RELIGIUSITAS BANGSA SEBAGAI HASIL PENALARAN PUBLIK AGAMAAGAMA DI INDONESIA: Diteropong dari Perspektif Filsafat Politik Jürgen Habermas
“Nalar bekerja dalam tradisi-tradisi religius, sebagaimana dalam setiap jenis kebudayaan yang lain, termasuk sains” (J. Habermas) Abstract Indonesian religiosity as formulated in our 1945 Constitution is not merely a political compromise of the founding fathers, but rather is the result of rational deliberation (discourse) of different religious followers across Indonesia to express their religiosity in a distinctive way. The problem of religious plurality as one of the major obstacles in Indonesia has challenged the founding fathers to do a public reasoning over their religious traditions. As a result, Indonesia has gained a different religious perspective that was different significantly from religious understandings brought from their place of origin. Reading from political philosophy point of view, the founders of the nation have done public reasoning over their religious beliefs by expanding their religious horizons that tended to be exclusive. By so doing, they created a religious understanding of inclusive and transformative. The practice of rational deliberation of founding fathers in the formulation of the basic norms of nationhood has its conceptual articulation in the political philosophy of Jurgen Habermas, namely the theory of deliberative democracy. Deliberative democratic – an open deliberation, an honest debate, and a rational discussion without the domination of one party over the other in order to reach a common consensus – has been practiced by the founders of the nation, especially in formulating the religiosity of Indonesia. Philosophically, it can be considered as invaluable achievement as it has considered the principles of the democratic constitutional state that uphold rational discourse in solving any problems experienced by the nation.
Keywords: Deliberative democracy, Public Sphere, Public reasoning, Religion, State, Indonesian Religiosity
1. Pendahuluan Tantangan yang dihadapi setiap bangsa untuk menjadi sebuah negara hukum modern (Jerman: Rechsstaat) berbeda-beda. Hal itu dapat terjadi karena latar belakang dan kompleksitas suatu bangsa berbeda dari bangsa yang lain. Latar belakang dan kompleksitas
itu menyangkut segi geografis, sejarah, budaya, sosial, politik (sejarah kolonial), dan keagamaan masing-masing bangsa. Bangsa-bangsa yang tidak begitu besar dan cenderung homogen masyarakatnya tidak mengalami kesulitan yang signifikan. Barangkali mereka mengalami kesulitan dalam hal bagaimana melepaskan diri dari kolonialisme. Namun bila itu sudah dilewati, maka tugas berikut menjadi lebih mudah. Tugas yang dimaksud adalah merumuskan norma/prinsip hidup bersama bangsanya sebagai sebuah negara hukum modern. Hal itu menjadi pengalaman bangsa Indonesia sejak awal. Setelah melepaskan dari kolonialisme Belanda dan Jepang, tidak mudah bagi Indonesia untuk merumuskan norma dasar hidup berbangsanya. Tantangan internal terbesar Indonesia sejak awal adalah masalah pluralitas. Prof. John A. Titaley mengatakan bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan (walau sekaligus peluang) yang jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dari segi keagamaan.1 Senada dengan Titaley, Prof. Franz Magnis-Suseno mengajukan pertanyaan retorik demikian: adakah bangsa lain dengan struktur geografis, budaya, dan keagamaan yang sekompleks kita di Indonesia?2 Kompleksitas kemajemukan yang diungkapkan keduanya bukan ilusi. Indonesia merupakan pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun.3 Inilah yang membuat Indonesia sejak awal menghadapi tantangan yang khas dalam rangka menjadi sebuah negara hukum modern. Namun, kompleksitas budaya dan agama yang begitu majemuk tidak melenyapkan citacita mendirikan negara kesatuan republik Indonesia 1945 di bumi nusantara. Para pendiri bangsa berhasil menciptakan suatu peristiwa bersejarah yang sangat penting terkait kemajemukan itu, terutama atas pluralitas keagamaannya. Titaley mengatakan, dalam sejarah suatu bangsa baru yang bernama Indonesia yang singkat itu karena baru merdeka tahun 1945, sudah ada satu peristiwa penting yang memiliki dampak luas terhadap hubungan antar agama (sejak 1945!). Peristiwa itu telah tertuang secara tegas dalam konstitusi bangsa baru itu yaitu Undang-Undang Dasar 1945.4 Peristiwa itu adalah menyangkut religiusitas bangsa Indonesia, suatu keberagamaan yang khas Indonesia. Dikatakan itu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, karena apa yang dirumuskan sebagai religiusitas bangsa ini bukan sekedar kompromi politik, melainkan sesuatu yang lahir dari deliberasi (diskursus) rasional para pemeluk agama-agama yang ada di nusantara untuk beragama secara khas Indonesia. Semua komponen agama pada waktu itu
melakukan diskusi terbuka, berdebat, tetapi saling mendengar dan masing-masing pihak bersedia mentransformasi dan memperluas pandangan keagamaannya. Dalam bahasan filsafat politik, para pendiri bangsa telah melakukan penalaran publik atas keyakinan-keyakinan religiusnya, yaitu usaha memperluas wawasan keagamaannya yang cenderung eksklusif, sehingga dihasilkanlah suatu pemahaman keagamaan yang khas Indonesia, yaitu pemahaman keagamaan yang inklusif dan transformatif. Secara khusus, praktek penalaran publik para pendiri bangsa atas tradisi-tradisi keagamaan yang menghasilkan suatu pemahaman religiusitas Indonesia ini memiliki artikulasi konseptualnya dalam filsafat politik filsuf kondang Jürgen Habermas, yaitu teori demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif sebagai tahap matang dari perkembangan demokrasi dalam tradisi republikan dan liberal, mengandung arti musyawarah yang penuh keterbukaan, timbang-menimbang, debat yang jujur, diskusi yang rasional, bebas, tanpa dominasi dari salah satu pihak atas yang lain guna meraih konsensus bersama. Demokrasi deliberatif inilah yang secara normatif mendasari dan menghidupkan setiap negara hukum demokratis dewasa ini. Namun menariknya, ternyata gagasan normatif ini sudah menjadi praktek para pendiri bangsa Indonesia sejak kemerdekaan 1945. Dengan kata lain, praxis politik para pendiri bangsa Indonesia sudah sesuai asas-asas demokrasi negara hukum modern yang menunjung tinggi rasionalitas (argumentasi dan diskursus). Tulisan ini bertujuan menunjukkan bahwa religiusitas bangsa Indonesia yang merupakan hasil penalaran publik para pendiri bangsa mendapat dasar filosofisnya (kerangka teoritiknya) dalam filsafat politik Jürgen Habermas itu. Atau sebaliknya, filsafat politik Habermas merupakan landasan normatif atas praktek penalaran publik yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Dalam arti itu, apa yang dilakukan dan hasilkan sebagai religiusitas Indonesia oleh para pendiri bangsa merupakan capaian yang tak ternilai karena secara filosofis (normatif) memenuhi asas-asas negara hukum demokratis. Untuk membuktikan tesis ini, pertama-tama akan dibahas filsafat politik Habermas yang terdiri dari tiga hal yang saling mengandaikan. Pertama, teori demokrasi deliberatif sebagai kerangka dasar (2.1), kedua, konsep ruang publik sebagai locus berlangsung deliberasi publik (2.2), dan ketiga, gagasan mengenai hubungan antara agama dan negara hukum (2.3). ketiga kerangka dasar inilah membawa Habermas pada tuntutan pentingnya penalaran publik yang wajib dilakukan agama dalam ruang publik (2.4). Kedua, mengikuti analisis Titaley, akan ditunjukan bahwa proses perumusan Pancasila sebagai bukti berlangsungnya deliberasi publik (3.1), dan khususnya perdebatan yang menghasilkan religiusitas bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pancasila
dan alinea ketiga pembukaan UUD 1945 (3.2). Akhirnya tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan umum dan refleksi (4).
