Referat
KOREKSI ELEKTROLIT
Oleh: Florantia Setya Nugroho, S.Ked G.99121018
Pembimbing : dr. Bambang Novianto P, SpAn., M.Kes., Perf.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTEIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2014
1
KOREKSI ELEKTROLIT
PENDAHULUAN Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan, dan selsel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan negatif (anion), mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH dan nilai asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan di antar dan di dalam sel melalui proses yang dikenal sebagai osmosis; serta berperan serta dalam fungsi regulasi sistem neuromuskular, endokrin, dan ekskresi. Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu (seperti, natrium, kalium, kalsium, dan magnesium) dalam darah. Obat-obatan, penyakit kronik, dan trauma (seperti luka bakar, fraktur, dan lain-lain) dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit tertentu dalam tubuh menjadi terlalu tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika hal ini terjadi, dapat menghasilkan ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit. Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut, yang juga dikenal sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam tubuh. Namun, terkadang kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam keadaan tertentu. Hal ini yang dikenal sebagai gangguan elektrolit.2
NATRIUM Natrium mengatur jumlah total air dalam tubuh. Selain itu, transmisi natrium keluar dan masuk sel juga berperan penting dalam fungsi tubuh. Banyak proses dalam tubuh, terutama di otak, sistem saraf, dan otot, yang memerlukan sinyal listrik untuk komunikasi. Perpindahan natrium sangat penting dalam menyalurkan sinyal-sinyal listrik. Terlalu banyak atau sedikit natrium dapat menyebabkan kerusakan sel.3 Kadar normal natrium dalam serum adalah 135–145 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan natrium per hari ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.5 HIPERNATREMIA4 Hipernatremia hampir selalu disebabkan oleh kehilangan air melebihi kehilangan natrium (kehilangan cairan hipotonik) atau retensi natrium dalam jumlah yang besar. Bahkan ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan urine rusak, rasa haus paling efektif mencegah 2
hiponatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sakit dan tidak bisa minum, sangat tua, sangat muda, dan pasien tidak sadar. Pasien dengan hipernatremia dapat memiliki jumlah total natrium tubuh yang rendah, normal, atau tinggi.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah Pasien ini kehilangan baik natrium maupun air, tetapi kehilangan air melebihi kehilangan natrium. Kehilangan hipotonik dapat disebabkan oleh renal (diuresis osmotik) atau ektrarenal (diare atau berkeringat). Pada kasus lainnya, pasien biasanya memiliki manifestasi berupa tanda-tanda hipovolemia. Konsentrasi natrium dalam urine biasanya lebih dari 20 mEq/L pada sebab renal dan kurang dari 10 mEq/L pada sebab ekstrarenal.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal Pasien ini umumnya bermanifestasi dengan kehilangan air tanpa hipovolemia berlebih kecuali jika terjadi kehilangan air yang masif. Jumlah total natrium biasanya normal. Kehilangan air yang murni dapat terjadi melalui kulit, traktus respiratorius, atau ginjal. Penyebab utama hipernatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal adalah diabetes insipidus (pada pasien sadar). Diabetes insipidus ditandai dengan rusaknya kemampuan ginjal untuk memekatkan urine baik karena menurunnya sekresi ADH (diabetes insipidus sentral) ataupun karena kegagalan ginjal untuk berespon normal terhadap ADH sirkulasi (diabetes insipidus nefrogenik). Selain itu, ‘hipernatremia esensial’ dialami oleh pasien dengan gangguan sistem saraf. Pasien ini memiliki osmoreseptor dengan ambang batas osmolalitas yang tinggi.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi Kondisi ini kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan saline hipertonik (NaCl 3% atau NaHCO3 7.5%). Pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan sindroma Cushing dapat mengalami sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan dengan peningkatan retensi natrium.
Manifestasi Klinis Hipernatremia Manifestasi neurologis mendominasi pasien dengan hipernatremia dan biasanya diakibatkan oleh dehidrasi selular. Kelemahan, letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih berhubungan dengan perpindahan air keluar dari sel otak daripada kadar absolut hipernatremia. Penurunan cepat dari volume 3
otak dapat menyebabkan rupturnya vena cerebral dan mengakibatkan perdarahan fokal intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan kerusakan neurologis serius biasa terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia akut ketika kadar natrium plasma melebihi 158 mEq/L. Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi daripada bentuk akut. Setelah 24–48 jam, osmolalitas intraseluler mulai meningkat akibat peningkatan konsentrasi inositol dan asam amino (glutamin dan taurin). Sejalan dengan peningkatan zat terlarut intraseluler, cairan dalam sel saraf pun mulai kembali normal.
