RE-ENGINEERING PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN Oleh: Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS PENDAHULUAN Penatagunaan kawasan hutan (PTH) termasuk dalam kegiatan penyelenggaraan kehutanan bidang perencanaan kehutanan (pasal 12 UU. 41/1999), merupakan tahap ke-3 dari kegiatan perencanaan kehutanan. Ada lima kegiatan perencanaan kehutanan dan harus dilakukan secara berurutan, yaitu: (1) Inventarisasi Hutan (IH), (2) Pengukuhan Kawasan Hutan (PKH), (3) PTH, (4) Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan (PWPH), dan (5) Penyusunan Rencana Kehutanann (PRK). Kegiatan perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaran kehutanan yang telah ditetapkan, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan cara: (a) menjamin keberadan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap perubahan eksternal, dan (e) menjamin distribusi manfaat hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan (pasal 3 UU. No. 41/1999). Kelima tahap perencanaan kehutanan tersebut di tas harus dilakukan dan harus memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL) atau pembangunan kehutaan berkelanjutan. ITTO (1993) mendefinisikan PHL sebagai proses manajemen lahan (baca: kawasan hutan) tetap untuk mencapai satu atau lebih tujuan manajemen yang didefinisikan secara jelas berkenaan dengan hasil, manfaat, dan dampak yang diinginkan yang secara terus menerus mengalir tanpa harus mengurangi nilai dan produktivitas yang melekat dengan kawasan hutan di masa datang dan tanpa harus menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan fisik dan sosial. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan Indonesia tidak berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; secara khusus bila dilihat dari keberadaan hutan (kelestarian ekosistem hutan), optimalisasi fungsi hutan, daya dukung DAS, kapasitas dan keberdayaan masyarakat, serta distribusi manfaat hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan; juga kontribusinya terhadap PDB. Situasi masalahnya sangat kompleks, berkembang; dan menyangkut banyak aspek penyelenggaraan kehutanan tidak terkecuali pada aspek PTH. Produk perencanaan kehutanan yang berupa “pedoman dan arah” penyelenggaraan kehutanan, termasuk produk-produk yang bersangkutan dengan PTH, dapat dipandang sebagai rumusan alternatif solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam upaya mencapai 1
tujuan penyelenggaraan kehutanan yang telah didefinisikan dalam pasal 3 UU. 41 tahun 1999 tersebut di atas. Bentuk dan produk perencanaan yang dimaksud di sini adalah berupa kebijakan dan/atau prosedur. Dalam tulisan ini, produk-produk perencanaan kehutanan yang dihasilkan selama ini, secara khusus yang bersangkutan dengan PTH, merupakan salah satu penyebab utama kegagalan penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. Berdasarkan premis ini, tema diskuasi dan judul makalah ini adalah re-engineering penatagunaan kawasan hutan. Karena permasalahan penyeyelanggaran kehutanan terus berkembang, beberapa produk perencanaan bidang PTH sebelumnya, apakah itu berupa kebijakan dan/atau prosedur, secara konseptual tidak sesuai lagi sehingga harus di-re-engineering berdasarkan situasi masalah terkini serta perumusan kembali masalahnya. Mengingat PTH dilakukan setelah PKH, perumusan masalah PTH mengharuskan juga untuk melihat dan mempertimbangkan hasilhasil PKH, bahkan boleh jadi menjangkau hasil-hasil kegiatan inventarisasi hutan. KECUKUPAN LUAS KAWASAN HUTAN Sejarah penguasaan hutan selalu berdasar atas kepemilikan kolektif dalam bentuk hutan masyarakat adat, hutan kerajaan, hutan kesultanan, dan hutan negara; diatur oleh penguasanya yaitu Kepala Adat, Raja, Sultan, Pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda ketika berkuasa di Indonesia hanya mampu menetapkan sekitar 