KONSTRUKSI SOSIAL TENTANG PEREMPUAN DALAM SASTRA MELAYU TELAAH TERHADAP KARYA SASTRA YANG DITULIS OLEH ISMAIL KASSAN: DEJAVU SEORANGPEREMPUAN (2001) DAN SITI AISAH MURAD: LUKANYA SEKEPING HATI (1988) Leany Nani Harsa, Universitas Pakuan
Abstrak Konstruksi sosial atau stereotip perempuan menjadi perbincangan penting dalam upaya menepis persepsi mengenai perempuan yang dianggap “the other”. Karya sastra memiliki sejumlah penanda yang berkaitan dengan gender sebagai sistem tanda yang menggambarkan peran sosial perempuan. Teori feminis menjelaskan bahwa gender adalah konstruksi sosial yang dirancang, diimplementasikan dan dikukuhkan oleh organisasi dan pranata sosial. Tulisan ini akan memperlihatkan kedua karya sastra terpilih (1) merepresentasikan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, (2) ‘kodrat’ perempuan disajikan dalam kedua teks, (3) ideologi partriarkhal yang masih menyelubungi teks abad ke duapuluh. Hall mengatakan representasi dapat dianggap sebagai lapangan permainan dalam lingkup tradisi, dan sejarah. Representasi bukan hanya mencerminkan kenyataan semata-mata tetapi juga merupakan skenario yang dimainkan oleh suatu kebudayaan yang ditata oleh cara-cara sesuatu direpresentasikan, pola-pola serta kekuasaan yang ada. Praktek representasi selalu melibatkan subyektivitas penulisnya. Setiap subyek yang bertutur atau menulis akan membuahkan hasil yang berbeda sehingga melalui representasi dapat diperoleh makna yang ingin disampaikan teks (Hall, 1995: 356). Setelah meneroka kedua karya sastra tersebut, saya akan memperlihatkan bahwa perempuan dikonstruksikan sebagai mahluk yang belum dapat setara dengan laki-laki meskipun perempuan mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki. Perempuan adalah mahluk yang dalam kingkup budaya terikat pada kodratnya aspek biologis) dan masih tergantungkepada laki-laki, sehingga tidak dapat menjadi ‘single parent’. Ideologi patriakhal menyelubungi teks dengan cara mewarnai kehidupan yang penuh kepercayaan akan adanya “takdir”. Kata kunci: konstruksi sosial, perempuan, sastra Melayu
Kesusasteraan Melayu: Suatu Pengantar Di mata masyarakat Melayu, kesusasteraan tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata-mata, juga sebagai salah satu alat untuk memberikan ajaran dan pendidikan
kepada masyarakat. Dengan kesadaran itu pula sejumlah sastrawan Malaysia mulai memikirkan tempat dan peranan kesusateraan dalam masyarakat (Mahayana, 2001:205). Alasan inilah yang menjadi pemicu bagi saya untuk mengkaji karya sastra sastrawan Malaysia terutama yang berkaitan Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 744
dengan permasalahan gender dan seksualitas. Sebagai perempuan Indonesia, saya tertarik untuk mencermati permasalahan perempuan di negara jiran Malaysia karena adanya berbagai persamaan kondisi dan situasi, di antaranya sama-sama negara yang mempunyai penduduk mayoritas Islam. Memang salah satu komponen kajian perempuan dalam bidang interdispliner adalah kritik sastra feminis, yang di negara Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput (grass root). Dalam pandangan kritikus sastra feminis, semua interprestasi bersifat politis sehingga kajian perempuan dianggap sebagai bagian dari agenda politik feminis. Catherine Belsey dan Jane Moore mengatakan bahwa: “Pembaca feminis ikut serta dalam proses perubahan relasi gender yang terjadi dalam suatu masyarakat”. Mereka menganggap perilaku membaca sebagai salah upaya dalam perjuangan agen perubahan (Belsey, 1989: 1). Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dalam suatu kebudayaan karena karya sastra merupakan salah satu bagiannya. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya “untuk memahami apa artinya menjadi perempuan atau lakilaki, dan kemudian mendorong mereka untuk berargumentasi nilai-nilai atau norma-norma budaya yang ada” (ibid). Para antropolog dan sejarawan telah seringkali menggunakan teks-teks sastra untuk mencari data, sama seringnya dengan kritikus sastra menggunakan bahan-bahan antropologi dan sejarah untuk lebih memahami teks yang dianalisisnya. Perbedaan gender merupakan bagian dari suatu konstruksi ideologis, maka secara historis maupun
