DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
ISSN-1411-0520
1
LAPORAN UTAMA
REFLEKSI TERHADAP SUMATERA (1983 – 2000) PROFIL
VOLUME III - NO: 9/APRIL 2000
Tumenggung T arib, Ta
KEHATI AWARD UNTUK SEBUAH KEARIFAN WAWANCARA
Zulkifli Nur din, Nurdin,
GUBERNUR BARU JAMBI DI M I L E N I U M BARU
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
2
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab Rudi Syaf uyu Arlan Yuyu &Y Editor Er di T aufik Erd Taufik & Purwo Susanto Pelaksana T im W ARSI WARSI & Tim WWF Alih Bahasa: Moh. Nur Anam Artistik Aulia Erlangga Distribusi Aswandi Ar gusyandra M.S. Argusyandra
Dari Redaksi idang pembaca, sudah tiga bulan lebih kami tidak hadir menemui Anda, bukan berarti kami akan menghentikan penerbitan buletin AS&P untuk sementara waktu. Itu semua karena berbagai pertimbangan yang kami diskusikan secara mendalam. Salah satu pertimbangan itu adalah, mengingat minat untuk berlangganan dengan mengganti ongkos cetak sebagai mana angket yang kami kirimkan kepada pembaca, ternyata mendapat respon yang tidak memenuhi harapan.
S
Pertimbangan lain, minat kami untuk memperluas liputan dan sajian tulisan yang lebih berkualitas semakin besar, mendorong kami untuk mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber, menjadi semakin luas pula. Selain isu menarik dan aktual, juga kualitas tulisan maupun sajian materinya menjadi pertimbangan penting. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu dan pekerjaan lebih banyak, disamping tugas-tugas rutin yang kami lakukan selama ini. Oleh karenanya, setelah melalui perdebatan panjang, kami memutuskan untuk merubah penerbitan AS&P dari buletin dwi bulanan menjadi triwulan. Dalam penerbitan edisi perdana tahun 2000, sekaligus menyosongsong millenium ketiga, AS&P mencoba tampil dengan sajian istimewa. Kami sebut istimewa, karena menyoroti secara khusus kondisi alam dan sumber daya se Sumatera sebagai laporan utama. Kami mengundang Tony Whitten, penulis utama buku Ekologi Ekosistem Sumatera, yang kini tinggal di Washington DC, untuk membuat tulisan berjudul RefleksiTerhadap Sumatera (1983-2000).Ini berhubungan dengan introduksi dari edisi baru buku tersebut yang segera diterbitkan.
Foto Cover: Aulia Erlangga Alam Sumatera & Pembangunan adalah Intern Buletin Inter n yang dikelola oleh W ARSI (W arung Infor masi Konservasi) & W W F (Warung Informasi (W orld W ide Fund for Natur e), Indonesia (World Wide Nature), Pr oject, ID 0117. T aman Nasional Bukit Project, Taman Tigapuluh STT: 2566/SK/DITJEN PPG/ STT/1999, Pertama kali terbit: Oktober 1998 Terbit triwulan. Alamat redaksi : Jl. Teuku Umar No.24 RT.09/RW03 P.O.BOX 28/BKO 37312, Jambi Telp : (0746) 21508 Fax : (0746) 322178 E-mail :
[email protected] Website: http:\\www.warsi.or.id Jl. Raya Belilas Pematang Reba 29351 P.O.Box 34 Rengat 29300, Riau Telp : (0769) 341234 - 341123 Fax : (0769) 341132 E-mail :
[email protected]
Untuk menunjang tulisan Tony Whitten, ada tulisan Konsep berjudul Ekosistem dan Ekologi Manusia, introduksi berjudul Sejarah Singkat Sumatera sertatulisan Laporan Utama, berjudul Lingkungan Hidup dan Nasib Suku Minoritas Sumatera. Tulisan berjudul Gurun Hijau Sumatera, diharapkan menjadi pelengkap laporan utama edisi ini. Tulisan-tulisan lain tetap kami sajikan sebagaimana edisi-edisi sebelumnya. Bagaimanapun juga, kami tetap berharap, semoga pembaca bersedia menyumbangkan tulisan maupun foto berkaitan dengan isu aktual tentang lingkungan hidup di negeri ini, sehingga dapat memberikan nuansa dan kualitas lebih baik pada penerbitan AS&P di masa-masa mendatang. Kami sadar, kendati jadwal terbit AS&P menjadi tiga bulanan, sajian kali ini tentu belum bisa memenuhi dahaga Anda, khususnya berkaitan dengan acaman terhadap bumi kita. Karena itu kritik dan saran yang disampaikan, tetap menjadi perhatian kami dalam upaya itu. Akhir kata, semoga kehadiran AS&P selalu mendapat tempat dihati Anda. Salam Lestari.
KONSEP 3 Sebenarnya hampir tidak ada lagi ekosistem yang tidak dipengaruhi secara nyata oleh kegiatan manusia. Misalnya, jika dalam keadaan normal hutan tropis basah tidak terbakar walaupun dalam kemarau panjang, tetapi setelah terdegradasi oleh logging berlebihan akhirnya terbakar juga, seperti yang dialami dua tahun lalu. Jadi ekologi bumi sekarang boleh dikatakan sudah menjadi masalah ekologi manusia. Tetapi secara konseptual, ekologi manusia itu apa?
Ekosistem & Ekologi Manusia lmu ekologi pada dasarnya menjelaskan hubungan antara organisme -tumbuhan maupun hewan- dengan lingkungannya. Sifat setiap benda hidup dimengerti dari segi hubungannya. Bukan hanya dengan alam secara fisik -termasuk tanah, air dan iklim- tetapi juga dengan benda hidup lain dalam suatu pola saling ketergantungan yang dinamakan ekosistem. Contoh ekosistem dari Sumatera adalah hutan tropis dataran rendah, hutan mangrov, sungai, lahan basah gambut, dll.
I
Ekosistem-ekosistem digolongkan ke dalam kategori lebih besar yaitu biom yang umumnya diidentifikasikan dari vegetasi yang mencirikannya. Hutan tropis, gurun, padang rumput, merupakan contoh biom. Biom merupakan unit ekologis terbesar di dalam biosfer. Biosfer itu adalah seluruh lingkungan hidup di planet bumi. Setiap ekosistem berbeda dari segi luasan dan keruwetan, juga dari segi daya dukung dan ketahanan terhadap gangguan. Dalam beberapa dekade terakhir milenium, hampir semua ekosistem di Sumatera mengalami gangguan berat, bahkan sangat berat. Ini terutama berhubungan dengan eksploitasi yang jauh melebihi daya dukung. Konversi hutan menjadi perkebunan pada areal yang sangat luas merupakan contoh gangguan berat ekosistem hutan tropis Sumatera. Akibatnya, ekosistem hutan di Sumatera terdegradasi dan akhirnya terfragmentasi ke dalam blokblok kecil yang saling terisolir. Ekosistem yang pada awalnya luas dan stabil, menjadi terkotak-kotak dan sangat rawan terhadap gangguan baru.
Manusia, menurut ilmu biologi, memang jenis mamalia yang pada prinsipnya dapat dipandang sebagai unsur hewani dalam ekosistemnya. Dan pandangan ini tentu berlaku untuk masa evolusi spesies leluhur manusia, paling tidak sampai munculnya Homo sapiens (subspesies kita sekarang), sekitar 150.000 tahun lalu. Dengan munculnya subspesies ini, dengan kapasitas intelektual dan budaya lebih besar, pengembangan teknologi dan organisasi semakin menonjol. Namun, konsekuensinya pada lingkungan hidup masih terbatas sebelum manusia mulai mentransformasikan alam lewat pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu. Bahkan masih juga terbatas di mana pertanian masih dilakukan secara sederhana, seperti perladangan berpindah, pada kepadatan penduduk sangat rendah sehingga proses-proses alami termasuk regenerasi masih dominan dan berjalan baik. Namun, pertanian memiliki potensi intensifikasi yang dapat diwujudkan lewat seleksi benih dan pengolahan lahan serta berbagai bentuk-bentuk organisasi. Perkembangan ini memungkinkan populasi lebih besar dan padat serta pengembangan berbagai spesialisasi jasa atau produk juga di luar pertanian. Pengembangan populasi dan ekstensifikasi pertanian untuk mendukung populasi tersebut memperluas dampak pada ekosistem. Ini terjadi di wilayah yang kesuburan tanahnya tinggi secara alami seperti umumnya di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera terutama di beberapa tempat sepanjang Bukit Barisan. Akhirnya, berkat revolusi industri dengan pengembangan berbagai mesin dan kendaraan yang memanfaatkan energi fosil terutama minyak sebagai sumber tenaga dan teknik lainnya seperti pupuk buatan, kemampuan manusia untuk memanfaatkan bumi bahkan mentransformasikannya dalam waktu singkat, sangatlah meningkat. Dampak ekologis pun menjadi dahsyat seperti belakangan ini di Sumatera dan juga di bagian lain dunia. Ekologi manusia merupakan studi terhadap bagaimana manusia berinteraksi dengan alam bukan hanya sebagai makhluk biologis, tetapi lebih-lebih sebagai makluk berbudaya. Ekologi manusia juga menyangkut bagaimana interaksi itu mempengaruhi kependudukan dan pola organisasi dan juga konsekuensinya bagi alam, serta timbal balik dari konsekuensi itu. Kalau dahulu manusia menjadi aktor terbatas di dalam ekosistem tertentu, sekarang menjadi sumber pengaruh di hampir semua ekosistem di bumi. Bahkan boleh dikatakan, planet bumi dengan biosfernya lah yang merupakan ekosistem bagi manusia sekarang. Daya dukung ekosistem inilah yang akhirnya menentukan, penyesuaian apa yang harus dilakukan manusia dalam perilaku dan pola organisasi untuk tetap survive. (O.S)
INTRODUKSI 4 umatera merupakan salah satu pulau terbesar di dunia. Tetapi Sumatera menjadi pulau kurang dari 7000 tahun yang lalu ketika permukaan air laut naik mencapai tingkat seperti sekarang ini sebagai akibat mencairnya tudung es kutub pada periode gletser yang terakhir. Sebelum ini, ketika permukaan air laut lebih rendah, Sumatera membentuk pinggiran di sebelah barat dari apa yang dinamakan Sundaland (seluruh Indonesia bagian barat dan Malaysia) dan oleh karenanya menjadi satu dengan benua Asia.
S
Sejarah Singkat Sumatera (Dari A wal Awal Sampai Akhir)
Selain spesies endemiknya, sebagian flora dan fauna Sumatera sama dengan yang di Asia. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah beberapa mamalia besar seperti gajah dan harimau yang sekarang sangat terancam, dan Sumatera merupakan salah satu tempat kehidupan mereka yang terakhir. Keberadaan mereka terancam oleh keberadaan manusia. Sebagaimana adanya bukti di Jawa, orang primitif (Homo erectus) sudah ada di Sundaland lebih dari 1 juta tahun yang lalu meskipun belum diketemukan peninggalannya di Sumatera. Peninggalan orang moderen (Homo sapiens) pada jaman dahulu, seperti terdapat di Gua Niah di Borneo dimana peninggalan-peninggalan telah berumur 60 ribu tahunan, juga belum ditemukan di Sumatera. Tempat tinggal manusia yang telah ditemukan baru sejak 10 ribu tahun yang lalu. Diantaranya yang terpenting adalah Gua Tiangko Panjang di Jambi. Masyarakat pemburu dan pengumpul hasil alam yang pada waktu itu tinggal di Sumatera mungkin juga ada kaitannya dengan orang Negrito yang sekarang masih ditemukan di Semenanjung Melayu, Filipina dan pulau-pulau Andaman di sebelah utara Sumatera.
ALAIN COMPOST/THE WILDLIFE OF INDONESIA
Orang Sumatera yang ada sekarang ini merupakan pendatang yang relatif baru. Nenek moyang mereka telah tiba di sini kira-kira 4000 tahun lalu, dan mengasimilasikan atau menghapuskan penduduk sebelumnya. Seperti kebanyakan orang Indonesia (kecuali orang Papua, Timor, dan beberapa bagian kepulauan Maluku), mereka termasuk dalam keluarga berbahasa Austronesian. Menurut bukti linguistik dan arkeologi mutakhir, orang Austronesia berasal dari Cina selatan kira-kira 6000 tahun lalu dan secara bertahap bergerak ke selatan masuk ke Indonesia via Taiwan dan Filipina. Diantara mereka yang menduduki Indonesia bagian barat berhasil mencapai Madagaskar.Yang lainnya menuju ke timur dan dengan perahu berhasil mendiami pulau-pulau di hampir seluruh Lautan Pasifik. Orang Austronesia datang dengan membawa pertanian dan dengan demikian berpotensi besar untuk meningkatkan populasi mereka. Tentu saja ini menjadi faktor yang mempengaruhi migrasi secara besar-besaran dan watak mereka yang suka berperang. Tidak banyak diketahui tentang bagaimana terjadinya banyak perbedaan budaya di Sumatera. Sejauh mana perbedaan budaya itu menggambarkan perbedaan kelompok kelompok migran yang datang dalam pra sejarah, atau muncul sebagai akibat dari adanya faktor sejarah lokal dan adaptasi lingkungan. Namun demikian, sama menariknya dengan perbedaan itu adalah keseragaman budaya yang banyak mencirikan Sumatera, terutama pada kawasan pesisir dan sekitarnya. Letak Sumatera yang berdekatan dengan Selat Malaka, yang kira-kira 1500 tahun lalu menjadi jalur perdagangan penting antara Timur dan Barat, jelas mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan di Sumatera. Suku-suku kecil di sekitar pesisir yang menguasai akses masuk ke pulau lewat sungai terlibat dalam perdagangan yang menggunakan sarana laut dengan memanfaatkan produk yang dihasilkan dari daerah di
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
5
hulu. Model kerajaan serta agama menambah kebesaran rohani dan martabat keduniawian, terutama diimpor dari India sebagai budaya yang membungkus sistem politik dan agama asli. Bahasa yang digunakan di sekitar Selat Malaka menjadi bahasa pergaulan atau bahasa perdagangan bagi seluruh daerah dan juga bahasa kerajaan-kerajaan di pesisir. Bahasa ini terkenal dengan sebutan bahasa Melayu.
