Relasi Evolusioner Struktur Birokrasi Kerajaan‐Kerajaan Klasik Nusantara Ardian Maulana [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Abstrak
Keragaman model sistem kenegaraan yang dimiliki oleh kerajaan‐kerajaan klasik di Nusantara menunjukan keragaman konsepsi masyarakat Indonesia terkait konsep keteraturan dan kekuasaan. Dalam makalah ini kita menganalisa struktur pemerintahan kerajaan di Nusantara yang dimodelkan sebagai weighted undirected network antar posisi dalam struktur birokrasinya. Karakteristik network terkait properti topologi dan dinamika yang melandasi proses pembentukannya dapat ditunjukan secara kualitatif dalam bentuk distribusi spektrum normalized laplacian graph dari network. Lebih jauh, dengan menggunakan Jensen‐Shannon Divergence, kita mengukur jarak struktural antar struktur birokrasi berdasarkan jarak antar distribusi spektrumnya. Dengan pendekatan ini, kita dapat mengkonstruksi taksonomi hirarki dari sejumlah kerajaan klasik di Nusantara yang sekaligus menunjukan adanya pengelompokan evolusioner dari struktur birokrasinya. Sangat menarik ketika taksonomi kerajaan yang ditunjukan dalam makalah ini cukup sesuai dan mampu menjelaskan dengan sejumlah aspek historis dari kerajaan‐kerajaan tersebut. Lebih jauh, dari pohon relasi evolusioner yang terbentuk juga menunjukan bahwa kerajaan‐kerajaan tersebut tidak hanya memiliki model struktur birokrasi yang beragam tetapi juga berkembang dalam jalur evolusi yang beragam. Ini mengindikasikan ragam model pemerintahan yang dianut oleh kerajaan‐kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara. Kedepannya, dengan penambahan jumlah data yang dianalisa, hal ini ini dapat diarahkan pada upaya pengklasifikasian model pemerintahan berdasarkan kategorisasi yang muncul secara bottom up dari sistem itu sendiri.
Kalau kau sebut negeri seribu raja, memang benar adanya Sebab semangat juang yang terpahat dalam jiwa bangsa adalah warisan mereka Sebab keramahtamahan dan keluhuran budi adalah ajaran mereka Yang terlahir dan terpelihara dari beribu kerajaan sebagai pusat pemelihara budaya [1]
I.
Pendahuluan
Indonesia di masa lampau adalah ratusan atau bahkan ribuan negara yang berdaulat atas wilayahnya masing‐masing [1]. Kompleksitas alamiah dari wilayah yang didiami oleh beragam suku bangsa ini merupakan lahan subur bagi tumbuhnya ragam tata aturan bermasyarakat dan institusi kemasyarakatan. Sebagai bentuk formal dari perilaku kolektif masyarakat, institusi dan sistem pemerintahan membrojol dari interaksi kompleks berbagai faktor yang merefleksikan kapasitas kognitif individu dan interaksinya dalam merespon kompleksitas lingkungannya [2]. Keragaman model tata negara yang dimiliki oleh kerajaan‐kerajaan klasik yang pernah berdiri di kepulauan nusantara menunjukan keragaman konsepsi masyarakat Indonesia terkait konsep keteraturan dan kekuasaan [3]. Sejak awal sejarah nusantara, interaksi antar wilayah sudah terjadi secara intensif tanpa dibatasi kenyataan geografisnya yang berbentuk kepulauan. Hubungan antar dinasti kerajaan yang terbentuk melalui perkawinan dan penguasaan wilayah, maupun akulturasi kebudayaan melalui interaksi perdagangan dan migrasi penduduk adalah kisah yang tercatat dalam berbagai prasasti dan catatan sejarah [4] sekaligus hidup dalam sistem kognitif masyarakat. Jejaring memori kolektif yang mengatasi batasan geografis ini terefleksi melalui kemiripan‐kemiripan dari berbagai artefak kebudayaan masyarakat lokal [5,6]. Hal ini melahirkan dugaan bahwa sistem pemerintahan sebagai artefak kehidupan politik masyarakat Nusantara tidak semata‐mata mencerminkan lokalitas dimana kerajaan‐ kerajaan tersebut berdiri namun juga menyimpan jejak kolektivitas dari kognisi politik masyarakat yang hidup di kepulauan ini. Untuk mengidentifikasi adanya kolektivitas terkait konsepsi ketatanegaraan tiap kerajaan, perlu dilakukan elaborasi lebih jauh terkait kedekatan struktural antar struktur birokrasi pemerintahannya. Pada penelitian sebelumnya, kita telah menunjukan sejumlah property topologi network birokrasi dari beberapa kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara [3]. Dalam makalah ini, kita mengadaptasi pendekatan yang diajukan oleh Banerjee [7] untuk mengkuantifikasi jarak struktural antar network. Makalah ini diawali dengan review singkat mengenai spektrum network yang dimodelkan sebagai normalized laplacian graph serta metode pengukuran jarak antar distribusi spektrum menggunakan Jensen‐Shanon Divergence. Pada bagian selanjutnya, jarak struktural antar network dihitung dan divisualisasikan untuk mendapat gambaran adanya pengelompokan kerajaan berdasarkan struktur pemerintahannya. II.