2. Filafat Politik Habermas Jürgen Habermas adalah salah satu filsuf kontemporer terbesar yang pengaruhnya sangat luas. Karya-karyanya berpengaruh dalam berbagai bidang ilmu sosial dan kemanusiaan yang berbeda-beda. Para mahasiswa sosiologi, filsafat, politik, teori hukum, studi-studi kebudayaan, tak diragukan bersentuhan dengan nama Habermas.1 Ada sejumlah alasan mengapa karya-karyanya berpengaruh sedemikian luas. Pertama, Habermas adalah seorang teoritikus inter-disiplin ilmu. Habermas tidak pernah berhenti pada satu domain keilmuan yang sempit. Ia selalu melampaui batas-batas disiplin suatu ilmu. Ia belajar filsafat, sosiologi, sains, sejarah, psikologi, politik, agama, sastra dan seni2 di Göttingen, Zürich, dan Bonn. Kedua, dalam era yang dikacaukan oleh ekstrim fundamentalisme agama dan skeptisisme sains, Habermas muncul sebagai pembela utama keyakinan rasio pencerahan yang diyakininya sebagai pembimbing moralitas dan politik. Habermas dengan setia meyakini bahwa rasio tetap menduduki jantung komunikasi manusia, yang baginya merupakan mesin utama emansipasi manusia.3 Filsuf kenamaan yang masih hidup ini lahir 18 Juni 1929 di Düsseldorf, Jerman. Kakeknya adalah seorang Pendeta Protestan, dan ayahnya merupakan Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland-Westfalen di Jerman Barat. Banyak sekali karya yang dihasilkan oleh Habermas, tetapi semua berorientasi pada bagaimana mengatasi kompleksitas dan pluralitas masyarakat dewasa ini serta menciptakan kehidupan bersama yang rasional dan berkeadaban. Empat pokok bahasan yang diuraikan di sini merupakan gagasan praktisnya dalam filsafat politik yang membantu menangani problem yang sering muncul masyarakat kompleks dan plural dewasa ini. Dan ternyata tidak kebetulan, sumbangan teoritisnya melegitimasi (menjustifikasi) praxis penalaran publik para pendiri bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang reasonable.
1
Bdk. James Gordon Finlayson, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2005, hlm. xi 2 Lih. David Ingram, Habermas: Introduction and Analysis, Ithaca and London: Cornell University Press, 2010, hlm. 1 3 Lih. David Ingram, ibid, hlm. 2
2. 1. Teori Demokrasi Deliberatif Teori demokrasi deliberatif Habermas adalah penerapan dari teori tindakan komunikatif yang digagas filsuf ini sebelumnya. Menurut Habermas, komunikasi sudah selalu merupakan ciri dasar kehidupan bersama manusia, maka tuntutan teori demokrasi itu tidak lain daripada sebuah radikalisasi dari struktur-struktur komunikasi yang lama sudah ada di dalam negara hukum modern, sehingga negara hukum yang faktual sedikit demi sedikit dapat mendekati asas-asas normatifnya sendiri. Model deliberatif ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimitas hukum di dalam proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Dalam model ini Habermas mencoba menghubungkan tesis hukumnya, yakni tesis tentang fungsi hukum sebagai medium integrasi sosial, dengan sebuah teori sosiologis tentang demokrasi.4 Dalam bahasa Habermas sendiri, demokrasi deliberatif adalah suatu teori yang menerima diskursus rasional diantara para warga sebagai sumber legitimasi politik.5 Dalam masyarakat tradisional yang masih cenderung homogen, kebutuhan akan diskursus politis yang inklusif belum muncul. Di sana ada referensi bersama pada otoritas transenden yang dianggap menyediakan basis kokoh dan pra-diskursif bagi kesatuan dan stabilitas komunitas politis. Habermas mengatakan: Hukum awalnya memiliki suatu dasar ilahi; hukum ini, biasanya ditafsirkan dan diatur oleh para teolog atau pembuat hukum, lalu diterima secara luas sebagai bagian dari perintah Ilahi atau tatanan hukum alam, dan bukan urusan manusia.6 Tetapi dengan kelahiran modernitas, situasinya berubah. Dalam konteks post-tradisional dan pluralisme metafisika, referensi bersama pada otoritas agama tidak lagi memadai. Habermas yakin bahwa dalam masyarakat modern, otoritas dari yang Ilahi perlahan-lahan digantikan dengan otoritas suatu konsensus rasional dan bahwa legitimasi dan stabilitas dari komunitas politik tergantung pada (menurut model deliberatif) rasionalitas konsensus yang dicapai dalam debat demokratis itu sendiri. Secara faktual, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur pembentukan pendapat dan aspirasi secara demokratis itu sendiri. Model ini tidak memberitahu kita sebelumnya, bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik 4
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas,, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm 126 5 Jürgen Habermas, Between Facts and Norm: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge, Mass: MIT Press, 1996, p. 110 6 Ibid, 145-6
(melalui diskursus) sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warganegara dan tidak menutup diri dari kritik-kritik dan revisirevisi. Maka bagi Habermas, untuk mendorong partisipasi publik dan memperluas atau memperkuat demokrasi, politik harus dipandang sebagai percakapan publik yang dijalankan dengan prosedur-prosedur yang sah dan rasional. Habermas berpendapat, “formasi kehendak demokratis mendapat kekuatan legitimitasnya dari pengandaian-pengandaian komunikatif yang memungkinkan argumen-argumen yang lebih baik dalam berbagai bentuk diskursus dan dari prosedur-prosedur yang menjamin proses-proses negosiasi yang adil. Habermas meringkas prosedur-prosedur adil ini dalam apa yang dia sebut “situasi pembicaraan yang ideal”; yaitu, situasi di mana dialog publik itu bebas dan tanpa paksaan. Menurut Habermas, demokrasi deliberatif mendekati situasi pembicaraan ideal bila ia memenuhi kondisi-kondisi formal berikut. 1) inklusif, artinya tidak ada pihak yang dieksklusi dari partisipasi dalam diskusi mengenai topik-topik yang relevan baginya, dan tidak ada informasi relevan yang dilarang. 2). Bebas dari paksaan, artinya setiap orang boleh terlibat dalam argumen secara bebas, tanpa didominasi atau atau merasa diintimidasi oleh para partisipan lain. 3). Terbuka dan simetris, artinya masing-masing partisipan dapat menginiasi, melanjutkan, dan mempertanyakan diskusi mengenai topik yang relevan, termasuk prosedurprosedur deliberatif. Selain itu, para partisipan juga tanpa batas boleh mengusulkan scope atau agenda mengenai deliberasi-deliberasi publik: topik-topik selalu terbuka, ditentukan oleh mereka yang berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan tunduk pada revisi bila diperlukan.7 Ringkasnya, demokrasi deliberatif mensyaratkan semua pihak untuk saling memperlakukan sesama sebagai partner setara (equal), di mana setiap individu diberi ruang untuk bicara, saling mendengarkan, dan saling mempertanggung jawabkan posisi masing-masing.8 Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim hasilnya. Dengan kata lain, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Deliberasi sebagai sumber final legitimasi politik semacam itulah yang memungkinkan penerimaan terhadap argumen-argumen religius dalam debat publik. Demokrasi deliberatif ini mengandaikan ruang publik sebagai forum berlangsungnya diskursus. 7
Dikutip dalam Ilan Kapoor, Deliberaive Democratic or Agonictic Mouffe? The Relevance of the HabermasMouffe Debate for Third World Politics, (dalam jurnal Alternatives, Columbia University, Vol 27, No 4, 2002 ), hlm 461-2. 8 Aletta J. Norval, Democratic decisions and the Question of Universality: Rethinking recent approaches, (Simon Crtchley and Oliver Marchart (editor), dalam Laclau: A Critical Reader, Abingdon, Oxon: Rotledge, 2004, p 142
2. 2. Konsep Ruang Publik Bila demokrasi deliberatif merupakan prosedur meraih legitimas hukum dalam masyarakat plural, maka ruang publik adalah locus dimungkinkannya praksis komunikasi diskursif itu. Melalui karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into A Category of Bourgeois Society, Habermas mengembangkan gagasan mengenai “ruang publik” (public sphere). Menurut Habermas, ruang publik merupakan arena diskursif, yang berbeda dan terpisah dari sistem ekonomi dan negara, di mana warga berpartisipasi dan bertindak melalui dialog dan debat.9 Artinya ruang publik adalah sebuah ruang otonom yang berbeda dari Negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif mau pun ekonomi kapitalistis, melainkan dari lebenswelt atau masyarakat sipil. Istilah ruang publik yang dalam bahasa Jermannya “Öffentlichkeit”, berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang.” Itu berarti ruang publik politis ini bukanlah sebuah lembaga formal, melainkan ruang informal yang melaluinya para warga berkomunikasi. Tetapi ini bukan komunikasi biasa. Ruang publik adalah arena di mana perdebatan publik terjadi. Habermas mengatakan bahwa ruang publik politis tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung.10 Ruang publik yang sehat harus memenuhi dua persyaratan, yakni bebas dan kritis. Bebas artinya setiap pihak dapat berbicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisisipasi dalam debat politik. Kritis artinya siapa pun boleh secara adil dan bertanggungjawab menyoroti proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat publik.11 Dengan kata lain, ruang publik adalah sebuah konsep normatif yang mengandaikan adanya komunikasi ideal, di mana para peserta berdiskusi dalam keadaan bebas dan setara, tanpa diskriminasi, tanpa tekanan satu terhadap yang lain dalam rangka membicarakan persoalan-persoalan kehidupan bersama. Konsep normatif ini kemudian menjadi tuntutan legitimitas hukum. Artinya hukum baru sahi bila sudah melalui pemeriksaan dalam diskursus publik. Jadi, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses diskursus yang menghubungkan suara rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga
9
Ilan Kapoor, 461 Dikutip F. Budi hardiman, Op. Cit, 2009, 134 11 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlmn 126-7 10
legislatif dalam sistem politik. Titik sambung secara diskursif antara ruang publik dan sistem politik inilah yang memungkinkan rakyat disebut berdaulat. Habermas menegaskan bahwa di dalam ruang publik itu tidak boleh ada satu tradisi budaya atau agama apa pun yang dapat mengklaim komitmen etisnya sebagai norma bagi semua yang lain.12 Sebaliknya, dengan menjadi arena diskursif, ruang publik berfungsi melindungi pluralisme agama dan budaya, dan terutama ia dapat berguna memobilisasi komunikasi diantara para warga yang berbeda keyakinan agama dan budaya itu sehingga tercipta saling pengertian dan saling belajar. Lebih dari itu, dengan menjadi locus berlangsungnya komunikasi dan deliberasi yang bebas dan setara, yang saling menghargai hak masing-masing, ruang publik dapat mendorong terbentuknya solidaritas sosial. Dimensi epistemik hasil belajar dan kekuatan solidaritas yang tercipta diantara para warga dalam ruang publik ini, bila tersambung dengan sistem politik, maka akan memperkuat legitimitas kekuasaan politik dan hukum-hukumnya.
