Nama Penulis tiap Artikel
REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DI INDONESIA (Telaah Kurikulum Pondok Pesantren, Menuju Arah Baru Pendidikan Islam di Era Globalisasi) Ali Mu`tafi Penulis adalah Dosen UNSIQ Jawa Tengah, Mahasiswa Program Doktor UIN Kalijaga Yogyakarta Abstrak Pendidikan adalah sebuah proses, sekaligus sistem yang bermuara pada pencapaian kualitas manusia tertentu yang dianggap dan diyakini sebagian kualitas yang idaman (desirable quality). Manusia sebagai hamba yang berperadaban tinggi, sudah barang tentu harus menjaga nilai-nilai dan karakteristiknya sebagai makhluk yang paling tinggi (the high quality). Pada era sekarang ini, keterbukaan informasi dan gencarnya proses transformasi nilai-nilai pendidikan Islam, pondok pesantren yang notabene sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia sangat diharapkan sekali mampu membentengi gerak dan perkembangan yang menyebabkan problematika global semakin membengkak, suasana kehidupan yang kini bersaing, ditambah dengan pluralitas kehidupan yang semakin kompleks. Ini juga terasa menimbulkan kekhawatiran bukan saja dikalangan pendidik, pejabat, dan pemerhati kehidupan, akan tetapi juga dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah sampai kelas atas, dari kota sampai ke berbagai penjuru pelosok desa. Problem yang saat ini masih dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren khususnya pesantren yang masih tradisional adalah kenyataan yang berada di lapangan adanya sikap kepentingan individu yang meninggalkan orientasi tujuan pendidikan baik secara umum maupun secara khusus, maka perlu adanya reorientasi pada tujuan. Keberadaan kurikulum bukan hanya memuat mata pelajaran, tetapi juga berbagai segi yang terkait dengan proses belajar mengajar, dan pedoman penyelenggaraan pendidikan yang lain seperti penilaian, bimbingan, sampai administrasi kurikulum serta manajemen institusi pendidikan itu sendiri Kata Kunci: Rekonstruksi, Sistem Pendidikan, Pesantren, Tradisional
A. Pendahuluan Perkembangan dan kemajuan masyarakat yang semakin cepat, menuntut setiap lembaga pendidikan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntunan zaman yang diusung oleh globalisasi, karena globalisasi merupakan sebuah keniscayaan, mau tidak mau harus kita hadapi, atau kita terlindas terbawa oleh arus perkembangan zaman. Karena bergulirnya arus ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh perkembangan peradaban dan kebudayaan, terlepas itu karena sisi positif teknologi atau justru sisi negatif perkembangan nuansa kehidupan itu sendiri. Yang jelas setiap terjadi suatu perubahan pasti akan mempunyai side effect (dampak) bagi penghuni bumi, terlebih manusia. Oleh sebab itu, pesantren yang diharapkan banyak kalangan penuh dengan kedisiplinan, intelektual, berbudaya dan memiliki susila, diharapkan mampu memberikan solusi dan antisipasi terhadap perkembangan transformasi yang semakin terbuka ini. Pada kenyataan masih terdapat pesantren yang menutup diri dari perkembangan zaman. Pesantren tersebut hanya mempelajari masalah keagamaan an sich. Kurikulum yang digunakan masih bersifat tekstual mempelajari kitab-kitab terdahulu (kitab kuning),
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149
Ali Mu`Tafi , Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
nahwu sharaf, fiqh, tauhid, dan lain sebagainya. Ditambah lagi kepemimpinan pesantren "kyai" yang masih bersifat keturunan, hanya sebuah kharisma yang diunggulkan, tetapi dalam hal manajemen pengelolaan pesantren masih tradisional. Bahkan menutup diri dengan perkembangan dari luar. Arah dan tujuan proses pembelajarannya masih bersifat kognitif, hanya pada substansi materi, tidak ada pada ranah afektif dan psikomotorik. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mencoba merekonstruksi sistem pendidikan pesantren yang masih tradisional kaitannya dalam hal kurikulum yang digunakan pada pesantren tradisional. Penulis mencoba untuk menemukan konsep kurikulum lembaga pendidikan pesantren. Apalagi pada era globalisasi ini, pesantren merupakan salah satu aset pendidikan nasional, yang diharapkan dapat mencetak peserta didik (santri) untuk bisa menghadapi era globalisasi yang merupakan sebauh keniscayaan. B. Pesantren Dalam Kontek Historis Pondok pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, pondok dan pesantren. Pondok dalam bahasa arab funduq yang berarti tempat singgah, sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang dalam pelaksanaan pembelajarannya tidak dalam bentuk klasikal. Jadi pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam non klasikal di mana peserta didik (santri) disediakan tempat singgah atau "pemondokan". Kata santri berasal dari kata santri (manusia baik) dan tra (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.1 Pendapat lain, mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa jawa "cantrik", yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap. Pengertian terminologi pesantren di atas mengindasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Dari sinilah Nurkholish Madjid berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya megandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada sejak pada masa Hindu-Budha. Dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. 2 Secara terminologis pondok pesantren berarti lembaga pendidikan agama Islam yang di asuh oleh kyai yang memiliki kharismatik dengan menggunakan sistem asrama dan dengan metode pembelajarannya berlangsung dalam bentuk wetonan, sorogan, dan, hafalan, dengan masa belajar yang disesuaikan dengan banyaknnya kitab klasik yang telah dipelajari oleh santri. Kalau kita lihat dari sistem pengajaran pesantren, memang terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual keagaman Hindu, di mana terdapat penghormatan yang besar oleh santri kepada kyainya. Kyai duduk di atas kursi yang dilapisi dengan bantal, dan para santri duduk bersila mengelilinginya. Dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap kyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kyainya. 3 sehingga peran kyai sangat signifikan terhadap eksistesni sebuah pesantren. 1 A. Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan : Monografi, (Jakarta: LEKNAS LIPI,, 1976), hal. 2. 2
Dawam Rahardjo, (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, (Jakarta : P3M, 1985),
3
Nurkholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina : 1997), hal.
