REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA BUBUK ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.) DAN APLIKASINYA UNTUK INDUSTRI
YERNISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Yernisa F351090041
iv
RINGKASAN YERNISA. F351090041. Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri. Dibimbing oleh ENDANG GUMBIRA-SA’ID dan KHASWAR SYAMSU. Pewarna alami merupakan bahan pewarna bersumber dari alam yang menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Pewarna alami di Indonesia belum banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk. Penggunaan pewarna alami masih dilakukan secara konvensional menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis. Biji pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu bahan pewarna alami karena mengandung senyawa golongan polifenol. Kadar polifenol dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah. Pewarna dari biji pinang dapat dibuat dalam bentuk ekstrak bubuk melalui proses ekstraksi dan pengeringan. Bahan pengisi biasa digunakan untuk menghasilkan produk bubuk yang berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Gum arab merupakan bahan pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan pengkapsul yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan. Penelitian ini mengenai rekayasa proses untuk mendapatkan pewarna bubuk alami dari biji pinang melalui proses ekstraksi dan pengeringan menggunakan spray drier. Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda dan buah pinang tua untuk mempelajari pengaruh tingkat ketuaan terhadap karakteristik produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi (tanpa bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan terhadap filtrat hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan spray drier. Karakteristik produk yang diamati adalah rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan, kadar total fenol, warna, analisis gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan analisis toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya kain katun dan kain sutera serta pada pewarnaan sabun transparan. Bahan fiksasi yang digunakan pada pewarnaan kain adalah tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Ekstrak biji pinang memiliki manfaat untuk kulit sehingga relevan digunakan pada produk kosmestik. Sabun transparan merupakan sabun perawatan dan kecantikan. Aplikasi pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bubuk ekstrak biji pinang (bubuk muda tanpa pengisi dan buah muda pengisi gum arab) sebagai pewarna terhadap karakteristik sabun transparan yang dihasilkan. Minyak yang digunakan untuk membuat sabun transparan terdiri dari dua jenis, yaitu minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan kelapa sawit (15:5 b/b). Kontrol yang digunakan adalah sabun transparan tanpa penambahan bubuk ekstrak biji pinang.
vi Biji pinang muda menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kadar air dan kadar total fenol yang lebih tinggi akan tetapi menghasilkan rata-rata nilai pH yang tidak berbeda nyata dan rata-rata densitas kamba dan kelarutan dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan biji pinang tua. Penggunaan pengisi gum arab menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kadar air yang tidak berbeda nyata akan tetapi menghasilkan rata-rata densitas kamba, nilai pH dan kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa penggunaan pengisi. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh pada penelitian ini memiliki rendemen 5,59% - 13,90%, kadar air 5,19% - 7,41%, densitas kamba 0,3720 g/ml – 0,5586 g/ml, kelarutan dalam air 94,10% – 99,25%, pH larutan bubuk 4,98 – 5,31, kadar total fenol 30,50% – 67,07% dan nilai oHue 39,67 – 62,06 pada kisaran warna merah dan merah kuning. Hasil spektrum FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi seperti OH, CH, CO serta struktur aromatik pada bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis toksisitas menggunakan BSLT menunjukkan bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang memiliki nilai LC50 yang bervariasi, yaitu 279,53 ppm – 10935,25 ppm. Bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan warna bervariasi dengan penggunaan bahan fiksasi berbeda pada kain katun dan kain sutera. Bahan fiksasi tawas cenderung menghasilkan warna kain mendekati sama dan lebih muda daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah dan merah kuning. Bahan fiksasi kapur cenderung menghasilkan warna kain lebih tua daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan warna kain paling tua (kisaran warna merah dan merah ungu). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap perubahan warna kain katun dan kain sutera akibat pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Bahan fiksasi kapur menghasilkan perubahan warna paling rendah pada perlakuan pencucian dengan deterjen baik pada kain katun maupun kain sutera. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan perubahan warna paling rendah pada perlakuan penjemuran di bawah matahari baik pada katun maupun pada sutera Semua kombinasi perlakuan jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan sabun transparan pada kisaran warna yellow red. Jenis minyak berpengaruh terhadap stabilitas busa dan kekerasan sabun transparan pada semua jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan dimana campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) menghasilkan sabun transparan dengan stabilitas busa yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan menggunakan minyak kelapa akan tetapi tidak berbeda nyata pada kadar air dan nilai pH. Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kekerasan dan nilai pH sabun transparan akan tetapi berpengaruh terhadap stabilitas busa sabun transparan. Keberadaan bahan pengisi gum arab pada bubuk ekstrak biji pinang meningkatkan stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa. Penggunaan gum arab pada bubuk pewarna ekstrak biji pinang dapat menurunkan perubahan warna sabun transparan selama penyimpanan enam bulan. Kata kunci: pewarna alami, Areca catechu L., bubuk, pengering semprot, kain, sabun transparan
SUMMARY YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU. Natural dyes have become alternative of non toxic, environtmentally friendly colorants, usually agro-renewable source and exhibit better biodegradability. Instant natural dyes, e.g. powder extracts, are still limited. Areca catechu L. is one of dye plant that has been traditionally used on batik and craft dyeing. The phenolic substances, as coloring matter, from areca seeds are varying in degree of maturation. For these reasons, design process of natural dye powder production from areca seeds by spray drying and its application in textile dyeing and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder treatment (without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca seeds powder extracts, and determine the effect of areca seeds dye powder and fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to the colour of two types of fabric (cotton, silk) and the color changes to washing and sun drying. The objective of study about application of areca seeds powder extracts in transparent soap was to determine the effect of areca seeds extracted powders and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seeds powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w). Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w). As a control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds powders. The results of this study exhibited unripe areca seeds produced powder extracts with higher in yield, moisture content and total phenolic content but had no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility than ripe areca seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield, and solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk density, pH and total phenolic content than the treatment without binder. The areca seeds powder extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture content ranges between 5,19% - 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 – 0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges between 94,10% – 99,25%, pH ranges between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges between 30,50 – 67,07% and o Hue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR spectrum showed presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in areca seeds dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm. The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Alum caused the depth of fabric colour as same as or lower than colored fabric without a fixative agent (color ranges in red and yellow red). The highest
viii depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by calcium oxide. Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them in sun drying. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of storage. Keywords: natural dye, Areca catechu L., powder, spray drying, dyeing, transparent soap
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
x
REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA BUBUK ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.) DAN APLIKASINYA UNTUK INDUSTRI
YERNISA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
xii
Judul Tesis : Rekayasa Proses Pembuatan Pewama Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri : Yemisa Nama : F351090041 NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Endang Gumbira-Said, MADev Ketua
Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS
Tanggal Ujian: 14 Mei 2013
Tanggal Lulus:
~02 AUG 2013
Judul Tesis : Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri Nama : Yernisa NIM : F351090041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Endang Gumbira-Said, MADev Ketua
Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Machfud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 14 Mei 2013
Tanggal Lulus:
xiv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini ialah Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Endang GumbiraSa’id, MADev dan Bapak Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat, serta Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSc dan Bapak Dr Ir Sapta Rahardja, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf di Laboratorium dan Bengkel Kerja Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah membantu selama penelitian dan rekan-rekan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami tercinta Erwin Mandiska Putra, ST dan ananda Muzhaffirah Nurul Lathifah dan Adzra Rizhan Samaira serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Yernisa
xvi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xix
DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
xxiii 1 1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Pinang Pewarna Alami Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami Pengering Semprot (Spray Drier) Gum Arab
5 5 7 9 12 13
3 METODE Kerangka Pemikiran Konseptual Bahan Alat Prosedur Analisis Data Rancangan Percobaan
15 15 16 16 16 23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buah Pinang Pembuatan Pewarna Bubuk Biji Pinang Karakteristik Warna Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Karakteristik Fisikokimia Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Analisis Toksisitas Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Analisis Gugus Fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang
25 25 28 31 33
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
38 39 43
109
xviii
DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak (% bobot kering, kecuali air) 2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor 3 Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 2004-2008 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami 5 Formula sabun transparan (diadaptasi dari Cognis 2003, Hambali et al. 2005 dan Karo 2011) 6 Komposisi kimia buah pinang muda dan buah pinang tua 7 Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia serbuk kering biji pinang muda dan biji pinang tua bubuk 8 Karakteristik filtrat hasil ekstraksi biji pinang 9 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak biji pinang 10 Karakteristik fisik pewarna bubuk ekstrak biji pinang 11 Karakteristik kimia pewarna bubuk ekstrak biji pinang 12 Perbandingan karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang hasil penelitian dan pewarna bubuk alami Acacia catechu 13 Tingkat toksisitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang 14 Pita serapan spektrometer inframerah pewarna bubuk ekstrak biji pinang muda, pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua dan (+)-katekin 15 Karakteristik pita serapan spektrum FTIR pada beberapa gugus fungsi1) 16 Karakteristik sabun dasar transparan dengan bahan dasar minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) 17 Karakteristik sabun transparan akibat perlakuan jenis minyak dan pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang berbeda 18 Perubahan warna sabun transparan setelah penyimpanan enam bulan
5 7 7 10 21 26 27 29 31 33 36 37 39 41 42
51 55 57
xx
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20
21
22
23
24 25 26
Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982) Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000) Diagram alir persiapan bahan baku Diagram alir proses pembuatan pewarna bubuk ekstrak biji pinang Diagram alir proses persiapan kain Diagram alir proses pewarnaan kain Diagram alir pembuatan sabun transparan Bentuk fisik buah (a) pinang muda (b) pinang tua Bagian-bagian buah pinang Irisan kering dan serbuk biji buah pinang Filtrat hasil ekstraksi Alat spray drier yang digunakan untuk pengeringan filtrat hasil ekstraksi biji pinang Bubuk pewarna ekstrak biji pinang dari berbagai kombinasi perlakuan Pengaruh tingkat ketuaan dan bahan pengisi terhadap rendemen bubuk pewarna yang dihasilkan Pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta bahan pengisi terhadap kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang dihasilkan Spektrogram hasil FTIR Struktur (+)-katekin (AIST 2013) Kain katun setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda Kain sutera setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda Nilai L* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Nilai a* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Nilai b* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Nilai oHue warna kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat pencucian menggunakan deterjen Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran di bawah sinar matahari Sabun dasar tranparan yang terbuat dari minyak kelapa (kiri) dan minyak kelapa sawit (kanan)
6 11 17 18 19 20 22 25 25 26 29 30 31 34
37 40 42 44 45
45
46
47
48 49 50 51
xxii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan) 27 Perbandingan warna sabun transparan (minyak kelapa) yang diberi perlakuan pewarna ekstrak biji pinang dalam bentuk sediaan yang berbeda 52 28 Penampakan visual sabun transparan yang telah diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang 53 o 29 Nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai hue sabun transparan pada perlakuan jenis minyak dan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang yang berbeda 54
DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis parameter-parameter percobaan 2 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kromasitas (nilai L*, a*, b* dan ohue) bubuk ekstrak biji pinang 3 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap rendemen bubuk ekstrak biji pinang 4 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap densitas kamba bubuk ekstrak biji pinang 5 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelarutan bubuk ekstrak biji pinang 6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air bubuk ekstrak biji pinang 7 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman (pH) larutan dari pewarna bubuk ekstrak biji pinang 84 8 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar total fenol bubuk ekstrak biji pinang 9 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan kromasitas kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada berbagai jenis bahan fiksasi 10 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kromasitas dan nilai ΔE kain katun dan kain sutera yang diberi perlakuan pencucian dengan deterjen 11 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan nilai ΔE kain katun dan kain sutera yang diberi perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari 12 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal warna (kromasitas) sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 13 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal kadar air sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 14 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal kekerasan sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 15 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal nilai pH sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 16 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal stabilitas busa sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan
69 76 80 81 82 83
85
86
93
97 101 104 105 106 107
xxiv
ABSTRACT YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU. Natural dyes have become alternative of non toxic, environmentally friendly colorants, usually agro-renewable source and exhibit better biodegradability. Instant natural dyes, e.g. powder extracts, are still limited. Areca catechu L. is one of dye plant that has been traditionally used on batik and craft dyeing. The phenolic substances, as coloring matter, from areca seeds are varying in degree of maturation. For these reasons, design process of natural dye powder production from areca seeds by spray drying and its application in textile dyeing and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder treatment (without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca seeds powder extracts, and determine the effect of areca seeds dye powder and fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to the colour of two types of fabric (cotton, silk) and the color changes to washing and sun drying. The objective of study about application of areca seeds powder extracts in transparent soap was to determine the effect of areca seeds extracted powders and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seeds powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w). Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w). As a control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds powders. The results of this study exhibited unripe areca seeds produced powder extracts with higher in yield, moisture content and total phenolic content but had no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility than ripe areca seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield, and solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk density, pH and total phenolic content than the treatment without binder. The areca seeds powder extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture content ranges between 5,19% 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 – 0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges between 94,10% – 99,25%, pH ranges between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges between 30,50 – 67,07% and oHue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR spectrum showed presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in areca seeds dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm. The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Alum caused the depth of fabric colour as same as or lower than colored fabric without a fixative agent (color ranges in red and yellow red). The highest depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by calcium oxide. Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them in sun drying. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of storage. Keywords: natural dye, Areca catechu L., powder, spray drying, dyeing, transparent soap
