REPRESENTASI PERLAWANAN PRIBUMI MASA PERALIHAN ABAD KE-19 SAMPAI KE-20 DI HINDIA BELANDA DALAM NOVEL DE STILLE KRACHT (KARYA LOUIS COUPERUS) DAN BUMI MANUSIA (KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER) oleh Christina Dewi Tri Murwani 1. Latar Belakang Masalah Pengalaman masa kolonial tertuang dalam karya sastra Hindia Belanda maupun Indonesia: Multatuli (Max Havelaar ), P.A. Daum (uit de suiker in de tabak/dari Gula ke Tembakau), Hella Haasse (Oeroeg dan Sleuteoog), Louis Couperus (De Stille Kracht/ DSK) atau Mas Marcodikromo (Student Hijo), Abdul Moeis (Salah Asoehan), Pramoedya Ananta Toer (Bumi Mnusia),
dll. Karenanya, berhubungan dengan sejarah kolonial
Indonesia, karya sastra zaman Hindia Belanda bisa dibicarakan dalam satu koridor dengan karya
sastra
Indonesia.
Karya-karya
tersebut
dengan
bahasa
yang
berbeda
merepresentasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai kemasyarakatan pada zaman itu. Orang Belanda dan Indonesia pada zaman kolonial bersama-sama menjadi bagian dari satu masyarakat yang digerakkan oleh sistem kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang sama. Wolff (1981) karya seni bukanlah produksi yang terisolasi, tetapi sebuah produk kesadaran kolektif; seorang seniman dimediasi oleh institusi sosial dan ekonomis yang mempengaruhi mode produksi. Claudio Magris (2010) menyatakan, filosofi dan religi menformulasikan kebenaran, sejarah menentukan fakta, tetapi sastra –seni pada umumnya –bercerita kepada kita bagaimana dan mengapa manusia mengalami kebenaran dan fakta tersebut. Perhatian saya pada Bumi Manusia (yang ditulis sesudah masa kemerdekaan) karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekedar karena keindahan karya tersebut, tetapi juga karena permasalahan perlawanan pada hukum kolonial Hindia Belanda yang mengedepankan hak penduduk Belanda/Eropa; dalam BM hukum perkawinan campur dan hak milik/waris tanah dan properti yang terkait dijadikan sebagai penggerak cerita. Koh (1996: 70-93) menulis bahwa lewat Minke dan watak-watak lain dalam tetralogi Bumi Manusia, gambaran/citra pemberontakan, terutama terhadap ketidakadilan kolonial, dapat ditemukan. BM adalah novel yang melawan kuasa penjajahan (Scherer, 2012: 142; Noor dan Faruk, 2003). 1
Novel BM adalah karya sastra yang menampilkan citra Nyai berkebalikan dengan citra Nyai dalam roman- roman Deli, Nyai adalah wanita penggoda yang memiliki sensualitas gaib (Zonneveld dalam D'haen, 2002). Nyai Ontosoroh dalam BM adalah Nyai yang berani dan tangkas berbicara (Termorshuizen, 1996) dan menjadikan status nyai sebagai pengetahuan dan kesadaran baru (Bandel, 2003 ). Di tengah kutukan terhadap nyai dalam karya sastra, DSK karya Louis Couperus (1900) justru menampilkan sosok perempuan Eropa, seorang istri residen, yang berselingkuh dengan banyak laki-laki: pengusaha, pejabat Belanda, pemuda Indo dan bahkan anak tirinya sendiri. DSK dinilai oleh Zonnenveld (D'haen, 2002.) telah memberikan kritikan yang mendalam terhadap kehidupan masyarakat jaman kolonial Hindia Belanda dan memprediksi berakhirnya kolonialisme Hindia Belanda. Coperus dinilai Geert Onno Prins (2008) telah meragukan persahabatan Timur dan Barat; ini berbeda dengan sikap E.M. Foster dalam Passage to India. Gerakan perlawanan pribumi dan Islam digambarkan remang-remang dalam DSK. Novel DSK dan BM sebagai sebuah teks berlatar masa kolonialisme atau teks yang bertutur tentang masa itu dapat dibaca
dengan teori
pascakolonialisme 2. Rumusan Masalah Secara garis besar studi ini difokuskan pada representasi perlawanan pribumi terhadap kolonialisme dalam kedua novel. Secara lebih rinci, permasalahan dirumuskan dalam beberapa pokok masalah: (a) Latar Historis dan Kultural: Hubungan PenjajahTerjajah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Jawa zaman kolonial Belanda peralihan abad ke-19 dan ke-20 (1889 s.d. 1917), (b) Identifikasi struktur naratif kedua novel: representasi masyarakat kolonial dalam sastra kolonial (De Stille Kracht) dan pascakolonial (Bumi Manusia), (c)Konstruksi identitas kultural ideal dibentuk dan dipenuhi oleh kawula kolonial dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (d) Mimikri dan sifat perlawanan/resistensi dalam kedua novel sastra kolonial (De Stille Kracht) dan pascakolonial (Bumi Manusia). 3. Kerangka Teori dan Metodologi 3.1Pascakolonialisme Teori pascakolonial dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi 2
kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme (Loomba, 2005: 15). Analisis wacana kolonial dan teori pascakolonial ini disimpulkan William sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang the Other (Williams dan Chrisman, 1994: 8). Pascakolonialisme adalah strategi pembacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bias membantu mengidentifikasi tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut. Istilah pascakolonial menunjukkan tanda-tanda dan efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya (Day dan Foulcher, 2002). Said ((1979: 84 -87), meyakini bahwa selama masa kolonialisme proses produksi pengetahuan berlangsung terus menerus meskipun seorang Orientalis tetap berusaha mempertahankan citra Timur. Definisi Timur disesuaikan dengan kebutuhan moral Kristen Barat dan dibatasi oleh rangkaian sikap dan penilaian yang mengarahkan Barat pertamatama tidak kepada sumber Timur, tetapi pada karya orientalis yang lain. Timur diproduksi secara karakteristik dalam wacana para Orientalis sebagai, secara bervariasi,: voiceless, sensual, female, despotic, irrational and backward ( Said dalam Moore-Gilbert, 1979: 39). Dengan karyanya Said telah memberi kritik pedas pada cara Orientalis melegitimasi agresi kolonial dan supremasi politik Barat (King, 2001: 162). 