Review Metode: Spektrum Normalized Laplacian Graph dan Jensen‐Shanon Divergence
Pendekatan network berperan penting dalam representasi dan analisa data di berbagai disiplin keilmuan [8‐11]. Pengukuran properti centrality, path length, diameter, clustering coefficient dari graf telah menjadi parameter standar untuk mengakarakterisasi topologi network. Dalam perkembangannya, kemudahan akses data empirik dan perkembangan teknologi komputasi untuk analisa data kemudian
mendorong eksplorasi lebih jauh mengenai properti struktural maupun dinamika network dengan jumlah node yang banyak. Sejumlah parameter statistik network seperti distribusi derajat node, characteristic path length dan clustering coeficient digunakan menunjukan adanya properti universal dari network, yang sekaligus menjadi karakteristik topologi dari complex network. Struktur network terkait erat dengan dinamika proses pembentukannya yang lebih jauh mencerminkan karakteristik dari sistem dimana network tersebut tumbuh. Upaya investigasi kedekatan struktural antar network merupakan salah satu problem utama dalam analisa network. Hal ini karena metode yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi properti topologi maupun statistik dari network sangat dipengaruhi oleh ukuran dari network yang dianalisa sekaligus tidak sensitif terhadap sistem dimana network tersebut tumbuh. Teori spektral merupakan salah satu metode yang berkembang di teori graf. Pendekatan ini digunakan untuk mengekstrak informasi struktural dari graf karena spektrum graf mampu merefleksikan karakteristik topologi graf secara global seperti jumlah komponen di dalam network, tipe graf, maupun kemudahan partisi graf. Lebih jauh, spektrum network yang dimodelkan sebagai normalized laplacian graph juga mampu mengidentifikasi properti lokal graf terkait dinamika pembentukannya (motif) seperti vertex doubling dan edge doubling (motif duplication) atau melalui motif joining (untuk lebih detail, lihat [12‐15]). Namun adanya problem isospectral, yakni dua graf yang berbeda dengan spektrum yang sama, membuat struktur graf tidak selamanya secara unik direpresentasikan oleh spektrumnya. Walaupun demikian, secara umum problem ini dapat diabaikan ketika ukuran graf semakin besar, khususnya untuk graf yang dimodelkan sebagai normalized laplacian graph [16]. Di [17,18], Banerjee menunjukan bahwa karakteristik kualitatif network dapat terefleksikan melalui distribusi spektrum laplacian grafnya. Dengan demikian spektrum graf dapat digunakan untuk menginvestigasi kedekatan struktural antar network. Dalam makalah ini, kita mengadaptasi pendekatan yang diajukan oleh Banerjee [17,18] untuk menganalisa struktur birokrasi kerajaan klasik di Nusantara. Namun berbeda dengan Banerjee, struktur birokrasi kerajaan di sini kita modelkan sebagai weighted undirected graph G (V,E), dimana V adalah himpunan vertex dan E adalah himpunan relasi antar node dengan fungsi bobot w : V × V → \ . Model graf dan fungsi bobot ini akan didiskusikan lebih jauh pada bagian selanjutnya. Graf Laplacian untuk G dapat direpresentasikan dalam normalized Laplacian matrix (A) sebagai berikut [16]: ,
1 A u, v
jika u
,
v, dan d jika u, v
0
0 E
(1)
(2)
lainnya
