RELEVANSI ETIKA PEMERINTAHAN SERAT WULANGREH BAGI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract This methods used in this research a interpretation, holistic, and analysis methods. The result of this research discloses that development practice for welfare state in Indonesia. The multidimensional crisis caused political and economical suffering. All of Indonesian people ought to want to do social development. The Indonesian country should do development in the many aspect. There are social, political, economical, cultural and educational aspects. Government understands that development activity will be success if government supported by all of people. Civil society can be realized by participation all of people in the duty of country. The relation between the people and the country in the job description. Government as component of political power will effort the order of state that have a democratic life. According to Serat Wulangreh created by Sunan Paku Buwana IV at Kraton Surakarta Hadiningrat, power must be done they full morality. Serat Wulangreh gives advice so that mean always do tata praja or good goverment. Key words : Country, Democratic, Government
A. Landasan Filosofis Otonomi Daerah Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi di lapisan bawah, tetapi juga mendorong otoaktivitas masyarakat untuk melaksanakan sendiri yang dianggap penting bagi lingkungannya. Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi, maka rakyat
1
tidak saja dapat menentukan sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerah melalui berbagai aktivitas pembangunan (Dewantoro, 2001). Keputusan yang diambil oleh negara mempunyai akibat-akibat terhadap kualitas kehidupan masyarakat. Ada segi yang tidak boleh dilanggar atau dikorbankan oleh negara. Oleh sebab itulah diperlakukan prinsip-prinsip etis yang mendasari setiap penyelenggaraan negara tidak lagi dapat sewenang-wenang tetapi harus dapat membuktikan diri bahwa mereka memiliki pendasaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara etis. Dengan demikian kekuasaan negara mencari legitimasi yang benar dan mempersulit merajalelanya legitimasilegitimasi ideologis (Magnis Suseno, 1994). Tuntutan negara hukum merupakan kebutuhan karena: (1) ia dapat memberikan kepastian hukum, (2) menjamin setiap orang diperlakukan berdasarkan tolok ukur objektif, (3) penyelenggaraan kekuasaan negara didasarkan pada kerangka dan batas hukum, dan (4) hukum itu sendiri merupakan cara pengaturan yang sesuai dengan martabat manusia sebagai makhluk berakal budi. Pelaksanaan otonomi daerah pada hakikatnya adalah pembagian tugas dan wewenang secara bertangung jawab. Tujuannya adalah untuk melaksanakan pelayanan yang semakin dekat dan mudah bagi masyarakat. Dengan demikian kesejahteraan rakyat dapat lebih ditingkatkan (Jimly Ashiddiqie, 2006). Sebagai konsekuensi logis adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan pemerintah daerah sebagai manisfestasi dari otonomi daerah (Ismawan, 2001). Otonomi daerah hendaknya dilakukan dalam rangka integrasi nasional yang tetap memperhatikan asas persatuan dan kesatuan. Otonomi daerah yang hanya mementingkan kelompok dan kesukuan akan menimbulkan bencana nasional terjadinya tatanan kehidupan yang bercerai berai. Hal ini perlu dihindari, karena disintegrasi banyak menimbulkan kerugian dan kesengsaraan di kalangan rakyat kecil. Pelaksanaan otonomi daerah sebaiknya tetap berlandaskan pada nilai etis yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia secara turun
2
temurun. Pelaksanaan otonomi daerah yang mengabaikan landasan etika filosofis akan menimbulkan gejala anarkis. Nilai etika filosofis tetap diperlukan dalam menjalankan pemerintahan yang berotonomi dan menjalankan asas demokrasi, sehingga kepentingan dan kesejahteraan rakyat bisa dijamin dan dilindungi.