kultural konsep-konsep maskulinitas dan feminitas itu berbeda. Saat menghubungkan teks-teks Malaysia dengan konteks sosial dan historis, saya memusatkan perhatian pertama-tama pada perbedaan kekuasaan yang ditandai oleh jenis kelamin. Kertas kerja ini memperlihatkan bagaimana kedua karya sastra terpilih (1) representasikan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, (2) memuat permasalahan kodrat perempuan dan (3) menyajikan ideologi partriarkhal yang menyelubungi teks abad ke duapuluh. Teks yang saya pilih adalah Dejavu Seorang Perempuan (2001) yang ditulis oleh Ismail Kassan dan Lukanya Sekeping Hati (1988) yang ditulis oleh Siti Aisah Mura. Apabila pernyataan Maman Mahayana di atas benar yaitu karya sastra dianggap sebagai salah satu alat untuk memberikan pengajaran dan pendidikan bagi masyarakat maka kertas kerja ini bermanfaat untuk memberikan masukkan bagi yang berpentingan tentang pengajaran mengenai permasalahan perempuan Malaysia. Berbagai permasalahan yang telah dikonstruksikan oleh kebudayaan dan disampaikan oleh tokoh-tokoh perempuan kedua teks akan memberikan gambaran tentang posisi perempuan Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pemaparan ini, pihak yang berkepentingan akan memperoleh wawasan tentang permasalahan gender yang dimuat dalam karya abad keduapuluh dan awal abad kedua puluh satu, baik yang ditulis oleh pengarang perempuan maupun pengarang laki-laki.
Telaah Pustaka Tentang Gender
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 745
Culler menjelaskan bahwa selama beberapa dekade terakhir ini, kritik sastra telah berubah dari kajian intrinsik menjadi kajian ektrinsik yang berhubungan antara konteks sosial dan budaya. Masalah gender yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan kebudayaan memunculkan kritik sastra feminis yang terpumpun pada permasalahan gender. Dalam analis gender, kita harus dapat membedakan konsep gender dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada lakilaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural selama berabad-abad. Jadi, gender merupakan konstruksi sosiokultural yang pada dasarnya merupakan interpretasi budaya atas perbedaan jenis kelamin (Fakih, 1996: 7-8). Misalnya, bahwa perempuan itu di kenal lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasan (emosional), pemalu, setia, dan keibuan. Sedangkan pria di anggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa. Oleh karena itu gender menurut Oakley (dalam Fakih, 1997: 71-72) merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan biologis dan kodrat Tuhan. Gender bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dari kelas ke kelas. Walaupun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal,yakni: (1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin, dan (2) gender merupakan justifikasi untuk diterapkannya nilai patriarkhal di semua masyarakat. Permasalahan
kedua inilah yang pada penelitian ini mendapat penekanan. Pengkajian berdasarkan kritik ideologis dan kritik yang mengkaji teks-teks dengan menyoroti citra dan steorotip perempuan dalam karya sastra Melayu yaitu karya sastra Dejavu Seorang Perempuan (2001) dan Lukanya Sekeping Hati (1988). Metode Pengkajian Metode penelitian yang saya gunakan adalah dengan cara close reading membaca teks secara teliti. Langkahlangkah yang dilakukan adalah memilahpilah peristiwa yang membangun alur dan menyusun peristiwa-peristwa tersebut dalam satu alur utama dan satu alur bawahan (dalam novel Lukanya Sekeping Hati). Kemudian mencari dan menganalisis oposisi biner dalam setiap alur sehingga hasil analisis antara alur utama dan alur bawahan dapat diperoleh. Yang terakhir saya menunjukkan ideologi partriarkhal dalam teks dan menyimpulkan analisis.