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pewarna merupakan salah satu bahan yang cukup luas penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada makanan, tekstil, cat, tinta, lukisan dan sebagainya. Oleh karena itu, kebutuhan bahan pewarna diduga akan terus berkembang. Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan manusia. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, penggunaan pewarna alami banyak digantikan oleh pewarna sintetis. Hal ini disebabkan oleh karakteristik pewarna sintesis yang memiliki beberapa kelebihan diantaranya mudah diproduksi, murah, memiliki intensitas warna dan variasi warna dan stabilitas yang lebih baik dibanding pewarna alami. Pewarna alami berasal dari bahan alam seperti tumbuhan, hewan, mikrooganisme maupun mineral. Oleh karena itu, bahan bakunya tersedia di alam bahkan sebagian besar dapat dibudidayakan. Di lain pihak, pewarna sintetis merupakan pewarna yang disintesis dari bahan kimia yang bahan bakunya tergantung pada sumber daya petrokimia. Beberapa pewarna sintetis mengandung bahan yang bersifat toksik atau karsinogenik dan tidak ramah lingkungan. Limbah industri tekstil yang menggunakan pewarna sintetis ada yang mengandung logam berat dan beberapa pewarna sintetik memberikan efek alergi dan toksik (Hunger 2003). Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna sintetik khususnya golongan pewarna azo pada produk tekstil dan kulit. Beberapa pewarna dari jenis tersebut dapat menghasilkan senyawa amina aromatik yang beresiko kanker bila kontak dengan kulit. Negara Jerman dan Belanda telah melarang penggunaan zat warna tersebut sejak 1 Agustus 1996 untuk pakaian (clothing), alas kaki (footwear) dan alas kasur/sarung bantal (bedlinen) (UNCTAD 1999). Pewarna alami menjadi alternatif pilihan pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang cukup banyak berpeluang sebagai pemasok pewarna alami. Pewarna dari sumber alami di Indonesia telah digunakan pada pewarnaan makanan maupun produk-produk kerajinan tangan seperti kain batik maupun benang tenun. Pewarna alami di Indonesia belum banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk. Proses pewarnaan masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan mengambil sari dari bagian tanaman yang telah dihaluskan atau diekstrak dengan cara perebusan. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis dan menghasilkan residu atau ampas. Selain itu, penggunaan bahan baku secara langsung dalam pewarnaan, cukup sulit dalam menentukan takaran penggunaan untuk menghasilkan warna yang seragam. Pewarna dalam bentuk bubuk merupakan salah satu alternatif bentuk sediaan produk yang praktis dalam penggunaan, mudah dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya Pinang (Areca catechu Linn) terutama pada bagian biji merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna. Menurut Heyne (1987), biji pinang dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Sebagian besar pinang Indonesia diekspor. Volume ekspor pinang Indonesia pada tahun 2008 adalah
2 183.972 ton dengan nilai US$ 106.335.000 (Kementan 2009). Pemanfaatan pinang untuk konsumsi dalam negeri masih sedikit. Selama ini, pinang digunakan sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih yang menjadi kebiasaan turun temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia. Selain itu, pinang digunakan sebagai obat tradisional. Penggunaannya sebagai pewarna telah digunakan bersama gambir menghasilkan warna soga pada batik. Pinang mengandung senyawa golongan polifenol, yaitu flavonoid dan tanin (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Kadar polifenol dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang yang baru dipanen memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga buah pinang mudah mengalami kerusakan dan hanya dapat bertahan beberapa hari. Bahan baku sering tidak langsung diolah atau digunakan untuk stok dalam proses produksi. Oleh karena itu, bentuk sediaan buah pinang sebagai bahan baku sangat penting untuk diperhatikan karena berhubungan dengan upaya mempertahankan mutu bahan baku. Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang melalui proses ekstraksi. Ekstrak biji pinang yang berbentuk cair dapat dikeringkan menghasilkan pewarna dalam bentuk bubuk. Spray drier merupakan salah satu metode pengeringan untuk menghasilkan produk bubuk dari dari bahan berbentuk cairan. Proses pengeringan menggunakan spray drier berlangsung sangat cepat, menghasilkan bubuk dengan mutu yang baik dan stabil dan biaya operasi yang relatif rendah (Munin dan Edwards-Levy 2011). Bahan pengisi biasa digunakan untuk menghasilkan produk bubuk yang berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Gum arab merupakan bahan pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan pengkapsul yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan (Gharsallaoui et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini dilakukan rekayasa proses untuk mendapatkan pewarna bubuk alami dari biji pinang melalui proses ekstraksi dan pengeringan menggunakan spray drier. Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda dan buah pinang tua dengan bentuk sediaan yang berbeda, yaitu berupa irisan segar dan serbuk kering untuk mempelajari pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang terhadap karakteristik produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi (tanpa bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan terhadap filtrat hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan spray drier untuk mempelajari pengaruhnya terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya kain katun dan kain sutera serta pada pewarnaan sabun transparan. Menurut Samanta dan Agarwal (2009), pewarnaan tekstil menggunakan pewarna alami biasanya melibatkan proses fiksasi. Proses fiksasi dilakukan agar pewarna dapat berikatan dengan serat tekstil dengan baik dan mencegah kelunturan akibat terpapar oleh cahaya atau akibat pencucian. Bahan fiksasi yang berbeda menghasilkan arah warna yang berbeda pula. Aplikasi pewarna bubuk alami biji pinang pada pewarnaan tekstil pada penelitian ini menggunakan
beberapa bahan fiksasi, yaitu tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Ekstrak biji pinang memiliki manfaat untuk kulit (Mahmood et al. 2011). Ekstrak biji pinang memiliki aktivitas antioksidan (Zhang et al. 2009; Meiyanto et al. 2008) dan dapat berfungsi sebagai anti-aging (Lee et al. 2001). Oleh karena itu, ekstrak biji pinang relevan digunakan pada produk kosmestik. Sabun transparan merupakan sabun perawatan dan kecantikan. Karakteristik sabun dipengaruhi oleh jenis asam lemak yang digunakan sebagai bahan baku serta bahan-bahan pendukung yang terlibat pada proses pembuatannya. Aplikasi pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang pada sabun transparan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis minyak pada pembuatan sabun transparan terhadap karakteristik sabun transparan yang dihasilkan serta perubahan intensitas warna sabun transparan setelah dilakukan penyimpanan.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan pewarna bubuk alami ekstrak dari biji pinang dengan tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang berbeda serta dengan perlakuan penggunaan pengisi tertentu, mengetahui karakteristik pewarna bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna bubuk yang dihasilkan pada pewarnaan tekstil dan sabun transparan. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta perlakuan penggunaan pengisi terhadap karakteristik bubuk ekstrak biji pinang. 2) Mengetahui pengaruh jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan fiksasi terhadap warna kain (katun dan sutera) serta perubahan warna kain akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. 3) Mengetahui pengaruh jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang terhadap warna dan karakteristik sabun transparan yang dihasilkan serta perubahan intensitas warna sabun transparan setelah dilakukan penyimpanan.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut: 1) Karakterisasi biji pinang yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pewarna alami. 2) Pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang menggunakan spray drier sekaligus karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan. 3) Aplikasi pewarna alami dari biji pinang pada pewarnaan kain (katun dan sutera) dan pewarnaan sabun transparan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Pinang Tanaman pinang (Areca catechu Linn) termasuk golongan tanaman palma yang tersebar luas di Afrika Utara, Asia Selatan dan kepulauan Pasifik (Staples dan Bevaqua 2006). Penyebaran tanaman pinang di Indonesia meliputi daerah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Miftahorrachman dan Maskromo 2007). Bagian yang memiliki nilai ekonomis yang utama pada tanaman pinang adalah buah khususnya biji. Buah pinang disebut buah batu (buni), keras dan berbentuk bulat telur. Panjang buah antara 3 – 7 cm, diameter biji 1,9 cm, warna kuning kemerahan. Buah terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp) berupa sabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang di dalamnya terdapat endosperm. Komponen utama biji pinang adalah air, protein, karbohidrat, lemak, serat, polifenol (flavonol dan tanin), alkaloid dan bahan mineral. Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak dapat dilihat pada Tabel 1. Konsentrasi kandungan kimia biji pinang berbeda-beda tergantung pada lokasi geografi tempat tumbuh dan tingkat kematangan buah. Tabel 1
Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak (% bobot kering, kecuali air)
Komponen
Biji pinang muda
Biji pinang masak
Air Karbohidrat Protein Lemak Serat Polifenol Arekolin Abu
69,4 – 74,1 17,3 – 23,0 6,7 – 9,4 8,1 – 12,0 8,2 – 9,8 17,2 – 29,8 0,11 – 0,14 1,2 – 2,5
38,9 – 56,7 17,8 – 25,7 6,2 – 7,5 9,5 – 15,1 11,4 – 15,4 11,1 – 17,8 0,12 – 0,24 1,1 – 1,5
Sumber : Jayalakshmi dan Mathew (1982)
Polifenol (flavonol, tanin) merupakan komponen yang cukup banyak terkandung dalam biji pinang. Polifenol merupakan senyawa yang memberikan rasa sepat pada biji. Menurut Maisuthisakul et al. (2007), biji pinang (kernel) mengandung total fenol sebesar 137,3 ± 0,3 mg GAE/g dengan aktivitas penangkapan radikal DPPH (EC50) sebesar 0,18 µg/µg DPPH sehingga biji pinang memiliki potensi sebagai antioksidan. Menurut Keijiro et al. (1988) dalam Wetwitayaklung et al. (2006), biji pinang mengandung 15% tanin terkondensasi berupa phlobatannin dan katekin. Menurut Raghavan dan Baruah (1958) kadar polifenol pada biji pinang bervariasi tergantung pada wilayah tempat tumbuh, tingkat kematangan dan proses pengolahan. Kadar tanin tertinggi terdapat pada buah yang masih muda dan kadarnya menurun dengan meningkatnya tingkat kematangan buah. Menurut Awang (1987), biji pinang yang disangrai memiliki
6 kadar tanin berkisar antara 5 – 41% (rata-rata 21,4 %). Biji pinang yang dikeringkan dengan sinar matahari memiliki kadar tanin 25% sedangkan biji pinang yang direbus memiliki kadar tanin 17%. Alkaloid yang terdapat pada biji pinang adalah arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline. Arecoline merupakan alkaloid yang paling utama. Senyawa alkaloid tersebut dapat menyebabkan mual dan muntah, sakit perut, pusing dan gelisah. Tanda-tanda kelebihan dosis adalah banyak keluar air liur, muntah, mengantuk dan serangan (jantung). Untuk mengurangi efek racun tersebut, pemakaian biji pinang sebaiknya yang telah dikeringkan atau lebih baik bila biji pinang kering direbus (Barlina, 2007). Struktur kimia alkaloid pada biji pinang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982) Menurut Barlina (2007), biji pinang digunakan sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih. Hal tersebut telah menjadi kebiasaan secara turun temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Nangro Aceh Darusalam dan Sumatera Barat. Biji pinang juga biasa digunakan untuk upacara adat, pengganti rokok, bahan kosmetik, pelangsing, bahan baku obat dan antidepresi. Menurut Heyne (1987), biji pinang dapat digunakan sebagai bahan pewarna dan penyamak. Biji pinang yang belum terlalu masak dihaluskan dan dicampur dengan alkali dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Oleh karena itu, India telah memanfaatkan biji pinang untuk mewarnai kain. Selain itu, biji pinang juga telah dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit karena biji pinang mengandung tanin. Amerika dan Jerman pernah menggunakan biji pinang sebagai bahan penyamak secara besar-besaran. Standar mutu biji pinang yang akan diekspor secara umum adalah kering, tua, bersih dari kulit, tidak berlubang dan bebas dari jamur. Bentuk biji pinang untuk ekspor dapat berbentuk bulat atau utuh maupun dalam bentuk belahan atau irisan. Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Staples dan Bevaqua (2006), biji pinang kering dalam bentuk utuh atau irisan merupakan produk komersial dalam perdagangan internasional. Biji pinang tersebut diperoleh dari buah pinang masak maupun masih muda. Buah pinang dikupas kemudian biji dalam bentuk utuh, belah atau irisan dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah matahari, pemanasan dalam oven atau dengan pengasapan. Di lain pihak, terdapat juga yang melakukan biji pinang perebusan sebelum proses pengeringan untuk mengurangi kadar tanin dalam biji.
Tabel 2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor Syarat Karakteristik
Pinang Utuh Mutu I
Kadar air (%)(bobot/bobot), maksimum Serangga Hidup Berkapang/berlembaga Hitam (%), maksimum Retak/pecah/luka (%) (bobot/bobot), maksimum
12
Mutu II
Pinang Iris Mutu I
12
Mutu II
12
12
Tidak ada 0
0
0
0
5
5
Tak ada syarat
Tak ada syarat
Sumber : Departemen Perdagangan RI (1985)
Pasar ekspor utama biji pinang adalah India dan Pakistan. India dan Pakistan mengimpor pinang dari Indonesia sebanyak 81.442.946 kg dan 53.297.229 kg atau sekitar 53% dan 35% dari total volume ekspor pinang Indonesia pada Tahun 2006 (Tabel 3). Tabel 3
Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 20042008 Tahun
Volume (ton)
Nilai (000 US$)
2004 2005 2006 2007 2008
120.923 130.241 153.306 177.135 183.972
43.455 50.611 79.017 94.598 106.335
Sumber : BPS diolah Pusdatin (2009)
Mutu biji pinang dapat dikelompokkan menjadi enam tingkatan,yaitu good whole dried, bad whole dried, good half split, bad half split, dried split dan fresh. Mutu biji pinang berbeda-beda tergantung permintaan negara pengimpor. Negara– negara Timur Tengah banyak meminta mutu good whole dried dan good half dried, karena setelah biji pinang diiris dan dibakar atau digoreng kemudian dikonsumsi sebagai makanan. Korea Selatan banyak meminta mutu bad whole dried karena di negara tersebut biji pinang dihancurkan terlebih dahulu dan digunakan untuk bahan obat (Ditjenbun 2011).
Pewarna Alami Bahan alami mempunyai warna (dye) karena bahan tersebut: (1) menyerap cahaya pada spektrum cahaya tampak (400-700nm), (2) mempunyai paling sedikit satu kromofor, (3) memiliki sistem yang berkonjugasi, dan (4) dapat mengalami resonansi elektron (Abrahart 1977 dalam IARC 2010). Berdasarkan kelarutannya dalam air, pewarna dibagi menjadi dua kelas, yaitu dye dan pigmen. Dye dapat larut dalam air dan sedangkan pigmen digunakan
8 sebagai bahan tidak larut seperti dispersi. Ikatan pada dye terjadi melalui ikatan ionic, ikatan hydrogen dan gaya van der Walls. Ikatan pigmen pada bahan tekstil melalui ikatan polimer yang mengikatkan pigmen pada permukaan serat (Mussak dan Bechtold 2009). Warna dapat diperoleh dari tumbuhan, seperti warna biru dari Indigofera spp. dan Haemotoxylum campechianum L., warna kuning dari Crocus sativus L., merah dari Rubia cordifolia L., coklat dari Peltophorum pterocarpum (DC.) Backer ex K. Heyne dan hitam dari Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg. (Lemmens dan Soetjipto 1992). Selain itu, menurut Lemmens dan Soetjipto (1992), pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan pewarna tersebut diekstrak dari jaringan tumbuhan melalui proses fermentasi, perebusan atau secara kimia. Warna tersebut dapat terlihat langsung pada bagian tumbuhan yang diekstrak seperti saffron yang diekstrak dari tumbuhan Crocus sativus L. Akan tetapi, ada juga pewarna nabati yang tidak terlihat langsung pada bagian tumbuhannya, seperti indigo dari spesies Indigofera). Menurut Sequin-Frey (1981), pewarna alami termasuk ke dalam golongan flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon dan alkaloid. Flavonoid merupakan penyusun tumbuhan penghasil warna. Warna yang dihasilkan umumnya jingga sampai kuning dan mengandung unit C6-C3-C6.. Tumbuhan penghasil warna mengandung golongan flavon, flavonol, isoflavon, chalcone dan katekin. Katekin termasuk golongan tanin terkondensasi yang merupakan ester dari gula (biasanya glukosa) dengan satu atau lebih trihidroksibenzena asam karboksilat. Tanin biasa digunakan dengan mengkombinasikannya dengan bahan pewarna lain, digunakan pada perlakuan pendahuluan pada serat dan menghasilkan warna coklat sampai hitam. Flavonoid umumnya merupakan pewarna mordan, kecuali catechin, dapat digunakan sebagai pewarna langsung (Sequin-Frey 1981) Tanin merupakan golongan fenolat yang banyak tersebar pada tumbuhan. Tanin merupakan polimer dari polifenol yang mempunyai sifat larut dalam air. Tanin terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Kedua jenis tanin tersebut dapat mengikat dan mengendapkan protein, alkaloid, karbohidrat dan logam seperti besi, aluminium, tembaga, vanadium dan kalsium (Gaffney et al., 1986; Porter, 1992; Haslam, 1998 dalam Bechtold dan Mussak, 2009). Tanin dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti daun, buah, batang, akar dan ranting. Jumlah dan jenis tanin yang dihasilkan oleh tanaman tergantung pada jenis tanaman, kultivar, jaringan, tingkat perkembangan dan pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Tanin banyak digunakan dalam pewarnaan (dyeing), obatobatan dan pembuatan tinta (Aung dan Win 2008) Kompleks logam dapat terbentuk dalam larutan tanin. Tanin dapat membentuk kompleks dengan logam. Kompleks besi tanat yang berwarna biruhitam merupakan sumber tinta tulis pada beberapa abad yang lalu dan bangsa Mesir kuno menggunakan senyawa kompleks tersebut sebagai pewarna rambut (Slabbert 1992 dalam Bechtold dan Mussak 2009). Terpenoid atau isoprenoid tersusun atas unit isopentana, isoprena atau unit C5. Contoh pewarna dari golongan ini adalah crocetin dari tanaman saffron, yang
digunakan untuk pangan. Warna timbul dari golongan senyawa ini karena terdapat banyak ikatan rangkap menyebabkan bahan dapat menyerap cahaya tampak. Naftakuinon dan antrakuinon mengandung struktur aromatik yang menghasilkan pewarna mordan berwana merah yang kuat. Contoh pewarna dari golongan ini adalah alizarin yang diperoleh dari tanaman dan caminic acid (cochineal) yang dari hewan. Alkaloid umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan mengandung atom nitrogen. Contoh pewarna dari golongan ini adalah indigo dan Tyrian purple.
Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami Efisiensi ekstraksi zat warna dari bahan alam baik tumbuhan, hewan maupun mineral tergantung pada jenis bahan pengekstrak (berupa air/pelarut organik atau berupa asam/basa), pH, kondisi ekstraksi seperti suhu, waktu, nisbah antara bahan dengan pelarut dan ukuran partikel substrat. Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami dapat dilihat pada Tabel 4. Perwarna alami dibagi menjadi dua kategori, yaitu substantif dan ajektif. Pewarna substantif atau disebut juga pewarna langsung (direct dye) adalah pewarna yang dapat terikat secara kimiawi pada serat tanpa penambahan bahan kimia atau aditif lain, contohnya indigo dan lichen. Proses pewarnaan tekstil secara sederhana meliputi proses mordan, pewarnaan, fiksasi dan pengeringan. Proses mordan merupakan proses perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan. Proses mordan dilakukan dengan memanaskan kain dalam larutan tawas sampai mendidih. Proses fiksasi adalah proses mengunci warna pada kain agar zat warna memiliki ketahanan luntur yang baik (Moerdoko 1975). Ada tiga jenis bahan fiksasi yang biasa digunakan, yaitu tunjung atau ferrosulfat (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3) dan kapur tohor (CaCO3) (Kwartiningsih et al. 2009). Proses mordan dilakukan sebelum proses pewarnaan, yaitu dengan cara merendam serat dalam larutan garam seperti garam dari logam aluminium, krom, tembaga, besi dan timah. Ion logam tersebut akan membentuk kompleks yang kuat antara serat dengan pewarna. Garam logam yang berbeda akan menghasilkan tingkat warna yang berbeda pada pewarna yang sama (Sequin-Frey 1981). Menurut Djufri (1996), pencelupan (pewarnaan) pada bahan (kain) melibatkan beberapa proses, yaitu dispersi, migrasi, adsorbs, difusi, absorpsi dan fiksasi. Dispersi adalah proses penguraian zat warna dalam larutan celup. Migrasi adalah proses pelarutan zat warna dan bergeraknya larutan zat warna tersebut pada bahan. Proses menempelnya molekul zat warna pada serat disebut adsorbsi. Selanjutnya, zat warna tersebut masuk atau menyerap dari permukaan ke dalam bahan secara bertahap disebut proses difusi. Absorpsi adalah proses penyerapan zat warna dari permukaan serat ke dalam serat. Fiksasi adalah proses terikatnya molekul zat warna ke dalam serat.
10
Tabel 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami Penulis
Sumber bahan pewarna
Metode ekstraksi
Bentuk produk dan aplikasi
Holinesti (2007)
Kayu secang
- Ekstraksi menggunakan shaker pada suhu ruang selama 12 jam. - Pelarut yang digunakan adalah etanol absolut yang diasamkan dengan 1% HCl. - Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:5 (b/v).
- Ekstrak kental (pigmen brazilein) - Aplikasi pada model pangan (kerupuk)
Kwartiningsih et al. (2009)
Kulit manggis
Ekstraksi menggunakan dua cara, yaitu sebagai berikut: a. Soxhlet Suhu yang digunakan adalah 78oC b. Tangki berpengaduk - Ekstraksi dilakukan pada suhu optimum 60o – 70oC selama dua jam dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. - Pelarut yang digunakan adalah etanol - Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v)
- Bubuk - Aplikasi pada pewarnaan kain
Bogoriani (2010)
Gambir, serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang
- Ekstraksi dengan cara pemanasan selama dua jam - Pelarut yang digunakan air - Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v)
- Larutan - Aplikasi pada pewarnaan kayu
Inayat et al. (2010)
Ranting walnut, ranting eukaliptus, rimpang kunyit
- Ekstraksi dengan perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan dengan perebusan selama 30 menit. - Pelarut yang digunakan air. - Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v)
- Larutan - Aplikasi pada pewarnaan kulit
Wulansari et al. (2012)
Biji pinang muda
- Ekstraksi dengan perebusan dalam air mendidih selama ± 1menit dan dilanjutkan dengan perendaman dalam air panas tersebut selama ± 30 menit. - Pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin dan dekstrin dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15%(b/v). - Pengeringan filtrat menggunakan vacuum drier selama ± 7.5 jam.
