REORIENTASI PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN REORIENTING THE ACCOUNTABILITY OF THE IMPLEMENTATION EDUCATION POLICIES Bambang Indriyanto Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Email:
[email protected] ABSTRAK Reformasi yang berlangsung saat ini mempunyai misi untuk meningkatkan kemaslahatan (utility) pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai bidang bagi anggota masyarakat secara luas sebagai benefeciaries dari program-program pemerintah. Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik juga mempunyai misi untuk memberikan kemaslahatan pedagogis kepada anggota masyarakat, terutama peserta didik secara non diskriminatif. Perbedaan berdasarkan agama, stratifikasi sosial, dan suku tidak boleh menjadi faktor penghambat bagi setiap anak usia sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan. Dalam pelaksanaannya kriteria efisiensi dan efektivitas menjadi denominator kriteria yang walaupun bersifat mutually exclusive tetapi secara manajerial kedua harus diterapkan secara bersama. Dengan adanya reformasi dalam pengelolaan program-program pembangunan, kriteria accountability menjadi denominator criteria lain bagi keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan. Akhir-akhir ini accountability menjadi tema dalam pengelolaan berbagai program pemerintah. Tujuan dari tulisan ini yaitu untuk membahas reorientasi pertanggungjawaban keberhasilan pelaksanaan program-program pendidikan dari kriteria efisiensi dan efektivitas untuk menuju kriteria accountability. Dalam membahas topik tersebut, pusat perhatian diarahkan pada tiga tema kebijakan pendidikan yaitu peningkatan akses, mutu, dan relevansi pendidikan. Kata kunci: pertanggungjawaban program, reformasi, mutu pendidikan, dan implementasi program ABSTRACT The mission of ongoing reformation is to maximize the utilities of many development programs to all community members since they are beneficiaries of these programs. Education policies as part of public policies are intended to ensure pedagogical benefits to all community members, especially to all students in discriminatively in spite of the differences in their religion background, social stratification, as well as ethnic backgrounds. All of these should not impede their opportunities to obtain education. During the implementation of education policies efficiency and effectiveness are common denominator factors to measure success criteria despite they are mutually exclusive but in management practices they are implemented simultaneously. As the reformation is continuously implemented accountability is becoming another criterion of success measures of the implementation of education policies. The accountability is in fact gaining more attentions when the governance comes about in government development programs. The objective of this paper is to discuss the reorientation of how the education policies are held accountable given efficiency and effectiveness are also still taken into considerations. In discussing these matters, the focus will be on three themes of education policies i.e. the improvement of access, quality, and relevance of education. 1
Keywords:
program accountability, implementation.
reformation.
Quality
education,
program
PENDAHULUAN Sejak terjadinya perubahan orde pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi paling tidak terjadi empat perubahan dalam pengelolaan sektor publik. Pertama, transparansi dalam pengelolaan program-program kebijakan publik. Kedua, mekanisme pengelolaan programprogram publik yang bersih (clean governance), dan ketiga sistem pengelolaan programprogram sektor publik yang tepat sasaran (good government). Keempat, desentralisasi dalam program-program sektor publik. Munculnya keempat perubahan tersebut merupakan refleksi kesadaran tentang demokratisasi di kalangan masyarakat secara luas. Pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik tidak terlepas dari perubahan pada sektor publik lainnya. Dalam prakteknya, keempat kriteria tersebut tidak saja berlaku pada tingkat satuan kerja yang ada di Pusat (kementerian) dan daerah (dinas pendidikan), tetapi juga sampai dengan satuan pendidikan. Khusus mengenai desentralisasi, pada bidang pendidikan terjadi pada dua tingkat, yaitu satuan kerja dan satuan pendidikan. Implementasi desentralisasi pada satuan pendidikan meliputi aspek manajemen melalui skema Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan aspek pedagogis melalui skema Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Desentralisasi pendidikan pada tingkat satuan mempunyai landasan legal yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Desentralisasi pada tingkat satuan pendidikan baik dalam konteks MBS maupun KTSP ditandai dengan pemberian kewenangan kepada pengelola pendidikan tingkat satuan pendidikan untuk menentukan arah pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Pemberian ini didasarkan pada faktor kepercayaan tentang kompetensi dan compliaences (Dwiyanto, 2011) kepala sekolah dan guru terhadap standar pelaksanaan dan target program pendidikan. Dengan adanya modalitas desentralisasi, pada satuan kerja dan juga satuan pendidikan, pertanyaan yang muncul bagaimana modalitas pertanggung jawaban diterapkan di bidang pendidikan baik pada tingkat satuan kerja maupun satuan pendidikan?. Tujuan dari tulisan ini mengajukan dua modalitas pertanggungjawaban yaitu responsibility dan accountability. Kedua modalitas tersebut berorientasi pada pencapaian hasil 2
implementasi kebijakan pendidikan. Dalam ranah pendidikan hasil implementasi kebijakan pendidikan meliputi dua tingkat yaitu output dan outcome. Untuk memberikan konteks dari tujuan penulisan ini, pada bagian pertama akan dikemukakan arah kebijakan pendidikan.
ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN Kebijakan pendidikan secara universal diarahkan pada tiga tema yaitu peningkatan akses, mutu, dan relevansi pendidikan. Tema ini merupakan tema pendidikan baik pada negara berkembang maupun negara maju (industri). Perbedaannya terletak pada intensitas. Pada negara maju, intensitas terletak pada peningkatan mutu di lain pihak pada negara-negara berkembang cenderung memusatkan pada peningkatan akses. Adanya pertambahan penduduk menjadi alasan utama bagi negara berkembang atau maju untuk membuka akses. Persaingan antarnegara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong suatu negara untuk memusatkan pada peningkatan mutu. Di lain pihak, perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara mendorong pemerintah meningkatkan relevansi pendidikan. Searah dengan kecenderungan universal tersebut, titik tolak kebijakan pendidikan merupakan realisasi misi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Misi ini mengandung makna bahwa pendidikan tidak bersifat diskriminnatif. Semua warga banga Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan dan menjadi cerdas. Namun demikian, non-diskriminatif tidak berarti bahwa setiap warga mendapatkan alokasi sumber dana dan daya pendidikan yang sama. Berdasarkan pada prinsip Rawl’s positivism distribusi sumber dana dan daya pendidikan tidak harus merata, karena adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Distribusi tidak merata tetap dapat dinyatakan sebagai distribusi yang adil jika, dan hanya jika, alokasi yang lebih banyak dialokasikan untuk kelompok yang terpinggirkan secara geografis maupun ekonomis (Alexander,1982). Tema kebijakan peningkatan akses, mutu, dan relevansi pada periode Kabinet Reformasi dijabarkan menjadi 5 pilar kebijakan yaitu ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian. Pilar ketersediaan menjamin bahwa setiap anak usia sekolah mendapat tempat pelayanan pendidikan. Untuk menjamin pelayanan tersebut, Pemerintah menyediakan pelayanann melalui berbagai jalur. Pada jalur formal jenjang pendidikan terdapat satuan pendidikan SD/MI, SMP/MTs. Pada jenjang pendidikan menengah terdapat satuan pendidikan yang meliputi SMA/MA dan SMK, sedangkan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat universitas, sekolah tinggi dan polyteknik. Pada jalur nonformal untuk jenjang 3
pendidikan dasar terdapat program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A dan Paket B. Pada jenjang pendidikan menengah terdapat terdapat Paket C. Keanekaragaman budaya dan geografis merupakan suatu keniscayaan negara Indonesia. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, keanekaragaman tersebut menjadi kekayaan khasana budaya dan masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi tantangan Pemerintah Indonesia dalam menetapakan kebijakan di berbagai bidang termasuk pendidikan. Tantangan yang secara persistent menjadi konsekuensi ketika pilar ketersediaan telah tercapai dengan indikator angka partisipasi yaitu keterjangkauan dan kualitas. Dalam masyarakat yang bhineka pilar keterjangakauan mempunyai dua dimensi yaitu reachable dan affordable. Dimensi reachable berkaitan dengan lokasi tempat tinggal peserta didik. Negara Indonesia dengan ciri khas kepulauan memberikan suatu gambaran tentang penyebaran penduduk. Penyebaran penduduk yang tidak sama (unequal distribution) menjadi