hal. 3. 22. 150 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondoktiap Pesantren Nama Penulis Artikel
Keberadaan sang kyai di lingkungan pesantren bak jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan sang kyailah sebagai perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren. Sehingga banyak pesantren yang reputasinya turun, karena sang kyai tersebut meninggal dan tidak ada penerus yang dapat menggantikannya.4 salah satu unsur yang dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, kharismatik, dan ketrampilannya.5 Sehingga tidak jarang sebuah pesantren tanpa memiliki manajemen pendidikan yang rapi dan teratur. Segala sesuatunya tergantung dari kebijakan kyainya. 6 Sedangkan pada proses pembelajarannya ini berlangsung di masjid atau musholla, 7 yang merupakan elemen kedua pada pondok pesantren. 8 Ada juga tempatnya langsung di rumah sang kyai, untuk digunakan sebagai tempat aktivitas pembelajaran. Selain para santri yang bermuqim di pondok, terdapat juga anak-anak dari masyarakat sekitar pondok atau disebut dengan santi kalong, santri yang hanya mengikuti pengajian kepada kyai setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Fakta diatas menunjukan bahwa pesantren pada awal keberadaannya tidak bisa dilepas dari dukungan dan perhatian masyarakat sekitar pondok. Sehingga perkembangan dan kemajuan pondok pesantren tidak dapat dipisahkan dari perubahan kemajuan ekonomi masyarakat. Begitu juga sebaliknya, perkembangan dan kemajuan ekonomi masyarakat, membawa pengaruh besar terhadap perubahan dan kehidupan pondok pesantren. C. Problematika Pesantren di Era Globalisasi Seiring dengan pergeseran dalam tatanan masyarakat dari era industri menuju era pasca industri, yang ditandai dengan meluasnya perkembangan informasi dan teknologi yang sangat pesat. Hingga akhirnya hubungan antara manusia dari berbagai masyarakat di dunia melampaui batas-batas rasional. Dengan di usung oleh globalisasi, seluruh tatanan yang berada dalam masyarakat menjadikan tatanan global karena batas-batas wilayahnya terekspos arus globalisasi. Apalagi era sekarang ini, di era respiritualisasi yang menghadirkan a mint shift dalam masyarakat yang kini mengacu pada suatu transformasi dan rekonsturksi. Terutama sekali dalam bidang pendidikan.9 4
Imam Badawi, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1993), hal. 90.
5
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal.
49. 6 Mensikapi kondisi tersebut Mukti Ali pernah menyarankan agar dalam pesantren mesti ada suatu badan atau yayasan yang bertugas antara lain : untuk mengurusi pendidikan dan pengajaran pondok pesantren dan merencanakan serta melaksanakan manajemen pengembangan fisik dan keperluan pondok pesantren untuk menjamin kelangsungan dan peningkatan pondok pesantren. Lihat A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali Perss, 1981), hal. 23-24. 7 Masjid atau Musholla adalah sebagai pusat pendidikan Islam dalam tradisi pesantren yang merupakan manifestasi universalisme dasar sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain berkesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al-Quba didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad tetap terpancar dalam sistem pesantren. 8 Elemen-elemen pokok pesantren yang lain adalah : Kyai, santri, Masjid, Pondok, dan pengajaran kitabkitab Islam klasik. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet : 6, (Jakarta : LP3S, 1994), hal. 44. 9 Perkasa, Profesionalisme kurikulum Pasca Sarjana, PPs Universitas Sumatera Utara, Vol. II, No.4, 2001, hal. 6.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 151
Tolong Ali Mu`Tafi dituliskan , Rekonstruksi Judul Tiap Artikel…… Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Di tengah perkembangan pendidikan yang semakin pesat, kebutuhan serta tuntutan ilmu dan teknologi semakin meningkat. Tak terkecuali posisi pesantren yang sesuai dengan fungsinya berada dalam posisi dilematis. Pertama pesantren tetap dalam posisi ortodoksinya, yaitu menutup diri dari penngaruh luar yang dianggap akan mencemari sebagai agen of moral force bagi masyarakatnya. Kedua pesantren di tuntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman dan terbuka dari pengaruh luar. Hal ini akan berdampak pada pergeseran nilai-nilai ortodoksi pesantren yang selama ini dijadikan landasan kehidupannya. Problem yang saat ini masih dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren khususnya pesantren yang masih tradisional adalah kenyataan yang berada di lapangan adanya sikap kepentingan individu yang meninggalkan orientasi tujuan pendidikan baik secara umum maupun secara khusus, maka perlu adanya reorientasi pada tujuan. Keberadaan kurikulum bukan hanya memuat mata pelajaran, tetapi juga berbagai segi yang terkait dengan proses belajar mengajar dan pedoman penyelenggaraan pendidikan lain seperti penilaian, bimbingan, sampai administrasi kurikulum serta manajemen institusi pendidikan itu sendiri. Faktor pertama yang menyebabkan kurangnya kemampuan pesantren dalam mengikuti dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang di bawa dalam pendidikan pondok pesantren. Relatif sangat sedikit pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan serta menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Kondisi ini menurut Nurkholis Madjid lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kyai arau bersama-sama dengan para pembantunya.10 Akibatnya hampir semua pesantren adalah merupakan hasil usaha individual atau pribadi (individual enterprise), karena dari pancaran kepribadian pendirinyalah dinamika pesantren itu akan terlihat.11 Bahkan Zamakhsyari Dhofier mensinyalir kebanyakan kyai yang berada di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren.12 Oleh sebab itu kebijakan serta kewenangan berada pada kekuasaan otoritas kyai. Sehingga hampir tidak ada rumusan secara tertulis tentang kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan pesantren, kecuali hanya pada bergantung pada segala keputusan seorang kyai. Sebenarnya dampak dari otoritas kyai mempunyai dampak yang negatif bagi pesantren dan perkembangannya menuju arah yang lebih baik. Hal ini didasarkan dari latar belakang seorang kyai yang juga mempunyai banyak keterbatasan dan kekurangan. Salah satu keterbatasannya tercermin dalam kemampuan mengadakan responsi pada perkembangan masyarakat. Misalkan contoh seorang kyai yang kebetulan tidak dapat membaca dan menulis huruf latin, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menolak 10 Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurkholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Cet : 1, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal. 72. 11
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 6.
