Material
RESISTENSI BETON MEMADAT MANDIRI YANG MENGANDUNG FLY ASH TINGGI TERHADAP SERANGAN ASAM SULFAT (276M) Stefanus A Kristiawan1, Fatkulloh2 dan Kartika Adrianingtyas3 1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta Email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta Email:
[email protected] 3 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi resistensi beton memadat mandiri yang mengandung fly ash dalam volume tinggi apabila terserang asam sulfat. Beton memadat mandiri yang dievaluasi memiliki proporsi fly ash dalam rentang 35-65% dari berat total binder (semen + fly ash). Resistensi beton dievaluasi dengan menginvestigasi perubahan sifat fisik, mekanik dan kimia yang terjadi setelah beton direndam dalam larutan asam sulfat 5% dengan pH 1. Perubahan sifat fisik dalam skala makro diamati secara visual dengan melihat perkembangan kerusakan permukaan beton seiring dengan lamanya beton direndam dalam larutan asam sulfat. Selain itu, perubahan sifat fisik secara mikro dianalisa dari perbandingan hasil SEM pada beton dengan kandungan fly ash 65% yang direndam dalam air dan direndam dalam larutan asam sulfat selama 90 hari. Uji kuat tekan digunakan untuk mengevaluasi perubahan kuat tekan sedangkan perubahan sifat kimia dianalisa dengan XRD. Hasil penelitian menunjukkan akibat serangan asam sulfat, kekuatan beton hanya tersisa 30-45% dari kuat tekan potensialnya. Perubahan kuat tekan beton yang terjadi akibat serangan asam sulfat dapat secara konsisten dijelaskan dengan perubahan sifat fisik dan kimia yang terjadi. Kata kunci: asam sulfat, beton memadat mandiri, fly ash, kuat tekan, SEM, XRD
1.
PENDAHULUAN
Lingkungan agresif sangat berpengaruh terhadap keawetan beton. Struktur beton dapat dikatakan berada pada lingkungan agresif manakala beton terus-menerus berada dalam air seperti sungai yang telah terkontaminasi limbah sehingga rentan terjadi leaching; beton digunakan sebagai infrastruktur kesehatan lingkungan khususnya drainase air kotor dan limbah serta infrastruktur pengolahannya; beton digunakan sebagai infrastruktur untuk menyalurkan air waduk dan keperluan irigasi; beton berada pada daerah industri dan lingkungan air laut. Selain lingkungan agresif yang bersifat aqueos seperti disebutkan di atas, beberapa bahan kimia yang merusak beton dapat juga berada pada lingkungan atmosfir maupun lingkungan tanah (Belie, 2007; Liu et al, 2012). Paparan awan yang mengandung asam pada gedung tinggi serta air hujan yang mengandung asam merupakan contoh lingkungan atmosfir yang bersifat agresif (Xie et al, 2004). Sementara lingkungan tanah yang terkontaminasi bahan kimia agresif dapat merusak bangunan bawah tanah seperti struktur pondasi, basement, tunel ataupun bangunan penahan tanah (Irassar et al, 1996). Bahan kimia dari lingkungan agresif yang bersifat merusak dapat berupa asam, sulfat, klorida, dll. Jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut juga bervariasi tergantung dari reaksi kimia yang ditimbulkannya dengan komponen beton. Reaksi kimia antara beton dengan sulfat misalnya juga dipengaruhi oleh jenis sulfatnya. Pada beton yang terserang oleh sodium sulfat (Na2SO4) reaksi yang terjadi hanya menyertakan ion SO42-, sedangkan pada beton yang terserang magnesium sulfat (MgSO4) serangan juga melibatkan ion Mg2- yang mana reaksi ion Mg2- ini menghasilkan brucite (Skalny et al, 2002). Sementara itu asam sulfat (H2SO4) mengkombinasikan kerusakan karena serangan asam dan serangan sulfat (Cizer et al, 2011). Selain reaksi kimia, kerusakan yang ditimbulkan oleh sulfat juga dapat dikaitkan dengan fenomena fisik yaitu kristalisasi garam sulfat. Fenomena ini telah diamati oleh Irassar et al (1996) pada pengujian beton yang direndam sebagian di dalam tanah dan setengah bagian lainnya terpapar udara luar (atmosfir). Kristalisasi garam sulfat tejadi pada bagian beton yang terpapar atmosfir melalui mekanisme berikut: pertama-tama larutan sulfat dari tanah yang terkontaminasi bahan kimia ini masuk ke dalam bagian beton yang terendam tanah, lalu oleh proses kapilerisasi naik ke bagian beton yang terpapar atmosfir. Pada bagian beton di atas tanah ini, proses evaporasi air terjadi sehingga larutan asam yang telah naik ke Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 297
Material
