Resiprositas dalam Batas: Sebuah Kajian Budaya Antar Organisasi pada Konsultan Public Relations Plató dan Media Massa Deilika Chairina Haryadi dan Ezra M. Choesin Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Hubungan antara PR (Public Relations) dengan jurnalis media secara ideal merupakan hubungan profesional yang saling membutuhkan. Hal ini disebabkan oleh PR yang membutuhkan pemberitaan klien mereka di media, dan jurnalis yang membutuhkan informasi untuk dapat diberitakan di media yang dapat menarik pembaca. Meskipun demikian, akibat keterbatasan kolom dan kriteria tersendiri yang dimiliki setiap media, maka media tidak dapat memuat seluruh informasi yang diberikan oleh PR. Atas alasan ini akhirnya PR menerapkan strategistrategi tertentu yang melibatkan pertukaran 'gift' agar tercipta hubungan resiprositas dengan tujuan membuat jurnalis merasa memiliki kewajiban untuk menulis berita terkait klien mereka. Tulisan ini berkonsentrasi pada hubungan resiprositas yang terbentuk atas pertukaran 'gift' antara PR dan jurnalis juga pemahaman-pemahaman yang terbentuk di antara mereka. Hubungan ditelusuri melalui observasi selama empat bulan bekerja di salah satu PR consultant di Jakarta, wawancara mendalam, dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan praktisi PR dan jurnalis.Tulisan ini menggambarkan bagaimana hubungan antara PR dan jurnalis yang berasal dari dua organisasi yang berbeda telah menghasilkan interorganizational cultures yang merupakan perpaduan nilai antara keduanya. Kata kunci: Public Relations (PR), media, jurnalis, resiprositas, gift, interorganizational relations, interoganizational cultures.
Reciprocity in Bounds: A Cultural Study of Organizational Relations On Plató Public Relations and Mass Media Abstract The relationship between PR (Public Relations) and media journalists is intended to be professional, whereby each needs the other for working matters. This is because PR needs media coverage for their clients, while the journalist needs publishable information to attract readers. However, the media's column limitations and particular criteria tend to become barrier to the PR's desired coverage for the information they have provided. Thus PR applies special strategies involving giftgiving to build reciprocal relationships with media journalists. This way, PR expects that the journalists involved assume a sense of obligation, so that they work harder work to give the PR's clients media coverage. This article does not only concentrate on the reciprocal relationship formed as a consequence of the gift exchange, but also the unspoken understandings between PR and Journalists. This relationship is examined through ethnographic research where the writer spent four months working in a Jakartabased PR consultant. While working as PR, the writer was involved with various activities where PR and Journalists meet. Furthermore, this article illustrates the interorganizational cultures formed as a consequence of the distinctive PR's gift-giving strategy to approach journalists. Keywords: Public Relations (PR); media; journalist; reciprocity; gift; interorganizational relations; interoganizational cultures;
1
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Manusia adalah makhluk sosial yang eksistensinya tidak hanya dibangun pada tataran personal tetapi juga pada tataran sosial. Pada tataran sosial, eksistensi seorang individu sangat terkait dengan penilaian yang diberikan oleh individu-individu lain dalam lingkungan sosialnya. Penilaian dapat saja bersifat individu maupun kolektif. Hal ini pula yang terjadi pada ranah yang lebih besar seperti institusi maupun perusahaan. Pada perusahaan sendiri, reputasi memiliki bottom-line effects.1 Menurut Fombrun (1996:81) reputasi yang baik akan menarik konsumen, investor, serta tenaga kerja secara simultan. Hal ini tentu meningkatkan profitabilitas perusahaan tersebut. Atas dasar inilah perusahaan berlomba-lomba untuk membangun serta memelihara reputasi yang baik. Reputasi dapat dibangun dengan pemberitaan yang luas kepada publik yaitu melalui media coverage/cakupan berita.2 Untuk mencapai tujuan ini, sebuah organisasi mempekerjakan public relations/humas yaitu sebagai jembatan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah pemerintah, pemegang saham, partner perusahaan, pegawai, dan media massa—yang menjadi fokus dalam tulisan ini. PR dari satu perusahaan biasanya akan bekerja sama dengan PR consultant di luar perusahaannya, sehingga dapat dikatakan PR consultant menjadi pihak ketiga. Sebuah perusahaan bekerja sama dengan PR consultant karena PR consultant diasumsikan telah memiliki hubungan yang baik dengan media dan memiliki pengalaman lebih dalam publikasi yang sifatnya non-komersil, sehingga lebih mudah untuk melakukan publikasi. Oleh karena itu selain media, fokus penelitian dalam tulisan ini adalah PR consultant yang dipekerjakan oleh satu perusahaan. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, para praktisi PR memiliki kebutuhan untuk menghasilkan media coverage—yang hanya dapat dihasilkan oleh jurnalis media. Hal ini menuntut mereka untuk menjalin hubungan yang baik dengan para jurnalis. Hubungan ini dibina sedemikian rupa agar saling menguntungkan, karena bagaimanapun PR dengan media merupakan bagian yang tak terpisahkan. Hubungan yang terjalin antara PR dan jurnalis merupakan hubungan kerja, namun tanpa kontrak tertentu. Hal yang menjadi sorotan dalam hubungan ini adalah bahwa hubungan kerja antara PR dan jurnalis tidak boleh melibatkan transaksi uang/jual-beli. Ini terjadi karena Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etika Jurnalistik yang harus taat
1
Efek yang ditimbulkan atas suatu aksi yang dapat menaikkan/menurunkan pendapatan perusahaan secara keseluruhan 2