3.2 Pascakolonialisme (Homi Bhabha): Ambivalensi dan Ruang Liminal Bhaba menolak pendapat Said yang mengesankan bahwa wacana kolonial sematamata milik penjajah dan seragam (Richard King, 2001). Young (2007) menambahkan, ‘He (Bhabha) showed how colonial discourse of whatever kind operated not only as an instrumental construction of knowledge but also according to the ambivalent protocols of fantasy and desire.’ Bagi Bhabha (1994), wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi. Wacana kolonial karenanya memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara kolonisator dan yang terkoloni senantiasa ambivalen. Artinya, Wacana kolonial bergerak dinamis. Di sana ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik. Timur dilihat sebagai yang indah sekaligus menakutkan, sebagai yang akra tetapi asing, dicinta tetapi 3
dibenci, atau dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloni/terjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi. Alatas (1980) secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka. “Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep “fixity” wacana kolonial. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan “fixity” menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. (Bhabha, 1994: 82). Tindak mimikri (peniruan identitas) oleh terjajah melahirkan hibridisasi yang berada dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha (1994: 1-4; 2003) sebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang bak twilight zone. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, perbedaan identitas mereka. 3.2. Jaques Lacan (Psikoanalisis) dan konsep mimikri Bhabha Menanggapi indoktrinasi kemurnian ras dan pengejekan masyarakat, terjajah yang mengalaminya akan melakukan perlawanan atau malahan peniruan (mimikri). Homi 4
Bhabha telah mengadopsi teori Lacan dalam pembahasannya mengenai hubungan terjajahpenjajah. Teori mimikri Lacan diilustrasikan dalam analogi pertahanan biologis serangga sehingga dalam resistensi tergambar mimikri (Bhabha,1994: 120-121; Baart MooreGilbert, 1997: 133). 'Hasrat' Lacan berasal dari pembacaannya atas teori Freud;
Lacan menolak
adagium Freud, ego berkuasa atas id; baginya seluruh eksistensi manusia dikontrol dan dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Dia juga menandai konsep Freud 'need-demand-desire' ke dalam kerangka “yang Real-yang Imajiner-yang Simbolik”. Ketika bayi memasuki tahap 'demand', dia menyadari kehadiran 'sang liyan' yang ingin dihilangkannya. Kemustahilan pada permintaan mendorongnya memasuki tahap 'Yang imajiner”. Pada tahap ini, bayi melihat dirinya (ego) eksis melalui citra cerminal. Namun, 'ego' yang dilihatnya di cermin, yang diakuinya sebagai dirinya itu sebenarnya berasal dari kesalahan mempersepsi citra cerminal, artinya gambaran tentang diri si “aku” tidaklah sama dengan kenyataannya. Hal ini berarti bahwa ‘tahap-cermin’yang melekat secara anatomis ke dalam perkembangan tidak utuh dengan sendirinya menempatkan hubungan ganda imajiner; tahap ini menjadi dasar hubungan antar pribadi (dengan sang liyan) sekaligus prasyarat narsisisme primer dan sumber perilaku agresif (Kurzweil, 2004). 'Citra cerminal' ini yang selalu dibawa bayi untuk mengidentifikasikan sang liyan. Bertolak dari tahap ini bayi akhirnya memasuki tahap keinginan pada kepemilikan identitas; keinginan tersebut disebut sebagai 'hasrat' (desire). Hasrat juga bisa dipandang sebagai “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah, dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan karena hasrat dilahirkan oleh adanya kekurangan (lack)(Ibad, 2012). Dalam pandangan Lacan (Sarup, 2002) identitas terbentuk dalam ruang sosial, dengan demikian identitas diri juga menandakan perbedaan dengan yang lain. Dalam kerangkan kolonialisme, hasrat subjek kolonial juga muncul dari kekurangan. Bhabha (Jefferess, 2008: 36) berpendapat bahwa subjek kolonial selalu bergerak mengitari poros stereotip dan dalam tindak pengingkaran dan fiksasi, subjek kolonial dikembalikan pada narsisme imajiner dan identifikasinya pada ego ideal adalah 'putih' dan 'utuh'. Karenanya, identitas selalu dikonstruksi seputar citra ideal yang bersifat imajiner. Bhabha (1994) menggunakan konsep demand dan desire dalam mengartikan 5
hubungan terjajah dan penjajah yang dibentuk oleh wacana kolonial. Selanjutnya, mengikuti konsep Lacan, Bhabha (Ibid.) menyebut bahwa penjajah memiliki tuntutan untuk diakui, tuntutan yang berada pada level ketidaksadaran. Pada area ini (Bhabha dalam Sarup: 2002) ada tuntutan narsistik yang bila ditolak menimbulkan terjadinya paranoya; penolakan menyebabkan penjajah merasa bahwa terjajah membencinya. Dengan kata lain penjajah telah diperbudak oleh rasa superioritasnya dan selalu melakukan pengawasan. Namun, Bhabha berpendapat “although there is a surveillance, fixity is not achieved” (meskipun ada pengawasan, kepastian tak tercapai) (Sarup, 2002: 161), artinya tuntutan untuk diakui tidak terpenuhi. Mimikri kolonial menjadikan tuntutan terjajah tidak tercapai karena unsur resistensi yang dikandungnya akan mengganggu fixity dan menimbulkan paaranoya pada penjajah. Mimikri oleh hewan digunakan sebagai tindakan pertahanan/perlindungan diri dengan cara menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Bila kita memperhatikan alam kita akan menemukan bahwa hewan dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi tinggi dengan alam sekitarnya, sebut misalnya bunglon dan gurita yang berubah warna seperti