bagian beton ini menjadi jenuh. Hal ini menyebabkan berlangsungnya kristalisasi garam sulfat yang menghasilkan tegangan internal di dalam pori beton, yang besarnya memungkinkan terjadinya retak. Di tinjau dari reaksi kimia yang terjadi pada serangan sulfat, maka reaksi ini mencakup reaksi yang menghasilkan terbentuknya ettringite, gypsum maupun thaumasite (Ramezanianpour, 2012). Ettringite terbentuk manakala calcium hydroxide (CH), air (H) dan monosulfate hydrate (C3A·CS·H18) ataupun calcium aluminate hydrate (C3A·CH·H18) bereaksi dengan sulfate (S) sebagai berikut (Mehta and Monteiro, 2006): C3A·CS·H18 + 2CH + 2S + 12H C3A·3CS·H32 C3A·CH·H18 + 2CH + 3S + 11H C3A·3CS·H32 Akibat yang ditimbulkan dari terbentuknya ettringite ini adalah terjadinya expansion (pembengkakan volume) yang selanjutnya merusak beton yang dimanifestasikan dalam bentuk retak. Harus dicatat disini bahwa expansion ini tidak disebabkan karena volume produk dari reaksi (ettringite) lebih besar dari volume reaktan. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena expansion ini antara lain reaksi thopochemical (Odler dan Jawed, 1991) dan mekanisme swelling (Mehta, 1992). Menurut teori reaksi thopochemical, sulfat dan ion-ion calcium di dalam air pori beton bereaksi dengan dissolving ion-ion aluminate dekat permukaan solid, dan ettringite yang dihasilkan dari reaksi ini tumbuh tegak lurus terhadap permukaan solid. Mengingat permukaan solid dan ion-ion calcium berada di dalam larutan, maka hanya volume aluminate yang diperhitungkan ketika membandingkan volume reaktan dengan volume yang ditempati oleh ettringite. Di dalam sistem yang terbuka dimana beton bersifat permeabel terhadap air dari lingkungan, maka air mungkin menempati ruangan pori yang baru terbentuk dan menyebabkan expansion. Sementara menurut teori swelling, kristal-kristal ettringite yang lemah menyebabkan expansion melalui penyerapan air. Di dalam sistem yang berisi sulfat, ion-ion hydroxyl dan calcium dengan konsentrasi memadai, maka colloidal ettringite akan terbentuk. Air dari lingkungan luar terserap ke dalam kristal-kristal ettringite ini, dan menimbulkan tekanan osmosis. Apabila modulus elastisitas beton rendah, maka expansion akan terjadi. Sementara itu gypsum terbentuk melalui reaksi: Ca(OH)2 + SO42- + 2H2O CaSO4·2H2O + 2OHKerusakan yang timbul dari terbentuknya gypsum juga dikaitkan dengan expansion. Kristal gypsum yang terbentuk pada permukaan calcium hydroxide menempati pori kapiler dengan volume yang tidak dapat diakomodasi oleh pori tersebut (Ramezanianpour, 2012). Bentuk terakhir dari reaksi kimia akibat serangan sulfat adalah terbentuknya thaumasite (CaSiO3.CaCO3.CaSO4.15H2O). Thaumasite di dalam beton merupakan hasil reaksi antara calciumsilicate hydrates (C-S-H) dengan sulfat ketika ada ion-ion carbonate dalam lingkungan basah (Hooton and Thomas, 2002). Mengingat reaksi ini melibatkan C-S-H yang merupakan unsur utama pengikat beton, maka kerusakan yang ditimbulkan adalah terjadinya disintegrasi beton (Brueckner, 2007). Sementara itu pengaruh serangan asam sulfat (H2SO4) lebih merusak dibandingkan dengan serangan oleh garamgaram sulfat. Hal ini dikarenakan oleh dua aspek penting yaitu reaksi ion sulfat dan efek dissolution oleh ion hidrogen pada pH rendah. Asam sulfat pertama-tama bereaksi dengan dengan calcium hydroxide yang menghasilkan gypsum yang mana terbentuknya gypsum ini menyebabkan retak dan spalling karena volume yang membengkak (sampai faktor 2). Kemudian, gypsum berekasi dengan calcium aluminate dan membentuk ettringite yang menyebabkan pembengkakan volume lebih besar lagi (sampai faktor 7), sehingga timbul micro- dan macrocracking. Pada pH yang rendah (dibawah 11.5-12) ettringite tidak stabil dan terdekomposisi menjadi gypsum yang bersifat lunak. Di dalam lingkungan asam atau pH rendah ini, berlangsung pula proses dekalsifikasi calcium silicate hydrate (C-S-H) yang selanjutnya menyebabkan disintegrasi beton (Cizer et al, 2011). Resistensi beton dalam melawan serangan kimia tergantung dari faktor lingkungan dan faktor kualitas beton itu sendiri. Faktor lingkungan direpresentasikan oleh jenis bahan kimia agresif serta konsentrasinya sedangkan faktor kualitas beton direpresentasikan oleh sifat-sifat beton dan bahan tambah yang digunakan. Sifat-sifat beton yang dianggap berpengaruh antara lain porositas, permeabilitas, absorpsi, dll. Sifat-sifat ini terkait dengan mekanisme penetrasi bahan kimia dari luar ke dalam beton. Secara umum beton yang memiliki porositas, permeabilitas dan absorpsi yang rendah cenderung lebih tahan dalam lingkungan agresif karena penetrasi ion-ion yang merusak juga lebih rendah (Liu et al, 2012; Irassar, 1996; Drimalas et al, 2011). Namun demikian, Irassar et al (1996) juga mencatat hal lain yaitu mekanisme transportasi ion-ion agresif dari bagian beton yang langsung kontak dengan lingkungan agresif ke bagian beton lain yang kering dapat terjadi melalui proses kapilerisasi. Dalam hal ini, beton dengan pori-pori yang kecil justru mendukung proses kapilerisasi. Sementara itu, bahan tambah yang digunakan dalam campuran beton seperti fly ash, ground granulated blast-furnace slag (ggbs) dan silica fume dapat meningkatkan resistensi beton terhadap serangan kimia (Drimalas et al, 2012; Zelic et al, 2007; O’Connel et al, 2012, Siad et al, 2009; Reddy et al, 2012; Ramezanianpour, 2012). Khusus untuk penggunaan fly ash tipe C (yang mengandung calcium tinggi) dalam campuran beton, Drimalas et al (2012) menemukan bahwa fly ash tipe ini tidak
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