dimana du adalah derajat dari vertex u, sebagai berikut: d
∑ w u, v
Spektrum normalized laplacian graf G adalah himpunan nilai eigen (λ) matriks A. Nilai eigen matriks laplacian yang berada pada interval 0≤λ≤2 membuat perbandingan antar network tidak lagi terhambat oleh problem perbedaan ukuran network. Namun demikian, ukuran network yang bervariasi dan nilai eigen yang mengumpul pada sejumlah nilai tertentu dengan frekuensi yang berbeda‐beda menyebabkan
perbandingan distribusi spektrum secara visual sulit dilakukan. Untuk itu, dalam makalah ini kita melakukan proses konvolusi terhadap data spektrum network menggunakan gaussian kernel, sebagai berikut: ∑
√
(3)
dimana λj adalah nilai eigen. Distribusi spektrum diperoleh dengan menormalisasi data hasil konvolusi tersebut. Kehalusan kurva yang diperoleh sangat ditentukan oleh nilai σ yang digunakan. Dalam makalah ini, konvolusi dilakukan menggunakan nilai σ=0.05. Prinsipnya, kita menggunakan nilai σ yang sekecil mungkin untuk mendapat kurva distribusi yang detil dan tidak menyimpang jauh dari data spektrum, sambil berupaya meminimasi adanya frekuensi spektrum yang bernilai nol. Perbedaan pola distribusi spektrum dapat dielaborasi lebih jauh untuk menunjukan jarak struktural antar network. Dalam konteks ini, jarak distribusi spektrum dari dua network dapat dianggap sebagai ukuran perbedaan strukturalnya. Kita menggunakan Jensen‐Shannon Divergence untuk mengukur jarak distribusi spektrum p1 dan p2 dari network G1 dan G2, yang didefenisikan sebagai berikut: JS p1, p2
KL p1||p
KL p2||p
(4)
(5)
(6)
dimana, p
p1
KL p1||p
p2
∑
p1 x Log
KL(p1||p) adalah Kullback‐Leibler divergence. KL divergence tidak memenuhi kriteria sebagai metrik karena tidak simetris (KL(p1||p)≠KL(p||p1)), tidak terdefenisikan ketika p1≠0 dan p=0 untuk setiap xЄX, dan tidak memenuhi persyaratan triangle inequality. Namun tidak demikian halnya dengan JS divergence. JS divergence bersifat simetris, terdefinisikan pada distribusi yang tidak kontinu seperti saat p1=0 dan atau p2 =0, dan JS≥0 dimana JS= 0 jika p1=p2 (untuk lebih detail lihat [19,20,21]). Lebih jauh, akar kuadrat dari JS memenuhi persyaratan triangle inequality sehingga dapat didefenisikan sebagai metrik [22]. Entropi adalah jumlah informasi rata‐rata dibutuhkan untuk menggambarkan suatu random variabel. KL divergence atau relative entropy adalah metode yang berkembang di teori informasi untuk mengukur jarak antara dua distribusi [21]. Dalam kasus struktur kerajaan, nilai KL(p1||p) merefleksikan ketidakefisienan mengasumsikan p sebagai distribusi informasi dari struktur x jika struktur yang sebenarnya adalah G1 dengan distribusi informasi p1. JS divergence, sebagai bentuk simetrik KL divergence, merupakan ukuran jumlah informasi yang dimiliki bersama oleh struktur G1 dan G2 relatif terhadap p. Dalam makalah ini, kita mendefenisikan jarak struktural D(G1,G2) sebagai berikut [6], D G1, G2
JS p1, p2
(7)
III.
Sp pektrum netw work birokrasi kerajaan‐kkerajaan di Nu usantara
Dalam maakalah ini kitta menganaliisa data struktur birokrassi kerajaan‐keerajaan yang pernah berd diri di kepulauan n Indonesia (ggambar 1). Daata detail stru uktur birokrasi kerajaan dii Nusantara d dapat dilihat d di [3].
