R esensi B uku
Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Halaman
: L’antico testamento. Spiegato a chi ne sa poco o niente : Jean-Louis Ska : San Paolo, Milano : 2011 : 172
Sesuai dengan judulnya, buku ini sungguh-sungguh ditujukan bagi mereka yang tidak begitu atau sama sekali tidak memahami Perjanjian Lama. Mengapa demikian? Pengarangnya, seorang profesor di Pontifical Biblical Institute Roma, menduga bahwa ada dua alasan yang membuat Kitab Suci pada umumnya, dan Perjanjian Lama pada khususnya, menjadi buku yang tidak pernah dibaca, atau meminjam istilah Umberto Eco, Great Unread Book. Pertama, kebanyakan dari kita sebenarnya tidak pernah membaca Kitab Suci, melainkan membaca bagian-bagian terpilih saja yang relevan untuk kebutuhan saat itu. Alasan kedua, Kitab Suci tidak selalu mudah dipahami, bukan karena tulisan yang terlalu kecil, tetapi karena jarak dan waktu yang sudah terpisah jauh dari pembaca modern. Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, buku ini dimaksudkan untuk membantu mereka yang ingin membaca Perjanjian Lama. Setelah pada bab II disajikan pengantar umum tentang Perjanjian Lama, mulailah diuraikan masing-masing tulisan yang terdapat dalam Perjanjian Lama dalam lima bab. Yang menarik adalah bahwa penulis berusaha memahami tulisantulisan itu dalam kategori berpikir yang mungkin dianggap lebih akrab bagi pembaca zaman sekarang. Dengan cara itu, penulis menganggap Pentateukh, yang dibahasnya dalam Bab III, sebagai undang-undang atau konstitusi bangsa Israel. Bab IV membahas Kitab-kitab Sejarah atau yang biasa juga disebut Kitab Nabi-nabi yang terdahulu. Bagian ini dipandangnya sebagai pertentangan gagasan antara yang pro dan kontra kerajaan. Tulisan-tulisan para nabi Israel waktu itu dibicarakan dalam Bab V. Bagi penulis, para nabi bisa disejajarkan dengan para wartawan yang menyampaikan penilaiannya atas zaman saat mereka hidup. Sementara tulisantulisan Kebijaksanaan yang dibahas dalam Bab VI buku ini, dipandang sebagai ‘Guru’ bagi Bangsa Israel. Bagian terakhir dari buku ini, yaitu Bab VII, membahas tulisan-tulisan lain yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Bagian berisi Kitab Mazmur, Ratapan, Barukh dan Surat Yeremia, kemudian 1-2Taw, Ezra-Nehemia, dan 1-2Makabe, Kitab Daniel dan Kidung Agung serta beberapa cerita pendek seperti Rut, Ester, Tobit, Yudit dan Yunus. Pendekatan yang diambil penulis adalah terutama pendekatan sinkronis yang lebih menekankan teks dalam bentuk akhirnya. Secara singkat penulis memberikan
Resensi Buku —
211
gambaran umum dari masing-masing tulisan Perjanjian Lama. Meskipun demikian, di sana-sini tampak bagaimana ia juga memberikan catatan agak mendetil yang memberikan pencerahan untuk pemahaman teks. Beberapa pokok bisa disebutkan di sini. Kisah Penciptaan ganda yang terdapat dalam Kej 1-2 sebenarnya merupakan ‘persaingan’ antara dua perspektif: mereka yang baru pulang dari pembuangan Babel, yang tentunya banyak mengadopsi budaya Babel dan mereka yang tidak mau menerima budaya Babel. Kisah penciptaan pertama mau menunjukkan bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah kami, dan bukan allah-allah lain seperti terdapat dalam teks-teks kuno seperti Enuma Elish atau yang lain (hal. 52-53). Sesuai dengan pendekatan sinkronis yang dipilih, penulis mencoba