M - 298
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Material
efektif dalam meningkatkan kinerja beton dalam melawan serangan sulfat. Namun demikian, apabila pada campuran beton dengan fly ash tipe C tersebut diberi bahan tambahan sekunder (silica fume, slag dan ultra fine fly ash) maka terjadi peningkatan kemampuan beton dalam melawan serangan sulfat. Bahan tambah lain yang tidak bersifat pozzolanic seperti limestone powder ataupun jenis accelerator tertentu justru meningkatkan resiko kerentanan beton dalam melawan serangan bahan kimia (Liu et al, 2012; Senhadji et al, 2010; Lee et al, 2009). Studi yang dilakukan oleh Ramezanianpour (2012) pada beton yang menggunakan semen portland-limestone menunjukkan bahwa kerentanan terhadap serangan sulfat pada beton yang menggunakan semen jenis ini dapat dikurangi dengan mengganti sebagian semen dengan slag. Penggunaan bahan tambah dalam teknologi beton memadat mandiri merupakan keniscayaan dikarenakan komposisi beton memadat mandiri memerlukan volume komponen halus yang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada beton normal. Komponen halus ini dapat diperoleh dari semen, bahan pozzolanic maupun agregat yang sangat halus yang difungsikan sebagai filler. Kehadiran komponen halus dengan volume tinggi ini diperlukan untuk memastikan beton memiliki viskositas yang memadai sehingga karakteristik mengalir dari beton jenis ini dapat dicapai tanpa terjadi segregasi. Dengan tingginya volume komponen halus (semen) maka beton memadat mandiri akan cenderung lebih rentan mengalami serangan asam sulfat apalagi bila bahan pozzolanic yang digunakan berupa fly ash tipe C. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi resistensi beton memadat mandiri yang mengandung fly ash tipe C dalam volume tinggi terhadap serangan asam sulfat. Simulasi serangan asam sulfat dan parameter yang digunakan untuk mengkuantifikasi resistensi beton mempertimbangkan beberapa hal yang dijelaskan dalam paragraph selanjutnya. Dalam rangka mengkarakterisasi dan menentukan secara relatif kinerja beton di lingkungan agresif, metode pengujian yang dapat dipercaya dan dapat diulangi merupakan kebutuhan yang penting. Salah satu yang perlu dipertimbangkan dalam metode pengujian adalah bagaimana merepresentasikan kondisi agresif lingkungan. Pertimbangan yang harus dilakukan selain menyangkut karakteristik dari bahan agresif yang terdapat pada lingkungan, juga perlu memperhitungkan segi waktu, ketersediaan dana yang akan menuntun pada pilihan skala pengujian (laboratorium, simulasi dengan skala besar atau in situ). Pilihan-pilihan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap hasil pengujian. Perbedaan parameter-parameter yang disesuaikan dengan skala pengujian dalam upaya merepresentasikan kondisi nyata lingkungan atau akselerasi model degradasi untuk mendapatkan data secara cepat, semuanya ini akan mempengaruhi hasil pengujian. Oleh karena itu sudah seyogyanya pemaparan hasil pengujian harus menyertakan informasi lengkap mengenai parameter-parameter ini seperti pH, konsentrasi ion, kondisi fisik lingkungan, temperatur, aksi mekanis, siklus basah kering, siklus pemanasan dan pendinginan, tekanan, dll (Belie, 2007). Beberapa peneliti menggunakan acuan konsentrasi asam sulfat antara 2-10% dengan rentang pH 1-3 (Allahverdi and Skvara, 2005; Siad et al, 2010, Lee et al, 2009; Cizer et al, 2011; Joorabchian, 2010). Pada penelitian ini konsentrasi asam sulfat yang digunakan adalah 5% dengan pH 1 dan benda uji direndam terus menerus dalam larutan asam sulfat pada ruangan dengan suhu berada pada kisaran 24-32oC. Sementara itu dalam mengkarakterisasi resistensi beton terhadap serangan sulfat, beberapa alternatif parameter untuk mengkuantifikasi akibat yang ditimbulkan oleh serangan sulfat dapat disebut sebagai berikut: pemeringkatan secara visual, perubahan berat atau densitas, perubahan panjang, dan perubahan sifat mekanik/kuat tekan/modulus elastisitas (Lee et al, 2009; Senhadji et al, 2010; Siad et al, 2010; Irassar, 1996; Hasan, 2009; Joorabchian, 2010). Beberapa catatan kelemahan terkait dengan parameter-parameter ini antara lain perubahan berat tidak selalu konsisten dengan degradasi akibat serangan kimia. Pada beton yang terserang sulfat terjadi penurunan berat karena adanya massa yang hilang (scaling, spalling), namun Hasan (2009) menemukan hal yang sebaliknya yaitu peningkatan berat pada beton yang terserang sodium sulfat. Peningkatan berat ini sebagai akibat dari terbentuknya ettringite. Peningkatan berat juga dapat terjadi pada umur awal akibat proses hidrasi lanjut yang menyebabkan beton makin padat meskipun setelah itu penurunan berat terdeteksi sebagai akibat serangan asam sulfat (Cizer et al, 2011). Perubahan panjang sebagai indikator serangan sulfat telah diakomodasi dalam ASTM C1012, namun demikian penggunaan parameter perubahan panjang ini mendapat kritikan dengan berbagai alasan antara lain