Pengobatan untuk Hipernatremia Pengobatan untuk hipernatremia bertujuan mengembalikan osmolalitas plasma ke nilai normal sejalan dengan koreksi masalah yang mendasarinya. Kekurangan air sebaiknya dapat dikoreksi dalam waktu 48 jam dengan larutan hipotonik seperti dekstrosa 5% dalam air. Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi. Pasien hipernatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh sebaiknya lebih dahulu diberi cairan isotonik untuk mengembalikan volume plasma ke normal daripada terapi dengan larutan hipotonik. Pasien hipernatremia dapat berujung pada kejang, edema otak, kerusakan neurologis permanen, bahkan kematian.
Pertimbangan Anestesi Hipovolemia dapat mencetuskan vasodilatasi atau depresi kardiovaskular dari agen anestesi serta merupakan predisposisi untuk hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Adanya penurunan volume distribusi dari obat mengakibatkan perlunya penurunan jumlah obat untuk kebanyakan agen intravena, di mana penurunan cardiac output dapat mempertinggi uptake dari anestesi inhalasi. Operasi elektif sebaiknya ditunda pada pasien dengan hipernatremia signifikan (>150 mEq/L) sampai sebabnya dapat diperbaiki dan kekurangan cairan dikoreksi. Kekurangan air maupun cairan isotonik sebaiknya dikoreksi lebih dahulu daripada pelaksanaan operasi. HIPONATREMIA4 Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh peningkatan absolut dari TBW (Total Body Water) ataupun kehilangan natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas normal ginjal untuk mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena kemampuan yang hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh defek pada kapasitas pengenceran 4
urine (osmolalitas urine 100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas pengenceran ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan polidipsia primer atau ‘reset’ osmoreseptor; kedua kondisi terakhir ini dapat dibedakan dengan pembatasan cairan.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah Kehilangan cairan yang mengakibatkan hiponatremia dapat berasal dari renal atau ekstrarenal. Kehilangan akibat sebab renal, kebanyakan berhubungan dengan diuretik thiazide dan menghasilkan kadar natrium urine lebih dari 20 mEq/L. Kehilangan akibat sebab ekstrarenal biasanya berhubungan dengan gastrointestinal dan menghasilkan urine dengan kadar natrium kurang dari 10 mEq/L. Pengecualian utama ialah hiponatremia akibat muntah, yang dapat menghasilkan kadar natrium urine lebih dari 20 mEq/L. Hai ini disebabkan oleh bikarbonaturia pada alkalosis metabolik yang disertai dengan ekskresi natrium untuk menjaga netralitas muatan pada urine.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi Kelainan edematosa ditandai dengan peningkatan baik jumlah total natrium tubuh maupun TBW. Ketika peningkatan air melebihi natrium, hiponatremia terjadi. Kelainan edematosa meliputi gagal jantung kongestif, sirosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik. Hiponatremia pada keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan progesif dari ginjal untuk mengekskresi air dan biasanya paralel dengan keparahan penyakit yang mendasarinya. Mekanisme patofisiologinya meliputi penglepasan ADH nonosmotik dan penurunan aliran cairan ke segmen pengenceran tubulus distal di nefron. Volume ‘efektif’ sirkulasi darah berkurang.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal Hiponatremia dengan tidak adanya edema atau hipovolemia dapat dilihat pada insufisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme, terapi obat (klorpropamid dan siklofosfamid), dan SIADH (Syndrome
of
Inappropriate
AntiDiuretic Hormone).
Hiponatremia
yang
berhubungan dengan hipofungsi adrenal merupakan akibat dari ko-sekresi ADH dengan CRF (Corticotrophin-Releasing Factor).
5
Manifestasi Klinis Hiponatremia Gejala hiponatremia terutama
berupa gangguan neurologis dan diakibatkan oleh
peningkatan air intraseluler. Tingkat keparahannya berhubungan dengan kecepatan terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler. Gejala awal biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia, mual, dan kelemasan. Edema otak yang progresif, bagaimanapun, mengakibatkan letargi, konfusi, kejang, koma, bahkan kematian. Manifestasi serius dari hiponatremia umumnya berhubungan dengan konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.
Pengobatan Hiponatremia Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan pada koreksi baik penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium plasma. Saline isotonik umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat penurunan cairan ekstraseluler dikoreksi, diuresis air yang spontan akan mengembalikan kadar natrium plasma ke normal. Hal sebaliknya, pembatasan cairan merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal atau meningkat. Terapi spesifik seperti penggantian hormon pada pasien dengan hipofungsi adrenal atau tiroid, dan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung dapat diindikasikan. Demeclocycline, obat yang mengantagonis aktivitas ADH pada tubulus renalis, sudah terbukti dapat menjadi terapi tambahan yang berguna untuk pembatasan cairan pada pasien dengan SIADH. Kehilangan natrium dapat dihitung dengan: Kehilangan Na = 0,6XBBX (140-Na.Pl) + 140X ↓ nya BB Koreksi Natrium = 0,6X BBX (140-Na plasma) Maintenance dewasa: 1 meq/BB/hr anak : 2 meq/BB/hr
Pertimbangan Anestesi Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari penyakit yang mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap evaluasi preoperatif. Konsentrasi natrium plasma di atas 130 mEq/L umumnya dianggap aman untuk pasien yang akan dibius umum. Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi hingga di atas 130 mEq/L untuk semua operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada. Konsentrasi yang lebih rendah akan menyebabkan edema otak yang dapat bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC (Minimum Alveolar Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.
