PENGEMBANGAN MODEL PELAKSANAAN OTONOMI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH THE DEVELOPMENT OF EDUCATION AUTONOMY MODEL OF PRIMARY AND SECONDARI EDUCATION Kasidjo Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengembangkan model otonomi pendidikan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Hal-hal yang menjadi fokus penelitian yaitu: 1) kebijakan, 2) pembiayaan, 3) kurikulum, 4) sarana dan prasarana, 5) pendidik dan tenaga kependidikan, 6) pengendalian mutu pendidikan. Prototype model yang dirancang yaitu model desentralisasi asimetris, model desentralisasi parsial, dan model desntralisasi provinsi. Ujicoba model dilaksanakan di empat provinsi: Provinsi Bengkulu; Jawa Barat; Jawa Timur; dan Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Model desentralisasi asimetris merupakan model desentralisasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah juga perlu dipertimbangkan untuk beberapa komponen otonomi pendidikan; 2) Otonomi pendidikan model desentralisasi parsial secara umum dari uji model di empat daerah diperoleh ada perimbangan dan pembagian kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Model ini dinilai lebih sesuai dan aplikatif di Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3) Otonomi pendidikan model desentralisasi provinsi secara umum tidak bisa dilaksanakan untuk seluruh komponen kewenangan dan urusan pendidikan dasar dan menengah, hasil uji model menunjukkan bahwa hanya komponen-komponen tertenu saja yang mendapat respon untuk didesentralisasikan ke tingkat provinsi; dan 4) Model yang dipandang relatif lebih tepat diterapkan dalam otonomi pendidikan dasar dan menengah adalah otonomi parsial, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Kata kunci: pengembangan model, dan otonomi pendidikan ABSTRACT This study method uses Research and Development. This research aims to develop a model of educational autonomy in the management and implementation of primary and secondary education. The aspects which become the foci of the research are as follows: (1) policy, (2) financing, (3) curriculum, (4) facilities and infrastructure, (5) educators and educational personnel, and (6) quality control of education. Prototype models designed in this study are asymmetric decentralization model, partial
1
decentralization model, and decentralization province model. Trial model is implemented in four provinces: Bengkulu, West Java, East Java, and Bali. The following are the results of the study: 1) Asymmetric decentralization model is a model of decentralization adapted from local conditions. Needs should also be considered to some education autonomy components; 2) Partial decentralized model of education autonomy in general from the test model obtained in the four regions found out that there is a balance and division of authority in managing and providing education between central, provincial and regency / city. This model is considered more appropriate and applicable in Indonesia which is in the form of Republic; 3) Provincial decentralization model of education autonomy in the management and implementation of primary and secondary education, in general cannot be implemented for all components of authority in primary and secondary education. The test results indicate that the respondents support only certain components to be decentralized to the provincial level; and 4) Model which is relatively considered more appropriately applied in the primary and secondary education autonomy is partial autonomy, to be adapted to the local conditions and needs. Key words: development,and education autonomy model
PENDAHULUAN Latar Belakang Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang melahirkan otonomi pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh kekurangsiapan pranata sosial, politik, dan ekonomi. Persoalan otonomi pendidikan terlihat, baik pada tingkat peraturan-peraturan (perundangan dan peraturan pemerintah lainnya) dan pelaksanaannya. Peraturan perundangan dan peraturan pemerintah menunjukkan ada masalah ketidakjelasan, tumpang tindih, dan kurang sinkron dalam kaitannya dengan urusan kewenangan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah yang saat ini diberikan tekanan yang lebih
besar
daerah
Kabupaten/Kota.
Dalam
bidang
pendidikan
jabaran
operasionalisasi otonomi daerah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pusat dan Daerah. Namun demikian, sebelum berlakunya undang-undang pemerintahan daerah telah 2
terlebih dahulu terbit Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijabarkan dengan Peraturan Pemeritah Nomor 17 tahun 2010
tentang
Pengelolaan
dan
Penyelenggaraan
Pendidikan.