tidak semua perubahan panjang merupakan akibat langsung dari serangan sulfat, spesifikasi spesimen mengabaikan kemungkinan evaluasi serangan asam sulfat, dll (Monteiro et al, 2000). Parameter kuat tekan juga memiliki kelemahan dalam hal perubahan luasan benda uji akibat serangan asam sulfat sehingga nilai kuat tekan tidak terukur pada luasan yang sama ketika perbandingan dilakukan antara beton yang belum terserang dengan yang telah terserang asam sulfat. Sekalipun demikian, parameter ini secara relatif tetap dapat menggambarkan degradasi beton oleh serangan asam sulfat. Penelitian ini mengadopsi parameter kuat tekan untuk mengkuantifikasi degradasi beton setelah terserang asam sulfat sebagaimana telah digunakan oleh beberapa peneliti lain (Senhadji et al, 2010; Lee et al, 2009; Hassan, 2009). Pemeriksaan kerusakan secara visual sekalipun hanya menggambarkan kerusakan secara kualitatif, namun secara relatif tetap bisa digunakan untuk membedakan tingkat kerusakan antar beton yang terserang asam sulfat. Oleh karena itu, pengamatan visual juga diadopsi dalam penelitian ini.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 299
Material
Proses kimiawi yang terjadi manakala beton terserang asam sulfat dapat dideteksi dengan analisis difraksi XRD. Munculnya puncak-puncak baru dari difraksi XRD mengindikasikan adanya fasa-fasa baru sebagai hasil dari reaksi kimia antara fasa hasil hidrasi semen dengan sulfat maupun asam. Penelitian ini juga menyertakan analisis XRD untuk mengetahui serangan asam sulfat yang terjadi pada beton memadat mandiri yang mengandung fly ash tipe C dalam volume tinggi. Di samping itu, analsis scanning electron microscopy (SEM) juga dilakukan untuk melihat mikrostruktur beton.
2.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Proporsi Bahan Semen yang digunakan dalam penelitian ini adalah portland pozzolanic cement (PPC) sedangkan fly ash tipe C yang digunakan diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap. Komposisi senyawa kimia fly ash yang didapat dari uji XRF ditunjukkan pada Tabel 1. Fly ash digunakan sebagai pengganti sebagian semen dengan volume penggantian 35%, 55% dan 65% dari total berat binder (semen + fly ash). Agregat kasar yang digunakan menggunakan kerikil dengan ukuran butir lolos saringan 9,5 mm dan tertahan saringan 4,75 mm dengan bulk specific gravity sebesar 2,542 gr/cm3. Agregat kasar memenuhi syarat gradasi sesuai dengan ASTM C33 dengan modulus halus 2,88. Sementara agregat halus memiliki bulk specific gravity 2,673 gr/cm3 dan modulus halus 2,42 serta memenuhi syarat gradasi maupun syarat kandungan bahan organik/lumpur sesuai dengan ASTM C33. Komposisi campuran beton selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2. Komposisi campuran ini menghasilkan beton yang memenuhi kriteria memadat mandiri (Tabel 3) setelah melalui serangkaian uji sifat segar yang mencakup flow table test, J-Ring flow table test, L-Box type test, Box type test dan V funnel test. Gambar 1 menunjukkan salah satu pengujian sifat segar (flow table test). Tabel 1. Komposisi senyawa kimia fly ash Senyawa kimia
Proporsi
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO TiO2
Satuan % % % % % %
K2O SO3 P2O5 Cl SrO MnO
% % % % % %
1,17 0,79 0,77 0,42 0,23 0,21
44,86 23,87 15,27 7,07 2,8 1,76
Tabel 2 Komposisi campuran beton Identitas 35% 55% 65%
Semen (kg) 673 466 362
Fly ash (kg) 362 569 673
Kerikil (kg) 533 533 533
Pasir (kg) 533 533 533
Air (kg) 250 250 250
Superplasticizer (kg) 9,31 8,28 7,24
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
M - 300
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Material
Gambar 1. Flow table test Table 3. Sifat segar beton yang diteliti Jenis Pengujian
Parameter
Hasil uji pada beton dengan kadar fly ash: 35%
55%
65%
diameter (mm)
718
733
737
t500 (detik)
2,86
2,74
2,60
kecepatan (mm/det)
73,37
73,55
73,35
diameter (mm)
637
645
651
t500 (detik)
4,96
4,66
4,55
kecepatan (mm/det)
53,93
54,98
56,52
t200 (detik)
1,96
1,81
1,58
t400 (detik)
3,66
3,42
2,95
h2/h1
0,97
1
0,97
Box type
h2/h1
1
1
1
V funnel
t (detik)
11,48
10,36
8,17
Flow Table
J-Ring
L-Box type
Perlakuan benda uji Setiap variasi campuran dari benda uji diberi dua macam perlakuan yaitu direndam dalam air dan direndam dalam larutan asam sulfat sampai pengujian dilakukan. Larutan asam sulfat yang dipakai memiliki konsentrasi 5% dengan pH 1. Perendaman benda uji dilakukan di laboratorium pada suhu dan kelembaban ruangan (24-32oC dan 65-77% RH). Gambar 2 memperlihatkan benda uji yang direndam dalam larutan asam sulfat.
Pengamatan visual Pengamatan visual atas kerusakan beton akibat serangan asam sulfat dilakukan pada benda uji silinder ukuran 15 x 30 cm setela direndam selama 7, 28, 56 dan 90 hari. Kerusakan secara kualitatif dievaluasi dengan membandingkan beton yang direndam dalam air dengan yang direndam dalam asam sulfat. Antar jenis variasi campuran juga dapat dilakukan perbandingan kerusakan.
