RANTAI PASOK BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rantai Pasok Beras Di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Alexandro Ephannuel Saragih NIM H351140406
RINGKASAN ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH. Rantai Pasok Beras Di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA dan AMZUL RIFIN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia. Hal ini mengimplikasikan dibutuhkannya usaha meningkatkan produksi beras dalam negeri. Namun, usaha peningkatan produksi tentunya harus diikuti oleh usaha pembentukan sistem pemasaran yang baik, melalui integrasi dan koordinasi rantai pasok. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi rantai pasok di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Selain itu, penelitian bertujuan mengevaluasi efisiensi teknis dan integrasi pasar vertikal pada rantai pasok beras tersebut. Identifikasi rantai pasok menggunakan kerangka Food Supply Chain Management. Sedangkan efisiensi teknis setiap saluran rantai pasok diukur melalui metode Data Envelopment Analysis. Berikutnya, pengujian integrasi pasar vertikal dilakukan menggunakan metode Vector Autoregression. Sasaran pasar rantai pasok beras dari Cibeber, Cianjur, bukan hanya konsumen di kabupaten itu saja, namun juga konsumen di kota lain seperti Jakarta. Meskipun aliran beras dari Cianjur ke Pasar Cipinang hanya sedikit, namun sistem grading di pasar tersebut sering menjadi acuan bagi anggota rantai pasok beras di Cianjur. Berdasarkan integrasi pasar vertikal, pedagang di Pasar Cipinang bahkan dapat mempengaruhi harga beras di tingkat pengumpul besar dan pengecer Cianjur. Sasaran pengembangan dari rantai pasok beras tersebut adalah penggunaan padi varietas lokal Cianjur. Struktur rantai pasok beras di Cianjur terdiri dari petani, tengkulak, penggilingan (desa), pengumpul besar, pabrik beras, pedagang besar di Kabupaten Cianjur, pedagang di Pasar Cipinang (luar kabupaten), dan pengecer. Namun, proses kemitraan hanya terjadi diantara tengkulak dengan pengumpul besar. Semua kesepakatan antar anggota rantai pasok bersifat informal. Terdapat 10 saluran pemasaran beras dari Cibeber, Cianjur. Tengkulak merupakan lembaga yang paling dominan dipilih petani. Secara umum, proses transaksi antara pihak-pihak yang bermitra relatif cepat. Aliran informasi pada rantai pasok beras di Cianjur berlangsung secara timbal-balik mulai dari petani sampai pada ke konsumen akhir. Beras yang berasal dari rantai pasok di Cianjur memiliki merek yang berbeda-beda. Pabrik beras pada umumnya mencantumkan merek pabrik tersebut. Kepercayaan diantara anggota rantai pasok juga semakin kuat apabila anggota rantai pasok dapat selalu memenuhi kesepakatan yang telah dibuat. Secara umum, nilai efisiensi teknis seluruh saluran telah cukup baik. Hal ini dapat disebabkan adanya pembagian informasi yang baik diantara anggota rantai pasok. Informasi tersebut dapat meliputi budidaya, jumlah dan kualitas hasil panen petani, dan informasi harga beras di pasar. Pabrik beras berperan penting dalam menyampaikan informasi seperti informasi harga beras di luar Cianjur, yakni di Pasar Cipinang. Di sisi lain, pabrik merupakan anggota rantai pasok yang paling mengalami kesulitan saat tidak mendapatkan pasokan gabah dari petani. Hal ini disebabkan pabrik tersebut telah mengeluarkan biaya tetap dalam jumlah besar.
Berdasarkan efisiensi teknis, terdapat 4 saluran rantai pasok yang tidak efisien dari total 10 saluran. Agar menjadi efisien, saluran harus mengurangi ratarata biaya dan marjin pemasarannya. Selain itu, saluran harus meningkatkan farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, dan keuntungan saluran tersebut. Saluran 4 (petani-tengkulak-pengumpul besar-pedagang besar-pengecerkonsumen) merupakan saluran yang paling tidak efisien. Saluran menjadi tidak efisien karena banyaknya jumlah lembaga terlibat. Selain itu, saluran menjadi tidak efisen karena harga penjualan ke konsumen akhir di Cianjur yang lebih rendah dibandingkan harga konsumen di Jakarta. Harga gabah di tingkat petani Cianjur dapat mempengaruhi harga beras di tingkat pengumpul besar dan pengecer, namun tidak berlaku sebaliknya. Hal ini mengimplikasikan bahwa posisi petani tidak lemah pada rantai pasok beras. Petani memiliki pilihan tujuan dalam menjual gabahnya, yakni tengkulak, penggilingan, dan pengumpul besar. Di sisi lain, harga gabah di petani Cianjur tidak menyebabkan perubahan harga beras di Pasar Cipinang. Posisi pedagang tersebut kuat karena memiliki persediaan beras dalam jumlah besar. Selain itu, pedagang tersebut memiliki jaringan pemasok beras dari berbagai daerah. Pada jangka panjang, hanya harga beras di pengumpul besar Cianjur saja yang memiliki hubungan positif dengan harga gabah di petani Cianjur. Sedangkan harga beras di pengecer Cianjur dan pedagang Cipinang justru memiliki hubungan negatif. Pemerintah perlu terus mengawasi proses penyimpanan beras oleh pedagang besar, terutama di Cipinang. Kenaikan harga beras di pasar bukan karena kenaikan harga gabah di petani, namun dapat disebabkan kemampuan pedagang untuk mempengaruhi pasokan beras di tingkat pasar. Dalam jangka pendek, harga gabah di tingkat petani hanya dipengaruhi oleh harga gabah itu sendiri pada satu bulan sebelumnya. Harga gabah pada satu bulan sebelumnya juga mempengaruhi harga beras di tingkat pengecer. Kata kunci: beras, efisiensi, integrasi vertikal, rantai pasok
SUMMARY ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH. Supply Chain of Rice In Cibeber Subdistrict, Cianjur. Supervised by NETTI TINAPRILLA and AMZUL RIFIN. Indonesia is one of the countries with the highest level of rice consumption in the world. It is important to increase rice production in Indonesia. It must be followed by an efficient marketing system, through integration and collaboration in supply chain. The purposes of this research were identifying rice supply chain in Cibeber Subdistric, Cianjur. Beside that, evaluating technical efficiency and vertical integration in rice supply chain. Food Supply Chain Management approach was used to identify rice supply chain in Cibeber Subdistric, Cianjur. While, technical efficiency of each channel in supply chain was measured by Data Envelopment Analysis. Vertical integration was measured by Vector Autoregression. Market target of rice supply chain in Cibeber, Cianjur, is not only for concumers in that regency, but also for consumers in other area such as Jakarta. In spite of rice flow to Cipinang market is only slightly, but Cipinang’s grading system remains as a reference for the members of supply chain. Based on vertical integration analysis, the rice price of wholesalers at Cipinang can influence the rice price of Cianjurs farmers. Development target is to increase the using of local paddy varieties. The structure of supply chain was composed of farmer, middleman, rice milling on the village level, collector, rice milling unit, wholesalers in Cianjur, wholesalers at Cipinang Market, and retailer. Though, partnership is only between middleman and collector. Contractual agreement that occurs between members of supply chain takes places informally. There were 10 marketing channels of rice in Cibeber, Cianjur. Most farmers sell their harvest to middleman. Generally, financial flow was well conducted. Information between members of supply chain flow mutually. Rice in the supply chain have different brand. Generally, the brand is made by rice milling unit. Trust among members of supply chain is influenced by the compliance of contract. Overall, technical efficiency value of all channels had a good mark. It could be influenced by the sharing information process. The information comprises the cultivation process, the yields of farmers, and the market rice price. Rice milling unit has an important role to share the information from the outside of Cianjur, especially from the Cipinang Market. On the other side, the rice milling unit will has a serious trouble if it has not enough supply from the collector. This is an issue for the rice milling unit has spent much fix cost for its business.. Based on technical efficiency, there were four out of ten channels, which must decrease its cost and market margin to improve its efficiency. Beside that, the four channels must increase its farmer’s share, cost and benefit ratio, and benefit of the four channels. The fourth channel (farmer-middleman-collectorwholesalers in Cianjur-retailer-consumer) was the most inefficient channel. It was caused by the numbers of instution in that channel. Moreover, rice price in Cianjur is lower than Jakarta. There was directional causality from Cianjur farmer to the collector and retailer in Cianjur. It implies that farmers power was not weak in the rice supply chain. The farmers had many choices in selling their yields as middleman, rice
milling on the village level, and collector. On the other side, there was undirectional causality from Cianjur farmer to Cipinang wholesaler. The wholesaler had a strong power because it has much rice stocks. Beside that, the wholesaler had many supplier from the different areas. In the long term, it was only the rice price in collector Cianjur which had positive relation with paddy price in Cianjur farmer. Though, both the rice price in Cianjur retailer and Cipinang wholesaler had negative relation with paddy price in Cianjur farmer. The government need to consistenly oversee the rice storage which were conducted by wholesaler. The increasing of rice price in wholesaler or retail was not caused by the increasing of paddy price in farmers level. It was caused by wholesaler market power to influence the rice supply in the market. In the short term, paddy price was influenced by the paddy price itself-one month earlier. Rice price in Cianjur retailer was also influenced by paddy price-one month earlier. Keywords: efficiency, rice, supply chain, vertical integration
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RANTAI PASOK BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Harianto, MS
Judul Tesis : Rantai Pasok Beras Di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur Nama : Alexandro Ephannuel Saragih NIM : H351140406
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Rantai Pasok beras di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA sebagai dosen pembimbing dalam penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Harianto, MS dan Ibu Prof. Dr Ir Rita Nurmalina, MS, sebagai dosen penguji dalam ujian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Irwan, SP, sebagai penyuluh dari Dinas Pertanian Cianjur, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016 Alexandro Ephannuel Saragih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1
2
3
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Manfaat Integrasi Rantai Pasok
6
Efisiensi Rantai Pasok dengan Metode DEA
7
Integrasi Pasar pada Rantai Pasok Beras
8
KERANGKA PEMIKIRAN
9
Rantai Pasok
4
9
Manajemen Rantai Pasok
11
Logistik pada Rantai Pasok
13
Saluran Pemasaran
15
Efisiensi Pemasaran
16
Marjin Pemasaran
17
Farmer’s Share
19
Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran
20
Data Envelopment Analysis (DEA)
20
Integrasi Pasar
22
Kerangka Pemikiran Operasional
25
METODE PENELITIAN
27
Lokasi dan Waktu Penelitian
27
Jenis dan Sumber Data
27
Metode Penentuan Sampel
27
Metode Pengolahan Data
28
5
6
7
Analisis Rantai Pasok Beras
28
Efisiensi Teknis Saluran Rantai Pasok
29
Integrasi Pasar
30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
35
Gambaran Wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur
35
Karakteristik Responden
35
HASIL DAN PEMBAHASAN 38 Sasaran Rantai
38
Struktur Rantai Pasok
39
Manajemen Rantai Pasok
44
Sumber Daya
44
Proses Bisnis
51
Efisiensi Teknis Setiap Saluran Rantai Pasok
62
Integrasi Pasar Vertikal pada Rantai Pasok Beras di Cianjur
65
SIMPULAN DAN SARAN
73
Simpulan
73
Saran
74
DAFTAR PUSTAKA 75 LAMPIRAN
81
RIWAYAT HIDUP
92
DAFTAR TABEL 1 Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi (GKG) serta Volume Impor Beras di Indonesia Tahun 2009-2013 2 Pencapaian Target Luas Tanam, Luas panen, Produktivitas, Produksi Komoditi Padi Kabupaten Cianjur Tahun 2013 3 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia 4 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir 5 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Usahatani Padi 6 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Padi 7 Sebaran Petani Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Usahatani Padi 8 Total Biaya, Marjin, Farmer’s Share, Keuntungan, dan Rasio Keuntungan terhadap Biaya Pemasaran pada Sepuluh Saluran Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur 9 Nilai Efisiensi CRS, VRSTE, SE, dan Trend Return to Scale Setiap DMU Saluran Rantai Pasok 10 Sebaran Perbandingan untuk Setiap Saluran Rantai Pasok 11 Rata-rata Potential Improvements Saluran (1, 4, 6, 9)
2
3 36 36 37 37 37
62 64 65 65
DAFTAR GAMBAR 1 Pergerakan Rata-rata Harga Beras Pengecer dan Gabah Kering Panen (GKP) Petani di Indonesia pada Januari 2012-Desember 2014 2 Kerangka Analisis Deskriptif Rantai Pasok 3 Skema Diagram Rantai Pasok dari Perspektif Pengolah 4 Kurva Marjin Pemasaran 5 Hubungan CRS, VRS, dan Scale Efficiency 6 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 7 Sistematika Pengolahan Vector Autoregression (VAR) 8 Proses Bisnis Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur 9 Aliran Produk Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur 10 Aliran Finansial Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur 11 Aliran Informasi Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur 12 Sebaran Skor Efisiensi Teknis Rantai Pasok Beras di Kabupaten Cianjur dengan Metode DEA VRS pada Setiap Saluran Rantai Pasok 13 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Gabah di Petani Cianjur 14 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pengumpul Besar Cianjur 15 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pengecer Cianjur 16 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pedagang Pasar Cipinang
2 11 12 18 22 26 34 52 56 57 58 63 70 71 72 72
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah Penggilingan di Kabupaten Cianjur pada Tahun 2010 Hasil Uji Stasioner Data Harga Gabah di Petani Cianjur Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pengumpul Besar Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pengecer Cianjur Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pedagang Pasar Cipinang Output Length Lag Criteria pada Lag Maksimum 2 Hasil Uji Kausalitas Harga Gabah di Petani (PT), Harga Beras di Pengumpul Besar (MT), Pengecer Cianjur (RTC), dan Pedagang Pasar Cipinang (RTJ) 8 Hasil Uji Kointegrasi Johansen 9 Output Model VECM pada Integrasi Vertikal Pasar Beras di Cianjur
82 83 84 85 86 87
88 89 90
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ketersediaan beras menjadi penting untuk diperhatikan karena beras telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia secara umum. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat saat ini di dunia. Penduduk Indonesia diproyeksikan sekitar 261 juta orang pada tahun 2020 (BPS 2013). Di sisi lain, tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia, merupakan salah satu tingkat konsumsi tertinggi di dunia, yakni 97.40 kg/kapita/tahun pada tahun 2013 (Susenas BPS dalam PUSDATIN 2014). Padahal, dilihat dari pertumbuhan luas lahan, produktivitas, dan tingkat produksi gabah seperti pada Tabel 1, Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat. Hal ini mengimplikasikan dibutuhkannya usaha meningkatkan produksi beras dalam negeri. Namun, usaha peningkatan produksi tentunya harus diikuti oleh sistem pemasaran yang baik, sehingga dapat memotivasi petani sebagai produsen. Tabel 1 Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi (GKG) serta Volume Impor Beras di Indonesia Tahun 2009-2013 Tahun Luas panen Produktivitas Produksi (ton) Volume (ha) (ku/ha) impor beras (ton) 2009 12 883 576 49.00 60 325 925 250 276 2010 12 147 637 50.15 66 469 394 687 583 2011 13 203 643 49.00 65 756 904 2 744 261 2012 13 445 524 51.00 69 056 126 1 927 563 2013 13 835 252 51.52 71 279 709 472 675 Sumber: Kementrian Pertanian (2014)