lingkungan sekitarnya, atau ikan dan katak di kutub utara yang membeku padat di musim dingin agar tetap hidup. Bahkan, ada seekor katak ini meniru suara katak jantan lain yang memanggil pasangannya dan begitu katak betina muncul, dia ‘menerkamnya’. Sekali lagi, bagi Lacan (dalam Bhabha, 1994), mimikri kolonial analog dengan pertahanan serangga dan dia mengartikan bahwa dalam peniruan (mimikri) muncul efek kamuflase dan resistensi terjajah yang berada dalam level ketidaksadaran. Dalam area mimikri ada mockery sehingga keinginan kolonisator untuk mereformasi atau mencipta The Other akan selalu menghasilkan subyek tambal sulam (almost the same, but not quite.) Ambiguitas mimikri akhirnya juga menimbulkan gangguan identitas The Other. (Bhabha (1994: 86). Saya meneliti representasi perlawanan dalam dua novel yang berbeda bahasa dan berbeda nasionalitas pengarangnya, yaitu novel Bumi Manusia, berbahasa Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 meskipun berlatar awal abad 1900 dan DSK karya Louis Couperus yang terbit dalam Bahasa Belanda untuk pertama kalinya pada tahun 1900. Sebagai konsekuensinya, saya menggunakan metode perbandingan yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan pascakolonial karena karya Couperus, DSK dan karya Pramoedya, BM, adalah dua karya 6
sastra memiliki kesejajaran untuk dibandingkan dan dibaca secara pascakolonial. Cara ini adalah langkah yang sangat relevan, sebagaimana pemikiran O’Reilly (2007: 117-118). Pertama, membandingkan dua karya sastra yang menanggapi sebuah periode atau peristiwa bersejarah; BM dan DSK menanggapi sejarah kolonialisme di Indonesia akhir abad 20 dan awal abad 21. Kedua, membandingkan dua karya sastra, teks kolonial dan teks pascakolonial yang memiliki setting/region yang sama dengan mendiskusikan masalah representasi dan perspektifnya dan kaitan antara keduanya. Kedua novel juga dapat dipandang sebagai teks naratif sehingga teori teks naratif dan model analasisnya dapat digunakan. Selain itu, identitas selalu harus dibicarakan dalam waktu dan ruang (space and time) (Sarup, 1996); identitas selalu terkait dengan narasi yang didalamnya berisi story (events) dan discourse (bagaimana cerita disampaikan atau disebut plot). Penelitian ini menerapkan juga analisis struktur naratif ala RimonKeenan (1993) terutama story order/text order. Dengan analisis struktural ini diharapkan permasalah identitas dan resistensi dalam kedua novel tidak terlewatkan.. 4. Pembahasan dan Hasil Penelitian 4.1 Latar Historis dan Kultural Nama kumpeni sangat populer pada masa kolonial dalam masyarakat Indonesia. Kumpeni penggalan nama dari VOC (Verenigne Oost-Indische Companie) sebuah gabungan macam-macam usaha dagang di Belanda yang mewakili Belanda untuk menguasai perdagangan Asia. Nama VOC tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia juga Belanda. Jan-Peter Balkenende pada tahun 2007 ketika masih menjabat perdana menteri Belanda pernah mencoba membangkitkan semangat Belanda dalam bidang perekonomian dengan mental VOC. Ungkapan yang langsung mendapatkan banyak kritik karena VOC tak mungkin terlepas dari citra negatif penjajahan yang masih eksis hingga kini. Pada masa kolonial VOC rupa-rupanya telah memiliki citra petualangan dan mental perjuangan. Sebagai organisasi dagang VOC diakui memiliki mental perjuangan baja. Mereka telah mengarungi lautan luas dan membawa untung finansial bagi kerajaan Belanda. Gelder (2000, via Sudibyo, 2002) mengungkapkan bahwa kepemilikan akan tanah jajahan telah memberi citra pada pemuda Belanda sebagai orang mondial, berjiwa pelaut dan berbakat penguasa. VOC juga mendapatkan tempat dalam karya sastra Hindia 7
Belanda. Kemegahan Batavia sebagai kota pusat ditampilkan dalam puisi oleh Jan Harmenz de Marre; VOC adalah Ratu dari Timur (Suprihatin, 2012). Kebangkrutaan VOC, tahun 1798, menggerakkan Belanda untuk mengundang investor swasta ke Hindia Belanda., disamping menerapkan sistem cultuurstelsel (1830). Sistem yang bertujuan memperoleh batig slot atau keuntungan ini berjalan dengan menerapkan cultuurprocenten, artinya daerah-daerah penyetor hasil pertanian (gula, indigo, lada) akan mendapatkan persentase (Fasseur, 1997: 16). Sistem cultuurprocenten membuat daerah karesidenan berlomba-lomba untuk meningkatkan hasil komoditi dagang tersebut dan menelantarkan pertanian pangan. Kekurangan pangan dan kelaparan akibat dari sistem ini dilustrasikan dengan bagus dalam Max Havelaar (Dewi, 2008). Lewat “Een eereschuld” dalam De Gids, Th. van Deventer (1899), salah satu tokoh pendukung politik etis, bersikeras bahwa Belanda memiliki kewajiban moral untuk membayar kembali hutang (puluhan juta gulden) pada Hindia Belanda. Uang itu harus digunakan untuk perbaikan pendidikan dan memperkuat posisi ekonomi masyarakat pribumi. Koloni harus diatur dan bukan dikuasai atau dieksploitasi. Seruan politik etis juga ditandai oleh pidato Ratu Wilhelmina pada September 1901 dalam pembukaan parlemen Belanda (Hartoko, 1979; Bosma, 2005). Politik etis telah mengubah pandangan Hindia Belanda sebagai wingeweest (daerah menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan, dipenuhi kebutuhannya dan ditingkatkan budaya rakyatnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 2009 : 21-22). Akhir abad ke -19 semakin banyak para bangsawan pribumi yang bersekolah (Margana, 2004; Moriyama, 2005); dan Belanda menggunakan sekolah sebagai cara untuk merekrut pejabat pribumi. Pada masa ini kisah Minke dan juga Otto van Oudijck dibingkai. Berlatar belakang masa kekuasaan Ratu Wilhelmina kisah hidup pejabat Belanda dan pejabat bumiputera diramu dalam kedua novel. Bumi Manusia (1980) yang ditulis jauh sesudah DSK (1900) menampilkan tokoh Minke yang aktif menulis dalam surat kabar dan menggunakan tulisannya untuk melawan ketidakadilan yang dialaminya. Pers masa Hindia Belanda juga digunakan untuk menebarkan kebencian. Pramoedya (2003: 199-201) melampirkan surat protes Mas Marcodikromo tentang perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Belanda kepadanya. Dengan isi tulisan yang sama − tulisan berisi pendapat bahwa pendirian sekolah tinggi teknik tidak bisa diteruskan 8