Pengujian kuat tekan Pengujian kuat tekan dilakukan baik pada benda uji yang direndam di dalam air maupun direndam dalam larutan asam sulfat pada umur perendaman 7, 28, 56 dan 90 hari. Pengujian ini digunakan untuk mengevaluasi secara relatif kuantitas kerusakan akibat serangan asam sulfat dengan jalan membandingkan nilai kuat tekan antara beton yang terendam dalam air dengan terendam dalam asam sulfat. Selain kadar fly ash, lama perendaman menjadi salah satu variabel dalam menentukan tingkat kerusakan akibat serangan asam sulfat. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan mengikuti prosedur yang termuat dalam ASTM C39-86.
Pengujian XRD Sampel yang disiapkan untuk pengujian XRD berupa serbuk yang diambil dari beton memadat mandiri dengan kadar fly ash 65% setelah 7 hari dan 56 hari dalam rendaman air maupun larutan asam sulfat. Serbuk beton ini
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 301
Material
(Gambar 3) diperoleh dengan cara menggerus bagian permukaan beton. Daerah permukaan ini merupakaan zona yang terkena serangan asam sulfat pada beton yang direndam dalam larutan asam sulfat.
Gambar 2. Perendaman benda uji dalam larutan asam sulfat
1
2
Gambar 3. Serbuk beton yang akan dianalisis XRD: 1 direndam dalam air, 2 direndam dalam larutan asam sulfat
Pengujian SEM Sampel yang digunakan untuk pengujian SEM diambil dari plat ukuran 25 x 25 x 5 cm yang telah direndam dalam air maupun dalam larutan asam sulfat selama 90 hari. Dari plat tersebut, diambil potongan tipis dengan luasan 1 x 1 cm agar bisa diobservasi dibawah alat SEM.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan visual Hasil pengamatan visual memperlihatkan kerusakan yang terjadi akibat serangan asam pada silinder beton terbatas pada zona permukaan sampai ke kedalaman 1 cm. Dibawah kedalaman zona ini, beton masih belum mengalami kerusakan. Hal ini dapat dikaitkan dengan perpindahan ion-ion asam dan sulfat dari larutan asam sulfat menuju ke dalam beton dimulai dari zona permukaan. Seiring dengan waktu zona yang ditembus oleh ion-ion tersebut semakin dalam sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga bergerak dari permukaan menuju ke kedalaman beton. Namun demikian sampai pengamatan selama 90 hari dalam rendaman asam sulfat, zona kerusakan yang ditimbulkan oleh kerusakan serangan asam sulfat hanya sampai pada kedalaman sekitar 1 cm. Secara umum kerusakan yang diamati pada silinder beton yang terendam dalam larutan asam sulfat juga memperlihatkan perbedaan tingkat kerusakan antara bagian atas dan bawah. Pada sisi bawah silinder kerusakan terlihat lebih parah, komponen pasta pada zona kerusakan telah terlepas dari permukaan beton sehingga agregat kasar terlihat secara kasat mata dibandingkan pada sisi atas silinder dimana sebagian komponen pasta masih menyelimuti agregat kasar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh proses naiknya komponen halus beton selama proses pencetakan benda uji. Fly ash dan semen sebagai komponen paling lembut cenderung naik ke permukaan silinder saat beton masih dalam keadaan segar. Naiknya komponen halus ini mempengaruhi kepadatan campuran: bagian bawah cenderung berongga karena ditempati lebih banyak oleh komponen yang kasar sementara pada bagian atas cenderung lebih rapat karena ruang-ruang kosong antar agregat terisi oleh komponen halus yang lebih banyak. Perbedaan kepadatan ini otomatis mempengaruhi kecepatan transportasi ion-ion asam dan sulfat ke dalam beton. Pada bagian bawah silinder yang memiliki rongga lebih besar, ion-ion asam lebih cepat menyerang sehingga kerusakan yang terjadi pada bagian ini terlihat lebih parah dibandingkan dengan sisi atas silinder. Gambar 4 memperlihatkan contoh perbedaan visual zona permukaan beton yang direndam dalam air dan direndam dalam larutan asam sulfat serta perbedaan kerusakan yang terjadi pada sisi atas dan bawah benda uji.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
M - 302
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Material
(a) direndam dalam air (kiri) dan larutan asam sulfat (kanan) selama 7 hari
(b) direndam dalam air (kiri) dan larutan asam sulfat (kanan) selama 90 hari
Gambar 4. Perbandingan secara kualitatif kerusakan beton akibat serangan asam sulfat
(a) visualisasi progres kerusakan beton (fly ash 35%) seiring dengan waktu
(b) visualisasi progres kerusakan beton (fly ash 55%) seiring dengan waktu