tantangan untuk merealisasikan keterjangauan. Penyediaan pola-pola pelayanan yang sesuai dengan kondisi geografis menajadi opsi kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Di samping itu, masyarakat Indonesia yang pruralistis mengindikasikan adanya stratifikasi sosial yang merefleksi struktur hirarkhis antar satu kelompok sosial yang satu dengan lainnya. Faktor pembagi yang menjadikan satu kelompok masyarakat berada pada strata bawah, strata menengah, dan strata atas merupakan faktor ekonomi. Respons kebijakan pendidikan berkenaan dengan adanya strata masyarakat karena faktor ekonomi terdapat prinsip bahwa hak peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan tidak boleh terhambat karena kemampuan orang tua untuk membiayai. Dengan berbagai modalitas Pemerintah tetap akan menjamin pelayanan pendidikan kepada peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomis. Dengan kata lain, pendidikan harus tetap dapat terjangkau (affordable) bagi peserta didik dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomis. Pilar Kualitas menjadi conditio sine qua non bagi setiap pelayanan pendidikan di berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. Setiap pelayanan harus menjadikan menjadikan kualitas sebagai kriteria keberhasilan. Tanpa pilar kualitas kebijakan dan program pendidikan tidak memberikan makna. Dalam konteks ini kualitas tidak hanya dalam arti kompetensi kognitif tetapi juga kompetensi afektif, dan psikomotorik. Dalam ekspresi yang lain, pengertian tentang kualitas meliputi berbagai aspek seperti yang dirumuskan pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyatakan bahwa 4
“Pendidikan nasional ……..bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Kualitas pendidikan juga dapat dipandang dari proses. Berdasarkan pada sudut pandangan ini pendidikan yang berkualitas jika didukung oleh ketersediaan sarana pendidikan yang memadai dan mecukupi, kompetensi guru yang memenuhi syarat, manajemen pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang kondusif bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar stimulatif bagi pencapaian hasil belajar peserta didik. Dalam konteks pilar kebijakan kualitas pendidikan kedua sudut pandang tersebut bersifat saling melengkapi satu dengan lainnya. Pendangan kualitas yang menekankan pada hasil memberikan isyarat kebijakan tentang pencapaian hasil dan penentukan kriteria keberhasilan (benchmarking). Di lain pihak sudut pandang proses memberikan isyarat kebijakan tentang strategi penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, peningkatan kompetensi guru, serta pembenahan manajemen pendidikan pada tingkat satuan pendidikan untuk menpai benchmark yang ditetapkan pada periode tertentu. Ketika ketiga pilar ketersediaan, keterjangkaun, dan kualitas dapat terealisasi secara efektif, maka indikator kesetaraan dan kepastian menjadi “buah” kebijakan pendidikan yang dapat dipetik. Dalam perspektif metodologi, pilar kebijakan ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas merupakan independen variabel dan kesetaraan dan kepastian merupakan dependen variabel. Jika ketiga independen variabel tersebut terbukti secara signifikan mempunyai sumbangan terhadap pilar kesetaraan dan kepastian, maka intervensi kebijakan dilakukan terhadap ketiga pilar ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas merupakan strategi yang efektif.