2.3.
Hubungan antara agama dan negara hukum dalam pemikiran Habermas
Demokrasi deliberatif sebagai prosedur komunikasi dalam negara hukum modern untuk meraih legitimitas hukum dan ruang publik sebagai locus berlangsungnya diskursus, mendasari Habermas dalam pembicaraannya mengenai hubungan antara agama dan Negara. Filsafat politik Habermas itu menjadi kerangka konseptual untuk menengahi hubungan antara agama dan negara hukum demokratis. Pemikiran Habermas ini mengatasi dua tradisi besar dalam filsafat politik, yakni liberalisme yang menuntut privatisasi agama dari ruang publik dan republikanisme-komunitarianisme yang menolak pembatasan peran politik agama dalam forum-forum publik. Sesuai maknanya, teori demokrasi deliberatif sebagai prosedur komunikasi dalam negara hukum modern untuk meraih legitimasi politik, memberi ruang bagi berbagai elemen dalam civil society untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Konsekuensi ini bertolak dari pengandaian demokrasi deliberatif bahwa legitimitas kekuasaan dalam masyarakat plural tidak ditetapkan sejak awal, melainkan diperoleh melalui deliberasi (diskursus). Di satu sisi, Habermas sepakat dengan liberalisme politik yang menghendaki negara hukum berdiri di atas 12
Nicholas Adams, Habermas and Theology, Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hlm 5
suatu legitimasi non-religius. Habermas mengafirmasi pendirian liberalisme politik yang berada dalam tradisi hukum akal budi, yang tidak mendasarkan diri pada pengandaianpengandaian kosmologis atau sejarah keselamatan sebagaimana yang diwakili oleh ajaranajaran hukum kodrat klasik dan religius.13 Habermas memegang teguh prinsip negara konstitusional liberal yang dikembangkan dalam konteks tradisi filosofis yang percaya pada kekuatan akal budi, di mana rasio manusia diandaikan mampu menyediakan basis epistemik bagi justifikasi negara hukum.14 Sebagai konsistensi Habermas mengafirmasi pendirian liberalisme yang berbunyi: “Prinsip pemisahan agama dan Negara mewajibkan para politisi dan pejabat dalam institusiinstitusi politik untuk merumuskan dan menjustifikasi hukum-hukum, aturan-aturan pengadilan, keputusan-keputusan, dan undang-undang dalam suatu bahasa yang dapat dimengerti oleh semua warga.”15 Dengan kata lain, Habermas mempertahan prinsip liberalisme yang menuntut pemisahan agama dan negara agar institusi-institusi negara bekerja dengan netralitas ketat berhadapan dengan komunitas-komunitas religius itu. Tetapi pembatasan total agama dari partisipasi demokratis oleh liberalisme yang berujung pada privatisasi agama bahkan anti-klerikalisme itu bagi Habermas sangat bermasalah. Secara substantif, liberalisme mengacu pada sekularisme, dan sekularisme merupakan salah satu doktrin komprehensif (ajaran menyeluruh) sebagaimana agama-agama. Sekularisme bukan suatu pandangan dunia yang netral sama sekali. Di sisi lain, secara prosedural, Habermas berpendapat bahwa prinsip dasar negara liberal yang melindungi hak-hak dasar seperti kebebasan beragama, mestinya tidak pada saat yang sama menuntut semua warganya untuk menjustifikasi pilihan-pilihan politiknya secara independen dari keyakinan religius mereka. Netralitas kekuasaan negara terhadap berbagai pandangan hidup menjamin kebebasan etis yang sama bagi semua warga, baik sekuler mau pun religius (Habermas, 2010, 27). Maka Negara liberal, yang melindungi semua bentuk kehidupan religius secara sama, harus membebaskan warga beragama dari beban keharusan membuat pemisahan yang ketat antara alasan-alasan sekuler dan religius dalam wilayah publik politik bila hal itu mengganggu identitas personal mereka.
13
Lih. Habermas, J., Basis Prapolitis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis?, dalam Budi Kleden, Paul (ed.), Dialektika Sekularisasi, Lamalera dan Ledalero, 2010,hlm 4 14 Habermas, 2008, hlm 120 15 122
Namun itu tak berarti Habermas sepakat dengan pendirian komunitarianisme yang menghendaki agama untuk dengan bebas bersirkulasi dalam ruang politik formal (sistem politk) negara hukum. Komunitarianisme menolak pembatasan peran politis agama dalam level mana pun. Pendirian mereka didasarkan pada pengalaman bahwa gereja dan gerakangerakan keagamaan di bawah pengaruh Martin Luther King pernah mendukung realisasi demokrasi dan hak-hak asasi manusia di Amerika Serikat. Namun Habermas menemukan masalah dalam pendirian ini. Menurut Habermas, ada problem juga bila tidak ada pemisahan antara agama dan Negara. Habermas berpendapat bahwa dengan membuka parlemen pada argumentasi-argumentasi religius, negara melanggar prinsip netralitas berkaitan dengan pandangan hidup dan agama yang memang majemuk. Habermas kuatir otoritas pemerintahan dapat berubah menjadi agen mayoritas religius tertentu untuk memaksakan kehendaknya bila mereka hanya mau mendasarkan argumentasinya pada keyakinan imannya dan menolak berdeliberasi dengan memakai argumentasi dan bahasa universal. Habermas mengatakan bahwa pandangan komunitarian mencederai proses demokrasi, karena menghindari deliberasi; melanggar ciri diskursif dalam menilai pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan. Sebagai jalan keluar, Habermas mengajukan demokrasi deliberatif sebagai kerangka acuan. Dengan mengacu pada demokrasi deliberatif, Habermas menuntut perlunya komunikasi antara negara dan komunitas-komunitas religius, agar di satu sisi, negara tidak melanggar prinsip dasarnya dengan menindas aspirasi-aspirasi religius, dan sisi lain, agama tidak memaksakan kehendaknya untuk menjadi basis legitimasi negara konstitusional yang rasional. Dalam masyarakat post-sekuler dewasa ini, agama justru harus melepaskan klaim sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menentukan cara hidup mana yang legitim. Untuk mewujudkan komunikasi antara negara dan agama, Habermas membuat distinksi antara ruang publik informal dan ruang publik formal/sistem politik. Ruang publik politik formal berlangsung di parlemen, peradilan, dan adiministrasi negara (eksekutif), sedangkan ruang publik politik informal adalah wilayah pra-parlementer (civil society). Dalam wilayah pra-parlementer ini, komunitas-komunitas religius yang plural itu ditantang untuk saling belajar dari bahasa dan kekayaan tradisi-tradisi agama mereka yang berbedabeda itu, yang dapat bermanfaat bagi kehidupan bersama sebagai masyarakat politis. Maka dalam ruang publik informal itu, para warga (apa pun keyakinan religius dan yang sekuler) dituntut untuk bekerja sama menerjemahkan kosa kata dan dimensi epistemik dari agama-agama mereka yang bermanfaat bagi demokrasi. Hasil terjemahan yang dapat
dimengerti oleh semua pihak itulah yang diberlakukan dalam ruang publik formal (negara), karena dalam wilayah politik formal itu, hanya bahasa yang dapat dipahami semua warga dapat berlaku. Untuk menghasilkan terjemahan universal dari tradisi keagamaan yang bersifat partikular itulah dibutuhkan penalaran publik.