12
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet :6, (Jakarta : LP3ES, 1994), hal. 73. 152 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Nama Pondok Penulis tiap Artikel
atau menghambat dimasukkan pengetahuan baca tulis latin ke dalam kurikulum pesantren. Atau seorang tokoh pesantren yang tidak mampu lagi mengikuti dan menguasai perkembangan zaman mutakhir lebih cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya mengikuti perkembangan zaman. Kecenderungan dalam kurikulum yang diberikan pesantren hanya dalam satu bidang kajian keilmuwan seorang pemimpin pesantren. Tidak ada aspek dalam pengembangan keilmuwan yang dipelajari di pesantren. Akibatnya tidak mengherankan bila pada gilirannya pesantren hanya akan melahirkan produk (out put) pesantren yang dianggap kurang siap dalam mewarnai kehidupan modern yang saat ini kita rasakan bersama. Dalam segi kemampuannya pun sangat terbatas. Apalagi dalam proses pembelajarannya telah mengabaikan aspek afektif, dan psikomotorik, yang berdampak negatif pada out put pesantren itu sendiri. Lebih jauh Nurkholis Madjid mengemukakan sebagai berikut : Pengajian adalah kegiatan penyampaian materi pengajaran oleh seorang kyai kepada para santrinya. Tetapi dalam pengajian ini ternyata segi kognitifnya tidak diberi penekanannya. Terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Di sini para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya, apalagi untuk mengajukan kritik bila menemukan kekeliruan dalam pelajaran, sehingga daya nalar dan kreatifitas berfikir mereka agak terlambat.13
Memang disadari bahwa pada pesantren ada pengawasan yang ketat. Tetapi itu hanya menyangkut tata norma atau nilai, seperti perilaku peribadatan khusus dan morma-norma muamalat tertentu. Sedangkan bimbingan dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat selesai, boleh dikatakan hampir tidak ada. Jadi pendidikan pesantren itu titik tekannya bukan pada aspek afektif dan psikomotorik, tetapi justru pada aspek kognitif an sich. Bagaimana santri mau dan menyadari nilai-nilai ajaran Islam dan menginternalisasikan pada dirinya, kemudian mau dan mampu mewujudkan dalam perilaku kehidupannya. 14 Tujuan pendidikan yang terasa masih kental akibat pengaruh dan sikap nonkooperatif dengan kaum kolonial yaitu pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan tradisi-tradisi Islam serta menyebarkannya. Sehingga berimplikasi pula terlambatnya pesantren-pesantren mengadakan pembaharuan dan perubahan. Kemudian, faktor yang menyebabkan lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren adalah penekanan yang terlalu berlebihan terhadap satu aspek disiplin keilmuwan tertentu. Dengan kata lain telah terjadi penyempitan orientasi kurikulum dalam lingkungan pendidikan pesantren tradisional. D. Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan tidak pernah berhenti sesuai dengan perkembangan dan tuntunan zaman yang terus menerus berubah. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pemikiran mencari paradigma baru pendidikan itu bersikap reaktif dan defensif. Upaya pencarian paradigma baru pendidikan itu harus mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar strategis yang proaktif dan antisipatif, harus mampu
13
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 23.
14
Muhammad Rofangi, Posisi Kyai dalam Pengembangan Tradisi Pesantren, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 174. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 153
Tolong Ali Mu`Tafi dituliskan , Rekonstruksi Judul Tiap Artikel…… Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar-benar diyakini untuk terus dipelihara serta dikembangkan. Apalagi dalam kehidupan yang modern sekarang. 15 Sistem pendidikan pesantren yang jelas akan melahirkan pemikiran, karya intelektual dan ketrampilan kreatif sebagai jawaban terhadap problem masyarakat serta mampu memberikan arah perubahan yang berorientasi masa depan sehingga menghasilkan sebuah format pendidikan pesantren yang diharapkan relevan dengan tuntutan era globalisasi. Berikut ini ada beberapa alternatif yang penulis tawarkan kaitannya dengan rekonstruksi pendidikan pesantren tradisional, telaah kurikulum pesantren menuju arah baru pendidikan Islam di era globalisasi. 1.
Reorientasi Visi, Misi Sistem Pendidikan Pesantren
Menurut Azzumardi Azra, perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam Indonesia tidak lepas dari tekanan dan tuntutan zaman. Lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan, dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan zaman.16 Oleh sebab itu dalam rangka rekonstuksi pemikiran ke depan, pertama-tama yang harus difahami bahwa pendidikan adalah suatu sistem, yaitu pendidikan yang terdiri atas faktor-faktor yang berhubungan dan saling membantu satu sama lain. Faktor-faktor yang berhubungan itu antara lain, peserta didik, pendidik, ide serta citacita pendidikan, lingkungan dan alat-alat pendidikan. Sebagai sistem yang berada pada pola kehidupan sosial budaya pendidikan mempunyai sifat terbuka, artinya pendidikan sensitif terhadap tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat dari lingkungannya dan menyampaikan hasil transformasi kepada lingkungan. Perlu juga adanya diskusi dan analisis secara mendalam dengan menelaah berbagai faktor serta rekonstruksi yang sifatnya memberikan wawasan peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman agama Islam dikalangan peserta didik (baca : santri). Dalam upaya penyesuaian sistem pendidikan nasional, pengembangan pendidikan Islam ke depan menuntut adanya penegasan visi, misi, dan tujuan pendidikan pesantren itu sendiri. Visi, misi dan tujuan itu ditempatkan sebagai pemandu dan pedoman, ke mana arah pendidikan pesantren akan di bawa dalam konteks perubahan dan dinamika masyarakat modern.17 visi pendidikan pesantren adalah terciptanya sistem pendidikan Islam yang islami, populer, berorientasi pada peningkatan mutu, kualitas, dan kesatuan. Aspek lain yang menjadi perhatian adalah karakter islami pada pendidikan pesantren sebagai identitas utama yang tercermin dalam kurikulum, metodologi pembelajaran, dan perilaku islami. Seluruh komponen pendidikan mulai dari pemimpin pesantren, tenaga pengajar, iklim serta budaya pesantren, santri. Peluang untuk melakukan reorientasi dan reposisi pendidikan pesantren saat ini begitu luas dan terbuka. Umat Islam diberi kesempatan untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya dari predikat kelas dua menjadi sejajar dengan pendidikan umum lainnya.