6
KALIUM Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting dalam menentukan potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium ekstraseluler rendah, kadar kalium pada cairan ekstraseluler diregulasi secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi ekstraseluler dapat menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang mengancam jiwa. Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluluer dapat berhubungan dengan perubahan hormon serta pH pada cairan ekstraseluler.4 Kadar normal kalium dalam serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.5 PERPINDAHAN KALIUM INTERKOMPARTEMEN4 Perpindahan kalium interkompartemen diketahui terjadi mengikuti perubahan pH ekstraseluler, kadar insulin dalam sirkulasi, aktivitas katekolamin dalam sirkulasi, osmolalitas plasma, dan kemungkinan hipotermia. Perubahan konsentrasi ion hidrogen ektraseluler (pH) berefek langsung terhadap kadar kalium plasma. Saat asidosis, ion hidrogen ekstraseluler memasuki sel, menggantikan ion kalium intraseluler; perpindahan ion kalium keluar dari sel akan menjaga keseimbangan muatan tetapi meningkatkan kadar kalium ekstraseluler dan plasma. Hal sebaliknya, saat alkalosis, ion kalium ekstraseluler akan masuk ke dalam sel untuk menyeimbangkan perpindahan ion hidrogen ke luar sel; sehingga kadar kalium plasma menurun. Perubahan kadar insulin dalam sirkulasi dapat berpengaruh langsung terhadap peningkatan kadar kalium plasma yang tidak bergantung pada transpor glukosa. Insulin meningkatkan aktivitas Na+–K+ ATPase pada membran, meningkatkan uptake kalium seluler pada hati dan otot skeletal. Faktanya, sekresi insulin berperan penting terhadap kontrol basal dari konsentrasi kalium plasma dan mengatur peningkatan kadar kalium. Stimulasi
simpatis
juga +
meningkatkan
uptake
kalium
intraseluler
dengan
+
meningkatkan aktivasi Na –K ATPase. Efek ini dimediasi melalui aktivasi reseptor β2adrenergik. Sebaliknya, aktivitas reseptor α-adrenergik dapat menghambat perpindahan kalium intraseluler. Kadar kalium plasma sering menurun seiring dengan pemberian β2adrenergik agonis yang mengakibatkan meningkatnya uptake kalium oleh otot dan hati. Selanjutnya, blokade β-adrenergik dapat mengganggu pengaturan beban kalium pada sebagian pasien. Peningkatan akut dari osmolalitas plasma (hipernatremia, hiperglikemia, dan pemberian manitol) dilaporkan meningkatkan kadar kalium plasma. Dalam hal ini, 7
perpindahan air keluar dari sel diikuti dengan perpindahan kalium keluar sel. Ini mungkin merupakan hasil dari ‘solven drag’ atau peningkatan kadar kalium intraseluler yang mengikuti dehidrasi seluler. Hipotermia dilaporkan dapat menurunkan kadar kalium plasma sebagai akibat dari uptake seluler. Penghangatan akan membalik perpindahan dan mengakibatkan hiperkalemia transien jika kalium diberikan saat hipotermia. HIPERKALEMIA4 Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5 mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena kapasitas ginjal yang luar biasa untuk mengekskresi kalium. Ketika intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan sebanyak 500 mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan penting dalam mencegah peningkatan akut kadar kalium plasma. Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2) penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3) peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu konsentrasi kalium plasma dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada spesimen darah (kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).
Hiperkalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen Perpindahan kalium keluar dari sel dapat terlihat pada asidosis, lisis sel setelah kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma masif jaringan, overdosis digitalis, pemberian arginin hidroklorida, dan blokade β2-adrenergik. Blokade β2-adrenergik mencetuskan peningkatan kadar kalium plasma yang terjadi setelah olahraga. Digitalis menghambat Na+–K+ ATPase pada membran sel; overdosis digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati alkalosis metabolik, dapat menyebabkan hiperkalemia saat kation arginin memasuki sel dan ion kalium keluar dari sel untuk menjaga netralitas muatan.