membaca Kitab Mazmur dalam keseluruhan konteks. Menurutnya, kitab Mazmur, yang membuka bagian ketiga Alkitab Ibrani (Ketubim), mempunyai kedekatan dengan Yos 1,7-8 yang membuka bagian kedua Alkitab Ibrani (Nabi-nabi). Dari situ ditunjukkan bahwa posisi Kitab Nabi-nabi dan Ketubim memang demikian untuk menunjukkan posisi penting dari Hukum Taurat (hal. 132-133). Buku ini membantu pembaca awam untuk mulai membaca Perjanjian Lama yang seringkali dikeluhkan orang sebagai buku yang sangat sulit. Melalui paparan penulis, pembaca diajak perlahan-lahan untuk mengikuti perjalanan para tokoh dari awal sampai akhir. Dengan begitu, setelah menutup buku ini, pembaca memunyai gambaran global akan isi Perjanjian Lama. Meskipun demikian, catatan kecil yang tidak akan mengurangi nilai yang ditawarkan oleh buku ini, rasanya juga patut mendapat perhatian. Karena perhatian penulis lebih pada pendekatan sinkronis, maka pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kesejarahan teks tidak diperhatikan. Sebagai contoh, teori tentang sumber-sumber yang ada di balik Pentateukh, seperti tradisi Yahwista, Elohista, dsb sama sekali tidak disinggung (hal. 60). Di lain pihak, hal ini bisa disadari. Untuk apa lagi sih berbicara tentang teori dokumen klasiknya Wellhausen? Tidak ada yang baru dan tidak punya banyak relevansi untuk pembacaan teks secara sinkronis. Pembagian bab dalam buku ini juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mengikuti skema tertentu. Apakah mengikuti skema Tanak? Atau skema yang ditawarkan oleh Perjanjian Lama? Lepas dari pertanyaan-pertanyaan kecil di atas, kita bisa mengucapkan terima kasih kepada profesor Jean-Louis Ska atas buku yang ringan tetapi menawarkan insight yang holistik akan Perjanjian Lama. Sayang, buku ini ditulis dalam bahasa Italia, sehingga pembaca di luar Italia amat terbatas. (V. Indra Tanureja, pr)
212 —
Orientasi Baru, Vol. 20, No. 2, Oktober 2011
Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Halaman
: Hinduism, Beginners Guides : Klaus K. Klostermaier : Oneworld, Oxford : 2007 : xiii + 216
Hindu seperti kita ketahui, merupakan salah satu dari bagian penting dalam panorama agama-agama di Indonesia. Hindu yang dianut dan dihayati di Indonesia terutama adalah Hindu Bali yang berpusat di pulau Bali. Hindu yang sudah lama berkembang di Indonesia ini tentu saja berbeda dari Hindu yang hidup di tanah asalnya, India. Namun Hinduisme yang diuraikan dalam buku kecil ini, bukanlah telaah tentang agama, atau lebih tepat dikatakan, lebih luas dari sekedar agama, sebagaimana dimengerti oleh orang-orang modern. Hinduisme adalah peradaban yang mulai berkembang di lembah sungai Indus, - darimana nama Hindu diangkat oleh orang-orang Eropa – , sudah sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Dengan demikian, secara historis dan genealogis Hinduisme mendasari berbagai macam agama Hindu yang berkembang di India dan di luarnya, termasuk di Indonesia. Untuk itu, buku ini baik dipelajari oleh para mahasiswa yang berminat mempelajari filsafat, teologi atau pun agama-agama. Berbeda dari Hinduism (1966) karangan R.C. Zaehner misalnya, yang pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Kebijakan dari Timur, Jakarta: Gramedia, 1992) yang lebih kompleks dan skolastik, buku ini lebih sederhana dan introduktif, sehingga