- Bubuk - Aplikasi pada jelly
Ikatan kimia zat warna (dye) dengan serat merupakan sesuatu yang kompleks. Ikatannya melibatkan interaksi ikatan langsung (direct bonding), ikatan hidrogen dan hidrofobik. Mordan membantu mengikatkan warna ke serat dengan membentuk jembatan kimia dari warna ke kain sehingga meningkatkan ketahanan luntur. Mordan membentuk senyawa warna yang berikatan dengan serat menjadi tidak larut. Keberadaan gugus fungsional tertentu pada posisi yang sesuai dalam molekul warna dapat berikatan dengan ion logam. Sebagai contoh adalah pembentukan kompleks krom-alizarin. Ion krom dapat berikatan dengan alizarin melalui kovalensi dan valensi koordinat membentuk lake. Krom memiliki valensi tiga, bergabung dengan tiga molekul alizarin (Gambar 2). Serat yang tersusun dari protein seperti wol dan sutera, mengikat warna melalui ikatan hidrogen antara ikatan polipeptida dengan zat warna. Sebagai contoh alizarin berikatan dengan nilon-6 yang juga memiliki ikatan peptida (Vankar 2000). O
OH
O OH
O OH
+++
+
Cr
+ O
+
O O
O
O
Cr
OH
Alizarin
3H
O
O
OH
O
Gambar 2 Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000) Menurut Bechtold dan Mussak (2009), terdapat tiga cara proses pemordanan, yaitu pre mordanting, after mordanting dan meta mordanting. Perbedaan ketiga proses tersebut terletak pada waktu dilakukannya proses pemordanan. Pre mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan sebelum proses pewarnaan. After mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan setelah proses pewarnaan. Meta mordanting adalah proses pemordanan dilakukan bersamaan dengan proses pewarnaan dimana larutan mordan dicampur ke dalam larutan pewarna. Menurut Sunaryati et al. (2000) proses pemordanan yang berbeda memberikan tingkat ketuaan warna yang berbeda pada pencelupan kain sutera. Pencelupan kain sutera tanpa mordan memberikan warna lebih tua daripada pencelupan secara simultan, dan lebih muda daripada pencelupan dengan proses pemordanan akhir. Proses pemordanan tidak memberikan perubahan yang berarti pada hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian
12 serta tidak menunjukkan kenaikan pada ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari. Pewarna alami sudah banyak digunakan pada makanan dan minuman, rambut, kerajinan kain tenun, batik kain, batik kayu dan kerajinan tangan lainnya. Menurut Sutara (2009), pewarnaan benang tenun pada beberapa perusahaan tenun di Kabupaten Gianyar menggunakan pewarna sintetis dan pewarna alami. Proses pewarnaan dengan pewarna alami pada perusahaan tersebut dilakukan dengan memberikan ekstrak tumbuhan pada benang tenun yang telah dimordan. Selain itu, pewarnaan dengan pewarna alami dapat juga dilakukan dengan menggunakan bagian/organ tumbuhan secara langsung (tanpa dalam bentuk ekstrak), dimana benang tenun dicelupkan ke dalam rebusan bagian tumbuhan yang menjadi sumber pewarna. Bogoriani dan Putra (2009) telah melakukan penelitian pewarnaan permukaan kayu akasia menggunakan campuran zat warna alami. Bahan yang digunakan sebagai perwarna berasal dari campuran gambir (bentuk biskuit), serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang tua dengan perbandingan tertentu yang dilarutkan dalam air yang ditambahkan kapur sirih 0,5 gram dalam 100 ml air. Campuran bahan tersebut menghasilkan warna coklat kemerahan pada permukaan kayu akasia. Selain itu, Bogoriani (2010) juga melakukan penelitian penggunaan campuran gambir, sirih dan pinang pada pewarnaan kayu albasia dengan menggunakan mordan KMnO4. Penambahan mordan dan bahan sumber pewarna dengan jumlah yang bervariasi menghasilkan warna yang bervariasi pula pada kayu, yaitu coklat kemerahan, coklat dan coklat tua.
Pengering Semprot (Spray Drier) Operasi pemisahan pada pengeringan adalah kegiatan mengubah suatu bahan umpan berbentuk padatan, semipadat atau cairan menjadi produk berbentuk padatan melalui penguapan cairan yang terkandung di dalamnya ke fase uap dengan penambahan panas. Pengeringan dilakukan untuk tujuan tertentu seperti untuk mempermudah penanganan padatan yang dapat mengalir bebas, pengawetan dan penyimpanan, pengurangan biaya transportasi, mendapatkan mutu tertentu dan lain sebagainya (Mujumdar dan Devahastin 2001). Pengering semprot merupakan pengering untuk bahan berbentuk cair seperti larutan, suspensi atau emulsi menghasilkan produk berbentuk bubuk, butiran atau aglomerat. Menurut Gharsallaoui et al. (2007), pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm. Sistem pengeringan tersebut telah digunakan secara komersial untuk pengeringan produk-produk agrokimia, bioteknologi, bahan kimia dasar dan berat, susu, zat pewarna, konsentrat mineral dan bahan farmasi (Mujumdar dan Devahastin 2001). Tahapan proses pengeringan semprot meliputi atomisasi bahan umpan, kontak antara partikel atomisasi dengan udara pengering, penguapan air dari bahan dan pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya (Master 1979). Pengering semprot memiliki kelebihan diantaranya produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas, suhu produk
rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi, penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi (Spicer 1974).
Gum Arab Gum arab atau gum akasia merupakan hasil sekresi dari tanaman jenis akasia. Tanaman ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Gum arab merupakan bahan yang memiliki struktur yang kompleks, tetapi secara umum terdiri atas dua fraksi. Fraksi pertama berupa gum (sekitar 70%) yang tersusun atas rantai polisakarida dengan sedikit atau tanpa bahan yang mengandung nitrogen. Fraksi kedua mengandung molekul dengan bobot molekul lebih besar yang mengandung protein (BeMiller dan Whistler 1996). Gum arab merupakan senyawa kompleks hetero polisakarida yang terdiri atas L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan D-asam glkoronat serta mengandung ion kalsium, magnesium dan kalium. Struktur utama molekulnya adalah unit-unit 1,3 D-galaktopiranosa dengan rantai cabang 1,6 galaktopiranosa sebagai pangkal bagi asam glukoronat atau 4,0-metil glukoronat. Unit monosakarida yang menyusun molekul gum arab terdiri dari D-galaktosa (36,8%), L-arabinosa (30,3%), asam glukoronat (13,8%) dan L-rhamnosa (11,4%) (Glicksman 1969). Gum arab memiliki sifat mudah larut dalam air. Gum arab dibandingkan dengan gum yang lain memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan larutannya memiliki viskositas yang rendah. Oleh karena itu, gum arab cocok digunakan sebagai bahan pengisi pada bahan yang dikeringkan menggunakan pengering semprot. Gum arab telah digunakan secara luas untuk kebutuhan industri, yaitu sebagai pengemulsi, pengisi, penstabil terutama pada industri pangan (seperti pada minuman ringan, sirup, permen karet) serta digunakan pada industri tekstil, percetakan, kosmetik dan farmasi (Ali et al. 2009).
14
3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan oleh manusia. Akan tetapi, penggunaan pewarna alami telah berkurang dan didominasi oleh pewarna sintetis. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pewarna sintetis yang lebih stabil, cerah, bervariasi, dapat diproduksi dalam skala besar, mudah dalam penanganan dan penggunaan serta aplikasinya cukup luas. Namun demikian, kelemahan pewarna sintetis adalah mengandung gugus fungsi yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kanker serta menghasilkan limbah yang sulit untuk didegradasi. Oleh karena itu, penggunaan pewarna dari bahan alam menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan, hewan, mikroorganisme maupun mineral. Pewarna alami dalam bentuk siap pakai (instan) masih terbatas. Aplikasi pewarna alami dilakukan dengan mengekstrak bahan baku terlebih dahulu baru digunakan pada produk. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis. Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman yang dapat menghasilkan warna, khususnya bagian biji buah pinang. Biji pinang mengandung senyawa golongan polifenol (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang muda memiliki kadar polifenol yang lebih tinggi. Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang dengan cara diekstrak kemudian dibuat dalam bentuk bubuk. Senyawa polifenol bersifat larut dalam air. Oleh karena itu, senyawa polifenol yang berperan sebagai pewarna pada pinang dapat diekstrak menggunakan air. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2010) melakukan ekstraksi terhadap polifenol dari biji pinang menggunakan pelarut air, kadar polifenol tertinggi diperoleh pada kondisi ekstraksi suhu 80oC selama 45 menit. Pewarna berbentuk bubuk merupakan salah satu bentuk sediaan pewarna yang digunakan secara komersial. Produk berbentuk bubuk akan memudahkan dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya. Spray drier (pengering semprot) merupakan salah satu alat pengering yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk berbentuk bubuk. Bahan pengisi biasa ditambahkan untuk menghasilkan produk bubuk. Penggunaan bahan pengisi dapat berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Salah satu pengisi yang dapat digunakan adalah gum arab. Gum arab mudah larut dalam air dan merupakan enkapsulan yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan. Penelitian dilakukan untuk menghasilkan pewarna berbentuk bubuk dari ekstrak biji pinang sehingga diperoleh produk pewarna alami berbentuk bubuk yang siap pakai. Buah pinang yang digunakan sebagai bahan baku adalah buah pinang muda dan buah pinang tua untuk melihat pengaruh tingkat ketuaan terhadap produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Selain itu, penelitian ini juga melihat pengaruh faktor tanpa dan dengan penggunaan bahan pengisi (gum arab) terhadap produk yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan
3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan oleh manusia. Akan tetapi, penggunaan pewarna alami telah berkurang dan didominasi oleh pewarna sintetis. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pewarna sintetis yang lebih stabil, cerah, bervariasi, dapat diproduksi dalam skala besar, mudah dalam penanganan dan penggunaan serta aplikasinya cukup luas. Namun demikian, kelemahan pewarna sintetis adalah mengandung gugus fungsi yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kanker serta menghasilkan limbah yang sulit untuk didegradasi. Oleh karena itu, penggunaan pewarna dari bahan alam menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan, hewan, mikroorganisme maupun mineral. Pewarna alami dalam bentuk siap pakai (instan) masih terbatas. Aplikasi pewarna alami dilakukan dengan mengekstrak bahan baku terlebih dahulu baru digunakan pada produk. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis. Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman yang dapat menghasilkan warna, khususnya bagian biji buah pinang. Biji pinang mengandung senyawa golongan polifenol (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang muda memiliki kadar polifenol yang lebih tinggi. Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang dengan cara diekstrak kemudian dibuat dalam bentuk bubuk. Senyawa polifenol bersifat larut dalam air. Oleh karena itu, senyawa polifenol yang berperan sebagai pewarna pada pinang dapat diekstrak menggunakan air. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2010) melakukan ekstraksi terhadap polifenol dari biji pinang menggunakan pelarut air, kadar polifenol tertinggi diperoleh pada kondisi ekstraksi suhu 80oC selama 45 menit. Pewarna berbentuk bubuk merupakan salah satu bentuk sediaan pewarna yang digunakan secara komersial. Produk berbentuk bubuk akan memudahkan dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya. Spray drier (pengering semprot) merupakan salah satu alat pengering yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk berbentuk bubuk. Bahan pengisi biasa ditambahkan untuk menghasilkan produk bubuk. Penggunaan bahan pengisi dapat berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Salah satu pengisi yang dapat digunakan adalah gum arab. Gum arab mudah larut dalam air dan merupakan enkapsulan yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan. Penelitian dilakukan untuk menghasilkan pewarna berbentuk bubuk dari ekstrak biji pinang sehingga diperoleh produk pewarna alami berbentuk bubuk yang siap pakai. Buah pinang yang digunakan sebagai bahan baku adalah buah pinang muda dan buah pinang tua untuk melihat pengaruh tingkat ketuaan terhadap produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Selain itu, penelitian ini juga melihat pengaruh faktor tanpa dan dengan penggunaan bahan pengisi (gum arab) terhadap produk yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan
16 digunakan pada pewarnaan kain katun dan kain sutera serta pewarnaan sabun transparan.
Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pinang yang berasal dari Kota Jambi. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah akuades. Bahan yang digunakan pada aplikasi pewarnaan kain adalah kain katun, kain sutera, tawas, CaCO3, kapur tohor dan ferrosulfat. Bahan yang digunakan pada aplikasi pewarnaan sabun transparan adalah minyak kelapa merk Barco, minyak kelapa sawit merk Bimoli, NaOH, gliserin, etanol teknis 70%, gula, asam sitrat, dietanolamida. Bahan yang kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain n-heksana, asam sulfat (H2SO4) pekat, katalis tembaga (II) sulfat (CuSO4) dan natrium sulfat (Na2SO4), asam klorida (HCl), indikator mengsel, NaOH 0.02 N, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na2CO3 jenuh serta bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis.
Alat Peralatan yang digunakan adalah pisau, oven, blender, erlenmeyer, hot plate stirrer, penyaring vakum, spray dryer, pH meter merk Beckman, oven, chromameter, spektrofotometer merk Hach, refraktometer ABBE, timbangan analitik, erlenmeyer, gelas ukur serta peralatan gelas lainnya. Pengolahan data menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel versi 2007 dan software SAS 9.1.3 Service Pack 4.
Prosedur Analisis Data Penelitian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu persiapan bahan baku, pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang menggunakan spray drier dan aplikasi pewarna alami biji pinang pada pewarnaan tekstil dan sabun transparan. Persiapan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan adalah biji buah pinang yang diperoleh dari buah pinang muda dan buah pinang tua. Pengeluaran biji dilakukan dengan membelah buah pinang menjadi dua bagian, kemudian biji dicungkil menggunakan pisau. Biji pinang diiris dengan ketebalan sekitar 2 mm kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 48 jam. Pengecilan ukuran biji pinang kering dilakukan dengan penggilingan menggunakan disc mill (ukuran saringan 40 mesh) menjadi bentuk serbuk. Diagram alir persiapan bahan baku dapat dilihat pada Gambar 3.
Aplikasi pewarna alami dari biji pinang pada kain katun dan kain sutera terdiri dari tiga bagian, yaitu pembuatan larutan pewarna, persiapan kain dan pewarnaan. Larutan pewarna dibuat dengan melarutkan pewarna bubuk ekstrak biji pinang ke dalam dalam air dengan konsentrasi 2,5 g/L mengacu pada hasil penelitian Agriawati (2003). Kain yang diwarnai harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan merendam kain dalam larutan typol (2 g/L) selama 24 jam kemudian kain dicuci, dibilas menggunakan air, diperas dan dikeringanginkan. Selanjutnya, kain dimordan dengan cara memanaskan kain dalam larutan tawas 8 g/L pada suhu 60 oC selama 1 jam dan perendaman dalam larutan tawas tersebut dilanjutkan selama 12 jam pada suhu ruang. Kain diangkat dari larutan tawas, dibilas tanpa diperas, dikeringanginkan dan disetrika. Kain tersebut sudah dapat diberi perlakuan pewarnaan. Diagram air persiapan kain sebelum pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 5. Kain
Perendaman dalam larutan typol 2 g/L selama 24 jam
Pencucian
Pengeringan (kering angin)
Kain kering Larutan tawas 8 g/L Pemanasan Suhu 60oC selama 1 jam Perendaman Suhu ruang selama 12 jam Pembilasan
Pengeringan (kering angin)
Kain siap diwarnai
Gambar 5 Diagram alir proses persiapan kain
20 Kain yang akan diwarnai terlebih dahulu dibasahi dengan air. Selanjutnya, kain direndam larutan warna dengan konsentrasi 2,5 g/l vlot 1:30 (1 l larutan pewarna untuk 30 g kain) pada suhu 60oC selama 30 menit. Kain ditiriskan dan dikeringanginkan. Pencelupan dilakukan sebanyak empat kali. Setelah kering, kain direndam dalam larutan fiksasi sesuai perlakuan selama lima menit kemudian dicuci bersih. Kain dikeringkan pada suhu ruang. Pada kain tersebut kemudian dilakukan pengujian terhadap warna. Diagram alir proses pewarnaan kain dapat dilihat pada Gambar 6. Kain
Dibasahi dengan air Larutan pewarna vlot 1:30 Perendaman suhu 60oC, 30 menit Penirisan
Sisa Larutan Pewarna
Pengeringan (kering angin) Larutan fiksasi Fiksasi 5 menit
Penirisan
Pencucian
Pengeringan (kering angin) Kain berwarna
Gambar 6 Diagram alir proses pewarnaan kain
Sisa Larutan Fiksasi
Kain yang dihasilkan setelah proses pewarnaan kemudian diberi perlakuan pencucian menggunakan larutan deterjen dan perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari. Perlakuan pencucian dengan larutan deterjen dilakukan dengan perendaman kain berwarna pada larutan deterjen komersial dengan konsentrasi 0,5% selama 30 menit, kemudian dibilas dua kali dengan air dan dikeringanginkan. Perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari dilakukan dengan menjemur kain berwarna di bawah sinar matahari selama 6 jam dari jam 09.00 sampai 15.00. Kain yang diberi kedua perlakuan tersebut dianalisis warnanya (nilai L*, a*, b*, dan oHue ) serta dihitung perubahan warna kain yang dinyatakan dengan nilai ΔE. Prosedur analisis warna dan penghitungan nilai ΔE dapat dilihat pada Lampiran 1. Aplikasi pada Pewarnaan Sabun Transparan Pembuatan sabun transparan dilakukan dengan menggunakan formula Cognis (2003), Hambali et al. (2005) dan Karo (2011) yang telah dimodifikasi. Formula sabun transparan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Formula sabun transparan (diadaptasi dari Cognis 2003, Hambali et al. 2005 dan Karo 2011) Bahan Asam stearat Minyak nabati NaOH 30% Gliserin Etanol Gula pasir Dietanolamida (DEA) NaCl Asam sitrat Air
Komposisi (% b/b) 7,0 20,0 20,3 13,0 15,0 7,5 3,0 0,2 3,0 4,5
Perlakuan yang diujikan pada aplikasi pewarnaan sabun transparan adalah jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Jenis minyak yang digunakan adalah minyak kelapa (M1) dan campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5) (M2). Pewarna yang digunakan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari kombinasi perlakuan hasil penelitian sebelumnya. Pembuatan sabun transparan dilakukan dengan mereaksi fraksi lemak (asam stearat dan minyak nabati sesuai perlakuan) dengan fraksi alkali (NaOH ) agar terbentuk stok sabun. Asam stearat berbentuk butiran putih padat sehingga harus dilelehkan terlebih dari pada suhu 60oC sebelum dicampurkan dengan minyak nabati (sesuai perlakuan). Setelah homogen dan suhu sudah mencapai 70 – 80oC, NaOH 30% ditambahkan dan diaduk hingga terbentuk stok sabun. Selanjutnya, bahan-bahan pendukung seperti gliserin, gula, asam sitrat, etanol, DEA, NaCl dan air ditambahkan ke dalam stok sabun. Pengadukan terus dilakukan hingga campuran menjadi homogen dan larutan menjadi transparan atau membentuk sabun dasar. Sabun dasar yang telah dibuat kemudian didinginkan dan siap untuk diberi pewarna (pewarna bubuk pinang sesuai perlakuan). Penambahan pewarna dilakukan pada saat sabun dasar berada pada suhu 60oC. Bubuk ekstrak biji
22 pinang digunakan sebagai pewarna sabun transparan dicobakan dalam bentuk bubuk dan dalam bentuk larutan (konsentrasi 0.1% dalam etanol teknis 70%). Pengadukan dilakukan agar warna tercampur dan menyebar secara merata (homogen) dalam sabun. Selanjutnya, sabun yang masih dalam keadaan panas dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah dingin, sabun akan mengeras dan dapat dikeluarkan dari cetakannya. Sabun di-aging selama empat minggu sebelum digunakan. Diagram alir pembuatan sabun transparan dapat dilihat pada Gambar 7. Karakteristik sabun transparan yang dianalisis adalah warna (nilai L*, a*, b*, o Hue) menggunakan chromameter, nilai pH, kadar air (SNI 06-3532-1994), kekerasan dan stabilitas busa (Piyali et al., 1999). Pengamatan dilakukan terhadap perubahan intensitas warna yang terjadi setelah sabun disimpan selama enam bulan yang dinyatakan dengan nilai ΔE.
