Makalah Seminar Sesi I dan II
REKAYASA KOMPUTER dalam ANALISIS dan DESAIN STRUKTUR BAJA Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010) WIRYANTO DEWOBROTO Universitas Pelita Harapan
Seminar dan Lokakarya Rekayasa Struktur Jumat 4 Juli 2014 , Ruang W 304, Gd. Radius Prawiro,
Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya
prepared by Wiryanto Dewobroto
Judul : Teori dan Latar Belakang Direct Analysis Method (DAM) Sesi I : 09.15 – 10.45 (Ruang W-304 – Gedung Radius Prawiro Lantai 3)
Daftar Isi Makalah : Bagian I
1. 2.
3.
4.
5.
6. 7. 8.
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 ANALISIS RESPON STRUKTUR........................................................................ 2 2.1 Umum ............................................................................................................. 2 2.2 Analisis Elastik-Linier (First Order Elastic Analysis) ................................... 2 2.3 Analisis Tekuk Elastik (Elastic Buckling Analysis)........................................ 3 2.4 Analisis Elastis Orde ke-2 (Second Order Elastic Analysis) .......................... 4 2.5 Analisis Plastis (First Order Plastic Mechanism Analysis)............................ 6 2.6 Analisis Elastis-Plastis (First Order Elastic-Plastic Analysis)....................... 8 2.7 Analisis Inelastis Orde ke-2 (Second Order Inelastic Analysis).................... 9 2.8 Rangkuman analisis struktur........................................................................... 9 TEORI KOLOM DAN APLIKASINYA.............................................................. 10 3.1 Umum ........................................................................................................... 10 3.2 Sejarah Penelitian Tentang Kolom ............................................................... 10 3.3 Parameter Penentu Kekuatan Kolom ............................................................ 16 3.4 Implementasi Teori pada Perencanaan Kolom (AISC-LRFD).................... 20 PANJANG EFEKTIF KOLOM............................................................................ 22 4.1 Umum ........................................................................................................... 22 4.2 Sistem Rangka Tidak Bergoyang.................................................................. 23 4.3 Sistem Rangka Bergoyang............................................................................ 25 DIRECT ANALYSIS METHOD - AISC (2010) ................................................. 29 5.1 Pendahuluan.................................................................................................. 29 5.2 Perancangan Stabilitas .................................................................................. 29 5.3 Parameter penentu stabilitas struktur baja .................................................... 30 5.4 Persyaratan analisis struktur ......................................................................... 30 5.5 Pengaruh cacat bawaan (initial imperfection)............................................... 31 5.6 Penyesuaian kekakuan .................................................................................. 32 5.7 Perbandingan kerja ELM dan DAM ............................................................. 33 5.8 Beban notional dan pelemahan inelastis ....................................................... 33 5.9 Kuat nominal penampang ............................................................................. 33 5.10 Ketersediaan program analisa struktur orde-2 .............................................. 33 5.11 Studi kasus perancangan struktur baja - DAM (2010).................................. 36 TABEL PERBANDINGAN : DAM & ELM ....................................................... 40 KESIMPULAN..................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41
Rekayasa Komputer dalam Analisis dan Desain Struktur Baja Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010)1 Bagian I : Latar belakang teori Wiryanto Dewobroto Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan email :
[email protected] ABSTRAK Meskipun draft SNI Baja (Puskim 2011) yang mengacu AISC (2010) belum diresmikan, tetapi minimal dapat diketahui kalau acuan keilmuan struktur baja Indonesia adalah American Code. AISC (2010) sendiri memuat dua cara perencanaan, yaitu [1] Effective Length Method (ELM), cara lama untuk dijadikan alternatif; dan [2] Direct Analysis Method (DAM), cara baru berbasis komputer yang diunggulkan. Makalah ini akan mengupas secara mendalam : mengapa DAM, dan apa keunggulannya dibanding ELM. Agar efektif, tulisan akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu : [1] Latar belakang teori; [2] Contoh aplikasi praktis. Kata kunci: Direct Analysis Method, Effective Length Method, LRFD
1. PENDAHULUAN Perkembangan code atau peraturan perencanaan struktur baja di Indonesia relatif stagnan. Saat ini code yang resmi digunakan adalah SNI 03 - 1729 – 2002, yang mengacu pada AISC code dari Amerika. Padahal sejak 2002 sampai sekarang, AISC code sendiri telah diperbaharui, yaitu versi 2005 dan 2010. Untuk antisipasi, team Puslitbang Pemukiman di Bandung telah membuat draft SNI baja (Puskim 2011), yang disusun sepenuhnya berdasarkan AISC code versi 2010, terbaru. Hanya sayang, meskipun tahun telah berganti, hingga saat ini belum terlihat bahwa draft telah diresmikan penggunaannya. Belum adanya code baja terbaru yang resmi, tidak bisa dijadikan alasan bagi engineer juga untuk ikut stagnan. Adalah kewajiban engineer untuk terus mengembangkan kompetensinya sehingga dapat berkiprah menghasilkan karya rekayasa yang kreatif, inovatif, dapat dipertanggung-jawabkan dan mampu bersaing dengan engineer dari manca negara. Maklum transparasi di era globalisasi ini akan terus mendorong terciptanya pasar terbuka di berbagai bidang, termasuk juga sektor jasa konstruksi. Terkait dengan pengembangan kompetensi engineer, khususnya di bidang rekayasa konstruksi baja, maka adanya draft SNI baja (Puskim 2011) yang disusun oleh team Puslitbang Pemukiman, Bandung, dapat menjadi petunjuk bahwa kedepannya peraturan perencanaan yang akan digunakan di Indonesia adalah LRFD yang mengacu AISC (2010). Jadi kalau sekarang sudah dapat dimulai penguasaan materi tersebut, maka kedepannya tentu akan lebih siap menghadapi tantangan-tantangan yang timbul. Materi pada AISC (2010) jika dipelajari ternyata berubah secara mendasar. Jika code sebelumnya (AISC 2005 dan sebelumnya), strategi perencanaannya didasarkan pada prosedur perhitungan yang dapat diselesaikan manual (kalkulator). Kalaupun pakai komputer, hanya ditujukan untuk otomatisasi atau kecepatan hitungan. Memang, cara perencanaan lama, tetap diakui dan dimuat di Appendix 7 (AISC 2010). Tetapi itu hanya ditujukan untuk cara perencanaan alternatif saja. Untuk membedakan dengan cara baru, AISC (2010) memberinya nama Effective Length Method (ELM). Jadi ELM merujuk pada cara perencanaan struktur baja yang dimuat pada AISC (2005) dan versi-versi sebelumnya. 1
Seminar dan Lokakarya Rekayasa Struktur, Jumat 4 Juli 2014, Ruang W 304, Gd. Radius Prawiro, Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya - 60236
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 1 dari 41
Jika ELM adalah metode alternatif perencanaan struktur baja, maka metode utama yang diunggulkan oleh AISC (2010) adalah Direct Analysis Method (DAM). Suatu cara perencanaan baru pada struktur baja, dimana untuk analisis stabilitasnya mengarah pada cara analisis berbasis komputer. Cara DAM sebenarnya sudah disosialisasikan lama, yaitu sebagai Appendix 7 dari code sebelumnya (AISC 2005). Terkait itu semua, makalah ini disusun untuk menelaah lebih lanjut cara DAM (AISC 2010), mulai latar belakang teori yang menyebabkannya terpilih, dan keunggulannya dibandingkan cara lama. Dalam kenyataannya, untuk kasus-kasus umum, ke dua cara tersebut (DAM atau ELM) memberikan hasil yang tidak berbeda satu dengan lainnya. Hanya pada kasus khusus maka keunggulan cara DAM (cara yang baru) akan terlihat signifikan dibanding cara ELM (cara yang lama).
2. ANALISIS RESPON STRUKTUR 2.1 Umum Istilah Direct Analysis Method (DAM) mulai muncul di Chapter C – Design for Stability (AISC 2010), yang mensyaratkan bahwa stabilitas adalah hal penting pada perencanaan struktur baja, dan harus ditinjau secara keseluruhan, baik sebagai struktur (global), atau sebagai elemen-elemen penyusunnya (lokal). Dalam memperhitungkan stabilitas, perlu dimasukkan juga faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu: [1] Deformasi elemen akibat momen lentur, gaya aksial atau gaya geser, juga bentuk deformasi lain yang dapat mempengaruhi perilaku struktur; [2] Pengaruh orde-2, baik P-Δ (global - struktur) atau P-δ (lokal – elemen); [3] Ketidak-sempurnaan geometri (geometry imperfection); [4] Reduksi penampang akibat kondisi inelastis; dan [5] Ketidak-pastian kekuatan dan kekakuan perencanaan. Jika diperhatikan, faktor-faktor tersebut terkait dengan gaya-gaya internal batang dan deformasi struktur, yang untuk memprediksinya diperlukan analisis struktur. Istilah memprediksi gaya-gaya internal dan deformasi struktur perlu ditekankan, karena memang yang dapat diproses dengan analisis struktur adalah model dan bukan struktur yang sebenarnya. Ketepatan prediksi, persyaratan dan konfigurasi model yang perlu dibuat, tergantung dari jenis analisis struktur yang dipilih. Oleh sebab itu membahas analisis-analisis struktur apa saja yang secara rasional dapat diterima adalah sangat penting dan akan mempengaruhi tinjauan terhadap stabilitas struktur. Untuk itu, akan ditinjau berbagai jenis analisis struktur yang umum digunakan pada perencanaan struktur baja. Analisis struktur lebih difokuskan pada perilaku struktur secara keseluruhan (makro), dimana dianggap bahwa detail penampang dan sistem sambungannya (mikro) telah memenuhi persyaratan sehingga tidak mempengaruhi hasil analisis struktur tersebut secara keseluruhan. 2.2 Analisis Elastik-Linier (First Order Elastic Analysis) Sebagian besar tujuan dari perencanaan struktur adalah dapat memproporsikan elemen-elemen dan sistem sambungan sedemikian rupa sehingga strukturnya tetap dalam kondisi aman dan berfungsi terhadap suatu kondisi pembebanan yang tertentu, baik untuk kondisi sehari-hari (beban tetap) atau kondisi tidak terduga (beban sementara). Jika kondisi pembebanannya adalah pasti dan tertentu maka tentunya tidak diperlukan analisis perilaku struktur dalam kondisi ultimate atau keruntuhannya. Maklum pada kondisi kerja, agar aman dan berfungsi dengan baik, maka tegangan penampang dan deformasinya harus diusahakan relatif kecil, dan umumnya masih dalam kondisi elastik-linier. Jika perilaku struktur dapat diprediksi berdasarkan kondisi elastik-liniernya, maka detail analisisnya dapat dibuat sederhana secara signifikan. Kondisi elastik linier itu sendiri sebenarnya hanya bagian kecil dari perilaku struktur yang dibebani. Kondisi elastis adalah jika pembebanan dihilangkan maka deformasinya juga hilang, kembali pada posisi semula sebelum dibebani. Adapun linier adalah bentuk
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 2 dari 41
hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi selama pembebanan yang berupa garis lurus. Perilaku elastik-linier umumnya terjadi pada kondisi deformasi yang relatif kecil, sehingga dianggap dapat dianalisis berdasarkan konfigurasi struktur awal, sebelum dibebani. Sehingga untuk analisisnya, kondisi geometri dianggap tidak mengalami perubahan. Itulah mengapa prinsip superposisi dapat diterapkan, sehingga deformasi setiap titik akibat beberapa beban, adalah sama dengan jumlah aljabar deformasi dari tiap-tiap beban secara individu, tanpa dipengaruhi urutan pembebanan. Itulah mengapa suatu kasus beban jika dianalisis elastik-linier dapat ditinjau secara sendiri-sendiri. Untuk mendapatkan efek ekstrim dari pembebanan, yaitu memastikan bahwa struktur aman dari setiap kondisi beban rencananya, maka dilakukan kombinasi dari masing-masing kasus beban tersebut untuk mendapatkan kondisi maksimum dan minimum. Dalam tahap ini, dapat dimasukan faktor beban untuk mensimulasi kondisi batas (ultimate ) berdasarkan prinsip probabilitas. Ketepatan dan kebenaran strategi ini tentu hanya bisa dilihat dari kaca mata ilmu statistik yang umumnya dapat dikaitkan dengan data-data empiris yang ada. Analisa struktur elastis-linier relatif sederhana dan mencukupi untuk perancangan struktur dengan pembebanan pasti atau tertentu. Oleh karena cukup sederhana, maka banyak dijadikan topik utama materi perkuliahan analisa struktur di tingkat perguruan tinggi atau yang sejenis. Dasar teori penyelesaian statik program rekayasa struktur, pada prinsipnya adalah matrik kekakuan elastis-linier, dimana persamaan keseimbangan struktur dapat dituliskan sebagai berikut.
[K ]{δ} = {F} ............................................................................................................................................(1) dimana: [K]
adalah matrik kekakuan, atau representasi matematik dari perilaku struktur.
{δ}
adalah vektor perpindahan (translasi atau rotasi).
{F}
adalah vektor gaya luar, dapat berbentuk beban titik nodal bebas atau reaksi tumpuan.
Persamaan (1) menunjukkan bahwa deformasi (δ), berbanding lurus dengan gaya (F), adapun matrik [K] adalah penghubung dari F-δ tersebut. Definisi lain matrik [K] adalah besarnya gaya untuk satu unit deformasi. Jika matrik [K] konstan untuk keseluruhan analisis, itu menunjukkan bahwa jenis analisa struktur yang digunakan adalah elastik linier. 2.3 Analisis Tekuk Elastik (Elastic Buckling Analysis) Analisis tekuk elastik pada dasarnya adalah hasil pengembangan dari analisa elastik-linier. Hanya saja dalam analisis tekuk, pengaruh gaya aksial terhadap kekakuan lentur elemen diperhitungkan. Untuk memahami apa yang dimaksud, ada baiknya dibayangkan instrumen gitar. Tali senar dianalogikan sebagai elemen struktur yang ditinjau. Jika kondisi tali senar yang tidak dikencangkan (tidak ada gaya tarik) maka tali secara fisik terlihat kendor (tidak kaku) bahkan ketika dipetik, tidak ada perlawanan (senar mengikuti arah petikan). Tetapi jika sebaliknya, ketika tali senar telah dikencangkan, maka secara fisikpun kondisinya berbeda. Tali senar akan terlihat sangat kaku, dapat dipetik dan menimbulkan dentingan nada. Besarnya pengencangan (gaya tarik) mempengaruhi frekuensi nada (kekakuan). Semakin kaku maka frekuensi nadanya semakin tinggi, dan sebaliknya. Perilaku elemen struktur, yang seperti tali senar (langsing), tidak dapat ditangkap dengan analisis struktur elastis-linier yang biasa. Analogi tali senar menunjukkan bahwa gaya aksial tarik (positip) akan meningkatkan kekakuan lentur elemen struktur. Demikian juga sebaliknya, gaya aksial tekan (negatif) dapat mengurangi kekakuan. Bahkan untuk elemen dengan kategori langsing, gaya aksial tekan yang besar dapat menghilangkan kekakuan struktur secara keseluruhan, kondisi ini disebut tekuk (buckling).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 3 dari 41
Kondisi kekakuan elemen struktur yang dipengaruhi gaya aksial dapat dituliskan dalam persamaan matrik sebagai berikut :
[Q] = {[K 0 ] + P [K 1 ]}[Δ] .............................................................................................................................(2) Dimana [Q] berisi gaya transversal yang menyebabkan lentur, [Δ] berisi deformasi lentur yang berkesesuaian dan P adalah gaya aksial (tarik = positip). Matrik kekakuan elemen batang terdiri dari dua bagian, [K0] adalah matrik kekakuan standar terhadap lentur atau matrik [K] pada persamaan (1), dan [K1] adalah matrik kekakuan geometri yang memperhitungkan pengaruh gaya aksial P terhadap kekakuan lentur elemennya. Dari formulasi tersebut akhirnya dapat diketahui bahwa kondisi tekuk terjadi bila gaya aksial yang diberikan dapat mengurangi kekakuan lenturnya sampai bernilai nol (kehilangan kekakuan). Dengan menulis ulang persamaan (2) di atas menjadi format berikut
[Δ ] = {[K 0 ]+ P [K 1 ]}−1 [Q ] ........................................................................................................................ (3) Jika P adalah gaya tekan (negatif) kekakuan bisa hilang, yaitu jika deformasi [Δ] bertambah tanpa ada penambahan gaya transversal [Q]. Ini terjadi jika invers matrik menjadi tidak terhingga. Invers matrik diperoleh dari membagi matrik dengan nilai determinan-nya. Jadi invers matrik menjadi tak terhingga hanya jika determinan-nya bernilai nol (zero). Itu berarti beban kritis dapat diperoleh dengan mencari determinan matrik yang bernilai nol. Itulah esensi dari analisis tekuk elastis, yaitu mencari beban kritis pada sistem struktur yang menimbulkan gaya aksial tekan yang menyebabkan tekuk (buckling) pada salah satu atau bahkan keseluruhan elemen. Karena konfigurasi bebannya bisa berbeda-beda, maka umumnya yang dapat dicari dari analisis tekuk elastis adalah faktor pengali dari beban tersebut. Pada analisis tekuk elastis, besarnya deformasi pada struktur sebelum tekuk tidak berpengaruh, atau tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, kondisi geometri struktur dianggap sama seperti pada kondisi elastis linier, dimana deformasi yang terjadi dianggap relatif kecil, sehingga dapat diabaikan. Padahal tekuk adalah permasalahan stabilitas, yang sangat dipengaruhi oleh deformasi. Oleh karena itu analisis tekuk elastis hanya cocok untuk digunakan pada struktur yang langsing dan tidak bergoyang, dimana keruntuhan tekuk yang terjadi sifatnya tiba-tiba dan tidak didahului oleh terjadinya deformasi yang besar. Kondisi ini tentu saja tidak terjadi pada setiap jenis struktur, nilai yang dihasilkan dari analisis ini akan memberikan batas atas dari beban tekan yang dapat diberikan. Kondisi aktual bisa lebih kecil. 2.4 Analisis Elastis Orde ke-2 (Second Order Elastic Analysis) Analisa struktur dengan metode matrik kekakuan, jika suatu keseimbangan struktur dapat dituliskan dalam persamaan (1), maka itu menunjukkan bahwa perilaku struktur yang dievaluasi terbatas pada kondisi elastik-linier. Agar valid, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah deformasi struktur relatif kecil sedemikian sehingga geometri sebelum dan sesudah pembebanan dianggap tidak berubah. Itulah mengapa salah satu syaratnya adalah evaluasi terhadap deformasi maksimum yang terjadi. Jika deformasinya relatif besar sedemikian sehingga konfigurasi geometri berubah, maka hasil analisis menjadi tidak valid. Kasusnya menjadi non-linier geometri, jika demikian cara analisis elastis-linier yang biasa dipakai akan memberikan hasil yang tidak tepat. Untuk mengatasi, penyelesaiannya harus memasukkan pengaruh deformasi struktur. Analisisnya lebih kompleks dibanding analisis elastiklinier, untuk itu umumnya perlu iterasi dan tahapan beban. Oleh sebab itu analisa strukturnya disebut sebagai analisis struktur order ke-2. Istilah lain yang sepadan adalah analisis non-linier geometri. Analisa elastik-linier dapat dihitung langsung, tanpa iterasi atau tahapan beban, sehingga dinamai juga sebagai analisis struktur orde ke-1, atau cukup disingkat sebagai “analisa struktur” saja. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 4 dari 41
Pada kebanyakan kasus, pengaruh deformasi yang diabaikan, tidak menimbulkan masalah. Tapi pada konfigurasi tertentu, khususnya elemen batang dengan gaya aksial yang relatif besar, maka adanya deformasi tersebut dapat menimbulkan momen sekunder yang tidak dapat diabaikan dibandingkan dari momen hasil analisis orde pertamanya. Permasalahan ini dikenal sebagai efek P-delta. Dengan mempelajari penyelesaian pendekatan pada perancangan struktur baja (AISC 2005) dalam memperhitungkan efek P-delta, dapat diketahui ada dua sumber penyebab, yaitu yang terjadi pada : [1] rangka tidak bergoyang; dan [2] rangka bergoyang. Untuk itu akan ditinjau satu-persatu. Rangka tidak bergoyang (braced framed), adalah struktur rangka dimana titik-titik nodal penghubung elemennya tidak mengalami perpindahan (translasi). Ini terjadi jika struktur rangka tersebut ditahan oleh sistem penahan lateral tersendiri (dinding geser atau bracing). Efek P-delta yang seperti ini disebut juga sebagai P-δ, dimana deformasinya (δ) terjadi pada bagian elemen itu sendiri, di antara titik-titik nodal. Adapun titik nodalnya sendiri tetap, tidak mengalami translasi (lihat Gambar 1a).
Gambar 1. Momen yang dipengaruhi Efek P-delta
Rangka bergoyang (framed sideways) adalah rangka dimana titik-titik nodal penghubung mengalami translasi akibat pembebanannya, baik lateral maupun vertikal. Ini akan terjadi jika struktur atau pembebanannya tidak simetri, juga akibat tidak tersedianya sistem penahan lateral yang khusus. Efek P-delta yang terjadi adalah akibat adanya perpindahan pada titik nodal, dalam hal ini disebut sebagai P-Δ (lihat Gambar 1b). Analisis tekuk elastis sudah tidak cocok jika dipakai pada jenis struktur ini. Untuk struktur rangka tidak bergoyang (braced framed), titik nodal penghubung tidak mengalami translasi, sehingga δ hanya akan terjadi pada elemen batang, tanpa mempengaruhi sistem struktur secara keseluruhan. Itulah alasannya, mengapa efek P-δ bersifat lokal dan terjadi jika elemennya langsing atau terlalu lentur. Tekuk yang diakibatkan oleh efek P-δ dapat diprediksi secara baik dengan analisis tekuk elastis, yang relatif lebih sederhana dan tidak memerlukan iterasi. Keuntungan jika digunakan analisis elastik order ke-2 adalah dapat dilacak perilaku struktur sebelum mengalami tekuk. Tentu saja ini hanya cocok untuk struktur langsing dimana kondisi tegangannya masih elastis murni. Pada struktur rangka bergoyang (framed sideways), titik nodal penghubung mengalami perpindahan sebesar Δ dari kondisi asli, karena titik nodal tersebut juga terhubung pada elemen-elemen struktur yang lainnya, maka efek P-Δ juga mempengaruhi sistem struktur secara keseluruhan, sifatnya global. Kemampuan memprediksi efek P-Δ di tingkat struktur menyeluruh (global), tidak per elemen dapat dikerjakan DAM (AISC 2010). Sedangkan cara lama, yaitu ELM (AISC 2010) memperhitungkannya dengan cara pendekatan melalui faktor pembesaran momen B1 dan B2 di Chapter C - AISC (2005).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 5 dari 41
2.5 Analisis Plastis (First Order Plastic Mechanism Analysis) Pada balok baja dengan profil kompak dan tambatan lateral yang cukup, ketika dibebani terus secara bertahap maka bagian penampang yang mengalami momen maksimum, serat terluar akan mencapai tegangan leleh atau yielding (titik a pada Gambar 2). Jika beban terus ditambahkan, besarnya tegangan tidak bertambah, tetapi bagian yang mengalami leleh merambat ke serat bagian dalam. Lama-lama tegangan di keseluruhan penampang akan mencapai leleh atau kondisi plastis (titik e di Gambar 2).
Gambar 2. Hubungan momen dan kurvature pada penampang baja profil WF (Beedle 1958)
Selama terbentuknya penampang plastis, bagian tersebut dapat berperilaku seakan-akan seperti sendi, dapat berotasi pada kondisi momen konstan. Untuk profil WF perlu sekitar 12 фy atau berkali-lipat dari kurvature penampang saat leleh. Untuk itu, penampang plastis disebut juga sendi plastis. Tidak setiap penampang struktur dapat terbentuk menjadi sendi plastis, karena tekuk lokal bisa saja terjadi terlebih dahulu. Untuk balok baja maka sendi plastis hanya terjadi pada penampang kompak dan yang pertambatan lateralnya mencukupi. Ketika sendi plastis terbentuk, pengaruhnya tergantung kondisi struktur. Jika struktur statis tertentu (simple beam), maka terbentuknya sendi plastis akan langsung menyebabkan mechanism, yaitu terjadinya deformasi yang besar tanpa ada penambahan beban. Besarnya beban yang menyebabkan mechanism terbentuk disebut sebagai beban batas atau ultimate, suatu kondisi yang mengindikasikan bahwa pembebanan maksimum telah tercapai dan tidak bisa ditambahkan lagi, karena kalau dipaksa maka akan runtuh. Jika baloknya menerus atau struktur statis tak tentu, dengan cara yang sama maka pada bagian yang mengalami momen maksimum akhirnya juga akan mengalami sendi plastis. Meskipun demikian hal itu tidak serta menyebabkan kondisi mechanism. Karena ketika beban ditambahkan, struktur masih mampu menerima tambahan beban tanpa memperlihatkan terjadinya deformasi yang besar. Adanya penambahan beban akan didistribusikan ke bagian elemen lain yang belum mengalami leleh. Jika beban terus ditambahkan, kondisinya menjadi berulang seperti sebelumnya (Gambar 2) dan akhirnya sendi plastis yang baru akan terbentuk. Setelah cukup banyak sendi plastis yang terbentuk maka pada akhirnya struktur akan mengalami kondisi mechanism juga dan akhirnya runtuh. Perilaku struktur yang dibebani sampai kondisi mechanism dapat dicari dengan analisis plastis. Tujuan utamanya adalah memprediksi besarnya beban maksimum yang menyebabkan keruntuhan struktur dengan mempertimbangkan adanya redistribusi momen akibat terbentuknya sendi plastis. Untuk struktur dengan konfigurasi beban kompleks, beban maksimumnya dapat diperoleh secara tidak langsung berdasarkan besarnya faktor pengali beban dari hasil analisis plastis setelah meninjau berbagai kondisi mechanism yang terjadi, nilai beban terkecil itu yang menentukan. Untuk mempelajari bagaimana analisis plastis, akan ditinjau sistem balok menerus dua bentang tidak simetri. Bentang kiri (1-2-3) : panjang 0.75L, beban P (di tengah), kapasitas Mp ; adapun bentang kanan (3-4-5) : panjang L, beban 2P (di 1/3 bentang) dan kapasitas 1.5Mp (lihat Gambar 3).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 6 dari 41
Langkah pertama adalah memprediksi berbagai kondisi mechanism yang mungkin terjadi. Ini tentu tidak mudah, apalagi bagi pemula. Tetapi dari penjelasan terdahulu dapat diambil manfaat bahwa jika strukturnya memakai penampang yang konstan, maka terjadinya sendi-plastis tentu dimulai dari titik dimana momen maksimum terjadi. Jika penampangnya tidak sama, tentu perlu dibandingkan antara puncak-puncak momen yang terjadi dan kapasitas penampangnya. Puncak-puncak momen biasanya terdapat pada lokasi beban terpusat, tumpuan menerus atau tumpuan jepit.
Gambar 3. Analisis plastis pada balok menerus tidak simetri (Beedle 1958)
Untuk balok menerus atau struktur yang sejenis, kondisi mechanism akan terjadi jika terdapat tiga titik sendi. Untuk struktur jenis lain, bisa saja lebih atau kurang, misalnya kantilever cukup terbentuk satu sendi-plastis saja maka mechanism langsung terjadi. Pada kasus di atas maka ada dua mechanism yang perlu dievaluasi. Mechanism dengan beban terkecil adalah yang menentukan, sebagai berikut : Mechanism 1 : P × 83 θL = M p × 2θ + M p × θ Beban di − 2
Penurunan vertikal di −2
Momen Plastis di −2
Rotasi di −2
Momen Plastis di −3
Rotasi di −3
Mechanism 2 : 2P × 38 θL = M p × θ + 32 M p × 32 θ + 32 M p × 12 θ Beban di − 4
Penurunan vertikal di − 4
Momen Plastis di −3
Rotasi di −3
Momen Rotasi Plastis di −4 di − 4
Momen Rotasi Plastis di − 4 di −5
Ö
PU = 8M p L
Ö
PU = 6M p L
<
>
Mechanism 2 dengan beban terkecil akan menentukan kekuatan balok. Ketika itu terjadi bagian lainnya masih dalam kondisi elastis sebagaimana terlihat pada bending momen diagram pada Gambar 3.c. Note : analisis plastis sangat membantu memahami apa itu “redistribusi momen” dan “daktilitas” pada struktur, karena hal itu di luar kemampuan analisis struktur elastis-linier yang biasa dijumpai.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 7 dari 41
2.6 Analisis Elastis-Plastis (First Order Elastic-Plastic Analysis) Dari namanya saja sudah dapat diduga, bahwa tujuan analisis ini adalah untuk mendapatkan respons struktur yang dibebani secara bertahap mulai dari kondisi elastis sampai plastis atau terjadinya sendiplastis untuk akhirnya berhenti ketika mechanism telah terjadi. Oleh karena itu kondisi akhir analisis ini juga harus sama dengan hasil analasis plastis yang telah dibahas sebelumnya. Jika ditelaah lebih lanjut, analisis elastis-plastis termasuk golongan analisis non-linier material. Tentu saja batasannya adalah bahwa penampangnya kompak dan dilengkapi pertambatan lateral yang cukup agar keruntuhan stabilitas tidak terjadi terlebih dahulu. Istilah first-order dimaksudkan bahwa kondisi geometri struktur dianggap tetap, sebelum dan sesudah pembebanan, tidak perlu iterasi. Ini tentu saja valid jika lendutan yang terjadi relatif kecil, sama seperti persyaratan analisis elastik-linier sebelumnya. Analisis elastis-plastis sebelum era komputer adalah tidak mudah, dan juga tidak praktis jika dipakai untuk perencanaan. Maklum karakternya seperti analisa non-linier pada umumnya, dimana urutan pembebanan sangat mempengaruhi hasilnya. Karena tidak bisa dilakukan prinsip superposisi maka setiap kasus beban harus ditinjau secara sendiri-sendiri untuk mendapatkan kondisi yang paling kritis. Tetapi perkembangan teknologi komputer (hardware dan software) sangat membantu mempermudah analisis elastis-plastis, karena dengan itu perilaku struktur yang dibebani dapat dilacak mulai dari awal (kondisi elastis) sampai kondisi beban maksimum atau runtuhnya (plastis). Berarti tinjauan yang dapat diakses adalah terkait kekuatan, kekakuan dan sekaligus daktilitas strukturnya. Berarti analisis jenis ini sangat penting untuk perencanaan struktur terhadap beban tak terduga (mis. gempa). Contoh analisis elastis-plastis yang banyak dipakai saat ini adalah analisis push-over, lihat Gambar 4.
