Rehabilitasi Suara Penderita Tuna laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Microcontroller 1
Alan Novi Tompunu1, Irma Salamah1, Tri Arief Sardjono2 Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang 30139 E-mail :
[email protected],
[email protected]
2
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Sampai saat ini kanker laring merupakan salah satu penyakit yang ditakuti. Salah satu langkah untuk menghindari penyebaran kanker laring ke seluruh bagian tubuh adalah dengan operasi pengangkatan laring. Operasi ini akan memisahkan rongga pernafasan (trakea) dengan rongga makanan (esofagus). Hal ini akan mengakibatkan pasien pasca operasi pengangkatan laring tidak mampu berkomunikasi kembali. Permasalahan ini mengakibatkan beban psikis yang sangat berat bagi pasien pasca operasi. Ada tiga usaha yang dilakukan untuk rehabilitasi suara tersebut yaitu dengan Esophageal Speech, Tracheoesophageal dan Eletrolarynx. Pembangkitan suara dengan electrolarynx paling sering diadopsi untuk phonation. Penggunaan electrolarynx lebih mudah menghasilkan kalimat panjang tanpa perawatan khusus, dan lebih efektif untuk komunikasi dalam berbagai situasi. Namun alat tersebut sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh pasien tuna laring, selain itu permasalahan ketersediaan alat masih sangat jarang di Indonesia.Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan perancangan alat berupa electrolarynx, yang dapat membantu membangkitkan suara bagi penderita tuna laring dengan biaya yang terjangkau. Sistem ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu: generator spektrum frekuensi suara, mikrokontroler, solenoid dan membran vibrasi. Generator spektrum suara yang dibangkitkan oleh mikrokontroler digunakan untuk menghasilkan getaran pada membran. Hasil yang telah dicapai berupa prototipe electrolarynx yang bekerja pada frekuensi 72 Hz hingga 250 Hz.
Kata Kunci : Penderita tuna laring, Electrolarynx, Microcontroller
1.
PENDAHULUAN Laryngitis adalah peradangan yang terjadi pada pita suara anda (larynx) karena terlalu banyak digunakan, karena iritasi atau karena adanya infeksi. Bagian utama yang menghasilkan suara manusia adalah pita suara, tulang rawan, serta otot dan membran mukosa yang membungkus otot dan tulang rawan. Pita suara adalah 2 buah pita otot elastis yang terletak di dalam laring, tepat diatas trakea (saluran udara). Pita suara menghasilkan suara jika udara yang tertahan di paru-paru dilepaskan dan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Jika kita tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernafas. Kanker Laring adalah penyakit kanker pada pita suara, laring atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker laring lebih banyak ditemukan pada pria yang berhubungan dengan rokok serta pemakaian alkohol walaupun juga ditemukan pada beberapa wanita tanpa sebab yang dapat dijelaskan secara spesifik. Di Indonesia kasus kanker laring tiap tahun meningkat sekitar 30%, meskipun paling banyak terjadi para pria, namun kanker pita suara ini juga bisa menyerang kaum wanita. Menurut data di Poli Audiologi THT-KL RSU dr Soetomo, dari 2001 hingga 2011 tercatat 150 pasien penderita kanker laring yang telah menjalani operasi pengangkatan pita suara. Di departemen rehabilitasi medik RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta rata-rata 25 orang pertahun kehilangan pita suara diakibatkan virus pada laring, 90 % diantaranya ditenggarai berhubungan dengan rokok dan alkohol. Namun bagi penderita kanker laring yang harus mengalami pengangkatan laring total, maka operasi pengangkatan laring akan meliputi sistem penghasil suara termasuk pita suara dan kartilogo tiroid. Dampak
