut sebagai author, memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan representasi realitas tersebut. Author memiliki kuasa yang cukup besar terhadap film yang hendak dibuat sebagai hasil dari konstruksi yang dimaknai melalui realitas yang ada. Seperti yang dikemukakan oleh Handayani (2004, hal. 119) mengenai kuasa author itu sendiri bahwa memang walau tidak nampak dalam film tersebut, tetapi ia yang menentikan siapa yang I-51
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
boleh bermain hingga seperti apa alur film tersebut. Menurut Stokes (2006, hal. 55) film dapat diklasifikasikan dengan melihat siapa dibalik film (sutradara). Selain mengklasifikan film menggunakan genre, klasifikasi juga dirujuk sebagai auteur (bahasa Prancis dari “penulis”). Hal ini karena film-film memiliki para auteur sehingga dengan begitu dapat mengetahui akan seperti bagaimana film tersebut. Namun juga terdapat pendapat berbeda, pembaca atau dalam film disebut khalayak film (penonton) memiliki kuasa pula dalam memaknai film tersebut. Penentuan makna atau pengambilan kesimpula dapat dilakukan secara sepihak oleh khalayak. Hal ini berarti khalayak dapat menggantikan dan sekaligus menghilangkan peran author serta teks tersebut. El Fadi (2001, hal. xiii) menyebut ini
sebagai
jenis
“interpretative
depostism”
(kesewenang-
wenangan penafsiran) sehingga dengan begitu author yang menjadi Tuhan dalam film dapat dibatasi oleh khalayak itu sendiri. 1.5.5.2 Shot Kamera dalam Film Shot
kamera
dapat
digunakan
untuk
menunjukkan
penekanan makna baik pada aspek keluasan maupun hanya berfokus pada aspek kedalaman serta detail dalam film. Ini akan membantu peneliti dalam mengungkap wacana-wacana yang hendak ditampilkan dalam film. Dikatakan oleh Fiske (1987, hal.58) mid-shot atau close-up merupakan jarak normal kamera. I-52
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Adapun
beberapa
teknik
shot
kamera
beserta
maknanya
dikemukakan Chandler (1994) sebagai berikut : 1. Extreme Long Shot (XLS) Extreme long shot (XLS) memuat tampilan situasi atau kondisi dari setting sebuah scene. XLS biasanya digunakan pada awal scene sebab XLS seringkali digunakan untuk membangun background dari suatu scene. 2. Long Shot (LS) Long shot yang menampilkan tokoh beserta dengan setting yang jelas memungkinkan khalayak (penonton) untuk dapat melihat keadaan di sekitar subjek sehingga dapat memaknai sebagai subjek dengan setting yang ada. 3. Medium Shot (MS) Medium
shot
menampilkan
interaksi
tokoh
dengan
lingkungannya atau dengan tokoh lain. Sehingga khalayak (penonton) mampu memahami konteks hubungan yang tampak dan hendak ditampilkan dalam film tersebut. 4. Close Up (CU) Close Up mengambil shot yang sangat dekat mengekspos wajah tokoh sehingga dapat melihat detail wajah tokoh dengan lebih jelas. Dengan demikian akan tampak ekspresi dan emosi tokoh dalam film yang ditampilkan.
I-53
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.5.6
Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis / CDA) Kata wacana dapat menunjuk beberapa hal. Dalam pengertian
linguistik, wacana dikatakan sebagai unit bahasa yang lebih besar dibandingkan kalimat. Oleh karena itu, analisis wacana dalam studi linguistik dianggap sebagai reaksi dari bentuk lingistik formal yang lebih memperhatikan unit kata, frase, kalimat tanpa melihat keterkaitan unsur. Dalam lapangan sosiologi, merujuk pada hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana dianggap sebagai praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Dalam analisis wacana, bahasa dianggap sebagai aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap didalamnya (Eriyanto, 2001, hal.3). Titik singgung dari berbagai pengertian mengenai analisis wacana adalah
bahwa
analisis
wacana
berhubungan
dengan
studi
bahasa/pemakaian bahasa. Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pertama, pandangan dari kaum positivismeempiris. Bahasa dianggap sebagai jembatan antara manusia dengan objek dari luar dirinya. Salah satu ciri khas dari pandangan ini adalah ada pemisahan antara pemikiran dan realitas. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik)
(Eriyanto,
2001,
hal.4).
Kedua,
terdapat
pandangan
kontruktivisme yang menolak pandangan empirisme/positivisme karena I-54
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memisahkan subjek dan objek bahasa. Bahasa dianggap tidak lagi hanya dilihat sebagai alat memahami realitas objek belaka dan subjek sebagai faktor sentral. Tetapi subjek dianggap sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya, dan subjek memiliki kemampuan mengontrol maksud-maksud tertentu (Eriyanto, 2001, hal.4). Bahasa diatur dan dihidupkan melalui pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Maka analisis wacana menurut pandangan ini, untuk membongkar maksud-maksud dari makna-makna tertentu (Eriyanto, 2001, hal.5). Kemudian, pandangan ketika disebut pandangan kritis. Pandangan ini
muncul sebagai
koreksi
terhadap pandangan kontruktivisme.
Pandangan ini menganggap bahwa pandangan kontruktivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang sejalan dengan setiap wacana, yang sebenarnya memiliki peran dalam membentuk jenisjenis subjek tertentu dan perilaku-perilakunya. Dalam pandangan ini, analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran. Tetapi ditekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi dalam proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral karena dianggap bahwa ada hubungannya atau pengaruh dari kekuatan sosial dalam masyarakat. Bahasa bukan medium netral yang terletak diluar diri pembicara, namun bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategi-strategi di dalamnya. I-55
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang tercipta dalam setiap proses bahasa, yaitu batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang seharusnya digunakan dan topik yang diperbincangkan. Wacana melihat bahwa bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek dan tindakan representasi dalam masyarakat. Maka disini disebut sebagai Critical Discourse Analysis (CDA) untuk dapat membedakan antara analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (Discourse Analysis). Itulah sebabnya CDA digunakan peneliti sebagai metode analisis dalam penelitian ini. 1.5.6.1 Karakteristik Analisis Wacana Kritis Analisis wacana menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis namun bahasa dianalisis bukan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi memiliki peran lebih besar lagi yaitu menghubungkan dengan konteks. Hal ini berarti bahasa digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan. Analisis wacana dalam analisis wacana kritis Fairclough melihat bahwa bahasa sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2001, hal.7). Hal ini menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu
dengan
situasi,
institusi
dan
struktur
sosial
yang
membentuknya. Wacana dapat menampilkan efek ideologi dimana adanya produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antar kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok dominan dan I-56
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
non-dominan yang kemudian membedakan masing-masing sehingga direpresentasikan melalui posisi sosial yang ditampilkan. Keadaan rasis, seksis atau ketimpangan dipandang wajar dan memang seperti kenyataan. Disini, analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat yang terjadi tersebut. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial saling bertarung dan mengajukan versi masing-masing. Berikut karakteristik analisis wacana yang penting untuk diketahui bersama antara lain : 1. Tindakan Dalam hal ini, berarti wacana berkaitan dengan bentuk interaksi. Wacana ditempatkan sebagai ruang terbuka artinya tidak menutup diri dan tidak hanya internal. Seseorang yang berbicara, menulis atau menggunakan bahasa untuk berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain sehingga terdapat beberapa konsekuensi yang terjadi. Wacana berarti merupakan sesuatu yang bertujuan. Wacana diekspresikan secara sadar, terkontrol dan bukan sesuatu yang diluar kendali. 2. Konteks Wacana diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Karena bahasa bukan objek yang diisolasi tetapi dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam I-57
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
proses komunikasi karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, situasi, dsb. Wacana dibentuk sehingga harus dipahami dalam kondisi dan situasi yang khusus (Eriyanto, 2001, hal.10). Beberapa konteks penting dalam mempengaruhi prouduksi wacana yaitu: partisipan wacana dimana terdapat latar belakang partisipan
sehingga
membentuk wacana seperti umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dsb. Kedua, setting sosial tertentu seperti tempat (privat atau publik), suasana (formal atau informal), dsb. Oleh karena itu, wacana dipahami dan dimaknai juga dari kondisi dan lingkungan sosial, seperi halnya dalam penelitian ini. 3. Historis Karena wacana dipengaruhi konteks tertentu maka berkaitan pula dengan konteks historis tertentu. Pemahaman mengenai wacana teks hanya didapat apabila diketahui secara historis dimana teks tersebut diciptakan. 4. Kekuasaan Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun bukan suatu yang alamiah, wajar, atau netral namun merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis berhubungan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan ini penting karena berfungsi sebagai kontrol. Seseorang yang berkuasa dapat mengontrol orang I-58
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
lain atau kelompok lain melalui wacana. Kontrol yang dilakukan tidak melulu fisik tetapi mental dan psikis juga. Biasanya yang memiliki kontrol atau kuasa ialah kelompok dominan karena lebih mempunyai
akses
dalam
bentuk
pengetahuan,
uang
dan
pendidikan. Kontrol dapat berupa kontrol atas teks atau pun dalam bentuk mengontrol struktur wacana. 5. Ideologi Teks, percakapan, dsb merupakan bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi dibangun oleh kelompok dominan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi
tersebut.
Biasanya
strateginya
adalah
membuat
kesadaran pada khalayak bahwa dominasi tersebut diterima secara taken for granted. Ideologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, karena sifatnya yang sosial maka dibutuhkan share antar anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Kedua, ideologi menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi serta membentuk identitas diri kelompok sehingga membedakan dengan kelompok lainnya karena digunakan secara internal antar anggota kelompok atau komunitas. 1.5.6.2 Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough Analisis wacana model Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar mengenai hubungan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough melihat bahwa adanya pengaruh I-59
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sosial dan budaya dalam wacana yang muncul. Sehingga ia mengkombinasi tradisi analisis tekstual yang melihat bahasa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Yang menjadi fokus perhatian paling utama dalam model fairclough ini ialah bahwa bahasa sebagai praktik kekuasaan (Eriyanto, 2001, hal.285). Pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu sehiingga dibutuhkan analisis yang menyeluruh karena bahasa memiliki beberapa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis merupakan suatu bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial sehingga analisis dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan dibentuk melalui relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Karena memandang bahwa bahasa sebagai praktik sosial maka terdapat sejumlah implikasi. Pertama, wacana merupakan bentuk dari tindakan pada realitas dan khususnya bentuk representasi saat melihat realitas. Kedua, adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Fairclough membagai analisis wacana menjadi tiga dimensi, yaitu: teks, discourse practice, dan sosiocutural practice.
Teks dianalisis secara linguistik dengan melihat pada kosa kata, semantik dan tata kalimat sehingga membentuk pengertian. Analisis ini untuk melihat tiga masalah berikut: pertama, sesuatu yang ditampilan dalam teks bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, melihat relasi bagaimana kontruksi I-60
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hubungan dengan pembaca. Ketiga, dalam teks bisa jadi adanya konstruksi tertentu dari identitas yang ditampilkan.
Discourse practice adalah dimensi yang menghubungkan proses produksi dan konsumsi teks. Teks dihasilkan melalui proses produksi dalam cara spesifik dengan rutinitas dan pola kerja terstruktur.
Sedangkan sosiocultural practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan konteks yang ada diluar teks. Berikut skema analisis wacana model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001, hal.288):
Produksi
Teks
TEKS
Konsumsi
Teks
DISCOURSE PRACTICE SOCIOCULTURAL PRACTICE
Gambar 1.1
1.6
Skema Analisis Wacana Model Norman Fairclough
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian
eksploratif. Kemudian, peneliti menggunakan metode analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) model Norman Fairclough untuk menganalisis dataI-61
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
data yang telah dikumpulkan. Peneliti hendak mengungkap fenomena terkait resistensi-resistensi yang diwacanakan dalam film pada perempuan Batak mengenai sistem patrilineal yang mendominasi. Peneliti juga hendak menganalisis bagaimana sistem patrilineal budaya Batak tersebut kemudian mempengaruhi sebagian kaum perempuan Batak sehingga sepakat untuk melanggengkan sistem yang sebenarnya telah banyak menyebabkan keterbatasan ruang gerak perempuan Batak. Penelitian kualitatif ini bertujuan agar dapat menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data secara mendalam (Kriyantono, R 2006, hal.56). Itu sebabnya peneliti menekankan pada kedalaman (kualitas) data. I. 6.1 Tipe penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksploratif. Peneliti berusaha mengungkap fenomena yang berkaitan dengan wacana resistensi perempuan Batak dalam mendobrak sistem patrilineal yang berlaku sehingga tipe eksploratif tepat oleh peneliti. Hal ini agar peneliti dapat menggali data secara mendalam, tanpa pengoperasionalisasi konsep atau menguji konsep pada realitas yang diteliti (Kriyantono, R 2006, hal.67). I.6.2 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Karena sifatnya yang kritis, maka peneliti ingin mengungkap fenomena-fenomena apa yang diwacanakan dalam film terkait resistensi-resistensi perempuan Batak yang dilakukan sebagai respon dari dominasi sistem patrilineal yang ada melalui tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sociocultural practice. Disini peneliti I-62
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berasumsi bahwa resistensi yang dilakukan memiliki keterkaitan kuat dengan dominasi tersebut. Peneliti menyakini bahwa setiap resistensi yang muncul dipicu oleh alasan-alasan tertentu yang beragam sehingga tidak dapat digeneralisasikan. I.6.3 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah berupa teks (dialog, setting, tempat, dsb) yang menjadi data yang kemudian akan dianalisis oleh peneliti. Teks tersebut dianalisis untuk diketahui hal-hal yang mendasari resistensi perempuan Batak terhadap sistem patrilineal yang diberlakukan dan penguatan sistem patrilineal tersebut oleh kaum perempuan Batak itu sendiri. I.6.4 Unit Analisis Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menganalisis beberapa scene yang berkaitan dengan wacana perempuan, dominasi dan resistensi yang ditampilkan dalam film. Peneliti akan menganalisis unit analisis dalam film yaitu berupa narasi dan visualnya. Untuk narasi, peneliti akan menganalisis teks berupa bahasa verbal dan non verbal yang digunakan oleh aktor (pemeran utama hingga pemeran pembantu), voice over hingga lagu yang digunakan selama film ditayangkan. Sedangkan untuk tanda visualnya, peneliti akan melakukan analisa pada bahasa tubuh, atribut yang digunakan hingga setting (waktu, tempat dan kondisi) selama film berlangsung, begitu pula dengan melakukan indepth interview dengan pelibat teks (sutradara sekaligus penulis skenario dalam film). I-63
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
I.6.5 Teknik Pengumpulan Data Peneliti menggunakan data primer yaitu berupa tanda-tanda baik narasi maupun visual dalam film yang dapat membantu menjawab rumusan masalah penelitian. Peneliti melakukan indepth interview dengan pelibat teks (produsen teks) melalui e-mail sesuai kebutuhan data. Peneliti mengaitkan pula dengan kondisi sosial dan kultural sehingga dapat mengumpulkan data primer lebih dalam. Selain itu, peneliti juga melakukan pengumpulan data pustaka yaitu berupa buku, jurnal artikel, dan artikel yang berhubungan dengan penelitian ini seperti postfeminisme, film, perempuan Batak hingga sistem patrilineal yang berlaku. I.6.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan mengolah hasil analisis terhadap data primer text, discourse practice, sociocultural practice sesuai analisis wacana kritis model Norman Fairclough dengan dukungan data primer yang didapat oleh peneliti. Kedua data tersebut diolah sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil penelitian.
I-64
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II GAMBARAN UMUM KAJIAN PENELITIAN
II.1
Perkembangan Perfilman Indonesia Perkembangan film di Indonesia dimulai sejak tahun 1900 dimana
masyarakat Hindia Belanda mulai mengenal istilah gambar idoep. Pada saat itu, surat kabar Bintang Betawi memuat iklan mengenai gambar idoep tersebut. Iklan yang dibuat oleh De Nederlandsche Bioscope Maatschappij ditulis seperti berikut: “...besok hari rabo 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA didalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem..”
Setelah film perdana tersebut, setahun kemudian muncullah film kedua yang berjudul Euis Atjih. Kedua film tersebut membuka peluang bisnis dan menyebabkan pengusaha-pengusaha peranakan Cina kemudian menciptakan filmfilm Cina. Mulai tahun 1926 hingga 1930 merupakan film-film yang dikenal dengan istilah film bisu, karena pada saat itu film masih tanpa suara. Kemudian pada tahun 1931, pertama kalinya dibuat film “suara/bicara” yang dibuat oleh Hindia Belanda. Pada masa ini, perfilmanan masih didominasi oleh pengusaha peranakan Cina. Perkembangan film tidak sampai situ saja. Awal tahun 1932 sempat berkurang pengusaha film dikarenakan banyak yang mulai menutup usaha tersebut. Sementara itu, memasuki tahun 1937 muncul perusahaan Film Belanda Algemeen Nederlandsch-Indisch Film (ANIF) ditengah perusahaan film yang didominasi oleh pengusaha peranakan Cina. Perkembangan film di Indonesia pun berlanjut. Pada masa penjajahan Jepang, produksi film dimonopoli badan bentukan II-1
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
khusus yang disebut dengan Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Nippon Eiga Sha atau yang dikenal dengan Nichi’ei merupakan organisasi lain yang mengatur distribusi film saat itu. Setelah Indonesia merdeka, studio tersebut menjadi milik PFN. Pada masa itu, film yang beredar ialah film propaganda Jepang karena bercerita tentang tentara Nippon. Menariknya, film-film barat pada saat itu masih boleh beredar walau film Jepang terus masuk dan berproduksi di Indonesia. Pada saat itu, pihak Jepang hanya tidak memperbolehkan studio milik orang Cina beroperasi karena pihak Jepang kurang berkenan degan orang Cina. Jepang cukup banyak memfasilitasi panggung sandiwara karena digunakan sebagai alat propaganda. Berbeda halnya pada masa kemerdekaan Indonesia dimana peredaran dan produksi film sementara berhenti. Baru pada tahun 1948 kembali memproduksi 3 film sekaligus, yaitu: Air Mata Mengalir di Tjitarum buatan Tan & Wong, Anggrek Bulan, dan Jauh Dimata. Pada awal kemerdekaan, produksi film ditandai dengan semangat revolusi. Sehingga dalam sejumlah film tercermin nasionalisme bangsa Indonesia dalam melawan pemerintah kolonial Belanda. Perkembangan film pesat, dari yang hanya 8 film pada tahun 1949, meningkat menjadi 23 film pada tahun 1950, kemudian melambung tinggi mencapai 65 film pada tahun 1955. Kebangkitan ini disebabkan karena dua faktor, yaitu: pertama, munculnya perusahaan-perusahaan film milik orang pribumi Indonesia sendiri seperti Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang dibuat oleh Haji Usmar Ismail dan Perseroan Artis Indonesia (Persari)
yang dibuat oleh Jamaludin
Malik. Yang kedua, karena pada masa ini awal lahirnya persatuan pengedar film, II-2
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
seperti Ikatan Pengedar Film Indonesia (IPEFI) dan berdirinya organisasi importir yang disebut Gabungan Importir Film Indonesia (GIFI). Film Darah dan Doa (1950) yang dibuat oleh Perfini merupakan film yang menceritakan perjuangan revolusi rakyat Indonesia untuk menentang penjajahan Belanda yang hendak kembali. Film ini dikenal dengan The Long March. Film tersebut memiliki arti penting dalam sejarah karena merupakan awal pembuatan film nasional walaupun memang film Loetoeng Kasaroeng (1926) merupakan film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Salah satu keputusan kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 yaitu menetapkan hari shooting
pertama pembuatan film The Long March sebagai Hari Film
Indonesia. Kemudian pada 30 Maret 1950 ditetapkan sebagai Hari Film Nasional dengan kesepakatan bahwa Usmar Ismail (Perfini) dan Djamaludin Malik (Persari) sebagai Bapak Perfilman Nasional. Beredarnya film-film impor Amerika Serikat di Indonesia pada tahun 1950-an menyebabkan film nasional tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal itu karena kualitas gambar dan penyajian cerita film impor lebih diminati oleh penonton. Selain itu, film nasional lebih banyak ditayangkan pada bioskop kelas dua dan tiga. Dapat dihitung banyaknya film nasional yang ditayangkan pada bioskop kelas satu. Berbeda halnya dengan film-film impor Amerika Serikat yang lebih banyak ditayangkan pada bioskop kelas satu. Hal ini karena pemilik bioskop cenderung tidak menginginkan penonton ribut ketika menonton film nasional dengan mengganggu penonton kelas atas (kaum borjuis) yang umumnya berpendidikan tinggi. Ini akan berdampak pada pendapatan yang diterima oleh II-3
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pemilik sehingga hanya beberapa film nasional saja yang ditayangkan pada bioskop kelas satu. Selain itu, perkembangan film di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya Festival Film Indonesia (FFI) pertama di Indonesia dipertengahan tahun 1955 saat berlangsungnya pemilu. Perkembangan film juga ditandai dengan terbentuknya Pesatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) pada tanggal 10 April 1955 dimana institusi ini membawahi gabungan pengusaha bioskop di Indonesia sebagai wadah pemersatu. Sementara itu, penyelenggaraan FFI sempat terhenti setelah tahun 1955 dan kembali diselenggarakan pada tahun 1960 berkat dorongan sejumlah produser film. Walau begitu, FFI sempat terhenti kembali dikarenakan jumlah film yang diproduksi sedikit dan kalah bersaing dengan film-film impor. Namun kemudian PPFI, KFT, PARFI, GPBSI dan GASFI memprakarsai penyelenggaraan FFI tersebut sehingga kembali hadir pada tahun 1973 di Jakarta. Pada tahun 1955, perkembangan juga ditandai dengan didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Seiring perkembangan film terjadi pula peningkatan jumlah produksi film. Berikut merupakan tabel produksi film di Indonesia sejak tahun 1945-1955: Tahun Produksi
Jumlah Produksi
1945 1946 1947 1948 1949 1950 1951 1952 1953 1954 1955
3 film 8 film 23 film 40 film 50 film 41 film 60 film 65 film
Tabel 1 Tabel Produksi Film Di Indonesia Sejak Tahun 1945-1955
II-4
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Memasuki tahun 1964, dunia perfilman berkembang dengan masuknya isu politik dalam film. Organisasi produksi film (PPFI) dan pekerja film (Sarbufis) saling berselisih paham mengenai arus film impor. Sarbifi (Sarekat Buruh Film Indonesia), yang merupakan profesional industri film Indonesia tertua, didirikan tahun 1951, menggabungkan diri dengan
SOBSI (Sarekat Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia) serta organisasi buruh yang berhubungan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Sarbufi kemudian berganti nama menjadi Sarbufis dengan menambahkan “Seni Drama”. Sarbufis terdiri dari para pekerja teknik film maupun studio dan merupakan bawahan LEKRA yang memiliki kebijakan yang mengacu pada nasionalisme ekonomi berupaya mengembangkan produksi film lokal dan membatasi impor film Amerika. Tahun 1955-1956, bermunculan pula organisasi profesional. Yang paling menonjol ialah organisasi produser, PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) dan organisasi artis film PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia). Peraturan pemerintah serta desakan film asing yang masuk pada saat itu (memasuki tahun 1957) menyebabkan kekhawatiran pada perusahaan film dalam negeri. Itu sebabnya, pada 19 Maret 1957 Usmar Ismail atas nama PPFI memutuskan untuk menutup semua studio karena dominasi film asing. Penutupan tersebut ternyata mendapat tanggapan keras dari Lekra dan Sarbufis. Maka, 23 Maret 1957 diadakan pertemuan antara pengusaha dan pekerja film yang tergabung dalam Sarbufis, Parfi dan PPFI untuk membahas kondisi tersebut. Sarbufis kemudiann memberikan surat tuntutan agar pemerintah melakukan tindakan preventif. Sarbufis menuntut pula agar membatasi film-film II-5
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Amerika dan ada screening terhadap importir film nasional. Sarbufis menuntut pelarangan film secara total sebagai respon atas dugaan dukungan AS pada pemberontakan PRRI/Permesta yang pecah di Sumatera dan Sulawesi. Muncul ketegangan dalam perfilman Indonesia memasuki tahun 1960 karena hal tersebut. Lekra diikuti dengan organisasi lain seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang merupakan organisasi mantel PNI (Partai Nasional Indonesia) serta Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia) yang merupakan organisasi mantel Partindo (Partai Indonesia) ikut mempropagandakan konsep “politik adalah panglima” dalam kebudayaan yang diserukan PKI. Tahun 1959, Lembaga Film Indonesia (LFI) dibentuk sebagai bagian dari Lekra, sebagai bentuk perhatian khusus terhadap film. NU pun ikut bergabung membentuk lembaga Kebudayaan Islam (Lesbumi) pada 29 Maret 1962 sebagai respon pada pengaruh Lekra dalam komunitas artistik. Djamaludin Malik pada saat itu memiliki posisi kuat dalam partai Nadhatul Ulama (NU) tersebut serta Usmar Ismail yang menjabat sebaagi ketua Lesbumi. Hal tersebut menunjukkan bahwa memang Lesbumi memberikan perhatian pada film lebih dibandingkan Lekra karena dalam Lekra tidak ada satu pembuat film yang mengambil posisi penting.
Bahkan
Basuki Effendy, merupakan salah satu sutradara film sudah tidak pernah lagi membuat film. Berikut merupakan tabel produksi film sejak tahun 1956-1969 : Tahun Produksi 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964
Jumlah Produksi 36 film 21 film 19 film 16 film 38 film 37 film 12 film 19 film 20 film
II-6
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1965 1966 1967 1968 1969
15 film 13 film 14 film 6 film 9 film
Tabel 2 Tabel Produksi Film Sejak Tahun 1956-1969
Apabila dilihat dari tabel jumlah produksi film tahun 1956-1969, terjadi penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 1956, produksi film sekitar 36 film dan terus mengalami penurunan hingga tahun 1969 yang hanya mencapai 9 produksi film saja. Seperti penjabaran sebelumnya bahwa pada masa-masa tersebut terjadi tekanan politik yang menyebabkan produksi film di Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 1970-1991, teknologi produksi film dan era perbioskopan mengalami perkembangan, sementara itu juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 akhirnya didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul kemudian dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar tersebut menyebabkan terjadinya monopoli dan ini berimplikasi pada timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil karena jumlah penonton kerap kali diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar tersebut. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape yang memungkinkan adanya penyebaran film secara tidak legal. Oleh karena itu, perfilman Indonesia sempat mengalami mati suri karena hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun pada periode 1991-1998. Sementara itu, film-film Indonesia seringkali hanya didominasi oleh film-film bertema seks yang tentu meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini II-7
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ditunjang pula dengan pesatnya kemajuan televisi swasta, serta munculnya berbagai teknologi seperti VCD, LD dan DVD yang merupakan pesaing baru dunia perbioskopan. Bertepatan dengan era tersebut lahirlah UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan dalam prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya yang ternyata kurang menguntungkan menyebabkan para pembuat film tidak lagi mau untuk mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat. Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991. Sedangkan sejak periode 1998 hingga sekarang, dianggap sebagai periode tahun kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan tersebut muncul dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan
II-8
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini, jumlah produksi film Indonesia terus mengalami peningkatan pesat walau memang masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, muncul Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun lamanya mendominasi perbioskopan. Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha untuk menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. II.1.1 Film Bertemakan Etnisitas di Indonesia Seiring perkembangan film yang dijelaskan diatas, film yang mengangkat tema etnisitas juga kian bermunculan di Indonesia. Film bertemakan etnisitas ini menampilkan kehidupan masyarakat etnis tertentu dengan kekhasan masing-masing etnis. Perkembangan perfilman tersebut juga ditandai dengan munculnya film-film yang memunculkan etnis Batak didalamnya. Berikut ini merupakan beberapa film Indonesia yang mengangkat etnis Batak: II-9
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.
A Sing Sing So (1963) A Sing Sing So merupakan film yang dirilis pada tahun 1963 yang mengisahkan seorang gadis Batak dengan pacarnya yang buta. Lalu datang gadis penolong dari kota yang ingin mengobati kebutaan pemuda tadi dan berhasil. Setelah lama tak ada kabar, sang gadis menyusul ke kota. Ternyata pemuda buta yang sudah melek tadi sudah pacaran dengan gadis penolongnya.
2.
Bulan di Atas Kuburan (1973) Bulan di Atas Kuburan merupakan film tahun 1973 yang disutradarai oleh Asrul Sani. Kisah
berawal
dari
sosok
Sabar
yang
memamerkan suksesnya hidup di Kota kepada orang-orang menyebabkan
kampungnya
sehingga
Tigor dan Sahat datang ke
Jakarta, namun ternyata Sabar tinggal di gang
Gambar 2.1 Film Bulan di Atas Kuburan
kampung kumuh dan hanya seorang sopir oplet. Maka(Tahun akhirnya, 1973)Sahat dan Tigor harus berusaha hidup di Jakarta dengan caranya masingmasing. Produser Sutradara Penulis Pemeran
Sjuman Djaya Asrul Sani Asrul Sani, Sitor Situmorang Rachmat Hidayat, Kusno Sudjarwadi, Aedy Moward, Kris Biantoro, Sofia (Sofia WD), Chitra Dewi, Sam Suharto, Muni Cader, Mutiara Sani, Yana Yuanita
II-10
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.
Secangkir Kopi Pahit (1985) Secangkir Kopi Pahit merupakan film tahun 1985 yang disutradarai oleh Teguh Karya.