G Gambar 1: Network birokasi keerajaan‐kerajaaan di Nusantarra
Seperti ditunjukan di [[3], kita memodelkan struktur birokrasi kerajaan sebagai undireccted graph G (V,E), V (vi V; i=1,2 2,…N) adalah himpunan N posisi dalam m struktur birokrasi, dan E={eij; {i,j}=1,2 2,…N } dimana V adalah himpunan relaasi antar posisi birokrasi. Namun berb beda dengan [3], dalam makalah m ini, relasi antar verttex posisi birrokrasi eij meempunyai bobot relasi yang ditentukan berdasarkaan fungsi eij=w(i,j). Dengan kata lain, kita memodelkan n struktur birrokrasi kerajaaan‐kerajaan di Nusantara sebagai weig ghted undirected graph, denggan fungsi relasi yang dideefenisikan seb bagai berikut,,
(
)
dimana cci adalah nilai sentralitas eigen vector c dari vertex I ci ∈ c yang telah dipeeroleh sebelumnya di [3]. Seeperti diketah hui bahwa sen ntralitas eigen vector men nunjukan nilai penting seb buah vertex terkait relasinya dengan verttex penting lainnya. l Sebu uah vertex menjadi m pentting karena terhubung t deengan u kepada nilaii sentralitas eigen vertex penting lainnyaa. Bobot relassi antar nodee posisi birokrrasi mengacu ut. Ini mengin ngat nature d dari struktur birokrasi sebagai strukturr yang vector dari pasangan node tersebu dimana posisi‐posisi penting dalam biro okrasi cenderrung untuk saaling terhubu ung satu samaa lain. tertutup d Akibatnyaa, bobot dari posisi‐posissi tersebut akan saling bergantung saatu sama lain n ketika dim maknai
dalam ukuran sentralitas eigennya. Dengan demikian, dua vertex posisi yang memiliki nilai sentralitas yang tinggi dalam struktur birokrasi dan terhubung satu sama lain akan memiliki bobot relasi yang tinggi. Pada kondisi lain, vertex posisi dengan sentralitas yang rendah akan mempunyai bobot relasi yang tinggi dalam hubungannya vertex posisi yang penting. Dengan metode normalized laplacian graph yang telah dijelaskan sebelumnya, kita dapat menghitung distribusi spektrum dari struktur birokrasi yang dianalisa. Pada gambar 2 ditunjukan contoh distribusi spektrum dari 6 struktur birokrasi kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara.
Gambar 2: Distribusi spektrum Laplacian dari struktur birokrasi kerajaan di nusantara (a‐f): a. Majapahit (n=114), b.Mataram islam (n=96), c.Ternate (n=83), d. Yogyakarta (early times, n=62), e. Yogyakarta (Japan colonialism, n=140), f. Yogyakarta (pre 1942, n=140).
Sebagai pembanding, kita juga menunjukan distribusi spektrum dari network Amazon online copurchasing books about US politic (n=105, gambar 3a), Network American football games season fall 2000 (n=115, gambar 3b), network hyperlink between blog on US politic (n=1222, gambar 3c), 34 random network Erdos Renyi [23] (jumlah node dipilih secara random dengan distribusi yang uniform pada interval 20‐300) dengan probabilitas keterhubungan antar node=0.5 (gambar 3d). Distribusi spektrum yang ditunjukan pada gambar 2 memperlihatkan adanya perbedaan antar struktur network. Karakter topologis, lokal maupun global, dari setiap struktur terepresentasi melalui pola sebaran frekuensi nilai eigennya. Seperti yang telah diduga sebelumnya, distribusi spektrum network birokrasi kerajaan menunjukan pola distribusi yang mirip, yang dengan mudah dapat dibedakan dengan spektrum network pembandingnya (gambar 3) yang berasal dari sistem yang berbeda. Hal ini memperkuat apa yang telah ditunjukan di [11,12] bahwa terdapat perbedaan visual yang cukup tegas antar distribusi spektrum network dari domain yang berbeda. Dengan kata lain, klasifikasi network dapat didekati secara kualitatif berdasarkan pola distribusi spektrum dari network tersebut. Lebih jauh, distribusi spektrum dari 34 random network (gambar 3d) menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan satu sama lain. Hal ini karena mekanisme pembentukan random network
pada dasarnya sama walaupun secara struktur berbeda akibat proses random dalam pembentukannya. Dengan kata lain, distribusi spektrum network yang dikonstruksi menggunakan pendekatan normalized laplacian graph mampu merepresentasikan properti lokal network terkait proses pembentukannya.
Gambar 3: Distribusi spektrum normalized Laplacian dari: a. Network Amazon online copurchasing books about US politic [29], b.Network of American football games season fall 2000 [28], c.Network hyperlink between blog on US politic [30] d.Random network (p=0.5).
IV.