Meskipun waktunya singkat, kekuasaan kolonial benar-benar telah meletakkan suatu dasar penting bagi pembangunan khususnya melalui pembangunan infrastruktur perhubungan, terutama jalan, dan sistem pemerintahan kesatuan yang menggantikan kerajaan-kerajaan kecil dan struktur adat yang terpisah-pisah. Untuk sebagaian besar, bentuk kerajaan dan organisasi adat yang bermacam-macam itu memang dipertahankan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan tingkat lokal. Meskipun ekonomi perkebunan dikembangkan di beberapa kawasan, terutama di Sumatera Utara, pola dominan sebagai penghasil tanaman komersial terus dilakukan oleh petani kecil. Karet merupakan hasil terpenting dari semua ini dan dipadukan secara lihai ke dalam pola lama ladang berpindah dan pengumpulan hasil hutan. Pola ini terus berlangsung lama setelah kemerdekaan. Pada kenyataannya, hanya pada jaman Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto benar-benar telah berlangsung suatu revolusi dalam hal pemanfaatan dan pendistribusian sumber daya juga penguasaan politis terhadap sumber daya ini. Hutan-hutan sekarang ditebang secara besar-besaran untuk tujuan komersial, kawasankawasan hutan sangat luas dibuka untuk perkebunan dan pemukiman transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Hutan-hutan ulayat diambil alih dari masyarakat lokal kepada pemerintah dan kemudian dibagi-bagikan kembali kepada para elit yang mempunyai hubungan dekat. Pemerintahan masyarakat lokal yang didasarkan pada hukum tradisional dan struktur politik digantikan dengan suatu pemerintahan desa yang bentuknya seragam secara nasional. Bentuk pemerintahan desa ini tidak mengakui hak-hak adat atas tanah dan sumber daya dan lebih bersifat mengatur dari atas. Kesemuanya ini dicapai dengan suatu tatanan kekuatan perpaduan antara sipil dan militer yang dapat menekan rasa ketidak puasan dan perlawanan. Sebagai satu konsekwensi dari pengambilalihan dari hak-hak atas tanah dan sumber daya adalah terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan berskala luar biasa. Penduduk lokal telah dipaksa untuk menanggung biaya-biaya eksternal yang diakibatkannya meskipun keuntungan yang mereka dapatkan relatif sedikit. Proses kerusakan lingkungan terus berlangsung dan bahkan berlangsung cepat ketika masyarakat lokal dengan tanpa rasa takut ikut serta dalam penjarahan terhadap apa saja yang tersisa dari hutan untuk mendapatkan sesuatu yang dulunya menjadi hak mereka sebelum semuanya habis. Peralatan yang merusak, terutama chainsaw, harganya sangat murah dibandingkan kapasitas peralatan itu. Dan dari pada tidak mendapat bagian, banyak perusahaan kayu bersedia mengusahakan peralatan berat seperti
AULIA ERLANGGA/ AS&P
Datangnya pedagang dan penakluk dari Eropah di kawasan itu, yang pertama kali bangsa Potugis pada awal abad ke16, kemudian Belanda dan akhirnya Inggris, menambah volume perdagangan terutama tanaman rempah-rempah dan hasil hutan. Lada ditanam secara luas di Sumatera sejak abad ke 17. Baru pada abad ke 19 pendudukan dan kekuasaan kolonial menjadi luas. Dan baru pada permulaan abad ke 20 Belanda dapat menguasai seluruh Sumatera. Kekuasaan kolonial yang dikonsolidasikan ini berlangsung kurang dari 40 tahun sebelum Belanda diusir keluar oleh Jepang yang kemudian juga dipaksa mundur tiga tahun kemudian. Usaha Belanda untuk menduduki kembali daerah jajahan selanjutnya dikalahkan oleh bangsa Indonesia sendiri.
buldoser dan truk kepada masyarakat lokal. Usaha ini sering diatur dalam koperasi-koperasi semu dalam bentuk usaha bersama yang nampaknya mempunyai kekebalan terhadap hukum. Situasi diperburuk berkat adanya beberapa perusahaan kertas terbesar dunia yang tidak cukup mempunyai pasokan kayu. Teknologi yang digunakannya dapat memanfaatkan hampir semua jenis kayu. Dengan demikian Sumatera ditakdirkan pada waktu sangat dekat ini kehilangan semua sisa hutan-hutannya yang dapat diakses. Yang masih dipertanyalam adalah apakah beberapa taman nasional dan kawasan konservasi lainnya akan terhindar dari ancaman itu. Jika tidak, akan seperti apa Sumatera pada millenium baru ini? Dengan pasti akan tidak ada mamalia besar kecuali manusia itu sendiri karena habitat tidak lagi mendukung kehidupan mereka. Pada kenyataannya, sebagian besar tumbuhan dan binatang pada akhirnya akan hilang jika kecenderungan seperti sekarang ini terus berlangsung. Tumbuhan dan binatang dan ekosistemnya dulunya merupakan bagian dari salah satu pusat terpenting keragaman hayati di dunia. Perubahan ini begitu fundamental sehingga tidak hanya merupakan bagian akhir dari suatu jaman, tetapi juga akhir dari dunia yang diketahui orang Sumatera selama ini. (Oyvind Sandbukt)
MARK E D WARDS/EIA
LAPORAN UTA M A
Refleksi T er hadap Sumatera Te rhadap (1983 – 2000) uku The Ecology of Sumatra dan Ekologi Ekosistem Sumatera terbit pertama kali tahun 1984. Penulis buku tersebut, selain saya (ketika bekerja di Pusat Studi Lingkungan USU) juga Jazanul Anwar, Sengli Damanik serta Nazaruddin Hisyam (kesemuanya dari Universitas Sumatera Utara – USU). Edisi baru dalam bahasa Inggris Ekologi Ekosistem Sumatera segera beredar. Oleh banyak pihak, termasuk saya, terbitan ulang buku ini diharapkan akan memungkinkan revisi dan pembaharuan yang lengkap mengenai bahan dan pelajarannya. Sayangnya, tidak bisa mendapatkan dana untuk melakukan hal ini. Penerbit akhirnya memutuskan, untuk memenuhi komitmen pada mitranya dalam melengkapi seri Ecology of Indonesia, buku ini sebaiknya diterbitkan hanya dengan beberapa koreksi dan suatu introduksi baru dengan 133 referensi baru. Alasan dana juga menjadi kendala untuk terbitan ulang bahasa Indonesia yang sudah habis sejak beberapa tahun lalu. Oleh karenanya diharapkan sumber dana segera tersedia. Versi Indonesia dari seri Ecology of Indonesia selalu menjadi alasan utama untuk kesanggupan melakukan pekerjaan sebanyak ini. Artikel ini juga didasarkan pada introduksi buku tersebut.
B
oleh: T ony Whitten* Tony
Kabar baik Yang pertama, kabar baik. Kesadaran dan perhatian serta komitmen terhadap sumber hayati secara bijaksana di Sumatera telah tumbuh dengan hebat. Penerbitan Alam Sumatera dan Pembangunan serta sejumlah pembacanya merupakan bukti akan hal itu. Kelompok-kelompok non pemerintah sudah efektif dan menjadi partner yang semakin dipercaya bagi lembaga pembangunan pemerintah maupun internasional. Kapasitas manusia dan kesadaran lingkungan pada pemerintah juga telah mengalami banyak peningkatan, meskipun jelas belum pada taraf yang diharapkan. Semakin banyak ilmuwan Indonesia melakukan penelitian lapangan di Taman Nasional utama atau dimana saja dan juga mempublikasikan hasilnya dalam majalah ilmiah Indonesia terkenal, seperti Tropical Biodiversity. Ini penting,karena kehadiran publisitas ilmiah akan meningkatkan pengamanan serta kesadaran terhadap kawasan-kawasan sensitif tersebut.
Beberapa perusahaan telah menunjukkan adanya tinjauan ke masa depan serta tanggung jawab pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, termasuk pemahaman * Ahli Ekologi berkebangsaan Inggris, sekarang berbasis yang baik untuk usaha yang menguntungkan. Bahkan di W ashington DC.
Washington diantaranya ada yang dianugerahi sertifikat dari Lembaga
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
Ekolabel Indonesia. Selain itu, telah ada kerjasama penelitian yang subur antara ilmuwan Indonesia dengan ilmuwan asing. Dihasilkannya peta-peta penting tentang penggunaan lahan/tutupan lahan (RePProt 1988, dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999, http:// mofrinet.cbn.net.id/einformasi/enfi/GIS/vegetasi,htm, http:/ /www.bart.nl/edcolijn/nfi.html), juga penetapan lengkap taman nasional yang pertama dan satu-satunya di Indonesia (Kerinci) serta penemuan banyak spesies binatang dan tumbuhan baru. Terjadinya suatu revolusi dalam teknologi komputer yang memungkinkan masyarakat madani untuk menyampaikan isu-isu yang memprihatinkan di Sumatera, agar mendapat atensi dunia dengan cepat dan menerima informasi atau umpan balik dari luar. Sebelumnya, rasanya seperti hampir tidak mungkin ketika buku Ekologi Ekosistem Sumatera ditulis dengan menggunakan mesin ketik manual dan mengedit naskahnya dengan gunting dan lem.
Kabar Buruk – Lahan dan Habitat Disamping adanya perbaikan-perbaikan tersebut, yang jadi kabar buruk dan benar-benar menyedihkan adalah, eksploitasi kayu dan sumberdaya hayati dan fisik lainnya. Ini sudah berkembang luas hampir tanpa kendali, meskipun sudah ada keluhan. Keserakahan dan kecerobohan telah menguasai segalanya. Kalau kegiatan ini memang benarbenar untuk menguntungkan bagi masyarakat Sumatera terutama mereka yang menggunakan dan tinggal dekat dengan sumber daya itu, mungkin kehilangannya tidaklah demikian parah. Bahkan banyak laporan tentang ganti rugi yang tidak memadai atau tidak sama sekali. Adanya intimidasi, korupsi, penyimpangan dan penekukan peraturan serta proses perencanaan yang tidak transparan. Hilanglah sudah semuanya, kecuali sedikit yang tersisa dari hutan dataran rendah tidak berawa yang sangat mempesonakan. Namun informasi terakhir diprediksikan hutan ini bahkan akan punah sekitar 3 – 5 tahun mendatang. Hutan alami yang masih asli bisa hanya tinggal kenangan. Beruntunglah orang yang pernah mengalaminya, sedangkan yang belum pernah, tidak menyadari betapa besar kehilangan mereka. Jika revisi buku Ekologi Ekosistem Sumatera dilakukan, maka kemungkinan perlu ditulis mengenai hutan dataran rendah telah menjadi suatu keadaan historis, sebagaimana dalam buku Ecology of Java and Bali. Kalimat yang tepat adalah “dari segi tertentu kurang ada gunanya menggambarkan yang secara mendasar telah menjadi suatu keadaan historis.Namun,masihadasisakawasanberhutan walaupun terganggu dan demi mendorong minat serta meningkatkan pemahaman tentang kawasan ini, dideskripsikan pada bab ini”. Satu tipe hutan yang sekarang kemungkinan besar telah hilang secara total dari lanskapnya pada bentuk asli maupun yang telah diubah adalah hutan kayu ulin yang luar biasa itu. Kayu ulin tumbuh secara merata di hutan (lihat photo dan informasi dalam buku Ekologi Ekosistem Sumatera). Sumber daya sangat bernilai ini telah dihabiskan, sedangkan kesempatan regenerasi terlewatkan, termasuk keterkaitannya dengan
B
A
N
G
U
N
A
N
BADAK PUNAH, KONSER VASI RV TERANCAM ni bukan iklan layanan masyarakat. Tapi, spesies badak memang identik dengan konservasi: badak (seperti beberapa jenis hewan lain) berperan menyebarkan biji tumbuhan dalam hutan: mulai dari biji rumput yang menjadi makanan hewan jenis herbivora, hingga tumbuhan yang bakal menjadi pohon besar dan tinggi, termasuk jenis beringin (Ficus. )
I
Penyebaran berlangsung karena kesehariannya yang suka berkubang dan mengembara dalam teritori hampir 10 km sehari. Mulai semak belukar, padang rumput, hutan lebat hingga kawasan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut adalah daerah jelajahnya. Dari hasil kubangan dan mengembara itu, badak menciptakan suatu mata rantai kehidupan. Saat ini populasi badak tidak sampai 400 ekor, baik subspesies Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis) maupun Jawa (Rhinoceros sondaicus). Hewan ini bisa ditemukan di beberapa taman nasional: Gunung Leuser (TNGL), Kerinci Seblat (TNKS), Bukit Barisan Selatan (TNBBS) W ay Kambas (TNWK) di wilayah Sumatera, dan Ujung Kulon (TNUK) di Pulau Jawa. Habitat badak di sejumlah taman nasional kini tengah mengalami ancaman, terutama akibat kerusakan hutan: mulai wilayah penyangga hingga ke dalam taman. Akhirnya, daerah jelajah badak menjadi sempit, dan mata rantai kehidupan ikut terganggu. Kondisi ini tentu mengganggu keseimbangan alam yang sudah terbentuk. Ancaman lain, maraknya perburuan satwa langka. Dewasa ini muncul peburu-peburu liar yang mengincar badak: harga cula yang dipunyai cukup mahal. Sebaliknya, pertambahan populasi hewan ini sangat lambat, karena pola hidup yang soliter: sendiri-sendiri tanpa mengelompok. Yang jantan dan betina memiliki daerah jelajah dan tempat mencari makan yang berbeda. Ini memperlambat proses perkawinan.(Belry Zetra)
LAPORAN UTA M A 8
Perdebatan menjadi semarak dengan pelayanan media dunia, untuk mengetahui apakah bencana lingkungan itu akibat kesalahan dari lembaga dan perusahaan yang terlibat dalam konversi lahan berskala besar untuk tujuan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau pemukiman transmigrasi? Ataukah dari petani yang membuka lahan untuk perladangan? Para pendukung penyebab pertama dicap sebagai komunis, sedangkan pendukung kedua dituduh anti masyarakat. Apapun alasannya, telah direkomendasikan sejak bertahun-tahun, jika petani diberi hak milik atas lahan ladang mereka, mereka mungkin akan lebih memperhatikan perawatannya. Hutan hujan tropis yang
RIZA MARLON/WWF INIDONESIA
PETA HUTAN PRIMER YANG TERSISA DI SUMATERA (1996)
budaya Jambi pun hilang. Beberapa tahun terakhir, terlihat adanya perhatian dunia tertuju pada Sumatera sebagaimana tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini karena adanya kebakaran hutan yang mengerikan dengan asap tebal memedihkan mata. Tulisan ini sesungguhnya dibuat pada Maret 2000, bertepatan orang Sumatera bagian tengah kembali menderita akibat asap dari kebakaran. Asap menutupi daratan sehingga menyebabkan gangguan transportasi dan kesehatan. Tidak peduli lagi tentang nasib keragaman hayati. Semangat menyalakan api lebih hebat untuk membantu membuka lahan, hilang ketika hujan mulai turun.