Menurut Sultana (2012), program peningkatan produksi beras tidak akan dapat berjalan dengan efektif apabila sistem pemasaran tidak efisien. Pemasaran harus mampu berorientasi kepada kepuasan konsumen dan memberikan keuntungan kepada petani, pedagang, pengolah, dan lembaga pemasaran yang terlibat. Rantai pasok merupakan kegiatan yang melibatkan semua pihak, baik yang memproduksi atau menghasilkan jasa, mulai dari produsen sampai ke konsumen akhir. Adanya integrasi dan koordinasi yang baik antara anggota dalam rantai pasok menjadi kunci dalam proses pemasaran. Pada rantai pasok terdapat proses manajemen, yakni kegiatan mengelola permintaan dan penawaran. Konsep ini dianggap penting karena adanya perubahan dan tuntutan terkait orientasi pasar. Dewasa ini, konsumen memiliki peranan besar dalam menggerakkan rantai pasok. Para produsen berupaya memenuhi bagaimana permintaan konsumen, baik dalam bentuk, kemasan, dan proses penyampaiannya (Lokollo 2012). Menurut Bassey (2013), selain peningkatan kualitas beras, pemasaran beras membutuhkan strategi untuk efisiensi biaya transportasi dan penyimpanan. Melalui manajemen rantai pasok yang baik, hal ini dapat berjalan dengan efektif. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh setiap anggota dalam saluran rantai pasok
2
beras. Efisiensi dari setiap biaya pemasaran terhadap keuntungan yang dihasilkan menjadi sangat penting diperhatikan agar saluran tersebut tetap dapat bersaing dengan saluran rantai pasok beras lainnya. Integrasi pasar diantara lembaga atau anggota rantai pasok juga penting diperhatikan. Meskipun penggunaan biaya pada saluran atau rantai pasok telah efisien, namun harga komoditi pada lembaga atau anggota rantai pasok, belum tentu terintegrasi dengan baik. Hal tersebut dapat disebabkan penyalahgunaan market power pedagang perantara dalam rantai pasok (Meyer dan Taubadel 2004). Penetapan harga jual beras oleh pedagang tersebut sering berbeda dengan kenaikan atau penurunan harga dari pemasoknya. Respon pedagang terhadap kenaikan harga dari tingkat pemasok lebih cepat daripada respon penurunan harganya. Hal ini bertujuan untuk menjaga tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pedagang perantara tersebut. Namun, hal ini dapat mengakibatkan lembaga pemasaran yang terlibat menjadi tidak terintegrasi. Besarnya perubahan marjin pemasaran setiap waktu dapat menggambarkan transmisi dan tingkat integrasi harga pada anggota rantai pasok yang terlibat (Vavra dan Goodwin 2005). Gambar 1 menunjukkan pergerakan harga beras di pengecer dengan harga gabah di petani. Disparitas antara harga beras di pengecer dengan harga gabah kering panen (GKP) di petani cenderung meningkat dari tahun 2011-2014. Besarnya dipasparitas itu itu dapat dipengaruhi oleh biaya pemasaran, banyaknya lembaga yang terlibat, dan market power pedagang perantara yang terlibat. Disparitas harga yang cenderung meningkat menunjukkan bahwa marjin pemasaran semakin besar. Marjin yang semakin besar tersebut dapat mengindikasikan pula lemahnya integrasi pasar pada lembaga pemasaran beras yang terlibat. 10000 9000 Harga 8000 (Rp) 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Keterangan:
Disparitas harga
januari april juli oktober januari april juli oktober januari april juli oktober januari april juli oktober
Rata-rata harga GKP di petani
2011
2012
2013
Rata-rata harga beras di pengecer
2014
Gambar 1 Pergerakan Rata-rata Harga Beras Pengecer dan Gabah Kering Panen (GKP) Petani di Indonesia pada Januari 2012-Desember 2014 Sumber: Kementrian Pertanian 2014 (diolah)
3
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu lumbung padi di Indonesia. Pada tahun 2013 produksi padi di Jawa Barat mencapai 12 083 162 ton dari 71 279 709 ton total produksi nasional (BPS 2013). Kabupaten Cianjur sendiri menjadi penyumbang yang cukup besar dibandingkan 25 kota dan kabupaten lainnya untuk jumlah produksi padi di Provinsi Jawa Barat tersebut, yakni mencapai 925 996 ton pada tahun 2013 (Dinas Pertanian Cianjur 2013). Tabel 2 menunjukkan kinerja yang cukup baik dari Kabupaten Cianjur sebagai salah satu daerah unggulan produsen padi di Provinsi Jawa Barat. Keunggulan tersebut seharusnya mendapatkan penanganan aliran produk yang baik dan efisien sehingga harga beli oleh konsumen tidak memberatkan mereka. Selain itu, petani tetap mendapatkan keuntungan yang mampu mendorongnya meningkatkan skala usahanya. Tabel 2 Pencapaian Target Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, Produksi Komoditi Padi Kabupaten Cianjur Tahun 2013 Uraian 1.Luas Tanam (Ha) 2.Luas panen (Ha) 3.Produktivitas (Ton/Ha) 4.Produksi GKG (Ton)
Padi Sawah Target Realisasi 133 177 138 852
Padi Ladang Target Realisasi Target 20 756 18 787 154 533
126 832
139 910
20 612
6.557
6.176
3.76
831 637
864 117
76 88
18 636 147 444
Jumlah Realisasi Persentase 157 639 102.01 158 546
107.53
6.158
5.840
94.84
61 849 908 025
925 996
101.98
3.19
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2013)
Berdasarkan hasil penelitian Saragih (2014), beras dari Kabupaten Cianjur bukan hanya dipasarkan di Kabupaten itu saja, namun juga ke Jakarta. Terdapat beberapa lembaga pemasaran yang cenderung pada struktur pasar oligopoli, yakni pabrik beras dan pedagang di pasar Cipinang, Jakarta. Pedagang beras di Cipinang memang merupakan lembaga utama sebagai pintu masuk beras ke Jakarta. Kebutuhan beras di Jakarta adalah lebih dari 1 juta ton/ tahun, sedangkan produksi di daerah tersebut hanya sekitar 11 ribu ton/tahun. Beras yang masuk ke Cipinang bukan hanya dari Cianjur, namun berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Karawang, Subang, dan Indramayu. Rasio beras yang masuk dari Cianjur sebenarnya relatif sedikit, yakni 1.14% dari total beras yang masuk (FSTJ dalam Surjasa et al. 2013). Persediaan beras dalam jumlah besar, yang dimiliki oleh setiap pedagang besar, dapat meningkatkan posisi tawar dan kekuatan lembaga tersebut dibandingkan anggota lainnya dalam rantai pasok. Namun, pembagian keuntungan secara adil diantara anggota rantai pasok sangat penting untuk kelancaran saluran rantai pasok tersebut. Selain itu, rantai pasok menjadi sangat penting terutama karena beras menjadi makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, sehingga harus memperhatikan daya beli masyarakat.
4
Perumusan Masalah Penerapan konsep manajamen rantai pasok di bidang pertanian dapat meningkatkan efisiensi pemasaran. Namun, penerapan konsep manajemen rantai pasok di negara berkembang sering menghadapi kendala karena skala usaha petani yang kecil. Berikutnya, informasi pasar yang diterima oleh petani juga tidak begitu baik (Lakollo 2012). Misalnya, petani yang tidak mengetahui perkembangan harga gabah dan harga beras di pasar. Lemahnya akses informasi tersebut dapat disebabkan lokasi petani yang memang biasanya di lokasi terpencil dan rendahnya pendidikan petani itu sendiri (Ariwibowo 2013). Kecamatan Cibeber merupakan salah satu daerah unggulan tanaman pangan komoditas padi dengan menggunakan sistem irigasi pedesaan di Kabupaten Cianjur menurut Surat Keputusan Bupati Nomor 520/KEP.240-DISTAN/2012 tentang perwilayahan tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini ditunjukkan dari jumlah gabah kering panen (GKP) pada tahun 2013 mencapai 52 582 ton (Dinas Pertanian Cianjur 2013). Kondisi ini menggambarkan bahwa daerah ini menjadi salah satu daerah penting pada pemasaran beras di Cianjur. Produksi gabah, sebagai hasil panen petani di daerah ini, tentunya membutuhkan penanganan aliran produk yang efisien. Saluran-saluran pemasaran beras yang berasal dari daerah ini perlu dievaluasi dan dibandingkan untuk melihat potensi peningkatan efisiensi saluran pemasaran beras dari daerah ini. Secara umum, petani padi di Kecamatan Cibeber memiliki ukuran dan skala usaha yang kecil. Selain itu, jumlah petani juga jauh lebih banyak dibandingkan lembaga pemasaran sebagai tujuan penjualannya. Petani cenderung ingin praktis menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Petani masih sangat bergantung kepada pemilik modal yang dapat mengolah hasil panennya tersebut. Selain itu, kualitas atau rendemen gabah dari petani juga masih belum bisa konsisten akibat perubahan musim dan gangguan hama. Idealnya, nilai konversi GKP ke gabah kering giling (GKG) sebesar 86.02 persen dan GKG ke beras sekitar 62.74 persen (Dinas Pertanian Cianjur 2013). Namun, hal ini masih sering tidak konsisten dicapai akibat rendahnya kualitas gabah petani. Selain petani di Cibeber, terdapat lembaga lain yang terlibat dalam rantai ]pasok seperti penggilingan dan pedagang beras. Anggota rantai pasok, dengan skala usaha yang besar, memiliki potensi sebagai koordinator atau acuan bagi anggota rantai pasok lainnya. Potensi ini dapat dimiliki oleh pedagang di Pasar Cipinang yang terlibat dalam rantai pasok beras dari Cibeber. Rantai pasok ini membutuhkan pula aktivitas yang terintegrasi agar dapat bersaing dengan rantai pasok lainnya dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Selain aktivitas anggota rantai pasok terintegrasi, integrasi pasar atau harga diantara lembaga yang terlibat juga penting diperhatikan. Kekuatan yang berbeda diantara anggota rantai pasok yang terlibat dalam mengalirkan beras, dapat mempengaruhi lemahnya integrasi pasar dan arah transmisi harga. Arah transmisi harga diantara anggota rantai pasok beras yang terlibat menjadi penting, terutama untuk pengambil kebijakan, untuk menetapkan kebijakan yang dapat mendorong integrasi pasar pada pemasaran beras dari Cibeber tersebut. Pasar yang terintegrasi menunjukkan bahwa sistem pemasaran telah efisien.
5
Berdasarkan uraian sebelumnya maka masalah yang akan dibahas dan dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kondisi dan tingkat integrasi vertikal rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi rantai pasok beras di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) 2. Mengevaluasi efisiensi teknis setiap saluran dalam rantai pasok 3. Mengevaluasi integrasi pasar vertikal pada rantai pasok beras di Cianjur Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi terkait kondisi rantai pasok beras di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Informasi terkait kendala dan hal-hal yang dibutuhkan untuk pengembangan rantai pasok beras di daerah ini, dapat menjadi dasar bagi kebijakan pemerintah. Hasil penelitian, yakni hasil analisis integrasi vertikal, juga dapat menjadi dasar kebijakan pemasaran beras oleh pemerintah. Berdasarkan hasil analisis integrasi tersebut, pemerintah memperoleh informasi terkait lembaga atau anggota rantai pasok yang menjadi pasar acuan. Bagi pembaca secara umum, hal ini dapat menjadi sumber informasi dan pembanding saat melakukan penelitian yang relevan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menguraikan rantai pasok beras di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur dengan menggunakan pendekatan Food Supply Chain Network (FSCN). Kerangka ini meliputi enam unsur utama, yakni sasaran, manajemen, struktur, sumber daya, proses bisnis, dan kinerja rantai pasok. Tingkat integrasi harga gabah atau beras pada setiap lembaga yang terlibat dalam rantai pasok beras di Cianjur juga diuji dalam penelitian ini. Konsep integrasi tersebut berbeda dengan dengan konsep integrasi pada manajemen rantai pasok. Derajat integrasi proses manajemen rantai pasok tidak diukur dalam penelitian ini, namun secara kualitatif dijelaskan pada pendekatan FSCN. Produk akhir yang diterima oleh konsumen akhir pada penelitian ini adalah beras. Padi varietas ciherang, yang kemudian diolah menjadi beras, menjadi komoditi yang dipilih dalam penelitian ini. Petani sebagai responden awal yang dipilih juga mengusahakan varietas Ciherang. Namun pada kenyataannya, sejak di tingkat pabrik atau pengolah, beras tersebut sering dicampur dengan beras varietas lain yang kualitasnya hampir sama. Hal ini menjadi penyebab keterbatasan peneliti untuk memastikan beras dengan varietas yang sama yang sampai ke konsumen akhir.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Integrasi Rantai Pasok Menurut Sharma (2013), strategi rantai pasok sangat perlu diterapkan oleh pabrik pengolah padi untuk meningkatkan daya saing mereka. Hal ini mengimpikasikan perlunya fokus pada koordinasi, kolaborasi dengan para petani dan pelanggan untuk memperoleh informasi aliran padi yang akan diproses oleh pabrik. Informasi permintaan juga dibutuhkan untuk efisiensi proses persediaan atau penyimpanan. Terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh rantai pasok beras di India, seperti jumlah persediaan dan penawaran oleh pabrik beras yang sering sangat tidak sesuai dengan permintaan pasar sehingga menimbulkan tingginya biaya penyimpanan dan kerugian akibat gagalnya penjualan. Kemampuan meramalkan dan menyediakan persedian beras melalui pembelian dari sumber-sumber penghasil padi yang petensial, sistem distribusi, strategi penjualan, serta sistem logistik mempengaruhi efektivitas rantai pasok beras India juga untuk bersaing di pasar global. Hal yang hampir sama disampaikan oleh Thongrattna (2012), bahwa manajemen rantai pasok juga merupakan kunci kesuksesan dalam persaingan beras Thailand di pasar global. Bahkan kualitas beras yang dihasilkan oleh Thailand juga dipengaruhi oleh kinerja rantai pasok dan ketidakpastian pasar itu sendiri. Selain itu, kinerja rantai pasok beras di Thailand tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, namun dipengaruhi oleh perilaku para pesaingnya, ketidakpastian permintaan dan proses. Strategi pembelian sebagai bagian dari manajemen rantai pasok menjadi penting diperhatikan untuk mengatasi ketidakpastian permintaan seperti yang disampaikan Sharma (2013). Beberapa hal yang termasuk ke dalam strategi ini seperti aktivitas menentukan jumlah dan kualitas yang akan dibeli, seleksi saat pembelian, kesepakatan pembayaran, dan menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Teknologi pasca panen dan infrastruktur menjadi penentu kesuksesan rantai pasok selain kemampuan koordinasi dan pembagian informasi (Parwez 2014; Jayaretna 2011). Hal-hal tersebut bertujuan menjaga kualitas atau kondisi komoditi yang dikirimkan serta efisiensi biaya transportasi (Parwez 2014). Masalah pembusukan, serangan penyakit saat penyimpanan dan pengiriman menjadi penyebab kerugian yang harus diatasi melalui perbaikan hal-hal tersebut, terutama karena komoditi pada umumnya berasal dari pedesaaan dengan kondisi infrastruktur yang buruk. Menurut Ghai (2012), integrasi rantai pasok dapat meningkatkan daya saing melalui beberapa manfaat berikut, yakni memberikan informasi kepada petani untuk menanam sesuai kebutuhan pasar dan memperoleh harga yang lebih baik. Manfaat lain adalah membantu praktek usahatani untuk memperoleh hasil dan kualitas yang baik, mengurangi kerusakan melalui teknologi pasca panen yang lebih baik, mendapat harga lebih baik karena lolos sortir dan grading, mengurangi pedagang perantara yang tidak efektif dalam pemasaran, memperpanjang umur komoditi karena adanya pengolahan dan pengemasan, membantu petani berorientasi pasar, dan meningkatkan hubungan antara petani dengan industri.
