Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
Representasi Pendeta Buddha dalam Film Fancy Dance Prianti Yogi Warapsari Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Unversitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai representasi pendeta Buddha di Jepang yang digambarkan dalam film Fancy Dance. Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan sosok pendeta Buddha Jepang yang tidak mengindahkan sepuluh jalan perilaku kebaikan (Juuzen). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penulisan deskriptif analisis, yaitu metode penulisan dengan menggunakan data utama berupa data pustaka yaitu film Fancy Dance yang akan dideskripsikan menggunakan pendekatan semiotika untuk mencari makna di dalam tanda-tanda budaya dalam film ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah film Fancy Dance karya Masaki Suo yang diadaptasi dari manga (komik Jeoang) berjudul Fanshii Dansu karya Reiko Okano. Teori yang diguankan dalam menganalisis representasi pendeta Buddha ini adalah teori semiotic dalam televise milik John Fiske serta teori ajaran Buddha Dasar tentang Juuzen (sepuluh jalan perilaku kebaikan) yang diungkapkan kembali oleh Etty N Anwar. Setelah dianalisis perilaku Buddha dalam film ini melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Juuzen, namun hal ini tidak dianggap sebagai dosa yang serius. Hal tersebut berhubungan dengan konsep bonno o ikasu yang terdapat dalam ajaran Buddhisme di Jepang yang mengakui adanya nafsu dalam diri setiap manusia yang lahir secara alami.
Kata Kunci: Pendeta Buddha, Fancy Dance, Juuzen, Bonno o Ikasu.
The Representation of Buddhist Priest on Fancy Dance Movie Abstract This research is examining about the representation of the Buddhist priest that is reflected in the Fancy Dance movie.the purpose of the research is to describe a Buddhist priest role that is not obey the ten good acts (Juuzen). The research is using the semiotic analyzing method to find the meaning of the culture signs on this movie. The data source that is used on this research is the Fancy Dance movie by Masaki Suo that is adapted from a manga titled Fanshii Dansu by Reiko Okano. The theory that is used in analyzing this Buddhist priest representation is a semiotic theory by John Fiske, and the theory of the basic Buddhist way about Juuzen (the ten good acts) which is rephrased again by Etty N. Anwar. The analyzing the Buddhist priest’s action on this movie, it is not proper with the Juuzen, but this thing is not considered as a serious sin. It is related with the Bonno o Ikasu concept that’s on the Buddhism wa y which is admit secular desire that we have as a human which is naturally born from our body.
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
Keyword: Buddhist Priest, Fancy Dance, Juuzen, Bonno o Ikasu.
Representasi Pendeta Buddha dalam Film Fancy Dance
1. Pendahuluan Jepang merupakan salah satu negara dengan mayoritas masyarakatnya menganut ajaran Buddha. Ajaran Buddhisme masuk ke negara ini melalui proses perjalanan dari negara asalnya India kemudian menyebar ke negara Cina dan Korea yang akhirnya memasuki wilayah Jepang pada abad ke-6M. Masuknya ajaran ini di Jepang tidak lepas dari peranan seorang pendeta dari Cina yang membawa nilai-nilai ajaran Buddha tersebut melalui buku-buku teks. Awalnya ajaran ini hanya disebarkan di kalangan kaum cendikiawan dan bangsawan kerajaan Jepang. Namun berkat pangeran Shotoku sebagai putra mahkota yang meresmikan Buddha sebagai agama resmi negara Jepang,1 membuat penyebaran ajaran ini sangat cepat meluas ke seluruh bagian wilayah Jepang, dia juga menyuruh pemerintah untuk membuat kuil Buddha di seluruh Jepang. Masyarakat Jepang saat itu yang telah menganut paham Shinto sebelumnya sebagai kepercayaan terhadap dewa-dewa dan bersifat animisme dapat dengan mudah menerima ajaran Buddha. Hal tersebut dikarenakan Agama Buddha yang berkembang di Jepang merupakan aliran Mahayana yang lebih liberal dan dapat menyesuaikan dengan budaya setempat (Beatrice, 1969:25). Selanjutnya ajaran Buddha ini berkembang dan membentuk beberapa sekte yang terkenal diantaranya yaitu, Pure Land Buddhisme, Nichiren Buddhisme, Souka Gakkai dan Zen Buddhisme. Sebagai salah satu sekte Buddha yang terkenal di Jepang, Zen Buddhisme merupakan ajaran yang mengutakaman dislipin diri dalam mencapai pencerahan. Disiplin diri ini diterapkan ke dalam ritual-ritual yang mereka jalani setiap harinya. Bagi pendeta Zen yang tinggal di dalam 1
A Brief History of Buddhism in Japan. http://buddhanet.net/nippon/nippon_partI.html diakses pada 12-2-2013, 14:23
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
