REAKSI ANARKI Robert Barr
2016
Reaksi Anarki Diterjemahkan dari The Chemistry of Anarchy karangan Robert Barr terbit tahun 1895 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: November 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
D
ALAM
koran-koran London dikatakan bahwa bubarnya
Liga Anarkis Soho disebabkan oleh ketiadaan dana. Ini
sama sekali tidak benar. Sebuah Liga Anarkis tidak butuh dana, dan selama ada cukup uang untuk membeli bir, Liga yakin akan terus eksis. Fakta tentang terpencarnya organisasi Soho disampaikan padaku oleh wartawan muda yang menjadi ketua rapat terakhir. Pemuda ini bukan seorang Anarkis, tapi dia berpura-pura menjadi Anarkis demi kepentingan suratkabarnya, dan bergabung dengan Liga Soho, di mana dia menyampaikan beberapa pidato berapi-api yang diberi banyak tepuk-tangan. Akhirnya, berita Anarki menjadi obat bius di pasar, dan editor koran tempat Marshall Simkins bekerja memberitahu bahwa kini dia harus mengalihkan perhatian pada kerja Parlemen, karena dia takkan lagi mencetak berita Anarki di suratkabarnya. Orang mungkin berpikir Simkins akan senang terbebas dari kerja Anarki-nya, sebab dia tak punya kecintaan untuk idealisme tersebut. Dia memang senang, tapi dia kesulitan menyerahkan surat pengunduran diri. Saat dia bicara soal pengunduran diri, para anggota jadi curiga terhadapnya. Dia selalu berpakaian lebih rapi dibanding yang lain, dan kurang minum bir. Jika seseorang ingin punya kedudukan baik dalam Liga, dia tak boleh terlalu rewel soal pakaian, dan dia harus tahan dengan sekurangnya satu galon bir dalam sekali duduk. Simkins cuma lelaki “satu kuart”, dan ini bisa memberatkannya sejak awal kalau bukan berkat bubuk mesiu tambahan yang dia bubuhkan pada pidato-pidatonya. Dalam 5
beberapa kesempatan, kaum Anarkis kawakan berkumpul di sekelilingnya dan memintanya menyerahkan denah gedung-gedung Parlemen. Para anggota
yang lebih tua
menegaskan, betapapun
pemusnahan Houses of Parliament sangat didambakan, waktunya belum matang untuk itu. Inggris, urai mereka, adalah satu-satunya tempat di mana kaum Anarkis dapat hidup dan bicara tanpa gangguan. Jadi, meski mereka ingin sekali Simkins pergi meledakkan Wina, Berlin, atau Paris, mereka tak mau dia memulainya di London. Biasanya Simkins diredakan dengan susah-payah, dan lama kelamaan, setelah mendesis “Pengecut!” dua atau tiga kali, dia mengakhiri dengan, “Oh, baiklah kalau begitu, kalian lebih tahu daripada aku—aku cuma rekrutan muda, tapi izinkan aku setidaknya meledakkan Waterloo Bridge, atau melepas bom di Fleet Street, sekadar untuk menunjukkan bahwa kita giat bekerja.” Tapi ini takkan disetujui kaum Anarkis. Kalau dia ingin meledakkan jembatan, dia bisa coba pada jembatan-jembatan di sungai Seine. Mereka telah bertitah, takkan ada ledakan di London selama Inggris memberi mereka tempat suaka. “Tapi tengoklah Trafalgar Square,” pekik Simkins marah, “kita tak diizinkan rapat di sana.” “Siapa yang mau rapat di sana?” kata ketua. “Di ruangan ini jauh lebih nyaman, dan lagi tak ada bir di Trafalgar Square.” “Ya, ya,” selang beberapa yang lain, “waktunya belum matang untuk itu.” Demikianlah Simkins diredakan, dan bir diperkenankan 6