7
Efisiensi Rantai Pasok dengan Metode DEA Aplikasi DEA sebagai internal dan eksternal benchmarking menunjukkan bahwa DEA menjadi alat ukur efisiensi teknis. DEA dapat diaplikasikan untuk mengukur efisiensi manajemen rantai pasok atau distribusi saluran pemasaran. Setiawan (2009) mengukur kinerja rantai pasok sayuran lettuce head dengan menggunakan DEA. Melalui model tersebut, ditunjukkan efisiensi relatif masingmasing petani dan potential improvement untuk mencapai efisiensi 100%. Di tingkat perusahaan juga dapat dilihat bahwa kinerja rantai pasok produk lettuce head dan fresh cut memiliki efisiensi 100%. Kinerja ini lebih baik daripada benchmark. Dalam pengunaan model DEA ini, peneliti menggunakan AHP untuk pembobotan. Permadhi dan Sunaryo (2014) mengaplikasikan penggunaan DEA untuk menganalisis efisiensi saluran distribusi gorden oleh UKM Kamties melalui beberapa tokonya yang menjadi DMU. Dalam pengolahan data, peneliti juga melakukan analisis korelasi faktor untuk mengetahui derajat keterdekatan faktorfaktor yang diteliti dan hubungan antara input-output. Hal yang sama juga dilakukan oleh Prasetyo (2008). Berdasarkan hasil penelitian Permadhi dan Sunaryo (2014) menggunakan metode DEA CCR, ditemukan bahwa terdapat satu saluran distribusi yang belum efisien dari 4 total saluran atau toko yang dianalisis. Hal ini dapat diatasi dengan mengurangi biaya transportasi dan telepon oleh saluran tersebut. Penetapan harga pokok yang terlalu tinggi menjadikan tidak seimbangnya antara harga input dengan output. Pendekatan yang hampir sama juga dilakukan oleh Chu (2013), yakni mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi saluran distribusi produk pertanian dengan model DEA. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat informasi dan infrastruktur logistik yang paling berpengaruh dalam efisiensi saluran distribusi. Hal ini mengimplikasikan pula dibutuhkannya kebijakan yang dapat mendorong infrastruktur logistik di pedesaan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan, kualitas, maupun pemodalan bagi tenaga kerja yang berada di desa. Chen dan Lin (2014) membandingkan efisiensi antara pedagang besar tradisional dan pusat distribusi logistik di China. Pedagang besar tradisional lebih rendah efisiensinya terutama disebabkan oleh pemborosan tenaga kerja, biaya operasi yang tinggi, dan gross margin yang rendah. Sharker dan Ghosh (2010) juga membandingkan tingkat efisiensi organisasi pemasaran pedagang dalam koperasi dengan pedagang diluar koperasi. Hal ini memperhatikan penyebaran harga, biaya pemasaran, dan keuntungan diantara pedagang-pedagang susu tersebut. Hasilnya, pedagang dalam koperasi justru memiliki efisiensi lebih rendah karena biaya tetap per unit susu lebih mahal. Penggunaan DEA dapat menggunakan banyak input dan output. Setiawan (2009) menggunakan input berupa leadtime pemenuhan pemesananan, siklus waktu pemenuhan pesanan, fleksibilitas rantai pasok, biaya SCM, cash-to-cash time, persediaan harian. Faktor output terdiri dari metrik kinerja pengiriman, kesesuaian dengan standar mutu (kualitas), dan kinerja pemenuhan pesanan. Penyesuaian input dan output menggunakan metrik SCOR (Supply Chain Operation Reference) digunakan oleh peneliti seperti yang digunakan oleh Sari, Nurmalina, dan Setiawan (2014). Atribut kinerja, yakni reliabilitas, responsibilitas, fleksibilitas, biaya dan aset, menjadi penting untuk mengetahui efisiensi kinerja sebuah organisasi. Sedangkan Permadhi dan Sunaryo (2014) dalam menganalisis
8
efisiensi saluran distribusinya menggunakan total harga jual produknya sebagai input dalam model DEA. Sedangkan output yang digunakan adalah biaya transport, kurir, dan telepon. Chu (2013) memilih beberapa input yakni jumlah produk pertanian, tingkat informasi dan infrastuktur logistik, tingkat profesionalitas pekerja yang mengatur distribusi, tingkat logistik transportasi, saham atau modal dalam saluran distribusi. Outputnya berupa efisiensi saluran distribusi produk pertanian. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat pula dilihat bahwa jumlah produk yang diproduksi tidak selalu menjadi pilihan tepat dalam mengukur efisiensi sebuah organisasi. Integrasi Pasar pada Rantai Pasok Beras Boansi (2014) menemukan bahwa kinerja atau efisiensi rantai pasok beras di Nigeria lebih rendah dibandingkan dengan rantai pasok jagung. Hal ini ditunjukkan dengan membandingkan transmisi harga beras di konsumen dan petani, dimana transmisi harga jagung lebih baik. Namun, menurut Ohen (2011) melalui uji kointegrasi Johansen, harga beras pada setiap level anggota rantai pasok (petani-pengolah-distributor-pengecer) di Nigeria akan terintegrasi dalam jangka panjang meskipun harga berfluktuasi di setiap level dalam jangka pendek. Hal tersebut mengimplikasikan pula dibutuhkannya kebijakan yang dapat meningkatkan infrastruktur. Selain itu, dibutuhkan pula kebijakan harga oleh pemerintah untuk mengurangi eksploitasi oleh perantara terutama dalam jangka pendek. Menurut Firdaussy (2012), market power yang dimiliki oleh pedagang perantara dapat mempengaruhi asimetri transmisi harga beras. Asimetri transmisi harga juga dapat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih banyak mengintervensi harga gabah di petani dibandingkan harga beras di pasar. Menurut Aryani (2012), dalam jangka pendek, harga gabah petani dipengaruhi oleh harga beras pengecer tetapi harga gabah petani tidak mempengaruhi harga beras pengecer di Indonesia. Hal berbeda di pasar beras Nigeria, dimana arah transmisi harga adalah dari petani ke distributor dan pengecer. Namun, terdapat asimetri, yakni perbedaaan besarnya dampak kenaikan dan penurunan harga di petani terhadap distributor dan pengecer (Jezghani et al. 2011). Kondisi tersebut mengimplikasikan pentingnya memperhatikan kebijakan yang dapat menurunkan biaya produksi petani, dalam melindungi konsumen. Besarnya penurunan harga oleh petani sebagai dampak penurunan biaya produksinya, tidak sama dengan penurunan harga oleh pengecer. Lembaga atau pasar beras yang menjadi pemimpin pasar pada pasar yang terintegrasi, penting diperhatikan. Menurut Emonkaro dan Ayantoyinbo (2014), pasar beras di pedesaan atau petani, merupakan bagian penting bagi pemerintah, sebagai pusat kebijakan pemasaran. Kebijakan dapat berupa kebijakan harga atau kebijakan yang mengatur distribusi. Hal ini disebabkan pasar tersebut menjadi pemimpin pasar bagi pasar beras di daerah kota Nigeria. Hal ini berbeda pula apabila kedua pasar tersebut terintegrasi secara lemah dan tidak memiliki pemimpin pasar. Hal ini mengakibatkan lembaga pemasaran dapat menjadi lebih mudah mempengaruhi harga yang berlaku di pasar (Ojo et al. 2015). Integrasi vertikal harga beras di daerah berbeda di Indonesia dapat berbeda pula. Noer (2014) menganalisis integrasi harga beras di tingkat petani dengan pengecer di Lampung. Hasil IMC sebesar 0.415 atau lebih kecil daripada satu
9
mengindikasikan bahwa harga beras di kedua lembaga tersebut memiliki integrasi yang tinggi. Makbul, Ratnaningtyas, Dwiyantoro (2014) juga menemukan integrasi vertikal harga beras di antara petani dengan lembaga penggilingan dan pengecer telah terkointegrasi dengan baik. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Hal ini juga yang disampaikan oleh Sari (2010), bahwa volatilitas harga beras di berbagai provinsi di Indonesia semakin rendah dengan adanya kebijakan HPP. Hal ini berbeda dengan penemuan Rahim dan Milia (2013) pada tingkat integrasi harga beras petani dengan konsumen di Sulawesi Tenggara. Integrasi vertikal di daerah tersebut lemah, sehingga usaha-usaha peningkatan arus informasi dan penggunaan asuransi oleh petani dalam melakukan usahanya dianggap sangat penting. Hal lainnya yang dapat meningkatkan integrasi pasar beras adalah kedekatan lokasi pasar, biaya dan proses penyimpanan gabah yang baik atau dalam kondisi kering, biaya pengolahan, dan biaya transportasi (Mafimisebi et al. 2014; Mkpado et al. 2013).
3 KERANGKA PEMIKIRAN Rantai Pasok Rantai pasok merupakan rangkaian aktivitas (fisik dan pengambilan keputusan) yang berhubungan dengan aliran material dan informasi, maupun aliran uang dan hak milik, yang melintasi batas dari setiap anggota pasok (Van der Vorst 2006). Konsep rantai pasok membahas bagaimana integrasi seluruh aktivitas organisasi atau individu yang terlibat, sehingga dapat efektif dan efisien dalam menyampaikan barang atau jasa kepada konsumennya (McKeller 2014; Anatan dan Ellitan 2008). Integrasi tersebut bertujuan agar nilai tambah dapat tersampaikan ke konsumen akhir dan produsen atau pihak penyalur juga mendapatkan keuntungan (Marshall dan Johnston 2011). Produsen atau pihak penyalur harus memahami apa yang diinginkan dan bernilai bagi konsumen. Pihak yang terlibat dalam rantai pasok meliputi pemasok, pabrik, distributor, pengecer, dan perusahaan pendukung seperti jasa logistik. Menurut Kotler dan Amstrong (2008), pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok tersebut terbagi menjadi mitra aliran atas dan mitra aliran bawah. Mitra aliran atas, termasuk didalamnya adalah kelompok perusahaan yang memasok bahan mentah, komponen, suku cadang, informasi, keuangan, dan ahli yang diperlukan untuk menciptakan produk atau layanan. Sedangkan mitra aliran bawah adalah pihak saluran pemasaran yang berhadapan dengan pelanggan, seperti pedagang grosir dan pengecer. Keberhasilan masing-masing organisasi yang terlibat dalam rantai pasok bukan hanya tergantung pada kinerja perusahaan tersebut, namun juga seberapa baik keseluruhan rantai pasok dan pemasaran bersaing dengan saluran pesaing. Pihak tersebut harus meminimalkan atau mengeliminasi apapun yang tidak berkontribusi atau justru berdampak negatif bagi rantai pasok tersebut. Hal ini dibutuhkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam pemasaran. Jadi, secara umum dalam rantai pasok terdapat beberapa hal yang menjadi kunci, diantaranya adalah fokus kepada kebutuhan konsumen, adanya proses nilai tambah, perencanaan dan manajemen, serta integrasi dan kolaborasi.
10
Menurut Van der Vorst (2005), untuk membahas potensi atau pengembangan rantai pasok, dibutuhkan kerangka untuk mendeskripsikan rantai pasok tersebut. Kerangka tersebut ditunjukkan oleh Gambar 2. Kerangka terdiri dari peserta atau anggota rantai pasok, produk, sumber daya, dan manajemen. Kriteria-kriteria yang dibutuhkan tersebut ditemukan dan dapat dijelaskan oleh rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur sehingga pendekatan atau kerangka FSCN ini sesuai digunakan dalam penelitian ini. Terdapat beberapa elemen yang akan dideskripsikan dalam kerangka FSCN oleh Van der Vorst (2005) yang mengadopsi pemikiran Lambert dan Cooper (2000). Elemen-elemen tersebut adalah: Struktur Jaringan: mendeskripsikan peranan anggota atau aktor yang terlibat pada jaringan atau rantai pasok. Melalui hasil deskripsi tersebut, kemudian dianalisis anggota mana yang memiliki peranan yang dapat mendukung kesuksesan rantai pasok. Hal ini tentu melibatkan tujuan dari rantai pasok itu sendiri. Dalam proses tersebut terdapat penekanan terhadap kemampuan manajemen dan pengolahan sumber daya. Proses Bisnis rantai pasok yang terstruktur: didekati melalui analisis aktivitas atau proses bisnis yang didesain untuk menghasilkan output yang spesifik, termasuk di dalamnya fisik produk, jasa, dan informasi untuk menghadapi pasar. Seperti disampaikan sebelumnya, selain proses logistik, seperti operasional dan distribusi, terdapat pula proses bisnis dalam rantai pasok. Proses bisnis melibatkan pengembangan produk baru, keuangan, pemasaran, dan manajemen hubungan dengan pelanggan. Jaringan dan Manajemen Rantai Pasok: menganalisis koordinasi dan struktur manajemen dalam rantai pasok. Melalui pendekatan ini dijabarkan pihak yang memfasilitasi proses pengambilan keputusan dalam rantai pasok dalam menggunakan sumber daya untuk memenuhi tujuan rantai pasok. Artinya, melalui pendekatan ini, pihak yang berperan sebagai pengatur dalam rantai pasok dapat diketahui. Hal-hal yang yang digunakan dalam pendekatan ini termasuk analisis pemilihan mitra, kesepakatan kontrak dan sistem transaksi, dukungan pemerintah, dan kolaborasi rantai pasok. Sumber Daya Rantai Pasok: terkait sumber daya yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan produk sampai ke konsumen (transformasi sumber daya). Sumber daya yang termasuk misalnya sumber daya manusia, mesin, dan informasi.
11
Siapa dan apa peranan anggota yang terlibat dalam FSCN? Elemen yang dapat menciptakan proses bisnis? Sasaran Rantai
Manajemen Rantai Pasok
Siapa yang melakukan proses bisnis dalam FSCN? Bagaimana tingkat integrasi proses?
Struktur Jaringan Rantai Pasok
Proses Bisnis Rantai Pasok
Kinerja Rantai
Bagaimana strukur manajemen terkait proses bisnis? Bagaimana sistem kontrak yang dibuat? Bagaimana struktur pemerintahan?
Bagaimana sumber daya(informasi, Sumber teknologi, dan Daya manusia) yang Rantai digunakan pada Pasok setiap proses oleh masing-masing anggota dalam FSCN? Gambar 2 Kerangka Analisis Deskriptif Rantai Pasok Sumber: Van der Vorst (2006) Manajemen Rantai Pasok
Menurut Van der Vorst (2006), manajemen rantai pasok adalah integrasi dari rencana, koordinasi dan kontrol terhadap seluruh proses bisnis dan aktivitas dalam rantai pasok. Menurut Lazzarini et al. dalam Van der Vorst (2006), melalui Gambar 3, bahwa setiap perusahaan diposisikan dalam lapisan jaringan dan memiliki sedikitnya satu rantai pasok, namun biasanya memiliki banyak variasi pemasok dan pelanggan pada waktu yang sama dan dari waktu ke waktu. Pihak lain dalam jaringan akan mempengaruhi kinerja dari rantai pasok seperti yang disampaikan Hakansson dan Snehota dalam Van der Vorst (2006), bahwa hal yang terjadi pada dua perusahaan tidak sepenuhnya bergantung pada kedua pihak yang terlibat tersebut, namun juga apa yang terjadi pada sejumlah hal lain yang saling berhubungan. Oleh karena itu, analisis rantai pasok sebaiknya dievaluasi dengan konteks jaringan rantai pasok yang kompleks, yakni menggunakan konsep Food Supply Chain Network (FSCN). Dalam FSCN, perusahaan-perusahaan yang berbeda secara strategik berkolaborasi dalam satu atau lebih area dengan tetap menjaga identitas mereka. Seperti yang disampaikan sebelumnya, lebih dari satu rantai pasok dan proses bisnis dapat diidentifikasi dalam sebuah FSCN. Organisasi-organisasi dapat memiliki peran berbeda dalam rantai pasok yang berbeda dan berkolaborasi dengan pihak berbeda pula. Pihak yang bekerjasama dengannya dapat saja menjadi pesaingnya pada rantai pasok yang berbeda.
12
Artinya, anggota rantai pasok bisa terlibat dalam rantai pasok yang berbeda dalam FSCN yang berbeda pula, partisipasinya pada proses bisnis bervariasi dan berubah dari waktu ke waktu, dan secara dinamis mengubah bentuk kerjasama vertikal dan horizontal.