2.4.
Agama dan Penalaran publik dalam pemikiran Habermas
Habermas menegaskan bahwa negara hukum liberal harus membangun kembali solidaritas para warga dan memperkuat keterlibatan sosial dan politik mereka. Semua sumber etos pra-politik yang tersedia, termasuk tradisi-tradisi religius, harus dimanfaatkan oleh negara hukum demi tujuan itu. Tuntutan melibatkan agama dalam proses-proses politik itu bukan tanpa dasar filosofis. Teori demokrasi deliberatif yang diusung Habermas secara normatif mengandaikan partisipasi yang tinggi dari para warga dalam proses politik, termasuk warga religius, agar negara hukum demokratis legitim dan kokoh. Itulah sebabnya agama mesti diikut-sertakan dalam prosedur-prosedur demokrasi. Lebih dari itu, Habermas mengatakan bahwa secara substansial agama mengandung kekuatan epistemik rasional yang sejalan dengan ide-ide negara hukum demokratis. Bahkan, Habermas mengatakan bahwa pemikiran pasca-tmetafisik sekuler yang menjelma dalam teori hukum negara liberal keliru memahami dirinya sendiri apabila ia tidak menyadari elemen-elemen dari tradisi-tradisi religius yang sudah tertanam dalam asal-usulnya sendiri.16 Untuk melangsungkan penalaran publik itu, Habermas merumuskan institutional translation priviso-nya sebagai berikut: “negara Liberal tidak boleh membuat keharusan pemisahan “institutional” antara agama dan politik ke dalam suatu beban mental dan psikologis bagi para warganya yang beragama.”17 Bagaimana pun, negara liberal harus mengharapkan warga beriman untuk mengakui prinsip bahwa penggunaan otoritas politik harus netral terhadap berbagai pandangan dunia yang bersaing. Setiap warga harus tahu dan menerima bahwa hanya alasan-alasan sekuler yang kiranya dapat melewati “proviso” boleh masuk ke parlemen atau sistem politik.
16 17
Lih. Jürgen Habermas, Op.Cit, 2008, hlm. 6; Bdk. hlm. 142-143 Lih. Jürgen Habermas, Op.Cit., 2008, hlm. 130
Pertimbangan Habermas agar agama dipandang sebagai bagian dari “public use of reason” itu bukannya tanpa dasar substansial. Habermas menegaskan bahwa sangatlah penting untuk memperhatikan isi rasional inklusif dalam agama-agama yang bersentuhan dengan persoalan keadilan sosial kemanusiaan universal.18 Sebab menurut Habermas, agama merupakan sumber makna dan motivasi yang sangat menolong, dan bahkan dapat melawan kekuatan kapitalisme global. Habermas yakin bahwa praktek-praktek dan perspektif keagamaan dapat menjadi sumber nilai yang memperkaya etika kewargaan multikultural, mendorong solidaritas mau pun penghargaan yang setara.19 Bahkan Habermas berani menilai bahwa apa yang terkandung dalam agama itu perlu diperhatikan karena kekayaan-kekayaan nilai itu tidak ditemukan dalam liberalisme sekuler. Ia mengatakan, “saya tidak melihat kemungkinan, bagaimana dari konsep moral Kantian yang individualistis dapat dihasilkan pendasaran bagi kewajiban untuk bersama/bersolider guna mencapai tujuan bersama.”20 Sebaliknya, menurut Habermas agama justru mempunyai potensi untuk hal seperti itu. Habermas mengatakan:”moral sekuler dari asal-usulnya tidak terintegrasi dalam suatu praksis bersama. Sedangkan kesadaran religius secara hakiki terkait erat dengan praksis hidup yang kontinu dalam sebuah kelompok/persekutuan; dan dalam hal agama yang bersifat global, berarti terkait erat dengan ritus dari jemaat dari seluruh dunia. Berdasarkan komunitarianisme universal ini, kesadaran religius masing-masing dapat – juga dalam hal pandangan moral – memberi dorongan yang lebih kuat untuk membangun solidaritas.”21 Itulah sebabnya menurut Habermas, dalam agama kita temukan isi kognitif dan kekuatan motivasi yang tidak ada dalam dunia yang profan. Habermas menunjukkan peran positif yang dimainkan gereja dalam membela hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Di Amerika, gereja mempunyai sumbangan yang besar bagi perkembangan demokrasi di sana. Komunitas religius itu terlibat aktif menyampaikan berbagai argumen dalam debat-debat publik berkaitan dengan masalah-masalah moral… dan memotivasi anggota jemaatnya untuk terlibat dalam kehidupan politik. Habermas juga menunjuk misalnya pada Martin Luther King dan gerakannya dalam membela kelompok minoritas.22 Oleh karena itu, Habermas membela tesis Hegel bahwa agama-agama dunia
18
Lih. Ibid., 2008, hlm. 143 Lih. Jürgen Habermas, Op.Cit., dalam Butler (at.al), Op.Cit., 2011, hlm. 4-5 20 Lih. A. Sunarko, Op.Cit., dalam Paul Budi Kleden (ed), Op.Cit., 2010, hlm. 85 21 Lih. Ibid, hlm. 86 22 Lih. Jürgen Habermas, Op.Cit., 2008, hlm. 124-125 19
memiliki sejarah rasionya sendiri. Atas dasar itu, Habermas berpendapat bahwa adalah sangat irasional untuk menolak kekayaan tradisi-tradisi agama.23 Itulah sebabnya dalam masyarakat postsekuler ini Habermas menuntut kerja sama antara warga sekuler dan religius dalam upaya penerjemahan sumber-sumber-sumber kultural itu. Warga religius yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari demokrasi konstitusional harus menerima syarat penerjemahan sebagai harga yang harus dibayar demi netralitas otoritas negara terhadap pandangan-pandangan dunia yang bersaing. Secara khusus, menurut Habermas, agar potensi-potensi semantik vital dari tradisi-tradisi agama dapat menyumbang bagi kultur politik yang lebih luas, khususnya dalam institusi-institusi demokratis, mereka harus diterjemahkan ke dalam bahasa sekuler dan dapat dimengerti secara umum. Habermas mengatakan, “Karena tanpa suatu terjemahan yang berhasil atas isi substantif (tradisi-tradisi religius), suara agama tidak memiliki prospek untuk diterima dalam agenda-agenda dan negosiasinegosiasi badan-badan politik dan dapat didengar dalam proses politik yang lebih luas.24 Habermas berpendapat bahwa dalam diskursus demokratis, warga sekuler dan religius berada dalam suatu relasi saling melengkapi. Keduanya ada dalam suatu interaksi yang bersifat konstitutif bagi proses demokratis yang berasal dari layar civil society dan berkembang melalui jaringan komunikasi informal dari ruang publik.25 Habermas menegaskan bahwa penggunaan rasio secara publik oleh warga religius dan sekuler juga bisa memacu demokrasi deliberatif dalam masyarakat-warga yang majemuk dan mengarah pada penemuan potensi semantik dari tradisi-tradisi religius bagi kultur politik yang lebih luas.26 Gagasan normatif Habermas penalaran publik atas tradisi-tradisi religius di awal abad 21 ini ternyata telah menjadi praxis politik para pendiri bangsa Indonesia puluhan tahun lalu. Bagian berikut adalah upaya membuktikan hal itu.