Belanda− penulis Belanda tidak mendapatkan teguran). Karena artikelnya yang mengritik perilaku orang-orang Belanda, dia juga pernah divonis 7 tahun; Mas Marco dituduh menghimbau permusuhan. Sementara itu, Van Haastert yang menanggapi kelompok etis dengan ucapan: “pribumi harus diangkat, tapi diangkat sampai tiang gantungan” dan juga mengutip tulisan Karel Wijbrands (atasannya dalam Nieuws van den Dag) : “Pribumi adalah kusir yang jelek dan kasar, tukang yang ceroboh, petani keras kepala, dan terbelakang, pengawas yang malas, karyawan yang tak peduli, pemimpin keras, suka takhayul, despotisch/tiran, bodoh. Bukan bawahan yang mengritik, tapi atasan. Kita adalah master dan akan tetap begitu selama arah etis tidak mendapat posisi kuat”, hanya divonis 3 hari. (Termorshuizen, 2011). Pers Belanda yang mengejek pribumi tidak ditanggapi serius oleh pemerintah sedangkan pers pribumi yang melakukan hal serupa atau hanya sekedar kritikan ringan dianggap menghimbau permusuhan. 4.2 Representasi Masa Kolonial dalam Kedua Novel Tabel 1 Organisasi Peristiwa DSK Urutan Organisasi Event-Event dalam DSK 1
A
Keluarga Residen Van Oudijck di Labuwangi
2
B
Kedatangan Leoni van Oudijk dari Batavia (liburan) : perselingkuhan ibu dan anak tiri dimulai kembali
3
C
Lingkungan Labuwangi: Kegiatan ekonomis dan kehidupan masyarakat di Labuwangi (Cina, Arab, Islam)
4
D
Pesta Usai Giling Tebu di Pacaram D2 pesta giling tebu di Pacaram D1 riwayat keluarga Addy de Luce di Pacaram D2.Giling Tebu yang sangat meriah: penuh tamu dan hidangan D3 Awal dimulainya asmara Leoni-Addy
5
E
Asmara Leoni : antara anak tiri dan pacar anak tirinya
6
F
Surat-Surat Kaleng dan Pemecatan Bupati Ngajiwa
7
G
Keadaan mencekam di Labuwangi : pemberontakan kecil dan 9
teror di rumah residen 8
H
Hancurnya Keluarga Residen: Perceraian antara Leoni dan Van Oudijck
9
I
Residen Mundur Diri dan Pindah ke Garut
Secara garis besar DSK dituturkan oleh narator eksternal menggunakan alur maju, dan ini lebih sederhana dibandingkan cara bertutur BM. Cerita awal adalah pengenalan keluarga residen dan keadaan lingkungan kerja dan wilayah karesidenan Labuwangi. Gawatan dimulai dengan adegan asmara Leoni yang membrutal dengan pacar putri tirinya, Addy de Luce. Hubungan itu dilakukan di rumah keluarga Addy de Luce di mana Theo, pacar sekaligus anak tirinya, dan Doddy, putri tirinya juga menginap. Hampir tidak ada ‘ketidaksesuaian cerita’ dengan urutan kronologis pada novel ini. Ketidaksesuaian yang muncul tidak berpengaruh penting bagi pengembangan alur cerita. Gawatan yang naik oleh datangnya surat kaleng secara rutin di meja Van Oudijck dan permohonan Raden Ayu Pangeran agar residen membatalkan pemecatan bupati Ngajiwa, diakhiri dengan munculnya pemberontakan kecil di Labuwangi. Pemberontakan telah membuat warga menutup pintu rapat-rapat di saat senja datang, dan berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Peristiwa terpuncak adalah penodaan ludah sirih pada tubuh Leoni pada saat senjahari di kamar mandi. Goncangan batin dan kekhawatiran tidak hanya menimpa keluarga dan penghuni karesidenan, tetapi juga masyarakat luas Labuwangi. Keadaan mereda ketika mereka menyadari bahwa semua kekacauan hanyalah diakibatkan oleh sihir bupati, dan bukan oleh alam Hindia Belanda. Klimaks kedua muncul dengan tertangkapbasahnya perselingkuhan Leoni dan Addy. Peristiwa ini berakibat pada perceraian Van Oudijck dan istrinya, pernikahan Addy dan Doddy, dikirimnya Rene dan Ricus ke Eropa, dan kepergian Theo ke tempat kerjanya yang baru. Cerita diselesaikan dengan mundurnya Van Oudijck dari jabatan residen untuk menghabiskan masa pensiun di Garut, serta kepulangan Van Eldersme dan Eva kembali ke Belanda. Eldersma telah pulang karena sakit berat yang dideritanya; Van Oudijck menikahi gadis muda putri mantan mandor perkebunan. Ia hidup serumah dengan ibu mertua dan semua saudara istrinya di Garut yang sepi, di rumah sederhana yang diteduhi rerumpunan bambu. Tindakan Van Oudijck menjawab kritikan tokoh Van Helderen yang 10
mengecam orang Belanda yang ingin hidup di Hindia layaknya di Eropa dan hanya mengumpulkan kekayaan untuk dibawa pulang ke negara mereka. Tabel 2 Organisasi Peristiwa BM Urutan Event-Event dalam BM 1
M-B
Minke : sang Narator 1. Introduksi diri sendiri : Minke dan HBS 2. Perkenalan Minke dengan keluarga Mellema
2
A
Kisah Sanikem dan kel. Mellema : Jual Beli Anak Gadis
3
C
Ketegangan Muncul : Panggilan Rahasia Untuk Minke
4
D
Undangan Keluarga Asisten Residen Herbert de la Croix :Derajat Minke naik
5
E
(Ketegangan Muncul Kembali) Minke Kembali ke Surabaya: Perintah Membunuh Minke oleh Robert
6
H
Cerita Tentang Robert di rumah plesiran dari saksi-saksi di Pengadilan
7
F
Minke kembali ke Buitenzorg Wonokromo
8
G
Suasana HBS : Magda Peters dan Max Tollenaar
9
I
Kematian Tuan Mellema: Kisah dari rumah plesiran Babah Ah Tjong
10
J
Kelulusan dari H.B.S dan Perkawinan Minke-Annelies
11
K
Pemindahan Hak Waris kepada Ir. Mellema vs Perjuangan Melawan Hukum Kolonial oleh Minke dan Nyai Ontosoroh
1
L
Kegagalan Minke Mempertahankan Istrinya