Hiperkalemia Akibat Penurunan Ekskresi Kalium pada Ginjal Penurunan ekskresi kalium pada ginjal merupakan hasil dari (1) reduksi filtrasi glomerulus, (2) penurunan aktivitas aldosteron, atau (3) defek sekresi kalium di nefron distal. Filtrasi glomerulus rata-rata kurang dari 5 mL/menit hampir selalu berhubungan dengan hiperkalemia. Pasien dengan penurunan tingkat kerusakan ginjal dapat juga 8
berkembang menjadi hiperkalemia jika terjadi peningkatan beban kalium (makanan, katabolik, atau iatrogenik). Uremia juga dapat mengganggu aktivitas Na+–K+ ATPase. Hiperkalemia karena menurunnya aktivitas aldosteron dapat merupakan hasil dari defek primer pada sintesis hormon adrenal atau defek pada sistem renin-angiotensianaldosteron. Pasien dengan insufisiensi primer adrenal (penyakit Addison) dan yang berhubungan dengan defisiensi enzim 21-hidroksilase telah diketahui berhubungan dengan gangguan sintesis aldosteron. Obat yang menginterferensi sistem renin-angiotensin-aldosteron berpotensi untuk menimbulkan hiperkalemi, terutama yang memiliki kerusakan ginjal. NSAID menghambat pelepasan prostaglandin-mediated renin. Obat ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) menginterferensi angiotensin II mediated release of aldosterone. Dosis besar heparin dapat menginteferensi sekresi aldosteron. Diuretik hemat kalium Spironolakton secara langsung mengantagonis aktivitas aldosteron di ginjal. Penurunan ekskresi kalium dapat juga terjadi akibat defek intrinsik atau didapat pada kemampuan ginjal untuk mengsekresi kalium pada nefron distal. Defek seperti ini dapat terjadi pada fungsi ginjal yang normal dan tidak responsif terhadap terapi mineralokortikoid. Ginjal pasien dengan pseudohipoaldosteronisme menunjukkan resistensi intrinsik terhadap aldosteron.
Hiperkalemia Akibat Peningkatan Intake Kalium Peningkatan beban kalium jarang terjadi pada individu normal kecuali kalium dalam jumlah yang besar diberikan secara cepat dan intrvena. Hiperkalemia, bagaimanapun, dapat terlihat meningkat pada pasien yang menerima β-bloker atau dengan gangguan fungsi ginjal atau defisiensi insulin. Sumber kalium yang tidak disadari termasuk penisilin kalium, pengganti natrium (terutama garam kalium), dan transfusi whole blood yang disimpan. Kadar kalium plasma pada satu unit whole blood dapat meningkat menjadi 30 mEq/L setelah penyimpanan 21 hari. Resiko hiperkalemia dari transfusi berulang dapat direduksi (tetapi tidak dieliminasi) dengan meminimalkan volume plasma yang diberikan melalui transfusi Packed Red Cell (PRC).
Manifestasi Klinis Hiperkalemia Efek paling penting dari hiperkalemia ialah pada jantung dan otot skeletal. Kelemahan otot skeletal umumnya tidak terlihat sampai kadar kalium plasma melebihi 8 mEq/L. Kelemahan ini disebabkan oleh depolarisasi spontan dan inaktivasi Na+ channel dari 9
membran otot (mirip dengan suksinil kolin), yang akhirnya dapat menghasilkan paralisis ascending. Manifestasi jantung terutama akibat delayed depolarization dan biasanya terjadi saat kadar kalium plasma lebih dari 7 mEq/L. Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis dapat menonjolkan efek kardiak dari hiperkalemia.
Pengobatan Hiperkalemia Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6 mEq/L sebaiknya diterapi. Terapi secara langsung ditujukan untuk membalik manifestasi jantung, dan kelemahan otot skeletal, serta mengembalikan kadar kalium plasma ke nilai normal. Hiperkalemia yang berhubungan dengan hipoaldosterinisme
dapat diobati dengan
penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan dalam terjadinya hiperkalemia sebaiknya dihentikan dan sumber peningkatan intake kalium sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Kalsium (kalsium glukonat 10% 5–10 mL atau kalsium klorida 10% 3–5 mL) dapat mengantasonis efek kardiovaskuler dari hiperkalemia dan berguna pada pasien dengan tanda hiperkalemia. Efek ini cepat namun jangka waktunya pendek. Perhatian juga ditujukan pada pasien yang menerima pengobatan digoxin karena kalsium dapat mempotensiasi toksisitas digoxin. Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat intravena (biasanya 45 mEq) akan meningkatkan uptake seluler dari kalium dan dapat menurunkan kadar kalium plasma dalam waktu 15 menit. β-agonis meningkatkan uptake seluler kalium dan dapat berguna pada hiperkalemia akut yang berhubungan dengan transfusi masif; epinefrin dosis rendah (0.5– 2mg/menit) sering menurunkan kadar kalium plasma secara cepat dan menyediakan bantuan inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa dan insulin intravena (glukosa 30g dengan insulin 10U) juga efektif dalam meningkatkan uptake seluler dari kalium serta menurunkan kadar kalium plasma. Dialisis diindikasikan pada pasien simptomatik dengan hiperkalemia berat atau refrakter. Hemodialisis lebih cepat dan efektif dari dialisis peritoneal dalam menurunkan kadar kalium plasma. Koreksi Hiperkalemi : Ringan ( 5 – 6 mEq/L) Oral kayexalate (Na : K exchange resin) 3 x 50 mg Sedang (6 – 7 mEq/L)
Oral kayexalate (Na : K exchange resin) 3 x 50 mg
Insulin 12 unit dalam D5% 500 mL (1 : 2) 20 tpm D40% 2 flab + 10 IU insulin 16 tetes/menit 10
Berat (>7 mEq/L) Ca glukonas 10% 1 ampul iv selama 1 – 2 menit (onset segera, durasi 15 – 30 menit).