15
Manfred Ziemek, Pesantren Islamische Bildung Im Sozialen Wandel, Frankfut/M. (IKO), 1986, hal.
107-108. 16
Azzumardi Azra, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, Riau Pos, 28 Juli 2002.
17
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 223.
154 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondoktiap Pesantren Nama Penulis Artikel
Dewasa ini, peradaban dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global yang secara mendasar di topang oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi. Semuanya ini membuat dunia semakin global dan sempit karena mudahnya di jangkau.18 Apalagi berbicara mengenai soal pendidikan. Pendidikan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh manusia secara keseluruhan dalam menghadapi era global. Lebih khusus lagi pendidikan pesantren harus mempunyai visi yang baru. Keluaran pesantren tidak hanya bisa ilmu keagamaan saja, tetapi keilmuwan modern yang saat ini berkembang juga harus dikuasai santri. Karena bagaimana pun santri akan dihadapkan pada perkembangan zaman yang selalu berubah. Oleh karenannya dunia pendidikan pesantren harus membekali santrinya dan out put pesantren untuk selalu siap berkembang (ready to delelopment), siap didik (ready to leraning), dan siap latih (ready to train). 19 Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dihindari dan memang untuk tidak perlu dihindari. Persoalannya adalah bagaimana menampilkan visi pendidikan Islam khususnya pesantren dalam kancah global tersebut. Agar pendidikan Islam dapat berperan dalam masyarakat global. Oleh karenanya marilah kita mencermati dan merenungkan kembali filsafat, teori, dan kurikulum pendidikan Islam sekarang. Karena variabel tersebut merupakan substansi yang harus ada dalam kegiatan pendidikan, yang akan memberikan arah dan model macam apa yang diinginkan oleh pendidikan itu sendiri. Pendidikan juga harus didasarkan pada filsafat pendidikan. sehingga pelaksanaannya dapat terarah dan sistematis. Filsafat pendidikan Islam antara lain akan mengungkapkan persoalan tentang hakikat Tuhan, hakikat manusia, dan tujuan pendidikan. Sementara itu teori pendidikan akan memberikan arahan bagaimana kewajiban manusia kepada Tuhannya, apa tugas dan kewajiban serta tujuan hidup manusia, menentukan tujuan pendidikan, konsep tentang pembawaan dan pengaruh lingkungan dalam pendidikan, kurikulum yang menjadi standar dan cara mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konsep yang diputuskan. Metodologi mendidik dan mengajar, bagaimana penunjang proses belajar mengajar, lingkungan dan iklim pendidikan yang cocok, model evaluasi, dan lain-lain. Pada aspek kurikulum, sampai saat ini masih saja selalu dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuwan dualistik. Pada satu sisi berhadapan dengan subyek "sekuler", disatu sisi berhadapan dengan subyek "keagamaan". Tetapi pada umumnya pendidikan Islam saat ini khususnya pendidikan di pesantren banyak didominasi oleh subyek ”keagamaan”. Sementara pengkajian terhadap jenis-jenis sains alam masih terasa amat kurang. Padahal kalau dilihat dengan terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan al-Qur`an ke dalam dua bentuk, al-Qur`an yang tertulis (recorder qur`an), yaitu lembaran wahyu yang ditulis dalam mushaf al-Qur`an, dan alQur`an yang terhampar (created qur`an), yaitu alam semesta, jagat raya, atau kosmologi. 20 Kategori-kategori sains-sains di atas, apabila dibuat skema kira-kira sebagai berikut : 18 Akbar S. Ahmed, Islam in The of Postmodernity, an Article in Islam, Globalization, and Postmodernity, (London : Routledge, 1994), hal. 1-2. 19 Ali Maksum, Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan PostModern : Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2004), hal. 279. 20 Sayyed Hossein Nasr, The EncounterMan and Nature : the Spiritual Crisis of Modern Man, London : Unwin Paperbacks, 1968, hal. 95. Lihat Ali Maksum, Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal, hal. 285.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 155
Ali Mu`Tafi , Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Sain Ketuhanan
Sains Manusia
Sains Kosmologi
Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan, dan dari padanya diharapkan dapat diperoleh pengertian, penghayatan, dan pengalaman ke arah terbentuknya "intelektualisme muslim", yakni pribadi utuh bisa menyatukan kutub tersebut. Lembaga pendidikan Islam baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern perlu mengintegrasikan antara subyek-subyek keagamaan dengan subyek-subyek sekuler dalam satu paket pembelajaran (kurikulum). Dengan terintegrasinya ketiga paradigma ilmu tersebut, maka akan tercipta kualitas peserta didik (santri) yang mempunyai kekuatan "3 H", yaitu Head (aspek kognitif dan kecerdasan otak), Heart (aspek afektif dan kecerdasan emosi dan spiritual), dan Hand (aspek psikomotorik dan kecakapan teknis) dapat diwujudkan. Berangkat dari pola integratif yaitu menyatukan arti kehidupan akhirat dan dunia, maka pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga, begitu juga sebaliknya. Idealnya tidak terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. A. M. Saefuddin mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi proses pelarutan, dan bukan sekedar proses pencampuran biasa. Perbedaan antara proses pelarutan dan proses percampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut : 21 Proses Pelarutan
Proses percampuran
U
A
B
A
X
Y
Ket erangan : A : Materi pendidikan agama U : Materi pendidikan umum X : Perpaduan A & U, berbeda secara substantif maupun formatif dengan A maupun U Y : Hasil percampuran antara A dan U Secara substantif/formatif tidak ada perbedaan Antara A & semula dengan A & U dalam Y 21
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 114.