pengangkatan laring tersebut mengakibatkan orang tersebut tidak dapat melakukan pernafasan melalui mulut maupun hidung. Pernafasan dilakukan melalui lubang yang disebut tracheostoma yaitu lubang pada batang tenggorokan. Untuk membangkitkan suara penderita pasca operasi, perlu dilakukan rehabilitasi medik. Saat ini rehabilitasi medik telah dikenal tiga macam cara : 1. Tracheoesophageal (TE), Alat bantu yang di tanam (shunt). 2. Esophageal Speech (SE), Wicara esophagus (suara perut). 3. Electrolaryngeal (EL), Electrolarynx Speech. Dalam rehabilitasi medik ini penderita yang sudah tidak mempunyai laring ini atau disebut dengan tuna laring diberikan motivasi dan latihan bicara melalui pernafasan abdominal. Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan berlatih. Suara yang dihasilkan cenderung tidak jelas sehingga kadang-kadang menyulitkan lawan bicara untuk memahami maksud yang disampaikan. Pembangkitan suara dengan elektrolarynx paling sering diadopsi untuk phonation. Elektrolarynx mampu mengasilkan suara, hanya dengan menempelkan alat tersebut pada pada bagian leher yang dekat dengan kerongkongan lalu menggerakkan otot-otot tersebut sesuai dengan apa yang akan kita ucapkan, maka gerakan otot-otot tersebut akan menggetarkan komponen getar pada elektrolarynx sehingga dapat menghasilkan suara, walaupun suara yang dihasilkan elektrolaring mirip suara robot. Penggunaan elektrolarynx lebih mudah, menghasilkan kalimat tanpa perawatan khusus, dan lebih efektif untuk komunikasi dalam banyak situasi. Alat tersebut memang sangat praktis tanpa melalui rehab medik, tapi harganya sangat mahal, itupun harus indent terlebih dahulu karena di Indonesia tidak ada di pasaran. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang mampu menghasilkan spektrum frekuensi yang dibangkitkan secara eksternal oleh elektrolarynx yang dirancang. 2. TEORI PENUNJANG 2.1 Proses Pembentukan Suara Proses pembentukan suara terjadi ketika mengeluarkan nafas, udara kembali ke atas melalui tenggorokan atau trakea saat diafragma naik, maka terjadi tekanan yang akan menggetarkan pita suara. Getaran pita suara selanjutnya diartikulasikan dengan komponenkomponen pendukung seperti bibir, lidah dan gigi untuk mengeluarkan suara tertentu misalnya vokal dan konsonan. Gambar 1 menunjukkan sistem yang terkait dengan pernafasan dan pembentukan suara manusia. Secara normal orang melakukan pernafasan mulai dari menghirup udara yang bisa dilakukan melalui mulut maupun melalui hidung selanjutnya masuk ke dalam paru-paru.
Gambar 1. Sistem yang terkait dengan pernafasan dan pembentukan suara
2.2
Laring Laring dibentuk oleh sebuah tulang di bagian atas dan beberapa tulang rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa. Laring mengandung pita suara (vocal cord) dan berada pada daerah di mana rongga atas terpisah menjadi trakea dan esofagus. Struktur laring umumnya terdiri dari tulang rawan yang diikat oleh ligamen dan otot.
Gambar 2. Anatomi laring 2.3
Pita Suara Pita suara atau yang dalam bahasa inggrisnya disebut vocal cord adalah 2 buah pita otot elastis yang terletak di dalam larynx (kotak suara), tepat diatas trachea (saluran udara). Pita suara menghasilkan suara jika udara yang tertahan di paru-paru dilepaskan dan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Di mana, untuk menghasilkan suara, pita suara harus bergetar ratusan bahkan ribuan kali per detiknya, tergantung nada atau frekuensi yang kita ucapkan. Jika kita tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernafas.
Gambar 3. Anatomi pita suara 2.4
Wicara Pasca Laringektomi Pada pasien pasca laringektomi total tidak mampu lagi berkomunikasi seperti sedia kala, namun melalui rehabilitasi medis pasien pasca laringektomi dapat berbicara kembali walaupun tanpa pita suara. Secara umum wicara pasca laringektomi total ada 3 macam, yaitu: Voice prosthesis (TracheEsophageal puncture - TEP), Esophageal speech dan dengan elektrolaring.
Gambar 4. Wicara pasca laringektomi 2.5
Solenoid Solenoid merupakan kumparan yang mengelilingi inti besi yang dapat menghasilkan medan magnet ketika kumparan tersebut dilewati arus listrik. Dalam dunia teknik, solenoid terdapat dalam berbagai macam transducer yang dapat mengkonversi energi. Penggunaan solenoid umumnya pada solenoid valve, yang berupa divais terintegrasi antara solenoid elektro mekanik dengan valve pneumatic atau hidrolik.