Film
ini
bercerita
tentang
pengharapan besar orang tua kepada seorang anak, bernama Togar, untuk menjadi sarjana ekonomi dimana kenyataanya Togar lebih berbakat dibidang jurnalistik. Akhirnya,
Gambar II.2 Secangkir Kopi Pahit (Tahun 1985)
Togar malah menjadi seorang buruh kasar di pabrik. Disanalah ia bertemu dengan Lola, kekasihnya. Banyak kisah yang menimpah Togar dalam hidupnya diungkapkan dalam film. Hal ini karena kecerobohannya dan ketidakbersyukurannya menjalankan kehidupan. Produser Sutradara Penulis Pemeran
Musik Sinematografi Penyunting Durasi
PT. Interstudio Teguh Karya Teguh Karya Rina Hasyim, Alex Komang, Ray Sahetapy, Maruli Sitompul, Dewi Yull, Sylvia Widiantono Eros Djarot Tantra Suryadi George Kamarullah 100 menit
4. Naga Bonar (1987) Naga Bonar merupakan salah satu film komedi situasi tahun 1987 dari Indonesia yang mengambil latar peristiwa perang kemerdekaan melawan
Indonesia
kedatangan
ketika
pasukan
sedang Kerajaan
Belanda paska kemerdekaan Indonesia di
Gambar 2.3 Naga Bonar (Tahun 1987)
II-11
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
daerah Sumatera Utara. Naga Bonar meurpakan bekas tukang copet tanpa pendidikan, yang naif dengan rasa setia kawannya besar, tetapi juga memiliki sifat jujur dan nekat. Ia mengangkat dirinya menjadi seorang komandan pada sebuah laskar dan berjuang melawan Belanda. Ia juga terlibat cinta dengan Kirana, gadis anak dokter yang berpihak kepada Belanda. Juga terdapat banyak kisah-kisah zaman perang dituturkan, termasuk persahabatannya dengan Bujang dan sikap patuhnya pada ibunya yang dikemas dengan komedi. Sutradara Penulis Pemeran Musik Durasi
MT Risyaf Asrul Sani Nurul Arifin, Deddy Mizwar, Wawan Wanisar, Roldiah Matulessy, Piet, Pagau Frankie Raden 95 menit
5. Film Rokkap (Rongkap) (2010) Film Rokkap (Rongkap) yang berarti jodoh/pasangan hidup merupakan salah satu yang dirilis di Bioskop pada tanggal 21 Oktober 2010. Film produksi Promised Land Pictures ini disutradarai oleh 3 sutradara yaitu Bm Joe, Ginanti Rona Tembang Sari, dan Hendra ‘pay”. Film Rokkap bercerita tentang
Gambar 2.4 Film Rokkap (Tahun 2010)
kisah seorang perempuan Batak Tunaetra bernama Lingga dengan seorang laki-laki yang berprofesi sebagai fotografer bernama Bow yang menjalin cinta namun terhalang oleh orang tua. Film ini menyuguhkan aroma kental suku Batak. Mulai dari bahasa yang dipakai (bahkan sampai ditranslate ke bahasa Indonesia), II-12
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
adat penikahan, alat musik, bahkan untuk melengkapi semuanya itu Anda akan dimanjakan dengan keindahan panorama Danau Toba. 6.
Naga Bonar Jadi 2 (2007) Nagabonar Jadi 2 adalah sebuah film Indonesia tahun 2007 yang merupakan sekuel dari film Naga Bonar (1987). Film ini berputar tentang
hubungan
(Deddy Mizwar)
Naga dan
Bonar
putranya,
Gambar 2.5 Film Nagabonar Jadi 2 (Tahun 2017)
Bonaga (Tora Sudiro) dalam suasana kehidupan anak muda metropolis. Untuk memulai bisnis, Bonaga berniat menjual tanah milik ayahnya yang disana terletak kuburan keluarga Naga Bonar. Akhirnya timbul konflik perbedaan nilai diantara mereka. Dalam film ini, Nagabonar menunjukkan keahliannya mencopet sebanyak tiga kali. Produser Sutradara Penulis Pemeran
Musik Penyunting
Tyas A Moein Deddy Mizwar Musfar Yasin Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Uli Herdinansyah, Darius Sinathrya, Michael Muliadro Thoersi Argeswara Tito Kurnianto
7. Film Mursala (2013) Mursala adalah film drama Indonesia tahun 2013 yang bernuansa budaya Batak. Film ini disutradarai oleh Viva Westi. Film ini mengangkat cerita budaya Batak tentang 70 marga yang berbeda dan tidak boleh menikah hingga kini, seperti marga Simbolon dan Saragih. II-13
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Film
ini
juga
menampilkan
keindahan
panorama Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Film ini menceritakan tentang percintaan antara Anggiat dan Clarita yang kandas karena kedua
marga
mereka
“Simbolon"
dan
"Saragih" yang ternyata masuk ke dalam
Gambar 2.6 Film Mursala (Tahun 2013)
larangan adat yang tidak memungkinkan keduanya untuk menikah kecuali keluar dari adat marganya masing-masing. Produser Sutradara Penulis Pemeran
Musik Durasi
II.2
Anna Leiden Sinaga Viva Westi Rio Dewanto, Titi Sjuman, Mongol, Anna Sinaga, Tio Pakusadewo, Rudy Salam, Raja Bonaran Situmeang, Roy Ricardo, Elza Syarief Iwan Fals 100 menit
Film Demi Ucok Sebagai Subjek Penelitian Demi Ucok merupakan salah satu film bergenre drama-komedi karya
Sammaria Simanjuntak yang rilis pada 3 Januari 2013 lalu. Pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2012 film ini berhasil meraih 8 nominasi dan juga membawa pulang 1 piala pada kategori Aktris Pendukung Terbaik untuk salah satu aktrisnya, Mak Gondut. Demi Ucok mengisahkan seorang perempuan Batak bernama Gloria Sinaga atau Glo (diperankan oleh Geraldine Sianturi), yang menjalani kehidupannya dengan latar belakang nuansa budaya Batak yang cukup kental. Ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mengejar mimpinya menjadi sutradara atau mengikuti orang tuanya dan menguburkan impiannya tersebut. Alur cerita film ini memang lebih condong pada ambisi orang tua dan idealisme seorang anak.
II-14
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Glo terlahir sebagai anak dari sepasang suami istri yang sama-sama bersuku Batak dengan tipe keluarga tradisional. Ayah Glo sudah meninggal sejak Glo kecil sehingga sebagian besar hidup Glo dibesarkan sepenuhnya oleh Mama Glo atau yang dikenal dengan sebutan Mak Gondut (diperankan oleh Lina Marpaung, ibu kandung Sammaria). Glo tidak hanya tinggal dengan Mak Gondut, nenek (atau
Gambar 2.7 Film Demi Ucok (Tahun 2013)
disebut Ompung dalam bahasa Batak) juga ikut tinggal bersama dengan Glo dan Mak Gondut. Glo pun beranjak dewasa dengan asuhan dan didikan Mak Gondut serta Ompungnya. Glo juga memiliki dua orang teman akrab yang setia menemaninya sejak kecil hingga dewasa, Nikki (diperankan oleh Sairah Jihan) dan Acun (diperankan oleh Sunny Soon). Nikki merupakan peranakan Batak campuran, ia bekerja sebagai penjual CD. Sedangkan Acun, laki-laki cina yang memiliki cita-cita besar menjadi seorang penyanyi terkenal walau kenyataannya Acun hanya bekerja menjadi seorang pegawai kantor. Konflik dalam film ini berawal dari sikap keras orang tua maupun Glo. Orang tua Glo, terutama Mak Gondut, bersikeras agar Glo segera menikah. Mak Gondut ingin anaknya menikah dengan laki-laki berdarah Batak. Mak Gondut ingin Glo seperti dirinya yang akhirnya menikah dengan laki-laki Batak yaitu seperti sosok Ayah Glo. Sepenggal kisah tentang Mak Gondut, diceritakan bahwa dulu saat Mak Gondut masih muda ia berani untuk meninggalkan cita-citanya sebagai wanita karir. Ia mengakhiri perjuangannya meraih cita-cita dan menikah II-15
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dengan laki-laki Batak yaitu Bapak Glo. Mak Gondut hidup melayani suaminya dan membesarkan anaknya seperti halnya seorang ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, Mak Gondut menginginkan Glo juga mengikuti jejaknya sebagai perempuan Batak yang taat pada suami dengan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mak Gondut menganggap bahwa perempuan Batak yang baik adalah perempuan yang memiliki suami Batak, mertua Batak dan anak Batak. Mak Gondut cukup bangga dengan
sukunya
atau
dapat
disebut
memiliki
sifat
etnosentris.
Ia
mengumpamakannya dalam bentuk anjing peranakan dan campuran. Semakin berharga atau bernilai apabila anjing tersebut mengawini anjing yang memiliki jenis yang sama dibandingkan anjing campuran. Sedangkan Glo, sudah bertekad sejak dulu untuk menjadi seorang sutradara terkenal. Ia tidak ingin seperti Mak Gondut: menikah, melupakan impiannya, dan hidup rutin
selamanya.
Maka
mencapai
Gambar 2.8 Glo Bersama Mak Gondut dalam Salah Satu Secne Film Demi Ucok
keinginannya dan mengejar cita-citanya, Glo sempat membuat sebuah film. Walau film perdananya tersebut belum dapat dikatakan berhasil, namun semangatnya tak lekas luntur. Ia kembali berencana membuat film keduanya. Dengan tekad yang kuat, ia berencana membuat film kedua dengan keluar dari pekerjaannya. Namun, Mencapai mimpi memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Untuk menciptakan sebuah karya film memang dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Glo tidak memiliki dana untuk
II-16
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
membuat film keduanya tersebut. Apalagi setelah ia keluar dari pekerjaannya dan kartu kredit Glo diblokir oleh Mak Gondut. Walau begitu Mak Gondut masih memberikan solusi untuk Glo. Mak Gondut menjanjikan akan mendanai biaya produksi filmnya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu Glo mau dijodohkan dengan laki-laki Batak pilihan Mak Gondut. Apalagi dengan vonis bahwa Mak Gondut sedang sakit yang umurnya tinggal setahun. Di sisa waktunya, Mak Gondut masih bertekad mencari "Ucok", sosok Batak
Gambar 2.9 Sammaria Simanjuntak, Sutradara Film Demi Ucok
idaman buat Glo. Disinilah Glo harus memutuskan untuk mengikuti perintah orang tua, atau kah mengejar impiannya menjadi seorang sutradara terkenal tetapi menjadi anak durhaka bagi Mak Gondut. II.2.1 Sammaria Simanjuntak, Sutradara Film Demi Ucok Isu seputar hubungan ibu-anak masih menarik perhatian Sammaria Simanjuntak, sutradara film Cin(T)a yang mengangkat tema cinta dan perbedaan agama. Cin(T)a konon menyentuh banyak pihak yang merasa dekat dengan kisah cinta beda agama. Seperti mencoba peruntungan dengan formula yang dekat dengan kehidupan hampir semua perempuan usia dua puluhan, Sammaria kemudian menghadirkan Demi Ucok, film komedi yang mengangkat hubungan antara ibu dan anak perempuannya. Pemutaran pertama film tersebut bertepatan dengan Hari Ibu 22 Desember 2011 lalu di Bandung. II-17
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Film ini sempat menuai kontroversi karena terdapat aksi protes keras dari warga Bandung di dunia maya karena dalam film ini terdapat adegan anjing yang bernama Bobot memakai kostum Persib (Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung). Tim produksi film Demi Ucok meminta maaf dengan menanggapi protes yang disampaikan beberapa warga Bandung yang mengaku sebagai Bobotoh-julukan pendukung Persib. Walau sempat mengalami kontroversi, film ini berhasil membuat Sammaria terkejut dengan keberhasilannya meraih 8 nominasi. Dalam Festival Film Indonesia (2012), Demi Ucok masuk dalam nominasi kategori Sutradara Terbaik, Penulis Cerita Asli Terbaik, Penata Artistik Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Aktris Pendukung Terbaik dan Film Terbaik. Pada Indonesian Movie Awards (2012), Demi Ucok masuk dalam kategori Film Favorit, Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dan Pendatang Baru Wanita Terbaik. Demi Ucok juga membawa pulang 1 piala pada kategori Aktris Pendukung Terbaik untuk salah satu aktrisnya, Mak Gondut, di Festival Film Indonesia (2012). Film ini juga sempat diputar di Indonesian Film Festival (IFF) ke-7 Melbourne, Australia. Acara yang digelar sejak 11 hingga 13 Oktober 2012 itu merupakan ajang untuk memperkenalkan perfilman Indonesia yang kaya dengan budaya dan pop culture. Demi Ucok sempat menemui masalah juga karena poster awal film yang dianggap tidak lolos sensor. Alasannya karena kaki menginjak kepala dianggap tidak pantas. Selain itu Demi Ucokk juga mengalami masalah II-18
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam pengembangan cerita dan dana, namun Sammaria akhirnya berhasil menemukan jalan keluarnya. Untuk diketahui Demi Ucok adalah film yang mengumpulkan dana produksinya lewat sistim "Crowd Funding". Dari target 1 Milliar dana yang dibutuhkan, akhirnya Sammaria sukses mengumpulkan Rp. 251 juta melalui sistem tersebut. Film Demi Ucok merupakan film Crowd Sourcing pertama di Indonesia. Hal itu disebabkan orang-orang dibalik film ini meluncurkan kampanye 10 ribu Co Producer (CoPro). Sammaria, yang lahir tanggal 4 Mei 1983 di Bandung, Jawa Barat, ini sebenarnya berpindah haluan dari awalnya bekerja sebagai arsitek. Sammaria pernah mengambil jurusan
Arsitektur di Institut Teknologi
Bandung, namun kemudian ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah firma arsitektur dan mulai membuat beberapa film pendek. Singkat cerita, Sammaria mengaku bahwa membuat film adalah impian sesungguhnya. Sammaria memutuskan untuk mengikuti jalan impiannya. Melihat perjalanan karir Sammaria diranah film, terbilang cukup cepat melonjak. Di tahun 2009, Sammaria meluncurkan film panjang pertamanya yang berjudul "cin(T)a". Film ini masuk sebagai salah satu nominasi Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik di Piala Citra (2009). Lalu di tahun 2010, Sammaria menyutradarai film dokumenter pertaman yang berjudul "Lima Menit Lagi" (bagian dari antologi "Working Girls" yang dirilis di bioskop pada bulan Juni 2011). Di tahun 2011, Sammaria memulai perusahan produksi filmnya yang dinamakan PT Kepompong Gendut. II-19
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
"Demi Ucok" adalah produksi film pertama dari perusahaan ini. Berikut perjalanan Sammaria di filmografi: Judul Fim
Peran
Selamat Pagi, Malam (2014) Selama Pagi, Malam (2014) Demi Ucok (2011) Demi Ucok (2011) Demi Ucok (2011) Cin(T)a (2009) Cin(T)a (2009) Cin(T)a (2009) Perempuan Pencari Nafkah (2009)
Sebagai Producer Sebagai Executive Producer Sebagai Director Sebagai Producer Sebagai Scriptwriter Sebagai Producer Sebagai Scriptwriter Sebagai Director Sebagai Director
Tabel 3 Kontribusi-Kontribusi Sammaria Simanjuntak dalam Perkembangan Film Indonesia
Prestasinya di bidang filmografi ini dianggap Sammaria sebagai nilai tambah dari pencapaiannya mengejar cita-cita atau impiannya. Ia juga menolak disebut sebagai filmmaker tetapi, ia menyebut dirinya sebagai storyteller yang dimana film menjadi medianya dalam menyampaikan cerita tersebut. Berikut merupakan pembagian peran dan tugas dalam Film Demi Ucok :
Pemain
Crew Tim Produksi Tim Penyutradara Tim Tata Kamera
Tim Tata Cahaya Tim Tata Suara
Produser Sutradara Penulis naskah Pemeran Utama Pemeran Pembantu
Produser Pelaksana Manager Produksi Asisten Produksi Asisten Sutradara 1 Pemiilih Peran Penata Kamera Sinematografi/Operator Kamera Asisten Kamera 1/ Focus Puller Asisten Kamera 2/ ClapperLoader Grip Operator Boom
Sammari Simanjuntak Sammari Simanjuntak Sammari Simanjuntak Geraldine Sianturi (Gloria Sinaga) Lina Marpaung (Mak Gondut) Boniboni binti Soniboni Saira Jihan (Niki) Sunny Soon (A Cun) Erika Suwarno Awal Wahyu Rahmadi, Fatwa Meyrizka Daniel, Danny Kutilista, Komarudin Burhan Yogaswara Reiner Siregar Hegar A. Junaedi Gompal Angga Hidayat Anggi Ijal Magrib Ucil
II-20
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tim Tata Artistik
Penata Artisitik Dekorator Set Penanggungjawab Properti Asisten Penanggungjawab Properti
Tim Tata Kostum
Penata Kostum Asisten Penata Kostum
Tim Tata Hias
Penata Rias Asisten Penata Rias Penyunting Adegan Penata Musik Penata Suara Fotografer Publikasi Production Companies
Tim Pasca Produksi Publicity & Promotions Produksi
II. 3
Rezki Ridha Rachmat Ramdhani Ary Nugraha Firmansyah, Herman Saputra, Jenggo, Lasmini, Muamar Mochtar, Pradipta Renadhie, Riva Andinka, Sam Gilang,Taufan Sofian, Wildan Faza Yufie Safitri Sobari Afridanessa Chita Dewi, Ira Khoerunnisa Stella Christine, Rini Trisnawati Anky Prasetya Muhammad Betadikara Andri Yargana, Ude Wardhana May Lodra Ridla An - Nuur Setiawan, Sunny Soon PT Kepompong Gendut Royal Cinema Multimedia
Etnis Batak dengan Sistem Patrilinealnya Suku Batak sangat menjunjung tinggi sistem kekerabatan. Ini merupakan
salah satu karakteristik dari suku Batak yang membedakannya dengan suku-suku lain. Dalam sistem kekerabatan tersebut, suku Batak memiliki dasar pedoman atau dalam hal ini disebut falsafah. Falsafah yang dianut dalam kekerabatan orang Batak ialah Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah tersebut disebut Dalihan na Tolu (tungku posisi duduk). Dalihan na Tolu ini merupakan ajaran bahwa struktur hubungan kekerabatan atau kekeluargaan pada setiap masyarakat Batak harus jelas. Tiga kedudukan penting dalam falsafah Dalihan na Tolu, yaitu: Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina dan Boru. 1. Hula-hula atau Tondong merupakan kelompok yang menempati posisi paling atas sehingga harus dihormati oleh seluruh masyarakat Batak Toba. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
II-21
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2. Dongan Tubu merupakan kelompok yang memiliki posisi sejajar. Adapun yang termasuk adalah teman atau saudara satu marga. 3. Boru merupakan kelompok pada posisi bawah yang harus selalu dikasihi atau disebut Elek Morboru. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah saudara perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah (Efendi, Y 2010). Posisi-posisi dalam Dalihan na Tolu tersebut bergantung pada konteksnya. Sifatnya berubah-ubah karena setiap orang Batak akan mengalami atau berada pada posisi Hula-hula, Dongan Tubu atau Boru. Falsafah ini tidak seperti konsep kasta dalam Hindu yang memiliki ketetapan pada setiap posisi dalam sistemnya. Berbeda dengan falsafah Dalihan na Tolu dimana jabatan dalam pekerjaan pun tidak dapat mempengaruhi posisi apapun sehingga setiap masyarakat Batak harus mengakui posisinya dan menghargai keberadaan posisi yang lain, terutama pada posisi Hula-hula (posisi paling atas). Hula-hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi sedangkan boru memiliki kedudukan adat yang lebih rendah. Namun kedudukan tersebut tidak bersifat absolut. Dalam etnis Batak, kedudukan adat merupakan kedudukan yang ditentukan oleh jenis hubungan kekerabatan tertentu. Oleh karna itu, suatu kelompok kekerabatan terhadap pihak tertentu memiliki kedudukan tertinggi terhadap keluarga yang telah mengambil anak perempuannya sebagai menantu, sedangkan terhadap kelompok lain, yaitu kelompok kekerabatan ayah dari istrinya, ia mempunyai kedudukan lebih rendah.
II-22
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
II.3.1 Perkawinan dalam Suku Batak Dalam pengelompokkan kekerabatan, terdapat larangan bahwa sesama marga tidak boleh saling mengawini, terutama bagi Batak Toba. Ketika kedapatan melanggar maka akan dikenakan sanksi adat. Tradisi ini dilakukan sebagai penghormatan pada setiap marga dan agar keturunan marga tersebut berkembang. Hingga saat ini, nilai-nilai adat dan marga masih memiliki kedudukan yang tinggi yang dijunjung oleh masyarakat Batak. Dalam adat perkawinan, terdapat 9 rangkaian acara yang berurutan dan tentu menjadi kewajiban setiap masyarakat Batak untuk mengikutinya ketika melakukan proses perkawinan. 1. Mangariksa (kunjungan pihak mempelai laki-laki pada pihak perempuan) dan Pabangkit Hata (lamaran). 2. Marhori-hori Dinding (perbincangan mendalam mengenai rencana perkawinan). 3. Patua Hata (nasihat atau petuah orang tua kepada calon mempelai). 4. Marhata Sinamot (pembicaraan mengenai tuhor). 5.
Pudun Sauta (makan bersama kedua belah pihak). Makanan dibawa dari pihak pria.
6. Martumpol (penandatangan surat persetujuan kedua belah pihak). 7. Martongga Raja (upacara atas pernikahan yang akan digelar). 8. Manjalo Pasu-pasu Parbagosan (pemberkatan mempelai di gereja).
II-23
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9. Pesta Unjuk. Rangkaian-rangkaian tersebut masih dilakukan dalam setiap perkawinan masyarakat Batak karena masyarakat masih memegang teguh adat istiadat yang diturunkan oleh leluhur mereka.
II-24
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang wacana-wacana apa saja terkait dominasi patrilineal budaya Batak hingga mengulas secara mendalam mengenai resistensi apa yang dilakukan perempuan Batak terhadap dominasi tersebut. Peneliti membagi ke dalam dua sub bab utama. Sub bab pertama berkaitan dengan dominasi yang ditunjukan dalam film. Sub bab ini melahirkan beberapa bagian sub bab yaitu: konsep “kaum mayoritas dan minoritas” dalam etnis Batak, stereotipe mengenai identitas “perempuan Batak ideal” dan menghubungkan dengan sikap etnosentrisme yang melekat dalam kaum Batak. Untuk sub bab kedua, peneliti berkutat dengan resistensi seperti apa yang ditunjukkan dalam film. Dalam sub bab ini, peneliti akan menguraikan kedalam beberapa bagian sub bab, yaitu: perempuan sebagai pemimpi serta perempuan dan kuasa dalam ranah domestiknya. Disini peneliti membuat beberapa bagian sub bab juga agar memudahkan peneliti dalam menjawab setiap rumusan masalah yang ada dalam bab pendahuluan sebelumnya. Peneliti akan menjelaskannya melalui metode CDA (Critical Discourse Analysis) agar dapat membaca teks secara mendalam dan kritis melalui perspektif postfeminisme. Metode CDA akan digunakan untuk menganalisis beberapa scene yang ada pada film Demi Ucok. Pun dalam membongkar teks tersebut, peneliti menggunakan metode analisis wacana kritis milik Norman Fairclough. Model analisis wacana Fairclough ini mengkombinasikan tradisi analisi tekstual -yang III-1
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup- dengan konteks masyarakat yang lebih luas yaitu mengaitkannya dengan sosial dan budaya. Fairclough memberi perhatian besar pada bagaimana bahasa berperan sebagai praktik kekuasaan, dengan membagi kedalam sociocultural practice.
tiga dimensi : teks, discourse practice, dan Sehingga dalam bab pembahasan ini, peneliti
menghasilkan tiga bentuk analisis, yaitu : analisis teks (text) yang didapat melalui dialog-dialog pada beberapa scene dalam film, analisis praktik wacana (discourse practice) yang mana akan melihat proses pembentukan teks tersebut dan analisis sosiokultural (sociocultural practice) yang mengaitkan teks pada konteks sosial dan budaya (masyarakat sekitar).
3.1 Dominasi Sistem Patrilineal dalam Konsep Perkawinan pada Film Demi Ucok Pada bagian ini peneliti menjelaskan konstelasi diskursus tentang sistem patrilineal yang mendominasi dalam scene-scene pada film Demi Ucok. Sebagaimana dinyatakan oleh Nanda dan Warms (2013, hal.151) “Patrilineal descent is a rule that affiliates a person to kin of both sexes though males only”. Sistem kekerabatan patrilineal ditentukan berdasarkan garis keturunan dari lakilaki (ayah). Berbanding terbalik dengan sistem matrilineal, dimana keturunan justru ditentukan berdasarkan garis keturunan dari perempuan (ibu). Bagi etnis Batak, sistem kekerabatan merupakan sendi utama dan sistem patrilineal dipilih sebagai sistem kekerabatan yang mengayomi kehidupan masyarakat Batak.
III-2
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Demi Ucok, merupakan salah satu film yang muncul dengan mengangkat tema etnisitasnya, yaitu etnis Batak. Sesuai dengan judulnya “Demi Ucok”, film ini seakan menampilkan secara jelas tentang keberadaan sistem patrilineal dalam etnis Batak itu sendiri. Dalam aksara Batak, kata ‘ucok’ sebenarnya merupakan modifikasi dari bahasa asli Batak yakni, unsok (dibaca ussok). Kata ‘ucok’ itu sendiri berarti panggilan untuk bayi atau anak laki-laki yang belum punya nama atau jika tidak disebut namanya, berbeda dengan panggilan perempuan yang dikenal dengan sebutan Butet. Sementara, kata ‘demi’ yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1) partikel untuk (kepentingan); (2) partikel lepas; (3) partikel tatkala; (4) partikel atas nama (Tuhan, untuk bersumpah); (5) sebagai/seperti (untuk membandingkan). Kata ‘demi’ ini kemudian disandingkan dengan kata ‘ucok’. Dua kata tersebut sebenarnya menimbulkan asumsi pada peneliti, bahwa adanya suatu perjuangan untuk mendapatkan laki-laki, karena dari kata ‘demi’ (arti kata (1): partikel untuk) sebenarnya terselip suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu (dalam hal ini, sesuatu itu disebut ucok). Melihat kenyataan bahwa sistem patrilineal telah senantiasa mengayomi kehidupan masyarakat Batak, maka tak salah bila judul film tersebut seperti demikian. Laki-laki memiliki nilai khusus yang tidak dimiliki perempuan dalam kacamata etnis Batak, yaitu pada saat laki-laki tersebut dapat menurunkan marganya kepada keturunannya atau saat sistem patrilineal itu dilakukan. Dalam etnis Batak memang tidak mengenal istilah garis matrilineal (menurut garis keturunan ibu) bila dilihat pada historis etnis Batak. Menurut mitos, sistem patrilineal ini bermula dari sosok laki-laki bernama Si Raja Batak. Ia III-3
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memiliki dua orang anak yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Dari kedua orang tersebut berkembang marga-marga hingga saat ini dengan mengikuti sistem garis keturunan dari ayah (Si Raja Batak) (Simanjuntak, 2006, hal.79). Sistem kekerabatan patrilineal kini telah menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri dari turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki (Vergouwen, 2004, hal.1). Dalam etnis Batak, laki-laki berperan membentuk kelompok kekerabatan sedang perempuan menciptakan hubungan besan (affinal relationship) karena ia harus kawin dengan seorang laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain. Hal ini tentu kemudian berkaitan erat dengan peran relasi gender antara perempuan dan laki-laki. Namun, peran gender seringkali diidentikan pada sifat atau ciri-ciri tertentu.
Bahkan
dalam
struktur
kekerabatan
patrilineal,
secara
jelas
memposisikan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang berimplikasi pada aturan-aturan yang menempatkan perempuan pada posisi tawar yang lemah. Pada masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal, sungguhpun garis keturunan dilihat menurut garis perempuan (ibu), tetapi kontrol terhadap harta lebih berada pada saudara laki-laki ibu (mother’s brother). Sementara itu, pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral/parental, dimana garis keturunan dihitung boleh melalui laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu), perempuan mendapatkan separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara laki-lakinya (Irianto, 2006, hal.32). Ini berarti dominasi kuat berada pada posisi laki-laki
III-4
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
cenderung
mensubordinasikan
perempuan.
Lagi-lagi
perempuan
menjadi
“korban” dalam pengekangan sistem patrilineal. Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Simbolon dalam bukunya, mengutip beberapa pendapat penulis feminis: By patriarchal control they refer not just to individual husband and fathers controlling their wives and daughters, but also male dominated institutions controling women as a group. Patrilineal kinship is the core of what is meant by patriarchal control: the idea that paternity is the central social relationship (Simbolon dalam Irianto, 2003, hal.81).