Asam stearat (Padat) Pemanasan (T = 60oC)
Asam Stearat (Cair)
Minyak Nabati
Penyabunan T = 70 – 80oC
NaOH 30%
Stok Sabun
Gliserin Etanol
Pengadukan T = 70 – 80oC
NaCl Gula pasir DEA Air
Pendinginan
Sabun Dasar Transparan
Pemanasan (T = 60oC) Larutan Pewarna (sesuai perlakuan) Pencetakan
Aging 4 minggu
Sabun Transparan (siap digunakan)
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama adalah tingkat kematangan buah pinang dengan dua taraf, yaitu biji pinang muda (A1) dan biji pinang tua (A2). Faktor kedua adalah perlakuan penggunaan bahan pengisi dengan dua taraf, yaitu tanpa bahan pengisi (B1) dan penggunaan bahan pengisi (gum arab 2% b/v) (B2). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995): Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan : Yijk = hasil pengamatan faktor tingkat kematangan buah pinang (A) taraf ke-i, faktor faktor penggunaan bahan pengisi (B) taraf ke-j ulangan ke-k = rata – rata yang sebenarnya Ai = pengaruh faktor tingkat kematangan buah pinang taraf ke-i (i = 1, 2) Bj = pengaruh faktor perlakuan penggunaan bahan pengisi taraf ke-j (j = 1, 2) (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, pada ulangan ke-k (k = 1, 2) Pengamatan dilakukan terhadap pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang dihasilkan. Parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen, densitas kamba, pH, kelarutan, warna, Fourier Transform Infra Red (FTIR), kadar total fenol dan analisis toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap aplikasi pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada pewarnaan kain adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah jenis pewarna bubuk dari ekstrak biji pinang yang diperoleh dari seluruh kombinasi perlakuan dari penelitian sebelumnya yaitu A1B1 (W1), A1B2 (W2), A2B1 (W3), A2B2 (W4). Faktor kedua adalah jenis bahan fiksasi dengan empat taraf yaitu tanpa bahan fiksasi (F1), tawas (F2), kapur (F3) dan ferrosulfat (F4). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Pengamatan dilakukan terhadap kain yang telah diberi perlakuan. Parameter yang diamati adalah analisis warna (nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai oHue). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995) : Yijkl = μ + Wi + Fj + (WF)ij + εijk Keterangan : Yijk = hasil pengamatan faktor jenis pewarna (W) taraf ke-i dan faktor penggunaan bahan fiksasi (F)) taraf ke-j pada ulangan ke-k = rata – rata yang sebenarnya Wi = pengaruh faktor jenis pewarna taraf ke-i (j = 1, 2, 3, 4)
24 Fj
= pengaruh faktor perlakuan penggunaan bahan fiksasi taraf ke-j (k = 1,2, 3, 4) (WF)ij = pengaruh interaksi faktor W taraf ke-i dan faktor F taraf ke-j εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor W, taraf ke-j faktor F pada ulangan ke-k (k = 1, 2) Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap aplikasi pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada pewarnaan sabun transparan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah jenis minyak dengan dua taraf, yaitu minyak kelapa (M1) dan campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5 b/b) (M2). Faktor kedua adalah jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dipilih dari kombinasi perlakuan hasil penelitian A1B1 (P1), A1B2 (P2). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dan uji kontras ortogonal dengan taraf nyata α = 0.05 . Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995): Yijkl = μ + Mi + Pj + (MP)ij + εijk Keterangan : Yijk = hasil pengamatan faktor jenis minyak (M) taraf ke-I dan faktor jenis pewarna (P) taraf ke-j pada ulangan ke-k = rata – rata yang sebenarnya Mi = pengaruh faktor jenis minyak taraf ke-i (i = 1, 2) Pj = pengaruh faktor jenis pewarna taraf ke-j (j = 1, 2) (MP)ij = pengaruh interaksi faktor M taraf ke-I dan faktor P taraf ke-j εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j faktor P, pada ulangan ke-k (k = 1, 2) Pengamatan dilakukan terhadap sabun transparan yang telah diberi perlakuan. Parameter yang diamati adalah warna, kadar air, stabilitas busa, kekerasan, nilai pH dan perubahan intensitas warna setelah penyimpanan enam bulan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buah Pinang Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah buah pinang muda dan buah pinang tua. Buah pinang yang digunakan berbentuk oval, buah pinang muda ditandai dengan kulit buah berwarna hijau dan biji buah tidak keras (lembut) sedangkan buah pinang tua ditandai dengan kulit buah berwarna kuning jingga dan biji buah keras. Bentuk fisik buah pinang yang digunakan sebagai bahan baku dapat dilihat ada Gambar 8.
(a) (b) Gambar 8 Bentuk fisik buah (a) pinang muda (b) pinang tua Buah pinang merupakan buah dengan biji berkeping satu. Buah pinang terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan luar, lapisan tengah dan lapisan dalam. Lapisan luar merupakan lapisan tipis yang disebut epicarp. Lapisan tengah berupa sabut yang disebut mesocarp. Lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang di dalamnya terdapat endosperm. Permukaan luar biji berlekuk-lekuk dan berwarna coklat. Pada bidang irisan melintang biji dapat dilihat terdapat bagian lipatanlipatan berwarna coklat kemerahan yang menembus bagian endosperm. Senyawa yang diduga dapat berperan sebagai pewarna terdapat pada bagian berwarna coklat yang tersebar pada bagian permukaan biji dan lipatan-lipatan yang menembus endosperm. Bagian-bagian buah pinang dapat dilihat pada Gambar 9.
a d e b c
Keterangan: (a) Epicarp, (b) Mesocarp, (c) Endocarp, (d) embrio, (e) Permukaan luar biji pinang Gambar 9 Bagian-bagian buah pinang
26 Karakterisasi yang dilakukan terhadap biji pinang muda dan biji pinang tua meliputi analisis proksimat dan uji fitokimia. Analisis proksimat terdiri atas analisis kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar serat dan kadar karbohidrat (by difference). Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari bahan baku yang digunakan untuk pembuatan produk bubuk pewarna sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam proses pengolahannya. Komposisi kimia buah pinang muda dan buah pinang tua yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi kimia buah pinang muda dan buah pinang tua Serbuk Kering Pinang Muda 6,28 5,36 15,99 1,81 10,34 60,22
Komponen Air (% bb) Protein (% bk) Lemak (% bk) Abu (% bk) Serat kasar (% bk) Karbohidrat (by difference)(% bk)
Serbuk kering Pinang Tua 5,53 3,96 16,48 1,73 12,25 60,05
Keterangan: bb = bobot kering; bk = bobot basah
Kadar air biji pinang setelah kering dalam bubuk menjadi 6,28% (buah muda) dan 5,53% (buah tua). Biji pinang yang telah mengalami pengeringan menjadi bentuk irisan kering dan serbuk kering dapat dilihat pada Gambar 10.
(a)
(b)
(c)
(d)
(a) irisan kering biji pinang muda (c) serbuk biji pinang muda
(b) irisan kering biji pinang tua (d) serbuk biji pinang tua
Gambar 10 Irisan kering dan serbuk biji buah pinang
Analisis fitokimia merupakan uji kualitatif yang terdiri atas analisis alkaloid, triterpernoid, saponin, steroid, glikosida, fenolik, flavonoid dan tanin. Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia (Tabel 7) menunjukkan bahwa biji Tabel 7
Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia serbuk kering biji pinang muda dan biji pinang tua bubuk
Komponen
Serbuk Kering Biji Pinang Muda
Serbuk Kering Biji Pinang Tua
Alkaloid Triterpenoid Saponin Steroid Glikosida Fenolik Flavonoid Tanin
++ +++ + ++++ ++++ ++++ +++
+++ ++++ + ++++ ++++ ++++ +++
Keterangan: (-) = negatif, (+) = positif lemah, (++) = positif, (+++) = positif kuat, (++++) = positif kuat sekali
buah pinang bubuk baik yang muda maupun tua mengandung alkaloid, triterpernoid, saponin, glikosida, fenolik, flavonoid dan tanin. Biji pinang mengandung alkaloid. Alkaloid pada biji pinang tua bubuk teridentifikasi lebih kuat dibanding pada biji pinang muda bubuk. Menurut Harborne (2006), alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid ada yang bersifat racun dan banyak pula yang memiliki aktivitas fisiologis sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan. Nama alkaloid sering diturunkan dari sumber tanaman penghasilnya. Menurut IARC (2004), alkaloid utama yang terkandung dalam biji pinang adalah arekolin. Arekolin memiliki efek samping. Menurut Barlina (2007), untuk mengurangi efek racun, pemakaian biji pinang sebaiknya yang telah dikeringkan dan lebih baik lagi dengan melakukan perebusan terhadap biji pinang kering tersebut. Biji pinang mengandung triterpenoid, dimana biji pinang tua teridentifikasi lebih kuat dibandingkan dengan biji pinang muda. Menurut Harbone (2006), triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrogen karbon C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Berdasarkan Tabel 6, biji pinang mengandung saponin dan glikosida tetapi tidak mengandung steroid. Saponin adalah glikosida dari triterpena dan sterol. Saponin mempunyai sifat aktif permukaan sehingga memiliki sifat seperti sabun karena dapat membentuk busa. Saponin dari tumbuhan merupakan sumber sapogenin yang dapat diubah menjadi sterol hewan yang mempunyai manfaat penting (seperti kortison, kontrasepsi estrogen dan lain-lain). Keberadaan saponin dalam suatu bahan dapat mengganggu proses ekstraksi, yaitu meyulitkan dalam hal proses penyaringan dan pemekatan ekstrak alkohol-air. Seyawa fenolik teridentifikasi kuat sekali baik pada biji pinang muda maupun biji pinang tua. Senyawa fenol merupakan senyawa dengan cincin
pelarut mencapai matriks bahan dan meningkatkan laju ekstraksi. Akan tetapi, banyak senyawa fenolik yang mudah terhidrolisis dan teroksidasi sehingga penggunaan suhu yang tinggi dan waktu ekstraksi yang terlalu lama menyebabkan senyawa fenolik teroksidasi dan menurunkan senyawa fenolik dalam ekstrak. Filtrat yang diperoleh dari hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan pengamatan secara visual terlihat bahwa warna filtrat dari biji pinang muda lebih gelap (pekat) dibandingkan dengan filtrat dari biji pinang tua. Perbedaan warna tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan yang terekstrak pada filtrat. Karakteristik filtrat hasil ekstraksi biji pinang dapat dilihat pada Tabel 8.
(a) Buah muda (b) Buah tua Gambar 11 Filtrat hasil ekstraksi Tabel 8 Karakteristik filtrat hasil ekstraksi biji pinang Perlakuan
Total Padatan (oBrix)
Derajat Keasaman (pH)
Buah muda Buah tua
2,60 1,75
5,18 5,24
Rata-rata total padatan terlarut filtrat hasil ekstraksi biji pinang buah muda lebih tinggi dibandingkan total padatan terlarut filtrat hasil ekstraksi biji pinang dari buah tua. Total padatan larutan pengumpan akan mempengaruhi rendemen produk yang dihasilkan. Semakin tinggi total padatan larutan diharapkan rendemen yang dihasilkan juga semakin meningkat. Filtrat hasil ekstraksi biji pinang secara umum bersifat agak asam karena memiliki nilai pH dengan kisaran di bawah 7. Biji pinang muda menghasilkan filtrat dengan nilai pH lebih rendah dibandingkan biji pinang tua. Metode pengeringan yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak bubuk dari filtrat hasil ekstraksi adalah spray drying (pengeringan semprot). Filtrat yang akan dikeringkan pada penelitian ini menggunakan dua jenis perlakuan, yaitu filtrat langsung dikeringkan tanpa penggunaan pengisi dan filtrat ditambahkan pengisi gum arab 2% sebelum dikeringkan. Penggunaan pengisi gum arab 2% mengacu pada hasil terbaik penelitian Purba (2003). Pengeringan filtrat menggunakan spray drier diawali dengan memompakan filtrat masuk ke dalam alat penyemprot. Alat penyemprot berfungsi untuk memecah partikel filtrat dengan menghembuskan udara tekanan tinggi sehingga menghasilkan dropletdroplet kecil. Pembentukan droplet tersebut meningkatkan luas permukaan partikel kontak dengan media pengering sehingga proses pengeringan dapat
30 berlangsung dalam waktu singkat. Menurut Goula dan Adamopaulos (2005), ukuran partikel yang kecil dibutuhkan pada proses pengeringan karena semakin besar luas permukaan saat kontak dengan media panas, semakin banyak air yang dapat dihilangkan. Ukuran partikel yang kecil mengurangi jarak yang ditempuh oleh panas menuju pusat partikel dan mengurangi jarak tempuh air dari pusat partikel menuju bagian permukaan untuk keluar dari partikel. Droplet-droplet kecil yang dihasilkan dari alat penyemprot masuk ke dalam tabung inlet yang berisi aliran udara panas. Aliran udara panas tersebut menguapkan air pada droplet menghasilkan padatan (bubuk) dan membawanya ke tabung outlet. Padatan tersebut kemudian jatuh dan terkumpul pada bagian penampungan produk (bubuk). Alat spray drier yang digunakan untuk pengeringan filtrat hasil ekstraksi biji pinang dapat dilihat pada Gambar 12. Kondisi operasi yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu inlet 130 oC dan suhu outlet 80oC. Kondisi operasi tersebut menghasilkan produk yang cukup kering, berwarna coklat muda dan sedikit yang menempel pada dinding alat. Penggunaan suhu di bawah kondisi tersebut menghasilkan produk yang agak lembab dan menempel pada dinding alat, sedangkan penggunaan suhu di atas kondisi tersebut menghasilkan produk bubuk yang lebih gelap (gosong).
c
d
h
b g e
a f Keterangan: (a) Umpan (filtrat) yang akan dikeringkan, (b) alat pemompa filtrat, (c) alat penyemprot, (d) tabung inlet, (e) tabung outlet, (f) wadah penampung produk, (g) blower, (h) cerobong
Gambar 12 Alat spray drier yang digunakan untuk pengeringan filtrat hasil ekstraksi biji pinang
Karakteristik Warna Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Bubuk pewarna yang diperoleh dari ekstrak biji buah pinang melalui pengeringan semprot dapat dilihat pada Gambar 13. Warna bubukis pewarna dari ekstrak biji pinang dinilai menggunakan sistem notasi Hunter. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan tiga parameter warna, yaitu warna kromatik (hue) yang ditulis dengan notasi a*, intensitas warna dengan notasi b*, dan kecerahan dengan notasi L*. Nilai L*, a* dan b* memiliki kisaran 0 sampai ± 100 (Hutchings 1999).
Buah muda, tanpa pengisi
Buah muda, pengisi gum arab
Buah tua, tanpa pengisi
Buah tua, pengisi gum arab
Gambar 13 Bubuk pewarna ekstrak biji pinang dari berbagai kombinasi perlakuan Data kromasitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang dapat dilihat pada Tabel 9. Tingkat kecerahan bubuk ekstrak biji pinang yang dinyatakan dengan nilai L*. Semakin tinggi nilai L* menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan semakin cerah. Nilai 0 untuk L menunjukkan warna hitam sedangkan nilai 100 menunjukkan warna putih. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat ketuaan buah pinang, perlakuan penambahan pengisi serta interaksi keduanya memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kecerahan pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang dihasilkan. Hasil analisis ragam tingkat kecerahan (L*) pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2A2. Tabel 9 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak biji pinang Perlakuan Buah muda, tanpa pengisi
Buah muda, pengisi gum arab Buah tua, tanpa pengisi Buah tua, pengisi gum arab
L* 67,75 72,11 44,16 76,65
a* 14,15 12,89 14,95 10,81
b* 21,34 22,78 12,41 20,38
o
Hue 59,70 60,49 39,67 62,06
Warna Yellow red Yellow red Red Yellow red
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pewarna bubuk yang diperoleh dari buah pinang tua memberikan tingkat kecerahan yang lebih tinggi
32 dibandingkan dengan buah pinang muda. Perlakuan penggunaan pengisi gum arab (2% b/v) menghasilkan bubuk pewarna ekstrak biji pinang yang lebih cerah dibandingkan dengan tanpa perlakuan penambahan bahan pengisi. Gum arab merupakan bahan pengisi berupa bubuk berwarna putih. Penggunaan pengisi gum arab ke dalam filtrat menurunkan konsentrasi zat pewarna yang terkandung dalam filtrat. Penurunan tersebut bukan berarti terjadi penurunan kuantitas zat pewarna yang sebenarnya, akan tetapi penurunan konsentrasi akibat perubahan rasio zat pewarna terhadap pertambahan total bobot atau volume larutan. Hasil uji lanjut Duncan nilai L* pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2A3. Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a* positif (a*>0) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai a* negatif (a*<0) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau (Hutchings 1999). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tingkat ketuaan biji pinang tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang sedangkan penggunaan pengisi dan interaksi antar perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) dan sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis ragam nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2B2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan rata-rata nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang dengan perlakuan tanpa pengisi berbeda nyata dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang dengan pengisi gum arab. Hasil uji lanjut Duncan nilai a* pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2B3. Notasi b* menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai b* positif (+b*) dari 0 sampai dengan +70 untuk warna kuning dan nilai b* negatif (-b*) dari 0 sampai -70 untuk warna biru (Hutchings 1999). Rata-rata nilai b* bubuk pewarna ekstrak biji pinang yang dihasilkan pada penelitian ini berada pada derajat kuning tertentu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor perlakuan tingkat ketuaan, penggunaan pengisi dan interaksi antarperlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis ragam nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2C2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah pinang muda berbeda nyata dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah pinang tua. Rata-rata nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang dengan pengisi gum arab berbeda nyata dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang tanpa pengisi. Hasil uji lanjut Duncan nilai b* pewarna bubuk ekstrak biji pinang selengkapnya disajikan pada Lampiran 2C3. Berdasarkan nilai L*, nilai a* dan nilai b* maka dapat diperoleh nilai oHue yang menunjukkan warna dari pewarna bubuk. Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang dihasilkan pada penelitian ini ratarata berada pada kisaran warna merah kuning (yellow red) kecuali pada perlakuan biji pinang tua tanpa pengisi berada pada kisaran warna merah (red).