PENDIDIKAN: SARANA ATAU TUJUAN? Dalam berbagai diskusi dan tulisan tentang pendidikan memberikan kesan seolah-olah pendidikan merupakan panacea. Obat yang dapat menyembuhkan berbagai permasalahan ekonomi, politik, dan sosial. Kesan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak seratus persen benar. Pendidikan memang menjadi sarana untuk memecahkan berbagai permasalahan, karena pendidikan membentuk karakter dan kompetensi manusia yang secara langsung terlibat dalam upaya memecahkan berbagai permasalahan. Di lain pihak, program pendidikan 5
tidak efektif jika tidak benchmark yang ditetapkan. Benchmark yang dimaksud merupakan target-target pembangunan di sektor publik lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika kebijakan pendidikan diarahkan untuk peningkatan akses faktor ekonomi menjadi prerequsite bagi keluarga dalam mengambil keputusan untuk mengirimkan anak mereka pada lembaga pendidikan pada periode tertentu. Keluarga yang secara ekonomi mampu, misalnya, akan dengan cepat membuat keputusan bagi anak mereka untuk melanjutkan ke jejang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, bagi keluarga yang secara ekonomis tidak mampu keputusan bagi anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi memerlukan berbagai pertimbangan. Berdasarkan pada
Neighborhood Dominant Model dari Benson
(1982) keputusan orang tua agar anaknya melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi didasarkan pada nilai balik (keuntungan) yang akan diperoleh oleh anaknya dalam jangka pendek setelah mereka menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan tersebut. Jika orang tua melihat anak-anak dari lingkungan ketetanggaan mereka cenderung tidak berhasil mendapatkan nilai balik setelah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu maka mereka memutuskan agar anaknya tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika peningkatan mutu dan relevansi, faktor ekonomi menjadi tujuan dan pendidikan sebagai sarana. Pembahasan oleh para ahli ekonomi, terutama mendasarkan diri pada teori human capital, menyatakan bahwa pendidikan mendukung terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu modal bagi pertumbuhan industri dan ekonomi suatu negara. Hal ini secara eksplisit dinyatakan oleh Schultz (1977: 313) sebagai berikut: “Economists have long known that people are an important part of the wealth of nations. Measured by what labor contributes to output, the productive capacity of human beings is now vastly larger than all other forms of wealth taken together”.
Berdasarkan argumentasi ini, pada periode sepuluh tahun terakhir dikembangkann konsep knowledge based economy. Konsep ini mengajukan suatu argumentasi yang kuat bahwa ketika sumber daya alam tidak dapat lagi sebagai pendukung pertumbuhan industri secara maksimal, maka manusia akan menjadi faktor competitive advantage yang dapat memkompensasi keterbatasan sumber alam tersebut. Pengetahuan dan kreativitas merupakan
6
determinan untuk mendukung pertumbuhan industri dan ekonomi secara lebih maksimal (Powell dan Snellman 2004; United Nations, 2005 dan Petters, 2010). Demikian juga dengan konteks sosial dan politik. Ketika tema kebijakan peningkatan mutu dan relevansi menjadi prioritas, maka efektivitas kedua tema kebijakan ini tergantung pada benchmark yang ditetapkan pada pembangunan sektor sosial dan politik. Misalnya bagaimana pembangunan sektor sosial menetapkan kehidupan harmonis, dan pembangunan sektor politik menetapkan target kehidupan berbangsa yang demokratis. Dalam pandangan pemikir pendidikan John Dewey (2004:83), “A democracy is more than a form of government; it is primarily a mode of associated living, of conjoint communicated experience”. Target tersebut menjadi standar moral yang kemudian diartikulasikan dalam kurikulum sampai dengan mata pelajaran yang diajarkan pada peserta didik pada jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Dalam skala makro efektivitas kebijakan pendidikan tidak diukur secara internal, yang artinya untuk prestasi peserta didik itu sendiri, tetapi untuk jangkauan yang lebih luas. Dalam upaya pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kesejahteraan bangsa, di samping teknologi dan modal. Pendidikan sebagai instrumen pencapai program pembangunan nasional, diperlukan alignment antara kebijakan pendidikan dengan sektor publik lain seperti ekonomi, politik, teknologi. Terdapat tiga momentum ke depan yang perlu menjadi rujukan dalam penentuan arah kebijakan pendidikan. Pertama pada tahun 2025. Pada periode ini Pemerintah telah menetapkan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) berbagai sektor publik. Kedua, pada tahun 2030 merupakan keputusan bangsa Indonesia menjadi salah satu negara indistri maju di dunia. Ketiga pada tahun 2045 merupkan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Pencapaian RPJP tahun 2025 dalam jangka panjang diarahkan untuk mendukung pencapaian dua momentum besar. Momentum pertama yaitu momentum ekonomi 2030 dan momentum historis yaitu 2045. Target utama tahun 2030 yaitu menuju high income country (US$ 18.000 pendapatan per kapita) pada tahun 2030. Tahun 2045 merupakan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 100. Pada masa itu Indonesia telah bebas dari penjajahan dan bebas dari berbagai bentuk hegemoni. Pencapaian menjadi negara industri maju dilalui melalui tiga tahap dari pertanian, mengarah pada industri, dan tahap ketiga industri jasa. Indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu: 1) masuknya Indonesia dalam 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dengan pendapatan perkapita 7
