REKONSTRUKSI PARADIGMA PENDIDIKAN UNTUK MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA MELALUI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Oleh Dr. H. Bujang Rahman, M.Si Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
1. Pendahuluan Pidato ilmiah dalam rangka Dies Natalis Universitas Lampung tanggal 23 September 2013 ini diberi judul “Rekonstruksi Paradigma Pendidikan untuk Memperkuat Karakter Bangsa melalui Implementasi Kurikulum 2013”. Melalui judul ini, akan dikaji beberapa isu pendidikan yang terkait dengan upaya memperkuat karakter bangsa dalam pergaulan masyarakat global. Oleh karena itu, paparan dalam pidato ini akan diawali oleh uraian mengenai pentingnya pendidikan karakter. Bagian ini akan mengulas berbagai pandangan termasuk hasil riset yang berkembang mengenai pentingnya membangun harkat dan martabat kemanusiaan sebagai inti dari karakter. Pemahaman terhadap substansi konten pendidikan karakter merupakan isu yang sangat krusial guna menemukan arah pendidikan karakter yang tepat. Pemahaman ini mengundang kita semua untuk meninjau kembali hakikat pendidikan dan implementasinya di lapangan saat ini. Apakah pendidikan karakter merupakan bagian yang terpisahkan dari keseluruhan proses pendidikan atau sesuatu yang inheren dalam sistem pendidikan. Keterkaitan antara substansi konten pendidikan karakter dan kegiatan pembelajaran sebagai inti proses pendidikan merupakan faktor dominan dalam rangka rekonstruksi paradigma pendidikan kita. Selanjutnya, model kurikulum yang diterapkan menjadi sarana yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter. Pemerintah melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan meluncurkan kurikulum 2013. Kurikulum ini sesungguhnya merupakan salah satu program memperkuat karakter bangsa melalui perubahan paradigma pembelajaran di tingkat sekolah. Keberhasilan implementasi kurikulum 2013 ditentukan oleh beberapa faktor, meskipun demikian guru merupakan faktor yang sangat dominan. 2. Pentingnya Pendidikan Karakter Kekhawatiran bahwa upaya pendidikan tidak mampu memelihara hakikat manusia sebagai fitrah, makhluk suci ciptaan Tuhan Yang Mahasuci telah mengemuka sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, seorang filsuf Jerman yang sangat terkemuka Immanuel Kant (1724-1808) mengemukakan pendapatnya bahwa manusia tidak akan mampu mengenali dirinya, akan tetapi manusia akan mampu mengenali dirinya berdasarkan apa yang tampak dari luar dirinya baik secara empiris 1
maupun secara batin. Immanuel Kant mengemukakan bahwa manusia adalah mahluk rasional, bertindak dengan alasan moral, dan bukan karena alasan diri sendiri. Seseorang diakui harkat kemanusiaannya melalui perilaku yang dilandasi oleh moral yang menjadi ukuran baik dan buruk. Berlandaskan kekuatan moral, seseorang diakui harkat kemanusiaannya jika tindakannya tidak mengganggu harkat kemanusiaan, bahkan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan orang lain. Mengenali diri hanya berdasarkan atribut yang ada pada diri sendiri dapat mengakibatkan narsisme (mengagumi diri sendiri secara berlebihan). Setiap orang harus memiliki rasa percaya diri, akan tetapi rasa percaya diri yang berlebihan (over confident) dapat menimbulkan sifat narsistik dan cenderung merendahkan orang lain. Dalam ajaran agama (Islam) sifat narsistik ini disebut ujub, termasuk ke dalam salah satu penyakit hati yang membahayakan. Agama memandang bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, lingkungannyalah yang akan menentukan warna kehidupan selanjutnya. Tuhan menciptakan manusia dengan segenap potensi yang ada pada dirinya. Dalam perspektif pedagogik, jika potensi itu dikembangkan ke jalan yang benar, manusia akan cenderung menjadi baik. Sebaliknya, jika potensi itu dikembangkan ke jalan yang salah, manusia akan cenderung kepada keburukan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendekatan, strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran sebagai kegiatan inti pendidikan menjadi faktor yang sangat menentukan. Hakikat pendidikan adalah upaya membantu pertumbuhan anak didik agar mencapai perkembangan yang optimal, menjadi manusia yang matang dan normal, dikenal dengan sebutan manusia dewasa. Tugas pendidik adalah memfasilitasi agar segenap potensi yang ada pada anak didik, baik potensi fisik, intelektual, emosional, bahkan spiritual berkembang secara optimal. Konfigurasi pertumbuhan keseluruhan potensi yang ada pada anak didik akan menjadi profil kepribadiannya setelah menjadi manusia dewasa. Munculnya gagasan menggalakkan kembali pendidikan karakter sesungguhnya merupakan respon terhadap ketidakseimbangan perkembangan seluruh potensi tersebut. Di satu sisi kita melihat