kuil, semua yang mereka lakukan termasuk berjalan, mandi, melakukan pekerjaan rumah, dan lainnya merupakan bagian dari ritual tesebut. Salah satu ritual yang sering dilakukan secara bersamaan oleh para pendeta di dalam kuil adalah Zazen, yaitu meditasi mengosongkan pikiran dengan duduk berdiam diri (Steven Heine, 2008:8). Para pendeta tersebut selama ada di kuil tentunya juga harus berjanji untuk menjalani sepuluh aturan Buddha. Sepuluh aturan Buddha ini merupakan ajaran Buddha Dasar yang mengajarkan tentang sepuluh jalan perilaku kebaikan (juuzen). Berikut sepuluh perilaku kebaikan yang dikutip dari buku Etty N. Anwar (2009:53) “Kesepuluh jalan perilaku kebaikan dikategorikan dalam tiga jenis perilaku. Pertama, shingo (karma badan) terdiri dari: menjauhkan diri dari perbuatan membunuh makhluk hidup, mencuri barang orang, dan perzinahan; kedua, gogo (karma mulut) terdiri dari: menjauhkan diri dari berkata bohong, memfitnah, berkata kasar atau tidak sopan, ocehan atau omong kosong yang bukan-bukan; ketiga, igo (perilaku niat atau maksud hati) terdiri dari: tidak rakus atau tidak tamak, tidak mendendam atau membenci, berpandangan yang benar.” Selain itu dalam bukunya, Gunapala Dharmashiri (1989: 79) mengatakan karena perilaku pendeta Buddha yang dianggap sebagai representasi dari masyarakat yang sempurna, sehingga peraturan perilaku pendeta dalam kitab ini cocok diterapkan dalam pelatihan bagi pendeta pemula. Kehidupan pendeta Buddha di dalam kuil dan jauh dari perkotaan menjadikan mereka sebagai orang yang sederhana dan berbudi luhur. Seorang pendeta Buddha juga tidak mencari kebahagian sementara dan kesenangan materi duniawi, melainkan mencari kedamaian dan pencerahan yang akan muncul ketika pikiran hening dan tenang. 2 Serta sepuluh kewajiban tersebut yang akan meredam nafsu duniawi mereka sehingga mereka hanya akan berkonsentrasi untuk mencapai pikiran yang hening dan tenang. Berbicara mengenai pendeta, para pemuka agama Buddha ini mempunyai fungsi dan peranan selain untuk membantu proses penyebaran agama Buddha, mereka juga turut menjaga fungsinya sebagai pertapa untuk memperdalam agama tersebut. Seperti yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:638) pendeta diartikan sebagai pertapa; pemuka agama Hindu atau Protestan; orang pandai-pandai. Sehingga pendeta Buddha dapat diartikan sebagai pertapa atau pemuka agama Buddha. Dalam Buddhisme mengenal isitilah Bikkhu yang berarti salah satu anggota kelompok pendeta. Para Bikkhu atau pendeta Buddha di Jepang mempunyai 2
The Monks Way of Life. http://www.bodhinyana.org.au/themonks.html diakses 31 Januari 2013 pukul 11.34
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
dua peranan dan fungsi seperti yang dikatakan oleh Mastuo Kenji dalam jurnalnya What is Kamakura New Buddhism? Official Monks and Reclusive Monks (1997:180-181) bahwa pendeta resmi (official monks) bertugas untuk mendoakan keselamatan negara serta memimpin upacara ritual keagamaan untuk masyarakat, sedangkan pendeta pertapa (reclusive monks) hanya berfungsi sebagai pendeta yang fokus terhadap disiplin ajaran Buddha dan membantu masyarakat umum yang ingin memperdalam ilmu ajaran Buddha. Karya seni baik cerita bergambar atau komik maupun film bercerita dengan unsur Buddha di dalamnya sudah banyak diproduksi oleh Jepang. Banyak diantara film bertemakan Buddha produksi Jepang ini diputar dalam Film Festival Internasional Buddha di Thailand.3 Salah satu film produksi Jepang yang mengangkat tema Buddha berjudul Fancy Dance. Film ini termasuk klasifikasi jenis film fiksi adaptasi, karena cerita film ini diangkat dari sebuah manga (komik Jepang) berjudul sama dalam bahasa Jepang yaitu
ファンシィダンス (Fanshii Dansu) karya
Reiko Okano. Manga yang dibuat tahun 1984 ini mendapatkan penghargaan Shogakukan Manga Award tahun 1989 untuk kategori komik wanita. 4 Kemudian komik ini dijadwalkan akan terbit dalam bahasa Cina di Hongkong dan Taiwan. 5 Setelah serial cerita komiknya selesai dan dimuat dalam majalah Shogakuan, pada tahun 1989 versi film dari komik ini dibuat oleh sutradara Masayaki Suo. Film ini adalah film komersial kedua buatan Suo setelah Abnormal Family di tahun 1983. Film Fancy Dance dilihat sebagai karya Suo yang paling ekstrem karena mengambil tema religius setelah film sebelumnya yang dekat dengan unsure pornografi. Selain itu Suo sampai harus melakukan observasi mendalam dengan menjalankan kehidupan sebagai pendeta Buddha. 6 Film yang mengangkat tema Buddha lebih banyak dikemas dalam bentuk film dokumenter biografi. Namun film Fancy Dance ini menjadi film pertama buatanJepang dari sekian banyak film bertemakan Buddha yang mengemas cerita kehidupan pendeta Buddha dalam bentuk drama komedi. Sehingga menjadikan film ini lebih menarik untuk diperhatikan sebagai