Kondisi
ini
menyebabkan terjadinya ketidaksinkronan beberapa urusan pendidikan yang mengacu kepada kedua undang-undang tersebut. Dalam pelaksanaan otonomi juga sering timbul politisasi sekolah gratis dalam Pemilu Kada. Politisasi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menganggap partisipasi mereka dalam pembiayaan pendidikan sudah tidak diperlukan lagi. Padahal, sesungguhnya sekolah gratis tidak realistik ketika dihubungkan dengan kemampuan keuangan daerah dan pusat yang belum mampu menanggung semua biaya pendidikan. Pembagian kewenangan dan urusan dalam pengelolaan sub-sub bidang pendidikan juga belum cukup jelas dalam pelaksanaannya. Selama ini pendidikan dasar/menengah secara umum dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Kondisi demikian,
memerlukan kejelasan dalam penataan otonomi daerah di bidang
pendidikan. Faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu: 1) belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota; 2) pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai; 3) dana pendidikan dan APBD belum memadai; 4) kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan; 5) otoritas pimpinan dalam hal ini bupati, walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama; dan 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana, dan dana yang dimiliki. Bertolak dari potret adanya deviasi pelaksanaan otonomi pendidikan, maka diperlukan suatu model yang memungkinan dapat diterapkan di berbagai daerah di
3
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan segala kekayaan budaya dan suku bangsanya, maka studi tentang model pelaksanaan otonomi pendidikan menjadi sangat urgen dan mendesak dilakukan. Model yang dimaksud adalah model asimetris, parsial dan provinsi. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan dalam kajian ini sebagai berikut: 1) Bagaimana otonomi pendidikan model desentralisasi asimetris dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah?; 2) Bagaimana otonomi
pendidikan
model
desentralisasi
parsial
dalam
pengelolaan
dan
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah?; 3) Bagaimana otonomi pendidikan model desentralisasi provinsi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah?; dan 4) Bagaimana kecenderungan model otonomi pendididikan dasar dan menengah yang tepat diterapkan di Indonesia? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi hasil pengujian dan kecenderungan pilihan model otonomi pendidikan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang mencakup: 1) otonomi pendidikan model desentralisasi asimetris dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah; 2) otonomi pendidikan model desentralisasi parsial dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah;
3)
otonomi pendidikan model desentralisasi provinsi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, dan 4) kecenderungan model desentralisasi pendididikan dasar dan menengah yang tepat diterapkan di Indonesia.
KAJIAN PUSTAKA Otonomi Pendidikan Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 38 tahun 2007 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Urusan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota
4
sangat besar. Otonomi daerah bidang pendidikan juga ditujukan bagi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terdepan dan dikontrol oleh stakeholders pendidikan (orang tua, tokoh masyarakat, dunia usaha dan industri, Dewan Perwakilan Rakyat, serta LSM pendidikan). Sebagai Konsekuensi kebijakan ini, pelaksanaan konsepesi school-based Management (Manajemen berbasis sekolah) dan community-based education (pendidikan berbasis masyarakat) merupakan suatu keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi daerah (Sidi,2000). Model Desentralisasi dalam Otonomi Pendidikan Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan (Halim, 2001:15). Abbas (2011) mengemukakan bahwa dalam menyeimbangkan sistem desentralisasi terdapat empat dimensi pendidikan yang harus diperhatikan, yakni: Availability, Acceptability, Adaptability, Accessibility Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi juga harus menyentuh pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah dalam menentukan kebijakan-kebijakan: organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan sekolah (Alisyahbana, 2000). Pelaksanaan Otonomi Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003). Selanjutnya prinsip penyelenggaraan pendidikan tercantum dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
5
berkeadilan seerta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan keamjemukan bangsa; 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna; 3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; 4) Pendidikan diselenggarakan
dengan
memberi
keteladanan,
membangun
kemauan,
dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan 6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Sebagaimana disebutkan pada pasal 16 bahwa jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Upaya menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan amanat UUD 1945 masih menghadapi banyak masalah, di antaranya adalah masalah pemerataan dan masalah kualitas. Supriadi (1999) menyatakan bahwa dengan diberlakukannya otonomi pendidikan, setiap sekolah memiliki keleluasaan dalam mengatur proses pendidikan dan juga memiliki otoritas penuh untuk mengoptimalkan SDM yang ada.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and Development). Model penelitian dan pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari Borg dan Gall (2003). Namun dengan adanya beberapa keterbatasan dalam melakukan penelitian, dan diluar kewenangan peneliti yang diantaranya adalah waktu, maka penelitian ini dihentikan pada langkah ketujuh. Untuk langkah ke-8, 9, dan 10 dari R & D Cycle Borg dan Gall, merupakan
6
penelitian lanjutan yang berujung pada penerapan dan diseminasi dalam skala luas (nasional). Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data pada penelitian ini meliputi kuesioner, dan panduan Focus Group Discussion (FGD). Kuesioner digunakan untuk data masukan tentang: 1) kebijakan otonomi pendidikan, 2) pembiayaan pendidikan, 3) kurikulum, 4) sarana dan prasarana, 5) pendidik dan tenaga kependidikan, dan (6) pengendalian mutu pendidikan. FGD dilakukan untuk menindaklanjuti hasil kuesioner, yang difokuskan pada pilihan responden terhadap model otonomi pendidikan, yaitu: (1) model desentralisasi secara asimetris, (2) desentralisasi secara parsial terpusat, dan (3) desentralisasi ke tingkat provinsi. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian ini yaitu persepsi responden dan hasil FGD. Responden yang memberikan persepsi tentang model otonomi pendidikan meliputi tenaga dinas dan dewan pendidikan tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, kepala sekolah, komite sekolah, guru, Badan Kepegawaian Daerah,
LSM
Pendidikan dan perguruan tinggi. Informan yang mengikuti FGD tentang model otonomi pendidikan meliputi tenaga dinas dan dewan pendidikan tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, kepala sekolah, komite sekolah, guru, Badan Kepegawaian Daerah, LSM pendidikan dan perguruan tinggi. Validitas dan Reliabilitas Data Validitas data dalam penelitian ini dicapai dengan menggunakan strategi multimetode, seperti yang sebutkan oleh Sukmadinata (2009). Multimetode tersebut antara lain dengan partisipan observasi, studi dokumenter, dan triangulasi data. Reliabilitas data dilakukan melalui triangulasi yang berupa diskusi terfokus dengan informan. Untuk validitas dan reliabilitas instrumen yang berupa kuesioner digunakan penilaian pakar (expert judgement). Uji validitas pedoman FGD dan wawancara dilalukan dengan pemeriksaan keabsahan data melalui kriteria derajat
7
kepercayaan dengan teknik triangulasi. Uji reliabilitas dengan kriteria derajat kebergantungan dengan teknik audit kebergantungan. Hasil penilaian pakar diperoleh bahwa instrumen telah dinyatakan valid dilihat diri content dan construct. Teknik Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti logika pendekatan kualitatif, yaitu melalui pengumpulan data yang bersifat kualitatif untuk disajikan dan diadakan reduksi data yang selanjutnya diambil kesimpulan. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaksi, yaitu menghubungkan antara kategori dengan subkategori untuk kemudian dicari polapolanya. Adapun langkah langkah yang digunakan dalam analisis ini adalah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data Miles & Hubermen (1984)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGEMBANGAN MODEL Model otonomi pendidikan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan dalam penelitian ini, dirancang dengan menggunakan tiga prototipe model, yakni: 1) model desentralisasi asimetris, 2) model desentralisasi parsial, dan 3) model desentralisasi provinsi. Urusan dan kewenangan terkait model otonomi pendidikan meliputi: kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, dan penjaminan mutu. Berikut ini disajikan prototipe masing-masing model. Model Desentralisasi Asimetris Model desentralisasi asimetris merupakan model desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Provinsi. Artinya, tiap-tiap Provinsi dalam menerjemahkan dan menjabarkan urusan dan kewenangan yang diberikan oleh pusat maupun provinsi akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik Provinsi tersebut (bisa berlatar sosial budaya, kemampuan Provinsi, dll.).
8
Model Desentralisasi Parsial Model desentralisasi parsial merupakan model desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang menganut asas perimbangan dan pembagian urusan dan kewenangan antara pusat, provinsi, maupun Provinsi. Model ini seperti model desentralisasi asimetris tetapi pada tataran kab/kota (Provinsi) diperlakukan sama tanpa adanya perbedaan. Model Desentralisasi Provinsi Model desentralisasi provinsi merupakan model desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang berpusat pada provinsi. Artinya, urusan dan kewenangan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan diberikan pada pihak provinsi. Kabupaten/kota yang berada di bawah koordinasinya harus patuh dan mengikuti pihak provinsi.