ada potensi yang berkembang secara optimal (sebut saja potensi intelektual), sementara potensi yang lain, seperti potensi emosional, cenderung tertinggal. Ketidakseimbangan perkembangan potensi yang dimiliki anak didik akan berpengaruh terhadap cara seseorang mencapai tujuan hidupnya. Lemahnya kekuatan emosional dan spiritual yang dimiliki seseorang dapat mengakibatkan kesulitan untuk diterima oleh lingkungannya, bahkan pada saat tertentu dapat berakibat negatif terhadap lingkungannya. Dewasa ini masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia mengalami kegalauan terhadap kemerosotan moral. Fenomena ini telah diantisipasi oleh para pakar pendidikan sejak berabad-abad yang lalu. John Stuart Mill pakar pendidikan dari Aberdeen University pada tahun 1867 telah mengeksperisikan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya memberikan keterampilan untuk menjadi pengacara (lawyers), dokter (physicians), atau insinyur (engineers). Akan tetapi, tujuan pendidikan yang sesungguhnya memberikan kemampuan dan mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan (Pring, 2005). Keluaran pendidikan terutama berupa pengetahuan dan keterampilan (knowledge and skill) dapat bermanfaat jika diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Pendidikan tidak hanya diorientasikan pada kemampuan intelektual dan vokasional melainkan juga, yang tidak kalah pentingnya, adalah membentuk kepribadian yang diterima oleh lingkungannya. 2
Pergeseran paradigma pendidikan terjadi ketika peradaban manusia dipengaruhi semakin ketatnya persaingan untuk mendapatkan sumber ekonomi. Sikap pragmatisme masyarakat muncul dengan subur sebagai akibat dari persaingan ekonomi. Seakan pendidikan hanya diorientasikan pada penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang sebanyak-banyaknya sehingga mengabaikan faktor-faktor selain ekonomi. Salah satu contoh, para penganut teori Human Capital yang dikembangkan menjelang abad ke 20 (sekitar tahun 1900-an) telah mengubah paradigma pendidikan sebagai human investement dalam bidang ekonomi. Ukuran keberhasilan pendidikan ditentukan oleh balikan yang diperoleh dalam perhitungan ekonomi. Teori ini tidak ada salahnya, hanya saja ada faktor di luar ekonomi yang tidak bisa diabaikan dalam proses perjalanan setiap bangsa. Sejalan dengan perkembangan di bidang riset, seorang ahli psikologi bernama Daniel Goleman, membuka mata dunia dengan teori yang tertuang dalam bukunya yang berjudul 'Emotional Intelligence' (terbit tahun 1995). Dalam buku yang sempat diterjemahkan ke dalam 30 bahasa tersebut disimpulkan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk di dalamnya kecerdasan emosional (Emotional Qoution/EQ) yang selama ini cenderung diabaikan (Rob.Y, 2009). Teori Goleman tentang EQ yang meliputi 5 domain, yaitu selfawareness, self-regulation, motivation, empathy, dan social skill telah banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan di berbagai negara. Sistem pendidikan tidak lagi hanya mengunggulkan IQ tapi juga EQ sebagai kekuatan yang diyakini sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang, bukan saja di dunia pendidikan melainkan juga diterapkan dalam pembinaan kualitas pekerja di berbagai institusi. Kesadaran akan pentingnya faktor-faktor lain selain kompetensi intelektual dalam membentuk jatidiri seseorang dalam proses pembelajaran, telah melahirkan gagasan akan pentingnya pendidikan karakter. Oleh karena itu, tugas utama pendidikan adalah membangun harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pendidikan berusaha untuk membimbing, mengarahkan, dan membantu peserta didik menjadi dirinya sendiri melalui kematangan kepribadian sehingga menjadi manusia dewasa. Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan dan pendiri Taman Siswa merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak, baik sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat, agar dapat mencapai kesempurnaan hidup. Jelaslah kiranya bahwa pendidikan karakter selain suatu proses yang inheren di dalam keseluruhan sistem pendidikan, juga merupakan suatu tuntutan dalam rangka membangun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemahaman terhadap pendidikan karakter tentu saja tidak cukup hanya sampai pada suatu keyakinan bahwa hal itu memang penting dilakukan. Persoalan berikutnya yang patut mendapat kajian adalah bagaimana pendidikan karakter itu dapat dilakukan secara efektif agar dapat dihasilkan manusia yang berkarakter. Yang pasti, pendidikan karakter itu tidak cukup hanya dijadikan isu, hanya diseminarkan/didiskusikan, hanya ditulis di buku atau artikel, tetapi harus diimplementasikan secara komprehensif melibatkan semua komponen pendidikan.