B. Moral Dasar Serat Wulangreh Nilai etika perlu dipahami oleh segenap pelaksana otonomi daerah yang meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiganya harus bekerjasama, sehingga pelaksanaan otonomi daerah benar-benar dapat mencapai sasaran sesuai dengan cita-cita luhur semula. Dengan mengingat adanya landasan etis tersebut segala persoalan akan dapat diatasi secara proporsional dan tidak sampai mengorbankan kepentingan orang banyak (Prabarini, 2001). Otonomi daerah yang saat ini sedang dijalankan di seluruh Indonesia perlu terus dikaji, diteliti, dan dikembangkan sehingga perwujudan masyarakat Indonesia baru yang sejahtera dan berkeadilan sosial dapat segera diwujudkan. Serat Wulangreh sebagai landasan filosofis kenegaraan dan pemerintahan pada masa Paku Buwana IV telah berusia panjang dan dihayati oleh sebagian besar penguasa dan masyarakat Jawa. Berkaitan dengan pelaksaan Otonomi Daerah, nilai-nilai luhur yang mengatur pemimpin dengan rakyat akan dikaji dalam relevansinya. Moral dasar Serat Wulangreh mengatur hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya. Serat Wulangreh ini berisi tentang Pendidikan Budi Pekerti serta merupakan warisan leluhur yang bernilai tinggi. Pendidikan Budi Pekerti tersebut bermatra multi dimensional yang berbentuk sistem-sistem ajaran yang meliputi latihan mengurangi makan dan tidur. Sistem awal-akhir yang memahami bahwa awal yang buruk akan bermuara pada hasik akhir yang baik, dan sebaliknya awal yang baik justru menghasilkan buah yang buruk. Dengan demikian manusia akan mengalami hidup yang lengkap (Moedjanto, 1994.)
Raja dan kraton merupakan pusat atau inti kekuasaan dalam pandangan orang Jawa sejak abad-abad lampau. Sementara kraton dianggap sebagai wadah yang menampung semua kekuatan supranatural. Dengan demikian, kombinasi
3
antara raja dan kraton merupakan “pusat” dari pusatnya kekuasaan. Dan memang, sesungguhnyalah, raja dan kraton tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Keutuhan raja dan kraton bukan saja dapat dilihat sebagai refleksi dari keutuhan kekuasaan, akan tetapi juga mengungkapkan ada kesatuan dan keteraturan tata kosmos Sinuwun Paku Buwana IV yang mereplikasikan dirinya ke dalam bangunan kekuasan raja dan kraton (Fachry Ali, 1986). Pandangan kekuasaan semacam ini sesungguhnya sangat erat sekali kaitannya dengan pandangan lingkungan masyarakat Jawa lampau. Bagi mereka, lingkungan bukan hanya kenyataan-kenyataan obyektif yang bisa ditangkap oleh panca-indra, melainkan lebih universal sifatnya. Universal, dalam arti kenyataankenyatan hidup yang dapat ditangkap oleh panca-indra secara utuh, menyatu dengan hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca-indra. Dalam kata lain, realitas tidak dibagi dalam bagian yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai sesuatu yang menyeluruh. Pada hakikatnya orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan non religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986). Dengan demikian, lingkungan dalam pandanga Jawa masa lampau menjadi sesuatu yang amat penting. Dia merupakan basis kehidupan yang meliputi individu, masyarakat dan alam sekitarnya. Semua unsur lingkungan itu menyatu dalam alam adi kodrati. Pentingnya lingkungan ini adalah sebab, kelanjutan dan konttiunitas kehidupan sepenuhnya terletak atau berada dalam lingkungan. Keteraturan ini sendiri merupakan refleksi dari konsep sistem kepercayaan Jawa, yang mengemukakan bahwa kehidupan yang terkoordinasi antara manusia dan alam sekitarnya merupakan sistem kehidupan yang didambakan. Pamoring kawula Gusti merupakan konsep kejawen yang amat terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Kata pamor terbentuk dari kata amor yang berarti berkumpul, bersatu, manunggal. Kawula berarti rakyat, tenaga pelaksana. Dalam konteks ini berarti badan wadag, jasmani. Gusti artinya raja, pemberi perintah,
4
boss, pemimpin yang dalam konteks ini berarti rohani atau batin. Idiom tersebut berarti bersatunya jasmani dan rohani. Pada tembang Wulangreh juga tertulis pamore gusti kawula. Sistem dualisme yang menunjukan adanya perbedaan antara dua kutup yang umum disebut bertentangan, seperti : pria-wanita, siang-malam, kayamiskin, pintar-bodoh, sehat-sakit, sengsara-bahagia, mujur-malang, positifnegative, aktif-pasif, hidup-mati, harapan-putus asa, dan lain-lain. Sistim” awalakhir” yang memahami bahwa gejala awal yang buruk akan bermuara pada hasik akhir yang baik, dan sebaliknya gela awal yang baik justru menghasilkan buah yang buruk. Dengan demikian manusia akan mengalami hidup yang lengkap (Hadiwirjanto, 2002). Pamoring kawulo Gusti menghendaki hubungan yang manunggal antara pemerintah dengan rakyat.