Jangkauan peliputan media berupa pemberitaan. 2
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
dilaksanakan oleh semua wartawan Indonesia. Dalam Kode Etik Jurnalistik Bab 1 pasal 4 3 ditetapkan bahwa
wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi
obyektivitas pemberitaan. Berita yang ditulis dan dikirimkan ke redaksi media massa tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan orang lain, apalagi menjadikan penulisan berita sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan uang. Oleh karena itu, jurnalis dilarang untuk menerima uang dari pihak mana pun, dengan asumsi pemberian uang dapat berpengaruh kepada obyektivitas dan independensi tulisan yang dibuat oleh sang jurnalis. Ini adalah salah satu upaya media massa untuk menjaga agar berita yang masuk ke meja redaksinya tidak diisi oleh kepentingan pihak tertentu. Dari aturan yang ditetapkan dalam Kode Etik Jurnalistik, kredibilitas seorang praktisi PR dipertaruhkan. PR diberi target oleh klien untuk menghasilkan sekian media coverage. Untuk menghasilkan media coverage ini artinya PR harus bekerja sama dengan jurnalis media, namun hubungan yang terjadi tidak boleh bersifat jual beli (menggunakan uang dan kontrak kerja tertentu). Pada tataran normatif, hubungan yang terjalin antara praktisi PR dan jurnalis media merupakan hubungan mutual dependence.4 Di sini jurnalis dan PR mengklaim hubungan keduanya sebagai rekan, sekaligus mitra kerja terdekat agar kedua belah pihak memberikan manfaat dan keuntungan kepada satu sama lainnya. Di satu sisi, PR menyediakan informasi yang dapat bernilai atau layak untuk diberitakan sebagai sumber informasi bagi pihak jurnalis, di sisi lain media merupakan jembatan bagi PR untuk mencapai sasaran audiens dalam usaha membentuk reputasi perusahaan. Melihat hubungan mutual dependence ini, para praktisi PR melakukan berbagai usaha untuk membangun dan memelihara hubungan dengan para jurnalis media. Harapannya tentu saja agar hubungan yang baik dan menguntungkan kedua pihak dapat terjalin. Pada kenyataannya, hubungan antara PR consultant dan jurnalis media tidak selalu berjalan lancar. Ada saat ketika salah satu, atau kedua pihak tidak merasa diuntungkan atau bahkan merasa dirugikan. Ketika praktisi PR berinteraksi dengan jurnalis media, kedua pihak memiliki kebutuhan yang berbeda. Tidak hanya kebutuhan yang berbeda, keterlibatan individu dari berbagai latar belakang membawa pemikiran dan menghasilkan pemahaman yang berbeda antara tiap-tiap pihak ketika dihadapkan dengan satu situasi tertentu. Dalam hal ini baik praktisi PR maupun jurnalis media seringkali berselisih paham terkait pertukaran obligasi dalam bentuk barang/jasa yang mereka lakukan. 3
Diambil dari http://www.lpds.or.id/ diakses pada 6 April 2014 Ketergantungan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang diharapkan dapat saling memberi manfaat yang menguntungkan kedua pihak
4
3
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
Dari fakta lapangan di atas, saya tertarik untuk mengamati lebih dalam mengenai proses yang terjadi dalam hubungan tersebut. Ketertarikan ini muncul saat saya mulai bekerja di suatu PR consultant di Jakarta, yaitu Plató Consultant.5 Selama empat bulan bekerja, saya melihat berbagai hal yang bagi saya menarik untuk dikaji. Hubungan antara PR dan jurnalis yang melibatkan pertukaran tanpa uang memberikan tanda tanya dalam benak saya. Selain memfokuskan diri pada pertukaran yang terjadi, saya melihat bahwa hubungan antar dua organisasi, lebih jauh interaksi yang terbentuk di antara mereka dapat menjadi fokus yang dikaji dalam tulisan ini. Hubungan antara dua organisasi membentuk interorganizational cultures yaitu kebudayaan yang tercipta ketika dua organisasi berinteraksi. Dua organisasi, dalam kasus ini adalah PR consultant dan media, membawa kebutuhan, aturan dan nilai masing-masing Dari sini menarik bagi saya untuk melihat lebih dalam bagaimana interaksi, pertukaran, serta pemahaman-pemahaman yang terbentuk di antara jurnalis dengan PR consultant. Secara singkat, tulisan ini menggambarkan proses terbentuknya pertukaran yang terjadi di antara jurnalis media dengan praktisi PR termasuk hak dan kewajiban yang muncul atas pertukaran yang terjadi. Selain itu tulisan ini juga memahas mengenai pemahamanpemahaman yang terbentuk antara kedua belah pihak setelah melakukan interaksi. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian antropologis mengenai dunia korporat, secara khusus tentang kebudayaan hubungan antar organisasi atau interorganizational cultures, yaitu dalam hubungan antar organisasi terdapat perbedaan-perbedaan nilai yang kemudian diambil nilainilai yang dapat disepakati bersama. Barth (1969) dalam Ethnic Groups and Boundaries menjelaskan bahwa kebudayaan dalam suatu etnis terbentuk tidak semata-mata sendiri, namun terpengaruh oleh hubungan mereka dengan kelompok etnis lainnya. Dari apa yang dikatakan oleh Barth kemudian saya memiliki asumsi bahwa hubungan antara PR dan jurnalis yang berasal dari dua organisasi yang berbeda sama halnya seperti hubungan antar etnis. Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kognitif untuk memahami apa yang terjadi dalam hubungan antara praktisi PR dan jurnalis media, lebih jauh, apa pemahaman yang dimiliki tiap-tiap pihak. Mana pehamaman yang sekiranya sama, mana pemahaman yang berbeda. Strauss dan Quinn dalam a Cognitive Theory of Cultural Meaning (1997) mengatakan bahwa makna dan pemahaman dibentuk oleh pengalaman hidup dan sensitif terhadap aktifitas tertentu, juga dapat berubah seiring waktu akibat beragam faktor. 5
Nama-nama dalam tulisan ini telah disamarkan termasuk nama perusahaan, media, dan individu terkait.