Gambar 5. Solenoid 2.6
Penguat Transistor Secara umum penguat (amplifier) dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu penguat tegangan, penguat arus dan penguat transresistansi. Pada dasarnya kerja sebuah penguat adalah mengambil masukan (input), mengolahnya dan menghasilkan keluaran (output) yang besarnya sebanding dengan masukan. 2.7
Mikrokontroller AVR AVR adalah kependekan dari Alv and Vegard Risc processor. Merupakan penemu penemu teknologi RISC pada mikrikontroller buatan ATMEL. Atmel yang berarsitekturkan RISC (reduced instruction set computer) memiliki kebutuhan daya yang rendah. Mikrokontroler ini merupakan teknologi terbaru dari Atmel. Karena sebelumnya Atmel memproduksi mikrokontroler 8 bit berarsitektur CISC (complex instruction set computer) seperti AT89S52. Untuk pemrograman mikrokontroler ATmega 8L digunakan bahasa C dengan compiler Code Vision. Komponen ini dikemas dalam bentuk TQFP (Thin Quad Flat Pack) 32 pin. Spesifikasi teknik dari mikrokontroler ATmega 8L adalah sebagai berikut: o 8-bit Central Processing Unit, o 32 x 8 General Purpose Working Register, o 16 MIPS (million instruction per second) per 16 MHz, untuk satu instruksi memerlukan satu clock, o 8KBytes of In-system reprogammable flash program memory yang dapat diisi hingga 1000kali,
o 512 bytes EEPROM yang dapat diisi hingga 100.000 kali, o 1 KBytes internal SRAM, o 23 jalur masukan dan data keluaran yang bersifat dua arah. o Clock operasi hingga 8MHz, o Full duplex serial port, o 2 buah pewaktu 8-bit, o 1 buah pewaktu 16-bit, o Real Time Counter dengan osilator yang terpisah, o 8 kanal 10-bit ADC, o Master/slave antar muka SPI serial, o Analog comparator, o Membutuhkan tegangan suplai sebesar 2.7 – 5.5 V Pada Gambar 2.7 diperlihatkan konfigurasi pin-pin dari mikrokontroler ATmega 8L dari Atmel ini:
Gambar 6. Konfigurasi pin ATmega 8L 3. PERANCANGAN ALAT 3.1 Perancangan Hardware Bagian elektrik terdiri dari pembangkit frekuensi dengan memanfaatkan timer 2 pada mikrokontroler, setvalue yang diinginkan disimpan pada EEPROM guna membangkitkan frekuensi yang telah di disetting sebelumnya. Gambar 7 merupakan blok diagram elektronik dari elektrolarynx.
Increment Button
INT 0
Decrement Button
INT 1 Eeprom
Start Button
I/O 1
TIMER 2
I/O 2
Transistor
Gambar 7. Blok Diagram Elektrolaring
Gambar 8. Hardware tampak dari atas
Gambar 9. Hardware tampak dari bawah Pada perancangan hardware menggunakan komponen SMT (Surface Mount Technology), penggunaan SMT ini bertujuan untuk mendapatkan dimensi yang sesuai pada prototipe. Minimum sistem terdapat sebuah mikrokontroler dengan tipe AT Mega8L. AT Mega8L berfungsi sebagai pembangkit frekuensi dalam range 72Hz hingga 250Hz. Frekuensi yang dibangkitkan memanfaatkan timer yang terdapat pada mikrokontroler. 3.2 Perancangan Mekanik Pada perancangan mekanik dibagi dalam beberapa bagian, antara lain: membran top head, stand solenoid, stand hardware,dan stand baterai. Rancangan mekanik ditunjukkan pada Gambar 10. Stand baterai
Stand hardware
Membran top head
Stand solenoid
Gambar 10. Rancangan mekanik 3.3 Perancangan Software Perancangan software dilakukan secara bertahap, dengan melakukan berbagai pengujian setiap blok hardware setelah hardware siap dijalankan. Langkah-langkah dalam perancangan software adalah sebagai berikut : 1. uji mikrokontroler dengan menggunakan internal RC oscilator pada 1MHz, 2MHz, 4Mhz dan 8Mhz. 2. uji dan kalibrasi pembangkit frekuensi dengan menggunakan timer 3. uji rangkaian driver solenoid. 4. pembuatan persamaan pembangkit frekuensi 100Hz hingga 300 Hz. Dalam merancang software digunakan compiler Code Vision AVR yang digunakan untuk meng-compile dan meng-generate code hexa yang akan didownload ke mikrokontroler. Bahasa pemrograman yang digunakan oleh CodeVision AVR adalah bahasa pemrograman C.