16,8 % dari seluruh kawasan hutan di Indonesia sebagai hutan negara dan menghargai hak kepemilikan hutan lainnya; ada juga hutan cadangan yaitu hutan yang belum ada pengusanya sehingga biasanya menjadi rebutan pemerintah, kerajaan, kesultanan, dan masyarakat adat. Selain hutan dengan kepemilikan kolektif, ada juga hutan dengan kepemilikan privat di atas tanah HGU, bahkan di atas tanah negara yang dijual oleh Pemerintah (Daendels) kepada swasta sebagai tanah milik, tetapi penjualan tanah negara seperti ini telah dihentikan sejak tahun 1929 karena membahayakan Pemerintah (Djajapertjunda dan Djamhuri, 2013). . Kecukupan luas kawasan huta semestinya dihitung berdasarkan luas kawasan hutan yang telah dikukuhkan (ditetapakn). Mengingat sampai tahun 2012 kawasan hutan yang telah dikukuhkan baru mencapai 16,3% (P.32/Menhut-II/2013), dan dengan memperhatikan besarnya pengaruh perubahan peruntukan kawasan hutan melalui revisi RTRWP dan perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial terhadap luas kawasan hutan, dalam tulisan ini kecukupan luas kawasan hutan untuk setiap DAS/pulau digunakan luas kawasan hutan di provinsi yang sudah mendapatkan persetujuan substansi kehutanan dari Pemerintah dalam revisi RTRWP-nya dan penunjukkan kawasan hutan baru oleh Pemerintah bagi provinsi yang tidak mengusulkan perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRWP-nya. Sampai dengan bulan Mei tahun 2013 ada empat provinsi yang sudah mendapat persetujuan substansi kehutanan dalam revisi RTRWP-nya dan 10 provinsi yang penunjukkan kawasan hutannya diperbaharui oleh Pemerintah. Persentase luas daratan kawasan hutan terhadap luas daratan provinsi dimaksud disajikan dalam Tabel 1.
2
Tabel 1. Persentasi luas kawasan hutan dari luas daratan provinsi Prov % KH
Sum bar 53
Jam bi 43
Beng Kulu 46
Kep BB 39
Ja tim 28
NTB 51
Kal teng 83
Kal sel 48
Go ront 68
Sul tra 63
Sul sel 46
Sul bar 65
Mal ut 79
Pa pua 93
Sumber: Direktorat Perencanan Hutan, Ditjen Planologi (2013) Berdasarkan ketentuan pasal 18 UU. No. 41 tahun 1999 perihal kawasan hutan tetap, data dalam tabel 1 menunjukkan bahwa semua provinsi memiliki luas kawasan hutan yang cukup, kecuali Provinsi Jawa Timur; walaupun masih perlu dilihat pula penyebarannya, terutama penyebaran luas kawasan hutan berdasarkan konfigurasi DAS. Luas kawasan hutan di 14 provinsi tersebut diperkirakan lebih kurang tetap dalam jangka waktu lima tahun ke depan setelah diundangkannya RTRW Provinsi yang bersangkutan. Akan tetapi, untuk mendapatkan kawasan hutan tetap harus segera dilakukan dan diselesaikan penataan batas dan penetapannya (dikukuhkan). KEBERADAAN HUTAN Yang dimaksud keberadaan hutan sebagai indikator keberhasilan penyelenggaraan kehutanan sesuai pasal 3 adalah hutan seperti didefinisikan dalam pasal 1 ayat 2 UU.No. 41 tahun 1999. Keberadaan hutan dalam kawasan hutan tetap bersifat dinamis baik secara materi (biomass), ruang, maupun waktu. Artinya, keberadaan hutan dalam kawasan hutan tetap tidak harus permanen. Penggunaan istilah kawasan hutan tetap dan hutan tetap seringkali membingungkan karena sering digunakan secara saling menggantikan, terlebih jika dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Perhatikan, “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap” (pasal 1 ayat 3 UU. No. 41/1999); bandingkan dengan, “hutan tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap” (pasal 1 butir 12 PP. No. 10/2010). Rancu, yang benar adalah kawasan hutan yang telah ditunjuk dan dikukuhkan adalah kawasan hutan tetap. Jika mengacu pada PHL yang didefinisikan ITTO, sesungguhnnya istilah kawasan hutan tetap dan hutan tetap jelas berbeda. Kawasan hutan tetap menunjuk pada peruntukan suatu wilayah (hamparan lahan) untuk hutan, dan keberadaan wilayah tertentu yang tetap untuk hutan merupakan prasyarat bagai PHL; sedangkan “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (pasal 1 ayat 2 UU. No. 41/1999). Kawasan hutan tetap boleh jadi berupa hamparan lahan kosong yang akan dihutankan, sementara lahan kosong yang tidak berpepohonan beserta sumber daya hayati yang berasosiasi dengannya tidak dapat disebut hutan. Namun demikian, Purnomo, dkk (2013) tampaknya setuju kedua istilah tersebut dapat saling mengganti dengan komentar bahwa tidak ada pengertian yang mengikat secara hukum untuk istilah hutan tetap (permanent forest) yang bersifat fungsional. Bagaimanapun, seharusnya istilah hutan tetap tidak digunakan karena hutan dalam pengertian umum lebih menunjuk pada pepohonan serta 3
sumberdaya hayati yang menyertainya pada suatu hamparan lahan, berdimensi volumteris, dan bersifat dinamis. Forest is a large area where trees grow close together (Kamus Collins Cobuild). Keberadaan hutan yang dimaksud dalam tulisan ini hanya dibatasi pada keberadaan hutan alam, baik primer maupun sekunder. Hutan alam, secara khusus hutan alam primer, merupakan anugrah Tuhan Pencipta Alam Semesta yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkunan. Hutan alam primer memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif karena keanekeragaman hayatinya yang tinggi sehingga merupakan sumber daya alam yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, ketahanan nasional, dan kedaulatan bangsa. Untuk keperluan konsistensi dasar pemikiran, keberadaan hutan alam dihitung berdasarkan persentasenya terhadap luas kawasan hutan di ke-14 provinsi tersebut di atas. Data luas hutan alam bersumber dari hasil penafsiran citra landsat 7 ETM tahun 2009/2010. Data ini masih relevan digunakan untuk melihat hasil penyeleneggaraan kehutanan sebelumnya, dengan asumsi bahwa peruntukan kawasan hutan saat revisi RTRWP dan perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial selama periode 2009/2010 sampai dengan Mei 2013 tidak/sedikit mengubah kawasan hutan alam primer dan hutan alam sekunder. Tabel 2 menyajikan persentase luas hutan alam terhadap luas kawasan hutan. Tabel 2. Persentasi luas hutan alam primer dari luas kawasan hutan tahun 2013 Prov
Sum bar
Jam bi
Beng Kulu
Kep BB
Ja tim
NTB
Kal teng
Kal sel
Go ront
Sul tra
Sul sel
Sul bar
Mal ut
Pa pua
% HP
3.47
1.34
4.63
5.20
1.67
4.37
8.38
3.87
3.67
3.21
2.97
1.1
1.9
6.67
% HS
5.36
4.33
3.01
2.49
1.76
5.27
5.37
3.87
6.62
4.43
3.72
4.29
6.63
1.62
Jml.
8.83
5.67
7.64
7.69
3.43
9.64
13.75
7.74
10.24
7.64
6.69
5.39
8.53
8.29
Sumber data luas hutan alam: Statistik Kehutaan Indonesia (2011) Data dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa provinsi yang banyak memanfaatkan hutan primer adalah Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara, sementara provinsi yang menyisakan hutan primer relatif luas adalah Provinsi Kalimantan Tengah (8,38 %) dan Provinsi Papua (6,67%). Secara keseluruhan, luas hutan alam yang tersisa kurang dari 10% dari luas kawasan hutan, kecuali Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Gorontalo. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan kehutanan selama ini kurang memberi nilai terhadap keberadaan hutan alam. Secara keseluruhan, sampai dengan tahun 2009, luas kawasan hutan yang masih tertutup oleh hutan adalah seluas 89,64 juta ha (68,6%), terdiri atas hutan alam tropika primer seluas 41,25 juta ha (31%) yang tersebar di kawasan HPK seluas 3,97 juta ha, HPT seluas 6,32 juta ha; HP seluas 6,39 juta ha; HL seluas 13,34 juta ha (46%) dan di kawasan HK seluas 11,23 juta ha (42%); lainnya berupa hutan sekunder, hutan tanaman; dan tidak berhutan seluas 41 juta ha (Subdit Perencanaan Makro, Ditjen Planologi, 2012). Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang berfungsi konservasi dan berfungsi lindung tidak menjamin keadaan hutannya tetap primer, apalagi fungsi kawasan hutan lainnya.
