PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
REPRESENTASI PERNYAIAN DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH STUDI PASCAKOLONIAL MENGENAI CERITA NYAI
TESIS
Diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Linda NIM : 05632006
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Belajar di IRB bagi saya adalah sebuah perjalanan dan menulis tesis merupakan bagian dari perjalanan itu. Jika awalnya menulis adalah sebuah kegemaran yang mengasyikkan maka dalam proses penulisan tesis ini ada saatsaat di mana menulis menjadi keterpaksaan yang menegangkan. Tak jarang saya mengalami writer’s block yang membuat saya berhenti sejenak, menghela nafas untuk kemudian bergerak lagi. Ringkasnya, tesis ini merekam aneka pergulatan saya yang bergerak dari titik satu ke titik-titik lainnya di dalam sebuah spektrum hingga akhirnya “menggapai cahaya.” Di dalam perjalanan yang cukup panjang ini, ada begitu banyak orang yang terlibat bersama-sama saya, masing-masing mendukung saya dengan caranya tersendiri. Untuk itu, kepada mereka pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih.
1. Mama, Papa, dan Santi, juga Mena dan segenap keluarga yang telah menyemangati dan menguatkan saya sepanjang penulisan tesis. 2. Ibu dan Bapak di Klepu dengan kasih sayang dan doanya yang tak kunjung putus, Mba Wati dan Mas Willy di Japos serta nona-nona kecilku: Fani, Fiera dan Femi, tempat berteduh sejenak di kala lelah dan putus asa. 3. St. Sunardi yang telah begitu sabar dan selalu membangkitkan rasa percaya diri saya ketika seringkali saya menemui “jalan buntu.” Terima kasih untuk diskusi, kritik dan bahan-bahan yang begitu berharga. Juga
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Katrin Bandel, sahabat dan guru, yang selalu bersedia menjadi tempat berbagi gagasan dan perasaan tatkala saya bimbang dan ragu. Terima kasih untuk bahan-bahan yang amat membantu di awal penulisan tesis, masukan-masukan, juga obrolan ringan dan diskusi yang selalu membawa pencerahan. Tanpa Mba Katrin sulit dibayangkan tesis ini menemukan wujudnya yang sekarang. 4. Segenap dosen pascasarjana: Robert H. Imam, Tri Subagya, George Aditjondro, Budiawan, Nicholas Warouw, Romo G. Subanar, Romo A. Sudiarja, Romo Hary Susanto, Romo Agung Wijayanto, Romo Baskoro T. Wardoyo, Novita Dewi, Stefani Haning, Devi Ardhiani, beserta para dosen tamu. Terima kasih telah menjadi oase intelektual yang menyegarkan selama saya berkelana di IRB. 5. Asia Research Institute – National University of Singapore (NUS) yang telah memberikan kesempatan residensi selama tiga bulan di Singapura dan akses terhadap pelbagai sumber pustaka yang amat membantu penelitian ini. Secara khusus, terima kasih kepada mentor saya, Dr. Jan van der Putten, serta Dr. Kay Mohlman yang memberikan pengetahuan baru mengenai penulisan akademis dalam bahasa Inggris. Juga temanteman yang saling menyemangati, teristimewa Tessa Guazon, Yustina dan Kang Herry. 6. Teman-teman seperjuangan: Mba Yeni, Iyus, Kak Aleida, Sujud, Bang Samsul, Mas Yudi, dan Mas Hagung. Juga anak-anak IRB lintas generasi:
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mba Melati, Mba Iim, Mas Ferdi, Mas Dedi, Retno, Hasan, Mba Dona, dan teman-teman lainnya yang telah turut memberikan berbagai dukungan. 7. Mba Henki di sekretariat IRB yang selalu siap membantu, juga temanteman di perpus pasca: Lia, dkk. 8. Dosen-dosen EEC dan teman-teman belajar: Siska, Diana, Wiro, Rani, Angga, Mail, Mas Aan, Ade, dan lainnya. 9. Teman-teman di Hidup, khususnya Bunda Sulis, Mba Etty, dan Pak Sihol. 10. Teman-teman di kosan lintas generasi: Agek, Echa, Yudha, Yuli, Meita, Yoe, Vitha, Ifen, Jie Ayu, Lia, Elen, Keling, Emichta dan semua. Juga kepada Tante dan Om Isnu, Gede dan Detta, serta Yu Mur. 11. Teman-teman di Aksara-IVAA dan para mentor yang telah berproses bersama selama beberapa bulan dan memperluas wawasan saya tentang dunia seni. 12. Edwid yang setia menemani di hari-hari yang sulit baik dengan rumpian maupun diskusi seriusnya. 13. Sahabat-sahabat: Maman dan Budi (what a long journey!), Elis, Hendar, Mas Agus dan Gangan. 14. Mba Yani yang selalu bersedia diganggu dengan curhat-curhat saya. 15. Mba Kristin dan Mas Priyo di Bandung, juga Mba Maria, Jenong dan IbuBapak Pdt. Poniman di Jember. 16. Segenap karyawan di lingkungan kampus Sanata Dharma.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17. Invisible assistants in these years: Mba-Mba dan Mas-Mas di warungwarung makan, bis-bis kota, tempat fotokopi yang semuanya telah turut melancarkan segala pekerjaan saya. 18. The last but not the least, this work is dedicated to the letterblind millions who have so much past but so very little history.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI Persetujuan pembimbing Lembar pengesahan Keaslian karya Lembar persetujuan publikasi karya ilmiah Prakata Daftar isi Abstrak
ii iii iv v vi x xii
Bab I Pendahuluan 1. Latar belakang 2. Perumusan masalah 3. Tujuan penelitian 4. Relevansi penelitian 5. Tinjauan pustaka 6. Landasan teori 7. Sumber data dan metode penelitian 8. Sistematika penulisan
1 10 11 11 11 16 19 19
Bab II Latar belakang sosio-historis pernyaian 1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC 1. 1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi 1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan 2. Berlanjutnya pernyaian sebagai necessary evil 2.1. Pergundikan di perkebunan 2.2. Pergundikan di barak 3. Tentangan terhadap pergundikan 3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak 3.1.1. Di Belanda 3.1.2. Di Hindia Belanda 4. Berakhirnya pernyaian
23 23 26 28 29 32 33 35 35 37 42
Bab III Konteks sastra masa kolonial 1. Bahasa dan sastra Melayu Rendah 1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah 1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar 1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya 1.4. Cerita tentang pernyaian 2. Politik bahasa pemerintah kolonial 2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur 2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar
46 46 51 54 59 60 61 68
Bab IV Ambivalensi pascakolonial dalam cerita nyai 1. Sinopsis 2. Gender dan seksualitas
73 82
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Ras 4. Perkawinan dan pernyaian 5. Hubungan nyai dan tuan 6. Kesimpulan
94 109 119 124
Bab V Kesimpulan
127
Daftar pustaka
130
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial. Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi. Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa pemerintah kolonial. Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi. Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dalam perkuliahan “Sastra Etnik” saya berkenalan dengan khazanah sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca,1 atau sering juga disebut Melayu Rendah.2 Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat komunikasi lisan antar pelbagai bangsa dan suku di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya, ia dipergunakan dalam surat kabar dan berbagai media tertulis lainnya. Yang mengherankan ialah kenyataan bahwa karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh kalangan Pribumi, peranakan Tionghoa, maupun peranakan Eropa/Belanda.3 Menurut penemuan peneliti Perancis Claudine Salmon, karya yang ditulis
1
Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9-11. Akan tetapi, dalam bagian selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis. 2 Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004). 3 Toer, Tempo Doeloe, 2.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis.4 Ditinjau dari aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra tradisional-konvensional lama, yakni pernyataan diri pribadi (self expression).5 Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra Indonesia pada periode selanjutnya. Di sini perlu disimak juga bagaimana situasi masyarakat pada masa kolonial Hindia Belanda. Secara umum masyarakat—khususnya di daerah perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo (peranakan Eropa-Asia) dan peranakan Tionghoa hidup berdampingan dengan bangsa Eropa. Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya, baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun waktu tersebut. Dalam khazanah sastra yang merepresentasikan kehidupan di Hindia Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.6 Karya berbahasa Belanda umumnya diterbitkan di 4
Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73 naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography (Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981), 10. 5 Toer, Tempo Doeloe, 12. 6 Tineke Hellwig, “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity,” Archipel 63 (2002): 153172.
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah (the colonizer) dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior. Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis sebagaimana dipelopori Emile Zola. Karya-karya pengarang berbahasa Belanda ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam lingkungan akademi di Belanda. Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium bahasa yang dipakai dalam penuturannya.7 Karya-karya berbahasa Melayu Rendah kerap disubordinasikan dari karya sastra berbahasa Melayu Tinggi (klasik) yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benarbenar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita mengisahkan kasus kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan sebagainya.
7
Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14 September 1908, didirikan juga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur—yang kelak menjadi Balai Pustaka—untuk memproduksi bacaan yang menunjang pengajaran di sekolah.
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat, karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan seharihari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima (G. Francis), Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Tjerita Njai Ratna (Raden Mas Tirto Adhi Soerjo), Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Soemirah (Thio Tjhin Boen), dan Hikajat Siti Mariah (Haji Mukti). Balai Poestaka sebagai alat sensor
pemerintah
berupaya
meminggirkan
kisah-kisah
nyai
ini
dan
menggolongkannya sebagai “roman picisan” karena dianggap tidak bernilai sastra dan tidak mendidik. Di antaranya dengan mempromosikan buku-buku terbitan Balai Pustaka yang dikampanyekan sebagai bacaan “bermutu.” Banyaknya cerita yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam khazanah sastra pra-Indonesia, yakni genre cerita nyai.8 Sebagaimana telah disebutkan di atas, struktur masyarakat pada masa kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan masyarakat Pribumi sebagai kelas terbawah dari stratifikasi sosial. Golongan Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata yang terpuruk pada posisi paling bawah dalam stratifikasi ini. Diskriminasi rasial ini pada akhirnya melahirkan serangkaian konsekuensi yang menyudutkan masyarakat Pribumi. Segala bentuk pelayanan publik mulai dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain sebagainya diatur menurut stratifikasi tadi. Selain itu, kolonialisme menggandeng 8
Setidaknya istilah ini ditemukan dalam kajian Tineke Hellwig sebagaimana dikutip Thomas Hunter,”Indo as Other” dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: 2002), 116.
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
feodalisme, khususnya di Jawa, untuk makin memantapkan penindasannya kepada kaum bumiputera. Pejabat kolonial menggunakan tangan pejabat priyayi untuk memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial.9 Tak ayal, para penguasa lokal ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan kekuasaan kolonial. Adapun Tanam Paksa (Cultuurstelsel) bermula dari kebangkrutan perekonomian negeri Belanda akibat membiayai upaya menumpas pelbagai pemberontakan dan perang di negeri jajahan. Di antaranya, Perang Diponegoro dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi masalah ekonomi di dalam negeri Belanda, pemerintah kolonial di Hindia mewajibkan rakyat jajahan membayar pajak sebanyak kira-kira seperlima dari luas tanah di seluruh desa di Jawa.10 Penderitaan rakyat negeri jajahan yang luar biasa memunculkan kecaman dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda mendesak dihapuskannya monopoli pemerintah dan digantikan dengan sistem persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu, para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di negeri jajahan. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang disahkan pada 9 April 1870 menjawab persoalan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing (baik Belanda maupun golongan Eropa lainnya). 9
Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma 10 (Oktober 1994), 22. 10 Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, 22.
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada kurun waktu inilah lahir perkebunan-perkebunan swasta yang kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain mempekerjakan rakyat bumiputra, perusahaan swasta pun mendatangkan orang-orang Eropa. Sebagian besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta keluarganya karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan. Karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa di negeri jajahan dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang datang, pergundikan atau pernyaian (concubinage)11 makin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan sosial, ia seolah-seolah disangkal keberadaannya karena kepentingan golongan yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat berpengaruh dalam “membungkam” keberadaan institusi yang bisa jadi mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu, pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orangorang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi tersebut. Meskipun demikian, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap
11
Tineke Hellwig juga memakai istilah nyai-hood untuk fenomena di Hindia Belanda ini. Lihat Hellwig, “Menguasai Tubuh Perempuan”, Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 60.
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan kepentingan dan tuntutan keadaan pada waktu itu. Fenomena pernyaian pun mengalami perubahan bentuk dari waktu ke waktu. Awalnya, kata “nyai”12 merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya terpandang dalam masyarakat kolonial, baik pejabat kolonial maupun kalangan swasta, antara lain opsiner dan (bahkan) administratur perkebunan. Namun, fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah, khususnya para tentara yang hidup di barak/tangsi maupun rumah-rumah bedeng di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang Cina biasa.13 Sampai pada usia tertentu, sang tuan akan menikahi perempuan sebangsanya yang dianggap pantas menjadi pendamping hidup dan mampu melaksanakan peran sosial di tengah pergaulan masyarakat kolonial. Nyai tersebut pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya
12
Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab 2. 13 Sally White, “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late Colonial Dutch East Indies” dalam Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, 1 (2004): 88.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pribumi lainnya.14 Pada situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru makin rendah statusnya. Pandangan
pemerintah
kolonial
tentang
pergundikan
mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu kasus, pergundikan di kalangan tentara Eropa tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi sehingga secara ekonomis cukup mapan untuk membiayai hidup keluarganya. Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus sering dimutasi dari satu tempat ke tempat lain. Dalam perkembangan selanjutnya, masalah pergundikan ini sempat diperdebatkan oleh berbagai kalangan, baik di negeri Belanda maupun di negeri jajahan Hindia Belanda. Penentangnya terutama dari kalangan agamawan yang mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun dipandang tidak menguntungkan karena perkawinan campuran ini menghasilkan generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka sering dianggap sebagai golongan yang “tanggung,” bukan pribumi maupun Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahanlahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam bentuk meluasnya kemiskinan di kalangan Indo. Memang pada akhirnya,
14
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai statusnya lebih baik daripada perempuan pribumi lainnya mengingat pelbagai akses yang dimungkinkan oleh statusnya tersebut.
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
fenomena pergundikan menyurut seiring dengan didatangkannya banyak perempuan kulit putih ke Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke-20. Sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra masa kolonial khususnya yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari kolonialisme yang terlupakan atau sengaja ditutup-tutupi. Meskipun demikian, jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam— mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer memunculkan Nyai Ontosoroh yang mengelola perkebunan dan justru tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi tentang seluk-beluk penerbitan oleh Boesono, seorang mahasiswa kedokteran STOVIA yang bekerja dalam dunia pers. Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa, anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak melakukan
skandal—apalagi
dalam
perkara
seksual.
Maraknya
studi
pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks sastra.
2. Perumusan masalah Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah? Persoalan tersebut dapat diuraikan ke dalam beberapa pokok persoalan, antara lain: 1. Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian? 2. Bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial?
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Tujuan penelitian Sesuai dengan pokok-pokok persoalan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian. 2. Menganalisis posisi cerita nyai tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.
4. Relevansi penelitian Adapun relevansi penelitian ini ialah: 1. Bagi kajian sastra di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, khususnya mengenai karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang selama ini belum banyak dikaji. 2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian budaya, khususnya studi poskolonial, serta kajian gender.
5. Tinjauan pustaka Sejauh penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat beragam kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak meneliti persoalan sastra Indonesia, dalam tulisannya “Njai Dasima, A Fictional
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Woman”15 membahas bagaimana karakter perempuan berfungsi di dalam suatu cerita dan bagaimana karakter-karakter tersebut direpresentasikan. Cerita yang diteliti ialah Tjerita Njai Dasima. Di dalam tulisannya tersebut, Hellwig membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita (Tjerita Njai Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek) yang ditulis oleh G. Francis (1896) dengan bentuk syair (“Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian di Batawi, terpoengoet tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima”) yang masingmasing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok (1897). Tulisan itu menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi cerita ditempatkan secara sentral. Berbeda dengan studi Hellwig tentang cerita nyai yang mengisahkan gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies”16 mengisahkan nyai yang tinggal dengan lelaki Tionghoa. Dengan membandingkan kedua bagian cerita tersebut dengan konteks historis yang melingkupinya, Maier menggarisbawahi adanya perubahan kesadaran akan identitas kecinaan di kalangan komunitas peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak didefinisikan dalam kerangka perbedaan budaya, bahasa, maupun rasial, tetapi
15
Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 26, 1 (Winter 1992), 1-20. 16 HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149, 2 (1993), 274-297.
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan. Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum,”17 Gerard Termorshuizen juga melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A. Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual, jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai Ontosoroh yang mandiri secara ekonomi. Di dalam tulisannya ini, Termorshuizen lebih berfokus pada deskripsi tokoh-tokoh nyai. Sementara itu, Brenda Fane dalam tulisannya “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories”18 mengulas hubungan antara perempuan yang menjadi nyai melintasi batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh ayah—pada akhirnya membawa kesusahan ataupun penyakit pada perempuan tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada
17
Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering (Townsville: James Cook University, 1995), 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial. 18 “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, 2 (December 1997), 47-61.
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia akan merasakan kebahagiaan dan bisa bersatu kembali dengan keluarganya. Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film”19 menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis (1896), narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama (1926), narasi yang ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan (1965) serta film yang diproduksi Chitra Dewi Productions (1970). Dari pembacaannya terhadap keempat karya tersebut, Taylor mengungkapkan bahwa seluruh versi tersebut menunjukkan keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa sesudah kemerdekaan mengkonstruksi identitas kelompok berdasarkan ikatan pada bangsa (nation) beserta idealisasi tentang tatanan masyarakat yang dibayangkan. Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.”20 Di dalam tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai
19
Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears (Durham and London: Duke University Press, 1999), 225-248. 20 Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 31-44.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Bandel menunjukkan hubungan intertekstual di antara kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain sudut pandang penceritaan dan penokohan, Pramoedya berhasil menghadirkan sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa dan kolonialisme, serta ambivalensi pengalaman pascakolonial. Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat menjadi titik berangkat untuk penelitian lanjutan. Dalam bukunya, Adjustment and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (1994), Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa kolonial. Di dalamnya termasuk cerita-cerita yang mengisahkan tentang kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara khusus berfokus pada tokoh nyai itu sendiri. Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the Indies: An Analysis of the Representation of Njais in a Selection of Pre-World War II Malay Language Literature, yang merupakan tesisnya (yang belum diterbitkan) untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University (1995). Penelitian Fane ini berfokus pada relasi gender dengan melihat konstruksi nyai di dalam diskursus komunitas/masyarakat dan keluarga. Fane menggunakan pendekatan pascastrukturalis, antara lain Jacques Derrida (penggunaan grammar), Michel Foucault (sejarah diskursus) dan Jacques Lacan (psikoanalisis). Dalam
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang diungkapkan melalui penggunaan penokohan/karakterisasi, plot, tema dan bahasa yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan. Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai. Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian. Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.
6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pascakolonial. Istilah “pascakolonial” sendiri memang mengundang perdebatan panjang. Sebagaimana
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, problematisnya konsep-konsep dasar dari teori pascakolonial itu sendiri, antara lain oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Kedua, terminologi “pascakolonial” yang menggabungkan kata “pasca” dan “kolonialisme.”21 Namun demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial adalah pendekatan pascastruktural yang diterapkan pada topik khusus.22 Kendati meminjam pelbagai teori dan konsep dari pendekatan pascastruktural, pendekatan ini justru secara bersamaan merupakan tanggapan atas ketidakpuasan para intelektual dari Dunia Ketiga terhadap teori-teori pascastruktural, terutama yang digagas Derrida dan Barthes.23 Tony Day dan Keith Foulcher mengemukakan bahwa pendekatan pascakolonial yang diterapkan dalam kajian sastra berupaya mengungkap jejakjejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisikondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk pengalaman manusia sejak awal mula imperialisme Eropa.24 Dengan demikian, pendekatan pascakolonial di sini bisa dilihat sebagai: “suatu strategi membaca yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang membantu mengidentifikasi jejak-jejak kolonialisme, serta menilai sifat dan signifikansi berbagai efek tekstual dari jejak-jejak ini;25 sebuah pendekatan kritis untuk memahami efek-efek yang masih berlangsung dari kolonialisme dalam teks;26 21
Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008), 15-31. 22 Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana (Post-) Kolonial,” Kalam 2 (1994): 62. 23 Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62. 24 Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: KITLV Press, 2002), 2. 25 Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 2.
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembacaan kritis atas berjalin kelindannya beragam kekuatan (sebagian global, sebagian lainnya lokal), yang memberi bentuk dan makna terhadap teks-teks sastra.”27 Singkatnya, bisa dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial menawarkan paradigma, metode dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan yang kurang bisa dikaji dengan teori lainnya. Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari teori pascakolonial, yakni ambivalensi yang digagas oleh Homi K. Bhabha. “Ambivalensi” yang diadaptasi oleh Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial, menggambarkan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan (attraction toward) dan penolakan (repulsion from) yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek terjajah tidaklah pernah hanya semata-mata dan sepenuhnya menentang penjajahnya. Menurut Bhabha, keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance) merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah.28 Selain itu, ambivalensi juga menandai cara bagaimana wacana kolonial terhubung dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan memberdayakan, atau menampilkan dirinya seolah-olah memberdayakan, pada saat yang bersamaan.29 Dengan konsep “ambivalensi” ini saya berupaya menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) tidaklah sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari
26
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3. Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3. 28 Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London: Routledge, 1998), 12-13. 29 Ashcroft, Griffith dan Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies, 13. 27
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk memberdayakan diri kaum terjajah.
7. Sumber data dan metode penelitian Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis. Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap ceritacerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa sebagai tokoh utamanya. Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini. Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.
8. Sistematika penulisan Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain munculnya pernyaian pada zaman VOC, berlanjutnya pernyaian sebagai akibat kebijakan kependudukan pemerintah kolonial, langgengnya pernyaian sebagai sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra Melayu Rendah, politik bahasa pemerintah kolonial melalui pendirian Balai Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta problematisasi kategori “liar” tersebut. Bab IV akan menganalisis ragam representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan pendekatan pascakolonial. Bab V memuat kesimpulan penelitian ini.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut muncul bersamaan dengan kedatangan gadis-gadis Bali ke Batavia yang, selama kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau concubine orang Eropa.29 Sementara itu, Tineke Hellwig mengungkapkan bahwa kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan (muda), saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid, sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci.30 Pendapat lain berasal dari Elsbeth Locher-Scholten yang membandingkan beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (Njahi 1919), ia menyebutkan bahwa nyahi (nyai) ialah gelar terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya.31
29
Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 (1983): 71. Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (Ontario: Netherlandic Press, 1994), 33. 31 Elsbeth Locher-Scholten, “The nyai in colonial Deli A case of supposed mediation,” dalam Women and Mediation in Indonesia, ed. Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat30
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam pengertian “pengurus rumah tangga orang Eropa” sudah dipergunakan setidaknya pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama. Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa nyai (pengurus rumah tangga) dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh terhadap
posisi
sang
nyai.
Kemungkinan
besar,
menurutnya,
hal
itu
mengindikasikan devaluasi dari gelar tersebut. Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia32 dapat dijadikan acuan. Kamus tersebut menyebutkan definisi kata “nyai” sebagai berikut. nyai n 1 panggilan utk perempuan yg belum atau sudah kawin; 2 panggilan utk perempuan yang usianya lebih tua dp orang yg memanggil; 3 gundik orang asing (terutama orang Eropa) nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta juga menyebutkan definisi poin (3), sedangkan dua definisi lainnya masing-masing “panggilan kepada perempuan tua” dan “adinda.”33 Dari berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai”
Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma (Leiden: KITLV Press, 1992), 266. 32 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). 33 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976).
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai seorang perempuan yang tinggal—entah sebagai piaraan maupun pengurus rumah tangga—dengan orang asing, khususnya lelaki Eropa. Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman VOC di mana VOC sendiri memfasilitasi perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap pergundikan, langgengnya pernyaian tersebut sebagai sebuah necessary evil yang di antaranya marak dijumpai pada kehidupan di perkebunan dan barak, lalu tentangan terhadap pergundikan ini baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, dan berakhirnya pernyaian seiring maraknya imigrasi perempuan Eropa ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC Pernyaian merupakan fenomena masyarakat kolonial yang sudah ada sejak lama. Jejaknya bisa dilacak pada masa pra-kolonial ketika VOC masuk ke Nusantara. Uraian berikut menggambarkan secara ringkas kondisi-kondisi terkait dengan kemunculan pernyaian di Nusantara.