3
3. Pendidikan Karakter dan Pendidikan untuk Karakter Sebelum lebih jauh membahas tentang strategi pendidikan karakter, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu pemahaman tentang karakter itu sendiri. Saat ini masalah pendidikan karakter telah menghiasasi berbagai kegiatan akademik baik di sekolah, perguruan tinggi, maupun di kalangan peemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, terkadang kita lupa untuk masuk ke dalam substansi karakter itu sendiri secara mendalam. Kealpaan ini mengakibatkan pendidikan karakter hanya berada pada tataran retorika dan objek karya-karya ilmiah tertentu saja. Padahal konten pendidikan karakter jauh lebih penting dari strategi pendidikan karakter itu sendiri. Pemahaman yang baik tentang substansi karakter dapat memberi kemampuan untuk mengukur karakter seseorang, karakter sebuah komunitas, dan akhirnya karakter bangsa. Karakter merupakan ciri khusus yang melekat pada diri seseorang, keluarga, dan suatu komunitas secara konsisten dan dapat diprediksi yang ditunjukkan oleh kecenderungan perilaku. Perilaku itu tidak berdiri berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan sikap dan nilai (Lapsley, D.K & Narvaez, D.,2006). Pembangunan karakter dimulai dari pembentukan sikap berdasarkan nilai tertentu, seperti nilai agama, budaya, termasuk ideologi negara. Sistem nilai itu berfungsi sebagai kerangka acuan yang dijadikan referensi dalam menentukan sikap dan perilaku. Sistem nilai inilah yang kemudian menjadi pembeda antara karakter yang satu dengan karakter lainnya. Secara universal karakter yang diterima oleh suatu komunitas tertentu, ditentukan oleh konsensus terhadap kerangka acuan yang digunakan. Dengan demikian, dalam konteks universal, memahami kerangka acuan yang digunakan oleh keluarga, lingkungan, atau komunitas, baik lokal, nasional, maupun global, merupakan tahap awal untuk memperoleh akses sosial. Tidak sedikit inharmonisasi terjadi di tengah msayarakat yang disebabkan oleh kegagalan dalam memahami dan menerima kerangka acauan yang berlaku di lingkungan tertentu. Internalisasi sejumlah nilai kebajikan (virtues) yang diyakini mendasari cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak akan melahirkan jenis dan model karakter tertentu (lihat: American Heritage Dictionairy of the English Language 4th edition). Di sinilah diperlukan kesediaan seseorang untuk memahami dan kemudian menerima nilai-nilai kebajikan yang diyakini oleh komunitas tertentu jika ia ingin diterima oleh komunitas tersebut. Jadi, karakter seseorang bukanlah hasil penilaian terhadap sikap dan perilaku diri sendiri, akan tetapi merupakan resultan penilaian orang lain. Karakter itu bukan lahir dari retorika yang agung atau sekadar niat baik, tetapi karakter lahir dari kejujuran dan kesetiaan yang melekat pada nilai-nilai moral (Josephson.M, 2013). Seseorang dapat saja mengatakan bahwa dirinya memiliki karakter baik, namun jika masyarakat di lingkungannya menilai ia berkarakter buruk, itulah karakter yang sesungguhnya. Jadi, pada setiap konteks, karakter seseorang akan dicatat dan dinilai oleh lingkungannya (Gene.K, 2007) Kegagalan memahami nilai-nilai kebajikan itu akan melahirkan sikap skeptisme dan pada akhirnya tidak jarang memicu konflik. Dalam konteks ini bagi masyarakat majemuk (plural society), seperti Indonesia, keragaman dan variasi nilai-nilai kebajikan yang diyakini oleh setiap kelompok masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Perbenturan antarsistem nilai yang diyakini sebagai sumber kebajikan tidak jarang melahirkan masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, untuk 4
menghindari perbenturan tersebut diperlukan sistem nilai yang lebih umum yang disepakati bersama oleh kelompok yang tadinya memiliki sistem nilai masingmasing. Semakin sensitif suatu sistem nilai terhadap sub-sub sistem nilai yang ada akan semakin kuat daya rekatnya. Sebaliknya, semakin lemah sensitivitas suatu sistem nilai terhadap subsistem nilai di bawahnya akan semakin lemah pula daya rekatnya. Kemajemukan masyarakat di satu sisi merupakan khasanah kebudayaan yang menjadi sebuah kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak dikelola secara arif dan bijak, tidak mustahil akan memicu inharmonisasi di dalam masyarakat, bahkan pada klimaksnya dapat memicu terjadinya konflik sosial. Di sinilah peran penting tokoh agama, budayawan, pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya untuk menjadi stabilisator dalam proses interaksi sosial. Keberadaan para tokoh akan menjadi simbol bagi masyarakat dalam menyikapi unsur-unsur kemajemukan tersebut. Fakta empirik menunjukkan bahwa terjadinya konflik sosial bukan disebabkan oleh sikap dan tindakan seseorang, melainkan muncul manakala terjadi akumulasi sosial yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial tertentu. Gerakan-gerakan itu tentu saja tidak muncul dengan sendirinya tanpa ada pihak (tokoh) tertentu yang berperan sebagai penggeraknya. Oleh karena itu, banyak pakar baik di bidang psikologi, pendidikan, sosiologi, maupun manajemen mencari sistem nilai yang tepat yang dapat menjadi kerangka acuan bagi masyarakat global. Ada banyak pakar yang menggagas nilai-nilai moral dan spiritual yang diajukan sebagai kerangka acuan global, seperti Dunning, J.H dengan Global Morals-nya, Weiming, T.H dengan Beyond The Inlightement of Mentality-nya dan Michael Josephson dengan Six Pillars Character-nya. Mengingat keterbatasan ruang dan waktu, pada kesempatan ini hanya konsep Six Pillars Character yang akan dibahas lebih lanjut. Michael Josephson adalah Profesor di bidang hukum dan pengusaha yang mendirikan Josephson Institute pada tahun 1987. Ia juga seorang Ethicist (ahli Etika yang terkemuka). Adapun Six Pillars Character (enam pilar karakter) yang diformulasikan oleh Josephson meliputi aspekaspek berikut : (1) trustworthiness, (2) respect, (3) responsibility, (4) fairness, (5) caring, dan (6) citizenship (Josephson, M., 2013). Trustworthiness (kepercayaan) merupakan upaya membangun kepercayaan dan kredibilitas dengan integritas (konsistensi antara keyakinan, kata-kata, dan tindakan), kejujuran, amanah, dan loyalitas baik terhadap keluarga, sahabat, maupun negara. Respect adalah menghargai nilai-nilai dan harga diri atau martabat setiap individu, memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, bertindak dengan penuh pertimbangan (mengedepankan perdamaian dan tanpa kekerasan), toleran terhadap perbedaan, dan menghindari tindakan-tindakan yang menyinggung dan merugikan orang lain. Responsibility (tanggung jawab) adalah memiliki rasa tanggung jawab terhadap setiap kata, sikap, dan tindakan, selalu melatih pengendalian diri, selalu berusaha untuk memperbaiki diri, memiliki perencanaan yang matang, menjadi tauladan bagi sesama, mandiri, proaktif, teguh dalam pendirian, dan kerja keras. Fairness (keadilan) adalah bersikap konsisten, terbuka, dan memperlakukan setiap orang secara proporsional, mempertimbangkan semua sisi dan mengambil keputusan berdasarkan fakta tanpa prasangka dan subjektivitas, mengikuti aturan yang ada, menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, tidak mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain, mengedapankan keadilan, dan menghindari kecurangan. Caring (kepedulian) adalah bersikap positif, 5
simpati, empati, dermawan, pemaaf, dan pandai berterimakasih dan bersyukur. Citizenship (kewarganegaraan) adalah menaati hukum dengan penuh keyakinan, berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan warga negara dan anggota masyarakat, memelihara lingkungan, sukarela, dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi dengan cara menggunakan hak pilih. Selanjutnya, setelah memahami substansi konten karakter di atas, kajian berikutnya adalah menanamkan nilai-nilai karakter tersebut pada peserta didik. Tentu saja dalam konteks persekolahan, strategi pendidikan yang dilakukan oleh para pendidik dan institusi pendidikan menjadi sangat menentukan. Tidaklah mengherankan jika pendidikan karakter menjadi salah satu isu terpenting di dunia pendidikan dewasa ini. Meskipun demikian, jika kita cermati secara jujur, mencuatnya isu tentang pendidikan karakter mengindikasikan bahwa pendidikan karakter yang dilakukan selama ini belum mencapai hasil yang optimal. Masyarakat masih merasakan adanya degradasi karakter yang sedang melanda kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini. Di sinilah arti pentingnya revitalisasi pendidikan karakter dalam rangka membangun karakter bangsa. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia terdidik, manusia yang bersikap dan berperilaku berdasarkan hasil pendidikan yang diperolehnya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan terdidik jika mengaplikasikan esensi dari pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Esensi pengetahuan dan keterampilan itu berupa nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya. Pendidikan karakter adalah upaya dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai inti tersebut. Secara terminologi Lickona mengartikan pendidikan karakter sebagai berikut: “Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values” (Lickona, T. 2004). Jadi, sasaran dari pendidikan karakter itu adalah pemahaman, kepedulian, dan pengamalan nilai etika inti. Lebih lanjut Lickona mengidentifikasi sebelas prinsip dalam menyelenggarakan pendidikan karakter, khususnya di sekolah. Kesebelas prinsip itu secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut. 1. Memiliki definisi dan konsep tentang karakter yang baik. 2. Menginternalisasikan nilai karakter ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan. 3. Menggunakan pendekatan komprehensif, intensif, dan proaktif. 