mengalir lagi dalam damai. Sementara itu, seorang Anarkis asing, yang tak diizinkan menginjakkan kaki di negara kelahirannya, akan berdiri dan berpidato panjang-lebar kepada kerumunan dalam bahasa Inggris terputus-putus dan memberitahu mereka hal besar apa saja yang masih akan dilakukan dengan dinamit. Tapi ketika Simkins menyerahkan surat pengunduran diri, perasaan mereka kepadanya berubah. Dia langsung sadar, dirinya ditandai. Sang ketua, dengan bisik-bisik, memberi nasehat untuk menarik pengunduran dirinya. Maka, Simkins, pemuda lihai, yang paham watak majelis ini, bangkit dan berkata: “Aku tak mau mundur, tapi kerja kalian cuma bicara, sedang aku ingin menjadi bagian dari Perkumpulan Anarkis yang beraksi.” Dia tidak hadir di rapat berikutnya, dan mencoba meninggalkan mereka dengan cara itu, tapi sebuah komite dari Liga mampir di kamar sewanya. Pemilik rumah mengira Simkins telah terjerumus ke dalam kebiasaan buruk ketika pria-pria berparas jahat mengunjunginya. Simkins ada dalam dilema, dan tak mampu membulatkan tekad perihal apa yang harus dilakukan. Kaum Anarkis rupanya sulit dilepaskan. Dia minta nasehat editor terkait situasi ini, tapi orang baik itu tak bisa memikirkan jalan keluar dari masalahnya. “Harusnya kau sudah tahu,” katanya, “lebih baik tidak berbaur dengan orang-orang seperti itu.” “Tapi bagaimana aku dapat berita-berita itu?” tanya Simkins, sedikit dongkol. Editor mengangkat bahu. Itu bukan urusannya, dan jika kaum Anarkis memilih menciptakan situasi tidak nyaman 7
untuk sang pemuda, apa boleh buat. Teman kos Simkins, mahasiswa yang sedang belajar ilmu kimia di London, memperhatikan si wartawan jadi kurus-kering karena gelisah. “Simkins,” tegur Sedlitz suatu pagi, “kau kurus dan tertekan. Ada apa denganmu? Sedang jatuh cinta, atau cuma dikejar utang?” “Bukan dua-duanya,” sahut Simkins. “Kalau begitu bersemangatlah,” kata Sedlitz. “Jika dua-duanya tidak mengganggumu, yang lain mudah diatasi.” “Aku tidak yakin,” balas Simkins, lantas duduk dan menceritakan apa yang sedang membuatnya susah. “Ah,” kata Sedlitz, “itu jawabannya. Seorang bajingan amburadul
mondar-mandir
mengawasi
rumah
ini.
Mereka
membuntutimu, Simkins, kawanku, dan begitu mereka tahu kau seorang wartawan, dan karenanya pengkhianat, kau akan ditangkap suatu malam.” “Well, itu menyemangatiku,” tukas Simkins, dengan kepala terkubur dalam tangannya. “Apa orang-orang Anarkis ini pemberani, dan mau mempertaruhkan nyawa dalam perbuatan apa saja?” tanya Sedlitz. “Oh, entahlah. Mereka cukup banyak bicara, tapi aku tak tahu apa yang akan mereka perbuat. Mereka cukup mampu menjegalku di gang gelap.” “Dengar,” kata Sedlitz, “biarkan aku mencoba sebuah rencana. Biarkan aku beri mereka kuliah tentang Reaksi Anarki. Itu pelajaran mengasyikkan.” 8
“Apa bagusnya?” “Oh, tunggu sampai kau dengar kuliahku. Jika aku tidak berhasil membuat rambut mereka berdiri, mereka lebih berani dari yang kuperkirakan. Kami punya ruangan besar di Clement’s Inn, di mana para mahasiswa bertemu untuk bereksperimen dan merokok. Itu setengah klab, setengah ruang kuliah. Nah, kuusulkan mengajak orang-orang Anarkis itu ke sana, kunci pintunya, dan beritahu mereka sesuatu soal dinamit dan bahan peledak lain. Kau katakan saja aku Anarkis dari Amerika. Beritahu mereka pintupintu akan dikunci untuk mencegah gangguan polisi, dan bahwa akan ada satu tong bir. Kau bisa perkenalkan aku sebagai orang Amerika, di mana orang-orang tahu banyak tentang Anarkisme dalam sepuluh menit sebagaimana mereka di sini dalam sepuluh tahun. Katakan bahwa aku menghabiskan hidupku dengan belajar bahan peledak. Aku akan sedikit berdandan, tapi kau tahu aku aktor amatir yang hebat, dan kupikir takkan ada masalah dengan itu. Terakhir, kau bilang pada mereka bahwa kau ada janji dan akan membiarkanku menghibur mereka selama dua jam.” “Tapi aku tak mengerti apa bagusnya semua itu, walau aku putus asa,” kata Simkins, “dan rela mencoba apa saja. Aku sudah terpikir untuk meledakkan diri di rapat Anarkis.” ***** Ketika rapat Jumat malam tiba, aula besar di Clement’s Inn penuh sesak sampai ke pintu-pintu. Mereka yang berkumpul di sana 9