Sekilas Mengenai Kedua Teks Terpilih
Teks pertama yang dikaji adalah Dejavu Seorang Perempuan (2001). Judul buku ini mengacu kepada tokoh perempuan bernama Rohana. Ia memiliki indra keenam yang seringkali muncul ketika ia berhadapan dengan suatu peristiwa dan kadangkala ia mendapat firasat akan kejadian di masa mendatang. Siti Rohaya Atan dalam pengarahannya mengatakan bahwa kata dejavu berasal dari kata Perancis yang berarti “imbasan”
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 746
yang maksudnya satu keistimewaan yang ada pada orang tertentu di mana orang itu dapat tahu tetang sesuatu yang tidak dapat difahaminya secara fisikal. Dia mengenali wajah manusia yang belum pernah ditemuinya sebelum itu dan merasa berada di tempat yang belum pernah dikunjunginya. Dia juga dapat membayangkan apa yang bakal berlaku (Kassan 2001: 8). Ada dua tokoh perempuan penting yang akan kerap mucul dalam bahasan. Yang pertama adalah Rohana seorang perempuan muda dari kota, terpelajar dan idealis. Ia sedang menjalani latihan amali di suatu tempat terpencil yang penduduknya kebanyakan golongan masyarakat ekonomi lemah. Di tempat itu ada pula keluarga suami istri Yanto dan Narti yang berasal dari Indonesia dan sudah sepuluh tahun bekerja di Malaysia. Yang kedua adalah Nora seorang janda berusia tigapuluhan yang cantik, berani dan kuat tetapi dianggap kurang berahlak karena bekerja sebagai pelayan di sebuah karaoke pada malam hari. Perilakunya makin dianggap hitam karena ia pernah di penjara sebab membunuh suaminya. Kedua tokoh ini memiliki watak dengan dua kutub yang saling berlawanan, hitam dan putih. Teks yang sebenarnya naskah pentas ini menampilkan Rohana yang memandang rendah Nora namun pada akhir cerita diselamatkan oleh Nora ketika ia mau diperkosa oleh perampok Teks kedua yang dikaji adalah Lukanya Sekeping Hati (1988) yang alur ceritanya terdiri dari fragmenfragmen menampilkan tiga tokoh sentral yaitu Azman, Nora dan Norimah. Protagonisnya adalah Nora
yang merupakan tokoh perempuan yang kelihatan dapat mandiri, gigih, berpendidikan dan mampu bertindak sebagai subyek. Pembaca digiring kepada cerita seorang perempuan kuat, berdaya dan mendapat kebebasan untuk menentukan nasibnya. Cinta Nora dikhianati oleh Azman yang menikahi pembantunya yaitu Normah. Setelah menjalani kehidupan terpisah dengan Azman suaminya, Nora meniti kehidupan lain yaitu dengan melanjutkan kuliah di salah satu universitas. Ketika di kampus ia kemudian berkenalan dengan seorang mahasiswa yang juga sedang belajar di sana yaitu Johan. Meskipun pada akhirnya Nora mencintai Johan, harapannya tidak sampai. Alur bawahannya adalah sederet peristiwa yang dialami Azman sebagai protagonis dan membina rumah tangga kedua dengan Normah yang asalnya adalah pembantu rumah tangga Azman dan Nora. Kehidupan berkeluarga Normah dan Azmar makin lama makin hambar karena Azman tidak dapat melepaskan Nora. Konstruksi Budaya: Representasi dalam Kedua Teks Berbagai permasalahan yang telah dikonstruksikan oleh kebudayaan dan disampaikan oleh tokoh-tokoh perempuan kedua teks akan memberikan gambaran tentang posisi perempuan Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Berkenaan dengan representasi, Hall mengatakan bahwa representasi dapat dianggap sebagai lapangan permainan dalam lingkup tradisi, dan sejarah. Representasi bukan hanya mencerminkan kenyataan sematamata tetapi juga merupakan skenario yang dimainkan oleh suatu kebudayaan
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 747