Gambar 3 Skema Diagram Rantai Pasok dari Perspektif Pengolah Sumber: Lazzarini et al. dalam Van der Vorst (2006)
Hal terpenting dalam dalam manajemen rantai pasok adalah saling berbagi informasi. Aliran material, kas, dan informasi merupakan keseluruhan elemen dalam rantai pasok yang perlu diintegrasikan (Chen et al. dalam Anatan dan Ellitan 2008). Integrasi dan kolaborasi merupakan aspek kunci dari manajemen rantai pasok. Integrasi dapat dibagi, baik secara internal maupun eksternal. Bagian internal termasuk di dalamnya adalah kelompok pemasaran, manajemen pasokan, keuangan, produksi, logistik, teknologi informasi dalam perusahaan. Sedangkan pihak eksternal seperti, perusahaan manufaktur, pemasok, bagian transportasi, distributor, pengecer, dan pelanggan. Menurut McKeller (2014), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kolaborasi tersebut, diantaranya adalah: Tujuan: setiap fungsi yang dijalankan oleh perusahaan anggota rantai pasok yang saling terkait harus memiliki tujuan yang sama. Aktivitas penjadwalan, pendanaan, penetapan harga, biaya manajemen, merupakan beberapa hal yang secara bersama-sama perlu diperhatikan dan dikembangkan secara bersama-sama sehingga setiap anggota dalam rantai pasok memiliki kesepakatan dan mengetahui peranannya Jarak pandang: kemampuan untuk memprediksi dan mengkomunikasikan pola permintaan pada rantai pasok mempengaruhi kepuasan konsumen, kapasitas manufaktur, dan manajemen persediaan. Hal ini tentu menjadi sangat penting diperhatikan, dimana informasi dapat dibagikan dan dikoordinasikan. Teknologi menjadi salah satu hal yang dapat membantu kelancaran proses tersebut Metrik: terkait bagaimana ukuran karakter produk yang dijual dan pendapatan yang diharapkan dari produk tersebut. Hal tersebut tentu
13
berhubungan dengan manajemen penentuan bahan baku atau pasokan dan pengendalian biaya Sumber informasi: hal ini dibutuhkan secara internal dan eksternal, seperti sumber keuangan, infrastruktur, dan tenaga kerja. Anggota-angota dalam rantai pasok harus terus berusaha memperhatikan potensi-potensi terkait hal tersebut dalam rantai pasok Komunikasi: intensitas dan kejelasan komunikasi merupakan kunci kesuksesan secara internal dan eksternal dalam manajemen rantai pasok. Dukungan infratsruktur dan teknologi terhadap komunikasi harus terus ditingkatkan. Melalui komunikasi yang baik terbuka peluang untuk saling percaya diantara anggota rantai pasok Pembagian informasi: merupakan aset bagi setiap pihak dalam rantai pasok. Secara internal, fungsi dan kinerja dapat ditingkatkan melalui dialog dan kerjasama. Secara ekternal, hal ini lebih sulit karena adanya kemungkinan hubungan menjadi pesaing sehingga membatasi keterbukaan informasi struktur modal dan biaya produksi. Kepercayaan: hal ini menjadi sangat berharga saat terjadi risiko atau masalah ketidakpastian. Kolaborasi rantai pasok menjadi lebih mudah saat setiap pihak dapat memahami budaya, nilai keadilan, dan kejujuran dari pihak lain yang bekerjasama dengannya. Keadilan: hal ini selalu menjadi bahan penilaian bagi setiap orang. Penilaian negatif terkait nilai keadilan seseorang membuat hubungan menjadi tidak baik. Kolaborasi rantai pasok membutuhkan komitmen. Namun, usaha sering berjalan tidak sesuai prediksi. Dalam hal ini, dibutuhkan pengembalian yang adil atas komitmen yang memang sudah dijalankan. Logistik pada Rantai Pasok
Logistik rantai pasok, disebut juga distribusi fisik, melibatkan perencanaan, implementasi, dan kendali aliran fisik barang, jasa, dan informasi yang berhubungan, dari titik asal ke titik konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Artinya, logistik rantai pasok merupakan aktivitas mengirimkan produk yang tepat ke pelanggan pada waktu dan lokasi yang tepat pula (Kotler dan Amstrong 2008). Tujuan logistik rantai pasok adalah menyediakan tingkat layanan kepada pelanggan dengan biaya termurah. Aktivitas distribusi merupakan bagian penting dalam perencanaan rantai pasok dan membutuhkan kerjasama dari pihak-pihak dalam rantai pasok. Aktivitas logistik sangat mempengaruhi keberhasilan manajemen rantai pasok (McKeller 2014). Efektivitas dan efisiensi fungsi logistik ditunjukkan oleh keuntungan atau kerugian dari anggota rantai pasok. Menurut McKeller (2014), terdapat 6 aktivitas utama yang menjadi bagian dari fungsi organisasi logistik, yaitu aktivitas transportasi dengan bertanggungjawab memindahkan bahan baku atau produk. Transportasi sendiri menjadi bagian yang kompleks dan sering menjadi kontributor terbesar dari total biaya logistik. Dalam fungsi transportasi, terdapat proses perencanaan, penjadwalan, dan pengendalian seluruh perpindahan bahan baku atau produk yang masuk dan keluar dari organisasi. Aktitas berikutnya adalah pergudangan, yakni
14
proses perpindahan dan pengiriman oleh pihak internal, baik ke pusat distribusi maupun ke pelanggan lain. Bahan baku atau material diterima, kemudian disimpan, sebelum dikirim selanjutnya. Pihak pengelola gudang memiliki tanggung jawab mengetahui dan merekam jumlah persediaan sebagai bahan dalam proses pengambilan keputusan seperti jumlah pesanan berikutnya. Informasi terkait persediaan ini penting diperoleh dan dilaporkan. Aktitas selanjutnya adalah kontrol persediaan, yakni proses mengontrol jumlah dan jenis persediaan. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi jumlah persediaan harus dapat dipahami dan diatasi untuk menjaga kestabilan jumlah persediaan. Jumlah persediaan yang terlalu sedikit dapat menurunkan kepuasan konsumen atau pelanggan. Sedangkan apabila terlalu banyak, dapat menimbulkan biaya, kerugian, dan tekanan dalam proses penjualan. Aktivitas lainnya adalah pengemasan karena logistik membutuhkan pengemasan bahan baku atau produk saat pengiriman barang. Hal ini juga menjadi penting agar aliran bahan baku atau produk dapat efektif di sepanjang rantai pasokan. Aktivitas utama lainnya adalah pemenuhan pesanan. Pesanan yang diterima kemudian diproses, disiapkan, dan berikutnya disditribusikan. Pemenuhan pesanan merupakan hal yang penting dalam menjaga kepuasan dan hubungan baik dengan pelanggan. Bahan baku atau produk harus didistribusikan dengan waktu, bentuk, dan lokasi yang tepat. Semua proses tersebut tentu harus mempertimbangkan biaya yang efisien pula. Aktivitas berikutnya adalah pengembalian dalam logistik. Untuk menjaga kepuasan pelanggan atau konsumen, organisasi atau perusahaan menerima produk yang dikembalikan oleh konsumen atau pelanggan. Apabila terlalu besar jumlah yang dikembalikan tentu dapat mengurangi keuntungan atau menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan terhadap produk-produk yang dikembalikan, seperti menjadikannya bagian dari persediaan perusahaan, yang akan dijual pada waktu mendatang. Proses lain seperti memperbaiki, merakit kembali produk, atau bahkan mendaur ulang produk dengan memanfaatkan bagian produk yang dikembalikan. Setelah proses tersebut, perusahaan dapat menjual kembali produk tersebut. Menurut Van der Vorst (2005), produk pertanian memiliki karakter tertentu yang berdampak terhadap logistiknya. Di tingkat produsen atau petani, proses produksi membutuhkan waktu yang lama, memiliki sifat musiman, dan memiliki kualitas serta kuantitas yang bervariasi. Hal ini mengimplikasikan dibutuhkannya perencanaan dan proses logistik yang responsif dan fleksibel. Di tingkat industri atau pengolah, volume yang diolah berjumlah besar, menggunakan teknologi canggih, memerlukan waktu pengujian kualitas atau proses karantina, dan memerlukan tempat penyimpanan yang sesuai dengan produk tersebut. Selain itu, kualitas dan kuantitas hasil olahan dapat bergantung pada beberapa hal seperti faktor biologis, sifat musiman, cuaca, dan penyakit yang menyerang produk tersebut. Hal ini berdampak terhadap pentingnya proses produksi yang terencana dan terjadwal. Selain itu, dibutuhkan pula proses produksi yang fleksibel. Di tingkat pedagang, terdapat juga kualitas dan kuantitas pasokan yang bervariasi, dan pasokan yang bersifat musiman. Selain itu, pedagang sangat memerlukan transportasi dan penyimpanan yang baik. Karakter di tingkat pedagang tersebut berdampak terhadap isu harga bagi pedagang, kendala waktu bagi pedagang, dan pentingnya informasi sebelumnya mengenai kualitas produk.
15
Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah rangkaian lembaga perantara yang terlibat dalam proses penyampaian produk produk atau jasa untuk dikonsumsi (Stern et al. 1996). Rangkaian tersebut dapat menjadi sejumlah alternatif dalam mengalirkan produk dari produsen sampai ke konsumen. Berdasarkan pendekatan ekonomi, panjangnya saluran pemasaran dipengaruhi oleh jumlah dan konsentrasi pembeli di pasar, volume produk yang dialirkan, dan biaya pemasaran seperti biaya operasional dan penyimpanan (Kohls dan Uhl 2002). Berdasarkan pendekatan manajemen, saluran pemasaran merupakan penghubung antara manajemen operasional, logistik, dan pasokan untuk membuat produk tersedia pada waktu, jumlah, dan lokasi yang tepat (Pride dan Ferrell 2014). Kepuasan konsumen merupakan hal penting dalam keputusan saluran pemasaran. Kebutuhan dan perilaku konsumen penting diperhatikan pihak-pihak dalam saluran pemasaran. Saluran pemasaran merupakan hal yang sangat penting bagi rantai pasok. Saluran pemasaran merupakan tempat prosesnya menciptakan nilai tambah untuk kepuasan konsumen. Nilai tersebut dikembangkan, diitegrasikan, dan dikoordinasi melalui aktivitas anggota yang terlibat dalam rantai pasok. Saluran pemasaran merupakan bagian terakhir pada domain manajemen rantai pasok. Saluran pemasaran berperan sebagai pengendali input yang dibutuhkan dalam penciptaan nilai tambah bagi konsumen. Terdapat domain lainnya pada pendekatan manajemen rantai pasok, yakni logistik, pembelian, dan operasi. Domain tersebut berperan sebagai input yang terkoordinasi dan terintegrasi dengan fungsi penciptaan nilai tambah oleh saluran pemasaran (Kozlenkova et al. 2015) Menurut Kotler dan Amstrong (2008), dalam menyediakan produk dan jasa ke konsumen, anggota saluran pemasaran menciptakan nilai tambah waktu, tempat, atau kepemilikan. Anggota saluran pemasaran melakukan banyak fungsi. Pertama fungsi informasi, yakni mengumpulkan dan mendistribusikan riset pemasaran dan informasi intelijen tentang pelaku dan kekuatan dalam lingkungan pemasaran yang diperlukan untuk perencanaan dan membantu terjadinya pertukaran. Kedua, fungsi promosi, yakni mengembangkan dan mengomunikasikan penawaran secara persuasif. Ketiga, fungsi kontak, yakni berkomunikasi dengan pembeli prospektif. Keempat, fungsi penyesuaian, yakni membentuk dan menyesuaikan penawaran sesuai dengan kebutuhan pembeli, dimana mempengaruhi kegiatan manufaktur, pemilahan, perakitan, dan pengemasan. Kelima, fungsi negosiasi, yakni mencapai kesepakatan harga dan syarat lainnya untuk pemindahan kepemilikan. Keenam, fungsi distribusi fisik, yakni mengirimkan dan menyimpan barang. Ketujuh, fungsi pendanaan, yakni mendapatkan dan menggunakan dana untuk biaya kerja saluran. Kedelapan, fungsi pengambilan risiko dengan mengansumsikan risiko pelaksanaan kerja saluran. Fungsi-fungsi pemasaran oleh setiap lembaga dalam saluran pemasaran dapat pula dibagi menjadi 3 fungsi umum, yakni fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas (Dahl dan Hammond 1977). Pertama, fungsi pertukaran merupakan aktivitas perpindahan hak milik. Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, dan pengumpulan. Kedua, fungsi fisik merupakan aktivitas penanganan, pergerakan, dan perubahan fisik dari produk/ dan jasa. Fungsi ini terdiri fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan, dan pengemasan. Ketiga, fungsi
16
fasilitas merupakan fungsi yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungsi ini terdiri dari fungsi standarisasi, keuangan, penanggungan risiko, intelijen pemasaran, komunikasi, dan promosi. Menurut Pride dan Ferrell (2014), keputusan mengenai pemilihan saluran pemasaran merupakan hal yang lebih kompleks dibandingkan keputusan lain, seperti penetapan harga oleh perusahaan atau strategi promosi. Hal ini karena terdapatnya komitmen yang pada umumnya dalam jangka panjang diantara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran, yakni: Karakteristik pelanggan: Karakter dari target konsumen yang ingin dicapai mempengaruhi panjangnya saluran pemasaran. Misalnya, jumlah pembelian dan tempat tinggal konsumen tersebut Atribut produk: Jenis dan sifat produk mempengaruhi panjang saluran dan cara pendistribusian. Misalnya, produk dengan sifat mudah rusak atau busuk tentu membutuhkan penanganan khusus dan saluran pemasaran yang pendek. Contoh lain adalah produk mahal dengan citra sebagai barang ekslusif menggunakan saluran pemasaran dengan jumlah distributor sedikit Jenis organisasi: Ukuran organisasi mempengaruhi kemampuan atau posisi tawar organisasi tersebut. Semakin besar ukuran organisasi, posisi tawarnya dapat menjadi lebih baik ketika ingin memperoleh kesepakatan dengan pihak lain. Selain itu, dengan ukuran yang semakin besar, kemampuan organisasi untuk melakukan bauran pemasaran atau aktivitas pendistribusian dapat semakin baik atau efisien Persaingan: Semakin tingginya tingkat persaingan pada bisnis yang dihadapi oleh organisasi maka akan menyebabkan dibutuhkannya kemampuan meningkatkan efisiensi biaya, termasuk biaya produksi dan pemasaran. Hal ini terutama dibutuhkan menghadapi pasar dengan struktur mendekati persaingan sempurna atau monopolistik Lingkungan: Pengaruh lingkungan, seperti lingkungan ekonomi, akan mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran. Misalnya, saat kondisi ekonomi kurang baik, akan dipilih saluran dengan biaya terendah meskipun disisi lain dapat menurunkan kepuasan konsumen. Lingkungan lain misalnya berasal dari aturan pemerintah. Hal ini dapat mempengaruhi biaya dan kelancaran saluran pemasaran ke luar negeri Karakter perantara: Perantara yang dianggap tidak dapat membantu mempromosikan produk yang ditawarkan organisasi kepada konsumen maka akan mempengaruhi keputusan organisasi memilih saluran pemasaran lain. Hal ini semakin dapat mempengaruhi keputusan organisasi, apabila jasa perantara dianggap kurang bermanfaat bagi kelancaran pemasaran organisasi. Efisiensi Pemasaran Sistem pemasaran yang efisien akan tercapai apabila seluruh lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas pemasaran tersebut. Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa menunjukkan
17
efisiensi. Pengukuran efisensi pemasaran dapat menggunakan pendekatan efisiensi operasional/teknis dan efisiensi harga (Khols dan Uhls 2002). Efisiensi operasional digunakan untuk mendekati efisensi produksi sedangkan efisiensi harga digunakan untuk mendekati efisiensi distribusi dan kombinasi produk optimum. Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Output berupa kepuasan konsumen bukan hanya terhadap fisik produk, namun termasuk atribut lain dan nilai tambah produk. Input didekati melalui biaya pemasaran yang dikeluarkan. Efisiensi harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam menyampaikan ouput pertanian dari daerah produsen ke konsumen. Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem pemasaran sesuai dengan keinginan konsumen (Dahl dan Hammond 1977). Melalui efisiensi ini, diukur pula seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya pemasaran. Usaha peningkatan efisiensi penetapan harga ini juga harus memungkinkan adanya perbaikan dalam tata cara pelaksanaan pembelian, penjualan, dan harga dalam proses pemasaran sehingga terdapat keuntungan yang layak bagi lembaga pemasaran untuk mengantarkan output pertanian dari daerah produksi ke daerah konsumsi. Efisiensi harga pada umumnya diukur melalui korelasi harga komoditas yang sama pada tingkat pasar yang berbeda. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk mengukur efisensi atau kinerja rantai pasok. Menurut Beamon (1998), pengukuran kinerja rantai pasok dapat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kinerja diukur berdasarkan kepuasan konsumen, fleksibilitas atau derajat respon rantai pasok terhadap fluktuasi permintaan, integrasi arus informasi dan material, manajemen risiko yang efektif, dan kinerja pemasok. Secara kuantitatif, kinerja pemasok diukur berdasarkan biaya dan respon pelanggan. Berdasarkan biaya, kinerja diukur melalui minimisasi biaya, maksimisasi penjualan, maksimisasi pendapatan, minimisasi investasi persediaan, dan maksimisasi ROI (Return on Investment). Berdasarkan respon pelanggan, kinerja rantai pasok diukur melalui maksimisasi pemenuhan pesanan, minimisasi keterlambatan produk, minimisasi waktu merespon konsumen, minimisasi waktu yang dibutuhkan produk selama proses (lead time), dan minimisasi duplikasi fungsi. Marjin pemasaran Marjin pemasaran dapat didefenisikan dengan dua cara, yaitu: pertama, marjin pemasaran merupakan perbedaaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani (Daly dalam Asmarantaka 2012). Kedua, marjin pemasaran merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran (Waite dan Trelogan dalam Asmarantaka 2012). Komponen-komponen marjin pemasaran ini terdiri dari biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya fungsional. Selain itu, terdapat pula keuntungan lembaga pemasaran sebagai komponen marjin pemasaran.