sekitar US$ 18 ribu dan jumlah penduduk sekitar 285 juta jiwa; 2) terwujudnya pemanfaatan kekayaan alam yang berkelanjutan, antara lain masuk dalam 10 besar tujuan pariwisata dunia dan tercapainya kemandirian dalam pemenuhan energi domestic; 3) terwujudnya kualitas hidup moderen yang merata (shared growth), antara lain ditandai oleh masuknya Indonesia dalam 30 besar indeks pembangunan manusia (HDI) terbaik di dunia; dan 4) masuknya paling sedikit 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500 Companies (sumber: http://images. mainstargate.multiply.Multiply content.com/attachment/). Tahun 2045, meskipun tidak secara formal telah dicanangkan, namun periode tersebut akan menjadi momentum kebangkitan nasionalisme yang sangat membanggakan bagi seluruh Indonesia. Generasi yang sekarang masih berada pada bangku sekolah jenjang pendidikan dasar, bahkan pada pra sekolah akan menjadi generasi yang mengendalikan bangsa Indonesia pada saat itu. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan visi Indonesia 2030 merupakan faktor pengungkit bagi tercapainya kebangkitan nasionalisme Bangsa Indonesia pada tahun 2045.
KRITERIA KEBERHASILAN Pelaksanaan program pendidikan dibiayai oleh dana publik yang diprogramkan melalui APBN. Oleh karena itu, pertanggungjawaban merupakan suatu keharusan. Namun seiring dengan era keterbukaan, pertanggungjawaban tidak hanya diidasarkan pada bukti-bukti di atas kertas, tetapi pada dua tingkat yaitu ketercapaian pelaksanaan program dan kemaslahatan program
(utility)
bagi
peserta
didik.
Artikel
ini
mengajukan
dua
terminologi
pertanggungjawaban yaitu responsibility dan accountability. Terminologi responsibility merujuk pada penyelesaikan suatu program berdasarkan pada periode waktu yang telah ditentukan. Ketika pembangunan ruang kelas baru telah selesai pada tahun ajaran baru, maka program pembangunan kelas baru telah memenuhi kriteria responsibility, tetapi belum memenuhi kriteria accountability. Pembangunan ruang kelas baru hanya akan memenuhi kriteria accountability jika ruang kelas baru tersebut setelah selesai dibangun dapat meningkatkan daya tampung siswa pada lokalitas sekolah tersebut berada. Pengadaan sarana pendidikan merupakan upaya untuk mendukung kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Penyediaan sarana pendidikan telah memenuhi kriteria responsibility jika 8
dapat selesai penyelenggaraannya pada saat siswa dan guru memerlukannya untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di kelas. Penyelenggaraan sarana tersebut dapat memenuhi kriteria accountability jika dengan menggunakan sarana pendidikan tersebut, maka prestasi akademis siswa dapat meningkat. Dalam kasus yang lain dapat juga dikatakan bahwa peningkatan kompetensi mengajar guru bukan merupakan tujuan, tetapi sarana untuk meningkatkan prestasi akademis siswa. Ketika kompetensi guru meningkat, hal tersebut baru memenuhi kriteria responsibility, dan prestasi akademis siswa meningkat maka hal tersebut memenuhi kriteria accountability. Pergeseran pertanggungjawaban program pendidikan dari responsibility ke accountability merupakan buah dari reformasi sistem politik di Indonesia yang dampaknya menjangkau program-program sektor publik termasuk pendidikan. Perubahan memerlukan reorientasi dalam perencanaan terutama ketepatan dalam penentuan sasaran dan stake holder (Superfine, 2005). Istilah stake holder muncul karena adanya pergeseran paradigma tentang peran Pemerintah dalam pelaksanaan program pendidikan. Pemerintah tidak lagi diasumsikan sebagai “pemegang saham” utama terhadap program-program pendidikan sebagai bagian dari program publik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan pelaksana program pendidikan, karena pemegang saham dana APBN yaitu masyarakat. Dengan adanya perubahan paradigma ini, maka keberhasilan pelaksanaan progam pendidikan tidak lagi didasarkan pada sudut pandang Pemerintah, tetapi sudut pandang stake holders. Dalam kontleasi ini Pemerintah sering dihadapkan pada fenomena politik daripada fenomena manajerial dalam penentuan keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan atau pelaksanaan program pendidikan. Untuk menggambarkan fenomena ini Hanuzek dan Raymond (2001:365) dalam awal artikelnya menulis: “Accountability has been a watchword in education for decades ……… it has not been a reality, however, because is treathening to many and because, even when desired, it is difficult to implement”.