Gambar 4. Aplikasi analisis elastis-plastis terhadap bangunan bertingkat (Guo-Jin 2007)
Meskipun konfigurasi bebannya konstan, tetapi dengan load-factor dapat dilakukan simulasi tahapan beban, mulai dari elastis, plastis (terjadinya sendi-plastis) sampai mechanism terjadi. Adanya evaluasi setiap tahapan beban maka dapat disusun kurva perilaku (Gambar 4b) sehingga dapat diketahui kapan bersifat elastis dan kapan mulai terjadinya plastifikasi. Dari perilakunya itu pula diketahui apakah struktur ketika dibebani mendekati kondisi batas, bersifat daktail atau getas (harus dihindari). Selain itu urut-urutan terjadinya sendi-plastis yang terbentuk dapat dilacak (Gambar 4c) sehingga diketahui bagian yang lemah dibanding bagian lain sehingga dapat dilakukan modifikasi agar perilaku struktur menjadi lebih baik (daktail) atau terjadinya peningkatan kinerja. Analisis push-over adalah versi ringan dari analisis nonlinier material dengan FEM, dimana sendi plastis dihasilkan dengan menempatkan "hinge" pada batang (CSI 2011). Risikonya, jika penempatannya salah, tentu hasilnya juga salah. Cara tersebut menyebabkan proses dan cara mengoperasikannya menjadi lebih mudah, sehingga menjadi populer. Fitur push-over sendiri sudah tersedia pada program SAP2000 versi 7.4 (release tahun 2000), tentunya ada juga di program lainnya (GTStrudl, Midas, dll). Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 8 dari 41
2.7 Analisis Inelastis Orde ke-2 (Second Order Inelastic Analysis) Analisis elastis-plastis yang telah dibahas sebelumnya adalah cukup canggih. Bagaimana tidak, cara itu dapat dipakai untuk memprediksi kekuatan, kekakuan dan daktilitas struktur sebelum runtuh. Hanya saja perilaku keruntuhan yang ditinjau masih terbatas, yaitu akibat terbentuknya sendi plastis saja. Itu berarti keruntuhan akibat momen lentur saja. Pada kasus tertentu, pada struktur yang tidak langsing, seperti yang biasa ditemukan pada konstruksi beton maka adanya keterbatasan tersebut masih dapat diterima. Umumnya memang keruntuhan jenis itu yang biasa terjadi, khususnya terhadap gempa. Hal berbeda jika konstruksinya terdiri dari banyak elemen yang langsing, ini ciri dari konstruksi baja. Maka kemungkinan keruntuhan yang terjadi, selain momen lentur, juga diakibatkan gaya tekan yang mengakibatkan tekuk (buckling), yang terjadinya pada kondisi tegangan rendah atau kondisi elastis. Keruntuhan tekuk adalah fenomena stabilitas (non-linier geometri), adapun fenomena sendi-plastis adalah leleh (non-linier material). Oleh karena itu untuk struktur baja juga diperlukan analisis yang dapat mengakomodasikan ke duanya. Itulah tujuan perlunya analisis inelastis orde ke-2, yang merupakan gabungan analisis dari analisa elastis-plastis dan analisa elastis orde ke-2. Jadi analisis inelastis orde ke-2 pada dasarnya adalah bentuk sederhana analisis non-linier material dan geometri sekaligus, yang umumnya diselesaikan dengan FEM (finite element method). Bentuk sederhana karena problem stabilitas relatif cukup luas, tidak sekedar tekuk elemen secara keseluruhan atau tekuk global, tetapi bisa juga tekuk lokal elemen-elemen penampangnya, juga tekuk seperti yang terjadi balok, yaitu tekuk torsi lateral. Jadi meskipun analisis inelastis order ke-2 oleh sebagian orang juga disebut advance analysis (Geschwindner 2002), tetapi ada keterbatasannya juga. 2.8 Rangkuman analisis struktur Telah diuraikan berbagai cara analisis yang diperlukan untuk mendapatkan respons struktur terhadap pembebanan, yang umumnya berupa gaya-gaya internal, gaya reaksi dan deformasi struktur. Untuk memperlihatkan bagaimana perbedaan masing-masing cara analisis struktur tersebut dapat dilihat pada kurva hubungan beban-perpindahan seperti terlihat pada Gambar 5 berikut. Dengan demikian mengetahui seberapa tepat cara analisis saat digunakan untuk melacak perilaku struktur sebenarnya.
Gambar 5. Hubungan perilaku struktur dan cara analisis yang digunakan (Geshwindner 2002).
Mempelajari perilaku model struktur (kurva beban-perpindahan) untuk berbagai kondisi beban memakai berbagai cara analisis, terlihat bahwa kurva yang mendekati perilaku keruntuhan struktur yang real adalah hasil dari “Advance Analysis”. Itu menunjukkan bahwa semakin realistis hasilnya memerlukan cara analisis yang semakin kompleks. Selain itu juga diketahui, struktur dengan
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 9 dari 41
perpindahan lateral yang besar dan kondisinya inelastis, maka beban kritis yang dipikulnya menjadi semakin kecil. Meskipun disebut sebagai Advance Analysis, dan masuk dalam kategori analisis non-linier material dan geometri sekaligus, tidak berarti bisa langsung menggantikan analisis serupa memakai FEM yang telah memakai element solid yang lebih rumit misalnya. Maklum kategori analisa non-linier geometri bahkan yang element 1D sendiri relatif cukup banyak, sebagai contoh program SAP2000 versi tertentu disediakan tiga (3) opsi analisis, yaitu: [1] P-Delta (small displacement); [2] Linier buckling analysis; dan [3] P-Delta plus Large Displacement. Oleh sebab itu insinyur perlu waspada terhadap asumsi dan keterbatasan dari setiap cara analisis yang digunakan dalam proses perancangan. Apalagi saat sekarang ini banyak piranti lunak analisis struktur yang dapat diakses secara mudah, tanpa latar belakang pengetahuan yang mencukupi terlebih dahulu.
3. TEORI KOLOM dan APLIKASINYA 3.1 Umum Perilaku batang terhadap gaya aksial tekan, relatif lebih unik dibanding terhadap gaya aksial tarik. Jika tarik maka pengaruh yang dominan adalah pada materialnya itu sendiri, faktor yang lain relatif kecil. Itulah mengapa material baja, yang mempunyai kekuatan tinggi dibanding material lain, akan sangat efisien jika digunakan untuk batang tarik. Hal berbeda jika yang diberikan adalah gaya aksial tekan. Ternyata selain dari material, pengaruh penampang dan panjang batang juga sangat menentukan. Kedua yang terakhir itu adalah dari segi geometri yang merupakan masalah stabilitas. Bahkan jika ditelaah lebih detail terdapat parameter lain yang lebih kompleks yang menentukan kapasitas batang (struktur) terhadap gaya aksial tekan. Oleh karena itu, perilaku batang terhadap gaya aksial tekan atau kolom akan dibahas secara khusus untuk mendapatkan gambaran bagaimana cara melakukan analsis dan desain secara lebih tepat. 3.2 Sejarah Penelitian Tentang Kolom Pengetahuan tentang perilaku dan cara perencanaan kolom merupakan hasil dari rangkaian penelitian yang telah lama dilakukan sebelumnya. Sejarah mencatat, penelitian tentang kolom diawali oleh Euler sekitar tahun 1744. Kolom yang dievaluasi dianggap lurus sempurna (teoritis), penampang prismatis, tumpuan sendi-sendi, gaya tekan tepat diberikan pada sumbu aksial kolom (aksial murni) dan relatif langsing sedemikian sehingga akan mengalami tekuk pada kondisi tegangan elastis (belum leleh). Beban tekuk atau beban kritis atau beban bifurcation, didefinisikan sebagai berikut.
Pcr =
π 2EI ...............................................................................................................................................(4) L2
dimana E adalah modulus elastis, I adalah momen inersia arah terjadinya tekuk, dan L adalah panjang kolom. Kecuali dalam format beban, bisa juga format tegangan kritis, dimana σcr = Pcr /A sehingga:
σcr =
π 2E
(L r )2
.............................................................................................................................................(5)
Jika kondisi tumpuan bukan sendi-sendi, beban atau tegangan kritisnya dapat didekati sebagai berikut.
Pcr =
π 2EI
(KL)2
atau
σcr =
π 2E
(KL r )2
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
................................................................................................(6)
Bagian I : hal. 10 dari 41
dimana KL adalah panjang efektif, dicari berdasarkan bentuk deformasi kolomnya. Panjang efektifnya dihitung antara titik-titik belok (inflection point). Penjelasan visual lihat Gambar 6, dimana L adalah panjang aktual kolom dan faktor di depannya adalah nilai K. Jadi sebenarnya KL adalah “panjang ekivalen” kolom jika tumpuannya dirubah menjadi sendi-sendi. Sama seperti kondisi kolom yang dipakai untuk penurunan rumus tekuk oleh Euler.
Gambar 6. Panjang efektif kolom secara visual (Galambos-Surovek 2008)
Untuk kolom yang tertambat (kolom tidak bergoyang), yaitu yang ujung-ujungnya tidak mengalami perpindahan, maka pendekatan dengan cara “panjang efektif” cukup akurat, tergantung kondisi tumpuannya, maka nilai K = 0.5 ~ 1.0. Sedangkan untuk kolom yang bergoyang (sway) maka nilai K ≥ 1. Untuk akurasi perlu mempertimbakan struktur secara keseluruhan, hanya jika kolomnya tunggal dan bergoyang (kantilever) maka nilainya cukup akurat, yaitu K = 2. Interprestasi fisik yang dimaksud dengan Pcr atau σcr pada kondisi elastis adalah bahwa pada beban atau tegangan kritis, kolom akan mulai mengalami deformasi lateral. Sebelum itu tercapai, kolom tetap dalam kondisi lurus sempurna. Kondisi yang seperti itu disebut kondisi bifurcation, sebagaimana terlihat pada Gambar 7 dan dibandingkan dengan berbagai kurva tekuk struktur real yang dijumpai.
Gambar 7. Perilaku tekuk berbagai kolom terhadap Pcr. – (Galambos 1998)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 11 dari 41
Dalam praktek, kelangsingan kolom yang ada ternyata menyebabkan tekuk terjadinya pada kondisi inelastis, sehingga teori Euler tidak tepat lagi digunakan. Pada kondisi inelastis kekakuan kolom menjadi berkurang. Itu bisa terjadi karena sifat nonlinier bahan materialnya (kualitas bahan), juga akibat adanya penampang yang telah mengalami leleh terlebih dahulu akibat tegangan residu tekan (negatif) dari proses pembuatannya. Perilaku pasca tekuk kolom kondisi inelastis berbeda sekali dibandingkan kolom kondisi elastis (Euler). Itu yang menyebabkan mengapa hasil uji empiris kolom banyak yang menunjukkan kapasitas yang lebih kecil dibanding hasil perhitungan dari rumus Euler. Itu menjadi pemicu Engesser untuk mempublikasikan teori Tangent Modulus di tahun 1889. Teori itu masih didasarkan anggapan kolom yang lurus sempurna (perfectly straight), yang adanya secara teoritis saja. Perbedaan teori Tangent Modulus dan Euler adalah pada kondisi inelastisnya saja. Keduanya berguna untuk penyusunan kurva tegangan kritis kolom (elastis-plastis) yang dapat menunjukkan seberapa besar tegangan kritis (yang menyebabkan kondisi bifurcation) terhadap kelangsingannya.
Gambar 8. Penyusunan kurva tekuk kolom teori Tangent Modulus (Galambos-Surovek 2008)
Engesser (1889) dalam mencari Pcr atau σcr , pada kolom dengan kelangsingan yang menyebabkan tekuk inelastis, menganggap penampang kolomnya homogen dan berperilaku seperti kurva σ-ε pada Gambar 8a. Untuk kolom seperti itu, maka kondisi bifurcation akan terjadi mengikuti persamaan : σcr =
π 2E t
(L r )2
.............................................................................................................................................(7)
dimana Et adalah modulus tangent atau kemiringan dσ/dε dari kurva σ-ε pada kondisi σcr. Beban yang berkorelasi dengan itu adalah beban kritis Tangent Modulus yang diperoleh dari persamaan :
PT =
π 2Et I ..............................................................................................................................................(8) L2
Pada persamaan di atas, tegangannya tidak bisa dihitung langsung, karena Et merupakan fungsi dari tegangan itu sendiri, untuk menghitungnya perlu dikerjakan memutar sebagai berikut. E ⎛ L⎞ ⎜ ⎟ = π t ........................................................................................................................................(9) σ ⎝ r ⎠ cr
Untuk memakai secara analitis akan kompleks, maka dibuat grafik bantu, yaitu kurva σcr – (L/r) atau kurva tegangan kritis terhadap kelangsingan kolom (Gambar 8c). Untuk itu perlu dibuat dahulu kurva σ-ε dari uji empiris, selanjutnya disusun kurva hubungan σ - dσ/dε secara grafis (Gambar 8b). Dari kurva tadi dapat diketahui hubungan σ-Et untuk kondisi tegangan inelastis, jika elastis tetap dipakai E (modulus elastis). Selanjutnya untuk tiap kondisi material dapat disusun kurva kapasitas σcr – L/r (Gambar 8c) yang langsung dapat digunakan untuk perencanaan kolom.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 12 dari 41
Meskipun perencanaan dari Engesser relatif sederhana, dan beban kritis yang dihasilkan mirip hasil uji empiris, tetapi teori yang melatar-belakangi, kurang tepat. Engesser menyatakan ketika bifurcation, kondisi beban tidak mengalami perubahan (Gambar 9a) sehingga jumlah kumulatif tegangan yang diakibatkan momen P-vo , yang akan ada setelah tekuk, akibat adanya translasi lateral (Gambar 9b), harus sama dengan nol untuk setiap bagian penampangnya. Tegangan akibat bending momen tersebut ketika dijumlahkan dengan tegangan tekan akan menyebabkan satu sisi bertambah (sama-sama tekan) dan satu sisi lainnya akan berkurang (tegangan tarik mengurangi tegangan tekan), Gambar 9c.
Gambar 9. Konsep tekuk menurut Engesser (Galambos-Surovek 2008)
Hal itu tidak bermasalah jika kondisinya elastis, dimana perilaku loading dan unloading ditentukan oleh nilai modulus elastis (E) yang sama. Tetapi ketika pembahasan masuk ke wilayah elastik-plastik, maka teori Engesser akan menganggap bahwa parameter yang digunakan adalah Et (modulus tangent), yang sama untuk kondisi loading maupun unloading. Padahal kenyataannya, pada kondisi unloading akan ditentukan oleh modulus elastis E, bukan Et. Karena nilai E > Et maka sisi tegangan tekan yang dikurangi (unloading) akan lebih besar daripada sisi tegangan tekan yang ditambahkan (loading). Karena faktor pengurangan lebih besar dari yang ditambahkan, maka kapasitas yang dapat dibebani lagi tentunya akan bertambah. Itulah mengapa perilaku kolom sebenarnya akan lebih tinggi dari yang diprediksi berdasarkan teori Tangent Modulus tersebut. Kesalahan teori Engesser ditemukan Jasinksy tahun 1895. Tiga tahun kemudian sekitar tahun 1898, Engesser dapat memperbaiki dan memasukkan pengurangan beban (unloading) yang bersifat elastis. Saat yang sama, Considere mengusulkan teori Reduced Modulus atau Double Modulus secara terpisah dari teori Tangent Modulus (Galambos-Surovek 2008). Teori Reduced Modulus memang dimaksud untuk mengatasi kekurangan dari teori Tangent Modulus, untuk memahaminya ada baiknya melihat illustrasi pada Gambar 10. Sekali lagi bahwa teori tersebut adalah untuk memprediksi terjadinya tekuk inelastis, sedangkan tekuk elastis tetap pakai teori Euler. Pada kondisi tegangan inelastis, kekakuan material diwakili oleh Et atau modulus tangent, tetapi itu hanya berlaku pada kondisi penambahan beban (loading), yaitu tegangan pada material meningkat, sedangkan jika terjadi pengurangan beban (unloading) atau pengurangan tegangan pada material maka perilakunya ditentukan oleh E atau modulus elastis biasa, perhatikan Gambar 10a. Penambahan dan pengurangan tegangan (loading atau unloading) terjadi pada level penampang yang mengalami tekuk, yaitu akibat timbulkan momen sekunder P-vo, karena adanya translasi arah lateral pada saat tekuk (lihat Gambar 9). Jika pada teori Tangent Modulus maka tinjauan penampang hanya memakai Et saja, maka pada teori Reduced Modulus bagian penampangnya dibagi dua. Pada sisi yang Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 13 dari 41
berkurang tegangannya (unloading), yaitu bagian kiri garis netral (Gambar 10), maka tegangan harus dihitung dengan σU = εU E (elastis). Sedangkan sisi lain yang bertambah tegangannya (loading), maka tegangan dihitung dengan σL = εL Et (inelastis). Dengan demikian perhitungan pada penampang yang mengalami tekuk dilakukan dua kali, yaitu untuk bagian loading dan unloading. Oleh karena itu teori Reduced Modulus disebut juga teori Double Modulus.
Gambar 10. Konsep teori Reduced Modulus (Galambos-Surovek 2008)
Pada teori Reduced Modulus yang menghitung secara teliti pengaruh loading dan unloading yang berbeda, akhirnya diperoleh E atau reduced modulus, yaitu modulus tangent setelah memperhitungkan faktor unloading. Adanya nilai baru tersebut maka beban kritis Reduced Modulus dapat dihitung.
PR =
π 2E I L2
............................................................................................................................................. (10)
dikarenakan E > E t maka nilai beban kritis Reduced Modulus selalu lebih besar dari nilai beban kritis yang dihitung dengan teori Tangent Modulus.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 14 dari 41
Jika dibandingkan maka teori Reduced Modulus lebih rasional dibanding teori Tangent Modulus, tetapi keberadaannya menjadi dilema tersendiri selama hampir 50 tahun lamanya (Galambos-Surovek 2008). Bagaimana tidak, pada waktu itu para insinyurnya yakin sekali bahwa teori Reduced Modulus adalah yang paling benar. Tetapi fakta, hasil uji empiris menunjukkan hal lain, hasilnya cenderung mendekati prediksi didasarkan teori Tangent Modulus, yang nilainya lebih kecil dibanding hasil teori Reduced Modulus. Karena ini menyangkut keselamatan, meskipun teori Reduced Modulus dianggap benar (di atas kertas) tetapi karena tidak bukti-bukti empiris, maka untuk perencanaannya tetap memakai teori Tangent Modulus. Hipotesis yang dapat diajukan adalah adanya permasalahan terkait ketidak-lurusan batang (out-of-straightness) dan eksentrisitas pembebanan yang tidak dapat dihindari selama proses uji empiris. Inilah dilema yang dimaksud. Akhirnya tahun 1947, Shanley dengan penelitian empiris memakai sampel uji kolom aluminum kecil, mendapatkan jawabannya (Galambos-Surovek 2008). Hasil pengamatan, defleksi lateral di kolom saat kondisi tekuk inelastis ternyata mendekati beban kritis Tangent Modulus (PT), lihat Persamaaan (8). Jika beban aksial ditambahkan, maka defleksi lateral bertambah, dan mencapai kondisi beban maksimumnya sebesar beban kritis Reduced Modulus (PR) dengan defleksi lateralnya menjadi tak terhingga. Penelitian Shanley dikuatkan Johnston (1961 dan 1964), dan ada beberapa hal tambahan bahwa dalam praktek tidak ada kolom yang benar-benar lurus ideal, jadi yang ada adalah kolom imperfect. Kalaupun dianggap ada (teoritis), beban kritis maksimum kolom perfect adalah sebesar PT, yaitu beban kritis Tangent Modulus (Galambos-Surovek 2008).
Gambar 11. Perilaku kolom secara umum (Galambos 1998).
Jadi di awal era 70-an sudah dapat dipahami cukup lengkap bahwa semua kolom pada dasarnya mempunyai defleksi awal, Δi > 0 yang adalah kondisi imperfection-nya (Gambar 11a). Kolom perfect, Δi = 0 hanya ada di atas kertas (teoritis). Perilaku tekuk elastis (Gambar 11b), kolom perfect mencapai beban kritis sebesar PE dan saat itu juga akan terjadi kondisi bifurcation (garis A-B), kolom imperfect (Δi > 0) mempunyai perilaku sesuai garis C, mendekati ke arah batas garis bifurcation. Perilaku tekuk inelastis (Gambar 11c), kolom perfect mempunyai beban kritis sebesar PT dan dapat dibebani lagi maksimum sebesar PR pada kondisi ideal, yang umumnya PT < Pmax < PR. Untuk kondisi kolom imperfect, maka besarnya beban maksimum merupakan fungsi dari imperfection itu sendiri yang umumnya tidak melebihi beban kritis PT. Jadi keputusan untuk memakai teori Tangent Modulus untuk perencanaan kolom pada masa itu telah mendapatkan pembenarannya. Hal penting yang diambil dari hasil penelitian masa itu, bahwa untuk memprediksi perilaku tekuk, parameter elastis-plastis (material) dan imperfection (geometri) dari kolom harus dipertimbangkan. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 15 dari 41
Perhitungan tegangan kritis berdasarkan teori Euler (elastik) dan teori Tangent Modulus (inelastik) dapat dianggap sebagai “penyelesaian tertutup”. Kapasitas tekuk dapat dicari langsung dalam satu kali proses hitungan (tanpa iterasi) sebagai suatu penyelesaian difirensial biasa. Ini merupakan ciri khas penyelesaian masalah stabilitas cara klasik, sebagai fenomena eigenvalue. Pada sisi lain, telah dipahami bahwa kolom real tidak ada yang perfect (yang betul-betul lurus). Untuk menentukan kapasitas kolom yang mengandung imperfection (bengkok, tapi masih dalam toleransi), yang didasarkan pada batasan yang tidak boleh dilewati, seperti tegangan maksimum, telah digunakan untuk membuat kurva perencanaan. Secara umum itu dikenal sebagai rumus Secant, yang pada dasarnya adalah kombinasi gaya aksial dan bending momen, yang diakibatkan oleh adanya defleksi lateral akibat beban aksial tersebut (fenomena P-δ). Beberapa kurva perencanaan kolom yang dikenal adalah rumus Tredgold dan Rankine-Gordon (Bjorhovde 1988). Kondisi batas yang umumnya dipakai adalah apabila tegangan telah mencapai kondisi leleh atau kelipatannya. Permasalahan dari berbagai kurva perencanaan itu adalah ketidak-mampuannya untuk memperhitungkan adanya penambahan kapasitas akibat inelastis. Kekuatan kolom hanya didasarkan pada kondisi beban yang menyebabkan tegangan leleh pertama telah tercapai. Karena ada unsur momen, tentunya tegangan leleh yang terjadi adalah akibat momen lentur, berarti hanya salah satu sisi yang paling luar saja, bagian sisi lain tentunya belum leleh (elastis) sehingga tentunya masih mempunyai kapasitas untuk dibebani lagi (sampai leleh). Oleh sebab itu penyelesaian yang tersedia (pada waktu itu) belum maksimal. Hitungan rumus Secant ternyata bukan “penyelesaian tertutup”, seperti Euler dan Tangent Modulus. Juga untuk menghitung kuat maksimum kolom imperfection (nonlinier geometri) perlu dimasukkan pengaruh tegangan sisa pada penampang (nonlinier material). Jadi permasalahannya nonlinier geometri dan material sekaligus. Oleh sebab itu penyelesaian masalah perlu proses bertahap atau iterasi. Proses seperti jelas memerlukan prosedur penyelesaian numerik yang berbasis komputer. Itu diperlukan bukan karena agar penyelesaiannya lebih cepat atau teliti, tetapi memang tidak bisa diselesaikan jika hanya mengandalkan cara manual, khususnya untuk problem real yang tidak sederhana. Telah dibahas faktor kolom imperfection (nonlinier geometri), dan tegangan sisa (nonlinier material) yang menentukan kekuatan maksimum kolom. Pada perencanaannya, kolom dianggap terisolasi dari struktur lainnya sebagai kolom tunggal dengan tumpuan sendi-sendi. Hubungan kolom tunggal tadi terhadap kekakuan elemen struktur lainnya adalah memakai faktor K (panjang tekuk efektif), lihat Gambar 6. Itulah cara yang dipakai dalam AISC Load and Resistance Factor Design Specification, Canadian limit-states design standard, dan banyak lainnya (Bjorhovde 1988). Konsep kolom terisolasi itu tentu hanya ada secara teoritis. Maklum jika satu kolom saja memerlukan prosedur hitungan yang rumit, maka jika elemen kolom harus di analisis secara keseluruhan dengan struktur-struktur lain tentu akan mengalami keterbatasan untuk perhitungannya. Saat itu tentunya infrastruktur komputer yang ada tidak secanggih dan semurah (terjangkau) seperti pada saat sekarang ini. Catatan : AISC Allowable Stress Design Specification - 6th Ed. dari tahun 1963 dan sesudahnya (setelah 1988 perlu diteliti lagi) adalah didasarkan pada rumus Tangent Modulus (Bjorhovde 1988). 3.3 Parameter Penentu Kekuatan Kolom Setelah mempelajari sejarah: siapa, kapan dan bagaimana rumus-rumus kekuatan kolom telah disusun, maka perlu mengetahui juga parameter yang telah ketahui, selain panjang kolom, yang akan mempengaruhi kekuatannya. Kalau panjang kolom jelas, karena menentukan kelangsingan kolom. Adapun parameter lainnya (Bjorhovde 1988), adalah : [1] Mutu baja, [2] Metode pembuatan kolom, [3] Ukuran penampang, [4] Bentuk penampang, [5] Sumbu lentur, [6] Besarnya cacat-bengkokan yang ada (initial crookedness), (7) Kondisi kekangan ujung tumpuan kolom (degree of end restraint).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 16 dari 41
Pengaruh mutu baja, bentuk penampang dan sumbu lentur ketika terjadi tekuk telah dipahami juga, sebaiknya tidak dibahas lagi. Adapun metode pembuatan kolom (temperatur saat penggilasan, kondisi pendinginan, proses membuat lurus elemen, properti logam, juga bentuk profil penampang) akan menentukan besar dan distribusi tegangan residu maksimum pada penampangnya. Terkait hal itu akan dibahas pengaruhnya pada item No. 3, juga akan dibahas item No. 6 dan 7. Ukuran penampang kolom. Umumnya tegangan residu pada pelat dianggap negatif (tekan) jika bagian itu menjadi dingin pertama kali, dan sebaliknya : positip (tarik) jika terjadinya paling akhir. Profil WF di bagian sayap mendapat tegangan residu tekan akibat proses pendinginan pertama kali. Bagian badan yang dekat dengan sayap juga demikian. Pola variasi tegangan residu pada pelat dan profil telah diketahui (Galambos 1998). Pengaruh tegangan residu negatif pada sayap profil WF perlu diperhatikan, karena mempengaruhi kekakuan lentur dan sekaligus kekuatan terhadap tekuknya. Terkait hal itu pengaruh mutu baja (36 ksi atau 100 ksi) tidak memberi pengaruh yang signifikan dibandingkan geometri dalam menghasilkan tegangan residu. Itu disebabkan tegangan residu adalah fungsi dari timbulnya regangan yang tertahan pada waktu proses pendinginan, dimana α = ε · E. Adapun modulus elastis baja, E antara kedua mutu baja yang berbedapun mempunyai nilai yang sama. Penelitian menunjukkan (Bjorhovde 1988), tegangan residu mengurangi kekuatan kolom dengan pelat tebal (t > 1 ”). Pada peningkatan tebal dari 1" ke 3", akan terjadi pengurangan sebesar 15 %. Tetapi juga tergantung kelangsingannya, untuk kolom pendek, KL/r < 36 dan langsing KL/r > 108 ternyata tidak terpengaruh. Kelangsingan kolom yang paling terpengaruh oleh tegangan residu adalah KL/r = 76, yang merupakan kelangsingan yang banyak dijumpai di lapangan. Untunglah kolom dengan t > 1”, jarang. PT Gunung Garuda menyediakan profil H900x300x16x28, tapi itu cocoknya untuk balok. Hal menarik dari penelitian tentang tegangan residu pada kolom, ternyata untuk analitisnya dilakukan dengan menganggap adanya imperfection sebesar 1/1500. Itu menunjukkan bahwa analisis kekuatan kolom tidak bisa dilepaskan dari faktor nonliner material dan geometri. Memasukkan keduanya maka diperlukan analisis yang bersifat incremental (bertahap) dan iteration (iterasi), yang tentu saja hanya mungkin jika dibantu oleh teknologi komputer. Kondisi imperfection (Bjorhovde 1988). Pengaruh initial out-of-straightness atau imperfection dalam desain kolom adalah relatif baru. AISC Allowable Stress Design (AISC 1978) yang menjadi dasar perencanaan kolom ternyata belum memperhitungkannya. Maklum rumus yang digunakan adalah Tangent Modulus yang menganggap kolomnya perfect dan hanya memperhitungkan kondisi inelastis. Pada AISC (1978) pengaruh imperfection diatasi dengan memberikan faktor keamanan yang bervariasi antara 1.67 ~ 1.92. Kondisi imperfection bukan untuk mengatasi adanya kolom yang melengkung, yang secara fisik sudah terlihat. Bukan itu, tetapi adalah untuk mengantisipasi adanya ketidak-lurusan kolom yang memang ditoleransi oleh pabrik. Umumnya profil I hot-rolled boleh mengandung ketidak-lurusan ≤ 1/1000, bahkan profil pipa diperbolehkan lebih besar karena syaratnya ≤ 1/500. Hasil penelitian di Amerika, dengan koefisien variasi 10%, ditemukan bahwa profil I hot-rolled mengandung ketidak-lurusan sekitar 1/1500 dan profil pipa sekitar 1/6000, yang jauh lebih kecil dari toleransi yang diperbolehkan. Pada penyusunan rumus kuat batas kolom untuk perencanaan dengan cara LRFD, yang dimulai oleh SSRC (Structural Stability Research Council) pada awalnya memakai ketidak-lurusan kolom sebesar 1/1000. Ini kemudian diikuti oleh pembuatan peraturan di Canada (1978) dan di Eropa (1986).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 17 dari 41
Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut LRFD yang memanfaatkan teori reliabilitas, dimana dasar penyusunannya adalah nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi untuk menghasilkan syarat kekuatan, maka diputuskan bahwa ketidak-lurusan kolom adalah 1/1500. Nilai itulah yang dipakai menyusun kurva kekuatan kolom AISC-LRFD. Untuk mendapat gambaran bagaimana pengaruh ketidak-lurusan kolom (e/L) terhadap kekuatannya, ada baiknya dipelajari kurva kekuatan kolom yang dibuat SSRC (Galambos 1998). Ada tiga formula kurva yang diajukan, masing-masing ada yang didasarkan pada e/L = 1000 (garis putus-putus), yang menjadi usulan SSRC, ada juga didasarkan pada e/L = 1470 (garis menerus). Meskipun e/L = 1470 menghasilkan kekuatan kolom lebih tinggi dari e/L = 1000, tetapi perbedaannya tidak menyolok. Juga adanya hanya disekitar kelangsingan menengah. Ini tentu selaras dengan hasil penelitian tentang pengaruh tegangan residu pada kolom sebelumnya.