1.1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi Pada masa VOC banyak lelaki Eropa menjalin hubungan dengan perempuan Asia, termasuk pula dengan perempuan budak. VOC mendukung hal tersebut dengan turut menyediakan perempuan sebagai calon pengantin bagi para
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lelaki lajang Eropa. VOC bahkan membeli perempuan budak (slave women) dari pasar Asia untuk keperluan tersebut.34 Hal ini dilakukan untuk mendukung maksud VOC mendirikan komunitas permanen di Hindia Belanda. Selain itu, para pemegang saham VOC menentang imigrasi perempuan kulit putih dengan beberapa alasan. Pertama, biaya transportasi untuk mendatangkan perempuan Eropa terlalu mahal. Kedua, perempuan Belanda kemungkinan terlibat dalam perdagangan privat. Hal ini dianggap bisa merongrong monopoli perusahaan. Ketiga, anak-anak orang Eropa akan mudah sakit di daerah tropis sehingga keadaan ini mungkin mendorong keluarganya kembali ke negeri asal. Hal tersebut dipandang tidak menguntungkan terhadap upaya membentuk kelompok pemukim tetap.35 Akan tetapi, pada waktu itu—tepatnya sejak 1617—ada sebuah peraturan yang melarang lelaki Eropa menikahi perempuan non-Kristen. Perkawinan dengan orang Kristen juga terbatas pada syarat-syarat tertentu.36 Calon pengantin perempuan non-Kristiani harus dibaptis terlebih dahulu agar perkawinan tersebut bisa dilegalkan. Seorang lelaki kulit putih pada masa VOC harus memperoleh izin untuk menikah. Kondisi ini mengakibatkan banyak lelaki kulit putih akhirnya hidup bersama gundik. Fenomena ini sedemikian jamak sehingga pada 1620 pemegang otoritas Kristen melarang lelaki Eropa menyimpan gundik. Secara bvtak langsung pergundikan dipicu oleh peraturan pada 1617 yang menyebutkan bahwa siapapun yang menikahi golongan pribumi atau perempuan berdarah
34
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12. Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule (Berkeley: University of California Press, 2002), 47. 36 Ming, “Barracks-Concubinage,” 69. 35
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
campuran dilarang kembali ke Eropa.37 Setelah VOC bangkrut, larangan menikah ini tetap berlangsung hingga 1805.38 Terkait dengan perempuan budak, Jean Gelman Taylor mencatat bahwa sejak awal di Batavia hubungan bebas dengan perempuan budak sudah terjadi. Kebanyakan budak ini adalah pekerja rumah tangga. Dari korespondensi para pejabat, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, diketahui pula bahwa saudagar senior VOC mengambil perempuan lokal dan budak impor sebagai gundik.39 Menurut Tineke Hellwig, perempuan budak biasanya berasal dari golongan termiskin dalam masyarakat. Karena status tersebut, mereka biasanya tidak memiliki posisi tawar ataupun mampu bernegosiasi. Selain itu, umumnya mereka tinggal dengan serdadu ataupun pelaut Eropa yang posisinya di kalangan masyarakat Eropa pun tidak bisa disebut layak. Maka, wajar apabila hubungan antara perempuan budak dan lelaki Eropa tersebut bersifat eksploitatif dan sementara, tanpa didasari pemahaman satu sama lain. Berbeda halnya dengan para serdadu atau golongan bawah masyarakat Eropa di Nusantara, jajaran atas pegawai VOC biasanya menjalin relasi yang langgeng dengan perempuan pribumi, baik yang dinikahi secara resmi dalam ikatan perkawinan maupun yang diajak hidup bersama dalam hubungan kohabitasi.40 Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa kendati asal dan
37
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69. Hellwig, Adjustment and Discontent, 31. 39 Jean Taylor, The Social World of Batavia (Madison: University of Wisconsin Press, 1983), 15. 40 Hellwig, Adjustment and Discontent, 31. 38
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa dari golongan bawah paling banyak menjadi gundik.41
1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan Sebagaimana disebutkan Hellwig, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) adalah salah seorang penentang pergundikan dan mendukung imigrasi perempuan kulit putih dari Belanda.42 Pada 1622 VOC pernah mendatangkan perempuan Eropa ke Batavia. Pada tahun tersebut, VOC mengatur pengangkutan enam perempuan muda Belanda yang siap dinikahi ke Jawa. Mereka diberi pakaian, mas kawin dan kontrak yang mengikat mereka selama lima tahun di Nusantara. Akan tetapi, pada 1632 VOC menghentikan dukungan terhadap imigrasi perempuan Belanda. VOC berniat mendirikan komunitas yang permanen di Nusantara (blijvers). Tindakan konkret menindaklanjuti hal tersebut ialah dibatasinya imigrasi perempuan Eropa pada 1650-an.43 Jean Gelman Taylor mencatat, pada 1652 para pejabat VOC mengadopsi kebijakan yang tetap menguntungkan VOC, yakni pembatasan imigran perempuan Eropa, preferensi rekrutmen lelaki Eropa yang masih lajang dan pembatasan perkawinan dengan perempuan kelahiran Asia.44 Kebijakan VOC untuk menerima pekerja yang masih berstatus lajang serta pembatasan imigrasi perempuan Eropa terus berlangsung hingga dua ratus tahun berikutnya. Dengan merekrut para lelaki lajang, VOC secara legal dan finansial
41
Ming, “Barracks-Concubinage,” 73. Hellwig, Adjustment and Discontent, 12. 43 Hellwig, Adjustment and Discontent, 12. 44 Taylor, The Social World of Batavia, 14. 42
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadikan pergundikan sebagai alternatif yang paling menarik bagi para pegawainya. VOC mendukung hubungan ekstramarital maupun perkawinan resmi antara pegawai tingkat rendah dan perempuan budak yang diimpor.45 Seperti dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual sangatlah penting terhadap perkembangan pemukiman kolonial dan alokasi aktivitas ekonomi di dalamnya.46 Pengaturan masalah domestik ini menguntungkan baik VOC maupun pemerintah. Pada abad ke-19 dan hingga awal abad ke-20, gaji para pegawai baru di dinas militer, birokrasi pemerintahan, perkebunan dan perusahaan dagang, bisa ditekan hingga sangat rendah berkat jasa domestik para perempuan lokal yang diberikan secara cuma-cuma.47 Sebagaimana disebutkan Taylor, fenomena pernyaian ini sudah ada sejak awal VOC di Batavia. Oleh sebab itu, manakala Coen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, ia betul-betul berusaha untuk mengubah keadaan ini. Ia memberlakukan larangan untuk memelihara “satu atau dua perempuan budak, gundik atau gundikgundik di dalam suatu rumah ataupun di tempat lainnya, dengan dalih apapun”.48 Hal tersebut juga didasarkan keprihatinannya terhadap kasus aborsi dan upaya pembunuhan yang dilakukan gundik terhadap tuannya dengan phenyl ataupun racun lainnya. Kendati Coen mengenakan aturan yang sangat keras dalam perkara
45
Stoler, Carnal Knowledge, 47. Ann Laura Stoler, “Making Empire Respectable,” dalam Situated Lives: Gender and Culture in Everyday Life, ed. Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella (New York and London: Routledge, 1997), 376. 47 Stoler, “Making Empire Respectable,” 377. 48 Taylor, The Social World of Batavia, 16. 46
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
moral seksual, hal itu masih tidak dapat menghentikan berkembangnya pergundikan.49 Terlepas dari tentangan tersebut, pada akhirnya pergundikan antar ras mendapat pengakuan dalam hukum sipil (civil law code) Hindia Belanda. Kesaksian dari pensiunan Letnan Kolonel de Rochemont menyebutkan hal berikut. ”Ada banyak nyai dan mereka termasuk dalam semua strata masyarakat Indo-Eropa kita. Bukan hanya tentara di barak, melainkan juga kebanyakan jenderal, pejabat lapangan serta pejabat lainnya, gubernur wilayah, walikota, pejabat senior dan pejabat lainnya memiliki nyai jika mereka tidak menikah. Baik di Belanda maupun di daerah koloni seseorang bisa menemukan orang-orang penting yang merupakan anak Nyai.”50
Jadi, sesungguhnya masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu tidaklah “semurni” yang dibayangkan karena ternyata di dalamnya terjadi percampuran melalui hubungan antar ras yang pada suatu periode memang disahkan secara hukum oleh pemerintah kolonial sendiri.
2. Berlanjutnya pernyaian sebagai sebuah necessary evil Fenomena pernyaian berlanjut hingga dua abad berikutnya. Pada 1 Januari 1800 VOC secara resmi diumumkan bangkrut. Segenap wilayah kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sebagai sebuah fenomena sosial, pernyaian tidak bisa dilepaskan dari keadaan-keadaan sosial yang melingkupinya. Pada 1830 upaya baru menandai jejak kolonialisme di Nusantara dimulai oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, yakni sistem Cultuurstelsel. Tiap desa
49 50
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69. Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diperintahkan untuk menanam tanaman ekspor, seperti kopi dan gula, untuk kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga tetap. Sistem ini selanjutnya berkembang menjadi sistem Tanam Paksa.51 Sistem tanam paksa yang membuat rakyat di daerah koloni sengsara memicu munculnya suara-suara yang menggugat eksploitasi tersebut di negeri Belanda. Maka pada 1848 diberlakukan pendekatan liberal dan kesempatan dibuka bagi kalangan swasta. Pada 1870 Hukum Agraria disahkan.52 Sejak waktu itu, sistem ekonomi mengalami transformasi yang nyata di bawah kebijakan liberal (laisser-faire). Hal ini berlangsung sejalan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Komunikasi melalui telegraf dan jasa pos udara serta transportasi laut dengan kapal uap melalui Terusan Suez secara signifikan mengurangi jarak antara Belanda dan Hindia Timur/Nusantara.53 Di bawah kebijakan liberal yang mendorong perkebunan swasta, kultivasi bebas serta kepemilikan pribadi di Hindia, perekonomian maju pesat. Ini ditandai dengan surplus penghasilan yang cukup besar bagi kas Kerajaan Belanda selama kurun waktu 1832 hingga 1877. Keuntungan yang dihasilkan dari perniagaan kopi dan gula antara 1850 hingga 1860 telah memberikan kontribusi sebesar 31 persen dari total pemasukan Belanda.54
2.1. Pergundikan di perkebunan
51
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17. Hellwig, Adjustment and Discontent, 17. 53 Hellwig, Adjustment and Discontent, 19. 54 Hellwig, Adjustment and Discontent, 19. 52
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sekitar 1870 banyak perkebunan dan penanaman tanaman ekspor bermunculan akibat kebijakan liberal. Ini khususnya terjadi di sepanjang pesisir Sumatra Timur, tepatnya di Deli. Meliputi wilayah yang luas, sabuk perkebunan Deli mulai beroperasi pada 1860-an dan menjadi lokasi investasi yang paling menggiurkan di Hindia Belanda karena keuntungan yang dihasilkannya. Menurut Ann Laura Stoler, jauh dan otonom dari pusat kekuasaan kolonial di Batavia, komunitas sabuk perkebunan Deli mengembangkan karakter khusus selama masa ekspansinya di akhir abad ke-19. Komunitas itu ditandai beberapa ciri antara lain beragamnya bangsa Eropa yang bermukim di sana—berbeda dengan di Jawa yang didominasi oleh orang-orang Belanda—dan pergundikan yang berkembang secara ekstensif hingga abad ke-20. Selain itu, sabuk ini terkenal karena tingginya tingkat kekerasan yang dialami para pekerja perkebunan. Di lokasi tersebut pula terjadi diskriminasi sosial yang dianggap paling tinggi di Hindia Belanda. Dengan kata lain, komunitas tersebut berwatak amat rasis.55 Salah satu ciri dari komunitas sabuk perkebunan Deli tadi ialah pergundikan yang berkembang luas. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan keadaan tersebut adalah peraturan tentang perkawinan yang diberlakukan terhadap para pekerja perkebunan. Para asisten administrator dilarang menikah sebelum masa kerja enam tahun. Kondisi kerja yang keras dianggap tidak baik bagi perempuan Eropa. Selain itu, laki-laki harus bisa bekerja secara bebas terkait
55
Stoler, Carnal Knowledge, 26.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan situasi kerja di hutan. Tanpa keluarga, mereka pun bisa digaji lebih murah dan akan bekerja lebih keras.56 Alasan di balik pengaturan perkawinan bagi para pekerja perkebunan tidak terhenti di situ. Menurut Stoler, larangan menikah tersebut diterapkan untuk mencegah munculnya golongan proletariat Eropa di Deli. Pilihan pergundikan dengan perempuan Jawa lebih disukai karena hanya memberikan beban finansial ringan pada staf golongan rendah dan membantu para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan adat kebiasaan setempat dengan cepat. Dengan menolak mempekerjakan lelaki yang telah menikah, para pengelola sabuk perkebunan ini sekaligus mengesahkan sistem pergundikan yang telah begitu lazim ditemukan di Jawa.57 Larangan perkawinan ini mulai dihentikan pada 1922 dan para pekerja didorong untuk hidup dengan nyai. Nyai bisa berasal dari kalangan kuli perempuan ataupun perempuan Jepang yang diambil dari pelacuran.58 Pernyaian dianggap memberikan berbagai keuntungan bagi para pekerja perkebunan. Nyai bisa memberikan perasaan nyaman dan betah bagi para pekerja tersebut. Namun, ini tidak disertai dengan tuntutan afektif dan finansial. Selain itu, mereka bisa menjadi tempat penyaluran kebutuhan biologis. Nyai juga bertanggung jawab untuk mencegah kehamilan ataupun mengasuh anak-anak yang dilahirkannya.59
56
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35. Stoler, Carnal Knowledge, 29. 58 Dalam hal ini, perempuan Jepang lebih dihargai karena mereka dibeli dari rumah pelacuran di Singapura ataupun didatangkan langsung dari Jepang. Lihat Locher-Scholten, “The Nyai in Colonial Deli,” 271. 59 Hellwig, Adjustment and Discontent, 35. 57
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.2. Pergundikan di barak Menurut Tineke Hellwig, pergundikan di barak merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Serdadu merupakan komponen komunitas Eropa terbesar dalam pemukiman Belanda di Indonesia.60 Hingga 1895 kalangan militer membentuk separuh atau lebih dari keseluruhan kaum laki-laki berkebangsaan Eropa di Hindia Belanda. Sekitar 1850-an, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist mengajukan keberatannya terhadap pergundikan di barak. Hal ini dieksplisitkan dengan meniadakan kenaikan pangkat bagi para tentara yang memelihara nyai. Kendati demikian, hingga 1870-an, pemerintah Hindia Belanda masih “menyatakan persetujuan bagi perkawinan di bawah syarat-syarat yang sangat terbatas.”61 Konsekuensinya jelas: serdadu yang tidak bisa memenuhi kebutuhan seksualnya dalam institusi perkawinan harus mencari cara lain. Alternatifnya, hidup dengan gundik atau mengunjungi rumah pelacuran. Antara tahun 1888 hingga 1911 persentase tentara yang tinggal bersama gundik tetap yakni 22 persen.62 Sama halnya dengan di perkebunan, pernyaian di barak memberikan sejumlah keuntungan. Tentara akan menjauhi pelacuran dan ini berarti mengurangi faktor risiko terjangkit penyakit menular seksual. Oleh karena itu, pergundikan dianggap mendukung stabilnya semangat tempur para tentara. Selain itu, diyakini bahwa dengan adanya anak dan istri di dekatnya, disiplin dan ketertiban akan menghilang dari barak. Serdadu yang lajang juga tidak perlu digaji tinggi dan tidak membutuhkan berbagai tunjangan. Karena berbagai alasan ini, tak heran apabila para pejabat teras militer mendukung pergundikan dan 60
Taylor, The Social World of Batavia, 8. Hellwig, Adjustment and Discontent, 36. 62 Hellwig, Adjustment and Discontent, 37. 61
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menentang perkawinan sah. Demikianlah, perubahan ekonomi dan sosial secara kurun waktu sekitar peralihan abad mengubah cara hidup di Hindia. Standar moral ganda terhadap pergundikan pun diberlakukan: pergundikan diterima dan dipraktikkan sebagai kejahatan yang niscaya (necessary evil). Bagi sebagian orang, pergundikan dipandang sejajar dengan prostitusi (sama-sama relasi tidak sah secara hukum dan non-marital) dengan hanya sedikit perbedaan di antara keduanya.63
3. Tentangan terhadap pergundikan Secara umum, di Eropa pada masa itu hubungan seksual di luar pernikahan dilarang. Orang Eropa dengan moralitas Kristen-nya menjunjung tinggi pernikahan, khususnya pernikahan monogamis. Bertolak belakang dengan norma yang dipegang teguh di Eropa, kaum laki-laki di Hindia diperbolehkan/dibiarkan mencari pemuasan kebutuhan seksualnya di luar perkawinan. Ada beberapa alasan di balik sikap “permisif” tersebut. Iklim tropis serta makanan rempah disebutsebut dapat merangsang libido. Apabila hasrat seks tersebut tidak tersalurkan, akibatnya buruk, misalnya birahi tinggi, sodomi dan histeria. Jadi, pemenuhan kebutuhan seksual di luar pernikahan dianggap lebih “baik” daripada akibat buruk dari tidak tersalurnya kebutuhan biologis tersebut.64 Demikianlah prostitusi pun terus berlangsung. Pergundikan memang menjadi fenomena tersendiri di Hindia Belanda. Akan tetapi, kendati tetap berlangsung, tentangan terhadap pergundikan pun terus63 64
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38. Hellwig, Adjustment and Discontent, 33.
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menerus disuarakan, khususnya oleh kalangan gereja. Terlepas dari pro-kontra terhadapnya, pada 1908 golongan militer diizinkan menikahi gundiknya secara legal. Namun, pada 1913 peraturan itu dicabut dan sejak itu pula pergundikan di barak pelan-pelan menyurut.65 Jika dilacak ke belakang, pada 1808 Aturan mengenai Perkawinan Campur (Regeling op de Gemengde Huwelijken) mulai diberlakukan. Seorang perempuan harus berada di tempat yang sama dengan suaminya. Seorang nyai yang anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut. Ini terjadi tatkala sang ayah yang berkebangsaan Eropa mencatatkan anaknya sehingga status anak tersebut legal dan layak menyandang status sebagai orang Eropa.66 Hanneke Ming mencatat indikasi yang menandai perubahan sikap terhadap pergundikan. Gubernur Jenderal Duymaer van Twist (1851-1856) mensyaratkan rekaman rahasia tentang tentara tingkat rendah dan tinggi. Rekaman itu harus memuat catatan apakah para tentara tersebut tinggal dengan gundik (mistress) atau tidak. Status “sipil” mereka ini akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk kenaikan pangkat.67 Kendati demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan, hingga akhir perempat abad ke-19 separuh dari jumlah lelaki Eropa di Hindia Belanda masih tetap tinggal dengan gundik. Setelah 1890 fenomena pergundikan baru menurun. Hal itu pun diikuti dengan meningkatnya prostitusi. Mereka yang masih hidup dengan nyai berusaha untuk tidak menonjol, misalnya tidak menampakkan diri bersama-sama di depan publik. 65
Hellwig, Adjustment and Discontent, 37. Hellwig, Adjustment and Discontent, 36. 67 Ming, “Barracks-Concubinage,” 70. 66
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di kalangan para pegawai non-komisi dan golongan rendah, tingkat abstinensi lebih merupakan “persoalan kecenderungan alami dan terkait kondisi keuangan alih-alih standar-standar moral.”68 Aturan Jenderal (General Order) Nomor 62/1872 memberikan persetujuan terhadap pernikahan hanya di bawah kondisi-kondisi yang sangat terbatas. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa jika seorang tentara tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya dalam perkawinan, dia harus mencari pemuasan di luar institusi tersebut. Dia bisa mengambil seorang gundik atau mengunjungi rumah bordil.69 Namun, dalam kenyataannya tentara yang berpenghasilan tinggi baru mampu menghidupi gundik.70
3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak Perubahan sikap terhadap pergundikan dari persetujuan resmi ke ketidaksetujuan, serta penghapusan pergundikan di barak secara perlahan-lahan, bisa disimak dalam surat-menyurat antara para administrator/petinggi di Belanda dan Hindia.71
3.1.1. Di Belanda Pada 30 Juni 1887 Menteri Jajahan Sprenger van Eyk meminta nasihat dari bagian administrasi Hindia tentang bagaimana mempengaruhi kondisi hidup di barak. Getuigen en Redden, sebuah badan dari Liga Belanda melawan Prostitusi, memberitakan tentang kehidupan domestik di barak sebagaimana diungkapkan
68
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70. Ming, “Barracks-Concubinage,” 70. 70 Ming, “Barracks-Concubinage,” 71. 71 Ming, “Barracks-Concubinage,” 79. 69
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mantan misionaris E. Haan bahwa “barak-barak ini, setidaknya di Batavia, tidak bisa dibedakan dari rumah bordil”.72 Pada 1888 salah seorang anggota parlemen, Franciscus van Vlijmen, mengangkat isu ini hingga ke Dewan Kedua (Tweede Kamer). Menteri untuk Daerah Koloni Levinus Keuchenius menyimpulkan bahwa “persetujuan bagi pergundikan secara fundamental jahat, dan oleh karena itu, sudah diputuskan untuk menghapus institusi tersebut secara perlahan-lahan.”73 Hal ini kemudian diikuti pendirian partisi di barak untuk menciptakan privasi bagi pasangan kohabitasi. Pada November 1896, van Vlijmen sekali lagi mengutuk institusi tersebut di depan Dewan Kedua dan pada 1903, ia mengajukan proposal dengan menetapkan tanggal pasti sebagai batas waktu larangan kohabitasi. Setelah waktu tersebut tentara baru yang tiba di Hindia tak lagi diizinkan berkohabitasi. Namun, proposal ini ditolak karena Menteri takut akan meningkatnya perkawinan yang nantinya bisa menggerogoti semangat tempur para tentara.74 Pada 1904 Dr. Adriaanse, salah satu penentang pergundikan di Hindia, mengajukan usulan tentang perubahan hukum. Keberadaan seorang anak dari hubungan lelaki Eropa dan nyai hanya akan sah jika ayahnya mau menikahi sang ibu. Namun, usulan ini ditolak karena dianggap tidak praktis. Salah satu anggota Dewan Kedua lainnya, de Waal Malefijt menentang pergundikan karena alasan
72
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79. Ming, “Barracks-Concubinage,” 79. 74 Ming, “Barracks-Concubinage,” 80. 73
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
religius. Dengan adanya berbagai pertimbangan semacam ini, pengaturan perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan.75 Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal– meskipun dia pribumi–dan gundik ditekankan dengan tegas. Gundik hanyalah pelayan/pembantu (servant) dan tidak lebih dari itu.76 Hanneke Ming menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul keinginan untuk menghapuskan pergundikan barak secara total. Salah seorang anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda makin tegas. Pernikahan harus didukung. Memang kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, pemerintah sudah bersiap-siap mendukung kebijakan ini dengan syarat beban anggaran tidak berlebihan.77 Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi (noncommissioned officer). Kendati, persiapan untuk perumahan tersebut belum memadai, langkah awal sudah diambil, yakni dengan menghapus pergundikan bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di Dewan Kedua berkenaan dengan kemungkinan pengelakan larangan terhadap pergundikan.