(c) visualisasi progres kerusakan beton (fly ash 65%) seiring dengan waktu Gambar 5. Visualisasi kerusakan beton akibat serangan asam sulfat seiring waktu pada berbagai variasi campuran beton memadat mandiri Kedalaman zona kerusakan beton yang direndam dalam larutan asam berkorelasi langsung dengan lama beton terendam dalam larutan tersebut. Perbedaan visual yang terjadi akibat serangan asam sulfat pada sisi bagian bawah silinder beton pada seluruh benda uji diperlihatkan pada Gambar 5. Terlihat dari Gambar 5 bahwa pada umur 7 hari, kerusakan yang terjadi masih belum seberapa dan hanya terlihat pada permukaannya yang sedikit lebih kasar dibandingkan dengan beton yang belum terendam dalam larutan asam sulfat saat berumur 1 hari. Zona permukaan yang terserang asam sulfat masih tipis. Kerusakan mulai terlihat nyata setelah beton direndam dalam larutan asam sulfat hingga umur 28 hari. Zona kerusakan yang terjadi lebih dalam dibandingkan dengan kerusakan pada umur 7 hari. Juga komponen pasta sudah mulai menghilang dari permukaan beton sehingga agregat kasar mulai terlihat. Hilangnya komponen pasta ini mengindikasikan telah terjadinya disintegrasi pada matrik pasta. Zona kerusakan permukaan makin bertambah dalam hingga pada umur 90 hari berada pada kisaran 1 cm.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 303
Material
Kuat tekan Hasil pengujian kuat tekan beton hingga umur 90 hari diperlihatkan pada Gambar 6. Perbedaan kuat tekan antara beton yang direndam dalam air dengan yang direndam dalam larutan asam sulfat terlihat nyata setelah 28 hari. Membandingkan beton yang direndam dalam air dan di dalam larutan asam sulfat dapat disimpulkan bahwa akibat serangan asam sulfat kekuatan beton setelah 28 hari hanya tersisa antara 30-45% dari potensi kuat tekannya. Namun demikian pada saat umur awal (7 hari), tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kuat tekan beton yang direndam dalam air dengan yang direndam dalam asam sulfat. Kecenderungan ini berlaku baik pada beton memadat mandiri dengan kadar fly ash 35%, 55% ataupun 65%. 60
Kuat Tekan (MPa)
50
35%-air
35%-asam sulfat
55%-air
55%-asam sulfat
65%-air
65%-asam sulfat
40 30 20 10 0 7 hari
28 hari
56 hari
90 hari
Gambar 6. Perbandingan kuat tekan beton yang direndam dalam air dan larutan asam pada berbagai kadar fly ash Perubahan kuat tekan beton akibat serangan asam selaras dengan hasil pengamatan visual sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya. Sebagai contoh pengamatan visual menunjukkan zona kerusakan beton setelah terserang asam pada umur 7 hari masih sangat tipis dan matrik pasta masih mengikat komponen beton; akibatnya luasan beton belum secara signifikan berkurang sehingga hasil kuat tekan yang di dapat saat umur 7 hari pada beton yang direndam dalam asam sulfat hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan beton yang direndam dalam air. Setelah umur 28 hari, kekuatan beton yang terserang asam tersisa sekitar 65% dari kekuatan saat umur 7 hari dan relatif stabil pada angka ini hingga umur 56 hari. Setelah itu beton yang terserang asam cenderung memulihkan kembali kekuatannya hingga pada umur 90 hari kekuatannya mencapai sekitar 105% dibanding kekuatan saat 7 hari. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pada umur rendaman asam sulfat 28 hari zona kerusakan sudah relatif parah sebagaimana telah ditunjukkan dari pengamatan visual. Kerusakan ini mengurangi luasan penampang beton akibatnya kuat tekan yang dihitung berkurang dibandingkan saat berumur 7 hari. Namun demikian pada bagian dalam beton yang belum rusak oleh serangan asam sulfat, kekuatan beton masih terus berkembang melalui proses hidrasi lanjut sekaligus reaksi pozzolanic mulai terlibat. Pengembangan kekuatan ini dapat dibuktikan dari peningkatan kekuatan yang konsisten pada beton yang direndam dalam air. Jadi di dalam beton yang terserang asam sulfat, ada dua aspek yang saling bertolak belakang mempengaruhi kekuatan beton. Yang pertama rusaknya zona permukaan beton oleh serangan asam sulfat akan menurunkan kuat tekan; dibagian lain yaitu dibawah zona kerusakan, beton masih terus mengembangkan kekuatannya. Pada umur 28 hingga 56 hari terjadi keseimbangan antara pengembangan kekuatan beton pada zona yang tidak rusak dengan pengurangan luasan pada zona yang rusak oleh serangan asam sulfat. Akibatnya pada kurun waktu ini, kuat tekan relatif stabil. Setelah umur diatas 56 hari, perkembangan kekuatan di dalam beton secara kumulatif relatif superior dibanding dengan faktor kerusakan karena serangan asam sulfat sehingga kekuatan beton setara bahkan lebih tinggi dari saat umur 7 hari.