Dapat diulang setelah 5 menit jika tidak ada perubahan EKG
Pertimbangan Anestesi Operasi elektif sebaiknya tidak dilaksanakan pada pasien dengan hiperkalemia. Manajemen anestesi dari pasien dengan hiperkalemia ditujukan pada penurunan kadar kalium plasma serta pencegahan peningkatan yang lebih lanjut. EKG harus dimonitor secara hatihati. Suksinil kolin dikontraindikasikan, sebagaimana juga larutan intravena yang mengandung kalium seperti injeksi Ringer Laktat. Penghindaran asidosis metabolik atau respiratorik penting untuk mencegah peningkatan kadar kalium plasma lebih lanjut. HIPOKALEMIA4 Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5 mEq/L dan dapat terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan kalium, dan (3) intake kalium tidak adekuat.
Hipokalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen Hal ini terjadi saat alkalosis, terapi insulin, pemberian β2-adrenergik agonis, dan hipotermia. Hipokalemia juga dapat terjadi pada transfusi sel darah merah beku; di mana selsel tersebut kehilangan kalium saat proses pengawetan.
Hipokalemia Akibat Peningkatan Kehilangan Kalium Hal ini hampir selalu disebabkan oleh kelainan ginjal dan gastrointestinal. Pengeluaran kalium melalui ginjal kebanyakan merupakan hasil dari diuresis atau peningkatan aktivitas mineralokortikoid. Peningkatan kehilangan kalium dari gastrointestinal kebanyakan disebabkan oleh muntah atau diare. Peningkatan pembentukan keringat kronik biasanya menyebabkan hipokalemia, terutama saat intake kalium dibatasi. Dialisis dengan larutan rendah kalium dapat pula menyebabkan hipokalemia.
Hipokalemia Akibat Penurunan Intake Kalium Oleh karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eskresi kalium rendah, yaitu 5-20 mEq/L, adanya penurunan intake kalium sangat berpengaruh terhadap terjadinya 11
hipokalemia. Intake kalium yang rendah, bagaimanapun, sering meningkatkan efek dari peningkatan kehilangan kalium.
Manifestasi Klinik Hipokalemia Efek kardiovaskular paling menonjol meliputi abnormalitas EKG, aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan tekanan darah arteri yang labil akibat disfungsi otonom. Hipokalemia kronik juga dilaporkan dapat menyebabkan fibrosis miokardia. Manifestasi EKG terutama ialah repolarisasi ventrikel yang tertunda (delayed ventricular repolarization). Peningkatan automatisitas sel miokardium dan repolarisasi yang tertunda akan berkembang menjadi aritmia atrium dan ventrikel.
Pengobatan Hipokalemia Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman (60–80 mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan beberapa hari. Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida sebaiknya diberikan pada pasien dengan atau yang beresiko terhadap manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari terapi intravena ini adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada mengoreksi seluruh kekurangan kalium. Penggantian kalium intravena perifer sebaiknya tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari kalium pada vena perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi. Koreksi Hipokalemi Defisit K+ = K+ x BB x 0,8 Maintenance : Dewasa : 1 meq / BB / hr Anak : 2 meq / BB / hr 6 Jam I : Defisit + ¼ maintenance 6 Jam II,III,IV : ¼ Maintenance
Pertimbangan Anestesi Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk melakukan operasi elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5 mEq/L. Keputusan ini, bagaimanapun, sebaiknya juga didasarkan pada tingkat mana hipokalemia berkembang serta ada tidaknya disfungsi organ sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5 mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut tidak berlaku jika
12
pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan resiko berkembangnya toksisitas digoxin akibat hipokalemia. Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium atau ventrikel. Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalium plasma lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs (NeuroMuscular Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk mengikuti tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.
KALSIUM Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik tubuh, meliputi kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon, koagulasi darah, serta metabolisme tulang. Kalsium secara normal memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus intestinal atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen ekstraseluler melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi ke traktus gastrointestinal, dan (4) pembentukan keringat. Kadar kalsium ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada tulang, tubulus distal ginjal, dan usus halus.4 PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting. Penurunan kadar kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan peningkatan kadar kalsium plasma dapat menghambat sekresi PTH. Efek kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi kalsium dari tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan (3) peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-dihidroksikolekalsiferol yang disintesis di ginjal.4 Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan absorpsi kalsium di usus, memudahkan kerja PTH di tulang, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal.4 Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid. Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia dan dihambat oleh hipokalsemia. Kalsitonin menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.4 Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.5
13
HIPERKALSEMIA4 Hiperkalsemia
dapat
terjadi
sebagai
hasil
dari
berbagai
gangguan.