Berbeda dengan DSK yang dituturkan oleh pencerita bukan tokoh, BM menjadi semacam memoar tokoh Minke. Minke, sebagai tokoh sekaligus menjadi narator utama. Dia membuka peristiwa dengan memperkenalkan dirinya yang menuliskan kisah yang dialaminya belasan tahun yang lalu: “Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian dan khyal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya” (BM, 1980: 1). 11
Cerita berlanjut dengan perkenalan diri Minke saat berada di bangku sekolah dan mengemukakan pandangannya tentang perkembangan dunia. Perkenalan diri diputus oleh kedatangan Robert Suurhof yang mengajaknya mengunjungi keluarga Mellema: Tuan dan Robert Mellema yang tak menyenanginya, Nyai Ontosoroh dan putrinya yang menyukainya. Jatuh cinta pada pandang pertama menyatukan Minke dan Annelies dalam satu rumah. Suatu hari keluarga tersebut menemukan mayat Tuan Mellema di rumah plesiran Babah AH Tjong yang tak jauh dari rumah mereka. Pengadilan pun digelar. Babah Ah Tjong dinyatakan bersalah telah sengaja memberikan ramuan yang membahayakan jiwa Mellema secara perlahan-lahan; Minke dan Annelies diusik kebersamaan mereka dalam satu rumah. Peristiwa ini berakibat pada dikeluarkannya Minke karena dianggap sudah lebih dewasa daripada teman sebayanya. Dengan pertolongan Tuan Asisten Residen kota B., Minke kembali ke sekolah dan lulus dengan nilai terbagus seluruh Surabaya. Akhirnya dia menikahi Annelies secara Islam. Sayang, kebahagiaan tak berlangsung lama. Ir. Maurits Mellema menuntut haknya atas harta warisan ayah kandungnya, dan juga hak perwalian atas Annelies yang belum dewasa menurut hukum Eropa. Perkawinan Minke dan Annelies dibatalkan oleh pengadilan Eropa, dan Annelies harus berangkat ke Belanda dan hidup di bawah pengawasan keluarga Mellema. Perbedaan perlakuan hukum telah diterapkan. 4.3 Menggapai Identitas Kultural dalam liminal space Dalam kasus kolonialisme penjajah adalah migran. Sebenarnya merekalah yang keluar dari lingkungan mereka sendiri dan menemukan orang – orang yang berbeda dengan dirinya. Sebagaimana dikemukakan Sarup (1996) identitas dapat terbentuk karena perbedaannya dengan yang lain. Namun alih-alih merasa tersudut, justru mereka berhasil menciptakan wacana bahkan mitos mengenai kemurnian ras mereka di tanah yang baru. Dengan teknologi kapal dan tenun/tekstil mereka merasa lebih berbudaya daripada penduduk pribumi. Penduduk aslilah yang akhirnya mengakui bahwa identitas mereka minder di dalam liminal space. Bartels (1990) memberi gambaran bagaimana orang Maluku masa kolonialisme menghabiskan uang agar anak mereka dapat berbahasa Belanda sehingga kedudukan mereka lebih dekat dengan orang Belanda. Tuntutan untuk memenuhi identitas meer (posisi lebih) dilakukan oleh pribumi 12
maupun Indo. Nyai Ontosoroh yang ditukar ayahnya dengan jabatan kasir menolak identitasnya yang lama. Dia selalu menanyakan pada “suaminya” kemajuan yang telah dicapainya. Sudahkan dia seperti wanita Eropa: bahasa Belanda dan cara bersikapnya? Bacaan yang dibacanya bahkan jauh melebihi bacaan kebanyakan wanita Eropa di Hindia Belanda. Namun, prestasi yang dicapainya tidaklah menentukan bahwa identitasnya berubah menjadi sama dengan identitas wanita Belanda. Dia adalah pribadi yang berbeda dengan asalnya, dia menjadi mirip dengan yang ditirunya, tetapi tidaklah sama persis (almost the same, but not quite). Ketika berlangsung sidang melawan Ir. Maurits Mellema, oleh hukum Nyai Ontosoroh dilarang berbicara dalam bahasa Belanda. Meskipun bahasa Belandanya sangat bagus, dia tidak diperbolehkan menjawab langsung pertanyaan hakim; seorang pribumi harus berbicara Melayu dan dibantu oleh seorang penerjemah MelayuBelanda. Nyai Ontosoroh merasa dilemparkan ke hunian aslinya; dia disadarkan pada posisinya yang tidak sama dengan orang Belanda. Minke sebagai lulusan terbaik HBS (Hogere Burger School) Surabaya, mengalahkan pelajar-pelajar lain, bahkan yang totok Belanda. Namun, dalam hukum dia harus mengakui kedudukannya yang rendah. Pernikahannya dengan Annelies yang sah secara hukum Islam dan pribumi dapat dibatalkan oleh hukum kolonial Belanda. Meskipun Annelies Mellema menolak, sebagai gadis di bawah 17 tahun hukum tetap menempatkan dia di bawah pengasuhan mantan istri Tuan Mellema. Dia diperintahkan untuk bertolak ke Belanda meninggalkan suami dan ibu kandungnya. Annelies yang selalu menyebut dirinya pribumi, kini harus mengakui kenyataan bahwa dia warga Belanda. Dia
mengalami
kegoncangan identitas..... Dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda ada sementara kelompok Indo yang mengingkari darah pribuminya, misal tokoh Robert Mellema, Robert Suurhof, Ida van Helderen. Mereka lebih suka disebut sebagai orang Belanda; Ida van Helderen disebut oleh Couperus sebagai tipe nona putih yang tidak menyukai rijsttafel dan berpura-pura bahasa Melayunya jelek. Mereka lebih memilih identitas putih yang dipandang lebih bagus, murni dan berbudaya. Di tengah orang-orang yang mengagungkan kelebihan budaya Belanda dengan musiknya, tatacara makan Eropa, Louis Couperus menempatkan Leoni van Oudijck, istri residen Labuwangi, yang berkarakter cuek (tidak pedulian), menolak mengurus kegiatan 13