Gambar 12. Kurva SSRC untuk kuat kolom maksimum terhadap kelangsingan (Galambos 1998)
Formulasi kurva 1 dan kurva 2 dengan e/L = 1000 selanjutnya diadopsi untuk peraturan baja di Canada (1978), sedangkan kurva 2P dengan e/L = 1470 adalah mirip atau identik dengan peraturan baja AISC LRFD (1986), meskipun persamaan matematis yang digunakan oleh kurva SSRC-2P. tidak sama persis dengan versi LRFD, yang terakhir ini hanya memerlukan dua rumus segmen kurva untuk mendapatkan kurva kekuatan kolom tersebut secara keseluruhan (Bjorhovde 1988). Adanya tiga kurva kekuatan kolom seperti pada Gambar 12, jika tidak dipahami tentu akan membuat bingung, mengapa begitu banyak. Jadi mana yang sebaiknya dipakai. Untuk memahami bahwa perilaku kolom memang dipengaruhi oleh banyak faktor, saling terkait satu sama lain. Sehingga untuk kolom dengan variabel yang berbeda dapat menghasilkan kurva kekautan yang berbeda pula. Oleh karena itu perlu dievaluasi secara statistik atau teori reliabilitas. Penelitian Bjorhovde di tahun 1972 (Galambos 1998) membuktikan hal itu. Berdasarkan 112 kolom yang diuji, yang mencakup berbagai bentuk profil yang ditemukan secara praktis, juga mutu baja, dan cara pembuatan, maka dapat dibuat kurva kekuatan maksimum terhadap tekan, yang disajikan dalam Gambar 13. Ternyata ke-112 kurva kekuatan baja tersebut sangat bervariasi, meskipun demikian dapat dilihat suatu jejak yang khas, yang mana pada bagian kelangsingan tertentu sangat bervariasi, sedangkan untuk kolom pendek dan langsing sekaligus relatif kecil variasinya. Berdasarkan data-data itu pula maka akhirnya dapat juga dibuat kurva batas atas dan kurva batas bawah. Selanjutnya dengan teori reliabilitas maka dapatlah disusun kurva rencana kekuatan kolom. Dimana strategi penyusunan bisa berbeda, untuk Eropa didekati dengan dua atau lebih kurva kekuatan, sedangkan Amerika atau dalam hal ini LRFD (AISC 1986)memilih satu kurva tunggal sebagai dasar perencanaan. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 18 dari 41
Gambar 13. Kurva kekuatan untuk berbagai tipe kolom penelitian Bjorhovde (1972)
Kurva kekuatan kolom pada Gambar 13 adalah didasarkan pada imperfection e/L = 1/1000. Dari sana juga dapat dilakukan studi kurva kekuatan dengan berbagai kondisi imperfection sebagai berikut.
Gambar 14. Kurva kekuatan kolom dan pengaruh imperfection dari Bjorhovde (1972)
Oleh karena itu dalam menggunakan kurva kolom semacam itu dalam suatu perencanaan, maka kebenarannya hanya dapat dievaluasi dalam kaca mata statistik atau probabilitas saja. Dalam arti kalaupun dilakukan uji eksperimen di laboratorium dan dievaluasi berdasarkan kurva tersebut maka hasilnya bisa sama persis dan bisa juga berbeda, tetapi jika dilakukan dalam jumlah banyak maka ketepatan hasilnya baru akan terlihat dengan jelas. Kondisi kekangan ujung kolom di tumpuan (degree of end restraint) Terkait dengan kondisi kekangan ujung kolom di tumpuan maka parameter utama yang mempengaruhi telah diketahui, yaitu : [1] jenis tumpuan kolom atau sambungan balok-kolom yang dipakai; [2] panjang kolom; [3]Besaran dan distribusi tegangan residu pada penampang; [4] imperfection. Sebagai contoh, sambungan balok-kolom yang kaku, maka semakin kaku tentu akan meningkatkan kekuatan kolom. Faktanya, meskipun hanya digunakan sambungan geser, dan dianggap tidak memikul momen, tetapi karena ada tahanan terhadap rotasi yang terjadi akan meningkatkan kekuatan kolom. Juga tentang panjang kolom, semakin panjang maka pengaruh sambungan sangat menentukan
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 19 dari 41
kekuatannya. Akhirnya, keberadaan tegangan residu dan imperfection akan mengurangi dampak kekakuan yang diakibatkan oleh kondisi tumpuan. Terkait dengan metode perencanaan kolom ada usulan bahwa rumus dasar kolom perlu memasukkan pengaruh kondisi tumpuan. Tetapi karena kondisi tumpuan itu sendiri dalam prakteknya sangat bervariasi bahkan untuk mengevaluasinya sendiri bisa sangat rumit (kompleks) maka rumus dasar kolom yang digunakan tetap mengacu pada kolom tunggal dengan tumpuan sendi-sendi yang terisolasi dari strukturnya. Untuk menghubungkan antara kolom terisolasi dan struktur secara keseluruhan itu maka digunakan metode pendekatan dengan faktor - K atau metode panjang efektif. Itulah metode yang di dalam AISC (2010) disebut sebagai ELM (Effective Length Method). 3.4 Implementasi Teori pada Perencanaan Kolom (AISC-LRFD) Setelah mempelajari sejarah tentang penelitian perilaku kolom dan formulasi perencanaannya, secara tidak langsung didapat juga jawaban tentang apa beda insinyur (engineer) dan ilmuwan (scientists), sehingga ada alasan mengapa seorang kadangkala lebih bangga disebut insinyur dibanding ilmuwan. Ciri khas seorang insinyur, khususnya teknik sipil adalah kemampuannya mewujudkan bangunan fisik. Tetapi itu baru sebagian ciri saja, karena seorang tukang (workman) juga dapat melakukannya, khususnya jika jenis bangunan itu sudah ada sebelumnya. Modal menjadi tukang adalah ketrampilan, yang terbentuk baik oleh latihan khusus, maupun pengalaman (bisa karena biasa). Adapun yang patut disebut insinyur jika yang bersangkutan mampu mewujudkan bangunan fisik yang belum pernah dikerjakan sebelumnya. Karena kalau kasusnya seperti itu maka jelas pengalaman saja tidak cukup. Untuk itulah maka seorang insinyur harus mempunyai kemampuan seperti ilmuwan, yaitu menguasai ilmu pengetahuan dan mampu memanfaatkan teknologi yang ada. Jika terpaksa, bahkan harus mampu menciptakan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika ilmuwan terbatas pada penemuan baru (patent) atau mendapatkan ilmu pengetahuan baru, maka bagi insinyur yang penting adalah mendapatkan solusi dari permasalahan sehingga bangunan fisik yang direncanakan dapat terwujud. Jadi dalam hal perencanaan kolom, maka tujuan utamanya adalah dapat dibangun struktur kolom yang berfungsi baik dan aman digunakan. Untuk itu, dapat memakai prosedur yang disusun berdasarkan ilmu pengetahuan yang eksak dan rasional, maupun cara lain yang didasarkan pengalaman empiris atau intuisi belaka, yang tentu saja itu sifatnya trial-and-error sehingga perlu faktor keamanan dan bukti empiris yang mendukungnya. Selama tujuannya adalah dapat berfungsi dan aman, serta boleh memakai faktor keamanan, maka prosedur kerja yang disusun untuk itu tentunya tidak perlu bertele-tele, kalau bisa yang sederhana saja. Maklum karena pada pekerjaan sipil, untuk mewujudkan bangunan rencana perlu keterlibatan banyak orang, apalagi jika prosedur itu dijadikan peraturan berarti akan lebih luas lagi cakupannya. Jadi jika digunakan prosedur yang rumit akan kesulitan orang untuk mempelajarinya (akhirnya tidak dipakai), juga bisa menimbulkan kesalahan yang menyebabkan bangunan menjadi tidak aman. Berarti tujuan agar berfungsi dan aman, menjadi tidak tercapai. Cara pikir ini tentu relevan juga dalam penyusunan peraturan perencanaan untuk kolom. Berbagai teori tentang perilaku kolom dan cara perhitungannya boleh saja ada, tetapi tentunya perlu dipilih atau disesuaikan agar simpel dan mudah dipahami. Telah diketahui bahwa kondisi tumpuan kolom menentukan kekuatan kolom, meskipun demikian mendefinisikan kondisinya adalah tidak mudah. Apalagi jika elemen kolom yang ditinjau adalah bagian kecil dari suatu sistem struktur besar yang ada. Oleh sebab itu banyak peraturan baja disusun dengan menganggap bahwa kolom yang dibahas bersifat individu atau terisolasi dari struktur utama. Itu pula strategi yang digunakan oleh AISC dan banyak peraturan perencanaan baja di dunia. Oleh karena itu penting untuk melihat bagaimana kurva kapasitas kolom individu itu disusun. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 20 dari 41
Chapter E - Design of Members for Compression (AISC 2005) dan (AISC 2010) Kuat tekan nominal, Pn, adalah nilai terkecil kuat tekan terhadap kondisi batas tekuk lentur, tekuk torsi dan tekuk torsi-lentur yang tergantung dari bentuk penampang kolomnya sebagai berikut.
Pn = Fcr ⋅ A g ...................................................................................................................................... (E3-1) adapun Fcr dapat dicari berdasarkan kurva kuat tekan kolom yang merupakan fungsi dari kelangsingan. Rumus kurva tegangan tekuk kritis kolom, khusus tekuk lentur saja, adalah : Untuk KL/r ≤ 4.71√(E/Fy) atau kondisi kolom dengan tekuk inelastis
(
Fcr = 0.658 Fy
Fe
)⋅ F
y
........................................................................................................................ (E3-2)
Untuk KL/r > 4.71√(E/Fy) atau kondisi kolom dengan tekuk elastis Fcr = 0.877 Fe .................................................................................................................................... (E3-3) dimana Fe = tegangan tekuk kritis elastis
Fe =
π 2E
(KL r )2
..................................................................................................................................... (E3-4)
Ketiga rumus di atas untuk versi AISC (2005) atau (2010) adalah sama. Jadi jika hanya didasarkan pada tegangan tekuk kritis kolom, yang secara langsung juga adalah kuat tekan kolom, secara tunggal atau individu atau terisolasi, antara cara lama (Effective Length Method) dan baru (Direct Analysis Method), maka keduanya tidak ada perbedaan. Identik adalah sama. Berdasarkan Bjorhovde (1986) dan AISC (1999), persamaan kurva tegangan tekuk kritis kolom AISC (persamaan E3-2 dan E3-3) adalah didasarkan pada kurva SSRC-2P (lihat Gambar 12). Berarti kurva tekuk kritis tersebut sudah memasukkan pengaruh inelastis (akibat tegangan residu) dan imperfection (ketidak-lurusan batang yang tidak melebihi batas toleransi pabrik), dengan e/L = 1/1500.
Gambar 15. Perbandingan kurva kapasitas tekan terhadap uji kolom empiris (Geschwindner 2007)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 21 dari 41
Catatan : Slendernes parameter adalah λc =
KL rπ
Fy E
.................................................................(AISC 1993)
Karena telah dipahami bahwa kekuatan maksimum kolom adalah bervariasi, sehingga penggunaan satu kurva perencanaan kuat tekuk nominal kolom tentu dipertanyakan ketelitiannya (Gambar 12), mana di antara berbagai kurva tekuk tersebut yang menunjukkan perilaku tekuk kolom real. Oleh sebab itu langkah terakhir pemilihan kurva kuat tekan kolom adalah menguji / membandingkan terhadap hasil uji eksperimen kolom aktual, dan mengevaluasi berdasarkan kaidah teori probabilitas. Plot hasil uji empiris kolom terhadap kurva kuat tekan teoritis rumus AISC (E3-2 dan E3-3) terlihat di Gambar 15. Meskipun dari hasil empiris juga terdapat fakta bahwa ada beberapa hasil sampel kolom mempunyai kekuatan yang lebih rendah dari kurva kuat tekan nominal kolom, tetapi jumlahnya tentu masih dapat ditoleransi berdasarkan prinsip statistik atau probabilitas yang telah disepakati. Dengan mengetahui hasil perbandingan kurva perencanaan kolom terhadap hasil uji empiris yang ada, tentunya dapat diperoleh keyakinan bahwa teori yang digunakan dapat dipercaya hasilnya. Selanjutnya tinggal memastikan bahwa gaya tekan maksimum (Pu) pada kolom tersebut adalah Pu ≤ ϕc Pn dengan nilai ϕc = 0.90. Maka tentunya hasil perencanaan sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Adanya kesamaan rumus yang dipergunakan pada AISC 2005 dan 2010 tentu menarik. Padahal telah diketahui bahwa code yang lama mengandalkan konsep Effective Length Method (manual), sedangkan code yang baru mengandalkan konsep Direct Analysis Method (komputer). Dari hal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk perencanaan kolom tunggal (terisolasi) tumpuan sendi-sendi maka dapat dipastikan keduanya akan memberi hasil yang sama atau identik. Perbedaan hanya akan timbul jika struktur yang ditinjau terdiri lebih dari satu elemen kolom. Semakin kompleks (terdiri dari banyak elemen) maka semakin memungkinkan untuk berbeda. Untuk itulah komputer diperlukan.
4. PANJANG EFEKTIF KOLOM 4.1 Umum
Sejak pertama kalinya teori Euler dikemukakan (1744) sampai dipublikasikannya AISC (2010), atau sekitar 266 tahun, maka selama itu pula telah muncul berbagai teori tentang kolom, yang diuji dan akhirnya banyak pula yang berguguran. Jadi ketika konsep panjang efektif kolom selalu dipakai untuk melengkapi teori tentang kolom tersebut, itu menunjukkan bahwa konsep tersebut tentu suatu yang luar biasa. Sebagai suatu teori yang terbukti tangguh tetapi herannya baru pada AISC (2010) diberi nama “Effectif Length Method” (ELM). Itupun terpaksa diberikan karena untuk membedakan dengan “Direct Analysis Method” (DAM) yang dijadikan unggulan baru setelah selama hampir tiga abad cara perencanaan struktur baja secara rasional dikenal oleh para insinyur. Oleh sebab itu sebelum ELM ditinggalkan atau bahkan dilupakan, maka perlu dipelajari terlebih dahulu secara mendalam : apa keunggulan dan kekurangan metode tersebut, khususnya ketika tersedia teknologi komputer, sehingga dapat beralih ke DAM secara mantap dan tidak ada penyesalan agar kedepannya dapat diperoleh sesuatu yang lebih baik dari perencanaan struktur baja selama ini. Fungsi utama konsep “panjang efektif kolom” adalah menghubungkan “kolom terisolasi” yang menjadi dasar pembuatan kurva kapasitas kolom kepada sistem struktur secara keseluruhan. Seperti tadi telah diungkapkan di awal, bahwa untuk “kolom terisolasi” maka sebenarnya cara ELM dan cara DAM yang terdapat pada AISC (2010) adalah sama saja. Perbedaan baru timbul ketika itu dikaitkan dengan adanya elemen-elemen struktur rangka yang lain. Oleh sebab itu pembahasan tentang “panjang efektif kolom” ini dipisah dari uraian tentang teori kolom yang telah ditulis sebelumnya.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 22 dari 41
Untuk membahas secara mendalam aplikasi panjang efektif kolom pada struktur rangka (struktur dengan elemen lebih dari satu), maka pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu untuk sistem rangka tidak bergoyang dan untuk sistem rangka yang bergoyang. Jika dapat diketahui termasuk pada sistem mana struktur rangka yang dibahas maka ketelitian perhitungan dapat langsung diketahui. 4.2 Sistem Rangka Tidak Bergoyang
Untuk mendapatkan gambaran apa itu sistem rangka tidak bergoyang atau rangka yang bergoyang maka ada baiknya untuk melihat Gambar 1 di depan. Gambar adalah sejuta kata, maka dapat langsung dipahami bahwa elemen rangka yang ujung-ujung nodalnya tidak berpindah (tetap ditempat) selama pembebanan adalah termasuk sistem rangka tidak bergoyang. Asumsi tersebut seperti yang disyaratkan untuk analisis elastis-linier, yaitu defleksinya relatif kecil sedemikian sehingga anggapan bahwa kondisi awal geometri struktur sebelum dan sesudah pembebanan dapat dianggap masih sama. Jenis struktur yang termasuk adalah truss (rangka batang dengan gaya aksial tekan / tarik), tetapi juga portal dengan sistem penahan lateral khusus, seperti bracing atau shear-wall. Besarnya nilai K yang digunakan umumnya tercantum pada setiap steel-code yang ada, misalnya di AISC adalah:
Gambar 16. Petunjuk klasik untuk struktur baja tentang nilai K (AISC 2005)
Table C-C2.2 (AISC 2005) seperti pada Gambar 16, disebut juga sebagai petunjuk klasik perencanaan baja. Setiap insinyur yang menguasai struktur baja pasti akan mengenalnya. Maklum hampir selalu ada pada setiap steel-code di negara yang menerbitkannya. Untuk struktur tidak bergoyang (no-sway), maka nilai k dari kolom (a), (b) dan d) saja yang digunakan, sisanya adalah untuk yang bergoyang. Jika dapat ditentukan kondisi kekangan tumpuan kolom, yaitu sendi-sendi, sendi-jepit atau jepit-jepit secara jelas dan benar tentunya, maka kapasitas kolom terhadap tekan yang dihitung dengan ELM maupun DAM akan memberikan hasil yang sama. Tetapi jika tumpuan kolom adalah berupa sistem struktur lainnya, misalnya sistem balok-kolom pada suatu sistem portal yang tertambat pada sistem lateral khusus, maka perbedaan antara ELM dan DAM adalah dari cara menghitung kondisi kekangan pada tumpuan di ujung kolom tersebut. Untuk cara ELM nilai K dihitung berdasarkan chart-bantu, yang juga disediakan oleh AISC (2005) sebagai berikut.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 23 dari 41
Gambar 17. Alignment chart (non-sway) untuk nilai K rangka tidak bergoyang (AISC 2005)
Perencanaan dengan cara DAM tidak perlu menghitung nilai K, karena telah ditentukan K = 1. Jika elemen-elemen kolom menerus menjadi satu kesatuan sistem struktur, maka komputer (ini syarat untuk memakai cara DAM) akan otomatis menghitung kekakuan struktur menyeluruh secara rasional dalam analisis dan desainnya. Oleh sebab itu, jika pada struktur real eksentrisitas atau yang sejenis maka kondisi tersebut wajib dimodelkan, dan pengaruhnya akan secara otomatis diperhitungkan. Perbedaan antara cara ELM dan DAM terjadi akibat interprestasi kondisi kekangan ujung yang ada.
Gambar 18. Perilaku sambungan baja (AISC 2010)
Kondisi kekangan ujung kolom diakibatkan sistem sambungan yang dipilih. AISC (2010) membagi kondisi kekangan (sambungan) berdasarkan perilaku momen-rotasi (M-θ), maklum pada dasarnya tidak ada sambungan bersifat jepit atau sendi sempurna (hanya ada dalam teori). Dari perilaku M-θ dikenal tiga tipe sambungan: FR (full restraint); PR (partial restraint) dan simple connection. Tipe FR dan simple connection telah dikenal sehari-hari sebagai sambungan menerus dan sambungan pin (sendi). Adapun sambungan PR dihindari karena analisisnya kompleks, perlu dievaluasi menyeluruh dalam satu sistem kesatuan, terpengaruh. Sistem struktur yang mengandung sambungan PR tersebut tentu akan kesulitan menentukan nilai K secara akurat (cara ELM) karena hanya ditinjau secara setempat. Sedangkan cara DAM akan secara otomatis memasukkannya dalam analisis. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 24 dari 41
4.3 Sistem Rangka Bergoyang
Ketika salah satu titik di ujung kolom yang ditinjau mengalami perpindahan, lihat Gambar 16 kolom (c), (e) dan (f), maka akibatnya terjadi perubahan nilai K yang drastis. Itu tentunya mempengaruhi secara langsung besarnya gaya tekan maksimum pada kolom. Nah, disinilah mulai terjadi perbedaan antara perencanaan kolom dengan cara lama (ELM) dan cara baru (DAM). Hanya saja, jika elemen kolom masih tunggal, perbedaan harusnya tidak ada karena kurva kapasitas keduanya sama, kalaupun ada perbedaan pastilah disebabkan oleh kondisi tumpuan yang digunakan dalam pemodelan analisis. Jika elemen penyusun semakin kompleks, yaitu terdiri dari banyak elemen, sehingga kondisi tumpuan dari kolom yang ditinjau tidak dapat diidentifikasi secara sederhana dengan chart bantu yang tersedia (lihat Gambar 16) tentunya akan kesulitan untuk menentukan nilai K yang tepat. Untuk itulah AISC (2010) menyediakan alat bantu chart nilai K untuk rangka bergoyang – sway, lihat Gambar 19 berikut.
Gambar 19. Alignment chart (sway) untuk nilai K rangka bergoyang (AISC 2005)
Meskipun demikian untuk memakainya secara tepat, perlu memahami terlebih dahulu keterbatasan chart tersebut, karena itu disusun dengan anggapan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perilaku kolom yang dievaluasi semua pada kondisi elastis. Semua elemennya mempunyai penampang prismatik (konstan sepanjang bentang) Semua sambungan rigid atau sambungan menerus atau FR : full restraint. Semua kolom rangka pada arah goyangan yang tertahan, rotasi ujung berlawanan dari balok harus sama besar dan arahnya berlawanan, sehingga menghasilkan lengkungan tunggal. Semua kolom rangka pada arah goyangan bebas, rotasi ujung berlawanan balok yang tertahan mempunyai arah dan besaran yang sama sehingga kelengkungannya saling berlawanan. Parameter kekakuan L(P/EI)^0.5 untuk semua kolom adalah sama. Kekangan pada titik nodal kolom terdistribusi merata pada kolom atas dan bawah sesuai dengan proporsi kekakuan lenturnya. Semua kolom mengalami tekuk secara bersama-sama. Tidak ada gaya aksial yang signifikan besar pada balok.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 25 dari 41
Meskipun keterbatasan di atas telah dijabarkan secara lengkap pada code (AISC 2005), tetapi banyak yang tidak memperhatikan. Perhatikan statement berikut :
It is important to remember that the alignment charts are based on the assumptions of idealized conditions previously discussed and that these conditions seldom exist in real structures. Therefore, adjustments are required when these assumptions are violated and the alignment charts are still to be used. Berarti dalam penggunaan chart, untuk mendapatkan ketepatan perhitungan faktor K, memerlukan trik tersendiri yang kadangkala tidak sesederhana seperti yang terlihat. Meskipun demikian, karena disadari juga bahwa analisis stabilitas pada era sebelum komputer seperti sekarang ini adalah sangat kompleks dan tidak memungkinkan (kecuali untuk keperluan riset terbatas). Pada sisi lain, diketahui juga bahwa cara pendekatan dengan faktor K dianggap sebagai satu-satunya cara yang rasional untuk menghubungkan pengaruh struktur keseluruhan terhadap elemen kolom tunggal. Oleh sebab itu, mau tidak mau, cara faktor K tetap digunakan dengan segala keterbatasannya. Untuk mengingat kembali keterbatasan menggunakan faktor K, khususnya pada perhitungan rangka batang bergoyang dengan chart - sway pada Gambar 19, adalah sebagai berikut. ** Kolom yang dievaluasi semua pada kondisi elastis ** Dari rumus tegangan kritis tekan sesuai rumus E3-2 (AISC 2010) saja dapat diketahui bahwa perilaku tekuk kolom dengan kelangsingan KL/r ≤ 4.71√(E/Fy) adalah pada kondisi inelastis. Jadi untuk mutu baja A36 dengan Fy = 250 MPa maka batas kelangsingannya adalah KL/r ≤ 133. Itu khan menunjukkan bahwa hampir semua kolom yang direncanakan dan dibangun akan berperilaku inelastis. Padahal alignment chart (sway) (Gambar 19) hanya diperuntukan untuk kolom pada kondisi elastis. ** Semua kolom mengalami tekuk secara bersama-sama ** Perencanaan kolom yang didasarkan pada alignment chart (sway) akan akurat jika pembebanan yang terjadi pada kolom masing-masing menyebabkan keruntuhan tekuk yang bersama-sama (sekaligus). Itu berarti kolomnya mengalami tekuk secara individu. Bagaimana jika ada konfigurasi struktur yang menyebabkan distribusi gaya tekan kolom terjadi secara tidak proporsional terhadap kapasitasnya. Jika begitu pada suatu sistem rangka, hanya sebagian kolom yang mengalami tekuk, apakah itu bisa terjadi.
Gambar 20. Permasalahan pada stabilitas rangka sederhana (Yura 1971)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 26 dari 41
Untuk mendapatkan gambaran betapa peliknya permasalahan stabilitas, maka ada baiknya membahas suatu sistem rangka sederhana yang telah dikemukakan Yura (1971) untuk menunjukkan keterbatasan metode faktor K yang ada. Sistem rangka itu sendiri terdiri dari dua kapasitas kolom yang berbeda dan satu balok terhubung ke kolom dengan sistem sambungan pendel (pin) atau sendi. Agar sistem rangka stabil maka tumpuan ke dua kolom tersebut tentunya harus berupa jepit (lihat Gambar 20a). Berdasarkan sistem rangka tersebut, jika kedua kolomnya dapat dibebani sampai beban tekuk kritisnya secara bersama-sama maka akan terjadi tekuk yang berupa goyangan ke samping (lihat Gambar 20a). Karena ada balok yang menghubungkan keduanya, maka deformasil lateral pada saat tekuk pasti sama, yaitu Δ. Akibat deformasi lateral tersebut dan juga gaya aksial yang bekerja pada kolom maka akan terjadi efek P-Δ, yang berbeda sebanding dengan kapasitas tekannya. Untuk rangka pada Gambar 20a, anggap kapasitas kolom kiri PL = 100 dan kolom kanan PR = 500 (nilai relatif tanpa satuan). Jadi akibat efek P-Δ tersebut maka pada saat tekuk, tumpuan kiri akan terjadi reaksi momen sebesar ML = 100Δ dan pada tumpuan kolom kanan terjadi reaksi momen sebesar ML = 500Δ. Jika kelangsingan kolom dianggap masih dalam kondisi elastis, dari rumus Euler, Pcr = π2EI/(KL)2 maka untuk L = h atau tinggi kolom, sedangkan kondisi kolom jepit-bebas sehingga K = 2 maka kekakuan kolom kiri adalah EIkolom kiri = 400 L2 /π2 dan kolom kanan adalah EIkolom kanan = 2000 L2 /π2ka atau perbandingan kolom relatif EIkolom kiri : EIkolom kanan =1 : 5 , atau sebanding dengan kuat tekuknya. Jika rangka dua kolom tersebut diberi bracing, menjadi sistem rangka tidak bergoyang (Gambar 20b), dan anggap K =1 (konservatif) maka beban tekuk kritis kolom kiri adalah Pcr = π2(400 L2 /π2)/L2= 400 atau 4 × dari beban tekuk rangka bergoyang. Adapun beban tekuk kritis kolom kanan jadi Pcr = 2000. Jika kolom pada rangka tidak bergoyang, salah satu dibebani lebih besar dari beban tekuk kritisnya maka dapat mengalami kondisi tekuk, tanpa mempengaruhi kolom lainnya. Maklum tekuk terjadi di elemen dan tidak menimbulkan perpindahan ujung kolom (bergoyang) sebagaimana Gambar 20a. Itulah mengapa pada sistem rangka bergoyang (Gambar 20a), keruntuhan tekuk hanya terjadi ketika semua kolom mencapai kapasitas tekuknya. Jadi meskipun kondisi tekuk terjadi jika semua kolom mengalami tekuk secara bersama-sama, tetapi karena kapasitas kolom secara individu sendiri pada kondisi tersebut (dapat bergoyang) adalah jauh lebih kecil daripada kondisi rangka tidak bergoyang (Gambar 20b) maka beban kritis total yang dapat dipikul oleh rangka bergoyang juga jauh lebih kecil. Jika kolom pada rangka tidak bergoyang (Gambar 20b) diberi beban melebihi beban kritisnya, kolom tersebut langsung mengalami tekuk, meskipun kolom lainnya masih utuh (kondisinya bisa saja runtuh karena sistem struktur menjadi tidak stabil). Sedangkan pada rangka bergoyang, jika salah satu kolom diberi beban melebihi beban kritisnya, sedangkan beban pada kolom lainnya masih elastis (belum mencapai beban kritis) maka perilakunya ternyata khas. Lihat Gambar 20c, misal beban kolom kiri = 300 (↓), lebih besar dari Pcr = 100 (↓). Pada kondisi itu, ternyata kolom tidak serta-merta runtuh. Ini menarik, pada beban P = Pcr = 100 secara teoritis itu dianggap kondisi keseimbangan terakhir sesaat sebelum terjadi tekuk, tetapi itu hanya terjadi jika ujung kolom kiri dapat bergoyang (translasi lateral). Adanya balok menyatukan keduanya (meskipun hanya sambungan pin) menyebabkan ujung kolom kanan seakan-akan mendapatkan gaya lateral dan karena belum mengalami tekuk, dapat bekerja sebagai sistem penahan lateral untuk kolom kiri. Ini menunjukkan bahwa fenomena tekuk rangka bergoyang adalah sebagai sistem struktur keseluruhan. Tambahan beban lebih besar dari Pcr (↓), yaitu sebesar 300 - Pcr = 200 akan menyebabkan deformasi lateral Δ (bergoyang). Akibat efek P-Δ menyebabkan momen orde ke-2 sebesar 200Δ, yang sudah tidak bisa dipikul lagi oleh kolom kiri, maklum ketika dianggap tekuk maka kekakuan dianggap hilang juga, sehingga akan dipikul oleh kolom sebelah kanan. Ini yang dimaksud sebagai sistem penahan lateral. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 27 dari 41
Karena balok menghubungkan kolom di ujung atas, maka terjadinya momen P-Δ sebesar 200Δ akan bekerja juga pada ujung atas kolom kanan. Sebagai reaksinya, terjadilah gaya kopel pada kolom kanan sebesar P(→) = 200Δ/h di ujung atas dan di ujung bawah sama besar tetapi arahnya berlawanan (←). Untuk keseimbangan, gaya kopel P(→) menimbulkan momen reaksi tumpuan kolom kanan, sebesar P(→)×h=200Δ / h × h = 200Δ (momen P-Δ akibat beban lebih dari kolom kiri). Kolom kanan sendiri juga harus memikul efek P-Δ akibat beban sendiri, sebesar 300Δ. Jadi total yang dipikul adalah 200Δ + 300Δ = 500Δ atau sama dengan beban tekuk kritis kolom kanan. Saat itu tekuk keseluruhan terjadi. Dari illustrasi beban rangka Gambar 20c dapat dipelajari bahwa kolom kantilever (K = 2) jika diberi pertambatan (ada tambahan sistem lain), sehingga translasi lateral tertahan, mampu diberi tambahan beban lagi tanpa menimbulkan tekuk. Tetapi itu tidak boleh lebih besar dari beban tekuk kritis kolom dengan kondisi tidak bergoyang (K=1). Jika lebih, maka kasusnya seperti pembebanan Gambar 20d. Meskipun kapasitas kolom kanan masih mencukupi. tetapi jika melebihi nilai beban kritis pada K=1 untuk kolom kiri, maka tetap akan terjadi tekuk yang bersifat setempat pada elemen kolom itu sendiri. Illustrasi dari Gambar 20 menunjukkan bahwa efek P-Δ sangat berpengaruh pada sistem struktur secara keseluruhan. Dalam hal ini jelas panjang efektif dengan faktor K tidak memperhitungkan itu, hanya berdasar pada jumlah total kekakuan lentur pada ujung-ujung kolom. Perencanaan dengan cara ELM sebenarnya juga telah memperhitungkan efek P-Δ yang dimaksud, yaitu melalui cara faktor pembesaran momen B2 terhadap hasil analisis struktur elastis-linier, berikut :
B2 =
1 1 ................................................................................ (C-C2-1 - AISC 2005) = ΣPu Δ oh ΣPu 1− 1− ΣHL β br L
Rumus di atas hanya menyangkut individu kolom yang ditinjau, belum mengkaitkan elemen lainnya sebagai satu sistem struktur secara keseluruhan. Bahwa efek P-Δ dipengaruhi sistem keseluruhan terlihat pada Gambar 21 : perhatikan kondisi tumpuan pada balok di sisi yang jauh dari kolom yang ternyata memberi pengaruh besar terhadap momen orde ke-2 yang terjadi pada kolom tersebut.