Dalam tulisan ini, mengikuti analisis Titaley, tulisan ini akan menunhasilnya adalah suatu pemahaman religiusitas yang inklusif dan transformatif. ukan bahwa Tuhan yang dinyatakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan khususnya alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 merupakan religiusitas bangsa Indonesia, yang lahir dari proses penalaran serius semua komponen banyak yang beragam agamanya itu. Para pendiri bangsa melakukan apa yang dalam bahasa Habermas sebagai penalaran publik atas tradisi-tradisi 23
Lih. Ibid, hlm. 6 “For without a successful translation the substantive content of religious voices has no prospect of being taken up into the agendas and negotiations within political bodies and of gaining a hearing in the broader political process”, lihat Jürgen Habermas, Op.Cit., 2008, hlm. 132 25 Lih. Ibid.., hlm. 27 26 Lih. Ibid., hlm. 28 24
religius masing-masing. Penalaran publik yang menghendaki kesiapan untuk berdiskusi secara terbuka, saling mendengar dan mentransformasi posisi (pandangan) itu, telah menjadi praktek founding fathers kita dalam merumuskan dasar Negara Indonesia. Praksis penalaran publik founding fathers ini mendapat artikulasi konseptualnya dalam filsafat politik Habermas. Demokrasi deliberatif Habermas tidak lain adalah prosedur 5 Dampak penalaran publik atas tradisi-tradisi religius yang berbeda-beda itu kemudian menghasilkan religiusitas bangsa Indonesia yang inklusif dan transformatif.6
Politik deliberative yang mengandung arti musyawarah yang penuh keterbukaan, timbang-menimbang, debat yang jujur, diskusi yang rasional, sudah menjadi bagian dari pengalaman bangsa Indonesia jauh-jauh hari sebelum Habermas menelurkan ide briliannya itu. Penalaran public yang menghendaki kesiapan untuk saling mendengar dan mentransformasi posisi (pandangan) itu, telah menjadi praktek founding fathers kita dalam merumuskan dasar Negara Indonesia. Hal ini bisa dimengerti mengingat latar belakang bangsa Indonesia. Tantangan yang dihadapi Indonesia sejak awal adalah problem pluralitas. Itu berarti tantangan yang dihadapi Habermas mau pun para pendiri bangsa Indonesia sama, yakni masalah kemajemukan identitas. Namun ada perbedaan mendasar: sementara Habermas menghadapi masalah itu dalam level konseptual (perdebatan antara liberalisme dan komunitarianisme), para pendiri bangsa Indoneia menghadapi problem itu dalam kenyataan empiris masyarakatnya. Akibatnya berbeda: sementara Habermas hanya menawarkan prosedur dalam menangani pluralitas, founding fathers kita bukan hanya mempraktekan demokrasi deliberative secara nyata tetapi juga berhasil mencapai nalar public bangsanya yang disebut Pancasila, betapa pun bersifat subtansial. Dalam pengertian itu, para pendiri bangsa ini melampaui filsafat politik Habermas. Teori demokrasi deliberative Habermas dilampaui dalam kenyataan dicapainya Pancasila sebagai hasil penalaran public bangsa Indonesia. Pancasila merupakan bukti nyata hasil politik deliberative dan penalaran public bangsa Indonesia – yang melampaui proseduralisme Habermas yang hanya menyerupai gagasan. Lebih dari itu, dengan
mengakui
Pancasila
beciri
substansial,
dan
mengafirmasi
bahwa
cara
menghasilkannya sudah sedemikian proseduralis, Indonesia melampaui Habermas yang hanya menawarkan cara/prosedur tanpa tujuan yang mau dicapai.
Namun demikian gagasan Habermas relevan di Indonesia. Ia relevan dalam dua arti: pertama, sejalan dengan apa yang sudah dilakukan para pendiri bangsa, teori Habermas mampu menangani pluralitas suatu bangsa seperti Indonesia ini. Artinya, apa yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia sudah sejalan dengan prosedur Negara hokum demokratis modern. Atau sebaliknya, Teori Habermas membenarkan praktek deliberasi para pendiri bangsa dalam melahirkan pancasila. Kedua, relevansi pandangan Habermas terletak pada kerangka teoritik yang dibangunnya. Walau pun kita berhasil menangani kemajemukan itu di awal ketika mendirikan Negara ini, namun tantangan pluralitas itu tak pernah redup. Dalam kehidupan berbangsa yang dinamis seperti ini, ide-ide Habermas dapat dijadikan kerangka konseptual yang dapat memandu kita menghadapi setiap tantangan yang muncul akibat pluralitas yang kita miliki. Itu berarti, dibutuhkan kesiapan untuk mau berdeliberasi dan mentransformasi posisi dalam menghadapi setiap persoalan, terutama berkaitan dengan kehidupan beragama dan bernegara. Dalam bagian ini, akan ditunjukan praktek deliberasi dan penalaran publik dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pertama-tama akan dibuktikan bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan hasil deliberasi dan penalaran public para pendiri bangsa (5.1), dan secara khusus, sila pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa dan Alinea ketiga dari Pembukaan UUD 1945 sebagai hasil penalaran public agama-agama di Indonesia (5.2). bagian ini akan ditutup dengan tuntutan implementasi Pancasila sebagai kerangka etik bagi kehidupan public bangsa (5.3).
5.1. PANCASILA SEBAGAI HASIL DELIBERASI DAN (PE)NALAR(AN) PUBLIK BANGSA Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa bangsa Indonesia menyadari realitas kemajemukannnya sejak awal. Berbagai identitas primordial seperti kesukuan, etnis, golongan, budaya, agama dan lain menjadi tantangan serius dalam rangka menenun tata hidup bersama. Terhadap tantangan itu, para pendiri bangsa melakukan deriberasi serius di awal kemerdekaan. Franz Magnis Suseno mengatakan: “Bangsa Indonesia pernah berhadapan dengan tugas untuk meletakkan tatanan dasar kehidupan kenegaraan bersama yang didambahkan, yaitu dalam diskusi-diskusi Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
bulan Mei sampai Juli 1945. Waktu itu ada dua
pandangan berhadapan satu sama lain: yang satu mau menjadikan agama mayoritas sebagai
tatanan dasar Negara itu, yang lain murni kebangsaan. Ternyata dua pandangan itu reasonable: mereka masing-masing bersedia merelakan sebagian dari cita-cita mereka untuk mencapai cita-cita bersama, penciptaan satu Negara dari Sabang sampai Merauke di mana semua suku, ras, umat beragama dan komunitas budaya dapat hidup bersama dengan baik, dengan kewajiban dan hak-hak yang sama, tanpa harus melepaskan cita-cita dan keyakinan masing-masing. Dengan demikian seluruh pluralitas di Nusantara itu dapat menerima Negara yang mau didirikan itu sebagai rumahnya sendiri dan memberikan komitmen kepadanya. Overlapping consensus itu adalah Pancasila. Sejak itu Pancasila merupakan jaminan bahwa semua komunitas yang bersama-sama merupakan bangsa Indonesia, termasuk minoritasminoritas yang paling kecil sekali pun, dapat hidup bersama secara damai dan positif dalam satu Negara Indonesia.”27 Lebih rinci John A. Titaley mengatakan: “Pidato yang dikenal dengan ‘Pidato Lahirnya Pantjasila’ itu lahir dari perdebatan yang sengit diantara tiga proponen ideologi yang kuat pada waktu itu, yaitu Nasionalisme kedaerahan (khususnya tradisionalisme Jawa), Islam, dan Marxisme/Sosialisme. Ketiga ideologi ini bukanlah sekedar fenomena bulan Mei-Juni 1945 ketika dasar Negara dibicarakan. Perkembangannya sudah terjadi jauh sebelumnya. Gerakangerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat dikategorikan ke dalam ketiga ideologi itu. Budi Utomo dan ikatan-ikatan daerah lainnya seperti Jong-Ambon, Jong-Selebes dan sebagainya, adalah beberapa contoh dari komponen nasionalisme kedaerahan itu. Syarikat Islam, Masyumi dan sebagainya, mewakili komponen Islam (agama). Akhirnya Partai Komunis, Sosialis dan sebagainya, mewakili Marxisme/Sosialisme. Masing-masing kelompok itu dengan dasarnya sendiri-sendiri telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Karenanya ketika BPUPKI hendak membicarakan dasar dari Negara Indonesia yang akan diproklamasikan itu, masing-masing proponen ideologi berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan dasar ideologisnya menjadi dasar Negara Indonesia. Dalam situasi itulah, Bung Karno datang dengan usul Pancasilanya sebagai jalan keluar.”28 Awalnya Soekarno merumuskan Pancasila sebagai berikut: 1. Kebangsaan atau Nasionalisme 2. Peri Kemanusiaan atau Internasionalisme 3. Mufakat,atau Demokrasi 27
Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, h. 174-175 John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama, Salatiga, Satya Wacana University Press, 2013, h. 44-45. 28