C. Konsep tentang Kenegaraan Konsep tentang kenegaraan dalam budaya Jawa bersifat simbolis. Dalam pengertian simbolis, kesatuan atau koordinasi ini dipahami sebagai hubungan harmonis antara jagat gedhe (tata kosmos) dan jagad cilik (manusia). Kesatuan keduanya ini merupakan tujuan akhir perjalanan manusia dalam kehidupan manusia (Budiono, 1992). Dalam konsep kesatuan dan keteraturan ini, tidaklah dihayati sebagai kejadian yang berdiri sendiri-sendiri, oleh sebab setiap masingmasing merupakan bagian dan totalitas yang dikoordinasikan oleh kekuatan gaib. Memahami kenyataan yang semacam inilah yang disebut kasunyatan. Suatu kenyataan yang lahir oleh sebab-akibat yang pada akhirnya berhubungan dengan penyebab tunggal. Sebab itulah, alat pemahaman terhadap kenyataan itu tidak cukup hanya dengan panca-indra atau akal, melainkan juga dengan hati. Dengan demikian, lewat cara manapun, segala hal yang dilihat lewat pikiran, tetap saja bahwa kondisi-kondisi kosmis dan duniawi timbul sebab keteraturan dan koordinasi. Peristiwa-peristiwa ditimbulkan oleh struktur yang terkoordinasi: kraton dibangun sesuai dengan tata kosmos. Kebenaran realitas lingkungan adalah masalah spiritual dan bukan masalah material yang kasat mata, melainkan adalah masalah batin, yang merupakan
5
percikan hakikat kosmos yang meliputi segala-galanya, atau urip. Realitas materi dari suatu lingkungan tak lain adalah dan hanyalah bagian cerminan dari sistem sebab akibat yang lebih tinggi. Paham Jawa tentang kasunyatan meliputi baik kondisi-kondisi kasar maupun yang halus menyangkut kebenaran dan hakikat (realistik terakhir). Kasunyatan adalah realitas sehati, jelas dan self evident, menjadi sebab akibatnya sendiri. Dalam konteks pemahaman dan pandangan semacam inilah posisi raja dan kraton menjadi sangat penting. Seperti telah dikemukakan di atas, raja merupakan pusat mikro-kosmos kerajaan dan duduk di puncak hikaris status. Dengan demikian, raja merupakan pusat perhimpunan kekuasaan. raja dalam hal ini dibayangkan sebagai “pintu air yang menampung seluruh air sungai”. Dan bagi tanah yang lebih rendah, merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan”. Sementara kraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Sebab bagi kraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Sebab bagi rakyat Jawa, kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat kramat kerajaan (Fachry Ali, 1986). Dengan latar belakang pemahaman serupa inilah Serat Wulangreh yang dibuat oleh Paku Buwana IV, harus dihayati dengan seksama. Serat ini merupakan salah satu percikan semangat kraton dan gambaran pemikiran raja tentang masalah-masalah politik pemerintahan serta kekuasan. Pemikiran Sinuwun Paku Buwana IV dalam bidang kenegaraan bertujuan untuk mencapai tata laksana yang harmonis antara pejabat dengan rakyat, penguasan dengan pengusaha serta kawula lan Gusti. Raja sebagai pejabat adalah manifestasi dari institusi negara. Oleh karena itu raja tidak dapat dimonopoli oleh anak, istri serta kerabatnya saja. Raja adalah milik publik. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan raja, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Hakikat kehidupan demokrasi yang berdiri di lingkungan sistem monarki itu ternyata cukup mengagumkan. Dalam menjalankan roda perekonomian, penguasa dihimbau untuk berhati-hati bila berhadapan dengan pengusaha yang memiliki kecenderungan berkolusi. Di situ terdapat pesan bahwa
6
materialisme cenderung untuk menumbuhkan sifat egoisme, melik nggendhong lali (Andi Harsono, 2006). Serat Wulangreh sampai saat ini sangat populer di lingkungan kebudayaan Jawa. Di petang hari, baik di desa-desa, maupun di pinggiran kota banyak penduduk mendendangkan lagu dari Wulangreh. Banyaklah jasa dari peninggalan Sri Susuhunan Paku Buwana IV yang diwariskan pada keluarga kraton dan kepada rakyat umum. Mereka memperoleh keuntungan ganda. Sambil gembira berdendang, mereka dapat meresapi dan mempelajari pesan makna yang terpendam di dalam rangkaian kata-kata Kawi dan Jawa yang indah itu yang diajarkan beliau. Orang Jawa sangat memperhatikan ajaran-ajaran dalam Serat Wulangreh itu untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketajaman moral dan intelektual diperlukan agar manusia tepat dalam meniti karier hidup. Kriteria guru yang baik menurut Paku Buwana IV disampaikan dalam Serat Wulangreh. Paku Buwana IV menganjurkan agar seseorang mencari guru yang mempunyai kejelasan asal-usul, baik martabatnya, tahu hukum, beribadah, bersahaja, pertapa, ikhlas, dan tanpa pamrih terhadap pemberian orang lain. Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing khukum, kang ibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir piwewehing liyan, iku pantes yen den guronana kaki, sartane kawruhana. (pupuh Dhandhanggula, pada 4) Terjemahan : Namun apabila kamu berguru pilihlah manusia nyata yang baik martabatnya serta tahu hukum yang beribadah dan sederhana syukur dapat pertapa yang sudah menanggalkan