4. PENGUJIAN ALAT DAN PENGAMBILAN DATA 4.1 Pengujian Generator Frekuensi Pengujian yang pertama kali adalah dengan melakukan uji frekuensi yang dibangkitkan oleh mikrokontroler. Hal ini sangat diperlukan karena keakuratan frekuensi yang dibangkitkan akan mempengaruhi frekuensi fundamental yang akan dihasilkan oleh pasien tuna laring. Dalam pengujian ini mikrokontroler akan menghasilkan frekuensi 72 Hz hingga 100 Hz dengan memnfaatkan interupsi timer2. Dan hasilnya akan dibandingkan dengan pembacaan frekuensi pada osciloscope.
Gambar 11. Pengujian generator frekuensi
(a) (b) Gambar 12. Perbandingan frekuensi pada mikrokontroler(a) dan pada solenoid(b) Dari pengujian tersebut didapat data pembacaan ADC sebagai berikut : Tabel 1. Tabel hasil pengujian generator frekuensi f_set (Hz) 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
f_out (Hz) 72.68 73.53 74.85 75.53 76.56 77.52 78.12 79.49 80.26 80.91 82.37 83.06 84.46 85.15
f_out f_set 0.68 0.53 0.85 0.53 0.56 0.52 0.12 0.49 0.26 -0.09 0.37 0.06 0.46 0.15
Error (%) 0.94% 0.73% 1.15% 0.71% 0.74% 0.68% 0.15% 0.62% 0.33% -0.11% 0.45% 0.07% 0.55% 0.18%
Lanjutan Tabel 1. Tabel hasil pengujian generator frekuensi 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
86.06 87.57 88.18 89.77 90.58 91.24 92.25 92.94 93.81 95.6 96.35 97.09 98.04 99.6 100.4
0.06 0.57 0.18 0.77 0.58 0.24 0.25 -0.06 -0.19 0.6 0.35 0.09 0.04 0.6 0.4
0.07% 0.66% 0.20% 0.87% 0.64% 0.26% 0.27% -0.06% -0.20% 0.63% 0.36% 0.09% 0.04% 0.61% 0.40%
Gambar 13. Grafik error generator frekuensi 4.2 Pengujian Electrolarynx dengan Servox Pengujian yang selanjutnya adalah pengujian hasil keluaran dari electrolarynx yang telah dirancang dibandingkan dengan servox. Pada pengujian ini menggunakan 2 frekuensi yang dibangkitkan, yaitu 72 Hz dan 90 Hz. Sinyal pengujian direkam dengan menggunakan sound recorder kemudian disimpan dalam format *.wav, kemudian diplot ulang melalui ProgramDelphi.
Gambar 14. Sinyal dasar yang dihasilkan prototipe pada frekuensi 72Hz
Gambar 15. Frekuensi hasil FFT pada sinyal dasar yang dihasilkan prototype
Gambar 16. Sinyal dasar yang dihasilkan servox pada frekuensi 72Hz
Gambar 17. Frekuensi hasil FFT pada sinyal dasar yang dihasilkan servox
Pada Gambar 14 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh prototipe pada frekuensi 72 Hz, dan Gambar 15 menunjukkan spektrum frekuensi hasil FFT sebesar 138 Hz. Sedangkan pada Gambar 16 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh servox, dan Gambar 16 menunjukkan spektrum frekuensi servox hasil FFT sebesar 136 Hz. Pada pengujian didapatkan spektrum frekuensi sinyal dasar prototipe tidak terlalu berbeda dengan spektrum frekuensi dari servox.