yang ditata oleh cara-cara sesuatu direpresentasikan, pola-pola serta kekuasaan yang ada. Praktek representasi selalu melibatkan subyektivitas penulisnya. Setiap subyek yang bertutur atau menulis akan membuahkan hasil yang berbeda sehingga melalui representasi dapat diperoleh makna yang ingin disampaikan teks (Hall, 1995: 356). Berkaitan dengan representasi perempuan yang berada di dalam kedua teks terpilih, saya meneroka tokoh-tokoh perempuan kedua teks tersebut. Mereka direpresentasikan sebagai tokoh yang memiliki watak yang sesuai dengan stereotip perempuan yang disusun untuk kepentingan pengajaran dan pendidikan tentang perempuan seperti yang dijelaskan di muka. Karena karya sastra menjadi salah satu alat yang memberikan pendidikan dan pengajaran maka melalui kertas kerja ini jelaslah bagaimana pendidikan gender yang disampaikan kedua teks tersebut. Oposisi Biner dalam Hirarki yang Tidak Ajeg dalam Dejavu Seorang Perempuan (2001) Rohana dan Nora yang merupakan dua tokoh yang berwatak putih dan hitam dalam Dejavu Seorang Perempuan (2001) memegang peranan utama dalam kertas kerja ini, meski pun ada beberapa tokoh lain. Salah satu skenario yang dipakai oleh teks ini adalah dengan menyiasati tokoh Rohana sebagai seorang dejavu yang dapat menyampaikan harapannya tentang seorang perempuan Melalui tokoh dejavu ini kita diajak untuk dapat mengetahui konsep berpikir Rohana yang umumnya terkonstruksi oleh budaya yang ada. Memang jelas terlihat bagaimana konsep seorang perempuan menurut Rohana yaitu sebagai mahkluk lemah, tidak berdaya dan tidak mandiri
sehingga seorang perempuan harus dilindungi dan disayangi. Teks ini menggunakan kata-kata yang menggugah emosi seperti frasa “kelembutan kasih sayang” (Kassan 2001: 27). Karena posisi perempuan kurang dihargai dan dihormati maka Rohana menghimbau agar seorang perempuan harus dihormati dan dihargai (Kassan 2001: 27). Untuk memperlihat kenyataannya, teks ini menggunakan tokoh pembanding yaitu Nora yang direpresentasikan sebagai sebagai perempuan kuat, berani, nekat, mandiri, menjunjung kehormatan dan martabatnya. Nora bekerja sebagai pelayan di tempat karaoke, Ia harus menghibur laki-laki yang maukan hiburan di kelab. Tentunya saja pekerjaan ini tidak sesuai dengan dejavu tokoh Rohana. Hal lain yang direpresentasikan dari tokoh Nora adalah sikap Nora yang menjaga martabat, harga diri dan kehormatannya dalam dua peristiwa. Yang pertama ketika para pengunjung kelab itu hendak mencoba kurang ajar, ia menyatakan berani menorehkan belati kepada mereka (Kassan, 2001: 32). Yang kedua ketika suaminya kepergok sedang berkencan dengan perempuan lain, Nora dan suaminya bertengkar. Sebagai suami yang mau menang sendiri ia menampar dan menyepak terajang Nora. Demi harga dirinya, ia membunuh suaminya sehingga ia harus masuk penjara. Apabila saya cermati kedua tokoh di atas, jelas kita dihadapkan kepada dua deret oposisi biner yang mengacu pada suatu pasangan kata-kata yang saling beroposisi antara yang satu dengan lainnya yang bersifat hirarkis. Misalnya Rohana direpresentasikan sebagai seorang siwazah yang terpelajar, dihormati dan gadis kota sedangkan
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 748
Nora pekerja hiburan di tempat terpencil yang kurang terpandang, meskipun ia kuat dan berani. Namun karena hirarkisnya itu bersifat kondisional, yaitu makna yang tidak ajeg maka kita lihat tokoh Nora yang hitam, kotor, tidak terhormat dan sudah dihina oleh Rohana pada suatu kesempatan malah berjuang membantu Rohana dan mampu memberdayakan dirinya sendiri. Sementara Rohana yang berwatak putih, menekuni pekerjaan terhormat menjadi tidak berdaya dan menunjukkan perilaku seorang perempuan yang lemah pada gilirannya menjadi mangsa orang lain. Cerita berakhir dengan peristiwa Rohana dapat dibebaskan oleh Nora dari usaha perkosaan seorang perompak. Bahkan kita juga melihat tokoh Nora yang kuat dan