4
PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN Penatagunaan kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan tetap, yaitu kawasan hutan yang telah dikukuhkan; meliputi penetapan fungsi kawasan hutan dan penggunaan kawasan hutan (pasal 16 UU.No. 41/1999.) Sejak zaman Daendels, klasifikasi hutan berdasarkan fungsi sudah dilakukan. Sejak tahun 1865 kawasan hutan di Jawa sudah dibagi kedalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung karena hampir seluruh kawasan hutan di Jawa sudah dikuasai oleh Pemerintah, , meskipun sampai dengan Perang Dunia II masih ada hutan cadangan sehingga belum ditetapkan fungsinya. Untuk tujan perlindungan alam, Cagar Alam Cibodas sudah ada sejak tahun 1889, Cagar Alam Malabar tahun 1912, dan Cagar Alam Depok tahun 1913 (Yudistira, 2012). Cagar Alam Depok sesungguhnya telah diusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1774. Dalam sejarah panjang kehutanan di Indonesia pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi selalu dipertahankan. Zaman Pemerintahan Orde Lama fungsi-fungsi kawasan hutan tetap seperti Zaman Penjajahan. Di era Pemerintahan Orde Baru, kawasan hutan dibagi ke dalam kawasan hutan produksi, lindung, dan konservasi (hutan suaka alam dan hutan wisata). Melalui TGHK periode 1980-1990, hutan cadangan diberi label HPK (hutan produksi yang dapat dikonversi), khusus untuk Provinsi Riau hutan cadangan tersebut diberi label HPK/PL (PL = penggunaan lain). Penetapan luas kawasan hutan produksi pada zaman Orde Baru cukup luas yaitu sekitar 60%, kawasan hutan lindung sekitar 30%, dan kawasan hutan konservasi sekitar 10%. Pengusahaan hutan produksi dimulai pada awal dekade tahun 1970-an melalui PMA dan PMDN. Kebijakan penetapan hutan produksi yang sangat luas dan diusahakan oleh para pengusaha besar dengan investasi yang besar bertujuan untuk mendapatkan modal pembangunan yang segera dan likuid. Kebijakan ini berhasil karena terbukti pada dekade 1970-an sampai awal dekade 1980-an sektor kehutanan menghasilkan devisa negara nomor dua setelah minyak dan gas. Kebijakan demikian pada awalnya tampak benar tetapi pada akhirnya diketahui bahwa hutan alam Indonesia telah mengalami kerusakan yang sangat parah serta terus menurunnya kontribusi sektor kehutanan pada PDB; 1,18 % pada tahun 2000, dan hanya 0,70% pada tahun 2011 (Statistik Kehutaan, 2011). Berpacu dengan eksploitasi hutan produksi secara besar-besaran, pada tahun 1982 Pemerintah membuat Rencana Konservasi Nasional dengan bantuan FAO/UNDP. Rencana Konservasi Nasional ini diantaranya telah mendorong Pemerintah untuk membuat undangundang tentang pengawetan dan perlindungan alam, hasilnya diundangkannya UU.No. 5/1990. Berbekal legalitas UU No. 5/1990, Rencana Konservasi Nasional diimplemetasikan dan hasinya adalah bertambah luasnya kawasan hutan konservasi, secara khusus berupa taman nasional, melalui penunjukkan kawasan hutan konservasi baru atau melalui perluasan kawasan hutan konservasi yang telah ada, pada kawasan hutan yang berfungsi produksi, lindung, dan/atau HPK/PL.