156 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondoktiap Pesantren Nama Penulis Artikel
Kurikulum pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu pengetahuan yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekwensikonsekwensi tertentu terhadap struktur, tujuan, pendekatan, materi, dan institusi pendidikan yang dipersiapkan. Dari pemaparan di atas bagaimana pendidikan Islam khususnya pesantren dapat berperan dalam kancah kompetisi global tersebut? maka pendidikan Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut: a. Menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk sekaligus menjadi pelipurlara bagi kegerahan hidup manusia modern. b. Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun dianutnya. Sebab Islam adalah agama rahmatan lil `alamin, mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua. c. Menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif, sehingga bisa membebaskan umat Islam dari belenggu-belenggu taqlid buta. d. Menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan, dan etos pembangunan. e. Menampilkan revavilitas Islam dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi "ke dalam" (inward oriented), yakni membangun kesalehan intrinsik dan esotoris, dari pada intensifikasi " ke luar" (outward oriented) yang bersifat ekstrinsik dan eksetoris, yakni kesalehan formalitas. Dari serangkaian analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruks pemikiran pendidikan Islam yang berwawasan masa depan perlu diarahkan pada peningkatan daya jawabnya terhadap problem kehidupan kontemporer, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran al-Qur`an dan as-Sunnah. Kepekaan menangkap perkembangan kekinian menjadikan pendidikan Islam responsif terhadap kemajuan, Islam tidak saja secara probability berproaktif menjawab tantangan modernitas, tetapi Islam lahir memang untuk memberi arah dan nilai bagi perubahan-perubahan, bahkan di tuntut tampil sebagai pioner bagi jalannya proses perubahan modernisasi. Sehinga lahir seperti reformasi, modernisasi Islam, neo-modernisasi, post-modernisasi atau reaktualisasi pemikiran Islam. Sementara dengan tetap berpegang teguh kepada sumber otentik Islam tersebut, maka pendidikan Islam akan mempunyai ruh dan kekuatan moral dalam menghadapi setiap perubahan yang ditimbulkan oleh arus globalisasi. Dengan demikian out put pendidikan Islam khususnya di kalangan pesantren akan peka terhadap perubahan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran agama. 2.
Rekonstruksi Kurikulum Pendidikan Pesantren
Salah satu aspek dalam merekonstruksi pendidikan pesantren tradisional adalah mengenai kurikulum. Kurikulum pesantren tradisional yang diwakili oleh kitab kuning, hanya lebih menekankan pada bidang fiqh, teologi, tasawuf, dan bahasa. Fiqh ini pun hanya sebatas pada satu mazhab yang kebanyakan di Indonesia adalah madzhab Syafi`i dan tidak memberikan ruang pada mazhab yang lain. Penunggalan kajian fiqh misalnya, hanya menganut salah satu mazhab yang berakibat membelenggu kreativitas berfikir dan membuat sempitnya pemahaman atas elastisitas hukum Islam. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 157
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Kemudian dalam teologi yang dikembangkan pesantren pada umumnya berkutat pada aliran asy`ariyah. Dibanndingkan dengan aliran mu`tazilah yang kurang tampak mendapatkan porsi nalar secara maksimal. Kajian sufisme menjadi sebuah identitas tersendiri bagi dunia pesantren. Dengan konsep sufisme al-Ghozali sebagai sentralnya. Praktek-praktek sufisme ini terlihat dalam aneka perilaku dan ibadah rutinitas formal. 22 Selain itu juga fanatisme dalam bermazhab dan pada ajaran-ajaran sufisme dalam menimbulkan semangat mencapai kebahagiaan "duniawi" kuramh diperhatikan. Sehingga konsekwensinya perekonomian dalam dunia pesantren menjadi "tidak menentu". Kajian kebahasaan dalam kurikulumnya hanya dalam aspek kognitif. Sementara aspek afektif, psikomotorik kurang diperhatikan. Kecerdasan pada dunia nahwu sharaf tidak dapat dinamifestasikan dalam praktek sosial yang efektif. Hal itu disebabkan penekanannya ditujukan semata-mata pada hafalan (tahfidz) an sich, dan tidak ada usaha bagaimana menerapkan kemampuan itu dalam struktur verbal kongkret. Begitu juga dengan pembelajaran al-Qur`an yang hanya bertujuan untuk dihafal tanpa adanya suatu usaha untuk mendalami kandungannya. Keadaan kurikulum yang demikian terutama dalam fiqh, teologi, dan tasawuf, dapat memberikan sebuah konsekwensi pada eksklusivisme pondok pesantren dari pemikiran lain. Apalagi konsekwensi yang paling besar adalah adanya pembenaran pemahaman dirinya sendiri, sehingga menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda. Bahkan ajaran Islam hanya dipahami senagai ajaran yang menyangkut fiqh, teologi dan tasawufnya. Implikasi dari eksklusivisme ini terwujud dalam tiadanya budaya kritis, analitis, dan reflektif, dalam tradisi pesantren. Usaha untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi "kebenaran-kebenaran" yang mengakar di dunia pesantren menjadi tabu. Akibatnya tidak ada kajian analisis atau meninjau ulang pola pikir ijtihad ulama dahulu ketika berhadapan dengan perkembangan kontemporer. Di sisi lain pesantren yang merasa "anti" terhadap kajian ilmu filsafat, disebabkan karena tampak dikhawatirkan akan mendestruksi pemahaman-pemahaman yang selama ini dianutnya. Hingga akhirnya sistem pendidikan pesantren tradisional hanya berfungsi sebagai penerima (receivers) pemikiran Islam klasik secara apa adanya (taken for granded). Dari permasalahan di atas kaitannya dengan kurikulum yang ada pada pesantren tradisional, menurut pengamatan penulis sangat tidak mungkin untuk bisa diterapkan dalam kancah kehidupan global saat ini. Harus adanya perbaikan untuk merekonstruksi ulang kajian terhadap kurikulum yang selama ini membuat pesantren kecenderungannya menjadikan umat Islam jumud (stagnan) dalam pemikiran keislamannya. Kita harus mengingat kejayaan umat Islam di masa lalu yang dapat memberikan kontribution of knowledge dalam keilmuwan di dunia.
4. Dari Tradisi Menuju Transformasi Keilmuwan Pesantren Upaya dalam mengembangkan tradisi keilmuwan di pesantren terus saja dilakukan. Sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum pesantren terus mulai 22 Sa`id Aqil Siradj et al, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), hal. 212.