3
News: Thailand Menjadi Tuan Rumah Film Festival Internasional Buddha http://www.asiacalling.org/in/berita/thailand/2757-thailand-hosts-international-buddhist-film-festival akess 12-22013, 16:25 4 News: Shogakukan Manga Award http://www.hahnlibrary.net/comics/awards/shogakukan.php diakses 12-22013 21:45 5 Dreamlan Japan: Writings on Modern Manga. Fredict L Schodt. 2007. Stone Bridge: New York. 6 The Japan Foundation Film Series Part 7 www.jpf.go.jp/e/culture/media/domestic/movie/fsp7-2.html diakses 122-2013, 10:34
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
representasi pendeta Buddha Jepang, serta film ini dapat menjadi media untuk menganalisis bentuk ideologi atau cara pandang dari suatu masyarakat seperti yang disampaikan dalam film. Film berlatar belakang agama Buddha ini, menceritakan bagaimana kehidupan seorang pendeta di dalam kuil Buddha Zen pada masa modern di tahun 1980-an. Zaman modern ditandai dengan adanya perubahan sosial di masyarakatnya, seperti yang dialami negara Inggris yaitu perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri serta ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Masa modern di Jepang dapat dikatakan mulai berkembang sejak Zaman Meiji, saat pertama kali Jepang membuka negaranya terhadap negara Barat. Kehidupan masyarakat Jepang yang modern juga sedikit diperlihatkan dalam film Fancy Dance. Inti cerita dari film ini menggambarkan bagaimana seorang anak muda dengan kehidupan modernnya di Tokyo sebagai penyayi band aliran punk rock berubah menjadi seorang pendeta Buddha yang tinggal di dalam kuil. Shohei sebagai karakter utama dalam film tersebut digambarkan sebagai pria modern namun dia harus rela meninggalkan hidupnya di kota dan bertahan menjalani kehidupan kuil Buddha karena kelak ia akan menjadi pendeta Buddha demi mewarisi kuil ayahnya. Selain itu film ini juga menampilkan karakter wanita Jepang fashionable bernama Masoho yang menjadi bagian konflik dengan pemeran utama. Konflik yang terjadi karena kedua karakter ini saling mencintai namun malu untuk menyampaikan perasaan masingmasing, konflik ini membuat tokoh utama pria menjadi bingung dalam menentukan pilihan antara kehidupan pendetanya atau kehidupan duniawi bersama kekasihnya. Film ini dikatakan sebagai film berlatar zaman modern karena karakter dalam tokoh film ini memperliatkan adanya ciri manusia modern yaitu manusia yang berorientasi pada teknologi, serta mereka yang lebih terbuka terhadap hal baru. Sama seperti yang dikatakan oleh Alex Inkeles bahwa salah satu konsep manusia modern diantaranya adalah memliki sikap terbuka terhadap perubahan dan berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. (Juju Suryawati, 2008:51) Film sering kali dikaitkan dengan realitas sosial, ini akibat adanya budaya yang ditangkap di dalam film sama dengan budaya yang ada di dunia nyata. Sehingga film dilihat sebagai cerminan dari dunia nyata. Namun menurut Graeme Turner (1999:152) film tidak merefleksikan atau merekam realitas, melainkan menafsirkan dan merepresentasikan melalui kode-kode, konvesi, mitos, ideologi dari budaya itu sendiri. Representasi diartikan sebagai suatu cara pemberian makna terhadap tanda yang diberikan lewat gambar di dalam layar atau kata-kata di dalam tulisan (Stuart Hall, 1997:16). Untuk itu pada penulisan kali ini ingin menyampaikan adanya
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
makna Seperti halnya melihat gambaran kehidupan pendeta Buddha di dalam film. Gambaran pendeta Buddha yang ada di film merupakan hasil represntasi dari pembuat film mengenai realitas pendeta Buddha tersebut. Selain sebagai representasi realitas, film juga mengandung ideologi dan budaya masyarakat yang akhirnya menampilkan sebuah makna yang ingin disampaikan oleh pembuat film tersebut. Dari penjelasan diatas, adapun rumusan masalah yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah bagaimana wujud kehidupan pendeta Buddha Jepang di zaman modern direpresentasikan lewat ikon, simbol, serta ideologi pemikiran orang Jepang yang terdapat dalam film Fancy Dance. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kehidupan pendeta Buddha Jepang di zaman modern dan melihat ideologi pemikiran masyarakat Jepang yang membentuk karakteristik masyarakat Jepang di zaman modern ini. Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu metode penulisan dengan menggunakan data utama berupa data pustaka yaitu film Fancy Dance yang akan dideskripsikan menggunakan pendekatan semiotika yaitu penyampaian makna melalui tanda-tanda yang saling berkaitan kemudian disistemkan ke bentuk kode-kode terkonstruksi di dalam teks – teks media – film. (John Fiske, 2004:60-61). Kemudian data sekunder berupa buku-buku referensi mengenai cara berpikir orang Jepang yang digunakan sebagai data acuan dalam melihat ideologi di dalam film tersebut. Penelitian ini menggunakan metode dari de Saussure mengenai gagasan tentang dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode-kode yaitu secara paradigmatik dan sintagmatik. Cara ini juga akan menjabarkan tanda-tanda yang terdapat pula dalam adegan-adegan yang saling berkaitan dalam film Fancy Dance guna melihat bagaimana sosok representasi pendeta Buddha Jepang. Melaui analisis paradigmatik tanda-tanda yang diseleksi dan dipilih untuk dijadikan kode yang menyimpan pesan, serta analisis sintagmatik yang akan memadukan antar tanda-tanda terpilih tadi untuk menjadi suatu kode yang menyampaikan sebuah pesan.(John Fiske, 2004:8284) Teknik analisis sintagmatik dan paradigmatik data penelitian ini dilakukan berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh John Fiske tentang The Codes of Television. Konsep ini dianggap baik untuk menganalisis tanda di dalam film secara sintagmatik dan pragmatik. Dalam
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
konsep ini John menyatakan bahwa peristiwa atau tanda yang ingin di tayangkan telah dienkode oleh kode-kode sosial, yaitu Level Reality, Level Representation dan Level Ideology (John Fiske, 1987:5). Unit analisis yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah teks dalam film Fancy Dance. Teks disini telah diorganisasikan dalam kode-kode yang merepresentasikan bagaimana pendeta Buddha khususnya Pendeta Buddha Jepang digambarkan dalam film. 2. Hasil penelitian dan Pembahasan Seperti yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan, konsep pendeta dalam ajaran Buddhisme di Jepang adalah seorang pemuka agama Buddha yang mempunyai fungsi dan peran baik dalam menyebarkan ajarannya maupun memimpin suatu upacara ritual kegamaan dikalangan masyarakat. Selain itu bagi sebagian kelompok pendeta Buddha lainnya memilih untuk menjalankan perannya sebagai pertapa Buddha yang menarik diri dari dunia sekuler dan memasuki dunia kependetaan sebenarnya. 7 Para pendeta tersebut mengasingkan diri dari masyarakat dan memilih untuk tinggal di pegunungan yang jauh dari keramaian kota demi mencari ketenangan diri dalam mencapai satori (pencerahan). Dalam masa pengasingan diri, para pendeta mempunyai aturan guna menahan nafsu dari dalam diri yang ingin kembali ke dunia sekular sebagaimana yang telah diterapkan dalam sepuluh jalan perilaku kebaikan bagi pendeta Buddha. Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan proses penyebaran agama Buddha , ajaran Buddhisme di Jepang juga mengalami proses perubahan isi ajaran yang meliputi doktrin ajaran, cara-cara tapa brata, praktik dan pemikiran filosofinya (Etty Anwar, 2009:38). Perubahan yang terjadi dalam ajaran Buddha di Jepang tidak lepas dari adanya intepretasi dan pemahaman yang berbeda dari masing-masing murid pengikut ajaran Buddhisme. Para murid pendeta Buddha tersebut telah mempunyai konsep ajaran Shinto (kepercayaan asli Jepang) dan konsep Konfusianisme yang masuk ke Jepang sejak lama. Pada akhirnya ajaran Buddhisme yang masuk ke Jepang disesuaikan dengan konsep yang dimiliki masyarakatnya terdahulu dan bukan sebaliknya. Akibatnya lahirlah sebuah konsep Buddhisme yang baru dan ikut merubah pemikiran filosofi Buddha dari bonno o tatsu (mengontrol harapan dan keinginan) menjadi bonno o ikasu (membangunkan/menggerakkan harapan dan keinginan).8 Nakamura Hajime lebih 7
What is Kamakura New Buddhism? Official Monks and Reclusive Monks. Matsuo Kenji. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 24, No. 1/2 (Spring, 1997), pp. 179-189 Published by: Nanzan University 8 Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Siti Dahsiar Anwar. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-125 Publish by: University of Indonesia
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