Salah satu contoh yaitu uji kompetensi guru yang akhir-akhir ini dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan uji kompetensi Pemerintah bermaksud untuk mendapatkan gambaran secara obyektif tentang kompetensi guru. Berdasarkan pada gambaran obyektif tersebut intervensi peningkatan kompetensi akan dilaksana. Uji kompetensi tidak dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dalam pemberian sertifikasi guru. Namun demikian, upaya ini 9
menuai kritik dari berbagai pihak dari anggota masyarakat, organisasi guru, bahkan DPR. Pada harian Media Indonesia (2 Maret 2012) salah satu anggota Komisi X DPR menyatakan bahwa Uji Kompetensi Awal telah melanggar peraturan perundang-undangan. Kasus lain, tentang penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI merupakan strategi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan pada pendekatan satuan pendidikan. Setiap pendidikan diarahkan untuk mempunyai target yang akan dicapai pada periode tertentu. Berdasarkan pada target tersebut alokasi sumber dana dan daya pendidikan ditetapkan untuk satuan pendidikan tersebut. Secara legal penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) telah diatur pada Pasal 50 (ayat 2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Pelaksanaan SBI yang sampai dengan saat ini masih dalam tahap rintisan juga masih menuai berbagai kritikan yang muncul di media massa maupun tulis. Kritik tersebut dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu pertama berkaitan dengan isu keadilan (equity) dan kedua berkaitan dengan isu efisiensi internal. Secara lebih rinci kritik yang menyangkut berkenaan dengan isu keadilan kritik yang mengemukan menyatan bahwa (1) RSBI merupakan bentuk komersialisasi pendidikan, harga mahal tetapi kualitas belum tentu, (2) RSBI merupakan kastanisasi dalam sistem pendidikan, hanya mereka yang kaya yang dapat masuk, dan (3) RSBI merupakan program elitis yang menekankan pada prasarana dan sarana. Di lain pihak kritik yang berkenaan dengan efisiensi internal menyatakan bahwa (1) prestasi akademik siswa RSBI tidak secara signifikan lebih baik daripada siswa non-RSBI, (2) kompetensi mengajar guru RSBI tidak secara signifikan lebih baik daripada guru dari sekolah non-RSBI, (3) Penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar belum secara efektif digunakan, dan (4) apakah UN telah mencerminkan kualitas internasional. Untuk dapat menerapkan kriteria keberhasilan penentuan hasil menjadi kritikal. Dalam kaitannya dengan kriteria keberhasilan responsibility dan accountability. Dalam perspektif ekonomi pendidikan hasil pendidikan meliputi dua tingkat yaitu output dan outcome. Output merupakan hasil langsung dari proses pendidikan yang terjadi pada lembaga pendidikan. Sedangkan outcome adalah perubahan pola pikir dan perilaku setelah seseorang beberapa waktu (time lack) mengikuti proses pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu (Windham, 10
1989). Indikator output lebih dikenal oleh kalangan orang tua atau masyarakat pada umumnya sebagai prestasi akademis. Sedangkan outcome kurang dikenal di kalangan orang tua atau masyarakat pada umumnya. Namun outcome dapat dilustrasikan sebagai berikut. Jika ada seorang peserta didik yang prestasi akademis untuk mata pelajaran Agama tinggi (ouput) diharapkan dia akan taat dalam menjalankan ibadah (outcome). Demikian juga jika ada seorang peserta didik mendapat nilai tinggi untuk mata pelajaran Matematika (output) maka diharapkan dia dapat melakukan mempunyai daya nalar yang logis dalam menghadapi permasalahan baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai seorang profesional dalam suatu bidang pekerjaaan tertentu (outcome). Sebagaimana diketengahkan pada pembahasan peran pendidikan di atas tentang peran pendidikan sebagai sarana untuk mendukung terhadap pencapaian program-program pada sektor publik lainnya seperti ekonomi, sosial, dan politik, maka kriteria accountability diarahkan untuk merealisasikan outcome. Dalam konteks ini ada dua tingkatan outcome yang diajukan. Pada tingkat pertama outcome merupakan perubahan pada individu disebut sebagai pedagogical outcome, dan pada tingkat kedua adalah perubahan pola berpikir dan perilaku dapat mendorong terhadap perubahan ekonomi, sosial, politik ke arah yang positif. Outcome pada tingkat dua ini disebut dengan educational outcome. Disebut demikian karena outcome pendidikan sebagai bagian dari sektor publik memberikan sumbangan positif kepada perkembangan sektor publik lainnya. Secara figuratif, hal tersebut diilustrasikan pada gambar brikut.