Pada
hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak terpengaruh oleh kadar kalsium. Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme sekunder (gagal ginjal kronik atau malabsorpsi), peningkatan kadar PTH merupakan respon dari hipokalsemia kronik. Hiperparatiroidisme sekunder yang memanjang menyebabkan sekresi otomatis dari PTH, mengakibatkan peningkatan atau normalnya kadar kalsium (hiperparatiroidisme tersier). Pasien dengan kanker dapat mengalami hiperkalsemia dengan atau tanpa adanya metastase tulang. Dektruksi tulang secara langsung atau sekresi mediator humoral dari hiperkalsemia (substansi seperti-PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin berperan pada kebanyakan pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan turn-over kalsium dari tulang dapat dialami oleh pasien dengan kondisi yang lebih jinak seperti penyakit Paget dan imobilisasi kronik. Peningkatan absorpsi kalsium dari gastrointestinal dapat menyebabkan hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, dan penyakit granulomatosa (peningkatan sensitivitas vitamin D).
Manifestasi Klinik Hiperkalsemia Hiperkalsemia biasanya menyebabkan anoreksia, mual, muntah, kelemahan, dan poliuria. Ataksia, iritabilitas, letargi, atau konfusi dapat dengan cepat berkembang menjadi koma. Hiperkalsemia meningkatakan sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis, ulkus peptik, dan gagal ginjal dapat berkomplikasi menjadi hiperkalsemia.
Pengobatan Hiperkalsemia Hiperkalsemia simptomatik memerlukan terapi yang cepat. Terapi awal yang paling efektif ialah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat (urine output 200–300 ml/jam) dengan pemberian infus saline intravena dan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalsium. Terapi diuretik prematur yang lebih dahulu dibandingkan dengan rehidrasi akan memperberat hiperkalsemia melalui penurunan volume. Walaupun hidrasi dan diuresis dapat menghilangkan resiko potensial dari komplikasi kardiovaskuler dan neurologis, serum kalsium umumnya tetap meningkat di atas normal. Terapi tambahan dengan bifosfat atau kalsitonin mungkin dibutuhkan untuk menurunkan serum kalsium lebih jauh. Hiperkalsemia berat biasanya memerlukan terapi tambahan setelah hidrasi saline dan lasix calsiuresis. Bifosfat (pamidronate 60–90 mg intravena) atau 14
kalsitonin (2–8 U/kg subkutan) merupakan agen yang lebih disukai. Pamidronate menjadi agen pilihan yang baik pada keadaan ini karena memiliki durasi aksi yang lebih lama tetapi harus dihindari pada keadaan insufisiensi ginjal (kreatinin serum > 2.5 mg/dL). Kebanyakan 90% dari semua hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan atau hiperparatiroidisme. Test laboratorium yang paling baik untuk membedakan kedua kategori hiperkalsemia ini ialah dengan double-antibody PTH assay. Konsentrasi serum PTH biasanya akan menurun pada keganasan dan meningkat pada hipotiroidisme. Koreksi = Ca serum + (0,8 x Jumlah albumin)
Pertimbangan Anestesi Hiperkalsemia
merupakan
kedaruratan
medis
yang
harus
diperbaiki,
jika
memungkinkan, diutamakan daripada pemberian anestesi tertentu. Kadar ion kalsium sebaiknya diawasi dengan ketat. Jika operasi harus tetap dilaksanakan, diuresis saline sebaiknya tetap dilanjutkan intraoperatif dengan perawatan yang baik untuk mencegah hipovolemia. Ventilasi sebaiknya dikontrol saat pembiusan umum. Asidosis sebaiknya dihindari sehingga tidak terjadi peningkatan kadar kalsium plasma lebih jauh. HIPOKALSEMIA4 Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan dengan hipokalsemia simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian dari defek endokrin multipel (kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium
berhubungan dengan kegagalan sekresi
PTH dan efek antagonisnya pada tulang. Hipokalsemia selama sepsis juga dipikirkan akibat supresi pelepasan PTH. Hipokalsemia oleh karena defisiensi vitamin D dapat diakibatkan oleh berkurangnya intake (nutrisi), malabsorpsi vitamin D, atau abnormalitas metabolisme vitamin D. Pembentukan kelat antara ion kalsium dan ion sitrat pada pengawetan darah merupakan sebab yang penting dari hipokalsemia perioperatif; mirip dengan penurunan transien kadar kalsium plasma yang menyertai infus cepat dari albumin volume besar. Hipokalsemia yang menyertai pankreatitis akut disebabkan oleh presipitasi kalsium dengan lemak (penyabunan) yang diikuti oleh pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; hipokalsemia yang menyertai emboli lemak juga memiliki dasar yang serupa. Penyebab lainnya dari hipokalsemia meliputi calcitonin-secreting medullary carcinoma dari tiroid, penyakit metastase osteoblastik (kanker payudara dan prostat), dan 15
pseudohipoparatiroidisme (tidak respon terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia transien juga dapat menyertai pemberian heparin, protamin, dan glukagon serta transfusi darah masif (dari sitrat).