mudah dan cocok dipakai sebagai buku pegangan kuliah bagi mahasiswa pemula. Tidak keliru kalau pengarang menambahkan keterangan dalam judul, Beginners Guides. Tanpa kehilangan segi ilmiahnya, buku ini diawali dengan beberapa catatan fonetik tentang ucapan kata-kata dan nama-nama India, serta tiga buah peta India yang penting untuk memahami sejarah Hinduism, belum lagi berbagai gambar ilustrasi yang ada di dalamnya, sehingga pembaca memperoleh bayangan konkrit mengenai situasi secara visual. Isi seluruhnya enambelas bab, dibagi dalam empat bagian besar, sehingga dalam masing-masing bagian ada empat bab. Bagian pertama (part I) membeberkan tradisi Veda, asal-usul dan perkembangan kitab suci Veda; Bagian kedua (part II) membeberkan perkembangan agama-agama Hindu, terutama tiga kelompok besar agama Hindu, yakni para pengikut Vishnu, Shiva dan Sakti atau dewi-dewi; Bagian ketiga (part III) membeberkan empat macam aliran filsafat Hindu, yakni Upanishad, Yoga, Advaita Vedanta dan Vaishnava Vedanta; dan Bagian keempat (part IV) Hinduisme diantara agama-agama lain, memperlihatkan perjuangan Hindu berhadapan dengan Barat. Dalam bab pertama, pengarang menjelaskan asal-usul Hinduisme dan mempermasalahkan istilah tersebut, yang sering disalahfahami seolah-olah sama Resensi Buku —
213
dengan sebuah agama, akan tetapi lama-lama kelamaan orang-orang Hindu sendiri akhirnya menerima istilah itu, untuk membedakan diri mereka dari orang-orang Muslim, Kristen dan Parsi yang ada di India. Meski pun demikikian harus dimengerti bahwa Hindu merangkum banyak sekte yang berlain-lainan. Uraian tentang asal-usul dan perkembangan kitab-kitab Veda, dari Veda Samhitas hingga Upanishad sangat jelas, karena disertai juga dengan skema, demikian juga penggolongan kitab-kitab Smrti, demikian juga kitab-kitab Sutras, Vedangas, Upavedas dan kitab-kitab suci lainnya, meski tanpa uraian dari setiap kitab suci itu. Bagian pertama diakhiri dengan tata kehidupan dan upacara-upacara yang diturunkan dari ajaran Veda. Hinduisme berkembang dalam bentuk agama-agama ortodoks yang semua mengacu pada Veda. Ada tiga aliran besar agama Hindu yang dianut orang-orang India, yakni para penganug Shiva, Vishnu dan Sakti. Maka selain mengacu pada kitab-kitab Veda dan dua epos besar Ramayana dan Mahabharata yang sama, masingmasing aliran ini mempunyai kitab suci mereka sendiri, yang disebut Puranas. Dan inilah yang membedakan antara aliran yang satu dengan yang lain. Menurut pengarang buku ini, Puranas merupakan jantung agama Hindu, karena merupakan kitab yang diacu dalam hidup sehari-hari. Para pengikut Vishnu mempunyai Vishnu Purana dan Bhagavata Purana. Mereka percaya, Vishnu kadang menjelma menjadi avatara di dunia, dalam rangka membantu manusia. Vishnu juga mempunyai pendamping Sri atau Lakshmi. Pengikut Vishnu terpecah-pecah dalam berbagai sekte atau sampradayas. Pada abad keempatbelas, mereka berhasil mengelompokkan sekte-sekte tersebut dalam empat komunitas besar, Srivaishnava (Ramanuja), Brahma (Madhva), Kumara (Nimbarka) dan Rudra (Vallabha). Para pengikut Shiva mendaku asal-usul yang lebih tua. Pengarang merujuk pada sumber-sumber pra Aryan, atau penduduk asli, yang diasosiasikan dengan para yogi dengan simbol linga. Mereka kuat dalam askese. Seperti halnya para pengikut Vishnu, para pengikut