18
Marjin pemasaran dapat dianalisis melalui pendekatan kurva berikut : P Sr Sf Pr Pf Dr Df Q Qr,Qf Gambar 4 Kurva Marjin Pemasaran Sumber: Dahl dan Hammond (1977) Keterangan : Q = jumlah barang Pr = harga tingkat eceran Pf = harga tingkat petani Sr = kurva penawaran tingkat pasar eceran/turunan Sf = kurva penawaran tingkat petani/primer Dr = kurva permintaan tingkat pasar eceran/turunan Df = kurva permintaan tingkat petani/sekunder Menurut Daly dalam Asmarantaka (2012), harga yang dibayarkan kosumen merupakan harga di tingkat pengecer, yaitu merupakan perpotongan antara kurva permintaan primer (primary demand curve) dengan kurva penawaran turunan (derived supply curve). Harga di tingkat petani merupakan potongan antara kurva permintaan turunan (derived demand curve) dengan kurva penawaran primer (primary supply curve). Penawaran primer sendiri pada umumnya berupa bahan mentah hasil panen petani, sedangkan penawaran turunan merupakan produk olahan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen akhir. Berdasarkan Gambar 4 dapat diukur nilai marjin pemasaran atau value of the marketing margin (VMM) yang dinikmati oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran komoditi pertanian. Nilai marjin pemasaran merupakan hasil kali antara perbedaaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani dengan jumlah yang ditransaksikan (VMM= (Pr-Pf). Q) Marjin pemasaran yang semakin besar belum tentu menunjukkan suatu pemasaran semakin tidak efisien. Apabila marjin pemasaran besar dan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran juga besar, agar komoditi pertanian yang dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen maka keuntungan pemasaran menjadi kecil. Untuk menentukan apakah tingginya marjin pemasaran menyebabkan ketidakefisienan pemasaran maka dalam menganalisis pemasaran harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut : 1. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi dapat menekan biaya produksi sehingga marjin pemasaran tampak cukup besar
19
2.
Adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi produk jadi, walaupun harganya lebih mahal 3. Adanya spesialisasi produksi yang pada akhirnya dapat menaikkan biaya pemasaran terutama biaya transfer 4. Adanya tambahan biaya pengolahan dan penyimpanan untuk meningkatkan kegunaan bentuk 5. Meningkatnya upah buruh dan tenaga kerja, terutama di sub sektor pemasaran eceran. Artinya, marjin dipengaruhi oleh biaya pemasaran. Secara umum, marjin yang kecil menunjukkan nilai yang semakin efisien secara operasional. Namun, hal ini tidak mutlak karena mempertimbangkan kepuasaan dari produsen, lembagalembaga pemasaran, dan konsumen yang terlibat dalam saluran pemasaran. Pada dasarnya, marjin pemasaran harus menggambarkan aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Di sisi lain, menurut Porter (1985), besarnya marjin tergantung pada kemampuan organisasi dalam mengatur atau menghubungkan seluruh aktivitas pada rantai nilai suatu produk. Aliran informasi dan produk diantara setiap aktivitas merupakan hal yang sangat penting untuk kesuksesan rantai nilai. Porter (1985) membedakan aktivitas bisnis rantai menjadi aktivitas utama dan pendukung. Aktivitas utama merupakan aktivitas bisnis yang terkait langsung dengan usaha penciptaan produk atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Aktivitas pendukung merupakan aktivitas yang bertujuan berjalannya aktivitas utama dengan baik. Logistik masuk, operasi, logistik keluar, pemasaran atau penjualan, jasa, merupakan bagian-bagian yang termasuk dalam aktivitas utama. Logistik masuk berhubungan dengan penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusian input. Operasi berhubungan dengan pengolahan atau pengubahan input menjadi produk jadi. Logistik keluar berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian produk ke pembeli. Pemasaran dan penjualan berkaitan dengan pembelian produk dan jasa oleh konsumen, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian tersebut. Jasa berkaitan dengan kegiatan pelayanan yang dapat mempertahankan atau meningkatkan nilai produk. Sedangkan yang termasuk pada aktivitas pendukung adalah pengadaan input atau sumber daya oleh perusahaan, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia, dan infrastruktur seperti kualitas manajemen dan sistem informasi dalam perusahaan. Farmer’s Share Menurut Khols dan Uhl (2002), farmer’s share adalah persentase harga yang diterima petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Farmer’s share dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran dari sisi pendapatan petani. Saluran yang efisien pada umumnya saat farmer’s share saluran tersebut bernilai paling besar diantara saluran lain dan total marjin pemasarannya bernilai paling kecil, karena kedua indikator tersebut memiliki hubungan negatif. Namun, besarnya nilai dari indikator tersebut, yakni farmer’s share maupun marjin pemasaran, tidak mutlak dapat digunakan dalam menentukan saluran yang paling efisien karena harus
20
mempertimbangkan fungsi-fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh lembaga pemasaran dalam saluran tersebut (Asmarantaka 2012). Artinya, nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pemasaran menjadi hal penting dalam dalam menentukan efisiensi pemasaran. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi besarnya farmer’s share seperti jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran, biaya pengolahan, biaya transportasi, keawetan, dan jumlah produk. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan merupakan salah salah satu indikator dalam efisiensi operasional pemasaran. Apabila rasio tersebut besarnya sama dengan satu maka menunjukkan bahwa besarnya keuntungan terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan sama. Apabila rasio tersebut lebih besar daripada satu, maka keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Rasio keuntungan terhadap biaya yang semakin merata pada setiap lembaga dalam saluran pemasaran, menunjukkan bahwa pemasaran akan semakin efisien secara operasional. Data Envelopment Analysis (DEA) Data Envelopment Analysis (DEA) petama kali diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper (1978). DEA merupakan suatu metode untuk mengevaluasi efisiensi dari suatu unit pengambilan keputusan atau DMU (decision-making unit). DMU pada DEA dianggap sebagai produsen yang akan dianalisis. Proses produksi oleh produsen tersebut melibatkan sejumlah input dan output. Setiap produsen atau DMU memiliki level output dan input yang bervariasi. Asumsi penting pada metode ini adalah setiap produsen atau DMU dapat menghasilkan hal yang sama dengan produsen lainnya, apabila produsen tersebut telah bekerja secara efisien. Pada penelitian ini, DMU yang dipilih adalah saluran pemasaran beras dari Kecamatan Cibeber. Efisiensi dari setiap saluran akan dibandingkan dengan mempertimbangkan hubungan input dan output pada saluran tersebut. DEA merupakan pendekatan non-parametrik yang dapat mengukur efisiensi teknis, yakni kemampuan suatu unit untuk menghasilkan output maksimum pada input tertentu. Efisiensi teknis dapat pula diartikan sebagai kemampuan suatu unit menghasilkan output tertentu dnegan input minimum. DEA merupakan model yang bisa mencakup banyak output dan input tanpa perlu menentukan bobot untuk tiap variabel sebelumnya dan penjelasan eksplisit mengenai hubungan fungsional antara output dan input. Analisis DEA berdasarkan evaluasi terhadap efisiensi relatif dari DMU yang sebanding. DMU yang efisien akan membentuk garis frontier. Apabila DMU berada pada garis frontier maka DMU tersebut relatif efisien dibandingkan DMU lain dalam peer groupnya. Melalui DEA, ditunjukkan pula DMU yang dapat menjadi referensi bagi DMU yang tidak efisien (Seiford dan Thrall 1990). Keunggulan metode DEA adalah: 1. Mampu menangani banyak input dan output 2. Tidak membutuhkan hubungan fungsional antara input dengan output 3. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda
21
4. Efisiensi DMU dapat dibandingkan dengan DMU lainnya Keterbatasan DEA adalah: 1. Suatu teknik parametrik yang tidak menggunakan suatu tes hipotesa yang berkelanjutan 2. Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran bisa berakibat fatal 3. Nilai pada DEA terdiri dari input yang sensitif sehingga menghasilkan spesifikasi pada output 4. Mengukur produktivitas relatif dari DMU saja, bukan produktivitas absolut 5. Perumusan linear programming yang terpisah pada setiap DMU (Rajeshekar dalam Setiawan 2009) Terdapat dua orientasi yang digunakan dalam metode pengukuran efisiensi dengan DEA, yaitu: 1. Orientasi input Orientasi ini melihat efisiensi sebagai pengurangan penggunaan input meski memproduksi output dalam jumlah yang tetap. Pendekatan ini sesuai pada industri yang pembuat keputusannya memliki kontrol yang besar terhadap biaya operasional 2. Orientasi output Orientasi yang melihat efisiensi sebagai peningkatan output secara proporsional dengan menggunakan input yang sama. Pendekatan ini sesuai untuk industri dimana unit pembuat keputusan diberikan kuantitas sumberdaya yang tetap dan diminta untuk memproduksi sebanyak mungkin dari sumber daya tersebut. Model outpu memiliki model yang sama dengan input, hanya berbeda orientasi, namun mengestimasi frontier yang sama. Pendekatan optimasi pada DEA dapat melalui model constant return to scale yang dikembangkan oleh Charnes, Cooper,dan Rhodes (model CCR) pada tahun 1978. Model ini mengansumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama. Artinya, apabila input ditambah sebesar x kali, maka ouput meningkat sebesar x kali juga. Pada pendekatan ini, DMU diansumsikan beroperasi pada skala yang optimal. Berikut merupakan persamaan linearnya:
ή S1=
𝑛 𝑟=1 UrYrj S1 𝑚 𝑖=1 Vi XijS 1
Keterangan: ή = nilai efisiensi maksimum n =banyaknya output Ur =bobot dari output Yrj =nilai output S1 =unit keputusan yang akan dievaluasi m =banyaknya input Vi =bobot dari input Xij =nilai input Pendekatan optimasi lainnya yang dikembangkan pada DEA adalah melalui model yang dikembangkan Banker, Charnes, dan Cooper (BCC) pada tahun 1984. Model ini mengansumsikan bahwa DMU tidak atau belum beroperasi pada skala yang optimal. Ansumsi dari model ini adalah rasio antara penambahan input dan output tidak sama (variable return to scale atau VRS). Artinya, dengan
22
penambahan input sebesar x kali maka output yang dihasilkan bisa lebih besar atau kecil dari x kali (Seiford dan Thrall 1990). Hubungan antara CRS, VRS, scale efficiency, dan juga optimasi orientasi input serta ouput ditunjukkan pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5 Hubungan CRS, VRS, dan Scale Efficiency Sumber: Avkiran (2006)
Garis efisien frontier CRS adalah ON. Sedangkan garis frontier VRS adalah PQR. DMU A adalah contoh unit yang tidak efisien. Setelah membawa unit A ke frontier VRS (K) dengan meminumkan input Z dan mempertahankan output Y konstan maka akan diperoleh PTE unit A adalah Zk/Za. Jika menggunakan asumsi maksimalisasi output maka PTE unit A adalah Ya/Ym. Apabila A diproyeksikan ke L maka orientasi yang digunakan adalah efisiensi CRS. Dengan orientasi minimisasi input maka efisiensi CRS adalah rasio Zl/Za. Sedangkan untuk maksimisasi output, rasio efisiensinya adalah Ya/Yn. Karena slope frontier efisiensi CRS adalah satu, maka Zl/Za=Ya/Yn. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan input atau output tidak akan merubah nilai efisiensi CRS. Di sisi lain, scale efficiency memiliki input Zl/Zk dan output Ym/Yn. Oleh karena itu, dengan mengubah asumsi scale dari CRS ke VRS, maka akan semakin banyak unit yang efisien ditemukan. Hal ini karena frontier VRS menyelimuti titik data lebih dekat daripada frontier CRS. Integrasi Pasar Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan indikator efisiensi harga dalam efisiensi pemasaran. Pasar yang terintegrasi merupakan indikator bahwa sistem pemasaran telah efisien. Integrasi pasar menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan akan menyebabkan perubahan pada pasar pengikutnya. Integrasi pasar dapat dibagi menjadi dua, integrasi secara vertikal dan horizontal. Integrasi pasar vertikal menggambarkan keterkaitan antara level lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran. Misalnya, integrasi anatara lembaga petani dengan lembaga di pabrik atau konsumen. Sedangkan integrasi pasar horizontal menggambarkan hubungan
23