3.1.2 Di Hindia Belanda Meskipun terjadi peningkatan “Eropanisasi” dalam hubungan sosial di Hindia, sikap terhadap perilaku seksual tetap relatif toleran, setidaknya yang 75
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80. Ming, “Barracks-Concubinage,” 80. 77 Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. 76
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terkait dengan lelaki Eropa. Baik rezim di Hindia dan Komando Tinggi Tentara/Angkatan Darat (army) memandang pergundikan sebagai sebentuk kejahatan yang tak terelakkan dengan tekanan pada “tak terelakkan”. Sementara itu, para penentangnya di Den Haag menekankan setajam mungkin pada “kejahatan” (evil).78 Salah satu penentang pergundikan di Hindia ialah Uskup Batavia (1887) yang menyatakan bahwa pergundikan tidak lolos uji dari prinsip-prinsip moralitas Kristen yang baik. Pada 1894 Liga Pemuda Milter Kristen (League of Christian Military Youth) menyatakan bahwa hubungan kohabitasi antara lelaki Eropa dan perempun pribumi jelas-jelas ditandai oleh karakter tuan-budak yang eksploitatif. Mereka mengecam keras standar ganda dari Komando Tinggi Angkatan Darat: di satu sisi standar tersebut menghargai perempuan yang memiliki “kelakuan yang bebas dari kesalahan/tak bercela” (irreproachable conduct), namun di sisi lain standar itu secara efektif mendefinisikan mereka sebagai sundal (whores) karena semua perempuan Jawa dianggap pantas mendapatkan julukan penghinaan ini.79 Sementara itu, Koot, editor Indies Circle of Vegetarians menyebutkan bahwa “siapapun yang tinggal dengan gundik pribumi menikmati hubungan hewani alihalih hubungan manusiawi dengannya.”80 Liga tentara Kristen untuk Hindia Timur dan Barat mengizinkan perang atau pemberantasan pergundikan di barak dengan cara menempatkan orang Eropa yang tinggal dengan gundiknya di antara orang-orang pribumi. Usulan lain tentang penempatan ini datang dari Asosiasi Pejabat Kristen Nasional (National 78
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. 80 Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. 79
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Christian Officers’ Association) yang menyetujui eliminasi perlahan-lahan pergundikan dan penempatan yang terpisah antara tentara Eropa dan pribumi.81 Pada 1904 para administrator dan pejabat tinggi militer diperingatkan akan konsekuensi berbahaya dari pergundikan bagi karier masa depan mereka. Jenderal Boetje sendiri mengatakan bahwa memang pergundikan yang dilakukan secara terbuka antara pejabat dengan gundiknya sudah jarang.82 Pergundikan sekarang hanya berlangsung secara rahasia sehingga tindakan ini tidak lagi melukai sensibilitas moral yang melingkupi masyarakat.83 Mr. Bogaardt, editor Java-Post, menolak pergundikan karena tidak Kristiani dan imoral. Dia memandang pergundikan sebagai transaksi antara dua pihak di mana lelaki bertindak sebagai pembeli dan perempuan sebagai penjual.84 Sementara itu sikap Komando Tinggi Angkatan Darat terhadap kohabitasi konsisten. Pada 1887 Komandan Angkatan Darat menyatakan pendapatnya bahwa tentara tingkat bawah tidak seharusnya didorong untuk menikah karena ini akan berbahaya bagi pelaksanaan tugas mereka. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Kepala
Korps
Kesehatan/Medis
bahwa
pergundikan
mencegah
kontak
homoseksual. Sebagian besar pejabat juga berpikiran serupa.85 Pada 1908 Komandan de Bruyn salah satunya menekankan sekali lagi pentingnya pergundikan bagi semangat tentara. Dua musuh terbesar dari semangat tempur tentara, katanya, ialah alkoholisme dan penyakit kelamin. Tampaknya para tentara yang hidup dalam pergundikan secara proporsional tidak terjangkit penyakit 81
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. 83 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 84 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 85 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 82
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menular seksual dan lebih jarang mabuk-mabukan. Hal tersebut dipandang sebagai keuntungan pergundikan barak.86 Dalam General Order Nomor 28 tahun 1908 disebutkan bahwa tentara Eropa boleh menikahi gundiknya hanya jika gundiknya berkelakuan tak bercela dan memiliki satu atau lebih anak dengannya.87 Bagaimana sikap pemerintah Hindia secara umum? Sudut pandang pemerintah Hindia sebagian besar identik dengan pimpinan militer. Pada 1889 Raad van Indies (Council of the Indies) mengungkapkan
secara
eksplisit
pemihakannya
terhadap
berlanjutnya
pergundikan barak.88 Gubernur Jenderal Rooseboom yang menjabat dari 1889 hingga 1904 memaklumkan dirinya sebagai pendukung langgengnya pergundikan. Pada 1903 ia menentang ordinansi yang diusulkan van Vlijmen karena ia melihat tidak ada cara yang lebih baik untuk membatasi penyebaran penyakit menular seksual di antara para tentara Eropa selain pergundikan.89 Commision on Pauperism, yang didirikan oleh rezim Hindia, tidak merestui pergundikan barak dari sudut pandang moral, namun menerimanya dalam praktik sebagai necessary evil. Pergundikan di luar barak dilihatnya dua kali lebih buruk.90 Hanya pada 1912 untuk pertama kalinya muncul tanda friksi yang jelas antara pandangan pemerintah dan pimpinan militer. Van Heutsz sebagai eks militer tidak keberatan terhadap institusi tersebut. Namun demikian, pada 1912 Gubernur Jenderal Idenbut (1900-1916) secara langsung menentang posisi para pimpinan angkatan darat dengan menarik larangan perkawinan dengan gundik 86
Ming, “Barracks-Concubinage,” 84. Ming, “Barracks-Concubinage,” 85. 88 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 89 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 90 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 87
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanpa anak. Hal ini diikuti pernyataan tentang pergundikan barak dan keputusan untuk menghapuskannya secara perlahan-lahan pada 1913.91 Pemerintah berkewajiban untuk mengatur kelakuan perwakilannya untuk tidak melanggar prinsip dasar moralitas sebagaimana dimanifestasikan dalam hukum dan opini publik. Alih-alih mencegah (berlakunya moral tersebut), pemerintah telah bertindak untuk melindungi kejahatan moral ini—beserta konsekuensinya juga secara sosial—dan dengan menyatakan bahwa hal itu telah menggerogoti kesadaran moral masyarakat luas. Oleh karena itu pergundikan di barak tidak dapat didukung untuk jangka panjang, dan secara perlahan-lahan harus lenyap.92 Pada 1919 Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengumumkan secara publik pengahapusan total pergundikan di barak. Salah satu argumen yang diajukan untuk membuat penghapusan tersebut diterima dan dipahami ialah fakta bahwa apa yang disebut milisi Eropa akan dibentuk/dilembagakan. Karena ini berarti makin besar kontak antara kalangan militer dan masyarakat sipil, apa yang dikutuk oleh masyarakat tidak bisa ditolerir lagi secara terbuka di kalangan militer.93 Bagaimana sikap dari kalangan pribumi sendiri? Menurut Koks, pada masa Coen kaum pribumi enggan/keberatan mengizinkan putrinya memiliki kontak sosial dengan orang Eropa, kecuali lelaki Eropa tersebut menjalankan tugas militer. Buktinya, tidak ada perubahan nyata dalam sikap ini setelahnya. Posisi sosial orang Eropa dan tempat asal kaum pribumi tampaknya berperan dalam menentukan sikap terkait dengan pernikahan campuran atau kohabitasi. 91
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 93 Ming, “Barracks-Concubinage,” 87. 92
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya menikah dengan orang Eropa.94 Sebagaimana disebutkan Ming pada 1919 muncul penolakan langsung dari kalangan pribumi terhadap pergundikan. Dr. Cipto Mangunkusumo, misalnya, menulis bahwa seorang perempuan pribumi tidak seharusnya menjadi “pelayan ekstra” (extraordinary maidservant) alias gundik dan pantas melewati hariharinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak yang baik.”95
4. Berakhirnya pernyaian Menurut Ann Laura Stoler, hingga 1920 di wilayah Malaya pergundikan ditolerir karena golongan kulit putih yang miskin (poor whites) tidak bisa diterima. Prestise orang kulit putih dianggap akan terancam apabila lelaki kulit putih menjadi miskin karena mempertahankan gaya hidup kelas menengah Eropa beserta istri dari ras yang sama. Sementara itu, hal yang sebaliknya justru terjadi di Jawa. Pada akhir abad ke-19 pergundikan dianggap sebagai sumber kemiskinan golongan kulit putih (white pauperism).96 Oleh karena itu, menurut Stoler, perubahan kebijakan dan praktik pergundikan itu bersesuaian dengan “afirmasi hierarki sosial dan divisi rasial” yang bersifat ambigu. Faktor yang mendukung prestise itu elastis: pada suatu saat pergundikan secara sosial diterima dan
94
Ming, “Barracks-Concubinage,” 88. Ming, “Barracks-Concubinage,” 89. 96 Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam Stoler, “Making Empire Respectable,” 378. 95
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
didukung secara sosial, namun pada waktu lain dianggap menjadi ancaman politis.97 Sebagaimana dicatat Hellwig, antara 1890-1920 terjadi peningkatan migrasi yang cukup tinggi: laki-laki sebanyak dua ratus persen, perempuan tiga ratus persen. Salah satu efek dari tingginya migrasi itu adalah percepatan Eropanisasi masyarakat Indis yang membuat kaum Indo lantas risih dengan darah campurannya.98 Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Stoler juga menyebutkan bahwa kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran di awal abad ke-20 pada gilirannya membawa tuntutan perubahan bagi komunitas kulit putih untuk “menegaskan kelas/golongan mereka, meneguhkan batas-batas, dan menandai ruang sosial mereka.”99 Selama ini, para nyai dianggap telah membuat lelaki kulit putih mengadaptasi perilaku dan adat kebiasaan kaum pribumi (going native). Dengan hadirnya para perempuan Eropa keadaan ini berangsur-angsur berubah. Para perempuan kulit putih yang dianggap sebagai “puncak peradaban Barat,”100 sebaliknya, memperjelas hegemoni kulit putih dan dengan demikian mempurifikasi kehidupan golongan Eropa di Hindia Belanda. Sebagaimana Hellwig dan Stoler, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa pada akhir abad ke-19 jumlah perempuan Eropa meningkat dan masyarakat Indis semakin totok.101 Memang setelah 1890, pergundikan menyurut. Namun, hal ini diikuti dengan maraknya prostitusi. Ming juga mencatat bahwa pada perempat abad ke-19, golongan Kristen makin berperan dalam kehidupan sekular lewat 97
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379. Hellwig, Adjustment and Discontent, 38. 99 Stoler, “Making Empire Respectable,” 379. 100 Hellwig, Adjustment and Discontent, 38. 101 Ming, “Barracks-Concubinage,” 92. 98
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbagai saluran politiknya dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, golongan Kristen yang kontra pernyaian turut memberi tekanan pada pelaku pergundikan.102 Sementara itu, pada 1902 pemerintah menunjuk Commission on Pauperism untuk menginvestigasi kemiskinan golongan Indo.103 Komisi ini menjadi waspada akan pertumbuhan golongan Indo-Eropa karena kemelaratan mereka karena hal tersebut akhirnya menimbulkan serangkaian konsekuensi politik dan finansial terhadap pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itulah, mereka berupaya untuk mempertahankan jumlah golongan Indo sekecil mungkin. Perlahan-lahan pemerintah kolonial bersiap-siap secara finansial untuk mengurangi pergundikan. Salah satunya ialah dengan menaikkan gaji para pegawai nonkomisi (non commissioned officer) supaya posisi mereka lebih baik dan bisa menikah. Sebagaimana disebutkan Ming, dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa pemerintah kolonial mengantisipasi perkawinan dengan perempuan Eropa dan bukan dengan nyai. Nyai dari kalangan pribumi kebutuhannya lebih sedikit. Sementara itu, perempuan Eropa memiliki standar materi maupun moral lebih tinggi.104 Kendati selama kurun waktu tertentu pemerintah Hindia Belanda mentolerir dan melindungi pergundikan, baik nyai maupun anaknya tidak pernah dijamin keamanannya dalam bentuk apapun. Padahal, semangat tempur para tentara Hindia bersandar pada perempuan pribumi dan anak-anak tersebut.105
102
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92. Hellwig, Adjustment and Discontent, 38. 104 Ming, “Barracks-Concubinage,” 71. 105 Ming, “Barracks-Concubinage,” 93. 103
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III KONTEKS SASTRA MASA KOLONIAL Bahasa Melayu, yang selanjutnya disebut bahasa Indonesia, pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan di Nusantara pada tahun 1928 lewat Sumpah Pemuda. Namun, seringkali tidak disadari bahwa bahasa tersebut mengalami proses yang tidak sederhana untuk menjadi bahasa sebuah bangsa seperti yang kita kenal saat ini. Cikal-bakal bahasa Melayu tersebut tidak dapat dipisahkan dari serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Pemerintah kolonial secara sengaja menjalankan politik bahasa untuk mempertahankan kepentingan politisnya. Salah satu turunan dari politik bahasa tersebut ialah dipopulerkannya apa yang disebut bahasa Melayu Tinggi kepada masyarakat pribumi. Di antaranya melalui karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka. Sementara itu, bahasa yang menghubungkan pelbagai orang dari suku bangsa dan etnis serta dipakai dalam percakapan sehari-hari, yakni bahasa Melayu yang sering disebut Melayu Rendah, justru perlahan-lahan disingkirkan. Konsekuensi dari hal tersebut produk-produk budaya yang menggunakan medium bahasa tersebut juga termarjinalkan, termasuk di dalamnya karya sastra Melayu Rendah. Bab ini mencoba memberikan konteks dinamika bahasa Melayu Rendah, bahasa yang digunakan dalam ceritacerita nyai yang dikaji dalam penelitian ini serta politik bahasa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial terkait dengan marjinalisasi karya sastra Melayu Rendah.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Bahasa dan karya sastra Melayu Rendah Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab 1, ada begitu banyak karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang ditulis pada abad ke-19 dan ke-20. Bagian ini akan coba menguraikan bahasa Melayu Rendah, mulai dari perdebatan sekitar istilah “Melayu Rendah” itu sendiri, peran bahasa Melayu Rendah dalam munculnya pers di Nusantara dan karya sastra yang dimuat di dalamnya, perkembangan sastra Melayu Rendah dan “cerita nyai” sebagai salah satu genre yang mewarnai khazanah sastra tersebut.
1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah Ada berbagai istilah yang dipakai untuk merujuk bahasa Melayu Rendah. Yang pertama ialah bahasa Melayu Pasar. Menurut Jakob Sumarjo, digunakannya istilah ini kiranya menunjukkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan dagang antaretnis dan antarbangsa di kota-kota niaga di Nusantara.106 Memang sejak abad ke-17 berbagai pusat niaga dan pemerintahan— sejak zaman VOC hingga kemudian zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda—menjadi tempat bertemunya berbagai kalangan: orang-orang Eropa (terutama Belanda), golongan Indo, orang-orang Cina dan peranakannya, serta kaum pribumi. Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar untuk antologi cerita yang ditulis dalam bahasa Melayu jenis ini menyebutnya sebagai Melayu lingua franca atau Melayu pra-Indonesia. Menurut Pram, bahasa ini “bukan bahasa Melayu 106
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 20.
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
baku, tetapi Melayu yang terjadi karena pertemuan antara berbagai bangsa dan suku di Nusantara, yang pada mulanya hanya dipergunakan secara lisan.”107 Melayu lingua franca, menurutnya, merupakan fenomena tunggal di Asia Tenggara karena dipergunakan dan dikembangkan oleh orang-orang asing sewaktu memasuki Nusantara dari Malaka sebagai pangkalan. Bahasa ini secara efektif memerantarai penyebaran berbagai agama di Nusantara. Para mubalig asing mempergunakannya untuk menyebarkan Islam. Dari pangkalan Malaka juga, bangsa Portugis memanfaatkannya untuk meletakkan dasar kekuasaan dan Gereja Katolik Roma di Nusantara bagian timur, serta memakainya sebagai bahasa kekuasaan dan administrasi. Tak heran jika kemudian bahasa setempat justru terdesak menjadi “bahasa tanah”. Sebagai gantinya, bahasa Melayu Maluku menjadi bahasa gereja dan pergaulan umum.108 Pemakaian bahasa Melayu ini terus berlanjut. Baik Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris di Malaka pun turut menggunakannya. Disebut oleh orang Belanda sebagai “brabbel Maleisch”, ironisnya, ia justru dipakai sebagai bahasa resmi Kompeni Belanda dan pemerintah kolonial setelahnya berabad-abad lamanya hingga pada awal abad ke-20 ketika gagasan membakukan bahasa Melayu yang sudah mewacana sejak 1850-an mulai diwujudkan. Oleh sementara pihak, bahasa Melayu tersebut juga disebut “Melayu Tionghoa.” Claudine Salmon, seorang peneliti yang melakukan penelusuran terhadap khazanah sastra Melayu di Nusantara, mengatakan bahwa ketika muncul
107
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9. 108 Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sastra dan persuratkabaran dalam bahasa Melayu, istilah “Melayu Tionghoa” sama sekali tidak pernah ditemukan. Sebaliknya, pengarang-pengarang itu menganggap diri menulis dalam bahasa yang umum digunakan di Jawa. Oleh beberapa pihak, bahasa yang dimaksud ini disebut bahasa Melayu rendah.109 Dari penelitiannya terhadap berbagai polemik mengenai bahasa ini, Salmon menyimpulkan bahwa “tidak terdapat ‘Bahasa Melayu Tionghoa’ yang sebenarnya, melainkan sesungguhnya suatu bahasa Melayu yang dipergunakan di kota-kota di Jawa, oleh semua suku bangsa, baik itu orang-orang Jawa dan Belanda maupun orang-orang Tionghoa.”110 Menurutnya, bahasa tersebut berbeda dengan bahasa Melayu Sumatra yang pelan-pelan diperkenalkan oleh para pejabat Balai Pustaka. Memang, bahasa Melayu versi Sumatra ini kemudian memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Lantas, bagaimana sebutan ini berubah menjadi “Melayu Tionghoa”? Hal ini terkait erat dengan masalah politik. Menurut Salmon, manakala alergi-alergi politik telah memperlebar jurang antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Tionghoa, sesuatu yang tidak dijumpai pada akhir abad ke-19 maupun awal abad ke-20, mulailah “ditempa dan disebarluaskan istilah bahasa Melayu Tionghoa dengan arti buruk, untuk menyebut suatu bahasa yang relatif kuno dan yang
109
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Henri Chambert-Loir, et. al. (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 99. 110 Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”, 99.
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sesungguhnya dipergunakan oleh semua orang di Jawa hingga menjelang tahuntahun 1920-an.”111 Hal senada dikemukakan Dede Oetomo. Istilah “Melayu Cina”, menurutnya, tidaklah tepat. Mungkin memang ada kontinuitas antara “Melayu Cina” dan bahasa Indonesia modern, khususnya karena “Melayu Cina” juga digunakan dalam wacana tulis orang-orang dari kelompok etnis lainnya selain kalangan Cina pada masa kolonial dan juga setelah masa kemerdekaan.112 Ia menyebutkan bahwa dalam sejumlah literatur yang bisa meralat mitos “Melayu Cina,” dua fakta selalu diketengahkan. Pertama, bahasa sehari-hari orang Cina yang berbahasa Melayu berbeda dialeknya dari daerah satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa ada satu dialek Melayu yang dipakai orang Cina di manapun di seluruh Nusantara. Kedua, dialek lokal orang Cina yang berbahasa Melayu dengan pewicara Melayu lokal lainnya hanya berbeda sedikit (kendati hal tersebut masih perlu diteliti secara empiris).113 Sebagai gantinya, ia cenderung menggunakan istilah “Melayu praIndonesia" (pre-Indonesian Malay/PIM) yang dibedakan dari Melayu/Indonesia standar (standard Malay[SM]/Indonesian). Dari penelusuran terhadap fonologi, ortografi,
morfologi,
sintaksis,
kosakata
Melayu
pra-Indonesia,
Dede
menyimpulkan bahwa jika kita mempertimbangkan eksistensi kata-kata pinjaman, kita mungkin bisa mengatakan bahwa terdapat subdialek dalam bahasa Melayu
111
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”,
109.
112
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 55. 113 Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 55.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pra-Indonesia. Ini dalam artian bahwa pengarang dari etnis Cina cenderung menaburi bahasa Melayunya dengan kosakata pinjaman dari Cina Hokkien. Hanya dalam konteks inilah seseorang bisa mengatakan “Melayu Cina” atau subdialek Cina dari Melayu pra-Indonesia.114 Apa yang secara salah kaprah disebut “Melayu-Cina” secara struktural dan dalam penggunaan bahasa formal hanyalah ragam Melayu/Indonesia (PIM) yang digunakan secara luas oleh kaum borjuis di pusat-pusat perkotaan kolonial.115 Agak berbeda dengan apa yang diungkapkan Claudine Salmon dan Dede Oetomo, Jakob Sumardjo mengemukakan bahwa istilah bahasa Melayu Rendah digunakan secara sadar oleh para penulisnya sejak awal lahirnya sastra ini. Penggunaan istilah “Melayu Tionghoa” atau “Melayu Cina” pada 1920-an dipengaruhi oleh Sumpah Pemuda di kalangan pribumi yang lalu secara sadar mengembangkan bahasa nasionalnya sendiri. Sejak itulah, bahasa Melayu Rendah dipakai hanya di kalangan terbatas, yakni kalangan Tionghoa saja.116 Dalam penelitian ini, saya sendiri akan menggunakan istilah “Melayu Rendah” karena beberapa alasan. Pertama, istilah “Melayu Rendah” di sini saya maksudkan sebagai seluruh dialek Melayu yang dipakai di Nusantara pada masa kolonial—periode ketika karya-karya sastra yang saya teliti ditulis. Kedua, istilah “Melayu Rendah” yang sering disebut “brabbel Maleisch” atau “Laag Maleisch”
114
Tidak terhenti di situ Dede Oetomo melanjutkan, “Tapi, lalu mungkin seseorang juga harus menyebut “Melayu Jawa” atau “Melayu Arab” sebagai subdialek karena kelompok ini jug meminjam kosakata dari bahasa asli mereka.” Dalam Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 64. 115 Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 64. 116 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 2.
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini tetap saya pakai untuk menunjukkan suatu ironi bahwa bahasa inilah yang justru menjadi bahasa administrasi dan bahasa yang dipakai dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan pelbagai unsur masyarakat kolonial kala itu. Mewujud sebagai bahasa komunikasi (verkertaal), bahasa Melayu Rendah menyimpan aneka potensi tersembunyi di antaranya karena digunakan dalam dunia pers, baik yang dijalankan oleh orang Tionghoa maupun pribumi dan juga, yang tak boleh dilupakan, dalam dunia sastra. Karena alasan inilah pemerintah Hindia Belanda kemudian merasa perlu untuk melakukan sensor terhadap bahasa yang “tidak murni” dan “tidak benar” ini, yang salah satunya dilembagakan lewat pendirian Balai Pustaka, dan di kemudian hari pembakuan bahasa Melayu, yakni Melayu Tinggi yang konon berakar di Riau, jantung kebudayaan Melayu.
1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar Kelahiran karya sastra Melayu Rendah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pers dan penerbitan berkala yang mulai tumbuh pada akhir abad ke19. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain karena para penulis cerita pada masa itu umumnya menampilkan karyanya melalui surat kabar.117 Kelahiran pers yang dijalankan oleh pihak swasta berawal dari pemberlakuan Regulasi Pers Tahun 1856. Dalam aturan itu disebutkan bahwa, “Pengawasan atas Pers dalam negeri dan pers yang masuk dari luar dihilangkan kecuali mengganggu ketertiban
117
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 8.
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
umum.”
118
Hal ini merupakan efek dari bergulirnya paham liberal di daratan
Eropa yang lantas juga menjalar ke daerah-daerah jajahan. Cikal bakal pers berbahasa Melayu Rendah dimulai pada 1858 dengan terbitnya Soerat Kabar Batawi’s yang dicetak dalam bahasa Latin dan Arab (Rumi dan Jawi). Terbit setiap hari Sabtu, surat kabar ini selain memuat hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan juga menampilkan kisah-kisah dari Hikayat Seribu Satu Malam dan hikayat Melayu. Para khalayak pembacanya terutama kaum priyayi rendah dan guru sekolah.119 Periode 1885 hingga 1860 bisa dikatakan sebagai masa awal tumbuhnya pers Indonesia. Akan tetapi, penerbitan ini kebanyakan masih dimodali dan dikelola oleh orang-orang Belanda. Penerbitan tersebut antara lain muncul di Surakarta, Jakarta dan Surabaya. Di dalam penerbitan ini bentuk-bentuk pengucapan sastra modern berupa cerita pendek dan penceritaan kembali kisahkisah lama dalam bahasa prosa Melayu sudah mulai tampak.120 Sayangnya, penerbitan ini umumnya hanya bertahan satu hingga dua tahun saja karena kurangnya peminat. Setelah periode tersebut, yakni 1860 sampai 1869, dunia penerbitan memasuki masa konsolidasi. Ini ditandai dengan terbitnya berbagai surat kabar di berbagai kota dagang seperti Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timor (Surabaya, 1862), Bintang Timur (Medan, 1865), Djoroemartani
118
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 16. 119 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 17. 120 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 18.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Surakarta, 1864), Bianglala (Depok, 1867), Matahari dan Bintang Barat (Jakarta), Tjahaya Siang (Tondano, 1868) dan berkembangnya pers di Hindia pada kurun waktu sesudahnya. Penerbitan ini umumnya masih dibiayai oleh orang Belanda dan Inggris. Para pembaca yang disasar sebagai audiens ialah golongan tentara dan priyayi. Media penerbitan pada masa tersebut menampilkan karya sastra yang kian beragam—cerita pendek, hikayat lama, syair dan pantun, baik epik maupun lirik.121 Periode 1880-an dan tahun-tahun sesudahnya menyaksikan pertumbuhan pers yang makin signifikan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari menguatnya kaum Indo-Belanda dalam dunia penerbitan. Sebagaimana diungkapkan Jakob Sumardjo, kaum Indo yang secara demografis jumlahnya lebih besar dari golongan Belanda tak mungkin bersaing dalam penerbitan pers. Oleh sebab itu, mereka yang menguasai bahasa Belanda dan Melayu Rendah sekaligus akhirnya memilih bergerak dalam pers berbahasa Melayu Rendah. Akibatnya, muncullah karya terjemahan dan saduran roman dan karya sastra Eropa ke dalam bahasa Melayu Rendah dalam penerbitan pada periode tersebut. Ini bisa disaksikan dalam terjemahan Pont Jest L’Araigne Rouge karya penulis Perancis oleh wartawan Indo EF Wiggers pada tahun 1874. Karya tersebut diberi judul Lawah-lawah Merah. Karya terkenal lainnya, Hikayat Robinson Crusoe, karya Daniel Defoe diterjemahkan oleh AF von de Wall. Peranan golongan Tionghoa juga signifikan dalam dunia pers berbahasa Melayu Rendah. Memasuki dunia penerbitan mulai 1890-an, golongan Tionghoa 121
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 18.
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
turut memperkuat keberadaan pers bahkan hingga jatuhnya kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1942. Mulai periode itu, kaum Peranakan Tionghoa mulai memiliki penerbitan sendiri. Menurut Pram, itu berarti mereka “lebih punya kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri.”122 Namun, patut dicatat bahwa kebebasan pers sebelum tahun 1906 belumlah sepenuhnya. Sementara itu, pers pribumi sendiri mulai lahir setelah tahun 1900. Medan Prijaji yang lahir pada 1906 di Bogor, Bandung dan Betawi serta dikomandoi oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo patut disebut sebagai tonggak pers nasional. Dengan munculnya golongan Tionghoa dan pribumi dalam kancah penerbitan, peranan golongan Indo perlahan-lahan menyurut.
1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya Karya sastra Melayu Rendah yang muncul pertama kalinya ialah terjemahan dari khazanah sastra Eropa. Dari sinilah khalayak pembaca sastra di Hindia Belanda berkenalan dengan bentuk-bentuk sastra modern. Ini tepatnya terjadi sekitar 1870-an. Memang sekitar 1850-an dalam penerbitan berkala sudah muncul berbagai bentuk penceritaan kembali kisah-kisah rakyat di Nusantara maupun karya sastra Arab. Penceritaan kembali ini menggunakan bahasa Jawa dan Melayu Rendah. Salah satu karya awal ialah Raja Pirangon karya T. Roorda (1844) yang berkisah tentang Firaun dan karya anonim Angling Darma (1853).123
122
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 8. 123 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 24.
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penceritaan kembali kisah rakyat populer ke dalam bahasa Melayu Rendah mengemuka pada tahun 1859.124 Ini ditandai dengan penerbitan Bagaej-bagaej Tjerita di Batavia dan juga Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah itoe Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita (1862) karya JGF Riedel di Ujung Pandang. Pada saat yang bersamaan, jenis karya berupa penceritaan kembali ini pun muncul sebagai cerita bersambung dalam terbitan pers.125 Bagaimana dengan bacaan yang dikonsumsi oleh pembaca peranakan Tionghoa? Rupanya mereka pun mengkonsumsi bacaan dari jenis yang serupa. Akan tetapi, cerita yang diambil berasal dari kisah klasik Cina seperti Sam Kok yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada 1859. Barulah pada 1880-an kisah ini muncul juga dalam bahasa Melayu Rendah.126 Dari penceritaan kembali, bentuk karya sastra pada masa itu beralih ke karya terjemahan. Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu pada tahun 1857 terbit Lawah-Lawah Merah yang diterjemahkan dari sebuah novel Perancis dan Hikayat Robinson Crusoe dari novel Inggris. Sementara di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa, terbit terjemahan Tjerita Daholoe Kala di Benoea Tjina Tersalin dari Tjeritaan Boekoe Sam Kok (1883) sebanyak 12 jilid dan Tjerita Dahoeloe Kala Lamijoe Wa-kong jaitu Wa-kong Poenya Mata Bertamba Satoe di mana Tengah Djidatnya, Djadi Tiga Matanja maka di mana Oedara atawa Boemi jika Ada Beroepa Barang jang Baik atawa Tidak Baik Dia Bole Dapat Tahoe
124
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 24. 125 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 25. 126 G. Schlegel sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 25.
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(1884).
Claudine
Salmon,
sebagaimana
dikutip
oleh
Jakob
Sumardjo,
menyebutkan setelah tahun tersebut 759 karya Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah.127 Terkait dengan pemecahan cerita ke dalam beberapa jilid, menarik jika kita menyimak apa yang dipaparkan oleh Noe Joe Lan. Menurutnya, penerbitan cerita dengan jilid yang bersambung-sambung ini oleh penerbitan Belanda maupun Tionghoa berhubungan dengan “politik penjualan” atau siasat dagang. Untuk masing-masing jilid harganya berkisar antara f 0,5 hingga f 2,50.128 Jadi, pembaca tidak merasa kaget jika mengeluarkan uangnya untuk masing-masing jilid tersebut sedikit demi sedikit. Secara ringkas bisa dirangkum bahwa tumbuhnya karya terjemahan pertama-tama diawali oleh orang Belanda dan Indo pada 1870-an dan kemudian orang Cina dan peranakan pada 1880-an. Ini lantas disusul oleh golongan pribumi pada 1890-an. Selama tiga dasawarsa inilah landasan bagi lahirnya karya sastra modern di tanah Hindia Belanda mulai diletakkan. Terbukti dengan terbitnya Njai Dasima (1896) yang ditulis oleh G. Francis dan kumpulan tiga cerita pendek (1897) oleh penulis anonim.129 Terbitnya karya ini disusul oleh berbagai karya lain yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada tahun-tahun selanjutnya. Menurut Pramoedya
127
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004),27. 128 Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa (Djakarta: PT Gunung Agung, 1962), 22. 129 Menurut Jakob Sumardjo, kemungkinan besar pengarang anonim tersebut berasal dari kalangan Tionghoa. Selain itu, menurut WV Skykorsky, di Perpus Uni Soviet sebenarnya masih ada karya yang lebih tua, yaitu Hikajat Roh Manoesia (A. Rogensburg, 1893) dan Boekoe Komidi Terpake bagi Komidi Stambul (H. Kraff, 1893). Dalam Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 27 dan 29.