Gambar 21. Pengaruh P-Delta pada rangka bergoyang dan tertahan (Galambos 1998)
Nah, ketidak-tepatan cara ELM dibanding cara DAM adalah ketidak-mampuannya memperhitungkan pengaruh faktor-K dan P-Δ secara menyeluruh dalam satu sistem struktur yang ditinjau. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 28 dari 41
5. DIRECT ANALYSIS METHOD - AISC (2010) 5.1 Pendahuluan
Perencanaan struktur baja yang umumnya langsing, memerlukan analisis stabilitas. Hasilnya dipengaruhi oleh adanya imperfection (nonlinier geometri) dan kondisi inelastis (nonlinier material). Oleh sebab non-linier, analisisnya dikerjakan secara incremental dan iterasi. Sekarang ini dengan dukungan teknologi komputer yang canggih tetapi terjangkau, cara analisis yang dimaksud bukan suatu kendala. Banyak tersedia berbagai jenis analisis berbasis komputer yang dapat dimanfaatkan, mulai dari analisis Elastic Buckling Load, Second-Order Elastic Analysis, First-Order Plastic Mechanism Load, First-Order Elastic-Plastic Analysis, dan Second-Order Elastic-Plastic, yang disebut juga sebagai Advance Analysis. Umumnya jenis analisis seperti itu sudah tersedia sebagai opsi pada program analisa struktur modern. Semakin canggih jenis analisisnya ternyata semakin banyak data yang dilibatkan, sehingga diperlukan pemahaman atau kompetensi tertentu agar hasilnya dapat dipakai secara efektif. Jika dipilih Advance Analysis maka hasilnya tentu mencukupi untuk analisis stabilitas. Tetapi jika dipakai untuk pekerjaan perencanaan struktur baja secara rutin (bukan riset), tentunya berlebihan dan tidak praktis. Maklum, pekerjaan perencanaan adalah termasuk bisnis, yang tentunya juga memegang prinsip : sedikit bekerja tetapi keuntungan adalah sebanyak-banyaknya. Pemikiran seperti itu tentu menjadi pertimbangan. Atas dasar alasan tersebut, juga adanya keinginan mendapatkan kemajuan dalam analisis dan desain, maka AISC (2010) menetapkan Direct Analysis Method (DAM) sebagai cara baru perencanaan pada struktur baja yang telah memasukkan prinsip modern dalam analisis stabilitas. Memang untuk itu diperlukan analisis struktur berbasis komputer. Tetapi analisis yang dipilih bukan yang rumit seperti Advanced Analysis, cukup yang minimalis, yaitu Second-Order Elastic Analysis. Tetapi dengan sedikit manipulasi dan strategi perhitungan yang cocok, maka problem stabilitas, yang bersifat nonlinier geometri dan sekaligus nonlinier material, dapat juga diatasi. Strategi penyelesaian yang digunakan DAM tidak persis sama seperti jenis analisis yang rasional, tetapi yang penting telah dibuktikan dengan cara kalibrasi berdasarkan data eksperimental (AISC 2010) sehingga hasilnya berkorelasi dengan problem real. Itulah DAM yang telah menggantikan cara lama ELM (Efective Length Method), suatu prinsip penyelesaian stabilitas standar sejak dipakainya rumus Euler dahulu. Cara lama tersebut (ELM) tidak dibuang tetapi dipindah jadi Appendix 7 (AISC 2010), dan dapat dipakai sebagai cara alternatif, khususnya jika tidak tersedia program komputer yang sesuai. 5.2 Perancangan Stabilitas
Perancangan stabilitas struktur adalah kombinasi analisis untuk menentukan kuat perlu penampang dan merancangnya agar mempunyai kekuatan yang mencukupi. Untuk itu, AISC (2010) mengajukan Direct Analysis Method (DAM), yang sebelumnya adalah cara alternatif pada code lama (AISC 2005). DAM diperlukan untuk mengatasi keterbatasan analisa struktur elastik, yang tidak bisa mengakses stabilitas. Dengan DAM pengaruh pembebanan struktur dapat dicari dengan memperhitungkan pengaruh imperfection (nonlinier geometri) dan inelastis (nonlinier material) yang terjadi. Cara perancangan struktur baja yang dipakai saat ini, Effective Length Method, didasarkan analisa struktur elastik-linier. Pemakaiannya terbatas pada struktur yang rasio pembesaran momen akibat perpindahan titik nodal, Δ2nd order / Δ1st order ≤ 1.5 (AISC 2005). Jika melebihi batasan tersebut berarti struktur relatif sangat langsing, yang mana pengaruh non-linier geometri akan menjadi signifikan. Sedangkan cara DAM tidak ada pembatasan, sehingga cocok digunakan untuk perancangan struktur baja modern, yang pada umumnya langsing akibat proses optimasi atau mengikuti estetika bangunan.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 29 dari 41
5.3 Parameter penentu stabilitas struktur baja
Jika mempelajari parameter desain batang tekan yang telah mem-perhitungkan kuat material (Fy) dan stabilitas (buckling), maka dengan mudah diketahui bahwa kuat batang tekan ditentukan parameter E, Fy, KL/r dan Ag. Dua yang pertama merujuk material, sedangkan dua yang terakhir merujuk kondisi geometrinya. Ternyata setelah dipelajari lebih mendalam, parameter tersebut bukanlah faktor yang utama. Itu hanya akan cocok jika dikaitkan dengan rumus atau kurva kapasitas yang terdapat pada code yang memakai parameter tersebut (Galambos 1998, Salmon et.al 2009). Parameter itu dipilih sebagai strategi jitu untuk penyederhanaan penyelesaian memprediksi kuat nominal batang tekan. Meskipun parameternya terlihat sederhana tetapi pada kasus-kasus tertentu terbukti memberikan korelasi memuaskan terhadap data hasil uji empiris. Strategi penyederhanaan itu diperlukan karena sewaktu penyusunan rumus, maupun penyelesaiannya, pemakaian komputer belum memasyarakat. Umumnya masih tergantung pada cara penyelesaian manual dengan kalkulator. Adanya dukungan kemajuan di bidang teknologi komputer yang terjangkau masyarakat, maka cara penyederhanaan menjadi tidak relevan lagi. Agar efektif, perlu tinjauan langsung sumber permasalahannya sehingga dapat dibuat metode baru lain yang sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada. Menurut AISC (2005) ada tiga aspek penting mempengaruhi stabilitas elemen, yaitu [1] non-linieritas geometri; [2] sebaran plastisitas; dan [3] kondisi batas elemen. Ketiga hal itu sangat berpengaruh pada deformasi struktur ketika dibebani. Itu tentunya akan berdampak pada gaya-gaya internal yang terjadi. Non-linieritas geometri : Pada struktur yang langsing, deformasi akibat pembebanan tidak dapat diabaikan. Era modern, itu dapat diatasi dengan analisa struktur orde-2, dimana keseimbangan struktur akan memenuhi kondisi geometri setelah berdeformasi. Faktor yang dievaluasi adalah pengaruh second-order-effect, yaitu P-δ dan P-Δ. Pada penyelesaian tradisionil, hal itu diatasi dengan faktor pembesaran momen B1 dan B2 (Chapter C - AISC 2005). Bila pengaruh non-linier geometri signifikan, maka kondisi cacat atau ketidak-sempurnaan geometri (initial geometric imperfection), berupa ketidak-lurusan batang (member out-of-straightness), atau ketidak-tepatan rangka (frame outof-plumbness) akibat kesalahan fabrikasi / toleransi pelaksanaan, menjadi berpengaruh. Sebaran plastisitas : Elemen struktur baja umumnya berbentuk profil yang dihasilkan dari proses hotrolled maupun pengelasan. Keduanya meninggalkan tegangan sisa pada penampang akibat proses pendinginan dan adanya restraint. Kondisi itu mengurangi kekuatan elemen akibat stabilitas. Kondisi batas elemen : akan menentukan kekuatan batas elemen struktur, seperti terjadinya kelelehan material, tekuk lokal, tekuk global berupa tekuk lentur, tekuk torsi maupun tekuk torsi-lentur yang tergantung kondisi penampang. 5.4 Persyaratan analisis struktur
Direct Analysis Method (DAM) dibuat untuk mengatasi keterbatasan Effective Length Method (ELM) yang merupakan strategi penyederhanaan analisis cara manual. Akurasi DAM dapat diandalkan karena memakai komputer, dan mempersyaratkan program analisis struktur yang dipakai, seperti :
•
Dapat memperhitungkan deformasi komponen-komponen struktur dan sambungannya yang mempengaruhi deformasi struktur keseluruhan. Deformasi komponen yang dimaksud berupa deformasi akibat lentur, aksial dan geser. Persyaratan ini cukup mudah, hampir sebagian besar program komputer analisa struktur berbasis metoda matrik kekakuan, apalagi ‘metoda elemen hingga’ yang merupakan algoritma dasar ana-lisa struktur berbasis komputer sudah memasukkan pengaruh deformasi pada elemen formulasinya (Dewobroto 2013).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 30 dari 41
•
Pengaruh Orde ke-2 (P-Δ & P-δ). Program komputer yang dapat menghitung gaya-gaya batang dengan analisa struktur orde ke-2 yang mempertimbangkan pengaruh P-Δ dan P-δ adalah sangat penting dan menentukan. Umumnya program komputer komersil bisa melakukan analisa struktur orde ke-2, meskipun kadangkala hasilnya bisa berbeda satu dengan lain-nya. Oleh karena itu diperlukan verifikasi terhadap kemam-puan program komputer yang dipakai. Ketidaksempurnaan terjadi ketika program ternyata hanya mampu memperhi-tungkan pengaruh P-Δ saja, tetapi tidak P-δ. Adapun yang dimaksud P-Δ adalah pengaruh pembebanan akibat terjadinya perpindahan titik-titik nodal elemen, sedangkan P-δ adalah pengaruh pembebanan akibat deformasi di elemen (di antara dua titik nodal), seperti terlihat pada Gambar 6.9 di bawah.
Gambar 22. Pengaruh Orde ke-2 (AISC 2010)
5.5 Pengaruh cacat bawaan (initial imperfection)
Perhitungan stabilitas struktur modern didasarkan anggapan bah-wa perhitungan gaya-gaya batang diperoleh dari analisa struktur elastik orde-2, yang memenuhi kondisi keseimbangan setelah pembebanan, yaitu setelah deformasi. Ketidak-sempurnaan atau cacat dari elemen struktur, seperti ketidaklurusan batang akibat proses fabrikasi atau konsekuensi adanya toleransi pelaksanaan lapangan, akan menghasilkan apa yang disebut efek destabilizing. Adanya cacat bawaan (initial imperfection) yang mengakibatkan efek destablizing dalam Direct Analysis Method (DAM) dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu [1] cara pemodelan langsung cacat pada geometri model yang dianalisis, atau [2] memberikan beban notional (beban lateral ekivalen) dari sebagian prosentasi beban gravitasi (vertikal) yang bekerja. Cara pemodelan langsung dapat diberikan pada titik nodal batang yang digeser untuk sejumlah tertentu perpindahan, yang besarnya diambil dari toleransi maksimum yang diperbolehkan dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Pola penggeseran titik nodal pada pemodelan langsung harus dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan efek destabilizing terbesar. Pola yang dipilih dapat mengikuti pola lendutan hasil pembebanan atau pola tekuk yang mungkin terjadi. Beban notional merupakan beban lateral yang diberikan pada titik nodal di semua level, berdasarkan prosentasi beban vertikal yang bekerja di level tersebut, dan diberikan pada sistem struktur penahan beban gravitasi melalui rangka atau kolom vertikal, atau dinding, sebagai simulasi pengaruh adanya cacat bawaan (initial imperfection). Beban notional harus ditambahkan bersama-sama beban lateral lain, juga pada semua kombinasi, kecuali kasus tertentu yang memenuhi kriteria pada Section 2.2b(4) (AISC 2010). Besarnya beban notional (AISC 2010) adalah
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 31 dari 41
N i = 0.002Yi ..................................................................................................................................... (C2-1) dimana Ni, beban notional di level i Yi, beban gravitasi di level i hasil beban kombinasi LRFD
Nilai 0.002 pada ketentuan C2-1 mewakili nilai nominal rasio kemiringan tingkat (story out of plumbness) sebesar 1/500, yang mengacu AISC Code of Standard Practice. Jika struktur aktual ternyata punya kemiringan tingkat berbeda, lebih besar tentunya, maka nilai tersebut tentunya perlu ditinjau ulang. Beban notional pada level tersebut nantinya akan didistribusikan seperti halnya beban gravitasi, tetapi pada arah lateral yang dapat menimbulkan efek destabilizing terbesar. Jadi perlu beberapa tinjauan. Pada bangunan gedung, jika kombinasi beban belum memasukkan efek lateral, maka beban notional diberikan dalam dua arah alternatif ortogonal, masing-masing pada arah positip dan arah negatif, yang sama untuk setiap level. Sedangkan untuk kombinasi dengan beban lateral, maka beban notional diberikan pada arah sama dengan arah resultan kombinasi beban lateral pada level tersebut. Jadi penempatan notional load diatur sedemikian rupa agar jangan sampai hasil akhir kombinasinya akan lebih ringan. Bukankah notional load adalah untuk memodelkan ketidak-sempurnaan. 5.6 Penyesuaian kekakuan
Adanya leleh setempat (partial yielding) akibat tegangan sisa pada profil baja (hot rolled atau welded) akan menyebabkan pelemahan kekuatan saat mendekati kondisi batasnya. Kondisi tersebut pada akhirnya menghasilkan efek destabilizing seperti yang terjadi akibat adanya geometry imperfection. Kondisi tersebut pada Direct Analysis Method (DAM) akan diatasi dengan penyesuaian kekakuan struktur, yaitu memberikan faktor reduksi kekakuan. Nilainya diperoleh dengan cara kalibrasi dengan membandingkannya dengan analisa distribusi plastisitas maupun hasil uji test empiris (Galambos 1998). Faktor reduksi kekakuan, EI*=0.8τbEI dan EA*=0.8EA dipilih DAM dengan dua alasan. Pertama: Portal dengan elemen langsing, yang kondisi batasnya ditentukan oleh stabilitas elastis, maka faktor 0.8 pada kekakuan dapat menghasilkan kuat batas sistem sebesar 0.8 × kuat tekuk elastis. Hal ini ekivalen dengan batas aman yang ditetapkan pada perencanaan kolom langsing memakai Efective Length Method, persamaan E3-3 (AISC 2010), yaitu φPn = 0.9 (0.877 Pe) = 0.79 Pe. Kedua: Portal dengan elemen kaku / stocky dan sedang, faktor 0.8τb dipakai memperhitungkan adanya pelemahan (softening) akibat kombinasi aksial tekan dan momen lentur. Jadi kebetulan jika ternyata faktor reduksi kolom langsing dan kolom kaku nilainya saling mendekati atau sama. Untuk itu satu faktor reduksi sebesar 0.8τb dipakai bersama untuk semua nilai kelangsingan batang (AISC 2010).
Faktor τb mirip dengan reduksi kekakuan inelastis kolom akibat hilangnya kekakuan batang. Untuk kondisi Pr ≤ 0.5Py, dimana Pr= adalah gaya tekan perlu hasil kombinasi LRFD.
τ b = 1.0 ........................................................................................................................................... (C2-2a) Jika gaya tekannya besar, yaitu Pr > 0.5Py maka :
τb = 4
Pr ⎛⎜ P ⎞ 1 − r ⎟ ..........................................................................................................................(C2-2b) ⎜ Py ⎝ Py ⎟⎠
Pemakaian reduksi kekakuan hanya berlaku untuk memperhitungkan kondisi batas kekuatan dan stabilitas struktur baja, dan tidak digunakan pada perhitungan drift (pergeseran), lendutan, vibrasi dan penentuan periode getar. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 32 dari 41
Untuk kemudahan pada kasus τb = 1, reduksi EI* dan EA* dapat diberikan dengan cara memodifikasi nilai E dalam analisis. Tetapi jika komputer program bekerja semi otomatis, perlu diperhatikan bahwa reduksi E hanya diterapkan pada 2nd order analysis. Adapun nilai modulus elastis untuk perhitungan kuat nominal penampang tidak boleh dikurangi, seperti misal saat perhitungan tekuk torsi lateral pada balok tanpa tumpuan lateral. 5.7 Perbandingan kerja ELM dan DAM
Dengan program analisa struktur order-2, maka saat metode ELM (Efective Length Method) dan DAM (Direct Analysis Method) dibandingkan nilai interaksi check balok-kolom, antara gaya internal ultimate (beban terfaktor) terhadap kapasitas nominal penampang (Gambar 23) akan terlihat bahwa cara yang dipakai DAM dapat mendekati gaya internal aktual struktur pada kondisi batas.
Gambar 23. Hasil interaksi check antara ELM dan DAM (AISC 2010)
Untuk alasan itu pula, interaksi balok-kolom pada bidang tekuk dievaluasi terhadap kuat tekan, PnL, yang dihitung berdasarkan kurva kolom dengan KL=L atau K=1. 5.8 Beban notional dan pelemahan inelastis
Bebanan notional dapat juga dipakai untuk antisipasi pelemahan kekakuan lentur, τb akibat kondisi inelastis adanya tegangan residu. Strategi ini cocok untuk menyederhanakan perhitungan DAM pada batang dengan gaya tekan besar αPr > 0.5Py , dimana nilai τb < 1.0 . Jika strategi ini akan dipakai, maka τb = 1.0 dan diberikan beban notional tambahan sebesar :
N i = 0.001Yi ............................................................................................ Chapter C2.3.(3) (AISC 2010) Beban tersebut diberikan sekaligus bersama beban notional yang merepresentasikan cacat geometri bawaan (initial imperfection), karena sifatnya memperbesar maka beban notional akhir menjadi Ni=0.003Yi sedangkan τb = 1.0 untuk semua kombinasi beban. 5.9 Kuat nominal penampang
Jika digunakan analisa stabilitas struktur cara DAM, maka untuk perhitungan kuat struktur nominalnya cukup memakai prosedur biasa seperti yang digunakan pada cara ELM, yaitu Chapter E ∼ I untuk penampang nominal, atau Chapter J ∼ K untuk sambungan pada AISC code (2005 maupun 2010), kecuali nilai faktor K pada kelangsingan batang (KL/r) diambil konstan sebesar K=1. 5.10 Ketersediaan program analisa struktur orde-2
Direct Analysis Method (DAM) memerlukan program analisa struktur orde-2 untuk menghitung efek P-Δ dan P-δ secara teliti. Pada umumnya program analisa struktur komersial sudah menyedia-kannya. Meskipun demikian adalah tetap tanggung jawab insinyur untuk memastikan sendiri bahwa program yang digunakannya memang telah memenuhi persyaratan tersebut (AISC 2010).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 33 dari 41
Gambar 24. Benchmark uji program analisa struktur order-2 (AISC 2010)
Untuk itu, AISC (2010) memberikan benchmark pembanding untuk mengevaluasi, apakah program analisa struktur yang akan dipakai, punya kemampuan menghitung efek P-Δ dan P-δ. Pada pengujian perlu dipakai variasi beban aksial berbeda, juga pengaruh pembagian elemen (meshing) untuk mengetahui ketelitiannya terhadap perhitungan P-δ atau P-Δ. Benchmark uji terdiri dari dua kasus, Case-1 untuk uji efek P-δ saja, disini meshing pada model struktur perlu dievaluasi apakah hal itu mempengaruhi ketelitian program. Adapun Case-2 untuk menguji ketelitian perhitungan efek P-Δ dan P-δ sekaligus. Untuk mengetahui ketersediaan program komputer yang sesuai DAM, diuji SAP2000 ver 7.4 yang dianggap kuno (release 2000) tetapi sudah bisa memperhitungkan efek P-Δ (Dewobroto 2013), juga SAP2000 ver 14 yang relatif baru (release 2009). Adapun versi yang resmi menyatakan diri mendukung perancangan DAM adalah SAP2000 versi 11.0 release Desember 2006 (CSI 2007). Uji benchmark pertama kali terhadap Case-1 (lihat Gambar 25) untuk melihat algoritma program versi lama dan yang baru dalam memperhitungkan pengaruh P-δ seperti terlihat berikut. Tabel 1. Uji Benchmark CASE-1 terhadap Pengaruh P-δ Case-1 (AISC 2010) P M-mid 0 235 150 270 300 316 450 380
SAP v7.4 (PΔ-off-1#) P M-mid 0 235.2 150 235.2 300 235.2 450 235.2
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
SAP v7.4 (PΔ-on-1#) P M-mid 0 235.20 150 261.43 300 294.25 450 336.48
SAP v7.4 (PΔ-on-2#) P M-mid 0 235.20 150 269.63 300 315.39 450 379.12
SAP v14.0 (PΔ-on-1#) P M-mid 0 235.20 150 261.41 300 294.23 450 336.42
SAP v14.0 (PΔ-on-2#) P M-mid 0 235.20 150 269.56 300 315.31 450 378.71
Bagian I : hal. 34 dari 41
M-mid (kip-in)
400 Case1 (AISC 2010)
350
SAP v7 (Pd-off-1#) SAP v7 (Pd-on-1#)
300
SAP v7 (Pd-on-2#) SAP v14 (Pd-on-1#)
250
SAP v14 (Pd-on-2#)
200 0
150
300
450
Gaya Aksial P (kips)
Gambar 25. CASE-1: gaya aksial terhadap momen tengah bentang
Program SAP2000 yang kuno (ver 7.4) dan yang baru (ver 14.0) memberikan hasil mirip satu sama lain. Algoritma kedua program dianggap tidak berbeda. Keduanya belum mampu memprediksi efek P-δ di tengah elemen berdasarkan elemen tunggal. Jadi ketika dibagi jadi dua elemen hasilnya menjadi lebih teliti, sama dengan hasil benchmark. Perbedaannya, pada versi kuno dibaginya secara manual, sedangkan versi baru secara otomatis. Uji benchmark Case-2 memberi petunjuk pentingnya gaya lateral (1 kips) pada ujung tiang untuk menghasilkan efek destabilizing. Tanpa itu, meskipun “opsi P-delta” diaktifkan, tidak menghasilkan efek P-Δ itu sendiri. Inilah yang mendasari prinsip beban notional. Tabel 2. Uji Benchmark CASE-2 terhadap Pengaruh P-δ dan P-Δ Case-2 (AISC 2010) P M 0 336 100 470 150 601 200 856
SAP v7.4 (PΔ-off-1#) P M 0 336 100 336 150 336 200 336
SAP v7.4 (PΔ-on-2#) P M 0 336.0 100 469.9 150 600.7 200 854.4
SAP v7.4 (PΔ-on-1#) P M 0 336.0 100 469.8 150 599.8 200 849.8
SAP v14.0 (PΔ-on-1#) P M 0 336.0 100 469.6 150 599.8 200 849.8
SAP v14.0 (PΔ-on-2#) P M 0 336.0 100 469.4 150 599.8 200 854.4
M-base (kip-in)
900 800
Case 2 (AISC 2010)
700
SAP v7 (Pd-off-1#)
600
SAP v7 (Pd-on-1#)
500
SAP v7 (Pd-on-2#)
400
SAP v14 (Pd-on-1#)
300
SAP v14 (Pd-on-2#)
200 0
50
100
150
200
Gaya Aksial P (kips)
Gambar 26. CASE-2: gaya aksial terhadap momen dasar
Uji benchmark Case-2 yang melibatkan efek P-Δ dan P-δ sekaligus, ternyata memberi hasil yang lebih baik dibanding uji benchmark Case-1, yang hanya melibatkan P-δ saja. Semua program SAP2000 dari versi lama sampai versi terbaru, dapat memberikan hasil yang memuaskan, bahkan tanpa memerlukan pembagian elemen atau meshing sebagaimana perlu dilakukan pada uji benchmark Case-1 agar hasilnya lebih teliti. SAP2000 versi 7.4 dapat dianggap program analisa struktur yang out-of-dated, kuno dan tidak secara eksplisit mendukung DAM. Maklum, program di-release jauh hari sebelum DAM dinyatakan (AISC 2005), tetapi buktinya dapat dipakai untuk menyelesaikan uji benchmark yang ada (AISC 2010). Ini tentunya dapat menjadi indikator bahwa infrastruktur untuk mengaplikasikan cara DAM di Indonesia sudah tersedia sejak lama. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 35 dari 41
5.11 Studi kasus perancangan struktur baja - DAM (2010)
Cara Direct Analysis Method akan menyederhanakan perancangan. Sebagai contohnya akan ditinjau kasus [1] portal Example 15.3.1 (Salmon et. al 2009); dan [2] kolom kantilever biasa. Contoh I: Bangunan bentuk portal baja bentang 75 ft, tinggi 25 ft memikul beban merata vertikal terdiri dari dead load 0.2 kip/ft, snow load 0.8 kip/ft dan wind load 0.1 kip/ft. Juga diberi beban merata horizontal akibat angin sebesar 0.44 kip/ft. Lateral bracing diberikan pada kolom tiap jarak 5 ft dan balok tiap jarak 6 ft. Mutu baja A992 Fy = 50 ksi E = 29000 ksi.
Gambar 27. Contoh I: Portal Baja dari Salmon (2009)
Kombinasi beban yang digunakan adalah mengacu pada ASCE 7, Dari tiga kombinasi beban yang ditinjau dapat diketahui bahwa kombinasi beban pada Gambar 27 adalah yang menentukan, sehingga beban terfaktor adalah: Qu Qu Quh
= 1.2D + 1.6S + 0.8 W = 1.2(0.2)+1.6(0.8)+0.8(0.1) = 1.60 kip/ft (È) = 0.8W = 0.8(0.44) = 0.352 kip/ft (Æ)
Notional load sesuai AISC (2010) Chapter C – C2.2b : data diambil dari beban gravitasi, Yi = Qu * LBC = 1.6 * 75 = 120 kips Ni = 0.002 Yi = 0.002 * 120 = 0.24 kip ................................................................. Eq.C2-1 (AISC 2010) Penyesuaian kekakuan sesuai AISC (2010) Chapter C – C2.3 : dari perhitungan awal dapat diketahui bahwa Pr / Py ≤ 0.5 sehingga τb = 1.0 ...................................................................................................................Eq.C2-2a (AISC 2010)
Faktor reduksi 0.8 diambil sama untuk semua kekakuan, lentur (EI*=0.8EI) atau aksial (EA*=0.8EA) Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, selanjutnya disusun model struktur dan beban-bebannya, adapun faktor reduksi 0.8 diberikan pada data E untuk mempermudah.
Gambar 28. Model dan Pembebanan untuk 2nd Order Analysis
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 36 dari 41
Program komputer yang dipakai adalah SAP2000 v 7.40, yang se-belumnya dianggap telah memenuhi kriteria persyaratan analisa struktur orde-2, walaupun program tersebut sebenarnya buatan jauh hari sebelum cara DAM dideklarasikan. Ini tentu juga bukti bahwa cara DAM tidak memerlukan algoritma pemrograman yang khusus, kecuali kemampuan program dengan 2nd order analysis. Agar dapat dibandingkan dengan referensi acuan (Salmon 2009) maka berat sendiri profil baja akan diabaikan, kemudian opsi P-Δ pada program SAP2000 harus diaktifkan. Diagram bending momen dan gaya-gaya reaksi di tumpuan akibat kombinasi beban yang diberikan adalah sebagai berikut.
Gambar 29. Bending Momen Diagram dan gaya reaksi tumpuan
Nilai dalam tanda kurung adalah momen (kip-ft) tanpa opsi P-Δ. Jadi efek P-delta tidak besar pengaruhnya pada struktur. Karena semua elemen memakai profil W24 x 84 maka akan dipilih kolom CD untuk dievaluasi berdasarkan cara DAM dan selanjut-nya dibandingkan cara lama, yaitu contoh dari Salmon (2009). Tinjau kolom CD profil W24x84 mutu Fy = 50 ksi; E = 29000 ksi sehingga 4.71 E Fy = 113 ** Kapasitas aksial ** φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2; L = LDC = 25 ft = 300 in. ; rmin = rx = 9.79 in.
K = 1.0 (ketentuan DAM)
KL 1 * 300 π 2 E π 2 * 29000 = = 30.6 dan Fe = KL 2 = = 306 ksi 9.79 rmin (30.6 )2 rmin
( )
KL rmin
= 30.6 < 4.71
E Fy
[
Fcr = 0.658 F y
= 113 Fe
]F = [0.658
50 306
y
]50 = 46.7 ksi
φc Pn = φc Fcr A g = 0.9 * 46.7 * 24.7 = 1038 Kips ** Kapasitas lentur **
Karena Lb (5 ft ) < L p 6(9.1 ft ) , untuk Fy = 50 ksi maka
φb M n = φb M p = 840 Kip - ft
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 37 dari 41
Pu M ux Pu 61.7 = = 0.06 < 0.2 Æ + ≤ 1 .0 φc Pn 1038 2φc Pn φb Mnx Pu M ux 0.06 682 + = + = 0.842 << 1.0 Æ ok. 2φc Pn φb Mnx 2 840
Catatan: cara lama (Efective Length Method) dari Salmon (2009) halaman 813 diperoleh nilai
0.078 687 Pu M ux + = + = 0.857 atau berbeda ± 1.75% 2φc Pn φb Mnx 2 840
Contoh II: Pada kasus sebelumnya, beban aksial tidak dominan. Berikut akan ditinjau kolom dengan beban aksial saja. Jika cara ELM (pakai faktor K) maka kapasitasnya langsung dihitung tanpa adanya momen (yang memang tidak diberikan). Cara DAM yang mengandalkan 2nd order analysis maka keberadaan momen sangat penting. Itu bisa terjadi karena keberadaan initial imperfection. Struktur yang ditinjau : kolom jepit yang atasnya bebas. Lateral bracing tiap jarak 5 ft sehingga tekuk di bidang saja yang ditinjau.