4. Kesejahteraan social, dan 5. Ketuhanan29 Pancasila itu dapat diperas menjadi tiga sila (Trisila), yakni: 1. Sosio-Nasionalisme 2. Sosio-Demokratis 3. Ketuhanan30 Apabila disimak, Rumusan Pancasila Soekarno ini tidak sama dengan ketiga rumusan ideologi sebelumnya, karena rumusan kali ini bersifat transformatoris, yakni rumusan yang mensyaratkan terjadinya transformasi (perubahan) dari ketiga ideology tersebut. Pada era sebelum 1945, nasionalisme itu bisa sekedar nasionalisme dari satu suku bangsa tertentu, tetapi sebagai bagian dari Pancasila, nasionalisme itu meliputi seluruh suku bangsa yang disebut Indonesia. Karena itu, rumusan Trisila Soekarno menjadi sosio-nasionalisme yang menggabungkan kebangsaan dan kemanusiaan. Demikian pula Sosio-demokrasi untuk menggabungkan sila kerakyatan dan kesejahteraan social. Juga, ketuhanan karena bukan Islam saja, melainkan agama-agama lainnya yang ada di Indonesia. Transformasi itu perlu karena ketiga ideologi itu berkembang dalam suatu konteks baru yang bernama Indonesia. Karenanya, bila ketiga ideology politik itu masih hendak dikembangkan secara telanjang tanpa memperhatikan konteks barunya (yang bernama Indonesia), itu merupakan tindakan yang salah kaprah. Bagi Soekarno pertimbangan sungguh-sungguh terhadap ketiga ideologi secara transformatoris ini sudah mulai digumulinya sejak 1920-an ketika ia menulis “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Dalam tulisan ini Soekarno menjelaskan perlunya ketiga ideologi itu merumuskan dirinya kembali dalam konteks baru Indonesia.31 Yudi Latif mengatakan bahwa sejak fase “pembuahan”, Soekarno mulai merintis pemikiran ke arah dasar falsafah Pancasila dalam gagasannya untuk mensintesiskan antara “Nasionalisme – Islamisme dan Marxisme” dan konseptualisasinya tentang “socio-nationalisme”, “sociodemokratie” sebagai asas Marhaenisme.32
29
Lihat Saafroedin Bahar, dkk (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei `1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, h. 84-105 30 Ibid 31 Lih. Titaley, hlm 46-47 32 Yudi Latif, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011, h. 40.
Dengan rumusan transformatoris ini, Soekarno sebenarnya berusaha untuk memberikan tempat bagi ketiga ideologi untuk berperan dalam mengembangkan masyarakat dan bangsa Indonesia. Ruang itu terjadi dengan syarat masing-masing mau melakukan transformasi, baik dalam dirinya sendiri mau pun dalam konteks antar ideologi itu. Artinya, ketiga ideologi itu disyaratkan untuk hidup dalam suatu interaksi, yang melaluinya masing-masing perlu terbuka untuk menerima yang lain, dan perubahan itu juga terjadi dalam dirinya. Ini semua terjadi dalam batasan cita-cita dan ideal Indonesia, sebagaimana telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.33 Pancasila hasil penalaran bangsa inilah yang menjadi dasar Negara republic Indonesia, walau pun ketika dibacakan 18 Agustus 1945, ia sedikit mengalami perubahan bahasa dan urut-urutan atas sila-sila itu, namun intinya masih tetap ada. Rumusan transformasi itu bukan hanya terjadi atas kekuatan-kekuatan particular ideologi yang bersaing itu, melainkan juga secara khusus pada aspek keagamaan. Hal ini akan ditunjukan lebih jauh dalam bagian berikut.
5.2. KETUHANAN DALAM PANCASILA DAN ‘PEMBUKAAN UUD 1945’ SEBAGAI HASIL PENALARAN PUBLIK AGAMA-AGAMA DI INDONESIA ATAS RELIGIUSITAS BANGSANYA Indonesia bukan Negara agama, tetapi bukan juga Negara sekuler. Para pendiri bangsa tidak dapat membayangkan suatu ruang publik hampa Tuhan sama sekali. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama yang mengatasi komunitas cultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak lepas dari ketuhanan. Hal itu bisa dilihat dalam kritik Agoes Salim terhadap nasionalisme Eropa yang meminggirkan Tuhan: “Atas nama tanah airnya masing-masing, kita lihat bangsa-bangsa Eropa merendahkan derajat segala bangsa luar Eropa, bagi meninggikan derajat bangsa-bangsa Eropa atas segala bangsa luar Eropa… atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan. Atas dasar keduniaan yang bersifat benda dan ikhlas dan tawakal, yang sampai menyabilkan nyawa. Sebab benda dan rupa dunia habis gunanya, apabila nyawa sudah tiada. Maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga 33
Lih. Titaley, hlm 47
dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah SWT.”34 Soekarno menanggapi kritik itu dengan menulis di Suluh Indonesia, 12 Agustus 1928, dengan membayangkan ketuhanan sebagai dasar pembeda antara nasionalisme ala eropa dan Indonesia: “nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut perkataan C.R. Das adalah suatu nasionalisme yang menyerangnyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakas”nya Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh.”35 Bahkan, ketika hendak merumuskan dasar Negara, walau pun terdapat “golongan kebangsaan” yang dibedakan dari “golongan Islam”, namun keduanya tetap memandang penting nilai-nilai ketuhanan dalam Negara Indonesia merdeka. Keduanya hanya berbeda mengenai hubungan Negara dan agama: sementara golongan Islam berpandangan bahwa Negara tidak bisa dipisahkan dari agama, golongan kebangsaan berpendapat bahwa Negara sebaiknya “netral” terhadap agama. Kedua golongan ini memandang ketuhanan sebagai dasar yang penting bagi Negara Indonesia merdeka. Keinginan untuk memasukan Tuhan dalam rumusan dasar Negara bukan semata-mata kompromi politik untuk menarik simpati golongan agama (Islam) supaya bersedia dalam kebangsaan baru yang bernama Indonesia itu, melainkan karena Tuhan diyakini berperan dalam kemerdekaan yang baru saja diraih. Alinea ketiga dari ‘Pembukaan UUD 1945’ berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’. Menurut Titaley, bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan bukanlah sekedar hak asasi setiap bangsa. Kemerdekaan itu adalah juga rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari pernyataan seperti itu, Nampak bahwa bagi Bangsa Indonesia, sesuatu yang asasi pun dilihat dalam perspektif keberagamaannya. Yang asasi itu bukan
34 35
Dikuitip Yudi Latif, 2011, 67-68 Dikutip Yudi Latif, 2011, 68
sekedar hak manusia per se. Yang asasi itu bisa menjadi hak manusia, karena dimungkinkan oleh rahmat Tuhan.36 Pertanyaannya, bagaimana hubungan antara agama dan Negara dalam bangsa Indonesia yang baru merdeka ini? Bagaimana memberi ruang bagi agama tanpa jatuh dalam paham teokrasi? Berkat keluasan wawasan, kebesaran hati, dan kerelaan berkorban para pendiri bangsa, kita mewarisi dasar Negara demokrasi yang memberi tempat pada peran public agama tanpa terjebak dalam paham teokrasi.37 Muhammad Hatta menegaskan: “Kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara agama dan Negara, melainkan kita akan mendirikan Negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas (diperalat) Negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.”38 Umumnya relasi agama dan Negara hanya dipikirkan dalam pola “penyatuan” (fusion) dan “pemisahan” (separation). Itu yang terjadi dalam Negara-negara Barat hingga kini sebagai akibat dari masa lalu mereka. Seakan-akan tidak ada pola lain di luar kedua bentuk itu. Percobaan untuk mencari formula alternative dilakukan secara konseptual oleh Hatta dan secara praktis oleh Soekarno. Dengan rumusan hubungan antara agama dan Negara sebagaimana dikatakan oleh Hatta di atas, Ia mau menunjukkan bahwa duduk perkara sesungguhnya terletak pada diferensiasi antara fungsi agama dan Negara.39 Diferensiasi, dan bukan pemisahan atau penyatuan, adalah pola hubungan yang tepat yang dicoba oleh para pendiri bangsa dalam menyelesaikan problem agama dalam Negara hokum modern, agar di satu sisi agama tidak diperalat Negara, dan di sisi lain, Negara tidak dikendalikan oleh agama. Formulasi ini melampaui Habermas yang rupanya masih dibayang-bayangi pola “penyatuan” dan “pemisahan” semata. Tetapi persoalannya tidak selesai di situ. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman dalam hal keagamaan dan keyakinan, lalu agama (Tuhan) siapa yang dimaksudkan dalam rumusan dasar Negara itu? Bagaimana pluralitas keyakinan ini diatasi sehingga tidak menimbulkan represi dari mayoritas terhadap minoritas? Di sinilah penalaran public agamaagama atas religiusitasnya dimulai. 36
Lih. Titaley, 2013, h. 49 Sunarko, dalam BASIS, nomor 3-4, tahun ke-62, 2013 38 Yudi Latif, 2011, h. 73 39 Yudi Latif, 72-74 37