158 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondoktiap Pesantren Nama Penulis Artikel
dilakukan. Pembenahan internal pesantren dengan melakukan perbaikan infrastruktur dan program-program pengembangan intelektual pun mulai dilakukan. 23 Tradisi keilmuwan pesantren yang berpijak pada kajian kitab kuning merupakan suatu keunikan sekaligus keistimewaan pesantren. Kitab kuning yang konon menjadi penyebab kebekuan umat Islam hendaknya tidak mengerdilkan nyali pesantren untuk terus berperan dalam transformasi keilmuwan. Seharusnya, tradisi tersebut cukup melimpah menjadikan kualitas akademik pesantren bisa terus dikembangkan. Upaya semisal kontekstualisasi (tasyriq) kitab kuning dengan membenturkan realitas kekinian. Sebagaimana dikalangan sejumlah alumni pesantren telah berhasil menyemarakkan gelombang intelektual yang relatif massif. Hanya dengan cara demikian, kekayaan tradisional dapat terus digelorakan dan dibunyikan dalam lingkungan budaya yang jauh berbeda dengan masa lalu. Hemat penulis, disinilah peran pesantren sesungguhnya untuk merawat akar tradisinya sekaligus pada saat yang sama mengkontekstualisasikan dalam situasi kekinian. Sebagimana kaidah yang harus di pegang: al-mukhafazah ala al-qadim ash shalih wa alakhdz bi al-jadid al-ashlah (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budaya-budaya yang baru yang lebih konstruktif). Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asal tidak lepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekwensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas, efisiensi, dan sejenisnya. 24 Untuk melakukan transformasi pendidikan pesantren, akar tradisi hendaknya terus dikelola sedemikian rupa sembari pada saat yang sama dibenahi secara bertahap. Sebagaimana diketahui, desakan akan transformasi keilmuwan pesantren tidak melulu atas desakan internal, akan tetapi juga desakan eksternal pun juga akan dapat mempengaruhinya. Namun demikian proses transformasi pesantren tidak serta merta secara radikal diubah, melainkan dilakukan dengan secara bertahap. Karena sebagaimana yang dikatakan seorang penyair Islam terkenal Sahal Mahfudh, jika kita bertindak secara radikal dalam perubahan pesantren, maka akan menghilangkan dinamika positif itu sendiri.25 Tentu saja kita bisa melakukan peubahan dan penyesuaian sehingga pesantren tidak asing lagi bagi masyarakat sat ini. Meminjam prinsip-prinsip manajerial, perubahan itu dipolakan dengan mengikuti prinsip SMART: Spesifikasi (tertentu), Measurable, (terukukur), Aktivities (sarat aktivitas), Realistic (realitis), dan Time Schedule (terencana dalam ukuran waktu). Artinya dalam proses perubahan harus diperhatikan adalah adanya target tertentu yang terukur dan sesuai dengan kemampuan pelaku perubahan, disamping aktifitas-aktifitas kongkrit yang direncanakan secermat mungkin dan itu mungkin untuk dilakukan. 23 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren: dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), hal. 173. 24
Sa`id Aqil Siradj et al, Pesantren, hal. 217.
25
Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 39. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 159
Ali Mu`Tafi , Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Dengan upaya semacam ini, perubahan dan pembenahan, termasuk dalam pembenahan kualitas keilmuwan pesantren dapat diupayakan secara maksimal. Hingga akhirnya pesantren dapat menembus terobosan-terobosan baru terkait dengan era globalisasi ini, perlu adanya perbaikan kurikulum terpadu, gradual, dan bersifat buttom up (tidak top down), kurikulum yang bersifat dinamis, adaptif, kreatif, inovatif, responsif untuk dapat menumbuhkan minat (potensi) peserta didik (santri). Artinya penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student but plain by student. 3.
Kurikulum Pesantren yang Ideal
Pesantren adalah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dalam era gloal ini, pesantren tradisional harus dapat melakukan pembaharuan, khususnya aspek kurikulum dan metode pembelajarannya yang ada di pesantren. Karena fungsi kurikulum pada dasarnya adalah menyediakan program pendidikan. Menurut Robert S. Zaus, fungsi kurikulum adalah "shaping the individual selves, determining what men become". Oleh karenanya kurikulum harus bersifat anticipatory, dapat meramal kejadian di masa depan. Bagaimana dan akan menjadi apa seorang peserta didik direncanakan dalam kurikulum. Karena masa kini juga harus berorientasi ke masa depan agar relevan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Pesantren di tuntut melakukan kontekstualisasi, progresif tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Pengembangan kurikulum di pesantren, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren sebagai langkah bijak dalam menghadapi era globalisasi dan informasi sekarang ini. Yaitu : a. Pesantren harus tetap sebagai lembaga pengkaderan ulama, tetapi ulama yang piawai di bidang keilmuwan Islam dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan umum dan teknologi. b. pesantren tetap sebagai lembaga khusus dalam pengkajian keislaman. Pesantren perlu membakukan kurikulum keislaman ini dengan mengikuti kurikulum negara-negara Timur Tengah dengan metodologi modern. c. pesantren harus menerapkan kurikulum ilmu pengetahuan umum serta ketrampilan di bidang teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. 26 Sejalan dengan alternatif di atas, pendidikan pesantren agar tetap berada dalam peran agama sebagai fungsi sublimatif (mensucikan) dan fungsi integratif (memberi keutuhan), sehingga pendidikan pesantren perlu berorientasi kepada kebutuhan hidup beragama, mewujudkan konsep rahmatan lil`alamin serta berorientasi nilai Islam dari subjektifnormatif ke nilai objektif empiris dan berorientasi keterpaduan wawasan agama dengan ilmu. (pengokohan imtaq dan penguasaan Iptek). 27 meminjam bahasa yang digunakan oleh Nurkholis Madjid adalah menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesiaan, dan keilmuwan. Sehingga menjadi centre of excellent di rantau Asia Tenggara. Dalam upaya pengembangan ini dapat 26
Syarnubi Som, Diskriminasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam Concienci, Vol. II No. 1, Program PPs Raden fatah Palembang, 2002, hal. 68. 27 Achmadi, Reformasi Pendidikan Agama Islam dalam Era Reformasi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 154-161.