Mutu baja A992 Fy = 50 ksi E = 29000 ksi. φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2;
L = 25 ft = 300 in. ; rmin = rx = 9.79 in. 4.71 E Fy = 113
** Kapasitas aksial – Cara ELM (Efective Length Method) ** Untuk ELM karena jepit-bebas maka K = 2 sehingga KL 2 * 300 π 2 E π 2 * 29000 = = 61.3 dan Fe = = = 76.2 ksi ( KL r )2 (61.3)2 rmin 9.79 KL rmin
< 4.71
[
]
y 50 = 113 Æ Fcr = ⎡⎢0.658 Fe ⎤⎥ Fy = 0.658 76.2 ⋅ 50 = 38 ksi ⎣ ⎦ F
E Fy
φc Pn = φc Fcr A g = 0.9 * 38 * 24.7 = 844.7 Kips Æ Pu ≤ φc Pn = 844.7 Kips ** Kapasitas aksial & lentur - Cara DAM (Direct Analysis Method) ** Perencanaan mengikuti Chapter C - Design For Stability (AISC 2010) Anggap Pu = φc Pn = φc Fcr A g = 0.9 * 38 * 24.7 = 844.7 Kips Notional load diambil dari beban gravitasi, Yi = Pu = 844.7 kips Ni = 0.002 Yi = 0.002 * 844.7 = 1.69 kip ............................................................. Eq.C2-1 (AISC 2010)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 38 dari 41
Penyesuaian kekakuan sesuai AISC (2010) Chapter C – C2.3 : Karena Pr / Py > 0.5 maka
τb = 4
Pr ⎛⎜ P ⎞ 1 − r ⎟ ..........................................................................................................................(C2-2b) Py ⎜⎝ Py ⎟⎠
Py = 24.7 * 50 = 1235 Kips Æ Pr Py = 844.7 / 1235 = 0.684
τ b = (4 * 0.684 )[1 − 0.684] = 0.86 Faktor reduksi untuk memperhitungkan distribusi inelastis pada penampang diberikan sebagai EI*=0.8 τb EI dan EA* = 0.8EA. Adapun pemodelan dan hasil analisis struktur orde-2 adalah:
b) BMD hasil analisa orde-2
a) Model struktur dan beban
Gambar 30. Analisis stabilitas dengan SAP2000 v 7.4
Segmen AB untuk analisis struktur orde-2 dibagi jadi dua bagian (meshing). Nilai dalam tanda kurung adalah momen bila opsi P-Δ di-non-aktifkan. Faktor reduksi untuk luasan A = 0.8, sedangkan faktor reduksi untuk lentur I = 0.8 * 0.86= 0.688. Evaluasi kuat penampang dengan cara DAM pada prinsipnya tidak mengalami perubahan dari cara ELM, kecuali nilai K = 1 . Besarnya kapasitas terhadap komponen beban aksial:
φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2; L = LDC = 25 ft = 300 in. ; rmin = rx = 9.79 in. K=1 Æ
π 2 E π 2 * 29000 KL 1 * 300 = = 30.6 dan Fe = = = 306 ksi ( KL r )2 (30.6 )2 9.79 rmin
KL rmin = 30.6 < 4.71 E Fy = 113
Æ
[
Fcr = 0.658 Fy
Fe
]F = [0.658 y
50 306
]⋅ 50 = 46.7 ksi
φc Pn = φc Fcr Ag = 0.9 * 46.7 * 24.7 = 1038 Kips ** Kapasitas lentur **
Lb (5 ft ) < L p (6.9 ft ) dan Fy = 50 ksi Æ φb M n = φb M p = 840 Kip - ft Pu
φc Pn
=
844.7 8 M ux Pu = 0.814 ≥ 0.2 Æ + ≤ 1.0 1038 φc Pn 9 φb Mnx
Pu 8 M ux 8 108.5 + = 0.814 + * = 0.93 φc Pn 9 φb Mnx 9 840 Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 39 dari 41
Note: cara ELM (Efective Length Method) tidak ada momennya maka ratio kuat kolom adalah 844.7 Pu = = 1 atau selisih ± 7 % (dari cara DAM diperoleh ratio = 0.93), φc Pn 844.7
dari dua kasus di atas terlihat bahwa rancangan kolom cara DAM menghasilkan kapasitas yang lebih tinggi (hemat) dibanding rancangan kolom cara ELM. Tetapi hal ini tentunya bukan tujuan mengapa harus berpindah dari ELM dan DAM, yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal memperhitungkan stabilitas struktur secara keseluruhan.
6. TABEL PERBANDINGAN : DAM & ELM Telah dibahas detail prinsip kerja cara perencanaan struktur baja yang baru, yaitu DAM (Direct Analysis Method), sekaligus diulas juga keunggulannya dibanding cara lama, yaitu ELM (Effective Length Method). Untuk memahami kembali masing-masing akan disajikan tabel perbandingan dari ke dua cara tersebut yang dibuat oleh AISC (2005 dan 2010) sebagai berikut. Tabel 3. Perbandingan Cara : DAM & ELM
Item yang dibahas Keterbatasan pemakaian Tipe analisis struktur yang diperlukan Geometri struktur untuk analisis Beban lateral tambahan untuk analisa struktur atau yang minimal harus ada. Kekakuan elemen struktur untuk analisa struktur Perencanaan kolom
DAM – direct analysis method tidak ada Analisis Elastis Orde ke-2 (numerik dengan program komputer) didasarkan pada kondisi geometri sebelum dibebani. Jika Δ2nd order / Δ1st order > 1.5 maka beban notional ditambah sebesar 0.2% beban gravitasi (minimum). nilai EA dan EI tereduksi simulasi kondisi inelastis (tegangan residu) K =1 untuk semua elemen batang
Referensi perencanaan
Appendix 7 (AISC 2005) Section C2 (AISC 2010)
ELM – effective length method Δ2nd order / Δ1st order ≤ 1.5 atau B2 ≤ 1.5 Analisis Elastis Orde ke-2 (numerik atau pendekatan via B1 & B2) didasarkan pada kondisi geometri sebelum dibebani. Beban lateral diberikan sebesar 0.2% beban gravitasi (minimum).
Nilai nominal dari EA dan EI tanpa reduksi atau utuh. K=1 untuk elemen batang pada rangka tidak bergoyang, sedangkan untuk rangka bergoyang harus dicari pakai chart bantu. Section C2 (AISC 2005) Appendix 7 (AISC 2010)
7. KESIMPULAN Telah dibahas latar belakang teori tentang kolom, sehingga dapat diketahui bahwa untuk mengevaluasi kekuatan maksimum kolom perlu memperhitungkan pengaruh imperfection (nonlinier geometri) dan kondisi inelastis (nonlinier material). Kedua parameter nonlinier tersebut tentu tidak bisa diprediksi berdasarkan analisa elastis-linier, yang selama ini dijadikan andalan dalam perencanaan struktur baja. Selama ini pengaruh nonlinier pada permasalahan stabilitas struktur diatasi dengan cara pendekatan. Meskipun pada kasus tertentu hasilnya memuaskan, tetapi karena berupa pendekatan pada kondisi tertentu yang lain akan lemah, atau bahkan menyimpang. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan mengapa mempelajari DAM (AISC 2010) diperlukan, dan bagaimana strategi untuk melakukannya. Diharapkan dengan paparan yang diberikan, maka pemahaman terhadap DAM (AISC 2010) dapat dimengerti dengan baik. Pada akhirnya, nanti ketika SNI baja terbaru (Puskim 2011) telah terbit, maka pemakaian metode baru tersebut dapat secara cepat dimanfaatkan. Semoga.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 40 dari 41
8. DAFTAR PUSTAKA AISC.(1978). “Specification for the Design, Fabrication and Erection of Structural Steel for Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc. Chicago, Ill. AISC.(1993). “Load and Resistance Factor Design Specification for Structural Steel Buildings “, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois AISC.(2005). “An American National Standard ANSI/AISC 360-05 : Load Specification for Structural Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois AISC.(2010). “An American National Standard ANSI/AISC 360-10 : Load Specification for Structural Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois Beedle, L.S.(1958).“Plastic Design of Steel Frames”, John Wiley & Sons Inc BSN. (2002). “SNI 03 - 1729 - 2002 : Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung”, Dept. PU, <> - akses 11 Mei 2014 Bjorhovde, R. (1988). “Column : From Theory to Practice”, Engineering Journal, First Quarter. CSI. (2011). “CSI Analysis Reference Manual - For SAP2000®, ETABS®, SAFE®, and CSiBridge”, Computers and Structures, Inc., Berkeley, California CSI.(2007). “Practical How-to guide - Technical Note : 2005 AISC Direct Analysis Method”, Computers and Structures, Inc., Berkeley, California Dewobroto, W.(2013). “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, Lumina Press, Jakarta Galambos . (1998). “Guide to Stability Design Criteria for Metal Structure 5th Ed.”, John Wiley & Sons Galambos and Surovek.(2008). “Structural Stability of Steel: Concepts and Applications for Structural Engineers”, John Wiley & Sons, Inc. Geschwindner. (2002). “2000 T.R. Higgins Award Paper - A Practical Look at Frame Analysis, Stability and Leaning Columns”, Engineering Journal, Fourth Quarter 2002 Geschwindner.(2007). “Unified Design of Steel Structures”, John Wiley & Sons Inc. Guo-Q.L and Jin-J.L.(2007). “Advanced Analysis and Design of Steel Frames”, John Wiley & Sons Puskim. (2011).“RSNI1 03-1729.1-201X : Spesifikasi Umum untuk Gedung Baja Struktur”, Badan Standarisasi Nasional , 307 halaman. <> Salmon, C.G., John E. Johnson and Faris A. Malhas.(2009). “Steel Structures : Design and Behavior – Emphasizing Load and Resistance Factor Design 5th Ed.”, Pearson Education, Inc. Yura .(1971).”The Effective Length of Columns in Unbraced Frames”, AISC Engineering Journal
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian I : hal. 41 dari 41
Judul : Teori dan Latar Belakang Direct Analysis Method (DAM) Sesi II : 13.00 – 14.30 (Ruang W-304 – Gedung Radius Prawiro Lantai 3)
Daftar Isi Makalah : Bagian II 1. 2.
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 ANALISIS STRUKTUR DAN KOMPUTER....................................................... 2 2.1 Umum ............................................................................................................. 2 2.2 Problem tekuk - Elastic Buckling Analysis..................................................... 2 2.3 Problem tekuk - Second Order Elastic Analysis............................................. 7 2.4 Perilaku tekuk dengan Second Order Elastic Analysis................................. 13 2.5 Kesimpulan Analisis Struktur ....................................................................... 13 3. PERANCANGAN KOLOM TERTAMBAT SEDERHANA .............................. 14 3.1 Umum ........................................................................................................... 14 3.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)..................................................... 15 3.3 Cara DAM (AISC 2010)............................................................................... 15 3.4 Evaluasi Perbandingan cara ELM dan DAM................................................ 17 4. PERANCANGAN KOLOM BERGOYANG SEDERHANA ............................. 17 4.1 Umum ........................................................................................................... 17 4.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)..................................................... 18 4.3 Cara DAM (AISC 2010)............................................................................... 18 4.4 Pembahasan perancangan kolom bergoyang sederhana ............................... 20 5. PERANCANGAN STRUKTUR RANGKA Lean-ON SEDERHANA.............. 21 5.1 Umum ........................................................................................................... 21 5.2 Rangka Lean-ON dengan Kolom Beda Kekakuan ...................................... 21 5.3 Rangka Lean-ON dengan Kolom Sama Kekakuan...................................... 25 5.4 Rangka Lean-ON dengan Tinggi Kolom Berbeda....................................... 27 6. DAM (AISC 2010) DAN HASIL UJI EMPIRIS - (Dewobroto 2013a).............. 31 6.1 Umum ........................................................................................................... 31 6.2 Jenis struktur yang diuji ................................................................................ 31 6.3 Batasan dan dimensi struktur yang diuji....................................................... 32 6.4 Mengapa DAM dan apa pentingnya uji beban empiris ................................ 33 6.5 Kalibrator uji stabilitas.................................................................................. 33 6.6 Uji eksperimental scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 ........................... 34 6.7 Perilaku keruntuhan aktual scaffolding......................................................... 36 6.8 Simulasi numerik scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 (terkalibrasi) ...... 37 6.9 Model dan modifikasi kekakuan manual ...................................................... 37 6.10 Detail analisis stabilitas dan evaluasi dengan DAM..................................... 39 6.11 Perbandingan hasil simulasi dan real............................................................ 44 7. KESIMPULAN..................................................................................................... 45 8. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45 Tentang Pemakalah ........................................................................................................... 46
Rekayasa Komputer dalam Analisis dan Desain Struktur Baja Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010)1 Bagian II : Contoh Aplikasi Praktis Wiryanto Dewobroto Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan email : [email protected] ABSTRAK Pada makalah berjudul sama tetapi Bagian I: telah dibahas latar belakang teori tentang kolom, sehingga tahu bahwa untuk mengevaluasi kuat tekan ultimate-nya perlu memperhitungkan pengaruh imperfection (nonlinier geometri) dan kondisi inelastis (nonlinier material). Selama ini pengaruh nonlinier diselesaikan dengan cara pendekatan saja. Memang, pada kasus tertentu hasilnya memuaskan, tetapi karena pendekatan maka pada kondisi lain akan kurang tepat, bahkan menyimpang sangat jauh. Hal itu yang menyebabkan DAM (AISC 2010) dipilih menggantikan cara lama, yaitu ELM (AISC 2005 dan sebelumnya). Setelah mengusai teori, tentu ingin contoh aplikasi praktisnya. Untuk itulah makalah Bagian II ini dibuat. Kata kunci: Direct Analysis Method, SAP2000, simulasi numerik, 2nd order elastic analysis
1. PENDAHULUAN Materi tulisan ini adalah Bagian II dari makalah berjudul sama, yang berfungsi melengkapi tulisan pada makalah di Bagian I. Isinya berupa contoh numerik penyelesaian permasalahan yang terkait dengan Metode Direct Analysis (DAM), yaitu suatu cara baru analisis stabilitas untuk perencanaan struktur baja yang secara resmi direkomendasikan sebagai cara utama pada code AISC (2010). Versi peraturan itulah yang dikemudian hari direncanakan akan dijadikan rujukan atau sumber bagi draft SNI Baja (Puskim 2011a), yaitu code terbaru untuk perancangan struktur baja di Indonesia. Contoh numerik penyelesaian yang dimaksud bukanlah contoh perhitungan perencanaan biasa, tetapi lebih pada aplikasi praktis pemakaian analisa struktur berbasis komputer yang dijadikan syarat utama dalam penyelesaian dengan metode DAM tersebut. Problem dipilih yang relatif sederhana, agar dapat dipahami secara mudah tentang keunggulan penyelesaian yang diberikan. Problem perancangan yang dibahas diusahakan relatif sederhana, yaitu sistem struktur dengan jumlah elemen yang minimal, sekedar permasalahan yang ingin diungkap dapat ditampilkan, dan mudah dipahami. Oleh sebab itu harapannya dari membaca dan mempelajari contoh-contoh pada makalah ini, dapat ditarik suatu makna : mengapa cara perencanaan struktur baja di Indonesia perlu segera berubah dari cara ELM (AISC 2005) ke cara yang lebih baru, DAM (AISC 2010). Itu semua tentunya tidak sekedar alasan ekonomi semata, tetapi karena memang cara baru tersebut mampu mengatasi permasalahan yang sebelumnya tidak bisa tuntas diatasi dengan cara lama yang ada. Pada bagian akhir makalah, akan disajikan juga implementasi DAM dalam kasus real, yaitu untuk mengevaluasi perilaku keruntuhan struktur scaffolding dan memprediksi beban maksimumnya. Karena untuk itu juga dilakukan uji eksperimental laboratorium, di Bandung (Puskim 2011b), maka tentunya sekaligus dapat diperoleh perbandingan hasil antara [a] uji simulasi numerik dengan DAM dan [b] uji empiris pembebanan struktur sampai runtuh di laboratorium, untuk dipelajari bersama. 1
Seminar dan Lokakarya Rekayasa Struktur, Jumat 4 Juli 2014, Ruang W 304, Gd. Radius Prawiro, Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya - 60236
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 1 dari 46
2. ANALISIS STRUKTUR dan KOMPUTER 2.1 Umum Program komputer yang akan digunakan adalah SAP2000, suatu program analisa struktur berbasis metode elemen hingga, yang dianggap paling banyak dikenal oleh para kalangan insinyur di Indonesia. Dengan modal tersedianya program tersebut, maka berbagai metode analisis struktur yang telah disampaikan pada Bagian I dari makalah ini akan coba diaplikasikan secara praktis. 2.2 Beban tekuk dengan Elastic Buckling Analysis. Problem tekuk adalah permasalahan utama dalam analisis stabilitas struktur baja. Meskipun sudah tersedia program komputer dengan kemampuan [i] Analisis Tekuk Elastik (Elastic Buckling Analysis); dan [ii] Analisis Elastis Orde ke-2 (Second Order Elastic Analysis), tetapi kadang para insinyur tidak menyadari apa kelebihan dan keterbatasan ke dua opsi tersebut dalam perencanaan stabilitas baja. Untuk itu akan ditinjau suatu kolom sederhana (tumpuan ujung sendi-sendi) dengan berbagai variasi kelangsingan dan akan dihitung kuat tekan kritis atau kuat tekan batas (Pu) berdasarkan ke dua opsi program di atas dan dibandingkan dengan prediksi desain batang tekan berdasarkan AISC (2005). Kolom baja pakai profil H 150×31 sesuai brosur PT. Krakatau Wajatama - Cilegon Dimensi : H = 150 mm ; B = 150 mm; tw = 7 mm; tf = 10 mm; w = 31.1 kg/m Properti penampang : A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4; rmin = ry = 3.77 cm Mutu baja setara ASTM A36 maka E = 200,000 MPa; Fy = 250 MPa dan ϕ = 0.9 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 L(m) 1.000 1.800 2.600 3.400 4.200 5.022 5.875 6.750 7.625 8.500 KL/r 26.53 47.75 68.97 90.19 111.41 133.21 155.84 179.05 202.25 225.46 λ 0.30 0.54 0.78 1.01 1.25 1.50 1.75 2.01 2.28 2.54 Fcr (MPa) 240.85 221.54 194.29 162.44 129.48 97.59 71.28 54.00 42.32 34.05 ϕPn (kN) 859.46 790.58 693.31 579.67 462.06 348.26 254.38 192.70 151.01 121.52 Kondisi Tekuk-inelastis batas Tekuk-elastis
Note : kuat tekan ϕPn didasarkan rumus E3-2 dan E3-3 (AISC 2010). Dengan program MS-Excel berdasarkan data-data yang ada, dapat dibuat kuat tekan batas kekuatan kolom Pu = ϕPn untuk beberapa kelangsingan kolom mensimulasi kondisi tekuk elastis & inelastisnya. Jika kuat tekan kolom ϕPn yang berdasarkan AISC (2010) dianggap kekuatan realnya, maklum sudah dikalibrasi dengan hasil empiris (lihat Gambar 15 dari makalah penulis di Bagian I), selanjutnya akan dibandingkan dengan kuat tekuk kritis hasil analisis numerik berbasis komputer dengan opsi elasticbuckling atau tekuk-elastis. Program yang digunakan adalah SAP2000 ver 15.0. Untuk mengaktifkan, pertama-tama dibuat model 2D dengan input data L = 8.5 m; E = 200,000 MPa; I = Iy = 563 cm4; A = 39.65 cm2. Tumpuan bawah sendi , d.o.f yang di-restraint adalah δx =1, δy =1, δz =1, θx =1, θy =1, θz =1 (Note : kode 1 adalah kondisi restraint sedang 0 adalah bebas); Tumpuan kolom atas adalah sendi tapi d.o.f arah vertikal bebas : δx =1, δy =1, δz =0, θx =1, θy =1, θz =1. Selanjutnya pada geometri kolom diberikan beban vertikal Pz = -1 kN. Adapun P tekuk kritis adalah faktor pengali beban tersebut pada perhitungan eigen-value terkecil. Untuk mengaktifkan opsi elasticbuckling tentunya tergantung dari program dan versinya. Jika digunakan SAP2000 versi 15.0, maka hal dapat dilakukan via menu Define - Load Case - Add New Load Case (jika belum dibuat) atau jika sudah maka menunya adalah Define - Load Case - Modify / Show Load Case, lihat Gambar 1.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 2 dari 46
Gambar 1. Menu untuk mengaktifkan opsi Elastic Buckling pada SAP2000 v15.0
Karena input-data terbatas, hanya untuk frame 2D, maka d.o.f untuk analisis perlu dibatasi agar tidak terjadi kondisi unstable. Caranya : klik menu Analyze - Set Analysis Option dan tombol Plane Frame. Selanjutnya di RUN, jika Load Case yang lainnya dihapus, maka hasil analisis tekuk akan ditampilkan langsung sejumlah maksimum Number of Buckling Modes (lihat Gambar 1). Ingat untuk titik nodal 3D maka untuk 1 nodal ada 6 d.o.f bebas (3 translasi dan 3 rotasi), jadi nilai defult-nya = 6. Meskipun demikian hasil akhirnya tergantung d.o.f yang aktif. Pada kasus ini maka total terdapat 2 mode.
Gambar 2. Mode tekuk kolom hasil analisis dengan SAP2000 v15
Nilai yang ditampilkan adalah besarnya Faktor pengali terhadap konfigurasi beban yang diberikan, yang menyebabkan terjadinya tekuk. Dalam kasus ini, karena besarnya beban = 1 kN, maka beban tekuk adalah faktor pengali terkecil yang menyebabkan tekuk, yaitu hasil Mode 1 sebesar 187.0173.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 3 dari 46
Jika output yang ditampilkan pada Gambar 2 adalah hasil dari perintah Print Screen, maka untuk hasil yang lebih baik dapat memanfaatkan fitur File - Print Table sehingga akan ditampilan menu berikut :
Gambar 3. Pengaturan keluaran program pada file
Hasil dari analisis elastic-buckling dengan SAP2000 selanjutnya akan disimpan pada file *.RTF, yang dapat dibuka dengan program MS Word sebagai berikut : Tabel 1. Buckling Factors OutputCase
StepType
StepNum
ScaleFactor
BUCK1
Mode
1.000000
187.017301
BUCK1
Mode
2.000000
935.086505
Outputnya berupa Buckling Faktor, pada Mode 1 = 187.017 dan pada Mode 2 = 935.065. Nilai terkecil menentukan. Karena beban kolomnya 1 kN, maka P tekuk = Buckling Faktor = 187.017 kN. Karena model kolom yang dievaluasi sangat sederhana, maka beban tekuk kritis akan dibandingkan dengan hasil rumus Euler berikut :
Pcr =
π 2 EI 2
L
=
π 2 × 200,000 × 563 × 104 8500
2
×
1 = 153.815 kN ...........................................(Beban kritis) 1000
Pembahasan : Perhitungan komputer dengan SAP2000 v15.0 menghasilkan P tekuk = 187.017 kN atau 121.6% Pcr yang didasarkan pada teori klasik Euler. Mengapa terjadi perbedaan ? Jika melihat deformasi kolom di Mode 1(Gambar 2), yaitu estimasi tekuk, dengan bentuk lengkung yang relatif mulus, tentunya tidak terbayang bahwa geometri yang diproses pada SAP2000, berbeda dari gambaran yang terlihat. Akan dibayangkan bahwa bentuk lengkung yang mulus hanya terjadi jika disusun dari banyak segmen lurus. Ingat, segmen lurus di sini adalah element 1D untuk formulasi model struktur, dalam program SAP2000 disebut element Frame. Informasi tentang element tersebut dan formulasi matriknya dapat dipelajari di buku lain, misal Dewobroto (2013b). Padahal model kolom pada analisis di atas hanya disusun dari 1 (satu) elemen tunggal dan juga yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap solusi dengan program komputer pasti didasarkan pada penyeWiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 4 dari 46
lesaian dengan metode numerik, berbeda dengan penyelesain differensial-integral yang digunakan oleh Euler dalam menghasilkan formula tekuk klasik tersebut. Metode numerik adalah didasarkan pada metode pendekatan, sehingga agar eksak harus terdiri dari segmen-segmen kecil. Untuk membuktikan hal itu, maka akan ditinjau kolom yang sama (kolom dengan tumpuan sendi-sendi) tetapi dimodelkan dengan beberapa variasi segmen, sebagai berikut:
Gambar 4. Variasi jumlah segmen pada pemodelan kolom
Untuk membagi model kolom menjadi segmen-segmen yang lebih kecil, atau dalam istilah finite element disebut sebagai pembuatan meshing, ternyata pada program SAP2000 (v15 atau sebelumnya) telah disediakan opsi bantu. Opsi tersebut dapat diakses, setelah elemen yang akan dibagi dipilih terlebih dahulu, melalui menu Asign - Frame - Automatic Frame Mesh sebagai berikut:
Gambar 5. Opsi bantu untuk meshing program SAP2000 v15
Dengan memilih elemen yang akan dibagi dalam mesh-mesh yang lebih kecil (meshing) maka opsi yang digunakan adalah menetapkan Minimum Number of Segments. Pada Gambar 5 menunjukkan elemen akan dibagi menjadi dua, seperti pada Gambar 4c. Selanjutnya dengan mengubah-ubah jumlah segmen akan dilakukan perhitungan ulang beban tekuk dengan SAP2000 dan hasilnya sebagai berikut. Tabel 2. Pengaruh pembagian segmen pada pemodelan untuk ketelitian analisis tekuk Rumus/model Pcr % error
Klasik Referensi 153.815 100%
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Elastic-buckling dengan SAP2000 1 segmen 2 segmen 4 segmen 8 segmen 187.017 154.973 153.894 153.820 121.6% 100.75% 100.05% 100.00%
Bagian II : hal. 5 dari 46
Komentar : meskipun telah menggunakan program SAP2000 versi terkini, ternyata untuk mendapatkan hasil yang tepat masih memerlukan campur tangan insinyur untuk melakukannya. Adanya tampilan grafik yang user-friendly, kadang-kadang bahkan dapat membuat operator program terlena. Dengan membuat model kolom yang dibagi dalam 8 segmen, yang telah terbukti mempunyai ketelitian yang dapat dibandingkan dengan solusi eksak (rumus Euler) maka selanjutnya untuk berbagai kondisi kelangsingan kolom akan dihitung dengan analisis tekuk elastis memakai SAP2000 dan dibandingkan dengan kuat tekan batas berdasarkan AISC (2010) sebagai berikut : Tabel 3. Perbandingan hasil analisis tekuk-elastis dengan kuat tekan batas kolom sesuai AISC (2010) No. L(m) KL/r λ ϕPn (kN) SAP2000 % error Kondisi
1 2 3 4 1.000 1.800 2.600 3.400 26.53 47.75 68.97 90.19 0.30 0.54 0.78 1.01 859.46 790.58 693.31 579.67 11113.54 3430.10 1644.01 961.38 1293% 434% 237% 166% Tekuk-inelastis
5 4.200 111.41 1.25 462.06 630.02 136%
6 5.022 133.21 1.50 348.26 440.66 127% batas
7 5.875 155.84 1.75 254.38 321.99 127%
8 9 6.750 7.625 179.05 202.25 2.01 2.28 192.70 151.01 243.92 191.15 127% 127% Tekuk-elastis
10 8.500 225.46 2.54 121.52 153.82 127%
Jika diperhatikan, memang betul bahwa kuat tekan batas kolom Pu atau ϕPn (AISC 2010) lebih kecil dari kuat tekan kritis teoritis hasil analisis tekuk-elastis dengan program SAP2000. Selisih perbedaan antara keduanya dapat dilihat secara mudah jika keduanya ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan antara kuat tekan batas (vertikal) dan kelangsingan kolom (horizontal) sebagai berikut:
Gambar 6. Perbandingan kuat tekan rumus AISC vs analisa numerik (SAP2000)
Dari grafik pada Gambar 6 dapat dilihat secara visual perbandingan kuat tekan batas kolom berdasarkan rumus E3-2 dan E3-3 (AISC 2010) dan hasil analisis tekuk-elastik dengan SAP2000. Ternyata tidak pada semua kelangsingan kolom, hasil analisis tekuk elastis dengan SAP2000 memberikan hasil yang berkorelasi dengan prediksi AISC (2010), hanya pada KL/r ≥ 133.21 maka selisih perbedaaan antara keduanya adalah konstan, yaitu hasil SAP2000 sekitar 127% lebih tinggi dari AISC. Sedangkan jika kurang maka selisih semakin bahkan sangat signifikan. Besaran KL/r = 133.21 diperoleh dari rumus KL/r = 4.71√(E/Fy), yaitu batas antara tekuk inelastis dan tekuk elastis pada rumus E3-2 dan E3-3 (AISC 2010). Jadi sesuai namanya, yaitu analisis tekuk elastis, maka cara analisis tersebut hanya valid jika digunakan untuk memprediksi tekuk pada struktur yang langsing, yaitu jika elemen-elemen strukturnya mempunyai KL/r > 133.21.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 6 dari 46
2.3 Perilaku tekuk dengan Second Order Elastic Analysis.
Sub-bab ini sebenarnya mengacu pada problem sama yang telah dibahas sebelumnya. Tetapi karena strategi yang digunakan sedikit berbeda (meskipun nanti hasilnya sama) maka perlu dibahas terpisah. Jika cara sebelumnya, yaitu Elastic Buckling Analysis, hasilnya berupa faktor pengali beban penyebab tekuk kritis. Nilainya tunggal hasil proses eigenvalue. Jadi tidak ada deformasi yang dihasilkan. Oleh sebab itu analisis tersebut hanya cocok untuk elemen struktur yang mengalami tekuk secara tiba-tiba (bifurcation buckling). Adapun Second Order Elastic Analysis adalah berbeda, bukan faktor pengali, tetapi sama seperti analisis struktur elastis-linier yang biasa, yaitu menghitung gaya dan deformasi. Perbedaannya adalah kemampuannya memperhitungkan pengaruh perubahan geometri akibat beban. Pada dasarnya Second Order Elastic Analysis adalah analisis nonlinier geometri, yaitu analisis struktur yang dapat mengevaluasi pengaruh perubahan geometri akibat adanya deformasi struktur itu sendiri. Nonlinier karena besarnya deformasi tidak diketahui sebelumnya, perlu perihitungan terlebih dahulu. Itulah mengapa algorithma penyelesaiannya perlu proses incremental dan iterasi yang kompleks. Hal itulah yang menyebabkan analisis seperti itu pada era sebelum komputer, tidak berkembang baik. Untuk mengatasi kompleknya solusi nonlinier, dilakukan penyederhanaan. Salah satunya adalah membuat algortima yang hanya cocok untuk struktur dengan gaya aksial besar tetapi deformasi kecil. Seperti opsi P-Δ yang ada pada SAP2000 sejak versi lama, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus pada bangunan tinggi. Seperti diketahui, pada bangunan tinggi pengaruh gaya aksial tingkat yang besar tidak bisa diabaikan. Jadi meskipun deformasinya relatif kecil, tetapi pengaruh P-Δ akan signifikan. Kondisi tersebut tentu berbeda dari kasus struktur kabel yang juga memerlukan program analisis nonlinier geometri. Program dengan opsi P-Δ untuk deformasi kecil, itu yang akan dibahas. Karakter dari Second Order Elastic Analysis adalah mirip Elastic Buckling Analysis, sehingga kolom baja yang ditinjau masih sama, yaitu profil H 150×150. Agar analisisnya valid maka panjang L = 8.5 m saja, yaitu sebagai kolom langsing (KL/r ≈ 225). Karena deformasi pada analisis ini dapat dievaluasi, dan juga perilaku tekuk kolom sudah diketahui, yaitu deformasi besar di tengah bentang, maka pada tengah-tengah model ditambahkan titik nodal lagi. Adapun konfigurasi model yang ditinjau adalah:
Gambar 7. Pemodelan untuk analisis orde ke-2 kolom sederhana Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 7 dari 46
Untuk mendapatkan ketelitian lebih, maka tiap segmen pada model akan dilakukan meshing otomatis, dalam hal ini tiap segmen dibagi menjadi 4. Berarti dengan tambahan titik nodal tengah, secara keseluruhan segmen kolom dibagi menjadi 8 dalam analisisnya, sehingga dapat dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Selanjut pada konfigurasi kolom tersebut akan ditinjau dua strategi analisis, yaitu [1] Model-A : kolom dengan gaya aksial P saja; dan [2] Model-B : kolom dengan gaya aksial P dan gaya lateral H = α P di tengah bentang. Besarnya α = 0.002 sesuai Chapter C rumus C2-1 (AISC 2010), yaitu terkait petunjuk besarnya gaya notional untuk analisis dengan cara DAM. Berarti pada Model A maka α = 0.000. Beban (aksial atau lateral) akan diberikan dengan pentahapan, sampai maksimum. Terkait dengan beban maksimum, maka dari hasil analisis tekuk elastis telah diketahui bahwa beban tekuk untuk KL/r ≈ 225 adalah sebesar 153.6 kN. Jadi pada pembebanan di Model-A dan Model-B akan diberikan pentahapan beban sampai kira-kira mencapai P = 160 kN, sedangkan khusus di Model-B akan ditambahkan juga (sekaligus dengan P) suatu beban lateral H = 0.002*160=0.32 kN. Strategi analisis di SAP2000 pada dasarnya sama seperti untuk analisis elastis-linier. Hanya saja untuk itu opsi P-Δ perlu diaktifkan. Caranya melalui menu perintah Define – Load Cases – Add New Load Case . . . , yaitu jika sebelumnya belum dibuat, atau Define – Load Cases – Modify / Show Load Case sehingga akan ditampilkan berikut.