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ananta Toer, di dalam karya yang disebutnya sebagai karya sastra Melayu asimilatif itu sudah terkandung pernyataan diri pribadi (self expression). Inilah ciri yang membedakannya dengan sastra tradisional-konvensional lama.130 Para penulisnya berasal dari berbagai kalangan, yakni orang Eropa dan Indo, orang Tionghoa dan peranakannya, serta kaum pribumi. Umumnya para penulis karya sastra tersebut adalah wartawan. Seperti dikemukakan Claudine Salmon, karya mereka dibaca oleh publik yang beraneka ragam sehingga mereka ikut mempersatukan bahasa Melayu yang dipakai di Jawa.131 Pada periode 1890-an, golongan Belanda dan Indo yang sejak 1850 hingga 1880-an sudah aktif dalam pers dan sastra terjemahan telah melahirkan karyakarya sastra modern dengan sumber berbagai kejadian di Indonesia.132 Beberapa penulis Belanda yang patut disebut di sini antara lain H. Kommer yang pada 1900 menulis beberapa kisah nyai (Tjerita Siti Aisah, Tjerita Nji Paina, Njai Sarikem) dan Tjerita Njonja Kong Hong Nio. Selain itu ada pula F. Wiggers yang menulis Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901), novel Nona Gelatik dan Syair JavaBank Dirampok (1902) dan
novel Nji Isah (1903), serta HFR Kommer
menerbitkan karyanya berupa novel berjudul Nona Leonie (1902). Sementara itu, penulis dari kalangan pribumi antara lain FDJ Pangemanann yang menulis novelet Tjerita Si Conat (1900) dan Tjerita Rossina (1903). Salah satu penulis yang juga pionir pers pribumi ialah Raden Mas Tirto Adhisoerjo yang menulis cerita
130
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 12. 131 Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”, 107. 132 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 31.
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perboeatan Seorang Gadis Riwajat pada Masa Sekarang (1902), Doenia Percintaan, 101 Tjerita yang Soenggoeh soedah Terjadi di Tanah Priangan (1906), Menemoe Tjinta dalam Kereta Api (1903), Pertoenangan Sia-sia (1903), Mentjari Oentoeng (1903), Tjerita Njai Ratna (1909), Membeli Bini Orang (1909), Boesono (1912), Njai Permata (1912). Hadji Moekti juga mungkin bisa dimasukkan ke dalam kategori penulis pribumi meskipun ia konon berdarah campuran Indo-Eropa. Pada tahun 1912 ia menulis Hikajat Siti Mariah yang dimuat secara bersambung dalam Medan Prijaji. Para penulis yang beraliran sosialis juga turut meramaikan khazanah sastra Melayu Rendah. Di antaranya, Mas Marco Kartodikromo dengan karyanya Mata Gelap (1914), Syair Rempahrempah sebanyak lima jilid (1919), Student Hidjo (1919), Si Bejo Jurnalis Berontak (1919), R.A. Tien (1919), Rasa Merdika (1924) dan beberapa cerpen, serta Semaun dengan karyanya yang cukup terkenal Hikajat Kadiroen (1924).133 Adapun para penulis peranakan Tionghoa tak kurang produktif. Claudine Salmon mencatat ada 3.005 karya berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para penulis peranakan Tionghoa. Berbagai cerita tersebut memunculkan tema yang beragam. Persoalan cinta yang terlarang, kawin paksa, bunuh diri karena patah hati dan perkawinan antarras adalah tema umum yang mengemuka. Adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa karya sastra Melayu Rendah ini turut mempengaruhi karya Melayu Tinggi, setidaknya dalam hal tema yang ditampilkan. Siti Nurbaya,
133
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 32.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
misalnya, sering disebut sebagai roman yang bertemakan kawin paksa—sesuatu hal yang amat lazim pada masa tersebut. Menurut Jakob Sumardjo, secara umum ada beberapa fungsi karya sastra Melayu Rendah. Pertama adalah didaktis murni. Dalam cerita semacam ini, terdapat tokoh protagonis orang baik dan bertahan baik di tengah pelbagai cobaan. Kedua, karya sastra dengan standar ganda di mana terdapat protagonis jahat, biasanya nyai yang berselingkuh. Akan tetapi, fungsinya didaktis juga. Ketiga, intelektual. Cerita tersebut mengetengahkan persoalan aktual zaman dari lingkungan kaum elit zaman penjajahan, baik pribumi maupun gabungan pribumi dan Belanda.134 Terlepas dari pelbagai fungsi tersebut, karya sastra Melayu Rendah bisa digolongkan ke dalam karya sastra populer yang kehadirannya turut mewarnai dunia kesusastraan di Nusantara pada masa awal.
1.4. Cerita tentang pernyaian Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa umumnya para penulis karya sastra Melayu Rendah ini bekerja sebagai wartawan. Maka, tak heran jika realitas sastra yang ditampilkan diilhami oleh peristiwa sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang disebutkan Nio Joe Lan, realitas sastra umumnya didapatkan penulisnya dari berita-berita di surat kabar maupun catatan sidang perkara di pengadilan. Selain itu, bahan cerita juga bisa berasal dari penyelidikan yang dilakukan oleh penulisnya sendiri.135 Hal senada dikemukakan Jakob Sumardjo. Menurutnya, karena para penulis novelet atau novel tersebut 134
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 262. 135 Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa (Djakarta: PT Gunung Agung, 1962), 44.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebanyakan para wartawan dan redaktur, besar kemungkinan bahwa cerita memang berdasarkan berita-berita nyata yang diolah kembali dalam bentuk fiksi sastra.136 Terlepas dari kesesuaian realitas sastra dengan realitas sosiologis yang nyata, para penulis karya Melayu Rendah memang menggunakan siasat yang cukup provokatif untuk menarik perhatian para pembacanya. Di bagian sampul buku umumnya ditulis “soeatoe tjerita jang betoel-betoel soedah kedjadian pada tahoen di …. “ Kisah-kisah tentang nyai atau istri (tidak resmi) dari kalangan pribumi yang ditulis oleh orang Cina atau Belanda pun termasuk yang menggunakan strategi ini. Biasanya kisah nyai hadir dengan tema nyai yang meninggalkan suami Belandanya atau berselingkuh—tak jarang dengan orang pribumi. Namun, seperti dikemukakan Jakob Sumardjo, pada pengarang pribumi “sifat fiksinya lebih kuat dari sekadar merekonstruksi kejadian hebat lewat sastra.”137 Dalam hal ini pesan pengarang untuk sesuatu maksud lebih menonjol. Ini, misalnya, dapat terlihat dalam karya Tirto Adhisuryo dan Mas Marco.
2. Politik bahasa pemerintah kolonial Perdebatan mengenai bahasa apa yang bisa efektif dipakai untuk urusan administrasi maupun pendidikan di Hindia Belanda sudah mengemuka sejak 1850-an. Akan tetapi, baru pada akhir abad ke-19 dicapai kesepakatan, yakni bahasa Belanda dibatasi untuk segelintir orang saja, sementara Melayu akan
136
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 32. 137 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 33.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipakai sebagai bahasa perhubungan di Hindia Belanda.138 Dalam pelaksanaanya, keputusan itu akhirnya terkait erat dengan kepentingan-kepentingan politis. Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana pemerintah kolonial menjalankan politik bahasanya melalui pendirian Balai Pustaka dan efeknya terhadap karya sastra Melayu Rendah yang bukan diterbitkan oleh lembaga tersebut.
2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur Pada 14 Desember 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commissie voor de Inlandsche school en volkslectuur yang diketuai GAJ Hazeu. Komisi ini “didirikan untuk memproduksi dan mendistribusikan bahan bacaan bermutu dan murah untuk penduduk pribumi manakala tingkat melek huruf meningkat secara kentara sebagai akibat Politik Etis.”139 Akan tetapi, pendirian komisi tersebut tidak berhenti pada tujuan yang disebutkan di atas. Jakob Sumardjo menyebutkan, pendirian komisi ini dilakukan karena Pemerintah Hindia Belanda belajar dari kegagalan kolonisasi Inggris di India yang memberi akses terhadap pendidikan golongan pribumi namun tidak mengontrol bacaan rakyat.140 Bertumbuhnya golongan melek huruf ini memang sebagai akibat dari pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia yang untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga terdidik dalam administrasi pemerintahan dan bidang pekerjaan lainnya. Memang, lahirnya kaum cerdik cendekia ini sudah diwaspadai oleh pemerintah. Terbukti dalam memo Memorie van Toeliching yang 138 139
Maier, “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991): 73. Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992),
23.
140
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 34.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikeluarkan pada 1851 disebutkan: “Tidak perlukah orang itu dapat pimpinan di dalam perkara mencari ilmu? Tidak khawatirkah orang bahwa pengetahuan yang tidak sempurna akan menimbulkan iri hati dan pergerakan, bahkan menyebabkan orang kehilangan kesetiaannya serta mendatangkan kejahatan?”141 Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, menjelang peralihan abad ke-19 pers tumbuh subur. Pers yang dijalankan oleh golongan Indo, peranakan Cina maupun pribumi tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah, suatu bahasa yang cair dan lentur serta mudah dipahami oleh berbagai unsur masyarakat Hindia. Agaknya, ketakutan pemerintah kolonial akan “pengetahuan yang tidak sempurna yang menimbulkan pergerakan” ini benar-benar menjadi kenyataan dengan munculnya berbagai kritik terhadap pemerintah kolonial melalui pers berbahasa Melayu Rendah. Berkembangnya pers di sekitar pergantian abad ke-20 ibarat sebuah alarm yang memperingatkan pemerintah kolonial Belanda untuk lebih siaga. Oleh karena alasan inilah, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu melakukan sebentuk kontrol. Dari korespondensi antara Menteri Urusan Kolonial di Den Haag dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 2 Juni dapat diketahui hal berikut. Tindakan keras harus dikenakan terhadap ajaran revolusi rakyat melawan pemerintah Belanda, terhadap upaya yang tidak jemu-jemu untuk mendiskreditkan maksud-maksud baik Pemerintah, terhadap penyebaran kebencian dan perselisihan di antara bermacam-macam ras yang telah menjadi tatanan saat ini. Mentolerir manifestasi-manifestasinya atau menyerahkan upaya represi kepada pandangan pengadilan Hindia yang
141
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 36.
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beragam—yang dalam praktiknya merupakan hal yang sama—adalah sama seperti melakukan bunuh diri politik.142 Lebih lanjut surat tersebut menyebutkan bahwa aturan ini harus diberlakukan tanpa pembedaan kendati untuk pers non Eropa, yakni pers pribumi dan Tionghoa, kontrol yang dibutuhkan harus lebih ketat lagi. Kontrol preventif, menurut surat tersebut, sudah tidak dimungkinkan oleh perubahan-perubahan dalam Regulasi Pers Tahun 1906. Perubahan dalam Regulasi Pers yang menjamin kebebasan berekspresi ini dilandasi oleh semangat Politik Etis yang muncul pada masa itu. Segala aturan yang merintangi kebebasan berekspresi harus dicabut, dan “pengawasan preventif terhadap kata-kata tertulis harus diakhiri”.143 Maka, diperlukan alat represi baru dan ini dijalankan bukan oleh pengadilan, melainkan oleh pejabat administratif.144 Baik para administratur di Batavia dan politisi di Den Haag menganggap penyensoran perlu dijalankan karena represi yang bersifat administratif akan menjamin keamanan dan ketertiban, syarat bagi kestabilan ekonomi dan kemajuan kaum pribumi. Selain itu, sensor juga akan membantu dalam mengembangkan konsep mengenai keindahan dan moralitas di kalangan pribumi.145 Pendirian Volkslectuur sekitar sepuluh tahun setelah wacana untuk menyensor pers diawali dari laporan seorang pegawai sipil berpangkat rendah bernama JE Jasper pada 1905. Ia meminta pemerintah melakukan perbaikan 142
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67. 143 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 68. 144 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67. 145 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 71.
Indies: The Marginalization of ChineseIndies: The Marginalization of ChineseIndies: The Marginalization of ChineseIndies: The Marginalization of Chinese-
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terhadap sistem pendidikan di seluruh pedesaan di Jawa dan Madura. Diusulkan ada sebuah organisasi yang terpusat untuk memproduksi, mendistribusi dan menyimpan bahan bacaan yang layak. Departemen Pendidikan dan Urusan Agama (Department van Onderwijs en Errredienst) ditengarai bisa melakukan hal tersebut. Menurutnya, para siswa dan guru butuh peluang lebih besar untuk memperbaiki kemampuan membaca mereka. Jasper juga meminta tambahan pasokan bacaan dalam huruf Latin agar orang Jawa terdorong untuk beralih dari huruf tradisional Jawa.146 Pendirian Volkslectuur jelas tidak berhenti untuk “menyempurnakan” pengetahuan rakyat belaka. Di baliknya, terkandung semangat yang diungkapkan Snouck Hurgronje: “Warisan kita (…) terdiri dari daerah jajahan yang cantik dan kaya. Namun, jika klaim ini harus bertahan dalam tekanan badai zaman, penaklukan material harus kita ikuti pula dengan penaklukan spiritual.”147 Dalam konteks ini pulalah kita bisa memahami bahwa “Volkslectuur membawa apa yang dianggap sebagai makanan spiritual yang sehat.”148 Jadi, Volkslectuur kira-kira berfungsi sebagai alat dominasi kultural, yang benar-benar berbeda dari dominasi secara fisik melalui kekuatan senjata. Pada awal berdirinya, proses seleksi, produksi dan distribusi teks masih dijalankan oleh beberapa organ. Jadi, belum terpusat sebagaimana yang diniatkan semula. Komisi ini menjadi badan penasihat yang membantu Departemen
146
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
147
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
148
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
31.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pendidikan menyeleksi teks. Pencetakan materi biasanya dilakukan di percetakan milik pemerintah atau swasta. Penjualan buku dan suplainya diserahkan pada Depot van Leermiddelen, tempat penyimpanan materi sekolah. Volkslectuur juga menaruh perhatian khusus pada teks tradisional Jawa yang lantas diadaptasi sesuai dengan standar Barat.149 Seperti diungkapkan Jakob Sumardjo, selama 6 tahun Volklectuur telah memberikan berbagai buku yang dikelompokkan dalam tiga seri: seri A (bacaan anak-anak sekolah dalam bahasa daerah), seri B (buku-buku hiburan dan ilmu pengetahuan untuk pembaca dewasa), dan seri C (bacaan bagi mereka yang telah lanjut pengetahuannya). Buku-buku ini sebagian besar ditulis dalam Melayu Tinggi. Penerbitan buku dalam bahasa daerah nyatanya paling banyak dan ini, menurutnya,
menunjukkan
bahwa
pemerintah
sangat
menekankan
“penyempurnaan pengetahuan” kepada siswa sekolah (rakyat).150 Volkslectuur mulai berperan lebih “serius” di bawah pimpinan DA Rinkes pada 1910 dan menjadi biro otonom dengan nama Balai Poestaka. Ia memandang bahwa
sastra
dan
kebudayaan
merupakan
alat
yang
potensial
untuk
mempengaruhi politik. Di bawah kepimpinan Rinkes Volkslectuur berkembang menjadi salah satu “instrumen kebijakan kolonial yang signifikan.”151 Pada awal kepemimpinannya, Rinkes merintis pendirian sistem perpustakaan umum yang dinamai “Taman Poestaka”. Perpustakaan ini ditempatkan pada sekolah-sekolah
149
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
25.
150
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 36. 151 Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992): 25.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di desa dan sekolah-sekolah kelas dua. Bahan bacaannya dipasok oleh Volkslectuur. Sejak 1916, sekolah pribumi dilengkapi dengan publikasi berbahasa Belanda yang dipilih ataupun diproduksi oleh Volkslectuur. Namun, penekanan utama tetap pada teks berbahasa Melayu, Jawa and Sunda. Penempatan perpustakaan di sekolah-sekolah memberi dua keuntungan. Pertama, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap pengelolaannya. Kedua, kontrol terhadap kebiasaan membaca para pengguna perpustakaan pun menjadi mungkin.152 Menurut Doris Jedamski, buku-buku yang diterbitkan Volkslectuur dikonsumsi baik oleh kalangan terdidik maupun tidak terdidik kendati jumlah peminjaman tidak menggambarkan hal tersebut. Mengapa? Sebuah buku yang dipinjam bisa mendapatkan audiens sepuluh hingga lima belas orang karena buku tersebut bisa dipinjamkan ke para tetangga atau dibacakan keras-keras kepada para tetangga, kerabat dan teman. Hal ini khususnya berlaku di pedesaan di mana mereka yang melek huruf benar-benar diharapkan untuk membacakan jurnal dan buku lalu membacakannya keras-keras di muka umum. Selain itu, perpustakaan tersebut juga didirikan di barak-barak dan rumah sakit, di penjara dan bahkan di kamp tahanan Boven Digoel.153 Pada 1917 diadakan Survei Pers Pribumi (Inlandsche Persoverzicht, IPO) yang kemudian berkembang sebagai alat penting melawan pers pribumi. Volkslectuur juga mendirikan subdivisi baru, yakni subdivisi pers. Subdivisi pers
152
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.
153
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini berfungsi sebagai “salah satu dari sensor kekuasaan kolonial yang paling halus.”154 Pada 1920 diketahui bahwa Balai Pustaka mengalami masalah keuangan. Berbagai tindakan pun dilakukan, antara lain iklan di surat kabar harian, sirkulasi tinjauan buku di dalam penerbitan terbaru, serta penyebaran katalog secara gratis. Selain itu, penjualan juga dilakukan di bazaar tahunan, pasar malam, dan tempat lainnya. Penjualan melalu agen memberikan komisi 25 persen kepada agen yang bersangkutan. Dengan strategi yang agresif seperti ini, Balai Pustaka yang diuntungkan karena keberadaannya sebagai institusi kolonial menuai sukses besar-besaran mengingat tingginya angka buta huruf pada masa itu. Pada tahun yang sama tercatat 100 ribu buku terjual. Satu juta peminjaman pun tercatat untuk lima ribu kopi per edisi. Dukungan yang kuat dari pemerintah juga memungkinkannya memproduksi buku berkualitas tinggi dengan harga murah. Penyempurnaan distribusi membuat Volkslectuur menjadi faktor yang amat menentukan di dalam pasar sastra dan jurnalistik.155 Secara ringkas, bisa dikatakan Volkslectuur yang kemudian dinamai Balai Poestaka berperan sangat penting di dalam politik bahasa pemerintah kolonial. Dengan menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu Tinggi yang dipakai sebagai buku wajib di sekolah dan bacaan rakyat, pemerintah telah meminggirkan karya sastra berbahasa Melayu Rendah.
154
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
34.
155
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
29.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar Sebagaimana disebutkan HMJ Maier, perebutan otoritas di dalam kehidupan sastra juga melibatkan kekuatan-kekuatan sosial. Karya sastra Melayu Rendah dilarang karena karya-karya tersebut secara politik berbahaya dan secara moral mencurigakan, sehingga hal tersebut mengancam keamanan dan ketertiban. Balai Poestaka, menurutnya, secara ideologis merupakan perpanjangan tangan otoritas kolonial yang berfungsi menjauhkan orang-orang pribumi dari kekuatan subversif yang muncul di masyarakat.156 Bacaan yang diproduksi Balai Poestaka secara efektif dikonsumsi masyarakat berkat dukungan sistem pendidikan. Bukan hanya menghantar kalangan pribumi pada modernitas, Balai Poestaka juga secara aktif turut membentuk kanon sastra modern berbahasa Melayu Tinggi—yang kelak dikenal sebagai tonggak sastra Indonesia modern. Beberapa topik dihindari, antara lain seks, politik dan agama. Sementara dalam karya sastra berbahasa Melayu Tinggi, tema semacam ini dilarang, mereka terus muncul dalam karya sastra Melayu Rendah. Menurut Maier, melalui pembentukan kanon, penyensoran bisa diterapkan melalui represi aktif, melalui pencegahan, melalui sistem pendidikan yang didesain dengan baik, melalui kebijakan penjualan yang agresif dan melalui efesiensi.157 Untuk benar-benar menang mutlak dari kompetitornya, klaim bahwa karya sastra Melayu Rendah adalah “sastra tak bermutu” (Schund literature) pun
156
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of ChineseMalay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 77. 157 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of ChineseMalay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 78.
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dihembuskan. Karya-karya tersebut imoral, sensual, and oleh sebab itu, jahat dan berbahaya.158 Selain sebutan “sastra tak bermutu”, karya sastra Melayu Rendah sering disebut “bacaan liar.” Bagaimana istilah “bacaan liar” ini harus ditempatkan? Apakah semata-mata untuk dilawankan dengan “bacaan tidak liar” alias bacaan yang diproduksi oleh Balai Poestaka? Dalam hal ini, Jakob Sumardjo menghubungkan istilah tersebut dengan keberadaan “sekolah liar”. Menurutnya, pada zaman kolonial ada istilah “sekolah liar”. Istilah ini dilekatkan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta pribumi dan kebanyakan di antara mereka berasal dari kaum pergerakan. Sekolah tersebut disebut “liar” karena memupuk rasa kebangsaan pada muridmuridnya. Jadi, “liar” di sini mengandung unsur “nasionalisme”. Setiap pergerakan yang bersebrangan dengan pemerintah kala itu dianggap berbahaya dan oleh karena itu, liar—dalam artian “tidak mengikuti tata tertib negeri.”159 Nah, bagaimana dengan “bacaan liar”—predikat yang dilekatkan pada sastra berbahasa Melayu Rendah? Mengapa “liar”? Menurut Jakob Sumardjo, ini karena banyak tulisan tersebut mengandung isi “melawan Belanda” secara terselubung atau tidak sengaja.160 Mengapa demikian? Sebagian dari cerita atau novel yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah itu memang diadaptasi dari peristiwa sehari-hari, biasanya yang dimuat di surat
158
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of ChineseMalay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 79. 159 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 267. 160 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 267.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kabar. Berita tersebut memuat detail-detail acara pengadilan. Demikianlah para penulis merekonstruksi tersebut sebagai realitas sastra. Memang, kisah-kisah tersebut ditulis dengan tujuan komersil. Jadi, memang terkesan sensasional untuk menarik perhatian pembaca. Namun, “secara tak sengaja” cerita-cerita tersebut dipandang bisa memprovokasi kaum pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Kisah Nyi Paina, misalnya, menceritakan bagaimana seorang nyai bisa menulari tuannya dengan virus cacar hingga sang tuan mati. Juga kisah Matahariah di mana seorang lelaki pribumi menolak cinta seorang perempuan kulit putih. Keberanian Paina inilah yang bisa membangkitkan imajinasi bahwa orang pribumi pun bisa melawan Belanda. Atau dalam cerita Matahariah, orang pribumi pun tidak selalu harus tunduk pada kemauan orang kulit putih dan dengan demikian, posisinya setara. Imajinasi semacam inilah yang dianggap berbahaya dan harus dihindari. Namun demikian tidak pernah ada “pembredelan” terhadapnya. Pemerintah kolonial Belanda hanya membuat bacaan tandingan, yakni bacaan yang tidak liar, yang mampu membangun tertib dan kepatuhan pribumi kepada Belanda. Seperti diungkapkan Jakob Sumardjo, pelarangan buku justru menjelaskan isi buku dan mengungkapkan makna yang oleh pembaca sebenarnya mungkin tidak tertangkap. Oleh karena itu, pelarangan “bacaan liar” justru akan memicu kalangan pembaca bawah tanah yang akan semakin sulit dikontrol pemerintah.161 Labelisasi “liar” sudah cukup untuk membuat karya sasta Melayu Rendah terpojok dan dieksklusikan dari kanon sastra. 161
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 271.
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV AMBIVALENSI PASCAKOLONIAL DALAM CERITA NYAI “Cerita nyai” adalah salah satu genre yang turut membentuk korpus sastra Melayu Rendah yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Cerita nyai” mengisahkan kehidupan para nyai, istri tidak sah atau gundik, yang seringkali dilawankan dengan “bini kawin” dari seorang lelaki Eropa ataupun peranakan/Tionghoa. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, fenomena pernyaian itu sendiri muncul dalam suatu sistem yang memungkinkannya untuk berkembang, di antaranya melalui serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu, dan hal tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan penjajah, khususnya kepentingan ekonomi. Untuk keperluan penelitian ini, karya yang dibahas ialah “cerita nyai” dengan tokoh nyai yang hidup bersama dengan lelaki Eropa sebagai tokoh utama cerita. Cerita-cerita ini menarik untuk dikaji mengingat berbagai isu semisal ras, gender dan relasi kolonial berjalin-berkelindan membentuk imaji yang kompleks tentang tatanan masyarakat kolonial di mana garis-garis batas antara identitas (identity) dan perbedaan (difference) seringkali menjadi tidak mudah didefinisikan karena tidak pernah ajek. Dalam berbagai cerita ini, seringkali relasi kolonial tidak memenuhi asumsi oposisi biner yang dengan tegas meneguhkan perbedaan antara Timur/Barat, pribumi/Eropa, terjajah/penjajah. Empat cerita nyai yang akan dibahas adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Untuk keperluan tersebut, konsep ambivalensi pascakolonial yang diajukan oleh Homi K. Bhabha akan digunakan dalam analisis berbagai tema, antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta wacana tentang
pernyaian
sebagaimana
direpresentasikan
oleh
keempat
cerita.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab I, konsep “ambivalensi” diadopsi Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial. Ambivalensi ini menjelaskan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan (attraction) dan penolakan (repulsion) yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah. Subjek terjajah mengalami hubungannya dengan penjajahnya secara berubah-ubah yang terentang dari perlawanan (resistance) dan persekutuan (complicity). Jadi, menurut Bhabha, titik berangkat pembacaan wacana kolonial harus beranjak dari identifikasi imaji yang positif atau negatif menuju proses subjektifikasi yang dimungkinkan melalui wacana yang stereotipikal.162 Atau dengan kata lain, analisis harus digeser dari pertentangan antara kubu-kubu yang berlawanan dari suatu oposisi biner menuju dinamika antara kedua kutub tersebut—ulang-alik antara penolakan dan ketertarikan, antara resistensi ke persekutuan. Dengan konsep “ambivalensi” ini saya ingin menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) jauh dari sederhana dan tidaklah diametral, tetapi kompleks dan resiprokal, di mana tokoh nyai (terjajah) tidak melulu menjadi objek kekuasaan dari sang tuan dan tokoh tuan tidak selalu 162
Homi K. Bhabha, "The Other Question," Screen 24, 6 (November-December 1983), 18.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi penguasa mutlak. Demikian halnya dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga tetap ada celah di dalamnya bagi si terjajah untuk menelikung kekuasaan yang melingkupinya dan memberdayakan dirinya. Dalam bagian berikut pertama-tama akan diuraikan sinopsis dari keempat cerita yang dikaji, lalu dilanjutkan dengan analisis masing-masing tema, yakni tinjauan dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, perkawinan dan pernyaian, kemudian diakhiri dengan kesimpulan bab ini.