Artinya bahwa pembatasan terhadap akses kontrol perempuan juga dilakukan secara institusional oleh kelompok kekerabatan laki-laki. Pembatasan perempuan tersebut juga dilakukan dalam institusi perkawinan dimana garis keturunan menurut laki-laki (suami). Dalam sistem patrilineal Batak, hubungan seorang lakilaki dengan anak laki-laki dari istrinya dianggap berharga sehingga akses perempuan tergantung kepada kemampuannya memelihara anak laki-lakinya tersebut bagi kepentingan kekerabatan. Sedemikian besarnya dominasi sistem patrilineal dalam kehidupan masyarakat etnis Batak, khususnya perkawinan. Sistem patrilineal yang mengakar dalam etnis Batak sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu menjadikan sistem bersifat mutlak, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Batak karena telah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Sifat masyarakat yang masih sangat patriarkhal juga mendukung hubungan kekuasaan yang timpang dan menyuburkan yang timpang antara lakilaki dan perempuan tersebut (Irianto, 2003, hal.19). Ini yang memperkuat sistem patrilineal tersebut sehingga secara sadar maupun tidak melalui sistem tersebut dominasi terjadi. III-5
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Demi Ucok memang tidak memperlihatkan secara gamblang adanya hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Hal itu karena tokoh utama dan lawan main adalah perempuan. Bahkan peran pendukung kebanyakan perempuan dalam film ini. Namun, sadar atau tidak, dominasi kerap terjadi demi memperkuat sistem patrilineal tersebut. Dominasi ini kerap dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri demi memperkuat sistem patrilineal yang ada. Dalam film, ditunjukkan adanya perbedaan ideologi atau pandangan antar perempuan mengenai konsep perkawinan, dimana sistem patrilineal turut campur didalamnya. Gloria (Glo) dan Mak Gondut (mama Glo) adalah kaum perempuan yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep perkawinan tersebut. Mak Gondut, sebagai kaum perempuan yang masih patriarkis mendukung adanya ketimpangan tersebut. Sistem patrilineal yang masih terus mengakar tersebut membuka peluang adanya dominasi karena peran Mak Gondut sebagai kepala keluarga (karena suami telah meninggal) semakin kuat. Sedangkan Glo, sebagai kaum perempuan yang berusaha melawan dominasi sistem patrilineal tersebut. Inilah yang kemudian menggelitik peneliti untuk dapat mengupas apa dan bagaimana sistem patrilineal tersebut masih mengakar yang menyebabkan dominasi masih saja terjadi, hal-hal tersebut akan dikupas pada bagian sub bab selanjutnya. 3.1.1 Konsep “Kaum Mayoritas dan Minoritas” dalam Etnis Batak Dalam bagian sub bab ini, peneliti menjelaskan bagaimana dominasi patrilineal kemudian melahirkan konsep kaum mayoritas (dominan) dan minoritas dalam beberapa scene-scene di Film Demi Ucok. III-6
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Mengutip pandangan Leclerc (dalam Haryatmoko, hal 128) mengenai kaum perempuan: Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki (Annie Leclerc, 1999).
Kutipan tersebut merupakan ungkapan kerinduan akan kreativitas yang kini terbelenggu sekaligus mengungkapkan kepedihan perempuan akibat ketidakadilan gender. Begitu miris, dalam menggambarkan kebahagian dirinya, perempuan harus menoleh kepada laki-laki untuk dapat menemukan kalimat yang tepat dan disetujui. Seperti halnya kutipan perkataan Mak Gondut dalam salah satu scene dalam film dimana ketika berkunjung bersama Glo ke pemakaman papa Glo (suami Mak Gondut): “Bang uda rindunya kau ma aku bang? Tunggulah sebentar lagi ya bang ya. Aku juga sudah rindunya, ku carikan dulu jodoh sama anak kita.”
Mak Gondut telah lama ditinggal oleh suaminya. Ia menjadi perempuan single-parent yang membesarkan dan merawat Glo hingga dewasa. Dokter mengatakan bahwa Mak Gondut tidak akan hidup lama. Ia memiliki penyakit kronis yang tidak dapat diselamatkan. Kutipan tersebut diinterpretasi oleh peneliti sebagai salah satu bentuk dominasi laki-laki yang penuh muslihat. Kenyataannya, ada seorang istri (Mak Gondut) yang rela menahan sakit untuk tetap bertahan hidup agar dapat menggenapi janjinya pada suaminya untuk mencarikan jodoh anaknya.
III-7
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3 1 Mak Gondut Menangis Saat Pemakaman Suaminya
Pengambilan gambar menggunakan close up shot agar ekspresi kesedihan Mak Gondut nampak jelas dalam scene ini. Pengambilan gambar yang dibuat sengaja close up tersebut semakin mendukung interpretasi peneliti bahwa kaum laki-laki memang telah sukses menguasai wacana bahkan sukses membuat perempuan “tunduk”. Pengorbanan untuk menggenapi janji kepada laki-laki ini menjadi sebuah nilai khusus yang cukup menarik untuk ditelaah. Perempuan secara tidak sadar telah memandang apa yang dikatakan oleh laki-laki sebagai sebuah kewajaran bahkan kewajiban yang mana pada akhirnya perempuan memilih untuk memperjuangkan apa yang di kehendaki oleh laki-laki. Sebagaimana dikatakan Haryatmoko (hal.129) mengenai dominasi lakilaki: Penguasaan atas wacana menjadikan dominasi laki-laki seakan seperti sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Bahkan situasi paling menyiksa dan tak bisa ditolerir nampak wajar.
Haryatmoko menambahkan dengan memberi contoh seorang perempuan yang rela menanggung malu tidak mau mengungkapkan nama kekasih yang menghamilinya supaya nama baik dan karier lelaki itu tidak ternodai. III-8
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sebuah kenyataan adanya sebuah representasi Tuhan yang mengacu pada jenis kelamin laki-laki. Bila menilik Kitab Kejadian dikisahkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang harus diterima oleh perempuan karena suatu wahyu. Wacana tersebut diterima perempuan sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Sementara itu, stereotipe umum mengatakan bahwa perempuan identik dengan kesetiaan (Munti, 2005, hal. 173). Hal ini menyebabkan walau nyawa menjadi taruhan bagi perempuan, Mak Gondut tetap bertahan untuk melawan rasa sakit itu. Penguasaan wacana laki-laki ini kembali ditampilkan melalui kutipan ini: “Sekarang Mak Gondut udah live happily ever after bersama papi, tapi... Mak Gondut belum bisa mati sebelum tujuan ketiga itu ditunaikan. Damn!“
Kutipan itu dikatakan oleh Glo ketika Mak Gondut hampir saja meninggal. Mak Gondut yang dirawat dirumah sakit semenjak jatuh pingsan di kamar kos Glo harus melakukan operasi karena penyakitnya yang sudah akut. Sepulang dari premier film keduanya, Glo yang pada waktu itu mengira Mak Gondut tak akan selamat, malah terkejut Mak Gondut dapat diselamatkan. Mak Gondut telah melawan rasa sakit itu dengan gigih, demi cita-cita suaminya untuk menjodohkan anaknya dengan laki-laki Batak.
III-9
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 2 Mak Gondut Sesaat Sebelum Dioperasi
Telah terjadi proses ideologis yang bertanggung jawab atas perubahan dari sejarah yang seakan-akan sesuatu yang alamiah, dari budaya menjadi seakan sesuatu yang semestinya (Haryatmoko, 2010, hal.129). Seorang perempuan yang mampu melawan takdir, dimana kematian bukan lagi menjadi suatu masalah bagi manusia bila tujuan belum tercapai. Menyedihkannya ialah bahwa kenyataanya upaya yang dilakukan oleh perempuan ini tidak lain merupakan amanat dari laki-laki. Hal tersebut telah menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai oleh laki-laki. Sehingga mitos itu telah diterima dan ditopang oleh struktur sosio-budaya dan pengorganisasian masyarakat. Sammaria (sutradara) : Mungkin karena banyak wanita Batak belum bisa independen dalam berbagai hal, sehingga dominasi sulit dihilangkan.
Sementara, Sutradara sekaligus penulis skenario Film Demi Ucok ini pun (Sammaria Simanjuntak) melihat bahwa sistem patrilineal akan terus ada dan sulit dihilangkan karena kaum perempuan yang belum bisa independen, artinya perempuan masih sangat bergantung dengan kaum laki-laki. Dalam kuitpan pernyataan tersebut, terdapat suatu keraguan III-10
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
terhadap kaum perempuan (termasuk kepada dirinya sendiri yang dalam hal ini juga merupakan perempuan) untuk dapat lepas dari ikatan patrilineal. Bahwa sebenarnya yang menyebabkan dominasi sistem patrilineal tersebut masih ada ialah karena perempuan sebagai pelaku yang secara tidak langsung mempertahankan dominasi tersebut. Inilah kemudian alasan sistem patrilineal masih terus mengakar dan mengayomi kehidupan masyarakat Batak. Ketika dominasi tersebut hadir, maka memungkinkan adanya pengkelasan seperti halnya konsep mayoritasminoritas. Sebagaimana dikatakan oleh Said yang dikutip Susanto (2008) mengenai konsep minoritas dan mayoritas : Adanya dikotomi-dikotomi seperti minoritas-mayoritas, pusat-pinggiran, dan yang akhir-akhir ini, global-lokal yang secara tidak langsung mempunyai implikasi terhadap masalah “teritorial”, yakni batas-batas untuk menentukan siapa yang termasuk “kita” dan “mereka” (Said dalam Susanto, 2008, hal. 16).
Batas-batas untuk menentukan siapa yang termasuk “kita” dan “mereka” menjadi hal yang lumrah atau wajar. Mak Gondut yang berperan sebagai ibu, mendapatkan kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan Glo sebagai anak. Dengan predikat single-parent nya, Mak Gondut layak menempati posisi sebagai kaum mayoritas. Batasan-batasan tersebut merupakan konstruksi-konstruksi identitas budaya, yang menurut Said (dalam Susanto, 2008) tidak dapat dilepaskan dari masalah kepentingan dan kekuasaan. “Tapi kan kau memang mau bikin pilim kan?” “Ya iya tapi kan mami tau belum ada yang mau danain.” “Udah nanti mami kasih 1 M.
III-11
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Dari mana duit mami?” “Mami kan uda masuk asuransi. Jadi kalau mami mati, dapat 1. Untuk kau lah itu.” “Kasih ibu kepada beta, hanya memberi tak harap kembali.” “Tapi terms and condition apply.” “Asal kawin kau sama Batak.”
Kutipan tersebut merupakan percakapan dialog saat Glo dan Mak Gondut berada di mobil. Glo kesal dengan status yang ditulis oleh Mak Gondut pada BBM (Blackberry Messenger) mengenai film kedua yang akan dibuat Glo. Karena dana untuk produksi film yang belum terpenuhi sehingga Glo tidak ingin berkoar-koar dahulu. Sedangkan Mak Gondut melakukannya karena tidak tahan dengan namboru (tante) nya Glo yang juga menulis status mengenai kehebatan anaknya. Mak Gondut tiba-tiba mengatakan hendak mendanai film tersebut sejumlah 1 Milyar dari uang asuransi jiwanya. Mak Gondut menjanjikan uang tersebut ketika ia meninggal nanti. Namun, ternyata Mak Gondut tidak memberikan secara cuma-cuma. Ia meminta Glo untuk kawin dengan laki-laki Batak. Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa kepentingan dan kekuasaan adalah dua hal yang saling berkaitan erat dan akan berdampak pada kaum mayoritas maupun minoritas. Masalahnya, tidak tergantung pada jumlah, tetapi terletak pada siapa yang terbanyak menguasai atau mendominasi apa dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2005, hal.113). Peran ibu yang dimiliki oleh Mak Gondut sekaligus menjadi kekuatan Mak Gondut dalam mencapai kepentingannya yaitu mengawinkan anaknya dengan laki-laki Batak.
Dalam hal ini, Mak Gondut menguasai serta
mendominasi karena Glo memang tidak memiliki dana untuk membuat III-12
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
filmnya. Disini Mak Gondut menawarkan dana 1 Milyar dari asuransi jiwanya untuk mendanai. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingannya agar Glo mau kawin dengan laki-laki Batak. Sekali lagi dipertegas adanya unsur dominasi yang dilakukan oleh laki-laki (suami Mak Gondut) terhadap perempuan (Glo) melalui perempuan (Mak Gondut). Dominasi dapat menyelinap masuk ke orang perseorangan atau kelompok untuk membantinkan sehingga menjadi motivasi atau aspirasi pribadi. Muslihat ini bisa tidak dirasakan oleh korban atau bahkan disetujui oleh korban (Haryatmoko, 2005, hal.x). Dalam kasus ini, telah terjadi transfer ideologi dari kaum laki-laki mengenai konsep sistem patrilineal. Membahas mengenai ideologi, sebenarnya penggunaan istilah “ideologi” tidak memiliki definisi yang benar-benar tepat untuk memahami istilah “ideologi”. Hal-hal tersebut semacam rekayasa dominasi dimana laki-laki seakan tidak berperan namun peran tersebut diambilalihkan oleh perempuan, dalam hal ini untuk kembali lagi perempuan yang menjadi objek yg didominasi. Seperti halnya kutipan dialog dibawah ini: “Bereng jo! Annon diripu halak ma imana lesbi. Tamba maol ma annon ro pangoli (Lihatlah! Nanti disangka orang dia lesbi. Tambah susah kujodohkan)” “Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia kerumah” “Memang kelam kali dunia pilim itu.”
Semenjak perdebatan besar yang terjadi antara Glo dan Mak Gondut pada malam itu, Glo tidak lagi tinggal di rumah. Ia menginap di rumah Niki, temannya. Karena tidak begitu jauh jarak rumah Glo dengan Niki, maka III-13
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Mak Gondut dapat dengan bebas mengawasi Glo dari rumahnya. Pada suatu hari, ketika Glo sedang bercakap ria dengan Niki mengenai film kedua yang akan dibuat oleh Glo, Mak Gondut tak sengaja melihat keduanya saling bertatapan.
Gambar 3. 3 Glo dan Niki Terlihat Saling Bertatapan Oleh Mata Kamera Mak Gondut
Dari mata kamera tersebut, terlihat adanya keinginan untuk memfokuskan pada objek tersebut dengan menghitamkan daerah yang tidak penting untuk dilihat. Mata kamera kemudian menjadi mata penonton dimana mata kamera ditujukan pada perilaku Glo dan Niki yang terlihat seperti hampir berciuman. Ini cukup menarik bagi peneliti. Hal itu karena secara implisit scene ini mengajak khalayak (penonton) berpikir dengan cara pandang yang sama dengan yang dimaksud, dalam hal ini Mak Gondut dalam menilai Glo dan Niki. Ada ajakan untuk berpikir dan mengatakan bahwa perempuan seringkali melakukan hal yang salah, yang tidak masuk akal. Perempuan menyesatkan dirinya, dimana seharusnya perkawinan sebagai jalan keluar yang tepat untuk menertibkan perempuan agar tidak melenceng dari jalurnya.
III-14
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perilaku Glo dan Niki tersebut membuat Mak Gondut kaget dan kemudian menghubungi namboru Glo (tante Glo) melalui handphonenya. Mak Gondut khawatir orang-orang mengira Glo lesbi dengan sikap Glo seperti itu bersama Niki. Mak Gondut khawatir Glo akan semakin susah memiliki pasangan laki-laki Batak sesuai harapan Mak Gondut. Sementara, namboru Glo memberikan saran untuk menutup semua kartu kredit yang diberikan kepada Glo. Penutupan kartu kredit tersebut diyakini akan membuat Glo kembali tinggal dirumah. “Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia kerumah”
Pengambilan
keputusan
untuk
menutup
kartu
kredit
Glo
merupakan salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh Mak Gondut terhadap ketidakmampuan Glo. Dominasi, seperti dikemukakan Haryatmoko (2005, hal.x), bisa dalam bentuk-bentuk seperti fisik, ekonomi, politik, sosial, budaya atau simbolik. Maka dalam hal ini, Mak Gondut mendominasi melalui kekuasaannya dengan mengontrol pemasukan Glo dalam kartu kredit Glo. Identitas mayoritas sebenarnya bermula dari gejala yang tidak disadari dalam membentuk kategori ras, dimana ada tuntutan privilese agar diterima sehingga menciptakan sebuah masyarakat rasial. Sedangkan kelompok minoritas merupakan kelompok yang kurang beruntung menjadi anggota sebuah organisasi, sebab mereka secara fisik maupun kultural merupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang dari kelompok dominan dalam perlakuan diskriminasi yang sering diberikan kepada mereka (Liliweri, 2005, hal 112). III-15
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Suatu konflik akan muncul apabila dari kelompok minoritas merasa disubordinasi dan terkekang oleh kelompok dominan (mayoritas) yang berkuasa. Bila tidak ada perasaan tersubordinasi maupun terkekang, maka tidak akan muncul perlawanan dari kaum minoritas itu sendiri. Wacana menunjuk terutama pada hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa atau teks. Wacana menurut Faucault (dalam Munti, 2005, hal.8) sebagai perangkat di mana kekuasaan bisa bekerja. Menurut Faucault, kekuasaan berkaitan dengan pengawasan dan kontrol, yang tidak mesti dijalankan dalam bentuk represif (larangan atau hukuman), tetapi sebaliknya kreatif dan produktif, yakni sering dijalankan dengan penggunaan stimulasi (pembentukan hasrat). Itulah mengapa yang menarik disini adalah tanggapan Glo setelah Mak Gondut berjanji akan mendanai produksi filmnya asal Glo kawin dengan laki-laki Batak. “Asal kawin kau sama Batak.” “Tapi Mak Gondut lupa bilang, Bataknya cewek atau cowok.”
Dari kutipan ucapan Glo tersebut, peneliti melihat sosok minoritas yang memiliki kuasa dalam menanggapi dominasi kaum mayoritas. Adanya suatu bentuk pemaksaan yang dilakukan oleh Mak Gondut terhadap Glo. Perkawinan merupakan salah satu hal yang sifatnya privat yang sebenarnya hanya ditentukan oleh pelaku-pelaku itu sendiri (calon suami dan istri), namun disini Mak Gondut (pihak yang ada diluar) dengan mengatasnamakan uang sebagai bagian dari kegiatan pemaksaan yang dilakukannya untuk kepentingannya. Sebagaimana dikatakan oleh Sammaria mengenai pemaksaan: III-16
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sammaria (sutradara): Saya percaya setiap manusia bertanggung jawab terhadap kehidupan dan kebahagiannnya masing-masing, sehingga setiap bentuk pemaksaan sebenarnya melanggar hak asasi manusia.
Bagaimana pun, bentuk pemaksaan sebenarnya telah melanggar hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang mengalami pemaksaan tersebut. Dalam hal ini Glo (sebagai pihak yang mengalami pemaksaan) telah kehilangan apa yang menjadi haknya sebagai perempuan. Ia tidak memilki kesempatan untuk menentukan hidupnya, khususnya dalam memilih kawin ataukah tidak, hingga dalam memilih pasangannya. Hal ini semua dapat terjadi ketika kekuasaan bertemu dengan kepentingan, dimana uang seringkali sebagai perantara kedua hal tersebut bertemu. Kekuasaan bukanlah sesuatu kapasitas atau entitas yang dimiliki oleh satu pihak, yang kemudian dapat ditransfer atau diambil alih oleh pihak yang lain. Bagi Faucault, kekuasaan diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana (Sarup dalam Susanto, 2008, hal. 24).
Gambar 3. 4 Ekspresi Glo Menanggapi Tawaran Mak Gondut
Kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, dari dan III-17
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ke segala arah. Dhakidae (2003, hal. 60) mengemukakan dua kemungkinan yang bisa dipakai dalam melihat kekuasaan. Pertama, kekuasaan dilihat sebagai sesuatu yang barang jadi sebagai suatu substansi, dan kedua kekuasaan dilihat sebagai relasi, suatu pola hubungan dengan semua konsekuensinya. Kekuasaan yang dimiliki oleh Mak Gondut untuk kawin dengan laki-laki Batak, tidak benar-benar menindas Glo. Adanya relasi atau pola hubungan untuk dapat menjalankan tujuan Glo yaitu memproduksi film (meraih cita-citanya) maka akan ditanggung Glo segala konsekuensinya. Kalau kekuasaan semata-mata menindas, tidak mengerjakan apa pun selain mengatakan, tidak, apakah Anda sungguh-sungguh beranggapan orang akan mematuhinya? Apa yang membuat kekuasaan itu bertahan sebagai sesuatu yang baik, yang membuatnya diterima adalah semata-mata karena kenyataan bahwa kekuasaan tidak saja menimpa kita sebagai suatu kekuatan yang mengatakan tidak, akan tetapi bahwa kekuasaan itu bergerak [lintas batas] dan memproduksikan sesuatu, membawa kenikmatan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dilihat sebagai jaringan produktif yang melilit tubuh sosial secara keseluruhan, jauh-jauh lebih daripada [sekadar] suatu hal negatif yang berfungsi menindas. (Foucault dalam Dhakidae, 2003, hal.63)
Kekuasaan yang dimiliki Mak Gondut untuk memberikan bantuan biaya dengan syarat semata-mata tidak menindas, melainkan menjadi penopang Glo untuk melaksanakan kepentingannya memproduksi film. Itulah mengapa keesokan harinya datang bersama pasangan Bataknya, sesuai keinginan Mak Gondut. Walau memang Glo tidak membawa laki-laki seperti yang diharapkan oleh Mak Gondut. Ia membawa Niki, temannya yang mengaku lesbi namun sedang hamil.
III-18
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 5 Glo Bersama Niki Memperlihatkan Kemesraan Pada Mak Gondut
Segala jenis hubungan dan interaksi bagi Foucault, juga berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan ini mengejawantah dalam bentuk-bentuk diskursif, yakni melalui wacana. Sebagai modus untuk menyampaikan atau mengaktualisasikan pengetahuan, wacana secara langsung atau tidak langsung memproduksi kekuasaan, dan kekuasaan tak mungkin beroperasi tanpa pengetahuan. Disini Glo memiliki pemahaman bahwa didalam keterbatasannya, Glo juga memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh Mak Gondut. Ketika kaum mayoritas mendominasi kaum minoritas dengan segala praktek kuasa untuk mencapai kepentingannya, kaum minoritas juga memiliki kemampuan untuk mencapai kepentingannya. Di mana ada kekuasaan di situ pula ada resistensi, yang semuanya ada di dalam wilayah kekuasaan (Faucault dalam Munti, 2005, hal.9). Kekuasaan itu sendiri erat kaitannya dengan pengetahuan. Tidak ada praktik kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa Pengetahuan hanya mungkin berkembang di dalam wilayah kekuasaan. Begitu pun sebaliknya, kekuasaan selalu beroperasi melalui konstruksi berbagai pengetahuan. Namun, melalui wacanalah kekuasaan dan pengetahuan bertemu (Faucault dalam Munti, 2005, hal.10).
III-19
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Glo menyepakati ketentuan yang diberikan oleh Mak Gondut untuk mencapai tujuannya membuat film. Hal ini tidak lagi bisa dibilang murni suatu pemaksaan karena Glo sendiri pun menyepakati hal itu dengan iming-iming kepentingannya (membuat film) akan juga terpenuhi. Maka, Sammaria mengemukakan pendapatnya mengenai hal ini: Sammaria (sutradara): bukan suatu diskriminasi terhadap perempuan selama itu merupakan pilihan perempuan itu sendiri.
Glo memiliki wewenang untuk menerima dan menolak tawaran Mak Gondut tersebut. Sammaria tidak melihat hal ini lagi sebagai sebuah pemaksaan ketika Glo kemudian menyepakati tawaran tersebut. Juga bukan sebuah bentuk diskriminasi yang dialami oleh Glo karena Glo memiliki kesempatan untuk menentukannya. Walaupun begitu, ia tidak ingin seperti Mak Gondut yang kawin lalu melupakan impiannya. Penolakan Glo untuk menjadi seperti Mak Gondut beberapa kali ditampilkan dalam beberapa scene, seperti halnya kutipan dibawah ini: “Gue ga mau jadi emak gue.” “Tapi Mak Gondut pengen gue jadi kayak dia.”
Kutipan ini muncul di awal-awal film, sesudah Glo menceritakan kisah seorang perempuan pemimpi yang “menyelamatkan diri” dengan cara kawin dengan laki-laki Batak. Perempuan pemimpi tersebut melupakan mimpinya dan menyesal. “Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis. Dia pergi ke ibu kota mengejar mimpinya. Si pemimpi bertemu seorang Batak ganteng dan dijanjikan hidup happily ever after. Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal. Dia memilih get married, forget her dream and live boringly ever after.”
III-20
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Adanya
dikotomi
mayoritas-minoritas
ini
menghasilkan
pertentangan antara dua identitas budaya yang dianggap mapan dan tetap bentuknya. Ketika Barat menciptakan Timur, maka demikian pula identitas minoritas muncul dengan adanya suatu kekuatan atau kekuasaan yang mensahkan dominasi mayoritas. Maka suara minoritas merupakan suatu bentuk resistensi untuk menggugat dominasi mayoritas. Tetapi jika identitas minoritas itu kemudian dibakukan seperti melembagakan sebuah departemen, maka masalah yang pertama, resistensi itu semu karena minoritas telah ikut mensahkan posisi yang semula ditolaknya. Kedua pelembagaan itu menjadi sia-sia jika usaha minoritas itu berhasil, karena pada saat itu ia sudah bukan minoritas lagi. Lagi pula dikotomi dapat merupakan simplifikasi yang menyesatkan jika dianggap bahwa ia berkolerasi dengan hierarki kekuasaan. Namun memang perlu diingat bahwa hubungan mayoritas/ minoritas tidak selalu berkolerasi dengan dikotomi kekuasaan/tanpa kekuasaan, melainkan bisa juga sebaliknya. Masalah yang sama muncul pada dikotomi pusat-pinggiran. Sebagian kelompok budaya mengukuhkan identitasnya sebagai kelompok pinggiran dengan suara yang menggugat pusat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa posisi marjinal bersifat temporal dan historikal. Artinya suatu kelompok yang menduduki posisi marjinal pada suatu waktu
tertentu
dapat saja berpindah posisi dan menduduki tempat di tengah pada waktu yang lain. Posisi pusat-pinggiran, seperti juga dikotomi mayoritasminoritas juga bersifat relatif, karena tergantung dari sudut mana III-21
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dilihatnya, apa yang dilihat dan siapa yang melihatnya. Konstruksi pusatpinggiran seringkali juga bersifat elusif ketidak hendak dipastikan, karena kekuasaan dalam kebudayaan bersifat menyebar (Budianta dalam Susanto, 2008, hal. 21). Menurut John R. Hall, kelompok yang diuntungkan dalam matriks budaya yang ada “tidak selalu mendapatkan kemudahan ini melalui kekuasaan langsung dan orang-orang dari strata yang kurang diuntungkan tidak selalu dikesampingkan dari keterlibatan dalam aparatus budaya. Yang terjadi adalah menyebarnya seperangkat makna, objek dan tatanan yang berpengaruh dan menciptkan kekuasaan secara de fakto melalui meresap budaya dalam kehidupan kita sehari-hari.” (dalam Susanto, 2008, hal.21). Kelompok mayoritas maupun minoritas merupakan satu kesatuan dalam sistem. Keduanya saling terkait dan berdampak pada yang lain bila salah satu tidak berfungsi dengan semestinya. Seperti halnya kutipan dibawah ini. Scene ini ketika dokter selesai mengoperasi Mak Gondut karena penyakit Mak Gondut yang hampir merengut nyawanya. Kutipan ini diucapkan Glo ketika ia hampir saja kehilangan Mak Gondut. “Sekarang Mak Gondut udah live happily ever after bersama papi, tapi... Mak Gondut belum bisa mati sebelum tujuan ketiga itu ditunaikan. Damn!“
Kutipan ini seakan memperjelas pendapat Multatuli (dalam Supriatno, 2009, hal.153) tentang posisi minoritas-mayoritas, “when a minority group into majority, it loses the spesific value, it initially gained by enlarging its number. It adopts all the errors of its defeated opponent, who, in their turn make a virtue of defeat”. Multatuli memperingatkan dua III-22
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hal, bahwa sebenarnya ada peran spesifik dari kaum minoritas di tempat di mana ia berada. Itu diandaikan sebagai sekrup dalam sebuah mesin besar, walau kecil namun ketika sekrup tersebut tidak berfungsi dengan benar, maka seluruh mesin akan menjadi terganggu. Kutipan perkataan Glo tersebut merupakan hasil dari ketidaksesuaian fungsi yang dijalankan oleh salah satu kelompok. Mak Gondut belum berhasil mengawinkan Glo dengan laki-laki Batak. Artinya bahwa Glo belum juga kawin. Hal tersebut yang menggerakkan semangat Mak Gondut untuk terus bertahan hidup melawan penyakitnya. Ketidaksesuaian sub sistem dalam menjalankan fungsinya (dalam hal ini, Glo belum kawin) akan berdampak pada sub sistem lain (dalam hal ini, Mak Gondut terus berjuang melawan penyakitnya). “Mak Gondut belum bisa mati sebelum tujuan ketiga itu ditunaikan”
Dalam kutipan tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa kematian bukan hal yang mutlak, namun ada campur tangan manusia didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa atas kematian itu sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengatur kematian itu sendiri. Ketika tujuan ketiga tersebut belum ditunaikan, maka Mak Gondut memiliki kemampuan untuk mengubah apapun termasuk kematian. Dari scene tersebut, tergambar jelas adanya sebuah keterikatan yang kuat oleh Mak Gondut (kaum mayoritas) kepada Glo (kaum minoritas). Hal yang dimaksudkan berarti bahwa memang benar kaum minoritas memiliki peran spesifik yang berdampak pada kaum mayoritas (Supriatno, 2009, hal 153). III-23
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.1.2 Stereotipe tentang Identitas ‘Perempuan Batak Ideal” Pengkelasan antara mayoritas maupun minoritas dapat melahirkan stereotipe yang fungsinya mengeneralisasi. Ini menempatkan perempuan sebagai salah satu objek stereotipe tersebut. Sehingga bagian sub bab ini bertujuan untuk membongkar streotipe-stereotipe apa yang disampaikan untuk menggambarkan identitas yang dimaksud mengenai “perempuan Batak ideal”. Memiliki anak laki-laki merupakan sebuah peningkatan harkat serta martabat keluarga bagi adat Batak. Untuk itulah perempuan memiliki peranan besar dalam meningkatkan harkat serta martabat sebuah keluarga etnis Batak. Seperti halnya kutipan dibawah ini : “Jadi maksud kakak, aku ga happily ever after?” “Perempuan Batak itu dinilai dari anaknya, percuma sehebat apapun kau kalau kau ga punya anak.”