5
Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, baik kawasan hutan produksi yang luas yang diusahakan oleh para pengusaha besar maupun kawasan hutan konservasi yang luas yang dijaga ole pemerintah tetap saja menimbulkan penderitaan; ibaratnya keluar dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau. Hal ini membuktikan bahwa pengurusan hutan selama ini bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan utamnya tetapi untuk sebesar-besar penderitaan rakyat. Jelasnya, pengurusan hutan selama ini telah menyimpang jauh dari amanat pasal 3 UU. No. 41/1999. Salah satu penyebabnya adalah bahwa kebijakan dan praktek penatagunaan kawasan hutan selama ini tidak taat azas, sesat pikir, dan menyimppang dari amanat pasal 3 butir b, yaitu mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. Ketidak taatan atas azas terjadi ketika fungsi hutan dibedakan secara instrumental-utilitarian, yaitu hutan untuk tujuan konservasi, hutan untuk tujuan perlindungan, dan hutan untuk tujuan produksi (fungsi pokok hutan). Fungsi-fungsi instrumental-utlitarian ini diimplementasikan dalam bentuk penetapan kawasan hutan berdasarkan fungsi secara terpisah (eksklusif). Azas yang dilanggar adalah bahwa secara intrinsik hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi (Pasal 6 ayat 1 UU. 41/1999). Berdasarkan azas ini berarti bahwa setiap hutan yang berwujud, dimanapun berada, apa pun statusnya, tetap menyandang fungsi produksi, lindung, dan konservasi. Kesesatan berpikir terjadi ketika aneka fungsi hutan yang disebutkan dalam pasal 3 butir b harus dimanfaatkan secara seimbang dan lestari diimplementasikan dengan mengalokasikan luas kawasan hutan berdasarkan fungsi instrumental-utilitarian yang justru tidak seimbang; hutan produksi 60 %, hutan lindung 30%, dan hutan konservasi 10%. Bentuk ketidak taatan atas azas yang lainnya adalah penatagunaan kawasan hutan mendahului pengukuhan kawasan hutan. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sampai tahun 2012 pengkuhan kawasan hutan baru sekitar 16,8%. Ibarat tapak suatu rumah yang akan dibangun, kamar-kamarnya sudah dibuat terlebih dahulu dan kemudian dipakai dengan cara dikontrakan kepada pengusaha (kamar hutan produksi) atau dipakai sendiri (kamar hutan konservasi). Ironisnya, apa yang ada dalam tapak kamar tersebut tidak diketahui oleh pemilik rumah. Adalah pengusaha yang melakukan survai potensi hutan (kayu). Pemilik kamar juga tidak tahu apa yang ada dalam kamar selain “hutan”, tetapi begitu ternyata ada “barang tambang” dalam kamar hutan produksi yang telah dikontrakan tersebut, pemilik rumah memberikan izin pinjam pakai sebagian tapak kamar tersebut kepada pihak lain. Kamar hutan konservasi juga telah dibuat, dijaga pintu-pintu masuknya dan mengeluarkan siapa saja yang mencoba mengambil manfaatnya; sementara itu sebagian dinding kamar hutan konservasi sudah banyak yang rusak. Perlu diketahui bahwa masih ada rencana kamar yang belum dibuat yaitu hutan lindung dan hutan cadangan (HPK/PL) sehingga tapak-tapak kamar tersebut banyak digunakan oleh pihak lain dan dikatakan sebagai ilegal.
6
PEMANFAATAN HUTAN Masyarakat tradisional telah memanfaatkan ketiga fungsi hutan secara seimbang dan lestari. Walaupun masyarakat adat di Papua memanfaatkan seluruh sumber daya hutan, mereka mengenal paham totem, sumur alam, tempat keramat, dan lintasan perjalanan leluhur dalam hutan, semuanya dilestarikan. Totem adalah jenis tumbuhan dan/atau satwa yang dipercaya sebagai asal muasal leluhur masyarakat. Totem tetap dimanfatakan tetapi dengan pengaturan yang ketat (Muliyawan, 2013). Fakta ini merupakan salah satu pengetahuan tradisional dan kearifan lokal masyarakat tentang bagaimana memanfaatkan hutan secara seimbang dan berkelanjutan. Masih banyak contoh masyarakat adat di Indonesia yang mampu memanfaatkan dan melestarikan hutan, seperti Suku Adat Toro di Sulawesi (Golar, 2006), Suku Baduy Dalam di Banten. Gambaran hutan yang bermanfaat secara lestari adalah petuah leluhur orang Sunda yang mengatakan bahwa “leuweung hejo, rakyat ngejo”, yang berarti jika hutan tetap hijau, rakyat pasti menanak nasi. Sementara itu ukuran kebahagiaan dipetuahkan sebagai “cageur – bageur”, cageur