Taksonomi hirarki struktur birokrasi kerajaan di Nusantara
Konfigurasi hirarki kekuasaan dalam organisasi kerajaan merupakan bentuk formal dari perilaku kolektif suatu masyarakat. Perilaku kolektif ini terkait erat dengan interaksi dan respon individu dalam masyarakat ketika dihadapkan dengan kompleksitas sistem dimana ia berada. Interpretasi masyarakat terhadap kompleksitas dari sistem hidupnya membentuk persepsi masyarakat dalam memaknai konsep keteraturan dan kekuasaan. Konsekuensinya, setiap kebudayaan akan menumbuhkan bentuk organisasinya yang unik dan terus berkembang semakin kompleks sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Lebih jauh, sebagai artefak kebudayaan manusia, struktur birokrasi kerajaan hidup di dalam sistem yang terbuka terhadap proses interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini memicu munculnya variasi dan kemiripan antar struktur birokrasi kerajaan. Kedekatan struktural antar kerajaan dapat dikuantifikasi berdasarkan jarak spektrum network birokrasinya. Jarak ini merepresentasikan kuantitas informasi yang dimiliki bersama oleh kerajaan‐ kerajaan tersebut. Informasi ini tidak hanya terkait topologi relasi dari komponen birokrasi semata, tetapi juga menyangkut proses pembentukan relasi dan bagaimana otoritas kekuasaan didistribusikan di dalam relasi tersebut. Dalam konteks ini, kemiripan struktur birokrasi dapat dimaknai dalam perspektif hubungan evolusioner antar kerajaan. Dengan menggunakan persamaan 7, kita kemudian mengkonstruksi matriks jarak dari 13 kerajaan yang dianalisa dalam makalah ini. Relasi evolusioner antar struktur birokrasi kerajaan terepresentasikan oleh adanya karakter hirarkis dari hubungan yang terbangun. Untuk mengekstraksi karakter hirarki ini, kita terlebih dahulu harus
memetakan matriks jarak antar kerajaan ke dalam ruang ultrametrik sedemikian sehingga jarak antar elemen dalam sistem memenuhi kaidah sebagai berikut [31], D
,
Max D
,
,D
,
(9)
Proses ini dilakukan dengan mengkonstruksi Minimum Spanning Tree (MST) dari n x n matriks jarak menggunakan algoritma Kruskal [32] sehingga kemudian dapat diperoleh pohon taksonomi n kerajaan dengan total jarak antar node kerajaan di dalam ruang ultrametrik tersebut paling minimum.
Gambar 4 Struktur MST dari relasi antar struktur birokrasi kerajaan klasik di Nusantara
Gambar 4 merupakan struktur MST kerajaan‐kerajaan klasik di Nusantara. Gambar tersebut menunjukan posisi setiap kerajaan terkait kedekatan struktur birokrasinya. Struktur birokrasi kerajaan klasik sebagai institusi organik tidak hanya sekedar merepresentasikan sebuah bentuk formal tata pemerintahan, tetapi juga terkait erat dengan kenyamanan psikologis masyarakat kerajaan dalam memandang formalisasi kekuasaan tersebut. Dalam konteks ini, posisi kerajaan majapahit sebagai node sentral dalam struktur MST kerajaan‐kerajaan tersebut dapat dibaca sebagai kedekatan jarak Majapahit terhadap seluruh kerajaan lainnya terkait kemiripan struktur birokrasinya. Artinya, struktur birokrasi Majapahit mampu merepresentasikan ragam struktur birokrasi yang ada. Hal ini sangat menarik mengingat Majapahit merupakan kerajaan dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh kepulauan Indonesia saat ini. Dengan kata lain, dalam makalah ini kita berhasil menunjukan kebesaran kerajaan ini melalui eksplorasi saintifik terhadap kompleksitas struktur birokrasinya. Keunikan spasial kepulauan Nusantara dan interaksi antar wilayah yang intensif melahirkan ragam bentuk sistem pemerintahan yang unik sekaligus memiliki kemiripan satu sama lain. Secara umum, gambar 4 juga menunjukan adanya empat cluster kerajaan relatif terhadap posisi kerajaan Majapahit