melihat podium di satu ujung ruangan, dan sebuah pintu yang membawa ke ruangan lain di belakang aula. Sebuah meja bercokol di atas podium; kotak-kotak, peralatan kimia, dan peralatan lain yang tampak ilmiah ada di situ. Pada jam delapan, Simkins tampil di depan meja sendirian. “Rekan-rekan Anarkis,” katanya, “kalian tahu betul, aku bosan dengan banyak omong kita, dan sedikit aksi yang mengiringinya. Aku cukup beruntung mendapat kerjasama seorang Anarkis dari Amerika, yang akan memberitahu kalian sedikit idealisme kita di sana. Kami sudah mengunci pintu, dan para pemegang kunci ada di pintu masuk penginapan. Jadi jika terjadi kebakaran mereka bisa segera datang mengeluarkan kita. Sebetulnya tak ada bahaya kebakaran. Tapi gangguan polisi harus diantisipasi dengan cermat. Jendela-jendela, seperti kalian lihat, dipasangi daun jendela dan dipalang, dan tak ada berkas cahaya yang bisa tembus keluar dari ruangan ini. Sampai kuliah selesai, tak seorangpun bisa meninggalkan ruangan, dan tak seorangpun bisa masuk, dan itulah yang lebih utama. “Temanku, Profesor Josiah P. Slivers, telah mencurahkan hidupnya pada Reaksi Anarki, yang menjadi judul kuliah ini. Dia akan cerita beberapa penemuan penting, yang akan diumumkan untuk pertama kalinya sekarang. Dengan sesal kusampaikan, Profesor tidak terlalu sehat, karena garis kehidupan yang dia anut ada ruginya. Mata kirinya diterbangkan oleh ledakan prematur saat eksperimen. Kaki kanannya juga cacat permanen. Lengan kirinya, kalian akan lihat, ditopang dengan kain ambin, setelah terluka 10
akibat kecelakaan kecil di bengkelnya sejak datang ke London. Dia seorang pria, sebagaimana akan kalian saksikan, yang mencurahkan raga dan jiwanya pada idealisme ini, jadi kuharap kalian menyimaknya dengan seksama. Dengan menyesal aku tak bisa tetap bersama kalian malam ini. Ada tugas lain yang mendesak. Maka dari itu aku akan pergi lewat pintu belakang setelah memperkenalkan Profesor.” Sejenak kemudian terdengar derap kaki kayu, dan hadirin menyaksikan seseorang bertongkat ketiak, dengan satu lengan dalam kain ambin dan perban di salah satu matanya, walau dia menatap ramah dengan mata lain. “Rekan-rekan Anarkis,” kata Simkins, “izinkan aku memperkenalkan Profesor Josiah P. Slivers, dari Amerika Serikat.” Profesor membungkuk dan hadirin bertepuk-tangan. Sertamerta Profesor mengangkat satu lengannya yang utuh dan berkata, “Tuan-tuan, kumohon jangan bertepuk-tangan.” Rupanya tradisi di Amerika adalah menyapa semua jenis dan kondisi orang-orang dengan “Tuan-tuan”. Profesor menyambung, “Aku bawa bahan peledak yang sangat sensitif. Getaran sedikit saja akan membuatnya meledak, dan karenanya kuminta kalian mendengarkanku dengan hening. Terutama kuminta juga kalian tidak menghentak lantai.” Sebelum komentar ini diakhiri, Simkins telah menyelinap keluar lewat pintu belakang, dan entah bagaimana kepergiannya berefek memuramkan kepada para tamu, yang memandang sang Profesor remuk dengan heran dan prihatin. 11