antar pasar yang berbeda lokasi, namun pada level lembaga yang sama (Asmarantaka 2012). Integrasi pasar, sebagai indikator efisiensi pemasaran, memiliki perbedaan dengan konsep integrasi pada manajemen rantai pasok. Pada manajemen rantai pasok, konsep integrasi merupakan aktivitas kolaboratif antara perusahaan pengolah bahan baku dengan anggota rantai pasok lainnya. Kolaborasi tersebut mengatur proses-proses yang terdapat di dalam dan luar organisasi. Mekanisme integrasi dapat berlangsung ke depan maupun ke belakang. Integrasi ke depan terjadi diantara pemasok dengan perusahaan pembeli. Integrasi ke belakang terjadi diantara perusahaan pembeli tersebut dengan pelanggannya (Krishnapriya dan Rupashree 2014). Selain untuk memperlancar aliran produk pada rantai pasok, integrasi juga dapat membantu memperlancar aliran informasi pada rantai pasok. Peningkatan integrasi pada rantai pasok dapat meningkatkan informasi terkait kebutuhan pelanggan. Hal ini dapat membantu mempercepat anggota rantai pasok untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan pelanggannya (Sezen 2008). Beberapa pendekatan yang sering digunakan dalam mengukur integrasi pasar adalah metode korelasi harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, regresi sederhana, kointegrasi dan Vector Autoregression (VAR). Analisis integrasi pasar menggunakan metode-metode ini menggunakan data harga time series sebagai inputnya. Menurut Natawijaya (2001), metode korelasi dapat digunakan apabila arah perdagangan antar pasar tidak terlalu jelas dan penelitian tidak fokus pada arah transmisi harga. Kelemahannya adalah hanya dapat menjelaskan keterkaitan antarpasar, namun tidak dapat menentukan besarnya pengaruh antar pasar yang diuji. Selain itu, kelemahannya adalah memberikan kesimpulan yang keliru. Hal ini disebabkan pergerakan harga yang terjadi akibat pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Harga di kedua pasar dapat menunjukkan korelasi yang tinggi, namun tidak terintegrasi. Berikutnya, adalah metode regresi sederhana. Metode ini menjelaskan bahwa harga di suatu pasar adalah fungsi dari harga di pasar lain. Kelemahan metode ini adalah menunujukkan nilai keeratan hubungan pasar yang terintegrasi. Kelemahannya adalah tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel bebas maupun terikat karena metode memiliki sifat inverse. Berikutnya adalah metode uji kointegrasi. Metode ini dapat membuktikan keterkaitan harga pada jangka pendek dan jangka panjang antar pasar dalam suatu kawasan. Kelemahan metode ini adalah tidak terdapat prosedur sistematis untuk estimasi vektor kointegrasi berganda secara terpisah. Kelemahan lainnya adalah tahapan estimasi dalam metode terjadi dalam dua tahap sehingga pendugaan yang salah pada tahap satu akan berlanjut ke tahap dua. Metode lainnya untuk menguji integrasi pasar adalah metode VAR. Kelebihan metode ini adalah dapat digunakan untuk data dari berbagai periode, hasil yang diperoleh tidak palsu, dapat menentukan besarnya integrasi, arah transformasi harga, dapat menentukan pasar pemimpin dan pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. Metode ini memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri, serta nilai lag dari peubah lain dalam sistem. Pada metode ini terdapat analisis kointegrasi yang menunjukkan hubungan antara harga-harga yang berlaku pada level pasar yang berbeda. Apabila terdapat hubungan jangka panjang maka harga
24
tersebut terkointegrasi. Pada metode VAR ini juga ditunjukkan hubungan jangka pendek. Kecepatan transmisi harga dari setiap level pasar juga ditunjukkan dalam metode ini (Juanda dan Junaidi 2012). Menurut Nachrowi dan Usman (2006), VAR menjawab kesulitan yang muncul akibat model struktural yang harus mengacu pada teori. Model VAR tidak banyak bergantung pada teori, namun perlu ditentukan: 1. Variabel yang saling berinteraksi yang perlu dimasukkan ke dalam sistem 2. Banyaknya variabel jeda yang perlu diikutsertakan dalam model yang diharapkan dapat menangkap keterkaitan antar variabel dalam sistem Kunggulan model VAR adalah: 1. Model VAR merupakan model sederhana yag tidak perlu membedakan mana variabel endogen dan eksogen. Semua variabel pada model VAR dianggap sebagai variabel endogen 2. Cara estimasi model yang mudah karena menggunakan OLS pada setiap persamaan secara terpisah 3. Peramalan menggunakan VAR, pada hal tertentu, lebih baik dibandingkan dengan persamaan simultan yang lebih kompleks Kelemahan model VAR adalah: 1. Model bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan teori atau informasi terdahulu sehingga sering disebut model yang tidak struktural 2. Tujuan utama model VAR adalah untuk peramalan sehingga model kurang sesuai untuk menganalisis kebijakan 3. Pemilihan banyaknya lag dapat menimbulkan masalah. Misalnya, apabila peneliti memiliki 3 variabel bebas dengan masing-masing lag 8, maka peneliti harus mengistimasi minimal 24 parameter. Hal ini menyebabkan jumlah data yang dimiliki harus banyak 4. Semua variabel VAR harus stasioner terlebih dahulu. Jika tidak, maka harus dilakukan transformasi terlebih dahulu 5. Interpretasi koefisien dari model VAR tidak mudah. Pendekatan untuk mengukur integrasi pasar berbeda dengan pendekatan untuk mengukur integrasi pada manajemen rantai pasok. Pada proses integrasi manajemen rantai pasok, terdapat aktivitas-aktivitas yang menjadi indikator derajat integrasi seperti proses pembagian informasi, perecanaan produksi bersama, dan penyediaaan fasilitas transportasi atau logistik secara bersama. Terdapat lima derajat integrasi (Frochlich dan Westbrook 2001) pada rantai pasok. Pertama, inward facing, dimana anggota rantai pasok tidak melakukan integrasi kepada pemasok dan pelanggannya. Kedua, periphery facing, dimana anggota rantai pasok melakukan integrasi yang mendekati ekstensif, baik kepada pemasok maupun pelanggannya. Ketiga, supplier facing, dimana tingkat integrasi ekstensif dilakukan oleh anggota rantai pasok kepada pemasok, namun integrasi kepada pelanggannya mendekati ekstensif. Keempat, customer facing, dimana tingkat integrasi ekstensif dilakukan oleh anggota rantai pasok kepada pelanggan, namun integrasi kepada pemasoknya mendekati ekstensif. Kelima, outward facing, dimana tingkat integrasi ekstensif dilakukan oleh anggota rantai pasok kepada pemasok dan pelanggan.
25
Kerangka Pemikiran Operasional Rantai pasok yang terintegrasi menciptakan keunggulan kompetitif dalam pemasaran. Pemasaran yang efisien sangat dibutuhkan karena beras menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Di sisi lain, disparitas harga beras antara level petani dan pengecer di Indonesia, cenderung meningkat dari tahun 2011-2014. Hal tersebut dapat mengindikasikan lemahnya integrasi pasar diantara lembaga tersebut. Analisis integrasi pasar menjadi penting untuk mengetahui arah dan kecepatan transmisi harga diantara level anggota rantai pasok. Hal ini dapat menggambarkan pula kekuatan setiap anggota rantai pasok dalam di dalam saluran yang ada. Potensi dan pengembangan rantai pasok di Kecamatan Cibeber menjadi hal penting diperhatikan. Kecamatan Cibeber merupakan salah satu daerah unggulan produsen gabah di Kabupaten Cianjur. Beras, sebagai hasil penggilingan gabah di Cibeber, mengalir melalui beberapa saluran atau rantai pasok. Beras juga dapat mengalir ke daerah lain melalui pedagang yang memiliki modal yang kuat. Di sisi lain, rata-rata petani di Kecamatan Cibeber memiliki skala usaha yang kecil. Umumnya, petani menjual hasil panennya dalam bentuk GKP. Petani masih sangat tergantung kepada pemilik modal yang dapat mengolah gabahnya menjadi beras. Rangkaian aktivitas pada anggota rantai pasok seperti aktivitas yang berhubungan dengan aliran beras, aliran finansial, dan aliran informasi, dideskripsikan menggunakan kerangka FSCN (Food Suply Chain Network). Kerangka FSCN tersebut menggunakan beberapa pendekatan yakni, sasaran, struktur, manajemen, sumber daya, dan proses bisnis rantai. Melalui analisis FSCN tersebut, akan diperoleh informasi mengenai kendala dan hal-hal yang dibutuhkan untuk mengembangkan rantai pasok tersebut. Terdapat beberapa saluran atau rantai pasok yang dideskripsikan pada kerangka FSCN. Keberhasilan rantai pasok bukan hanya tergantung pada kinerja salah satu anggota rantai pasok, namun juga keberhasilan saluran atau rantai pasok tersebut secara menyeluruh, untuk bersaing dengan saluran lainnya. Pada penelitian ini, efisiensi teknis pada setiap saluran kemudian dievaluasi dengan menggunakan metode DEA. Input dan output yang digunakan pada DEA adalah sejumlah indikator pada efisiensi pemasaran, yakni biaya dan marjin pemasaran, farmer’s share, keuntungan, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Saluran atau rantai pasok yang telah efisien secara teknis, belum tentu efisien secara harga. Analisis efisiensi harga pada penelitian ini menggunakan integrasi pasar vertikal. Hal ini untuk menganalisis tingkat integrasi harga di antara anggota rantai pasok beras yang terlibat. Idealnya, perubahan harga pada salah satu level atau anggota rantai pasok akan ditransformasikan secara selaras kepada anggota lainnya. Pola interaksi harga antar anggota hanya tergantung pada biaya produksinya. Namun, aliran beras dari Cianjur juga melibatkan beberapa anggota rantai pasok, seperti pedagang besar di Cipinang, yang memiliki posisi yang kuat. Hal ini dapat menjadi sumber lemahnya integrasi. Hasil dari analisis ini dapat menjadi dasar atau rekomendasi kebijakan pemasaran bagi pemerintah untuk membantu meningkatkan efisiensi harga pada pemasaran beras dari Cianjur. Hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan kepuasan bagi seluruh anggota rantai
26
pasok terhadap harga beras berlaku. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini ditujukkan oleh Gambar 6.
Pemasaran beras yang efisien dibutuhkan karena beras menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia Rantai pasok yang terintegrasi menjadi kunci pemasaran Disparitas harga beras di level petani dengan pengecer pada tahun 20112014 mengindikasikan integrasi pasar yang cenderung melemah Pentingnya mengetahui arah dan kecepatan transmisi harga pada setiap level pasar untuk mengambarkan kekuatannya pada rantai pasok
Kecamatan Cibeber sebagai daerah unggulan produsen gabah di Cianjur Aliran beras dari Cibeber melibatkan pedagang dengan modal dan kapasitas penyimpanan yang kuat Rata-rata petani memiliki skala usaha yang kecil dan menjual hasil panennya dalam bentuk GKP
Rantai pasok beras di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur
Kerangka analisis rantai pasok: Sasaran rantai Struktur rantai Manajemen rantai Sumber daya rantai Proses bisnis rantai
Efisensi teknis setiap DMU saluran rantai pasok dengan metode DEA
Integrasi pasar vertikal (VAR/VECM)
Rekomendasi kebijakan berdasarkan evaluasi rantai pasok beras di Cianjur
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
27
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan tempat penelitian memiliki kesesuaian dengan topik yang akan dianalisis. Lokasi tersebut menjadi salah satu sentra produksi padi di Kabupaten Cianjur. Penelitian dilakukan di 3 desa sampel yang mewakili 18 desa di Kecamatan tersebut. Ketiga desa yang dipilih yakni Desa Salamnunggal, Karangnunggal dan Cisalak. Ketiga desa dengan hasil produksi padi yang unggul dan lebih konsisten dibandingkan desa lainnya di Kecamatan Cibeber ini diharapkan mampu menggambarkan keadaaan umum rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur. Pengumpulan data dilakukan pada Maret 2014 dan Juli 2015. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara dan observasi dengan petani, pengelola pabrik beras, dan lembaga lainnya yang terlibat dalam rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur. Data sekunder bersumber dari berbagai buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, dan artikel terkait topik penelitian. Hasil penelitian Saragih (2014), terkait nilai efisiensi operasional pada saluran pemasaran beras di Cianjur, digunakan sebagai input dalam evaluasi saluran dengan metode DEA pada penelitian ini. Selain itu, data sekunder juga bersumber dari data Dinas Pertanian Jawa Barat dan Cianjur, Badan Penyuluh Pertanian Kecamatan Cibeber, dan Badan Pusat Statistik Indonesia. Data bulanan dari Dinas Pertanian Cianjur, terkait harga gabah di petani, harga beras di pengumpul besar dan pengecer, sejak Januari 2010 sampai Desember 2014, merupakan data sekunder yang digunakan peneliti untuk mengevaluasi integrasi pasar vertikal. Data bulanan terkait harga beras di Cipinang (Jakarta) pada Januari 2010 sampai Desember 2014 juga digunakan dalam mengevaluasi integrasi harga vertikal pada rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur. Metode Penentuan Sampel Petani yang terlibat sebagai responden awal adalah 30 orang. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan metode multistage sampling dari 3 desa, yakni Salamnunggal, Karangnunggal, dan Cisalak di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Peneliti mengambil 10 orang petani responden dari masing-masing desa tersebut. Dari informasi petani, diketahui aliran produk yang melibatkan lembaga pemasaran lainnya dan dijadikan pula responden dalam penelitian ini. Lembaga tersebut adalah 4 orang tengkulak, 1 penggilingan desa, 2 pengumpul besar, 1 pabrik beras, 3 pedagang besar di Cianjur, 3 pedagang beras di Cipinang, dan 6 pengecer.
28
Metode Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualititaif digunakan menganalisis rantai pasok dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN). Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis integrasi pasar vertikal pada rantai pasok beras, melalui mmetode VAR. Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan software Eviews 8. Efisiensi rantai pasok juga dilihat berdasarkan efisiensi teknis setiap saluran rantai pasok yang ada dengan metode DEA. Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan software Max DEA Pro 6.4. Analisis Rantai Pasok Beras Rantai pasok beras di Cibeber, Kabupaten Cianjur dianalisis dengan metode deskriptif-kualitatif. Output dari analisis ini adalah mendapatkan informasi mengenai struktur rantai pasok beras di Cianjur, termasuk proses-proses nilai tambah pada rantai pasok tersebut. Sasaran Rantai Sasaran Pasar Sasaran pasar menjelaskan tujuan pasar pada rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur tersebut. Dalam hal ini, dijelaskan siapa tujuannya dan apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh pihak yang menjadi tujuan pasar tersebut.
Sasaran Pengembangan Bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok melakukan usaha dalam mencapai target-target selanjutnya untuk meningkatkan kinerja rantai pasoknya.
Struktur Rantai Penjelasan mengenai anggota atau pihak yang terlibat dalam rantai pasok. Dalam hal ini, dijelaskan dijelaskan bagaimana gabah dari petani petani sampai ke konsumen akhir. Aktivitas-aktivitas oleh lembaga-lembaga pemasaran dalam memenuhi permintaan konsumen dan bersaing dengan lembaga lain dijelaskan pada struktur rantai. Manajemen Rantai Pasok Pemilihan mitra Bagaimana proses kemitraan oleh anggota rantai pasok beras di Cianjur dijelaskan pada bagian ini. Dijelaskan pula apa saja yang menjadi alasan para
29
anggota rantai pasok untuk memilih mitranya, misalnya dalam pemilihan mitra untuk memasarkan gabahnya.
Kesepakatan Kontraktual Bagaimana setiap anggota rantai pasok membuat kesepakatan. Hal ini diperlukan untuk menjaga tanggung jawab dan memberi batasan pada anggotaanggota rantai pasok yang saling bekerja sama, termasuk dalam bertransaksi.