berarti sehat jasmani dan rohani dan cukup didukung oleh adanya hutan sebagai sumber pangan, papan, obat, dan sebagai sumber air untuk kehidupan; sedangkan bageur berarti berahlak baik. RE-ENGINEERING PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi pokok ternyata tidak menjamin manfaat yang berkelanjutan dari masing-masing fungsi pokoknya. Pembagian hutan berdasarkan fungsi pokok lebih merupakan jalan pintas untuk dapat segera memanfaatkan hutan (terutama kayu) tanpa didukung oleh pengetahuan yang lengkap, dan ternyata telah menghambat pembentukan kawasan hutan tetap. Tujuan penatagunaan kawasan hutan adalah untuk memanfaatkan beragam fungsi hutan secara seimbang dan berkelanjutan. Pemanfaatan hutan secara seimbang dan berkelanjutan harus dilakukan dalam satu kesatuan aneka funsi hutan pada suatu wilayah tertentu. Hal ini hanya dapat dicapai jika prinsip pengelolaan hutan secara berkelenjutan diterapkan, salah satunya adalah keharusan adanya kawasan hutan tetap. Selain itu, harus diakui bahwa membangun hutan sampai berfungsi cukup mahal. Tulisan ini mencoba me-re-engineering penatagunaan kawasan hutan ke depan berdasarkan pendekatan pengelolaannya dan berdasarkan kondisi penutupan kawasan hutan terakhir. Adapun premis mayornya adalah bahwa seluruh kawasan hutan saat ini apa pun fungsinya, hanya memiliki satu fungsi instrumental-utilitarian, yaitu fungsi produksi (barang, jasa, informasi, dan psiko-spiritual) yang harus dimanfaatkan secara terintegrasi, seimbang dan berkelanjutan dalam satu kesatuan (unit) kawasan hutan tetap. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan mutaakhir, pendekatan pengelolaan hutan dapat dibagi menjadi dua aliran yaitu manajemen hutan dan konservasi sumberdaya hutan. Dari sudut penatagunaan kawasan hutan, kawasan hutan yang harus dikelola berdasarkan pendekatan pertama diklasifikasikan sebagai Kawasan Hutan Yang 7
Dikelola (Managed Forest) dan kawasan hutan yang harus dikelola berdasarkan pendekatan kedua diklasifikasikan sebagai Kawasan Hutan Konservasi (Conservation Forest). Penutupan kawasan hutan saat ini dapat diklasifikasikan ke dalam hutan alam primer, hutan alam sekunder, hutan tanaman, dan tidak berhutan. Mekanise penatagunaan kawasan hutan selanjutnya dilakukan sebagai berikut. Seluruh kawasan hutan (tanpa melihat fungsinya) yang berhutan tanaman dan kawasan hutan yang tidak berhutan dimasukan ke dalam kawasan hutan yang dikelola (Managed Forest) dan seluruh kawasan hutan (tanpa melihat fungsi) yang berhutan alam primer dimasukkan ke dalam kawasan hutan konservasi (Conservationa Foreat). Tergantung pada kondisinya, hutan sekunder dapat dikelola agar mendekati hutan alam (close to nature forest) atau diubah menjadi hutan tanaman. Namun demikian, berdasarkan prinsip bahwa membangun hutan adalah mahal, secara sederhana dapat ditempuh mekanisme bahwa seluruh kawasan hutan (tanpa melihat fungsinya) yang berhutan sekunder tua harus dikelola berdasarkan prinsip close to nature forest dan dimasukkan ke dalam Kawasan Hutan Konservasi sementara seluruh kawasan hutan (tanpa melihat fungsinya) yang berhutan sekunder muda harus dikelola berdasarkan prinsip timber estate dan dimasukkan ke dalam Kawasan Hutan Yang Dikelola.
DAFTAR RUJUKAN Alikodra. 2013. Keanekaragaman Hayati Dan Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia Bagian Kebijakan Kehuanan, DMH. 2013. Membangkitkan Kehutanan Indonesia: Kristalisasi Konsep Dan Strategi Implementasi Djajapertjunda Dan Djamhuri. 2013. Hutan Dan Kehutanan Indonesia Dari Masa Ke Masa Elias. 2013. Menatap Masa Depan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Indonesia Dalam Mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru Golar. 2006. Adaptasi Sosio-Kultural Komunitas Adat Toro Dalam Mempertahankan Kelestarian Hutan Muliyawan. 2013. Kearifan Tradisional Perlindungan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Suku Kanume Di Taman Nasional Wasur Purnomo, Dkk. 2013. A Review Paper. Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem: Teori, Fakta, Dan Implementasi Yudistira. 2012. Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Koorders Dalam Sejarah Perlindungan Alam Di Indonesia
8