amal yang menjadi kewajiban istri residen, dan berselingkuh dengan sejumlah laki-laki, termasuk anak tirinya dan juga pacar anak tiri perempuannya. Pada masa ketika perempuan kulit putih dipandang sebagai sosok berharga, langka dan berpendidikan, muncul istri residen serupa ini. Tampaknya Couperus ingin mengungkapkan bahwa perilaku selingkuh maupun hubungan di luar pernikahan tidak hanya dimiliki oleh para nyai, tetapi juga bisa dilakukan oleh wanita Eropa, bahkan yang berkedudukan terpandang dalam masyarakat. Novel DSK juga menampilkan dua tokoh wanita yang selalu mengedepankan cara berpakaian untuk mempertahankan identitas mereka. Eva Eldersma, meskipun akhirnya harus kalah oleh panasnya Hindia, dikenal sebagai wanita yang mengurus jamuan makan malam Eropa, lengkap dengan tatacara berbusananya. Laki-laki mengenakan jas panjang berekor; mereka kepanasan dalam kenikmatan makanan Eropa. Di pihak lain, istri bupati Soenario selalu mencoba menampilkan tatacara Solo dalam kehidupannya sehari-hari. Dia mengambil kusir dari Solo dan mempertahankan cara berpakaian Solo untuk kusirnya. Cara ini ternyata efektif mengganggu residen yang tidak mampu menegurnya. 4.4 Resistensi Mimikri adalah perilaku yang dilakukan karena rasa minder. Rasa minder ini ditutupi dengan meniru perilaku mereka yang meer (lebih). Mereka menyangkal dan melawan kekurangan yang ditunjukkan pihak meer dengan menunjukan kemampuan yang sama. Homi Bhabha mengaitkan tindak mimikri, peniruan oleh si Hitam terhadap si Putih, dengan unsur resistensi. Richard King (1999) mengatakan, ruang kolonial adalah ruang agonistik. Pendapat ini dapat diartikan bahwa hubungan terjajah dan penjajah bersifat kompetitif. Dalam hemat saya, “mimic man” meniru sekaligus ingin menunjukkan daya kompetisinya; dengan meniru sekaligus dia menyatakan bahwa kemampuannya tidak kalah dengan kemampuan yang ditiru. Daya kompetisinya menjadi senjata untuk bertahan bahkan untuk menyerang. Para bangsawan di Jawa, awal mulanya, menduduki tempat tertinggi dalam strata kemasyarakatan di wilayah mereka. Kehadiran pemerintah kolonial menempatkan kedudukan mereka sebagai bupati-bupati yang dikontrol oleh residen. Bupati dapat dipecat dari jabatannya oleh gubernur jenderal atas usulan residen. Fasseur (1997: 25) mencatat adanya pemecatan duabelas bupati di Jawa antara tahun 1838-1848. Dengan menempuh 14
pendidikan modern mereka inginmemenuhi tuntuan bupati ideal. Minke bersekolah di HBS, tetapi menolak menjadi bupati sesuai tradisi. Pemecatan tentu saja membawa aib bagi keluarga bangsawan. Karena masalah berjudi dan menggelapkan gaji para kepala daerah, residen Labuwangi mengusulkan pemecatan bupati Ngajiwa. Ibunda bupati rela berlutut dan merendahkan diri “...gilde uit, dat zij, de dochter der sultans Madoera voor eeuwig zou zijn zijn slavin, dat zij swoer niets te zullen zijn dan zijn slavin, zo hij slechts deze keer nog genade had met hare zoon en haar geslacht niet stootte in de afgrond van schande…” (…dengan keras dia berteriak bahwa dia putri keturunan Sultan Madura untuk selamanya akan menjadi budaknya jika Van Oudijck mengampuni anak laki-lakinya dan tidak mendorong keluarganya masuk ke jurang penghinaan…)(DSK: 126; KD: 130). Ketika permintaan tidak dituruti, keluarga bangsawan yang telah lama bekerja sebagai perpanjangan kekuasaan, dan mengantongi banyak penghargaan menjadi murka. Mereka mengurus pemberontakan di luar kota dengan diam-diam, mereka juga melancarkan gangguan guna-guna terhadap istri residen. Dalam istilah Bhabha (1994) perlawanan ini ditandai sebagai kamuflase; mereka meniru atau mengikuti tuntutan identitas ideal dan panggilan peradaban, tetapi menyembunyikan perlawanan dan dendam di sebaliknya. Perlawanan melalui guna-guna, perlawanan dalam tindak mimikri serupa ancaman yang dapat dirasakan adanya, tetapi tidak dapat dilihat dari mana kehadirannya, Van Oudijck mengatakannya sebagai kekuatan di bawah gunung berapi yang tenang, sebagai kekuatan yang mengganggu dan mengusili. Pada akhirnya, manusia mimikri menjadi ancaman berbahaya bagi otoritas kolonial justru karena kemiripan dan perlawanan yang dibawanya. Perlawanan kolonialisme mendapatkan tempatnya dalam karya sastra. Max Havelaar telah memotret ketidakadilan pemerintahan Belanda, terutama melalui kisah Saijah dan Adinda (Dolk, 1996). Mengikuti jejak Multatuli, Boeka, nama samaran dari P.C.C. Hansen, menulis roman-romannya dalam tema kemiskinan dan kesengsaraan rakyat pribumi dan dia membela pribumi/ orang Jawa dari prasangka orang Belanda sebagai orang malas, apatis, fatalistik, tunduk-tunduk, dsb. (Hartoko, 1979). Madelon Hermina Szekely-Lulofs lewat Koeli dan Rubber memotret kehidupan masyarakat pribumi di Deli (Sudibyo, 2003 & 2008) atau Njoet Nja Dien yang menghadirkan pahlawan wanita Aceh (Ibid.,1979: 215; Sastrowardoyo, 1983). 15
5. Kesimpulan Dengan gaya penuturan berbeda, kedua teks, BM dan DSK, memberikan bukti bahwa karya sastra dapat digunakan untuk merepresentasikan pengalaman hidup manusia tentang kebenaran dan kenyataan dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda peralihan abad 19-20. Dengan mengambil bentuk ’fokalisator eksternal’ (narrator-focalizer) yang tidak diketahui identitasnya, DSK mengambil jarak dengan kehidupan tokohnya, sehingga narator dapat mengambil sikap relatif netral terhadap penjajah maupun terjajah. BM yang menghadirkan ‘fokalisator internal’ (focalizer-character) lebih memberikan sentuhan emosional kepada pembaca. BM menempatkan tokoh-tokoh terjajah untuk bertutur mengenai pengalaman kolonial mereka : perjuangan mereka melawan ketidakadilan penjajahan. DSK, sebagai salah satu bentuk wacana kolonial diwarnai oleh kontradiksi, oleh ambivalensi antara fantasi dan keinginan: DSK melihat Timur sebagai tempat yang indah, tetapi misterius. Novel ini mengajak pribumi bekerja sama mengikuti misi peradaban, tetapi ajakan terkendala oleh sikap yang dinilai berlawanan dengan tuntutan ideal cara kerja Eropa: berdedikasi tinggi, rajin, dan transparan. Meskipun demikian, DSK tidak mengonstruksi semua pribumi sebagai sosok yang malas berlawanan dengan kolonisator; ada juga pribumi yang rajin dan ada juga orang Eropa yang malas. Dalam pandangan DSK, keberhasilan pemerintahan Hindia Belanda memakmurkan rakyatnya dapat dipenuhi oleh kawula ideal kolonial di kedua belah pihak, yang rajin, berdedikasi tinggi, dan transparan dalam bekerja. DSK mengritik sejumlah orang Eropa yang hanya