Hutan Primer SUMBER:WCMC
belum terganggu memang tidak terbakar kecuali pada kondisi kekeringan sangat kritis. Karenanya, sedikit sekali spesies binatang dan tumbuhan asli Sumatera yang telah beradaptasi dengan kebakaran. Sebagai akibatnya, terdapat kerusakan ekologis yang tidak terhingga dan begitu luasnya kebakaran berarti pertumbuhan kembali hutan akan berjalan sangat lambat. Termasuk pada kawasan yang ditunjuk sebagai hutan seperti hutan lindung dan kawasan konservasi, juga pada kawasan yang keadaan sosialnya memungkinkan hutan itu dipertahankan. Ketika buku Ekologi Ekosistem Sumatera pertama kali ditulis (1981-1983) kata ‘Hutan Tanaman Industri’ tidak terdapat dalam kosa kata kami. Kawasan hutan Sumatera yang telah dibuka dan telah (atau sedang) diubah menjadi area HTI sekarang mencapai ratusan ribu hektar. Beberapa dari HTI ini dibuka pada lahan alang-alang yang terdegradasi, dimana konversi lahan menjadi lahan produktif patut disambut dengan baik. Akan tetapi, sebagian besar dari HTI memanfaatkan lahan dari konsesi hutan (HPH) yang dikelola secara tidak baik. Bahkan manejer dan sponsor perusahaan pernah dituduh membakar hutan untuk menurunkan nilai kayu sehingga di bawah ambang batas yang dijadikan kriteria untuk konversi hutan. Kawasan baru yang sangat luas ini dikaitkan dengan pabrik pulp. Sumatera memang berjasa mempunyai pabrik pulp terbesar di negeri ini, namun masyarakat lokal yang dari dulu memperoleh pendapatan mencukupi dari karet belantara menulis surat pengaduan kepada para pengambil kebijakan penting di jajaran sipil dan militer karena proyek ini mengganggu perekonomian mereka. Kurangnya kerjasama perusahaan dengan masyarakat tidak mendapat perhatian, kepentingan masyarakat kurang dihargai. Pemberitaan jelek
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
Kawasan penting internasional lainnya adalah Pulau Siberut yang merupakan salah satu dari empat Cagar Biosfer di Indonesia dalam Program Manusia dan Biosfer di UNESCO. Selama 15 tahun muncul desas desus dan rencana yang telah diberitakan tentang pemukiman transmigrasi beserta perkebunan kelapa sawit dan HTI. Protes keras dari pihak nasional dan internasional sebelum dimulainya proyek konservasi dan pembangunan yang didanai ADB di pulau itu, mendahului pencabutan ijin penebangan. Tetapi pada saat perusahaan-perusahaan benarbenar meninggalkan kawasan, sebagian besar kayu yang dapat dijangkau dan bernilai komersial telah ditebang. Menjelang proyek ADB selesai, perusahaan-perusahaan kembali antri membuka perkebunan dengan membawa buruh migran. Memasukkan Siberut bersama masyarakatnya ke daftar tempattempat terlanda bencana ekologi dan sosial. Pembangunan dewasa ini diwarnai dengan kisah-kisah pemaksaan dan penipuan dalam mempengaruhi masyarakat lokal untuk menanda tangani pelepasan hak-hak tanah mereka. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di utara Sumatera yang luar biasa (www.eul-dp.co.id) selama puluhan tahun juga
N
G
U
N
A
N
9
tentang isu tersebut, menyebabkan ditutupnya surat kabar lokal. Beberapa sumber mempercayai bahwa tidak mungkin menghasilkan kayu yang cukup pada lahan yang dialokasikan untuk pabrik pulp. Jika demikian, kayu harus pula diambil dari hutan sekelilingnya, dimana sebagian berada pada lahan gambut yang tidak tumbuh kembali menjadi hutan seperti semula. Bahkan sebagian lagi berada pada tanah gambut yang terlalu dalam untuk pertanian. Karena yang diinstalasikan di pabrik adalah mesin bekas, orang yang sinis mungkin akan mengatakan bahwa ketika hutan alami telah ditebang dan dijadikan pulp kertas, maka investor sudah meperoleh keuntungan dari investasi mereka dan akan pindah ke tempat lain dengan meninggalkan berbagai kehancuran.
Hutan, Kayu dan Stempel Korupsi erusakan hutan terjadi di hampir sebagian besar daerah di republik ini. Mulai dari eksploitasi besar-besaran, konversi hingga pembakaran, sudah jamak dilakukan. Akibatnya, bukan sekadar potensi banjir dihilir, atau menyingkirkan masyarakat lokal yang mengandalkan sumberdaya pencariannya dari hasil hutan nonkayu, tapi sudah merusak ekosistem dan memusnahkan keragaman hayati.
K
Pelakunya? Sudah tidak asing lagi: yang itu-itu juga, yakni pemilik modal yang dekat dengan Keluarga Cendana (penguasa di rezim Orde Baru). Modus operandi pun sederhana sekali: merambah
THE JAKARTA POST
Taman Nasional, merupakan permata mahkota dari salah satu sistem kawasan terpenting yang dilindungi di dunia, sekarang ini keadaannya tidak aman. Taman Nasional Leuser dan Kerinci misalnya, bagian terbaik kawasan inti dari hutan dataran rendahnya yang relatiftidakterganggu, bahkan telah dibagibagi menjadi HPH dengan cara resmi maupun tidak resmi. Kasus lain, setelah bertahun-tahun diadakan persiapan dan studi, pemerintah dan Bank Dunia bersama Global Environment Facility menyetujui suatu proyek kerjasama antara pemerintah lokal, LSM dan masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tujuannya untuk mempertahankan masa depan taman melalui program yang membantu pembangunan sosial dan ekonomi. Baru saja proyek secara resmi dimulai, muncullah laporan-laporan di surat kabar yang kemudian dikonfirmasikan, bahwa terdapat suatu jalan yang dibangun oleh pemerintah lokal memotong taman. Meskipun ada perjanjian yang jelas bahwa hal itu tidak diijinkan. Selain itu, telah pula disetujui bahwa perusahaan-perusahaan kayu (HPH) di sekitar taman akan bekerjasama dalam mengadopsikan praktek yang dapat menghasilkan pengelolaan kehutanan lebih baik. Meskipun demikian, komponen ini juga menghadapi masalah serius.
A
Mereka yang berperan meng’obok-obok hutan di Indonesia: Eka Cipta Widjaya, Liem Sioe Liong dan PrayogoPangestu hutan di luar areal konsesi (HPH), atau kawasan IPK di luar rencana kerja, bisa pula dengan memodali masyarakat lokal dan membeli kayu yang ditebang ilegal dengan harga murah. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan jajarannya, yang sewaktu didirikan bertugas, antara lain mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sering lupa diri. Mereka bukan hanya tidak mau tahu dengan kerusakan yang sudah menggenaskan. Sebagian aparatnya, bahkan, sudah menjadi bagian dari konspirasi itu. Konspirasinya macam-macam. Yang sulit dikenali awam tapi gampang dilakukan lewat entertainment cost, oleh pihak perusahaan. Mulai pengawas lapangan setingkat polisi hutan (Polhut), hingga aparat yang paling atas, kena cipratannya. Rata-rata seorang Polhut, menurut pengakuan mereka, meraup satu juta rupiah setiap bulan. Bayangkan jumlah yang diterima atasannya di tingkat propinsi (kantor wilayah), dan pusat (departemen). Dan, bagaimana pula dengan aparat di luar kehutanan yang juga punya peran mengamankan hasil curian? Tuduhan tanpa bukti? Hutan alam ditebang terang-terangan dan peredaran kayunya mudah dikenali, itulah salah satu bukti. Bagaimana tindakan aparat kehutanan? Yang menarik, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengakui, penebangan ilegal tahun 1998 telah merugikan negara Rp 1,5 triliun. Perhitungannya, hasil tebangan ilegal saat itu mencapai 30 juta m3, dengan harga rata-rata per-m3 Rp 500 ribu (Kompas, 31/5/ 1999). Itupun data resmi yang terekam APHI. Bagaimana catatan asosiasi lain, LSM, pemerintah? Korupsi, kolusi antara pengusaha dan penguasa, atau manipulasi
LAPORAN UTA M A mengalami pengelolaan yang jelek atau tidak adanya pengelolaan sama sekali meskipun ada dukungan LSM internasional. TNGL jadi menderita akibat segala macam pelanggaran tanpa banyak perlindungan dari lembaga konservasi (PHPA) maupun pihak lain yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan peraturan. Diharapkan segala sesuatunya akan berubah melalui badan pengelola yang inovatif, yaitu Yayasan International Leuser. Yayasan ini didirikan untuk mengganti lembaga konservasi pemerintah dengan diberikan kuasa lebih luas. Yayasan ini mendapat persetujuan konsesi berjangka tujuh tahun untuk mengelola ‘ekosistem Leuser’ yang mencakup luasan lebih dari 2 juta hektar. Beban biaya pengelolaannya dibagi antara Dana Peremajaan Hutan Pemerintah dengan Uni Eropa. Keterlibatan politisi, pejabat tinggi tingkat propinsi, polisi, militer, juga staf Depertemen Kehutanan mungkin telah menghasilkan potensi pengelolaan terbaik sepanjang masa bagi taman yang terancam ini, dan sebagian besar taman nasional Indonesia lainnya. Keterlibatan mereka telah mencegah rencana pelaksanaan pembangunan jalan dan proyek transmigrasi. Sebaliknya, hal ini telah menyebabkan tekanan terhadap yayasan untuk mengembangkan program alternatif. Meskipun demikian, kawasan itu sedang menghadapi masalah berat dan sepertinya tidak mungkin membayangkan perhatian semacam ini pada setiap kawasan konservasi.
Kabar Buruk – Mar gasatwa Margasatwa
AULIA ERLANGGA/AS&P
Dengan hilangnya habitat, tidak terhindarkan mengakibatkan populasi tumbuhan dan margasatwa telah
UNIT TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH
10
Harimau Sumatera akan segera punah?: Foto harimau ini didapatkan pada tanggal 20 Februari 2000 di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
berkurang. Bersamaan dengan adanya perburuan liar, kehilangan habitat telah menyebabkan penurunan jumlah spesies secara mengejutkan. Sebagai contoh, jumlah Badak Sumatera di TNKS dan hutan-hutan sekelilingnya mengalami penurunan dari kira-kira 300 ekor menjadi kurang dari 30-an. Ini terjadi meskipun ada proyek UNDP/ Global Environment Facility yang mengembangkan kapasitas dibutuhkan dalam pelestarian badak. Tujuan khusus proyek ini adalah untuk menahan dan mengembalikan penurunan jumlah populasi badak akibat perburuan dan gangguan habitatnya, sehingga diharapkan tercapai tujuan nasional dan global untuk mengembalikan populasi spesies badak yang berkelanjutan. Yang menghilang hampir secepat badak adalah harimau. Populasi harimau mengalami penurunan sebanyak 95% dari seluruh area persebarannya selama abad ini. Kemungkinan hanya tersisa 500 individu dari subspesies Sumatera. Dari jumlah itu sebagian besar berada di kawasan yang tidak dapat lagi mendukung populasinya. “Spesies yang dilindungi ini” dicari di Indonesia dan negara lain, karena kulit dan bagian tubuh lainnya. Perdagangan kulit binatang, umumnya bersifat domestik dan ahli pembuat hiasan dari kulit binatang dapat ditemukan di kota-kota besar Sumatera. Sedangkan perdagangan gelap potongan tubuh binatang tertuju ke Cina. Di negara ini, kaki depan harimau dijual seharga $ 1.000 per kg. Satu mangkok sop penis harimau dapat dibeli dengan harga $ 320 oleh mereka yang merasa lemah sahwat atau iri dengan kemampuan harimau yang mampu bersetubuh beberapa kali dalam satu jam. Jika pelanggan menyadari bahwa harimau, ternyata tiap kali melakukan senggama berlangsung kurang dari 15 detik, kemungkinan pasar sop penis harimau akan jatuh. Tulang, sungut atau mata harimau, yang diyakini mempunyai kekuatan menyembuhkan atau manfaat lain, jelas lebih mudah disembunyikan untuk diperdagangkan dari pada
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
11
bagian tubuh yang lebih besar. Sejalan dengan teori ekonomi, harga akan naik ketika binatang ini semakin langka. Perantara memanfaatkan orang desa yang mempunyai ketrampilan, termasuk memanfaatkan masyarakat hutan –seperti orang Kubuuntuk memburu binatang bernilai. Pemburu diberi imbalan jasa sangat kecil dibanding dengan hasil buruannya, tetapi imbalan itu masih lebih lumayan dibanding dengan pendapatan dari kegiatan lainnya. Jika benar bahwa mereka yang berwenang terlibat dalam perdagangan ini, prospek masa depan akan benar-benar menjadi suram. Tentu saja dorongan pasar gelap ini begitu kuat sehingga semua usaha dari dalam dan luar Sumatera untuk membendung arus perdagangan satwa telah mengalami kegagalan.