4
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
Pemahaman inilah yang akhirnya dibawa ke dalam interaksi dan dalam melakukan pertukaran. Dalam proses pertukaran di antara mereka, konsep yang akan saya gunakan ialah The Gift oleh Mauss (1950). Secara singkat dijelaskan bahwa pemberian6 (gift) tidak pernah bebas. Dalam suatu pemberian terdapat kekuatan yang menjadikan pihak penerima harus membayarnya kembali. Finally, the thing given is not inactive. Invested with life, often possessing individuality, it seeks to return to what Hertz called its ‘place of origin’ or to produce, on behalf of the clan and the native soil from which it sprang, an equivalent to replace it. (Mauss 1950:16)
Selain itu pemberian menimbulkan ikatan sosial antara pemberi dengan penerima yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima, yaitu kewajiban untuk melakukan timbal balik atas pemberian yang diterima, dan kewajiban untuk menerima pemberian yang diberikan. The institution of ‘total services’ does not merely carry with it the obligation to reciprocate presents received. It also supposes two other obligations just as important: the obligation, on the one hand, to give presents, and on the other, to receive them. (Mauss 1950:16-17)
Teori ini dirasa relevan dalam hubungan PR dan jurnalis, karena seringkali praktisi PR memberikan perlakuan-perlakuan tertentu—baik disengaja maupun tidak—yang membuat jurnalis menjadi merasa berhutang budi dan akhirnya melakukan hal yang diminta oleh PR. Dalam penelitian ini saya menerapkan pendekatan kualitatif dengan metode participant observation, yaitu pengamatan terlibat dengan terjun langsung bekerja di salah satu PR consultant selama kurang lebih empat bulan dengan posisi Junior Associate. Selama bekerja saya melakukan pengamatan/observation, wawancara mendalam, serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan praktisi PR dan jurnalis. The Art of Public Relations Hubungan antara PR dan jurnalis merupakan hubungan kerja yang kompleks. Di satu sisi mereka perlu menjalin hubungan kerja tanpa adanya kontrak dan ikatan kerja, di sisi lain mereka harus tetap berlaku profesional dengan mematuhi kode etik jurnalistik. Oleh karena tidak ada kontrak kerja di antara mereka (PR dan jurnalis) maka hubungan antara keduanya terjalin tanpa ikatan profesionalitas yang jelas. Kesulitan tidak hanya ada pada upaya PR dalam mendorong jurnalis untuk memuat berita kliennya, tetapi juga pada kecilnya kontrol PR atas berita yang dimuat oleh jurnalis. Bagaimanapun juga jurnalis memiliki hak untuk 6
Buku "The Gift" karya Marcel Mauss (1950) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Parsudi Suparlan (1992) dalam Kata Pengantar menerjemahkan "The Gift" menjadi "Pemberian".
5
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
menulis apapun terkait klien PR. Dari sini PR perlu menerapkan langkah-langkah strategis agar para jurnalis mempublikasikan/ menyiarkan berita netral/positif terkait klien mereka. Langkah-langkah strategis ini diwujudkan dengan berbagai tindakan yang melibatkan bentuk pertukaran serta resiprositas penuh intrik. Inilah yang saya maksud dengan The Art of Public Relations.7 Strategi-strategi yang dikerahkan oleh PR dalam upaya mendapatkan pemberitaan terkait klien mereka berbeda satu sama lain. PR mendekati jurnalis dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan latar belakang mereka. Hal ini sesuai dengan kerangka konsep yang diusung Strauss dan Quinn (1997). Meanings are shaped by the learner's specific life experiences and are sensitive to activity in a particular context (Strauss dan Quinn 1997:50) Interpretations also depend on the learner's history of experiences and can change over time. (Strauss dan Quinn 1997:83)
Mereka mengatakan makna dan pemahaman dibentuk oleh pengalaman hidup dan sensitif terhadap aktifitas tertentu, juga dapat berubah seiring waktu. Oleh karena itu seseorang akan menginterpretasi suatu hal berdasarkan latar belakang mereka. Sebagai gambaran saya akan mengambil contoh kasus dari para informan yang merupakan praktisi PR di PR consultant Plató. Bita dan Indah, dua orang praktisi PR yang masing-masing berada di posisi Junior Associate dan Associate, baru bekerja selama setahun, cenderung memperlakukan jurnalis dengan sangat hati-hati dan penuh kesabaran. Hampir seluruh keinginan jurnalis mereka penuhi karena mereka menganggap bahwa dengan menyenangkan hati jurnalis, maka akan memudahkan mereka untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sebagai PR yang masih mempelajari 'medan perang', keduanya memilih untuk mengikuti apa yang diinginkan jurnalis. Inilah alasan mengapa Bita dan Indah cenderung untuk mengalah dan bersikap ingin menyenangkan para jurnalis dengan cara apapun. Lain hal dengan Disha dan Amira. Disha dan Amira merupakan senior associate dan associate yang memang belum lama bekerja sebagai PR, namun pengalaman mereka sebagai jurnalis membuat keduanya memperlakukan jurnalis secara berbeda dibandingkan Bita dan Indah. Keduanya cenderung untuk mengacu pada pengalaman masing-masing ketika masih bekerja sebagai jurnalis untuk dapat menyelesaikan masalah dan memperlakukan jurnalis.