UJI MODEL Uji model dilakukan di empat Provinsi yaitu di Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Model yang diuji meliputi model desentralisasi asimetris, model desentralisasi parsial, dan model desentralisasi provinsi. Model Desentralisasi Asimetris Hasil tanggapan responden dijadikan dasar untuk penentuan simetris dan asimetris dengan membandingkan persentase pilihan tertinggi pada tingkatan pemerintahan. Persentase yang digunakan adalah responden yang hanya memilih pada satu tingkat pemerintahan. Desentralisasi dinilai simestris (S) jika komponen otonomi pendidikan direspon sama di empat provinsi dengan persentase tertinggi, sedangkan dinilai Asimestris (A), jika komponen otonomi pendidikan direspon tidak sama di empat provinsi dengan persentase tertinggi. Kebijakan Jumlah komponen kebijakan yang simetris (S) sebanyak 33 komponen dan yang asimetris (A) sebanyak 2 komponen.
9
Dari 35 urusan dan kewenangan kebijakan yang diajukan direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang beragam (asimetris) sebanyak 2 urusan dan kewenangan atau sebanyak 5,7%. Pernyataan responden terhadap kebijakan otonomi pendidikan dipengaruhi oleh kondisi Provinsi subjek penelitian. Keragaman (asimetris) dalam kebijakan meliputi: 1) Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional. Dalam aspek kebijakan, secara umum dapat dikatakan cenderung simetris. Namun demikian, masih dijumpai komponen yang asimetris yaitu pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Pada komponen ini terjadi bentuk asimetris karena terkait dengan penafsiran di setiap Provinsi. Masing-masing Provinsi memiliki karakteristik dan kebutuhan kebijakan dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Pemantauan dan evaluasi pada satuan pendidikan menjadi persoalan yang cukup krusial sebab terkait dengan komitmen Provinsi; 2) Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional. Pada komponen pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional juga berpola asimetris. Bentuk ini menunjukkan bahwa di Provinsi, persoalan pemantauan dalam pelaksanaannya sangat tergantung penguasaan atau pemahaman penentu kebijakan di Provinsi tersebut. Pembiayaan Model desentralisasi asimetris komponen pembiayaan hasil uji coba diperoleh jumlah yang simetris (S) sebanyak 6 komponen dan yang asimetris (A) sebanyak 2 komponen. Dari delapan urusan dan kewenangan pembiayaan yang diajukan direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang beragam (asimetris) sebanyak 2 urusan dan kewenangan atau sebanyak 25%. Urusan dan kewenangan pembiayaan tersebut meliputi: 1)penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional
sesuai
kewenangannya;
dan
2)
penyediaan
bantuan
biaya
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
10
Kurikulum Model desentralisasi asimetris komponen kurikulum diperoleh jumlah yang simetris (S) sebanyak 7 urusan dan kewenangan serta yang asimetris (A) sebanyak 5 urusan dan kewenangan. Dari 12 urusan dan kewenangan kurikulum yang diajukan, direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang beragam (asimetris) sebanyak 5 urusan dan kewenangan atau sebanyak 41,7%. Kelima komponen kurikulum yang direspon asimetris yaitu sebagai berikut: 1) Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; 2) Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya; 3) Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah; 4) Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar; dan 5) Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. Pada Komponen kurikulum yang direspon sama (simetris) terpusat yaitu penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah, dan koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. Adapun komponen kurikulum yang direspon simetris terpusat ke kabupaten/kota yaitu pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. Sarana dan Prasarana Model desentralisasi asimetris komponen sarana dan prasarana diperoleh jumlah yang simetris (S) sebanyak tujuh urusan dan kewenangan serta yang asimetris (A) tidak ada urusan dan kewenangannya.