Karakteristik Fisikokimia Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Karakteristik fisikokimia suatu bahan diperlukan untuk merancang bentuk sediaan produk dan menjadi pertimbangan dalam pemilihan proses pada pembuatan suatu produk. Karakteristik fisik yang dianalisis terhadap pewarna bubuk ekstrak biji pinang adalah rendemen, densitas kamba dan kelarutan dalam air yang hasilnya diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10 Karakteristik fisik pewarna bubuk ekstrak biji pinang Perlakuan
Rendemen (%)
Buah muda, tanpa pengisi Buah muda, pengisi gum arab Buah tua, tanpa pengisi Buah tua, pengisi gum arab
7,85 13,90 5,59 8,58
Densitas Kamba (g/ml) 0,4011 0,3934 0,5586 0,3720
Kelarutan (%) 94,10 97,28 95,42 99,25
Rendemen merupakan parameter yang menunjukkan jumlah produk, dalam hal ini pewarna bubuk yang dihasilkan, dari sejumlah bahan baku (biji pinang) yang digunakan. Rendemen pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada berbagai kombinasi perlakuan yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 5,59% 13,90% (basis kering). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3B) menunjukkan bahwa tingkat ketuaan dan penggunaan pengisi berpengaruh nyata (p<0,05) dan sangat nyata (p<0,01) terhadap rendemen pewarna bubuk ekstrak biji pinang sedangkan interaksi antar faktor perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap rendemen produk. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 3C), pewarna bubuk dari biji pinang muda memberikan rendemen lebih tinggi dibandingkan biji pinang tua. Penggunaan pengisi gum arab pada ekstrak biji pinang meningkatkan rendemen. Pengisi digunakan untuk meningkatkan total padatan ekstrak yang akan dikeringkan. Oleh karena itu, penggunaan pengisi gum arab meningkatkan rendemen produk yang dihasilkan. Pengaruh tingkat ketuaan dan bahan pengisi terhadap rendemen bubuk pewarna yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14. Penelitian mengenai pembuatan pewarna bubuk dari biji buah pinang juga dilakukan oleh Wulansari et al. (2012). Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda menggunakan dua jenis bahan pengisi yaitu dekstrin dan maltodekstrin dengan beberapa tingkat konsentrasi (5%, 10% dan 15% b/v). Rendemen pewarna bubuk yang diperoleh Wulansari et al. (2012) pada tingkat konsentrasi terendah bahan pengisi yang digunakan pada penelitian tersebut (5% b/v) adalah sebesar 4,389% (bahan pengisi maltodekstrin) dan 4,559% (bahan pengisi dekstrin). Nilai tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rendemen hasil penelitian ini yang menggunakan perlakuan tanpa penambahan bahan pengisi yaitu sebesar 5,59%. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan metode ekstraksi yang digunakan. Wulansari et al. (2012) mengekstrak biji buah pinang muda dalam bentuk biji segar yang dibelah dua menggunakan air mendidih selama satu menit dan dilanjutkan perendaman dalam air tersebut selama 30 menit sedangkan penelitian ini mengekstrak biji buah
34 pinang muda dalam bentuk serbuk menggunakan air dengan suhu terkontrol (80 oC) dan pengadukan dengan kecepatan konstan selama 45 menit. Pengecilan ukuran biji buah pinang menjadi serbuk diduga menghasilkan rendemen pewarna bubuk yang lebih tinggi karena proses tersebut menyebabkan jaringan terbuka dan memperluas permukaaan kontak bahan dengan pelarut (air) sehingga komponen yang dapat terekstrak dan rendemen yang dihasilkan lebih tinggi. Rendemen Pewarna Bubuk (%bk)
15
10
5
0 Tanpa Pengisi
Pengisi Gum Arab
Buah muda
Tanpa Pengisi
Pengisi Gum Arab
Buah tua
Gambar 14 Pengaruh tingkat ketuaan dan bahan pengisi terhadap rendemen bubuk pewarna yang dihasilkan Suhu dan lama ekstraksi juga merupakan faktor penting yang menentukan rendemen produk hasil ekstraksi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi cenderung menghasilkan rendemen yang semakin tinggi. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2009) menyatakan bahwa suhu dan lama waktu ekstraksi memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak kasar bubuk biji pinang. Rendemen meningkat dengan meningkatnya suhu dan lama waktu ekstraksi. Pengunaan suhu ekstraksi 100oC selama 45 menit menghasilkan rendemen yang paling tinggi namun kadar total fenol tertinggi tidak dihasilkan pada kondisi ekstraksi tersebut karena peningkatan bobot disebabkan oleh ikut terekstraknya komponen selain polifenol. Kadar total fenol tertinggi diperoleh pada kondisi suhu ekstraksi 80oC dan lama ekstraksi 45 menit. Kondisi ekstraksi tersebut menghasilkan rendemen sebesar 4,33%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen yang diperoleh pada penelitian ini yang menggunakan kondisi suhu dan lama ekstraksi yang sama, yaitu sebesar 7,85% (dari bahan baku serbuk kering biji buah pinang muda) dan 5,58% (dari bahan baku serbuk kering biji buah pinang tua). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis dan tempat tumbuh buah pinang yang digunakan sehingga menentukan komposisi senyawa yang terkandung dalam buah tersebut serta perbedaan metode ekstraksi yang digunakan. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2009) melakukan partisi menggunakan diklorometana dan etil asetat terhadap filtrat hasil ekstraksi untuk mengurangi impurities (senyawa non polifenol) yang ikut terekstrak. Partisi terhadap filtrat tersebut tidak dilakukan pada penelitian ini sehingga hal tersebut diduga penyebab rendemen pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2009). Kemungkinan bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh masih mengandung senyawa non polifenol. Densitas kamba ditentukan berdasarkan perbandingan bobot produk pada volume tertentu. Nilai densitas kamba menunjukkan tingkat kamba (bulky) suatu produk. Produk bersifat kamba apabila memiliki nilai densitas kamba yang rendah. Densitas kamba diperlukan untuk menentukan kebutuhan kemasan, ruang transportasi dan ruang penyimpanan bahan. Suatu produk diharapkan memiliki sifat kamba yang rendah atau nilai densitas kamba yang besar agar kebutuhan kemasan dan ruang penyimpanan tidak terlalu besar. Densitas kamba pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada penelitian ini berkisar antara 0,3720 g/ml – 0,5586 g/ml. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4B) menunjukkan bahwa perlakuan tingkat ketuaan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap densitas kamba pewarna bubuk ekstrak biji pinang, sedangkan perlakuan penggunaan pengisi, interaksi antar perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap densitas kamba pewarna ekstrak bubuk biji pinang. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa densitas kamba pewarna bubuk dari biji pinang tua lebih tinggi dibandingkan biji pinang tua dan perlakuan penggunaan pengisi gum arab menghasilkan densitas kamba yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pengisi. Penggunaan gum arab (2% b/v) menurunkan densitas pewarna bubuk ekstrak pinang. Gum arab mempunyai kemampuan membentuk film (film forming) sehingga biasa digunakan sebagai pengkapsul yang menjadi dinding (wall) terhadap senyawa target yang menjadi inti (core) pada proses mikroenkapsulasi menggunakan pengering semprot (Gharsallaoui et al. 2007). Keberadaan pengkapsul mengurangi terjadi pelengketan antar partikel karena partikel dilapisi bahan pengkapsul dan memungkinkan udara terperangkap dalam partikel. Udara yang terperangkap menyebabkan volume bubuk meningkat sehingga menurunkan densitas kamba (Goula dan Adamopoulos 2010). Kelarutan menunjukkan banyaknya bagian dari produk yang dapat larut dalam suatu pelarut tertentu pada volume tertentu. Kelarutan merupakan parameter penting pada produk bubuk karena berhubungan dengan efisiensi penggunaan produk. Suatu produk diharapkan memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dalam suatu pelarut tertentu karena hal tersebut akan memudahkan dalam penggunaan dan efisien dalam penggunaan waktu dan tenaga. Pada penelitian ini, analisis kelarutan dilakukan terhadap pewarna bubuk biji pinang menggunakan pelarut air (akuades) pada suhu ruang. Hasil analisis ragam (Lampiran 5B) menunjukkan tingkat ketuaan dan penggunaan pengisi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kelarutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang, sedangkan interaksi antarperlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Kelarutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh berkisar antara 94,10% - 99,25%. Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa secara umum produk yang dihasilkan memiliki tingkat kelarutan yang cukup tinggi dalam air. Hal tersebut disebabkan oleh bahan penyusun bubuk ekstrak biji pinang baik senyawa aktif maupun bahan pengisinya mudah larut dalam air. Senyawa aktif yang terkandung dalam biji buah pinang adalah senyawa fenolik (tanin dan flavonoid) memiliki sifat mudah larut dalam air (Harborne 2006). Penggunaan pengisi gum arab meningkatkan kelarutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dalam air. Gum arab merupakan salah satu bahan pengisi yang banyak digunakan
36 dalam pengeringan menggunakan pengering semprot karena kelarutannya yang tinggi di dalam air (Ali et al. 2009). Karakteristik kimia yang dianalisis terhadap pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada penelitian ini meliputi kadar air, derajat keasaman (pH) dan kadar total fenol yang ditunjukkan pada Tabel 11. Kadar air merupakan parameter penting untuk produk berbentuk bubuk karena akan mempengaruhi stabilitas dan penyimpanan produk. Kadar air pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada penelitian ini berkisar antara 5,19% - 7,54% (Tabel 11). Nilai tersebut masih berada pada kisaran rata-rata kadar air produk bubuk secara umum yaitu kurang dari 10% (Hardjanti 2008). Tabel 11 Karakteristik kimia pewarna bubuk ekstrak biji pinang
Perlakuan Buah muda, tanpa pengisi Buah muda, pengisi gum arab Buah tua, tanpa pengisi Buah tua, pengisi gum arab
Kadar Air (% bobot basah) 6,08 7,41 5,19 5,57
Derajat Keasaman (pH) Larutan
Kadar Total Fenol (%)
5,28 4,98 5,31 5,03
67,07 31,65 50,61 30,50
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6B) menunjukkan bahwa tingkat ketuaan buah pinang berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air pewarna bubuk ekstrak biji pinang sedangkan pengaruh penambahan pengisi dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar air produk pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Rata-rata kadar air pewarna bubuk biji pinang dari buah muda lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kadar air pewarna bubuk biji pinang dari buah tua (Lampiran 6C). Derajat keasaman (pH) larutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dalam air (akuades) pada penelitian ini berkisar antara 4,98 – 5,28. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7B) menunjukkan bahwa tingkat ketuaan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH larutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang, sedangkan perlakuan penggunaan pengisi memberikan pengaruh nyata. Berdasarkan Lampiran 7C, larutan pewarna bubuk ekstrak biji pinang pengisi gum arab lebih asam dibandingkan dengan larutan yang tanpa pengisi. Hal ini disebabkan oleh sifat gum arab yang agak asam (pH sekitar 5,0) sehingga mempengaruhi tingkat keasaman produk yang dihasilkan. Rata-rata kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada penelitian ini berkisar antara 31,65% - 67,07%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8B) menunjukkan bahwa tingkat ketuaan buah pinang dan perlakuan penggunaan pengisi serta interaksi antar perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Buah pinang muda menghasilkan ekstrak pewarna bubuk dengan rata-rata kadar total fenol lebih tinggi dibandingkan buah pinang tua (Lampiran 8C). Hal serupa dilaporkan oleh Amudhan (2010) bahwa kadar polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Hal tersebut diduga disebabkan oleh terjadinya peningkatan derajat polimerisasi dari tanin atau polifenol selama pemasakan buah
sehingga menurunkan jumlah tanin yang dapat diekstrak. Menurut Britton (1983) dan Macheix et al. (1990), senyawa fenolik pada jaringan dan buah muda umumnya memiliki konsentrasi lebih tinggi (Amudhan, 2010). Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa perlakuan penambahan gum arab (2% b/v) menurunkan kadar total fenol hampir setengah kali lipatnya. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan gum arab dapat meningkatkan total bobot pewarna bubuk yang dihasilkan sehingga mengurangi rasio fenol yang terdapat di dalamnya.
Kadar Total Fenol Pewarna Bubuk (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Tanpa Pengisi
Pengisi gum arab
Buah muda
Tanpa Pengisi
Pengisi gum arab
Buah tua
Gambar 15 Pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta bahan pengisi terhadap kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang dihasilkan Salah satu produk pewarna bubuk alami komersial yang memiliki mengandung katekin (flavonoid) sebagai komponen penyusun zat warna utamanya pewarna bubuk alami dari Acacia catechu (SIR Naturals 2013). Perbandingan karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang hasil penelitian dan pewarna bubuk alami Acacia catechu dapat dilihat pada Tabel 12. Karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang hasil penelitian secara umum mendekati karakteristik pewarna bubuk alami Acacia catechu komersial. Tabel 12 Perbandingan karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang hasil penelitian dan pewarna bubuk alami Acacia catechu Karakteristik Warna (visual) Kadar air (%) Kelarutan dalam air (%) Nilai pH Densitas kamba (g/ml) 1)
SIR Naturals (2013)
Pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang hasil penelitian
Pewarna bubuk alami Acacia catechu komersial1)
Kuning kecoklatan s.d. coklat 5,19 – 7,54 84,92 – 99,39 4,98 – 5,41 (larutan 4%) 0,3717 – 0,5586
Coklat 6,0 ± 1,0 95 ± 2,0 6,0 ± 0,5 (larutan 1%) 0,25 – 0,45
38 Analisis Toksisitas Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Analisis toksisitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang dilakukan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT merupakan metode untuk menghitung respon kematian 50% larva udang (Artemia salina Leach) yang dinyatakan dalam nilai Lethal Concentration (LC50) pada beberapa konsentrasi uji dengan tingkat kepercayaan 95%. Tingkat toksisitas suatu bahan uji ditentukan dengan melihat nilai LC50. Bahan dikatakan sangat toksik apabila memiliki nilai nilai LC50 ≤ 30 ppm, toksik apabila memiliki LC50 ≤ 1000 ppm dan tidak toksik apabila LC50 > 1000 ppm (Meyer et al. 1982). Metode ini tidak memerlukan waktu yang lama (24 jam), sederhana (tidak memerlukan teknik aseptis), mudah dikuasai dan sampel yang diperlukan untuk pengujian sedikit (Ghisalberti EL 2008) Larva udang digunakan sebagai bioindikator pada metode BSLT. Larva udang laut memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh larva secara difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva. Apabila zat-zat senyawa asing dalam larutan bersifat toksik, larva tersebut akan mati. Pengujian BSLT dapat digunakan untuk mengetahui daya bioaktivitas dari suatu bahan. Daya toksisitas suatu bahan ditentukan oleh kandungan senyawa bioaktif yang terkandung di dalamnya. Keberadaan beberapa senyawa pada suatu bahan dapat menyebabkan efek toksisitas pada komponen tersebut berkurang atau bertambah. Suatu bahan dikatakan aktif apabila memberikan efek toksik terhadap larva udang pada pengujian BSLT. Komponen aktif yang terkandung pada bahan tersebut dapat berperan sebagai obat dan dapat pula sebagai racun. Ada korelasi positif antara tingkat toksisitas yang dinilai menggunakan metode BSLT dengan efek sitotoksik pada kultur sel kanker. Suatu bahan memiliki bioaktif antikanker apabila nilai LC50 yang dihasilkan kurang dari 1.000 ppm (dalam kategori toksik sampai dengan sangat toksik) (Meyer et al. 1982). Hasil analisis toksisitas terhadap pewarna bubuk ekstrak biji pinang (Tabel 13) menunjukkan bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah pinang muda ada yang toksik karena memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 ppm kecuali perlakuan biji pinang muda segar dengan pengisi gum arab (A1B1C2). Pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua secara umum bersifat tidak toksik karena memiliki nilai LC50 lebih dari 1000 ppm kecuali pada perlakuan menggunakan biji buah pinang tua tanpa pengisi (A2B2C1). Berdasarkan hal tersebut, bubuk ekstrak biji pinang berpotensi memiliki senyawa bioaktif antikanker. Menurut Meiyanto et al (2008), ekstrak etanolik biji pinang (25-100 μg/mL) yang mengandung senyawa golongan fenol selama 48 jam dapat menghambat pertumbuhan sel kanker payudara, MCF-7 sebesar 13 – 84% (IC50 77 μg/mL) sedangkan arekolin (10-500 μg/mL) menghasilkan penghambatan pertumbuhan sel sebesar 8 - 73% (IC50 180 μg/mL). Selain itu, biji pinang memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif (Karphrom et al., 2009), aktivitas antiradikal dan antioksidan (Li dan Lin, 2010) Dengan demikian, apabila bubuk ekstrak biji pinang digunakan sebagai pewarna
untuk aplikasi pangan berpotensi untuk memberikan sifat fungsional pada produk yang digunakan seperti antioksidan dan pengawet. Tabel 13 Tingkat toksisitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang Perlakuan Buah muda, tanpa pengisi Buah muda, pengisi gum arab Buah tua, tanpa pengisi Buah tua, pengisi gum arab
LC50 (ppm) 279,53 508,81 446,93 10935,21
Analisis Gugus Fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Analisis spektrum FTIR digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan gugus fungsi dari suatu molekul dan mendeteksi senyawa dari suatu bahan. Prinsip analisis FTIR berdasarkan sifat radiasi infra merah yang dapat menyebabkan suatu senyawa mengalami vibrasi dan rotasi (Silverstein et al. 2005). Ikatan kimia yang berbeda mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga gugus fungsi dapat diidentifikasi berdasarkan frekuensi getaran khasnya. Daerah spektrum inframerah di atas 1200 cm-1 menunjukkan pita spektrum (puncak) yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang dianalisis. Daerah di bawah 1200 cm-1 menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul yang dikenal sebagai daerah sidik jari (finger print region) (Harborne 2006). Analisis spektrum FTIR dilakukan terhadap perwarna bubuk ekstrak biji pinang dengan perlakuan biji buah pinang muda berbentuk bubuk tanpa pengisi (A1B2C1) dan perlakuan biji buah pinang tua berbentuk bubuk tanpa pengisi (A2B2C1). Berdasarkan Gambar 25 terlihat bahwa spektrum infra merah dari kedua pewarna bubuk tersebut menunjukkan pola serapan yang hampir serupa, perbedaannya terdapat pada nilai intesitasnya (transmitan). Kedua spektrum tersebut dibandingkan dengan spektrum (+)-katekin yang diperoleh dari Spectral Data Base for Organic Compounds (SDBS) (AIST 2013). Spektrum infra merah kedua pewarna bubuk ekstrak biji pinang hasil penelitian memiliki pola serapan yang hampir sama dengan spektrum (+)-katekin. Puncak serapan spektrum infra merah yang teridentifikasi pada (+)-katekin lebih banyak dan rata-rata memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan puncak serapan spektrum infra merah yang dihasilkan oleh pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diujikan. Perbandingan pita serapan spektrometer inframerah pewarna bubuk ekstrak biji pinang muda, pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua dan (+)-katekin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa spektrum infra merah (+)-katekin memiliki 23 puncak serapan sedangkan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah muda dan buah tua memiliki 12 dan 11 puncak serapan. Puncak serapan yang tertera di dalam Tabel 14 merupakan puncak serapan yang nilai bilangan gelombangnya (frekuensi) terbaca oleh instrumen FTIR yang digunakan. Apabila dilihat pada spektrogram hasil FTIR yang dihasilkan (Gambar 16), pewarna bubuk ekstrak biji pinang muda maupun tua memiliki beberapa puncak serapan yang tidak terbaca
40 nilai bilangan gelombangnya karena memiliki intesitas yang lemah seperti puncak serapan diantara G dan H serta diantara I dan J.