7
The Art of Public Relations dapat diartikan sebagai "seni hubungan masyarakat" yang dimaksud dengan 'seni' dalam konteks ini adalah bagaimana berhubungan dengan masyarakat melalui cara-cara tertentu.
6
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
Pendekatan yang digunakan oleh seorang PR kepada jurnalis media menjadi penting dalam tulisan ini karena akan terwujud dalam 'gift' yang dipertukarkan kemudian. Dari kasuskasus yang terjadi pada pertukaran PR dan jurnalis, maka penulis membagi pemberian/ gift menjadi tiga jenis: materi, relasi pertemanan, dan news value (nilai berita). Ketika seorang PR mengundang jurnalis untuk hadir meliput salah satu acara kliennya seringkali PR merasa perlu untuk memberikan imbalan materi. Imbalan ini dapat berupa fasilitas cuma-cuma menuju tempat peliputan (seringkali jika acara dilakukan di luar kota atau luar negeri), uang saku, hingga goodie bag yang berisi barang-barang tertentu. Pemberian ini dilakukan untuk membuat jurnalis merasa berhutang kepada PR tersebut dan akhirnya jurnalis menulis pemberitaan seperti yang diinginkan PR. Selain materi, seringkali PR menjadikan relasi pertemanan sebagai pemberian. Diakui salah satu informan, dengan menjalin hubungan yang lebih dari sekadar hubungan profesionalitas (hubungan kerja) maka akan lebih memudahkan ketika saling membutuhkan. Jika ada sesuatu, maka jurnalis dan PR tidak akan ragu untuk meminta bantuan, dan itulah yang menjadi keinginan PR. Diceritakan oleh salah satu informan, Disha, bahwa pertemanan dianggap sebagai suatu 'gift' atau pemberian yang dipertukarkan. Ia memberi contoh bahwa ketika jurnalis memutuskan untuk curhat (curahan hati) kepada PR, hal tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma. Ini artinya, dengan menjadi teman jurnalis, Disha mengharapkan jurnalis untuk dapat membalas 'gift' yang ia berikan berupa relasi pertemanan, dengan kesediaan jurnalis untuk membantu PR pada saat-saat tertentu. Dari gambaran kasus di atas, PR berkewajiban untuk menjalin relasi pertemanan dan bertindak layaknya seorang teman kepada jurnalis. Dengan melakukan ini, PR berhak untuk mendapatkan kesediaan dari jurnalis yang merupakan 'teman' mereka ketika PR meminta bantuan seperti datang meliput atau melakukan wawancara kepada klien mereka. Terakhir, walau seringkali PR memberi materi maupun relasi pertemanan, namun pemberian yang menjadi aspek utama seorang jurnalis dalam mengangkat suatu berita adalah nilai berita itu sendiri. Yang dimaksud dengan nilai berita ialah kesesuaian topik dengan target readers, kaya akan informasi, tidak bersifat promosional, dan berita tersebut dapat dikaitkkan dengan seluruh pembacanya. Dalam suatu kasus, meskipun terdapat pertukaran relasi pertemanan dan materi, namun news value masih menjadi hal utama yang menentukan apakah berita tersebut layak naik atau tidak. Karena itulah penting bagi seorang PR untuk menyediakan berita yang kaya akan news value. Dari pemberian berbagai hadiah di atas, maka terbentuklah hak-hak dan kewajiban Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mauss (1950) dalam teori pertukaran bahwa dalam 7
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
setiap pertukaran terdapat tiga kewajiban. Yang pertama, memberikan hadiah untuk menjalin hubungan, kedua, menerima pemberian yang meupakan penerimaan ikatan sosial, dan kewajiban ketiga adalah membalas pemberian yang diberikan dengan hal yang sama atau lebih tinggi nilainya. Sayangnya ketiga kewajiban ini tidak selalu dipenuhi oleh kedua pihak. Paragraf berikut akan menjelaskan contoh kasus yang menggambarkan ketidaksesuaian pemenuhan hak dan kewajiban pada hubungan antara PR dan jurnalis. Pada bulan September 2013 sebuah perusahaan IT multinasional yang merupakan salah satu klien Plató menyelenggarakan seminar IT di kota negara asalnya, Dallas, Amerika Serikat. Seminar ini dihadiri oleh berbagai ahli IT dari seluruh penjuru dunia. Mengingat besarnya acara ini, TYRABITE, perusahaan IT tersebut mengundang jurnalis dari berbagai negara untuk meliput acara tersebut. Plató sebagai PR agency TYRABITE di Indonesia, ditugaskan untuk mengirim satu jurnalis dari media terbaik di Indonesia yaitu Kabar Metropolitan dengan pertimbangan bahwa media ini memiliki rubrik teknologi tersendiri. Selain itu Kabar Metropolitan dianggap memiliki pembaca yang sesuai dengan target market acara yang akan diliput, dan juga merupakan salah satu media tier 1 di Indonesia. Atas pertimbangan ini Plató mengirim undangan kepada Kabar Metropolitan melalui redaksi. Undangan ini ditanggapi dengan baik. Pihak redaksi mengatakan bahwa yang akan berangkat adalah Erland Nasution, seorang wartawan senior yang telah