Gambar 8. Menu untuk mengatifkan 2nd order elastic analysis (SAP2000 v15)
Catatan : jika menu di atas belum tampil, maka setelah klik Define Load Cases selanjutnya pada menu yang ditampilkan pada bagian Analysis Type : klik Nonlinier. Tampilan pada Gambar 8 adalah dihasilkan oleh program SAP2000 v15 yang memakai OS – Window 98, yang ternyata tampilannya berbeda jika diinstall pada OS – Window 7 , lihat Gambar 5 dan sebelumnya. Tetapi meskipun tampilannya berbeda tetapi hasil numeriknya tetap sama.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 8 dari 46
Jika tahapan di atas sudah dijalankan, maka selanjutnya data dapat diproses dengan meng-klik RUN. Analisis 2nd Order Elastic Analysis adalah termasuk analisis nonlinier pada umumnya, yang berbeda dibandingkan dengan analisis elastik-linier, yang biasa digunakan pada perencanaan. Jika pada analisis biasa, maka yang diharapkan adalah besarnya gaya dan deformasi akibat beban tersebut. Sedangkan pada analisis nonlinier, yang sebenarnya ingin dicari adalah perilaku struktur pada setiap kondisi beban. Jadi beban sebesar 160 kN (vertikal) ada Model-A dan Model-B dan 0.32 kN (horizontal) pada Model-B itu sebenarnya akan diproses oleh program secara bertahap. Katakanlah mulai dari 1%P lalu 2%P, lalu 3%P dan selanjutnya sampai tuntas. Untuk tiap tahapan, deformasi yang terjadi sebelumnya akan diperhitungkan untuk tahapan berikutnya, termasuk kondisi keseimbangan yang terjadi, yaitu melalui proses iterasi (ini menjadi problem metode numerik, yang untuk menjelaskannya perlu uraian panjang tersendiri). Itulah maksud dari proses incremental dan iteration pada analisis nonlinier. Meskipun program SAP2000 pada dasarnya tidaklah didedikasikan untuk analisi nonlinier, tetapi untuk memudahkan melihat perilaku struktur menyediakan opsi Diplay – Show Plot Functions atau alternatifnya klik F12 maka akan ditampilkan Plot Function Trace Display Definition berikut.
Gambar 9. Plot perilaku struktur hasil analisis nonlinier (SAP2000 v15).
Selanjutnya perlu dibuat terlebih dahulu Functions yang akan dilacak, dalam hal ini adalah fungsi gaya dari reaksi tumpuan dan fungsi deformasi lateral titik di tengah kolom. Jika penomoran sesuai dengan model pada Gambar 7 maka reaksi tumpuan yang dimaksud adalah gaya arah sumbu z pada titik nodal 1. Cara mendefinisikan fungsi adalah dengan klik Define Plot Function dari tombol pada menu pada Gambar 9. Selanjutnya akan muncul menu Plot Functions sebagaimana terlihat di Gambar 10. Pada menu Plot Functions tersebut perhatikan pilihan Choose Function Type to Add, yaitu tampilkan opsi Add Joint Disp/Forces sehingga akan muncul menu baru, yaitu Joint Plot Function, lihat Gambar 10 juga. Tetapkan terlebih dahulu Joint ID, yaitu nomer titik nodal yang akan dilacak setiap perubahan beban yang ada (incremental load). Itulah mengapa pada pemodelan yang diberikan penomoran pada model perlu diperhatikan dengan benar. Jika salah nomor maka tentu hasilnya juga tidak ada artinya, menjadi tidak bermakna.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 9 dari 46
Gambar 10. Mengatur fungsi untuk plot perilaku struktur (SAP2000 v15)
Langkah yang sama dikerjakan untuk deformasi titik nodal yang dilacak. Jadi dalam hal ini ada dua titik nodal yang dilacak besarnya gaya dan deformasi. Selanjut kembali ke menu Plot Function Trace Display Definition, pastikan Vertical Function adalah gaya, dan Horizontal Plot Function adalah deformasi arah lateral di titik tengah kolom. Jika sudah pada menu yang sama klik tombol Display.
a). Plot dari Model-A
B). Plot dari Model-B
Gambar 11. Perilaku struktur kolom yang dibebani sampai beban tekuknya tercapai
Perhatikan Model-A dan Model-B semuanya sama, kecuali beban lateral sebesar αP di tengah bentang kolom, yang besarnya hanya 0.002 atau 0.2% proporsional terhadap beban aksial yang diberikan. Besar beban lateral relatif sangat kecil nilainya, meskipun demikian hasilnya sangat signifikan. Pada ModelA, dari hasil analisis nonlinier tidak dapat dilacak terjadinya deformasi pada struktur, tetapi dari Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 10 dari 46
Model-B pada saat mendekati beban kritis atau tekuknya, maka terlihat terjadi deformasi lateral yang begitu besar. Ini seperti konsep tekuk yang dipahami selama ini, yaitu terjadi deformasi besar untuk tambahan beban yang kecil. Pelacakan gaya-deformasi pada Gambar 11 didasarkan pada nilai default jumlah rekaman incremental, yaitu Minimum Number of Saved States = 10 dan Maximum Number of Saved States = 100. Lihat menu Result Saved for Nonlinier Static Load Case pada Gambar 12 di bawah. Itu bisa muncul jika dipilih tombol Modify/Show... pada opsi Other Parameter – Result Saved – Multiple States pada menu Load Case Data – Nonlinier Static diaktifkan.
Gambar 12. Parameter ketelitian analisis non-liner yang dilacak
Agar lebih teliti, nilai default di atas tersebut perlu diubah. Selanjutnya dipilih • Minimum Number of Saved States = 20 • Maximum Number of Saved States = 100
Selanjutnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya maka perilaku tekuk kolom yang dianalisis memakai Model-B, yaitu dengan adanya beban lateral tambahan dapat menangkap perilaku kolom ketika terjadi tekuk dengan lebih teliti sebagai terlihat pada Gambar 13. Jika diinginkan data yang lebih jelas, maka dengan perintah File pada menu Display Plot Function Traces maka dapat dihasilkan data dalam bentuk file, sehingga dapat diproses memakai program lain. Sebagai contoh maka hasilnya akan disimpan pada file Perilaku_kolom.txt sebagai berikut.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 11 dari 46
Gambar 13. Perilaku tekuk kolom langsing berdasarkan Model-B dengan 2nd Order Elastic Analysis.
Isi file Perilaku_kolom.txt berdasarkan perilaku kolom pada Gambar 13 di atas.
SAP2000 v15.1.0 File: MODEL-B 5/30/14 11:17:49 N O N L I N E A R
S T A T I C
CASE 2nd-analysis FUNCTION Joint2: Joint 2 FUNCTION Joint1: Joint 1 STEP 0.00000 1.00000 2.00000 . . .
KN, m, C Units
FUNCTION Joint2 0.00000 7.272E-05 1.470E-04
PAGE 1
D A T A
Displacement Spring Force
UX U3
FUNCTION Joint1 0.00000 3.20000 6.40000
(sengaja dihapus) 42.00000 43.00000 44.00000 45.00000 46.00000 47.00000 48.00000 49.00000 49.00000 50.00000
0.02336 0.02839 0.03568 0.04712 0.06739 0.14222 2.39880 -0.18125 -0.18125 -0.08914
134.40000 137.60000 140.80000 144.00000 147.20000 150.40000 153.60000 156.80000 156.80000 160.00000
Æ menjelang tekuk sebab ada deformasi lateral besar Æ telah terjadi mechanism atau instabilitas
Pembahasan : Gaya maksimum pada kondisi sebelum mechanism / instabilitas adalah 153.6 kN, atau kira-kira sedikit dibawah Pcr = 153.82 (tekuk elastis dari Euler). Karena nilai yang diperoleh dari 2nd Order Elastic Analysis sekitar 99.85% dari nilai tekuk elastis Euler maka dianggap analisis tersebut mampu memprediksi stabiltas struktur sampai terjadinya tekuk. Meskipun dapat dipergunakan untuk mengestimasi tekuk tetapi dalam pemodelan perlu ditambahkan gaya lateral khusus sebagai pemicu analisis, yaitu beban lateral αP (lihat Gambar 7). Ini adalah beban khusus, bukan untuk mensimulasi beban gempa atau angin atau yang lain, sebagaimana umumnya digunakan untuk analisis stabilitas. Beban itu khusus untuk maksud analisis itu sendiri. Itu mengapa AISC sampai memberi istilah khusus tersendiri sebagai Notional Load. Chapter C2.2b (AISC 2010). Itu dimaksud sebagai pemodelan adanya imperfection dari kolom. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 12 dari 46
2.4 Pengaruh inelastis pada ketepatan hasil Second Order Elastic Analysis.
Pembahasan terkait Elastic Buckling Analysis atau analisis tekuk elastis sudah diketahui bahwa analisis jenis itu tidak sesuai digunakan untuk memprediksi tekuk inelastis kolom baja (Gambar 6). Perilaku tekuk inelastis kolom baja terjadi pada kelangsingan lebih kecil dari KL/r = 4.71√(E/Fy) atau jika digunakan baja setara A36 maka nilai KL/r = 133.21. Untuk mengevaluasi apakah kelemahan itu juga dimiliki oleh analisis 2nd order elastic analysis yang sebelumnya telah sukses memprediksi tekuk elastis kolom pada KL/r = 225. Kolom yang ditinjau tentunya masih sama dengan sebelumnya, yaitu kolom baja profil H 150×150. Agar masuk dalam kategori tekuk inelastis maka panjang L = 2.6 m, sehingga Kl/r = 68.97. Hasil hitungan dengan analisis tekuk elastis dengan SAP2000 adalah P =1644 kN, diambil P = 1650 kN. Besarnya αP = 0.002P = 3.3 kN. Maka berdasarkan model yang dimodifikasi dari model sebelumnya akan dilakukan analisis 2nd order elastic analysis dan hasilnya sebagai berikut. SAP2000 v15.1.0 File: MODEL-INELASTI-BUCKLING-L2_6M 5/30/14 12:13:42 N O N L I N E A R
S T A T I C
CASE 2nd-analysis FUNCTION Joint2: Joint 2 FUNCTION Joint1: Joint 1 STEP 0.00000 1.00000 2.00000
42.00000 43.00000 44.00000 45.00000 46.00000 47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
Displacement Spring Force
UX U3
FUNCTION FUNCTION Joint2 Joint1 0.00000 0.00000 2.146E-05 33.00000 4.336E-05 66.00000 . . (sengaja dihapus) . 0.00559 1386.00000 0.00654 1419.00000 0.00779 1452.00000 0.00953 1485.00000 0.01210 1518.00000 0.01622 1551.00000 0.02642 1584.00000 0.05709 1617.00000 -0.29049 1650.00000 Æ menjelang tekuk sebab ada deformasi lateral besar
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku tekuk terjadi pada P = 1650 kN >> ϕPn = 693 kN. 2.5 Kesimpulan validitas analisis terhadap stabilitas struktur
Analisis struktur yang telah dibahas secara mendetail pada tulisan ini adalah Elastic Buckling Analysis dan Second Order Elastic Analysis. Jenis analisis stabilitas yang lain tidak dibahas, karena hanya kedua jenis itu yang terkait dengan DAM (AISC 2010). Karena umumnya analisis tersebut sudah dikenal lama, khusunya untuk memprediksi pengaruh P-Δ pada bangunan tinggi, maka tentunya program komputer yang diperlukan untuk menjalankan cara DAM mempunyai persyaratannya tidak terlalu ketat atau sudah tersedia. Kesimpulan umum bahwa kedua analisis tersebut (Elastic Buckling Analysis dan 2nd Order Elastic Analysis) hanya valid digunakan untuk memprediksi tekuk pada kolom dengan kondisi elastis. Jika digunakan untuk kolom sebenarnya, yang bisa saja berperilaku inelastis, maka hasilnya tidak tepat. Prediksi yang dihasilkan lebih tinggi dari yang sebenarnya akan terjadi. Jadi jika digunakan untuk perencanaan langsung maka hasil desain menjadi under-estimate atau tidak aman. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 13 dari 46
3. PERANCANGAN KOLOM TERTAMBAT SEDERHANA 3.1 Umum Analisis struktur orde ke-2 atau disebut juga 2nd Order Elastic Analysis adalah persyaratan program yang perlu digunakan untuk analisis dan desain struktur baja dengan cara DAM (AISC 2010). Dari uraian yang telah diberikan sebelumnya, memang terbukti bahwa analisis seperti itu sanggup untuk mengevaluasi perilaku stabilitas struktur, yaitu memprediksi beban batas yang menyebabkan terjadinya fenomena tekuk atau buckling. Fenomena tersebut termasuk dalam nonlinier geometri.
Dari teori kolom yang ada, terbukti bahwa kondisi inelastis akibat adanya tegangan residu mempengaruhi kekuatan tekuk kolom. Kondisi yang dimaksud menyebabkan terjadinya tekuk inelastis, yang mana hal itu ternyata tidak bisa diprediksi dengan baik dengan analisis struktur order ke-2 tersebut. Oleh karena itu tentu timbul keraguan, apakah cara D.A.M yang notabene hanya mengandalkan analisis struktur orde ke-2 tersebut mampu memprediksi kekuatan kolom dengan cukup akurat. Metode uji dilakukan sederhana, membandingkan perencanaan kolom tumpuan sendi-sendi (tidak bergoyang) yang masuk kategori tekuk-inelastis dan dibebani sebesar 0.8 ϕPn, jika dihitung dengan rumus AISC (2010). Konfigurasi kolom yang akan dievaluasi adalah sebagai berikut :
Gambar 14. Kolom baja tertambat sederhana
Selanjutnya berdasarkan kondisi kolom yang begitu sederhana tersebut, tetapi perilakunya adalah tekuk inelastis. Tentunya dapat diketahui jika cara DAM (2010) sekedar mengandalkan kemampuan komputer, yaitu Second Order Elastic Analysis maka tentu hasilnya tidak akan memuaskan. Tentang hal itu pembaca sebaiknya melihat kembali penjelasan pada bab 2.4. Jadi untuk menunjukkan bahwa Direct Analysis Method (DAM) adalah strategi baru perencanaan baja dengan memanfaatkan komputer, dan berbeda dari Effective Length Method (ELM) maka itu semua akan ditunjukkan dengan cara perbandingan hasil rancangan keduanya sebagai berikut.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 14 dari 46
3.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)
Untuk kolom tunggal dengan tumpuan sendi-sendi (lihat Gambar 14) maka rumus E3-2 (AISC 2010) dapat langsung digunakan tanpa perlu analisa struktur. Parameter perencanaan profil H 150×31 sesuai brosur PT. Krakatau Wajatama - Cilegon. Dimensi : H = 150 mm ; B = 150 mm; tw = 7 mm; tf = 10 mm; w = 31.1 kg/m. Properti penampang : A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4; rmin = ry = 3.77 cm. Mutu baja setara ASTM A36 maka E = 200,000 MPa; Fy = 250 MPa dan ϕ = 0.9. Jawab : KL/rmin = 1*2600/37.7 = 68.966 < 4.71√(E/Fy) = 133.22 jadi rumus E3-2 menentukan.
Fe =
π 2E
(KL r )2
(
Fcr = 0.658 Fy
=
Fe
π 2 * 200,000 68.9662
)F
y
= 415.01 MPa ................................................................................. (E3-4)
250 ⎛ ⎞ = ⎜⎜ 0658 415.01 ⎟⎟Fy = 0.777 Fy = 194.3 MPa..................................................... (E3-2) ⎝ ⎠
φPn = φAg Fcr = 0.9 * 39.65 * 102 * 194.3 / 1000 = 693.4 kN Jika Pu = 550 kN, maka
Ru P 550 = u = = 0.793 φRn φPn 693.4
3.3 Cara DAM (AISC 2010)
Pemakaian komputer belum tentu lebih sederhana dari metode yang manual. Ini bisa terlihat dari prosedur DAM yang diaplikasikan pada kolom tunggal. Bahkan pemakaian komputer untuk kasus seperti ini akan terlihat sangat berlebihan. Meskipun demikian, prosedur kerja yang digunakan adalah konsisten, baik untuk kolom tunggal ataupun struktur yang kompleks maka tentunya dengan melihat strategi penyelesaian struktur sederhana ini akan sangat membantu untuk memahami apa itu DAM. Bagi DAM pada dasarnya tidak dikenal istilah kolom saja, adanya adalah balok kolom. Oleh sebab itu meskipun hanya kolom tunggal (tampilan fisik) tetapi dalam perencanaannya harus diperhitungkan sebagai kombinasi balok-kolom. Oleh sebab itu stabilitas profil terhadap tekuk lokal perlu dilihat. Kebetulan karena arah tekuk lentur ditentukan oleh sumbu lemah, maka persyaratan check tekuk lokal tidak ada. Adapun ketentuan kuat lentur nominal sumbu lemah digunakan ketentuan F6. I-Shaped Members And Channels Bent About Their Minor Axis, sebagai berikut : M n = M p = Fy Z y ...............................................................................................................................(F6-1)
Profil H150×150 sumbu lemah Zy =1.5 Sy = 1.5* 75.1= 112.65 cm3, sehingga ϕMn = 0.9*112.65E3* 250/1E6 = 25.346 kNm. Untuk properti kolom, sama seperti ELM sebelumnya, yaitu ϕPn = 693.4 kN dan Pu = 550 kN. Jadi data yang belum ada dan diperlukan untuk evaluasi dengan cara DAM adalah Mu, dan untuk itu perlu dilakukan analisis orde ke-2 dan manipulasi data sebagai berikut : •
Imperfection: berupa beban notional αP = 0.002*550 = 1.1 kN
•
Reduksi kekakuan: hitung τb check dulu Py =3965*250/1E3 = 991 kN. Hitung Pr/Py= 550/991= 0.55 > 0.5 maka sesuai ketentuan C2-2b nilai τb = 4*0.55*(1-0.55)= 0.99. karena EA dan EI semua reduksi maka E* = 0.8τbE = 0.8*0.99*200,000=158400 MPa.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 15 dari 46
Gambar 15. Pemodelan kolom tertambat untuk 2nd Order Elastic Analysis mencari Mu.
Selanjutnya model strukturnya seperti Gambar 15, dimana dengan P = 550 kN di nodal 3 (vertikal) dan beban notional αP = 1.1 kN di nodal 2 (horizontal). Modulus elastis reduksi = 158400 MPa adapun nilai A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4 , tidak ada perubahan dari cara ELM sebelumnya. Dengan menggunakan proses analisis 2nd Order Elastic Analysis dengan SAP2000 v 15 maka hasilnya disajikan dalam bentuk numerik sebagai berikut: SAP2000 v15.1.0 File: EX-DAM-KOLOM-TUNGGAL-2_6M 5/30/14 17:59:28 N O N L I N E A R
S T A T I C
CASE 2nd-analysis FUNCTION momen: Frame 1 FUNCTION axial: Frame 1 STEP 0.00000 1.00000 2.00000 3.00000
46.00000 47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
Station 8 Station 1
Moment 3-3 Axial Force
FUNCTION FUNCTION momen axial 0.00000 0.00000 -0.01430 -11.00000 -0.02870 -22.00000 -0.04319 -33.00000 . . (untuk DAM listing STEP ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan) . -0.98640 -506.00000 -1.00804 -517.00000 -1.02994 -528.00000 -1.05211 -539.00000 -1.07456 -550.00000 Æ ini data Mu dan Pu yang diperlukan
Cara DAM selalu menganggap bahwa setiap elemen pada dasarnya adalah balok-kolom. Oleh sebab itu evaluasinya dengan mengganggap sebagai gaya kombinasi, yaitu Chapter H (AISC 2010), ketentuannya adalah H1. Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force : untuk
550 Pu = = 0.793 ≥ 0.2 maka φPn 693.4
Ru
φRn
=
Pu
φPn
+
8 Mu 550 8 1.07456 = + × ................................................................................(H1-1a) 9 φMn 693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.7932 + 0.0377 = 0.8309
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 16 dari 46
3.4 Evaluasi Perbandingan cara ELM dan DAM
Dari perbandingan ratio kuat perlu dibagi kuat tersedia, dapat dilihat bahwa hasil perancangan dengan cara ELM terlihat lebih hemat (ratio lebih kecil) dibanding hasil dengan cara DAM. selisihnya =
Ru φRn DAM 0.8309 = = 1.0475 atau terjadi selisih sekitar 5% lebih besar. Ru φRn ELM 0.7932
Pembahasan : Pada perencanaan kolom tertambat (tidak bergoyang), tumpuan sendi-sendi, terlihat jika penggunaan beban notional (simulasi imperfection) akan menambah tegangan kolom. Sehingga evaluasi nilai ratio kuat perlu – kuat tersedia, rationya menjadi lebih besar dibanding ratio yang sama dihitung dengan cara lama (ELM). Ini dapat dimaklumi karena kurva kuat tekan-kelangsingan kolom tunggal (E3-2 dari AISC 2010) pada dasarnya telah memasukkan pengaruh imperfection, kondisinya double. Penempatan beban notional di tengah bentang itu sendiri tidak terdapat contohnya di AISC (2010). Pada code contoh-contoh terkait teori dan aplikasi DAM umumnya merujuk portal bergoyang sehingga beban notional ada pada titik nodal pertemuan balok dan kolom. Memang pada struktur jenis itu perilaku tekuk mengakibatkan titik nodal berpindah. Jika mengacu konsep itu yang dipakai, yaitu tidak ada beban notional di tengah bentang, tapi diberikan pada titik nodal yang juga tumpuan, maka pastilah tidak ada momen akibat imperfection. Berarti hanya ada efek gaya tekan. Sehingga hasilnya pasti akan sama persis dengan cara ELM. Jadi pilihan menempatkan beban notional di tengah bentang, menyesuaikan dengan bentuk deformasi ketika terjadi tekuk adalah pilihan konservatif (aman). Itupun hasilnya hanya menyebabkan selisih 5% yang tentu saja jika dibandingkan evaluasi statististik kekuatan kolom adalah tidak signifikan.
4. PERANCANGAN KOLOM BERGOYANG SEDERHANA 4.1 Umum
Hasil rancangan pada kolom tertambat menunjukkan bahwa hasil perencanaan cara DAM relatif lebih konservatif (boros). Bagaimanapun itu sangat tergantung dari beban notional yang ada dan bentuk struktur. Untuk melihat cara DAM bekerja, ada baiknya evaluasi juga kolom kantiveler bergoyang.
Gambar 16. Kolom kantilever baja bergoyang sederhana
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 17 dari 46
4.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)
Untuk kolom kantilever tunggal sederhana, maka Tabel C-C.2.2 (AISC 2005) langsung dapat digunakan untuk memprediksi panjang efektif tekuk, yaitu menggunakan faktor K = 2. Selanjutnya kuat tekuk nominal kolom dapat dihitung memakai rumus E3-2 atai E3-3 (AISC 2010) tanpa harus menggunakan analisa struktur. Parameter profil H 150×31 sesuai brosur PT. Krakatau Wajatama - Cilegon. Dimensi : H = 150 mm ; B = 150 mm; tw = 7 mm; tf = 10 mm; w = 31.1 kg/m. Penampang : A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4; rmin = ry = 3.77 cm. Jika digunakan baja mutu setara ASTM A36 maka E = 200,000 MPa; Fy = 250 MPa dan ϕ = 0.9. Jawab : KL/rmin = 2*2600/37.7 = 137.93 > 4.71√(E/Fy) = 133.22 jadi rumus E3-3 menentukan. Fe =
π 2E
(KL r )2
=
π 2 * 200,000 137.932
= 103.76 MPa ................................................................................. (E3-4)
Fcr = 0.877 Fe = 90.99 MPa ............................................................................................................. (E3-2)
φPn = φA g Fcr = 0.9 * 3965 * 90.99 / 1000 = 324.7 kN Jika Pu = 325 kN, maka
Ru P 325 = u = = 1.001 φRn φPn 324.7
4.3 Cara DAM (AISC 2010)
Pada kasus kolom kantilever baja maka kondisi tekuk akan menyebabkan titik nodal atas berpindah tempat sehingga untuk mensimulasi kondisi seperti itu maka penempatan beban notional akan disana. Penggunaan analisis struktur orde ke-2 elastis diperlukan untuk melihat pengaruh deformasi akibat beban aksial dan notional tersebut. Oleh sebab itu beban yang dberikan diambil maksimum, yaitu sama dengan kuat tekan nominal sesuai estimasi cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya). Karena geometri kolom sama persis dengan kondisi kolom tertambat sederhana maka beberapa prosedus sebelumnya langsung dapat diaplikasikan. Karena arah tekuk lentur ditentukan oleh sumbu lemah, maka persyaratan check tekuk lokal tidak ada. Adapun ketentuan kuat lentur nominal sumbu lemah digunakan ketentuan F6. I-Shaped Members And Channels Bent About Their Minor Axis, sebagai berikut : M n = M p = Fy Z y ...............................................................................................................................(F6-1)
Profil H150×150 sumbu lemah Zy =1.5 Sy = 1.5* 75.1= 112.65 cm3, sehingga ϕMn = 0.9*112.65E3* 250/1E6 = 25.346 kNm. Untuk properti kolom, sama seperti ELM sebelumnya, yaitu ϕPn = 324.7 kN dan Pu = 325 kN. Jadi data yang belum ada dan diperlukan untuk evaluasi dengan cara DAM adalah Mu, dan untuk itu perlu dilakukan analisis orde ke-2 dan manipulasi data sebagai berikut : •
Imperfection: berupa beban notional αP = 0.002*325 = 0.65 kN
•
Reduksi kekakuan: hitung τb check dulu Py =3965*250/1E3 = 991 kN. Hitung Pr/Py= 325/991= 0.32 < 0.5 maka sesuai ketentuan C2-2a nilai τb = 1. karena EA dan EI semua reduksi maka E* = 0.8τbE = 0.8*1*200000=160000 MPa.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 18 dari 46
Gambar 17. Pemodelan kolom bergoyang untuk 2nd Order Elastic Analysis mencari Mu.
Selanjutnya model struktur seperti Gambar 17, dengan P = 325 kN di nodal 3 (vertikal) dan beban notional αP = 0.65 kN di nodal 3 juga (horizontal). Modulus elastis reduksi = 160000 MPa adapun nilai A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4 , tidak mengalami perubahan dibanding cara ELM. Dengan menggunakan proses analisis 2nd Order Elastic Analysis dengan SAP2000 v 15 maka hasilnya disajikan dalam bentuk numerik sebagai berikut: SAP2000 v15.1.0 File: EX-DAM-KOLOM-KANTILEVER-2_6M 5/31/14 1:30:40 N O N L I N E A R
S T A T I C
CASE 2nd-analysis FUNCTION axial: Frame 1 FUNCTION momen: Frame 1 STEP 0.00000 1.00000 2.00000
47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
Station 1 Station 8
Axial Force Moment 3-3
FUNCTION FUNCTION axial momen 0.00000 0.00000 -6.50000 0.01625 -13.00000 0.03287 . . (untuk DAM listing STEP ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan) . -305.50000 12.08993 Æ data Pu dan Mu untuk evaluasi ke-2 -312.00000 16.98796 -318.50000 28.35004 -325.00000 77.33041 Æ data Pu dan Mu untuk evaluasi ke-1
Perbedaan pokok cara DAM dengan cara ELM adalah bahwa perhitungan selalu memakai K=1 . Oleh sebab itu nilai ϕPn = 693.4 kN (diambil dari perhitungan kolom tertambat sederhana sebelumnya). Selanjutnya dievaluasi dengan ketentuan kombinasi, yaitu Chapter H (AISC 2010), ketentuannya adalah H1. Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force : untuk
325 Pu = = 0.4687 ≥ 0.2 maka φPn 693.4
P Ru 8 Mu = u + ........................................................(H1-1a) φRn φPn 9 φMn
Ru 325 8 77.330 = + × φRn 693.4 9 25.346 Ru φRn = 0.4687 + 2.71 = 3.18
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
>>>>>>> dari ratio dengan cara ELM (???).
Bagian II : hal. 19 dari 46
Ternyata hasilnya berbeda jauh antara hasil perhitungan cara DAM dan cara ELM. Perhitungan kolom kantilever baja pada pembebanan rencana Pu = 325 kN menjadi tidak aman ketika dievaluasi dengan cara DAM (AISC 2010), padahal beban rencana yang sama telah memenuhi persyaratan jika dievaluasi memakai cara ELM (AISC 2005), cara lama yang selama ini telah berlaku. Kebetulan analisis dengan SAP2000 dilakukan secara bertahap, jika beban diturunkan sedikit menjadi kira-kira hanya 94% dari beban rencana semula sehingga Pu = 0.94*325 = 305.5 kN, maka dari hasil analisis yang sama akan diperoleh Mu = 12.1 kNm. Selanjutnya check dengan rumus iteraksi : untuk
Pu 305.5 = = 0.44 ≥ 0.2 maka φPn 693.4 P Ru 8 Mu 312 8 12.1 = u + = + × .................................................................................(H1-1a) φRn φPn 9 φMn 693.4 9 25.346 Ru φRn = 0.44 + 0.424 = 0.86 < 1 memenuhi persyaratan.