7
pamrih pemberian orang itu pantas kamu berguru serta ketahuilah
Sebagaimana yang diketahui, kitab yang selesai ditulis pada hari Ahad tanggal 19 Besar 1735 tahun Dal Windu Sancaya Wuku Sungsang atau tahun 1808 Masehi ini, pada mulanya merupakan serat wewelar (pedoman/ penuntun) bagi para pangeran dalam bentuk Sekar Macapat atau nyanyian yang dimasukkan dalam rumpun Macapat (Fachry Ali, 1986). Sesuai pula dengan tujuan kitab ini sebagai penuntun atau ideologi kraton. Kebutuhan untuk mempertahankan idiologi tersebut tampaknya sangat jelas terkait dengan situasi-situasi kekuasaan pada masa itu.
D. Etika Birokrasi Kraton Jawa Masyarakat Jawa menyebut ajaran kesusilaan dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pêkêrti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wêjangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wêwalêr, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar gênturing tapa. RMP Sosro Kartono, kakak kandung RA Kartini merumuskan ajaran moralnya dengan ungkapan anteng meneng sugeng jeneng. Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni, dongeng, têmbang, pitutur, piwêling para orang tua secara turun-temurun. Hal ini bisa dilacak dengan banyaknya sastra piwulang (Suyanto, 1985). Ungkapan tradisional seperti sing bêcik kêtitik sing ala kêtara, titènana wong cidra mangsa langgênga dan sura dira jayaningrat lêbur déning pangastuti menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Kebanyakan agama yang universal juga mengajarkan sikap hormat terhadap kehidupan manusia. Dalam Islam dianjurkan praktek agama dengan rahmatan lil alamin. Sedangkan dalam budaya Jawa dikenal memayu hayuning
8
bawana, yang berarti ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian dan keadilan abadi. Dimensi sosial nilai-nilai etis memberikan suatu kadar objektif yang jarang terdapat dalam bidang kreativitas yang pada dasarnya bersifat pribadi. Objektivitas ini merupakan suatu prasyarat bagi universalitas nilai-nilai etis (Sunoto, 1986). Tujuan penelitian etika dapat dilukiskan sebagai upaya mencari norma-norma yang seharusnya mengatur hubungan antar pribadi. Keamanan sosial dan kebebasan berpikir merupakan prasyarat dasar bagi perkembangan individu. Penyelidikan etika akan mencurahkan perhatiannya kepada upaya menemukan kualitas-kualitas kemanusiaan dan bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang dapat memberikan dorongan yang optimal kepada realisasi kondisi itu (Shah, 1986: 100). Sinuwun Paku Buwana IV menerangkan dalam Sêrat Wulang Reh. Lamun sira tinitah bupati anggepa ambek kasudarman den kadi surya padhane sumadyaa lwir ranu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat Terjemahan: Kalau kamu menjabat bupati pakailah watak dermawan supaya seperti matahari terangnya berlakulah seperti air berada di puncak gunung bening seperti juga samudra memuat tumbuh sebab bersama bawahan ketahuilah seperti daun taru tala lapar saat musim labuh Makna etika birokrasi yang dikandung dalam tembang di atas yaitu anjuran kepada penguasa, agar dirinya bersedia bertindak rendah hati kepada sesama hidup, hormat kepada yang lebih tua, mengasihi kepada yang lebih muda. Apabila terjadi perselisihan, disarankan supaya mau mengalah. Kata-kata kasar
9
dihindari dan mau mencegah kelakuan yang merugikan. Demikian itu cara orang untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan (Soetrisno, 2004). Tembang tersebut menekankan perlunya mengendalikan emosi. Arti penting moral juga terpatri dalam epitaph makam Imannuel Kant: Cellum stellatum supra me, lex morralis intra me, yang berarti begitu cemerlang bintang-bintang di angkasa raya, demikian pula moral susila di dada manusia (Damardjati
Supadjar,
1993).