11
Dari 7 urusan dan kewenangan sarana dan prasarana yang diajukan, direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang simetris. Tidak ada satupun urusan dan kewenangan yang direspon asimetris. Kewenangan dalam komponen sarana dan prasarana direspon simetris dengan rincian sebagai berikut: 1) Kewenangan di Pusat, kewenangan dalam komponen sarana dan prasarana yang berada di pusat yaitu kewenangan yang terkait dengan monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan. Selain itu, pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran juga di pusat. Pusat lah yang menentukan ketiga kebijakan tersebut supaya tidak ada tumpang-tindih karena menjadi dasar/ pedoman pelaksanaan di Provinsi; 2) Kewenangan di Provinsi, kewenangan terkait sarana dan prasarana yang ada di tingkat provinsi meliputi: 1) pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah; dan 2) pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah; 3) Kewenangan di Kabupaten/Kota, adapun kewenangan terkait sarana dan prasarana pendidikan yang ada di tingkat kabupaten/kota yaitu pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal serta pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Model desentralisasi asimetris komponen pendidik dan tenaga kependidikan diperoleh jumlah yang simetris (S) sebanyak 18 komponen dan yang asimetris (A) sebanyak 1 komponen. Dari 19 urusan dan kewenangan pendidik dan tenaga kependidikan yang diajukan, direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang bersifat asimetris hanya satu komponen urusan dan kewenangan atau sebanyak 5,3%. Pengendalian Mutu Pendidikan Model desentralisasi asimetris komponen pengendalian mutu pendidikan
12
Jumlah komponen penilaian hasil belajar yang simetris (S) sebanyak 9 komponen dan yang asimetris (A) sebanyak 1 komponen. Dari 10 urusan dan kewenangan penilaian hasil belajar yang diajukan, direspon oleh respoden pada beberapa provinsi yang beragam (asimetris) hanya satu komponen urusan dan kewenangan atau sebanyak 10%. Komponen penilaian hasil belajar yang direspon asimetris terkait bantuan pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. Urusan ini ada yang merespon di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga ada yang merespon hanya di tingkat kabupaten/kota saja. Adapun semua pokok urusan dan kewenangan evaluasi, akreditasi, dan penjaminan mutu bersifat simetris. Model Parsial Otonomi pendidikan model desentralisasi parsial dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah secara umum dari uji model di empat daerah diperoleh ada perimbangan dan pembagian kewenangan dalam pengelolaan
dan penyelenggaraan pendidikan antara
pusat,
provinsi, dan
kabupaten/kota. Hal ini berarti bahwa ada pembagian kewenangan sesuai kemampuan masing-masing tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat pusat, provinsi, tingkat kabupaten kota. Model ini dinilai lebih sesuai dan aplikatif di Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ada beberapa komponen yang dinilai kewenangannya terpusat pada satu tingkat pemerintahan, yaitu: 1) komponen kebijakan meliputi: a) penetapan kebijakan nasional pendidikan, dan b) pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional; 2) komponen pembiayaan meliputi: a) penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal, dan b) Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya; dan 3) komponen pengendalian mutu terdiri atas: a) akreditasi meliputi: (i) penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal dan (ii) membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah; dan (b) penjaminan mutu meliputi: (i) penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan, (ii) supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan 13
penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan, (iii) supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu, (iv) evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional, dan (v) evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. Model Provinsi Otonomi pendidikan model desentralisasi provinsi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, secara umum tidak bisa dilaksanakan untuk seluruh komponen kewenangan dan urusan pendidikan dasar dan menengah, hasil uji model menunjukkan bahwa hanya komponen-komponen tertenu saja yang mendapat respon untuk didesentralisasikan ke tingkat provinsi., yang diantaranya: 1) Komponen kebijakan: a) Penetapan Kebijakan Operasional di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional; b) Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota, c) sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi; d) koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah; (e) penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; f) Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi; dan g) peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi; 2) Komponen pembiayaan: a) Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya, dan b) pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya; 3) Komponen kurikulum: a) Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar; b) Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; c) Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar; d) sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah; dan e) pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan
14
menengah; 4) Komponen sarana: a) Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah dan b) pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah; 5) Komponen pendidik dan tenaga kependidikan: (a) Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya; b) Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional; c) Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota; d) Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional; e) pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional; f) pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan
bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan
perundang-undangan; dan g) pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah; 6) Komponen Penjaminan Mutu: a) Penilaian: Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi, dan penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi; b) Komponen evaluasi:
Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi, dan pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi; c) Komponen akreditasi yaitu membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah; dan d) Komponen penjaminan mutu adalah evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi. Kecenderungan Model Otonomi Pendidikan yang sesuai untuk Kondisi di Indonesia Dari data hasil ujicoba model di atas di atas dapat dilihat bahwa kebijakan otonomi daerah yang diikuti dengan otonomi pendidikan merupakan salah satu bagian untuk memeratakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan otonomi daerah tersebut mengharuskan adanya reorientasi dan perbaikan sistem manajemen penyelenggaraan pendidikan.