4.4 Pembahasan perancangan kolom bergoyang sederhana
Pada pembebanan maksimum, sesuai kondisi maksimum jika dievaluasi dengan ELM (AISC 2005), ternyata beban tersebut tidak memenuhi persyaratan ketentuan DAM (AISC 2010) dimana ratio kuat perlu terhadap kuat tersedia atau Ru/ϕRn adalah >> 1 atau overstress. Jika beban rencana direduksi - 6% saja, hasilnya memuaskan karena ratio Ru/ϕRn = 0.86 atau terjadi pengurangan sebesar 72% dari kondisi overstress. Tetapi ketika kondisi beban yang baru tersebut dievaluasi ulang dengan ELM (AISC 2005), hasilnya tidak terlalu memuaskan karena untuk Pu = 305.5 kN maka perbandingan
Ru
φRn
=
Pu
φPn
=
305.5 = 0.94 > 0.86 (cara DAM). 324.7
Petunjuk praktis yang dapat diambil adalah bahwa pada pembebanan rendah, desain cara DAM akan menghasilkan struktur yang lebih ekonomis, tetapi pada kondisi beban tinggi menghasilkan struktur yang lebih aman, dibanding hasil desain dengan cara lama atau ELM (AISC 2005). Itu semua akibat perilaku nonlinier dari adanya interaksi beban dan deformasi yang dapat dilacak dengan baik oleh DAM (AISC 2010). Untuk melihat bahwa hubungan gaya aksial dan momen pada kolom adalah tidak linier maka data di atas akan diakses dari hasil analisis SAP2000 dan ditampilkan dalam bentuk kurva memakai program Excel sebagai berikut :
Gambar 18. Perilaku nonlinier gaya aksial tekan dan momen pada kolom
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 20 dari 46
5. PERANCANGAN STRUKTUR RANGKA LEAN-ON SEDERHANA 5.1 Umum
Telah diungkap karakter perancangan cara baru DAM (AISC 2010) dan cara lama ELM (AISC 2005) berdasarkan perilaku kolom tunggal tertambat dan bergoyang. jika strukturnya semakin kompleks, disitulah keunggulan komputer. Jadi selama prosedurnya sama, struktur satu dan banyak elemen tidak menimbulkan perbedaan berarti. Tetapi yang jelas, jika digunakan contoh struktur dengan banyak elemen maka mempelajarinya tentu akan lebih sulit, sehingga tidak ada manfaat pembelajaran. Untuk melihat berbagai kondisi pertambatan yang dimungkin pada konstruksi baja maka ada baiknya melihat berbagai konfigurasi struktur yang telah dikategorikan oleh Galambos (1998) berikut.
Gambar 19. Konfigurasi pertambatan struktur (Galambos 1998)
Cara ELM (AISC 2005) dengan faktor-K, hanya memperhitungkan pengaruh kekakuan yang tersambung penuh pada kolom yang ditinjau. Untuk sistem struktur yang disebut Lean-On (Gambar 19d), maka pendekatan dengan faktor K akan mengalami masalah. Kata lainnya, cara ELM tidak bisa dipakai. Nah disitu keunggulan cara DAM (AISC 2010) yang akan ditunjukkan dalam perhitungan. 5.2 Rangka Lean-ON dengan Kolom Beda Kekakuan
Gambar 20. Rangka Lean-On dengan Kolom Beda Kekakuan (profil baja) Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 21 dari 46
Struktur Lean-On sederhana terdiri dari dua kolom dengan profil berbeda, tumpuan jepit di bawah, satu kolom dengan profil H 150×150 dan satu kolom lagi dengan profil H 350×350, yang lebih kaku. Orientasi yang ditinjau adalah sumbu lemah. Tidak ada bracing, kecuali ujung atas ke dua kolom dihubungkan dengan profil WF150x75 yang disambung dengan sistem pin atau sendi, sedemikian sehingga deformasi lateral keduanya menjadi sama besar. Selanjut sistem tersebut akan diberi beban aksial yang sama besar, yaitu Pu. Jadi total ada 2 Pu. Kolom dengan profil H 150×150 relatif paling lemah. Karena beban ke dua kolom sama besar, dapat dipastikan bahwa kekuatan kolom terkecil yang menentukan. Berdasarkan model kolom tunggal dapat diketahui bahwa gaya Pu yang dapat didukung oleh profil H 150×150 adalah antara 324.7 kN (jika sistem jepit-bebas) sampai 694 kN (jika sistem sendi-sendi). Bagaimana dengan sistem, apakah berperilaku sebagai jepit-bebas atau sendi-sendi tentunya tidak dapat diprediksi secara visual biasa. Oleh sebab itu sistem Lean-On seperti itu tidak dapat dievaluasi secara teliti dengan teori ELM, kecuali dipilih kondisi koservatif sebagai jepit-bebas atau sendi-sendi. Adapun dengan DAM hal itu akan teratasi dengan baik. Beberapa modifikasi sistem Lean-On berikut akan menjelaskan hal itu. Profil H150×150 sumbu lemah A = 39.65 cm2 rmin =ry = 3.77 cm I = iy =563 cm4 ; Zy =1.5 Sy = 1.5* 75.1= 112.65 cm3, sehingga ϕMn = 25.346 kNm. ............... (kolom kiri) Profil H350×350 sumbu lemah A = 218.7 cm2 rmin =ry = 8.84 cm I = iy =13600 cm4 ; Zy =1.5 Sy = 1.5* 776= 1164 cm3, sehingga ϕMn = 291 kNm. ................(kolom kanan) Profil WF150×75 sumbu kuat A = 17.85 cm2 rmin =ry = 1.66 cm I = ix =666 cm4 ; Zx =1.18 Sx = 1.18* 88.8= 105 cm3, sehingga ϕMn = 26.25 kNm. ...........(balok pengikat) Analisis 2nd order akan melacak respon tiap kolom (Pu da Mu) yang dibebani sampai Pu max = 694 kN. Hal itu diperlukan untuk perancangan dengan DAM, parameter data lainnya adalah sebagai berikut : •
Imperfection: berupa beban notional αP = 0.002*2*694 = 2.776 kN
•
Reduksi kekakuan: diambil τb = 1 tetapi ada tambahan beban notional sebesar 0.001Σyi yaitu 0.001Σyi = 0.001 * 2 * 694 = 1. 388 kN Beban notional final = 2.776 + 1.388 = 4.164 kN (Æ) di ujung atas kolom.
•
karena EA dan EI semua reduksi maka E* = 0.8τbE = 0.8*1*200000=160000 MPa.
Berdasarkan data tersebut kemudian dilakukan pemodelan sistem Lean-On untuk analisis 2nd order elastic analysis memakai SAP2000 v15. Dalam perhitungan berat sendiri struktur diabaikan.
Gambar 21. Pemodelan Rangka Lean-On - Kolom Beda Kekakuan. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 22 dari 46
Evaluasi Kolom H 150x150 , hasil komputer akan disajikan dalam bentuk numerik sebagai berikut: SAP2000 v15.1.0 File: EX-DAM-STR-LEAN-ON-SIMPEL 5/31/14 7:53:37 N O N L I N E A R
S T A T I C
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
CASE 2nd-analysis FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3 FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3 STEP 0.00000 1.00000 2.00000
14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000
30.00000 31.00000 32.00000 33.00000 34.00000 35.00000 36.00000 37.00000 38.00000 39.00000 40.00000 41.00000 42.00000 43.00000 44.00000 45.00000 46.00000 47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
FUNCTION FUNCTION M-bottom M-middle 0.00000 0.00000 0.01287 0.00643 0.02566 0.01295 . . (sengaja dihapus) . 0.17317 0.09869 0.18489 0.10652 0.19652 0.11447 0.20805 0.12253 0.21947 0.13072 0.23078 0.13903 . . (sengaja dihapus) . 0.32013 0.27206 0.32992 0.28209 0.30447 0.33180 0.31396 0.34217 0.32328 0.35271 0.33243 0.36343 0.34142 0.37434 0.35023 0.38543 0.32222 0.43668 0.33066 0.44816 0.33892 0.45985 0.34698 0.47175 0.35484 0.48386 0.36248 0.49619 0.31884 0.56311 0.32606 0.57590 0.33304 0.58892 0.33978 0.60219 0.34628 0.61572 0.29521 0.68924 0.30120 0.70329
FUNCTION gaya 0.00000 20.00000 40.00000
280.00024 300.00027 320.00031 Æ kapasitas sebagai kolom bergoyang 340.00035 360.00040 380.00045
600.00190 620.00198 640.00281 660.00290 680.00299 Ækapasitas sebagai kolom tertambat 700.00309 720.00319 740.00329 760.00407 780.00417 800.00429 820.00440 840.00452 860.00464 880.00556 900.00569 920.00582 940.00596 960.00610 980.00705 1000.00719
Cara DAM memerlukan perhitungan kolom dengan K=1 . Oleh sebab itu besarnya ϕPn = 693.4 kN, yang didasarkan dari perhitungan kolom tertambat sederhana sebelumnya, akan tetap dipakai. Evaluasi kapasitas kolom berdasarkan ketentuan Chapter H (AISC 2010), yaitu H1. Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force sebagai berikut : Check pada Pu = 320 kN yang merupakan beban maksimum jika dianggap kolom bergoyang. untuk
Pu 320 R P 8 Mu = = 0.46 ≥ 0.2 maka u = u + ..............................................................(H1-1a) φRn φPn 9 φMn φPn 693.4 Ru
φRn
=
320 8 0. 2 + × = 0.46 + 0.007 = 0.467 < 1 Æ berarti bukan lagi kolom bergoyang. 693.4 9 25.346
Karena lebih kecil dari persyaratan perencanaan, berarti kolom dapat ditingkatkan bebannya. Ketika beban sampai Pu = 680 kN yang merupakan kapasitas maksimum kolom tunggal, maka hasilnya :
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 23 dari 46
untuk
Pu 680 R P 8 Mu ..............................................................(H1-1a) = = 0.98 ≥ 0.2 maka u = u + φRn φPn 9 φMn φPn 693.4 Ru 320 8 0.35 = + × = 0.98 + 0.0123 = 0.992 ≈ 1 yaitu kapasitas kolom tunggal dengan K=1 φRn 693.4 9 25.346
Evaluasi di atas adalah untuk kolom kiri, yang menunjukkan bahwa adanya kekakuan kolom disebelahnya ternyata mempengaruhi kondisi pertambatan. Jika pada perencanaan cara ELM maka kolom kiri hanya bisa dianggap sebagai jepit-bebas dengan faktor K=2 Sedangkan evaluasi lebih memakai cara DAM dapat menunjukkan bahwa kolom kiri dengan faktor K=1 masih memenuhi syarat. Untuk melihat bagaiman kolom bekerja sebagai ”bracing” bagi kolom kiri maka diagram gaya normal dan diagram bending momen dari sistem dapat ditampilkan sebagai berikut.
Gambar 22. Diagram Gaya Aksial pembebanan pada Step-34 (Unit - kN)
Gambar 23. Diagram Bending Momen pembebanan pada Step-34 (Unit - kNm)
Diagram bending momen di atas diperoleh karena digunakan Second Order Elastic Analysis memakai SAP2000 v 15 dan itu merupakan bagian persyaratan untuk perancangan dengan DAM (AISC 2010). Sedangkan stabilitas dengan cara ELM (AISC 2005) memakai metode pendekatan berdasarkan analisis elastik-linier biasa. Itulah salah satu keunggulan DAM terhadap ELM terkait stabilitas struktur. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 24 dari 46
5.3 Rangka Lean-ON dengan Kolom Sama Kekakuan
Rangka Lean-On sederhana dengan kolom yang berbeda kekakuannya, sebagaimana telah ditinjau sebelumnya, menyebabkan kolom yang kurang kaku (lemah) akan bersandar (lean-on) pada kolom yang lebih kaku (kuat). Hal itu menyebabkan perilaku kolom yang lemah menjadi kkolom tertambat bukan lagi seperti jepit-bebas (kantilever). Untuk membuktikan bahwa program juga dapat secara otomatis memperhitungkan iteraksi antar elemen struktur yang menyumbang kekakuannya terhadap tekuk, maka rangka lean-on yang telah dievaluasi sebelumnya akan dimodifikasi lagi, dirubah untuk menjadi struktur simetri. Jika beban akan diberikan sama besar dan ditingkatkan proporsional juga, maka tentunya tekuk akan terjadi bersamasama. Tidak ada kesempatan kolom-kolom tersebut untuk saling membantu. Hipotesis tersebut tentunya akan dibuktikan dengan contoh analisis DAM sebagai berikut:
Gambar 24. Rangka Lean-On dengan Kolom Sama Kekakuan (simetri)
Seluruh sistem mempunyai konfigurasi yang sama seperti sebelumnya, kecuali ke dua kolom (kiri dan kanan) memakai Kolom H 150x150 . Karena simetri maka hasil analisis orde ke-2 dengan SAP2000 v15 hanya akan membahas kolom kiri saja, sebagai berikut: SAP2000 v15.1.0 File: EX-DAM-STR-LEAN-ON-SIMPEL-KOL-SAMA 5/31/14 9:00:53 N O N L I N E A R
S T A T I C
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
CASE 2nd-analysis FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3 FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3 STEP 0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000
FUNCTION M-bottom 0.00000 0.15612 0.32053 0.49437 0.67903 0.87624 1.35193
FUNCTION M-middle 0.00000 0.07806 0.16183 0.25212 0.34990 0.45639 0.75630
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
FUNCTION gaya 0.00000 20.00000 40.00000 60.00000 80.00000 100.00000 120.00000
Bagian II : hal. 25 dari 46
14.00000 15.00000
. . (sengaja dihapus) . 12.03776 8.02674 20.58508 14.03319
280.00000 300.00000
16.00000
71.94333
320.00000 Æ kapasitas sebagai kolom bergoyang
17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
50.31114
-62.52105 -44.80777 340.00000 -23.40501 -17.18721 360.00000 -14.81659 -11.15338 380.00000 -11.03282 -8.51740 400.00000 . . (untuk DAM listing STEP ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan) . -1.45467 -3.02509 940.00000 -1.37133 -3.02363 960.00000 -1.28951 -3.02415 980.00000 -1.20900 -3.02653 1000.00000
47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
Check step ke-16 dimana Pu = 320 kN dan Mu = 71.94 kNm (jika dianggap sebagai kantilever) untuk
Pu 320 = = 0.46 ≥ 0.2 maka φPn 693.4 Ru φRn = Ru φRn =
Pu
φPn
+
8 Mu .................................................................................................................(H1-1a) 9 φM n
320 8 71.94 + × 693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.46 + 2.52 = 2.983
> 1 Æ fail : perilakunya kembali menjadi kolom bergoyang.
Untuk melihat perbedaan perilaku kolom kiri (kolom tertambat) ketika kolom kanan pakai profil lebih besar (sebagai bracing); dan kolom kiri (kolom bergoyang) ketika kolom kanan memakai profil sama, maka perlu dibuat grafik hubungan beban (vertikal) dan momen (horizontal) sebagai berikut.
Gambar 25. Perilaku P-M kolom kiri (tertambat atau bergoyang) akibat kekakuan kolom kanan Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 26 dari 46
5.4 Rangka Lean-ON dengan Tinggi Kolom Berbeda
Kemampuan DAM dalam mengevaluasi perilaku sistem secara menyeluruh, yaitu dengan memanfaatkan analisis elastis order ke-2, menyebabkan berbagai bentuk dan konfigurasi dapat dihitung dan direncanakan secara lebih efisien. Salah satu sistem struktur yang akan ditinjau adalah jika dengan kolom yang sama tetapi tinggi (kekakuan) berbeda, maka beban yang dapat dipikulpun juga berbeda.
Gambar 26. Rangka Lean-On dengan Kolom Beda Kekakuan – tinggi
Seluruh sistem mempunyai konfigurasi yang sama seperti sebelumnya, kecuali kolom kanan dengan ketinggian yang berbeda. Sistem penomoran titik nodal dan elemen batang pada pemodalan adalah sebagai berikut :
Gambar 27. Pemodelan dan konfigurasi beban untuk analisis
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 27 dari 46
Hasil analisis orde ke-2 dengan SAP2000 v15 akan disajikan dalam bentuk numerik sebagai berikut: <<< Kolom – Kiri >>> SAP2000 v15.1.0 File: LEAN-ON--KOLOM-SAMA-BEDA-TINGGI 6/1/14 2:33:49 N O N L I N E A R
S T A T I C
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
CASE 2nd-analysis FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3 FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3 STEP
16.00000 17.00000 18.00000 19.00000
FUNCTION FUNCTION Frame1 gaya 0.00000 0.00000 0.09782 20.00000 0.19903 40.00000 . . (sengaja dihapus) . 4.21323 320.00018 5.13809 340.00021 6.41019 360.00025 8.27296 380.00031
20.00000
11.91757
0.00000 1.00000 2.00000
21.00000 22.00000 23.00000 24.00000 25.00000 26.00000
44.00000 45.00000 46.00000 47.00000 48.00000 49.00000 50.00000
400.00045 Æ ratio kapasitas = 0.99 = 1 (OK)
18.56624 420.00063 Æ ratio kapasitas = 1.26 > 1 (fail) 42.08617 440.00133 -211.50224 460.00151 -32.62481 479.99339 -18.03691 499.99915 -12.61131 519.99963 . . (untuk DAM listing STEP ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan) . -1.96620 880.00062 -1.84511 900.00066 -1.73028 920.00069 -1.62084 940.00073 -1.51607 960.00077 -1.41532 980.00081 -1.31808 1000.00086
Check step ke-21 dimana Pu = 420 kN dan Mu = 18.6 kNm untuk
Pu
φPn
=
420 = 0.61 ≥ 0.2 maka 693.4
Ru φRn =
Pu 8 M u + .................................................................................................................(H1-1a) φPn 9 φM n
Ru φRn =
420 8 18.6 + × 693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.61 + 0.65 = 1.26
> 1 Æ fail
Check step sebelumya yaitu ke-20 dimana Pu = 400 kN dan Mu = 11.9 kNm sebagai berikut untuk
Pu 400 = = 0.58 ≥ 0.2 maka φPn 693.4 Ru φRn =
420 8 11.9 + × == 0.58 + 0.417 = 0.997 ≤ 1 Æ OK 693.4 9 25.346
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 28 dari 46
Respon struktur untuk setiap tahapan beban dapat juga ditampilkan oleh SAP2000 v15, sehingga dapat dibayangkan apakah hasilnya sudah sesuai dengan prediksi sebelumnya atau tidak. Adapun tampilan deformasi sesaat sebelum terjadinya tekuk, yaitu pada Step-20 pada Pu = 400 kN, sebagai berikut:
Gambar 28. Deformasi rangka “Leaning –On” pada Step-20 (menjelang fail)
Meskipun bebannya hanya aksial tekan saja, tetapi karena adanya simulasi “imperfection” yang diakibatkan oleh “beban notional” dan sekaligus dilakukan analisis order ke-2 yang mampu memperhitungkan efek perubahan geometri akibat adanya deformasi, makadapat dilihat besarnya distribusi Bending momen yang terjadi.
Gambar 29. Bending Momen Diagram (kN-m) step ke-20
Pada Gambar 29 terlihat bahwa kolom yang pendek (yang lebih kaku) memikul momen yang lebih besar karena berfungsi juga sebagai “bracing” bagi kolom lainnya, yang meskipun memakai profil yang sama H150×150, tetapi lebih panjang sehingga menjadi kurang kaku dibanding yang pendek. Ingat kekakuan lentur kolom adalah EI/L. Meskipun kolomnya lebih pendek dan dibebani gaya aksial yang sama besar, momen lenturnya lebih besar karena berfungsi juga sebagai bracing bagi kolom yang langsing. Oleh karena itu perlu dievaluasi kekuatannya terhadap pertambahan beban yang diberikan sebagai berikut.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 29 dari 46
<<< Kolom – Kanan >>> SAP2000 v15.1.0 File: LEAN-ON--KOLOM-SAMA-BEDA-TINGGI 6/1/14 2:40:33 N O N L I N E A R
S T A T I C
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A
CASE 2nd-analysis FUNCTION Frame4: Frame 4 Station 1 Moment 3-3 FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3 STEP
16.00000 17.00000 18.00000 19.00000
FUNCTION FUNCTION Frame4 gaya 0.00000 0.00000 0.16474 20.00000 0.33591 40.00000 . . (sengaja dihapus) . 7.73458 320.00018 9.49872 340.00021 11.93631 360.00025 15.51973 380.00031
20.00000
22.56049
0.00000 1.00000 2.00000
21.00000 22.00000 23.00000 24.00000
400.00045
35.43062 420.00063 81.04091 440.00133 -411.10979 460.00151 -64.01148 479.99339 . . (untuk DAM listing STEP ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan) . -4.64432 960.00077 -4.50102 980.00081 -4.36559 1000.00086
48.00000 49.00000 50.00000
Check step ke-20, sama kondisinya dengan kolom kiri, diperoleh Pu = 400 kN dan Mu = 22.56 kNm. Oleh karena panjang kolom kanan berbeda (L = 2000 mm), yaitu lebih pendek, maka kekuatannya dengan faktor K=1 perlu dihitung terlebih dahulu, dimana KL/rmin = 1*2000/37.7 = 53.1 maka untuk KL/r ≤ 4.71√(E/Fy) = 133.22 atau kondisi kolom dengan tekuk inelastis dihitung sebagai berikut. Fe =
π 2E
(KL r )2
(
Fcr = 0.658 Fy
= Fe
π 2 * 200,000 53.12
)⋅ F
y
= 700 MPa ....................................................................................... (E3-4)
= 0.861Fy = 215.3 MPa................................................................................ (E3-2)
φPn = φA g Fcr = 0.9 * 3965 * 215.3 / 1000 = 768.3 kN Jika Pu = 400 kN, maka
Pu 400 = = 0.52 > 0.2 sehingga φPn 768.3
Ru
φRn
=
Pu
φPn
+
8 Mu .......................(H1-1a) 9 φMn
Ru 8 22.56 = 0.52 + = 1.31 >> 1 Æ fail sehingga STEP beban sebelumnya yang digunakan. φRn 9 25.346 Meskipun kolom kanan lebih pendek dan kekuatannya 768.3 / 693.4 = 1.1 atau 10% lebih tinggi dari kolom kiri (lebih panjang), tetapi karena kolom kanan berfungsi juga sebagai “bracing”, menyebabkan terjadi momen reaksi yang cukup besar. Itu tentu saja akan mempengaruhi kapasitas kolom secara keseluruhan dan akibatnya over-stress (tidak memenuhi syarat). Beban harus diperkecil. Perhatikan : adanya distribusi beban akibat deformasi seperti ini, tidak akan bisa dilacak jika memakai cara ELM (AISC 2005) saja. Ini merupakan salah satu kelebihan dari cara DAM (AISC 2010).
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 30 dari 46
6. DAM (AISC 2010) dan HASIL UJI EMPIRIS - (Dewobroto 2013a) 6.1 Umum
Analisa stabilitas struktur baja berdasarkan DAM (AISC 2010) sampai saat ini ditulis dianggap sebagai cara perancangan struktur baja sederhana terbaik, dibanding metode perancangan baja sebelumnya, yaitu ELM (AISC 2005). Salah satu alasan adalah telah digunakan Second Order Elastic Analysis untuk analisis stabilitas mendapatkan respons struktur terhadap pembebanan pada kondisi batas. Meskipun tidak bisa dipakai untuk melacak secara otomatis keruntuhan struktur (analisis struktur inelastisnonlinier dengan program komputer berbasis 3D-FEM akan berkinerja lebih baik), tetapi jika DAM dapat dipakai untuk melacak setiap tahapan beban secara teliti, akhirnya akan terdeteksi juga besarnya beban ultimate. Hasilnya bahkan dapat dibandingkan dengan hasil uji empiris (Dewobroto 2013a). 6.2 Jenis struktur yang diuji
Kesempatan untuk mendapatkan data empiris mengenai kemampuan DAM (AISC 2010) dalam memprediksi kuat ultimate suatu struktur baja, dapat diperoleh bersamaan dengan adanya permintaan untuk memprediksi daya dukung sistem scaffolding produksi PT. Putra Jayasentosa, Tangerang. Meskipun tipe scaffolding yang diuji telah sukses dipakai pada proyek-proyek konstruksi di luar negeri, dan hasil produksi dalam nengerinya telah sukses juga dipakai pada proyek-proyek di Indonesia, tetapi belum terdapat penelitian mendalam tentang kapasitas beban maksimum yang dapat didukungnya. Bentuk scaffolding dengan pipa baja yang dimaksud dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 30. Tipe scaffolding produksi PT. Putracipta Jayasentosa (Dewobroto 2013a)
Jenis tumpuan scaffolding, yang terletak pada di bagian bawah kolom pipa baja terdiri dari base-plate. Tidak ada sistem pengangkuran untuk penahan gaya tarik (up-lift) atau gaya geser, yang umumnya diperlukan untuk menahan beban lateral atau beban vertikal yang eksentris (timbul momen guling). Stabilitas sistem terhadap pergeseran untuk mencegah perpindahan tempat hanya mengandalkan pada friksi antara base-plate dan permukaan lantainya. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem scaffolding di atas hanya cocok dipakai untuk menahan beban vertikal sentris atau kalaupun eksentris, tidak menimbulkan gaya up-lift, atau jika terpaksa dapat juga beban lateral yang relatif kecil, yang tentunya tidak menghasilkan momen guling atau pergeseran yang lebih besar dari gaya friksinya.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 31 dari 46
Konfigurasi pemasangan scaffolding relatif fleksibel, terdiri dari elemen-elemen pipa baja yang dapat dengan mudah dipasang menyesuaikan kondisi proyek di lapangan. Sistem scaffolding ini umumnya digunakan sebagai perancah pada konstruksi beton bertulang atau semacamnya. Ketinggian scaffolding tipe satu tingkat adalah ± 2.0 m, dan dapat diatur (adjusted) dengan memberi pipa tambahan, sistem dapat ditumpuk (dipasang) pada arah vertikal untuk mendapatkan ketinggian yang diperlukan. 6.3 Batasan dan dimensi struktur yang diuji
horz pipe Ø48 mm t=3.25 mm
bearing support on U-Head Fork plate
vert pipe Ø48 mm t=3.25 mm 1500
2100
450
Konfigurasi pemasangan scaffolding bisa tidak terbatas, tetapi bentuk dasar umumnya terlihat seperti Gambar 31. Penggabungan scaffolding pada arah harizontal dianggap menghasilkan sistem struktur yang lebih stabil dibandingkan konfigurasi tunggal, jadi tidak menjadi pembahasan dalam simulasi. Hanya pemasangan sistem pada arah vertikal (menambah jumlah tingkat) yang meningkatkan resiko ketidak-stabilan struktur. Jadi simulasi uji stabilitas terbatas pada bentuk dengan empat kolom. Secara fisik bentuk dasar dapat disusun dari tipe H2000- L1000-W1500 dan tipe H2000-L2000-W2000.
diag pipe Ø48 mm t=3.25 mm
150
bearing support on jack-base-tube jack-base-tube
Gambar 31. Scaffold Type H 2000 L 1000 W1500
Notasi nama H2000-L1000-W1500 adalah mengindikasikan dimensi scaffolding, yaitu tinggi 2.0 m dan dimensi dasarnya 1.0 × 1.5 m. Bagian bawah yang disebut jack-base-tube bersifat optional, dapat dilepas dan dipasang, diperlukan untuk menambah ketinggian.
1500
varies (500 - 2000)
2111
horz pipe Ø48 mm t=3.25 mm
vert pipe Ø58 mm t=3.25 mm diag pipe Ø48 mm t=3.25 mm
horz pipe Ø48 mm t=3.25 mm vert pipe Ø48 mm t=3.25 mm Ø38 mm t=3.25 mm
Gambar 32. Scaffold Type H 2000 L 2000 W2000
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 32 dari 46
Kedua sistem memperlihatkan kesamaan antara satu sistem dengan lainnya, khususnya pada detail sambungan, yaitu sistem knock-down yang dapat dipasang lepas secara mudah. Scaffolding tipe H2000L2000-W2000 kolom utamanya terdiri dari pipa ϕ 58 mm (t = 3.25 mm), lebih besar dari scaffolding tipe H2000-L1000-W1500 yang hanya memakai pipa ϕ48 mm (t = 3.25 mm). Karena kolom scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 memakai diameter pipa lebih besar maka dapat dilakukan pemasangan pipa penyambung (ϕ 48 mm t = 3.2 mm) ke tumpuan jack-base-tube (lihat Gambar 32). Strategi ini bersifat opsional, umumnya digunakan untuk peninggian tingkat yang kurang dari tinggi scaffolding itu sendiri. Pada penelitian Dewobroto (2003a), opsi penambahan tinggi tingkat scaffolding dengan pipa penyambung (pada tipe H2000-L2000-W2000) ataupun jack-base-tube (pada ke dua sistem), tidak ditinjau. Itu dipilih agar kapasitas dukung, menjadi maksimum. Adapun daya dukung jack-base-tube akan ditinjau tersendiri, yang tentunya harus mempunyai kapasitas dukung individu yang lebih besar dari sistem scaffolding yang dipikulnya. 6.4 Mengapa DAM dan apa pentingnya uji beban empiris
Perancangan DAM (AISC 2010) sebagaimana telah diungkap sebelumnya adalah metode mutakhir memprediksi stabilitas struktur berdasarkan hasil analisa struktur elastik-linier dengan efek P-delta, yang umumnya mendominasi pada bangunan portal bergoyang (sway frame). Adapun struktur rangka batang (truss), yang dapat dianalisis sebagai struktur dengan gaya aksial saja, pengaruh P-delta tidak signifikan (sehingga dapat diabaikan). Mengacu pada kondisi tersebut, dan melihat bahwa struktur scaffolding secara tradisional juga dapat dimodelkan sebagai struktur rangka batang (truss) maka tentunya dapat dianggap bahwa pengaruh P-delta juga tidak signifikan. Apalagi jika pembebanan yang diberikan juga hanya berupa beban vertikal (gravitasi). Argumentasi di atas benar untuk yang biasa merancang dengan metode biasa atau cara tradisional, yang dikenal juga sebagai metode ELM (Efective Length Method) sesuai AISC (2010). Maklum, ELM tidak memperhitungkan pengaruh imperfection sebagai salah satu parameter perencanaan, sedangkan DAM telah menjadikannya prosedur standar. Karena kinerja scaffolding ditentukan oleh adanya imperfection dan hal-hal lain yang mengakibatkan stabilitasnya terganggu, juga kondisi inelastis material (yielding), maka pemilhan cara DAM sudah tepat. Sebagai konsekuensinya, scaffolding akan diperhitungkankan sebagai struktur rangka kaku (portal), dimana untuk tiap kekakuan bracing atau sistem sambungannya akan diperhitungkan kekakuannya secara seksama dalam pemodelan strukturnya. Proses pemodelan struktur yang memperhitungkan pengaruh kekakuan elemen non-utama, seperti bracing maupun sistem sambungan, tentu memberi hasil yang bervariasi. Oleh sebab itu, agar simulasi numerik dengan DAM dapat menghasilkan sesuatu yang dapat dipertanggung-jawabkan maka sebelum dilakukan simulasi akan kalibrasi terlebih dahulu, sehingga dapat dipilih strategi model yang paling mendekati. Sebagai kalibrator adalah hasil uji tekan eksperimental sampai runtuh scaffolding yang dilakukan Tim Peneliti Puslitbang Permukiman di Bandung, pada bulan Oktober 2011. Jadi setelah model simulasi numerik memberi hasil yang berkorelasi dengan hasil uji empiris, maka selanjutnya dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk-bentuk scaffolding lain secara parametrik. 6.5 Kalibrator uji stabilitas
Telah dijelaskan sebelumnya, analisa stabilitas struktur dapat dilakukan dengan DAM (AISC 2010), yaitu dengan memakai program komputer analisa struktur dengan opsi analisis orde ke-2 atau Second Order Elastic Analysis. Salah satu program yang mempunyai opsi tersebut adalah SAP2000. Meskipun sudah ada kemudahan, tetapi yang masih menjadi kendala agar hasilnya akurat, yaitu memilih strategi Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 33 dari 46
pemodelan struktur yang tepat. Maklum setiap [a] besaran kekakuan pada elemen-elemen struktur; dan [b] lokasi penempatan beban notional, yang mewakili imperfection, akan memberi pengaruh kinerja stabilitas struktur, sehingga dapat dihasilkan berbagai kondisi berbeda-beda. Jadi yang menjadi masalah adalah menentukan pemodelan mana yang dapat dianggap paling sesuai dengan kondisi struktur yang sebenarnya. Oleh karena itu, agar hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan, memerlukan pembanding atau kalibrator yang dapat dipercaya. Itulah mengapa diperlukan data-data hasil uji eksperimental. Untuk itu, PT. Putracipta Jayasentosa, selaku produsen scaffolding, meminta unit Balai Struktur dan Konstruksi Bangunan, milik lembaga Puslitbang Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementrian Pekerjaan Umum, Bandung, untuk melakukan uji tekan eksperimental sampai runtuh. Hasilnya itu yang akan dijadikan rujukan. Uji struktur scaffolding tersebut meliputi : uji komponen kolom scaffolding sebanyak 5 (lima) benda uji dan uji sistem scaffolding skala penuh dengan jumlah model uji sebanyak dua, yaitu tipe-I: H2000L2000-W2000 dan tipe-II: H2000-L1000-W2000. Mengacu Laporan Akhir Pengujian Struktur Scaffolding oleh Tim Peneliti Puslitbang Permukiman tertanggal 1 November 2011 (Puskim 2011b), diketahui bahwa scaffolding tipe-I yang menggunakan komponen kolom pipa ϕ 58 mm, memiliki kapasitas Pmaks = 47.29 ton; dan tipe-II yang memakai kolom pipa ϕ 48 mm punya kapasitas Pmaks = 47.90 ton. 6.6 Uji eksperimental scaffolding tipe H2000-L2000-W2000
Fakta menunjukkan bahwa meskipun scaffolding tipe-I memakai diameter kolom pipa yang lebih besar dari tipe-II, ternyata kapasitas keduanya hampir sama. Jadi agar diperoleh hasil konservatif (aman untuk desain) maka dipilihlah nilai yang paling kecil, sehingga hanya tipe-I yang akan digunakan sebagai rujukan (kalibrator) bagi simulasi numerik. Scaffolding tipe-I terdiri dari empat kolom, jadi daya dukung kolom pipa ϕ 58 mm maksimum adalah 11.82 ton (maksimum).
