Rentenir, Iklan Yerussalem, Zakat Perniagaan & Buku Keterampilan UANG HASIL RENTENIR, IKLAN ZIARAH KE YERUSSALEM, ZAKAT PERNIAGAAN, DAN BUKU RIAS PENGANTIN Pertanyaan Dari: Hajinah Idham, Depok, Jawa Barat (disidangkan pada hari Jum’at, 28 Muharram 1433 H / 23 Desember 2011 M) Pertanyaan: Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Saya adalah pimpinan penerbitan buku keterampilan. Untuk mendapatkan tambahan dana penerbitan, saya memberikan kesempatan kepada para pengusaha yang terkait dengan judul buku, memasang iklan usahanya. Salah seorang dari pemasang iklan dalam salah satu buku yang akan saya terbitkan, ternyata adalah seorang pimpinan LPK yang juga menjadi rentenir. Pertanyaan saya: 1. Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku saya? 2. Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama kresten) Selama saya berusaha, saya telah membayar zakat secara mencicil setiap bulan melalui lembaga amil zakat, tetapi dengan perhitungan 2.5% x pendapatan rata-rata pertahun dibagi dua belas bulan. Pertanyaan saya: 3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku? Ada yang mengatakan bahwa zakat perniagaan itu “tidak ada dalam hukum Islam”. Benarkah ? Jika ada, pertanyaan saya: apakah waktu nisab dihitung dari pendapatan setiap buku atau dari pendapatan setahun, karena waktu terbit buku tidak sama? Dari mana jumlah zakat diperhitungkan; dari omzet atau laba? Masa habisnya buku rata-rata tiga tahun. Perlu saya informasikan bahwa untuk mencetak buku, saya terpaksa berhutang kepada pencetak dan membayarnya secara bertahap. 4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara adat termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya pekerjaan saya ini? Halal atau haram? Saya sangat mengharapkan jawaban pertanyaan di atas, agar apa yang sedang saya lakukan mendapat ridha-Nya. Terima kasih. Jawaban: Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Hajinah Idham yang telah menyampaikan pertanyaannya kepada kami. Berikut ini kami jawab pertanyaan Ibu berdasarkan urutannya: 1.
Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku saya? Sebelum bicara tentang aspek hukumnya, sebaiknya perlu difahami pengertian riba sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’, antara lain; Riba menurut al-Jurjani ialah; “kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad”. Sedangkan Syekh Muhammad Abduh mendefinisikannya; “penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan”. Riba merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam sebagaimana dijelaskan dalam ayat dan hadis Nabi saw., antara lain:
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang kepadanya peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti (melakukan riba) maka baginya apa-apa yang telah lalu dan urusannya kembali kepada Allah, dan barangsiapa yang kembali (melakukannya) maka mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 275]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisasisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” [QS. al-Baqarah (2): 278]
Bahkan dalam beberapa hadis sahih dijelaskan, bahwa orang yang terlibat dalam aktifitas ribawi baik sebagai pelaku, saksi, pencatat, pemakan riba dan lainnya termasuk pihak yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang binasa; Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata; Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya, orang yang mencatatnya, dua orang saksinya, dan ia bersabda mereka sama saja.” [HR. Muslim]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah, ia berkata; orang yang memakan riba, wakilnya, pencatatnya apabila mereka mengetahui hal tersebut … mereka dilaknat atas (oleh) lisan Muhammad saw. pada hari kiamat.