Manifestasi Klinis Hipokalsemia Manifestasi meliputi parastesia, konfusi, stridor laringeal (laringospasme), spasme karpopedal, spasme masseter, dan kejang. Iritabilitas jantung dapat menuju aritmia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, dan keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga dilaporkan.
Pengobatan Hipokalsemia Hipokalsemia simptomatik merupakan kedaruratan medis yang harus diterapi nsegera dengan kalsium klorida (larutan 10% 3–5 ml) atau kalsium glukonat (larutan 10% 10–20 mL). Untuk mencegah presipitasi, kalsium intravena sebaiknya tidak diberikan dengan larutan yang mengandung bikarbonat dan fosfat. Pada hipokalsemia kronik, kalsium oral (CaCO3) dan penggantian vitamin D biasanya diperlukan.
Pertimbangan Anestesi Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium serial sebaiknya diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat diberikan menyertai tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin volume besar. Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatil sebaiknya dapat diperkirakan. Respon terhadap NMBAs tidak konsisten dan memerlukan pengawasan ketat dengan stimulator saraf.
MAGNESIUM Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai kofaktor berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang disimpan di cairan ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.4 Kadar magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.5
16
HIPERMAGNESEMIA4 Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan dengan kelebihan intake (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30 mL/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi magnesium sulfat pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin. Penyebab lainnya berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.
Manifestasi Klinis Hipermagnesemia Hipermagnesemia
simptomatik
biasanya
meliputi
manifestasi
neurologis,
neuromuskular, dan jantung. Hiporefleksia, sedasi dan kelemahan otot skeletal merupakan tanda hipermagnesemia. Hal ini terjadi akibat kegagalan pelepasan asetilkolin dan penurunan sensitivitas motor end-plate terhadap asetilkolin di otot. Vasodilatasi, bradikardi, dan depresi miokardium dapat berakhir dengan hipotensi pada level > 10 mmol/dL (>24 mg/dL). Tanda EKG tidak konsisten tetapi termasuk pemanjangan interval P–R dan pelebaran kompleks QRS. Hipermagnesemia dapat menyebabkan henti napas.
Pengobatan Hipermagnesemia Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida) sebaiknya dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat secara sementara mengantagonis sebagian besar efek dari hipermagnesemia. Loop diuretic yang disertai dengan ½-normal saline dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi magnesium.
Pertimbangan Anestesi Hipermagnesemia memerlukan pengawasan yang ketat terhadap EKG, tekanan darah, dan fungsi neuromuskuler. Potensiasi dari vasodilatasi dan inotropik negatif agen anestesi sebaiknya diperhatikan. Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25–50%. Kateter urine dibutuhkan ketika infus diuretik dan saline digunakan untuk meningkatkan ekskresi magnesium. HIPOMAGNESEMIA4 Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit. Hipomagnesemia umumnya berhubungan dengan defisiensi dari komponen intraseluler seperti kalium dan fosfor. Defisiensi magnesium disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis dapat menyebabkan 17
hipomagnesemia transien di mana ion magnesium diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan yang dapat menyebabkan pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin, diuretik, cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B.
Manifestasi Klinis Hipomagnesemia Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak menunjukkan gejala, tetapi anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi, ataksia, dan kejang dapat menonjol. Hipomagnesemia biasanya berhubungan dengan hipokalsemia (kerusakan sekresi hormon paratiroid) dan hipokalemia (akibat pembuangan oleh ginjal). Manifestasi jantung meliputi iritabilitas listrik dan potensiasi intoksikasi digoxin; kedua faktor ini diperburuk oleh hipokalemia. Hipomagnesemia juga berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi atrium. Pemanjangan interval P–R dan QT dapat nampak seiring dengan hipokalsemia.
Pengobatan Hipomagnesemia Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral (magnesium sulfat heptahidrat atau magnesium oksida) atau intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq atau 4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–60 menit.
Pertimbangan Anestesi Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan, gangguan elektrolit yang menyertainya seperti hipokalemia dan hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi lebih dahulu dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi sebaiknya dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan aritmia jantung. Lebih lanjut, magnesium nampaknya memiliki efek antiaritmia intrinsik dan protektif terhadap otak, di mana seringkali diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.
KLORIDA Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih banyak pada kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam darah. Klorida juga merupakan bagian dari cairan sekresi lambung dan pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur. Natrium dan klorida merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam lambung, yang dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk adam hidroklorida. Kontrol klorida 18
tergantung dari intake klorida, ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam jumlah kecil dibuang dalam feses.6 Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau pemekatan yang terjadi di cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara langsung proporsi konsentrasi natrium. Osmolalitas serum paralel dengan kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium, yang juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk menarik air dan membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.6 Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida berpindah dari plasma menuju sel darah merah (disebut dengan chloride shift), bikarbonat berpindah kembali ke plasma. Ion hidrogen terbentuk, yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari hemoglobin. 6 Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium, bikarbonat, dan klorida), kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh. Klorida berperan dalam menjaga keseimbangan asam basa dan bekerja sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur. Kadar normal klorida dalam serum ialah 97–107 mEq/L.6 Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.5 HIPERKLOREMIA6 Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan hiperkloremia asidosis metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan NaCL 0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh kehilangan ion bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat. Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormon mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju peningkatan kadar klorida serum.