4. Menciptakan sekolah sebagai komunitas yang penuh kepedulian. 5. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan moral 6. Mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah 7. Membangkitkan motivasi internal dari diri peserta didik. 8. Melibatkan seluruh komponen sekolah dalam usaha pendidikan karakter. 9. Memerlukan adanya kepemimpinan moral dari semua pihak baik pimpinan, staf, dan para guru. 10. Bekerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat 11. Melakukan evaluasi secara berkala terhadap implementasi pendidikan karakter di sekolah. Jika dicermati secara seksama kesebelas prinsip di atas, terdapat beberapa unsur di sekolah yang saling berinteraksi dalam proses pendidikan karakter. Unsurunsur itu dapat disederhanakan sebagaimana digambarkan berikut ini. 6
Konsep Karakter yang Baik
Pelaku: Pimpinan, Guru dan Staf
Siswa
Strategi dan Metode
Lingkungan internal dan eksternal
Gambar 1. Interaksi unsur-unsur pendidikan karakter sekolah Langkah pertama dalam pendidikan karakter di sekolah adalah memformulasikan konsep karakter yang akan dijadikan referensi perilaku bagi seluruh warga sekolah. Konsep karakter yang baik dirumuskan secara bersama dengan melibatkan semua stakeholder. Konsep tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk regulasi yang disepakati bersama seperti tata tertib sekolah, tata pergaulan, pedoman akademik, prosedur operasional baku, dan sebagainya. Langkah berikutnya adalah menentukan strategi dan metode yang akan digunakan agar konsep karakter baik yang sudah disepakati bersama itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan sekolah. Strategi meliputi perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain sedemikian rupa guna melaksanakan pendidikan karakter. Metode memuat prosedur pembelajaran yang difokuskan pada upaya pencapaian tujuan pendidikan karakter. Unsur selanjutnya yang sangat dominan adalah pelaku pendidikan karakter itu sendiri. Peserta didik adalah sasaran atau subjek dari pendidikan karakter, sedangkan pelakunya terdiri atas pimpinan sekolah, guru, dan staf. Ketiga komponen ini harus memiliki persepsi yang sama tentang konsep karakter yang baik dan komitmen yang tinggi serta secara bersama-sama saling mengisi dan saling melengkapi. Unsur terakhir yang sangat berperan dalam pendidikan karakter adalah lingkungan, baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal adalah keseluruhan sumber daya yang ada di sekolah baik fisik maupun manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Lingkungan eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar sekolah, seperti keluarga dan masyarakat di luar lingkungan sekolah. Kesinergian keempat unsur (konsep/konten karakter, strategi dan metode, pelaku, dan lingkungan) merupakan kata kunci keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Kemudian selain bersinergi, perlu juga diupayakan agar keempat unsur itu diorientasikan pada pembimbingan, pengarahan, dan pembiasaan peserta didik, karena urusan utama (core bussines) sekolah adalah mengubah perilaku siswa agar 7
menjadi semakin matang dan dewasa. Dengan kata lain, pendidikan karakter harus terintegrasi ke dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa disebut pendidikan karakter. Apakah pendidikan karakter terpisah dari kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah? Apakah jika sekolah tidak memiliki program khusus pendidikan karakter tidak menyelenggarakan pendidikan karakter? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut, mengharuskan kita untuk mengkaji secara mendalam tentang makna hakiki dari pendidikan. Terdapat tiga kegiatan utama dalam proses pendidikan, yaitu transfer pengetahuan (transfer of knowledge), pembelajaran (how to make student learn), dan internalisasi nilai (value internalization). Transfer pengetahuan merupakan upaya untuk menjadikan peserta didik mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan sesuatu. Kegiatan ini merupakan tahap paling awal dan paling sederhana dalam proses mendidik, yang dikenal dengan istilah “mengajar”. Pembelajaran adalah upaya memfasilitasi, menciptakan suasana kondusif agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. Internalisasi nilai merupakan upaya menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap konten pembelajaran dan menjadi indikator implementasi pengetahuan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang memberikan ciri khusus terhadap latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Cara pandang, pola pikir, cara merespon setiap fenomena menggambarkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki. Salah satu indikator keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana guru mampu menemukan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam konten