Shiva juga terbagi dalam berbagai kelompok. Salah satunya yang sangat terkenal adalah Shaiva Siddhanta. Para pengikut Shakti merupakan kelompok lain dari Hinduisme yang mempunyai banyak pengikut. Shakti adalah dewa-dewa perempuan, atau juga pendamping Shiva dan Vishnu. Rupanya mereka mempunyai kedudukan tersendiri yang istimewa, dekat dengan manusia dan mudah untuk diminta pertolongan. Para penganut dewi-dewi ini mempunyai banyak mitologi, atau kisah-kisah suci dan melakukan banyak perayaan. Dalam era kebangkitan perempuan dewasa ini, fenomen Hindu dengan pemujaan Shakti bisa memberikan sesuatu inspirasi. Dalam bagian ketiga, yang berbicara tentang filsafat, penulis mengawalinya dengan uraian tentang Upanishads. Memang, Upanishads merupakan bagian akhir dari kitab Veda, oleh karena itu sering juga disebut Vedanta. Namun berbeda dari kitab-kitab Veda yang lain, Upanishads sarat dengan pemikiran filsafat, terutama
214 —
Orientasi Baru, Vol. 20, No. 2, Oktober 2011
menyangkut hubungan antara Atman dan Brahman. Dengan demikian, Upanishads bisa menjadi pengantar untuk aliran-aliran filsafat lain, yang berkembang di kemudian hari, terutama di Abad Pertengahan, yang disebut Darsanas. Darsanas atau filsafat Hindu ortodoks, biasanya dikenal sebagai enam aliran klasik (e.g. Friedrich Max Muller, The Six Systems of Indian Philosophy, New Delhi, 1986), namun dalam buku ini hanya dua aliran yang dibicarakan, yakni Yoga dan Vedanta. Bisa dipahami, karena aliran-aliran lain tidak sangat populer. Meski pun demikian, pengarang menyebut juga aliran Samkhya sebagai sistem filsafat yang terkait erat dengan Yoga. Sementara itu Shankara dan aliran Advaita Vedanta (monistik) yang dipimpinnya, dalam klasifikasi Darsanas sebetulnya sama-sama merupakan aliran Vedanta bersamaan dengan mashab yang didirikan oleh Ramanuja. Namun dari sisi ajaran, keduanya berlawanan satu sama lain sedemikian, sehingga lebih sering dilawankan satu dengan yang lain. Mashab Ramanuja disebut Visishtadvaita Vedanta dan menganut Vishnu, maka juga disebut Vaishnava Vedanta (teistik). Dalam bagian keempat, pengarang menempatkan Hinduisme modern dalam hubungannya dengan Barat dan agama-agama lain. Disinilah tampak pendekatan historis dari pengarang, yang ingin menampilkan Hindu dalam perkembangannya hingga sekarang dengan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Pengarang menampilkan empat tokoh Hindu modern yang menerima ide-ide Barat modern, Ram Mohan Roy (1772-1833), Ramakrishna (1834-1886), Vivekananda (1863-1903), Mahatma Gandhi (1869-1948), mau pun yang menolak Barat seperti Dayananda Saraswati, dengan gerakan Arya-Samaj, gerakan Bharatiya Janata Party, Rashtriya Swayamsevak Sangh, dan Vishwa Hindu Parishad dan akhirnya juga para pembaharu Hindu, yang secara kritis memodifikasi tradisi sehingga bersesuaian dengan tuntutan zaaman. Akhirnya pengarang menutup bukunya dengan bab tentang tantangan zaman yang masih harus dihadapi oleh Hindu zaman sekarang, perkembangan dan sumbangan Hindu juga ke Barat. Yang menarik, selain indeks, pengarang juga melengkapi buku ini dengan bibliografi bukan pada halaman akhir dari buku, melainkan pada setiap bab. Ditengah langkanya buku pegangan untuk kuliah filsafat Timur, khususnya Hindu, buku ini pantas untuk digunakan. (A. Sudiarja SJ)
Resensi Buku —
215