Kesimpulan Telah banyak kejadian sejak 1984, begitu banyak pula rekomendasi, argumen, seruan dan proposal, pertemuanpertemuan, tinjauan serta rencana-rencana. Sebuah undang-undang baru tentang konservasi telah disahkan, sedangkan jumlah taman nasional beserta anggarannya bertambah. Walaupun demikian… Pada tanggal 1 Februari 2000, pemerintah mengumumkan suatu Program Hutan Nasional yang akan disusun secara transparan dan mufakat. Program ini akan dikembangkan oleh suatu badan sah, didirikan pada tanggal 1 April. Suatu komite antar departemen akan dibentuk oleh EKUIN untuk meninjau proses ini. Sejumlah aksi jangka pendek yang menarik telah diumumkan, temasuk : Aksi terpadu terhadap para penebang ilegal, terutama dalam taman nasional dan menutup sawmill-sawmill ilegal Evaluasi kembali kebijakan hutan konversi dan penundaan semua konversi hutan alami hingga Program Hutan Nasional disetujui Mereduksi dan restrukturisasi industri kayu untuk menyeimbangkan antara suplai dan permintaan akan bahan dasar dan untuk meningkatkan daya saing industri kayu Mengaitkan program reforestasi dengan kebutuhan industri hutan Mengkalkulasi kembali nilai nyata kayu, dan Memanfaatkan proses desentralisasi sebagai alat untuk meningkatkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan Tetapi aksi pemerintah saja tidak cukup. Konservasi yang terjamin hanya dapat menjadi kenyataan jika para individu ikut serta melihat, mendengar dan berbicara di lapangan. Desentralisasi kewenangan atas sumberdaya alam yang sedang berjalan akan memerlukan keikut sertaan masyarakat madani, baik perorangan maupun kelompok lokal, secara terus menerus dan diikuti dengan komitmen. Ini dibutuhkan jika ingin melestarikan, menggunakan dan menikmati sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, saya berharap pembaca Alam Sumatera dan
Al Quran dan Penyelamatan Lingkungan erbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, e b a k a r a n , kemiskinan hingga kemorosotan sumber daya hutan yang bernilai, jika dicermati, lebih banyak disebabkan perbuatan manusia yang tidak peduli dengan keselamatan bumi. Mereka menutup mata, telinga dan bahkan menolak kebenaran, baik yang disyi’arkan melalui kitab suci maupun yang dicontohkan dengan fakta.
B
k
Informasi akan pentingnya memelihara alam semesta —sebagai hasil dari ilmu pengetahuan— lebih banyak diabaikan karena manusia serakah. Padahal, makhluk ini diciptakan lengkap dengan akal yang bisa membedakan perbuatan yang benar dan yang salah. Sebagaima terkandung dalam Alqur’an:
“Sesungguhnya kami menciptakan manusia sebaik-baiknya ciptaan” (Surat Attin : 4) Hanya saja, akal yang diberikan sering dikuasai nafsu. Kebenaran, karena itu, cenderung dibelokkan oleh nafsu serakah sehingga yang benar dianggap salah, dan sebaliknya. Padahal, Allah sudah melarang umatnya untuk ikut bersama orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana difirmankan:
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Surat Al Baqarah : 77) Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya alam bukan dengan nafsu serakah —seperti membuka lahan pada lereng curang— tapi akal sehat. Pertimbangkan mudharat dan manfaat dari setiap perbuatan agar tidak mengancam makhluk ciptaanNya. Umat manusia sudah diingatkan untuk tidak memanfaatkan isi bumi untuk kepentingan sesaat, dengan mengabaikan kelangsungan hidup generasi mendatang. Allah SWT menciptakan manusia untuk menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana. Tujuannya demi kemakmuran umat, baik generasi sekarang maupun
LAPORAN UTA M A 12
Gurun Hijau Sumatera erlombaan dan perburuan lahan hutan untuk diubah jadi perkebunan secara besar-besaran terjadi pada dekade 1980 – 1990an, menyusul kegiatan eksploitasi hutan oleh HPH yang dilakukan sebelumnya. Selama 20 tahun pelaksanaan HPH, pembangunan kehutanan terus ditekan pada peningkatan produksi hasil hutan. Hasil-hasil hutan (terutama kayu) menjadi komoditas yang menonjol sekaligus menguntungkan bagi para pemilik HPH. Kayu memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Departemen Kehutanan mengklasifikasikan jumlah hutan produksi sebanyak 64 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 53,4 juta hektar diantaranya diberikan kepada konsesi HPH. Pada tahun 1980, Bank Dunia memberikan komentar atas keadaan ini, “dalam 40 tahun Indonesia akan jadi tandus, faktor penyebabnya praktek penebangan kayu tanpa perhatian”.
P
TANTYO BANGUN/EIA
Di Sumatera, kayu dari dulu biasa diambil secara manual dengan sistem panglong dan kayu gergajian, disuplai ke pabrik-pabrik dengan sasaran Singapura. Lebih 80% kebutuhan kayu Singapura dipasok dari Sumatera pada era 1920 dan 1930an. Akhir dekade 1960-an, penanam modal bidang kehutanan berlomba mengkapling hutan Sumatera. Ada sekitar puluhan HPH yang dikuasai elit tertentu bekerjasama dengan investor luar negeri melakukan pembabatan hutan besar-besaran. Saat itu memang dikondisikan untuk dapat menghasilkan uang secara cepat
dalam memperbaiki perekonomian negara. Kayu pun menjadi emas hijau khatulistiwa hingga tahun 1980an. Setelah tahun 1985, ketika kayu log dilarang untuk diekspor, industri pengolahan kayu-terutama pabrik kayu lapis- mulai berkembang pesat sehingga kapasitas terpasang jauh melebihi ketersediaan bahan baku. Kondisi hutan semakin parah setelah hadirnya pabrik pulp dan kertas yang rakus menghabiskan kayu dengan berbagai jenis dan ukuran pada era 90-an. Karena perusahaan-perusahaan ini tidak punya sumber bahan baku yang mencukupi, akibatnya semakin bertambah luas areal hutan yang dibabat. Penurunan nilai kayu pada Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas dijadikan alasan bahwa hutan tidak bisa direhabilitasi lagi. Era konversi hutan dimulai, banyak kawasan hutan alam Sumatera yang akhirnya dengan terpaksa atau dipaksakan untuk dirubah menjadi perkebunan atau HTI. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1982, hutan konversi di Indonesia terbesar berada di Sumatera. Jumlahnya hampir mencapai 2 juta hektar. Kini, sebagian besar hutan alam Sumatera sudah habis, bahkan kawasan konservasi menjadi sasaran selanjutnya. Di beberapa tempat, kawasan konservasi sudah mulai dijarah oleh perusahaan atau perorangan untuk dirubah menjadi perkebunan dan HTI.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
13 Gurun Hijau Dahulu, kebijakan pekebun kita masih bisa memandang lahan dan hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang perlu dijaga kelestariannya. Kini, ketika pekebun telah banyak ditangani para investor yang lebih mementingkan antara modal dengan keuntungan, maka kondisi hutan Sumatera semakin memprihatinkan. Ahli agronomi yang ikut dalam mengelola perkebunan, ikut terbawa arus pengusaha. Tidak ada lagi upaya untuk mempertahankan Daerah Aliran Sungai sepanjang perkebunan. Bahkan tidak terlihat kegiatan penyelamatan satwa tersisa dengan mempertahankan kawasan berupa koridor biologis. Semuanya diubah total tanpa menyisakan kawasan hutan yang ada. Budaya tumbang, imas dan bakar sudah menjadi pandangan umum pada areal hutan yang telah dikonversi menjadi kebun. Akibatnya, seperti tidak mau peduli dan selalu terjadi setiap tahun, asap menjadi kasus besar di sebagian besar Pulau Sumatera. Lalu tumbuhlah tanaman kelapa sawit muda di hamparan yang luas. Hutan alam berubah jadi tanaman monokultur. Tidak bisa dibayangkan, berapa banyak keragaman hayati yang musnah. Kondisi fisik dan biologis tanah juga berubah total. Kelapa sawit memang sedang jadi primadona, di balik itu semua tentu perlu ditegaskan bahwa perburuan kawasan hutan untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit harus segera bisa ditata ulang. Setiap satuan luas lahan budidaya kelapa sawit dipastikan tetap menyisakan hutan untuk keberlangsungan kehidupan satwa liar demi keseimbangan ekologis. Daerah tangkapan air tetap dilestarikan, agar ketersediaan air tanah tetap terjaga. Ratusan gajah merusak kebun, hama babi hutan menggasak tanaman muda, adalah dampak dari keseimbangan alam yang tidak terjaga baik. Berbeda sekali kemampuan tanaman kelapa sawit pada areal yang luas dengan kemampuan tanaman polikultur di suatu areal hutan dalam menahan laju pergerakan air permukaan (run off). Untuk satu tanaman kelapa sawit dewasa bisa menyerap hingga 5 – 10 liter air setiap hari, maka tidak kurang dari 1.000 liter air dibutuhkan setiap hari untuk 1 hektar kebun kelapa sawit. Bisa dibayangkan berapa besar kebutuhan air tanah untuk ratusan ribu pohon kelapa sawit setiap hari dari satu perusahaan perkebunan yang setidaknya memiliki luas 6.000 hektar kebun untuk satu pabrik pengolahan. Bahkan, secara teoritis, tanaman sejenis pada suatu areal yang sangat luas sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kasus seperti ini pernah terjadi pada tanaman karet di negeri asalnya. Kalau ini sempat terjadi, bencanalah yang akan dituai oleh pekebun sawit kita di masa datang. Satu tanaman dewasa kelapa sawit akan memiliki perakaran kuat sepanjang daun terluar tanaman itu. Perakaran itu bersatu dengan yang lainnya bila daun terluar tanaman satu dengan tanaman lain menyatu. Setelah tanaman tidak produktif dan perlu di-replanting, akar tanaman tidak bisa hancur oleh mikro-organisme tanah. Perlu penghancuran secara
Pemanasan Global fek rumah kaca (green house effect) memegang peranan e n t i n g dalam melindungi kelangsungan makhluk hidup di muka bumi. Disebut sebagai pelindung, karena gas karbondioksida, metana dan jenis lain, termasuk uap air, dalam konsentrasi seimbang berfungsi menahan energi panas matahari yang memancarkan sinarnya ke bumi, sehingga permukaannya selalu dalam kondisi hangat. Tanpa ada gas dan uap air, bisa jadi bumi beserta makhluk hidup yang menghuninya akan membeku.
E
p
Namun, rumah kaca juga akan menjadi bencana bila terjadi peningkatan konsentrasi gas. Peningkatan konsentrasi ini terjadi karena penggunaan sumberdaya fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara, misalnya), penggundulan dan pembakaran hutan yang dilakukan secara berlebihan. Efek yang ditimbulkan adalah perubahan iklim secara global. Selama 200 tahun terakhir, konsentrasi gas itu di udara naik sepertiga dari sebelumnya. Ini mengakibatkan, suhu udara juga meningkat hingga 0,5 sampai 1derjat Celcius. Jika konsetrasi ini tidak segera diatasi, maka abad ke-21, kenaikannya diperkirakan mencapai 2-6 derjat Celcius. Penggundulan dan pembakaran hutan yang berlangsung hari-hari ini, terutama yang terkonsentrasi di Pulau Sumaera, termasuk Riau dan Jambi, memberi sumbangan yang besar pada peningkatan konsetrasi gas-gas itu di atmosfer. Saat ini dampaknya sudah dirasakan hampir sepanjang tahun, misalnya polusi udara. Kota Pekanbaru dan bahkan juga negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei darussalam, sudah terganggu dengan polusi udara itu. Dampak yang lebih mencemaskan dari meningkatnya suhu udara adalah peningkatan permukaan laut, yang pada akhirnya akan menggenangi kawasan yang berada di dataran rendah, seperti wilayah yang berada di bagian
ungai, dalam sejarahnya, telah memberi manfaat besar bagi umat manusia, hingga kini. Selain sebagai sumber air, sungai juga bermanfaat sebagai sarana perhubungan, sumber tenaga (listrik dengan PLTA –Pembangkit Listrik Tenaga Air), serta juga sebagai sumber pangan, karena menyimpan keragaman plasma nutfah.
S
Kerusakan lahan berhutan, yang kerap terjadi di daerah dengan kelerengan curam, berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sungai, yang hulunya ke arah hutan. Ini terjadi karena dalam daur hidro-orologis terdapat suatu rantai perjalanan air: mulai saat hujan hingga bermuara ke laut. Kawasan hutan yang dikategorikan sebagai daerah tangkapan air hujan, merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebab, hutan pada daerah perbukitan dan pergunungan berfungsi sebagai penyimpan cadangan air hujan, sekaligus penyarin yang bekerja secara alami. Proses penyaringan dari berbagai strata vegetasi, disertai kemampuan vegetasi menahan laju erosi lapisan atas tanah, mampu mengurangi gangguan pada ekosistem sungai secara alami pula. Beberapa bencana seperti erosi, pendangkalan sungai di hilir, penurunan kualitas air sungai serta kepunahan spesies, terjadi karena hutan yang berada di hulu mengalami penggundulan. Jika dilakukan secara besar-besaran, akan mempengaruhi persediaan air tanah pada musim kemarau. Ini terkait dengan fungsi hutan sebagai kantung (penahan) air. Pada daerah yang gradien muka air tanahnya tinggi, daerah itu akan mudah kekurangan air di musim kemarau. Alasannya, permukaan air sungai lebih rendah dari permukaan air tanah.
RIZA MARLON/WWF INIDONESIA
Akibat penggundulan hutan (deforestasi), selain berdampak pada sungai, secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman. Sebab, kandungan lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan lebih sedikit yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah berkurangnya populasi ikan di sungai. Beberapa jenis ikan kurang mampu beradaptasi karena terjadi perubahan habitat secara cepat. Perubahan intensitas penetrasi sinar matahari, oksigen, kandungan mineral dan tingkat keasaman (PH), adalah beberapa penyebabnya. Dengan berkurangnya populasi ikan, ini juga berdampak secara luas
fisik. Bagi perusahaan yang punya modal, dalam kegiatan replanting, bukan masalah menggunakan alat berat untuk mengolah tanah. Tetapi bagi petani tradisional, tentu jadi masalah besar. Paling tidak dibutuhkan hingga Rp 500.000,- untuk menghancurkan perakaran setiap tanaman tua. Kalau tidak dihancurkan, pertumbuhan tanaman baru akan terganggu. Bisa saja dilakukan penanaman tanaman baru pada barisan atau larikan sepanjang tanaman tua. Kalau ini terjadi tentu lapisan topsoil tanah akan tertutupi oleh perakaran serabut tanaman kelapa sawit yang cukup kuat itu. Tanah pun akan gersang pada suatu ketika. Penurunan kesuburan tanah dalam luasan yang demikian besar, akan berakibat fatal bila tidak segera dapat diperbaiki. Suatu waktu nanti, kondisi ini bahkan dikhawatirkan akan menjadi tempat yang tandus dan gersang. Karenanya, kelapa sawit bisa jadi sebagai gurun hijau di Sumatera saat ini, dan akan menjadi gurun sebenarnya pada masa mendatang.