ingin
mengumpulkan kekayaan di Hindia Belanda untuk dibawa pulang ke Eropa, dan mengakui bangsawan sebagai alat meguasai rakyat jelata. Sebagai novel yang beredar pada masa kolonial Belanda, DSK adalah novel yang berani menunjukkan ‘kebobrokan’ kehidupan Hindia Belanda yang disokong oleh perilaku orang-orang elite di pemerintahan, baik pribumi maupun Belanda, dan termasuk lingkungannya, seperti keluarga dan handai taulan. BM menyajikan pengalaman kolonial pihak terjajah yang menandai bahwa cita-cita pendidikan dan peradaban yang dibawa Eropa dikotori oleh sikap tidak adil mereka sendiri terhadap pribumi dan perlakuan diskriminatif dalam hukum dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini menegaskan adanya ‘kebobrokan’, seperti yang tergambar dalam DSK. Sikap 16
“sumangga kersa“ yang muncul dari feodalisme ikut melanggengkan kolonialisme dikritik keras dalam BM lewat penolakan Minke terhadap kesempatan menjadi bupati. Bukan hanya Barat (residen Belanda) yang dapat menolak jabatan tinggi (DSK), tetapi juga seorang pribumi. Dengan sikap mengambil karir di luar tradisi keluarga, dan bekerja keras, Minke ingin mengikis “mitos pribumi yang
tidak inovatif “, sebagaimana
senandung gamelan. Minke dan Nyai Ontosoroh pada awalnya adalah manusia mimikri tanpa kesadaran pada aspek resistensi, kemudian bergerak pada kesadaran resistensi transitif. Dengan bekal pengetahuan Barat keberadaan mereka harus dikontrol agar tidak melebihi batas terimakasih. Pengadilan kolonial menyadarkan kepribumian mereka. Hasrat menduduki tempat sang Tuan dihentikan oleh hukum. Undangan peradaban terhadap pribumi dibayangi oleh konstruksi identitas pribumi sebagai minder berlawanan dengan identitas meer orang Eropa, sehingga memunculkan sikap kamuflase, atau resistensi-mimikri. Perlawanan terhadap konstruksi identitas dalam DSK diisyaratkan dengan mengedepankan penanda identitas pakaian dan gaya bahasa; identitas Jawa yang berbeda dari identitas Eropa. Kamuflase menjadi pilihan perlawanan keluarga Soenario (DSK). Di depan pihak Belanda mereka patuh dan menjalin kerjasama, tetapi secara diam-diam mengirimkan guna-guna. Jenis perlawanan transitif ini mengambil bentuk kedua, menghindari dominasi penjajah dengan mengiyakan meskipun bertindak sebaliknya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kedua novel menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan/Barat dengan cara yang berbeda. DSK meragukan keberhasilan pemerintah kolonial untuk tetap menguasai Hindia Belanda karena resistensi dari penduduk Jawa terhadap Barat dan ide-idenya selalu ada, meskipun bagai ‘tertidur ayam’, siap melompat bila diganggu dan diserang. Suara perlawanan juga ditunjukkan dengan dukungan novel ini terhadap nasib tokoh utamanya, yaitu kekalahan mental tokoh utama, mengakui bahwa disamping yang transparan dan rasional, ada misteri dalam kehidupan ini. Novel ini membawa pembaca pada pemahaman bahwa kriteria Barat (baca wacana kolonial) bukan satu-satunya penentu dan pemenang. Kedua novel membawa ingatan bangsa Indonesia kepada isolasi/pengkotak-kotakan manusia berdasarkan ras/keturunan mereka secara politis dan juga pembedaan fasilitas kepada mereka: pendidikan, hukum, pemukiman rasial, dan fasilitas publik lainnya. 17
Identitas subjek kolonial telah dikonstruksi; hal ini mencirikan sifat kolonial sekaligus menyadarkan kita bahwa apartheid tidak hanya terjadi di Afrika Selatan, tetapi juga terjadi di Hindia Belanda. Perlakuan rasial dan Legal apartheid telah diterapkan (Mohamad, 1999; Locher-Scholten, 2000; Muntolib, 2008). 6. Daftar Pustaka Alatas, S.H. The Myth of the lazy natives atau Mitos Pribumi Malas, Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, terj. Akhmad Rofi’ie. Jakarta : LP3ES, 1988. Allen, Pamela. Reading Matters:.An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction 1980-1995 atau Membaca, dan Membaca Lagi, terj. Bakdi Sumanto. Tangerang: Penerbit Indonesia Tera, 2004. Bandel, Katrin. Sastra, Perempuan, Seks. cetakan ke-2. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Beekman, E.M. “Introduction” dalam The Hidden Force . Louis Couperus. London: Quartet Encounter, 1992. Bartels, Dieter. From Black Dutchmen to White Moluccans: Ethnic Metamorphposis of an East-Indinesian Minotiry in the Netherlands. Makalah dipresentasikan pada the Fisrt Conference on Maluku Research (Konferensi Pertama Riset Maluku). Universitas Hawaii di Manoa. Pusat Studi Asia Tenggara, Honolulu. Maret 16-18 1990. Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London and New York: Routledge,1994. ________. “Remembring Fanon: “Self, Psyche and the Colonial Condition”,Colonial Discourse and Postcolonial Theory. Patrick William and Laura Chrisman, eds and introcducers. New York-Singapore: Harvester Wheatsheaf, 1997. _______. “Cultures’s In-Between”. Question of Cultural Identity. Stuart Hall dan Paul du Gay, eds. London –Thousands Oaks-New Dehli: Sage Publication, 2003. Bloembergen, Marieke. Polisi Zaman Hindia Belanda. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011. Couperus, Louis. De Stille Kracht (1900). Terbitan ketujuh, tanpa tahun terbit. Amsterdam: J. Veens Uitgeversmaatschappij. Couperus, Louis. De Stille Kracht Athenaeum─Polak & Van Gennep, 2007.
(1900).
Terbitan
ulang.