bekerja selama 20 tahun di Kabar Metropolitan. Mendengar jawaban ini, Indah, sebagai PR penanggungjawab TYRABITE berekspektasi tinggi terhadap wartawan yang akan diberangkatkan. Dari tiket pesawat, akomodasi, hingga angle berita dipersiapkan oleh Indah. Berkali-kali Indah menanyakan kepada Erland apakah beliau sudah cukup mendapat informasi seputar seminar tersebut dan Erland terlihat sudah mengerti sehingga siap untuk diberangkatkan. Tiga hari sebelum keberangkatan, Indah dan saya bertemu dengan Erland di sebuah restoran dekat kantornya. Kami berbincang seputar banyak hal, dari mulai membahas pekerjaan hingga ke kehidupan personal. Dari apa yang disampaikan oleh Erland saya melihat bahwa Erland merupakan wartawan yang sudah makan garam dunia jurnalistik. Meskipun ia bukanlah jurnalis dari desk IT/teknologi, namun ia menenangkan Indah dengan mengatakan bahwa jika ia menemui kesulitan ia akan menanyakan kepada editornya, Rita, yang lebih mengerti terkait hal berbau IT. Acara berlangsung sukses dan lancar. Sepulangnya Erland ke Jakarta, disambut oleh Indah dengan ucapan terima kasih. Indah menanyakan kembali apakah membutuhkan informasi terkait seminar yang ia ikuti, namun Erland menjawab bahwa ia sudah cukup mengerti. Dari sini Indah sudah cukup optimis akan mendapatkan pemberitaan yang cukup 8
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
besar; namun betapa kagetnya Indah ketika melihat media coverage yang dihasilkan Erland. Berita tersebut hanya seperenam halaman koran. Bukan hanya itu, beberapa materi yang diberikan tidak sesuai, bahkan ada salah penyebutan nama, juga tidak ada foto ketika event. Menyadari kecilnya coverage yang dihasilkan Erland, Indah berpikir bahwa akan ada artikel lainnya pada edisi lain, namun hal ini tidak terjadi. Artikel tersebut adalah satu-satunya artikel hasil peliputan seminar TYRABITE. Indah merasa hasil yang diberikan tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Indah menaruh ekspektasi yang besar terhadap Kabar Metropolitan, khususnya pada Erland, wartawan yang diberangkatkan. Namun Erland tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut. Dari kejadian ini Indah dan PR lainnya mengatakan akan lebih hati-hati dalam memilih media dan jurnalis, apalagi untuk acara sebesar ini. Dari contoh kasus ini terlihat bahwa Indah, seorang PR yang bertanggung jawab atas salah satu klien di bidang IT, TYRABITE, telah memberikan fasilitas berupa perjalanan ke Amerika Serikat dan diterima dengan baik oleh seorang jurnalis dari media Kabar Metropolitan bernama Erland. Namun Erland tidak membalas pemberian dengan yang nilainya sama atau lebih tinggi. Jika berkaca pada teori pertukaran yang diusung Mauss (1950) artinya yang pertama Indah telah memenuhi kewajiban pertama yaitu memberikan hadiah untuk menjalin hubungan, lalu Erland telah memenuhi kewajiban kedua, yaitu menerima pemberian yang meupakan penerimaan ikatan sosial, dan kewajiban ketiga seharusnya Erland membalas pemberian yang diberikan dengan hal yang sama atau lebih tinggi nilainya, namun tidak ia lakukan, Karena itu hubungan di antara mereka merenggang. The Poetic of Media Relations Interaksi antara PR dan jurnalis dibatasi oleh aturan main masing-masing. Aturan main yang bervariasi dari tiap-tiap organisasi membuat hubungan antara PR dan jurnalis menjadi semakin kompleks. Sebagaimana yang telah digambarkan pada paragraf akhir bagian sebelumnya, seringkali seorang PR merasa haknya belum terpenuhi oleh hasil kerja jurnalis. Terdapat banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara PR dan jurnalis. Kesalahpahaman terjadi karena PR dan jurnalis merupakan dua organisasi yang memiliki kebutuhan yang berbeda. Dua kebutuhan yang berbeda ini seharusnya dikomunikasikan dan ditunjang dengan rasa saling pengertian agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang perlu disorot adalah perbedaan aturan main kedua organisasi. Hal ini perlu diperhatikan oleh PR ketika berhadapan dengan media tertentu, bahwa setiap media memiliki karakter dan aturan main yang berbeda. Dalam kasus di atas, perbedaan ada pada seberapa besar pemberitaan ketika seorang jurnalis diberangkatkan ke luar negerti. Bagi Plató, ketika jurnalis diberangkatkan ke 9
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