Perdebatan public dimulai ketika ada perbedaan pandangan soal peran agama dalam dasar Negara. Di satu sisi, ada pandangan yang menghendaki Islam sebagai dasar Negara. Ki Bagoes Hadikoesoema berargumen bahwa “agama merupakan pangkal persatuan; Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama. Islam tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita. Islam merupakan ajaran lengkap yang menyeluruh masyarakat didasarkan atas hokum Allah dan agama Islam.”40 Terhadap gagasan Negara Islam Hadikoesoema itu, Soepomo mengajukan argumentasi sebagai berikut: “Mendirikan Negara Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan Negara persatuan. Mendirikan Negara Islam di Indonesia berarti mendirikan Negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan Negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal ‘minderheden’ soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain… golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan Negara.”41 Berbeda dengan penalaran public Habermasian yang hanya berciri procedural, bangsa Indonesia telah melakukan sesuatu yang melampaui itu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam penalaran public, Habermas hanya mensinyalir isi rasional inklusif iman, yakni yang bersentuhan dengan hal keadilan dan hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan,42 untuk menjadi bagian dari “the public use of reason.” Sebab, walau pun Habermas mendesak kelompok-kelompok agama untuk berupaya menerjemahkan bahasa teologis mereka (ide-ide inklusif tersebut) yang dianggap particular dalam masyarakat majemuk itu ke dalam ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti umum, ia menyadari bahwa inti dogmatis agama (misalnya konsep Tuhan) tidak dapat direlatifkan (tak dapat dikomunikasikan).43 Dalam pengalaman bangsa Indonesia, bukan hanya ide-ide inklusif kemanusiaan dalam bahasa particular religius itu yang harus dikomunikasikan untuk mengalami transformasi (sebagaimana sudah terumus dalam Pancasila dan UUD 1945), tetapi kepercayaan dogmatis 40
Dikutip Yudi Latif, 2011, h. 70. Yudi Latif, 2011, h. 71. 42 Budi Hardiman, 2009, 159 43 Boradori, 2005, h. 105 41
berupa pemahaman mengenai Tuhan dari agama-agama pun telah dideliberasikan sehingga menghasilkan suatu religiusitas yang khas Indonesia, yang inklusif dan transformatif. Sebagaimana diketahui, dalam rumusan sila pertama Pancasila, golongan islam menghendaki perlakuan istimewah bagi mereka. Pertama, Sila “Ketuhanan” versi Soekarno ditempatkan pada Sila terakhir. Golongan Islam berkeberatan dan mengusulkan agar sila Ketuhanan ditempatkan sebagai sila pertama. Tetapi bukan hanya itu, dan ini yang kedua, sila Ketuhanan itu kemudian berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Apa yang dikenal dengan istilah “tujuh kata” atau Piagam Jakarta” ini menimbulkan perdebatan dan deliberasi serius di kalangan para pendiri bangsa. Dalam suasana terbuka dan jujur, hasil rumusan Piagam Jakarta ini mendapat tanggapan tajam dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, Latuharhary menyatakan keberatan atas “tujuh kata” sebagai anak kalimat dari Ketuhanan. Ia berargumentasi: “Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap agama lain. Maka dari itu, saya harap supaya dalam hokum dasar, meski pun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hokum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apa pun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.”44 Belum ditemukan solusi, perdebatan sengit mencuat lagi pada 13 Juli karena K.H. Wachid Hasjim dari golongan Islam mengusulkan agar “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Pada 14 Juli, dalam suasana terbuka, Ki Bagoes melakukan gugatan. Menurutnya, katakata “bagi para pemeluknya (dibelakang kalimat “Ketuhanan, dengan melakukan kewajiban menjalankan syariat Islam”) sepatutnya dihapus saja, karena hal itu berarti bahwa dalam satu Negara “akan diadakan dua peraturan, satu untuk umat Islam, dan yang satu lagi untuk yang bukan Islam.”
44
Yudi Latif, 79
Persoalan ini menimbulkan kebuntuan, yang hanya bisa diselesaikan pada 16 Juli setelah Soekarno dengan berlinang air mata menghimbau agar yang tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan”.45 Hasil rumusan Piagam Jakarta itu bertahan hingga akhir masa persidangan kedua 17 Agustus 1945. Ketidaksetujuan atas perlakuan khusus bagi umat Islam dalam suatu hokum dasar yang menyangkut warga Negara secara keseluruhan tetap mengendap di hati elemenelemen golongan kebangsaan. Namun akhirnya, setelah melalui dialog terbuka dalam persidangan PPKI pada 18 Agustus 1945, tercapailah kesepakatan untuk meninggalkan ‘tujuh kata’ dari Piagam Jakarta itu. Dalam suasana gembira “PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali ‘tujuh Kata’ di belakang sila Ketuhanan, yang telah memunculkan konroversi terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPK, dicoret lantas diganti dengan kata-kata ‘Yang Maha esa’. Sebagai ikutan dari pencoretan ‘tujuh kata’ ini, dalam batang tubuh UUD 1945, disetujui pola pasal 6 ayat 1: ‘Presiden ialah orang Indonesia asli, tidak ada tambahan kata-kata ‘beragama Islam’.”46 Masih ada satu yang menarik dalam deliberasi dan penalaran public atas religiusitas bangsa Indonesia. Rumusan resmi alinea ketiga ‘Pembukaan UUD 1945’ yang kita miliki sekarang berbunyi: “Atas berkat rahmat ALLAH Yang Maha Kuasa....” Sementara dalam Dokumen Kementerian Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945 10-11 memuat Pembukaan UUD 1945 dengan alinea 3 berbunyi: “Atas berkat rahmat TUHAN Yang Maha Kuasa....”. Rumusan resmi yang kita miliki sekarang mengikuti Berita Repoeblik Indonesia tanggal 15 Februari 1946. Apa yang asli sebenarnya adalah rumusan dengan bunyi: Atas berkat rahmat TUHAN Yang Maha Kuasa....” Menurut Saafroedin Bahar, kemungkinan besar hal ini (perubahan) merupakan hal teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu”. Apa siginikansinya? Dalam persidangan PPKI memang awalnya digunakan kata “ALLAH”, tetapi salah satu anggota PPKI, I.Gusti Ktut Pudja dari Bali yang beragama Hindu berkeberatan dengan kata
45 46
Yudi Latif, h. 80-81 YudiLatif, h. 82-83
Allah itu. Mengapa? Ia mengusulkan agar digunakan kata TUHAN dan bukan ALLAH, karena dengan rumusam TUHAN ia yang beragama Hindu bisa menghayati juga keberagamaannya dalam konteks Indonesia.47 Bagi I.Gusti Ktut Pudja dari Bali yang beragama Hindu itu, konsep ALLAH48 hanyalah cocok dengan agama-agama Abramistik seperti Islam dan Kristen, sehingga kalau istilah itu yang digunakan, maka Ia tidak merasa berTuhan dalam Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-nya itu. Atas argumentasi I.Gusti Ktut Pudja dari Bali yang beragama Hindu itu, para anggota PPKI dengan hati terbuka menyetujui digunakan kata TUHAN. Kata Tuhan itu adalah kata yang merupakan nama bangsa Indonesia untuk Yang Ilahi itu. Dalam rumusan demikian, semua bentuk keagamaan dan keyakinan di Indonesia dapat menghayati religiusitasnya, suatu religiusitas yang inklusif sebagai hasil penalaran public bangsa Indonesia. Menurut Titaley, inilah religiusitas bangsa Indonesia dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Religiusitas itu tidak ekslusif. Religiusitas itu inklusif dan tranfsormatif. Inklusif karena dia terbuka untuk menerima warga bangsa Indonesia dengan latar belakang agama yang beragam tanpa mendiskriminasikan satu terhadap yang lainnya. Transformative, karena berbeda dengan religiusitas dari agama-agama asalnya yaitu Yahudi, Kristen, Islam, dan Hindu yang cenderung melakukan diskriminasi sesame warganya karena tidak boleh menjadi pemimpin dalam masyarakat akibat agamanya yang tidak sama dengan agama yag diakui Negara, maka di Indonesia, semua orang ini, apa pun agamanya juga boleh menjadi presiden.49 Salah satu contoh dari religiusitas bangsa Indonesia yang egalitarian seperti ini telah nyata dalam sejarah kehidupan bangsa Ini. Berdasarkan UUD 1945 dan religiusitas ini, seorang Leimena yang berasal dari Maluku dan beragama Kristen, bisa menjadi pejabat presiden berkali-kali pada zaman Presiden Soekarno.50 Penjelasan ini membuktikan bahwa dalam Negara hokum modern yang berlandaskan Pancasila, bukan hanya terjadi proseduralisme politik sebagaimana dimaksudkan Habermas bagi suatu masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya, melainkan telah dicapai tujuan-tujuan demokrasi deliberative secara nyata.