Gambar: Sumbangan pendidikan untuk sektor publik Intervensi
Hasil
Peningkatan: Akses
Outputs
Pedagogical outcomes
Educational outcomes
Mutu Relevansi
11
PENUTUP Pertanggungjawaban pelaksanaan program-program pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses manajemen dari perencanaan, strategi implementasi sampai dengan penentuan keberhasilan pendidikan. Pertanggungjawaban pelaksanaan program pendidikan tidak hanya mempunyai dimensi manajerial karena dikelola oleh organisasi publik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga mempunyai dimensi moral. Sasaran progam pendidikan adalah peserta didik yang mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak di masa depannya. Pendidikan memegang peran kunci untuk menghantarkan setiap peserta didik ke masa depan yang lebih baik dari orang tua mereka. Secara psikologis efektivitas implementasi program-program pendidikan tidak hanya ketepatan dalam mengalokasi sarana dan prasarana pendidikan, tetapi dalam memberikan layanan pendidikan kepada setiap peserta didik sesuai dengan minat dan bakat. Setiap filosofi dan kebijakan pendidikan hanya mempunyai jastifikasi yang benar jika diarahkan untuk memfasilitasi dan mengembangkan minat dan bakat peserta didik secara non diskriminatif.
PUSTAKA ACUAN Alexander, K. (1982). Concept of equity. Dalam Walter W. McMahon dan Terry G. Geske (Editor). Financing education: Overcoming inefficiency and equity. Halaaman. 193 – 214). Urbana: University of Illinois Press. Benson, C.S. (1982). Household production of human capital: time use of parents and children as inputs. Dalam Walter W. McMahon dan Terry G. Geske (Editor). Financing education: Overcoming inefficiency and equity. Halaman. 57-69. Urbana: University of Illinois Press. Dewey, J. (2004). Democracy and education. Mineola, New York: Dover Publication. Inc. Dwiyanto, A. (2011). (edisi kedua). Manajemen pelayanan publik: peduli, inklusif, dan kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hanushek, E. A; Raymond, M. E. (2001). The confusing world of educational accountability. National Tax Journal; Jun 2001; 54, 2. Halaman. 365-384. Petters, M.A. (2010). Creativity, openess, and the global knowledge economy: The advent of user-generated cultures. Economic, Management and Financial Markets. Vol. 5 (3). Hal. 15-36. Powell, W. W dan Snellman. K (2004). The knowledge economy. Annual Review of Sociology. 30. Hal. 199-220. Schultz, T.W. (1977). Investment in human capital. Dalam Jerome Karabel dan A.H. Halsey (editor). Power and ideology in education. New York: Oxford University Press.
12
Superfine, B.M. (2005). The Politics of Accountability: The Rise and Fall of Goals 2000 American Journal of Education; Nov 2005; 112, 1. Hal. 10 – 43. United Nations (2005). Understanding Knowledge Societies: In twenty questions and answers with the Index of Knowledge Societies. New York: United Nations Publication. Windham, D.M. (1989). Indicators of educational effectiveness and efficiency. Tallahasse, Florida State University. _________ (2 Maret 2012). DPR Kecam uji kompetensi guru. Media Indonesia. Halaman 23.
13