luar negeri maka coverage yang dihasilkan adalah sedikitnya setengah sampai satu halaman. Apalagi Erland diberangkatkan ke Amerika Serikat, negara yang dianggap lebih 'mewah' dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian bagi Indah tidak berlebihan jika Kabar Metropolitan menulis pemberitaan ini sebanyak satu halaman. Aturan main seperti ini rupanya bukanlah aturan main yang diterapkan di Kabar Metropolitan. Dari apa yang disampaikan Erland, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kecilnya coverage berita TYRABITE adalah kurangnya news value pada berita tersebut, kolom IT yang selalu penuh dan 'bersaing', tidak dibutuhkannya gambargambar yang mendukung (tidak seperti kolom lifestyle yang memang butuh banyak gambar) dan faktor keputusan dari editor/redaktur itu sendiri (misalnya mungkin di kolom tersebut ada iklan yang membayar mahal dan sebagainya). Erland sendiri tidak berusaha untuk memprotes dengan kecilnya berita yang akhirnya dimuat. Ia percaya bahwa editor pasti memiliki alasan tersendiri untuk memuat berita sebesar itu. Bagi Erland, dengan news value seperti itu seharusnya berita tersebut dapat menghasilkan coverage setengah halaman koran. Lebih jauh, bagi Erland, undangan ke luar negeri bukanlah hal yang istimewa karena sebagai media tier 1, Kabar Metropolitan telah banyak memenuhi undangan ke luar negeri, sehingga peliputan ke luar negeri tidak lagi menjadi suatu hal yang spesial. Oleh karena itu, Erland tidak menganggap liputan ini memiliki status spesial dalam hal jumlah halaman pemberitaan ditambah dengan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya seperti news value dan faktor internal redaktur, dapat disimpulkan bahwa perbedaan aturan antar kedua organisasi dapat menghasilkan kesalahpahaman di antara mereka. Penjelasan kasus di atas semakin menegaskan bahwa bahwa nilai berita merupakan 'harga mati'. Baik materi maupun relasi pertemanan tidak dapat secara langsung dan tidak memiliki kepastian dapat mempengaruhi suatu berita. Dalam kasus Erland, ia diberikan hadiah berupa materi, namun ia sulit untuk membalas karena news value berita tersebut kurang tinggi sehingga dianggap tidak layak untuk mendapat pemberitaan besar. Ketika materi dan relasi pertemanan sudah tidak sesuai dan dipahami secara berbeda oleh kedua pihak, maka satu-satunya hal yang mutlak dapat mempengaruhi suatu pemberitaan adalah nilai dari berita tersebut atau yang informan sebut dengan news value. Kesepakatan antara PR dan media bukan hanya terbatas dalam pemahaman mereka terhadap news value, pemahaman mereka terhadap 'uang amplop' pun perlu ditelusuri karena berhubungan dengan Kode Etik Jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Dalam Kode Etika Jurnalistik Bab 1 Pasal 4 yang harus taat dilaksanakan oleh semua wartawan Indonesia, terdapat aturan bahwa wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi 10
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
obyektivitas pemberitaan. Dari kode etik inilah maka tiap wartawan/jurnalis berusaha untuk mentaati aturan yang telah disepakati sebelumnya, yaitu tidak menerima 'amplop' dari siapapun. Setiap media selalu menegaskan kepada para wartawannya untuk patuh terhadap aturan ini. Di Kabar Metropolitan, terdapat aturan bahwa wartawan diharuskan menolak imbalan berupa sejumlah uang. Lain hal apabila wartawan tersebut memenuhi undangan di luar kota atau luar negeri, maka sejumlah uang yang diberikan PR atau perusahaan dihitung sebagai uang saku. Mengenai imbalan lainnya seperti cinderamata atau goodie bag diakui masih dapat dimaklumi dan boleh diterima. Dari gambaran di atas, hal yang dapat kita ambil adalah bahwa aturan terkait uang 'amplop' sendiri cenderung ambigu, antara boleh atau tidak boleh diterima. Secara definitif, aturan ini memang telah tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik, sehingga seharusnya dapat dikatakan aturan mutlak. Namun hal yang membuat aturan ini menjadi ambigu pada praktiknya adalah kerancuan batas. Hal ini menyebabkan beberapa hal yang secara substansial merupakan imbalan dapat dibenarkan secara moral untuk diterima karena institusi tidak mengatur secara jelas mengenai batas-batas imbalan tersebut, misalnya uang saku yang berlebihan atau barang-barang di dalam goodie bag yang berharga cukup mahal. Dalam kasus Erland diperlihatkan bahwa meskipun dilarang menerima 'amplop' namun menerima sejumlah uang diperbolehkan jika wartawan tersebut melakukan liputan ke luar negeri atau ke luar kota. Dengan adanya aturan seperti ini, maka pihak-pihak tertentu akan memanfaatkannya Hubungan antara PR dan jurnalis tidak dapat hanya dikatakan sebagai hubungan antarpersonal. Kita tidak boleh lupa bahwa keduanya berasal dari organisasi yang berbeda. Hubungan antar organisasi yang kemudian disebut dengan Interorganizational Relations (IR) didefinisikan oleh Van de Ven (1976) sebagai sistem aksi sosial yang menunjukkan elemen dasar dari setiap bentuk perilaku kolektif terorganisir. Tiap anggota organisasi membawa aturan-aturan main yang dibawa pihak masing-masing ke dalam interaksi mereka. Inilah yang kemudian membentuk interorganizational cultures. Interorganizational cultures terbentuk atas hubungan antara dua atau lebih organisasi yang berinteraksi dan membentuk aturan main tersendiri yang merupakan hasil perpaduan keduanya. Dua organisasi akan memunculkan karakter masing-masing ketika berinteraksi, kemudian mereka akan memutuskan mana nilai/aturan yang dipertahankan, dan mana yang harus dilepas. Dalam interorganizational cultures antara agen PR Plató dan ke dua media inilah dapat ditarik satu aturan penting yang perlu diterapkan oleh seluruh pihak, yaitu pentingnya nilai berita. Hubungan antar organisasi ini seperti yang dijelaskan oleh kerangka pikir Polanyi (1957) 11