Analisa XRD Uji XRD pada sampel beton memadat mandiri dengan kadar fly ash 65% dilakukan pada dua macam benda uji dengan dua perlakuan, masing-masing direndam dalam air dan direndam dalam larutan asam sulfat selama 7 hari dan 56 hari. Analisa pola difraksi XRD dapat dimulai dengan merujuk pada Gambar 7 yang menunjukkan perbedaan intensitas difraksi beton yang direndam dalam air selama 7 hari dan 56 hari. Seperti diketahui semen mengandung senyawa utama C3S dan C2S dengan senyawa minor C3A dan C3AF serta bahan tambahan pada klinker semen yaitu gypsum. C3S dan C2S bereaksi dengan air menghasilkan C-S-H dan Ca(OH)2. Sementara senyawa minor C3A dan C3AF bereaksi dengan gypsum untuk membentuk masing-masing calcium sulphoaluminate (ettringite) dan calcium sulphoferrite (Neville and Brooks, 1987). Produk hidrasi ini dapat dikenali dari difraksi XRD. Puncak-puncak SiO2 (pada 2θ sekitar 25,24o; 26,69o dan 27,99o) menandai munculnya produk hidrasi yaitu C-S-H yang merupakan unsur Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
M - 304
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Material
penting yang mengikat beton. Puncak-puncak ini terus menguat intensitasnya seiring dengan proses hidrasi yang terus berlanjut. Pengaruh lama rendaman dalam air adalah makin menguatnya intensitas yang merupakan indikasi makin berkembangnya hardened cement paste matrix. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan dan dibuktikan dengan meningkatnya kekuatan beton seiring dengan lama perendaman dalam air. Fasa utama lain yang muncul sebagai hasil reaksi semen pada beton yang direndam dalam air adalah ettringite yang ditandai dengan puncak Al2O3 pada 2θ sekitar 23,67. Sedangkan calcium sulphoferrite dapat dikenali dari puncak Fe2O3 pada 2θ sekitar 51,65. Beton yang terserang asam sulfat akan menunjukkan perubahan pola difraksi sekalipun perubahan pola difraksi ini belum nampak nyata pada umur rendaman 7 hari. Perubahan pola difraksi ini ditandai dengan munculnya fasa-fasa baru sebagai hasil reaksi asam sulfat dengan beton. Pada umur 7 hari pola difraksi (Gambar 8) antara beton yang direndam dalam air dengan larutan asam sulfat menunjukkan adanya sedikit perbedaan pola difraksi. Perbedaan terletak pada munculnya puncak-puncak baru silicon dioxide (SiO2), sementara puncak SiO2 dengan intensitas tertinggi pada beton yang direndam air (pada 2θ sebesar 27,99 o) menurun intensitasnya ketika direndam dalam asam sulfat. Penurunan ini dapat dikaitkan dengan terjadinya dekalsifikasi C-S-H karena beton berada pada lingkungan dengan pH yang rendah (dalam hal ini pH 1). Proses dekalsifikasi ini ditandai secara visual dengan hilangnya ikatan matrik pasta semen. Pada saat umur rendaman 7 hari, proses dekalsifikasi ini belum terlalu nampak pengaruhnya (intensitas masih dibawah 700) meskipun tanda-tanda disintegrasi matrik pasta semen sudah terindentifikasi. Sementara itu, munculnya puncak-puncak SiO2 baru dimungkinkan karena terbentuknya gypsum (CaSO4·2H2O) pada beton yang terserang asam sulfat. Pola difraksi XRD pada beton yang sama tetapi direndam dalam air dan larutan asam sulfat selama 56 hari ditunjukkan pada Gambar 9. Pola difraksi menunjukkan menguatnya intensitas SiO2 dan Al2O3 pada beton yang terserang asam sulfat. Menguatnya intensitas kedua senyawa ini sangat berhubungan dengan terbentuknya gypsum dan ettringite sebagai hasil dari serangan asam sulfat. Disintegrasi beton juga ditunjukkan oleh menurunnya puncak SiO2 pada 2θ sebesar 27,99o dari intensitas sekitar 3500 menjadi 2800. S
7 Hari 6000
56 Hari
500 400 300
5000
S = SiO2 A = Al2O3 F = Fe2O3
A
4000 3000
S S
200
S
2000
F
100
Intensity 56 Hari
Intensity 7 Hari
600
1000
0
0 10
20
30
40
50
60
70
°2 Theta
Gambar 7. Pola difraksi XRD beton yang direndam dalam air 700
S Air
600
Asam
Intensity
500
S = SiO2 A = Al2O3 F = Fe2O3
400 S 300 S
200
S F F
S
S A
100
A
0 10
20
30
40
50
60
70
°2 Theta
Gambar 8. Perbandingan pola difraksi XRD beton yang direndam dalam air dan asam sulfat pada umur 7 hari
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 305
Material
6000
S Air
5000
Asam A
Intensity
4000
S = SiO2 A = Al2O3 F = Fe2O3
S A S S
3000 S A
F
2000 1000 0 10
20
30
40
50
60
70
°2 Theta
Gambar 9. Perbandingan pola difraksi XRD beton yang direndam dalam air dan asam sulfat pada umur 56 hari
Analisa SEM Dari hasil foto SEM (Gambar 10) terdapat perbedaan permukaan beton yang direndam dalam air dan larutan asam sulfat setelah 90 hari. Pada permukaan beton yang direndam dalam air, semen yang telah berhidrasi maupun fly ash masih terlihat nyata. Sementara pada beton yang direndam dalam larutan asam sulfat selama 90 hari, komponen tersebut telah terkikis atau terjadii disintegrasi. Hal ini menegaskan kembali pengaruh asam sulfat yang sangat agresif sehingga merusak beton.
(a) direndam air 90 hari
(b) direndam larutan asam sulfat 90 hari
Gambar 10. Hasil SEM dengan perbesaran 3500x pada beton yang telah direndam ddalam alam air dan larutan asam sulfat
4.