MARK E D WARDS/EIA
14
LAPORAN UTA M A
Hutan Gundul, Ekosistem Sungai Rusak
Pulau Biologis Hampir semua kawasan konservasi di Pulau Sumatera mengalami tekanan. Akibatnya, kelestarian ekosistem tidak tercapai. Jika hutan sekeliling kawasan konservasi dikonversi menjadi perkebunan atau HTI, secara ekologis kawasan itu menjadi pulau hutan yang terpencil. Dengan terus berlangsungnya gangguan terhadap ekosistem alamiah, maka terbentuklah ‘pulau-pulau’ ekosistem alamiah yang lebih kecil berupa pulau biologis. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) misalnya, kini tengah mendapat tekanan dari berbagai arah. Meskipun kehancuran hebat belum masuk ke dalam kawasan inti, daerah penyangganya menjadi rebutan berbagai kepentingan. Perusahaan berlomba untuk mendapatkan akses lahan di sekelilingnya. Analisa citra landsat menunjukkan, bukaan lahan sampai dengan tahun 1993 diperkirakan mencapai 24.104 hektar.Tiga tahun kemudian, bertambah menjadi 34.299 hektar. Kawasan TNBT bisa diibaratkan sebagai sebuah kue donat. Daerah penyangganya, diibaratkan bagian kue yang melingkar, menjadi rebutan dan siap dihabiskan. Bagian tengah, yang diibaratkan kawasan inti, bolong sehingga akan tidak berguna sama sekali jika daerah di sekelilingnya telah habis. Karenanya, kawasan penyangga suatu ekosistem yang dilindungi merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Teori keseimbangan Mac Arthur dan Wilson (1963 dan 1967) sudah mengingatkan, semakin kecil areal dari suatu tipe habitat semakin besar pula laju kepunahan spesies yang ada di dalamnya. Bahkan kawasan konservasi dengan luas sekitar 10.000 km2 bisa kehilangan setengah dari jenis mamalia besar (dan kebanyakan jenis burung) dalam jangka waktu kira-kira seribu tahun mendatang. Pengurangan areal hutan jelas berdampak pada
Sungai bagi masyarakat tradisional merupakan sumber kehidupan, suatu bencana bagi merekabilasungai mengalami degradasi akibat penggundulan hutan.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
W AW A N C A R A SOERIPTO,SH :
SEKJEN
15 DEPHUTBUN;
“Saya Akan T injau Ulang Ijin Tinjau Usaha Perusahaan di Sekitar TNBT”. ekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Soeripto, SH., mengadakan kunjungan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh, propinsi Riau, Jumat (25/2). Meskipun kunjungan tersebut dilakukan dengan menggunakan helikopter, namun setelah kunjungan lapangan, Sekjen melakukan dialog dengan masyarakat sekitar TNBT dan LSM lokal di Aula Kantor Bupati Indragiri Hulu di Pematang Reba. Setelah acara dialog, AS& P berhasil mewawancarai Sekjen. Berikut petikan wawancara:
S
pengurangan spesies. Perkawinan antar keluarga akan mengurangi ketahanan, termasuk kemampuan menyesuaikan diri, kestabilan plasma nuftah dan variasi. Sifat yang merusak dalam suatu populasi dapat menimbulkan kepunahan. Pada manusia, dan juga hewan, terdapat banyak cara sosial untuk menghindarkan perkawinan antar keluarga. Sebaliknya, bagi hewan yang ‘terperangkap’ dalam populasi kecil, karena menempati suatu petakan hutan kecil, mungkin tidak punya pilihan lain. Daerah berupa lorong terbuka yang menghubungkan dua daerah hutan, hanya mau dilewati oleh beberapa jenis hewan. Sedangkan jenis lainnya jelas tidak mau berjalan melewati atau terbang di atas daerah-daerah terbuka dan terganggu tersebut. Inilah pentingnya dipertahankan kawasan berhutan yang merupakan koridorbiologis.
Revisi T ata Ruang Tata Dalam aktifitasnya, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan akan ruang. Konsep penataan ruang tidak hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi semata, namun juga tetap memperhatikan aspek lingkungan dengan memasukkan konsep ekologis. Meskipun UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang telah diimplementasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) hingga ke tingkat kecamatan dan desa, namun pada kenyataannya masih merupakan suatu konsep. Penyusunan RTRWP sendiri belum melihat kepentingan masyarakat banyak terutama di daerah-daerah sekitar hutan dan kawasan konservasi. Penekukan peraturan dan perencanaan yang tidak transparan memberikan keuntungan kelompok tertentu yang memiliki akses besar terhadap hutan. Ada kesempatan untuk melakukan perubahan pada penyusunan RTRW P pada setiap lima tahun berjalan. Tahun ini, kesempatan itu terbuka lebar bila kita masih menginginkan kepada perubahan yang lebih baik, atau kesempatan itu akan hilang dan tidak pernah bisa dilakukan sama sekali. Maka kerugian dan bencana siap menunggu kita pada masa mendatang. Pengalaman memang guru terbaik, tetapi jangan sampai uang sekolahnya terlalu mahal, sehingga harus mengorbankan segala yang ada hanya untuk hari ini. Keledai pun tidak mau terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali. (Purwo Susanto).
Bagaimana bapak memandang hutan kita saat ini, khususnya yang ada di Propinsi Riau? Saya merasa prihatin, apalagi setelah mendengar masukan dari masyarakat tadi. Bagaimanapun juga bukan kondisi hutan secara fisik saja yang memprihatinkan, tetapi kondisi hutan dalam kaitannya dengan masyarakat. Bila masyarakat sekitar hutan sudah terganggu apalagi terancam karena kondisi kehutanan yang seakan-akan dibagi-bagi seenaknya saja hanya untuk segelintir pengusaha, itulah yang memprihatinkan saya. Inilah yang perlu dibenahi. Menyangkut TNBT sendiri menurut bapak bagaimana? Memang banyak perusahaan melakukan kegiatan di sekitar TNBT yang dapat mengganggu kelestarian. Bahkan terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar TNBT. Oleh karena itu, perlunya ada penyelesaian yang baik antara masyarakat dengan perusahaan. Sebagai Taman Nasional, kita harus jaga kelestariannya tetapi disamping itu juga kita harus memperhatikan kondisi masyarakat di sekitarnya. Banyak ijin kegiatan perusahaan di daerah selama ini datang dari pusat, sehingga daerah tidak mampu menolaknya. Bagaimana menurut bapak untuk mengatasinya? Kita akan tertibkan, pasti itu akan ditertibkan. Kita akan tinjau kembali ijin-ijin yang sudah keluar apakah sesuai dengan peraturan yang ada dan kehadiran mereka bisa menguntungkan rakyat kecil atau hanya menyebabkan kehancuran saja. Banyaknya kegiatan eksploitasi hutan di Riau dilakukan oleh pabrik pengolahan kayu yang membutuhkan bahan baku melebihi kemampuan sumber daya hutan, menurut bapak bagaimana? Menurut saya yang perlu ditertibkan adalah sawmill-sawmill liar. Sedangkan perusahaan besar seperti RAPP dan IKPP bagaimana? Kita lihat dahulu, tapi yang jelas saya akan mencoba menertibkan lebih dahulu sawmill-sawmill liar itu. Bertahap satu-persatu, begitu.
LAPORAN UTA M A
PURWO SUSANTO/AS&P
16
Lingkungan Hidup dan Nasib Suku Minoritas Sumatera umatera merupakan tempat tinggal bagi suku-suku e s a r yang mempunyai tradisi budaya terkenal seperti Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Selain itu terdapat juga sejumlah suku-suku minoritas dan nyaris tidak dikenal. Sebagian besar suku ini terdapat di dataran rendah Sumatera sebelah timur dimana mereka pernah hidup secara tradisional di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai penting maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai.
S b
Di pedalaman terdapat Orang Sakai yang berada diantara Sungai Rokan dan Siak, Orang Petalangan diantara sungai Siak dan Kampar dan diantara Sungai Kampar dan alang Mamak diantara sungai Indragiri, dan Orang T Talang Indragiri dan Batang Hari. Ada juga Orang Batin Sembilan di kawasan antara sungai Batang Hari dan Musi, khususnya di sisi perbatasan propinsi Jambi. Suatu populasi yang mempunyai hubungan erat dengan Orang Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi perbatasan Sumatera Selatan. Kawasan-kawasan lebih kecil yang terbentuk oleh banyak cabang sungai di hulu DAS Batang Hari dan DAS Musi merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Orang Rimba Rimba. Satu-satunya suku minoritas yang tidak tinggal di pedalaman diantara sungai-sungai adalah Orang Bonai Bonai. Mereka mendiami daerah berawa di pertengahan DAS
Sungai Rokan yang bersebelahan dengan kawasan Orang Sakai. Di kawasan pantai tedapat Orang Akit tepatnya di pulau Rupat diantara muara sungai Siak dan Rokan dan Orang Utan di beberapa pulau dan tanah daratan antara kuala sungai Siak dan Kampar. Kemudian diantara kuala sungai Kampar dan Batang Hari terdapat Orang Kuala atau dalam bahasa mereka disebut Duano Duano. Di pulau-pulau lepas pantai tedapat berbagai sub-kelompok Orang Laut dari kepulauan Riau dan Lingga. Selain itu juga terdapat keturunan Orang Darat yang dulunya hidup di pedalaman pulau-pulau Riau yang besar, namun keadaan mereka sekarang tidak diketahui. Di Sumatera Selatan terdapat Orang Sekak di kawasan pesisir kepulauan Bangka dan Belitung. Pada waktu dulu mereka biasa hidup berpindah-pindah sebagai orang perahu. Yang tersisa adalah Orang Lom Lom, disebelah utara pulau Bangka Keadaan kelompok-kelompok suku tersebut , kecuali Orang Darat di kepulauan Riau, telah disurvei kembali pada beberapa tahun terakhir berkaitan dengan proyek WWF dan W ARSI. Hampir semua suku minoritas mengalami tekanan berat, tekanan yang paling penting disebabkan adanya
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
17 kerusakan habitat dan sumber daya, dan penyerobotan kawasan serta tanah leluhur mereka oleh perusahaan perkebunan dan migran. Mungkin selama ini kasus paling tragis adalah yang dialami oleh Orang Sakai. Sampai pertengahan 1980-an ketika penulis melakukan penelitian lapangan didaerah mereka, orang Sakai masih mempunyai cukup hutan dan tanah meskipun hutannya telah ditebang untuk kegiatan eksplorasi minyak PT Caltex. Selain itu hutan tersebut juga mengalami degradasi akibat kegiatan perusahaan penebangan dan pencurian kayu. Meskipun kekayaan minyak telah dipompa keluar dari tanah Orang Sakai dengan produksi puncak hampir sama dengan ¾ total produksi minyak Indonesia dan kira-kira ½ pendapatan ekspor dari semua sektor, Orang Sakai sendiri hampir-hampir tidak menerima tetesannya kecuali hanya berupa proyek pemukiman kembali oleh Depsos yang salah arah dan ditinggalkan. Ketika suatu tim peneliti UNRI dan WWF melakukan survei di kawasan Sakai pada 1998/99, diketahui bahwa situasi mer eka telah sangat memprihatinkan. Beberapa perkebunan besar telah mencaplok sebagian besar hutan mereka dan tanah, yang masih tersisa telah diambil alih oleh para migran berasal dari luar pr opinsi. Orang Sakai sendiri propinsi. biasanya menjual tanah kepada migran tanpa menyadari bahwa mer eka sendiri akan tidak mempunyai tanah lagi mereka kar ena lahan luas tersebut telah berpindah kepada pemilik perkebunan. Oleh sebab itu, sekarang ini orang Sakai karena tidak hanya kehilangan hutan, tetapi di beberapa desa sudah kehilangan tanah yang bisa diolah untuk menopang penghidupan mer ganya. Y ang tertinggal hanyalah tangan hampa yang mer eka gunakan untuk mereka keluarganya. Yang mereka eka sendiri dan keluar bekerja demi mendapatkan upah harian jika ada.
RIZA MARLON/WWF INIDONESIA
Nasib yang sama dialami oleh sebagian Orang Rimba di Jambi dimana pemukiman transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit tidak hanya menghabiskan hutan tetapi juga tanah yang biasanya diolah untuk perladangan . Perambahan sisa kawasan hutan terus berlangsung dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan maupun peladang berskala kecil dari desa lokal. Selain itu perambahan juga disebabkan oleh pemukiman transmigrasi dimana generasi kedua membutuhkan tanah tambahan, atau oleh migran dari luar propinsi. Kesemuanya ini akan mengurangi hutan yang didiami oleh Orang Rimba. Pada tahun ini peristiwa itu mendapatkan suatu pengakuan secara nasional ketika salah satu yang memiliki jati diri dan norma hidup yang berbeda dari masyarakat umum. Dengan perkembangan politik dan perjuangan dari masyarakat pribumi dan adat serta pendukungnya di tingkat nasional dan internasional, kekurangan pada konvensi ILO yang ada semakin terasa, sehingga pada tahun 1989 dihasilkan penggantinya, iaitu Konvensi ILO No. 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Disetujui oleh 328 negara, satu negara menentang, dan 49 negara abstain, konvensi ini menjadi konsensus dan norma perilaku secara global. Konvensi ILO 169 selain menggarisbawai pelaksanaan hak asasi manusia secara umum bagi masyarakat adat, juga menetapkan hak untuk menentukan jati diri, maupun menentukan pendidikan yang sesuai nilai-nilai mereka. Secara umum, mereka berhak untuk memutuskan bentuk dan prioritas pembangunan, termasuk hak untuk menolak pembangunan. Yang juga sangat mendasar, konvensi menyatakan masyarakat adat mempunyai hak atas tanahnya dan sumber daya alam.
ak-hak suku-suku minoritas sudah diakui secara n t e r n a s i o n a l lewat ILO (International Labour Organization), iaitu organisasi di bawah naungan PBB. Konvensi pertama dibuat pada tahun 1957 mengatur perlakuan terhadap masyarakat pribumi dan juga masyarakat adat, yaitu masyarakat atau G suku mana eneradi sinegara yang aka n hilsaja ang:
H
i
Dampak kerusakan lingkungan sangat lah berpengaruh bagi anak-anaksuku tradisionalini.