yakni; pertama, Gowa, Bima, Ondoafi; kedua, Mataram Islam, Yogyakarta pada masa awal dan masa kolonialisasi Jepang; ketiga, Gianyar, Balanipa Mandar, Sailolof, Pagaruyung dan Yogyakarta pada masa kolonialisasi Inggris dan Belanda (sebelum 1942); dan keempat: kesultanan Ternate. Menariknya, beberapa pengelompokan yang terjadi terlepas dari batasan geografis dimana kerajaan tersebut berada. Hal ini tentu terkait dengan berbagai bentuk modifikasi internal dari struktur pemerintahan yang didorong oleh adanya perkawinan antar dinasti, invasi, migrasi penduduk, perdagangan, maupun penyebaran agama. Dinasti Mataraman di Jawa memiliki empat model struktur birokrasi yang berbeda sebagai akibat dari pengaruh Islam maupun interaksinya dengan kekuasaan Belanda dan Inggris yang membawa pengaruh model administrasi moderen. Proses interaksi ini terjadi secara kreatif dalam arti tidak menghilangkan karakter unik dari kerajaan ini. Hal ini ditunjukan oleh kemunculan Mataram Islam dan Yogyakarta (masa awal dan masa pendudukan Belanda dalam cluster yang sama. Hal yang berbeda ditunjukan oleh struktur birokrasi Yogyakarta pada masa kolonialisasi Jepang. Hal ini karena pada masa ini (1942‐1945), Sultan Yogyakarta memiliki keleluasaan untuk membentuk dan menjalankan tata pemerintahannya sendiri [26]. Namun demikian, secara umum, keempat model birokrasi dinasti mataraman ini tetap menempati posisi yang dekat dengan struktur birokrasi Majapahit. Hal ini dapat dibaca sebagai upaya dinasti Mataraman untuk menjaga akar historisnya terhadap kerajaan Majapahit pada saat bertransformasi menjadi kesultanan Islam dan mengadopsi model administrasi modern. Sangat menarik ketika dinamika kesejarahan ini dapat dijelaskan oleh kedekatan struktur birokrasi kerajaan tersebut. Gambar 4 juga menunjukan kedekatan posisi kerajaan Majapahit dan kesultanan Ternate. Hal ini menarik mengingat keduanya merupakan kerajaan besar yang mewakili peradaban Hindu dan Islam serta menempati dua wilayah yang berbeda di kepulauan Nusantara. Kedekatan keduanya terkait erat dengan konstruksi birokrasinya yang memberikan keseimbangan antara otoritas pemerintahan pusat dengan otonomi dari setiap wilayah kerajaan. Perbedaan keduanya terletak pada model sistem representasi yang dianut. Model satu level representasi di Majapahit memunculkan Perdana Menteri sebagai sosok sentral dalam birokrasi, sementara model dua level representasi dalam sistem birokrasi Ternate menempatkan Sultan sebagai tokoh sentral [3]. Lebih jauh, posisi Ternate yang berada dalam cluster tersendiri menunjukan bahwa model birokrasi pemerintahan Islam Ternate berbeda dengan kesultanan Islam lainnya seperti Gowa maupun Mataram Islam dan Yogyakarta. Hal yang sama juga terlihat dari struktur birokrasi Majapahit yang mempunyai jarak struktural yang cukup jauh terhadap kerajaan Hindu Gianyar. Dalam perspektif Indianisasi [27], Majapahit dan Gianyar seharusnya mempunyai kemiripan karakteristik terkait konsepsi tentang negara dan kekuasaan (indianized kingdom). Kenyataan bahwa kedua kerajaan Hindu tersebut berbeda secara struktural menunjukan bahwa proses modifikasi struktur internal birokrasi kerajaan terkait interaksinya dengan berbagai faktor eksternal selalu terjadi secara selektif dan kreatif. Dalam konteks ini, sistem pemerintahan kerajaan‐ kerajaan klasik Nusantara harus dipandang sebagai sistem komplek yang adaptif, yakni sistem yang tumbuh secara bottom up, membrojol dari interaksi kompleks dari berbagai aspek terkait kreativitas dan aspek kognitif individu maupun interaksi dan kolektivitas sosial masyarakatnya. Gambar 5 merupakan visualisasi matrik jarak ke dalam bentuk pohon evolusioner struktur birokrasi kerajaan klasik di Nusantara. Gambar 5 dapat dipahami dalam konteks proses evolusi organisasi
pemerintahan kerajaan dari struktur yang simpel ke struktur birokrasi yang kompleks. Hal ini tentu saja berkaitan dengan mode distribusi kekuasaan dan koordinasi antar posisi dalam pemerintahan yang efektif. Dalam perspektif ini, terlepas dari terbatasnya jumlah data yang dianalisa, Majapahit dan Ternate muncul sebagai puncak evolusi dari struktur birokrasi kerajaan klasik Nusantara. Demikian pula halnya dengan Mataram Islam dan kesultanan Yogyakarta awal, namun dengan jalur evolusi yang berbeda dengan dua kerajaan sebelumnya. Ini menunjukan bahwa kerajaan‐kerajaan tersebut tidak hanya memiliki model struktur birokrasi yang beragam tetapi juga mengembangkan model pemerintahan yang berbeda‐beda.