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
memiliki basis resiprositas balanced yang mana si pemberi mengharap pemberiannya dibalas dengan hal yang ia anggap setimpal. Dari hubungan ini si pemberi memiliki ekspektasi akan balasan yang ia terima sehingga seakan membuat batas-batas balasan untuk diterapkan ke si penerima. Kesimpulan Hubungan antara PR dan jurnalis yang pihak-pihaknya saling membutuhkan, dilandasi oleh rasa pengertian untuk keduanya dapat mencapai keuntungan bersama. Hubungan saling membutuhkan ini kemudian menjadi hubungan pertukaran yang disebut oleh Mauss sebagai 'The Gift'. Dari pertukaran 'gift' ini maka muncul hak-hak dan kewajiban bagi si PR. Berdasarkan data di lapangan, 'gift' yang dipertukarkan antara jurnalis dan PR ada tiga hal: imbalan materi; relasi pertemanan; dan news value/nilai berita. Meski terdapat tiga aspek tersebut, namun dalam setiap pertukaran terdapat satu aspek yang paling mendominasi. Ketiga 'gift' tersebut memiliki dampak dan pengaruh masing-masing terhadap pemberitaan di media. Setelah melakukan interaksi dan pertukaran, baik jurnalis maupun PR memiliki pemahaman-pemahaman yang terbentuk atas bagaimana hubungan PR dan jurnalis bekerja. Pemahaman-pemahaman ini seringkali berbeda dan sangat bervariasi satu sama lainnya. Tidak heran pada beberapa kasus terjadi kesalahpahaman maupun miskomunikasi di antara mereka. Hal ini terjadi karena interaksi antara jurnalis dan PR melibatkan dua profesi yang berasal dari dua organisasi yang berbeda. Perbedaan organisasi ini tentu berimplikasi pada perbedaan nilai yang dianut oleh masing-masing. Pemahaman-pemahaman yang berbeda di antara mereka menjadi tidak terhindarkan. Walaupun terdapat banyak pemahaman yang berbeda, beberapa kesamaan juga dapat ditemukan di antara hubungan kedua profesi ini. Pertama, adalah bahwa relasi pertemanan penting dibentuk, namun perlu dalam batasan-batasan tertentu karena dalam beberapa kasus dapat menghilangkan profesionalitas. Kedua, adalah bahwa tidak diperbolehkannya menerima imbalan materi, khususnya uang 'amplop' merupakan aturan yang cenderung ambigu, antara boleh atau tidak diterima. Meskipun aturan ini telah tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik namun aturan ini memiliki kerancuan batas sehingga menjadi aturan yang ambigu. Terakhir, pemahaman yang mutlak adalah bahwa relasi pertemanan dan pemberian imbalan materi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi suatu penulisan karena satu-satunya faktor yang dampaknya pasti adalah news value/nilai berita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa news
12
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
value merupakan harga mati dalam penulisan berita. Hal ini demikian karena news value merupakan faktor utama jurnalis dalam memberitakan suatu berita. Hubungan yang terjalin antara PR dan jurnalis merupakan hubungan yang kompleks. Hal ini terjadi karena hubungan mereka dilandasi oleh saling pengertian. Hubungan mereka sesungguhnya merupakan hubungan transaksional tanpa jual-beli. Dengan tidak adanya jualbeli di antara mereka maka besaran nilai suatu barang yang diberikan menjadi rancu. Tidak ada kontrak kerja sehingga tidak ada besaran yang jelas suatu berita harus dibalas dengan imbalan apa dan sebesar apa. Bahkan ketika ada pihak yang merasa dikecewakan, jangankan untuk menuntut, untuk mengungkapkan kekecewaannyapun sulit, karena kedua pihak memang tidak memiliki perjanjian dan khawatir akan merenggangkan hubungan. Hubungan antara jurnalis dan PR merupakan interorganization relations (IR) yang melibatkan dua pihak dari dua organisasi yang berbeda. Dari interorganizational relations yang terbentuk, maka tiap anggota organisasi membawa aturan-aturan main yang dibawa tiaptiap pihak ke dalam interaksi mereka. Inilah yang kemudian membentuk interorganizational cultures. Interorganizational cultures terbentuk atas hubungan antara dua atau lebih organisasi yang berinteraksi yang kemudian membentuk aturan