Kutipan ini merupakan dialog antara Tante Nora (namboru Glo) dengan Mak Gondut. Namboru merasa tersinggung dengan cerita Mak Gondut. Dalam cerita, ada seorang perempuan yang hendak menjadi artis, kemudian lari ke ibukota untuk mengejar cita-citanya. Namun, akhirnya ia berhenti
mencapai
cita-citanya karena
seorang pria hendak
mengawininya. Ia memutuskan harapannya mencapai cita-cita tersebut, sementara adik-adiknya tetap berusaha meraih cita-citanya. Namun pada akhirnya adik-adiknya pun berhenti bekerja, sementara perempuan tersebut hidup bahagia. Namboru adalah adik dari Mak Gondut yang sibuk bekerja meraih semua mimpinya. Karena kesibukannya sehingga ia tidak pernah memikirkan untuk memiliki pasangan. Itu sebabnya ia masih belum juga kawin. III-24
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sebuah lagu berjudul Anakonhi do hamoraon di au dapat menggambarkan betapa anak begitu berharga bagi etnis Batak. Lagu tersebut berarti bahwa keturunan merupakan aset sebuah keluarga (Tinambunan, D Toruan, R, 2010, hal. 7). Dikatakan terdapat tiga pengharapan atau cita-cita hidup orang Batak, yaitu: Hagabeon, Hasangapon, dan Hamoraon yang diusahakan diwujudkan selama hidup. “Perempuan Batak itu dinilai dari anaknya, percuma sehebat apapun kau kalau kau ga punya anak.”
Perkataan Mak Gondut mengingatkan pada hagabeon, dimana adanya suatu dambaan orang Batak untuk memiliki keturunan. Ketika ia berhasil memiliki keturunan maka orang tersebut berhak menyandang gabe (Tinambunan, D Toruan, R, 2010, hal. 7). Namun, pasangan suami-istri yang hanya memiliki anak perempuan, belum layak disebut gabe. Karena itu, memiliki keturunan, khususnya keturunan laki-laki, menjadi suatu hal yang penting dan berharga bagi etnis Batak. “Bilangin mami uda jadi artis. Jadi ga ada lagi yang bisa bilang mami gagal.” “Keberhasilan perempuan Batak itu dilihat dari anaknya, kalau anak kau lebih hebat dari anak mami baru kau boleh sombong.”
Kutipan ini sekaligus menegaskan arti dan keberhargaan keturunan bagi etnis Batak. Kutipan ini merupakan kutipan percakapan Mak Gondut dengan Glo ketika Mak Gondut dirawat di rumah sakit. Mak Gondut akhirnya berhasil menjadi seorang seorang artis, sesuai impiannya sejak dulu. Ia bermain menjadi pemeran utama dalam film kedua Glo. Walau begitu, tak membuat Mak Gondut bahagia. Hal ini karena Mak Gondut merasa bahwa belum berhasil membuat anaknya (Glo) lebih hebat darinya. III-25
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Hebat menurut etnis Batak disini ialah pada saat seorang perempuan berhasil membuat anaknya memiliki keturunan, seperti dijelaskan pada kutipan sebelumnya. Sementara menurut Sammaria (sutradara): Sammaria (sutradara): semua manusia berhak menentukan jalan kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing.
Peneliti melihat adanya penegasan yang ditunjukkan oleh produsen teks melalui kutipan pernyataan diatas. Bahwa kebahagiaan tidak seharusnya di-general-kan. Kata “masing-masing” disini merujuk pada pernyataan bahwa tiap perempuan berbeda dan tidak ada perwakilan yang dapat mewakili kelompok perempuan karena dalam kelompok tersebut sejatinya masing-masing perempuan sudah berbeda satu sama lain. Kebahagiaan menurut
etnis
Batak
dilihat melalui
keturunan
yang diperoleh.
Perempuann Batak yang memiliki keturunan dianggap lebih berharga atau menilai dibandingkan perempuan yang tidak memperoleh keturunan. Kebahagiaan seakan diatur oleh budaya dan bukan lagi hak milik sepenuhnya masing-masing individu, khususnya perempuan.
Gambar 3. 6 Mak Gondut Saat Jatuh Sakit
Dalam
ada
istiadat
Batak,
ada
beberapa
aturan
dalam
melangsungkan acara perkawinan bahkan memakamkan jasad. Ukuran III-26
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kebesaran hagabeon akan dimunculkan ketika seseorang meninggal dunia, ukuran itu ialah Sarimatua dan Saurmatua (Tinambunan, D Toruan, R, 2010, hal. 7). Seseorang dikatakan Sarimatua ketika seseorang (suami atau istri) yang meninggal dunia masih ada tanggungan, artinya ada diantara anak-anaknya yang belum berkeluarga sehingga tidak dapat dikuburkan dengan adat Batak penuh. Sedangkan Saurmatua adalah seseorang (suami atau istri) yang meninggal dunia tetapi telah berhasil membesarkan anakanaknya hingga masing-masing membentuk rumah tangga, sehingga jasad orang itu akan dimakamkan dengan pesta adat yang meriah. Pada zaman dahulu, pesta pemakaman orang tua yang meninggal berlangsung selama tujuh hari dan membutuhkan kayu kering yang cukup banyak untuk memasak segala keperluan pesta adat. Dalam hal ini, kebudayaan Batak tidak mengizinkan penggunaan kayu yang belum kering atau yang ditebang dari pohon yang masih tumbuh, karena kayu yang digunakan harus berasal dari pepohonan yang sudah kering (Siburian, 2008, hal.80). Pada acara adat tersebut, semua anak, cucu dan sanak saudara manortor dengan iringan musik Batak. Jenazah diletakan dihadapan keluarga untuk kemudian dimakamkan. Melihat begitu berharganya keturunan, terutama anak laki-laki sehingga seringkali disangkutpautkan dengan relasi gender, yang mana muncul stereotipe-stereotipe mengenai perempuan. Kuatnya adat istiadat Batak serta kepercayaan masyarakat Batak pada adat tersebut menciptakan stereotipe yang berkaitan dengan peran gender yang kemudian berdampak pada relasi gender antara perempuan dan laki-laki. III-27
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Sejak kau di pilim, tak pernah ku tenggok kau di gereja.” “Mami lima kali sehari ke gereja tapi duit si BK Marpaung juga mami ambil.” “Sudah gorila sinaga pula kau. Pantas orang takut. Senyum kau sedikit, biar mau orang sama kau.”
Terjadi perdebatan panjang antara Mak Gondut dan Glo saat Glo pulang bersama Acun (teman laki-laki Glo) yang dalam keadaan mabuk. Mak Gondut merasa semenjak Glo sibuk dengan obsesinya mencapai mimpinya, Glo tak pernah beribadah. Mak Gondut kemudian marah, apalagi ketika Glo justru membantah perkataan Mak Gondut.
Gambar 3. 7 Perdebatan Panjang Mak Gondut Dan Glo Mengenai Pasangan
Dikatakan bahwa peran gender (gender roles) adalah apa yang diharapkan, ditentukan atau dilarang bagi satu jenis kelamin tertentu (Handayani, CS Novianto, A, 2004, hal. 161). Namun peran gender ini seringkali distereotipekan. Stereotipe gender ini berarti suatu keyakinan tentang ciri sifat maupun karakteristik psikologis yang tepat pada laki-laki atau perempuan. Maka berarti peran gender merupakan perilaku yang akan terekspresi dalam peran sosial yang dijalankan. Arti keturunan bagi etnis Batak menjadikan perempuan sebagai objek pembentukan stereotipe. Perempuan yang memiliki keturunan dianggap lebih berharga, hebat dan berhasil, begitu sebaliknya. Sehingga, perempuan terbatasi atau tersekatIII-28
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sekat yang mengharuskan perempuan melakukan peran-perannya sesuai yang distereotipekan. Bentuk ideal yang diharapkan oleh etnis Batak merupakan stereotipe itu sendiri, dimana perempuan seharusnya memiliki pasangan dan mempunyai keturunan. Stereotipe menentukan arah perilaku seseorang karena seringkali hal tersebut menentukan cara pandang suatu kelompok atau cara seorang berinteraksi (Sadli, 2010, hal. 24). Perempuan seharusnya murah senyum, menjadi salah satu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh perempuan, Batak khususnya. Perilaku tersebut diwajibkan agar dapat membawa daya tarik pada laki-laki. Sammaria (sutradara): Sebagai manusia yang kebetulan perempuan, saya yakin kita harus menemukan kebahagiaan pribadi dan tidak berusaha melawan nilai yang dianut orang lain, termasuk patriarki.
Kutipan pernyataan tersebut disampaikan oleh Sammaria sebagai opininya ketika membicarakan patriarki yang seharusnya dilanggengkan atau dilenyapkan oleh perempuan. Sammaria menjawab pertanyaan dengan cukup bijak yang dimulai dari pernyataan mengenai keinginannya dan realita yang ada. Sammaria mengakui bahwa manusia berhak memperoleh kebahagiaan pribadi. Dalam hal ini manusia terutama perempuan memiliki pilihan untuk membahagiakan dirinya sesuai caranya masing-masing. Sehingga sebenarnya persoalan kawin dan keturunan ialah tergantung pada individu itu sendiri melihat hal-hal tersebut sebagai tolak ukur kebahagiaan masing-masing atau tidak. Namun menariknya disini ialah ketika Sammaria menanggapi realita yang ada bahwa patriarki memang benar-benar hadir dalam etnis Batak. Solusi yang ditawarkannya III-29
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menghadapi realita tersebut ialah memilih untuk tidak berusaha melawan nilai yang dianut orang lain, termasuk mengenai patriarki. Maksudnya, Glo boleh saja memilih dan menentukan kebahagiaannya tetapi tidak untuk mengubah nilai yang dianut oleh Mak Gondut. Seperti yang sudah diungkapkan sammaria sebelumnya bahwa semua manusia, khususnya perempuan, berhal menentukan jalan kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing. Ini juga sebenarnya berkaitan dengan peran gender dan berimbas pada bagaimana Sammaria menampilkan tiap-tiap nilai ideologisnya melalui scene-scene dalam film Demi Ucok. Peran gender yang seringkali diidentikan pada sifat atau ciri-ciri tertentu. Bem Sex-Role Inventory (BSRI) (dalam Handayani, CS Novianto, A, 2004, hal.161-162) menuliskan sifat atau ciri-ciri yang melekat pada dimensi feminim maupun maskulin. Untuk dimensi feminim, biasanya mencakup sifat atau ciri-ciri berikut: Penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasian; pendengar yang baik; hangat dalam pergaulan; berhati lembut; senang pada anak-anak; lemah lembut; mengalah; malu; merasa senang bila dirayu; berbicara dengan suara keras; mudah terpengaruh; polos/naif; sopan; dan bersifat kewanitaan.
Sedangkan
ciri-ciri
yang biasanya
dilekatkan pada
maskulin ialah: Mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri; berjiwa bebas/tidak terganggu dengan pendapat lain; berkepribadian kuat; penuh kekuatan (fisik); mampu memimpin atau memiliki jiwa kepemimpinan; berani mengambil resiko; suka mendominasi/ menguasai; punya pendirian atau berani bersikap; agresif; percaya diri; berpikir analitis atau melihat hubungan sebabakibat; mudah mengambil keputusan; mandiri; egois
III-30
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
atau mementingan diri sendiri; bersifat kelaki-lakian; berani bersaing atau berkompetisi; dan bersikap atau bertindak sebagai pemimpin.
Ciri-ciri tersebut melekat pada dimensi feminim dan maskulin. Pengkategorian feminim dan maskulin biasanya merujuk pada jenis kelamin, dimana perempuan disebut feminim sedangkan laki-laki disebut maskulin, walau sebenarnya kedua hal tersebut berbeda. Ketika seseorang perempuan tidak memiliki salah satu dari sifat atau ciri-ciri pada dimensi feminimnya, maka dianggap perempuan tersebut melanggar atau tidak sesuai dengan sepantasnya dilakukan perempuan. Perempuan akhirnya semakin terbatasi dengan pengkategorian dimensi feminim seperti hal tersebut. Sifat atau ciri-ciri yang telah distereotipkan menjadi patokan untuk memposisikan perempuan yang berimplikasi pada kemampuan daya tarik perempuan terhadap laki-laki. Dalam etnis Batak pun terdapat stereotipe tertentu tentang apa yang “pantas” bagi perempuan maupun laki-laki Batak. Sebuah peribahasa Cina mengatakan bahwa perempuan itu baik untuk dilihat, bukan untuk didengarkan. Peribahasa ini menunjukkan bahwa perempuan sebaiknya diam, karena apa yang dikatakan perempuan bukanlah sesuatu yang patut kita dengarkan. Perempuan hanya patut untuk diamati dan dilihat saja (Kuntjara, 2003, hal.12). “Kemarin ada sih si Tampubolon. Tapi kabur liat perut si Glo besar kali.” “Ini gara-gara kau nya inilah bang.” “kenapa dulu sering kau belikan bon-bon.”
III-31
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Saat pemakaman ayah Glo, Mak Gondut mengeluh tentang Glo yang tak kunjung memiliki pasangan. Harapan sekaligus obsesi Mak Gondut untuk memiliki menantu laki-laki menggerakkan dirinya untuk menjodohkan anaknya tersebut dengan laki-laki Batak. Namun ternyata, tidak sesuai dengan harapan karena Glo yang tidak merespon dengan baik laki-laki tersebut sehingga tidak ada kabar lagi dari laki-laki tersebut. Penampilan fisik menjadi salah satu bahan stereotipe bagi perempuan untuk mencapai titiik “pantas” seperti yang diharapkan (Sadli, 2010, hal.31). Pantas menurut etnis Batak ini adalah ketika perempuan sampai pada titik dimana ia mendapatkan pasangan dan memiliki keturunan. Seperti halnya kutipan perkataan Mak Gondut dibawah ini : “Selamat panjang umur, dapat pasangan.Yeah.”
Ketika Glo bertambah usia, Mak Gondut membawakan sebuah kue sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan lirik yang diganti sendiri oleh Mak Gondut. Lantunan lagu tersebut secara eksplisit menyatakan ekspektasi ibu terhadap anaknya untuk segera memiliki pasangan sesuai yang diharap-harapkan.
Gambar 3. 8 Mak Gondut Membawa Kue Tart Saat Ulang Tahun Glo
III-32
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Ekspektasi tersebut menyelipkan pesan implisit bahwa semakin bertambah dewasa seorang perempuan, seharusnya perempuan mulai untuk memikirkan perkawinan. Doa dan harapan biasanya berorientasi pada masa depan, sehingga peneliti menginterpretasi bahwa perkawinan merupakan satu-satunya masa depan perempuan. Keinginan Mak Gondut agar Glo memiliki pasangan beberapakali ditampilkan dalam scene, seperti sebagai berikut: “Aduh, Mi si Manhora nih.” “Kalo misal keluar, bisa kawin lagi loh. “ “Baguslah, syukur masih ada yang kawin dirumah ini.”
Ketika Manohara, anjing peliharaan kesayangan Mak Gondut, berkeliaran di luar rumah, Glo dengan cepat memanggil Mak Gondut untuk segera membawa Manohara masuk karena khawatir Manohara akan kawin lagi dengan anjing lain lagi. Karna Glo membahas tentang perkawinan, maka kemudian Mak Gondut menimpal dengan kalimat sarkasme. Sarkasme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti (1) (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; (2) cemoohan atau ejekan kasar. Tidak hanya pada saat itu saja, kalimat sarkasme juga diucapkan pada scene berikut ini: “Tante Nora mau ke kutub selatan.” “Oh.” “Aku lagi nunggu visa dari Argentina.” “Baru tau kutub selatan ada yang punya.” “Semua di dunia ini ada yang punya Glo. Kau aja ga ada yang punya.”
Kutipan dialog ini ditengah-tengah perbincangan kepergian Tante Nora (namboru Glo) ke Kutub Utara untuk bekerja. Tante Nora adalah seorang perempuan pekerja keras yang sering berkunjung ke berbagai negara. Mak III-33
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gondut kembali mengucapkan kata sarkasme kepada Glo mengenai kepemilikan dimana perempuan seharusnya memiliki pemilik. Pemilik disini yang dimaksudkan ialah laki-laki (pasangan). Laki-laki memiliki kuasa atas kepemilikannya pada perempuan. Perempuan dimiliki laki-laki disini merupakan salah satu stereotipe dimana perempuan tidak memiliki kuasa atas laki-laki. Stereotipe juga berimbas pada ranah publik dan domestik. Pekerjaan menjadi salah satu bahan stereotipe yang sering disinggungsinggung. Penggunaan istilah yang berkaitan dengan pekerjaan seringkali berbias gender. Kebanyakaan orang akan mengasoisasikan pekerjaan dengan laki-laki (Kuntjara, 2003, hal.17). bekerja bagi perempuan seringkali menjadi perdebatan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perempuan wajib di rumah saja, mengurus rumah tangga. Bekerja (mencari nafkah) menjadi kewajiban suami atau walinya. Pendapat lain menyatakan, perempuan maju identitk dengan memiliki penghasilan sendiri. Apabila memilih untuk berumah tangga maka akan timbul pertanyaan, “sudah kuliah, kenapa tidak bekerja?” “Tadinya katanya kau ke gereja, kok malah mabok. Sejak kau di pilim, tak pernah ku tenggok kau di gereja.”
Gloria sedang berkonsentrasi untuk mengerjakan film keduanya, sampaisampai ia seringkali melalaikan kewajibannya untuk beribadah. Maka, Mak Gondut menyindirnya dengan kutipan seperti diatas. Apabila melihat kutipan perkataan Mak Gondut tersebut, pekerjaan dianggap bukan sebagai suatu hal yang wajib, bukan pula suatu kebutuhan seorang III-34
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan. Kebutuhan akan pekerjaan yang dimiliki perempuan tidak lebih besar dibandingkan kebutuhan laki-laki akan pekerjaan. Perempuan dibutuhkan dalam ranah domestik, yaitu bekerja mengurusi rumah, dibandingkan dalam ranah publik. Perempuan dicegah untuk masuk dalam ranah publik dimana pekerjaan berada (Sunarto, 2009, hal.42). Pekerjaan menyebabkan perempuan dapat meninggalkan atau mengabaikan kegiatankegiatan, seperti kegiatan beribadah, yang disebutkan oleh Mak Gondut. Sama halnya dengan kutipan dibawah ini : “Sapi ini, halal kok” “Aku ga makan sapi juga.” “Bah, diet kau.” “Ga makan daging dia. Sutradara, ada gila-gilanya.” “Oh sutradara.”
Percakapan singkat antara Mak Gondut, Glo dan teman Mak Gondut yang menjodohkan Glo dengan adiknya. Bertempat di sebuah restauran chinese food, teman Mak Gondut memulai percakapan dengan menawarkan Glo daging sapi dihadapannya. Namun Glo menolaknya. Bukan karena Glo sedang diet (aturan makanan khusus untuk kesehatan yang biasanya atas petunjuk dokter), namun karena memang Glo tidak pernah makan segala bentuk daging. Mak Gondut kemudian menimpal seperti ini: “Ga makan daging dia. Sutradara, ada gila-gilanya.”
Pekerjaan dikonotasikan sebagai hal yang negatif apabila berkenaan dengan perempuan. Penggunaan kata “ada gila-gilanya” dipakai untuk merepresentasikan pekerjaan bagi perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila merupakan kata sifat yang merujuk pada arti sakit III-35
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal; tidak biasa/tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal). Arti tersebut tidak bedah jauh dengan arti dalam bahasa Batak.Terdapat dua peneliti melihat kutipan tersebut, yaitu: perempuan yang bekerja dianggap gila (tidak masuk akal) atau sutradara dianggap pekerjaan yang tidak sebagaimana mestinya untuk perempuan. Dari kutipan tersebut, ada penengasan bahwa perempuan pun tidak memiliki pilhan dalam menentukan peran di ranah publik atau domestik. Stereotipe telah membekukan posisi perempuan pada bentuk-bentuk tertentu sehingga terjadi ketimpangan gender. Adanya anggapan bahwa perempuan harus sesuai kodratnya, tidak semestinya bekerja di ranah publik dan lain sebagainya. Sikap positif terhadap kemampuan perempuan belum menjadi keyakinan setiap orang. Penyebabnya, internalisasi nilainilai sosial, agama, budaya bahwa perempua tidak sama dengan laki-laki, termasuk dalam aspek kemampuan inteligensinya dan kapasitasnya memimpin di ruang publik (Sadli, 2010, hal. 304). Salah satu dimana perempuan diragukan yaitu saat penilaian seorang anggota DPR laki-laki terhadap Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina. Penilaian yang sangat seksi dan meragukan kapasitas perempuan mengisi ranah publik. Pada dasarnya perempuan cukup inferior dibanding laki-laki. Sammaria (sutradara): Saya percaya manusia diciptakan setara. Apapun posisinya. Jadi istri seharusnya setara dengan suami.
III-36
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Produsen teks dalam film ini pun juga menuntut adanya kesetaraan baik dari bidang manapun antara laki-laki dan perempuan. Bahwa istri dan suami memiliki posisi yang sama sehingga tidak ada pembeda-bedaan yang menyebabkan “jarak” bagi perempuan dan laki-laki. Begitu pula dalam ranah publik maupun domestik, laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam memilih hendak bekerja dibidang yang mana bahkan ketika hendak memilih keduanya agar dapat berjalan beriringan. Sejatinya stereotipe tidak dimunculkan apalagi hanya dilekatkan pada objek perempuan saja.Itulah mengapa dalam Demi Ucok pun stereotipe secara jelas ditampilkan melalui kutipan dialog yang seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diatas. Bahkan dalam awal scene, Glo menjelaskan dengan tegas bagaimana stereotipe perempuan Batak, dalam bentuk seperti : “Baginya cuma ada tiga tujuan hidup cewek Batak: kawin ama Batak, bikin anak Batak, dan nyari menantu Batak.” “Tinggal nyari menantu Batak, baru Mak Gondut bisa mati bahagia.”
Kata “nya” disini ditujukan kepada Mak Gondut, dimana disini peneliti jelas sekali ditampilkan peran-peran perempuan Batak yang sepantasnya dilakukan. Sama sekali tidak disinggung mengenai ranah publik. Perkawinan dan ranah domestik menjadi tujuan dari peran perempuan Batak yang sesungguhnya. Mengutip Murniati (2004, hal.6) dikatakan bahwa perempuan menikah disebut ‘sumangali”, sebab membawa keberuntungan suami. Ia menolong suami untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu dharma (kewajiban), artha (kesuburan dan kekayaan), serta III-37
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kama (kenikmatan seks). Selain itu, perempuan menikah dipandang sebagai pembayar utang suami (Murniati, 2004, hal.6). Laki-laki sejak lahir mempunyai hutang kepada guru, dewa-dewa dan para leluhur. Suami didampingi istri membayar hutang melalui penampilan domestik dan publik yang betul. Utang itu harus dibayar dalam bentuk anak keturunan. Sehingga tujuan Mak Gondut dalam hidup sebenarnya hanya kurang satu, yaitu mencari menantu Batak untuk Glo, maka dengan begitu Mak Gondut dapat dikatakan sebagai perempuan Batak sesungguhnya atau ideal menurut stereotipe-stereotipe tersebut. Perempuan seharusnya kawin, itulah secara eksplisit maupun implisit ditampilkan dalam kutipan-kutipan tersebut.
3.1.3 Sikap Etnosentrisme Kaum Batak Dalam
subbab
ini,
peneliti
menjelaskan
mengenai
sikap
etnosentrisme kaum Batak dalam beberapa scene film Demi Ucok. Sebagaimana yang dikatakan oleh Priandono (2014, hal.200) bahwa entnosentrisme merupakan keyakinan mengenai perilaku kelompok budaya sendiri (seperti norma, cara berpikir,dsb) yang dianggap bersifat lebih unggul dibandingkan kelompok budaya lain. Peneliti melihat adanya wacana etnosentrisme yang berusaha disampaikan melalui beberapa dialog dalam scene. Sikap etnosentrisme kaum Batak ini merupakan bagian yang mengokohkan sistem itu sendiri. Kebanggaan akan kaum tertentu justru III-38
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
akan membawa kaum tersebut mencapai titik untuk ingin merasa unggul. Hal
ini
dapat
diwujudkan
dalam
bentuk-bentuk
perilaku
yang
menampilkan secara jelas tiap keunggulan yang ada. Selain itu, untuk tetap mempertahankan keunggulan kaum tersebut dibutuhkan adanya bentukbentuk perilaku yang berfungsi untuk mengaburkan identitas kaum lainnya. Perilaku tersebut akan menyebabkan menonjolnya kaum unggul tersebut. Disamping itu, pemisahan diri satu kaum dengan yang lainnya atau bisa disebut pengesklusifan kelompok dianggap penting untuk dilakukan agar mempertahankan posisi unggul tersebut. Hal ini sematamata untuk menghindari pengaruh identitas kaum lain yang akan mengaburkan identitas kaum tersebut. Yang tentunya akan berimbas pada sistem-sistem yang telah diteguhkan oleh kaum tersebut. Mulai dari scene awal wacana etnosentrisme ini sebenarnya sudah disinggung melalui perkataan Mak Gondut, mama Gloria. Dalam scene tersebut Mak Gondut menggunakan perumpamaan anjing peliharaannya untuk mengandaikan konsep perkawinan. Scene ini merupakan jawaban atas pertanyaan dalam scene sebelumnya yang menanyakan “Kenapa Harus Batak”.
III-39
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 9 Mak Gondut Bersama Kedua Anjing Peliharaannya
Manohara (kiri), merupakan anjing peliharaan Mak Gondut dari hasil perkawinan ras yang sama (murni). Sedangkan, Bobot (kanan) merupakan hasil percampuran dua ras yang berbeda. Pengambilan gambar dibuat dengan medium shot dimana secara jelas terlihat Mak Gondut yang sedang duduk dengan mengendong Bobot (kanan) dan “membiarkan” Manohara duduk sendiri dikursi sambil kemudian memegang bulu Manohara menggunakan tangan kanannya. Peneliti gambar tersebut sebagai hal yang menarik karena kenyataannya Mak Gondut memilih mengendong Bobot yang secara jelas merupakan anjing hasil perkawinan dua ras berbeda (campuran) dan mengabaikan Manohara. “Ibarat doggy, yang ga dicampur itu lebih mahal”
Dari kutipan perkataan Mak Gondut tersebut, tampak jelas adanya penekanan bahwa perkawinan satu suku lebih bernilai (berharga) dibandingkan perkawinan beda suku. Kosakata yang digunakan adalah ‘mahal’, disini diinterpretasikan peneliti sebagai suatu nilai tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘mahal’ dapat diartikan: (1) tinggi harganya; (2) jarang ada, sukar terdapat atau tidak mudah. Interpretasi
III-40
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
peneliti semakin diperjelas melalui arti tersebut, ditambah dengan adanya pelabelan harga yang diberikan pada kedua anjing peliharaan tersebut. Manohara bernilai Rp 1.200.000 sedangkan Bobot bernilai jauh di bawah harga Manohara yaitu senilai Rp 40.000. Ditambah lagi, Bobot menggunakan baju persib (tim sepak bola Bandung) yang bernilai Rp 70.000. Baju persib tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dibanding Bobot sendiri. Dapat diartikan Manohara memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan Bobot. Dalam dimensi tekstual, apabila dihubungkan dengan konteks perkawinan, pesan yang hendak disampaikan disini ialah perkawinan satu suku memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perkawinan beda suku.
Gambar 3. 10 Mak Gondut Dan Kedua Anjing Peliharaannya Dalam Nilai Harga Masing-Masing
Dari pelabelan nilai yang cukup jauh tersebut, peneliti juga menemukan adanya penggolongan ke dalam kelas yang berbeda antara yang keturunan murni dan keturunan campuran. Adanya anggapan bahwa keturunan yang memiliki ras yang sama dianggap keturunan baik memperjelas bahwa harkat atau martabat seseorang bergantung juga dari latar belakang ia berasal. Burhanuddin (2008, hal.192) memperkuat interpretasi peneliti dengan mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan III-41
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
adanya prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok mayoritas (dominan) dengan minoritas ialah etnosentrisme itu sendiri. Produsen teks (Mak Gondut) merupakan perempuan Batak yang juga merupakan keturunan murni Batak. Dalam perkawinannya pun, ia berhasil
menikah
dengan
laki-laki
satu
suku.