tidak mau tergantung nasib atau “takdir”. Jadi disini kita dapat melihat oposisi biner yang bersifat tidak stabil. Nora dengan kehidupan malam, kelam, tidak terhormat malah berhati mulus, rela berkorban, mampu membela kepentingan orang lain dan menjaga martabatnya sendiri. Sedangkan Rohana yang bersih, suci dan berperilaku religius menjadi mahluk lemah yang harus ditolong Nora. Teks yang mengandung hierarkis yang tidak ajeg ini kemudian dibungkus oleh buku yang berjudul Dejavu Seorang Perempuan sehingga dalam pikiran kita terpola dejavu yang diungkapkan Rohana yaitu seorang perempuan yang harus dihormati, dihargai dan dilimpahi dengan kasih sayang yang lembut. Lukanya Sekeping Hati: Takdir Hanya Untuk Perempuan Dalam meneroka representasi perempuan dalam teks Lukanya Sekeping Hati saya memulai dengan melihat pemilihan kata yang menarik perhatian yaitu didalam novel yang
tebalnya 114 halaman, kata “takdir” tertulis sebanyak 22 kali Kata takdir merupakan penanda ketidakberdayaan manusia, sesuatu yang tidak mampu diubah dan hal-hal yang sudah ditentukan demikian. “ Siapa pun tak dapat menentukan takdir yang terjadi” (Murad 1988: 89) demikianlah tertulis dalam novel tersebut. “Takdir” yang seharusnya berlaku untuk semua orang dalam novel terpilih hanya berlaku bagi perempuan. Nora harus mau menerima takdir ketika suaminya menikah lagi dengan perempuan lain yang sebelumnya tinggal bersamanya dan sudah mempunyai hubungan emosional dengannya. Keadaan ini tentunya merupakan hal yang berat bagi Nora karena suaminya berselingkuh dengan pembantu yang disayanginya. Selain itu berbagai foreshadowing telah dikemukakan teks yaitu saran-saran dari teman-teman Nora yang melihat kemungkinan akan adanya perselingkuhan ini. Tetapi demikian besar kepercayaannya terhadap suaminya, Azmar, menyebabkan ia meniadakan kekhawatiran temantemannya. Kondisi ini memperlihatkan betapa berat ”takdir” yang harus dialaminya ketika suami yang diberikan kepercayaan penuh pada suatu saat menghianatinya. Perempuan lain yang menanggung “takdir” ini adalah Normah, sang pembantu yang telah disayangi Nora karena telah membantu memecahkan permasalahan pekerjaan domestik ketika ia bekerja di petang hari. Norma harus menerima takdir karena ia harus menikah dengan lakilaki yang sudah bersuami padahal ia adalah seorang gadis. Barangkali tak ada seorang gadis pun yang bercita-cita untuk menjadi istri suami orang. Perhatikan kutipan berikut: “Normah
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 749
tahu dia boleh dituduh merampas suami orang tapi Tuhan juga telah menentukan ia jatuh hati pada Azman. Mungkin sudah ditakdirkan dia mengasihi suami orang (1988: 28). “Takdir” ini dalam perjalanan hidupnya merupakan beban berat karena suaminya Azmar memperlihatkan perhatian yang makin memudar. Ia berada bersama Azmar pada saat-saat Azmar membutuhkan perawatannya, pada hari-hari kerja ketika Azmar harus mengajar. Sedangkan pada waktu liburan, waktu yang dapat dinikmati bersama untuk bersenang-senang, Azmar pulang ke rumah Nora, “Apabila minggu ditinggal sendirian Normah merasa Azman benarbenar tidak adil (1988:70). Jadi mencermati kedua tokoh perempuan di atas yang direpresentasikan tidak berdaya dan harus menerima nasib, pembaca diingatkan kepada stereotip perempuan yang secara universal dikonstruksikan dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai makhluk domestik yang lemah, tidak berdaya dan harus tunduk pada kodratnya. Sebagai seorang perempuan yang berpendidikan Nora dapat bekerja, tetapi ia harus menggaji seorang perempuan lain untuk membantu merawat suaminya. Kemudian perempuan inilah yang menyebabkan ia harus menerima “takdir”. Kelemahannya sebagai seorang perempuan meskipun tidak mengalami ketergantungan ekonomi adalah sikapnya yang tidak mampu menjadi single parent. Cerita berkembang ke arah upayanya yang lari dari laki-laki yang menjadi suaminya ke laki-laki teman kuliahnya. Takdir juga menimpa Normah, sebagai seorang pembantu rumah tangga, ia pun harus menderita akibat takdir. Bagaimana halnya dengan tokoh Azman? Ia direpresentasikan menerima