AULIA ERLANGGA/AS&P
KONVENSI ILO UNTUK PERLINDUNGAN SUKUSUKU MINORIT AS MINORITA
GAJAH, TAGEJOH & HALOM DEWO
“Saya memuja Ganesha Sang Tak Terpahami berwajahgajahyang mempunyai gading tajam, tigamata,danperut lebar....Raja semua mahluk, yangabadi....berdarah merah, keningnyadisinarioleh bulan baru, putra Siwa, penolaksegalabala”. (Doa Ganapati dari IndiaSelatan)
SERIAL HARUS TETAP HIDUP/WWF
18
ajah —Orang Rimba menyebut gejoh— termasuk yang dianggap keramat. Hewan ini tidakdisebut gejoh, tapi natong godong (binatang besar), supaya tidak kedulat (kena kutuk). Jika dilanggar, bisa-bisa fisik semakin kurus sampai akhirnya meninggal.
G
Setiap hewan keramat dipercaya sebagai peliharaan (ingunon)dewo.Dewo gejoh disebut orang digejoh, yang berdiam di hulu sungai. Orang rimba membedakan gejoh dalam dua kategori: gejoh di halom nio dan gejoh di halom dewo. Dua halom ini berasal dari substansi yang sama tapi berbeda pada wujud. Halom nio bersifat material dan bisa dilihat, dan bisa ditemui di sekitar kawasan hidup Orang Rimba. Sedang halom dewo bersifat supranatural dan tidak bisa dilihat, yang disembah dan dipuja-puji dan hanya dapat ditemui dukun. Orang Rimba sudah biasa bertemu gajah di halom nio, karena berada dalam kawasan hidup yang sama, yakni hutan. Mereka memandang gajah dengan kagum karena mampu menghindari ancaman. Jika ingin mengusir gajah, biasanya dinyalakan api. Namun gajah akan balik mengencingi api hingga mati, sehingga mereka tidak berani mengusir. Setelah hutan makin berkurang di Bukit 12 yang juga, kawasan hidup Orang Rimba, gajahpun makin langka, dan kini sudah jarang ditemui, terutama 10 tahun terakhir.“Gejoh la belik ke pangkol, kareno hopi ado lagi penghidupon”.Maksudnya, gajah sudah dipanggil dewa karena tidak ada lagi penghidupan.
Gejoh di halom dewo termasuk dewa terpenting. Bahkan sering disebut dewo pujoan, sehingga Orang Rimba sering memuja dalam upacara ritual mereka. Untuk memuja, Orang Rimba mengadakan upacara bebalay. Balay adalah tempat melakukan pertemuan ke halom dewo yang berbentuk panggung. Pembangunan balay sarat pantangan: tidak boleh dilihat orang terang,selesai dalam sehari, berada dalam hutan perawan, kukuh dan bersih. Pantangan iniberhubungan dengan bobot gajah yang berat dan tenaga besar.Karena itu balay harus mampu menopang berat badan dan gerakan gajah ketika sang dukun melakukan bedekir. Bedekir berarti bertemu dewa, dan hanya dilakukan dukun. Pertemuan ini dilukiskan dalam sebuah perjalanan panjang. Salah satu dewa penting dan paling awal yang ditemui adalah orang digejoh.. Pada pertemuan itu, sang dukun akan minta tolong mengobati berbagai penyakit. Tak lupa sang dukun mempersembahkan bunga dan humbud ibul sebagai makanan kesukaan dewogejoh.
Selama mengadakan perjalan panjang, dukun berada di halom dewo bersama pemimpin mereka, Tumenggung Tarib, dianugrahi maupun perusahaan perkebunan. dewo gejoh . Selama itu pula konsentrasi dukun tidak bisa diganggu: anakPenghargaan Kehati atas perjuangannya mempertahankan a n a k , k a k i t e r s a n g k u t , b a l a i r u n t u h , a t a u a n j i n g n ik balai. Jitradisi ka terganggu, hutan dari perambahan. Beberapa masyarakat yangamempunyai bertempat sang dukun akantinggal tergejoh.diArtinya hubungan dukun yang telah perahu dan hidup berpindah-pindah menyatu,terputus Akhirnya permintaan kepada dewadan punOrang batal,Sekak Situasi ini sama halnya dengan yang dialami oleh Orang tiba-tiba. sepertimisalnya: Orang Laut, Orang Kuala dan sang dukun akan terjatuh pingsan jika tidak segera ditangani oleh Batin Sembilan, Orang Petalangan, dan segera juga akan juga termarjinalkan.Habitat mereka telah dieksploitasi dialami oleh Orang Bonai, Orang Akit, Orang lebih dari itu dirusak oleh kegiatan dukunUtan, godongdanmakasecara dukun berlebihan yang tergejodan h akan berubah wujud menjadi gajah. Orang Lom. Kebutuhan sumber daya bagi orang Talang pemukatan ikan secara ilegal atau dengan menggunakan (Robert Aritonang) Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah terjamin, bahan peledak dan racun. Pelaku kejahatan adalah para tetapi mereka yang diami kawasan sekelilingnya mengalami nelayan atau pedagang yang bermodal dan mempunyai ancaman yang gawat. Perjuangan seorang pemimpin Talang koneksi serta tidak memikirkan keberlanjutannya. Orang Mamak dewasa ini juga mendapatkan pengakuan ketika laut pada umumnya telah didesak untuk bermukim di pantai, patih Laman memenangkan penghargaan untuk konsevasi tetapi hal ini menyebabkan mereka berada pada posisi yang tingkat lokal dari WWF International atas keberhasilanya sulit ketika harus menyesuaikan dengan perubahan musim. melindungi hutan peninggalan nenek moyangnya dari Disamping itu hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada lahan ancaman pemukiman transmigrasi, para penebang liar tersedia di pemukiman mereka yang dapat digunakan
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
sebagai tempat berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelum kawasan mereka dimerosotkan pihak lain, pemanfaatan lahan maupun sumber daya alam oleh suku minoritas Sumatera sudah bersifat sangat berkelanjutan. Kenyataannya, bermacam-macam vegetasi sebagai akibat kegiatan pengolahan lahan dengan intensitas rendah oleh kelompok-kelompok di hutan basah agaknya memberi kontribusi terhadap keragaman. Tentunya ini sangat berbeda dari pada tanaman monokultur yang diandalkan oleh perkebunan dan bahkan migran yang sekarang menyukai penanaman kelapa sawit. Sesungguhnya dapat diargumentasikan bahwa keragaman budaya dan keragaman hayati merupakan dua sisi mata uang logam. Dan tentu saja argumen ini benar jika alternatifnya adalah monokultur dalam arti ganda. Degradasi lingkungan dan kehilangan sumber daya yang dialami oleh suku-suku ini tentu saja sama halnya dengan yang dialami oleh orang-orang Sumatera pada umumnya pada beberapa dekade terakhir. Namun demikian, akibat kerusakan jauh lebih gawat bagi suku-suku kecil. Mereka juga bisa kehilangan sistem sosial dan identitas budaya mereka yang merupakan bagian dasar dari cara hidup yang tergantung pada adaptasi dengan alam. Suku-suku minoritas yang dulunya kaya akan lahan dan sumber daya sekarang ini mengalami suatu kemiskinan, yang menyebabkan lebih sulit bagi mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat luas yang diakui dan dihormati. Budaya mereka terancam menjadi suatu budaya kemiskinan. Pendidikan mungkin pada taraf tertentu merupakan suatu cara untuk menghindari kemiskinan dan status yang rendah. Sebaliknya, pendidikan mungkin juga akan menambah perbedaan. Kemiskinan sendiri merupakan sebab sukarnya memperoleh pendidikan. Dan sebagaimana diketahui dalam survei WWF, sebagian besar dari mereka yang lepas sekolah tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan tetapi juga karena diskriminasi dan cemooh. Kasus terburuk dialami oleh Orang Laut yang kadang-kadang anak mereka menjadi bahan cemooh oleh anak-anak lain sehingga anak Orang Laut meninggalkan sekolah. Dalam beberapa kasus dilaporkan bahkan ada guru yang melakukan hal itu. Sebaliknya, banyak orang Talang Mamak tidak mengijinkan anak mereka pergi ke sekolah umum karena mereka beranggapan bahwa sekolah bertentangan dengan budaya mereka. Pernah dialami adanya tekanan dan bujukan kepada anak-anak tersebut agar menjadi Orang Melayu. Juga Orang Rimba pada umumnya menolak sekolah karena mereka menganggap tidak sesuai dengan tradisi budaya mereka. Jadi masa depan suku minoritas memang perlu dipertanyakan. Apakah mereka secara berangsu-angsur akan menghilang bersama habitat dan sumber daya mereka? Atau apakah mereka akan menjadi bagian dari budaya kemiskinan dan penghuni pedesaan kumuh yang menjadi luka berkepanjangan di lanskap sosial dan budaya Sumatera? Jawaban atas pertanyaan itu akan tergantung pada kearifan dari perencana dan pembuat kebijakan dalam bidang lingkungan dan sosial. Sejauh ini kebijaksanaan
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
19
HARIMAU, DEW A PENJAGA WA KESEIMBANGAN agi masyarakat adat Melayu dan Talang Mamak, harimau —biasa juga disebut rimau— dianggap dewa atau datuk. Mengapa? Konon, menurut mitos, hewan ini berasal dari seorang anak manusia yang dikutuk ayahnya karena bandel, sehingga diusir ke hutan. Dalam belantara itu ia kemudian menjadi penguasa, sehingga disebut raja hutan.
B
Setelah menjadi raja hutan, ada perjanjian dengan manusia: jika menyebut datuk berarti saudara dan ia tidak menampakkan diri. Namun, jika menyebut harimau berarti musuh. Hingga kini, jika bertemu harimau dalam hutan, mereka memanggilnya datuk. Begitu kuatnya pengaruh datuk, muncul keyakinan pada Orang Melayu dan Talang Mamak: jika berperilaku melanggar adat dan merusak hutan, sang datuk akan marah dan memperlihatkan fisiknya. Sebaliknya, si datuk ini juga dianggap penyebab dan penyembuh penyakit. Jika mereka banyak melanggar aturan adat, datuk akan mengamuk dan ini pertanda penyakit akan datang. Untuk mengobati, harus melalui sanggar de lolai, yakni upacara menyahabati harimau, memberi makan dan meminta kesembuhan penyakit, dan juga menjaga desa. Lain dengan daerah sepanjang Sungai Cinaku, di utara Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Di sini, dikenal harimau jadi-jadian: disebut Cinaku, yakni harimau yang menjelma menjadi manusia. Bentuk fisiknya persis seperti manusia, tapi tidak punya belahan pada bibir atas. Makhluk ini biasanya dipelihara dukun untuk menjaga desa, mengobati penyakit, dan menghukum (bisa sampai membunuh) jika ada anggota masyarakat berperilaku melanggar adat. Tahun 1998, empat orang migran mati diterkam harimau, karena mengambil kayu di Bukit Fatimah, hutan pusaka tempat berdiamnya dewa rimau. Berdasarkan mitos dan kepercayaan itu, Orang Melayu dan Talang Mamak tidak mau membunuh harimau, kecuali jika terpaksa. Misalnya, jika sang datuk sudah membunuh manusia. Betapapun, dalam kepercayaan masyarakat tradisional, dewa harimau berfungsi menjaga kerukunan masyarakat dan keseimbangan makhluk di bumi: antara manusia, hewan dan alam. Keseimbangan alam, karena itu, perlu dijaga dan harimau punya hak hidup di alam yang dihuni manusia. (Mangara Silalahi)
20
W AW ANCARA GUBERNUR JAMBI:
Bagaimana Bapak melihat kondisi hutan di Prop. Jambi saat ini? Kita memang sangat merisaukan keadaan hutan yang ada saat ini. Luas hutan tinggal lagi hanya secuil. Saya sudah melihat kondisi hutan di tiga taman nasional: Berbak, Bukit Tigapuluh dan Kerinci Seblat. Di Berbak dan Bukit Tigapuluh luar biasa kehancurannya.
DOK.WARSI
Anda risau dengan kondisi itu, tapi penebangan ilegal jalan terus. Kok bisa demikian? Kondisi begitu sudah berlangsung sejak lama, dan bagaikan mata rantai yang tidak bisa diberantas seketika.
Zulkifli Nurdin
Penebangan ilegal terutama dipicu keberadaan industri pengolahan kayu. Saat ini kebutuhan bahan baku jauh melebihi suplai yang tersedia. Bagaimana kalau satu mata rantai itu tidak diputus saja? Ini sudah menyangkut antar-instansi. Di satu pihak ada departemen kehutanan dan perkebunan yang mengelola hutan, dan di pihak lain ada departemen perindustrian dan perdagangan di bidang pemberian izin industri. Yang diperlukan sekarang adalah koordinasi. Soal ini sudah dibicarakan di daerah. Masalahnya, izin itu bukan wewenang daerah, tapi pusat. Menteri yang mengeluarkan. Kita kini menghimbau kepada pusat untuk menyerahkan semuanya ke daerah. Atau, kalau belum bisa diserahkan perlu diseimbangan antara pasokan yang ada dengan kapasitas terpasang. Berarti harus menunggu otonomi daerah dulu? Memang harus begitu?
Guber nur Baru Gubernur di Milenium Baru
S
osok Zulkifli Nurdin memang belum banyak dikenal dalam dunia lingkungan nasional, namun pandangan dan prinsipnya yang begitu bersemangat terhadap masalah-masalah lingkungan sejak beliau aktif memimpin partai politik, telah menyentakkan banyak kalangan yang menggeluti masalah-masalah lingkungan belakangan ini. Kini, Zulkifli memimpin satu propinsi dimana masalah lingkungan dan kehidupan masyarakat tradisional di daerahnya telah menyita banyak perhatian dunia. Bagaimana pandangan beliau tentang kondisi hutan kita serta masyarakatnya, berikut petikan wawancara AS&P dengan Zulkifli Nurdin, yang baru seumur jagung menjadi gubernur.