Bidang
falsafah
pewayangan
tampaknya
penggambaran sifat-sifat berbudi luhur atau perilaku yang bermoral terdapat pada para tokoh wayang yang diteladankan. Kawruh sangkan paraning dumadi, satataning panembah, kawruh jumbuhing kawula gusti, ngèlmu kasampurnan, ngèlmu kasunyatan dan sebagainya sering ditampakkan pada setiap pagelaran wayang atau cerita-cerita dalam kesusasteraan Jawa. Dalam pagelaran wayang banyak dijumpai ajaran-ajaran tentang keutamaan sejati. Sêrat Wulangrèh menganjurkan kepada manusia untuk berolah dan berlatih mengendalikan hawa nafsu, sehingga mendapatkan rasa peka terhadap pernik–pernik kehidupan serta petunjuk Tuhan. Jangan hanya suka kesenangan duniawi yang menyesatkan, bahkan dianjurkan untuk mengurangi dan mengendalikan diri terhadap kesenangan yang bersifat duniawi. Sistem pendidikan Kraton Jawa diarahkan agar para keluarga Kraton selalu memiliki kepribadian yang paripurna (Ruspana, 1986). Di sana diajarkan ketrampilan jasmani dan pengendalian rohani. Kehidupan kerohanian abad XIX yang ditandai dengan perkembangan gerakan Kejawen berpengaruh terhadap pandangan hidup masyarakat pada jaman Sinuwun Paku Buwana IV. Menurut Sinuwun Paku Buwana IV, orang Jawa hendaknya njawani, artinya sikap hidup orang Jawa harus tampak dalam perilaku sehari-hari, yaitu rendah diri, sopan santun, tidak sombong, sikap hormat, tanggap sasmita terhadap situasi. Sinuwun Paku Buwana IV lebih mengutamakan ajining diri gumantung ana ing lathi yang artinya harga diri seseorang terletak pada tutur katanya atau sikap bahasanya. Hal itu harus dihindarkan, jangan sampai terbalik dengan pepatah aji godhong jati aking yang artinya bahwa manusia itu tidak berharga sekali. Tata laksana dalam bidang kenegaraan yang merupakan suatu
10
cerminan hubungan patron-client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti. Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa kekuasaan dinasti Mataram. Dalam birokrasi kraton jawa dikenal istilah ratu Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan. Wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa, atau Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, sebab dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang
melengkapi dua macam wahyu yang telah
disebutkan di atas, mendudukkan raja sebagai yang berkuasa untuk memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya. Adanya ketiga pemikiran tersebut dapat dijadikan referensi bagi pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini.
E. Kesimpulan Kraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang sangat dalam. Orang Jawa menganggap Kraton sebagai pusat kosmos. Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat dipisahkan dari persoalan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Pemikiran Sinuwun Paku Buwana IV secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima bidang. Kelimanya meliputi bidang ketuhanan, kenegaraan, kesusilaan, kekeluargaan dan kepribadian. Butir-butir pemikiran yang telah diwariskan oleh Sinuwun Paku Buwana IV tersebut masih relevan dijadikan
11
sebagai kaca benggala atau referensi untuk menghadapi perubahan jaman pada masa sekarang. Seiring dengan maraknya reformasi yang dimulai pada tahun 1998 semua
daerah
di
seluruh
Indonesia
yang
mengalami
kebekuan
dan
ketakberdayaan, serta merta menuntut adanya penyelenggaraan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan egaliter. Pemerintah daerah mulai menuntut adanya otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab supaya kesejahteraan dan keadilan sosial bisa segera diwujudkan. Pengalaman kehidupan berbangsa dan bernegara selama lebih dari setengah abad ini dilalui dengan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik. Semua hal dikerjakan oleh pemerintah pusat, sehingga keberadaan pemerintah daerah di seluruh Indonesia mengalami proses ketidakmandirian berhubungan semuanya selalu tergantung dari kemauan dan petunjuk pemerintah pusat. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam mewujudkan sebuah tatanan sosial yang harmonis dan berkeadilan sosial. Cita-cita untuk memujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam dasar negara juga menjadi tanggung jawab seluruh rakyat atau segala lapisan masyarakat. Dalam mengupayakan cita-cita tersebut adalah pelaksanaan otonomi daerah yang diharapkan akan lebih mendekatkan pada cita-cita luhur tersebut (discretionary power) dalam menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Akan tetapi cita-cita tersebut tentu saja merupakan kerja berat karena ketergantungan daerah pada pemerintah pusat sudah terlampau lama sehingga hambatan-hambatan tidak dapat terelakkan. Upaya menuju kemandirian daerah diawali dari dalam (internal focus) dengan cara memperbaiki berbagai kelemahan internal yang ada, khususnya dalam administrasi, organisasi sistem. Upaya mengatasi kelemahan di pihak daerah merupakan prasyarat mendasar bagi upayaupaya eksternal optimalisasi retribusi, optimalisasi kinerja Badan Usaha Milik Daerah dan sebagainya. Kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan uang amatlah bervariasi. Pemda secara subtantial dan didukung oleh kapasitas yang berkesinambungan harus ada keterkaitan fungsional dan saling melengkapi dan
12
harus ada koordinasi yang baik tidak di antara kedua belah pihak. Daerah kebingungan akibat kurangnya dasar regulasi untuk pengembangan organisasi sehingga harus ada petunjuk dan peraturan yang jelas. Sedangkan hambatan lain yang dapat terjadi adalah disintegrasi bangsa karena setiap daerah mempunyai egoisme sendiri untuk memajukan dan memakmurkan daerahnya sehingga memungkinkan adanya perpecahan dan egosentrisme daerah. Pelaksanaan otonomi daerah selama ini tidak sepenuhnya mengalami kelancaran dan kemulusan, berhubung banyaknya kepentingan antar kelompok yang kadang-kadang saling berlawanan. Tujuan otonomi daerah yang luhur dan mulia kadang-kadang mengalami pembelokan dari cita-cita semula. Perlu kiranya dibuat sebuah paradigma pelaksanaan otonomi daerah yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai etis yang bersumber dari budaya asli bangsa Indonesia.
13
DAFTAR PUSTAKA Andi Harsono, 2006, Tafsir Serat Wulangreh, Yogyakarta, Pura Pustaka. Budiono, 1992, Simbolisme dalam Budaya Jaw. Yogyakarta, Hanindita. Damardjati Supadjar, 1993. Nawangsari. Yogyakarta : Widyatama. Dewantoro Boedi, 2001. Strategi Pemberdayaan Daerah dalam Konteks Otonomi, Media Pressindo, Yogyakarta. Fachry Ali, 1986. Etika Pemerintahan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta : Cides. Hadiwirjanto, 2002. Serat Wulangreh dan Terjemahannya. Pendidikan Budi Pekerti, Karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Yogyakarta : SDP. Ismawan Indra, 2001. Kumpulan Peraturan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jilid I, Yogyakarta, Media Pressindo. Jimly Ashiddiqie, 2006, Sistem Tata Negara Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press. Magnis Suseno, Franz, 1994, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Prabarini Utari, 2001, Pengalaman Manca Negara Dinamika Politik Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pustaka Kendi. Ruspana, 1986. Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV. Jakarta : Antarkota. Shah, 1986, Pemikiran Etika Kontemporer, Bandung, Angkasa Soetrisno, 2004. Wayang Sebagai Ungkapan Filsafat Jawa. Yogyakarta : Adityo Pressindo. Sunoto, 1986, Filsafat Nusantara, Yogyakarta, Liberty. Suyanto, 1985. Otonomi Daerah yang Luas dan Bertanggung Jawab, Semarang, Dahara Press.
14
BIOGRAFI PENULIS
DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995, kemudian melanjutkan pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh tahun 2001. Sampai saat ini sudah menulis lebih dari 300 judul buku dan sering menjadi Narasumber TVRI, RCTI, Trans Tivi, Jogja Tivi, RRI dan Radio Komunitas, Narasumber Koran Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Republika, Majalah Gatra, Kabare Jogja, Djoko Lodang, Gama, Tabloid Adil, Nyata, dan Narasumber Seminar Nasional dan Internasional. Kini bekerja sebagai Dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta, Dosen Pasca Sarjana IAID Ciamis Jawa Barat, dan Dosen Universitas Widyagama Malang. Selain itu juga mengelola Pustaka Raja, sebuah jaringan kerja yang menjadi wadah aktivitas sosial dan budaya dari berbagai elemen masyarakat. Penulis tinggal di Jl. Kakap Raya No. 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020 HP 0815 788 65170. ***
15