160 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nama Pondok Penulis Pesantren tiap Artikel
direalisasikan dalam bentuk peningkatan dan pengembangan sekolah, kursus-kursus, kejuruan di lingkungan pesantren. Dalam pencapaian hasilnya dapat meraih tiga aspek sekaligus kognitif, afektif, dan psikomotorik. Atau dengan kata lain intelektualitas, moralitas, dan profesionalitas. Sehingga apabila konsep kurikulum pembaharuan dalam pesantren tersebut dapat diaplikasikan, maka pendidikan pesantren dapat eksis dalam kancah global. Santri siap selalu menghadapi era global. Bahkan mungkin bisa menjadi pelopor dalam kancah globalisasi ini. E. Modernisasi Pendidikan Pesantren Pesantren di Indonesia pada perkembangannya mengalami kemajuan yang pesat. Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali yang ada pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan. Pemerintah Belanda dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat (SR), atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar 3 tahun, dibeberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang, dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 siswa. 28 Tetapi dalam perkembangannya sekolah desa yang didirikan pemerintah Belanda sangat mengecewakan. Banyak sekolah yang tidak mencapai tujuan yang dicita-citakan dengan banyaknya angka putus sekolah dan mutu pelajaran yang amat rendah. Di sisi lain banyak kalangan pribumi khususnya daerah jawa mengalami resistensi yang kuat terhadap sekolah-sekolah tersebut. Di balik itu semua terdapat tujuan untuk "memBelandakan" anak-anak mereka (Jawa). Tetapi berbeda dengan respon yang baik terhadap sekolah desa. Antara lain muncul di daerah Minangkabau, dengan indikasi banyak bermunculan surausurau yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam kemudian ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari. Dengan merancang kurikulum sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah Belanda. Sehingga mendorong Belanda untuk melakukan standarisasi kurikulum, metode pembelajaran, dan lain-lain. Pendidikan Islam yang berkembang di daerah Minangkabau, selain mendapatkan tantangan dari pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam juga harus berhadapan dengan pendidikan modern Islam. Dalam konteks pesantren, tantangan pertama datang dari sistem pendidikan Belanda, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Sutan Takdir Ali Sjahbana, bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren tetap dipertahankan, menurut Takdir, bisa mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum muslim. Tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren tetap bertahan dalam kesendiriannya.
28
Nurkholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren.., hal. xii. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 161
Ali Mu`Tafi , Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Tantangan berikutnya yang semakin lebih merangsang pesantren adalah dengan datangnya kaum reformis muslim yang menemukan momentumnya. Sejak awal abad 20 berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan kristen diperlukan reformasi pendidikan Islam. Dalam konteks inilah kita menyaksikan munculnya dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam. Pertama sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi di beri muatan pelajaran agama Islam. Kedua madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Misalnya sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909. sedangkan pada model bentuk kedua, kita menemukan "sekolah diniyah" Zainuddin Labay al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan al-Jami`atul alKhairiyah, dan juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad, organisasi Muhammadiyah, NU dan lain-lain. Kemudian bagaimanakah respon dari pendidikan tradisional pesantren Islam, seperti surau yang ada di Minangkabau, dan pesantren yang ada di Jawa terhadap kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam ini ? Karel Steenbrink dalam konteks surau tradisional menyebutkan sebagai "menolak sambil mengikuti". Sedangkan dalam konteks pesantren menyebutkan "menolak dan mencontoh". Dalam pandangan surau di Minagkabau memandang terhadap kaum reformis adalah sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi dan kelangsungan surau. Untuk itu, dalam pandangan mereka, surau harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan modern yang telah ditetapkan kaum reformis khususnya sistem klasikal dan perjenjangan. Perlu dicatat bahwa adopsi yang dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri. Respon yang hampir sama juga dirasakan oleh pesantren di Jawa. Seperti kalangan surau Minangkabau, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum reformis untuk tetap bisa bertahan. Oleh karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan "penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontiunitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi santri seperti sistem perjenjangan, kurikulum, dan sistem klasikal yang diterapkan dalam pendidikan di pesantren. Pesantren yang pertama kali mengambil paling terdepan dan merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam adalah pesantren Mambaul Ulum yang terdapat di Surakarta. Pesantren yang didirikan pada tahun 1906 oleh Pakubuwono ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Pesantren tersebut telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Rintisan ini kemudian diikuti beberapa pesantren lainnya. Seperti pesantren Tebuireng misalnya pada tahun 1916 mendirikan sebuah "madrasah salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa mata pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf latin ke dalam kurikulumnya. Begitu juga dengan pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirikan madrasah pada tahun 1927, madrasah ini juga memperkenalkan mata pelajaran non keagamaan dalam kurikulumnya.