takdir yang menyenangkan yaitu memiliki dua istri. Perhatikan kutipan berikut: “Beruntung ada istri dua, seorang kerja dan seorang melayan aku seperti sekarang, bisik hatinya sambil matanya terus memerhatikan Normah yang meletakan dulang itu di atas meja. Rasa sombong membongkak dalam dirinya (1988: 67). Ia hidup bahagia karena dalam kehidupan sehari-hari ada yang melayani dan ketika akhir minggu atau liburan ada istri pertama dan anaknya yang menemaninya bersenangsenang. Nilai patriarkhal tampak dalam kehidupan Azmar karena sebagai lakilaki ia tidak mau mengerjakan urusan domestik, ia harus dilayani. Pulang kerja Azmar dilayani oleh Normah karena Nora bekerja petang. Posisinya sebagai laki-laki menggambarkan betapa berkuasanya Azman. Mengenai dominasi ini bell hooks mengatakan: “The entry of women in the work force, which also serves the interest of the capitalism, has taken even more control over women way from men. Therefore men rely more on the use of violence to establish and mantain a sex role hierarchy in which they are in a dominant position. At one time, their dominance was determined by the fact that they were the sole wage earners”. (Hooks 1984: 121)
Mencermati kutipan di atas, saya dapat melihat bahwa selain karena Nora merasa perlunya ada seorang perempuan lain untuk melayani Azman, juga ada keinginan Azman agar dominasinya terhadap istri atau perempuan tetap berjaya. Kata violence di atas saya terjemahkan sebagai tindakannya yang
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 750
melanggar komitmen perkawinannya dengan Nora. Tidak lagi diragukan representasi Azman menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang semakin menguat ketika istrinya juga pencari nafkah. Memang dalam teks ia mengatakan sebagai seorang laki-laki ia boleh beristri empat. Oleh karena itu ketika ia berselingkuh dan menentukan untuk menikah dengan Normah, semuanya berjalan dengan lancar dan mulus. Coba kita lihat Nora yang memperlihatkan posisinya yang subordinat. Hal ini tampak dalam peristiwa ketika Nora gagal memenuhi harapannya menikah dengan Johan. Jelas terlihat bahwa Nora sebagai perempuan tetap direpresentasi memiliki stereotip perempuan. Perempuan tidak boleh agresif. Laki-laki menang karena boleh memilih sedangkan perempuan dipilih dan bersikap menunggu. Oleh karena itu ketika Johan menyatakan cintanya dan melamarnya, Nora tidak dapat memberikan keputusan. Salah satu stereotip perempuan adalah tidak terbiasa mengambil keputusan karena sudah terbiasa laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang mengerjakan hal itu. Posisi Nora sebagai perempuan mengharuskan ia ragu-ragu dan tidak cepat-cepat menjawab permintaan Johan. Kelemahan inilah yang akhirnya dipakai Johan untuk tidak menunggu jawaban Nora, ia kemudian menikah dengan perempuan lain. Sudah dapat dipastikan bahwa ketika laki-laki dengan mudah dapat menghianati perempuan dan menikah lagi dengan perempuan lain, perempuan dalam status janda pun direpresentasikan tidak mudah mendapatkan laki-laki lain karena sebagai mahluk kehidupannya terkungkung “takdir”. Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan hal perselingkuhan dalam