(a)
(b)
(c)
(a) (+)-katekin (AIST 2013), (b) pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua, (c) pewarna bubuk ekstrak biji pinang muda
Gambar 16 Spektrogram hasil FTIR
Tabel 14 Pita serapan spektrometer inframerah pewarna bubuk ekstrak biji pinang muda, pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua dan (+)-katekin Bilangan gelombang (cm-1) Pewarna bubuk Pewarna bubuk ekstrak biji ekstrak biji (+)-Katekin 1) pinang muda pinang tua 3394,18 2931,57
3418,32 2925,14
1611,53 1521,69 1444,07 1382,67 1285,12
1614,51 1522,32 1445,05 1384,60 1285,93
1112,32 1060,48
1109,21 1064,72
819,97
1) 2)
768,01
768,83
620,07
619,36
2936 1628 1609 1519 1464 1364 1284 1240 1184 1144 1114 1108 1061 1046 1031 975 870 821 780 766 668 630 458
Simbol 2)
A B C D E F G
H I
J K L
AIST (2013) Simbol huruf menandakan puncak serapan yang memiliki bilangan gelombang berdekatan
Secara umum, puncak yang tidak terbaca tersebut berada pada daerah sidik jari yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul. Menurut Coates (2000), banyak diantara senyawa organik memiliki pita serapan lebih dari satu pada daerah 1150 – 950 cm-1 sehingga daerah tersebut cenderung tidak dianalisis karena terdapat konflik dan timpang tindih (overlap) dengan penyerapan gugus fungsi termasuk getaran skeletal (kerangka) dari molekul. Berdasarkan spektrogram FTIR (Gambar 25), pita serapan dengan puncak lebar pada daerah 3600 – 3200 cm-1 dihasilkan oleh ketiga spektrum (puncak A) menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH). Puncak B pada daerah 3000 – 2850 cm-1 menunjukkan adanya regangan ikatan CH. Puncak D dan E pada daerah
42 1600 – 1400 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi cincin aromatik. Puncak G, H dan I pada daerah 1300 – 1000 cm-1 disebabkan oleh regangan CO pada alkohol atau eter. Puncak J dan K pada daerah 900 – 750 cm-1 menunjukkan adanya aromatik OH. Tabel 15 menunjukkan karakteristik daerah bilangan gelombang beberapa gugus fungsi. Tabel 15 Karakteristik pita serapan spektrum FTIR pada beberapa gugus fungsi1)
1)
Gugus fungsi
Bilangan gelombang (cm-1)
O-H C-H
3600–3200 3100–3000
C-H
3000–2850
C-C
1600–1400
C-O
1820–1670
-C-H
1480–1350
C-O
1300–1000
1,2disubstituted
1200–900
1,3disubstituted
1100–700
Karakteristik ikatan hidrogen lebar, intesitas kuat, aromatik, intensitas medium alkana, intensitas medium, tajam (meregang) aromatik, intensitas medium-lemah, golongan pita serapan tajam ester dan karbonil, umumnya intensitas kuat, terkonjugasi lebih lemah alkana, intensitas berubah-ubah (berupa tekukan) alkohol dan eter intensitas kuat, ester memiliki dua pita serapan atau lebih cincin benzena, tiga puncak, dua dengan intensitas medium, satu intensitas kuat cincin benzena, empat puncak, dua intensitas medium, dua intensitas kuat
Ramos-Tejada et al. (2002).
Pola serapan spektrum infra merah pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah muda maupun buah tua menunjukkan adanya gugus fungsi yang sama dengan senyawa katekin karena hampir sama dengan pola serapan pada (+)katekin. Puncak serapan pewarna bubuk tersebut dihasilkan oleh getaran beberapa ikatan pada gugus fungsi seperti OH, CH, CO serta struktur aromatik. Gugus tersebut menyusun struktur senyawa katekin seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Struktur (+)-katekin (AIST 2013)
Rumus molekul (+)-katekin adalah C15H14O6 dengan bobot molekul 290.3 (AIST 2013). Katekin merupakan senyawa polifenol dari golongan flavonoid. Katekin merupakan monomer dari proantosianidin (flavolan) yang termasuk dalam golongan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi secara biosintesis terbentuk melalui proses kondensasi katekin tunggal membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi (Harborne, 2006). Menurut Amudhan et al. (2012), polifenol yang terkandung dalam biji pinang terdiri dari sekitar 10% (+) katekin, 2,5% epikatekin, 12% (+) leukosianidin, sisanya berupa flavonoid komplek dengan derajat polimerasi yang bervariasi. Menurut Nonaka (1981), deretan prosianidin bentuk dimer, trimer dan tetramer dapat diisolasi dari biji pinang. Ma et al. (1996) telah mengisolasi dua prosianidin pentamer, dua prosianidin tetramer dan prosianidin trimer serta (+)-katekin, (-)-epikatekin, prosianidin A-1, prosianidin B-1, prosianidin B-2 dan prosianidin B-7. Arecatannin terkandung dalam biji pinang mengandung unit (-)-epikatekin dan unit (+)-katekin. Oleh karena itu, katekin yang teridentifikasi pada bubuk ekstrak biji pinang pada penelitian ini dapat berupa katekin tunggal maupun katekin yang mengalami kondensasi membentuk dimer, oligomer maupun polimer. Hal tersebut juga diduga yang menyebabkan sedikit perbedaan pola serapan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dengan spektrum serapan katekin murni rujukan. Katekin termasuk ke dalam pewarna alami dari golongan flavonoid dan merupakan pewarna langsung (direct dyes) (Sequin-Frey 1981). Katekin merupakan pewarna jenis C.I. Natural Brown 3 yang juga dihasilkan oleh gambir (Uncaria gambier) (Hunger 2003) dan Acacia catechu (Siva 2007).
Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang Aplikasi pada Pewarnaan Kain Kain yang digunakan pada aplikasi adalah kain yang berasal dari serat alam, yaitu kain katun (serat selulosa) dan kain sutera (serat protein). Proses pewarnaan kain dilakukan melalui tahapan persiapan kain, pewarnaan dan fiksasi. Proses persiapan kain dilakukan dengan pencucian kain dengan typol dan pemordanan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin terdapat pada kain seperti lemak, minyak, kanji, lilin yang berasal dari proses pembuatan kain. Keberadaan pengotor tersebut dapat menghalangi masuknya zat warna ke dalam serat kain. Proses mordan menggunakan larutan tawas (Al2(SO4)3) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serat mengikat zat warna (Siva 2007). Menurut Kunlestari (2004), ion logam Al berikatan dengan serat dengan cara menggantikan posisi atom H pada gugus OH serat dan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan zat warna alam dengan serat pada proses pewarnaan. Pewarna dibuat dalam bentuk larutan menggunakan pelarut air. Air berfungsi menguraikan zat warna dan menjadi media untuk membawa molekulmolekul zat warna ke dalam kain. Konsentrasi larutan warna yang digunakan pada penelitian ini adalah 2,5 g/L mengacu pada hasil terbaik penelitian Agriawati (2003) yang menggunakan bubuk gambir sebagai zat pewarna pada kain kapas. Gambir mengandung senyawa golongan polifenol sama halnya dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan pada penelitian ini.
44 Perendaman kain dalam larutan pewarna dilakukan pada suhu 60 oC selama 30 menit dan dilanjutkan dengan penirisan kain. Proses tersebut dilakukan sebanyak empat kali dengan tujuan untuk membantu meresapnya zat warna ke dalam serat kain dan memberi kesempatan zat warna berikatan pada serat kain sehinggap penyerapan zat warna dapat berlangsung sempurna. Jenis warna dan jenis bahan fiksasi menghasilkan kain katun dan kain sutera dengan warna dan tingkat ketuaan yang berbeda-beda. Penampakan warna kain setelah diwarnai secara visual dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19.
Keterangan: W (Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang): W1: Buah muda, tanpa pengisi W2: Buah muda, pengisi gum arab 2% W3: Buah tua, tanpa pengisi W4: Buah tua, pengisi gum arab 2% F (Jenis bahan fiksasi): F1 : tanpa bahan fiksasi, F2: tawas, F3: kapur, F4:ferrosulfat
Gambar 18 Kain katun setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda Data kromasitas kain katun dan kain sutera yang telah dicelup dengan pewarna ekstrak biji pinang dengan beberapa jenis bahan fiksasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Nilai tingkat kecerahan (nilai L*) pada kain katun dan kain sutera setelah diwarnai dengan pewarna ekstrak biji pinang dengan beberapa jenis bahan fiksasi dapat dilihat pada Gambar 20. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 9B1), jenis pewarna, jenis bahan fiksasi dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kecerahan kain katun maupun kain sutera.
Keterangan: W (Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang): W1: A1B1C1, W2: A1B2C1, W3: A1B1C2, W4: A1B2C2 W5: A2B1C1, W6: A2B2C1, W7: A2B1C2, W8: A2B2C2 F (Jenis bahan fiksasi): F1 : tanpa bahan fiksasi, F2: tawas, F3: kapur, F4:ferrosulfat
Gambar 19 Kain sutera setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda 100
Nilai L* Kain
80 60 40 20 0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Katun Buah muda tanpa pengisi Buah tua tanpa pengisi
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Buah muda pengisi gum arab Buah tua pengisi gum arab
Gambar 20 Nilai L* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Hasil uji Duncan pengaruh jenis pewarna terhadap tingkat kecerahan kain katun dan kain sutera dapat dilihat pada Lampiran 9B2 dan 9B4. Pewarna ekstrak
46
Nilai a* Kain
biji pinang yang berasal dari buah tua (A2) cenderung menghasilkan tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan pewarna ekstrak biji pinang yang berasal dari buah muda (A1) baik pada kain katun maupun pada kain sutera pada bentuk sediaan yang sama. Pewarna ekstrak biji pinang yang menggunakan pengisi gum arab (C2) cenderung menghasilkan tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan pewarna ekstrak biji pinang tanpa penambahan pengisi (C1) baik pada kain katun maupun pada kain sutera. Hal tersebut berhubungan dengan kadar total fenol yang menunjukkan kadar senyawa yang berperan sebagai penyebab timbulnya warna pada kain yang dihasilkan oleh ekstrak bubuk biji pinang. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah tua mengandung total fenol lebih rendah dibandingkan dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah muda. Pewarna yang mengandung gum arab memiliki kadar total fenol lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa penambahan pengisi. Kadar total fenol yang lebih rendah dalam pewarna bubuk menyebabkan warna nilai L* (tingkat kecerahan) semakin tinggi . Hasil uji Duncan pengaruh jenis fiksasi terhadap tingkat kecerahan kain katun dan kain sutera dapat dilihat pada Lampiran 9B2 dan 9B4. Perlakuan jenis fiksasi berbeda nyata antara satu sama lainnya. Ferrosulfat cenderung menghasilkan kain dengan tingkat kecerahan yang paling rendah diikuti oleh bahan fiksasi kapur sedangkan perlakuan tanpa bahan fiksasi dan bahan fiksasi tawas cenderung menghasilkan kain dengan tingkat kecerahan yang lebih tinggi baik pada kain katun maupun pada kain sutera (Gambar 20). Kain yang dihasilkan pada penelitian ini memberikan nilai a* positif, yaitu nilai yang menunjukkan tingkat warna merah pada kain. Semakin besar nilai a* maka semakin tua warna kain yang dihasilkan. Nilai a* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi dapat dilihat pada Gambar 21. 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Katun Buah muda tanpa pengisi Buah tua tanpa pengisi
Ferrosulfat
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Buah muda pengisi gum arab Buah tua pengisi gum arab
Gambar 21 Nilai a* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi
Analisis ragam terhadap nilai a* kain katun dan kain sutera (Lampiran 9C1 dan 9C3) menunjukkan bahwa faktor jenis pewarna, faktor jenis bahan fiksasi dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh sangat nyata terhadap nilai a*. Gambar 21 menunjukkan bahwa fiksasi kapur cenderung memberikan nilai a* paling tinggi pada seluruh jenis pewarna yang digunakan baik pada kain katun maupun kain sutera sedangkan bahan fiksasi yang memberikan nilai a* paling rendah adalah ferrosulfat. Jenis pewarna bubuk yang menghasilkan rata-rata nilai a* tertinggi adalah pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah tanpa penambahan pengisi sedangkan nilai a* terendah dihasilkan oleh pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah tua dengan penambahan pengisi. Analisis ragam terhadap nilai b* kain katun dan kain sutera (Lampiran 9D1 dan 9D3) menunjukkan bahwa faktor jenis pewarna, faktor jenis bahan fiksasi dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh sangat nyata terhadap nilai b*. Kain yang dihasilkan pada penelitian ini memberikan nilai b* positif, yaitu nilai yang menunjukkan tingkat warna kuning pada kain. Nilai b* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi dapat dilihat pada Gambar 22. 14 12
Nilai b* Kain
10 8 6 4 2 0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Katun Buah muda tanpa pengisi Buah tua tanpa pengisi
Ferrosulfat
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Buah muda pengisi gum arab Buah tua pengisi gum arab
Gambar 22 Nilai b* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Gambar 22 menunjukkan bahwa fiksasi kapur cenderung memberikan nilai b* paling tinggi pada seluruh jenis pewarna yang digunakan baik pada kain katun maupun kain sutera sedangkan bahan fiksasi yang memberikan nilai b* paling rendah adalah ferrosulfat. Jenis pewarna bubuk yang menghasilkan rata-rata nilai b* tertinggi adalah pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah muda tanpa pengisi sedangkan nilai b terendah dihasilkan oleh pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari buah tua dengan pengisi gum arab. Nilai warna kain hasil pewarnaan menggunakan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dengan beberapa jenis bahan fiksasi dinyatakan dengan oHue dapat dilihat pada Gambar 23. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan pada pewarnaan kain katun dan kain sutera menghasilkan warna yang bervariasi
48 dengan tingkat ketuaan yang berbeda tergantung pada jenis bahan fiksasi dan jenis pewarna ekstrak biji pinang yang digunakan.
Nilai oHue Kain
70 60
Yellow Red
50
54o
40
Red
30 20
18o
10
Red Purple
0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Katun Buah muda, tanpa pengisi Buah tua, tanpa pengisi
Ferrosulfat
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Buah muda, pengisi gum arab Buah tua, pengisi gum arab
Gambar 23 Nilai oHue warna kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan fiksasi Secara umum, fiksasi tawas cenderung menghasilkan warna kain lebih muda daripada warna kain tanpa fiksasi sedangkan sedangkan kapur cenderung menghasilkan warna kain lebih tua dari pada warna kain tanpa fiksasi. Bahan fiksasi tawas menghasilkan kain dalam kisaran merah dan merah kuning tergantung jenis pewarna yang digunakan pada kain katun sedangkan pada kain sutera dihasilkan warna merah kuning pada semua jenis pewarna yang digunakan. Bahan fiksasi tawas mengandung ion aluminium. Logam tersebut dapat membentuk ikatan koordinasi kompleks lemah dengan pewarna, tapi ikatannya cenderung lebih kuat dibandingkan dengan serat (Moiz et al. 2010). Penggunaan bahan fiksasi tawas diduga menyebabkan pewarna yang terikat lemah pada serat kain diikat oleh logam aluminium pada larutan tawas sehingga lepas dari serat kain. Warna yang terikat pada serat kain menjadi berkurang sehingga warna kain cenderung lebih muda. Bahan fiksasi kapur menghasilkan kain pada kisaran warna merah baik pada kain katun maupun kain sutera. Larutan kapur yang digunakan memiliki nilai pH 12 (basa). Perubahan warna kain menjadi lebih tua pada penggunaan fiksasi kapur dibandingkan tanpa fiksasi diduga disebabkan oleh perubahan struktur senyawa penyebab warna (katekin). Menurut Friedman dan Jurgens (2000), salah satu cincin benzen pada katekin memiliki gugus hidroksil pada posisi orto yang dapat membentuk struktur kuinon. Keberadaan struktur kuinon menimbulkan warna yang lebih tua. Di lain pihak, bahan fiksasi ferrosulfat menghasilkan warna paling gelap, yaitu kisaran warna merah sampai merah ungu (red purple) pada kain katun sedangkan pada kain katun sutera menghasilkan warna pada kisaran merah ungu pada semua jenis pewarna yang digunakan (Gambar 32). Warna-warna
tersebut dihasilkan dengan tingkat ketuaan yang berbeda pada semua jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan. Kain yang telah diberi pewarna selanjutnya diberi perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Tujuannya untuk mempelajari pengaruh perubahan warna kain yang mungkin terjadi pada kedua perlakuan tersebut. Perubahan warna yang terjadi pada kain dinyatakan dengan ΔE. Nilai ΔE yang semakin tinggi menunjukkan perubahan warna yang terjadi akibat perlakuan semakin besar. Data kromasitas dan nilai ΔE pada kain katun dan kain sutera setelah dilakukan pencucian dengan deterjen dapat dilihat pada Lampiran 15. Perubahan warna kain yang telah diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang akibat pencucian dengan deterjen dapat dilihat pada Gambar 24. Hasil analisis ragam (Lampiran 10B1 dan 10B3) menunjukkan bahwa jenis pewarna, jenis bahan fiksasi dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai nilai ΔE kain katun dan kain sutera setelah dilakukan pencucian dengan deterjen. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10B2 dan 10B4), jenis pewarna yang memberikan rata-rata perubahan warna paling rendah pada semua jenis bahan fiksasi adalah pewarna bubuk dari perlakuan buah pinang muda dengan pengisi gum arab (A1B2) pada kain katun, sedangkan pada kain sutera dihasilkan oleh pewarna bubuk dari perlakuan buah pinang tua segar dengan pengisi gum arab (A1B2). Fiksasi kapur memberikan rata-rata perubahan warna paling rendah pada semua jenis pewarna yang digunakan baik pada kain katun maupun kain sutera. 10
Nilai ΔE Kain
8 6 4 2 0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Katun Biji pinang muda, tanpa pengisi Biji pinang muda, tanpa pengisi
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Biji pinang muda, pengisi gum arab Biji pinang muda, pengisi gum arab
Gambar 24 Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat pencucian menggunakan deterjen Data kromasitas dan nilai ΔE pada kain katun dan kain sutera setelah dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari dapat dilihat pada Lampiran 11. Penjemuran di bawah matahari menyebabkan perubahan warna kain yang telah diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang (Gambar 25). Hasil analisis ragam (Lampiran 11B1 dan 11B3) menunjukkan bahwa jenis pewarna, jenis bahan fiksasi dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai ΔE
50
Nilai ΔE kain
kain katun dan kain sutera setelah dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 11B2 dan 11B4), jenis pewarna baik pada kain katun maupun kain sutera yang memberikan rata-rata perubahan warna yang paling rendah pada semua jenis bahan fiksasi adalah pewarna dari biji pinang tua dengan pengisi gum arab (A2B2) yang nilainya tidak berbeda nyata dengan pewarna dari perlakuan biji pinang muda dengan pengisi gum arab. 7 6 5 4 3 2 1 0 Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Katun Biji pinang muda, tanpa pengisi Biji pinang muda, tanpa pengisi
Tanpa Fiksasi
Tawas
Kapur
Ferrosulfat
Sutera Biji pinang muda, pengisi gum arab Biji pinang muda, pengisi gum arab
Gambar 25 Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran di bawah sinar matahari Perlakuan fiksasi tawas menghasilkan perubahan warna paling besar pada kain katun yang nilainya tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa penggunaan bahan fiksasi dan perlakuan tanpa penggunaan bahan fiksasi menyebabkan perubahan warna paling besar yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan fiksasi tawas. Perlakuan penggunaan bahan fiksasi ferrosulfat menghasilkan perubahan warna paling rendah baik pada kain katun maupun kain sutera setelah diberi perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari. Penggunaan bahan fiksasi ferrosulfat (FeSO4) menyebabkan terjadinya reaksi pembentukan kompleks logam antara ion besi dengan zat warna pada kain yang mengandung tanin. Menurut Christie (2007), pembentukan kompleks logam (transisi) dengan ligan (zat warna) menghasilkan ketahanan luntur terhadap cahaya yang lebih baik dibandingkan ligan bebas. Koordinasi dengan ion logam transisi menurunkan densitas elektron pada kromofor sehingga meningkatkan ketahanannya terhadap oksidasi fotokimia. Selain itu, mencegah terjadinya degradasi kromofor dan menghentikan terjadinya eksitasi elektron pada proses dekomposisi fotokimia. Aplikasi pada Pewarnaan SabunTransparan Sabun dihasilkan dari reaksi antara alkali (natrium hidroksida atau kalium hidroksida) dengan lemak, melalui proses hidrolisis atau saponifikasi (penyabunan), yang menghasilkan gliserol sebagai hasil samping (Edoga 2009). Natrium hidroksida digunakan untuk membuat sabun padat atau sabun batang sedangkan kalium hidroksida digunakan untuk membuat sabun cair (Oluwatoyin, 2011).