Profesor menarik salah satu kotak dan membuka tutupnya. Dia memasukkan tangannya yang utuh ke dalam kotak dan mengangkat sesuatu mirip serbuk gergaji basah, membiarkannya menetes dari sela-sela jari. “Ini, tuan-tuan,” katanya, dengan ekspresi sangat jijik, “adalah apa yang dunia kenal sebagai dinamit. Tak ada celaan yang bisa kukatakan tentang dinamit. Ini, di masanya, telah menjadi alat manjur untuk menanamkan opini kita pada dunia yang mendengar, tapi masanya sudah lewat. Kini ia seperti kereta kuda lamban dibanding lokomotif, surat dibanding telegram, kapal layar dibanding kapal uap. Malam ini, dengan senang aku berkewajiban memamerkan sebuah bahan peledak yang begitu kuat dan mematikan, sampai-sampai, usai melihat apa yang mampu diperbuatnya, kalian akan mencemooh senyawa sesederhana dan seaman itu sebagai dinamit dan nitrogliserin.” Profesor memandang hadirin dengan simpati ramah sambil menapis campuran kuning itu lewat jari-jarinya, kembali masuk kotak. Sesekali dia mengambil segenggam baru dan mengulang tindakan tersebut. Kaum Anarkis saling bertukar pandang khawatir. “Tapi,” sambung Profesor, “ada gunanya kita mempertimbangkan zat ini sebentar, untuk kepentingan perbandingan. Ini,” katanya, merogoh kotak lain dan mengangkat sebuah bata kuning, “adalah dinamit dalam bentuk mampat. Ada cukup di sini untuk meluluhlantakkan bagian London ini, seandainya meledak. Bata sederhana ini akan memporakporandakan St. Paul’s Cathedral. Jadi, betapapun kelak dinamit dianggap kuno, kita harus senantiasa 12
memandangnya dengan hormat, sebagaimana kita memandang hormat para reformis berabad-abad lalu yang mati demi opini mereka, kendati jauh di belakang opini kita hari ini. Aku akan memberanikan diri untuk sedikit bereksperimen dengan balok dinamit ini.” Profesor, dengan lengannya yang bebas, melempar balok dinamit jauh ke gang antar deretan kursi. Itu jatuh dengan gedebuk memualkan. Hadirin loncat dari kursi mereka dan saling bergulingguling. Jeritan liar naik ke udara, tapi Profesor mengamati gerombolan repot itu dengan senyum angkuh. “Kuminta kalian duduk,” ujarnya, “dan untuk alasan yang sudah kujelaskan, aku percaya kalian takkan bertepuk-tangan atas ucapanku. Kalian baru menampakkan salah satu takhayul populer perihal dinamit, dan kalian tunjukkan dengan perbuatan kalian betapa perlunya kuliah semacam ini demi memahami zat yang kalian hadapi. Bata itu sama sekali tak berbahaya, karena beku. Dinamit dalam status beku takkan meledak—fakta yang dipahami betul oleh para penambang dan semua orang yang bekerja dengannya, dan yang, umumnya, lebih suka meledakkan diri hingga berkeping-keping karena mencoba mencairkannya di depan api. Tolong bawakan bata itu kembali padaku, sebelum mencair dalam atmosfer panas ruangan ini?” Salah seorang pria melangkah maju dengan hati-hati dan memungut bata itu, memegangnya jauh-jauh sambil berjinjit ke podium, di mana dia menaruhnya pelan-pelan di atas meja Profesor. 13
“Terima kasih,” kata Profesor lemah-lembut. Pria itu menarik nafas panjang dan lega sewaktu kembali ke kursi. “Itu dinamit beku,” sambung Profesor, “dan, seperti kubilang, tidak berbahaya. Nah, dengan senang hati aku akan lakukan dua eksperimen mengejutkan dengan zat tak beku.” Dia memungut segenggam serbuk gergaji basah dan menaburkannya pada paron besi kecil di atas meja. “Kalian akan nikmati eksperimen ini,” katanya, “karena ini akan
menunjukkan
betapa
mudahnya
dinamit
ditangani.