15
Dari ketiga model otonomi di atas model otonomi asimetris, model otonomi parsial, dan model otonomi tingkat provinsi secara umum mendapat respon positif oleh responden. Model yang lebih mendapat dukungan adalah model otonomi parsial, yang memungkinkan pembagian kewenangan dan urusan terdistribusi kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Model desentralisasi asimetris yang merupakan model desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah juga perlu dipertimbangkan untuk beberapa komponen otonomi pendidikan; 2) Otonomi pendidikan model desentralisasi parsial dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah secara umum dari uji model di empat daerah diperoleh ada perimbangan dan pembagian kewenangan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Otonomi pendidikan model desentralisasi provinsi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, secara umum tidak bisa dilaksanakan untuk seluruh komponen kewenangan dan urusan pendidikan dasar dan menengah, hasil uji model menunjukkan bahwa hanya komponenkomponen tertenu saja yang mendapat respon untuk didesentralisasikan ke tingkat provinsi; 4) Model yang dipandang relatif lebih tepat diterapkan dalam otonomi pendidikan dasar dan menengah adalah otonomi parsial, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
daerah.
Artinya,
tiap-tiap
daerah
dalam
menerjemahkan dan menjabarkan urusan dan kewenangan yang diberikan oleh pusat maupun provinsi akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik daerah. Karakteristik tersebut, dapat berupa latar sosial budaya, kemampuan daerah, dll. Berdasarkan simpulan, disarankan agar: 1) Model otonomi pendidikan yang lebih sesuai diterapkan adalah Model desentralisasi parsial yang disempurnakan dengan asimetris pada beberapa hal
16
diantaranya adalah komponen pembiayaan dan komponen pendidik dan tenaga kependidikan, yang disesuaikan dengan keberagaman kondisi wilayah; 2) Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional serta sertifikasi pendidik kewenangannya di pusat, sedangkan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya berada di tingkat kabupaten/kota; 3) Kewenangan pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan akan lebih diharapkan diberikan pada tingkat pusat; 4) Diperlukan adan regulasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan sehingga sinergis antara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten kota; dan 5) Kewenangan pengelolanaan komponen kurikulum lebih sesuai jika dikelola pada tingkat provinsi.
PUSTAKA ACUAN Abbas, Hafid. 2011. “Menyeimbangkan Sistem Desentralisasi dan Sentralisasi Pendidikan” disampaikan dalam Lokakarya Desentralisasi Pendidikan: Problematik, Prospek, dan Tantangan di Masa Depan. Bogor. Alisjahbana, Armida S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung: Unpad. Borg, W.R. and Gall, M.D. 2003. Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc. Badan Pusat Statistik, Jawa Tengah Dalam Angka 2002. Dewanto, Ph. 1996. “Peranan Penelitian dalam Meningkatkan Sumberdaya Manusia Untuk Mengantisipasi Indonesia Pasca 2020”. Pidato Ilmiah. Disampaikan dalam rangka Dies Natalis XXXI IKIP Semarang 30 Maret 1996. Halim, Abdul. 2001. “Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UPP-AMP YKPN. Miles, Matthew B. & A. Michael Hubermen. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. Sidi, Indra Djati, 2000. Sekolah Sebagai Pemegang Otonomi Pengelolaan Pendidikan. Sidi, Indra Djati. 2001. “Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan”. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3, No. 1/200.1 Sukmadinata, 2009. “Metode Penelitian Pendidikan”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
17
Supriadi, 1999. “Mengangkat Citra dan Martabat Guru”. Yogyakarta: Aditia Karya Nusa. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Cyan Publisher, 2010. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2006 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 22004 tentang Pemerintahan Daerah, Pustaka Pergaulan, 2006
18