Disini
peneliti
menginterpretasi bahwa Mak Gondut hendak memberikan pesan bahwa ia merupakan salah seorang perempuan yang mahal (memiliki nilai tinggi) karena melalui perkawinan satu suku dan memiliki keturunan murni Batak (Gloria). Perilaku ini sebenarnya ialah untuk mengokohkan sistem patrilineal itu sendiri bahwa kenyataanya kaum Batak memiliki keunggulan yang memandang bahwa kaum Batak seharusnya memilih untuk menikah dengan kaum Batak lainnya untuk memperoleh peningkatkan harkat (kenaikan harga kalau dalam perumpamaan tersebut) dibandingkan kaum lain sehingga masyarakat Batak seharusnya memiliki sikap etnosentrisme tersebut. Scene tersebut seakan menjelaskan mengenai komentar-komentar dari orang-orang mengenai perkawinan (dalam scene sebelumnya) dimana nikah seharusnya pilihan dan ibadah sehingga adat seharusnya tidak membatasi seseorang memilih untuk menikah dengan kaum Batak atau tidak. Peneliti menginterpretasi bahwa scene Mak Gondut ini menutup dengan jawaban tegas mengenai pertanyaan pada scene sebelumnya “mengapa kawin dengan Batak?”. Hal ini karena Mak Gondut melihat bahwa kaum Batak merupakan kaum yang unggul dilihat dari pandangan III-42
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengenai ras murni yang dianggap lebih mahal dibandingkan ras campuran.
Gambar 3. 11 Glo Bersama Dengan Tompul Di Rumah Niki
Scene ini ketika Tompul, laki-laki Batak yang dijodohkan dengan Gloria, bimbang untuk memilih mengikuti kata hatinya atau mengikuti permintaan orang tuanya yang menginginkan untuk menikah dengan perempuan Batak. Ia merasa berat hati untuk menikah dengan perempuan Batak karena Tompul sudah terlanjur mencintai seorang perempuan asal Padang. Hubungan mereka kandas karena orang tua Tompul tidak mengizinkannya. Tompul telah berjanji untuk menikah dengan perempuan Batak sebelum sesaat setelah ibunya meninggal. Namun kemudian Gloria berusaha menyadarkan Tompul untuk mengikuti kata hatinya, yaitu dengan mempertahankan hubungannya dengan perempua Padang tersebut. Tompul kemudian merenung. Tak lama kemudian, Glo mengatakan seperti dibawah ini: “Udah, lagian kalo elo kawin sama gue elo harus bayar sinamot 2 juta perkilo. Ya kan? Kalau ama orang padang, elo yang dibayar.”
Scene ini menggunakan close-up shot dimana produsen teks sendiri sebenarnya hendak menunjukkan eskpresi Glo ketika mengatakan hal III-43
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut. Scene ini menunjukkan penekanan ekspresi dimana Glo seakan mengajari (menuntun) Tompul. Ekspresi Tompul yang tersenyum dan menundukkan sedikit kepalanya tanpa melihat ke arah Glo sementara Glo memfokuskan
matanya
melihat
Tompul
dengan
seakan
hendak
menampilkan adanya posisi “pengajar” sedang bercengkraman dengan “yang didik”. “Pengajar” disini diartikan peneliti sebagai seseorang yang dianggap benar sedangkan “yang didik” dianggap tidak mengerti apa-apa dan sebaiknya mendengarkan “pengajar”. Secara implisit menjelaskan bahwa pernyataan Glo merupakan kebenaran dimana perempuan Batak memiliki keistimewaan melalui sinamot yang lebih tinggi dibandingkan perempuan Padang. Sikap etnosentrisme ini sudah dimunculkan melalui non verbal yang ditunjukkan tersebut. Sinamot adalah harga yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan ketika hendak menikahi perempuan tersebut. Sinamot disini memiliki arti serupa dengan ‘mahar’. Melalui kutipan diatas, peneliti menginterpretasikan bahwa perempuan Batak dianggap lebih mahal dibandingkan perempuan Padang. Hal itu karena perempuan bernilai lebih dari 2 juta, dibandingkan perempuan padang yang justru membayar kepada pihak laki-laki yang melamarnya (tidak memiliki harga). Sebagaimana yang dikatakan Liliweri (2003, hal. 15), konsep etnosentris ini
mewakili
semangat
dan
ideologi
untuk
menyatakan
bahwa
kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Kalimat tersebut diucapkan Gloria karena lawan bicara juga merupakan III-44
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kaum yang sama dengannya (sama-sama Batak) sehingga Gloria tidak sungkan atau takut menyinggung ketika mengucapkan kalimat tersebut. Burhanuddin
(2008,
hal.192)
juga
mengemukakan
bahwa
etnosentrisme bersifat arbiter, artinya etnis manapun bisa bersikap etnosentris karena persoalannya hanya pada mayoritas dan minoritas. Dalam kondisi sosial seperti ini, etnis yang minoritas selalu menjadi bulan-bulanan etnosentrisme dari etnis mayoritas. Hal ini karena mereka (etnis minoritas) tidak memiliki kekuatan apa-apa. Selain itu disisi lain, kelompok mayoritas selalu merasa lebih unggul (superior) dari kelompok minoritas. Kritik Gloria terhadap perilaku Tompul yang malah mengikuti kemauan orang tua menikah dengan kaum sendiri (suku Batak) justru menampilkan wacana kecintaan pada suku sendiri (suku Batak). Penguatan etnosentrisme terekspresi melalui bahasa yang digunakan, walau dalam hal ini sebenarnya Gloria dalam posisi menentang perkawinan satu suku tersebut. Hal ini diinterpretasi peneliti sebagai bagian dari bentuk sikap etnosentrisme tersebut dimana sikap tersebut diwujudkan dengan mengaburkan identitas lain, dalam hal ini etnis Padang, dengan cara membandingkan kaum Batak dengan kaum padang itu sendiri. Menariknya, perempuan bahkan menjadi objek yang dibanding-bandingkan. Perempuan ikut sebagai korban dalam pengaburan identitas kaum lainnya yang tujuannya sebenarnya untuk mengukuhkan identitas kaum Batak itu sendiri.
III-45
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Etnosentrisme membawa pengabdian individu ke titik ekstrim dimana individu tersebut tidak dapat mempercayai bahwa budaya lain yang terkait perilaku, norma-norma, cara berpikir, dan cara-cara menjadi sebagai baik atau layak bagi individu tersebut (Priandono, 2014, hal. 201). Sebagaimana kutipan dibawah ini: “Jadi harimau itu sekarang sudah menjelajah jakarta untuk menaklukan lebih banyak lagi Batak-Batak cantik.”
Kutipan tersebut merupakan scene dimana terjadi percakapan antara opung dengan Gloria, sesaat setelah Gloria hendak mengucapkan salam pamit untuk bekerja. Harimau disini yang dimaksudkan ialah Acun, teman Gloria yang sedang menunggu Gloria saat itu, yang merupakan peranakan Cina. Arti harimau disini diinterpretasikan oleh penulis sebagai binatang buas yang menangkap mangsanya dengan gigi tajam dan tubuh yang kuat. Batak-Batak cantik diinterpretasikan sebagai mangsa dari daripada harimau tersebut. Sehingga, pernyataan Opung ini menyiratkan tanda peringatan kepada Batak-Batak cantik tersebut agar waspada terhadap harimau tersebut. Hati-hati disini bila dikaitkan dengan konteks perkawinan dapat bermakna hati-hati agar tidak jatuh cinta (menaruh rasa) kepada lawan jenis yang tidak satu suku (berbeda suku).
III-46
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 12 Glo Bersama Opung Sedang Ngobrol
Opung merupakan salah seorang perempuan Batak yang pada akhirnya mengambil pilihan untuk menikah dan melahirkan serta mengasuh anak. Pilihan itu diambil opung dengan konsekuensi menguburkan impiannya menjadi seorang opera Batak. “Lagi mencari Batak-Batak cantik. Nyari aku dong pung? Bukan kau, mamak kau.”
Sebagaimana diungkapkan dalam kutipan diatas, tersirat bahwa Batak cantik yang dimaksud oleh Opung ialah bukan Gloria, melainkan mama Gloria yang tidak lain dan tidak bukan ialah Mak Gondut. Peneliti melihat bahwa pesan peringatan itu ditujukan khusus kepada siapa saja yang termasuk dalam kategori Batak cantik. Gloria yang juga merupakan perempuan Batak bahkan bukan termasuk dalam kategori Batak cantik seperti yang diungkap Opung. Hal ini berarti tidak semua perempuan Batak disebut atau termasuk dalam kategori Batak cantik.
III-47
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 13 Gloria Heran Dengan Jawaban Opung Tentang Konsep Batak Cantik
Lantas yang membedakan Gloria dengan Mak Gondut sebenarnya hanya kepada prinsip atau pola pikir. Gloria dengan mindset mengejar dan meraih mimpi sedangkan Mak Gondut yang memilih untuk menikah dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Apabila dihubungkan, maka peneliti menginterpretasikan bahwa yang termasuk dalam Batak cantik ialah perempuan Batak yang menikah dan melahirkan anak. Maka, pesan peringatan tersebut dimaknai sebagai pesan agar perempuan Batak (yang memilih menikah dan melahirkan anak) dapat lebih waspada terhadap daya tarik laki-laki suku lain. Ini yang disebut peneliti dengan pengesklusifan suatu kaum, dalam hal ini kaum Batak itu sendiri. Perempuan lagi lagi menjadi objek untuk dapat menjelaskan ekslusivitas kelompok tertentu (pemisahan kelompok satu dengan lainnya). Dikatakan bahwa perempuan Batak seharusnya masuk dalam “Perempuan Batak Cantik” dan “Perempuan Batak Cantik” harus berhati-hati dengan kaum lainnya. Ini semua hanya untuk memberikan jarak dimana kaum Batak berbeda dengan kaum lainnya sehingga etnosentrisme itu wajar bagi kaum Batak. III-48
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.2 Resistensi Perempuan Batak dalam Film Demi Ucok Sistem patrilineal yang terus mengakar dan cenderung mendominasi sehingga mendiskreditkan perempuan mengakibatkan perempuan semakin kritis dan berhati-hati mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem patrilineal itu sendiri termasuk kehati-hatian memasuki institusi perkawinan.
Ketidakadilan
gender yang seringkali terjadi ketika perempuan memasuki tahap perkawinan ialah kekerasan. Telah cukup banyak kasus yang berkaitan dengan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam keluarga. Kekerasan berupa fisik maupun dominasi laki-laki dalam menentukan peran perempuan itu sendiri. Anggapan mengenai perempuan yang hanya memiliki peran dalam ranah domestik dan tidak memiliki kemampuan untuk memasuki ranah publik juga salah satunya. Pertentangan atau konflik seperti hal itu seringkali kemudian menimbulkan kekerasann fisik. Maka tak asing lagi bila mendengar istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam hal ini terjadi ketidakdilan gender dimana tidak adanya kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini cenderung dikarenakan: 3. perempuan tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki 4. perempuan tidak diberi penghargaan yang sama dengan laki-laki Bahwa masih cukup banyak kelompok masyarakat yang menggunakan pola pemikiran tradisional-patriarkhi
dimana perempuan sesuai dengan
kodratnya yaitu mengurus ranah domestik, bukan ranah publik seperti laki-laki. Padahal gender dan kodrat adalah dua aspek berbeda dan seharusnya tidak disamakan. Karena kodrat menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan. III-49
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Seperti halnya, seorang perempuan yang seharusnya pintar masak, karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masak-memasak dalam diri seorang perempuan, begitu pula dengan laki-laki. Maka, sewajarnya kegiatan memasak ini dapat dilakukan oleh kedua sepasang suami istri, mereka dapat saling bertukar peran sehingga relasi gender terjalin dengan baik. Ketiadaan bertukar peran yang seharusnya dilakukan inilah yang seringkali membawa perempuan pada posisi inferior, dimana perempuan berada pada kondisi yang tersubordinasi oleh laki-laki. Kedudukan kepala keluarga biasanya diberikan kepada laki-laki. Kuasa tersebut menyebabkan laki-laki menjadi kaum superior dalam keluarga. Laki-laki dapat mengatur seisi keluarga, termasuk sosok yang menjadi pendampingnya (istri). Perempuan diletakan dalam posisi pendamping suami, dalam hal ini saja sudah nampak jelas bentuk subordinasi terhadap perempuan pada kedudukan perempuan dalam institusi keluarga. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menimbulkan perlawanan atau resistensi perempuan itu sendiri. Namun, perlawanan tidak serta merta menghasilkan suatu wacana alternatif yang radikal. Seringkali ada pandangan bahwa perlawanan didasarkan atas struktur yang ganda seringkali bersifat kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu, dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkar (Lo and Gilbert dalam Susanto, 2008, hal 25). Walau resistensi seringkali bersifat radikal, terlihat secara fisik namun resistensi tidaklah harus III-50
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
muncul dalam cara-cara yang baku. Resistensi dapat terbuka, implisir, segera atau tertunda. Maka, peneliti tertarik untuk mengelompokkan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh kaum-kaum perempuan yang ada dalam film Demi Ucok, seperti dibawah ini: 3.2.1 Perempuan sebagai Pemimpi Perempuan dapat melakukan resistensi dalam berbagai bentuk. Resistensi atau perlawanan yang dilakukan dapat melalui kekerasan, seperti balas memukul, mencakar, menampar, dsb. Namun juga ada perlawanan yang hanya sebatas melawan secara verbal dengan kata-kata kasar dan suara dengan intonasi tinggi. Tidak hanya itu, perlawanan juga dapat dilakukan dengan diam membisu ketika diperlakukan tidak berkenan, dalam hal ini perempuan hanya menerima saja (Irianto dkk, 2006, hal.59). Begitu juga halnya dengan wujud perlawanan dalam film Demi Ucok yang beragam. Sebagaimana komentar Sammaria mengenai resistensi yang dimunculkan dalam film: Sammaria (sutradara): Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.
Sammaria tidak menafik bahwa resistensi merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan sebagaimana kita ketahui dinamis (berubah-berubah) membuka peluang besar muncul resistensi-resistensi tersebut, baik dari perempuan bahkan laki-laki. Semua itu merupakan satu kesatuan yang menjadi bukti nyata tentang kedinamisan kehidupan. Film sebagai perantara atau media agar tiap manusia dapat menyadari akan hal itu. Film membantu manusia untuk mengilahmi arti kedinamisan III-51
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kehidupan, dimana resistensi juga menjadi bagian dari kehidupan yang dinamis tersebut. Perempuan sebagai seorang pemimpi adalah konsep yang paling sering ditampilkan dalam film ini. Konsep ini beberapa kali ditampilkan dalam beberapa scene dengan tokoh dan sudut pandang yang berbeda pula. Seperti halnya scene dibawah ini:
“Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis.”
Gambar 3. 14 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Glo tentang Perempuan Pemimpi
“Dia pergi mimpinya.”
ke
ibu
kota
mengejar
Gambar 3. 15 Hal. 2 Cerita Perempuan Pemimpi
“Si pemimpi bertemu seorang Batak ganteng dan dijanjikan hidup happily ever after.”
Gambar 3. 16 Hal. 3 Cerita Perempuan Pemimpi
III-52
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal.”
Gambar 3. 17 Hal. 4 Cerita Perempuan Pemimpi
“Dia memilih get married, forget her dream, and live boringly ever after.”
Gambar 3. 18 Hal. 5 Cerita Perempuan Pemimpi
Kisah ini diceritakan oleh Glo sebagai awalan atau pembuka film Demi Ucok. Kisah yang menceritakan seorang perempuan yang senang bermimpi namun nampak menyesal karena tidak melanjutkan meraih mimpinya sebagai seorang artis. Keputusannya menikah membuatnya kemudian meninggalkan mimpinya dan menguburnya dalam-dalam. Dalam hal ini, secara implisit kisah yang diceritakan oleh Glo hendak membuat
pernyataan
tegas
bahwa
institusi
perkawinan
sebagai
penghambat perempuan untuk mengembangkan diri. Perkawinan dianggap tidak dapat membantu perempuan untuk mengeluarkan potensi diri yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri. Perkawinan dianggap mengikat (Sutardi,
2007
hal.83),
membatasi
serta
mengekang
perempuan
berekspresi. Sebagaimana dikatakan Suhelmi (2007, hal.40) bahwa melalui III-53
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
lembaga perkawinan, perempuan terinstitusionalisasi secara sosial sebagai pekerja rumah tangga. Kalimat akhir yang mengatakan “get married, forget her dream, and live boringly ever after” secara eksplisit memperlihatkan kondisi serta posisi setelah perempuan memiliki unit sistem baru, yaitu keluarga. Bagaimana perempuan sesungguhnya dalam keluarga berkaitan pula dengan peran yang dilakukan sebagai istri. Pengambilalihan kekuasaan yang seharusnya dimiliki keduanya, saat ini hanya dimiliki laki-laki yang mendapat kedudukan atau posisi baru selain jadi suami, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Pembagian peran tidak lagi rata dan adil seperti yang dibayangkan. Plato (dalam Suhelmi, 2007, hal.40) juga melihat bahwa lembaga perkawinan telah menciptakan ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak memiliki kekuatan, ia hanya makhluk inferior
bagi
suaminya.
Pada
akhirnya,
perempuan
“terpaksa”
meninggalkan atau melupakan mimpinya. Konsep mimpi bagi perempuan sebagai sebuah titik cerah yang dapat mengatasi kekelaman nasib perempuan ketika mengambil keputusan memasuki perkawinan. Bagi Glo, perkawinan bukanlah satu-satunya tujuan hidup atau mimpi perempuan. Masih ada beragam tujuan atau mimpi yang dapat dicapai oleh kaum perempuan. Inilah bentuk resistensi perempuan yang secara implisit hendak disampaikan dalam kisah seorang pemimpi yang diceritakan Glo, dimana Glo dapat menentang, melawan atau melakukan resistensi terhadap kuatnya sistem patrilineal perkawinan III-54
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Batak ialah dengan mewujudkan mimpi tersebut. Dengan mengusung konsep perempuan sebagai pemimpi, sebenarnya terselip harapan untuk dapat meresisten atau melawan dominasi laki-laki dalam sistem patrilineal Batak dalam perkawinan. Salah satunya ialah mengambil peran (bekerja) dalam ranah publik. Konsep yang dimaksudkan ialah perempuan juga dapat bekerja layaknya laki-laki lakukan dan itu bukan hanya sekedar mimpi belaka. Perempuan tidak hanya bisa mengonsep mimpinya tetapi melaksanakan atau mewujudkan mimpinya. Sebagaimana diungkapkan oleh sutradara: Sammaria (sutradara): film sebaiknya memberikan harapan.
Disini, kata “harapan“ yang sebenarnya hendak ditekankan oleh Sammaria. Film sebagai medium dimana istilah “harapan” hendak diwacanakan sebagai salah satu bentuk resistensi perempuan dalam konsep perempuan pemimpi. Bahwa resistensi tidak berarti dalam bentuk kekerasan atau dengan bentuk anarkis, mimpi dapat menjadi bentuk resistensi baru yang dapat digunakan perempuan dalam mewacanakan harapan yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama perempuan itu sendiri. Dalam kisah perempuan pemimpi diatas, mimpi disimbolkan dengan pekerjaan dalam ranah publik yaitu penghibur (artis). Artis merupakan salah satu pekerjaan yang berhubungan dengan publik atau orang banyak, karena salah satu peran artis ialah menghibur publik (entertain people). Berbeda halnya dengan ranah domestik, dimana peran III-55
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang dijalankan ialah mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga seperti merawat anak, memasak, dsb. Perempuan yang bekerja sebagai seorang artis (penghibur) kerap kali dikaitkan dengan isu-isu sensualitas/erotisme (Munti, 2005, hal. 118). Perempuan sebagai artis dimaknai konotasi, seperti misalnya mengumbar dan mempertunjukkan auratnya. Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, terdapat kalimat dalam kisah perempuan pemimpi itu yang mengatakan seperti ini: “Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal.”
Mimpi disimbolkan dalam bentuk yang menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari ibukota. Mimpi memiliki pengertian yang berbedabeda. Novel karya Lan (2006) mengisahkan kehidupan manusia yang penuh dengan uang, seks, sekaligus cinta dan kebersamaan melihat mimpi sebagai tanda dimana kehidupan itu ada, Maka seperti inilah kutipan dalam novel tersebut: Aku butuh mimpi. Aku butuh hidup. Aku butuh asa. Ku butuh cinta. Aku butuh mimpi yang hidup tentang asaan cinta. Karena mimpi, hidup itu ada (Lan, 2006, hal.271).
Mimpi diartikan sebagai sebuah pengharapan dimana kehidupan manusia sebenarnya menggantungkan diri pada mimpi. Hidup tak memiliki kaki kokoh untuk dapat berdiri apabila mimpi tidak dapat menyokongnya. Itu sebabnya, perempuan akan terus hidup bila memiliki mimpi, atau sebaliknya. Mimpi hadir dari alam pikir manusia, sehingga orang yang terbaik yang mampu menyikap tabirnya ialah diri sendiri. Perempuan yang III-56
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dapat memahami mimpi, berarti mampu memahami diri sendiri (Dee dkk, 2005, hal.1). Mimpi memiliki berbagai tafsir dan cenderung memiliki makna pribadi berdasarkan pengalaman, keyakinan agama, tradisi budaya setempat dan kehidupan masyarakat kini. Dominasi laki-laki dalam sistem patrilinealnya yang diwujudkan dalam sosok Mak Gondut dengan ambisinya mengawinkan Glo dengan laki-laki Batak disadari oleh Glo sebagai kenyataan yang tak terelakkan. Sehingga muncul konsep kisah perempuan pemimpi yang disampaikan Glo sebagai bentuk resistensinya atas kenyataan tersebut. Masih dalam konteks mimpi, ketika seseorang dalam keadaan penuh kita memandang segala permasalahan dari sudut pandang praktis dan harafiah, namun pada saat tidur dan bermimpi, masalah yang sama akan dilihat secara intuitif dan simbolis (Dee dkk, 2005, hal.2). Hal inilah yang dimaksud dengan “melihat” kehidupan dari dalam diri. Glo “melihat” kehidupan dari dalam dirinya bahwa perempuan bukanlah mahluk yang tanpa pilihan. Perempuan memiliki berbagai pilihan untuk “melihat” kehidupannya.
Bagi
Glo,
kehidupannya
ialah
menjadi
sutradara
profesional. Perempuan memiliki kesempatan memiliki kehidupan bekerja dalam ranah publik, tidak melulu dalam ranah domestik seperti stereotipestereotipe yang ada. Sekali lagi, Glo memaknai konsep mimpi seperti kutipan perbincangan dibawah ini: “Masa sih dia ga gay? Kata emak gue sih dia mau ama gue. Terus kenapa elo ga mau?Gue itu mau bikin film.” “Mau buktiin ke emak gue, kalo gue bisa hidup dari mimpi gue. Ga cari aman kayak dia, kawin.”
III-57
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kutipan dialog tersebut ketika Glo sedang berbincang dengan Niki mengenai Tampubolon, laki-laki yang dijodohkan-jodohkan oleh Mak Gondut kepada Glo. Semalam sebelumnya, Glo mengalami perdebatan yang panjang dengan Mak Gondut tentang laki-laki yang seringkali dijodohkan Mak Gondut. Karena kesal, Glo kemudian kabur dari rumah. Ia kemudian menginap dirumah Niki. Dalam perbincangannya, Glo sempat menyelipkan perkataan “Ga cari aman kayak dia, kawin”. Dibalik mimpi tersimpan makna simbolis yang mana mengandung pesan agar kita tidak “melarikan diri” dari kenyataan (Dee dkk, 2005, hal.9). Perempuan yang memutuskan untuk berhenti berimpi (memilih opsi kawin) ialah perempuan yang memilih bermain aman atau dapat disebut “melarikan diri”. Kenyataannya bahwa meraih mimpi memerlukan upaya serta usaha dalam perwujudannya, atau tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Penerimaan perempuan dalam ranah publik tak sebaik penerimaan terhadap laki-laki, bahkan dalam segi upah yang diperoleh, perempuan memperoleh upah yang lebih sedikit bila dibandingkan laki-laki (Sunarto, 2009, hal.41). Perempuan belum mendapat pengakuan akan potensi yang dimiliknya. Pandangan ini merujuk pada isu perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, yang menempatkan biologis laki-laki sebagai yang utama atau superior daripada yang lainnya sehingga berimbas pada masalah gender (Munti, 2005, hal.168). Hal itu dianggap sebagai ketimpangan gender. Sementara itu, sebagian besar perempuan memilih kawin untuk mendapatkan jaminan III-58
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
keamanan keuangan sama seperti mereka mendambakan cinta dan persahabatan (Then, 2008, hal.68). Sehingga perkawinan seakan memberikan alternatif pilihan untuk melarikan diri dengan cara aman dari persaingan yang begitu ketat melawan dominasi laki-laki yang besar dalam ranah publik. Konsep perempuan pemimpi juga disampaikan oleh tokoh lain, Mak Gondut, dalam menunjukan makna secara implisit mengenai perempuan serta mimpi-mimpinya. Kutipan kisah tersebut ialah seperti dibawah ini:
“Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis.”
Gambar 3.19 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Mak Gondut
“Dia pergi mimpinya.”
ke
ibu
kota
mengejar
Gambar 3. 20 Hal. 2 Cerita Mak Gondut
III-59
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Untung mamanya selalu mendoakan anaknya yang sok tau ini.”
Gambar 3. 21 Hal. 3 Cerita Mak Gondut
“Si pemimpi menikah sementara adikadiknya sibuk mengejar karir”
Gambar 3. 22 Hal. 4 Cerita Mak Gondut
“Akhirnya si adik-adik berhenti nya juga bekerja. Sementara di pemimpi hidup happily ever after.”
Gambar 3. 23 Hal. 5 Cerita Mak Gondut
Mak Gondut menceritakan kisah mengenai seorang perempuan pemimpi yang memilih untuk berhenti mengejar mimpinya kemudian menikah. Walau awalnya perempuan tersebut sempat memilih pergi ke ibu kota hanya untuk mengejar mimpi, namun karena doa ibunya maka ia kemudian berubah pikiran. Ia memutuskan untuk berhenti bermimpi dan menikah sementara adik-adiknya masih tetap bermimpi. Keputusannya menikah menjadi keputusan yang tepat karena disamping hidupnya III-60
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bahagia setelah menikah, adik-adiknya pun akhirnya berhenti bermimpi seperti yang ia lakukan dulu. Menurut kisah tersebut, pekerjaan diinterpretasi peneliti sebagai pembuang waktu, karena pekerjaan tidak memberikan atau tidak mengarahkan pada titik kebahagiaan. Disamping itu, keluarga (khususnya orang tua) memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan perilaku anaknya. Institusi perkawinan membuka kesempatan pada perempuan untuk mencapai kebahagiaan. Makna bahagia disini disandingkan dengan katakata “ever after” dimana berarti kebahagiaan yang didapat tidak sementara, melainkan berkelanjutan. Perempuan tidak seharusnya bersusah payah mencapai mimpinya. Perempuan tidak seharusnya bekerja dalam ranah publik. Menilik tahun 1950-an, perkawinan merupakan satu-satunya tujuan untuk mencapai standar hidup yang layak (Then, 2008, hal. 68). Mimpi yang sesungguhnya diinginkan perempuan ialah kebahagiaan yang berkelanjutan, yaitu ketika ia berhasil memasuki institusi perkawinan itu sendiri. Institusi perkawinan memberikan perlindungan pada setiap hakhak perempuan (Burhanudin, 2002, hal.168). Relasi perkawinan memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah pihak dalam mencapai kebahagiaan. Institusi perkawinan menciptakan keluarga dimana keluarga merupakan unit terkecil masyarakat. Dalam kehidupan keluarga, peran perempuan sebagai istri dan ibu sangat strategis. Perempuan akan sedapat mungkin menjaga nama baik keluarga serta suami. Perempuan bahkan menjadi pasrah, takut serta malu III-61
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
apabila kejadian atau peristiwa yang menimpa dirinya (yang masih dalam lingkup keluarga) diketahui orang lain. Rasa malu ini muncul karena ada anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan yang mengalami hal tersebut dari laki-laki sebagian besar disebabkan karena kecerobohan atau perbuatan perempuan sendiri yang tidak berkenan di hati laki-laki. Pembiaran (lumping
it) terjadi karena bermacam-macam
alasan.
Perempuan yang merasa bahwa hal tersebut juga bagian dari kesalahan yang dilakukannya, ketergantungan yang besar terhadap laki-laki, dsb. Keenganan atau pembiaran tersebut akan terus menjadi silence violence (Irianto dkk, 2006, hal, 69). Itu sebabnya, perlu pertimbangan yang disandarkan pada akal sehat dan pikiran rasional mengenai untung ruginya mengingat ada kendala dan hambatan dalam praktiknya memasuki institusi perkawinan itu sendiri (Munti, 2005, hal.173). Untuk itu, bahkan ada kiat-kiat yang harus disiapkan sebelum memutuskan membentuk suatu sistem baru yang disebut dengan keluarga. Misalnya, selain aspek emosional, ada kesepakatan mengenai jangka waktu hidup bersama, kepemilikan atas barang dan perlunya mengkomunikasikan segala sesuatu, termasuk masalah kehadiran anak. Di sini nilai-nilai otonomi individu, kesetaraan dan rasionalitas, serta pentingnya kesepakatan keduanya yang tidak merugikan satu sama lain, komunikasi dan komitmen yang menjadi landasan kehidupan inidividu di era ini, menggantikan nilai-nilai lama menyangkut moralitas. III-62
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambaran sosok Glo dalam hal ini memperlihatkan betapa individuindividu di era globalisasi ini semakin refleksif dan semakin terlepas dari cengkeraman tradisi. “Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi!”