pembelajaran dan kemudian diinternalisasikan ke dalam kehidupan peserta didik. Di dalam proses pendidikan, yang ditanamkan kepada peserta didik sesungguhnya bukan pengetahuan, akan tetapi nilai-nilai karakter yang ada di dalam pengetahuan tersebut. Pengetahuan bukan tujuan akhir pendidikan, melainkan jembatan emas untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah terinternalisasikannya nilai-nilai karakter dari pengetahuan yang dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik. Pemahaman terhadap paradigma pendidikan ini sekaligus menjadi indikator guru telah melakukan kegiatan mendidik atau baru sekadar melakukan kegiatan mengajar. Jika guru baru melakukan kegiatan mengajar, tidak mungkin melahirkan manusia terdidik, tetapi baru melahirkan manusia yang memiliki pengetahuan tertentu. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran hanya sebatas menjadikan peserta didik paham tentang sesuatu, dapat melakukan sesuatu, tapi belum menambah khasanah referensi perilaku. Proses ini dapat disebut sebagai proses pembelajaran yang tidak mendidik. Wajar jika tidak menghasilkan manusia terdidik, hanya menghasilkan manusia berpengatuhan, dan berkemampuan melakukan sesuatu. Artinya, kegiatan pembelajaran belum mampu mengubah perilaku peserta didik. Apa yang dikhawatirkan oleh masyarakat dewasa ini, bahwa telah terjadi degradasi moral di kalangan generasi muda, khususnya kaum pelajar dan remaja, menggambarkan bahwa kegiatan pembelajaran di sekolah sebagian besar baru melakukan kegiatan mengajar, belum sampai pada kegiatan mendidik. Sekolah baru bisa menanamkan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi belum menginternalisasikan nilai dari pengetahuan tersebut kepada peserta didik. Artinya, proses akademik di sekolah belum menyentuh substansi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu menginternalisasikan nilai-nilai karakter kepada peserta didik, 8
baru sebatas membekali peserta didik dengan pengetahuan. Hal ini diperparah oleh sistem penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik yang hanya mengukur penguasaan pengetahuan, namun tidak mengukur penguasaan nilai, apalagi implementasi nilai dalam kehidupan peserta didik. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah belum memberikan kerangka acuan berupa sistem nilai yang akan menjadi indikator karakter seseorang atau peserta didik. Dampak dari kondisi ini, muncul pemikiran diperlukannya suatu upaya khusus untuk menanamkan karakter kepada peseta didik yang disebut dengan pendidikan karakter. Padahal, substansi dari kegiatan pendidikan itu sebenarnya adalah pendidikan karakter, karena pendidikan mencakup internalisasi nilai kepada peserta didik. Jadi, pendidikan karakter itu sesungguhnya tidak lain adalah proses pembelajaran yang mendidik. Oleh karena itu, pendidikan karakter sesungguhnya bukan kegiatan yang terpisah dari proses pendidikan secara keseluruhan, melainkan pendidikan untuk karakter. Fenomena di atas, juga terjadi pada dunia pendidikan tinggi yang berdampak terhadap terjadinya mismatch di dalam dunia kerja, termasuk di dunia pendidikan. Tidak sedikit kita menjumpai guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Banyak ditemukan pekerjaan yang dimiliki seseorang tidak match dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini menggambarkan bahwa nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam konten pengetahuan yang dipelajari tidak terinternalisasi ke dalam dirinya, sehingga responsibility terhadap pengetahuan yang diperolehnya menjadi sangat lemah. Berbagai tuntutan kehidupan seperti tuntutan ekonomi, sosial, dan politik telah mendorong seseorang lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis daripada pertimbangan akademis. Sebagian lulusan perguruan tinggi tidak merasa malu memiliki pekerjaan utama yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Efek lanjutan dari hal tersebut, terjadi low profesionalism di dalam dunia kerja. Berdasarkan fakta-fakta empirik di atas, sudah saatnya bangsa Indonesia meninjau kembali paradigma pendidikannya yang selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif kepada suatu sistem pembelajaran yang mendidik. Pembentukan sikap dan perilaku positif peserta didik harus menjadi tujuan utama proses pendidikan kita. Saat ini pemerintah melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan (PSDMPMP) Kemdikbud telah meluncurkan Kurikulum 2013. Melalui krikulum 2013 ini diharapkan akan terjadi perubahan paradigma pembelajaran di tingkat sekolah 4. Implementasi Kurikulum 2013 untuk Pendidikan Karakter Menurut catatan sejarah, pemerintah Indonesia sangat aktif melakukan peninjauan kurikulum. Sejak tahun 1947 sampai tahun 2006 (selama kurun waktu 59 tahun) pemerintah sudah melakukan sepuluh kali peninjauan kurikulum, sebagaimana gambar berikut ini.