Amsterdam:
_______. De Boeken der Kleine Zielen. Cetakan ke-7. Amsterdam: P.N. Van Kampen & Zoon N.V. 18
________. De Stille Kracht atau Kekuatan Diam, terj. Cristina Dewi Elbers. Yogyakarta : Kanisius, 20011. Darban, H. Ahmad Adaby.Islam di Tengah Perjuangan Bangsa Indonesia. Laporan penelitian Fak. Sastra UGM Yogyakarta, 1989-1990. Daum, P.A . Ups and Downs of Life in the Indies. Singapura; Periplus, 1999. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln, ed. Handbook of Qualitative Research, edisi kedua. London-New Dehli: Sage Publication, Inc., 2000. Deventer, Ch. Th. Van. “Een Ereschuld”, dalam Een Ereschuld; Essay uit De Gids over ons koloniaal verleden. Dikumpulkan oleh Remieg Aert en Theodor Duquesnoy dengan penjelasan Jan Breman. Amsterdam : 1893, hal. 197-224. Dimuat dalam De Locomotief, 30 Agustus 1899. Dewi, Christina. “Max Havelaar dan Citra Antikolonial: Sebuah Tinjauan Postkolonial” dalam Atavisme : Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, volume 11 edisi Januari-Juni, 2008. _____________. “Jejak Perlawanan dalam novel Bumi Manusia dan De Stille Kracht ” dalam Atavisme: Jurnal Ilmiah Kajian Satra Terakreditasi, volume 13, no. 2, edisi Desember 2010. Dijk, Henk Mak van dan Carl Nix. Indie in klank en beeld, Wajang Foxtrot. Rotterdam: Penerbit Scriptum Art, Schiedam &Atlas van Stolk, 2011. Faruk. BELENGGU PASCA-KOLONIAL, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Foulcher, Keith dan Tony Day, eds. Clearing Space. Jakarta: KITLV, 2002. Hartoko, Dick. Bianglala Sastra Indonesia, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Penerbit: Djambatan, 1979. Haasse, Hella S. Oeroeg atau Oeroeg, terj. Indira Ismail. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009. Ibad, Irsyadul. Jaques Lacan dan Psikoanalisa. www.averroes.or.id/..jaques -lacan-danpsikoanalisa.html. Diakses Oktober 2012. Francois, Jost. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis: The Bob Merril Company, 1974. King, Richard. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001. 19
Koh Young Hoon. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-Novel Mutakhirnya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996. Kurzweil, Edith. “Jaques Lacan: Psikoanalisa Strukturalis” dalam Jaring Kuasa Strukturalisme, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Kurniawan, Mukhamad. “ ”Lurah” Perjuangan untuk Rawagede,” Kompas, 27 Februari 2012. Locher-Scholten, Elsbeth. Women in the Colonial State. Essay on Gender and the Modernity in Netherlands Indie 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000. Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism atau Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusuma. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003. Margana. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Morimaya, Mikihiro. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke -19. Jakarta : Kepustakaan Populer Indonesia bekerja sama dengan The Resona Foundation for Asia and Oceania, 2005 Mohamad, Goenawan. “Lupa”, Tempo edisi 36/XXIII/09, 14 November 1999. Muntolib, Abdul. “Melacak Rasialisme di Indonesia dalam Perspektif Historis” Forum Ilmu Sosial, vol. 35, no. 2, Desember 2008. Moore-Gilbert, Bart. Postcolonial Theory, Contexts, Practices, Politics. London-New York: Verso, 1997. Noor, Rusdian dan Faruk. “Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda” dalam Sosiohumanika, 16/B. XVI (2), tahun 2003. O’Reilly, Christopher. Post-Colonial Literature. (Cetakan I 2001). Cambridge: University Press, 2007. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanta. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda V. cet. ke-2. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2008. Prins, Geert Onno. “Life is not a scientific manual, Louis’s Couperus’s De stille kracht en E.M. Foster’s A Passage to India”, Indische Letteren, September 2008. Rengganis, Riri. Seksualitas Perempuan dalam Saman dan Larung: Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacanian. Disertasi UGM, 2004. 20
Rimmon-Kenan, Shlomith. Narrative Fiction, Contemporary Poetics. London and New York: Meuthuen, 1993. Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage Books A Division of Random House, 1979. __________. Culture and Imperalism atau Kebudayaan dan Kekuasaan, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Sardar, Ziauddin dan Borin van Loon. Mengenal Cultural Studies for Beginner, terj. Alfathri Aldin. Bandung: Mizan, 2001. Sarup, Madan. Identity, Cultural and Postmodern World (cet. Ke-1 1996). Cetakan ke-5. Edinburg: Edinburg University Press Ltd, 2002. Sastrowardoyo, Subagyo. Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka, 1983. Sudibyo. Menjinakkan Koeli: Praktik-Praktik Dehumanisme terhadap Kuli di Deli dalam novel Berpacu Nasib di Kebun Karet karya Madelon Szekely-Lulofs. UGM, 2003. Makalah diakses dari www.geficities.ws.../sudibyo2-menjinakkan_koeli_di_deli.pdf, via google. _______. “Mereka yang Dilumpuhkan: Citra Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen karya Madelon Szekely-Lulofs”, Humanoria, XX, No.3, 2008. Suprihatin, Christina.”Suara dari Timur: Genre dan Tema-tema Karya Sastra Jaman VOC. Makalah seminar FIB UI 14 Januari 2008. Diunduh dari www.kabarlain.com, 5 April 2012. Schrerer, Savitri. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Diterjemahkan dari disertasi PhD Savitri Schrerer “From Culture to Politics: The Writing of Pramoedya A. Toer, 1950-1965” (1981). Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Termorshuizen, Gerard. “Vrouwen Spreken Tegen, Mondige nyai’s in romans van Pramoedya Ananta Toer en P.A. Daum” dalam Semaian 15, Weer-Werk Schrijven en Terugschrijven in Koloniale en Postkoloniale Literatuur, Theo D’haen, red. Leiden: Vakgroep en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit , 1996. ________. Journalisten en heethoofden, Een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse dagbladpers 1744-1905. Amsterdam-Leiden: Penerbit Nijgh & Van Ditmar dan KITLV, 2010 ________. Realisten en reactionairen, Een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse pers 1905-1942. Amsterdam-Leiden: Nijgh & Van Ditmar dan KITLV, 2011 21
Toer, Pramoedya Ananta. Bumi Manusia. Bagian I dari Tetralogi. Cetakan IX. Jakarta: Hasta Mitra, 2002. Williams, Patrick dan Laura Chrisman, eds. Colonial Discourse and Postcolonial Theory. New York-Singapore: Harvester Wheatsheaf, 1997. Wolff, Janet. The social Production of Art. London: Macmillan, 1981. Young, Robert J. C.. Postcolonialism and Historical Introduction. Oxford: Penerbit Blackwell , 2001. _____________. Egypt in America: Black Athena, Racism and Colonial Discourse. 2007. Diunduh dari www.robertcjyoung.com/Egypt/pdf, via google.com. Zonneveld, Peter van. “Indische Literatuur van de twintigste eeuw” dalam Eropa Buitengaats I. Theo D'haen, ed. Amsterdam: Uitgeverij Bert Bakker, 2002. D’haen, Theo. “Inleiding dalam Eropa Buitengaats I. Theo D'haen, ed. Amsterdam: Uitgeverij Bert Bakker, 2002.
22