Berkali-kali kalimat seperti kutipan diatas diucapkan oleh Glo. Kata sia-sia dipertegas oleh Glo ketika ia sedang berdebat dengan Mak Gondut. Sia sia ditujukan kepada perempuan yang kemudian mengambil keputusan untuk menikah dan meninggalkan keinginannya untuk mengejar mimpinya. Dengan tegasnya Glo memperlihatkan bahwa perempuan dapat melepas cengkraman tradisi etnis Batak yang begitu kuat dengan sistem patrilinealnya dengan mempertahankan konsep perempuan sebagai pemimpi. Mimpi menjadi bentuk resistensi itu sendiri, ketika Glo berusaha dengan keras dan begitu ambisius untuk mengejar mimpi tersebut. “Yang dipersatukan Tuhan bisa dipisahkan pengadilan negeri, kenapa kita harus kawin?”
Kutipan ini menjadi penanda bahwa ternyata ada pula proses seleksi terhadap nilai-nilai baru yang diwacanakan. Dimana dalam hal ini, Glo melihat pengadilan negeri mengambil bagian atau peran pada institusi perkawinan. Menurut Munti (2005, hal. 174) dalam proses tersebut terdapat dua bentuk sikap yang ditunjukkan. Pertama, merumuskan cara hidup baru dengan mengambil bagian tertentu dari budaya global, sambil tetap mempertahankan tradisi meski dengan substansi yang terus dikritisi. “Mi, harusnya tuh semua orang tu kayak inang uda. Keliling dunia dulu, nyobain semuanya dulu, baru terakhir nentuin pilihan.”
III-63
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sikap yang ditampilkan melalui kutipan diatas ini misalnya, ditunjukkan oleh beberapa perempuan yang menikmati kehidupan mereka sebagai
lajang,
meski
mereka
tetap
mempertahankan
idealisasi
perkawinan. Ada konsep atau rumusan cara hidup yang berbeda yang menjadi pemandu dalam menjalankan kehidupan, disamping tidak ada elakan mengenai konsep perkawinan tersebut dalam etnis Batak. Kutipan tersebut merupakan perkataan Glo yang secara eksplisit mengiyakan perilaku Tante Nora (namboru Glo). Namboru memiliki pilihan untuk menikmati kehidupannya, dengan meraih mimpinya terlebih dahulu melalui keliling dunia.
Gambar 3. 24 Tante Nora (Namboru Glo)
Namboru hingga saat ini belum memiliki pasangan karena obsesinya mencapai impian-impiannya untuk dapat berkeliling dunia. Ia memilih untuk menomorduakan masalah perkawinan karena prioritasnya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya perilaku ini merupakan salah satu bentuk resistensinya terhadap keterbatasan perempuan untuk harus memenuhi tuntutan budaya mengenai perkawinan dan sistem patrilineal budaya Batak. Hal ini dapat terlihat dari kutipan sebagai berikut: III-64
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Siapa bilang harus, nikah itu pilihan tau.”
Baginya nikah merupakan pilihan. Perempuan tidak harus mencapai titik memiliki pasangan, memasuki perkawinan dan memiliki keturunan. Kalimat ini diucapkan olehnya ketika Glo bertanya tentang konsep perkawinan. Namboru tidak beda jauh dengan Glo, kaum perempuan yang tidak menyukai kekangan atas batas-batas yang dimiliki perempuan. Perkawinan berpotensi besar untuk mengekang kebebasan perempuan. Perkawinan melahirkan bentuk-bentuk dominasi melalui sistem patrilineal yang dipegang teguh etnis Batak sehingga yang menjadi korban hanya perempuan. Seperti halnya pendapat yang dikemukakan Munti (2005, hal.174) mengenai perempuan lajang kosmopolit: Sebagai lajang kosmopolit, mereka mengidentikkan diri mereka dengan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang, yakni gambaran (prototip) tentang perempuan yang cerdas dan berkualitas, memiliki wawasan luas, bebas dan mandiri, sukses juga aktif, memiliki karir yang cemerlang dibidangnya, serta memiliki komunikasi dan relasi yang luas dengan banyak orang. Di atas semua itu, kehidupan lajang dikaitkan dengan hasrat menikmati hidup sepuaspuasnya tanpa beban, sekaligus memiliki kemampuan dalam mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagai individu yang bebas dan percaya diri (Munti, 2005, hal. 174).
Mimpi menciptakan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang. Namboru menjadi individu yang bebas dan percaya diri dalam mengembangkan diri melalui karir dan prestasi dalam berkarir. Itu lah yang hendak pula ditunjukkan Glo dengan sifat ambisiusnya membuat film keduanya, sekaligus menjadi bentuk resistensi Glo terhadap dominasi laki-laki. Perempuan tidak lagi diciptakan untuk mengurusi rumah tangga dan berbakti di dalam keluarga di bawah kekuasaan lakiIII-65
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
laki. Bahkan pekerjaan tidak lagi dipandang oleh perempuan sebagai usaha sampingan dari pekerjaan utama di rumah yang mensyaratkan kepatuhan menaat aturan-aturan, yang berada dalam kendali laki-laki (AlSa’dawi, 2000, hal.52). Bentuk resistensi Glo ini didorong pula pada kepercayaannya terhadap idolanya. Mengutip perkataan Qasrina Umi, seorang sutradara inspiratif yang diidolakannya, mengenai kehidupan: “Kata Qasrina Umi live by your passion, and the whole world will conspire to help you”
Bahwa kehidupan seharusnya dijalani dengan apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri, khususnya perempuan. Kata “passion’ disini dapat berarti keinginan besar yang seringkali disebut juga dengan nafsu. Perempuan memiliki kemampuan untuk mencapai mimpi-mimpinya. Perempuan memilki nafsu yang sebenarnya mampu mencapai mimpimimpi tersebut. “Elo itu cuman mau menyenangkan orang tua elu, emak elu. Kalau kita menyenangkan orang lain terus, kapan kita happy? Kita harus menyenangkan diri kita. Live by your passion.”
Maka seperti kutipan percakapan diatas, Glo memperlihatkan bahwa sebenarnya cengkraman tradisi perkawinan bahkan sistem patrilineal itu dapat dilepas melalui bentuk resistensi atau perlawanan. Caranya ialah dengan menjalankan kehidupan dengan berpedoman pada keinginan diri sendiri. Dengan menikmati kehidupan lajang, Glo lebih memiliki otonomi atas dirinya, dan pada gilirannya mampu mengambil jarak dengan harapan dan tuntutan budaya (khususnya orang tua, dalam III-66
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hal ini Mak Gondut) terhadap peran perempuan di dalam perkawinan yang diidealisasikan. Sammaria (sutradara): Saya percaya kita tidak bisa mengubah orang lain. Yang bisa diubah hanya diri sendiri. Jadi jikalau memang ada nilai-nilai suatu kelompok tidak sesuai dengan hati nurani kitaa, sebaiknya kita yang mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini.
Pada kutipan pernyataan sutradara sekaligus penulis skenario film Demi Ucok ini nampak jelas adanya pengakuan mengenai perbedaan ideologi-ideologi antara kaum tidak dapat terelakkan, dimana ideologi tersebut menjadi dasar pendiri kaum tersebut sehingga sulit untuk mengubah bahkan menghilangkan ideologi tersebut. Yang dapat dilakukan ialah mengubah diri sendiri. Kalimat “mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini” merupakan salah satu bentuk resistensi atau perlawanan yang seharusnya dilakuakan perempuan menghadapi dominasi sistem patrilineal. Solusi terbaik yang ditawarkan oleh produsen teks ini ialah perempuan Batak memiliki kesempatan untuk meristensi atau melawan dengan mencari kelompok lain yang sesuai dengann nilai yang diyakini, dimana hal ini mengungkapkan adanya nilai yang tidak sesuai dalam konsep perkawinan etnis Batak yang diakui oleh sutradara. Itulah mengapa dalam film, secara jelas dan cenderung berulang (meski tidak dengan kalimat yang benar-benar sama) kalimat seperti dibawah ini: “Gue ga mau jadi emak gue”
Kalimat tak ingin menjadi Mak Gondut, tak ingin kawin dan kalimat negasi lainnya seakan menegaskan adanya ketidaksesuaian yang dialami III-67
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dan dirasakan oleh perempuan Batak terhadap sisten patrilineal yang disodorkan oleh etnis Batak. Perempuan Batak seakan terbatas atau terkungkung dalam sistem patrilineal itu sendiri. Meski tak sepenuhnya terbebas, Glo menyikap perkawinan secara berbeda. Misalnya, terhadap status perkawinan sebagai satu-satunya tujuan yang dikejar, Glo tidak memenuhi tuntutan orang tuanya apabila tidak bersesuaian dengan keinginannya. Bagi Glo, perkawinan bukanlah keinginannya walaupun seringkali hal tersebut malah menjadi dambaan sebagian besar perempuan. Maka kutipan diatas merupakan bentuk resistensi langsung yang dilakukan oleh Glo terhadap tekanan dan dominasi sistem patrilineal yang telah mendarah daging di dalam Mak Gondut. Kuatnya pengaruh orang tua dan budaya pada etnis dapat mengubah perilaku perilaku anak. Pengaruh tersebut bisa berupa tekanan dan dominasi seperti halnya pada kondisi Glo ditengah kuatnya tekanan dari Mak Gondut untuk menyuruhnya kawin dengan laki-laki Batak. Tekanan bisa berupa harapan yang tinggi pada anak, menuntut prestasi yang tinggi pada anak, ikut campur berlebihan terhadap tujuan yang akan dicapai anak, dsb (Fahmi, 2010, hal.222). Ekspektasi yang tinggi Mak Gondut terhadap Glo untuk segera kawin dan memberikan keturunan menyebabkan adanya perubahan perilaku, yaitu dengan perlawanan atau resistensi itu sendiri. Kondisi ini berusaha digambarkan oleh sepasang penulis kabat-Zinn (Fahmi, 2010, hal.222) seperti ini: III-68
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Di antara orang tua dan anak terjadi penumpangan yang tak kentara-sepenuhnya di luar kesadaran dan niat orang tua- di mana anak belajar menyimak kebutuhan emosional orang tuanya, sering terjadi tanpa pembicaraan. Bukannya orang tua yang bersikap penuh empati dan bela rasa, malah anak yang mengambil peran itu dan diharapkan berempati terhadap perasaan, masalah, dan tekanan orang tua... berbagai perasaan, kebutuhan, dan hasrat anak jadi terkubur.
Inilah mengapa muncul kutipan dialog dalam scene seperti dibawah ini: “Tiap hari nonton aja kau, ga kerjanya kau?” “Ini kan kerja mi.” “Sambil kau jual lah Doketr Clear itu, kan lumayan dapat lima juta sebulan. Atau ikut mami lah ke partai, nanti kau dapat demo satu juta sebulan kalau kau masuk DPR.” “Hidup dicela-cela, mati masuk neraka.” “Mami masuk neraka? Glo, ada yang mau kubilang sama kau glo. Kata dokter, umur mama ini tinggal sebulan lagi.” “Dokter mana? Dokter Clear bukan. Kawin lah kau Glo. “Ya cariin lah.” “Hah? Mau model apa ama kau.” “Apa aja, asal emaknya ga ada. Satu aja susah apalagi dua.”
Kutipan percakapan ini terjadi ketika Glo resmi berhenti dari pekerjaannya menjadi dosen. Semenjak keluar dari tempat kerjaanya, aktivitas Glo setiap hari hanya menonton film di kamarnya. Mak Gondut akhirnya memuali percakapan tersebut dengan menawarkan untuk ikut bekerja dengannya menjadi MLM atau politisi. Mak Dalam percakapan tersebut Mak Gondut juga tak lupa mengingatkan Glo untuk kawin dengan mengancam mengenai umurnya yang tak lama lagi. Jawaban Glo hanya “ya cariin lah”, semacam sebuah isyarat atas kelelahan Glo dan keputusaan dalam menghadapi tekanan yang terus-menerus diberikan Mak Gondut. Ditambah lagi dengan jawaban Glo dalam kutipan kalimat paling terakhir III-69
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ketika Mak Gondut hendak menanyakan ciri laki-laki yang diidamkan oleh Glo : “Apa aja, asal emaknya ga ada. Satu aja susah apalagi dua.”
Kalimat tersebut seakan memperjelas peran Glo (sebagai kaum minoritas) yang tengah menghadapi Mak Gondut yang mana merupakan kaum mayoritas. Kelompok yang “menguasai” akan menghegemoni kelompok ‘subordinat” dengan menggunakan kekuasaannya (Lembaga Untuk Transformasi Sosial Indonesia, 2005, hal.122).
Gambar 3. 25 Mak Gondut Tampak Bahagia Melihat Glo Bersedia Kawin
Bukannya Mak Gondut yang bersikap penuh empati dan bela rasa, tetapi Glo yang mengambil peran itu dan diharapkan berempati terhadap perasaan, masalah, dan tekanan sehingga berbagai perasaan, kebutuhan, dan hasrat jadi terkubur. Resistensi Glo pun kembali diperlihatkan lagi dalam kutipan dialog dibawah ini: “Kalau elo kangen, samperin dong.” “Gue cuma ngecek doang, doi uda mati atau belum.” “Hush.” “Kan lumayan uangnya, bisa dipakai buat gue bikin film.” “Ingat surga dibawah telapak kaki ibu.” “Hah, jangan lupa elo ingation gue ama obat jamur kalo gitu sebelum gue mati.” “Entar kalo uda ga ada baru nyari-nyari.” “Susah tau punya emak. Elo enak ga punya emak.”
III-70
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perbedaan ideologi antara Mak Gondut dan Glo menyebabkan Glo akhirnya meninggalkan rumah dan tinggal di rumah Niki. Pada suatu saat, Niki memergoki Glo memantau Mak Gondut yang tengah berolahraga dirumahnya, kebetulan rumah Niki dan Glo tidak begitu jauh. Tindakan Glo untuk meninggalkan rumah sebagai perlawanan Glo melihat Mak Gondut yang kian menekan untuk kawin dengan laki-laki Batak. Bagi Glo, perkawinan tidak lagi menjadi target utama pembuktian keberhasilan perempuan, sebagaimana disosialisasikan selama ini, bahwa “perempuan belum dikatakan sempurna dan berhasil jika belum menikah” (menjadi ibu) (Munti, 2005, hal. 175). Glo akan kawin bila merasa telah menemukan jodoh atau orang yang tepat. Di sini, kebutuhan bukan terletak pada status perkawinan itu sendiri melainkan pada kehadiran pasangan hidup, soulmate. Meski Glo tidak kunjung menggenapi keinginan Mak Gondut, dominasi masih terlihat jelas melalui sikap dan perilaku Glo yang terkesan resisten namun tetap tunduk pada beberapa budaya etnis Batak. Seperti halnya mengenai keperawanan. Bagi Niki, menjadi perawan atau tidak adalah pilihan dan hak pribadi yang harus dihormati. Meski Niki memaknai keperawanan dengan cara baru, yakni menempatkannya sebagai pilihan, namun ketika diminta untuk memilih bagi niki, sikap yang dipilih ialah untuk mempertahankan keperawanan sampai menikah kelak. Begitu pula dengan Glo. Ini berarti, cara pandang baru yang mengoreksi mitos keperawanan tersebut tidak sampai mempengaruhi pilihan Glo untuk III-71
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berani mengambil resiko keluar dari kungkungan tradisi,
yang
menempatkan keperawanan sebagai sesuatu yang berharga dan penting untuk dipertahankan hingga “dipersembahkan” khusus bagi suaminya kelak. Entah karena keperawanan identik dengan kesucian dan menyangkut harga diri seorang perempuan, sehingga memotivasi mereka untuk mempertahankannya. Pada penghujung film, konsep perempuan sebagai pemimpi juga ditampilkan melalui film kedua Glo sendiri, dimana tokoh utamanya diperankan sendiri oleh Mak Gondut. Berikut kutipan cerita yang disampaikan oleh Glo mengenai film keduanya: “Seorang wanna be bermimpi jadi artis. Kemudian ketemu cowok, lalu menikah dan melupakan mimpinya. Uda tua, masih gelisah. Akhirnya nyari-nyari kesibukan. Arisan diberbagai tempat, rapat di tiga partai, pagelaran wayang. tapi ga ada yang peduli. Akibat ga mengejar mimpi dimasa muda.”
Resistensi Glo melalui konsep perempuan pemimpi diwujudkan dalam bentuk film keduanya. Film diciptakan sebagai subjek, mengkonstruk realitas yang ada, kemudian diproyeksikannya kedalam layar. Sedangkan realitas hanyalah objek. Seturut pendapat Karl Heider mengenai film bahwa “film hanya refleksi pasif dari budaya (bukan pembentuk budaya)”(Heider, 1991). Film kedua Glo merupakan hasil konstruksi realitas, dimana realitas ini mengenai perempuan yang terkekang oleh perkawinan. Hal tersebut yang dirasakan oleh Glo sebagai perempuan minoritas yang berusaha meresistensi atau melawan dominasi laki-laki pada sistem patrilineal melalui filmnya tersebut. Ashadi Siregar (dalam III-72
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Nugroho, G 20005) mendefinisikan film sebagai teks kultural yang menawarkan suatu nilai alternatif di antara dominasi tersebut.
film
merupakan teks-struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna khusus (Gamble, S 2010). Namun, seperti halnya kutipan percakapan dibawah ini: “Jadi sekarang ceritanya ganti lagi nih.” “Ini beda skrip, buat produser yang lain. Gue disuruh bikin skrip yang Indonesia banget.” “Indonesia banget kok, bencong sih.” “Film Indonesia itu harus ada banci, hantu ama susu. Udah deh bikin aja, biar dia seneng.”
Kutipan percakapan ini saat Glo sedang menyelesaikan naskah film untuk diberikan kepada kliennya. Film telah menjadi lahan industri strategis bagi para pembuat film. Sebagaimana dikutip oleh Said mengenai produksi film bahwa: “Pembuatan film kita pada umumnya tidak mempunyai kesadaran lingkungan, geografis, maupun sosial, sehingga mereka tidak pernah membuat film tentang lingkungannya yang Indonesia, karena itu film mereka bukan film Indonesia. Film-film mereka cuma rekaan dangkal dari impian dan obsesi mereka yang ditopang oleh semangat dagang yang berlebihan” (dikutip dalam Said 1991b: 193).
Film telah menjadi ‘bisnis pertunjukan’ (Denis McQuail, 2011, hal.35) dimana value
atau pesan inti seringkali menjadi terabaikan karena
mendahulukan profit film. bahwa Film-film saat ini “masih digerogoti penyakit deintelektualisasi” (Darmawan, 2007). Film hanya berfokus pada keuntungan saja sehingga hanya melihat permintaan pasar. Permintaan pasar terhadap film biasanya merujuk pada tema-tema seks, horor bahkan ada yang mengkombinasikan keduanya ini hanya untuk meraup III-73
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
keuntungan yang besar. Esensi film dinomorduakan. Ada suatu perubahan dari pembuat film (film-maker) yang bermula menawarkan gagasan atau ide lalu berubah karena berorientasi pada keuntungan saja. Sehingga ide cerita hendak disampaikan seringkali terabaikan. Dikatakan 3.2.2 Negosiasi Peran Perempuan dalam Ranah Domestik dan Publik Melihat film secara keseluruhan serta memaknai resistensi lebih dalam, sosok Mak Gondut hadir sebagai kaum perempuan yang menguatkan dominasi laki-laki melalui perkawinan, dimana Glo, anaknya sendiri, sebagai objek yang terdominasi. Kesetiaannya pada suaminya menghegemoni Mak Gondut untuk melanggengkan sistem patrilineal. Namun peneliti melihat bahwa tidak semua bentuk perilaku Mak Gondut merupakan hasil kepatuhannya atas dominasi laki laki tersebut. Dalam kepatuhan tersebut resistensi sebenarnya telah hadir secara implisit untuk menunjukkan bentuk penolakan secara terselubung terhadap dominasi sistem patrilineal yang berlaku. Mak Gondut mendapatkan dua posisi atau kedudukan jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pertama, sebagai seorang istri dimana suami yang mendominasi sehingga istri menjadi kaum minoritas dalam hal ini. Kedua, sebagai ibu dimana anak (Glo) memiliki kedudukan sebagai kaum minoritas sementara ibu memiliki kemampuan mendominasi anaknya. Posisi yang berlainan ini menjadikan Mak Gondut menunjukkan resistensi “tidak pada tempatnya”. Maksudnya ialah resistensi yang III-74
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dilakukan terhadap dominasi kaum laki-laki, yakni suaminya sendiri, mendorong Mak Gondut untuk melakukan resistensi (dalam hal ini pembalasan) melalui bentuk-bentuk dominasi yang dilakukannya pada kaum minoritas (kaum dibawahnya), dalam hal ini Glo (anaknya sendiri). Hal ini bisa dilihat dalam kutipan dibawah ini: “Mi, harusnya tuh semua orang tu kayak inang uda. Keliling dunia dulu, nyobain semuanya dulu, baru terakhir nentuin pilihan.” “Tapi kawin dulu lah kau, baru kau kejar mimpimimpimu.” “Ah mami habis kawin juga ga bikin film kok.” “Kalau mami mau, bisa mami bikin. Bikinlah kau dulu. Kucarikan pun nanti kau 1 M tapi kawin dulu lah kau.” “Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi.” “Egois kali kau itu, hidup itu untuk sesama baru berarti, heh!”
Kutipan tersebut merupakan kutipan dialog antara Mak Gondut dan Glo. Pada waktu itu, namboru (tante Glo) memutuskan akan pergi ke Kutub Utara untuk mengejar mimpinya yaitu keliling dunia. Mak Gondut tidak menyetujuinya, ia menyarankan agar namboru memikirkan pasangan lalu kawin dan punya keturunan sebagai prioritas utama karena hingga saat itu namboru belum juga kawin apalagi memperoleh keturunan, bahkan masa pacaran belum juga dirasakan dalam usianya yang sudah tak lagi muda. Disini, Glo kemudian membantah kalimat Mak Gondut dengan mengatakan keputusan namboru adalah keputusan yang tepat, karena perempuan seharusnya mengejar cita-citanya terlebih dahulu baru kemudian memilih untuk kawin. Sedang Mak Gondut tidak menyetujui hal tersebut. Perdebatan sengit tersebut dianggap menarik oleh peneliti khususnya pada kutipan kalimat ini: III-75
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Tapi kawin dulu lah kau, baru kau kejar mimpimimpimu.” “Ah mami habis kawin juga ga bikin film kok.” “Kalau mami mau, bisa mami bikin. Bikinlah kau dulu. Kucarikan pun nanti kau 1 M tapi kawin dulu lah kau.”
Peneliti menginterpretasi bahwa ada sebuah bentuk pembelaan dari Mak Gondut mengenai keputusannya untuk memilih kawin dan tidak mengejar cita-citanya membuat film atau menjadi artis terkenal. Walau begitu, ekspresi Mak Gondut dalam bentuk visual pada film tidak dapat menipu dimana ada bentuk penyesalan yang tersembunyi dalam pembelaannya. Ekspresi Mak Gondut berubah, dari yang melotot dengan intonasi kuat, sampai kepala menunduk seakan “malu” dengan intonasi yang mulai mengecil ketika Glo mulai membahas mimpi Mak Gondut yang tak kunjung direalisasikannya.
Gambar 3. 26 Mak Gondut Saat Meminta Glo Untuk Kawin
III-76
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 27 Mak Gondut Saat Menjawab Glo Mengenai Mimpinya Yang Tak Kunjung Tercapai
Yang menarik, pada percakapan tersebut pengambilan gambar dibuat close up, sehingga ekspresi atau mimik wajah Mak Gondut dapat terlihat sangat jelas. Pengambilan gambar seperti ini biasanya digunakan untuk memperlihatkan ekspresi dari tokoh atau benda yang hendak dilihat secara lebih jelas dan fokus. Hal ini dilakukan bukan tanpa maksud, peneliti melihat ada bentuk kesengajaan untuk dapat melihat detail ekspresi tokoh-tokoh yang sedang berbicara dalam scene tersebut, khususnya ekspresi penyesalan Mak Gondut meski dalam verbal Mak Gondut seakan melakukan pembelaan diri. Sebenarnya poinnya tidak hanya itu, tetapi juga pada percakapan setelahnya: “Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi.” “Egois kali kau itu, hidup itu untuk sesama baru berarti, heh!”
Ketika itu, Glo mengatakan dengan tegas bahwa ia tidak mau kawin karena dianggap sebagai hal yang sia-sia. Ia memilih untuk tetap mengejar mimpinya. Mengetahui hal itu, Mak Gondut kemudian membalas dengan intonasi yang lebih kuat dibanding sebelumnya dengan mengatakan Glo sebagai manusia egois yang tidak memikirkan orang lain. III-77
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 28 Mak Gondut Melotot Dan Mengigit Bibirnya Seperti Dongkol (Kesal) Dengan Perkataan Glo
Mendengar jawaban Glo yang tak sesuai keinginan, Mak Gondut kemudian menjawab dengan kembali menaikkan kepala (setelag sebelumnya menunduk) sebagai bentuk kekesalannya. Disinilah bentuk resistensi sekaligus dominasi yang dilakukan Mak Gondut baik sebagai kaum minoritas (dari keputusannya memilih kawin) dan kaum mayoritas (ambisinya mengawinkan anaknya). Ibu (Mak Gondut) memiliki kuasa atas kontrol keuangan keluarga, apalagi setelah melihat suami (ayah Glo) telah meninggal sehingga kuasa melimpah pada sang istri. Ia memiliki peranan yang besar dan kuasa dalam mengurus kebutuhan rumah tangga. Hal ini karena perempuan dianggap memiliki keahilan bekerja dalam ranah domestik. Segala urusan rumah tangga baik memasak, mencuci, mengantur keuangan keluarga merupakan tanggung jawab perempuan sehingga disinilah bentuk resistensi yang dilakukan perempuan (istri) terhadap dominasi kaum lakilaki. Secara implisit terlihat kombinasi verbal dan non verbal (produksi teks tersebut) bahwa adanya bentuk pembalasan Mak Gondut pada ketidakberdayaannya dulu saat memilih menikah dan tidak mengejar III-78
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mimpi melalui bentuk ancamannya pada Glo dengan syarat tidak akan membiayai Glo dalam proses produksi filmnya apabila tidak melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan, yaitu kawin. Pembalasan ini menjadi bentuk resistensi itu sendiri yang ditunjukan pada segmentasi yang berbeda, bukan pada pelaku yang memicu Mak Gondut meresistensi tetapi pada objek lain yang menjadi kaum tertindas. Menariknya, kaum perempuan lagi yang menjadi kaum minoritas turunan atas dominasi awal dimana lagi-lagi kaum laki-laki yang menjadi biang keladi. Resistensi Mak Gondut tidak dilampiskan dan bahkan tidak berdampak pada kaum yang mendominasi. Ia menunjukkan pada kaum lain dimana ia memiliki kuasa pada ranah domestiknya yang dapat mengontrol bahkan menindas kaum dibawahnya. Pelampiasan ini ditunjukkan juga dalam scene ini: “Pake kartu kredit mami aja Glo. Kan ada kau pegang kartu tambahan. Que-que”
Ini merupakan salah satu perkataan Mak Gondut yang cukup menunjukkan kuasa perempuan (ibu) atas kaum tertentu (dalam hal ini Glo, anaknya). Kuasa yang sebelumnya tidak dimiliki oleh istri, kemudian dilimpahkan pada istri semenjak kepergiaan suami. Resistensi yang dilakukan dengan perilaku “meniru” kekuasaan yang dahulu sempat mendominasinya. Pelampisan tidak berhenti begitu saja, adanya pengulangan bentuk pelampiasan seperti halnya kutipan dialog dibawah ini: “Mami aja kawin. Bukannya jadi artis. Cari aman.” “Banyak kali cakap kau. Tak bisanya kau nyari duit.” “Siapa bilang Glo ga bisa nyari duit?”
III-79
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Tinggal pun masih sama mami. Makan sama mami. Kartu kredit masih tambahan, Que-que.”
Kutipan tersebut lagi-lagi saat Mak Gondut dan Glo sedang berdebat panjang mengenai konsep perkawinan, dimana Mak Gondut begitu keras memaksa Glo untuk menikah sementara Glo pun keras menolak kemauan ibunya tersebut. Pemaksaan Mak Gondut mengawinkan Glo dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk resistensi yang dilampiaskan oleh Mak Gondut pada kaum diluar yang mendominasinya. Seperti halnya kisah yang diceritakan Mak Gondut yang merupakan cerminan kisahnya dulu sewaktu muda. “Once upon a time dikampung Angrum, hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis. Dia pergi ke Ibu kota mengejar mimpinya. Untung mamanya selalu mendoakan anaknya yang sok tau ini. Akhinya, si pemimpi menikah sementara adik-adiknya sibuk mengejar karir. Akhirnya si adik-adik berhentinya juga bekerja. Sementara di pemimpi hidup happily ever after.