Dengan otonomi itu, apa yang akan diharapkan? Tentunya, secara tegas kita akan mencoret industri yang nyata-nyata mengambil bahan baku dari kawasan lindung. Jika otonomi sudah berlaku, saya janjikan itu. Masalahnya, hingga kini belum ada kata putus dari pemerintah pusat, seberapa jauh sebetulnya otonomi itu diserahkan pada daerah. Persoalannya, betapapun bagus peraturan yang dibuat, kalau tidak ada pengawasan yang ketat di lapangan sebagaimana yang terjadi selama ini, hutan-hutan itu akan terus ditebangi? Itu betul. Makanya, kita akan perketat nanti pengawasan. Kalau tanpa itu kita akan jebol.
Bagaimana mekanismenya? Terus terang saya baru di bidang ini. Tapi saya akan mencari masukan, baik dengan mengundang orang-orang yang ahli di bidang ini, termasuk juga dari LSM dan pers. Kalau ada peraturan yang sudah keluar tapi kurang mendukung, akan kita revisi agar betul-betul bisa diterapkan. Sebagian masyarakat lokal juga terlibat merambah hutan sehingga sulit untuk dilarang. Apa upaya untuk masalah ini?
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
21
Saya memang menyadari soal ini. Kebanyakan mereka, sudah berpuluh-puluh tahun mengantungkan hidup dari kayu yang ada di hutan sekitar wilayah mereka. Mereka butuh makan. Apalagi sejak krisis moneter. Mereka makin gencar melakukan, karena berbagai kebutuhan mereka melonjak naik. Untuk mereka ini, saya mendatangkan ahli hortikultura dan perikanan dari Thailand dan Malaysia dan kemudian mengirim petugas pertanian lapangan (PPL) belajar ke sana hingga dua bulan. Setelah selesai petugas ini bisa memberi contoh tentang produk yang unggul dan cepat panen. Dengan cara ini kebiasaan mereka menggantungkan hidup pada hutan bisa dialihkan ke sektorsektor produktif tanpa merusak hutan kita.
banyak bersentuhan dengan hutan. Hari-hari saya juga lebih banyak masuk ke luar hutan, mengikuti orangtua berdagang hasil hutan seperti rotan, damar dan daun nipah. Bahan dagangan itu didapatkan dari pencari dan pengumpul, yang di antaranya adalah Orang Rimba. Lalu setelah dewasa, saya menyaksikan, hutan yang dulu kaya dengan hasil nonkayu seperti rotan, damar, manau, getah jernang, sudah mulai rusak. Orang Rimba yang mengandalkan sumberdaya ekonominya dari hasil hutan nonkayu, mulai terganggu kehidupannya. Tidak hanya itu. Hutan pun dengan leluasa dibabat untuk kepentingan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan klestarian dan kerusakan ekosistem, sehingga menganggu kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Bagaimana sebetulnya Anda melihat kerusakan hutan yang sudah terjadi? Saya concern terhadap masalah hutan. Kalau dulu orang leluasa, kini tidak bisa main-main lagi. Saya memang keras untuk soal ini. Beberapa statemen saya tentang hutan memang agar keras. Tapi tidak apa-apa. Saya tidak akan mundur dalam soal ini, karena untuk kepentingan daerah.
Ketika menyampaikan visi dan misi di depan DPRD, Anda satu-satunya (dari lima orang) calon gubernur yang menyinggung soal marginalisasi Orang Rimba dan kehancuran hutan di Jambi. Apa yang mendorong Anda memperhatikan masalah yang, di masa gubernur sebelumnya, sering diabaikan selama ini? Masa kecil yang saya habiskan di desa, Muara Sabak, lebih
RIZA MARLON/WWF INIDONESIA
Soal ini ‘kan terkait juga dengan investasi, yang bisa mengalahkan kepentingan menyelamatkan hutan? Saya sudah bicara dengan Pak Nurmahmudi (Menhutbun) dan Pak Laksamana Sukardi (Meneg Investasi dan BUMN), tolong daerah. Saya mintakan agar bekas 15 HPH yang ada Inhutani V dikembalikan ke daerah, karena lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. Hutan kami gundul, sementara mana manfaat yang didapatkan penduduk di sekitar HPH tidak ada.
Banyak P.R.yang harusdiselesaikanoleh gubernur Jambi yang baru: Pengalihan hutan menjadi kebun sawit, penebangan liar & Orang Rimba yangterancamhabitatnya.
DOK.WARSI
AULIA ERLANGGA/AS&P
Kondisi hutan yang ada betul-betul kontras dengan pengalaman masa kecil saya. Yang lebih menyedihkan, Orang Rimba, yang selama ini mengandalkan sumberdaya pencarian dari hasil hutan nonkayu, juga ikut menderita. Saya merasa, kelompok masyarakat yang berjasa mempertahankan hutan tidak bisa lagi diabaikan, seperti sebelum ini. Mereka, yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, juga berhak mendapatkan perhatian. Kalaupun ada perhatian, itu tidak menyentuh persoalan mereka. Terbukti perumahan dari departemen sosial (proyek PKMT—Permukiman Kembali Masyarakat Terasing, red.) yang disediakan, toh mereka tinggalkan, karena tidak cocok dengan budayanya. Betapa sedihnya hati saya menyaksikan mereka yang dulu berjasa mempertahankan hutan, kini termarginalisasi. Kita seharusnya bisa menghargai budaya mereka, dunia mereka. (ET)
PROFIL 22
ladang, yang ditanami padi atau umbi-umbian. Setelah satu kali masa panen, ladang itu ditanami karet. Model pembukaan ladang dilakukan dengan pola hompongon, yakni berbanjar, menyisir batas cagar. Hompongon itu bagaikan benteng yang menghalangi kegiatan orang luar untuk masuk ke dalam cagar. Kawasan hidup Tumenggung Tarib berada di sisi selatan cagar yang berbatasan dengan ladang penduduk desa, kebun kelapa sawit dan permukiman transmigrasi. Berkat hompongon itu, Tarib bersama kelompoknya, mampu menyisihkan dua finalis lain untuk memperoleh penghargaan yang diberikan Yayasan Kehati: Masyarakat adat Karorotan, yang melestarikan tradisi “Eha” dan upacara “Mane’e” di Desa Karorotan, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara, serta Suratman B. dan kelompoknya, dengan kegiatan budidaya dan pemanfaatan tanaman obat tradisional di Desa Ngudi Waras, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul. D.I. Yogyakarta.
DOK.WARSI
Hompongon memang sangat berarti bagi Orang Rimba dalam mempertahankan hutan di cagar biosfer. Dengan membuat hompongon, orang luar terhalang masuk cagar. Sudah ada kesepakatan adat yang dilakukan dengan orang luar: dilarang masuk ke dalam cagar jika sudah ada ladang yang ditanami karet milik Orang Rimba di pinggirnya. “Kalau ada orang terang masuk lewat ladang kami, akan keno dendo,”tegasTarib soal sanksi bagi yang melanggar.
KEHATI Award Untuk Sebuah Kearifan ENELISIK Cagar Biosfer Bukit Duabelas, tak ubahnya menelusuri perjalanan hidup Tumenggung Tarib (45 tahun). Pemimpin kelompok Orang Rimba di Sungai Pakuaji, Desa Pematang Kabau, Kec. Pauh, Kabupaten Sarolangun ini, bagai tak bisa dipisahkan dari cagar: Orang Rimba butuh cagar yang menyimpan sumberdaya pencarian mereka, dan sebaliknya, cagar juga butuh pelestarian dan pengamanan dari mereka.
M
Berkat hubungan itu pula, Tarib mendapat penghargaan, yakni Kehati Award 2000 dari Yayasan Kehati (LSM bidang keanekaragaman hayati), berupa trofi dan hadiah uang Rp 40 juta, akhir Januari 2000. Anugerah itu diberikan karena menilai Tarib, bersama anggota kelompoknya, melakukan kegiatan yang mampu menyelamatkan hutan alam dan keanekaragaman hayati yang aba di dalam dan sekitar cagar biosfer. Dalam menyelamatkan cagar, kegiatan yang dilakukan kelompok tumenggung ini bagai sudah menjadi bagian dari kehidupan Orang Rimba secara umum. Mereka membuka
Cagar biosfer dan sekitarnya sudah menjadi kawasan hidup Orang Rimba sejak lama. Sebelum ditetapkan sebagai cagar —melalui usulan Gubernur Jambi tahun 1984— mereka sudah turun temurun tinggal dan memanfaatkan hasil hutan nonkayu di kawasan yang masih berupa hutan alam yang ada di sana. Karena itu, tegas Tarib, “kami lah yang berhak atas hasil hutan yang ada di tanah kami.” Sebagai Orang Rimba, Tarib juga ikut memelihara kearagaman hayati yang ada di dalam dan sekitar hutan yang menjadi kawasan hidupnya. Ayah delapan anak dari dua isteri (yang satu cerai) ini, memanfaatkan aneka jenis tanaman dalam cagar, dengan tetap menjaga siklus pertumbuhannya. Di antaranya rotan, damar jernang, getah jelutung. Termasuk pula untuk mengobati berbagai penyakit yang diderita anggota kelompok dan penduduk desa sekitar. Untuk pengobatan, Tarib memang seorang dukun. Ia meramu dan meracik berbagai tumbuhan obat yang ada di dalam dan sekitar cagar. Menurut temuan tim biota medika, yang meneliti akhir 1998 lalu, terdapat 137 biota obat: berupa tumbuhan, jamur hingga hewan. Tarib masuk dalam tim yang berasal LIPI, Depkes, UI serta IPB, dan menjadi penunjuk jenis biota yang sebagian memang sudah langka.. DALAM keseharian, Tumenggung Tarib adalah bagian dari Orang Rimba yang selama ini dipinggirkan dari proses pembangunan. Selama setengah abad lebih negeri ini merdeka, tidak sekalipun Orang Rimba diakui sebagai warga
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
&
P
E
M
B
Sebuah ironi memang. Tarib selaku tumenggung tidaklah menuntut banyak. “Asal rimba kami tidak diganggu, biar kami begini saja,” katanya merendah. Tapi ia sudah miris melihat cagar biosfer rusak karena kayunya ditebangi. Harapan pemimpin salah satu kelompok Orang Rimba ini, kawasan hutan yang tersisa jangan dirusak lagi. Sebab, tanpa hutan, dunia serasa sudah diambang kiamat.
G
U
N
A
N
Betapapun, upaya Tarib memang sebuah perjuangan yang tak kenal lelah. Ia akan terus berjuang. Hadiah sebesar Rp 40 juta dari Yayasan Kehati pun tidak dibagi-bagi, tapi untuk mempertahankan cagar, “Untuk membantu kami membuka hompongan baru,” jelas Tarib. Pemanfaatan uang itu ia musyawarah dengan anggota kelompoknya. Hasilnya, mereka sepakat menyimpan di bank dan bunganya dimanfaatkan untuk membuka hompongan baru. Rencananya, hompongan itu baru akan ditanami karet sekitar Juli mendatang.
Ia memang terus berjuang untuk itu, meski jarang mendapat tanggapan dari pihak pemerintah. Saat bertemu aparat pemerintah, baik di tingkat desa, kecamatan, hingga Jakarta, ia tidak pernah lupa menyampaikan harapannya. Tatkala mewakili Orang Rimba pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, Maret 1999. Tarib meminta, “Tolonglah bepak, rimba kami di Bukit Duabelas sudah hampir habis.” Di lain waktu, anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusdantara ini bertemu Zulkifli Nurdin, Gubernur Jambi. “Kalau rajo menyelamatkan rimba, berarti rajo godong peduli akan nasib kami,” ucapnya akhir Januari lalu, saat bertandang ke rumah pribadi gubernur yang baru beberapa bulan bertugas.
Jumlah bunga yang akan diperoleh memang tidak besar dibanding anggota kelompok Tarib, yakni sebanyak 23 pesaken (1 pesaken =1 KK). Tapi, itu tadi, mereka sadar jika uang itu perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin dan berguna bagi anak cucu mereka, kelak. “Kami akan memanfaatkannya sampai ke anak-cucung,bukan untuk sekarang,” papar Tarib
Ketika berada di Jakarta untuk kedua kali, saat menerima Kehati Award 2000, Tarib bertemu Wakil Presiden Megawati (yang menyerahkan trofi), Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam Dephutbun Harsono, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sonny Keraf, serta Menteri Negara Kelautan, Sarwono. Meski tidak banyak bercerita kepada Megawati —karena pada acara formal— Tarib sempat mengungkapkan kondisi terakhir hutan di Bukit Duabelas kepada sejumlah anggota kabinet yang ia temui.
Orang Rimba memang masih bercawat dan tinggal di hutan. Tapi mereka punya kearifan memelihara hutan dan keragaman hayati, agar tetap lestari. Kehati Award sudah membuktikan. Perjuangan itu akan menjadi catatan sejarah yang akan mereka kenang, setidaknya oleh anak cucu kelompok Tarib. (ET)
DOK.WARSI
“Kami buat hompongan untuk menjaga rimba tidak dijarah orang,” tuturnya. “Dengan hompongan, hutan lindung bisa kami jego agar tidak dimasuki orang terang. Tapi, orang terang masih berani mengambil kayu, kerno lewat kedua ujung hompongan. Kami tidak berani melarangnye kerno mereka banyak dan berani membunuh.”