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan jama’ah]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jauhilah oleh kamu sekalian tujuh perkara yang membinasakan, ditanyakan oleh para sahabat; wahai Rasulullah, apa saja tujuh perkara tersebut? Rasulullah bersabda: Syirik kepada Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali karena alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita baik-baik yang (sedang) lalai lagi beriman melakukan zina.” [HR. al-Bukhari dan Muslim] Ayat-ayat dan hadis-hadis di atas memberikan informasi dan penjelasan yang sangat tegas tentang keharaman riba beserta dampak negatif yang akan ditimbulkannya. Keharaman riba, tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang yang memakan hasil riba jika mereka mengetahui sesuatu yang dimakannya tersebut bersumber dari riba, wakilnya, pencatat dan orang yang menjadi saksinya. Sedangkan dampak negatif yang akan didapatkan oleh orang yang terlibat dalam persoalan riba antara lain; berupa kesengsaraan di akhirat kelak, dilaknat, dan termasuk salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan. Dengan demikian, jika Ibu yakin bahwa dana yang digunakan tersebut didapatkan dari hasil riba karena diperkuat oleh pengakuan, barang bukti yang Ibu miliki, atau mungkin sesuatu yang diiklankan tersebut terkait dengan usaha riba yang dijalankannya, maka tentu ibu termasuk orang yang terlibat dalam aktifitas riba dengan segala konsekuensinya. Karena mengiklankannya termasuk kategori membantu kesuksesan aktifitas riba yang dijalankannya. Hal ini selaras dengan kaidah fikih yang berbunyi: Artinya: “Wasilah (perantara/fasilitator) sama hukumnya dengan sesuatu yang dimaksudkan (dituju).” Namun jika sesuatu yang diiklankan tidak ada kaitannya dengan aktifitas riba yang dijalankan, maka tentu Ibu tidak termasuk membantu atau sebagai fasilitator aktifitas riba yang dijalankannya, serta tidak mendapatkan dampak hukum dari keharamannya. Oleh sebab itu, ibu tidak semestinya berasumsi atau menerka-nerka bahwa harta orang tersebut didapatkan dari sumber riba kecuali jika ada bukti yang jelas. Sebab boleh jadi orang tersebut mendapatkan penghasilan dari sumber lain yang halal. Menerka-nerka persoalan hukum yang tidak jelas buktinya termasuk su’uzh-zhan (berburuk sangka) yang dapat melahirkan sikap saling tidak percaya, saling mencurigai, menyakiti perasaan orang lain, dan bahkan dapat menyulitkan diri sendiri. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Ma’idah 5: 101 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (banyak) bertanya tentang segala sesuatu, (yang mengakibatkan) jika hal tersebut dijelaskan kepadamu niscaya akan menyulitkan kamu sekalian…” [QS. al-Ma’idah (5): 101] Di sisi lain, sesungguhnya Islam telah memberikan solusi untuk menyucikan harta seorang muslim dari kemungkinan adanya unsur-unsur keharaman yang tidak diketahui dan disadarinya dengan cara berzakat. Dengan demikian, hendaknya Ibu mensucikan penghasilan dengan cara berzakat dan banyak berinfak atau sadaqah. Namun jika Ibu masih tetap merasa tidak nyaman dan ingin berhati-hati (ikhtiyath), karena kuatir penghasilan yang ibu dapatkan terkontaminasi (terkotori) oleh sumber-sumber yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), serta menolak memasang iklan yang diberikan oleh seorang rentenir, maka sebaiknya ibu mencari solusi terbaik sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain, dan dalam rangka menjaga hubungan yang harmonis dengan pihak lain. 2.
Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama Kristen) Tidak dapat dipungkiri bahwa Yerusalem (Palestina) diyakini sebagai kota suci bagi tiga penganut agama besar di dunia (Islam, Yahudi dan Nasrani). Karena secara historis, kota ini memiliki kaitan sejarah dengan para nabi yang membawa ketiga agama besar tersebut. Sekalipun dalam perjalanannya telah terjadi penyimpangan dalam ajaran Yahudi dan Nasrani dari ajaran tauhid yang dibawa oleh para Nabinya. Namun di sisi lain, Islam tidak menutup pintu untuk berinteraksi dan melakukan transaksi mu’amalah dengan orang Yahudi, Nasrani maupun penganut ajaran agama lainnya, asalkan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagaimana halnya dengan Rasulullah saw yang melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya dengan orang Yahudi dan Nasrani pada saat itu. Ziarah ke Yerusalem (Palestina) atau ke tempat lainnya dalam rangka siyahah (rekreasi) termasuk persoalan muamalah dan hukumnya boleh (mubah). Adapun segala perbuatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pada saat melakukan rekreasi ditanggung oleh orang yang melakukannya. Jika selama berada di Yerusalem, mereka (orang Nasrani) melakukan kesyirikankesyirikan, maka mereka sendiri yang menanggung akibat hukumnya. Sebab kita tidak bisa menjamin bahwa segala hal yang dilakukan oleh seseorang itu sesuai dengan yang kita inginkan. Contoh lain; jika kita menyediakan jasa travel pariwisata, maka hukumnya mubah (boleh). Dan jika ternyata di tempat wisata tersebut mereka melakukan perbuatan dosa dan kesyirikan, maka dosanya ditanggung oleh mereka yang melakukannya, serta tidak mengubah hukum kebolehan jasa travel yang kita sediakan. Oleh sebab itu, dalam persoalan muamalah berlaku kaidah fikih yang berbunyi: Artinya: “Pada dasarnya (hukum) segala sesuatu (muamalah) itu adalah mubah, kecuali ada bukti yang menunjukkan keharamannya.”
Namun yang patut menjadi catatan penting bagi umat Islam adalah terkait dengan eksistensi negara Yahudi (Israel) saat ini. Bagi umat Islam, Israel merupakan negara penjajah yang banyak mencaplok tanah dan hak-hak negara (rakyat) Palestina. Bahkan untuk menjaga hegemoninya, Israel tidak segan-segan melakukan berbagai usaha keji dan tidak berperikemanusiaan, seperti membunuh secara kejam rakyak Palestina bahkan anak-anak sekalipun. Sehingga secara politis, berkunjung atau memfasilitasi kunjungan ke negara tersebut dapat saja diartikan sebagai bentuk dukungan moril dan finansial, karena dapat memberikan devisa bagi negara penjajah tersebut. Oleh sebab itu, sepatutnya bagi umat Islam untuk tidak memberikan bantuan (keuntungan) kepada negara penjajah baik secara langsung ataupun tidak langsung. Perlu diketahui pula, bahwa sampai saat ini negara kita, Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena perilaku negara itu bertentangan dengan Undangundang Dasar negara kita. 3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku? Sebelum menjawab pertanyaan tentang cara yang benar menghitung zakat perniagaan, dan beberapa persoalan terkait, di sini perlu ditegaskan bahwa; pendapat yang menyatakan zakat perniagaan (tijarah) dalam Islam itu tidak ada, merupakan pendapat yang salah dan sangat keliru. Di dalam al-Qur’an secara tegas dijelaskan tentang harta yang wajib dizakati, antara lain: QS. al-Baqarah (2): 267: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [QS. al-Baqarah (2): 267] Kalimat yang berbunyi; ”Min Thayyibaat Maa Kasabtum”, (dari semua usaha yang baik), pengertiannya meliputi seluruh penghasilan yang bersumber dari usaha yang halal seperti pertanian, perdagangan, maupun perniagaan halal lainnya seperti percetakan buku maupun penerbitan koran/majalah dan sebagainya. Dengan demikian, jenis zakat dari usaha yang Ibu jalankan termasuk ke dalam zakat tijarah (zakat perniagaan atau perdagangan). Adapun teknis perhitungan dan pembayarannya pernah dibahas dalam jawaban-jawaban fatwa sebelumnya sekalipun bebeda dari aspek objek perniagaannya. Dalam zakat perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan adalah jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab (seharga 85 gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu dalam menghitung harga barang dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan menghitung satu per satu jenis barang, melainkan dengan menghitung dalam satu tahun seluruh modal yang berupa barang dagangan itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun berupa piutang seperti tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan di atas (perhitungan bersih/netto: setelah melunasi biaya operasional dan hutang-piutang), jika telah mencapai nishab maka harus dikelurkan zakatnya yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan
(modal) tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Islam tidak menentukan secara detail. Namun Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan) yang mudah selagi yang mudah ini tidak melanggar ketentuan Islam, yakni tidak terjadi manipulasi sehingga akan merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan: Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ...” [QS. al-Baqarah (2): 185]
Artinya: “… Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ...” [QS. al-Hajj (22): 78] Dalam hadis dijelaskan: Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang takut.” [HR. al-Bukhari dan Muslim] Jika dengan menghitung per hari, per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah, sehingga akan dapat menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nisab dan haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan perhitungan per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat menghindari kekeliruan dan kelupaan. Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada umumnya mudah lupa. Dan kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan. Namun jika dengan perhitungan per hari per bulan dalam satu tahun mengakibatkan hasil perhitungan yang tidak tepat/yang tidak akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang dipertahankan adalah mencari kebenaran bukan semata-mata kemudahan. Apalagi saat ini dunia perniagaan telah didukung dengan program-program komputerisasi yang canggih yang dapat menyimpan data secara akurat dan menghindarkan orang dari kelupaan. 4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara adat termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya pekerjaan saya ini? Halal atau haram? Sebagai seorang muslim, segala aktifitas hidup dan usaha yang kita jalankan tidak boleh lepas dan bertentangan dengan hukum agama. Sebab semua yang kita lakukan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Pada dasarnya menerbitkan buku ketrampilan atau sejenisnya hukumnya mubah asalkan tetap mengacu pada norma-norma dan hukum-hukum agama Islam. Buku yang diterbitkan tidak mengandung kemusyrikan, kemaksiatan, pornografi, serta tidak memfasilitasi atau mengiklankan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama dengan berbagai bentuknya.
Dalam melakukan aktifitas bisnis, orientasi seorang muslim tidak hanya sekedar mencari keuntungan finansial, namun juga keuntungan ukhrawi/akhirat. Oleh sebab itu, usaha mubah yang yang kita lakukan dapat bernilai ibadah (ibadah ’am) apabila dapat memberikan kemudahan dan nilai manfaat bagi orang lain, dan diniatkan sebagai salah satu amal shalih kita. Dalam tradisi pernikahan, terkadang ditemukan simbol-simbol tradisis lokal, seperti memasang janur kuning sebagai lambang sedang terjadinya resepsi pernikahan, dan beberapa bentuk tradisi tertentu yang tidak diyakini sebagai suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka tradisi semacam ini tidak masuk kategori sesajen atau perbuatan syirik. Namun jika yang dimaksudkan dengan sesajen adalah sesuatu yang dipersembahkan yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan, kesuksesan, dan jika tidak dilakukan dapat mendatangkan malapetaka dan kesialan, bahkan dilakukan dengan ritual tertentu, maka tentu hal semacam ini termasuk kategori kesyirikan. Oleh sebagian masyarakat hal seperti itu justru dianggap sebagai tradisi yang wajar. Padahal kesyirikan merupakan kezaliman, salah satu dari tujuh hal yang membinasakan, dapat menghapuskan pahala amal salih seseorang, dan dosa terbesar seorang hamba kepada Allah swt, sebagaimana dijelaskan dalam hadis terdahulu dan ayat-ayat berikut ini: . Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya dan dia menasehatinya; wahai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar.” [QS. Lukman (31): 13]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [QS. an-Nisa’ (4): 48]
Jika kesyirikan termasuk dosa besar, maka membantu atau memfasilitasi seseorang untuk melakukan kesyirikan juga termasuk berdosa. Oleh sebab itu, menurut hemat kami jika Ibu telah mengetahui bahwa hal-hal yang diiklankan tersebut termasuk kategori kesyirikan karena telah memenuhi kriteria tersebut di atas, maka semestinya Ibu tidak mengiklankan atau mencetak buku yang mengandung unsur-unsur kesyirikan tersebut. Wallahu a’lam bissawab. *rf) Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah E-mail:
[email protected] dan
[email protected]