Gambar 5 Pohon jarak network birokrasi kerajaan di Nusantara
V.
Penutup
Dalam makalah ini kita menganalisa struktur birokrasi kerajaan klasik Nusantara yang dimodelkan sebagai weighted undirected network antar posisi dalam birokrasi pemerintahan. Karakteristik network terkait properti topologi dan dinamika yang melandasi proses pembentukannya dapat ditunjukan secara kualitatif melalui distribusi spektrum normalized laplacian graph nya. Dengan pendekatan ini kita dapat melakukan perbandingan antar network dengan ukuran yang berbeda‐beda mengingat nilai spektrum yang terbatas pada interval tertentu. Lebih jauh, kita dapat mengidentifikasi perbedaan antar struktur
berdasarkan jarak antar distribusi spektrumnya sekaligus menunjukan relasi evolusioner antar struktur birokrasi kerajaan tersebut. Hal ini memberikan perspektif baru dalam memandang struktur birokrasi kerajaan klasik tidak sebagai artefak kebudayaan sebuah masyarakat semata melainkan sebuah model organisasi yang tumbuh secara organik dan berevolusi sepanjang peradaban masyarakat tersebut. Lebih jauh, hal ini mengantarkan kita memahami sistem politik secara empirik dan terlepas dari berbagai kategorisasi sistem politik modern. Dalam makalah ini kita berhasil merekonstruksi pohon relasi evolusioner struktur birokrasi kerajaan di Nusantara. Taksonomi hirarki struktur birokrasi yang dibangun cukup sesuai dan mampu menjelaskan dengan sejumlah aspek historis dari kerajaan‐kerajaan tersebut. Lebih jauh, dari pohon relasi evolusioner yang terbentuk juga menunjukan bahwa kerajaan‐kerajaan tersebut tidak hanya memiliki model struktur birokrasi yang beragam tetapi juga berkembang dalam jalur evolusi yang beragam. Ini mengindikasikan ragam model pemerintahan yang dianut oleh kerajaan‐kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara. Hal ini dapat diarahkan pada upaya pengklasifikasian model pemerintahan berdasarkan kategorisasi yang muncul secara bottom up dari sistem itu sendiri. Lebih jauh, kita juga dapat memetakan model tata pemerintahan modern yang ada saat ini ke model tata birokrasi klasik ini untuk melihat kedekatan evolusionernya satu sama lain, guna mencari insight baru terkait upaya inovasi dalam tata organisasi pemerintahan modern. Hal ini menjadi bagian dari kerja penelitian selanjutnya mengingat jumlah data yang dianalisa dalam makalah ini sangat sedikit relatif terhadap jumlah kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. VI.
Pengakuan
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Usman Apriadi atas bantuannya dalam pembuatan ilustrasi gambar, Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir atas arahan dan diskusinya, seluruh peneliti Bandung Fe Institute atas motivasi yang diberikan, serta Surya Research Int. atas bantuan dana selama penelitian ini dilakukan. Seluruh kesalahan adalah tanggung jawab penulis.
VII.