47
Lihat Titaley, 31-32 Dalam Filsafat Ketuhanan, Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa baik Tuhan mau pun Allah menunjuk pada “Yang Ilahi”, tetapi kata Allah adalah nama Tuhan dalam agama-agama Abrahamistik. Lih, Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, 18 49 Lih. Titaley, 34-35 50 Lih. Titaley, 39 48
Pertama, prosedulaisme Politik Habermasian itu sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri secara konseptual mau pun praktis. Secara praktis, hal itu nyata dalam diskusi dan perdebatan yang berlangsung selama proses perumusan dasar Negara Indonesia sebagaimana ditunjukan di atas. Secara konseptual, hal itu dirumuskan dalam sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, legitimasi demokrasi tidak ditentukan oleh seberapa banyak dukungan salah satu keputusan, melainkan seberapa luas dan dalam melibatkan proses-proses musyawarah-mufakat (deliberatif) yang inklusif. Atau dengan kata lain, konsep demokrasi permusyawaratan ini sebenarnya mendahului apa yang disebut model demokrasi deliberatif Habermas. Demokrasi deliberative meletakkan keutamaan diskusi dan musyawarah dengan kekuatan argumentasi berlandaskan daya-daya consensus (hikmat-kebijaksanaan), di atas keputusan berdasarkan voting. Para pendukung demokrasi deliberative berpendapat bahwa musyawarah meningkatkan kualitas dan akseptabilitas keputusan kolektif.51 Dan itu nyata dalam Negara Pancasila. Kedua, demokrasi permusawaratan Indonesia itu menjadi nyata dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945, dan secara khusus dalam rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, syarat menjadi Presiden Indonesia, serta alinea ketiga pembukaan UUD 1945. Itu berarti, jauh-jauh hari sebelum Habermas menelurkan teorinya, bangsa Indonesia telah membuktikan ide-ide itu secara nyata. Hal ini dikarenakan, khususnya berkaitan dengan hubungan agama dan Negara, para pendiri bangsa sudah sejak awal menyadari bahwa perkembangan mutu demokrasi di Negara kita akan sangat ditentukan oleh sikap tepat (atau sebaliknya) agamaagama di Indonesia dalam menempatkan diri di ruang public. Itulah sebabnya melalui perdebatan yang panjang, kita mewarisi sebuah kekayaan berupa paham Negara demokratis, bahwa “Negara berdasarkan Pancasila – Sila Ketuhanan Yang Maha Esa – bukanlah Negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama.52 Tidak terpisah, karena Negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Tidak pula menyatu, karena Negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama.53 Mochtar Pabotinggi sebagaimana dikutip Yudi Latif secara eksplist mengatakan: “kita memerlukan kehidupan agama yang menghormati mekanisme dan 51
Yudi Latif, 458-459 Sunarko, dalam BASIS, 2013, h. 11 53 Yudi Latif, 2011, 95 52
kebijakan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi yang menghargai ritus, amal, dan terutama kebajikan agama.”54 Itu Negara Pancasila, yang merupakan bukti nyata keberhasilan demokrasi deliberative. Dengan kenyataan ini, teori Habermas telah dilampaui, secara konseptual mau pun praktis di Indonesia.
5.3.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945 UNTUK MEMBANGUN KEADABAN PUBLIK BANGSA INDONESIA
Dalam pengalaman bangsa Indonesia, bukan hanya ide-ide inklusif kemanusiaan yang masih terbalut dalam bahasa particular religius itu yang harus dikomunikasikan untuk mengalami transformasi, sebagaimana sudah terumus dalam Pancasila dan UUD 1945, namun kepercayaan dogmatis berupa pemahaman mengenai Tuhan dari agama-agama pun telah dideliberasikan sehingga menghasilkan suatu religiusitas yang khas Indonesia. Transformasi pemahaman dari agama-agama atas konsep Tuhan yang inklusif dan transformative sebagaimana terumuskan dalam sila pertama Pancasila dan alinea ketiga pembukaan UUD 1945 itu bukan dimaksudkan untuk sekedar menjadi konsep abstrak begitu saja, melainkan bertujuan agar Negara ini menjalankan kehidupan berbangsa secara bermoral. Atau dengan kata lain, hasil penalaran public atas isi dogmatis agama-agama (berupa Tuhan) itu harus diwujudkan dalam kehidupan public bangsa Indonesia. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur. Menurut Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa salah satu dari empat pokok pikiran yang terkandung dalam “Pembukaan UUD” ialah “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Berdasarkan pokok pikiran ini, UUD “harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara, untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Kalau dalam pandangan Habermas, isi rasional inklusif tradisi-tradisi relgius perlu mengalami penalaran public agar dapat berkontribusi bagi kehidupan politik Negara hokum
54
YudiLatif, 2011, h. 112
modern, dalam Pancasila dan Pembukaan UUD, inti dogmatis agama (Tuhan) justru diyakini dapat mendasari moralitas bangsa. Bahkan ketuhanan bagi bangsa Indonesia merupakan fundamen hidup bernegara. Hal itu tidak bertentangan dengan Negara hokum demokratis. Justru ini bisa dilihat sebagai suatu formulasi yang melampaui Habermas. Secara khusus, praxis politik yang rasional dari para pendiri bangsa itu mendapat dasar normatifnya dalam teori demokrasi deliberatif Habermas. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia sudah sejalan dengan kerangka demokrasi deliberatif yang menghidupkan negara hukum dewasa ini. Demokrasi deliberatif sebagai tahap matang dari perkembangan dalam tradisi republikan dan liberal dalam filsafat politik, yang mengandung arti musyawarah yang penuh keterbukaan, timbang-menimbang, debat yang jujur, diskusi yang rasional, telah menjadi praktek para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan norma dasar hidup bersamanya, terutama dalam menangani pluralitas keagamaan.
1
John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 43 2 Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2007), 229 3 Oppenheimer dalam kutipan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 3 4 Titaley, 5 6
Titaley.