1. Sinopsis Cerita pertama, Tjerita Njai Dasima,163 ditulis oleh G. Francis dan pertama kali diterbitkan di Batavia pada 1896. Cerita ini merupakan salah satu cerita nyai yang paling populer, bahkan hingga masa sesudah kemerdekaan. Terbukti dengan begitu banyaknya pementasan kisah ini dalam bentuk teater, bahkan dalam bentuk film layar lebar.164 Cerita ini bertutur tentang kehidupan seorang perempuan cantik dari Kampung Kuripan yang diambil menjadi nyai oleh seorang lelaki Eropa, Edward W. Kehidupan perkawinan mereka yang telah berlangsung selama delapan tahun dilalui dengan bahagia dan dari hubungan tersebut lahir seorang putri yang dinamai Nancy. Kecantikan dan kekayaan Dasima yang menjadi nyai seorang lelaki Eropa telah menjadikannya incaran banyak lelaki sebangsanya. Di antaranya ialah Samioen, seorang penjual opium gelap dari Pejambon yang telah beristri. Lewat 163
Toer, Tempo Doeloe, 225-247. Film tersebut berjudul Samiun dan Dasima, diproduksi pada tahun 1970 oleh Chitra Dewi Film Production. Lihat Taylor, “Nyai Dasima,” 234. 164
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perantara seorang perempuan tua bernama Ma’ Boejoeng yang bekerja di rumah Dasima serta seorang dukun, Samioen mulai menjalankan rencananya. Dengan dalih mengajak Dasima kembali ke ajaran Islam, Ma’ Boejoeng dan Samioen berupaya membujuk Dasima bercerai dengan tuannya. Selain itu, dalih lain yang diajukan pada Dasima ialah bahwa Dasima hidup dalam perzinahan dengan orang kafir dan bahwa sebagai seorang nyai, Dasima sewaktu-waktu bisa ditinggalkan tuannya pulang ke negerinya sehingga kelak ia akan hidup terlunta-lunta. Pada akhirnya Dasima minta bercerai dari tuannya. Tuan W. awalnya kaget dan tidak mau menceraikan Dasima karena ia mencintai Dasima dan sudah berencana mengawini Dasima secara resmi di gereja. Akan tetapi, Dasima bersikeras dan ia pun pergi meninggalkan tuan dan anaknya dengan membawa serta harta yang selama ini dikumpulkannya. Ia lantas menikah dengan Samioen sebagai istri keduanya. Sayangnya, perkawinan itu justru tidak memberi kebahagiaan pada Dasima. Harta kekayaan Dasima justru jatuh ke tangan Samioen dan Dasima diperlakukan secara semena-mena oleh Hayati, istri pertama Samioen, dan Mpok Saleha, mertuanya. Dasima pun minta cerai. Samioen lalu mengajukan syarat agar Dasima menyerahkan semua hartanya. Dasima menolak dan mengancam akan minta bantuan Tuan Edward untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Pada akhirnya Samioen yang merasa terdesak merencanakan pembunuhan terhadap Dasima dan untuk itu ia menyewa seorang pembunuh bayaran bernama Puasa. Mayat Dasima dibuang di sungai dan tersangkut di dekat rumah Tuan W. yang lalu melaporkannya ke polisi. Kasus kematian Dasima pun
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diusut tuntas oleh polisi yang kemudian berhasil menangkap para pelaku pembunuhan tersebut. Cerita kedua, Tjerita Nji Paina, pertama kali diterbitkan di Betawi pada tahun 1900 oleh pencetak dan penerbit terkenal pada masanya, yakni A. Veit & Co.165 Tjerita Nji Paina mengisahkan seorang gadis Jawa bernama Paina, putri Niti Atmodjo yang bekerja sebagai seorang juru tulis pabrik gula. Paina digambarkan sebagai gadis yang amat cantik. Tunduk pada adat kebiasaan orang Jawa pada waktu itu, Paina sejak kecil telah ditunangkan dengan putra seorang hartawan. Kehidupan keluarga Niti digambarkan serba berkecukupan hingga terjadi pergantian administratur di pabrik tempat ia bekerja. Atasan baru Niti yang bernama Briot digambarkan sebagai sosok yang perilakunya kasar dan bengis. Prestasi kerjanya tidak baik dan ia amat mengandalkan Niti Atmaja dalam menjalankan tugas-tugas di pabrik. Pada suatu ketika, Briot berjumpa dengan Paina yang baru saja pulang dari rumah calon mertuanya dan ia pun lantas jatuh cinta pada Paina yang kecantikannya begitu memukau Briot. Namun, Paina mengacuhkannya dan justru merasa benci kepada Briot yang terang-terangan menampakkan rasa sukanya pada Paina. Sementara itu, akibat banyaknya perintah dari Briot, Niti menjadi lengah dan salah satu mandor secara berulang-ulang mengambil uang kas yang dititipkan Briot padanya tatkala ia dipanggil menghadap Briot. Suatu hari, Briot
165
Toer, Tempo Doeloe, 24.
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memerintahkan Niti untuk mengembalikan kasnya pada Briot. Malangnya, ketika dihitung uang kas itu kurang dua puluh lima rupiah dan beberapa sen. Maka, timbullah niat jahat pada Briot untuk memanfaatkan keadaan ini. Briot pun menyatakan bersedia membebaskan Niti dari hukuman asalkan Niti mengizinkan Paina menjadi nyai Briot. Niti pun menyampaikan hal ini kepada putrinya. Meski awalnya Paina menolak dengan tegas, akhirnya Paina bersedia diambil sebagai nyai oleh Briot karena ia merasa kasihan pada ayahnya. Kendati demikian, Paina terus memutar akalnya supaya terbebas dari “kutukan” tersebut. Maka, pada malam sebelum pergi ke rumah Briot, Paina sengaja memeluk seseorang yang sakit cacar yang tengah mewabah pada waktu itu agar ia tertular oleh penyakit tersebut. Memang Paina akhirnya berhasil menulari Briot dengan penyakit tersebut. Briot pun meninggal, sedangkan Paina sendiri sembuh meskipun cacar menyisakan bopeng di mukanya. Dikisahkan Paina kemudian dinikahkan dengan seorang Jawa hartawan dan hidup bahagia hingga masa tuanya. Cerita ketiga, Cerita Nyai Ratna, karya Tirto Adhi Soerjo awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung di surat kabar harian Medan Prijaji pada 1909. Dengan latar Jawa Barat, kisah ini menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan elok jelita bernama Ratna Purnama. Namun, kehidupan Ratna rupanya tak begitu mulus. Sebagai seorang janda, ia hidup menumpang pada paman dan bibinya, yakni pasangan suami-istri Brata. Kecantikan Ratna memikat banyak laki-laki. Tak kurang, Tuan Jaksa melamar Ratna untuk dijadikan istri mudanya meskipun lamaran itu akhirnya
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditolak Ratna. Pada saat yang bersamaan seorang kapten kapal berkebangsaan Belanda juga tengah mencari seorang perempuan pribumi untuk dijadikan nyai. Dengan perantaraan Mak Kendut, Ratna pun diminta sebagai nyainya dan pinangan ini diterima oleh Ratna berkat nasihat Nyi Brata yang pernah merasakan hidup berkecukupan dan bahagia ketika menjadi nyai. Demikianlah akhirnya Ratna menjadi nyai dari tuan kapten kapal yang sering pergi berlayar untuk waktu yang lama. Suatu ketika Ratna jatuh cinta pada lelaki lain, yakni seorang pemuda bangsawan yang tampan dan tengah belajar kedokteran di STOVIA bernama Sambodo. Perasaan Ratna tidak bertepuk sebelah tangan. Sambodo dan Ratna pun menjalin hubungan asmara. Bahkan ketika sang tuan sedang ada di rumah, mereka bisa berhubungan dengan leluasa. Oleh Ratna, Sambodo diaku sebagai saudaranya. Karena begitu mencintai Sambodo, Ratna bermaksud meminta lepas dari tuannya dan ingin menikah dengan Sambodo. Namun, hal ini ditolak Sambodo karena studinya belum selesai. Ratna akhirnya terpisah dari Sambodo karena mengikuti tuannya pindah ke Semarang. Ketika sang tuan akhirnya jatuh bangkrut, Ratna pun diusir dari rumahnya hingga ia pergi ke sana kemari menjual diri. Lalu, sampailah ia di Banyumas dan bekerja sebagai koki Tuan van Braak yang lantas menikahinya sebagai “nyonya kawin.” Karena menyadari bahwa tuannya akan sulit melepasnya terkait status resminya tersebut, Ratna pun mencari kesenangan dengan menjalin hubungan dengan beberapa lelaki lain. Selain itu, Ratna akhirnya meracun suaminya hingga mati agar ia bisa mewarisi hartanya dan menikah dengan kekasih lainnya, yakni
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karel de Vos. Upaya untuk memperkarakan Ratna atas tuduhan pembunuhan terencana itu gagal karena salah satu saksi melarikan diri dan saksi lainnya meninggal karena diracun. Di akhir cerita, dikisahkan Ratna berjumpa kembali dengan Sambodo yang mengetahui kasus Ratna dari surat kabar dan pada saat itu Ratna sudah menjadi nyonya seorang advokat Belanda, yakni Tuan Von Gorkom. Cerita keempat, Hikayat Siti Mariah, ditulis oleh Haji Mukti dan pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung di harian Medan Prijaji dari tahun 1910 hingga 1912. Hikayat ini bercerita tentang kehidupan Siti Mariah, anak Kontrolir Kedu Elout van Hogerveldt dan gundiknya, Sarinem. Kisah berawal dari dijualnya bayi Sarinem yang bernama Urip oleh suaminya yang pemabuk, tukang main perempuan dan penjudi, Wongsodrono. Bayi Urip kemudian diasuh oleh seorang mandor perkebunan tebu Sokaraja, Joyopranoto dan istri. Di Sokaraja itulah Urip yang berganti nama menjadi Siti Mariah tumbuh besar. Di antara teman sepermainan Mariah adalah Nona Lucie, anak pemilik pabrik Sokaraja Nyonya van Holstein, dan Sondari, seorang bocah Indo, yang sesekali datang dari Batavia. Joyopranoto bermaksud menjodohkan Mariah dengan Sondari, sedangkan Nyonya Holstein hendak menjodohkan Sondari dengan Lucie. Namun, pada akhirnya diketahui bahwa Mariah adalah saudara Sondari dari ayah yang sama tetapi lain ibu sehingga rencana itu tidak terlaksana. Sementara Sondari terang-terangan menampik niat Nyonya Holstein. Setelah besar, Siti Mariah tumbuh menjadi gadis cantik yang tersohor di Sokaraja. Seorang opsiner Belanda dari Batavia yang baru saja bekerja di pabrik Sokaraja—Henri Dam—pun jatuh cinta kepadanya dan perasaannya itu tidak
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bertepuk sebelah tangan. Awalnya hubungan mereka ditentang oleh mandor Joyopranoto yang berusaha menghalangi hubungan mereka dengan berbagai cara. Namun, istri Joyopranoto dan Sarinem, ibu kandung Mariah, justru mendukung mereka berdua. Pada akhirnya Joyopranoto merestui hubungan tersebut. Dari hidup bersama itu lahirlah seorang anak yang dinamai Ari van Dam. Henri Dam berencana akan menikahi Mariah kelak dan mendaftarkan Ari untuk diakui statusnya sebagai anaknya yang sah. Namun demikian, kebahagiaan itu lantas terusik dengan kehadiran Nyonya Holstein yang menginginkan Henri menjadi menantunya dan melanjutkan kepemimpinan pabrik. Segala daya upaya ia kerahkan, termasuk memakai guna-guna dari dukun Betawi Jiman, agar Henri terpikat pada Lucie. Demikianlah Henri akhirnya menceraikan Mariah dengan surat lepas dan mengambil Ari yang lantas disekolahkan oleh Nyonya Holstein di Batavia. Tetapi, pernikahan itu ternyata tidak membuat Henri bahagia. Apalagi setelah ia menerima kabar bahwa anaknya yang dibawa Nyonya Holstein ke tanah Betawi meninggal karena kolera. Demikian halnya Mariah yang terpisah dari tuan dan anak yang dikasihinya. Terpukul karena mendengar kabar tentang meninggalnya Ari, Mariah diam-diam meninggalkan rumah untuk mencari anaknya yang hilang karena ia yakin anaknya masih hidup. Dikisahkan bahwa Henri pada akhirnya bisa menata hidupnya kembali setelah kematian Ari. Suatu ketika Nyonya Holstein berkunjung ke Sokaraja dan ia berencana menjual segala asetnya di pabrik lantas pulang ke Belanda. Malangnya, terjadi kecelakaan dan ia meninggal karena jatuh ke mesin
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penggilingan tebu. Duka yang mendalam membuat Henri dan Luci memutuskan untuk pergi ke Eropa. Dalam perjalanan tersebut mereka singgah di Jeddah di mana mereka bertemu dengan Sondari yang kini telah menjadi seorang konsul di sana. Di Belanda Henri dan Luci akhirnya menetap di Nijmegen, tempat kelahiran Henri dan hidup mewah berkat kekayaannya dari pabrik gula. Meskipun sudah menjadi hartawan terpandang, Luci yang gila hormat tak juga puas. Atas permintaannya ia mengubah nama keluarga Dam menjadi Hubrecht van Goldstein tot Amersfoort. Ia pun tetap berfoya-foya tatkala pabrik tengah merugi. Selain itu, Luci juga berselingkuh dengan Tuan Booghuizen. Suatu ketika sepulang dari tamasya dengan selingkuhannya itu, Luci keguguran dan hari-hari selanjutnya ia sakit keras. Sebelum meninggal, ia mengaku bahwa ia sebenarnya tidak mencintai Henri. Lelaki yang dicintainya tak lain Tuan van Goldstein yang pernah menumpang tinggal di rumahnya di Batavia. Lelaki inilah ayah sesungguhnya dari Marie, anak yang dikira Henri sebagai anaknya. Akan tetapi, hubungan itu tak direstui Nyonya Holstein yang lebih memilih Henri sebagai menantunya. Sementara itu, bayi yang meninggal ketika Luci keguguran tak lain adalah hasil hubungan gelapnya dengan Booghuizen. Selain itu, rahasia gelap lainnya yang terkuak dari pengakuan Luci ialah bahwa Nyonya Holstein sendirilah yang telah meracun suaminya hingga ia mati. Lalu, Ari tidaklah mati sebagaimana yang diketahui Henri selama ini, tetapi ia telah dibuang atas suruhan Nyonya Holstein juga. Mengetahui semuanya ini ditambah keadaan pabrik yang merugi akibat gaya hidup mewah Luci, Henri bermaksud
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pulang ke Jawa dan ia mengontak sahabatnya Sondari yang kini telah mengubah namanya menjadi Haji Mukti. Sementara itu diceritakan pula tentang nasib Ari yang ternyata tidak mati. Nyonya Holstein menyuruh orang membangun makam kosong. Ia ternyata dibuang dan diambil oleh penyamun Karyodrono yang tak lain adalah Wongsodrono. Seusai perampokan gagal yang dilakukan Wongsodrono di mana ia pada akhirnya mati, Ari dimasukkan ke panti asuhan dan diberi nama keluarga pensiunan tentara Van Aken. Ketika menanjak dewasa, Ari memutuskan untuk mengembara untuk mencari kerja hingga akhirnya ia bekerja di pabrik Sokaraja berkat pertolongan Joyopranoto, yang tak lain adalah kakeknya sendiri dan telah berganti nama menjadi Haji Abdulrahman. Ia juga bertemu dengan Nyi Haji Fatimah, serta nenek kandungnya Hajah Aisah. Diceritakan pula bahwa Siti Mariah yang disangka telah mati dengan menghanyutkan diri di Sungai Serayu ternyata masih hidup. Dalam pengelanaan mencari Ari, Mariah sempat menyamar menjadi jongos Salimin, lalu babu Salimah yang mengabdi pada keluarga Tuan Esobier dan mengasuh putranya Sinyo Anton. Ketika Nyonya Esobier meninggal, Tuan Esobier pun menikahi Mariah. Setelah Tuan Esobier meninggal, Mariah pun menetap di Malang. Sementara itu, Henri Dam sendiri sudah pulang ke Sokaraja. Setelah Nyonya Lucie meninggal, keluarga yang tercerai berai ini pada akhirnya bisa bertemu kembali berkat pertolongan Sondari. Mariah akhirnya bersatu lagi dengan Henri dan anaknya yang hilang, Sinyo Ari. Di akhir cerita dikisahkan keluarga
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dam berangkat ke Eropa dan menetap di Brussel di mana Henri Dam bekerja sebagai bankir. Mereka pun hidup berbahagia di sana.
2. Gender dan seksualitas Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita, khususnya ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, mengingat ras sebagai salah kategori yang menandai perbedaan (difference) seringkali bersilangan dengan kedua aspek tersebut. Dengan konsep ambivalensi hendak ditunjukkan bahwa walaupun berada dalam ruang yang terbatas, yakni di bawah bayang-bayang kekuasaan sang tuan, tokoh nyai tetap mampu menjalankan strategi untuk menelikung kekuasaan tersebut. Hal ini akan dilakukan dengan mencari “lubang” di dalam cerita-cerita yang dikaji agar bisa membaca “melawan arus” dalam arti membaca cerita-cerita tersebut secara berlawanan dengan pesan cerita yang dominan. Beberapa isu yang akan dieksplorasi antara lain hubungan gender antara tokoh nyai dan tokoh lain— khususnya tokoh tuan, serta penggambaran seksualitas tokoh nyai. Dalam Tjerita Njai Dasima, pesan cerita keseluruhan yang dominan mengenai hubungan gender ialah bahwa pernyaian itu positif karena dalam ikatan semacam itu seorang nyai justru bahagia. Sementara dalam perkawinan, ia justru tidak bahagia karena pelbagai sebab. Selain itu, subjudul dari cerita ini yang berbunyi “Suatu korban dari pada pemboedjoek” menyiratkan bahwa Dasima menjadi korban dari orang-orang yang hendak mencelakakan dirinya. Dalam cerita, Dasima dilekati ciri-ciri feminin yang membuatnya disukai oleh tuannya.
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dasima digambarkan memiliki sifat “radjin dan pinter bekerdja”166 dan mampu melakukan berbagai pekerjaan domestik seperti memasak dan menjahit. Hal-hal inilah yang membuat Tuan W “tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin,”167 serta mempercayakan hartanya kepada Dasima. Selain itu, Dasima juga perempuan yang setia dan teguh sehingga ia menolak berbagai bujukan dari laki-laki yang ingin mendekatinya untuk menguasai hartanya. Akan tetapi, tentu saja relasi antara Tuan W dan Nyai Dasima adalah hubungan yang diimbuhi oleh kekuasaan. Di sini Dasima hingga tingkat tertentu juga menjadi objek—entah seks/birahi ataupun cinta—dari Tuan W. Kesetiaan Dasima itu mulai goyah manakala Samioen mulai mendekatinya dengan dalih hendak membawa Dasima kembali ke ajaran Islam. Berkat berbagai tipu daya Samioen, Dasima lantas berbalik menjadi tidak suka pada tuannya. Bahkan, Dasima pun menjadi berani mengundang Samioen untuk datang ke rumahnya. “Besok paginja Baba Samioen dateng ketemoe dengen Njai Dasima di gedoengnja, tempo lakinja pergi kerdja, dan moelain atoeran kedjahatan, ia itoe berdjinah.”168 Jika hubungan Dasima dengan Tuan W menurut norma agama ataupun norma sosial yang lazim waktu itu merupakan perzinahan, begitu pun halnya dengan hubungan Dasima dan Samioen. Namun demikian, hubungan yang terakhir terjadi karena pilihan Dasima sendiri—meskipun awalnya karena bujukan pihak luar. Di sini Dasima yang semula menjadi objek beralih menjadi subjek yang aktif dan mampu mengekspresikan apa yang ia inginkan. Ia pun melintasi
166
Toer, Tempo Doeloe, 225. Toer, Tempo Doeloe, 225. 168 Toer, Tempo Doeloe, 237. 167
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
batas-batas norma yang berterima dengan melakukan perselingkuhan—norma serupa yang telah mendefinisikan hubungan “perzinahan”-nya dengan Tuan W. Dibaca dari perspektif pascakolonial, di sinilah ambivalensi itu hadir: hubungan antara Dasima dengan tuannya yang diandaikan melibatkan kekuasaan yang timpang itu ternyata tidak setegas yang dibayangkan. Hubungan antara Nyai Dasima dan tuannya ternyata juga dinamis. Meskipun Dasima berada dalam posisi objek, ia mampu menegosiasikan hubungan yang tidak setara tersebut dengan membuat pilihan berzinah dengan Samioen. Dalam cerita dikisahkan bahwa Dasima-lah yang mengundang Samioen untuk datang ke rumahnya sewaktu Tuan W. bekerja sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas. Dengan demikian, Dasima menjadi subjek yang aktif menunjukkan seksualitasnya kendati dengan cara yang kurang berterima menurut norma. Ditinjau dari keseluruhan plot, Tjerita Nji Paina hendak menyampaikan pesan dominan bahwa pernyaian adalah sesuatu yang negatif karena di dalam hubungan itu pihak-pihak yang terlibat ada dalam hubungan yang tidak setara. Ini tercermin dari bagaimana Paina menjadi nyai, yaitu untuk menyelamatkan ayahnya. Jadi, menjadi nyai merupakan sebuah keterpaksaan bagi Paina. Hal ini kemudian dikontraskan dengan perkawinan Paina yang bahagia di mana ia sendirilah yang menentukan pilihan. Di dalam cerita disebutkan karakteristik fisik Paina yang “amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teoerei-oerei di tioep angin”169
169
Toer, Tempo Doeloe, 321.
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang lantas membuat “Briot lantas djatoh birahi.”170 Ciri fisik yang ini berulangulang disebutkan di dalam cerita sebagai rujukan ketertarikan Briot kepada Paina, membuat Paina menjadi objek seks dari Briot, atau meminjam ungkapan yang dipakai cerita tersebut, objek “birahi.” Sosok Paina di sini terjebak di bawah bayang-bayang kekuasaan baik ayah maupun Tuan Briot: sebagai anak yang baik ia harus menyelamatkan ayahnya dengan menjadi nyai Tuan Briot yang sangat dibencinya. Dimensi kekuasaan tampak jelas di dalam hubungan antara Paina dan Tuan Briot. Briot memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada Paina sehingga memungkinkan ia memaksa Paina menjadi nyainya. Tak ada pilihan lain, kecuali bersedia menjadi nyai Tuan Briot. Kendati di satu sisi menjadi objek yang dihasrati Tuan Briot, Paina hingga tingkat tertentu akhirnya bisa menegosiasikan paksaan itu dengan suatu siasat: Paina menularkan penyakit cacar pada Tuan Briot yang berujung pada kematian Tuan Briot. Hal inilah yang menunjukkan ambivalensi cerita tersebut. Di satu sisi, hubungan antara Paina dan Briot jelas merupakan hubungan yang tidak setara. Akan tetapi, ditinjau dari sisi yang lain, dalam cerita ini hubungan gender bisa dikatakan sebagai sesuatu yang dinamis di mana tokoh Paina berusaha keluar dari kekuasaan yang mengungkung dirinya. Paina bukan semata-mata objek yang takluk, melainkan subjek yang menelikung kekuasaan tersebut, yaitu dengan menularkan virus cacar kepada Briot yang berujung kematian tuan tersebut.
170
Toer, Tempo Doeloe, 321.
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Persoalan seksualitas Paina mengemuka dengan cukup jelas di dalam cerita. Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot. Di sini, Paina secara aktif menolak Tuan Briot yang tampangnya mengerikan (“moekanja bengis bolong, tiada disoekai orang, serta ramboetnja ada amat kasar”171) dan perilakunya tidak baik (“amat koerang sopan, bitjaranya kasar”172). Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia bayangkan serupa “tjeleng” tersebut. Mirip dengan Tjerita Njai Dasima, pesan dominan yang disampaikan dalam Cerita Nyai Ratna adalah bahwa pernyaian merupakan sesuatu yang positif karena memberikan perempuan posisi dan status “lebih” daripada perempuan kebanyakan dan akses terhadap materi. Oleh karena itulah, tak heran jika pada beberapa bagian cerita digambarkan persaingan antara para nyai untuk menjadi siapa yang paling terhebat di antara mereka, khususnya dalam hal kecantikan fisik. Ini pada akhirnya menentukan status, pengaruh dan ketenaran. Di sisi lain, moralitas seorang nyai juga secara umum dianggap buruk sebagaimana disiratkan oleh subjudul cerita, “Betapa seorang isteri setia telah menjadi jahat.” Namun, dilihat dari sisi lain, ambivalensi dalam cerita ini tampak dalam sosok nyai yang “bermain-main” dengan statusnya sebagai seorang nyai dari lelaki Eropa. Dalam cerita misalnya dikisahkan Ratna jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Sambodo, seorang lelaki pribumi yang tampan dan tengah menempuh studi di sekolah kedokteran. ”Tak pernah hatinya berahi pada seorang lelaki, apa lagi kalau ia sedang di tangan orang, maski janda pun ia tidak begitu. 171 172
Toer, Tempo Doeloe, 319. Toer, Tempo Doeloe, 320.