Gambar 18. Sinyal pengucapan vokal ‘A’ yang dihasilkan prototipe pada frekuensi 72Hz
Gambar 19. Frekuensi hasil FFT pada sinyal pengucapan vokal ‘A’ yang dihasilkan prototipe
Gambar 20. Sinyal pengucapan vokal ‘A’ yang dihasilkan servox pada frekuensi 72Hz
Gambar 21. Frekuensi hasil FFT pada sinyal pengucapan vokal ‘A’ yang dihasilkan servox Pada pengujian pengucapan vokal ‘A’ terdapat perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT antara yang dihasilkan prototipe sebesar 100 Hz sesuai Gambar 19, sedangkan yang dihasilkan servox sebesar 93 Hz sesuai Gambar 21. 4.3 Pengujian Low Cost Electrolarynx di RSUD dr. Soetomo dan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo) Pada pengujian selanjutnya dilakukan langsung pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. Pengujian low cost electrolarynx pertama kali ke pasien tuna laring pada di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo. Sedangkan pengujian yang kedua dilakukan di departemen rehabilitasi medis RSCM. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan data implementasi prototipe pada pasien secara langsung.
Gambar 21. Pengujian low cost electrolarynx pada pasien tuna laring di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo dan di departemen rehabilitasi medis RSCM
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Sampai dengan saat ini kesimpulan yang dapat disampaikan terkait dengan low cost electrolarynx yang dihasilkan bagi pasien tuna laring antara lain adalah : 1. Frekuensi vibrasi yang dibangkitkan oleh prototipe electrolarynx, serta frekuensi suara yang dihasilkan oleh penderita tuna laring dengan bantuan prototipe ini, menyerupai suara yang dihasilkan oleh dengan bantuan electrolarynx servox. 2. Prototipe low cost electrolarynx ini dapat digunakan sebagai salah satu metode berkomunikasi kembali pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. 3. Hasil pengujian frekuensi yang dibangkitkan didapatkan rata-rata error frekuensi sebesar 0.34Hz atau sebesar 0.41%. 4. Pada hasil pengujian secara klinis didapatkan beberapa perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT, hal ini dipengaruhi oleh usia pasien serta adanya interferensi suara esophagus yang dihasilkan oleh pasien tersebut. 5.2 Saran Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian selanjutnya maka saran-saran yang dapat disampaikan antara lain adalah: 1. Pengambilan sampel suara dapat melibatkan lebih banyak pasien tuna laring sehingga dapat melakukan analisa yang lebih akurat terhadap variasi yang terjadi antara pasien tuna laring yang satu dengan lainnya. 2. Ditentukan sampel suara yang lebih banyak untuk melihat apakah ada perbedaan karakteristik yang signifikan antara bunyi yang satu dengan lainnya. 3. Pengambilan sampel suara hendaknya juga melibatkan sampel suara normal, bukan hanya dari pasien tuna laring.
PUSTAKA Herliyanto,T., Rancang Bangun Low Cost Electro Larynx Berbasis AVR ATMega 8 Untuk Pasien Tuna Laring. Tugas Akhir. ITS Surabaya. Hirokazu, S dan Takahashi, H. 2008. Voice generation system using an intra mouth vibrator for the laryngectomee,” Tesis MS. The University of Tokyo, Japan. Liu, H dan L. N Manwa 2007. Electrolarynx in voice rehabilitation. Elsevier vol. 34 pp. 327-332, Nusdwinuringtyas, Nury., 2007. Panduan Latiahan Wicara Esofagus. Departemen Rehabilitasi Medik RS.Cipto M, Jakarta. Tompunu, A.N.,2012. Real Time Adaptive Filter Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Processor TMS320C6713. Thesis MS. ITS Surabaya. Tompunu, A.N., Kusumanto, RD, Sardjono, TA., 2012. Implementasi Algoritma Least Mean Square Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Berbasis Processor TMS320C6713. Proc. SEMANTIK, Semarang. Indonesia TA Sardjono, R Hidayati , N Purnami , A Noortjahja GJ Verkerke , MH Purnomo (2010), “A Preliminary Result of Voice Spectrum Analysis from laryngectomised patients with and without Electro Larynx: A Case Study in Indonesian Laryngectomised Patients”, IEEE, hal.1-5.