Manifestasi Klinik Hiperkloremia Tanda dan gejala dari hiperkloremia hampir menyerupai asidosis metabolik; hipervolemia dan hipernatremia. Takipneu; kelemahan; letargi; napas yang dalam dan cepat; kemampuan kognitif yang menurun; dan hipertensi dapat terjadi. Jika tidak diterapi,
19
hiperkloremia dapat menuju pada penurunan cardiac output, disaritmia, dan koma. Kadar klorida yang tinggi diikuti dengan kadar natrium yang tinggi serta retensi cairan.
Pengobatan Hiperkloremia Koreksi
penyakit
yang
menyebabkan
hiperkloremia
serta
mengembalikan
keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa sangatlah penting. Larutan hipotonik intravena dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan. Larutan Ringer Laktat dapat diberikan supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium bikarbonat intravena dapat diberikan untuk meningkatkan kadar bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal terhadap ion klorida akibat kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan natrium. Diuretik dapat diberikan untuk mengeliminasi klorida. Natrium, klorida, dan cairan dibatasi. HIPOKLOREMIA6 Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal, suction lambung, pembedahan lambung, muntah berat, dan diare. Pemberian larutan intravena dengan kadar klorida rendah, intake natrium yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik, transfusi masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat, dan laksatif dapat menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat klorida menurun (biasanya karena penurunan volume), ion natrium dan bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk menyeimbangkan kehilangan klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler, yang meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.
Manifestasi Klinik Hipokloremia Tanda dan gejala dari hipokloremia berhubungan dengan ketidakseimbangan asambasa dan elektrolit. Tanda dan gejala dari hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik dapat terjadi. Alkalosis metabolik merupakan gangguan akibat kelebihan intake alkali atau kehilangan ion hidrogen. Hipereksibilitas otot, tetani, kelemasan, dan kram otot juga dapat terjadi. Hipokalemia dapat menyebabkan hipokloremia sehingga terjadi disritmia jantung. Selain itu, oleh karena rendahnya kadar klorida paralel dengan rendahnya kadar natrium, kadar air dapat menjadi berlebihan. Hiponatremia dapat menyebabkan kejang dan koma.
20
Pengobatan Hipokloremia Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Larutan normal saline (NaCl 0.9%) atau ½ normal saline (NaCl 0.45%) diberikan intravena untuk menggantikan klorida. Jika pasien menerima diuretik (loop, osmotik, atau thiazid), dapat dihentikan atau diberikan diuretik tipe lain. Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat diberikan untuk mengatasi alkalosis metabolik; dosisnya tergantung dari berat pasien dan kadar klorida serum. Agen ini dimetabolisasi oleh hati dan berefek sekitar 3 hari. Amonium klorida ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
KESIMPULAN Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh dokter dengan tes darah meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida. Elektrolit serum meliputi: natrium, elektrolit bermuatan positif yang membantu keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi neuromuskular; kalium, komponen utama cairan intraseluler yang membantu regulasi fungsi neuromuskular dan tekanan osmotik; kalsium, kation yang mempengaruhi kerja neuromuskular dan membantu pertumbuhan tulang serta koagulasi darah; magnesium, mempengaruhi kontraksi otot serta aktivitas intraseluler; klorida, elektrolit bermuatan negatif yang membantu regulasi tekanan darah. Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau intake cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti diuretik mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau elektrolit, baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit menjadi normal. Dokter seharusnya berhati-hati dalam pemberian obat yang mempengaruhi kadar elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit ginjal, masalah tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan elektrolit sebaiknya diedukasi tentang tanda dan gejala gangguan elektrolit ini.
21
DAFTAR PUSTAKA 1. Martin
PF. Electrolyte Disorders. Available http://www.healthline.com/galecontent/electrolyte-disorders. tanggal: 22 Februari 2014
from: Diunduh
2. Pandit
M. Electrolyte Imbalance Symptoms. Available from: http://www.buzzle.com/articles/electrolyte-imbalance-symptoms.html. Diunduh tanggal: 22 Februari 2014
3. Stöppler MC. Electrolytes. Available from: http://www.medicinenet.com/electrolytes/article.html. Diunduh tanggal: 21 Februari 2014 4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and Electrolyte Disturbances. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2006; 28:662-689 5. Tashiro T. Buku Saku Nutrisi Klinik. 2nd ed. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia; 2003; 94. 6. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL. Fluid and Electrolytes: Balance and Disturbance. Brunner and Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003;14:292-293
22