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belum pernah mendapatkan seorang lelaki yang bisa menggerakkan kalbunya.”173 Pada akhirnya, Ratna memang berhasil mengejar Sambodo dan menjadikan pemuda itu kekasihnya. Dibaca dengan sudut pandang ini juga, dalam hubungan antara nyai dan tuan yang diimbuhi kekuasaan tersebut, Ratna juga seolah tetap menemukan celah untuk “membebaskan diri”-nya. Sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas, Ratna-lah yang terlebih dahulu “jatuh berahi” pada Sambodo. Ketika pada akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih, Ratna mengakukan Sambodo sebagai saudara misannya di hadapan tuannya. Hal ini membuat mereka leluasa berhubungan meskipun ada tuannya seperti ditunjukkan kutipan berikut. ”Ratna dan tuannya lalu masuk ke kamar. Setelah tuannya tidur pulas, pelan-pelan ia keluar lalu masuk ke kamar Sambodo untuk bercintacintaan. Bila tuannya sudah sampai pada waktu bangun buru-buru ia pergi ke belakang dan memberikan perintah ini-itu.”174 Tak terhenti di situ, dengan materi yang diperolehnya berkat statusnya sebagai seorang nyai, Ratna juga bisa mencari kesenangan di luar hubungan dengan tuannya, yakni “bergendak” dengan laki-laki lain di dalam hubungan yang serupa transaksi, hubungan yang sama-sama ditandai oleh absennya cinta karena hanya untuk “bersenang-senang” belaka. Di dalam cerita ini, tokoh Nyai Ratna adalah perempuan yang sadar akan seksualitasnya dan berani mengungkapkan seksualitasnya tersebut secara terbuka. Bahkan, ketika Ratna sudah menjadi istri seorang lelaki Eropa, Ratna digambarkan menjalin hubungan dengan beberapa orang lelaki lain demi
173 174
Toer, Sang Pemoela, 379. Toer, Sang Pemoela, 386.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesenangan semata. “Sejak jadi nyonya, tahu lakinya sulit bercerai daripadanya, membuat ia makin bangor. Beberapa orang magang, jurutulis, sudah dibelinya. Karena pembosanannya beberapa lelaki sudah menjadi gendaknya.”175 Tak hanya itu, ia pun menjalin hubungan lain dengan seorang lelaki Eropa yang dicintainya, Karel de Vos. Sosok nyai yang berani mengungkapkan seksualitasnya ini juga tergambar melalui tokoh nyai lainnya, yakni Parminingsih. Sesudah Ratna pindah mengikuti tuannya ke kota lain, Sambodo dikejar-kejar oleh Parminingsih, nyai seorang juragan toko. Dalam salah satu adegan disebutkan “Hingga semalaman mereka berberahian. Maka Parmi belum pernah mendapatkan kenikmatan seperti sekali ini.”176 Di sini tampak bahwa sebagai perempuan, seorang nyai adalah sosok yang melintasi batasan-batasan norma: ia berselingkuh dan merasakan kenikmatan secara seksual dengan lelaki lain, sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam hubungan dengan tuannya. Akan tetapi, tindakan melintasi batas itu masih dibayang-bayangi norma yang ditandai dengan munculnya rasa bersalah. “Kita orang sudah kelewat berdosa mengelabui tuan.”177 Dalam Cerita Nyai Ratna bisa dikatakan bahwa hubungan gender adalah sesuatu yang dinamis di mana terjadi negosiasi antara tokoh nyai dan tuan: dengan menjadi nyai, seorang perempuan memiliki akses terhadap materi dan hal ini lantas memungkinkan ia untuk mencari kesenangan lain di luar hubungan tersebut. Di dalam cerita tokoh nyai tampil sebagai sosok yang sadar akan seksualitasnya dan berani mengungkapkan hal tersebut kepada lawan jenisnya. 175
Toer, Sang Pemoela, 415. Toer, Sang Pemoela, 407. 177 Toer, Sang Pemoela, 388. 176
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan kata lain, tokoh nyai tersebut melintasi batas-batas norma yang menabukan ekspresi seksual berikut kenikmatan yang ditimbulkannya meskipun hal tersebut tak luput dari rasa bersalah, bayang-bayang dari sistem nilai yang tengah dilanggarnya. Ditinjau dari keseluruhan cerita, Hikayat Siti Mariah secara dominan hendak menyampaikan bahwa pernyaian itu positif. Hubungan antara nyai dan tuan mungkin saja didasari cinta timbal-balik yang tulus. Mereka bisa saja hidup bahagia di dalam ikatan semacam itu. Meskipun demikian, faktor-faktor lain seperti tatanan nilai mengenai apa yang pantas dan tidak pantas dalam hubungan kedua belah pihak yang berbeda ras dan status sosial sangat mempengaruhi hubungan tersebut. Oleh karena itulah, pernyaian kemudian menjadi sesuatu yang negatif. Pernyaian ternyata tidak mampu mengakomodasi cinta antara tuan dan nyainya. Dalam Hikayat Siti Mariah dikisahkan dengan jelas hubungan antara Siti Mariah dan Tuan Henri Dam didasarkan atas cinta satu sama lain. Mereka pun sama-sama berjuang agar hubungan mereka direstui terutama oleh ayah (angkat) Mariah. Secara umum, cerita ini menyampaikan pesan bahwa hubungan pernyaian itu lebih buruk jika dibandingkan perkawinan yang sah. Selain memiliki kecantikan fisik yang menawan, Siti Mariah juga digambarkan sebagai nyai yang setia, mencintai tuannya setulus hati serta mengasihi anak yang lahir dari hubungan cinta mereka. Akan tetapi, kehidupan mereka yang bahagia itu menjadi rusak karena status sosial yang disandang Henri membuat Siti Mariah tidak layak mendampinginya sebagai seorang istri yang sah.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika pada Tjerita Njai Dasima, upaya jahat itu datang dari lelaki yang ingin merongrong hartanya maka pada Hikayat Siti Mariah hal itu berasal dari Nyonya von Holstein yang hendak menjadikan Henri menantunya. Terlepas dari sifat-sifat baik yang dimilikinya, sesuatu yang bisa dikatakan sebagai stereotipe yang positif dari seorang nyai, Siti Mariah akhirnya dipisahkan dari Henri dengan berbagai cara, termasuk dengan pertolongan dukun dan gunaguna. Di sini Siti Mariah yang Indo dianggap lebih rendah statusnya daripada Luci von Holstein yang adalah Belanda totok dan anak pemilik pabrik gula Sokaraja yang terpandang. Hubungan cinta timbal-balik antara seorang nyai dan tuannya pun tidak mendapat tempat di dalam sistem masyarakat kolonial yang menjunjung kemurnian ras. Dalam cerita ini, persoalan seksualitas tidak terlalu disoroti. Namun, dalam salah satu adegan dikisahkan bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta. “Setelah tubuhnya yang telanjang sewaktu mandi di pancuran tertampak oleh Henri Dam hatinya mulai dipenuhi sesuatu yang indah dan manis, seindah dan semanis Henry[sic.] Dam sendiri. Ini dia! Aduh, si geulis Mariah mulai birahi. Tumbuh rasa sayang pada Henri Dam, pada seorang lelaki.”178 Bisa dikatakan Siti Mariah, kendati mencintai Henri Dam, mengambil sikap pasif dan menunggu. Dengan kata lain, sikapnya bersesuaian dengan norma sosial yang memposisikan perempuan sebagai objek yang pasif. Ini berlawanan dengan Luci von Holstein yang aktif mendekati Henri meskipun pada waktu itu Henri statusnya masih terikat dengan Siti Mariah.
178
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 120.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada salah satu bagian, dikisahkan bahwa sebelum kematiannya, Nyonya Luci sempat membuat pengakuan kepada Henri tentang perselingkuhannya dengan beberapa lelaki (Eropa) lain dan bahkan hubungan di luar perkawinan itu telah menghasilkan seorang anak perempuan, Marie, yang dianggap Henri sebagai anaknya sendiri. “Henri tentu belum lupa pada tuan Van Goldstein, yang selagi kita kawin menumpang di rumah mama Salemba sebulan. Dia adalah kekasih saya. Ingin sekali saya kawin dengannya, tapi mama melarang. Saya dipaksanya mengawini kau, Henri. Saya mengikuti perintah mama. Jangan terkejut, Henri, tuan van Goldstein sesungguhnya papa Marie. Goldstein namanya, Hubrecht nama depannya, Amersfoort negeri asalnya. Itu sebabnya sekarang saya mengambil nama itu, kubawa sampai mati. Ya Henri, betapa jahatnya saya. Tak hendak semua dibawa mati. Dengan kematian semua berakhir. Anak saya yang keguguran adalah akibat hubungan dengan Booghuizen.”179 Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa meskipun hubungan antara Siti Mariah dan Henri Dam didasari cinta, hubungan tersebut tidak berterima karena ada dimensi lain yang menyertainya, yakni ras (Eropa versus bukan Eropa). Hubungan gender di sini diimbuhi oleh kategori ras sehingga tokoh Siti Mariah terkungkung oleh determinasi kekuasaan kolonial yang menempatkan perempuan Eropa di atas perempuan pribumi maupun Indo. Akan tetapi, kendati diposisikan sebagai objek dari kekuasaan kolonial, Siti Mariah tetap menemukan ruang untuk menyintas. Ia mengubah-ubah identitasnya sebagai lelaki dan perempuan ketika berkelana mencari anaknya, hingga akhirnya menikah dengan Tuan Esobier. Terkait dengan aspek seksualitas, Siti Mariah tidak menunjukkan sikap melanggar norma yang berterima secara sosial. Ia tetap setia pada tuan yang
179
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 304.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ia cintai namun telah “mengkhianatinya.” Kesetiaan itu pun berakhir bahagia: pada akhirnya ia bisa bersatu lagi dan menikah secara resmi dengan Henri Dam. Ambivalensi cerita ini tampak dalam pesan khusus dari cerita: pernyaian ternyata lebih mampu mengakomodasi cinta. Ketika Mariah dan Henri terpisah, Mariah justru tidak bahagia. Demikiannya Henri yang menikah secara resmi dengan Luci von Holstein. Ternyata hubungan yang ideal justru terjadi ketika mereka masih berada hidup sebagai nyai dan tuan. Secara keseluruhan dari keempat cerita yang dipaparkan di atas, bisa dirangkum beberapa hal sebagai berikut. Dalam Tjerita Njai Dasima tokoh nyai digambarkan dengan ciri-ciri feminin: rajin, terampil dalam mengerjakan urusan domestik, setia, dan sebagainya. Dasima adalah stereotipe nyai yang “baik.” Jika pada awalnya ia adalah sosok yang setia, maka berkat bujukan pihak luar Dasima pun berubah menjadi tidak setia dan “memberontak” dengan cara minta bercerai lalu meninggalkan anak dan tuannya. Sementara itu, dalam Tjerita Nji Paina di luar kecantikan fisik, Paina adalah sosok anak yang patuh, berbelas kasihan pada orang tuanya sehingga ia bersedia menjadi nyai untuk menyelamatkan sang ayah. Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, tokoh Nyai Ratna dalam Cerita Nyai Ratna awalnya tampil sebagai sosok perempuan yang baik, setia, tabah menjalani nasib yang tidak baik (disia-siakan oleh suaminya). Namun demikian, statusnya berubah menjadi seorang nyai, ia pun menjadi sosok perempuan yang tidak setia, agresif, gemar mencari kesenangan di luar hubungan dengan tuannya. Di sini Ratna hadir sebagai stereotipe nyai yang “tidak baik.” Pada Hikayat Siti Mariah, tokoh Siti Mariah digambarkan sebagai sosok yang setia, tabah dan tegar
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjalani takdir yang diakibatkan statusnya sebagai nyai seorang lelaki Eropa yang berpangkat tinggi dalam masyarakat kolonial. Ia tetap setia meski dikhianati. Mariah juga memenuhi stereotipe nyai yang “baik.” Relasi gender dalam keempat cerita digambarkan sebagai sesuatu yang dinamis di mana para tokoh nyai tersebut mampu menegosiasikan posisinya dengan beragam cara. Dasima berselingkuh dengan Samioen, sedangkan Paina menularkan penyakit cacar kepada Briot yang menghantarnya pada kematian. Sementara itu, Ratna berselingkuh dengan lelaki dicintainya maupun lelaki-lelaki lain hanya untuk mencari kesenangan dan Siti Mariah mengubah-ubah identitasnya sembari tetap setia dan berpegang teguh pada tujuan mencari anaknya. Persoalan seksualitas juga dieksplorasi di sini meskipun tidak semua cerita mengungkapnya dengan jelas. Dasima dan Ratna bisa dikatakan sebagai tokoh nyai yang menyadari seksualitasnya. Dasima berselingkuh dengan Samioen, sementara Ratna menjalin cinta dengan Sambodo maupun Karel de Vos, serta “membeli lelaki” demi kesenangan semata. Di sini, tokoh yang sadar akan seksualitasnya dan mengungkapkan hal tersebut justru nasibnya berakhir tragis: Dasima mati dibunuh, sedangkan Ratna pada akhirnya terlunta-lunta setelah meracun tuannya hingga mati. Di dalam Tjerita Nji Paina persoalan seksualitas mengemuka dengan cukup jelas di mana pada awalnya Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot. Akan tetapi, Paina lantas secara aktif menolak Tuan Briot yang secara fisik buruk
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rupa dan jahat. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia benci tersebut. Sementara itu, meski dalam Hikayat Siti Mariah sempat disinggung bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta pada Henri Dam, tidak digambarkan secara jelas bagaimana ia mengalami seksualitasnya. Namun, hal itu mungkin tergambar ketika Siti Mariah dilawankan dengan tokoh Luci van Holstein yang agresif dan berselingkuh dengan beberapa lelaki yang ia cintai di luar pernikahannya dengan Henri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kedua tokoh ini tidak mengungkapkan seksualitasnya dan justru pasif. Pada akhir cerita, kedua tokoh yang tidak mengungkapkan seksualitasnya ini justru bernasib baik: mereka menikah dengan orang yang dicintai dan bahagia. Jika diinterpretasikan lebih lanjut, pembacaan dari detil-detil cerita menunjukkan bahwa ketika nyai berusaha menjadi subjek yang aktif (Dasima dan Ratna), ia justru bernasib sial walaupun ini tidak terlalu berlaku untuk Paina. Sementara jika nyai tersebut tetap tinggal menjadi subjek yang pasif (Mariah), dengan tetap berada dalam batas-batas stereotipe sosok nyai yang “baik” (setia, tabah, tegar, dan sebagainya), ia justru beruntung. Bisa dikatakan terlepas dari “ruang-ruang pembebasan” yang ditawarkannya, cerita-cerita ini patriarkis. Ini terkait dengan penulisnya yang semuanya laki-laki dan menulis dari sudut pandang laki-laki.
3. Ras
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita dilihat dari aspek hubungan ras mengingat ras180 sendiri merupakan salah kategori penting yang menandai perbedaan (difference) antara nyai dan tuan. Dalam kajian pascakolonial, konsep “ras” menduduki posisi yang sentral. Secara sederhana, konsep “ras” mengacu pada ciri-ciri fisik, biologis, dan genetis yang dilekatkan pada suatu kelompok manusia. Ada beberapa asumsi di balik konsep ini. Pertama, bahwa manusia terbagi atas berbagai tipe yang teramati melalui ciri-ciri fisiknya dan ini diturunkan melalui darah. Konsekuensinya ialah pembedaan antara ras yang “murni” dan yang “campuran” menjadi sesuatu yang mungkin. Selanjutnya, konsep ini juga menyiratkan perilaku dan mental manusia beserta kepribadian individu, gagasangagasan dan kapasitasnya bisa dikaitkan dengan asal-usul rasnya.181 Konsep “ras” menjadi signifikan bagi kolonialisme karena kategori manusia berdasarkan ras bertalian erat dengan kepentingan kekuasaan kolonial untuk mendominasi orang-orang yang dijajah dan superioritas ras dipakai sebagai alasan
pembenaran
oleh
sistem
kolonialisme
tersebut.182
Kolonialisme
memanfaatkan kategori ras untuk menarik batas-batas yang tegas dalam oposisi biner dengan membuat pembedaan antara kita yang “beradab” dan liyan yang “primitif” sehingga kolonialisme dengan misinya untuk memperadabkan 180
Penjelasan mengenai konsep ras ini juga diajukan oleh Patrick Wolfe yang memandang ras sebagai suatu konstruksi ideologis. Ada dua ciri umum dari konsep ras ini. Pertama, kategori ras bersifat hierarkis—perbedaan (difference) tidaklah netral. Kedua, ras menghubungkan ciri-ciri fisik dengan ciri-ciri kognitif, budaya dan moral, mencampurbaurkan yang konkret dan yang abstrak, yang kebinatangan dan yang manusiawi, yang somatis dan semiotis. Lebih lanjut lihat Patrick Wolfe, “Race and racialisation: some thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 (2002): 5162. 181 Aschroft, et. al., Key Concepts, 198. 182 Aschroft, et. al., Key Concepts, 198.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(civilizing mission) menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar. Di sini identitas ras dibayangkan sebagai sesuatu kategori yang stabil dan tidak berubah-ubah. Ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Homi K. Bhabha bahwa salah satu ciri penting wacana kolonial ialah ketergantungannya pada konsep “kepastian” (“fixity”) di dalam pengkonstruksian keliyanan (otherness).183 Terkait dengan keempat cerita yang diteliti, bagian ini akan menyoroti bagaimana kesadaran ras mengemuka di dalam cerita beserta ambivalensi wacana mengenai ras dilihat dari bagaimana detil-detil cerita tertentu mengganggu stabilitas ras sebagai sebuah kategori yang menandai perbedaan. Secara sekilas, Tjerita Njai Dasima bisa dibaca sebagai sebuah narasi tentang pertentangan antara pihak pribumi versus orang Eropa. Pembacaan semacam ini akan mengarah pada gagasan bahwa cerita tersebut ditulis sesuai dengan logika wacana kolonialisme yang dominan: pihak pribumi tampil sebagai pihak yang jahat, sementara tokoh Eropa adalah sosok yang baik. Pertanyaannya ialah benarkah dikotomi antara kedua pihak tersebut sesederhana yang dibayangkan? Adakah ambivalensi tertentu yang dapat menggugat stabilitas kategori pembedaan berdasarkan ras tersebut? Di dalam cerita ini disebutkan bahwa Dasima merupakan “orang prampoean slam dari Kampoeng Koeripan.”184 Pada bagian lain juga disebutkan
183
Bhabha menyebutkan bahwa kepastian (fixity) sebagai tanda perbedaan budaya/sejarah/rasial di dalam wacana kolonialisme merupakan moda representasi yang paradoksikal: ia berkonotasi dengan kekakuan (rigidity) dan tatanan yang tak berubah (unchanging order) maupun kekacauan (disorder), degenerasi dan pengulangan yang demonis (daemonic repetition). Bhabha, "The Other Question," 18. 184 Toer, Tempo Doeloe, 225.
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa “Njai Dasima soeda tersohor di kampoeng-kampoeng Slam”185 karena kecantikan dan kekayaannya dan ini membuat “banjak sekali orang orang slam lelaki ingin sekali boeat dapet tempel, boeat eret hartanja.”186 Kata “Slam” di sini menjadi penanda akan adanya perbedaan ras, atau dalam istilah yang sering muncul dalam cerita, perbedaan bangsa. “Orang Slam” di sini dilawankan dengan “orang kafir” yang di dalam cerita merujuk pada “orang Serani ataoe Tjina.”187 Di sini, tampak bahwa konsep “ras” tumpang tindih dengan konsep “agama”. Secara umum, seseorang yang berasal dari ras tertentu diasumsikan beragama tertentu pula. Orang Eropa dianggap pasti beragama Kristen, sedangkan orang Pribumi dianggap beragama Islam. Jika mengacu pada konsep ras seperti yang telah dikemukakan sebelumnya maka sebagai penanda perbedaan, ia tidaklah stabil karena konsep ras di sini ternyata mengacu pada kategori agama juga. Kategori Pribumi versus nonpribumi (baca: Eropa) yang bertumpangtindih dengan kategori Islam dan kafir (baca: Nasrani) di dalam cerita muncul berulang-ulang. Misalnya disebutkan juga bahwa hubungan Nyai Dasima dan Tuan W. yang adalah orang “koelit poeti”188 sebagaimana disuarakan oleh tokoh Ma Boejoeng, menurut ajaran agama Islam adalah suatu perzinahan yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam Tjerita Njai Dasima, perbedaan antar ras di sini ditandai oleh kata “bangsa” di mana kategori “bangsa” itu sendiri juga mencakup konsep “agama.” Konsep ras
185
Toer, Tempo Doeloe, 225. Toer, Tempo Doeloe, 225-226. 187 Toer, Tempo Doeloe, 228. 188 Toer, Tempo Doeloe, 235. 186
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang mengacu pada seperangkat ciri fisik, biologis, dan genetis pun merujuk pada kategori lainnya, yakni agama. Jika memang kategori ras yang dikaitkan dengan darah (biologi), menyatu dengan konsep agama (budaya), bukankah konsep ras itu sendiri tidak bisa dipertahankan sebagai penanda yang stabil? Salah satu bagian cerita mengisahkan bahwa Toean W. sebernarnya bermaksud mengajak Dasima masuk Kristen, lalu menikahinya secara resmi. Yang menjadi persoalan, seandainya Dasima memang masuk Kristen, ia termasuk ke dalam kategori yang mana: Eropa (meski dia tidak memiliki darah Eropa) ataukah tetap pribumi (kendati dia Kristen)? Lalu, jika pribumi bisa masuk Kristen, apakah dengan demikian ciri-ciri yang diasosiasikan dengan rasnya (pribumi = jahat), masih ada? Di sinilah letak ambivalensinya, yakni bahwa konsep ras yang dianggap seringkali penanda identitas yang paling kokoh ternyata rentan dan sulit dipertahankan. Dengan kata lain, konsep ras bentukan kolonial itu pun ada kelemahannya. Cerita ini justru tidak menempatkan Dasima secara sentral dalam dikotomi pribumi versus Eropa. Maksudnya, ras Dasima di sini tidak dipersoalkan. Dilihat dari keseluruhan cerita secara umum, Tjerita Njai Dasima secara dominan menampilkan golongan pribumi—dalam hal ini diwakili oleh sosok Samioen dan para sekutunya—sebagai pihak yang “jahat”: tamak, tidak segan-segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan penuh muslihat. Sementara itu, orang Eropa—diwakili oleh sosok Tuan Edward W.—cenderung digambarkan sebagai pihak yang “baik”: mudah percaya, penuh cinta dan tanggung jawab. Akan tetapi, dikotomi tersebut sebenarnya justru runtuh karena
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kedua kecenderungan ini (baik maupun jahat) bisa dimiliki oleh masing-masing pihak secara bersamaan. Toean W., misalnya, juga “jahat” karena ternyata dia “tiada sekali taoe adjar atawa soeroe adjar peladjaran agama”189 kepada nyainya meskipun dia mengetahui Dasima masih memeluk keyakinannya sendiri. Jadi, kecenderungan tokoh pribumi muncul sebagai tokoh yang “jahat” dan tokoh Eropa sebagai tokoh yang “baik” memang masih ada. Namun, batasan-batasan tersebut tidak sehitam-putih yang diandaikan. Tokoh Dasima dapat dikontraskan dengan Ma’ Boejoeng yang sama-sama pribumi. Dasima adalah perempuan pribumi yang tekun dan bersedia belajar “segala roepa pekerdjahan prampoean jaitoe masak, mendjait, dan potong segala roepa pakean”190 yang diajarkan orang Eropa (Njonja Bonnet). Sementara itu, Ma’ Boejoeng adalah sosok perempuan kampung, kalangan yang dilarang Toean W. bergaul dengan Dasima, sehingga bagi Toean W. memelihara perempuan semacam Ma’ Boejoeng hanya membuang-buang uang. Di sini tersirat bahwa ada golongan pribumi yang memang patut dipelihara karena ia bisa dibentuk sesuai dengan nilai-nilai Eropa (baik)—diwakili oleh sosok Dasima—dan golongan pribumi yang tidak patut dipelihara karena “sudah dari sananya” sifatnya seperti orang kampung/pribumi kebanyakan yang tidak mudah diatur/“diprentah” (buruk)—diwakili oleh Ma’ Boejoeng. Kedua figur ini memang berlawanan dan jika ada pribumi yang baik dan buruk, bukankah demikian halnya dengan orang Eropa—ada orang Eropa yang baik dan ada juga yang jahat?
189 190
Toer, Tempo Doeloe, 228. Toer, Tempo Doeloe, 225.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ditinjau secara umum Tjerita Nji Paina secara dominan menunjukkan kritik terhadap kolonialisme secara sadar, yakni kolonialisme merupakan sebuah sistem eksploitatif yang melibatkan relasi kekuasaan di mana ada hierarki antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya: tuan Eropa yang posisinya lebih tinggi daripada golongan pribumi. Hubungan asimetri itu meliputi berbagai aspek kehidupan: dalam hubungan kerja, dalam hubungan antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi. Hal tersebut misalnya tampak ketika tuan administratur baru (Eropa) memandang gaji Niti Atmaja (pribumi) terlalu besar. “Di mana pada zaman ini orang dengar iang satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih begitoe besar. Doea poeloeh lima roepiah masih terlaloeh banjak boeat satoe djoeroetoelis orang Djawa.”191 Gagasan ini bersesuaian dengan ideologi kolonial bahwa etos kerja orang Eropa lebih baik sehingga pantas mendapat bayaran yang lebih tinggi. Sebaliknya, orang pribumi etos kerjanya lebih buruk dan konsekuensinya, wajar apabila diupah lebih rendah pula. Kritik yang disampaikan cerita tersebut merupakan kritik terhadap gagasan yang dibentuk wacana kolonial secara umum bahwa orang Eropa memiliki etos kerja lebih yang baik, sedangkan golongan pribumi etos kerjanya kurang baik sehingga mereka perlu diajar dan diperintah oleh orang Eropa agar bisa maju. Meskipun terdapat kritik yang menjadi pesan dominan dari cerita tersebut, ambivalensi juga muncul di dalam cerita terkait konsep ras itu sendiri. Dalam hal ini gagasan bahwa orang Eropa kinerjanya lebih baik sudah dimaklumi begitu saja
191
Toer, Tempo Doeloe, 318.
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(taken for granted). Padahal, dalam realitas cerita orang Eropa tidak selalu lebih baik. Tokoh Niti Atmaja (pribumi) adalah sosok yang disiplin, tekun dan teliti di dalam pekerjaannya sehari-hari. Kinerja Niti ini amat kontras dengan kinerja atasannya, Tuan Briot, yang selalu pulang kerja lebih awal, kerjanya hanya memerintah dan memeriksa pekerjaan bawahannya. Kebanyakan pekerjaannya justru dikerjakan oleh Niti. Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi orang pribumi (Niti) yang lebih inferior justru bisa meniru orang Eropa secara “sempurna” dan tidak terhalangi oleh ciri-ciri yang dianggap “kodrati” (rasnya). Sementara itu, orang Eropa (Briot) yang dielu-elukan sebagai ras yang superior ternyata justru tidak mampu bekerja dengan baik sebagaimana yang diandaikan melekat dalam “kodrat”-nya. Dengan demikian, stereotipe tentang pribumi sebagai ras inferior tersebut tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa tidak selalu lebih cemerlang daripada orang pribumi. Ambivalensi lain di dalam cerita ini ialah bahwa di balik kecenderungan cerita yang kritis terhadap kolonialisme ini, terdapat juga bagian yang menunjukkan
persekutuannya
(complicity)
dengan
sistem
tersebut.