main tersendiri yang merupakan hasil perpaduan keduanya. Bentuk interorganizational cultures yang digambarkan di atas dapat ditopang dengan berbagai macam kerangka teori yang membahas kontak dua kelompok/sistem termasuk pada hubungan antar suku bangsa. Hubungan antar suku bangsa pada hakikatnya juga merupakan bentuk dari interorganizational cultures yang melibatkan hubungan antar suku bangsa yang berbeda yang tentu memiliki nilai yang berbeda pula. Organisasi dan kelompok etnis memiliki perbedaan dalam hal status keanggotaannya, yaitu pada kelompok etnis keanggotaannya bersifat ascribed sedangkan pada organisasi keanggotannya bersifat achieved. Walaupun berbeda, mekanisme yang ada di dalam organisasi dan sukubangsa secara umum memiliki kesamaan, yaitu membentuk nilai tersendiri ketika keduanya berinteraksi dengan organisasi/etnis yang berbeda. Nilai yang terbentuk juga akan berbeda bergantung oleh nilai-nilai yang dimiliki oleh lawan interaksi mereka. Pada akhirnya keseluruhan tulisan ini secara luas menggambarkan mengenai bagaimana interorganizational cultures terbentuk. Interorganizational cultures yang terbentuk di dalam hubungan praktisi PR dalam agen PR Plató dengan media-media yang berinteraksi dengan mereka hanya merupakan satu fraksi kecil dari sekian banyak hubungan antara PR dan jurnalis. Perlu digarisbawahi bahwa interorganizational cultures sangat dinamis karena terus menyesuaikan perubahan di dalam masing-masing organisasi. Selain itu, 13
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
organizational cultures juga bergantung pada culture yang dibawa oleh organisasi-organisasi terlibat sehingga bentuknya sangat tergantung pada nilai apa yang dibawa oleh organisasiorganisasi yang berinteraksi. Dengan demikian hubungan antara PR dan jurnalis dengan partisipasi organisasi yang berbeda tentu saja sangat berpeluang menghasilkan bentuk interorganizational cultures yang berbeda dengan yang telah dijelaskan dalam tulisan ini sehingga diharapkan kedepannya lebih banyak studi kasus dengan metode dan kerangka pikir yang serupa agar dapat ditarik generalisasi pola interorganizational cultures di antara PR dan jurnalis. Lebih jauh tulisan ini menunjukkan bahwa teori-teori antropologi—seperti yang dikemukakan Mauss dan Barth dalam tulisan ini—yang mengkaji masyarakat prakapitalis masih relevan untuk menjelaskan fenomena kontemporer di masyarakat kapitalis. Utilisasi teori-teori yang dipaparkan dalam tulisan ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya kajian-kajian antropologi terkait yang telah dilakukan sebelumnya. Referensi Buku Barth, Fredrik. (1966). Models of Social Organization. London: Royal Anthropological Institute Occasional Paper. Barth,Fredrik. (1969). Ethnic Groups and Boundaries. Oslo: Universitetforlaget. Carey, James. (1989). Communications as Culture, Essays on Media and Society. Boston: Unwyn Hyman. Fiske, John. (1990). Introduction to Communication Studies, 2nd edition. London: Routledge. Fombrun, J, Charles. (1996). Reputation. Cambridge : Harvard Business School Press. Jakobson, Roman. (1956). The Metaphoric and Metonymic Poles: in Fundamentals of Language. New York: Gravenhage. Mauss, Marcel. (1950). The Gift : The Form and Reason for exchange in Archaic Societies. London dan New York : Routledge Classics. Polanyi, Karl. (1957). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. London: Beacon Press Spradley, James. (1972). "Foundation of Cultural Knowledge" dalam James Spradley Culture and Cognition halaman 3-8. United States of America: Chandler Publishing Company. Strauss, Claudia dan Naomi, Quinn. (1997). A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge : Cambridge University Press. Suparlan, Parsudi. (2004). Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: YPKI. Jurnal Choesin, Ezra. (2002). "Connectionism : Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi" Jurnal Antropologi Indonesia, Vol 69 Darr, Asaf. (2003). "Gifting Practices and Interorganizational Relations : Construction Obligation Networks in the Electronic Sector" Sociological Forum, Vol. 18, No. 1 (Mar., 2003), pp. 31-51 14
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014
Isnaini, Santi. (2006). "Mencermati Pasang Surut Hubungan antara Public Relations dengan Media Massa" Jurnal Universitas Airlangga. Sherry, John F. (1983). "Gift Giving in Anthropological Perspective" Journal of Consumer Research, The University of Chicago Press Van de Ven, Andrew H. (1976). "On the Nature, Formation, and Maintenance of Relations among Organizations" The Academy of Management Review, Vol 1, No 4 (Oct 1976)
15
Resiprositas dalam..., Deilika Chairina Haryadi, FISIP UI, 2014