Dukungan Pemerintah Bagaimana pemerintah mengatur dan menciptakan program mendukung kelancaran rantai pasok beras di Cianjur tersebut
Kolaborasi Rantai Pasok Bagaimana pembagian informasi diantara anggota-anggota rantai pasok yang terlibat, dimana dapat terjadi secara sukarela dan timbal-balik. Sumber Daya Termasuk di dalamnya adalah sumber daya fisik, teknologi, manusia, dan modal yang dimiliki atau digunakan oleh masing-masing anggota rantai pasok. Bagaimana pemanfaatan, pengadaan, dan biaya yang dikeluarkan untuk sumber daya tersebut juga dianalisis pada bagian ini. Proses Bisnis Bagaimana proses bisnis dalam rantai pasok dan bentuk usaha yang dijalankan sebagai proses integrasi rantai pasok beras di Cianjur. Hal ini dilihat dari cycle view dan push or pull view (Chopra dan Meindl 2007). Selain itu, dijelaskan bagaimana pola distribusi dalam rantai pasok. Termasuk aliran produk dari gabah menjadi beras, aliran finansial dalam rantai pasok, terkait untuk meningkatkan kinerja rantai pasok, bagaimana aspek risiko yang ditanggung oleh setiap anggota rantai pasok, bagaimana penetapan merk beras, dan bagaimana antar anggota rantai pasok saling membangun kepercayaan. Efisiensi Teknis Saluran Rantai Pasok Efisiensi teknis saluran rantai pasok dapat diukur dengan menjadikannya sebagai decision making unit (DMU). DMU merupakan unit-unit yang akan dianalisis efisiensinya. DMU diukur efisiensinya melalui metode DEA. DEA digunakan untuk mengukur efisiensi relatif dari DMU yang memiliki banyak input dan output. Nilai efisiensi diperoleh dari rasio antara output dengan input. DMU yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 saluran rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur berdasarkan penelitian Saragih (2014). Sepuluh saluran dipilih
30
sebagai DMU untuk membandingkan saluran mana yang paling efisien. Proses dan manfaat dari saluran yang paling efisien dapat dijadikan acuan bagi saluran lain yang belum efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan atribut atau faktor yang relevan dan valid untuk mengukur efisiensi rantai pasok. Input yang dipilih dalam mengevaluasi kinerja saluran rantai pasok adalah marjin pemasaran dan biaya pemasaran. Idealnya, input DEA ini dapat menggambarkan sumber daya yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran. Sedangkan output yang dipilih adalah nilai farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya, dan keuntungan total setiap saluran rantai pasok. Efisiensi setiap saluran diukur menggunakan DEA VRS yang berorientasi output untuk melihat efisiensi setiap saluran dalam rantai pasok. DEA VRS dipilih karena DMU dianggap belum beroperasi dalam skala optimal. Setiap pemanfaatan input, yakni biaya pemasaran, tidak akan selalu menghasilkan keuntungan yang sama. Misalnya, saat biaya penggilingan tetap, keuntungan dapat berbeda karena adanya perbedaaan rendemen gabah dari proses penggilingan tersebut. Artinya, diansumsikan bahwa rasio penambahan input dan output tidak sama. Di sisi lain, orientasi output dipilih karena lebih sesuai pada unit dimana pembuat keputusan diberikan sumberdaya yang tetap dan diminta untuk memproduksi output sebanyak mungkin dari sumber daya tersebut. Selanjutnya, efisiensi setiap saluran dapat dibandingkan dengan adanya sebaran peer hasil olahan data DEA. Berikutnya, perbaikan saluran yang belum efisien dapat dilakukan dengan potential improvements. Integrasi Pasar Integrasi pasar yang dianalisis pada penelitian ini adalah integrasi harga vertikal. Integrasi pasar vertikal menunjukkan pengaruh harga di suatu lembaga terhadap pembentukan harga suatu komoditas di tingkat lembaga lainnya. Lembaga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani di Cianjur, pengumpul besar di Cianjur, pengecer di Cianjur, dan pedagang di Pasar Cipinang (Jakarta). Analisis integrasi harga vertikal dalam penelitian ini diukur dengan metode VAR. Metode tersebut dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
Uji Stasioner Data Konsep non-stasioneritas sangat penting menganalisis data time-series. Input yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series berupa harga bulanan gabah di tingkat petani, harga beras di tingkat pengumpul besar, pengecer Cianjur, dan pedagang Cipinang. Serial dinyatakan stasioner apabila memiliki mean, varians, otokovarians bersifat konstan untuk panjang lag tertentu. Stasioneritas berpengaruh terhadap perilaku series. Shock yang tidak stationer bisa jadi tidak akan mengecil seiring berjalannya waktu. Selain itu, penggunaan data non-stasioner dapat menghasilkan regresi palsu. Apabila teknik regresi standar diaplikasikan pada data-data non stasioner, hasilnya akan bagus, ditunjukkan melalui R2 yang tinggi. Padahal sebenarnya, hal tersebut tidak memiliki arti. Berikutnya, apabila variabel dalam model tidak stasioner, nilai rasio t yang biasa tidak akan mengikuti distribusi t dan nilai F statistik tidak akan mengikuti diatribusi F (Hakim 2014). Untuk mengatasi data yang tidak stasioner pada nilai
31
tengahnya, proses pembedaaan atau diffrencing terhadap deret data asli dapat dilakukan. Diffrencing merupakan proses mencari perbedaan antara satu data periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Apabila data tidak stasioner pada ragamnya, dapat dilakukan transformasi data asli dalam bentuk logaritma natural atau akar kuadrat. Data yang tidak stasioner juga dapat diubah menjadi stasioner dengan menghilangkan pengaruh musiman atau seasonal pada data (Juanda dan Junaidi 2012). Stasioneritas dapat dilihat menggunakan uji unit root. Uji ini dikenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller. Penjelasan unit root dapat dijelaskan oleh tahapan persamaan berikut: Yt=ρ Yt-1+μt Jika ρ=1 maka model menjadi random walk tanpa trend. Hal ini menimbulkan varian Yt tidak stasioner sehingga disebut mempunyai unit root atau data tidak stasioner. Bila persamaan dikurangi dengan Yt-1 pada sisi kanan dan kiri maka menjadi: Yt - Yt-1= ρ Yt-1 - Yt-1 + μt ∆ Yt = ρ − 1 + Yt-1 + μt Atau dapat ditulis dengan ∆ Yt = δ + Yt-1 + μt Berdasarkan persamaan tersebut dapat dibuat hipotesis: H0: δ=0 H1: δ=1 Apabila tidak menolak hipotesis δ=0, maka ρ=1. Artinya terdapat unit root dan data time series tidak stasioner. Model yang dikembangkan oleh Dicky-Fuller (Augmented Dickey-Fuller Test) untuk uji stasioner adalah: 1. Model dengan intercept (β1) dan trend (β2) ∆ Yt = β1 + β2t + δ Yt-1 + α i 𝑚 𝑖=1 ∆ Yt-1 + εt 2. Model yang hanya memasukkan intercept (β1) ∆ Yt = β1 + δ Yt-1 + α i + 𝑚 𝑖=1 ∆ Yt-1 + εt 3. Model tanpa intercept dan trend (slope) ∆ Yt = δ Yt-1 + α i 𝑚 𝑖=1 ∆ Yt-1 + εt Penentuan Lag (Ordo) Optimal Penentuan lag dalam sistem VAR sangat penting dalam estimasi model VAR. Lag yang optimal dibutuhkan untuk menangkap pengaruh dari setiap peubah terhadap peubah lainnya. Penentuan lag optimal dapat menggunakan beberapa indikator seperti LR (sequential modified likehood ratio test statistic), AIC (akaike information criterion), SC (schwarz information criterion), FPE (final prediction error), HQ (Hannan Quinn information criterion). Kriteria pemilihan lag yang optimal adalah pada LR terbesar atau pada AIC, SC, FPE, dan HQ dengan nilai terkecil. Selain itu, indikator yang penting untuk menentukan lag yang optimal adalah R2 adjusted yang terbesar. R2 adjusted dapat memberikan keputusan yang lebih tepat daripada R2, terutama untuk membandingkan regresi dengan variabel terikat yang sama. Hal ini disebabkan perhitungan R2 adjusted memberi penimbang pada SST dan SSE, baik jumlah variabel bebas dalam model, maupun jumlah sampel. Namun, dalam penentuan persamaan dengan lag optimal,
32
dipertimbangkan pula jumlah lag yang digunakan. Semakin panjang lag, semakin banyak kehilangan bahan observasi, sehingga data yang dibutuhkan harus semakin banyak pula.
Uji Kausalitas Uji kausalitas adalah pengujian untuk menentukan hubungan sebab-akibat antar peubah dalam sistem VAR. Uji ini menunjukkan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau hanya satu arah saja. Uji Granger merupakan salah satu alat uji kausalitas. Pada pengujian ini, yang dilihat adalah pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang dibutuhkan adalah time series. Uji kausalitas dalam penelitian ini , menggunakan hipotesis sebagai berikut: (i) H0: Harga beras pengumpul besar Cianjur tidak mempengaruhi harga gabah petani Cianjur H1: Harga beras pengumpul besar Cianjur mempengaruhi harga gabah petani Cianjur (ii) H0: Harga beras pengecer Cianjur tidak mempengaruhi harga gabah petani Cianjur H1: Harga beras pengecer Cianjur mempengaruhi harga gabah petani Cianjur (iii) H0: Harga beras pedagang Cipinang tidak mempengaruhi harga gabah petani Cianjur H1: Harga beras pedagang Cipinang mempengaruhi harga gabah petani Cianjur (iv) H0: Harga beras pengecer Cianjur tidak mempengaruhi harga beras pengumpul besar Cianjur H1: Harga beras pengecer Cianjur mempengaruhi harga beras pengumpul besar Cianjur (v) H0: Harga beras pedagang Cipinang tidak mempengaruhi harga beras pengumpul besar Cianjur H1: Harga beras pedagang Cipinang mempengaruhi harga beras pengumpul besar Cianjur (vi) H0: Harga beras pedagang Cipinang tidak mempengaruhi harga beras pengecer Cianjur H1: Harga beras pedagang Cipinang mempengaruhi harga beras pengecer Cianjur
Analisis Kointegrasi Terdapat data yang tidak stasioner, namun bergerak bersama sepanjang waktu. Terdapat pengaruh atas serial tersebut, seperti pengaruh kekuatan pasar, yang mengimplikasikan bahwa kedua serial tersebut terikat dalam hubungan jangka panjang. Hal ini dapat disebabkan variabel-variabel yang saling terkointegrasi bisa terdeviasi dari hubungan tersebut dalam jangka pendek, namun hubungannya akan kembali terbentuk dalam jangka panjang (Hakim 2014). Uji kointegrasi adalah pengujian terhadap kombinasi linear antara variabelvariabel yang tidak stasioner. Model unrestricted VAR diuji dengan persamaan:
33
Zt = ∏ Zt-1 + ... + ∏k Zt-k + ɸ Dt + μ + εt Kointegrasi yang terjadi dapat dilihat dari dua uji statistik, yaitu trace test (λ trace (r)) dan maximum eigenvalue test (λmax), dimana persamaannya adalah: λ trace = T ∑ ln (1-λi) λ max (r, r+1) = -T ∑ ln (1- λr+1) dimana r adalah jumlah vektor dari vektor kointegrasi pada hipotesis nol dan λ i adalah estimasi nilai ke-i ordo eigenvalue dari matriks∏. Setiap eigenvalue berasosiasi dengan vektor kointegrasi menjadi eigenfactor. Uji Johansen merupakan uji kointegrasi yang menyediakan titik kritis untuk trace test dan maximum eigenvalue test. Apabila uji statistik lebih besar dari titik kritis, maka tolak H0. Artinya, terdapat vektor kointegrasi r antara variabel bebas. Adapun hipotesis yang digunakan adalah: H0: r=0 dan H1: r=1 H0: r≤1 dan H1: r=2 H0: r≤2 dan H1: r=3 Apabila H0: r= 0 tidak ditolak, artinya tidak terdapat vektor berkointegrasi dan tahapan berikutnya tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan apabila H0: r=0 ditolak, artinya terdapat satu vektor yang berkointegrasi dan uji hipotesis dilanjutkan sampai hipotesis H0 tidak ditolak.
Estimasi VAR dan VECM Peubah bebas yang ada dalam semua persamaan VAR adalah sama sehingga estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode OLS pada setiap persamaan. Apabila data yang digunakan telah stasioner pada level maka model VAR yang digunakan adalah unrestricted VAR. Model ini sendiri memiliki dua bentuk, yakni VAR in level dan VAR in diffrence. VAR in level digunakan saat data tidak stasioner pada level sehingga harus distasionerkan dulu, sebelum menggunakan model VAR. Sedangkan VAR in diffrence digunakan saat data tidak stasioner pada level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi. Vector error correction model (VECM) merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Retriksi dilakukan karena data tidak stasioner, namun terkointegrasi. Spesifikasi VECM meretriksi hubungan jangka panjang peubah endogen dalam persamaan, agar konvergen dalam kointegrasinya. Namun, spesifikasi VECM tetap membiarkan dinamisasi pada jangka pendek. Dalam model VECM, terdapat koefisien error correction term (ECT), yakni ukuran kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang antar pasar. Koefisien yang semakin besar menunjukkan semakin cepat penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang. Berikut Gambar 7 menunjukkan sistematika pengolahan VAR.