Kekeliruan populer adalah bahwa gegaran akan membuat dinamit meledak. Ada cukup dinamit di sini untuk meledakkan aula ini dan membinasakan setiap orang di dalamnya, tapi kalian akan lihat apakah gegaran akan meledakkannya atau tidak.” Profesor meraih palu dan menghantam zat di atas paron dengan dua atau tiga pukulan keras, sementara orang-orang di depannya saling berdesakan liar ke belakang, dengan rambut berdiri. Profesor berhenti memukul, melotot penuh cela pada mereka, lalu matanya menangkap sesuatu di atas paron. Dia membungkuk dan memperhatikan permukaan besi dengan kritis. Kembali tegak, dia berkata: “Aku hendak mencela kalian karena menampakkan bukti ketakutan, tapi aku lihat kekeliruanku sendiri. Aku hampir membuat kesalahan berbahaya. Kuperhatikan sebuah bintik lumas kecil di atas paron; jika palu ini kebetulan mengenainya, kalian semua akan menggeliat sekarat di bawah puing-puing bangunan ini 14
sekarang. Meski begitu, pelajaran ini ada nilainya. Bintik lumas tersebut adalah nitrogliserin bebas yang menetas dari dinamit. Di situlah,
barangkali,
terdapat
satu-satunya
bahaya
dalam
penanganan dinamit. Sebagaimana sudah kutunjukkan, kalian bisa meremukkan dinamit di atas paron tanpa bahaya, tapi jika palu kebetulan mengenai bintik nitrogliserin bebas, itu akan meledak seketika. Aku mohon maaf atas kelalaianku.” Seorang pria bangkit di tengah-tengah aula, dan baru beberapa lama kemudian dia mampu membangkitkan cukup suara untuk bicara, karena gemetar lumpuh. Akhirnya dia berkata, setelah membasahi bibir beberapa kali: “Profesor, kami sungguh percaya dengan ucapanmu soal bahan peledak. Kurasa aku berbicara untuk semua rekanku di sini. Kami tak ragu sama sekali dengan pengetahuanmu, dan lebih suka mendengar dari bibirmu sendiri terkait pelajaran ini, dan tidak ingin kau membuang waktu yang berharga dengan eksperimen. Aku belum berunding dengan rekan-rekanku, tapi kurasa aku menyuarakan perasaan rapat ini.” Teriakan “Betul, betul” berdatangan dari semua arah aula. Profesor sekali lagi menatap ramah. “Kepercayaan kalian padaku sungguh mengharukan,” tukasnya, “tapi kuliah kimia tanpa eksperimen adalah seperti raga tanpa jiwa. Eksperimen adalah jiwa penelitian. Dalam ilmu kimia kita tak boleh menerima sesuatu begitu saja. Aku sudah tunjukkan betapa banyak kekeliruan populer timbul berkenaan dengan zat yang sedang kita tangani. Mustahil kekeliruan ini timbul jika setiap 15
orang telah bereksperimen langsung; dan meski merasa berterimakasih atas tanda kepercayaan yang kalian limpahkan padaku, aku tak tega menghilangkan kesenangan yang akan kalian peroleh dari eksperimenku. Ada satu kekeliruan lazim lain yang menyebut api akan meledakkan dinamit. Itu, tuan-tuan, tidak benar.” Profesor menggeret korek api pada kaki celananya dan menyulut zat di atas paron. Itu terbakar dengan api pucat kebiruan, dan Profesor memandang rekan-rekan Anarkisnya dengan penuh kemenangan. Sementara hadirin merinding takjub menyaksikan api biru pucat, Profesor tiba-tiba membungkuk dan meniupnya hingga padam. Sekali lagi menegakkan tubuh, dia berkata, “Lagi-lagi aku harus minta maaf pada kalian, karena lagi-lagi aku lupa bintik lumas kecilnya. Jika api menyentuh bintik nitrogliserin, itu akan meledak, seperti kalian tahu. Ketika pikiran seseorang terpusat pada satu persoalan, dia cenderung lupa sesuatu yang lain. Aku takkan lagi bereksperimen dengan dinamit. Ini, John,” katanya kepada asisten yang gemetar, “bawa pergi kotak ini, dan pindahkan dengan hati-hati; kulihat nitrogliserin-nya menetas keluar. Taruh pelan-pelan di ruang sebelah layaknya sekotak telur.” Selagi kotak menghilang, timbul desahan panjang lega serentak dari hadirin. “Nah, tuan-tuan,” kata Profesor, “kita sampai pada persoalan yang seharusnya mengisi pikiran semua orang berpikir.” Dia meratakan rambutnya penuh kepuasan dengan telapak tangan yang masih berfungsi, lalu tersenyum riang ke sekeliling16