perkawinan memang masih mewarnai kehidupan masyarakat Timur. Kemudian dengan menelaah judul yaitu Lukanya Sekeping Hati, saya dapat menyimpulkan bahwa judul itu memberikan petunjuk bahwa yang luka itu adalah hati Nora yang suaminya direbut oleh orang gajian yang dipekerjakan untuk melayani suaminya. Sedangkan Azman tidak luka hatinya meskipun sebenarnya ia telah kehilangan Nora yang sudah mencoba untuk melupakannya lari dari kehidupan Azman. Perempuan tidak pernah dapat menyakiti laki-laki yang posisinya di ordinat. Di dalam Dejavu Seorang Perempuan, permasalahan takdir ini juga muncul hanya saja tidak menonjol karena hanya ada dua pernyataan yang berlawanan, yang satu menerima takdir sebagai nasib seperti dalam Lukanya Sekeping Hati dan yang kedua menyatakan bahwa “takdir” tidak dapat dipersalahkan, yang salah adalah diri sendiri . Yang pertama adalah pernyataan dari pengarah yaitu Siti Rohaya Atan yang mengatakan bahwa: kekumalan, kebodahan, keburukan, kemiskinan, kejelekan segelintir manusia yang bukan mau dirinya menjadi begitu... tapi telah tersurat dan ditakdirkan begitu... (Kassim, 2001: 9). Sedangkan yang kata “takdir” kedua dinyatakan oleh Nora yang menanggapi komentar Rohana tentang pekerjaan Nora sebagai berikut: Akak tahu engkau keliru dengan pekerjaan akak sekarang. Akak tak salahkan engkau juga tidak salahkan takdir sebab takdir itu kerja Tuhan. Akak memang salahkan diri sendiri so...? (Kassan 2001: 45-46).
Kesimpulan
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 751
Kedua teks yang tahun penerbitannya berbeda tigabelas tahun menunjukkan permasalahan gender melalui representasi perempuan yang sudah mengalami pergeseran. Perempuan yang pada tahun 1980-an direpresentasikan sebagai mahluk lemah, tidak berdaya dan mau tidak mau harus tunduk kepada takdir, pada tahun 2000-an perempuan tidak sepenuhnya menjadi tidak berdaya karena sudah ditakdirkan. Stereotip perempuan sebagai mahkluk lemah yang perlu dilindungi tidak secara langsung berada dalam hirarkis oposisi biner. Biner ini bukan hanya memuat stereotip tetapi juga gambaran perempuan yang dapat menjadi mahluk kuat, mandiri dan mampu memberdayakan dirinya. Meskipun kondisi kedua ini disampaikan secara tersamar saya dapat melihat bahwa kondisi perempuan merupakan sesuatu yang kondisional dan tidak ajeg atau stabil. Hal ini terlihat dari ideologi patriarkhal yang masih mewarnai teks melalui dejavu dan
takdir. Namun ada upaya untuk menyamarkan kekuatan yang menegasikan streotip perempuan yaitu melalui dejavu, teks secara tersirat menggambarkan konsep berpikir masyarakat tentang seorang perempuan. Singkatnya kedua teks yang menjadi alat ajar masyarakat tidak dapat dirumuskan telah bebas dari ideologi patriarkhal, kodrat perempuan atau pun takdir. Pola pikir inilah yang tersirat dalam teks yang membentuk dan menjadi kebudayaan masyarakat Malaysia.
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 752
DAFTAR PUSTAKA Belsey, Catherine, and Jane Moore. 1989. The Feminist Reader: Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism. New York : Blackwell. Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature . London: Routledge and Kegan Paul. Fakih, Dr Mansur, 1997 Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Hall, Stuart ,”New Ethnicities” dalam Donald, James dan Ali Rattansi,(ed), Race, Culture and Difference, London, Sage, 1995
Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory from Morgin to Center. Amerika Serikat: South End Press. Kassan, Ismail. 2001. Dejayu Seorang Perempuan. Kuala Lumpur: Saroja Hyatt Corporation SDN. BHD. Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia. Magelang: Indonesiatera. Murad, Siti Aisah. 1988. Lukanya Sekeping Hati. Selangor Darul Ehsan: Marwilis Publisher & Distriboutors SDN. BHD.
Jurnal Artikulasi Vol.12 No.2 Agustus 2011 | 753