162 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nama Pondok Penulis Pesantren tiap Artikel
Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman pondok modern Gontor. Pondok yang berdiri pada tahun 1926, pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Selain itu juga banyak kegiatan ekstrakulikuler seperti olahraga dan kesenian. Deskripsi singkat di atas sedikit banyak menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi smua perubahan dan tantangan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan pesantren yang lebih modern. Tetapi sebaliknya lebih cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy), artinya mereka menerima pembaharuan atau lebih dikenal dengan modernisasi pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren tetap bisa survive. Namun penting dikemukakan, bahwa disisi lain, jumlah santri dipesantren-pesantren besar terus mengalami pertambahan yang konstan. Pesantren-pesantren besar ini semakin banyak menarik santri. Tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa. Termasuk diantara pesantren yang yang mengalami perkembangan semacam ini adalah pesantren Tebuireng, pesantren Lirboyo, pesantren Tambakberas, pesantren alAsy`ariyyah Wonosobo, dan pondok pesantren modern Gontor. Sebagai bahan perbandingan bahwa tercatat dalam departemen agama pada tahun 1955, terdapat 30.365 pesantren, dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Untuk tahun 1970, jumlah pesantren sekitar 32.000 buah dengan sekitar 2 juta santri. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi, meski berada di bawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya. Setidaknya terdapat dua cara bagaimana pesantren bisa survive dalam perkembangannya, pertama dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan ketrampilan umum, kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Banyak pesantren yang berbasis modern mendirikan lembaga-lembaga seperti madrasah, sekolah umum, bahkan sampai membuka perguruan tinggi dalam sebuah yayasan pesantren. Perkembangan zaman semakin jauh, menuntut pula perkembangan pesantren lebih terkondisikan menyesuaikan perubahan zaman. Dengan demikian pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, tetapi juga dapat menjawab tantangan sebuah zaman apalagi sekarang di era globalisasi yang sangat membutuhkan orang-orang bukan hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai perkembangan ilmu dan teknologi. Kurikulum yang harus dikembangkan di sebuah lembaga pesantren tidak mengkaji ilmu keagamaan an sich, tetapi juga kurikulum yang memuat pesoalan yang dihadapi umat dewasa ini. Realitas sosial kita saat ini tidak dapat dihindari. Kecuali mempersiapkan peserta didik khususnya para santri yang terdapat di pesantren untuk bisa menguasai perkembangan Iptek dengan didasari keagamaan yang sangat kuat. Selain itu, pembaharuan (Tajdid) pesantren juga diarahkan untuk fungsioanalisasi atau tepatnya refungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 163
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel…… Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nikai (value oriented development). Dalam kaitannya gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar memainkan fungsi-fungsi tradisional, tetapi juga misalnya menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitarnya. Dapat disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad pertama mencakup : pertama pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational, kedua pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, perjenjangan, ketiga, pembaharuan kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan, dan keempat pembaharuan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga mencakup fungsi-fungsi ekonomi. F. Kesimpulan Pendidikan Islam pesantren tradisional harus dan di tuntut melakukan transformasi ke arah posisi dan peran yang lebih progresif dan dinamis. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua agar tetap diakui eksistensinya perlu adanya melakukan pembaharuan-pembaharuan terutama dalam aspek tentang kurikulum pembelajaran dan aspek metodologi pengajaran yang selama ini dinilai masih bersifat tradisionalis dan kurang mampu menjawab tantangan zaman di era globalisasi ini. Tantangan besar bagi pesantren dalam mewujudkan sistem dan dasar secara filosofis, bagaimana agar pengajaran yang ada di lembaga pesantren mampu teraktualisasi dalam tataran teoritik dan empirik, sehingga proses pembelajaran pesantren akan terus bersifat dinamis, kreatif, inovatif, dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kosmopolit. Sebagai langkah bijak dalam menghadapi era globalisasi ini, perlu adanya rekontruksi pesantren yang harus mengarah pada 3 hal diantaranya : pertama, Pesantren harus tetap sebagai lembaga pengkaderan ulama, tetapi ulama yang piawai di bidang keilmuwan Islam dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Kedua, pesantren tetap sebagai lembaga khusus dalam pengkajian keislaman. Pesantren perlu membakukan kurikulum keislaman ini dengan mengikuti kurikulum negara-negara Timur Tengah dengan metodologi modern. Ketiga, pesantren harus menerapkan kurikulum ilmu pengetahuan umum serta ketrampilan di bidang teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Perlu diperhatikan juga masalah : pertama, orientasi keilmuwan perlu diperhatikan, kedua kurikulum pesantren dapat dikembangkan dengan model tematis (maudhu`i), ketiga, kajian kitab kuning perlu adanya apresiasi agar dapat mampu dikembangkan dengan bahasa kekinian, keempat, metodologi pengajarannya tidak sebatas kognitif, tetapi juga aspek afektif, psikomotorik perlu diperhatikan.
164 | ISSN: 2356-2447-XIII
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan NamaPondok Penulis Pesantren tiap Artikel
Daftar Pustaka A. Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan : Monografi, LEKNAS LIPI, Jakarta : 1976. Achmadi, Reformasi Pendidikan Agama Islam dalam Era reformasi (Telaah filsafat pendidikan dalam Pendidikan Islam) : Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Ahmed, Akbar S. Islam in The of Postmodernity, an Article in Islam, Globalization, and Postmodernity, London : Routledge, 1994. Ali, A. Mukti.Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta : Rajawali Perss, 1981. al-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa-al Madrasah wa-al Mujtama, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979. Azra, Azzumardi. Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, Riau Pos, 28 Juli 2002. Badawi, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1993. Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Edisi III, Yogyakarta : Rakesarasin, 1990. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet :6, Jakarta : LP3ES, 1994. Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren : dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta : IRD Press, 2004. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996. Hossein Nasr, Sayyed. The EncounterMan and Nature : the Spiritual Crisis of Modern Man, London : Unwin Paperbacks, 1968. Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Cet : 2, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997. Kafrawi, Perubahan Sistem Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Persatuan Bangsa. Jakarta : Cemara Indah, 1978. Madjid, Nurkholish. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina : 1997. Mahfudh, Sahal. Pesantren Mencari Makna, Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999. Maksum, Ali dan Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern : Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita. Yogyakarta : IRCiSoD, 2004. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994. Nasution, Asas-asas Pengembangan Kurikulum, Bandung : Jemmars, tt. Nata, Abuddin (Ed). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2001. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 165
Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Putra Daulay, Haidar. Peranan Pendidikan Pesantren dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Fitrah, Vol. 1, Padangsidimpuan, 1993. Rofangi, Muhammad. Posisi Kyai dalam Pengembangan Tradisi Pesantren, dalam Tim Penyunting, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiutas IPTEK, Cet : 1, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1998. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, Bandung : Mizan, 1991. Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruksi Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, Yogyakarta : IRCiSoD, 2004. Siradj, Sa`id Aqil et al, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Syarnubi Som, Diskriminasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam Concienci, Vol. II No. 1, Program PPs Raden fatah Palembang, 2002. Walidin, Warul. Reorientasi Kurikulum LPTK : Islam Future, dalam Jurnal Ilmiah, PPs IAIN ar-Raniry Aceh, 2001. Webster, Noah. Webster New Twententh Century Dictionary, UNABRID GE, William Collins Publisher, 1980. Yasmadi, Abdul Halim (Ed), Modernisasi Pesantren : Kritik Nurkholis Madjid Terhadap pendidikan Islam Tradisional, Cet : 1, Jakarta : Ciputat Press, 2002. Ziemek, Manfred. Pesantren Islamische Bildung Im Sozialen Wandel, Frankfut/M. (IKO), 1986. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1997.
166 | ISSN: 2356-2447-XIII