Sabun transparan pada penelitian ini dibuat dengan mereaksikan natrium hidroksida dengan dua jenis minyak sebagai sumber lemaknya, yaitu minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5). Minyak kelapa merupakan jenis minyak yang paling banyak digunakan pada industri yang melibatkan proses saponifikasi (penyabunan). Hal tersebut disebabkan oleh minyak kelapa yang mengandung asam laurat (C12H24O2) sebagai asam lemak dominannya (Tenda et al. 2009). Minyak kelapa mengandung 48 % asam laurat yang memiliki sifat mudah menghasilkan busa dan memilki kemampuan membersihkan yang baik sehingga banyak digunakan pada produk-produk toiletries (Gunstone 2004; Gervajio 2005). Jenis minyak kedua yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit dengan perbandingan 15:5 b/b. Perbandingan komposisi kedua minyak tersebut mengacu pada hasil terbaik penelitian Karo (2011). Minyak kelapa sawit tersedia di pasaran dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan minyak kelapa. Harga minyak kelapa sawit hampir setengah dari harga minyak kelapa. Oleh karena itu, minyak kelapa sawit digunakan sebagai alternatif minyak yang disubstitusi pada pembuatan sabun transparan. Sabun dasar transparan yang dihasilkan dari minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 26. Karakteristik sabun dasar transparan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 16.
Gambar 26 Sabun dasar tranparan yang terbuat dari minyak kelapa (kiri) dan minyak kelapa sawit (kanan) Karakteristik sabun transparan dasar yang dihasilkan dari bahan baku minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) tidak berbeda pada nilai kadar air, pH dan kekerasannya. Perbedaan terlihat pada stabilitas busa dan warna. Sabun dari minyak kelapa memiliki stabilitas busa lebih rendah dibandingkan dengan sabun dari campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Tingkat kecerahan sabun yang menggunakan campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) lebih rendah dibandingkan dengan sabun yang menggunakan minyak kelapa. Berdasarkan nilai oHue, keduanya berada pada kisaran warna yellow red namun secara visual keduanya terlihat sedikit berbeda dimana sabun yang menggunakan campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) agak kuning dibandingkan dengan sabun yang menggunakan minyak kelapa. Hal ini disebabkan oleh minyak kelapa sawit yang memiliki warna dasar kuning keemasan disebabkan oleh adanya pigmen karoten. Menurut Jatmika dan Guritno (1997), minyak goreng kelapa sawit masih mengandung karoten sebesar 17 ppm.
52 Tabel 16 Karakteristik sabun dasar transparan dengan bahan dasar minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5 b/b)
Karakteristik Kadar air (%) pH Stabilitas busa (%) Kekerasan (mm/s) Nilai kromasitas: L a b Derajat Whiteness Warna (visual) Kesan kesat Kesan panas atau gatal
Sabun Dasar Transparan* Minyak kelapa dan Minyak minyak kelapa sawit Kelapa (15:5 b/b) 29,91a 29,87a 8,91a 9,04a 82,30a 92,84b 0,67a 0,66a 50,74a 1,87a 7,25a 50,17a Putih bening Baik Tidak ada
48,66b 1,93a 5,84b 48,41b Putih bening agak kuning Baik Tidak ada
* Angka (pada baris yang sama) yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %
Pemberian pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada sabun, pada tahap awal dicobakan dalam dua bentuk sediaan, yaitu bentuk bubuk tanpa proses pelarutan dan bentuk larutan (bubuk dilarutkan dalam alkohol 70% ). Hasil yang diperoleh adalah sediaan pewarna dalam bentuk bubuk tidak dapat larut dengan sempurna di dalam sabun sehingga bubuk pewarna yang tidak larut mengendap pada bagian dasar sabun setelah sabun mengeras. Di lain pihak, sediaan pewarna dalam bentuk larutan dapat larut dan menyebar sempurna dalam sabun. Oleh karena itu, pemberian perlakuan pada tahap selanjutnya, sediaan pewarna digunakan dalam bentuk larutan. Perbandingan sabun yang diberi pewarna ekstrak biji pinang dalam bentuk sediaan bubuk dan larutan dapat dilihat pada Gambar 27.
Keterangan: (a) Sabun transparan tanpa pewarna, (b) Sabun transparan menggunakan pewarna dalam bentuk larutan (c) Sabun transparan menggunakan pewarna dalam bentuk larutan
Gambar 27 Perbandingan warna sabun transparan (minyak kelapa) yang diberi perlakuan pewarna ekstrak biji pinang dalam bentuk sediaan yang berbeda
Pada penelitian selanjutnya, jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan pada aplikasi pewarnaan sabun transparan adalah bubuk ekstrak biji pinang dari perlakuan biji pinang muda baik tanpa pengisi maupun dengan pengisi gum arab 2%. Kedua jenis pewarna tersebut diaplikasikan pada sabun transparan baik yang menggunakan bahan baku minyak kelapa maupun campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b). Karakteristik sabun transparan yang dihasilkan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol, yaitu sabun dasar transparan tanpa penggunaan pewarna ekstrak biji pinang. Warna Sabun Transparan Sabun transparan seluruh perlakuan menghasilkan warna pada kisaran yellow red berdasarkan nilai ohue yang diperoleh. Penampakan visual sabun transparan yang telah diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 12), perlakuan jenis minyak, perlakuan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang sebagai pewarna serta interaksi antar perlakuan berpengaruh nyata terhadap semua parameter warna (nilai L, nilai a dan nilai b) sabun transparan yang dihasilkan kecuali interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai b sabun transparan.
Keterangan: M (Jenis minyak) M1 = Minyak kelapa M2 = Campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) P (Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang) P1 = biji pinang muda bentuk bubuk tanpa pengisi P2 = biji pinang muda bentuk bubuk dengan pengisi gum arab 2% b/b
Gambar 28 Penampakan visual sabun transparan yang telah diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang Hasil uji kontras ortogonal (Lampiran 12B dan 12C) menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan terhadap derajat merah (nilai a) dan derajat kuning (nilai b) akibat penggunaan bubuk ekstrak biji pinang pada sabun transparan yang dihasilkan apabila dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa bubuk ekstrak biji pinang dapat menghasilkan warna pada sabun transparan. Senyawa polifenol pada bubuk ekstrak biji pinang teroksidasi
54 dalam larutan sabun yang bersifat basa. Senyawa polifenol khususnya katekin menghasilkan warna yang lebih tua pada kondisi basa akibat terjadinya oksidasi pada cincin yang mengandung hidroksil posisi orto menghasilkan bentuk kuinon (Ramos-Tejada, 2002). Sabun bersifat basa karena pada proses pembuatannya asam lemah dari asam lemak yang direaksikan dengan NaOH yang merupakan senyawa basa (Mak-Mensah dan Firempong, 2011). Bubuk ekstrak biji pinang yang menggunakan bahan pengisi gum arab menghasilkan sabun transparan dengan warna yang lebih muda ditunjukkan oleh nilai a dan nilai b yang lebih rendah dibandingkan sabun transparan yang menggunakan bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi karena bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab memiliki kadar total fenol pada lebih rendah dibandingkan dengan bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi. Oleh karena komponen polifenol tersebut yang berperan dalam menghasilkan warna sehingga semakin rendah kadar total fenol pada sabun maka warna sabun yang dihasilkan lebih muda. Hasil penilaian warna sabun transparan berdasarkan nilai L, nilai a, nilai b dan nilai ohue dapat dilihat pada Gambar 29. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
75.52
50.74
7.25 1.87
Kontrol
49.89
46.89
13.06 5.41
9.48 3.57
Bubuk ekstrak Bubuk ekstrak biji pinang tanpa biji pinang pengisi dengan pengisi gum arab Minyak kelapa Nilai L*
71.38
69.34
67.51
48.66
47.54
5.84 1.93
Kontrol
70.55
67.60
12.04 4.96
46.93
8.82 3.13
Bubuk ekstrak Bubuk ekstrak biji pinang tanpa biji pinang pengisi dengan pengisi gum arab
Minyak kelapa: Minyak sawit (15:5 b/b) Nilai a*
Nilai b*
Nilai oHue
Gambar 29 Nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai ohue sabun transparan pada perlakuan jenis minyak dan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang yang berbeda
Pengaruh Jenis Minyak terhadap Karakteristik Sabun Transparan Karakteristrik sabun transparan yang diamati adalah kadar air, stabilitas busa, kekerasan dan nilai pH. Karakteristik sabun transparan yang telah diwarnai dapat dilihat pada Tabel 17. Jenis minyak yang digunakan pada pembuatan sabun transparan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis minyak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap stabilitas busa dan kekerasan sabun transparan, akan tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar air dan nilai pH sabun transparan yang dihasilkan. Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit mengandung jenis dan komposisi asam lemak yang berbeda. Perbedaan
tersebut menghasilkan sabun dengan karakteristik yang berbeda pula. Menurut Oghome et al. (2012), jenis lemak atau minyak sangat penting diperhatikan pada pembuatan sabun karena komposisi asam lemak pada lemak atau minyak menentukan sifat sabun yang dihasilkan. Panjang rantai (jumlah karbon) dan jumlah ikatan rangkap menentukan sifat atau karakteristik dari asam lemak. Tabel 17 Karakteristik sabun transparan akibat perlakuan jenis minyak dan pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang berbeda Jenis minyak Minyak kelapa
Campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5 b/b)
Pewarna bubuk ekstrak biji pinang
Kadar air (% bb)
Stabilitas busa (%)
Kekerasan (mm/dtk)
pH
Kontrol Bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi Bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab Kontrol Bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi Bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab
29,91±0,43
82,29±1,47
0,67±0,00
8,91±0,16
29,22±1,28
76,25±5,30
0,58±0,02
8,97±0,04
29,47±0,77
87,04±3,43
0,55±0,03
9,03±0,04
29,87±0,28
92,83±1,65
0,66±0,01
9,04±0,01
30,05±1,69
88,56±0,46
0,74±0,05
9,06±0,04
29,98±1,48
92,50±3,54
0,67±0,03
9,11±0,08
Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa sabun transparan yang menggunakan bahan baku campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) menghasilkan stabilitas busa yang lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan minyak kelapa. Perbedaan kandungan jenis asam lemak yang digunakan mempengaruhi karakteristik busa yang dihasilkan oleh sabun. Asam laurat dan asam miristat yang banyak terkandung pada minyak kelapa dapat menghasilkan busa yang lembut sedangkan asam stearat dan asam palmitat yang banyak terdapat pada minyak kelapa sawit dapat menghasilkan busa yang stabil (Cavitch, 2001). Tingkat kekerasan sabun diukur menggunakan penetrometer. Kekerasan dihitung berdasarkan kedalaman jarum penetrometer menembus sabun dalam waktu tertentu. Semakin tinggi kedalaman jarum menembus sabun maka sabun semakin lunak. Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa lebih keras daripada sabun yang menggunakan campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemak mempengaruhi. Menurut Oghome et al. (2012), asam lemak jenuh menghasilkan sabun yang keras sedangkan asam lemak tidak jenuh menghasilkan sabun yang lunak. Asam lemak jenuh (saturated fatty acid) adalah asam lemak yang tidak mengandung ikatan rangkap dan memiliki titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (saturated fatty acid) yang mengandung ikatan rangkap. Minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh sebesar 80% (Silalahi dan Nurbaya, 2011) sehingga menghasilkan sabun yang lebih keras
56 dibandingkan dengan minyak kelapa yang dicampur dengan minyak kelapa sawit yang mengandung asam lemak jenuh sebesar 51% (Edwar et al., 2011). Pengaruh Jenis Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang terhadap Karakteristik Sabun Transparan Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan pada pembuatan sabun transparan dalam penelitian ini adalah bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi dan bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada pembuatan sabun transparan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar air, kekerasan dan nilai pH sabun transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum penggunaan bubuk ekstrak biji pinang sebagai pewarna tidak berpengaruh pada karakteristik sabun transparan yang dihasilkan. Perlakuan jenis bubuk ekstrak biji pinang hanya berpengaruh (p<0,05) terhadap stabilitas busa sabun transparan. Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa penggunaan bubuk ekstrak biji pinang sebagai pewarna pada sabun transparan menghasilkan rata-rata stabilitas busa yang tidak berbeda nyata dengan stabilitas busa sabun kontrol (tanpa penambahan bubuk ekstrak biji pinang) pada kedua jenis bahan baku minyak yang digunakan. Jenis bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) akan tetapi berpengaruh nyata pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa. Keberadaan bahan pengisi gum arab pada bubuk ekstrak biji pinang meningkatkan stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa. Stabilitas busa sabun transparan yang menggunakan campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) pada perlakuan kontrol tidak berbeda nyata dengan sabun dengan perlakuan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang, begitu pula antara perlakuan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi dengan perlakuan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab. Dengan demikian, adanya gum arab dapat menstabilkan busa pada sabun transparan berbahan baku minyak kelapa yang stabilitasnya lebih rendah. Menurut Dror et al. (2006), fraksi penyusun gum arab mengandung kompleks arabinogalaktan-protein yang berperan dalam sifat pengemulsi dan penstabil dan menurut Abdalla et al. (2010), gum arab biasa digunakan sebagai penstabil busa pada produk minuman (beverages). Perubahan Intensitas Warna Sabun Transparan Setelah Penyimpanan Perubahan intensitas warna yang terjadi pada sabun transparan dinyatakan dengan nilai ΔE. Nilai ΔE yang semakin tinggi menunjukkan perubahan warna semakin besar. Tabel 18 menunjukkan bahwa sabun transparan yang diberi pewarna bubuk ekstrak biji pinang mengalami perubahan warna setelah disimpan selama enam bulan. Perubahan warna sabun transparan yang menggunakan bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab lebih rendah dibandingkan sabun transparan yang menggunakan bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan
pengisi selama penyimpanan baik pada sabun transparan menggunakan bahan baku minyak kelapa maupun campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit (15:5 b/b). Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan gum arab pada bubuk pewarna ekstrak biji pinang dapat menurunkan perubahan warna pada sabun transparan selama penyimpanan. Tabel 18 Perubahan warna sabun transparan setelah penyimpanan enam bulan Jenis minyak
Minyak kelapa
Campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5 b/b)
Pewarna bubuk ekstrak biji pinang Kontrol Bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi Bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab Kontrol Bubuk ekstrak biji pinang tanpa bahan pengisi Bubuk ekstrak biji pinang dengan bahan pengisi gum arab
∆E 3,32 9,75 7,50 4,05 8,05 4,21
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Biji pinang muda menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kadar air dan kadar total fenol yang lebih tinggi akan tetapi menghasilkan rata-rata nilai pH yang tidak berbeda nyata dan rata-rata densitas kamba dan kelarutan dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan biji pinang tua. Penggunaan pengisi gum arab menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kadar air yang tidak berbeda nyata akan tetapi menghasilkan rata-rata densitas kamba, nilai pH dan kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa penggunaan pengisi. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh pada penelitian ini memiliki rendemen 5,59% - 13,90%, kadar air 5,19% - 7,41%, densitas kamba 0,3720 g/ml – 0,5586 g/ml, kelarutan dalam air 94,10% – 99,25%, pH larutan bubuk 4,98 – 5,31, kadar total fenol 30,50% – 67,07% dan nilai oHue 39,67 – 62,06 pada kisaran warna merah dan merah kuning. Hasil spektrum FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi seperti OH, CH, CO serta struktur aromatik pada bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis toksisitas menggunakan BSLT menunjukkan bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang memiliki nilai LC50 yang bervariasi, yaitu 279,53 ppm – 10935,25 ppm. Bubuk ekstrak biji pinang dapat digunakan untuk mewarnai kain katun dan kain sutera menghasilkan warna yang bervariasi dengan penggunaan bahan fiksasi yang berbeda. Bahan fiksasi tawas cenderung menghasilkan warna kain mendekati sama dan lebih muda daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah dan merah kuning. Bahan fiksasi kapur cenderung menghasilkan warna kain lebih tua (kisaran warna merah) daripada warna kain tanpa fiksasi. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan warna kain paling tua (kisaran warna merah dan merah ungu). Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap perubahan warna kain katun dan kain sutera akibat pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Bahan fiksasi kapur menghasilkan perubahan warna paling rendah pada perlakuan pencucian dengan deterjen baik pada kain katun maupun kain sutera. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan perubahan warna paling rendah baik pada kain katun maupun pada kain sutera pada perlakuan penjemuran di bawah matahari. Jenis minyak berpengaruh terhadap stabilitas busa dan kekerasan sabun transparan pada semua jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan dimana campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) menghasilkan sabun transparan dengan stabilitas busa yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan menggunakan minyak kelapa akan tetapi tidak berbeda nyata pada kadar air dan nilai pH. Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kekerasan dan nilai pH sabun transparan akan tetapi berpengaruh terhadap stabilitas busa sabun transparan. Keberadaan bahan pengisi gum arab pada bubuk ekstrak biji pinang meningkatkan stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa. Semua kombinasi perlakuan jenis
60 minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan sabun transparan pada kisaran warna yellow red.Penggunaan gum arab pada bubuk pewarna ekstrak biji pinang dapat menurunkan perubahan warna pada sabun transparan selama penyimpanan enam bulan. Saran Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang dihasilkan merupakan jenis pewarna yang larut air karena hanya menggunakan pelarut air untuk proses ekstraksinya. Oleh karena itu, perlu kajian mengenai pengaruh jenis pelarut untuk menghasilkan pewarna dengan karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan untuk aplikasi tertentu pula. Selain itu, kajian mengenai stabilitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang terhadap pengaruh faktor lingkungan seperti pH, suhu, kelembaban, zat reduktor dan oksidator dan stabilitasnya selama penyimpanan perlu dilakukan. Kandungan polifenol yang cukup tinggi pada ekstrak biji pinang menjadi potensi yang besar untuk aplikasi yang lebih luas seperti pangan, kesehatan, kosmetik, percetakan dan lain sebagainya sehingga kajian mengenai sifat fungsional ekstrak bubuk biji pinang perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla AA, Yagoup NEH, Mudawi HA. 2010. Production and quality evaluation of baobab (Adansonia digitata) beverages. J Appl Sci Res. 6(6): 729-741. Abrahart EN. 1977. Dyes and Their Intermediates. New York: Chemical Publishing. Agriawati DP. 2003. Penggunaan Gambir sebagai Pewarna pada Pencelupan Kain Kapas. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [AIST] National Institute of Advanced Industrial Science and Technology. 2012. Spectral Database for Organic Compounds. SDBS No. 10688. (+)- Catechin. Japan: AIST. http://riodb01.ibase.aist.go.jp/sdbs/ [07 Januari 2013] Ali BH, Ziada A, Blunden G. 2009. Biological Effect of gum arabic: A review of some recent research. Food Chem Toxicol. 47: 1-8. Allen RLM. 1971 . Colour chemistry. London: Thomas Nelson and Sons Ltd. Aluwatoyin SM. 2011. Quality of soaps using different oil blends. J Microbiol Biotech Res. 1(1):29-34. Amudhan MS. 2010. Changes in polyphenol and arecoline contents in Areca catechu genotypes during maturity. Indian J. Plant Physiol. 15(3):242-245 Amudhan MS, Begum VH, Hebbar KB. 2012. A review on phytochemical and pharmacological potential of Areca catechu L. Int J Pharm Sci Res. 3(11); 4151-4157. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Method of Analysis of Association Official Analytical Chemists. Washington: AOAC International. Awang MN. 1987. Quantitative analysis of Areca catechu (betel) nut flavanols (tannins) in relation to oral submucous fibrosis. Dent. J. Malaysia. 9:29–32. Barlina, R. 2007. Peluang pemanfaatan buah pinang untuk pangan. Bul Palma. 33: 96–105 Bechtold T, R. Mussak. 2009. Handbook of Natural Colorants. United Kingdom: J Wiley. BeMiller JN, Whistler RL. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker. hlm 157-223. Bogoriani NW, Putra BAA. 2009. Perbandingan massa optimum campuran pewarna alami pada kayu jenis akasia (Acacia leucopholea). J Kimia. 3 (1):2126. Bogoriani NW. 2010. Ekstraksi zat warna alami campuran biji pinang, daun sirih, gambir dan pengaruh penambahan KMnO4 terhadap pewarnaan kayu jenis albasia. J Kimia. 4 (2): 125 – 134. Britton G. 1983. The Biochemistry of Natural Pigments. UK: Cambridge Univ Pr. Brotonegoro S, Wessel M, Brink M. 2000. Areca catechu L. Di dalam: van der Vossen HAM. and Wessel M. Editors. PROSEA (Plant Resources of SouthEast Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. http://www.proseanet.org. [09 April 2011]. Cavitch SM. 2001. Choosing Yours Oil, Oil Propeties of Fatty Acid. http://users.siloverlink.net/~timer/soapdesign.html (4 Februari 2011).