Ini
ditampakkan oleh pengabdian Niti pada pabrik gula tempatnya bekerja yang pemiliknya orang Eropa dan mempekerjakan banyak orang pribumi. Berkat kesiagaannya, ia bisa mencegah perbuatan-perbuatan jahat yang hendak dilakukan oleh bawahannya. Selain itu, ia juga bisa mengatasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di pabrik. Dedikasinya inilah yang membuat gajinya tetap tinggi di tengah kondisi pabrik yang sulit. Bisa dikatakan bahwa Niti yang mewakili golongan
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pribumi yang dianggap “baik” justru menjadi salah satu penopang sistem kolonialisme itu sendiri. Dalam beberapa bagian lain dari cerita ini juga muncul dalam salah satu bagian lain, Paina dihadapkan pada pilihan menerima pinangan Briot untuk menyelamatkan ayahnya atau menolak pinangan itu dan membiarkan ayahnya masuk penjara. Awalnya ia menolak secara tegas dengan mengatakan, “Apa, djadi njainja tjeleng itoe?’ Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe.”192 Kata “celeng” di sini agaknya menjadi metafor yang merangkum seperangkat ciri: rakus, najis, kotor. Jika biasanya penamaan atau penjulukan melibatkan aspek kekuasaan karena hal tersebut membawa konsekuensi bagi yang dijuluki, di sini Paina adalah “budak” yang menantang balik “sang tuan” melalui umpatan yang menyamakan “sang tuan” tersebut dengan “celeng.” Kendati berada dalam posisi yang tidak berdaya, tetapi Paina tetap menemukan celah untuk “menyerang balik” figur kekuasaan yang tengah mencengkeramnya. Bentuk otonomi semacam ini juga dapat ditemukan pada bagian lain yang menceritakan bahwa Paina “aken bikin mati toen Briot”193 dengan cara menularkan penyakit cacar kepadanya. Secara literal, penyakit cacar di sini dapat diasosiasikan dengan berbagai hal, antara lain rendahnya kualitas hidup (jorok, tidak higienis), mudahnya menular, efek-efek yang ditimbulkan (bekas-bekas pada kulit, kematian). Namun, lebih jauh penyakit cacar dengan sifatnya yang mudah menular tersebut menjadi simbol bagi kontaminasi ras: Paina yang 192 193
Toer, Tempo Doeloe, 327. Toer, Tempo Doeloe, 328.
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pribumi—golongan yang distereotipekan dengan sifat primitif, barbar, tidak beradab—sedang menulari Briot yang Eropa dengan ciri-ciri “kepribumiannya” sehingga “kemurnian”-nya menjadi cemar. Meskipun berada dalam posisi yang “kalah,” Paina menjalankan siasat resistensinya melalui penularan cacar yang ia pilih dengan sadar sehingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tujuannya. Dilihat secara keseluruhan, Cerita Nyai Ratna bercerita tentang petualangan seorang perempuan pribumi yang menjadi nyai. Petualangan ini cukup lengkap karena dikisahkan sejak awal bagaimana ia menjadi nyai hingga bagaimana akhirnya ia “bertobat” akibat perilakunya yang “buruk” selama menjadi nyai. Di sini ambivalensi sudah hadir di dalam keseluruhan cerita karena pengarangnya sudah secara eksplisit menunjukkan sikap eksplisit terhadap tokoh nyai. Di satu sisi, ada keterpesonaan terhadap sosok nyai yang dianggap hebat dilihat dari penampilan, pengetahuan dan materi yang dapat diaksesnya, serta mobilitas sosialnya yang meningkat. Namun demikian, di sisi lain, ada juga kritik terhadap figur nyai yang ternyata berani melakukan perbuatan-perbuatan yang secara moral/normatif jahat/buruk, mulai dari menipu tuannya, berselingkuh, bebas secara seksual, meracun tuannya dan sebagainya. Berbeda
dengan
kedua
cerita
sebelumnya,
Tjerita
Nyai
Ratna
menggambarkan kesadaran akan perbedaan ras dengan cara yang relatif eksplisit. Dalam cerita berkali-kali disebutkan kategori “Belanda” yang dilawankan dengan “bangsa sendiri” atau pribumi. Misalnya ketika tokoh bibi Ratna, Nyi Brata, menggambarkan perbedaan jika seorang perempuan hidup bersama dengan lelaki Eropa dan lelaki pribumi. Dalam adegan lainnya, tokoh Ratna juga mengatakan
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa tuannya itu “lain bangsa.” Di sini, kategori “bangsa” juga bisa disejajarkan dengan kategori “ras.” Cerita ini secara dominan menggambarkan orang Eropa sebagai pihak yang baik, yakni sebagai sosok “penyelamat.” Ini terjadi karena lelaki Eropa dianggap memperlakukan perempuan pribumi lebih baik daripada lelaki pribumi meskipun status perempuan tersebut hanyalah seorang nyai. Hal tersebut digambarkan dalam salah satu percakapan antara Ratna dan Nyi Brata. “Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung. Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak dapat kesenangan.”194 Jadi, dalam berbagai segi, perempuan pribumi yang menjadi nyai dari lelaki Eropa dipandang masih lebih baik daripada yang menikah dengan lelaki pribumi, entah lelaki yang status sosialnya lebih tinggi ataupun yang statusnya lebih rendah daripada perempuan tersebut. Pada bagian lainnya, dikisahkan juga pengalaman Nyi Brata ketika menjadi nyai seorang lelaki Belanda. Dengan menjadi nyai itulah ia lalu memiliki akses kekayaan materi dan ini lalu dianggap sangat menentukan kebahagiaan perkawinannya dengan seorang lelaki pribumi setelah tuannya mati. Lebih lanjut, disebutkan bahwa bekas nyai pun memiliki status yang lebih tinggi daripada perempuan pribumi lainnya. “Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya isteri-isteri bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian nyai-nyai
194
Toer, Sang Pemoela, 374.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih perempuanperempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan bengkok.”195 Singkatnya, cerita ini menampilkan gambaran tentang “lelaki kulit putih yang menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari lelaki berkulit coklat” (white man saving brown woman from brown man”) seperti yang diungkapkan oleh Gayatri Spivak196: lelaki Eropa “menyelamatkan” perempuan pribumi dari kondisi kehidupan yang buruk dengan lelaki pribumi. Salah satunya karena menurut kelaziman pada masa itu, “jamak isteri dimadu”197 serta “jamak lelaki piara bini lebih dari satu”198 mengingat “itu diperkenankan oleh agama.”199 Dengan menjadi nyai, seorang perempuan pribumi juga mendapatkan akses terhadap materi dan status sosial yang lebih tinggi daripada rata-rata orang pribumi lainnya. Bahkan, itu masih berlangsung setelah perempuan tersebut tidak lagi menjadi nyai! Jika dibaca dengan “melawan arus,” akan tampak ambivalensi dalam wacana mengenai ras ini. Hal ini, misalnya, tampak dalam gagasan Ratna bahwa perselingkuhannya dengan Sambodo dapat dibenarkan: “Peduli apa laki lain bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya nyonya.”200 Kutipan ini menyiratkan kritik terhadap status seorang nyai: Ratna menyadari posisinya sebagai seorang nyai dari seorang lelaki Eropa yang status persisnya bahkan tidak ia ketahui secara persis—menikah atau tidak menikah. Dengan alasan itu, menurut Ratna, dalam hubungan tersebut tidak perlu ada kesetiaan ataupun cinta. Pada bagian lain, dikisahkan Mak Dukun menasihati salah satu tokoh nyai lainnya, yakni 195
Toer, Sang Pemoela, 374. Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 154. 197 Toer, Sang Pemoela, 371. 198 Toer, Sang Pemoela, 371. 199 Toer, Sang Pemoela, 371. 200 Toer, Sang Pemoela, 384. 196
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Parminingsih, untuk tetap mengikuti kemauan sang tuan sembari tetap menggerogoti hartanya karena alasan “lain bangsa.”201 Jadi, kedua tokoh nyai ini memandang hubungan nyai-tuan semata-mata relasi yang sementara dan pragmatis di mana di dalamnya sang nyai tidak perlu menunjukkan kesetiaan ataupun cinta. Namun, kepatuhan terhadap sang tuan dianggap tetap diperlukan semata-mata agar nyai tersebut bisa memperoleh harta sang tuan. Di dalam cerita ini, hubungan dengan “lain bangsa” dipandang sebagai bentuk hubungan yang sementara dan pragmatis. Jadi, konsep “cinta lintas ras” tidak mengemuka di dalamnya. Adanya nyai yang memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperoleh harta yang banyak dari tuannya menggagalkan asumsi mengenai orang pribumi yang bodoh. Jika diandaikan bahwa lelaki Eropa dengan mudahnya bisa memilih perempuan mana yang hendak dijadikan nyainya—dengan demikian perempuan tersebut pasif—dan hubungan tersebut lantas berlangsung satu arah maka dalam kenyatannya hubungan itu justru berlangsung dua arah karena ternyata nyai tersebut juga memanfaatkan tuannya. Ini meruntuhkan asumsi tentang tuan yang sedemikian berkuasa. Di tengah cengkraman kekuasaan itu, si nyai ternyata bersiasat, yakni dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mengumpulkan harta, bersenang-senang dengan lelaki lain yang diinginkannya, bahkan melakukan tindakan perselingkuhan di rumah tuannya sendiri. Nyai yang dipandang lugu dan baik tersebut ternyata sadar benar akan posisinya dan memanfaatkan keadaan demi kesenangannya sendiri.
201
Toer, Sang Pemoela, 390.
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam Hikayat Siti Mariah, perbedaan ras ditampilkan secara eksplisit melalui pembedaan antara orang Belanda, Belanda peranakan (Indo), dan kaum pribumi yang sebagian diwakili oleh golongan bangsawan. Ini tampak, misalnya ketika Siti Mariah yang sewaktu masih kecil bernama Urip, digambarkan “bergaul dengan anak-anak Belanda, mengikuti adat orang Belanda.”202 Kategori ras di sini juga bertumpang tindih dengan kategori agama. Dalam salah satu bagian, Joyopranoto melarang Mariah berhubungan dengan Henri Dam karena ia “Belanda totok”203 dan “bangsa kafir.”204 “Astagafirullah! Tuan opsiner Henri Dam? Apa betul? Belanda totok? Bangsa kafir? Siapa mau mengawinkan anaknya dengan bangsa kafir? Bermantukan dia? Banyak terima kasih. Najis. Tuan Dam memang seorang baik-baik. Saya suka. Bukan saya berhati busuk padanya, saya dan dia bersahabat dalam pekerjaan. Tapi lain lagi dalam hal agama. Agama di atas, persahabatan di bawah. Biar sampai mati. Heran sekali bagaimana Mariah bisa jatuh cinta sama bangsa kafir. Bikin jadi kapiran ibu dan bapaknya. Bikin malu bangsa Islam.”205 Ditinjau dari plot secara keseluruhan, Hikayat Siti Mariah secara dominan menggambarkan tokoh Eropa yang jahat—dalam hal ini diwakili oleh tokoh Nyonya von Holstein: licik, penuh tipu daya dan dengan kekuasaannya, ia berusaha merusak hubungan cinta yang harmonis antara Siti Mariah dan Henri Dam. Bahkan, ia pun tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Buruknya karakter Nyonya Holstein yang mewakili orang Eropa ini juga ditegaskan melalui salah satu bagian cerita di mana Tuan Administrator Kalibagor mengkritik muslihat yang dilancarkan Nyonya Von Holstein untuk menceraikan Henri Dam dan Siti Mariah. Berikut petikannya. 202
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 89. Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 204 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 205 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 203
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Iblis kejahatan tak pilih bangsa. Jangan kita menyangka kejahatan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pribumi. Kita yang berkulit putih tak berarti mesti bersih, apakah hatinya juga putih bersih? Neen, nyonya besar.206 Sementara itu, Mariah, yang sebenarnya Indo tetapi lebih sering diidentifikasikan sebagai pribumi, justru ditampilkan sebagai tokoh yang baik. Ia memenuhi fantasi kolonial mengenai “figur feminin yang sempurna”207: seorang nyai yang meskipun dilepas tuannya tetap bisa tabah dan tegar, lalu karena cintanya ia mengerahkan segenap tenaga untuk mencari anaknya yang dipisahkan secara paksa darinya. Meskipun orang Eropa cenderung digambarkan buruk dan kaum pribumi baik, dikotomi semacam itu sebenarnya tidak setegas yang dibayangkan. Secara umum, cerita ini mengusung konsep “cinta sejati” antara lelaki dan perempuan. Di sini bukan ras yang penting, melainkan cinta tersebut. Henri mengalami kebahagiaan dengan hidup bersama Mariah yang dianggap “pribumi”, sementara hal itu tidak ia rasakan ketika sudah menikah dengan Luci yang Belanda totok karena cinta absen di dalam perkawinan mereka. Dengan demikian, cerita ini juga mengemukakan kritik terhadap gagasan bahwa lelaki Eropa harus menikahi perempuan dari ras yang sama, alasan yang mendasari perceraian Henri dengan Mariah. Walaupun cerita ini pesannya jelas, bahwa cinta sejati lebih penting daripada ras, ambivalensi justru muncul di akhir cerita bahwa Mariah yang selama
206
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 188. Konsep ini saya adaptasi dari Ania Loomba yang menyebutkan bahwa figur “other woman” menghantui imajinasi kolonial dengan cara yang seringkali ambivalen dan kontradiktif. Di satu sisi, ia menjadi contoh barbarisme, tetapi di sisi lain ia memenuhi fantasi kolonial mengenai “perilaku feminin yang sempurna.” Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 157. 207
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini diduga Henri sebagai pribumi ternyata Indo atau “Belanda peranakan” karena ia lahir dari hubungan antara seorang perempuan pribumi, Sarinem, dan seorang lelaki Eropa, Elout van Hogerveldt. Jadi, Mariah memiliki darah Eropa. Maka, cerita tersebut tetap menyiratkan idealisasi tentang cinta sesama ras: tidak mungkin orang Eropa mengalami cinta sejati dengan orang yang bukan Eropa. Di sinilah letak ambivalensinya: seolah-olah lelaki Eropa jatuh cinta pada perempuan pribumi, tetapi ternyata cinta sejati itu hanya mungkin dialami dengan perempuan yang keturunan Eropa juga. Ambivalensi lainnya ialah bahwa kendati ia seringkali diidentifikasikan sebagai pribumi karena dibesarkan oleh pribumi, kualitas-kualitas positif yang dilekatkan pada Mariah (sabar, tegar, penuh pengorbanan) bisa dibaca sebagai karakter yang ia warisi karena darah Eropa-nya. Jadi, meskipun di dalam cerita orang pribumi tampil sebagai pihak yang baik dan dilawankan dengan orangorang Eropa yang buruk di sini masih tersirat adanya gagasan tentang superioritas orang Eropa yang dipandang lebih baik daripada kaum pribumi.
4. Pernyaian dan perkawinan Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II, pernyaian merupakan fenomena yang umum di Hindia Belanda dan telah memiliki sejarah yang panjang, yakni sejak munculnya VOC di Nusantara. Hal ini tidak berarti keberadaan institusi tersebut lepas dari kontroversi. Sepanjang keberadaannya, berbagai suara yang menentang pernyaian juga mengemuka. Akan tetapi, pernyaian tetap bertahan sebagai salah satu bentuk regulasi seksual yang didukung
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintah kolonial. Alasannya pertama-tama terkait dengan kepentingan ekonomi. Seperti yang dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual ini sangatlah penting terhadap perkembangan permukiman kolonial beserta alokasi aktivitas ekonomi di dalamnya. Bagian ini akan melihat ambivalensi dalam wacana mengenai pernyaian dilihat dari plot cerita secara keseluruhan yang dibandingkan dengan detil cerita. Dalam Tjerita Njai Dasima, disebutkan secara eksplisit cinta Tuan Edward W. terhadap Nyai Dasima, terutama karena Nyai Dasima rajin dan terampil dalam pekerjaan rumah tangganya, ”maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang”208 serta dari hubungan itu sudah lahir seorang putri, Nanci, yang sangat dicintai oleh Tuan W. Akan halnya perasaan Dasima terhadap Tuan W. sendiri digambarkan lewat suara tokoh Samioen yang memandang bahwa Dasima ”terlaloe tjinta kapada itoe kafir”209 dan tokoh Ma Boejoeng yang menganggap bahwa “dia poenja kahidoepan terlaloe tjinta satoe sama laen, dan itoe Toean pertjaja semoea hartanja dan sekalian roema-tangganja kepada dianja; dia idoep lebi-lebi dari atoeran orang terkawin.”210 Dibaca dari sudut pandang yang dominan, pernyaian di dalam cerita ini merupakan jenis hubungan yang mampu mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Sementara itu, setelah bercerai dengan Tuan W., Dasima menikah dengan Samioen. Demikian gambaran kehidupan perkawinan Dasima.
208
Toer, Tempo Doeloe, 225. Toer, Tempo Doeloe, 226. 210 Toer, Tempo Doeloe, 229. 209
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Dia poenja giwang, tjintjin dan gelang bertaboer intan ditoekar dengen giwang piroes dan tjintjin bela rotan perak, tiada pake gelang, serta misti membantoe masak dengen koki di dapoer, serta misti lajanin lakinja, mertoeanja dan madoenja ibarat satoe boedak, tadinja di roemah Toean W. dia dilajanin oleh boedjang-boedjang, dan sekarang dia misti djadi boedak orang, djikaloe tiada betoel kerdjanja, dia dapet mara dan dapet bentakan dari madoenja, maka o, kesian sekali, itoe penjeselan hati soeda moelain datang…”211 Dasima merasakan kehidupannya dalam perkawinan yang resmi—secara hukum dan agama—justru jauh dari kebahagiaan dan bertolak belakang dengan kehidupannya dalam pernyaian. Ketika hidup sebagai seorang nyai, Dasima memiliki cukup otonomi dan kekuasaan—terhadap harta, terhadap kehidupan rumah tangga. Ketika ia menjadi seorang istri dari lelaki pribumi, justru otonomi tersebut lenyap: dari sosok yang punya kekuasaan, ia justru menjadi subordinat, menjadi “boedak orang” demikian menurut kata-kata Dasima. Keseluruhan plot cerita Tjerita Njai Dasima secara dominan menyuarakan bahwa pernyaian merupakan bentuk hubungan yang bisa mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Perkawinan antara perempuan pribumi dengan lelaki pribumi dianggap lebih buruk karena dapat menurunkan status perempuan tersebut. Hal ini sebagian terkait juga dengan praktik poligami dan ajaran agama yang tidak berpihak pada perempuan. Namun demikian, dilihat dari sisi lain, cerita tersebut juga menunjukkan adanya ambivalensi di dalam wacana tentang pernyaian ini. Hal tersebut hadir melalui kritik terhadap status nyai yang dipandang rendah melalui suara tokoh Hajati, istri Samioen.
211
Toer, Tempo Doeloe, 240.
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Embok Saleha poedji itoe Njai poenja roepa, begitoe poenya bagoes, tetapi sajang sekali dia djadi goendiknja orang koelit poeti, prampoean begini pantas djadi bini kawin orang Slam, jang berpangkat, ataoe kaja, sebab dia boleh dapet lebih banjak kehormatan!”212 Selain itu kritik tentang ketidakjelasan status Dasima, yang sebagai piaraan Tuan W. “boekannja bini kawin, dan boekan boedak,”213 juga disuarakan oleh tokoh Ma’ Boejoeng. Di sini suara tersebut memperoleh peneguhan dari ajaran agama yang memandang bentuk hubungan nyai-tuan sebagai perzinahan. “Boeat apa Njai takoet sama Toean, djikaloe dia sajang sama Njai betoelbetoel, tentoe dia soeda kawin sama Njai. Dia ada satoe orang koelit poeti, kaloe dia dapat bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega dia poelang ke negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal Njai sebatang karang, tiada poenja sanak-soedara dan tiada poenja kenalan disini maka itoe Njai idoep sama Toean ada kahidoepan berdjina, tiada nikah begimana soeda dipesan oleh Nabi Moehamad, haroes Njai lekas-lekas toentoet agama, soepaja djangan menjesal di blakang kali.”214 Ketidakjelasan status nyai serta gagasan pernyaian sebagai bentuk perzinahan itu juga disuarakan melalui suara Dasima sendiri. Berikut petikannya. “…saja ikoet sama Toean soeda begini poenja lama, tiada kawin, djadi berdjinah, besok loesa kaloe Toean kawin dengen Toean poenja bangsa ataoe Toean poelang ka Toean poenja negri, djadi saja telantar, tiada oeroes saja poenja djiwa, maka itoe Toean kasi ataoe Toean tiada kasi, saja minta lepas dari Toean,… .”215 Dalam bagian lainnya, diceritakan pula Tuan W. bernegosiasi dengan Dasima lewat ajakan masuk ke dalam agama Kristen dan menikah secara resmi untuk “menimboelkan hormatnja kita poenja anak.”216 Jadi, di sini perkawinan resmi tetaplah dipandang lebih baik daripada pernyaian karena hal ini sejalan dengan
212
Toer, Tempo Doeloe, 234. Toer, Tempo Doeloe, 231. 214 Toer, Tempo Doeloe, 235. 215 Toer, Tempo Doeloe, 238 216 Toer, Tempo Doeloe, 238. 213
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
moralitas perkawinan Kristiani yang dijunjung tinggi oleh orang Eropa pada masa itu. Salah satu konstruk yang termuat di dalam wacana kolonial ialah konstruk mengenai perkawinan. Diandaikan bahwa orang Eropa sudah lebih “modern” di mana seseorang bebas menentukan jodohnya sendiri yang didasarkan atas cinta atau suka sama suka. Tidak ada campur tangan keluarga ataupun orang-orang sekeliling di dalam pilihan tersebut. Hal ini sangat berkebalikan dengan orang pribumi yang konon masih “kolot” karena seseorang belum bebas dalam memilih jodohnya sendiri. Ia masih tergantung pada keluarga dan orang-orang dekat di dalam mengambil keputusan tersebut. Ada kalanya ia pada akhirnya tidak bisa bersatu dengan orang yang ia cintai karena tentangan dari lingkungan. Tak jarang ia dijodohkan atau justru dikawinkan paksa dengan orang yang tidak ia cintai. Tjerita Nji Paina menunjukkan ambivalensi terkait hal tersebut. Tokoh Paina yang pribumi justru memperlihatkan sikap aktif di dalam menentukan jodohnya di mana perasaan suka sangat berperan dalam pilihan tersebut. Hal ini tersirat ketika ayahnya menyampaikan “pinangan” Briot terhadap Paina untuk menjadi nyainya sebagai syarat kebebasan sang ayah dan Paina menolak dengan tegas. “Apa, djadi njainja tjeleng alas itoe?” [sic] Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe?”217 Jadi, di sini tersirat bahwa Paina memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya sendiri. Jika dalam bagian sebelumnya diceritakan bahwa ia sudah memiliki tunangan, namun tunangannya itu kemudian
217
Toer, Tempoe Doeloe, 327.
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meninggal karena sakit, hal itu perlu ditempatkan dalam konteks ini: ia ditunangkan dengan orang yang juga ia sukai. Gagasan ini pada akhirnya juga dipertegas dengan kehidupan perkawinannya dengan lelaki sebangsanya yang disebutkan bahagia setelah kematian Briot. Cerita Nyai Ratna menyampaikan gagasan-gagasan mengenai pernyaian secara cukup eksplisit. Hal tersebut pertama-tama bisa dibaca dari sikap Ratna terhadap perkawinan. Ratna Purnama yang cantik dikisahkan menjadi seorang janda setelah suaminya meninggal dunia. Ia menikah lagi untuk kedua kalinya, tetapi perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan baginya karena “tersia-siakan kesetiaannya”218 dan pada akhirnya ia diceraikan oleh suaminya itu. Pengalaman inilah yang membuat Ratna pada akhirnya “punya adat tidak mau dimadu.”219 Dari percakapan antara Brata, Nyi Brata dan Ratna terungkap keadaan yang lazim pada waktu, yakni poligami, sehingga sudah jamak seorang perempuan dimadu, sedangkan seorang lelaki memelihara isteri lebih dari satu, apalagi hal itu “diperkenankan oleh agama.”220 Akan tetapi, jenis hubungan semacam itu tampaknya bukan sesuatu yang diidealisasikan. Dalam hal ini, perkawinan perempuan (pribumi) dengan lelaki (pribumi) yang statusnya sederajat lebih dianggap ideal. Demikian gagasan ini muncul lewat suara tokoh Ratna. “Ia hanya ingat kata bibinya, bahwa perempuan asal kecil seperti dia seboleh-boleh agar berlelaki dengan orang yang sepantar, barulah dapat kesenangan. Adapun lelaki bangsawan itu niscaya kurang kekal kecintaannya karena ada beberapa halangannya dan martabat si isteri tidak jauh bedanya dengan martabat si kembang, yang digubah seperti buket 218
Toer, Sang Pemoela, 379. Toer, Sang Pemoela, 369. 220 Toer, Sang Pemoela, 371. 219
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selagi segar, tidak kurang kehendakan tidak kurang rawatan, tetapi, kalau sudah layu ia dapat tiada dijadikan sampah.”221 Meskipun pernikahan dengan lelaki yang didasarkan pada prinsip kesetaraan itu cukup ideal, ada pilihan lain yang dianggap lebih ideal bagi seorang perempuan pribumi. Hal ini terungkap dari dialog antara Nyi Brata dan Ratna sebagai berikut. “Bekal? … Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung. Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak dapat kesenangan…” Ratna membengong memikirkan segala kata bibinya. Semakin jauh ia pikirkan, semakin ia yakin bahwa segala kata bibinya betul belaka. Ingatan Ratna kembali pada ketika ia menunggu kedatangan lakinya yang kedua. Ia ingat betapa maingnya222 sudah ceritakan perkara dirinya yang lantaran ia dimadu sampai ia jadi ronggeng supaya melepaskan siksa tambang lakinya, dia lantas jadi nyai-nyai Belanda, dan supaya menjatuhkan talaknya ia sudah pura-pura memeluk Nasrani. Kemudian baru ia senang kawin dengan baing,223 senang karena maing sudah mampu sehingga lakinya hidup dari kekayaannya. Dia mampu karena jadi nyai, sehingga punya sawah beberapa bahu, punya kerbau, pakaian mas-intan, rumah, sehingga ditinggal mati masih dia punya bekal buat menunggu kematiannya sendiri. Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya isteri-isteri bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian nyai-nyai bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih perempuan-perempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan bengkok. …”224 Di sini menjadi nyai dari seorang lelaki Eropa dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bagi seorang perempuan pribumi daripada menjadi istri dari seorang lelaki pribumi, entah yang statusnya setara maupun tidak setara dengan perempuan tersebut. Ini karena dengan menjadi nyai, seperti diperlihatkan oleh 221
Toer, Sang Pemoela, 372. Bibi. 223 Paman. 224 Toer, Sang Pemoela, 374. 222
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tokoh Ratna, perempuan tersebut justru memiliki akses terhadap materi, kekuasaan dan status sosial yang lebih di mata masyarakat. Jadi ditinjau dari berbagai segi, plot secara keseluruhan menyampaikan suara bahwa hidup sebagai nyai dari lelaki Eropa dipandang sebagai pilihan yang lebih baik daripada berbagai kemungkinan lainnya (perkawinan dengan lelaki pribumi yang sederajat maupun yang tidak sederajat). Kendati demikian, dibaca dari sisi lain, akan tampak ambivalensi wacana mengenai pernyaian dalam cerita ini. Bertolak belakang dengan Tjerita Njai Dasima di mana pernyaian dipandang mampu mengakomodasi cinta antara nyai dan tuannya, di dalam cerita ini pernyaian dianggap tidak bisa memenuhi peran tersebut. Pernyaian hanya dianggap sebagai bentuk hubungan yang dilakukan demi alasan pragmatis, yakni untuk meningkatkan status sosial dan mengakses materi. Bagi tokoh Ratna, menjadi nyai adalah peluang untuk mencari penghidupan yang lebih baik daripada orang-orang pribumi pada umumnya. Dengan otonomi yang ia miliki berkat statusnya sebagai gundik orang Eropa, ia bebas mencari cinta di luar hubungan dengan tuannya (yakni dengan menjalin asmara dengan lelaki pribumi, Sambodo) serta menikmati kesenangan dengan lelaki-lelaki lain yang dapat dibeli dengan uangnya. Selain itu, setelah perempuan tersebut tidak menjadi nyai lagi, ia bisa mengakses kehidupan yang lebih baik tatkala ia membangun rumah tangga dengan lelaki pribumi. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, terkait dengan sikap terhadap perkawinan, nilai orang Eropa terkait perkawinan dianggap lebih “modern” karena membebaskan seseorang untuk memilih jodohnya sendiri. Hal
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini berkebalikan dengan nilai kaum pribumi yang diandaikan “kolot” dengan kebiasaan kawin paksa atau perjodohan. Namun di dalam Hikayat Siti Mariah, dikotomi antara keduanya dibaurkan: justru Joyopranoto yang pribumi memberikan kebebasan pada anaknya, Mariah, untuk memilih jodohnya sendiri (lewat pernyaian), sedangkan Nyonya von Holstein yang orang Eropa berusaha dengan segala cara menjodohkan anaknya, Luci, dengan Henri yang juga Eropa totok (lewat perkawinan). Di dalam Hikayat Siti Mariah, disebutkan secara eksplisit bahwa pada masa itu lumrah bagi seorang pejabat Eropa yang punya kedudukan untuk memelihara seorang nyai yang akan mengurus rumah tangganya. Praktik mengambil nyai itu juga terkait dengan alasan kesehatan. Namun, dalam cerita juga disampaikan bahwa suatu saat sang tuan tersebut harus melepas nyainya untuk kemudian menikah dengan perempuan Eropa. Dalam Hikayat Mariah, hal tersebut ditentukan oleh status dari lelaki Eropa: semakin tinggi status sosialnya, ia harus semakin menyesuaikan diri dengan norma-norma yang dianggap pantas bagi orang Eropa. Dengan demikian, memelihara seorang nyai yang notabene tidak dinikahi secara sah, berasal dari ras yang berbeda serta status sosial yang lebih rendah pula, dipandang tidak layak bagi seorang lelaki Eropa yang status sosialnya meningkat karena jabatan dalam pekerjaan, misalnya. Ini misalnya terungkap dalam pandangan Nyonya Von Holstein, pemilik pabrik gula Sokaraja tempat Henri bekerja yang disampaikan kepada Henri Dam. “Zoo, tuan Dam. Saya mendapat kabar tuan piara Mariah dan sudah beranak malah. Itu tidak mengapa, biasa saja. Tetapi kau mesti berfikir lebih jauh lagi. Seorang opsiner piara nyai-nyai itu lumrah. Tapi administratur! Wakil saya sendiri yang besar kuasanya! Tidak patut piara
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nyai. Mesti buang nyai itu! Mesti kawin dengan nona secara wajar dan sopan, yang dapat menerima tamu sebagaimana mestinya. Ingat, tuan Dam, jangan hendaknya membuang rejeki dan melalaikan adat. …”225 Buruknya pernyaian juga didukung oleh bagian cerita yang mengisahkan cerainya Mariah dari Henri Dam akibat guna-guna dan tipu daya Nyonya Holstein. Sisi eksploitatif dari pernyaian kembali tampil, yakni ketika Mariah terpaksa menanggung konsekuensi dari statusnya sebagai seorang nyai: sewaktuwaktu bisa dilepaskan begitu saja oleh tuannya dan dipisahkan dari anaknya. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab II, menurut Aturan mengenai Perkawinan Campur yang diberlakukan sejak tahun 1808, seorang nyai yang anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut. Ini terjadi ketika sang ayah yang Eropa mencatatkan anaknya secara hukum sehingga ia berhak menyandang status seperti ayahnya, yakni sebagai orang Eropa. Gagasan mengenai posisi pernyaian yang lebih buruk daripada perkawinan juga tersirat pada akhir cerita. Setelah Mariah, yang telah berganti status sebagai Nyonya (janda) Esobier, bertemu kembali dengan Henri Dam, yang juga telah berganti nama menjadi Tuan Henri Hubrecht, mereka pada akhirnya menikah dan hidup bahagia bersama anak mereka. Jadi, plot secara keseluruhan menunjukkan bahwa bentuk hubungan yang paling baik bagi perempuan (pribumi/Indo) dengan lelaki Eropa adalah perkawinan alih-alih pernyaian. Dalam hal ini ambivalensi muncul dalam pengalaman Henri Dam dan Mariah yang justru bahagia kendati hidup sebagai tuan dan nyai karena cinta hadir
225
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 149.