lanjut membahas mengenai cara berpikir masyarakat Jepang di dalam bukunya berjudul Ways of Thingking of Eastern People: India, China, Tibet, Japan. Buku ini menjabarkan tentang karakteristik pemikiran orang Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Buddhisme Jepang yang mana ajaran tersebut merupakan ajaran hasil dari akulturasi paham Buddhisme dengan pahampaham lainnya. Untuk itu dalam analisis penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai gambaran pendeta Buddha di dalam film Fancy Dance yang sesuai dengan paham pemikiran Buddha yang dimiliki oleh masyarakat Jepag saat ini. Dalam melihat penggambaran atau representasi pendeta Buddha di zaman modern sekarang dengan konsep bonno o ikasu ini, akan digunakan pendekatan semiotik untuk memaknai setiap adegan yang ada dalam film dengan menggunakan kode-kode atau tanda budaya. Kode atau tanda tersebut akan dianalisis menggunakan teknik analisis sintagmatik dan paradigmatik. Menurut John Fiske sebuah peristiwa di dalam televisi telah dikode kedalam kode-kode Level Reality, berupa realitas yang sudah dikodekan seperti penampilan, pakaian, tata rias, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa tubuh, ekspresi, suara dan lain-lain. Kemudian itu semua dikodekan secara elektronik oleh kode-kode teknik pada Level Representation seperti halnya lewat kamera, pencahayaan, pengeditan, musik dan suara. Hal tersebut yang mengirimkan kode representasi konvensional dalam bentuk representasi seperti narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, setting, casting dan lainnya (John Fiske, 1987:5). Setelah dari dua level sebelumnya, analisis akan dilanjutkan secara paradigmatik untuk memahami kedalaman makna dari tanda tersebut. Untuk memahami makna yang ada dibalik sebuah tanda, kode representasi konvensional diatur ke dalam hubungan dan penerimaan sosial lewat kode ideologi dalam Level Ideology seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan lain-lain sebagai cara yang objektif untuk memahami dan membuat semua menjadi masuk akal (John Fiske, 1987:5). Teori tersebut akan digunakan untuk melihat kode-kode yang muncul pada scene atau adegan demi adegan dalam film Fancy Dance yang saling berhubungan dan merujuk pada representasi pendeta Buddha Jepang yang sesuai dengan konsep pemikiran atau filosofi bonno o ikasu (menggerakan keinginan). Konsep ini diungkapkan oleh Siti Dahsiar lebih lanjut dengan referensi utama dari Nakamura Hajime dalam jurnal yang berjudul “Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme” (2004:121) bahwa Buddha yang melihat dunia fenomena sebagai
dunia yang mutlak; paham keduniawian (genseshugi); menerima dan mengakui tabiat manusia
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
yang alami; mengutamakan cinta kasih terhadap manusia (aijo); serta semangat toleransi (kanyou) dan memaafkan (yuwa). Pendeta Buddha dengan Paham Keduniawian Buddhisme mengajarkan mengenai samsara yaitu, dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan menderita dan menahan nafsu demi tercapainya pencerahaan (satori). Dunia sekarang ini dianggap sebagai dunia sementara, karena di kehidupan selanjutnya setiap orang yang mencapai pencerahan akan terselamatkan oleh Buddha dan menjadi Buddha setelah mati nanti. Namun dalam mitologi Jepang kuno tidak ada yang menyebutkan mengenai dunia setelah mati. Sehingga orang Jepang melihat kematian sebagai hal yang tidak murni atau kotor dan semata-mata lebih menikmati kehidupan di dunia ini (Nakamuran Hajime, 1981:361). Paham mengenai keduniawian ini juga terwujud dalam pendeta Buddha dari sekte Zen. Shousan Suzuki (15791655) mengajarkan: Dalam berdoa untuk kebahagiaan masa depan bukan berarti untuk bahagia di dunia setelah mati, doa tersebut melainkan untuk disampaikan ke penderitaan di dunia sekarang ini dan bertujuan untuk mencapai kenyamanan (Nakamuran Hajime, 1981:367). Pendeta dalam film Fancy Dance ini diperankan oleh tokoh pendeta pemula seperti Yohei Shiono, adik Yohei yang bernama Ikuo Shiono, Eishun Sasaki dan pendeta berbadan gendut bernama Chinrai Sinada. Keempat pendeta ini sebagai pendeta pertapa yang menagasingkan diri dari perkotaan menuju kuil di pegunungan, selama mereka masih pendeta pemula mempunyai peran dan fungsi sementara sebagai pembelajar ajaran Buddha dengan melaksanakan seluruh pelatihan disiplin Buddha. Namun nantinya mereka harus lulus masa inisiasi dan akan menjadi pengurus kuil yang turut serta dalam mengajarkan ajaran Buddha kepada murid pengikut baru di musim berikutnya. (Kenji, 1997) Adapun adegan dalam film yang menggambarkan paham keduniawian ini terdapat pada adegan dari keempat tokoh ini sedang melakukan sesuatu baik yang sifatnya di luar dari aktivitas kependetaan maupun terlihat sedang menjauh dari pendertitaan dan memlih untuk bersenangsenang. Pada adegan di menit 00:59:50 sampai 01:01:40 penjelasan pada Level Representation dan Reality, kamera dengan teknik mid close-up mengambil gambar hampir seluruh badan dengan jarak yang sedikit jauh ingin menekankan pada aktivitas yang sedang di lakukan oleh tokoh. Teknik pencahayaan yang redup dan remang-remang pada adegan tersebut
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
memperlihatkan keempat tokoh tersebut datang ke sebuah tempat yang tidak biasa dengan cahaya dan terkesan sembunyi-sembunyi yaitu tempat cabaret-club. Aktivitas atau tingkah yang mereka lakukan di dalam club anatara lain, makan, bernyanyi, menari dan bersenda-gurau dengan wanita. Wanita tersebut menggunakan make-up dan memakai aksesoris, hal ini menandakan bahwa dia adalah wanita penghibur di club tersebut. Adanya suara musik dan suara tepuk tangan serta riuh canda-tawa menandakan bahwa mereka sedang dalam kondisi senang dan bergembira. Pada Level Ideology telah dikatakan sebelumnya bahwa paham keduniawian dalam ajaran Buddha ditunjukan dengan menghindari penderitaan dan menikmati kehidupaan di dunia ini. Menikmati hidup di dunia diperlihatkan oleh tokoh dalam film melalui aktivitas para tokoh pendeta pemula yang menimbulkan rasa gembira dan puas dalam diri yaitu, melalukan tindakan bersenang-senang seperti bernyanyi dan menari serta bersenda-gurau di sebuah tempat karaoke. Perilaku yang seperti ini menandakan adanya pelanggaran terhadap aturan sepuluh jalan kebaikan sebagai pengendali nafsu duniawi yaitu dengan bernyanyi, yang mana perilaku ini disamakan dengan mengeluarkan ocehan dan omong kosong yang tidak ada artinya. Adanya perbuatan yang tidak baik ini dalam Zen Buddhisme dinilai bukanlah sebuah dosa besar, hanya dengan mengakui kesalahan dan menerima hukuman maka dianggap selesai dan akan kembali bersih. Menerima Tabiat Manusia yang Alami “Seperti halnya ketika orang Jepang berusaha menerima dan membenarkan makna “apa adanya” dari dunia alam semesta ini, maka begitu pula pandangan mereka terhadap perasaan dan keinginan alami manusia normal. Mereka mengakui perasaan dan keinginan nafsu manusia normal “apa adanya,” bahkan ada kecenderungan mereka untuk tidak mengendalikan atau menahan nafsu tersebut (Nakamura, 1991:58).”9 Dalam film Fancy Dance ini terdapat banyak adegan yang menunjukan perilaku pendeta Buddha yang memperlihatkan adanya nafsu yang timbul pada diri manusia secara alami, sebagaimana tanda keberadaan nafsu tersebut dilihat dari perilaku pendeta yang tidak sesuai dengan sepuluh jalan perilaku kebaikan. Hal ini terlihat pada adegan menit 00:43:39 hingga 9
Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Siti Dahsiar Anwar. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-125 Publish by: University of Indonesia
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
menit 00:44:16 saat Yohei, Eishun, dan Chinrai mencuri makanan dari kamar pendeta wanita bernama Shohei. Pencahayaan yang gelap menandakan bahwa adegan dilakukan pada malam hari saat lampu sudah mulai dimatikan. Kamera mengambil gambar dari jarak jauh bertujuan untuk melihat perilaku dari pendeta Buddha yang berjalan menyelinap ke dalam kamar, hal ini menandakan tindakan yang tidak ingin diketahui orang lain dan biasanya tindakan menyelinap bertujuan untuk hal yang tidak baik. Setelah berhasil menyelinap ke dalam kamar Shohei, mereka mengambil secara diam-diam kotak berisi makanan di dalam lemari tanpa sepengetahuan Shohei, perilaku ini biasa disebut dengan mencuri. Setelah mencuri tokoh pendeta bernama Eisai merasa bersalah atas perbuatannya. Adegan lainnya yang berhubungan dengan nafsu alami yang dimiliki oleh pendeta Buddha terlihat pada adegan menit 00:44:28 hingga 00:45:00 ketika Shohei, Chinran dan Eisai sedang makan makanan hasil curian sebelumnya dan makan dengan rakusnya. Kamera dengan teknik pengambilan gambar mid close-up pada tokog bernama Chinran memperlihatkan tubuhnya yang gemuk serta perilakunya sedang makan dengan lahapnya dan mulutnya penuh terisi makanan hingga suara bicaranya tidak terdengar dengan jelas. Selain itu para pendeta Buddha dalam sekte Zen juga dilarang unutk makan daging, daging ikan, bawang, daun bawang, jahe dan minum bir (Nakamura, 1981:377). Namun yang diperlihatkan oleh pendeta Buddha filmini pada adegan di menit 00:26:13 dan 00:45:29 saat mereka justru minum bird an makan daging ikan yang terdapat dalam sushi. Perilaku yang demikian sangat jelas terlihat tidak mencerminkan perilaku pendeta Buddha yang sesuai dengan sepuluh jalan perilaku kebaikan. Seperti juga yang disampaikan oleh Nakamura Hajime (1981:377) bahwa keinginan yang menyangkal disiplin Buddha ini juga dilakukan oleh sebagian pendeta Buddha sekte Zen di Jepang. Perilaku menjauhi diri dari perbuatan mencuri barang orang dan perilaku yang tidak rakus atau tamak seharusnya diterapkan dalam setiap sikap dan tingkah-laku dari pendeta Buddha. Namun pendeta Buddha yang digambarkan dalam film ini tidak mengindahkan nilai-nilai tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang Jepang mengakui adanya nafsu dalam diri manusia dan cenderung untuk tidak mengendalikan ataupun menahan nafsu tersebut. Maka perilaku pendeta dalam film ini dianggap bukan sebagai suatu hal yang sangat berdosa karena telah melakukannya. Rasa ingin makan makanan diluar menu diet Buddha hingga harus mengambil makanan milik orang lain seperti yang dialami oleh pendeta Buddha dalam film menggambarkan adanya konsep bonno o ikasu (menggerakan nafsu) dalam sikap dan perilaku pendeta Buddha. Sehingga para
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
pendeta tersebut menganggap keinginan-keinginan ini lahir secara alami dan tidak dapat dihindari. Pendeta Mengutamakan Cinta Kasih Terhadap Manusia Nakamura Hajime mengatakan bahwa pemikiran Buddha mengajarkan masalah kasih sayang dan gairah cinta tidak dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan masalah religius. Serta dalam Buddha tidak hanya mengajarkan untuk menjaga dan mengenal diri sendiri namun juga diajarkan untuk menghargai dan menyayangi orang lain. (1981:381). Filosofi Buddha yang mengutamakan cinta kasih ini tergambarkan di dalam adegan film Fancy Dance ini yaitu, pada adegan di menit ke 00:34:39 sampai 00:35:02 sebagaimana diperlihatkan dalam gambar yang direkam dengan kamera menggunkan teknik distance dan angle agak jauh guna menangkap semua gambar pendeta Buddha yang sedang berkumpul di dalam suatu ruangan. Dalam adegan tersebut Shohei sebagai pendeta wanita di kuil tersebut menolong Ikuo yang jatuh sakit akibat kelelahan. Sikap dan bahasa tubuh Shohei ditangkap oleh kamera menggunakan teknik close-up sehingga memperlihatkan adanya penekanan terhadap sikap tersebut yaitu saat tangan Shohei membelai punggung Ikou dengan tenang, ekspresi wajah Ikou memperlihatkan senyuman dengan perasaan senang dan nyaman. Dari hal ini dapat dilihat sosok Shohei sebagai pendeta yang menyayangi orang lain dengan memperhatikan orang tersebut, baik hati, penyayang, penuh perhatian dan sigap menolong orang sakit. Perilaku perhatian kepada orang lain ini kemudian semakin berkembang dalam diri manusia dan melahirkan sebuah gairah cinta. Gairah ini nantinya akan menimbulkan suatu hal yang kita sebut sex yaitu berhubungan intim untuk menghasilkan keturunan. Jika hal berhubungan intim ini dilakukan dengan orang yang tidak seharusnya maka dinamkan berzinah. Seperti yang dikatakan oleh Philip Toshio bahwa “Zen monks renounce sex, calling it an earthly desire to be transcended. But the zen master Ikkyu saw sex as the gateway to enlightenment” (2005:139) menunjukan bahwa tindakan sex dapat diterima sebagai tindakan yang baik karena menghasilkan keturunan. Sehingga kita harus memiliki kesungguhan dalam berhubungan untuk membuat keturunan ini serta dari buah hasil cinta murni dua orang ini membuat orang lain disekitarnya merasa diberkahi.
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
Hal tersebut juga terdapat dalam film Fancy Dance ini, saat tokoh pendeta bernama Yohei bertemu ddengan tokoh perempuan bernama Masoho pada adegan di menit 00:51:30, kamera yang mengambil gambar secara close-up terhadap tindakan yang dilakukan oleh Masaho berupa merangkul Yohei, serta adegan pada menit 01:36:10 yang memperlihatkan adegan dimana Yohei mencium bibir Masoho. Dari tindakan ini menandakan ada suatu hubungan diantara mereka dan dari sinopsis cerita didapat bahwa sebenarnya mereka saling mencintai satu sama lain. Sehingga pemikiran Buddha yang tadinya harus menjauhkan diri dari perzinahan serta hal yang memicunya yaitu cinta, namun dengan adanya pendeta Buddha Jepang yang menyikapi cinta ini sebagai sifat yang lahir secara alami untuk mengasihi orang lain serta menyikapi hubungan cinta ini sebagai sesuatu yang berujung pada kebaikan. Maka pendeta Buddha Jepang diperbolehkan mempunyai hubungan dengan wanita demi menghasilkan keturunan yang nantinya dapat terus melanjutkan ajaran Buddhisme. Pendeta Buddha Modern Pendeta Buddha sama seperti masyarakat lainnya, sebagai seorang manusia yang hidup di dunia ini kehidupan mereka juga terpengaruh dengan kondisi zaman yang terus berkembang. Begitupula yang terjadi pada para pendeta Buddha di Jepang yang kehidupannya menyesuaikan zaman. Saat paham modernisasi masuk ke Jepang sejak Zaman Meiji, ditandai dengan terbukanya Jepang dengan dunia barat. Konsep modern yang datang dari barat tersebut turut mempengaruhi masyarkat Jepang secara keseluruhan. Tidak terkecuali para pendeta Buddha, hal ini dapat dilihat melalui film Fancy Dance dimana dalam film tersebut dengan latar waktu zaman 1986 – Jepang sudah modern – terdapat tanda-tanda manusia modern yang diungkapkan oleh Alex Inkeles sebelumnya yaitu, salah satu konsep manusia modern diantaranya adalah memliki sikap terbuka terhadap perubahan dan berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. (Juju Suryawati, 2008:51) Pendeta Buddha Jepang di era modern digambarkan dalam film ini sebagai pendeta Buddha yang dekat dengan teknologi modern. Hal tersbut terlihat pada adegan di menit 00:39:59 dan 00:54:24 melalui kamera dengan teknik close-up pada gambar benda-benda di sekitar pendeta, ditemukan alat-alat elektronik seperti mesin untuk mencuci pakaian, pendingin ruangan, kulkas mini dan televisi yang di dalam salah satu kamar tokoh kepala pendeta kuil. Teknik pengambilan gambar close-up terhadap benda-benda tersebut menandakan bahwa hal ini sangat perlu
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
diperhatikan oleh penonton, yaitu bahwa dengan keberadaan alat-alat berteknologi canggih yang terdapat pada lingkungan sekitar pendeta Buddha dalam kuil tersebut menandakan adanya ciri manusia modern yang berorientasi pada teknologi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendeta Buddha dalam film Fancy Dance merupakan sosok pendeta modern. III. Penutup Melihat representasi suatu hal di dalam media apapun sebenarnya diperlukan suatu konsep yang sama antara pembuat dan pembaca tanda guna mencapai maksud dan pemaknaan yang sama sehingga pesan yang dingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Seperti halnya melihat representasi Buddha dalam film Fancy Dance. Hanya dengan konsep Buddha yang dimiliki oleh orang awam tidaklah cukup untuk memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Namun jika memiliki konsep ajaran Buddha yang ada di Jepang, maka akan diperoleh maksud dan pesan seperti yang ingin disampaikan. Melihat pendeta Buddha dalam film ini menggunakan konsep pemikiran Buddha yang telah berubah menjadi bonno o ikasu (menghidupkan nafsu) akan mendapati makna bahwa pendeta Buddha di Jepang telah merubah konsep pemikiran Buddha yang menekankan pada membuang nafsu duniawi untuk mencapai pencerahan menjadi konsep penerimaan terhadap nafsu yang terdapat dalam sifat asli manusia. Sehingga representasi pendeta Buddha Jepang di zaman modern yang terdapat dalam film ini tidak dilihat sebagai pertentangan dari konsep ajaran Buddha yang sebenarnya. Namun hal ini dimaknai sebagai bentuk proses akulturasi ajaran Buddha yang masuk ke Jepang dengan konsep yang dimiliki masyarakat Jepang terdahulu, sehingga membentuk suatu ajaran Buddha yang baru sesuai dengan konsep pemikiran orang Jepang. Saran Dalam mempelajari konsep-konsep Buddhisme ada banyak media yang dapat kita gunakan, salah satunya media film yang digunakan dalam penelitian ini. Film merupakan media yang baik untuk melihat representasi dunia realita, untuk itu dalam pengkajian film ini sebenarnya masih banyak yang dapat ditelusuri. Adapun salah satunya dengan membandingkan representasi yang ditampilkan pada film-film bertemakan Buddha yang lainnya.
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Etty N. 2009. Akuninshoki-Zettai Tariki dalam Agama Buddha Jepang. Jakarta: Penaku Dharmashiri, Gunapala. 1989. Fundamental of Buddhist Ethics. USA: Golden leaves. Fiske, John. 1987. Television Culture. Great Britain: Rouledge. Fiske, John edited by Idi Subandy I. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar paling komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Fredict L Schodt. 2007. Dreamlan Japan: Writings on Modern Manga. Stone Bridge: New York. Hajime, Nakamura. 1981. Ways of Thinking of Eastern Peoples: India, China, Tibet, Japan. Honolulu: The University Press of Hawai. Hall, Suart. 1997. Cultural Representation and Signifying Practices. London: SAGE Publication. Heine, Steven and Dale S. Wright. 2008. The Koan: texts and contexts in Zen Buddhism. New York: Oxford University Press. Suryawati, Juju dan Kun Mayati. 2008. Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA. Jakarta: Penerbit Erlangga. Suzuki, D.T. 1965. Introduce Early Memorie in The Training of Zen Buddhist Monk. New York: University Book. Suzuki, Beatrice L. 1969. Mahayana Buddhism: A Brief Outline. USA: The Macmillan Company. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Turner, Graeme. 1999. Film as Social Practice. London and New York: Roudledge. Toshio, Philip S. 2005. Zen 24/7: All Zen/All the Time. HarperCollins e-Book
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013
Kenji, Matsuo. What is Kamakura New Buddhism? Official Monks and Reclusive Monks. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 24, No. 1/2 (Spring, 1997), pp. 179-189 Published by: Nanzan University. Anwar Siti D. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-125 Publish by: University of Indonesia.
Representasi pendeta ..., Prianti Yogi Warapsari, FIB UI, 2013