Ia sadar, sebagian kecil penjarah adalah orang-orang di sekitar cagar yang butuh makan. Mustahil, kata Tarib,ia
N
bersama anggota kelompoknya, akan berhadapan secara frontal dengan masyarakat yang selama ini hidup bertetangga, dan berlangsung rukun. “Kami tidak marah sama mereka, tapi pada pengusaha, yang ngambik kayu pakai sinso, membawanya pakai doser (buldozer,red.) dan truk keluar. Mereka ngambik semua tanpa menyisakan kayu yang kecik-kecik. Kalau orang dusun hanyo untuk biso makan,” paparnya. Tarib juga tidak memalingkan muka ketika ada anggotanya, yang sudah menjadi orang dusun, ikut terlibat. “Ado jugo Orang Rimba yang ngambik, tapi itu yang sudah dicampok adat dan kini bukan lagi anggota kami.”
negara, meski jumlah populasinya di propinsi Jambi hampir mencapai 3000 jiwa. Misalnya pengakuan atas identitas mereka melalui kartu tanda penduduk (KTP). Sampai kini, aku Tarib, “Orang Rimba tidak pernah mendapat KTP, walaupun harus ikut Pemilu.”
BEGITULAH Tarib. Ia tidak tampak gelisah, meski Orang Rimba sudah gerah karena luas hutan sebagai kawasan hidup mereka makin berkurang. Tutur katanya tetap bersahaja, tanpa emosi, meski nadanya kadang-kadang meninggi, dalam menyuarakan aspirasi kelompoknya. Ia bagai mewakili alam Bukit Duabelas, yang memang tidak pernah memarahi para penjarah yang terus-menerus menggerus hutan yang tersisa.
A
23
24 kehadiran sejumlah perusahaan. Konsekuensinya, eksploitasi hutan berlangsung besar-besaran dan habitat satwa mengalami tekanan. Keberadaan satwa tidak hanya terancam karena habitat berkurang, juga karena diburu para migran yang berpengalaman mendapatkannya dengan ilegal. Ada yang diperoleh melalui perangkap yang lebih modern, juga dengan peluru senapan. CHRISTER FREDRIKSSON/EIA
Satwa yang diburu termasuk yang langka dan selama ini dianggap sebagai penjaga kampung. Misalnya harimau, beruang dan gajah. Satwa ini diburu untuk dijual. Khusus ) subspesies harimau sumatera (Phantera tigris sumatraensis, dalam dua tahun terakhir saja, sudah 12 ekor yang terbunuh. Ada juga yang untuk dikonsumsi, seperti rusa, kijang, ular, labi-labi dan berbagai jenis burung. Dampak akibat perburuan satwa itu sudah dirasakan masyarakat lokal. Kelangkaan harimau sumatera berakibat pada meningkatnya populasi babi. Menurunnya populasi burung, menyebabkan penyerbukan dan pembuahan berberapa tanaman terhenti, sehingga buah-buahan hutan pun makin berkurang.
KASUS & FAKTA
Bila Perangkap dan Peluru Membidik Satwa
Kegiatan perburuan sudah terorganisasi rapi —bagai sindikat: ada pemain lapangan, pialang serta toke yang menampung dan memasarkan sampai ke luar negeri. Karena itu, upaya memutuskan mata rantai perburuan itu hanya menjaring pemain lapangan. Yang menjadi aktor tidak terjangkau hukum.
enduduk asli yang berada di kawasan hutan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan penyangganya, sudah lama berinteraksi dengan satwa yang ada di dalamnya. Interaksi itu, bahkan, mempengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka. Begitu besarnya peran satwa hutan, beberapa di antaranya dianggap sakral, karena dianggap penjelmaan dari manusia atau nenek moyang mereka. Di antaranya harimau, siamang, dan rangkong. Adalah kesalahan besar (melanggar adat), jika ada yang berani membunuhnya.
P
Pengawasan dan tindakan hukum terhadap perburuan satwa ini tidak banyak berfungsi. Aparat yang seharusnya mengawasi cukup jauh terlibat. Informasi yang diperoleh menyebutkan, para pemburu gampang memperoleh senjata yang dipinjamkan oknum aparat keamanan.Parahnya, oknum petugas kehutanan menganjurkan masyarakat meningkatkan perburuan, dan hasilnya dijual kepada mereka. Kalau sudah demikian kondisinya, mungkinkah (Osmantri) upaya perlindungan satwa bisa dilaksanakan?(Osmantri)
Kini situasi sudah berubah, seiring berjalannya waktu. Kawasan hutan yang dilindungi, serta yang berstatus produksi terbatas, mengalami tekanan. Taman nasional, berikut penyangganya, bukan hanya dihuni penduduk asli. Arus migran yang masuk —dalam duapuluh tahun terakhir— dalam jumlah besar, juga ikut berebut tempat tinggal dan berusaha. Kehadiran mereka pun tidak lepas dari akses jalan (Lintas Timur Sumatera) yang terbuka serta
DISAIN VISUAL
Jenis satwa tertentu juga dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan. Ada yang dianggap sebagai hama, seperti babi karena merusak ladang mereka. Juga kijang, rusa, ikan dan labi-labi, sudah biasa mereka konsumsi. Untuk mendapatkannya, mereka membuat perangkap sederhana, berupa jerat, belantik dan sungkup. Namun bila yang terkena adalah jenis yang disakralkan, mereka berusaha melepaskan tanpa menyakiti. Jika tidak, ada dikhawatirkan akan mendatangkan bencana.
25
Ber ebut Lahan Berebut di Penyangga T aman Nasional Taman
Hilangnya Habitat
ra tahun 70-an, sisi timur Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) masih berupa kawasan hutan alam. Kala itu, pengusaha mulai mengincar, dengan melobi pemerintah. Tidak lama kemudian keluar beberapa ijin hak pengusahaan hutan (HPH). Akses jalan pun mulai dibuka, diikuti berkembangnya wilayah desa di sepanjang jalan baru. AULIA ERLANGGA/AS&P
E
Implikasi lebih jauh, daerah yang bersebelahan dengan HPH menjadi terbuka, dan memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi. Sampai kemudian, jalan yang masih berupa koridor ditingkatkan menjadi jalan propinsi, menghubungkan Riau dengan Jambi dan daerah lain. Kini bekas jalan koridor itu malah menjadi Jalan Lintas Timur Sumatera, dan menjadi penghubung antardaerah: mulai utara hingga selatan pulau Sumatera.
ekitar 20 persen populasi dunia hidup di dalam t a u di dekat sebaran gajah Asia sekarang ini. Dengan tingkat kenaikan jumlah penduduk yang besarnya 3 persen per tahun, dalam waktu 23 tahun, jumlah penduduk dunia akan menjadi dua kali lipat. Di situlah letak akar masalah konservasi gajah Asia sebenarnya.
S a
Dampaknya tidak terelakkan. Beberapa perusahaan kayu muncul, dan secara berantai menggiring pendatang baru: mulai dari Sumatera Utara, disusul Jawa, Sumatera Barat, juga dari suku Bugis, Banjar, Melayu Jambi, Minang serta Tionghoa. Hasil pendataan WWF ID 0117 Oktober lalu mencatat, jumlah pendatang sudah mencapai 1110 kepala keluarga, dan semuanya bermukim di sisi timur TNBT. Tingginya arus migran, membuat harga lahan meningkat tajam. Para migran pun berebut mendapatkan, setelah penduduk lokal menawarkan (meski akhirnya terdesak). Hasil penjualan lahan, sayangnya, bukan untuk meningkatkan taraf hidup mereka, tapi terjebak budaya konsumtif. Kondisi ini kemudian memunculkan konflik Dari segi politik, kekuasaan dipegang para elit desa yang lebih banyak menentukan penguasaan lahan. Dari segi ekonomi, muncul ketimpangan pendapatan antara pendatang dan penduduk lokal. Pendapatan tidak merata karena penguasaan lahan berbeda-beda. Dan ujung-ujungnya, muncul dampak sosial, yakni kecemburuan karena ketimpangan itu. Di sisi lain, kondisi lahan berubah fungsi dengan cepat. Ekosistem hutan serta populasi flora dan fauna yang bernilai tinggi, mulai langka dan ikut terancam. Pemanfaatan lahan —karena tidak ada kebijakan dalam pemanfaatan ruang— juga tidak beraturan. Inilah yang kini menjadi persoalan. Tinggal lagi membenahi kesemrawutan, yang sudah Osmantri) seperti benang kusut. (Osmantri)
Hutan tempat tinggal gajah telah berkurang menjadi hanya sebagian kecil saja dari hutan tempat tinggalnya dulu. Hutan India yang dulu sangat luas, di mana gajah bebas berkeliaran, sekarang luasnya kurang dari 20 persen luas negara tersebut, dan hanya setengahnya yang cocok untuk hidup gajah. Populasi gajah India Tengah saat ini telah begitu terpecah-pecah. Sementara Thailand telah membabat hampir semua hutan dataran rendahnya, dan dengan demikian tempat yang begitu luas sebagai habitat hidupan liar hilang. Di pulau Sumatera, areal hutan yang sangat luas telah dibabat untuk memberikan akomodasi bagi jutaan orang yang ditransmigrasikan dari pulau-pulau yang sudah terlalu padat penduduknya, yakni Jawa, Bali, dan Madura. Sementara itu hutan-hutan di Indo-Cina hancur karena peperangan yang berlangsung selama 30 tahun terus menerus, terutama karena digunakannya defoliant kimia, napalm, dan pemboman besar-besaran selama perang Vietnam. Tetapi, areal hutan yang dibabat lebih luas lagi ketika Vietnam telah mengakhiri perang dibanding ketika masih perang dulu. Di Srilangka, Proyek lembah Sungai Mahaweli yang sangat luas untuk pemukiman, pertanian, dan irigasi telah memotong swathe yang luas melalui pedalaman negara gajah tersebut. Birma, Kamboja, dan Laos masih mempunyai hutan yang luas, tetapi hutan-hutan tersebut rusak akibat penebangan kayu yang tidak dikelola dengan baik. (Dikutip dari Serial Harus Tetap Hidup, WWF Inter nasional) Internasional)
26
Sang KEMARE Gajah, harimau, badak sudah langka di muka bumi. Pohonpohondalamhutanpunbertumbangan,danhilangsatu-persatu. Kalau hewan dan tumbuhan sudah mulai langka, kapan giliran makhluk manusia menyusul? Geliat perkenomian Kerinci mengalir ke Padang (Sumatera Barat) dibanding ke Jambi, ada rencana bikin jalan poros Sungai Penuh-Muaro Bungo dengan memotong Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Buruk jalan Sungai Penuh – Bangko, TNKS yang dibelah
T amu TNBT.Akhir Januari lalu, sebanyak 20-an mahasiswa dari Norwegia menelusuri wisata Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dengan mengawali kunjungan ke Candi Muara Jambi. Kedatangan mahasiswa jurusan pembangunan, didampingi beberapa dosen, sekaligus melakukan “napak tilas” jalur perdagangan hasil hutan nonkayu, yang pernah dikembangkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya di abad ketujuh dan penggantinya Melayu Jambi dari abah kesepuluh. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang berada di dua propinsi (Riau dan Jambi), mereka singgah di beberapa tempat, sambil bermalam. Di antaranya dusun Datai, Desa Rantau Langsat, yang berada dalam taman, menyaksikan kehidupan tradisional masyarakat Talang Mamak, termasuk kegiatan etnobotani, berperahu menuju Nunusan menyaksikan kehidupan masyarakat Melayu, serta mengunjungi pabrik getah dan pabrik kelapa sawit. Tentu saja perjalanan itu cukup melelahkan, karena merupakan kegiatan ekowisata. Begitupun, mahasiswa “bule” tidak gentar dengan perjalanan eksotik, sehingga pertengahan April ini, taman nasional juga akan dijambangi sejumlah mahasiswa dari Adelaide, Australia.
Gubernur Guber nur. Warsi kedatangan tamu khusus. 22 Maretlalu, Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin bersama rombongan, menjambangi kantor Warsi di Bangko. Sebagai warung informasi, gubernur yang baru beberapa bulan bertugas, disuguhi “menu” kondisi dan tata ruang dan hutan di Propinsi Jambi. Gubernur Zulkifli, yang sebelumnya adalah pengusaha ini, cukup kaget dengan hasil foto citra tahun 1998 yang disuguhkan. Sebab, dari tiga kawasan taman nasional di propinsi berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini tidak ada yang utuh. Taman Nasional Berbak, mewakili kawasan dataran bergambut, bolong di tengah-tengah taman, dan sekitar 30
Pr otes untuk AS&P Protes Pada AS&P edisi 8/ Desember 1999, ada dua isu mendasar tentang istilah indigenous people (seperti suku Talang Mamak) yang saya sangat tidak setuju: (1) soal kepercayaan yang disebut animisme, (2) sistem perladangan yang disebut peladang berpindah. Menurut saya kedua istilah itu sangat fatal dan terkesan penulisnya tidak memahami masyarakat adat, karena sangat menghina dan melecehkan mereka. Itu adalah bentuk penindasan verbal oleh pemerintah terhadap mereka selama ini. Masyarakat adat punya kebudayaan yang relatif sama. Pola pertanian mereka bukan peladang berpindah, tapi gilir balik. Kepercayaan mereka bukan animis, tapi itulah bentuk keyakinan mereka kepada Jubata, Fuwata, penompo (Tuhan) dan berbagai sebutan lain. Saya mohon, redaksi AS&P menghentikan pemakaian kedua istilah itu. Edi Patebang [email protected] (1) Kalau anda membaca tulisan yang dimaksud dengan cermat, tidak sedikitpun niat redaksi AS&P untuk menghina dan melecehkan masyarakat adat, baik sengaja maupun terselubung. (2) Istilah animisme yang dimaksud penulis adalah kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami semua benda (sesuai KBBI, cet. 1996, hal.45) dan Orang Talang Mamak memang berTuhankan roh yang menempati alam. Mungkin, istilah agama (prinsip kepercayaan kepada Tuhan, termasuk dewa, dsb: KBBI hal.10) akan lebih cepat digunakan. (3) Ada memang masyarakat adat yang sudah melakukan sistem perladangan berupa gilir balik. Tapi, Orang Talang Mamak membuka ladang dengan sistem beringsut. Artinya, ketika hendak ditinggalkan, ladang itu sudah ditanami karet lebih dulu. Meski ditinggalkan, tidak mungkin dibuka lagi karena sudah ada tanaman, sehingga tidak mungkin digilir balik sebagaimana anda maksud. (4) Protes anda makin menyadarkan kami untuk menggunakan istilah yang sudah baku.
PHOTONEWS 27
Adu Ayam Jago Foto-foto: Riza Marlon Lokasi: Desa Siambul
FOTO: MARK EDWA R D S / W W F Indonesia
28