9
Gambar 2. Perkembangan Kurikulum Nasional Sumber: Badan PSDMPMP, 2013 Apabila dicermati secara seksama, trend perubahan kurikulum di atas menunjukkan bahwa kurikulum semakin menekankan pada pengembangan kompetensi. Akan tetapi, trend perubahan itu belum mampu mengubah paradigma pembelajaran di tingkat sekolah secara signifikan. Kurikulum 2013 dirumuskan untuk mendorong ke arah terjadinya perubahan paradigma pembelajaran di sekolah, dengan mengintegrasikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh fakta empirik bahwa pembelajaran selama ini kurang memperhatikan struktur keseimbangan antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Adapun struktur keseimbangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
10
Gambar 3. Proporsi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan (Badan PSDMPMP, 2013) Gambar di atas menunjukkan bahwa pada pendidikan dasar muatan sikap mendapatkan proporsi yang lebih tinggi daripada pengetahuan dan keterampilan. Pada jenjang pendidikan menengah muatan pengetahuan dan keterampilan semakin seimbang dengan muatan sikap. Sebaliknya, pada jenjang pendidikan tinggi muatan pengetahuan sangat dominan, sedangkan muatan sikap sangat sedikit, dengan asumsi pembentukan sikap sudah matang pada jenjang pendidikan di bawahnya. Hal ini mengandung makna bahwa pembentukan sikap harus dilakukan sedini mungkin, sehingga ketika seseorang masuk ke jenjang pendidikan tinggi sudah memiliki kematangan sikap. Dengan kata lain, mahasiswa sudah mendekati manusia dewasa dan ketika menyelesaikan studi benar-benar sudah menjadi manusia dewasa yang siap terjun ke masyarakat. Dari sejumlah elemen perubahan pada kurikulum 2013, terdapat tiga elemen perubahan mendasar, yaitu kompetensi lulusan, kedudukan mata pelajaran, dan pendekatan yang digunakan. Perubahan ketiga elemen tersebut secara rinci digambarkan sebagai berikut.
11
Tabel 1. Elemen Perubahan Kurikulum 2013
Sumber: Badan PSDMPMP (2013) Sementara itu, permasalahan yang sering muncul dalam perjalanan kurikulum sekolah di Indonesia adalah berkaitan dengan struktur hubungan antara ranah pengetahuan, sikap, dan perilaku. Ketidakjelasan hubungan ini menjadikan paradigma pembelajaran di kelas menjadi tidak fokus, sehingga terlalu didominasi oleh pengetahuan. Tidak bisa dipungkiri, pengetahuan sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup setiap orang. Akan tetapi, pengetahuan bukan satu-satunya elemen yang menentukan kesuksesan hidup. Pengetahuan yang tidak diikuti sikap yang baik dapat melahirkan tindakan atau perilaku yang buruk. Permasalahannya kini adalah bagaimana hubungan antara pengetahuan dan sikap? Bagaimana hubungan antara sikap, perilaku, dan pengetahuan? Inilah sesungguhnya masalah yang sangat mendasar pada implementasi kurikulum 2013 kaitannya dengan pendidikan karakter. Pengetahuan akan menghasilkan pemahaman tentang segala sesuatu dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan. Di dalam pengetahuan terkandung nilai karakter yang akan menuntun sikap seseorang. Sebagai contoh, pengetahuan tentang matematika antara lain mengandung nilai karakter logis, rasional, dan cermat. Pengetahuan tentang olah raga antara lain mengandung nilai karakter sportif, disiplin, dan kejujuran. Pengetahuan tentang bahasa antara lain mengandung nilai karakter empati, logis, dan estetis. Hubungan antara pengetahuan, nilai karakter, sikap, dan tindakan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
12
P e n g e ta h u a n
N ila i
S ik a p Tin d a k a n / P e r ila k u
Gambar 4. Struktur Pengetahuan dan Dampaknya Salah satu kunci keberhasilan implementasi kurikulum 2013 adalah kemampuan guru untuk menemukan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam materi pembelajaran. Ketepatan nilai karakter yang diperoleh mempengaruhi ketepatan dan konsistensi sikap. Hal ini sangat penting, karena sikap akan menentukan tindakan dan perilaku seseorang. Kecenderungan sikap seseorang terhadap suatu objek, menentukan tindakan yang dilakukan terhadap objek tersebut. Di sinilah peran guru dalam implementasi kurikulum 2013, yakni membentuk sikap positif peserta didik melalui nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam konten dan proses pembelajaran. Nilai-nilai karakter itu dapat ditemukan oleh guru melalui berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kreatif diperoleh melalui kebiasaan berpikir kritis. Prasyarat keduanya adalah kebiasaan berpikir aktif. Hirarki tingkat kemampuan berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5. Sekuen Keterampilan Berpikir Paparan di atas menunjukkan bahwa peran guru bukan hanya sekadar pengajar, melainkan sebagai pendidik. Guru bukan hanya sekadar membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan, melainkan mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih baik melalui pembentukan sikap yang positif. Tahapan yang paling krusial dalam pembentukan sikap adalah membangun keyakinan di dalam diri peserta didik untuk menerima nilai-nilai karakter yang diinternalisasikan. 13