nya. “Zat yang hendak kuceritakan ini hasil temuanku sendiri, dan sebanding dengan dinamit sebagaimana hidrogen sianida dengan susu baru sebagai minuman.” Profesor memasukkan jari-jarinya ke dalam saku rompi dan mengeluarkan sesuatu mirip kotak pil. Mengambil salah satu pil, dia menaruhnya di atas paron dan berjinjit mundur seraya tersenyum lembut. “Sebelum pelajaran ini dimulai, aku ingin peringatkan sekali lagi; kalau ada yang menghentak lantai, atau mondar-mandir kecuali sambil berjinjit, zat ini akan meledak dan menempatkan London, dari sini sampai Charing Cross, dalam satu tumpukan puing yang tak dapat dikenali. Aku sudah habiskan sepuluh tahun hidupku demi melengkapi temuan ini. Dan pil-pil ini, senilai satu juta per kotak, akan mengobati semua penyakit yang diwarisi daging.” “John,” pungkasnya, berpaling kepada si pembantu, “bawakan aku sebaskom air!” Baskom air ditaruh hati-hati di atas meja, lantas Profesor mengosongkan semua pil ke dalamnya, serta memungut yang ada di atas paron dan digabung dengan yang lain. “Nah,” katanya, mendesah dalam. “kita bisa bernafas lebih mudah. Orang bisa menyimpan salah satu pil ini di dalam botol air kecil, menaruh botolnya di saku rompi, pergi ke Trafalgar Square, mengeluarkan pil dari botol, melemparnya ke tengah-tengah Trafalgar Square, dan itu akan memusnahkan segala sesuatu dalam 17
radius empat mil, dan dia sendiri mendapat keistimewaan agung, yakni menjadi martir seketika demi idealismenya. Kata orangorang ini adalah kekurangan dari temuanku, tapi aku condong berselisih dengan mereka. Orang yang memakainya harus membulatkan tekad untuk ikut menanggung nasib orang-orang di sekelilingnya. Kutegaskan, itulah puncak keagungan temuanku. Itu langsung menguji perhatian kita pada idealisme besar kita. John, bawakan mesin berkabel listrik dari ruang sebelah, tapi hati-hati.” Mesin ditaruh di atas meja. “Ini,” kata Profesor, memegang suatu objek tak kelihatan di antara jempol dan telunjuk, “adalah jarum katun terhalus. Aku akan menceduk seporsi zat tadi dengan ujungnya.” Dengan hati-hati dia mencungkil satu pil dari baskom, dan dengan hati-hati pula ditaruhnya di atas meja, di mana dia mencarik setitik kecil dan menahannya pada ujung jarum. “Partikel ini,” katanya, “begitu kecil, jadi tak bisa dilihat tanpa bantuan mikroskop. Sekarang akan kutaruh jarumnya pada mesin dan mencetuskannya dengan arus listrik.” Sewaktu tangannya melayang ke atas tombol, muncul teriakanteriakan “Berhenti! Berhenti!”. Tapi telunjuknya sudah turun, dan seketika terjadi ledakan dahsyat. Fondasi terasa goyah, dan awan asap pekat bergulung di atas kepala hadirin. Tampak di antara awan yang menipis, Profesor melihat-lihat hadirin. Setiap orang ada di bawah bangku, dan rintihan datang dari semua bagian aula. “Kuharap, kata Profesor, dengan nada gugup, “tak ada yang terluka. Sepertinya aku mencarik zatnya terlalu banyak, tapi 18