62 Christie RM. 2007. Colour Chemistry. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Coates J. 2000. Interpretation of infrared spectra, a practical approach. Di dalam: Encyclopedia of Analytical Chemistry. Meyer RA, editor. Chichester: J Wiley. Cognis. 2003. Clear Bar Soap Formulation No: GWH 96/25. Care Chemical Division PT. Cognis Indonesia, Jakarta Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinl Microbiol Rev. 12(4): 564-582. Dai J, Mumper RJ. 2010. Plant phenolics: extraction, analysis and their antioxidant and anticancer properties. Molecules. 15:7313-7352. [Depkes RI] Departement Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta: Depkes RI. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Tata Niaga dan Standar Mutu Pinang Sirih di Indonesia. Jakarta: Ditjenbun. http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanreyar/index.php?option=com_contentdanvi ew=article&id=34:tata-niaga-dan-standar-mutu-pinang-sirih-di-indonesia [11 April 2011]. Djufri R, Kasoenarno A, Salihima A, Lubis A. 1973. Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan. Bandung: Institut Teknologi Tekstil. Dror Y, Cohen Y, Yerushalmi-Rozen R. 2006. Structure of gum arabic in aqueous solution. J Polymer Sci. 44: 3265-3271. Edoga. 2009. Comparison of various fatty acid sources for makin soft soap (part 1): qualitative analysis. J Eng Appl Sci. 4(2): 110-113. Edwar Z, Suyuthie H, Yerizel E, Sulastri D. 2011. Pengaruh pemanasan terhadap kejenuhan asam lemak minyak goreng sawit dan minyak goreng jagung. J Indon Med Assoc. 61: 248-252. Elbe JH von, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker. hlm 651-722. Friedman M, Jurgens HS. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic compounds. J Agric Food Chem. 48: 2101-2110. Gaffney SH, Martin R, Lilley T, Haslam E, Magnolato D. 1986. The association of polyphenols with caffeine and alpha- and beta-cyclodextrin in aqueous media. J Chem Soc Comm. 107–109. Gervajio GC. 2005. Fatty acids and derivatives from coconut oil. Di dalam: Shahidi F, editor. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products Vol. 6. Ed. ke-6. New Jersey: J Wiley. Gharsallaoui A, Roudaut G, Ghambin O, Volley A, Saurel R. 2007. Application of spray drying in microencapsulation of food ingredients: An overview. Food Res Int. 40: 1107-1121. Ghisalberti EL. 2008. Detection and isolation of bioactive natural products. Di dalam: Colegate SM, Molyneux RJ, editor. Bioactive Natural Products: Detection, Isolation, and Structural Determination. Ed ke-2. Boca Raton: CRC Pr Taylor & Francis Group. Glicksman M,Schachdat RE. 1959. Gum arabic. Di dalam: Whistler RL dan Be Miller JN, editor. Industial Gum: Polysaccarides and their Derivates. New York: Academic Pr. Glicksman E.1969. Gum Technology in Food Industry. New York: Academic Pr.
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Ed. ke-2. Sjamsudin E dan Baharsjah JS, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Goula AM, Adamopaulos KG. 2005. Spray drying of tomato pulp in dehumidified air: II. The effect on powder properties. J Food Eng. 66: 35 – 42. Goula AM, Adamopoulos KG. 2010. A new technique for spray drying orange juice concentrate. Innovative Food Sci Emergig Technol. 11:342-351. Gumbira-Said E, Syamsu K, Mardliyati E, Herryandie A, Evalia NA., Rahayu DL, Puspitarini AAAR, Ahyarudin A, Hadiwijoyo A. 2009. Agroindustri dan Bisnis Gambir Indonesia. Bogor: IPB Pr. Gunstone FD. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and Uses. Boca Raton USA: CRC Pr. Harbone JB. 2006 . Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Padmawinata K dan Soediro I, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hambali E, Bunasor TK, Suryani A dan Kusumah A. 2005. Aplikasi dietanolamida dari asam laurat minyak inti sawit pada pembuatan sabun transparan. J Tek Ind Pert. 15(2): 46-53. Hardjanti S. 2008. Potensi daun katuk sebagai sumber zat pewarna alami dan stabilitasnya selama pengeringan bubuk dengan menggunakan binder maltodekstrin. J Penelitian Saintek 13(1): 1-18. Haslam E. 1998. Practical polyphenols, from structure to molecular recognition and physiological action. Cambridge: Cambridge Univ Pr. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan Sara Wana Jaya. Holinesti R. 2007. Studi pemanfaatan pigmen brazilein kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai pewarna alami serta stabilitasnya pada model pangan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hunger K, editor. 2003. Industrial Dyes: Chemistry, Properties, Applications. Germany: Willey-VCH. Hutching JB. 1999. Food Color and Appearace. Ed. ke-2. Maryland: Aspen Publ. Inc. IARC. 2004. IARC Monographs on the evaluation of carcinogenic risk to humans Vol. 85: Betel-quid and Areca-nut Chewing and Some Areca-nut-derived Nitrosamines. Lyon: IARC Pr. IARC. 2010. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans Vol. 99: Some aromatic amines, organic dyes, and related exposures. Lyon: IARC Pr. Iqbal, M. 2008. Textile Dyes. Pakistan: Rehbar Publishers Karachi.. Islam AM, Phillips GO, Sljivo MJ, William PA. 1997. A review of recent development on the regulatory, structural and functional aspects of gum Arabic. Food Hydrocoll. 11: 493-505. Jatmika A, Guritno P. 1997. Sifat fisiokimiawi minyak goreng sawit merah dan minyak goreng sawit biasa. J Penelitian Kelapa Sawit 5(2) : 127-138. Jayalakshmi A, Mathew AG. 1982. Chemical composition and processing. In: Bavappa KVA, Nair MK dan Kumar TP, editor. The Arecanut Palm, Kerala: Central Plantation Crops Research Institute. hlm 225–244.
64 Karo AY. 2011. Pengaruh penggunaan kombinasi jenis minyak terhadap mutu sabun transparan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karphrom A, Suknaisilp S, Pradepasaena P dan Tantratian S. 2009. Antimicrobial activities betel nut (Areca catechu Linn) seed extracts. Proceedings of International Conference on the Role of Universities in Hands-On Education Rajamangala University of Technology Lanna. Chiang-Mai, Thailand, 23-28 Agusturs 2009. [Kementan] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. (Diakses dari http://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp). Ketaren S. 2008. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI Pr. Kwartiningsih E, Setyawardhani DA, Wiyatno A, Triyono A. 2009. Zat pewarna alami tekstil dari kulit buah manggis. Ekuilibrium. 8(1): 41-47. Lee KK, Choi JD. 1999. The effects of Areca catechu L extract on antiinflammation and anti-melanogenesis. Int J Cosmetic Sci. 21:275–284. Lemmens RHMJ dan Soetjipto NW. 1992. Dye and tannin-producing plants. Plant Resources of South-East Asia No. 3. Bogor: Proses Foundation Li C, Lin E. 2010. Antiradical capacity and reducing power of different extraction method of Areca catechu seed. African J Biotechnol 9(46): 7831-7836. Ma Y, Hsu F, Lan SJ dan Chen C. 1996. Tannins from betel nuts. J of the Chinese Chem Soc. 43:77-81. Macheix JJ, Fleuriet A, Billot J. 1990. Fruit Phenolics. Boca Raton USA: CRC Pr. Mak-Mensah EE, Firempong CK. 2011. Chemical characteristics of toilet soap prepared from neem (Azadirachta indica A. Juss) seed oil. Asian J Plant Sci Res. 1(4): 1-7. Master K. 1979. Spray Drying Handbook. New York: J Willey. Meiyanto E, Susidarti RA, Handayani S, Rahmi F. 2008. Ekstrak etanolik biji buah pinang (Areca catechu L.) mampu menghambat proliferasi dan memacu apoptosis sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia 19(1): 12-19. Moerdoko W. 1975. Evaluasi Tekstil Bagian Kimia. Bandung: Institut Teknologi Tekstil. Moiz A, Ahmed MA, Kausan N, Ahmed K, Sohail M. 2010. Study the effect of metal ion on wool fabric dyeing with tea as natural dye. J Saudi Chem Soc. 14:69-76. Mujumdar AS, Devahastin S. 2001. Prinsip dasar pengeringan. Di dalam: Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial. Tambunan AH,Wulandari D, Hartulistiyoso E, Nelwan LO, penerjemah; Devahastin S, editor. Bogor: IPB Pr. Terjemahan dari: Mujumdar’s Practical Guide to Industrial Drying. Mussak RAM, Bechtold T. 2009. Natural colorants in textile dyeing. Di dalam: Handbook of Natural Colorants. Betchold T dan Mussak RAM, editor. United Kingdom: J Wiley. Nonaka GI, Hsu FL, Nishioka I. 1981. Structures of dimeric, trimeric and tetrameric procyanidins from Areca catechu. J Chem Soc Chem Comm. 61: 781-783.
Nonaka G.1989. Isolation and structure elucidation of tannins. Pure & Appl. Chem. 61(3): 357-360. Oghome P, Eke MU, Kamalu CIO. 2012. Characterization of fatty acid used in soap manufacturing in Nigeria: laundry, toilet, medicated and antiseptic soap. Int J Modern Engin Res 2(4): 2930-2934. Piyali G, Bhirud RG, Kumar VV. 1999. Detergency and foam studies on linear alkil benzen sulfonat and secondary alkil sulfonat. J Surfactant Detergent 2(4):489-493 Porter LJ. 1992. Structure and chemical properties of the condensed tannins. Di dalam: Hemingway RW and Laks PE, editor. Plant Polyphenols. New York: Plenum Pr. Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidants not exploited commercially. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food antioxidants. London: Elsevier Applied Science. Purba SAA. 2003. Pembuatan bubuk pewarna makanan alami kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) dengan metode spray drying. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Raghavan V, Baruah HK. 1958. Arecanut: India’s popular masticatory — history, chemistry and utilization. Econom. Bot 12:315–325. Ramos-Tejada MM, Dura´n JDG, Ontiveros-Ortega A, Espinosa-Jimenez M, Perea-Carpio R, Chibowski E. 2002. Investigation of alumina/(+)-catechin system properties. Part I: a study of the system by FTIR-UV–Vis spectroscopy. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 24: 297–308. Randall RC, Phillips GO, William PA. 1989. Fractination and characterization of gum from Acacia Senegal. Food Hydrocoll. 3: 65-75. Randhir R, Kwon Y, Shetty K. 2008. Effect of thermal processing on phenolics, antioxidant activity and health-relevant functionality of select grain sprouts and seedlings. J Innov Food Sci Emerg Tech. 9: 355–364 Samanta AK, Agarwal P. 2009. Application of natural dyes on textiles. Indian J of Fibre Textile Res 34: 383 – 399. Sardsaengjun C, Jutiviboonsuk A. 2010. Effect of temperature and duration time on polyphenol extract of Areca catechu Linn.seeds. Thai Pharm Health Sci J5(1): 14-17. Sequin-Frey M. 1981. The chemistry of plant and animal dyes. J of Chem Education 58(4): 301-305. Setiawan AP. 2003. Potensi tumbuh-tumbuhan bagi penciptaan ragam material finishing untuk interior. Dimensi Interior 1(1): 46 – 60. Silalahi J, Nurbaya S. 2011. Komposisi, distribusi dan sifat aterogenik asam lemak dalam minyak kelapa dan kelapa sawit. J Indon Med Assoc 61: 453-457. Silverstein RM, Webster FX, Kiemle DJ. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compound. Ed ke-7. USA: J Wiley. SIR Naturals. 2013. Natural Dyes. Kanpur: SIR Naturals. http://id.scribd.com/document_downloads/direct/88672634?extension=pdf &ft=1360735706<=1360739316&uahk=jRa7CMkzfuycGQ8KgdpfMt60LJo [13 Februari 2013] Siva R. 2007. Status of natural dyes and dye-yielding plants in India. Current Sci 92(7): 916-923.
66 Slabbert N. 1992. Complexation of condensed tannins with metal ions Di dalam: Hemingway RW and Laks PE, editor. Plant Polyphenols. New York: Plenum Pr. hlm 421–436. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1994. Sabun Mandi. Jakarta: SNI No. 06-35321994. Staples GW, Bevacqua RF. 2006. Areca cathechu (Betel Nut Palm). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. www.tradionaltree.org. Spicer A. 1974. Advances in Preconcentration and Dehydration Food. London: Applied Science Publ. Sunaryati S, Hartini S, Eraningsih. 2000. Pengaruh tatacara pencelupan zat warna alam daun sirih pada hasil pencelupan kain sutera. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir. P3TM-BATAN. 25-26 Juli 2000. Yogyakarta Sutara PK. 2009. Jenis Tumbuhan sebagai Pewarna Alam pada Beberapa Perusahan Tenun di Gianyar. J Bumi Lestari (9):2, hlm. 217 – 223 Tenda ET, Tulalo MA, Novarianto H. 2010. Diversity of oil and medium fatty acid content of local coconut cultivars grown on different alititudes. Indon J Agriculture 2(1), 2009: 6-10. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 1999. Profiting From Green Consumerism in Germany: Opportunities for Developing Countries in Three Sectors (Leather and Footwear, Textiles and Clothing, and Furniture. Geneva: United Nations Publ. Verbeken D, Dierckx S, Dewettinck K. 2003. Exudate gums: Occurrence, production and applications. Appl Microbiol Biotechnol 63: 10-21 Wetwitayaklung P, Phaechamud T, Limmatvapirat C, Keokitichai S. 2006. The study of antioxidant capacity in various parts of Areca catechu L. Naresuan Univ J 14 (1): 1-14. Wijaya LA. 2010. Kandungan Antioksidan Ekstrak Tepung Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) pada Berbagai Pelarut, Suhu dan Waktu Ekstraksi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wood FA, Roberts GAF. Natural Fibers and Dyes. 2005. Di dalam: Cultural History of Plant. Prance SG dan Nesbitt M, editor. Routledge: Taylor & Francis Group. Wulansari A, Prasetyo DB, Lejaringtyas M, Hidayat A, Anggarini S. 2012. Aplikasi dan analisis kelayakan pewarna bubuk merah alami berantioksidan dari ekstrak biji buah pinang (Areca catechu) sebagai bahan pengganti pewarna sintetik pada produk pangan. J Industria (1):1: 1-9. Zhang WM, Li B, Han L, Zhang HD. 2009. Antioxidant activities of extracts from areca (Areca catectu L.) flower, husk and seed. EJEAF Che, 8 (9): 740-748