Guru dalam hal ini harus menjadi sosok yang dapat diteladani oleh peserta didik dan bahkan oleh masyarakat. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menetapkan empat kompetensi yang harus dikuasi oleh guru sebagai tenaga pendidik, yaitu (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi pedagogik, dan (4) kompetensi sosial. Keempat kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan membentuk konfigurasi yang menggambarkan sosok guru yang profesional dan berkarakter. Konfigurasi keempat kompetensi itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6. Konfigurasi Kompetensi Guru Profesional dan Berkarakter
Membangun guru profesional dan berkarakter dimulai dari pengembangan kompetensi kepribadian. Kompetensi ini berfungsi sebagai pondasi struktur bangunan sosok guru profesional dan berkarakter. Kepribadian yang matang dan kuat merupakan hal yang sangat penting bagi seorang guru, karena kemampuan membangun kesadaran profesi dan kompetensi bergantung pada kemampuan mengidentifikasi dan menganalisis situasi yang layak (Swennen, A. & Klink, Mvd, 2009). Melalui kepribadian yang matang dan kuat, guru mampu beradaptasi pada setiap situasi sehingga memungkinkannya memperkokoh profesi dan kompetensi. Selain itu, kepribadian yang kuat akan melahirkan komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik, yang berfungsi sebagai pilar bangunan sosok guru yang diidamkan oleh peserta didik dan masyarakat. Dengan kedua pilar kompetensi yang tegak kokoh di atas pondasi kepribadian yang kuat itulah reputasi guru mendapatkan apreasiasi dari peserta didik dan masyartakat sebagai pancaran kompetensi sosial.
14
5. Simpulan Kekuatan karakter sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap sistem nilai yang berfungsi sebagai kerangka acuan yang berlaku pada komunitas tertentu. Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis untuk membangun karakter bangsa, asalkan paradigma pendidikan yang dikembangkan dilandasi oleh filosofi pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai budaya bangsa. Dalam skala global, pendidikan harus mengakomodasi nilai-nilai universal sebagai kerangka acuan global dengan tetap menjadikan nilai-nilai budaya bangsa sebagai filternya. Kurikulum 2013 yang menekankan pada integrasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan merupakan upaya rekonstruksi paradigma pendidikan untuk memperkuat karakter bangsa. Pembelajaran sebagai kegiatan inti pendidikan tidak boleh berhenti pada upaya membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi harus dilanjutkan pada pembelejaran yang mendidik. Pembelajaran mendidik yang diikuti oleh internalisasi nilai akan menciptakan perubahan perilaku yang lebih baik pada diri peserta didik. Kunci keberhasilan implementasi kurikulum 2013 bergantung pada kemampuan dan keinginan guru untuk menemukan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam materi dan proses pendidikan dan kemudian diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik. Hal itu dapat dilakukan oleh guru jika memiliki struktur hirarkhi berpikir, dari berpikir aktif, kemudian berpikir kritis, dan akhirnya menghasilkan berpikir kreatif.
15
DFATAR PUSTAKA Badan PSDMPMP, (2013), Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I, Jakarta.
,
Becker, G. S. (1993), Human Capital: a theoretical and empirical analysis, with special reference to education, The University of Chicago Press, Chicago & London Gene, K. (2007). Building Character, Jossey-Bass, San Francisco Josephson, M. (2013), Josephson Institute of Ethics and Character Counts, www.JosephsonInstitute.org (diakses tgl 10 Sep. 2013) Lapsley, D. K. & Narvaez, D. (2006). Character Education. In Vol. 4 (A. Renninger & I. Siegel, volume eds.), Handbook of Child Psychology (W. Damon & R. Lerner, Series Eds.). New York: Wiley. Lickona, T. (2004), Character Matters, Simon and Schuster, New York, London, Toronto, Sydney Pring, R. (2005). Philosophy of Education: Aims, Theory, Sommon Sense and Research, Continuum London-New York. Swennen, A. & Klink, Mvd.(ed) (2009), Becoming a Teacher Educator : Theory and Practice for Teacher Educators, Springer, Amsterdam. Undang-Undang R.I Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Yeung, R. (2009). Emotional Intellegence The New Rules, Marshall Cavendish, London
16