Referensi 1. Hariyono, Lies & Johnston, Christopher, eds., (2004)., “Indonesia: The land of a thousand kings,. Jakarta: Foresight. 2. Bar‐Yam, Yaneer.,(2003)., ”Complexity Rising, Form Human Beings to Human Civilization, A Complexity Profile., New England Complex Systems Institute, Cambridge, MA, USA 3. Situngkir, H & Maulana, A.,(2009).,”Study to Ancient Royal Bureaucracies in Indonesian Archipelago, wp 2009 Bandung Fe Insititute. 4. Lombard, D.,(2005).,”Nusa Jawa Silang Budaya I,II,III”.,Gramedia Pustaka Utama. 5. Situngkir, H.,(2008).,”Constructing the Phylomemetic Tree. Case of Study: Indonesian Tradition‐ Inspired Buildings, wp 2008 Bandung Fe Institute 6. Situngkir, H.,(2008).,” Evolutionary Clustering in Indonesian Ethnic Textile Motifs, wp 2008 Bandung Fe Institute. 7. Banerjee, A.,(2008).,” Structural distance and evolutionary relationship of networks, 2008 8. Albert,R., Barabasi,A.,(2002).,”The statistical mechanics of complex networks”.,Reviews of Modern Physics, 74:47. 9. Albert,R., Jeong,H., Barabasi.A.,(1999).,”Diameter of the world‐wide web”., Nature. 10. Dorogovtsev,S., Mendes,J.,(2002).,”Evolution of networks”., Advances in Physics, 51:1079. 11. Newman,M.,(2003).,”The structure and function of complex networks”.,SIAM Review. 12. Banerjee,A & Jost,J.,(2007).,”Graph spectra as a systematic tool in computational biology” e‐ print :arXiv:0706.0113v1 13. Banerjee,A & Jost,J.,(2007).,”Spectral plots and the representation and interpretation of biological data”., Theory in Biosciences, 126(1), 15‐21, 2007. 14. Chung.F.,(1997).,”Spectral graph theory, AMS. 15. Jost,J., Joy.M.P.,(2002).,”Spectral properties and synchronization in coupled map lattices”, Phys.Rev.E 65(1). 16. Zhu,P.,Wilson,R.C.,(2009).,”A Study of Graph Spectra for Comparing Graphs., Computer Science Department, University of York, UK 17. Banerjee,A & Jost,J.,(2007).,”Laplacian spectrum and protein‐protein interaction networks”, e‐ print: arXiv. 18. Banerjee,A & Jost,J.,().,”On the spectrum of the normalized graph Laplacian”, e‐print: arXiv:0705.3772v1 19. Jianhua Lin.,(1991).,”Divergence Measures Based on the Shannon Entropy”.,IEEE Transaction On Information Theory, Vol. 37, No. I, January 1991 20. Grosse,et.al.,(2002).,”Analysis of symbolic sequences using the Jensen‐Shannon divergence”.,Physical Review E, Vol 65 21. Cover,T.M.,(1991).,”Elements of Information Theory” John Wiley & Sons, Inc. 22. Osterreicher,F., Vajda,I.,(2003).,” A new class of metric divergences on probability spaces and and its statistical applications”., Ann. Inst. Statist. Math. 23. Erd˝os,P., R´enyi,A.,(1959).,” On random graphs”., Publ. Math. Debrecen, 6:290‐297. 24. Bryant, D., Moulton, V.,(2004).,” Neighbor‐Net: an agglomerative method for the construction of phylogenetic networks”., Mol. Biol. Evol. 21, 255–265.
25. Saitou N, Nei M (1987). "The neighbor‐joining method: a new method for reconstructing phylogenetic trees". Mol Biol Evol 4 (4): 406–425. 26. Suwarno, P.j., (1994)., Hamengku Buwono IX dan sistem birokrasi pemerintahan Yogyakarta, 1942‐1974., Kanisius. 27. Lukas,H.,(2003).,” Theory of Indianization:Exemplified by Selected Case Studies from Indonesia (Insular Southeast Asia)., Sanskrit Studies Centre and Department of Oriental Languages, Silpakorn University (Mahachulalongkornrajavidyalaya Press): Bangkok 2003: 82‐107 28. Girvan,M.,Newman,M.E.J.,(2002).,”Community structure in social and biological networks”,Proc. Natl. Acad. Sci. USA 99, 7821‐7826 29. Krebs,V.,” Books about US politics”.,unpublished,http://www.orgnet.com/ 30. Adamic,L.A.,Glance,N.,(2005).,”The political blogosphere and the 2004 US Election", in Proceedings of theWWW‐2005 Workshop on the Weblogging Ecosystem. 31. Rammal, R., Toulouse, G., & Virasoro, M. A. (1986). “Ultrametricity for Physicists”. Rev. Mod. Phys. 58:765‐88. 32. Situngkir, Hokky., Surya,Y., (2004), “The Political Robustness in Indonesia: Evaluation on hierarchical taxonomy of legislative election results 1999 & 2004”, BFI Working Paper Series