Dikatakan bahwa Opung (Ibunya Mak Gondut, Opung dalam bahasa Indonesia berarti kakek/nenek) mendoakan anaknya (Mak Gondut) agar menikah. Sebenarnya mendoakan disini masih mengacu pada salah satu bentuk dominasi yaitu dimana orang tua dapat mempengaruhi perilaku anaknya. Pihak yang terdominasi disini ialah Mak Gondut (anak). Inilah yang kemudian dilakukan oleh Mak Gondut (perwakilan orang tua) terhadap Glo (anak) yang sebenarnya merupakan wujud dari resistensi itu sendiri dimana perkawinan tersebutlah yang menyebabkan Mak Gondut akhirnya menggugurkan mimpinya menjadi seorang artis. Pelampisan ini dilimpahkan pada anaknya sebagai ketidakberdayaannya
dulu
dalam
bentuk dominasi
pembalasan terhadap orang
tua
yang
III-80
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menginginkannya kawin dan memperoleh anak. Resistensi ini pun dilakukan dengan dorongan sifat ambisius Mak Gondut yang semata-mata agar dapat melanggengkan tujuannya mengawinkan Glo. Seperti halnya kutipan dibawah ini: “Bereng jo. Anon dikuhara ni lesbi.tambal maon rupa mulih (Lihatlah! Nanti disangka orang dia lesbi. Tambah susah kujodohkan).” “Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia kerumah.”
Resistensi ini diwujudkannya Mak Gondut dengan pembalasan pada Glo, salah satunya melalui penutupan kartu kredit Glo. Hal tersebut dilakukan Mak Gondut setelah mendengar saran dari namboru agar kemudian Glo kemudian kembali ke rumah. Glo pada waktu itu memilih kabur dari rumah karena tidak kuat dengan sikap Mak Gondut yang selalu beradu mulut dengannya mengenai konsep perkawinan dan mimpi. Dikatakan Moore (dalam Irianto, 2003, hal. 83) bahwa bagi orang miskin dan lemah, mengetahui kapan saatnya untuk mengalah adalah suatu bagian integral dari mengetahui bagaimana dan kapan saatnya untuk melawan. Mak Gondut memilih mengalah terhadap dominasi yang dirasakannya ketika itu sehingga akhirnya ia memutuskan menikah. Namun dalam kutipan Irianto tersebut terdapat kata integral, dalam kamus Bahasa Indonesia berarti: (1) mengenai keseluruhannya/meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap, utuh, bulat dan sempurna; (2) tidak terpisahkan/terpadu. Ini berarti dalam perilaku mengalah tersebut sebenarnya juga terdapat bentuk perlawanan, sehingga sulit untuk dipisahkan karena merupakan kesatuan/utuh. Irianto memberi contoh III-81
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bentuk perlawanan perempuan dalam keluarga (terhadap suami) yaitu misalnya penolakan untuk memasak, berhubungan seksual, meninggalkan pekerjaan rumah tangga dan pertanian (kegiatan produksi lainnya), dan menyebarkan gosip tentang pasangan mereka. Dalam film ini, Mak Gondut melakukan bentuk perlawanan dengan membuat anaknya melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan. Resistensi perempuan ini juga diwujudkan pula oleh Mak Gondut dalam menentukan pilihan pekerjaan yang hendak dilakukan. Menariknya dalam sub bab ini ialah bahwa resistensi menyebabkan perempuan dapat menegosiasikan perannya yang distereotipekan dalam ranah domestik menjadi suatu kebebasan untuk memilih peran dalam ranah publik. Istri memiliki kuasa atas dirinya sendiri bahkan ia dapat menguasai (mengatur/mengontrol) perilaku orang lain, dalam hal ini biasanya anak. Melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Mak Gondut sangat jelas ditampilkan tidak adanya kegiatan yang merujuk pada ranah domestik. Resistensi ini ditunjukan melalui perilaku Mak Gondut yang tidak benarbenar menjadi istri tersubordinasi suami, ia dapat dengan bebas memilih aktivitas yang ia lakukan bahkan sampai pada ranah publik. Kegiatan Mak Gondut antara lain:
III-82
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3. 29 Segelintir aktivitas Mak Gondut
Gambar 3. 30 Mak Gondut Sebagai Pelaku Sosial
Gambar 3. 31 Kegiatan Mak Gondut Sebagai Politisi
Perkawinan tidak melulu melihat perempuan yang terperangkap dalam kotak dominasi laki-laki. Yang menarik disini ialah ketika peneliti tidak menemukan adanya kegiatan dalam ranah domestik yang sifatnya memaksa yang seharusnya dilakukan oleh istri sebagai bentuk dominasi suami, seperti misalnya menyapu, memasak, dsb. Mak Gondut malah melakukan pekerjaan seperti mengikuti arisan/pesta, melakukan kegiatan sosial, mengikuti kegiatan partai sebagai politisi dan berjualan. Ada sebuah bentuk negosiasi peran perempuan (istri) untuk keluar dari III-83
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kekangan stereotipe dimana perempuan seharusnya berperan hanya dalam ranah domestik. Sebagaimana yang dikatakan oleh James Scott mengenai apa yang disebutnya sebagai ‘everyday forms’ of women’s resistance (bentuk perlawanan sehari-hari) berdasarkan kajiannya di kalangan para petani. Bahwa penolakan yang dilakukan para petani dalam menghadapi ambiguitas dan kontradiksi dalam hukum negara sehingga menyebabkan tidak efektifnya perubahan hukum negara menciptakan kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Menjadi penyebab perempuan pada akhirnya melakukan penolakan dengan caranya sendiri. “Such forms of resistance required little or no-coordination or planning; they can be classed as a type of self-help; and they avoid any direct questioning of the authority or the norms of dominant/elite groups (Scott dalam Irianto, 2003, hal.2)
Scott
memaparkan
bahwa
penolakan
perempuan
petani
berupa
penyimpangan kolektif yang seketika dan berciri “senjata biasa” dari kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya, dengan cara seperti keterlambatan, pembakaran dengan sengaja, sabotase, pencopetan, gosip dan sebagainya. Bahwa tidak perlu meromantisir “senjata kaum lemah”, tetapi yang sama pentingnya adalah bahwa mereka tidak boleh diabaikan. Perlawanan yang dilakukan perempuan tidak merupakan konfontasi langsung, karena perempuan memahami lemahnya kedudukan mereka, dan segan terlibat dalam konfrontasi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting. Kepasrahan seperti halnya perlawanan harus dipandang sebagai sebuah strategi, bagian dari satu proses tawar-menawar yang tidak III-84
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mempunyai awal dan akhir. Sementara, sifat eksploitatif masih tetap berlangsung dari hubungan-hubungan kelas tersebut. Dalam hal ini, kepasrahan untuk kawin yang telah dilakukan oleh Mak Gondut merupakan sebuah strategi yang mana merupakan bentuk strategi untuk dapat melakukan resistensi dalam bentuk lain, yaitu negosiasi peran yang dilakukan Mak Gondut sebagai istri yang tidak benar-benar bekerja dalam ranah domestik tetapi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dalam ranah publik seperti kaum laki-laki.
III-85
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan Wacana resistensi perempuan Batak dalam film bertemakan etnis Batak memang masih dilematis. Hal ini karena budaya patriarki yang masih dominan secara jelas nampak dalam film tersebut. Film digunakan sebagai instrumen untuk mengambarkan atau menampilkan dominasi atas kedudukan perempuan yang masih tersubrodinasi oleh kaum laki-laki walau kenyataanya perempuan telah menjadi tokoh sentral maupun sebagian besar peran didomminasi oleh kaum perempuan dalam film. Hal ini dilihat melalui dominasi dalam sistem patrilineal dimana adanya struktur yang menyebabkan kondisi dominasi kaum laki-laki tersebut semakin kuat. Bahkan kuasa author atau produsen teks (sutradara) yang juga merupakan bagian dari kaum perempuan itu sendiri pun tidak mampu meruntuhkan tekanan dominasi sistem tersebut untuk mengukuhkan resistensi
kaum
perempuan itu sendiri. Adanya suatu penguasaan wacana laki-laki yang menghegemoni
kaum
perempuan
ini
kenyataannya
menyebabkan
munculnya kaum perempuan yang justru melanggengkan sistem tersebut. Penguasaan wacana yang dilakukan oleh kaum laki-laki (suami Mak Gondut) menyebabkan Mak Gondut bersiteguh untuk tetap terus hidup dan melawan kematian untuk mewujudkan tujuannya tersebut. Kematian tidak lagi didefinisikan sebagai takdir apabila hal tersebut menghambat proses IV-1
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pelanggengan sistem patrilineal. Selain itu, struktur dalam sistem tersebut juga melahirkan konsep mayoritas dan minoritas dimana laki-laki mendapat kesempatan menjadi kaum mayoritas sementara perempuan mendapatkan bagian sisa (minoritas). Perempuan yang turut melanggengkan sistem patrilineal masuk dalam kelompok mayoritas karena berperan sebagai perantara dalam pembentukan wacana dominasi kaum laki-laki. Stereotipe juga menandai dominasi kaum laki-laki Batak dimana dalam stereotipe tersebut perempuan dikategorikan atau dikelompokkan kedalam kaum perempuan Batak ideal (yang pantas) dan sebaliknya. Dikatakan sebagai perempuan Batak ideal ketika perempuan tersebut berhasil memasuki institusi perkawinan dan memiliki keturunan. Stereotipe ini juga menyebabkan sikap etnosentrisme muncul, seperti munculnya pembedaan antara kaum perempuan Batak dengan identitas perempuan lainnya dan perbedaan laki-laki Batak dengan identitas laki-laki lainnya. Hal-hal seperti inilah yang kemudian memunculkan wacana mengenai resistensi yang dilakukan oleh perempuan sebagai pihak yang paling sering (cenderung) terdominasi. Resistensi muncul sebagai respon atau tanggapan akan ketidaksesuaian atas perilaku kaum tertentu yang memisahkan diri (memberi jarak) dengan melibatkan aspek-aspek tertentu seperti kekuasaan (power), kontrol, dsb. Namun, resistensi perempuan beragam, baik kaum perempuan satu dengan kaum perempuan lainnya memiliki bentuk resistensi yang berbeda-beda. Resistensi yang nampak diwujudkan dalam bentuk keteguhan dan kegigihan IV-2
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memaknai konsep mimpi dimana sistem patrineal diasumsikan sebagai penghambat mewujudkan konsep mimpi tersebut. Selain itu resistensi juga dilakukan dengan mendiamkan dominasi tersebut diawal dan kemudian membentuk strategi baru untuk mewujudkan bentuk resistensinya, seperti: mendobrak stereotipe mengenai istri yang hanya bekerja di ranah domestik. Perbedaan ini membenarkan kaum postfeminisme yang melihat perempuan dalam narasi-narasi kecil dimana dominasi kaum perempuan tersebut tergantung pada cara pandang perempuan memandang apakah perilaku-perilaku yang diterimanya tersebut dianggap sebagai bentuk dominasi atau malah sebaliknya. Perbedaan tersebut diartikulasikan oleh produsen teks (sutradara) dalam film sebagai bagian dari pengalamannya sebagai perempuan yang resisten terhadap dominasi struktur tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa memang resistensi-resistensi yang ditampilkan masih tidak dapat lepas dari dominasi-dominasi kaum laki-laki pada sistem patrilineal konsep perkawinan. Hal ini karena kenyataanya tiap perempuan memiliki keberagaman usia, gender role (peran gender) serta pengalaman yang berbeda antar satu sama lain yang memungkin adanya keberagaman perlakuaan atau respon terhadap dominasi tersebut. 2. Saran Peneliti sulit mendapatkan data yg mendalam berkaitan dengan film Batak atau film dengan setting Batak serta penjelasan mendalam dan terperinci mengenai konsep etnisitas, khususnya dalam etnis Batak. Maka dari itu, peneliti menyarankan adanya penelitian lebih lanjut oleh peneliti IV-3
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
selanjutnya yang mengaitkan penelitian dengan audience untuk melihat pemaknaan audience tentang identitas etnis Batak yang diwacanakan dalam film-film
Indonesia. Terakhir, disarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk memperkirakan waktu penelitian dengan baik agar mendapat dukungan materi serta referensi yang lebih banyak sehingga memungkinkan hasil analisis yang diperoleh lebih mendalam.
IV-4
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR PUSTAKA
Buku Al-Sa’dawi, N 2000, Perempuan, agama dan moralitas: antara nalar feminis & islam revivalis, Gelora Aksara Pratama. Barker, C 2013, Cultural studies: teori dan praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta Burhanudin, J 2002, Ulama perempuan indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chandler, D 1994, Semiotics for Beginner. Paradigms and Syntagms. Dee, N 2005, Memahami mimpi, LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta. Dhakidae, D 2003, Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. El Fadi, K M A 2001, Atas nama Tuhan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Eriyanto, 2001, Analisis wacana, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta. Fahmi, A B 2010, Menit untuk anakku, Elex Media Komputindo, Jakarta. Fan Lan, 2006, Perempuan kembang jepun, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fiske, J 1987, Teknology culture: popular pleasure and politics, Routledge, New York. Handayani,C S, Novianto, A, 2004, Kuasa wanita jawa, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta. Haryatmoko, J 2010, Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Irianto, S 2003, Perempuan di antara berbagai pilihan hukum: studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Irianto, S. 2006, Perempuan dan hukum: menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Irianto dkk, 2006, Perempuan di persidangan: pemantauan peradilan berperspektif perempuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kaplan, E (ed.) 2000, Feminism & film, Oxford University Press, Great Britain. Kriyantono, R 2006, Teknik praktis riset komunikasi: disertai contoh praktis riset media, public relations, advertising, komunikasi organisasi, komunikasi pemasaran, Kencana, Jakarta. Kuntjara, E, 2003, Gender, bahasa, dan kekuasaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Lembaga Untuk Transformasi Sosial Indonesia, 2005, Wacana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Liliweri, A 2005, Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta. McLuhan, M 1967, Understanding media-the extension of man, Random House, New York. McQuail, D 2011, Teori komunikasi masa McQuail 1 ed 6, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta. Munawar, B Rachman, 1996, Rekonstruksi fiqh perempuan dalam peradaban masyarakat modern, Ababil, Yogyakarta. Munti, R B 2005, Demokrasi keintiman: seksualitas di era global, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta Murniati, A N P 2004, Getar gender [perempuan indonesia dalam perspektif agama, budaya dan keluarga], IndonesiaTera, Magelang. Mustafid, F (ed.) 2004, Masyarakat dan hukum adat Batak toba, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta. Nanda, S Warms, R 2013, Cultural Anthropology. Nurudin, 2007, Pengantar komunikasi massa, Rajawali Pers, Jakarta. Simanjuntak, B A 2006, Struktur sosial dan sistem politik Batak toba hingga 1945:suatu pendekatan antropologi budaya dan politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sadli, S 2010, Berbeda tetapi setara: pemikiran tentang kajian perempuan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Stokes, J 2006, How to do media and cultural studies: panduan untuk melaksanakan penelitian dalam kajian media dan budaya, Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Suhelmi, A 2007, Pemikiran politik barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukri, SS 2001, Perempun seksualitas dalam tradisi jawa, Gama Media, Yogyakarta. Sunarto, 2009, Televisi, kekerasan, dan perempuan, Penerbut Buku Kompas, Jakarta. Supriatno, 2009, Merentang sejarah, memaknai kemandirian menjadi gereja bagi sesama, BPK Gunung Mulia. Susanto, B 2008, Yogyakarta.
Membaca postkolonialitas (di) indonesia, Kanisius,
Sutardi, T 2007, Antroplogi mengungkap keragaman budaya untuk kelas xii sekolah menengah atas/madrasah aliyah program bahasa, Grafindo Pratama, Bandung. Then, D 2008, Kisah-kisah perempuan yang bertahan dalam perkawinan, BPK Gunung Mulia, Jakarta Tinambunan, D Toruan, R, 2010, Orang Batak kasar?:membangun citra & karakter: gunakan 7 falsafah Batak merestorasi jati diri, hubungan seks, sosial, budaya, demokrasi, bisnis, dan melibas dosa, korupsi & mafia hukum, Elex Media Komputindo, Jakarta. Vergouwen, J C 2004, Masyarakat dan hukum adat Batak toba, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
Jurnal, Laporan Penelitian/Skripsi/Thesis Astuti, AP 2013, ‘Representasi perempuan dalam film 7 hati 7 cinta 7 wanita karya Robby Ertanto studi analisis semiotik, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dianingtyas, EA 2010, ‘Representasi perempuan jawa dalam film r.a.kartini’, Skripsi, Universitas Diponegoro. Gamble, S 2010, ‘Feminisme dan film’, Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme, Vol. 1, 117-130. Janji joni 2005, videorecording, Kalyana Shira Films, Jakarta. Loetoeng kasaroeng 1926, videorecording, NV Java Film Company, Bandung.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Prayogo, WA 2009, ‘Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia Tahun 1966-1980’, Skripsi, Universitas Indonesia. Siburian, R 2008, ‘Kearifan Ekologi dalam Budaya Batak sebagai Upaya Mencegah Bencana Alam’, Masyarakat Indonesia : Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol.34, Hal.63-86.
Website Efendi, Y 2010, Marga: keluarga dan keekrabatan dalam pengetahuan orang Batak toba, sumatera utara. Diakses pada 2 Mei 2012 dari melayuonline.co/ind/culture/dig/2598/marga-keluarga-dan-kekerabatandalam-pengetahuan-orang-Batak-toba-sumatera-utara Film Indonesia, 2012, Sinopsis Di Timur Matahari. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-d015-12-622431_di-timurmatahari#.VHoBHdKsWSo Film Indonesia, 2004, Sinopsis Gie. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-g003-04997552_gie#.VHoG9NKsWSo Film Indonesia, 2012, Sinopsis Merantau. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m008-09-952589_merantau Film Indonesia, 2013, Sinopsis Mursala. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m007-13321287_mursala#.VHoH6dKsWSo Film Indonesia, 2010, Sinopsis Rokkap. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-r013-10-208721_rokkaprongkap#.VHoIE9KsWSo Film Indonesia, 1973, Sinopsis Bulan di Atas Kuburan. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-b018-73-839339_bulandi-atas-kuburan#.VHoI7tKsWSo Film Indonesia, 1984, Sinopsis Secangkir Kopi Pahit. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-s018-84-157965_secangkirkopi-pahit#.VHoI3NKsWSo Film Indonesia, 1986, Sinopsis Naga Bonar. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-n009-86-195721_nagabonar#.VHoI29KsWSo
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Film Indonesia, 1963, Sinopsis A Sing Sing So. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a011-63-062041_a-sing-singso#.VHoJd9KsWSo Mahasiswa Batak, Daftar Film Bertemakan Batak. Diakses 28 November 2014 dari http://www.mahasiswaBatak.com/2013/08/daftar-film-bertemakanBatak-bagian-1.html Gerakan Indonesia Baru, 2009. Diakses 18 Mei 2014 dari http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/02/diskriminasi-terhadapetnis-tionghoa.html Kebudayaan Indonesia.Diakses pada 2 Mei 2014 dari kebudayaanindonesia.net/id/culture/942/sistem-kekerabatan-suku-Batak Silaban, C 2007, Peranan perempuan dalam adat dan budaya Batak diseminarkan. Diakses 28 April 2014 dari http://www.silaban.net/2007/10/10/peranan-perempuan-dalam-adat-danbudaya-Batak-diseminarkan/ Salim, E Y dkk, 2012, Potret indonesia-tionghoa: ambiguitas di tengah era kebebasan. Diakses pada 17 Mei 2014 dari http://www.indonesiamedia.com/2012/12/22/potret-indonesia-tionghoaambiguitas-di-tengah-era-kebebasan/ Silaban, C 2007, Ende siboru tombaga i. Diakses 28 April 2014 dari http://www.silaban.net/2007/10/04/ende-siboru-tombaga-i/ Sidabutar, Y 2012, Legenda sigale-gale.Diakses 29 April 2014 dari http://sidabutar.info/2012/04/26/legenda-sigale-gale/ Zakky, A, Nasionalisme dan etnis cina dalam film gie. Diakses 29 November 2014 dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/300
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Transkrip Wawancara via Email (4 November 2014) Narasumber : Sammaria Simanjuntak (Sutradara Film Demi Ucok)
1. Apa sebenarnya ide dasar (tema) dari film Demi Ucok? Kasih Ibu
2. Apa yang mendasari pembuatan film Demi Ucok? Adakah permasalahan khusus yang menjadi alasan untuk memproduksi film tsb, misal pengalaman pribadi? Saya resign dari pekerjaan saya sebagai arsitek karena yakin kunci sukses hidup adalah ‘live by your passion’. Saya
belajar film dari membaca
blog seorang sutradara Malaysia bernama Yasmin Ahmad. Suatu hari dia bertanya dalam blognya, apa kunci sukses hidup? Ternyata jawaban dia sangat sederhana yaitu, ‘Be nice to your parent’. Saat itu saya sulit sekali akur dengan mama saya yang pola pikirnya sangat berbeda dengan saya.
3. Mengapa membuat film yang membahas etnis? Mengapa condong memperlihatkan etnis? Tidak disengaja. Saya rasa kalau mau membuat karakter film di Indonesia yang multikultur ini sedikit banyak pasti akan membahas etnis.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4. Mengapa menggunakan etnis Batak? Mengapa tidak etnis lain? Apakah karena film Batak tidak begitu banyak beredar atau adakah alasan lain? Karena saya orang Batak
5. Mengapa yang ditampilkan dalam film hanya ada suku Batak, cina, dan padang? Niki campuran Batak Sunda. Settingnya sendiri Bandung. Tidak dimaksudkan untuk hanya ada karkater ini. Kebetulan saja.
6. Mengapa judulnya Demi Ucok? Mengapa tidak Demi Butet (perempuan)? Draft 1 film Demi Ucok ini awalnya tentang Gloria yang mencari jodoh (Ucok). Seiring berjalannya waktu, skenarionya berubah jadi lebih berfokus pada hubungan Glo dan mamanya. Tapi judulnya tidak ikut berubah
7. Mengapa perempuan tokoh utamanya? Mengapa bukan laki-laki? Karena saya perempuan. Namanya juga film curhat.
8. Mengapa tokoh lawannya perempuan (Glo) adalah perempuan (Mak Gondut)? Karena yang pengen main film mama saya, bukan papa saya.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9. Mengapa tidak ada tokoh laki-laki (Bapak Glo)? (diceritakan bahwa bapak Glo sudah meninggal) Semakin sedikit karakter, semakin mudah dan murah untuk produksi. Lagipula, stake Glo akan lebih tinggi jika ayahnya sudah tidak ada. Sehingga tidak ada safety net kalau dia dan mamanya bermasalah.
10. Mengapa ada tokoh perempuan (Mak Gondut) yang kuat dengan sifat etnosentrisnya (bangga pada suku Batak)? Apa yang hendak disampaikan? Karena memang banyak tokoh seperti itu.
11. Mengapa bukan laki-laki (Bapak Glo) yang kuat dengan sifat etnosentrinya? Mungkin banyak juga karakter laki-laki yang kuat etnosentrisnya. Hanya tidak diceritakan dalam film ini.
12. Apa maksud yang hendak disampaikan dari pernyataan Mak Gondut tentang perempuan Batak yang harus menikah dengan orang Batak, punya anak Batak, dan punya menantu Batak? (disampaikan diawal film) Karena ada karakter yang seperti itu cara pikirnya.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13. Apakah Glo tidak mau menikah dengan laki-laki Batak ataukah Glo hanya tidak mau menikah dulu sebelum meraih mimpi? Apakah setelah meraih mimpi Glo akan menikah? Di film ini, itu menjadi tidak penting lagi buat saya. Yang hendak diceritakan adalah perbedaan cara pikir ibu dan anak, dan bagaimana cara mereka menjembatani perbedaan itu.
14. Sebenarnya Glo mau atau tidak kah menikah dengan laki-laki Batak? Sudah tidak penting lagi untuk film ini.
15. Siapa BK Marpaung? Punya hubungan apa dengan Glo dan Mak Gondut sampai- sampai mau memberikan uang 1M? BK Marpaung mewakili mafia-mafia Batak kaya raya yang sekarang banyak di penjara tapi tetap menjalankan bisnis dengan tenang. 1 M buat mereka bukan uang besar. Hubungannya saudara. Saudaranya tidak dijelaskan sedekat apa, karena bagi orang Batak tidak ada saudara jauh. Semua saudara.
16. Sebenarnya apa pekerjaan utama Mak Gondut? (Dari sekian banyak kerja yang dilakukan Mak Gondut) Ibu rumah tangga. Uang sehari-hari ya dari bunga deposito atau tanah.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17. Pekerjaan Acun sebelum jadi penyanyi apa? (peneliti tidak dapat mendengar dengan jelas ketika menonton film tersebut) Pekerja kantoran di sebuah multinational company yang menjual sabun.
18. Dikatakan dalam film bahwa Niki berasal dari keluarga campuran Batak. Marga apa menikah dengan suku apa? (belum dijelaskan secara jelas didalam film tersebut) Batak Sunda. Marganya memang tidak dijelaskan.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Transkrip Wawancara via Email (17 November 2014) Narasumber : Sammaria Simanjuntak (Sutradara Film Demi Ucok)
1. Apakah dominasi patrilineal dalam budaya Batak masih ada hingga saat ini? Mengapa? Masih ada. Mungkin karena banyak wanita Batak belum bisa independen dalam berbagai hal, sehingga dominasi sulit dihilangkan.
2. Bagaimana tanggapannya melihat fenomena bahwa masih ada perempuan Batak yang diharuskan menikah dengan laki-laki Batak oleh orang tua sendiri? Saya percaya setiap manusia bertanggung jawab terhadap kehidupan dan kebahagiannnya masing-masing, sehingga setiap bentuk pemaksaan sebenarnya melanggar hak asasi manusia.
3. Bagaimana tanggapannya mengenai perempuan yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga? Apa dapat disebut bentuk diskriminasi terhadap perempuan? Tidak selama itu adalah pilihannya sendiri.
4. Bagaimana seharusnya perempuan ketika diposisikan sebagai istri? Saya percaya manusia diciptakan setara. Apapun posisinya. Jadi istri seharusnya setara dengan suami.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5. Bagaimana perilaku perempuan seharusnya dalam menanggapi dominasi-dominasi yang hingga saat ini masih diberlakukan, salah satunya oleh kaum Batak? Saya percaya kita tidak bisa mengubah orang lain. Yang bisa diubah hanya diri sendiri. Jadi jikalau memang ada nilai-nilai suatu kelompok tidak sesuai dengan hati nurani kitaa, sebaiknya kita yang mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini.
6. Bagaimana tanggapannya mengenai perempuan yang menolak menikah ? Semua manusia berhak menentukan jalan kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing.
7. Sebagai perempuan, apakah patriarki masih harus dilanggengkan atau dilenyapkan? Mengapa? Sebagai manusia yang kebetulan perempuan, saya yakin kita harus menemukan kebahagiaan pribadi dan tidak berusaha melawan nilai yang dianut orang lain, termasuk patriarki.
8. Bagaimana tanggapannya melihat perkembangan film Indonesia saat ini?
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sedih karena film Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebenarnya tidak hanya film. Hampir semua produk Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
9. Bagaimana
tanggapannya
mengenai
film-film
yang
masih
menyudutkan atau mendiskrimasikan perempuan? Sebaiknya ditonton setelah semua film bagus di dunia ini sudah kita tonton. Karena film bagus banyak sekali, saya tidak pernah ingin membuang waktu menonton film-film yang menyudutkan perempuan hanya karena dia perempuan.
10. Sudah banyak pula film yang memunculkan bentuk perlawanan perempuan, bagaimana tanggapannya? Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.