Gambar 33. Hasil uji eksperimental Scaffolding Tipe-I (Puskim 2011b)
Gaya 11.82 ton tersebut merupakan beban ultimate, yaitu nilai maksimum yang terekam selama pengujian. Untuk melihat perilaku lengkap struktur selama pembebanan akan lebih baik jika melihat kurva hubungan beban-perpindahan selama pengujian seperti dilihat di Gambar 33. Informasi besarnya beban diambil berdasarkan rekaman Load-cell (kapasitas 50 ton) yang terpasang di kaki-kaki kolom scaffolding, sedangkan informasi perpindahan dari rekaman displacement transduscer(Tr). Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 34 dari 46
Perpindahan horizontal diamati di tengah kolom, di bagian bebas (tidak ada bracing), karena asumsinya keruntuhan tekuk lentur (flexural buckling). Asumsi terbukti. Konfigurasi scaffolding yang diuji dan pemasangan displacement transduser terlihat di Gambar 34 (rencana) dan Gambar 35 (terpasang).
1
2
B
2030
KETERANGAN :
2030
1. VERTICAL POST 2000 2. PIPE LEDGER L2000 3. VERTICAL DIAGONAL 2375 4. U HEAD FORK 5. BASE PLATE 50.8x200
= 4 Pcs = 8 Pcs = 4 Pcs = 4 Pcs = 4 Pcs
samb. Spigot- Head Fork
A
A
B 2030 pipe ledger
450
U-Head Fork
Ø58 (t=3.6) 1500
vertical diagonal
153
Ø42 (t=3.2)
Ø48 (t=3.2)
base plate
vertical post
Gambar 34. Scaffolding Tipe-I: H 2000 L 2000 W2000 (Rencana)
Selanjutnya Puslitbang menentukan konfigurasi uji beban dan pemasangan alat ukur sebagai berikut.
Gambar 35. Konfigurasi pengujian beban yang akan dilaksanakan (Puskim 2011b)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 35 dari 46
Gambar 36. Situasi pengujian scaffolding (Dewobroto 2013a)
6.7 Perilaku keruntuhan aktual scaffolding
Selain beban ultimate, pengujian juga untuk mengamati perilaku keruntuhan. Beban dari dongkrak hidraulik (Gambar 35 dan 36) yang secara otomatis berhenti jika terjadi perubahan displacement yang signifikan, yang dianggap telah terjadinya kehilangan kekuatan (kekakuan) struktur. Itu juga perlu agar tidak terjadi kerusakan alat uji. Pada kondisi itu, bentuk keruntuhannya terlihat di Gambar 37.
Gambar 37. Bentuk kerusakan scaffolding uji (Dewobroto 2013a) Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 36 dari 46
Kondisi akhir, sepintas scaffolding masih terlihat utuh. setelah diamati secara seksama, ada salah satu kolom rusak, berupa tertekuk (buckling), lihat Gambar 37. Kondisi pipa baja horizontal dan diagonal, yang berfungsi sebagai bracing, masih utuh dan tidak ada kerusakan yang kasat mata. Sambungan antar komponen juga masih baik, tidak rusa. Jadi sifat kerusakan, lokal pada kolomnya saja. Bagian kolom yang terhubung bracing, cenderung masih tegak, menunjukkan sistem sambungannya cukup kaku “memegang” kolom, meskipun tentu saja kekakuannya tidak sama dibandingkan dengan sistem yang kontinyu. Jadi bagian terlemah scaffolding adalah kolom pipa, untuk pembebanan vertikal. Adanya informasi bagian yang rusak, tentu memudahkan dalam pemodelan struktur untuk analisis dengan cara DAM, khususnya untuk menempatkan beban notional, sebagai simulasi imperfection. Jadi beban notional sebaiknya diberikan di bagian kolom yang bebas dari kekangan bracing. 6.8 Simulasi numerik scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 (terkalibrasi)
Tahapan ini diperlukan untuk menguji : apakah pemodelan struktur scaffolding, yang mencakup konfigurasi geometri dan penempatan beban notional, untuk perancangan cara DAM memakai program komputer elastik-linier dengan opsi P-delta, dapat menghasilkan simulasi stabilitas yang berkesesuaian dengan hasil eksperimental. Program komputer yang dipakai adalah SAP2000 versi 14.0, yang selain opsi P-delta-nya sudah teruji (Dewobroto 2013a), juga telah diperlengkapi opsi pembagian beban untuk diberikan secara bertahap, yaitu mulai dari nol (kondisi sebelum diberi beban) sampai beban rencana tercapai. Pada program versi tersebut juga telah diperlengkapi opsi untuk merekam besaran beban dan perpindahan yang terjadi pada titik-titik nodal yang diinginkan, sehingga hasilnya selanjutnya dapat dibandingkan dengan hasil uji eksperimental yang ada. Selanjutnya setelah diperoleh kondisi beban maksimum sebelum terjadinya instabili-tas struktur (hasil analisis dari program komputer), maka gaya-gaya internal yang ada akan dievaluasi kuat nominalnya berdasarkan ketentuan AISC (2010). Nilai kondisi beban yang terkecil yang dianggap sebagai kapasitas struktur (ultimate). Beban desain tentu saja beban ultimate tersebut dibagi dengan faktor keamanan. 6.9 Model dan modifikasi kekakuan manual
Pemodelan struktur pada sambungan adalah tidak mudah. Jika bagian tersebut dianggap struktur menerus, aka dari bentuk fisiknya saja sudah tidak mendukung sehingga diragukan, demikian juga jika dianggap sebagai pin, dimana momen tidak menerus, padahal kenyataannya bagian tersebut terlihat cukup kaku (tidak mengalami putaran). Jadi untuk itu, kondisi kekakuan sambungan dipilih berada di tengah-tengah, tidak menerus tetapi juga tidak sendi, yang umumnya disebut sambungan semi-rigid. Permasalahannya adalah menentukan besarnya nilai kekakuan sambungan semi-rigid tadi, maklum tidak ada data acuan. Untuk mengatasinya, dibuat anggapan hanya kekakuan lentur saja yang berpengaruh. Selanjutnya kekakuan lentur di bagian sambungan dimodifikasi (reduksi) manual. Besarnya reduksi ditetapkan secara trial-and-error dan berhenti jika hasilnya berkesesuaian dengan hasil uji eksperimen. Itulah pentingnya kalibrator uji. Untuk analisa struktur dengan efek P-delta, dibuatlah pemodelan struktur scaffolding. Model yang dibuat adalah rangka bidang atau plane frame, adapun arah tegak lurus-nya dianggap terkekang (tidak terjadi tekuk). Karena bentuk rangka arah ortogonal, khususnya scaffolding Tipe-1 adalah simetri, maka cukup ditinjau satu sisi saja. Mengacu pada detail rencana dan hasil uji empiris dibuatlah model struktur bidang dengan notasi penomoran titik nodal dan elemen batang pada Gambar 38, dimana data geometri struktur ditabulasikan sebagai berikut. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 37 dari 46
Tabel 4. Komponen model-struktur No. Elemen 1-2-3-4 & 13-14-15-16 5, 17 8,9,10 6, 11, 7, 12
Komponen Kolom vertikal Kolom ujung (top) Bracing Detail sambungan
Dimensi Pipa φ 58 mm Pipa φ 58 mm Pipa φ 48 mm Pelat
Catatan Pelemahan lentur Reduksi tinggal 30%
Gambar 38. Sistem Penomoran Model Struktur Scaffolding – 1 tingkat
U-Head Fork di bagian atas, dimodelkan terjepit dengan kebebasan arah vertikal (untuk menyalurkan beban). Kondisi jepit yang tidak direncanakan, dianggap semi-rigid dengan memodifikasi kekakuan kolom di bawahnya, reduksi inersia yang nilainya dikalibrasi dengan hasil uji empiris. Untuk menentukan imperfection yang menentukan ditinjau tiga kasus (Gambar 39), yang berbeda pada arah “beban notional” (AISC 2010), selanjutnya dicari efek beban yang paling menentukan.
Gambar 39. Penempatan Beban Ultimate (Pu) dan Notional (Nload) – 1 tingkat
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 38 dari 46
6.10 Detail analisis stabilitas dan evaluasi dengan DAM
Sesuai ketentuan DAM, reduksi diberikan pada Modulus Elastis (0.8E), sedangkan beban notional pada kondisi maksimum diambil 0.003⋅Yi , ditempatkan pada titik-titik imperfection (Gambar 39). Selanjutnya analisis dengan SAP2000 v14.0 opsi Nonlinier P-Delta aktif, dan dengan opsi Display – Show Plot Function ... dapat dihasilkan rekaman pertambahan gaya - perpindahan lateral pada titik di bagian tengah kolom yang tak-terkekang (titik nodal 7 pada Gambar 38) sebagai berikut :
SAP2000 v14.0.0 File: H-L-W-2000-SIMULASI-UJI-TEKAN 4/11/13 16:05:06 N O N L I N E A R CASE
PAGE 1
D A T A
Case-1 STEP
0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000 7.00000 8.00000 9.00000 10.00000 11.00000 12.00000 13.00000 14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
CASE
S T A T I C
KN, m, C Units
FUNCTION loading 0.00000 -7.50000 -15.00000 -22.50000 -30.00000 -37.50000 -45.00000 -52.50000 -60.00000 -67.50000 -75.00000 -82.50000 -90.00000 -97.50000 -105.00000 -112.50000 -120.00000 -127.50000 -135.00000 -142.50000 -150.00000
FUNCTION Joint7 -9.469E-06 9.123E-06 3.205E-05 5.998E-05 9.380E-05 1.346E-04 1.838E-04 2.433E-04 3.158E-04 4.050E-04 6.782E-04 8.213E-04 0.00101 0.00128 0.00243 -0.02224 -0.02321 -0.02413 -0.02419 -0.02454 -0.02481
FUNCTION Joint1 0.20776 7.68546 15.16386 22.64297 30.12278 37.60331 45.08457 52.56657 60.04932 67.53284 75.02479 82.50993 89.99595 97.48298 104.97657 Æ Pult 112.38535 Æ buckle 119.87099 127.35719 134.84847 142.33806 149.82867
FUNCTION Joint7 -9.469E-06 -1.382E-04 -2.718E-04 -4.111E-04 -5.569E-04 -7.103E-04 -8.728E-04 -0.00105 -0.00123 -0.00144 -0.00167 -0.00217 -0.00248 -0.00286 -0.00408 0.01301 0.01374 0.01449 0.01443 0.01464 0.01478
FUNCTION Joint1 0.20776 7.72865 15.25047 22.77322 30.29692 37.82158 45.34721 52.87382 60.40141 67.93000 75.45958 83.00094 90.53246 98.06486 105.59941 Æ Pult 113.19039 Æ buckle 120.73090 128.27169 135.81385 143.35556 150.89840
Case-2 STEP
0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000 7.00000 8.00000 9.00000 10.00000 11.00000 12.00000 13.00000 14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
FUNCTION loading 0.00000 -7.50000 -15.00000 -22.50000 -30.00000 -37.50000 -45.00000 -52.50000 -60.00000 -67.50000 -75.00000 -82.50000 -90.00000 -97.50000 -105.00000 -112.50000 -120.00000 -127.50000 -135.00000 -142.50000 -150.00000
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 39 dari 46
CASE
Case-3 STEP
0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000 7.00000 8.00000 9.00000 10.00000 11.00000 12.00000 13.00000 14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
FUNCTION loading 0.00000 -7.50000 -15.00000 -22.50000 -30.00000 -37.50000 -45.00000 -52.50000 -60.00000 -67.50000 -75.00000 -82.50000 -90.00000 -97.50000 -105.00000 -112.50000 -120.00000 -127.50000 -135.00000 -142.50000 -150.00000
FUNCTION Joint7 -9.469E-06 -4.209E-05 -7.431E-05 -1.061E-04 -1.373E-04 -1.679E-04 -1.979E-04 -2.270E-04 -2.553E-04 -2.825E-04 -3.085E-04 -3.330E-04 -3.557E-04 -3.760E-04 -3.929E-04 -4.031E-04 -5.099E-04 -5.278E-04 -5.373E-04 -4.420E-04 -4.329E-04
FUNCTION Joint1 0.20776 7.70706 15.20717 22.70809 30.20984 37.71242 45.21584 52.72011 60.22524 67.73123 75.23811 82.74587 90.25454 97.76411 105.27461 112.78605 120.29811 127.81138 135.32561 142.85835 150.37445
Æ tidak terlihat kondisi buckle
160 140 120 100
Case-1
80
Case-2 Case-3
60 40 20 0 -0.03
-0.025
-0.02
-0.015
-0.01
-0.005
0
0.005
0.01
0.015
0.02
Gambar 40. Kurva P(kN) dan Perpindahan Lateral Nodal #7 (meter) (Dewobroto 2013a)
Analisis menunjukkan : Case-1 memberi kondisi beban terkecil yang masih memperlihatkan kondisi stabil (Gambar 41), karena jika ditambahkan beban lagi (atau step beban berikutnya), akan timbul kondisi ketidak-stabilan atau instabilitas pada struktur (lihat juga Gambar 42). Tahapan beban (step) yang kritis adalah sebagai berikut : Step 14.00000 15.00000
loading -105.00000 -112.50000
deformasi beban-total 0.00243 104.97657 Æ P ult -0.02224 112.38535 Æ buckle
Pada kondisi step 14 dan 15 selanjutnya akan ditinjau detail dan dievaluasi kekuatan nominal elemen kolomnya secara lokal sesuai ketentuan AISC (2010). Tinjauan pertama melihat deformasi pada step-step pembebanan (Gambar 41 dan 42), dari visualisasi yang dihasilkan terlihat ada perubahan bentuk geometri scaffolding yang mendadak, tahapan beban terakhir yang stabil (step-14) ke step-15. Pada kondisi tersebut dianggap terjadi instabilitas struktur atau buckle. Jadi program SAP2000 versi 14.0 berhasil mengindentifikasikan ketidak-stabilan struktur secara global, sedangkan jika dipakai analisa elastik linier biasa (tanpa P-delta) tidak bisa diperoleh. Struktur yang mengalami buckle tidak bisa digunakan, jadi kondisi pembebanan pada step-15 tidak perlu diperiksa lebih lanjut, karena sudah jelas tidak bisa digunakan. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 40 dari 46
Gambar 41. Deformasi pada Pu = 105 kN (δ = 2.43 mm) – Case 1 @ Step 14 (Dewobroto 2013a)
Gambar 42. Deformasi pada Pu = 112 kN (δ = 22.4 mm) – Case 1 @ Step 15 (Dewobroto 2013a)
Jika dianggap bahwa kondisi beban pada Step-14 adalah kondisi akhir struktur sebelum mengalami instabilitas (buckle) maka besarnya beban tersebut disebut sebagai beban ultimate atau beban batas. Jadi Pu = 105 kN terhadap kondisi stabilitas global.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 41 dari 46
Meskipun demikian, kuat nominal elemen-elemen struktur atau kekuatan lokal perlu di-check, kondisi terkecil nantinya yang akan menentukan. Untuk itu akan ditinjau batang 2 dan batang 3 dari pembebanan pada Step-14. Tinjau Elemen #2 (kolom kiri) : SAP2000 v14.0.0 File: H-L-W-2000-SIMULASI-UJI-TEKAN 4/14/13 8:21:18 N O N L I N E A R S T A T I C CASE Case-1: Element #2 STEP 0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000 7.00000 8.00000 9.00000 10.00000 11.00000 12.00000 13.00000 14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
FUNCTION FUNCTION loading Moment 3-3 0.00000 8.934E-04 -7.50000 -0.00816 -15.00000 -0.01772 -22.50000 -0.02786 -30.00000 -0.03867 -37.50000 -0.05028 -45.00000 -0.06284 -52.50000 -0.07657 -60.00000 -0.09176 -67.50000 -0.10881 -75.00000 -0.14676 -82.50000 -0.16983 -90.00000 -0.19818 -97.50000 -0.23542 -105.00000 -0.37000 -112.50000 2.35019 -120.00000 2.44878 -127.50000 2.54240 -135.00000 2.54208 -142.50000 2.57291 -150.00000 2.59549
KN, m, C Units
PAGE 1
D A T A FUNCTION Axial Force -0.16390 -7.64107 -15.11896 -22.59757 -30.07691 -37.55699 -45.03782 -52.51942 -60.00182 -67.48503 -74.97725 -82.46225 -89.94827 -97.43553 -104.93191 -112.26890 -119.75116 -127.23417 -134.72475 -142.21280 -149.70209
Æ Pu (kondisi stabil) Æ buckle
Tinjau Elemen #14 (kolom kanan) : N O N L I N E A R S T A T I C CASE Case-1: Element #14 STEP 0.00000 1.00000 2.00000 3.00000 4.00000 5.00000 6.00000 7.00000 8.00000 9.00000 10.00000 11.00000 12.00000 13.00000 14.00000 15.00000 16.00000 17.00000 18.00000 19.00000 20.00000
D A T A
FUNCTION FUNCTION FUNCTION loading Frame14-mom Frame14-aks 0.00000 1.342E-05 -0.09055 -7.50000 -0.00889 -7.58968 -15.00000 -0.01830 -15.08880 -22.50000 -0.02828 -22.58791 -30.00000 -0.03893 -30.08701 -37.50000 -0.05037 -37.58608 -45.00000 -0.06276 -45.08514 -52.50000 -0.07632 -52.58416 -60.00000 -0.09132 -60.08316 -67.50000 -0.10819 -67.58210 -75.00000 -0.14589 -75.08054 -82.50000 -0.16876 -82.57934 -90.00000 -0.19691 -90.07800 -97.50000 -0.23396 -97.57643 -105.00000 -0.36847 -105.07232 -112.50000 2.35779 -112.64311 -120.00000 2.46274 -120.14529 -127.50000 2.55713 -127.64718 -135.00000 2.55723 -135.14660 -142.50000 2.58868 -142.64685 -150.00000 2.61193 -150.14688
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Æ Pu (kondisi stabil) govern
Bagian II : hal. 42 dari 46
Check kuat penampang nominal elemen #14 terhadap ketentuan AISC 2010. Kolom Pipa φ 58 mm (L 1.5 m)
d = 58 mm ......................................................................................................... (outside diameter of pipe) t = 3.25 mm ........................................................................................................................(pipe thickness) d1 = d – 2*t = 51.5 mm ........................................................................................ (inside diameter of pipe) π A = 4 (d 2 − d12 ) = π4 (582 − 51.52 ) = 559 mm2 ......................................................................................(pipe area) r=
1 4
d 2 + d12 = 14 582 + 51.52 = 19.4 mm ............................................................................ (radius gyration)
Z = 16 (d 3 − d13 ) = 16 (583 − 51.53 ) = 9753.5 mm3 .............................................................. (modulus of plasticity)
Check local buckling pipa D
t
≤ 0.11 E Fy for non-slender element .............................................................................................(AISC B4)
D 58 = = 17.85 t 3.25
<<< 0.11
200000 E = 0.11 = 106.3 .......................................................(ASTM A513) 207 Fy
D 58 = = 17.85 t 3.25
<<< 0.11
200000 E = 0.11 = 59.3 371 Fy
....................................................(Mill-certificate)
Kolom pipa φ 58 mm adalah non-slender element, tidak ada resiko tekuk lokal (local buckling). Jarak bracing (pipa diagonal dan horizontal) dianggap sebagai panjang elemen bebas jadi KL = 1.5 m dimana dianggap K=1 (AISC 2010). Vertical Pipe φ58 mm (L = 0.5 m) - Mill-certificate ⎞ ⎛ KL 1 * 1500 ⎞ ⎛ 200000 E ⎜⎜ = = 77.3 ⎟⎟ ≤ ⎜ 4.71 = 4.71 = 109.4 ⎟ ................................................ (AISC E3-2) ⎟ 19.4 371 Fy ⎝ rmin ⎠ ⎜⎝ ⎠
Fe =
π 2E
[KL r ]
2
=
min
π 2 * 200000
= 330 MPa
77.32
Fy 371 ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ Fe 330 ⎢ ⎥ Fcr = 0.658 Fy = ⎢0.658 ⎥371 = 0.625 * 371 = 231.7 MPa ⎢⎣ ⎥⎦ ⎣ ⎦
Pn = Fcr Ag = 231.7 * 559 /1000 = 129.5 kN ≈ 13 ton ....................................................................... (AISC E3-1)
105 Pu = = 0.9 φPn 0.9 * 129.5 Momen akibat kondisi “imperfection” diperhitungkan maka : Check local buckling pipa :
D
t
≤ 0.07 E Fy for compact section ........................................................(AISC B4)
58 D = = 17.85 t 3.25
<<< 0.07
E 200000 = 0.07 * = 80 .............................................. (Grade STKM12A) Fy 175
D 58 = = 17.85 t 3.25
<<< 0.07
E 200000 = 0.07 = 38 ......................................................(Mill-certificate) Fy 371
Penampang non-slender, sesuai ketentuan F8 (AISC 2010) yang menentukan leleh :
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 43 dari 46
M n = Fy ⋅ Z = 175 * 9753.5 / 1E 6 = 1.707 kN - m ......................................................... (JIS Grade STKM12A) Mu 0.37 = = 0.24 φMn 0.9 * 1.707 M n = Fy ⋅ Z = 371 * 9753.5 / 1E 6 = 3.618 kN - m ....................................................................(Mill-certificate) Mu 0.37 = = 0.1136 φMn 0.9 * 3.618 Kondisi tegangan gabungan mengacu ketentuan AISC : H1 (Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force) Pr P = u = 0.9 >> 0.2 jadi Pc φPn P 8 8 Mu Pr 8 M r + = u + = 0.9 + * 0.24 = 1.113 > 1 ........................................... (JIS Grade STKM12A) 9 Pc 9 M c φPn 9 φM n P Pr 8 M r 8 Mu 8 + = u + = 0.9 + * 0.1136 = 1.00009 ≈ 1 .............................................(Mill-certificate) Pc 9 M c φPn 9 φM n 9 Dengan material terpasang (mill-certificate), kuat struktur (global) ≈ elemen (lokal), tetapi untuk material spesifikasi minimum JIS Grade STKM12A (Fy = 175 MPa) terjadi overstress. Pu elemen lokal << dari Pu struktur global. Jadi scaffolding 1-storey, daya dukung maksimum Pu = 105 kN = 10.5 ton . 6.11 Perbandingan hasil simulasi dan real
Terlepas dari mutu material yang dipakai, hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa analisis dengan DAM memberikan hasil analisis stabilitas yang cukup lengkap, ada tinjauan stabilitas struktur (global) dan elemen (lokal). Selanjutnya untuk memastikan bahwa simulasi mempunyai keamanan untuk diguna-kan pada kasus nyata maka akan dibandingkan dengan kalibrator yaitu hasil uji eksperimental scaffolding di Bandung. Perbandingan antara Case-1 simulasi dan perilaku keruntuhan dalam bentuk grafik: 16 Tr-3 Tr-4
14
Tr-9 Tr-10
12 Reaksi (ton) per tiang
Tr-12 Tr-13
10
CASE-1
8
6
4
2
0 -30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
perpindahan lateral (mm)
Gambar 43. Perbandingan hasil uji scaffolding Simulasi DAM vs Eksperimental
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 44 dari 46
Berdasarkan perilaku keruntuhan scaffolding (lihat Gambar 43) yang memperlihatkan grafik hubungan gaya – deformasi antara hasil simulasi numerik vs eksperimental, terlihat ada kesamaan perilaku sebelum mengalami tekuk. Beban maksimum yang diprediksi berdasarkan simulasi di bawah beban maksimum eksperimental, meskipun demikian cukup mendekati. Jadi disimpulkan bahwa strategi analisis struktur untuk mengetahui beban maksimum scaffolding dengan memanfaatkan metode DAM (AISC 2010) dapat mengakses kemampuan maksimum yang hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil empiris, dan cukup aman dipakai untuk perencanaan. Beban maksimum yang diperoleh adalah beban ultimate atau beban batas sebelum mengalami instabilitas. Agar dapat dipakai secara praktis harus diberikan safety factor yang sesuai.
7. KESIMPULAN Telah diungkapkan dalam bentuk studi kasus penyelesaian numerik yang menunjukkan bahwa pada pembebanan rendah, perencanaan struktur baja dengan cara DAM (AISC 2010) dapat menghasilkan struktur baja yang lebih ekonomis, tetapi pada kondisi beban tinggi, mampu menghasilkan struktur baja yang lebih aman, dibanding hasil desain dengan cara lama atau ELM (AISC 2005). Telah diungkapkan juga studi kasus struktur jenis Lean-On (Galambos 1998) yang tidak dapat diselesaikan secara mudah dengan cara lama (ELM) ternyata bukan sesuatu hal yang khusus jika diselesaikan dengan cara baru (DAM). Ini juga merupakan bukti sederhana, bahwa alasan untuk berpindah ke cara baru adalah tidak semata-mata karena cara baru akan lebih ekonomis, bukan itu. Tetapi karena cara baru menawarka solusi yang mempunyai kelebihan dibanding cara lama. Akhirnya telah diungkap juga bahwa cara baru (DAM) mempunyai hasil yang berkorelasi dengan hasil uji empiris. Jika itu dapat dimaknai sebagai suatu kebenaran, maka tentu saja strategi yang ditawarkan dengan DAM jelas lebih sederhana dibanding solusi inelastis-nonlinier dengan FEM yang kompleks. Akhirnya semoga makalah ini memicu perkembangan perencanaan struktur baja di Indonesia.
8. DAFTAR PUSTAKA AISC.(2005). “An American National Standard ANSI/AISC 360-05 : Load Specification for Structural Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois AISC.(2010). “An American National Standard ANSI/AISC 360-10 : Load Specification for Structural Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois Dewobroto, W.(2013a). “Laporan Akhir - Simulasi Uji Stabilitas : Scaffolding PT. Putra Jayasentosa (Type H2000 L1000 W1500 dan Type H2000 L2000 W2000)”, untuk disajikan kepada PT. Gistama Inti Semesta dan PT. Putra Jayasentosa (tidak dipublikasikan). Dewobroto, W.(2013b). “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, Lumina Press, Jakarta Galambos . (1998). “Guide to Stability Design Criteria for Metal Structure 5th Ed.”, John Wiley & Sons Geschwindner, L.F. (2002). “2000 T.R. Higgins Award Paper - A Practical Look at Frame Analysis, Stability and Leaning Columns”, Engineering Journal, Fourth Quarter 2002 Puskim. (2011a).“RSNI1 03-1729.1-201X : Spesifikasi Umum untuk Gedung Baja Struktur”, Badan Standarisasi Nasional , 307 halaman. <> Puskim. (2011b). “Laporan Akhir – Pengujian Struktur Scaffolding PT. Putracipta Jayasentosa”, Kementrian Pekerjaan Umum – Badan Penelitian dan Pengembangan – Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Jl. Panyaungan – Cileunyi Wetan, Oktober 2011
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 45 dari 46
Tentang Pemakalah Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, MT., dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang. Peminatan rekayasa struktur baja, beton dan kayu, simulasi numerik dan pemrograman. Mata kuliah diampu STRUKTUR BAJA, Struktur Kayu, Komputer Rekayasa Struktur, Pemrograman. Pendidikan: S1- UGM (1989), S2 - UI (1998), dan S3 - UNPAR (2009) promotor Prof. Ir. Moh. Sahari Besari, M.Sc., Ph.D. Karir profesional structural engineer di PT. Wiratman +Associates, Jakarta (1989–1994), manager di PT. Pandawa Swasatya Putra, Jakarta (1994–1998). Saat krisis moneter 1998 berpindah kerja ke bidang pendidikan di UPH dan secara serius meniti karir sebagai akademisi. Publikasinya : prosiding, jurnal, buku, juga tulisan opininya dapat dilacak dan dibaca via blog-pribadi beralamat di : http://wiryanto.wordpress.com. Dua buku karyanya yang baru saja beredar, adalah: •
Wiryanto Dewobroto, Lanny Hidayat dan Herry Vaza.(2013)."Bridge Engineering in Indonesia", in : Chapter 21 of the Handbook of International Bridge Engineering, by Wai-Fah Chen , Lian Duan, CRC Press (release October 11, 2013)
•
Wiryanto Dewobroto.(2013)."Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000", LUMINA Press, Jakarta (release April 2013)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
Bagian II : hal. 46 dari 46