KESIMPULAN
Beton memadat mandiri yang dibuat dengan campuran yang menyertakan fly ash tipe C dengan volume tinggi telah dievaluasi resistensinya terhadap serangan asam sulfat sulfat. Resistensi beton dievaluasi melalui investigasi perubahan sifat fisk, mekanik dan kimia setelah terserang asam sulfat. Perubahan fisik pada beton yang terserang asam sulfat tergambarkan melalui visualisasi progres kerusakan seiring dengan waktu perendaman dalam larutan asam sulfat. Pada jenis beton yang diuji dalam penelitian ini, zona kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan asam sulfat dapat menembus sampai ke kedalaman 1 cm saat pengamatan di lakukan pada 90 hari perendaman. Hasil uji kuat tekan menyimpulkan lkan akibat serangan asam sulfat, kuat tekan beton hanya tersisa pada kisaran 30 30-45% -45% dari nilai kuat tekan potensialnya. Sementara analisa XRD memberikan petunjuk terbentuknya ettingite dan gypsum serta terjadinya dikalsifikasi C-S-H H pada beton yang dirend direndam am dalam larutan asam sulfat. Hasil pengamatan mikro melalui SEM juga menegaskan disintegrasi matrik pasta semen akibat serangan asam sulfat.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
M - 306
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Material
DAFTAR PUSTAKA Allahverdi, A. and Skvara, F. (2005). “Sulfuric acid attack on hardened paste of geopolymer cements. Part 1: Mechanism of corrosion at relatively high concentrations”. Ceramics-Silikality, Vol. 49 No. 4, 225-229. Brueckner, R. (2007). “Accelerating the thaumasite form of sulfate attack and investigation of its effect on skin friction”. PhD Thesis, University of Birmingham, Edgbaston, England. Cizer, O., Elsen, J., Feys, D., Heirman, G., Vanderwalle, L., Van Gemert, D., De Schutter, G., Desmet, B. and Vantomme, J. (2011).”Microstructural changes in self-compacting concrete by sulphuric acid attack”. Proceeding of the 13th ICCC International Congress on the Chemistry of Cement, 1-7. De Belie, N. (2007). “Evaluation of methods for testing concrete degradation in aggressive solutions”. Workshop on Performance of Cement Based Materials in Aggressive Aqueous Environment- Characterisation, Modelling, Test Methods and Engineering Aspects, 79-90. Drimalas, T., Clement, J.C., Folliard, K.J., Dhole, R. and Thomas, M.D.A. (2011). “Laboratory and field evaluation of external sulfate attack in concrete”. Research Report No. FHWA/TX-11/0-4889-1, Austin, Texas, USA. Hasan, M.S. (2009). “ Predicting life expectancy of concrete septic tank exposed to sulphate and biogenic sulphuric acid”. MSc Thesis, RMIT University, Australia. Hooton, R. D., & Thomas, M. D. (2002). “The Use of Limestone in Portland Cements: Effect on Thaumasite Form of Sulfate Attack”. Portland Cement Association, Orchard Road, Illinois, USA. Irassar, E.F., Di Maio, A. and Batic, O.R. (1996). “Sulfate attack on concrete with mineral admixtures”. Cement and Concrete Research, Vol. 26 No. 1, 113-123. Joorabchian, S.M. (2010). “Durability of concrete exposed to sulfuric acid”. MSc Thesis, Ryerson University, Canada. Lee, S.T., Kim, D.G. and Jung, H.S. (2009). “Sulfate attack on cement matrix containing inorganic alkali-free accelerator”. KSCE Journal of Civil Engineering, Vol. 13 No. 1, 49-54. Liu, S., Li, L., Wang, Z., Wang, J. and Rao, M. (2012).”Study on strength and microstructure of cement paste containing limestone powder under flowing acid solution condition”. ISRN Ceramics, 1-6. Mehta, P.K. (1992). “Sulfate Attack on Concrete - A Critical Review”. Materials Science of Concrete III, Eds. J. Skalny, The American Ceramic Society, Westerville, OH, 105-130. Mehta, P.K. and Monteiro, P.J.M. (2006).”Concrete: Structure, Properties and Materials”, Prentice Hall, New Jersey. Monteiro, P.J.M., Roesler, J., Kurtis, K.E. and Harvey, J. (2000). “Accelerated test for measuring sulfate resistance of cements for Caltrans LPPRS Program”. Pavement Research Center, Institute of Transportation Studies, University of California, Berkley, USA. Neville, A.M. and Brooks, J.J. (1987). “Concrete technology”. Longman Scientific and Technical, Essex, England. O’Connel, M., McNally, C. and Richardson, M.G. (2012). “Performance of concrete incorporating GGBS in aggressive wastewater environment”. Construction and Building Materials, Vol. 27 No. 1, 368-374. Odler, I. and Jawed, I. (1991). “Expansive Reactions in Concrete”, Materials Science of Concrete II, Eds. J. Skalny and S. Mindness, The American Ceramic Society, Westerville, OH, 221-247. Ramezanianpour, A.M. (2012). “Sulfate resistance and properties of portland-limestone cement”. PhD Thesis, University of Toronto, Canada. Reedy, B.M., Rao, H.S. and George, M.P. (2012).”Effect of sulphuric acid (H2SO4) on blended cement (fly ash based) and it’s concrete”. International Journal of Applied Engineering and Technology, Vol. 2 No. 2, 1-6. Senhadji, Y., Mouli, M., Khelafi, H. and Benosman, A.S. (2010). “Sulfate attack of Algerian cement-based material with crushed limestone filler cured at different temperature”. Turkish Journal of Engineering Environmental Science, Vol. 34, 131-143. Siad, H., Mesbah, H.A., and Bernard, S.K. (2010). “Influence of natural pozzolan on the behavior of selfcompacting concrete under sulphuric and hydrochlorine acid attacks, comparative study”. The Arabian Journal for Science and Engineering, Vol. 35 No. 1B, 183-195. Skalny, J., Marchand, J., and Odler, I. (2002). “Sulphate attack on concrete”. Spon Press, London and New York. Xie, S., Qi, L. and Zhou, D. (2004). ”Investigation of the effect of acid rain on the deterioration of cement concrete using accelerated tests establihes in laboratory”. Atmospheric Environment, Vol. 38, 4457-4466. Zelic, J., Radovanovic, I. and Jozic, D. (2007). “The effect of silica fume additions on the durability of portland cement mortars exposed to magnesium sulfate attack”. Materials and Technology, Vol. 41 No. 2, 91-94.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
M - 307