11. Lalu, bagaimana seharusnya peran film sebagai salah satu media massa? Film sebaiknya memberikan harapan.
12. Satu pertanyaan terakhir, sebenarnya film Demi Ucok ini bercerita tentang perjuangan perempuan Batak kah atau bukan? Iya, lebih tepatnya perjuangan seorang perempuan Batak.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi
RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
Riste Isabella
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi
RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
Riste Isabella
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK Oleh : Riste Isabella (071115023) - A
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada wacana resistensi perempuan Batak yang direpresentasikan oleh film Demi Ucok ditengah dominasi kaum laki-laki yang mengukuhkan sistem patrilineal budaya Batak. Penelitian ini menggunakan analisis wacana berperspektif kritis milik Fairclough yang meliputi teks, discourse practice (pelibat teks) dan sociocultural practic. Peneliti mengaitkan penelitian dengan wacana-wacana seperti: kekuasaan (power), konsep mayoritas dan minoritas, stereotipe hingga identitas etnis termasuk sikap etnosentrisme etnis Batak. Peneliti menggunakan kacamata feminisme untuk membongkar dominasidominasi, dan kacamata postfeminisme untuk menganalisis resistensinya. Berdasarkan analisis, peneliti menemukan bahwa teks kultural yang direproduksi ternyata memperlihatkan adanya bentuk-bentuk resistensi yang mana tiap kaum perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda-beda. Namun, resistensi tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki dimana resistensi tersebut justru menguatkan dominasi sistem patrilineal tersebut. Kata kunci: Perempuan Batak, Film, Dominasi dan Resistensi, Analisis Wacana, Etnis Batak. PENDAHULUAN Penelitian ini menganalisis resistensi perempuan Batak terhadap dominasi sistem patrilineal budaya Batak. Peneliti tertarik karena film tersebut menampilkan perlawanan atau resistensi kaum perempuan Batak terhadap kekuatan dominasi sistem patrilineal dalam konsep perkawinan etnis Batak yang justru diperkuat kaum perempuan Batak lainnya. Menariknya, kaum laki-laki tidak nampak begitu jelas menguasai wacana sistem patrilineal dalam film. Hal ini karena sebagian besar tokoh dalam film diperankan oleh kaum perempuan. Dalam Film Demi Ucok, perempuan menjadi tokoh sentral dimana kecenderungan film, temasuk film bertemakan etnis Batak, menggunakan kaum laki-laki sebagai tokoh sentral. Inilah yang menjadi titik tolak penelitian ini. Peneliti hendak melihat bagaimana resistensi diwacanakan ditengah tekanan dominasi kaum laki-laki
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
melalui sistem patrilinealnya dalam film tersebut. Penelitian ini akan berusaha mengungkap fenomena yang hendak diwacanakan dalam film. Sistem patrilineal etnis Batak terus mengakar hingga saat ini, hal itu ditunjukkan dalam berbagai ritual yang hingga saat ini masih terus dijalankan seperti: dalam perkawinan terdapat 9 (sembilan) ritual yang dijalankan, dalam memasuki rumah baru, upacara kematian, dsb. Sistem patrilineal tersebut masih dipegang erat oleh masyarakat Batak untuk menentukan kelompok kekerabatan masyarakat Batak. Artinya, memiliki anak laki-laki dianggap sebagai sebuah peningkatan harkat serta martabat keluarga bagi adat Batak. Latar belakang patung ukir Sigale-gale juga menggambarkan bahwa betapa berharganya anak laki-laki bagi keluarga dalam adat Batak. Posisi perempuan dalam suku Batak tidak jauh berbeda dengan kedudukan perempuan dalam kebudayaan tradisional Jawa. Perempuan disebut sebagai kanca wingking yang berarti anggota keluarga yang “hanya” mengurusi urusan belakang sehingga tidak boleh tampil didepan (Munawar, B Rachman, 1996). Ada pula gambaran ideal perempuan Jawa yang diharuskan memiliki sifat gemi, ati-ati nastiti. Sifat ini merupakan bentuk dari bakti istri pada suami (Sukri, SS 2001). Salah satu
media yang cukup efektif untuk menunjukkan resistensi
perempuan ialah film. Selain sifatnya menghibur, film mudah diterima oleh masyarakat karena dapat mengungkapkan realitas yang kemudian diproyeksikan kedalam layar. Film dapat menjadi produk propaganda yang disengaja maupun hasil fantasi bawah sadar. Secara tidak sadar, film secara terus menerus menghegemoni masyarakat. Dalam film, perempuan seringkali dijadikan sebagai alat untuk memenuhi kesenangan laki-laki. Perempuan diperankan sebagai pendamping laki-laki misal seperti kekasih, tunangan, atau istri. Perempuan hanya menjadi kaum pendukung dalam film, tidak seperti laki-laki. Laki-laki menjadi hero bagi kaum perempuan. Film Demi Ucok merupakan film karya Sammaria Simanjuntak yang berkisah tentang seorang perempuan Batak ambisius. Perempuan ini bernama Glori Sinaga atau Glo (diperankan oleh Geraldine Sianturi). Ia tidak ingin seperti ibunya yang menikah kemudian melupakan mimpinya karena harus menjalankan
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hidup rutin selamanya. Ibunya, Mak Gondut bersikeras mencarikan anaknya “Ucok” disisa hidupnya karena ia telah divonis sakit dan umurnya tinggal setahun. “Ucok” yang dimaksud ialah sosok laki laki Batak idaman untuk Glo. Namun Glo bersikeras untuk tidak menikah dulu, ia hendak mengejar mimpinya untuk membuat film keduanya. Film ini mengungkapkan bahwa sistem patrilineal masih eksis dalam budaya Batak. Kekuatan sistem patrilineal tersebut dibentuk oleh Mak Gondut yang termasuk dalam kaum perempuan Batak juga. Menariknya, dalam film ini, perlawanan yang dilakukan oleh perempuan dalam cerita film ini bukan untuk menghadapi kaum laki-laki, melainkan melawan kaum perempuan yang justru mendukung sistem patrilineal yang berlaku tersebut. Perlawanan kaum perempuan melawan kaum sejenisnya ini menjadi keunikan dalam film ini yang membedakannya dengan film-film lainnya. Perempuan dalam film ini juga tidak digambarkan memiliki bentuk fisik yang ideal seperti yang ditampilkan pada film. Mulai dari bentuk tubuh, sifat dan perilaku yang cenderung maskulin dan memiliki keterkaitan dengan penggambaran perempuan Batak dalam film. Dimana perempuan Batak digambarkan memiliki karakteristik yang dominan dan melawan.
PEMBAHASAN Demi Ucok memang tidak memperlihatkan secara gamblang adanya hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Hal itu karena tokoh utama dan lawan main adalah perempuan. Bahkan peran pendukung kebanyakan perempuan dalam film ini. Namun, sadar atau tidak, dominasi kerap terjadi demi memperkuat sistem patrilineal tersebut. Dominasi ini kerap dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri demi memperkuat sistem patrilineal yang ada. Dalam film, ditunjukkan adanya perbedaan ideologi atau pandangan antar perempuan mengenai konsep perkawinan, dimana sistem patrilineal turut campur didalamnya. Gloria (Glo) dan Mak Gondut (mama Glo) adalah kaum perempuan yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep perkawinan tersebut. Mak Gondut, sebagai kaum perempuan yang masih patriarkis mendukung adanya ketimpangan tersebut.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sistem patrilineal yang masih terus mengakar tersebut membuka peluang adanya dominasi karena peran Mak Gondut sebagai kepala keluarga (karena suami telah meninggal) semakin kuat. Sedangkan Glo, sebagai kaum perempuan yang berusaha melawan dominasi sistem patrilineal tersebut. Hal-hal tersebut semacam rekayasa dominasi dimana laki-laki seakan tidak berperan namun peran tersebut diambilalihkan oleh perempuan, dalam hal ini untuk kembali lagi perempuan yang menjadi objek yg didominasi. Seperti halnya kutipan dialog dibawah ini: “Bereng jo! Annon diripu halak ma imana lesbi. Tamba maol ma annon ro pangoli (Lihatlah! Nanti disangka orang dia lesbi. Tambah susah kujodohkan)” “Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia kerumah” “Memang kelam kali dunia pilim itu.”
Semenjak perdebatan besar yang terjadi antara Glo dan Mak Gondut pada malam itu, Glo tidak lagi tinggal di rumah. Ia menginap di rumah Niki, temannya. Karena tidak begitu jauh jarak rumah Glo dengan Niki, maka Mak Gondut dapat dengan bebas mengawasi Glo dari rumahnya. Pada suatu hari, ketika Glo sedang bercakap ria dengan Niki mengenai film kedua yang akan dibuat oleh Glo, Mak Gondut tak sengaja melihat keduanya saling bertatapan.
Gambar 1. Glo dan Niki Terlihat Saling Bertatapan Oleh Mata Kamera Mak Gondut
Dari mata kamera tersebut, terlihat adanya keinginan untuk memfokuskan pada objek tersebut dengan menghitamkan daerah yang tidak penting untuk dilihat. Mata kamera kemudian menjadi mata penonton dimana mata kamera ditujukan pada perilaku Glo dan Niki yang terlihat seperti hampir berciuman. Ini cukup menarik bagi peneliti. Hal itu karena secara implisit scene ini mengajak khalayak (penonton) berpikir dengan cara pandang yang sama dengan yang dimaksud,
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam hal ini Mak Gondut dalam menilai Glo dan Niki.
Ada ajakan untuk
berpikir dan mengatakan bahwa perempuan seringkali melakukan hal yang salah, yang tidak masuk akal. Perempuan menyesatkan dirinya, dimana seharusnya perkawinan sebagai jalan keluar yang tepat untuk menertibkan perempuan agar tidak melenceng dari jalurnya. Perilaku Glo dan Niki tersebut membuat Mak Gondut kaget dan kemudian menghubungi namboru Glo (tante Glo) melalui handphone- nya. Mak Gondut khawatir orang-orang mengira Glo lesbi dengan sikap Glo seperti itu bersama Niki. Mak Gondut khawatir Glo akan semakin susah memiliki pasangan laki-laki Batak sesuai harapan Mak Gondut. Sementara, namboru Glo memberikan saran untuk menutup semua kartu kredit yang diberikan kepada Glo. Penutupan kartu kredit tersebut diyakini akan membuat Glo kembali tinggal dirumah. “Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia kerumah”
Pengambilan keputusan untuk menutup kartu kredit Glo merupakan salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh Mak Gondut terhadap ketidakmampuan Glo. Dominasi, seperti dikemukakan Haryatmoko (2010, hal.x), bisa dalam bentukbentuk seperti fisik, ekonomi, politik, sosial, budaya atau simbolik. Maka dalam hal ini, Mak Gondut mendominasi melalui kekuasaannya dengan mengontrol pemasukan Glo dalam kartu kredit Glo. Identitas mayoritas sebenarnya bermula dari gejala yang tidak disadari dalam membentuk kategori ras, dimana ada tuntutan privilese agar diterima sehingga menciptakan sebuah masyarakat rasial. Sedangkan kelompok minoritas merupakan kelompok yang kurang beruntung menjadi anggota sebuah organisasi, sebab mereka secara fisik maupun kultural merupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang dari kelompok dominan dalam perlakuan diskriminasi yang sering diberikan kepada mereka (Liliweri, 2005, hal 112). Pengkelasan antara mayoritas maupun minoritas dapat melahirkan stereotipe yang fungsinya mengeneralisasi. Ini menempatkan perempuan sebagai salah satu objek stereotipe tersebut. Memiliki anak laki-laki merupakan sebuah peningkatan harkat serta martabat keluarga bagi adat Batak. Untuk itulah
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan memiliki peranan besar dalam meningkatkan harkat serta martabat sebuah keluarga etnis Batak. Seperti halnya kutipan dibawah ini : “Jadi maksud kakak, aku ga happily ever after?” “Perempuan Batak itu dinilai dari anaknya, percuma sehebat apapun kau kalau kau ga punya anak.”
Kutipan ini merupakan dialog antara Tante Nora (namboru Glo) dengan Mak Gondut. Namboru merasa tersinggung dengan cerita Mak Gondut. Dalam cerita, ada seorang perempuan yang hendak menjadi artis, kemudian lari ke ibukota untuk mengejar cita-citanya. Namun, akhirnya ia berhenti mencapai citacitanya karena seorang pria hendak mengawininya. Ia memutuskan harapannya mencapai cita-cita tersebut, sementara adik-adiknya tetap berusaha meraih citacitanya. Namun pada akhirnya adik-adiknya pun berhenti bekerja, sementara perempuan tersebut hidup bahagia. Namboru adalah adik dari Mak Gondut yang sibuk bekerja meraih semua mimpinya. Karena kesibukannya sehingga ia tidak pernah memikirkan untuk memiliki pasangan. Itu sebabnya ia masih belum juga kawin. Sebuah lagu berjudul Anakonhi do hamoraon di au dapat menggambarkan betapa anak begitu berharga bagi etnis Batak. Lagu tersebut berarti bahwa keturunan merupakan aset sebuah keluarga (Tinambunan, D Toruan, R, 2010, hal. 7). Dikatakan terdapat tiga pengharapan atau cita-cita hidup orang Batak, yaitu: Hagabeon, Hasangapon, dan Hamoraon yang diusahakan diwujudkan selama hidup. “Perempuan Batak itu dinilai dari anaknya, percuma sehebat apapun kau kalau kau ga punya anak.”
Perkataan Mak Gondut mengingatkan pada hagabeon, dimana adanya suatu dambaan orang Batak untuk memiliki keturunan. Ketika ia berhasil memiliki keturunan maka orang tersebut berhak menyandang gabe (Tinambunan, D Toruan, R, 2010, hal. 7). Namun, pasangan suami-istri yang hanya memiliki anak perempuan, belum layak disebut gabe. Karena itu, memiliki keturunan, khususnya keturunan laki-laki, menjadi suatu hal yang penting dan berharga bagi etnis Batak. “Bilangin mami uda jadi artis. Jadi ga ada lagi yang bisa bilang mami gagal.”
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Keberhasilan perempuan Batak itu dilihat dari anaknya, kalau anak kau lebih hebat dari anak mami baru kau boleh sombong.”
Kutipan ini sekaligus menegaskan arti dan keberhargaan keturunan bagi etnis Batak. Kutipan ini merupakan kutipan percakapan Mak Gondut dengan Glo ketika Mak Gondut dirawat di rumah sakit. Mak Gondut akhirnya berhasil menjadi seorang seorang artis, sesuai impiannya sejak dulu. Ia bermain menjadi pemeran utama dalam film kedua Glo. Walau begitu, tak membuat Mak Gondut bahagia. Hal ini karena Mak Gondut merasa bahwa belum berhasil membuat anaknya (Glo) lebih hebat darinya. Hebat menurut etnis Batak disini ialah pada saat seorang perempuan berhasil membuat anaknya memiliki keturunan, seperti dijelaskan pada kutipan sebelumnya. Sementara menurut Sammaria (sutradara): Sammaria (sutradara): semua manusia berhak menentukan jalan kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing.
Peneliti melihat adanya penegasan yang ditunjukkan oleh produsen teks melalui kutipan pernyataan diatas. Bahwa kebahagiaan tidak seharusnya digeneral-kan. Kata “masing-masing” disini merujuk pada pernyataan bahwa tiap perempuan berbeda dan tidak ada perwakilan yang dapat mewakili kelompok perempuan karena dalam kelompok tersebut sejatinya masing-masing perempuan sudah berbeda satu sama lain. Kebahagiaan menurut etnis Batak dilihat melalui keturunan yang diperoleh. Perempuan Batak yang memiliki keturunan dianggap lebih berharga atau menilai dibandingkan perempuan yang tidak memperoleh keturunan. Kebahagiaan seakan diatur oleh budaya dan bukan lagi hak milik sepenuhnya masing-masing individu, khususnya perempuan. Selain itu, peneliti juga melihat adanya wacana etnosentrisme yang berusaha disampaikan melalui beberapa dialog dalam scene. Sikap etnosentrisme kaum Batak ini merupakan bagian yang mengokohkan sistem itu sendiri. Kebanggaan akan kaum tertentu justru akan membawa kaum tersebut mencapai titik untuk ingin merasa unggul. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk perilaku yang menampilkan secara jelas tiap keunggulan yang ada. Selain itu, untuk tetap mempertahankan keunggulan kaum tersebut dibutuhkan adanya bentuk-bentuk perilaku yang berfungsi untuk mengaburkan identitas kaum lainnya. Perilaku tersebut akan menyebabkan menonjolnya kaum unggul tersebut.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Disamping itu, pemisahan diri satu kaum dengan yang lainnya atau bisa disebut pengesklusifan
kelompok
dianggap
penting
untuk
dilakukan
agar
mempertahankan posisi unggul tersebut. Hal ini semata-mata untuk menghindari pengaruh identitas kaum lain yang akan mengaburkan identitas kaum tersebut. Yang tentunya akan berimbas pada sistem-sistem yang telah diteguhkan oleh kaum tersebut. Mulai dari scene awal wacana etnosentrisme ini sebenarnya sudah disinggung melalui perkataan Mak Gondut, mama Gloria. Dalam scene tersebut Mak
Gondut
menggunakan
perumpamaan
anjing
peliharaannya
untuk
mengandaikan konsep perkawinan. Scene ini merupakan jawaban atas pertanyaan dalam scene sebelumnya yang menanyakan “Kenapa Harus Batak”.
Gambar 2. Mak Gondut Bersama Kedua Anjing Peliharaannya
Manohara (kiri), merupakan anjing peliharaan Mak Gondut dari hasil perkawinan ras yang sama (murni). Sedangkan, Bobot (kanan) merupakan hasil percampuran dua ras yang berbeda. Pengambilan gambar dibuat dengan medium shot dimana secara jelas terlihat Mak Gondut yang sedang duduk dengan mengendong Bobot (kanan) dan “membiarkan” Manohara duduk sendiri dikursi sambil kemudian memegang bulu Manohara menggunakan tangan kanannya. Peneliti gambar tersebut sebagai hal yang menarik karena kenyataannya Mak Gondut memilih mengendong Bobot yang secara jelas merupakan anjing hasil perkawinan dua ras berbeda (campuran) dan mengabaikan Manohara. “Ibarat doggy, yang ga dicampur itu lebih mahal”
Berdasar kutipan perkataan Mak Gondut tersebut, tampak jelas adanya penekanan bahwa perkawinan satu suku lebih bernilai (berharga) dibandingkan
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perkawinan beda suku. Kosakata yang digunakan adalah ‘mahal’, disini diinterpretasikan peneliti sebagai suatu nilai tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘mahal’ dapat diartikan: (1) tinggi harganya; (2) jarang ada, sukar terdapat atau tidak mudah. Interpretasi peneliti semakin diperjelas melalui arti tersebut, ditambah dengan adanya pelabelan harga yang diberikan pada kedua anjing peliharaan tersebut. Manohara bernilai Rp 1.200.000 sedangkan Bobot bernilai jauh di bawah harga Manohara yaitu senilai Rp 40.000. Ditambah lagi, Bobot menggunakan baju persib (tim sepak bola Bandung) yang bernilai Rp 70.000. Baju persib tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dibanding Bobot sendiri. Dapat diartikan Manohara memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan Bobot. Dalam dimensi tekstual, apabila dihubungkan dengan konteks perkawinan, pesan yang hendak disampaikan disini ialah perkawinan satu suku memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perkawinan beda suku.
Gambar 3 Mak Gondut Dan Kedua Anjing Peliharaannya Dalam Nilai Harga MasingMasing
Berdasar pada pelabelan nilai yang cukup jauh tersebut, peneliti juga menemukan adanya penggolongan ke dalam kelas yang berbeda antara yang keturunan murni dan keturunan campuran. Adanya anggapan bahwa keturunan yang memiliki ras yang sama dianggap keturunan baik memperjelas bahwa harkat atau martabat seseorang bergantung juga dari latar belakang ia berasal. Burhanuddin
(2008,
hal.192)
memperkuat
interpretasi
peneliti
dengan
mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan adanya prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok mayoritas (dominan) dengan minoritas ialah etnosentrisme itu sendiri.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Produsen teks (Mak Gondut) merupakan perempuan Batak yang juga merupakan keturunan murni Batak. Pun dalam perkawinannya, ia berhasil menikah dengan laki-laki satu suku. Disini peneliti menginterpretasi bahwa Mak Gondut hendak memberikan pesan bahwa ia merupakan salah seorang perempuan yang mahal (memiliki nilai tinggi) karena melalui perkawinan satu suku dan memiliki keturunan murni Batak (Gloria). Perilaku ini sebenarnya ialah untuk mengokohkan sistem patrilineal itu sendiri bahwa kenyataanya kaum Batak memiliki keunggulan yang memandang bahwa kaum Batak seharusnya memilih untuk menikah dengan kaum Batak lainnya untuk memperoleh peningkatkan harkat (kenaikan harga kalau dalam perumpamaan tersebut) dibandingkan kaum lain sehingga masyarakat Batak seharusnya memiliki sikap etnosentrisme tersebut. Scene tersebut seakan menjelaskan mengenai komentar-komentar dari orangorang mengenai perkawinan (dalam scene sebelumnya) dimana nikah seharusnya pilihan dan ibadah sehingga adat seharusnya tidak membatasi seseorang memilih untuk menikah dengan kaum Batak atau tidak. Peneliti menginterpretasi bahwa scene Mak Gondut ini menutup dengan jawaban tegas mengenai pertanyaan pada scene sebelumnya “mengapa kawin dengan Batak?”. Hal ini karena Mak Gondut melihat bahwa kaum Batak merupakan kaum yang unggul dilihat dari pandangan mengenai ras murni yang dianggap lebih mahal dibandingkan ras campuran. Bahwa masih cukup banyak kelompok masyarakat yang menggunakan pola pemikiran tradisional-patriarkhi dimana perempuan sesuai dengan kodratnya yaitu mengurus ranah domestik, bukan ranah publik seperti laki-laki. Padahal gender dan kodrat adalah dua aspek berbeda dan seharusnya tidak disamakan. Karena kodrat menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan. Seperti halnya, seorang perempuan yang seharusnya pintar masak, karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masak-memasak dalam diri seorang perempuan, begitu pula dengan laki-laki. Maka, sewajarnya kegiatan memasak ini dapat dilakukan oleh kedua sepasang suami istri, mereka dapat saling bertukar peran sehingga relasi gender terjalin dengan baik.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Ketiadaan bertukar peran yang seharusnya dilakukan inilah yang seringkali membawa perempuan pada posisi inferior, dimana perempuan berada pada kondisi yang tersubordinasi oleh laki-laki. Kedudukan kepala keluarga biasanya diberikan kepada laki-laki. Kuasa tersebut menyebabkan laki-laki menjadi kaum superior dalam keluarga. Laki-laki dapat mengatur seisi keluarga, termasuk sosok yang menjadi pendampingnya (istri). Perempuan diletakan dalam posisi pendamping suami, dalam hal ini saja sudah nampak jelas bentuk subordinasi terhadap perempuan pada kedudukan perempuan dalam institusi keluarga. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menimbulkan perlawanan atau resistensi perempuan itu sendiri. Namun, perlawanan tidak serta merta menghasilkan suatu wacana alternatif yang radikal. Seringkali ada pandangan bahwa perlawanan didasarkan atas struktur yang ganda seringkali bersifat kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu, dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkar (Lo and Gilbert dalam Susanto, 2008, hal 25). Walau resistensi seringkali bersifat radikal, terlihat secara fisik namun resistensi tidaklah harus muncul dalam cara-cara yang baku. Resistensi dapat terbuka, implisir, segera atau tertunda.
Sebagaimana
komentar
Sammaria
mengenai
resistensi
yang
dimunculkan dalam film: Sammaria (sutradara): Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.
Sammaria tidak menafik bahwa resistensi merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan sebagaimana kita ketahui dinamis (berubahberubah) membuka peluang besar muncul resistensi-resistensi tersebut, baik dari perempuan bahkan laki-laki. Semua itu merupakan satu kesatuan yang menjadi bukti nyata tentang kedinamisan kehidupan. Film sebagai perantara atau media agar tiap manusia dapat menyadari akan hal itu. Film membantu manusia untuk mengilahmi arti kedinamisan kehidupan, dimana resistensi juga menjadi bagian dari kehidupan yang dinamis tersebut.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perempuan sebagai seorang pemimpi adalah konsep yang paling sering ditampilkan dalam film ini. Konsep ini beberapa kali ditampilkan dalam beberapa scene dengan tokoh dan sudut pandang yang berbeda pula. Konsep mimpi bagi perempuan sebagai sebuah titik cerah yang dapat mengatasi kekelaman nasib perempuan ketika mengambil keputusan memasuki perkawinan. Bagi Glo, perkawinan bukanlah satu-satunya tujuan hidup atau mimpi perempuan. Masih ada beragam tujuan atau mimpi yang dapat dicapai oleh kaum perempuan. Inilah bentuk resistensi perempuan yang secara implisit hendak disampaikan dalam kisah seorang pemimpi yang diceritakan Glo, dimana Glo dapat menentang, melawan atau melakukan resistensi terhadap kuatnya sistem patrilineal perkawinan Batak ialah dengan mewujudkan mimpi tersebut. Dengan mengusung konsep perempuan sebagai pemimpi, sebenarnya terselip harapan untuk dapat meresisten atau melawan dominasi laki-laki dalam sistem patrilineal Batak dalam perkawinan. Salah satunya ialah mengambil peran (bekerja) dalam ranah publik. Konsep yang dimaksudkan ialah perempuan juga dapat bekerja layaknya laki-laki lakukan dan itu bukan hanya sekedar mimpi belaka. Perempuan tidak hanya bisa mengonsep mimpinya tetapi melaksanakan atau mewujudkan mimpinya. Sebagaimana diungkapkan oleh sutradara: Sammaria (sutradara): film sebaiknya memberikan harapan.
Disini, kata “harapan“ yang sebenarnya hendak ditekankan oleh Sammaria. Film sebagai medium dimana istilah “harapan” hendak diwacanakan sebagai salah satu bentuk resistensi perempuan dalam konsep perempuan pemimpi. Bahwa resistensi tidak berarti dalam bentuk kekerasan atau dengan bentuk anarkis, mimpi dapat menjadi bentuk resistensi baru yang dapat digunakan perempuan dalam mewacanakan harapan yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama perempuan itu sendiri. Resistensi perempuan juga diwujudkan pula oleh Mak Gondut dalam menentukan pilihan pekerjaan yang hendak dilakukan. Menariknya dalam sub bab ini ialah bahwa resistensi menyebabkan perempuan dapat menegosiasikan perannya yang distereotipekan dalam ranah domestik menjadi suatu kebebasan
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
untuk memilih peran dalam ranah publik. Istri memiliki kuasa atas dirinya sendiri bahkan ia dapat menguasai (mengatur/mengontrol) perilaku orang lain, dalam hal ini biasanya anak. Melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Mak Gondut sangat jelas ditampilkan tidak adanya kegiatan yang merujuk pada ranah domestik. Resistensi ini ditunjukan melalui perilaku Mak Gondut yang tidak benar-benar menjadi istri tersubordinasi suami, ia dapat dengan bebas memilih aktivitas yang ia lakukan bahkan sampai pada ranah publik. Kegiatan Mak Gondut antara lain:
Gambar 4. Segelintir aktivitas Mak Gondut
Gambar 5. Mak Gondut Sebagai Pelaku Sosial
Gambar 6. Kegiatan Mak Gondut Sebagai Politisi
Perkawinan tidak melulu melihat perempuan yang terperangkap dalam kotak dominasi laki-laki. Yang menarik disini ialah ketika peneliti tidak menemukan adanya kegiatan dalam ranah domestik yang sifatnya memaksa yang seharusnya dilakukan oleh istri sebagai bentuk dominasi suami, seperti misalnya
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menyapu, memasak, dsb. Mak Gondut malah melakukan pekerjaan seperti mengikuti arisan/pesta, melakukan kegiatan sosial, mengikuti kegiatan partai sebagai politisi dan berjualan. Ada sebuah bentuk negosiasi peran perempuan (istri) untuk keluar dari kekangan stereotipe dimana perempuan seharusnya berperan hanya dalam ranah domestik. Sebagaimana yang dikatakan oleh James Scott mengenai apa yang disebutnya sebagai ‘everyday forms’ of women’s resistance (bentuk perlawanan sehari-hari) berdasarkan kajiannya di kalangan para petani. Bahwa penolakan yang dilakukan para petani dalam menghadapi ambiguitas dan kontradiksi dalam hukum negara sehingga menyebabkan tidak efektifnya perubahan hukum negara menciptakan kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Menjadi penyebab perempuan pada akhirnya melakukan penolakan dengan caranya sendiri. “Such forms of resistance required little or no-coordination or planning; they can be classed as a type of self-help; and they avoid any direct questioning of the authority or the norms of dominant/elite groups” (Scott dalam Irianto, 2003, hal.2)
Scott memaparkan bahwa penolakan perempuan petani berupa penyimpangan kolektif yang seketika dan berciri “senjata biasa” dari kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya, dengan cara seperti keterlambatan, pembakaran dengan sengaja, sabotase, pencopetan, gosip dan sebagainya. Bahwa tidak perlu meromantisir “senjata kaum lemah”, tetapi yang sama pentingnya adalah bahwa mereka tidak boleh diabaikan. Perlawanan yang dilakukan perempuan tidak merupakan konfontasi langsung, karena perempuan memahami lemahnya kedudukan mereka, dan segan terlibat dalam konfrontasi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting. Kepasrahan seperti halnya perlawanan harus dipandang sebagai sebuah strategi, bagian dari satu proses tawar-menawar yang tidak mempunyai awal dan akhir. Sementara, sifat eksploitatif masih tetap berlangsung dari hubungan-hubungan kelas tersebut. Dalam hal ini, kepasrahan untuk kawin yang telah dilakukan oleh Mak Gondut merupakan sebuah strategi yang mana merupakan bentuk strategi untuk dapat melakukan resistensi dalam bentuk lain, yaitu negosiasi peran yang dilakukan Mak Gondut sebagai istri yang tidak benar-
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
benar bekerja dalam ranah domestik tetapi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dalam ranah publik seperti kaum laki-laki.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tiap perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda satu sama lain dalam menunjukkan perlawanannya terhadap budaya patriarki. Akan tetapi, resistensi tersebut tidak dapat mengalahkan atau meruntuhkan sistem patrilineal yang telah mengakar pada budaya Batak. Hal itu karena resistensi perempuan tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki yang mana wacana resistensi tersebut malah justru mengukuhkan sistem patrilineal yang ada. Dalam hal ini, wacana resistensi dalam film tersebut juga tidak dapat lepas dari produsen teks atau pelibat teks (sutradara) sehingga usia, gender role (peran gender) serta pengalaman yang berbeda-beda akan menyebabkan wacana resistensi yang berbeda-beda pula dalam film.
DAFTAR PUSTAKA Burhanudin, J 2002, Ulama perempuan indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Haryatmoko, J 2010, Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Irianto, S 2003, Perempuan di antara berbagai pilihan hukum: studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Liliweri, A 2005, Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta. McQuail, D 2011, Teori komunikasi masa McQuail 1 ed 6, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta. Munawar, B Rachman, 1996, Rekonstruksi fiqh perempuan dalam peradaban masyarakat modern, Ababil, Yogyakarta. Sukri, SS 2001, Perempun seksualitas dalam tradisi jawa, Gama Media, Yogyakarta. Susanto, B 2008, Membaca postkolonialitas (di) indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Tinambunan, D Toruan, R, 2010, Orang Batak kasar?:membangun citra & karakter: gunakan 7 falsafah Batak merestorasi jati diri, hubungan seks, sosial, budaya, demokrasi, bisnis, dan melibas dosa, korupsi & mafia hukum, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Skripsi
Riste Isabella RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK