e-ISSN : 2528 - 2069
REPRESENTASI PELAKU DAN KORBAN DALAM BERITA PEMERKOSAAN DI MEDIA DARING: ANALISIS WACANA KRITIS Mayasari, M.Hum. Pengajar di Fisip Universitas Singaperbangsa Karawang Program Studi Ilmu Komunikasi
[email protected]
Abstract This study describes social representations contained in eonline news media detik.com about rape. This research uses critical discourse analysis Theovan Leuweun model swith the use ofa two-dimensional model ofsocial representations(micro andmacro) and coupled model of textual analysis of Teun van Dijk. Descriptionofthe studyconsisted ofthreemain points, namely(1) the representationof ocialactorsinvolvedinthestudyextualdiscoursebas ed(micro), (2) representation ofthe socialsituationin adiscoursebased onsociocultural aspects(macro), and(3) the relationshipbetweensocialactorsandsocialsituation ofdiscourse.
Keywords: critical discourse analysis, actorrepresentations, rapenews
1.
Pendahuluan
Bahasa adalah alat yang paling utama untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarmanusia untuk berbagai tujuan. Bahasa dapat digunakan untuk menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan, informasi, atau pesan kepada orang lain. Bahasa merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya. Meskipun demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai dengan fungsinya yang bukan hanya sebagai alat berkomunikasi. Saat ini, bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa menyumbang proses dominasi terhadap orang lain oleh pihak lain (Fairclough, 1989: 2). Sejalan dengan penyataan di atas, Halliday (1978: 2) juga menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat, melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar-menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain. Konteks dalam tukar menukar maksud itu tidak bersifat kosong dari nilai sosial, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks sosiokultural masyarakatnya. Perkembangan peran dan definisi bahasa tersebut telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kajian bahasa (linguistik). Linguistik tidak lagi bergerak dalam kajian struktural atau gramatikal, tetapi telah berkembang menjadi kajian-kajian yang lintas disipliner dengan bidang lain, seperti sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, neurolinguistik, dan psikolinguistik. Kajian-kajian lintas disipliner itu
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
18
e-ISSN : 2528 - 2069
menandai bahwa bahasa memang berperan besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Saat wacana diproduksi dan didistribusikan, wacana tidak lepas dari aspek bahasa. Salah satu bidang yang juga memanfaatkan bahasa adalah bidang media. Media massa merupakan salah satu wadah wacana yang dianggap memiliki kekuatan sehingga menjadi perhatian studi-studi kritis dalam berbagai disiplin termasuk studi wacana. Produksi dan distribusi wacana tersebut sering kali merepresentasikan pihakpihak yang terlibat dari wacana tersebut. Eriyanto (2001:114) menyebutkan terdapat tiga persoalan (level) dalam merepresentasikan objek atau realitas, yakni: (1) cara peristiwa dekonstruksi sebagai sebuah realitas, (2) cara realitas digambarkan, dan (3) cara peristiwa diorganisasi ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bahasa tidak lagi dilihat semata-mata mencerminkan realitas, tetapi bisa menjadi sebagai pusat untuk menciptakan realitas. Kata-kata kita tidak pernah netral. Kata-kata membawa ide yang mencerminkan kepentingan dari mereka yang berbicara atau menulis. Kepentingan tersebut sering kali dimanifestasikan dalam bentuk representasirepresentasi. Tentunya perepresentasian tersebut digunakan dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan itu bisa dimaksudkan untuk mengubah mental seseorang agar sesuai dengan hal yang dimaksudkan penulis atau pembicara dalam wacananya. Alat produksi dan distribusi wacana sangat beragam. Salah satu dari alat produksi dan distribusi wacana tersebut adalah internet. Media internet dinilai memiliki berbagai keunggulan, beberapa keunggulan tersebut di antaranya: cepat dan menjangkau banyak orang. Dengan keunggulan tersebut media internet dapat dianggap media yang efektif untuk menyampaikan informasi. Pemberitaan yang disampaikan di media daring sangat beragam. Salah satunya adalah pemberitaan mengenai pemerkosaan. Pemberitaan pemerkosaan merupakan pemberitaan yang berkaitan erat dengan representasi sosial. Subjek dalam pemberitaan dapat digambarkan secara jelas (inklusi) atau justru disembunyikan (ekslusi). Penggambaran representasi semacam itu tidak sedikit yang mengandung unsur ideologis, seperti ideologi gender dan politik. Dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan sejarah, setiap kelompok atau individu dapat mengembangkan ideologinya sendiri dalam upaya menyatakan hal yang diyakininya benar. Bentuk upaya tersebut juga berkaitan dengan masalah dominasi. Ideologi tidak hanya dapat digunakan untuk mendominasi atau memarginalkan orang lain, tetapi juga sebagai usaha berjuang melawan dominasi itu sendiri. Dengan cara yang sama, kelompok dan individu yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan ideologi untuk melawan bentuk-bentuk dominasi tertentu, bergantung pada keadaan sosial politik di mana ideologi itu diproduksi. Oleh karena itu, bahasa tidak lagi dilihat semata-mata mencerminkan realitas, tetapi bisa menjadi sebagai pusat untuk menciptakan realitas. Kata-kata kita tidak pernah netral, mereka membawa kekuasaan yang mencerminkan kepentingan dari mereka yang berbicara atau menulis. Realitas tersebut seringkali diwujudkan dalam representasi-representasi yang berideologis. Tentunya perepresentasian tersebut digunakan dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan itu bisa dimaksudkan untuk mengubah mental seseorang agar sesuai dengan apa yang dimaksudkan penulis atau pembicara dalam wacananya. Dengan kata lain, ada penyaluran ideologi dalam wacana-wacana itu. Eriyanto (2006: 116) mengungkapkan bahwa istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
19
e-ISSN : 2528 - 2069
pemberitaan. Representasi atau misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan, dapat terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak representasi ini ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, pemakaian bahasalah yang perlu dikritisi dalam pemberitaan yang dilakukan oleh media. Dalam representasi, sangat mungkin dapat terjadi misrepresentasi (ketidakbenaran penggambaran). Seseorang, atau kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagai adanya. Ada empat misrepresentasi yang mungkin terjadi dalam pemberitaan. Oleh karena itu, pengkaji bermaksud untuk melakukan analisis tekstual dan sosial dalam proses sosial yang berkaitan dengan tekspemberitaan pemerkosaan yang terdapat dalam media daring. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan penggambaran representasi sosial yang digunakan detik.com. Dengan demikian, dapat dideskripsikan kecenderungan ideologis yang dimiliki media daring. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan tiga hal utama, yakni (1) representasi aktor sosial yang terlibat di dalam wacana berdasarkan kajian tekstual (mikro), (2) representasi situasi sosial dalam wacana berdasarkan aspek sosiokultural (makro), dan (3) hubungan antara aktor sosial dan situasi sosial wacana.
2.
Metode Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau data lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 1993: 10). Fenomena dalam penelitian ini bersumber kepada pengamatan kualitatif atau naturalistik, yakni data bahasa tulis yang terdapat dalam pemberitaan pemerkosaan dalam media daring. Tahap proses analisis ini terdiri dari: (1) pengumpulan data, (2) penyeleksian data, (3) penganalisisan dimensi mikro atau tekstual, (4) penganalisisan dimensi makro atau praktik sosiobudaya, (5) penganalisisan hubungan dimensi mikro dan makro, (6) penguraian hasil, dan (7) penarikan simpulan.Kerangka teori yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis wacana kritis model van Leeuwen (1996; 2008) yang dikenal dengan model analisis representasi aktor sosial. Selain itu, dalam kajian mikro digunakan pula beberapa perangkat yang dipaparkan van Dijk (1997; 2006; 2008), seperti: leksikon, metafora, dan presuposisi. Dalam kajian digunakan tiga analisis yaitu: analisis mikro (tekstual) dan analisis makro (sosial, kultural, dan institusional). 3.
Analisis dan Pembahasan
a.
Analisis Mikro (Praktik Tekstual) Pertama dalam mengkaji representasi sosial dalam wacana hal yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis mikro. Analisis mikro berpusat pada wujud tekstual atau dengan kata lain melihat wacana secara utuh. Untuk menganalisis wujud tekstual, kajian dalam penelitian ini memanfaatkan beberapa perangkat, yaitu: ekslusi, inklusi,dan leksikal (diksi). 1)
Ekslusi Dalam merepresentasikan aktor sosial pihak produsen wacana dapat menggunakan ekslusi. Eklusi merupakan aspek penting dari analisis wacana kritis (Leeuwen, 2008: 29). Ekslusi merupakan upaya seseorang untuk mengeluarkan orang JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
20
e-ISSN : 2528 - 2069
lain dari suatu pembicaraan.Dalam mengeluarkan suatu aktor (seseorang atau kelompok) dari pembicaraan terdapat beberapa strategi, di antaranya dapat menggunakan pemasifan, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat (Eriyanto, 2005: 173-178). Eksklusi merupakan salah satu bentuk pemahaman teks yang bernuansa ideologis atau ada tendensi dari seorang penulis terhadap suatu peristiwa. Eksklusi model TheovanLeeuwen meliputi pemasifan, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat. Untuk jelasnya model analisis teks eksklusi dapat dijabarkan sebagai berikut. i. Pemasifan Pemasifan berkaitan dengan aktor atau satu kelompok tertentu yang tidak dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau wacana. Penghilangan ini memiliki fungsi tertentu, seperti: menghilangkan aktor atau pelaku, menonjolkan korban, atau menonjolkan peristiwa. Penggunaan pemasifan ditandai dengan adanya penggunaan verba pasif. Beberapa bentuk pemasifan yang terdapat dalam pemberitaan pemerkosaan dalam media daring di antaranya sebagai berikut. (01) Gadis 17 tahun itu telah diperkosa dan foto dirinyadisebar melalui ponsel dan internet. (02) Orangtua dari korban, Rehtaeh Parsons, mengatakan anaknyadiperkosa dua tahun lalu ketika masih berusia 15 tahun. (03) Korban yang berusia 21 tahun diculik dan disekap di sebuah hotel di Melbourne, selama 6 minggu sejak November 2012 lalu. (04) Siswi SDdiperkosa dan dibuang ke laut Pada data (01) yang menjadi subjek kalimat adalah gadis 17 tahun dan foto dirinya, setelah itu kedua subjek itu diikuti oleh verba pasif diperkosa dan disebar. Dengan menggunakan kalimat pasif semacam itu. Pelaku seolah-olah tidak dilibatkan. Dengan demikian terdapat penonjolan korban yakni gadis berusia 17 tahun. Dapat dideskripsikan bahwa penonjolan semacam ini lebih merepresentasikan korban sebagai tokoh utama. Data (02) menunjukkan hal yang sama.Terdapat subjek anaknya dan diikuti verba diperkosa. Hal ini lebih menekankan pada korban dengan menghilangkan pelaku. Hal demikian juga terdapat dalam data (03) yang menggunakan subjek korban yang berusia 21 tahun dan kemudian diikuti verba diculik dan disekap. Data (03) tidak menyebutkan pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pemasifan dapat berfungsi untuk menghilangkan pelaku. Representasi sosial ini biasanya dimaksudkan untuk menegaskan pada korban dan hal yang dialaminya. Begitu juga dengan data (04) pelaku tidak disebutkan. Yang ditonjolkan adalah korban, yakni gadis SD dan apa yang dialaminya yakni diperkosa dan dibuang ke laut. Selain pemasifanseperti data (01) sampai dengan (04) terdapat juga wujud pemasifanyang justru diikuti adanya pelaku. Perhatikan data-data berikut ini. (05) (06)
Seorang siswi SMA di Gorontalo mengaku telah dicabuli sejumlah anggota polisi setelah sempat menghilang dari rumah dan sekolahnya. Menurut dokumen persidangan, korban diculik usai bertemu kedua pelaku di sebuah pesta.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
21
e-ISSN : 2528 - 2069
Dalam data (05) dan (06) penggunaan pemasifan justru disertai pelaku. Pada data (05) terdapat adanya pelaku, yakni sejumlah anggota polisi, sedangkan pada data (06) kedua pelaku. Namun demikian, adanya pelaku pada kedua kalimat di atas justru tetap menonjolkan korban. Hal ini ditunjukkan dengan posisi korban pada kalimat selalu mendahului pelaku. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa penggunaan pemasifan dalam data-data di atas ditujukan untuk menonjolkan korban dan hal yang dialaminya. ii. Nominalisasi Salah satu bentuk eksklusi adalah pemakaian nominalisasi. Nominalisasi merupakan proses membendakan suatu kata, terutama dari verba menjadi nomina. Nominalisasi dapat diupayakan untuk menonjolkan peristiwa dibandingkan menonjolkan pelakunya. Bahkan, dengan adanya nominalisasi seringkali pelaku disembunyikan. Di dalam data terdapat beberapa penggunaan nominalisasi di antaranya adalah sebagai berikut. (07) (08) (09)
Kondisi mentalnya memburuk akibat tindak penganiayaan dan pemerkosaan tersebut. Pemerkosaan dan pembunuhan terjadi sepekan silam. Pemerkosaan kedua terjadi sehari setelahnya, atau pada 2 Februari 2012, saat pagi hari.
Dalam data (07), terdapat nomina penganiayaan dan pemerkosaan. Pada data (07) tidak disebutkan pelaku. Dengan demikian, terdapat penggunaan nominalisasi sebagai proses menghilangkan pelaku. Selain itu, proses nominalisasi terdapat juga pada data (08) yakni pada kata pemerkosaan dan pembunuhan. Pada data (08), nominalisasi selain digunakan untuk mengeluarkan pelaku dari pembicaraan, nominalisasi digunakan pula untuk menekankan pada peristiwa yang menjadi pokok pemberitaan, yakni pemerkosaan dan pembunuhan. Selain pada data (07) dan (08), nominalisasi digunakan pula pada data (09). Nominalisasi ditandai dengan adanya nomina pemerkosaan yang menjadi subjek kalimat. Pada data (09), pelaku tidak disebutkan atau dengan kata lain dikeluarkan dari pembicaraan. Dengan demikian, penggunaan nominalisasi pada data-data di atas dapat digunakan untuk menghilangkan representasi pelaku dengan menonjolkan representasi sosial pada peristiwa yang diberitakan. 2)
Inklusi Jika ekslusi merupakan upaya untuk mengeluarkan aktor dari pembicaraan, berbeda dengan inklusi. Inklusi justru dimaksudkan untuk memasukkan aktor atau menambahkan keterangan pada aktor. Inklusi dapat dilakukan dengan beberapa macam strategi wacana. Strategi wacana yang dapat digunakan ketika sesuatu, seseorang, atau kelompok ditampilkan dalam teks, yaitu: (1) objektif-abstrak; (2) nominasi-identifikasi; (3) nominasi-kategorisasi; (4) diferensiasi-indiferensiasi; (5) determinasi-indeterminasi; (6) asimilasi-individualisasi, dan (7) asosiasi dan disasosiasi (Eriyanto, 2005). i. Objektif-Abstrak
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
22
e-ISSN : 2528 - 2069
Strategi ini berkaitan dengan informasi bagaimana suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan secara konkret atau secara abstrak. Di dalam data ditemukan wujud penggunaan objektivasi di antaranya adalah sebagai berikut. (10) Gadis 17 tahun itu diduga telah diperkosa dan foto dirinya disebar melalui ponsel dan internet. (11) Duapemuda perkosa dan publikasikan foto seorang gadis di Kanada (12) Perkosa ABG 13 tahun, pemuda Malaysia dibui 4 tahun. (13) Sekap dan perkosa 3 wanita bertahun-tahun, Ariel Castro dijerat 977 dakwaan. (14) Peristiwa pemerkosaan ini terjadi pada Sabtu 10 Agustus sekitar pukul 11.00 WIB. Penggunaan objektivasi dalam pemberitaan pemerkosaan terdapat pada data (10) seperti pada frasa 17tahun. Usia gadis diperjelas atau diobjektivasi untuk menunjukkan bahwa saat diperkosa usia gadis tersebut masih sangat muda. Selain itu, objektivasi terdapat pada data (11) pada frasa dua pemuda. Objektivasi digunakan untuk menunjukkan jumlah pelaku. Pada data (12), objektivasi dicantumkan pada frasa 13 tahun yang merupakan usia dari ABG yang diperkosa, sedangkan pada data (13) objektivasi didapati pada frasa 3 wanita dan juga 977 dakwaan. Kedua bentuk objektivasi tersebut dimaksudkan untuk memperjelas jumlah.Objektivasi menunjukkan kevalidan suatu berita sehingga pembaca akan lebih mempercayai data yang dipakai dalam berita. Objektivasi juga dapat digunakan untuk memperjelas waktu kejadian peristiwa seperti pada data (14). Peristiwa pemerkosaan disebutkan waktunya secara jelas Sabtu 10 Agustus sekitar pukul 11.00 WIB. Selain objektivasi pemberitaan juga dapat melakukan abstraksi. Abstraksi digunakan apabila data yang didapatkan tidak jelas atau ada maksud ingin mengaburkan kondisi sebenarnya dari data berita. Perhatikan contoh berikut ini. (15) Pasangan Australia perkosa turis Belanda lebih dari 60 kali. (16) Disebutkan, jumlah pelakunya adabeberapa. (17) Korban mengaku pencabulan tak hanya dilakukan sekali, tapi sejak Juli 2013. Pada data (15) pemerkosaan yang dilakukan pasangan Australia adalah lebih dari 60 kali. Hal ini merupakan data yang abstrak karena 61 kali itu lebih dari 60 kali bahkan 100 kali itupun lebih dari 60 kali. Dengan demikian, terdapat ketidakjelasan data dalam berita tersebut. Abstraksi juga terdapat dalam data (16), yakni menyebutkan jumlah pelaku ada beberapa. Selain itu, terdapat juga abstraksi pada data (17) yang ditunjukkan pada frasa tak hanya dilakukan sekali. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan karena dua kali itu pun tak hanya satu kali bahkan sepuluh kali itu tak hanya satu kali. ii. Identifikasi Strategi inklusi dapat juga memanfaatkan proses mengidentifikasi sesuatu. Identifikasi digunakan untuk merepresentasikan seseorang secara jelas. Dalam berita suatu identifikasi bisa menjadi sebuah bumbu untuk membuat berita semakin menarik. JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
23
e-ISSN : 2528 - 2069
Proses identifikasi itu dapat dilakukan dengan cara menambahkan anak kalimat dan dengan memperluas fungsi dalam kalimat. Dalam kalimat, biasanya strategi semacam ini digunakan untuk memperjelas atau memberi keterangan pada sesuatu. Untuk lebih jelasnya perhatikan data-data berikut ini. (18) Ayah perkosa anak tirinya yang cacat mental. (19) Tahanan yang tewas di Rutan Berau dianiaya karena perkosa putrinya. (20) Marwan terancam hukuman 15 tahun penjara akibat memperkosa siswi SMP yang mengalami kecelakaan di Pesawaran, Lampung. Pada data (18) terdapat bentuk identifikasi. Bentuk identifikasi tersebut terdapat pada anak tirinya yang cacat mental. Terdapat perluasan fungsi kalimat yakni yang cacat mental. Hal ini dianggap menarik. Nilai berita pemerkosaan terhadap anak tiri yang cacat mental dianggap lebih tinggi dibandingkan hanya menuliskan pemerkosaan terhadap anak tiri saja. Bentuk identifikasi terdapat juga dalam data (19). Dalam data (19) terdapat dua identifikasi yakni pada subjek kalimat yakni tahananyang tewas di Rutan Berau dan karena perkosa putrinya. Hal ini dianggap memiliki nilai berita yang tinggi dibandingkan dengan hanya menulisnya seorang tahanan tewas. Identifikasi juga terdapat dalam data (20) yakni pada siswi SMP yang mengalami kecelakaan. Nilai berita menjadi bertambah karena siswi SMP yang diperkosa baru saja mengalami kecelakaan dan akan menjadi hal yang dianggap biasa jika berita yang ditulis hanya pemuda memperkosa gadis SMP. Dengan demikian, dapat ditunjukkan bahwa identifikasi berfungsi memperkuat representasi aktor sosial dalam berita. Selain itu, identifikasi dapat menunjukkan kejelasan berita sehingga nilai berita menjadi lebih tinggil. Penggunaan identifikasi ini lebih banyak ditemukan pada judul berita sehingga pembaca dapat tertarik hanya dengan membaca judul. iii. Kategorisasi Dalam melakukan inklusi, strategi yang dapat digunakan salah satunya adalah kategorisasi. Eriyanto (2005: 182) mengungkapkan bahwa kategori bisa bermacammacam, yang menunjukkan ciri penting, seperti: agama, status, bentuk fisik, dan sebagainya. (21) 4 pemerkosa mahasiswi India divonis mati, kelompok HAM mengecam. Pada data (21) ditemukan penggunaan kategorisasi. Penggunaan tersebut terdapat pada klausa kelompok HAM mengecam. Hal ini menunjukkan bahwa ada kategori kelompok HAM dan kelompok bukan HAM. Penulis berita ingin menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok yang berseberangan. Penggunaan kategori semacam ini biasanya digunakan untuk memusatkan fokus pembaca pada konflik yang terdapat dalam pemberitaan. Dalam berita yang terdapat dalam data (21), ditunjukkan bahwa kelompok HAM berkonflik ide dengan hakim yang memberi vonis. iv. Determinasi-Indeterminasi Dalam sebuah wacana aktor dapat disebutkan secara jelas atau sebaliknya disebutkan secara tidak jelas (anonim). Bentuk anonimitas bisa disebabkan oleh belum JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
24
e-ISSN : 2528 - 2069
lengkapnya informasi sebagai bahan tulisan sehingga lebih aman untuk menulis anonim. Di samping itu, determinasi juga bisa disebabkan adanya ketakutan apabila aktor sosial tersebut disebutkan. Perhatikan wujud determinasi berikut ini. (22) Alfio Anthony Granata (46) dan Jennifer Peaston (32) masing-masing dijerat 179 dakwaan. (23) Richard Thomas pantas gelisah. Apalagi, pria asal Manchester, Inggris itu telah divonis penjara lima tahun atas dakwaan memperkosa seorang wanita. (24) Marwan terancam hukuman 15 tahun penjara akibat memperkosa siswi SMP yang mengalami kecelakaan di Pesawaran, Lampung. Dari data (22) sampai dengan (24) ditunjukkan bahwa secara berturut-turut nama pelaku disebutkan, Alfio Anthony Granata dan Jennifer Peaston, Richard Thomas, dan Marwan. Hal inilah yang disebut dengan determinasi. Dalam pemberitaan pemerkosaan, penyebutan secara jelas nama pelaku menunjukkan kejelasan data. Hal ini pun dilakukan apabila pelaku memang sudah dijatuhkan vonis. Namun, berbeda dengan penyebutan korban yang selalu diberi inisial atau digeneralisasi misalnya dengan sebutan gadis. Hal tersebut disebut indeterminasi. Perhatikan data berikut ini. (25) Laki-laki paruh baya ini tega-teganya memperkosa anak tirinya M (24) dan temannya G (20) yang menderita cacat mental. (26) Jajaran Polda Sulawesi Selatan dan Barat menangkap Sangkala alias Egi (27) dan M Irfan, dua pelaku pembunuhan yang disertai pemerkosaan calon mahasiswi, DM (18). Pada data (25) dan (26) ditunjukkan bahwa korban hanya diberi inisial. Hal tersebut biasanya digunakan untuk melindungi korban, baik dari rasa malu diperkosa, maupun ancaman lain yang membahayakan keselamatan korban. Dengan demikian, terjadi perbedaan dalam merepresentasikan pelaku dan korban. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perbedaan determinasi dan indeterminasi. 3)
Leksikalisasi Leksikalisasi merupakan aspek penting dari analisis teks. Eriyanto (2005: 255) mengungkapkan bahwa leksikalisasi menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas. Perhatikan data-data berikut ini. (27) Pak guru di Australia perkosa murid di ruang kelas. (28) Ayah perkosa anak tirinya yang cacat mental. (29) Perkosa anak kandung, ayah dihukum 12 tahun penjara. (30) Korban yang berusia 21 tahun diculik dan disekap di sebuah hotel di Melbourne, selama 6 minggu sejak November 2012 lalu Pada tuturan (27) sampai dengan (29) ditunjukkan penggunaan leksikalisasi dengan memperguanakan kata-kata yang memiliki komponen makna berdekatan (kolokatif). Misalnya pada tuturan (27) kata guru, murid, kelas memiliki kedekatan JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
25
e-ISSN : 2528 - 2069
makna. Guru merupakan orang yang mengajar, murid adalah orang yang diajari, sedangkan kelas adalah tempat belajar. Begitu juga dengan data (28) dan (29) yang mempergunakan kata ayah dan anak. Penggunaan leksikalisasi berupa kolokasi ditemukan pula pada data (30). Penggunaan kolokasi terdapat pada verba diculik dan disekap. Kedua kata tersebut memiliki kedekatan makna. b.
Analisis Makro (Praktik Sosiokultural) Fairclough (1992a: 67) menyatakan bahwa praktik sosial memiliki berbagai orientasi, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, ideologi, dan sebagainya, dan wacana merupakan gambaran dari semua masalah tersebut. Dengan demikian, analisis dimensi praktik sosial merujuk kepada usaha menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan orientasi seperti di atas, seperti berkaitan nilai, kepercayaan, ideologi, filosofi, budaya, dan sebagainya yang terdapat di dalam wacana (Idris, 2006: 81). Darma (2009: 189) mengungkapkan bahwa dalam tingkatan bahasa yang sangat konkret, bahasa tidak berisi kata-kata, klausa-klausa, atau kalimat-kalimat, tetapi bahasa berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna. Dalam konteks interpersonal, konteks tempat makna itu dipertahankan, sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Hal itu pulalah yang tercermin dalam dimensi praktik sosio budaya. Dimensi praktik sosio budaya sangat erat kaitannya dengan keadaan saat wacana itu diproduksi. Situasi dan kondisi di mana wacana tersebut dihasilkan dan didistribusikan. Kemudian dibicarakan juga siapa yang memproduksi wacana, apakah posisinya sebagai penguasa atau yang dikuasai. Selain itu, dimensi ini membicarakan situasional, institusional, dan kultural di mana wacana tersebut dihasilkan. Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. (Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan). Pemerkosaan sendiri terdiridari beberapa jenis, yakni: 1) Pemerkosaan perpacaran Pemerkosaan perpacaran adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban. 2) Pemerkosaan dengan obat Pemerkosaan dengan obat adalah pemerkosaan yang dilakukan dengan obatobatan untuk membuat korbannya tidak sadar atau mabuk berat. 3) Pemerkosaan wanita Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah korban serangan seksual. Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. 4) Pemerkosaan terhadap laki-laki Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu kemungkinan. Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh memperkosa. 5) Pemerkosaan massal JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
26
e-ISSN : 2528 - 2069
6)
7)
8)
9)
Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban. Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang. Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang. Pemerkosaan anak-anak Pemerkosaan anak-anak salah satu bentuk dari pelecehan seksual terhadap anak. Ketika dilakukan oleh orang tua atau kerabat seperti kakek, paman, bibi, ayah, atau ibu ia dapat menyebabkan trauma psikologis yang parah dan berjangka panjang. Bila seorang anak diperkosa oleh seorang dewasa yang bukan anggota keluarga, tetapi merupakan pengasuh atau dalam posisi berkuasa atas anak seperti guru sekolah, pemuka agama atau terapis, trauma yang diderita bisa mirip dengan trauma hubungan sumbang. Pemerkosaan dalam perang Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil. Pemerkosaan oleh suami/istri Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah. Di banyak negara hal ini dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah dapat berhubungan seks kapan saja. Dalam kenyataannya banyak suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan seks. Statutory rape Di banyak negara, hubungan seks dengan orang di bawah usia tertentu disebut statutory rape.
Menurut Tejani (Tersedia di http://www.mahfudz-tejani.com/2013/03/faktorfaktor-terjadinya-pemerkosaan.html) terdapat banyak faktor yang menyebabkan pemerkosaan, di antaranya: 1) Seductive rape, pemerkosaan terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahinya dan biasanya pemerkosaaan ini terjadi pada mereka yang sudah saling mengenal. Contohnya pemerkosaan oleh pacar, keluarga, teman atau orangorang terdekat lainnya. 2) Sadistic rape, pemerkosaan yang dilakukan secara sadis, yang mana si pelaku akan merasa mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh. namun mendapatkan kepuasan dari cara penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatkan dalam hubungan seksual secara normal 3) Anger rape, Pemerkosaan yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa marahnya pada korban. Kepuasan seksual bukan tujuan utama yang diharapkan pelaku. namun sekedar untuk melampiaskan rasa marahnya pada korban. 4) Domination rape, pemerkosaan ini hanya ingin menunjukan dominasinya pada korban dan pelaku hanya ingin menguasai korban secara seksual. misalnya pemerkosaan majikan terhadap pembantunya. 5) Exploitationrape, pemerkosaan yang terjadi karena ada rasa ketergantungan korban terhadap pelaku baik secara ekonomi maupun sosial. Dan biasa kasus ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap korban. contohnya atasan terhadap bawahanya, majikan terhadap pembantunya.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
27
e-ISSN : 2528 - 2069
Secara sosiokultural, pemerkosaan termasuk perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang ini selalu menimbulkan dampak psikologis dan fisik bagi korbannya. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape (pascapemerkosaan) yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. c.
Hubungan Dimensi Teks dan Dimensi Sosiokultural
Wacana dapat merepresentasikan keadaan sosiokultural di mana wacana tersebut diproduksi. Bentuk-bentuk representasi itu menunjukkan gejala-gejala sosiokultural yang menghasilkan suatu pemberitaan. Pemberitaan kemudian menjadi konsumsi masyarakat dan kemudian membentuk dan ikut andil mengubah keadaan sosiokultural. Siklus semacam ini akan terus berlanjut selama sosiokultural itu hidup dan berkembang. Untuk menunjukkan hubungan antara dimensi teks dan dimensi sosiokultural yang terdapat dalam pemberitaan pemerkosaan dalam media daring perhatikan data-data berikut ini. (31) Sungguh biadab perbuatan MM (56). Laki-laki paruh baya ini tegateganya memperkosa anak tirinya M (24) dan temannya G (20) yang menderita cacat mental. (32) Ulah cabul ini diulangi lagi pada awal Agustus 2011 dengan korban teman lelaki yang berusia sebaya. (33) Seorang pendakwah di Arab Saudi diadili karena memperkosa anak perempuannya yang masih berusia 5 tahun. (34) Gara-gara mabuk minuman keras, seorang ayah tega memperkosa anak kandungnya. Dari data (31) sampai dengan (34) menunjukkan bahwa pelaku pemerkosa tidak sedikit yang berasal dari orang-orang terdekat, misalnya: ayah dan teman sebaya. Hal ini menunjukkan bahwa secara sosial justru orang terdekat dapat menjadi pelaku pemerkosaan. Teks dapat merepresentasikan keadaan sosial dan budaya yang terjadi dalam proses produksi teks tersebut. Selain itu, perhatikan pula contoh berikut ini. (35) Gadis 17 tahun itu diduga telah diperkosa dan foto dirinya disebar melalui ponsel dan internet. (36) Seorang pemuda Malaysia terbukti bersalah memperkosa seorang gadis di bawah umur. (37) Setan apa yang merasuki Didik Setiawan (22) hingga nekat memperkosa adik sepupunya yang masih kelas 5 SD. Data (35) sampai dengan (37) merepresentasikan hubungan sosial bahwa pemerkosaan banyak dilakukan terhadap gadis terutama yang di bawah umur. Hal ini disebabkan bahwa gadis terutama usia di bawah umur dianggap tidak berani melakukan JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
28
e-ISSN : 2528 - 2069
perlawanan. Hal ini biasanya disebabkan karena ancaman yang diberikan oleh pelaku. Di samping itu, teks dapat pula menunjukkan penyebab atau awal mula terjadinya tindakan pemerkosaan. Perhatikan contoh berikut ini. (38) Kasus-kasus tersebut biasanya berawal dari perkenalan di Facebook. Kemudian korban dan pelaku memutuskan bertemu. Saat pertemuan inilah biasanya timbul niat jahat dari pelaku. (39) Buruh pabrik perkosa siswi SD gara-gara lihat celana dalam. Data (38) dan (39), merepresentasikan beberapa modus dan penyebab terjadinya pemerkosaan. Dengan demikian, pemberitaan pemerkosaan dapat merepresentasikan keadaan sosial yang terjadi di saat pemberitaan tersebut diproduksi dan didistribusikan. 4. a.
Penutup Simpulan Dari analisis yang sudah dilakukan, dapat dideskripsikan bahwa secara analisis mikro pemberitaan mengenai pemerkosaan di media online detik.com mempergunakan strategi tertentu untuk merepresentasikan aktor sosial. Strategi tersebut adalah ekslusi, inklusi dan leksikalisasi. Strategi ekslusi menggunakan dua cara yakni pemasifan dan nominalisasi. Strategi inklusi menggunakan empat cara, yakni: objektif-abstrak, nominasi-identifikasi, nominasi kategorisasi, dan determinasi-indeterminasi. Selain itu, terdapat leksikalisasi yang lebih menonjolkan kolokasi yang menunjukkan komponen makna yang berdekatan dari suatu kata. Di samping analisis secara mikro, dalam penelitian ini dilihat pula gejala sosial dan budaya (makro) yang memengaruhi adanya kasus pemerkosaan dan pemberitaan pemerkosaan. Selain itu, ditemukan pula hubungan antara teks dan gejala sosiokultural, yakni teks dapat merepresentasikan pelaku pemerkosaan, teks dapat merepresentasikan korban pemerkosaan, dan teks dapat menunjukkan penyebab pemerkosaan. Dengan kata lain, teks dapat menjadi media yang efektif sebagai representasi sosial. b.
Saran Melihat hasil analisis dan pembahasan ditemukan dua saran utama untuk penelitian berikutnya, yakni: (a) Penelitian berikutnya dapat menggunakan pendekatan lain seperti feminisme untuk kasus pemberitaan pemerkosaan. (b) Penelitian berikutnya dapat memanfaatkan kasus pemberitaan selain pemerkosaan dengan pendekatan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung : Pustaka Jaya. Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco. Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
29
e-ISSN : 2528 - 2069
Fairclough, Norman. (1992a). Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. Halliday, M. A. K. (1978). Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold. Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada. Hoed, Benny. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosiokultural. Jakarta: Komunitas Bambu. Idris Aman. (2006). Bahasa dan Kepemimpinan Analisis Wacana Mahathir Mohammad. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Jorgensen, Mariane W. (2007). Analisis Wacana: Teori dan Metode. dalam Abdul Syukur Ibrahim (Editor). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Richardson. (2007). Analysing Newspaper: An Approach from Critical Discourse Analysis. England: Paldrave Macmillan. Sudaryanto. (1993). Metode dan Teknik Penelitian Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana. van Dijk, Teun A (Ed.). 1997. Discourse as Structure and Proccess. London: Sage. van Dijk, Teun A. 2006. Discourse and Ideology. Dalam Teun A. van Dijk (Ed.) Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction, hlm. 239-407. London: Sage. van Dijk, Teun A. 2008. Discourse and Power. New York: Palgrave Macmillan. van Leeuwen, Theo. 1996. The representation of social actors in discourse. InCaldasCoulthard, C. R., & Coulthard, M. (Eds.), Texts and practices:Readings in critical discourse analysis. London: Routledge, 32-70. van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice. Oxford: Oxford University Press.
Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan http://www.detik.com http://www.mahfudz-tejani.com/2013/03/faktor-faktor-terjadinya-pemerkosaan.html
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, Desember 2016
30