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam hubungan tersebut. Di sini bentuk hubungan tidak dipermasalahkan asalkan di dalamnya ada cinta dan pernyaian ternyata mampu mengakomodasi cinta antara kedua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi Henri, Mariah yang ia angkat sebagai nyainya adalah orang yang ia cintai dan ketika atasannya mengajukan gagasan untuk melepas nyainya, ia meragukan bahwa “cinta bisa tukar badan.”226 Demikian diungkapkan tokoh Henri Dam. “Untuk piara nyai memang tak ada halangan. Tak perlu malu. Tuan administratur bukan saja mengijinkan, malah mendorong. Lagi pula semua kawannya piara nyai juga. Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati. Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dia untuk mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa diganti.”227 Demikianlah Henri Dam dan Siti Mariah yang saling mencintai menjalani “kehidupan yang amat manis dan rukun, dan mendapat berkat dari orangtua dan semua keluarga, terpuji oleh handai-taulan”228. Kehidupan mereka juga makin lengkap ketika lahir anak dari hubungan tersebut. Bisa disimpulkan bahwa Hikayat Siti Mariah mengidealisasikan perkawinan sebagai bentuk hubungan yang paling baik dan pernyaian dianggap kurang baik karena berbagai sebab. Tetapi, wacana mengenai pernyaian ini juga ambivalen karena pernyaian ternyata juga mampu mengakomodasi cinta antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi.
5. Hubungan nyai-tuan 226
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122. Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123. 228 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 147. 227
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) selalu diliputi ambivalensi. Bagian ini akan melihat secara umum gambaran hubungan antara nyai dan tuan yang ditandai oleh ambivalensi tersebut. Dalam Tjerita Njai Dasima, hubungan Nyai Dasima dengan Tuan Edward W. digambarkan berlangsung harmonis. Dasima adalah nyai yang sangat dicintai oleh tuannya “sebab itoe Njai radjin dan pinter bekerdja, maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang.”229 Selain itu, kehadiran Nanci “satoe anak prampoean terlaloe bagoes, … jang Toean W. terlaloe sajang sekali”230 juga makin menambah rasa cinta sang tuan terhadap Dasima. Maka, tak heran Dasima begitu dipercaya untuk mengurus harta tuannya, serta diberi aneka rupa barang. Selain itu, Tuan W juga berniat untuk mengajak Dasima masuk Kristen dan menikahinya secara resmi. Beberapa bagian cerita menunjukkan adanya ambivalensi di dalam hubungan tersebut. Dalam salah satu dialog Dasima dengan Ma Boejoeng yang mengungkapkan keprihatinan Ma’ Boejoeng karena Dasima “djadi goendiknja orang koelit poeti,”231 Dasima menyahut dengan mengatakan, “Saja poenja oentoeng, Toehan Allah kasih boeat ikoet saja poenja Toean, hatinja baek dan terlaloe sajang sama saja, saja poenja makan dan saja poenja pake semoea tjoekoep.”232 Di dalam bagian lainnya, juga digambarkan kebimbangan Dasima ketika hendak minta cerai dari Tuan W. “Sehabisnja tetamoe poelang, Njai Dasima pikirken betoel itoe prampoen poenja perkatahan jang di doenia misti idoep dengan senang, berpoenja 229
Toer, Tempo Doeloe, 225. Toer, Tempo Doeloe, 225. 231 Toer, Tempo Doeloe, 234. 232 Toer, Tempo Doeloe, 235. 230
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kekajaan dan dapet kehormatan, tetapi dia ingat Toeannja, jang dia sajang, dan liat anaknja jang dia tjinta, djadi pikirannja beklai di dalem hatinja, maka bebrapa hari dia doedoek diem sadja dan tiada banjak bitjcara.”233 Selain itu, “kebencian” Dasima yang ia ungkapkan dalam keputusannya untuk minta cerai secara tegas juga tampak dalam petikan berikut. “Toean soenggoe kita tida bersala, tetapi djodo kita soeda abis, saja tiada soeka tinggal dipiara oleh Toean, sekarang Toean kasi, tida kasi, saja minta lepas!”234 demikian dikatakan Dasima. Ekspresi “kebencian” Dasima tersebut juga tampak dalam dialog berikutnya. Toean W. dengan tjoetjoer aer mata berkata: “Ja, Dasima! apa angkaoe soeda begitoe sekali bentji kepada akaoe? Apa akaoe poenja sala? Soeda begitoe lama kita idoep enak samasama sampe dapet anak, apa angkaoe koerang pake, koerang makan, ataoe koerang blandja? Harta akaoe ada ditangamoe, malahan akaoe ada ingatan boeat kasi angkaoe masoek di dalem agama Kristen, dana kalaoe angkaoe soeka, bole kita kawin boeat menimboelkan hormatnja kita poenja anak.” Njai Dasima menjaoet dengan aseran, moekanja dan matanja djadi mera, seraja berkata: “O, itoe soeda laat! Saja tiada harep masoek agama kafir, saja tinggal tetap pegang saja poenja agama, Toean djangan paksa saja aken soeka sama Toean, barangkali di blakang kali, bole djadi soba ande, Toean masi moeda, bole tjari prampoean laen, jang lebi baik dari saja.”235 Jadi, di dalam cerita ini, sosok Nyai Dasima mengalami ambivalensi di dalam hubungannya dengan Tuan W. Di satu sisi, ia berbahagia di dalam hidup bersama dengan Tuan W., tetapi di sisi lain, ia tidak tenang karena belum menjalankan perintah agama meskipun itu karena bujukan pihak lain. Di satu sisi, ia merasa cinta (“sajang”) pada Tuan W., namun di sisi lain ia merasa benci (“bentji”) pada
233
Toer, Tempo Doeloe, 235. Toer, Tempo Doeloe, 238. 235 Toer, Tempo Doeloe, 238. 234
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tuan W. karena dilihat dari pandangan agamanya ia berzinah dengan orang kafir dan karena statusnya sebagai nyai tidak jelas. Dalam Tjerita Nji Paina, digambarkan dengan jelas bahwa Paina sangat membenci Tuan Briot. Ketika ayahnya mengutarakan maksud Briot meminta Paina sebagai nyainya, Paina dengan tegas menjawab, “Apa, djadi njainja tjeleng itoe? Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadikan boedaknja si tjeleng alas itoe.”236 Sisi lain dari hubungan itu ialah ia tetap menuruti kemauan Tuan Briot agar mendapat pembebasan: Paina bisa menyelamatkan ayahnya. Meski pada akhirnya Paina menyetujui untuk menjadi nyai Tuan Briot, ia pun menyiapkan sebuah siasat, yakni membuat dirinya terjangkit penyakit cacar yang tengah mewabah daerah itu, lalu menularkannya pada Briot. Rencana Paina pun terlaksana. Alhasil, Tuan Briot terlu dan pada akhirnya meninggal. Sementara, Paina sembuh walaupun dengan bopeng yang tersisa di wajahnya. Dalam Cerita Nyai Ratna dikisahkan bahwa Ratna menjadi nyai seorang kapten kapal. Secara umum bisa dikatakan bahwa Ratna tidak menganggap hubungan dengan tuannya atas dasar cinta. Ia justru memperoleh “cinta sejati” dari sosok Sambodo. Oleh karena itu, ia membenarkan tindakannya dengan alasan “beda bangsa” dan statusnya sebagai nyai yang tidak jelas sehingga ia tidak usah terlalu merisaukan tindakannya sebagai sesuatu yang salah. Berikut petikannya. “Sambodo: Betullah perempuan enggak boleh dipercaya. Tuan di kapal gedak-geduk sendirian. Ratna sama … .”
236
Toer, Tempo Doeloe, 329.
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Ratna: … Peduli apa laki lain bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya nyonya.”237 Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi Ratna bisa dikatakan “membenci” tuannya karena hubungan tersebut tidak didasarkan atas cinta. Tetapi, di sisi lain ia harus menjalaninya (“mencintai” tuannya) agar ia mempunyai berbagai akses terhadap materi dan berbagai kesenangan. Jadi, menjadi nyai adalah syarat atau pintu masuk bagi pembebasan diri Ratna: dari tekanan ekonomi, dari perkawinan dengan lelaki pribumi, dari nasib yang lebih buruk sebagai seorang janda. Berbeda
dengan
cerita-cerita
sebelumnya,
Hikayat
Siti
Mariah
mengisahkan secara eksplisit cinta antara Siti Mariah dan Henri Dam. Salah satu bagian misalnya menggambarkan hal tersebut. “Sudah 4 hari ini saya punya rencana untuk mandor-besar mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan mencintai saya. Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu hendak saya kawini di kantor.”238 Cinta Mariah dan Henri Dam memenuhi mitos ketimbalbalikan (myth of reciprocity): Mariah menyerahkan diri sepenuhnya sebagai seorang nyai dan takluk pada cinta sang tuan.239 Cerita ini tampil dengan mengusung konsep “cinta sejati.” Hal itu tampil melalui suara Henri yang tidak ingin menceraikan Mariah seperti lazim dilakukan
237
Toer, Sang Pemoela, 384. Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 143. 239 Sebagaimana disebutkan oleh Ania Loomba, perjumpaan seksual kolonial (colonial sexual encounters), baik heteroseksual maupun homoseksual, seringkali mengeksploitasi ketimpangan/ketidaksetaraan kelas, usia, gender dan ras. Namun demikian, dalam fiksi dan catatan perjalanan yang dibuat selama periode kolonisasi, aneka ketidaksetaraan itu seringkali dilekatkan pada mitos ketimbalbalikan (myth of reciprocity). Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 158. 238
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang Eropa pada masa itu terhadap nyainya karena menurut Henri “cinta tidak bisa tukar badan.”240 Hal itu terungkap dalam petikan berikut. “Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati. Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dua untuk mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa diganti.”241 Sisi ambivalensi dari hubungan tersebut adalah bahwa Mariah yang mencintai Henri pada akhirnya merasakan penderitaan karena cintanya itu. Hal ini terungkap dalam petikan berikut. “Cobalah, bapak, dengar gamelan itu dari pabrik. Siapa yang tahan, bapak? Sedari tadi saya dengarkan, betapa perih di hati. Teringat selagi Mariah masih di pabrik, hidup senang dalam rumah ibu-bapak, hidup berbahagia bersama tuan, bersama anak. Sekarang? Tuan hilang, anak jauh. Ya, bapak, kapankah saya bisa melupakan anak? Saya tak tahan hidup lebih lama lagi dengan begini. Apa gunanya lagi?”242 Jadi di satu sisi, Mariah mengalami “cinta” terhadap Henri, namun di sisi lain ia juga mengalami “benci” karena statusnya seorang nyai telah membawanya kepada penderitaan.
6. Kesimpulan Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bisa dilihat bahwa hubungan nyai dan tuan sudah selalu ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai, ia adalah pasangan bagi lelaki Eropa, tetapi di lain sisi, ia harus selalu menempatkan diri di bawahnya (sebagai seorang perempuan dan pribumi). Selain itu, di dalam tatanan masyarakat kolonial, seorang nyai menduduki posisi yang ambivalen: ia tertindas 240
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122. Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123. 242 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 172. 241
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam hubungan dengan tuannya, namun dengan statusnya sebagai nyai ia memperoleh akses terhadap materi dan pengetahuan sehingga posisinya melebihi orang pribumi pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu sendiri hadir dalam satu subjek, yaitu nyai, sebagai subjek kolonial. Lantas, bagaimana dengan representasi hubungan tersebut di dalam keempat teks cerita yang diteliti? Keempat sub-bab sebelumnya telah menganalisis ambivalensi di dalam pelbagai tema, antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta wacana tentang pernyaian sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita. Bagian ini berupaya menyimpulkan hasil analisis tersebut secara umum dengan membandingkan antar teks. Terkait dengan aspek gender, secara umum keempat cerita yang diteliti menggambarkan ambivalensi yang mewujud dalam negosiasi yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya dan ini menunjukkan betapa dinamisnya hubungan tersebut: si objek (kekuasaan) yang menurut pembacaan dominan bisa dikatakan sebagai pasif justru dengan pilihannya yang sadar mengarahkan dirinya pada proses menjadi subjek jika dibaca dengan “melawan arus.” Ini semua berlangsung di wilayah yang privat: di dalam Tjerita Njai Dasima, tokoh Dasima berselingkuh ketika tuannya pergi bekerja, Paina menulari tuannya dengan penyakit cacar, Ratna berselingkuh dengan lelaki-lelaki yang ia sukai, bahkan itu dilakukan di rumahnya sendiri ketika tuannya pulang dengan cara mengelabuinya, dan Mariah mengubahubah identitasnya tatkala mencari anaknya yang hilang.
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berkenaan dengan aspek ras, keempat cerita menunjukkan ambivalensi dengan kaburnya dikotomi antara sosok pribumi yang jahat versus orang Eropa yang baik, juga melalui ketidakstabilan ras sebagai sebuah kategori di mana acuan-acuannya tidak tetap karena ia merujuk bukan hanya pada kategori darah/keturunan (biologis), melainkan juga pada agama (budaya). Bentuk ambivalensi lainnya gugatan terhadap orang Eropa sebagai bagian dari ras yang diandaikan superior melalui penggambaran orang Eropa yang tidak selalu lebih cemerlang ataupun lebih beradab daripada orang pribumi. Ambivalensi terkait di dalam wacana tentang pernyaian dalam Tjerita Njai Dasima hadir dalam bentuk gagasan bahwa pernyaian merupakan bentuk hubungan yang bisa mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Meskipun demikian, terdapat juga kritik mengenai status nyai yang dipandang rendah daripada istri dari seorang lelaki pribumi. Baik pernyaian maupun perkawinan bisa menjadi bentuk hubungan yang diidealisasikan di antara perempuan pribumi dan lelaki Eropa. Ambivalensi di dalam hubungan antara nyai dan tuan juga tampak dalam keempat cerita yang dikaji. Yang hadir di dalam hubungan tersebut ialah bukan tokoh nyai yang melulu menjadi objek. Pada saat yang bersamaan, ia turut mengalami dirinya sebagai subjek. Secara umum, seluruh cerita menampilkan imaji nyai yang beragam dan pembacaan terhadap keempat cerita tersebut menunjukkan gambaran yang tidak sederhana dan hitam-putih mengenai pelbagai aspek hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah).
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN Di dalam Bab II telah ditunjukkan pernyaian sebagai realitas sosio-historis di Hindia Belanda sebagai efek dari kekuasaan kolonial. Di dalam situasi tersebut, seorang nyai menempati posisi yang ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai, ia adalah pasangan bagi lelaki Eropa, namun di sisi lain ia harus selalu menempatkan diri di bawahnya. Jadi, posisinya menjadi subordinat karena gender (perempuan) dan rasnya (pribumi). Di satu sisi, ia tertindas dalam hubungan dengan tuannya. Akan tetapi, statusnya sebagai nyai memberinya privilese untuk mengakses materi dan pengetahuan sehingga posisinya melebihi orang pribumi pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu sendiri hadir dalam satu subjek, yaitu nyai, sebagai subjek kolonial. Bab IV telah menganalisis keempat cerita dari aspek gender dan seksualitas, ras, wacana tentang pernyaian dan hubungan nyai-tuan dan menunjukkan bahwa representasi pernyaian di dalam karya sastra Melayu Rendah berbeda-beda. Di dalam masing-masing cerita, terdapat pelbagai ambivalensi yang bentuknya beragam. Pada dasarnya, meskipun terkungkung oleh suatu sistem yang membuat posisinya subordinat/marjinal, para tokoh nyai tersebut masih menemukan celah untuk menyintas dan melakukan negosiasi terhadap status dan kondisi yang mereka masing-masing hadapi. Jadi, hubungan nyai dan tuannya tidaklah tegas dan diametral seperti yang dibayangkan, tetapi selalu ditandai ambivalensi dan seringkali tokoh nyai menempati posisi antara (in-between) di
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mana nyai tersebut tidak sepenuhnya melawan, tetapi juga tidak sepenuhnya tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang tuan. Nyai selalu menemukan “ruang negosiasi” di dalam hubungan dengan tuannya yang diimbuhi kekuasaan. Lalu, bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial? Di dalam Bab III, telah diuraikan posisi teks Melayu Rendah—termasuk di antaranya cerita nyai—di dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial. Sebagaimana telah disebutkan di dalam Bab I, para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Apabila hal ini dikaitkan dengan representasi dunia pernyaian di dalam cerita, apa yang ditampilkan oleh cerita-cerita tersebut memang realistis dan menggunakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh banyak orang dari pelbagai etnis dan ras yang ada di Nusantara. Meskipun demikian, bisa dikatakan bahwa sebagian besar cerita tersebut—seperti
yang
telah
ditunjukkan
melalui
analisis—justru
tidak
memunculkan nada antikolonial. Lantas, mengapa beragam cerita tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial yang giat memproduksi, mendistribusikan dan mensosialisasikan karya sastra Melayu Tinggi melalui Balai Pustaka? Mengapa pemerintah kolonial sangat terganggu dengan cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah pada umumnya padahal teks-teks tersebut tidak secara tegas melawannya? Analisis
teks
dengan
pendekatan
kolonial,
khususnya
dengan
menggunakan konsep ambivalensi ini, mengajukan tesis bahwa kendati tidak ada perlawanan yang dilakukan secara tegas, ambivalensi justru muncul di dalam teks-
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teks itu sendiri. Ambivalensi itu dengan derajat yang berbeda-beda merangkum siasat, negosiasi, dan resistensi yang dilakukan tokoh nyai sebagai subjek kolonial. Ambivalensi inilah yang mengancam kedigdayaan kekuasaan kolonial dan potensial untuk menggerogotinya hingga pada akhirnya mengarah pada keruntuhannya sendiri. Oleh karena itulah, cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah yang ditulis baik oleh golongan pribumi, Indo dan peranakan Tionghoa, ditujukan bagi para pembaca di Hindia Belanda yang sebagian besar adalah pribumi, dan ditulis dalam medium bahasa yang mudah dipahami banyak orang dirasakan sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial sehingga pantas untuk dilarang dan dilabeli “bacaan liar.”
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Ashcroft, Bill, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Key Concepts in Post-Colonial Studies. London: Routledge, 1998. Bandel, Katrin. “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.” Dalam Sastra, Perempuan, Seks, disunting oleh Saut Situmorang, 31-44, Yogyakarta: Jalasutra, 2006. Bhabha, Homi K. "The Other Question." Screen 24, no. 6 (November-December 1983): 18-36. ----------. Location of Culture. London dan New York: Routledge, 1994. ----------. “Frontlines/Borderposts.” Dalam Displacements Cultural Identities in Question, disunting oleh Angelika Bammer, 269-272, Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1994. ----------. “The Other Question: Difference, Discrimination, and the Discourse of Colonialism.” Dalam Black British Cultural Studies, disunting oleh Houston A. Baker, Jr., Manthia Diawara, dan Ruth L. Lindeborg, Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996. Budianta, Melani. “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana (Post-)Kolonial.” Kalam 2 (1994): 56-66. ----------.“Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial.” Dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ, 15-31, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008. Christanty, Linda. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda.” Prisma 10 (Oktober 1994): 21-36. Cote, Joost dan Loes Westerbeek (ed.). Recalling the Indies Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004. Day, Tony dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks.” Dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day, 1-17, Leiden: KITLV Press, 2002. Fane, Brenda. “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories.” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, no. 2 (December 1997): 47-61.
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Foulcher, Keith dan Tonny Day (ed.). Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas. Colonial Practice in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press, 1995. Hellwig, Tineke. Adjustment and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies. Ontario: Netherlandic Press, 1994. ----------. “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity.” Archipel 63 (2002): 153-172. ----------. “Menguasai Tubuh Perempuan.” Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 54-61. Jedamski, Doris. “Balai Pustaka—A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing.” Archipel 44 (1992): 23-46. Hall, Stuart. Representation Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage, 2003. Locher-Scholten, Elsbeth. “The Nyai in Colonial Deli A Case of Supposed Mediation.” Dalam Women and Mediation in Indonesia, disunting oleh Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma, 265-280, Leiden: KITLV Press, 1992. ----------. “Orientalism and the Rhetoric of the Family: Javanese Servants in European Household Manuals and Children’s Fiction.” Indonesia 58 (Oktober 1994), 19-39. Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge, 1998. Maier, HMJ. “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991): 67-81. ----------. “From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies.” Indonesia 56 (1993): 37-65. ----------. “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149, no. 2 (1993): 274-297. McClintock, Anne. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Colonial Conquest. New York: Routledge, 1995.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Meyer, Susan. Imperialism at Home Race and Victorian Women’s Fiction. Ithaca dan London: Cornell University Press, 1996. Ming, Hanneke. “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920.” Indonesia 5 (April 1983): 65-93. Mukti, Haji. Hikayat Siti Mariah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. Oetomo, Dede. “The Chinese of Indonesia and the Development of Indonesian Language.” Indonesia 51 (1991): 53-66. Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Rajan, Rajeswari Sunder. “Representing Sati: Continuities and Discontinuities.” Dalam Postcolonial Discourses An Anthology, disunting oleh Gregory Castle, 168-205, Oxford dan Massachusets: Blackwell Publishers, 2001. Salmon, Claudine. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography. Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981. ----------. “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia kumpulan karangan dari Archipel, 99-111. Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Singh, Jyotsna. Colonial Narratives/Cultural Dialogues. London: Routledge, 1996. Stoler, Ann Laura. “Making Empire Respectable.” Dalam Situated Lives: Gender and Culture in Everyday Life, disunting oleh Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella, 373-399, New York dan London: Routledge, 1997. ----------. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. Berkeley: University of California Press, 2002. Sumardjo, Jakob. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia. Madison: University of Wisconsin Press, 1983.
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
----------. “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film.” Dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears, 225-248, Durham dan London: Duke University Press, 1999. Termorshuizen, Gerard. “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum.” Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering, 55-61. Townsville: James Cook University, 1995. Toer, Pramoedya Ananta. Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra, 1982. ----------. Sang Pemoela. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. White, Sally. “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late Colonial Dutch East Indies.” Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, no. 1 (2004): 87-97. Wolfe, Patrick. “Race and Racialisation: Some Thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 (2002): 51-62.
133