dengan begitu kalian dapat membayangkan efek jumlah yang lebih besar. Silakan duduk kembali. Ini eksperimen terakhirku.” Sementara hadirin duduk lagi, keluh-kesah bermunculan. Profesor menarik kursi ketua dan duduk, menyeka alis kotornya. Tiba-tiba seseorang bangkit dan berkata, “Aku mengusulkan mosi terimakasih untuk Profesor Slivers atas keasyikan—” Profesor mengangkat tangan. “Tunggu sebentar,” katanya, “aku belum selesai. Aku punya usul. Kalian lihat awan asap yang melayang di atas kepala kita? Dalam dua puluh menit asap itu akan merembes turun di atmosfer. Aku baru cerita separuh manfaat dari bahan peledak mengerikan ini. Bila bercampur dengan atmosfer ruangan, asap itu jadi racun mematikan. Kita semua bisa tinggal di sini dengan aman selama sembilan belas menit ke depan, lalu pada tarikan nafas pertama kita mati seketika. Itu kematian indah. Tak ada rasa sakit, tak ada kejang muka, tapi kita akan ditemukan di sini besok pagi dalam keadaan dingin dan kaku di atas kursi. Kuusulkan, tuan-tuan, kita beri London pelajaran besar yang dibutuhkannya. Tak ada idealisme tanpa martir. Mari kita menjadi martir agama agung Anarki. Aku sudah tinggalkan dokumen di ruanganku yang menyebutkan bagaimana dan kenapa kita mati. Pada tengah malam, surat itu akan dibagikan ke semua koran London, dan besok dunia akan mendengking dengan nama-nama heroik kita. Sekarang aku akan mengajukan mosi. Siapapun yang setuju dengan usul ini, tolong angkat tangan kanan.” Tangan kanan Profesor menjadi satu-satunya tangan yang 19
terangkat. “Sekarang, opsi sebaliknya,” kata Profesor, dan seketika setiap tangan hadirin teracung. “Pemilik suara ‘tidak’ menang,” kata Profesor, tapi dia terlihat tidak kecewa. “Tuan-tuan,” sambungnya, “kulihat kalian sudah menebak usulan keduaku, aku rasa begitu, dan meski takkan ada koran di London besok yang mencatat kronologinya, koran-koran di seluruh bagian dunia lain akan menceritakan penghancuran kota durjana ini. Kulihat dari raut kalian bahwa kalian setuju denganku dalam hal ini, usul keduaku, hal paling luar biasa yang pernah direncanakan, yakni kita ledakkan seluruh pil di dalam baskom. Untuk memastikannya, aku sudah kirim keterangan lengkap bagaimana ini terjadi kepada seorang agen di Manchester, juga resolusi yang dikemukakan di rapat ini, yang akan kalian terima tanpa ragu. Tuan-tuan, siapa saja yang mendukung penghancuran London sekarang juga, tunjukkan seperti biasa.” “Pak Profesor,” kata pria yang tadi bicara, “sebelum kau ajukan resolusi, aku ingin usulkan amandemen. Ini proposal sangat serius, dan tak boleh dikerjakan dengan enteng. Maka dari itu, kuusulkan sebagai amandemen, kita tunda rapat ini ke ruangan kami di Soho, dan lakukan peledakan di sana. Ada urusan kecil yang harus kuselesaikan sebelum proyek akbar ini dijalankan.” Profesor lantas berkata, “Tuan-tuan, amandemen harus didahulukan. Diusulkan rapat ini ditunda, agar kalian dapat menimbang proyek di ruang klab kalian di Soho.” 20
“Aku menyokong amandemen itu,” kata kelima belas hadirin yang berdiri serempak. “Dengan tak adanya ketua tetap,” kata Profesor, “adalah tugasku untuk mengajukan amandemen. Siapa saja yang mendukung amandemen, tolong angkat tangan kanan.” Semua tangan terangkat. “Tuan-tuan, amandemen diterima. Aku akan sangat senang menemui kalian besok malam di klab, dan aku akan bawa bahan peledak dalam jumlah lebih besar. John, tolong suruh orang itu membuka pintu kunci.” Ketika Simkins dan Slivers mampir keesokan malam di tempat rapat rutin kaum Anarkis, mereka tak menjumpai tanda-tanda pertemuan, dan sejak kuliah itu tak pernah ada kabar bahwa Liga Anarkis Soho mengadakan rapat. Klab tersebut bubar secara misterius.
21