34
Data time series Pengujian akar unit
Data stasioner pada level
Data stasioner pada first diffrence
Unrestricted VAR
Uji Kointegrasi
Tidak ada Kointegrasi
Terdapat Kointegrasi
VAR in diffrence
VECM
Gambar 7 Sistematika Pengolahan Vector Autoregression (VAR) Sumber: Juanda dan Junaidi (2012)
Impulse Response Model VAR dapat pula digunakan melihat dampak perubahan dari suatu peubah terhadap peubah lain dalam sistem secara dinamis. Hal ini dilakukan dengan memberikan guncangan (shocks) pada salah satu peubah endogen. Dalam penelitian ini, peubah yang dimaksud adalah harga gabah di tingkat petani Cianjur, harga beras di pengumpul besar, pengecer Cianjur, dan harga beras di pedagang Pasar Cipinang. Guncangan (innovations) yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari peubah tersebut. Pengaruh guncangan sebesar satu standar deviasi yang dialami oleh satu peubah dalam sistem terhadap nilai-nilai peubah saat ini dan beberapa periode mendatang disebut sebagai teknik Impulse Response Function (IRF). Model VAR dapat ditulis dalam bentuk Vector Moving Avarage (VMA) sebagai berikut: Yt = μ + Vt + A1Vt-1+ A2V t-2 + ApVt-p Apabila vektor Vt naik sebesar vektor d, maka dampak terhadap Yt+s (untuk s>0) diberikan oleh Asd. Hal ini digambarkan dalam matriks: As =
𝜕
y 𝑡+𝑠
V𝑡 dimana As adalah dampak kenaikan satu unit Vt terhadap Yt+s. Dampak tersebut diplot dengan s (s> 0). Inilah yang disebut IRF. 𝜕
35
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur Kecamatan Cibeber merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur. Kecamatan Cibeber secara geografis terletak di 6°52’ Lintang Selatan dan 107°02’-107°13’ Bujur Timur dengan batas wilayah : Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Warungkondang, Kecamatan Cilaku, Kecamatan Sukaluyu dan Kecamatan Bojongpicung Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Campaka Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Kecamatan Cibeber memiliki ketinggian rata-rata 490 meter dari permukaan laut (mdpl). Desa dengan lokasi tertinggi ialah Karangnunggal dengan tinggi 714 mdpl dan terendah ialah Girimulya dengan tinggi 400 mdpl. Jarak antara Kecamatan Cibeber dengan Pasar Induk Cianjur sekitar 17 km. Sedangkan jarak antara Kecamatan Cibeber dengan Pasar Induk Cipinang, Jakarta sekitar 118 km. Kondisi jalan dari Cibeber ke kedua pusat pasar tersebut relatif baik. Akses jalan tol juga dapat dimanfaatkan untuk menuju Pasar Cipinang tersebut. Luas Kecamatan Cibeber adalah 108.3 km² dengan jumlah penduduk 117 410 jiwa pada tahun 2013. Kecamatan Cibeber terdiri dari 18 desa, 164 RW dan 548 RT. Laju pertumbuhan penduduknya 0.88 dan kepadatan penduduk lebih dari 892 orang per km². Nilai sex ratio atau perbandingan penduduk laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah sebesar 107.97. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Penduduk Kabupaten Cianjur pada umumnya bekerja sebagai petani, begitu pula di Kecamatan Cibeber. Di kecamatan ini, terdapat 41% keluarga yang berusaha di sektor pertanian dan 59 persen tersebar di berbagai sektor nonpertanian (Statisika Daerah Kecamatan Cibeber Tahun 2012). Padi merupakan salah satu komoditi yang paling banyak diusahakan di Kecamatan Cibeber sehingga menjadikan kecamatan ini termasuk produsen padi terbesar dibandingkan 31 kecamatan lainnya di Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2013 kecamatan ini menghasilkan 51 072 ton GKP dari total GKP yakni 1 004 554 di Kabupaten Cianjur. Karakteristik Responden Petani Petani sebagai responden penelitian ini berjumlah 30 orang dan ditentukan syarat petani tersebut merupakan petani yang mengusahakan padi varietas Ciherang dan melakukan penjualan hasil panennya pada bulan Januari-Maret 2014. Sebanyak 10 petani diambil dari setiap desa sampel, yakni Cisalak, Karangnunggal dan Salamnunggal. Luas lahan sawah di daerah tersebut masingmasing adalah 132.80 ha, 195.65 ha, dan 195 ha. Sistem pengairan sawah petani responden Cisalak adalah menggunakan irigasi sederhana sedangkan di
36
Karangnunggal dan Salamnunggal menggunakan sistem tadah hujan. Selain itu petani di Cisalak telah dapat melakukan pemanenan 3 kali dalam setahun sedangkan di Desa Karangnunggal dan Salamnunggal memiliki rata-rata 2 kali musim panen dalam setahun. Secara umum, petani responden dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan terakhir, pengalaman usaha padi, luas lahan dan status lahan yang diusahakan. Petani responden di 3 desa sampel di Kecamatan Cibeber didominasi oleh petani yang berusia lebih dari 40 tahun dimana totalnya mencapai 26 orang (86.6%). Angkatan kerja yang usianya kurang dari 40 tahun pada umumnya lebih memilih bekerja di sektor non pertanian termasuk menjadi buruh/karyawan. Hal ini disebabkan luas lahan yang diusahakan terbatas dan minat terhadap usaha pertanian semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena penghasilan tetap apabila menjadi buruh/karyawan membuat mereka lebih meminati pekerjaan tersebut. Berikut Tabel 3 yang menunjukkan sebaran petani responden berdasarkan usia. Tabel 3 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia Usia Petani (Tahun) 21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Total
Jumlah Responden (Orang) 2 2 9 8 9 30
Persentase(%) 6.7 6.7 30.0 26.6 30.0 100.0
Petani yang menjadi responden dalam penelitian didominasi oleh petani yang berpendidikan terakhir sekolah dasar atau sederajat, yakni 27 orang (90%). Hal ini dapat mempengaruhi sumber daya di sektor pertanian padi tersebut menjadi rendah. Informasi pasar dan peluang menjadi lebih sulit dimanfaatkan. Petani cenderung berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsisten). Sebaran petani berdasarkan tingkat pendidikan terakhirnya ditunjukkan oleh Tabel 4. Tabel 4 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir Pendidikan Terakhir SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Total
Jumlah Responden (Orang) 27 2 1 30
Persentase (%) 90.0 6.7 3.3 100.0
Sebaran petani berdasarkan lama pengalaman usahatani pada Tabel 5. Sebaran menunjukkan bahwa mereka telah menekuni usaha tersebut dalam waktu yang panjang. Petani yang pengalamannya lebih dari 20 tahun berjumlah 25 (86.7%). Hal ini seharusnya mendorong kemampuan mereka terutama dalam teknik budidaya dan pemasaran produk mereka. Namun, pada umumnya usaha
37
dipilih dan tetap bertahan pada usahatani tersebut justru karena kesulitan untuk mencari pekerjaan lain karena pendidikan rendah. Tabel 5 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Usahatani Padi Pengalaman Usahatani Padi (Tahun) 5-10 11-20 21-30 >30 Total
Jumlah Responden (Orang) 1 3 9 17 30
Persentase (%) 3.3 10.0 30.0 56.7 100.0
Umumnya luas lahan yang diusahakan oleh petani responden kurang dari 0.59 ha. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 6. Di sisi lain, hal ini juga dapat mempengaruhi lemahnya posisi tawar petani sebagai individu dalam sistem tataniaga akibat ukuran usaha yang rendah. Petani yang luas lahannya kurang dari 0.59 ha berjumlah 26 orang (86.7%). Tabel 6 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Padi Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Luas Lahan (Hektar) 0.10-0.59 0.60-1.00 >1.00 Total
26 1 3 30
86.7 3.3 10.0 100.0
Berdasarkan status kepemilikan lahan usahatani padi, terdapat petani yang memiliki lahan secara pribadi sejumlah 14 orang (46.7%). Petani yang menggarap lahan berjumlah 5 orang (16.7%). Sistem garap yang dimaksud adalah petani berusaha di lahan orang lain dimana hanya biaya pupuk dan tenaga kerja pemanenan yang ditanggung bersama oleh petani dan pemilik lahan, selebihnya ditanggung oleh petani. Sistem sewa yang berlaku adalah petani menanggung seluruh biaya budidaya dan pemanenan dimana lahan yang diusahakannya adalah milik orang lain. Sebagai biaya sewa, petani harus memberikan 300 kg GKP kepada pemilik lahan untuk setiap hektar lahan yang disewanya. Petani yang menggunakan sistem sewa adalah 4 orang (13.3%). Selengkapnya mengenai status kepemilikan lahan responden ditunjukkan oleh Tabel 7. Tabel 7 Sebaran Petani Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Usahatani Padi Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Status Kepemilikan Lahan Milik Pribadi Garap Sewa Milik Pribadi dan Garap Milik Pribadi dan Sewa Total
14 5 4 6 1 30
46.7 16.7 13.3 20.0 3.3 100.0
38
Penggilingan Jumlah penggilingan padi di Cianjur mencapai 2 028 unit. Penggilingan kecil mendominasi jumlah penggilingan di Cianjur. Hal ini ditunjukkan oleh Lampiran 1. Hal ini sesuai dengan gambaran umum kondisi penggilingan di Indonesia. Penggilingan padi skala kecil jumlahnya 94.13% dari total penggilingan, dimana penggilingan tersebut umumnya merupakan investasi dari tahun 1980-an. Penggilingan kecil umumnya hanya memiliki mesin pemecah dan penyosoh. Penggilingan kecil juga biasanya memiliki kualitas atau rendemen yang kurang baik (Sawit dalam Putri, Kusnadi, Rachmina 2013). Dalam penelitian ini, terdapat 3 lembaga berbeda yang memiliki mesin penggilingan. Pertama, penggilingan tingkat desa yang berskala kecil, yakni kapasitas penggilingan kurang dari 65 kg beras/hari. Penggilingan kecil ini biasanya memperoleh GKP dari desa yang sama dengan lokasi penggilingan tersebut beroperasi. Terdapat 1 penggilingan desa sebagai responden, yakni milik Pak Fahrudin di Desa Karangnunggal. Kedua, pengumpul besar yang juga memang memiliki mesin penggilingan. Lembaga ini merupakan lembaga yang mengumpulkan GKP dari petani atau tengkulak, kemudian menjual GKG kepada penggilingan lainnya. Namun, lembaga tersebut juga memiliki mesin penggilingan atau pengolahan, sehingga lembaga ini juga menghasilkan beras untuk dijual kepada lembaga lainnya. Responden dengan kriteria tersebut dalam rantai pasok berjumlah 2 unit. Masing-masing adalah milik Bapak Haji Sukron di Salamnunggal dan Bapak Rohidin di Cisalak. Kedua unit ini rata-rata berkapasitas penggilingan diatas 3 ton beras/hari. Lembaga lainnya adalah pabrik beras yang mendapatkan gabah dari pengumpul besar. Lembaga ini memiliki mesin penggilingan atau pengolahan yang lebih canggih, dimana kapasitas penggilingan mencapai 20 ton beras/hari. Responden dengan kriteria ini dalam saluran rantai pasok berjumlah 1 unit, yakni PB Jayasa. Responden penggilingan dalam penelitian ini semuanya telah beroperasi lebih dari 10 tahun.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Sasaran Rantai Sasaran Rantai menjelaskan hal yang menjadi tujuan rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur. Sasaran rantai dapat dianalisis dari 2 sisi, yakni sasaran pasar dan sasaran pengembangan.
Sasaran Pasar Gabah sebagai hasil panen petani di Cianjur, yang kemudian diolah menjadi beras, dipasarkan ke berbagai daerah di dalam negeri. Konsumen beras dari Cianjur ini bukan hanya berasal dari daerah tersebut, namun juga banyak di kota lain seperti Jakarta, Bogor, Depok. Beras dari Cianjur telah memiliki citra yang relatif cukup baik dibandingkan dengan beras dari daerah produsen lainnya di Indonesia, seperti Karawang. Beras dari Cianjur pada umumnya disukai karena beras tersebut bertekstur pulen setelah dimasak dan memiliki aroma yang disukai konsumen. Citra yang baik dari daerah Cianjur ini pula yang menyebabkan
39
banyaknya produsen beras dari daerah lain menjual berasnya dengan menggunakan nama beras Cianjur. Selain pasar domestik, terdapat pula padi varietas lokal dari Cianjur yakni Pandan Wangi, yang telah cukup banyak dipasarkan di pasar internasional, seperti ke Korea. Harga dan segmen pasarnya cukup jauh berbeda dengan pasar dari beras hasil varietas lokal Cianjur atau varietas nasional lainnya. Pada penelitian ini tidak dibahas lebih lanjut terkait kinerja dari rantai pasok beras pandan wangi tersebut. Pengecer, baik yang berada di dalam maupun luar Kabupaten Cianjur, menjual beras dari Cianjur dengan menetapkan sistem grading. Sistem grading sebenarnya sudah dilaksanakan oleh anggota rantai pasok sebelumnya, seperti pabrik beras dan pedagang besar, namun tetap dilakukan kembali oleh pedagang pengecer sebelum menjual beras kepada konsumen. Beberapa hal yang menjadi dasar bagi pedagang untuk menentukan grading beras menjadi kualitas 1, 2, atau 3 adalah butir patah, menir, kotoran lain yang tercampur, dan derajat sosoh beras (Rachmat et al. 2006). Untuk mendapatkan kualitas 2, pengecer biasanya mencampurkan beras kualitas baik atau kualitas 1 dengan beras yang kualitasnya lebih rendah atau kualitas 2. Sistem grading seperti ini cukup membantu konsumen untuk membeli beras sesuai tingkat kepuasan yang ingin diperolehnya.
Sasaran Pengembangan Sasaran pengembangan rantai pasok menjelaskan usaha pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok untuk mencapai target-target rantai pasok selanjutnya. Sasaran pengembangan rantai pasok beras di Cianjur adalah meningkatkan kuantitas dari padi-padi varietas lokal Cianjur yang berkualitas. Citra beras Cianjur yang telah baik bagi konsumen dapat dimanfaatkan dalam hal pemasarannya. Hal ini tentu membutuhkan pendampingan terhadap kelompok tani terkait teknik budidaya dan pasar yang dapat memberikan keuntungan terhadap produsen dan anggota rantai pasok yang terlibat. Struktur Rantai Pasok Struktur rantai pasok menjelaskan aktivitas-aktivitas pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok beras. Terdapat beberapa lembaga yang terlibat dalam rantai pasok beras di Cianjur. Lembaga-lembaga yang terlibat adalah petani, tengkulak, penggilingan (desa), pengumpul besar, pabrik beras, pedagang besar (kabupaten), pedagang Pasar Induk Cipinang (luar kabupaten), dan pengecer di dalam dan luar Kabupaten Cianjur.
Petani Pada umumnya, petani di kabupaten Cianjur memiliki ukuran usaha yang kecil, yakni kurang dari 0.5 ha. Petani di Kabupaten Cianjur pada umumnya menanam padi dengan varietas ciherang, IR64, sintanur, pandan wangi dan beberapa varietas lokal cianjur lainnya. Hampir seluruh petani menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Hal ini berbeda dengan petani di Pati yang umumnya menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering giling
40
(Ariwibowo 2013). Hal ini disebabkan kebutuhan petani akan uang tunai secara langsung, baik untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup maupun sebagai modal untuk usaha selanjutnya. Selisih harga GKP dengan gabah kering giling (GKG), yakni sekitar Rp 500- Rp 1 000, ternyata tidak terlalu mempengaruhi petani untuk menjual hasil panennya dalam bentuk GKG. Selain karena kebutuhan uang tunai seperti yang disampaikan sebelumnya, petani juga tidak mau menjemur gabahnya karena tidak memiliki lantai jemur dan menambah beban kerjanya (Sobichin 2012). Setiap 1 000 kg gabah biasanya membutuhkan lantai jemur seluas 250m². Terdapat 3 pilihan tujuan penjualan gabah bagi petani, yakni tengkulak, penggilingan desa, dan pengumpul besar. Adanya pilihan tujuan penjualan bagi petani mengimplikasikan bahwa petani sebenarnya tidak selalu berada pada posisi yang lemah. Saat petani merasa dirugikan, petani memiliki kebebasan untuk beralih kepada tujuan penjualan lain. Petani yang menjual hasil panennya ke tengkulak dalam penelitian ini sekitar 96.47%. Harga yang dibayarkan tengkulak untuk membeli GKP petani sekitar Rp 3 500- Rp 3 700/ kg. Harga yang dibayarkan oleh tengkulak ini dipengaruhi oleh tujuan penjualannya selanjutnya. Tengkulak menjadi pilihan yang paling banyak digunakan oleh petani dalam menjual hasil panennya. Tengkulak biasanya mendatangi petani-petani saat mendekati musim panen untuk membuat kesepakatan agar hasil panen dijual kepadanya. Tengkulak yang menjemput hasil panen petani pun menjadi pilihan bagi petani karena petani memang membutuhkan proses yang cepat. Selain itu, hubungan atau kerjasama yang telah berlangsung cukup lama antara tengkulak dan petani, menciptakan keterikatan sosial bagi petani. Petani merasa sungkan apabila harus menolak pembelian gabah oleh tengkulak yang dianggapnya telah lama membantunya. Selain itu, petani memang memiliki keterbatasan alat transportasi apabila harus menjual panennya ke tempat lain. Sistem penjualan ke tengkulak dapat dilakukan pula sebelum masa panen. Dengan sistem ini, terdapat proses prediksi jumlah gabah hasil panen yang akan dihasilkan oleh lahan tersebut. Tengkulak akan membayarkan hasil gabah yang diperkirakannya kepada petani. Biaya yang dibayarkan tengkulak pada sistem ini biasanya telah dikurangi dengan biaya tenaga kerja panen yang akan dikeluarkan oleh tengkulak. Jadi, tenaga pemanenan juga sebenarnya ditanggung oleh petani. Untuk setiap 1ha lahan, biasanya membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10-20 orang, dengan upah masingmasing sebesar Rp 30 000. Tenaga panen tersebut juga bertanggung jawab dalam menyortir dan mengemas gabah ke dalam karung. Tujuan penjualan lain bagi petani dalam saluran rantai pasok adalah penggilingan (0.78%) dan pengumpul besar (2.08%). Rata-rata harga yang dibayarkan oleh penggilingan untuk setiap kg GKP adalah Rp 3 600. Sedangkan rata-rata harga yang dibayarkan oleh pengumpul besar pada pembelian gabah adalah Rp 3 700/kg.
Tengkulak Tengkulak dalam rantai pasok beras di Cianjur memiliki hubungan yang cukup kuat, baik dengan para petani maupun lembaga lain yang menjadi tujuan penjualannya, seperti pengumpul besar. Tengkulak selalu menjadi pilihan utama bagi petani dalam memasarkan hasil panennya. Petani sangat jarang mempertimbangkan kemungkinan harga pembelian yang lebih tinggi di lembaga lainnya dalam rantai pasok. Petani cukup merasa terbantu dengan keberadaan
41
tengkulak selama ini yang mau menjemput hasil panennya secara langsung dan melakukan proses pembayaran yang cukup cepat kepadanya, yakni paling lama seminggu setelah pengangkutan hasil panen oleh tengkulak. Tengkulak juga memiliki ikatan yang cukup kuat dengan pengumpul besar. Dibandingkan dengan petani, tengkulak memperoleh rata-rata harga pembelian gabah yang lebih tinggi oleh pengumpul besar sebesar Rp 100. Rata-rata harga jual petani, baik kepada tengkulak maupun pengumpul besar adalah sama, yakni Rp 3 700. Jadi, petani tidak memperoleh harga yang lebih baik apabila secara langsung menjual gabahnya kepada pengumpul besar. Sebagian besar tengkulak membeli hasil panen petani dalam bentuk GKP dan menjualnya kembali ke lembaga lainnya dalam bentuk GKP juga. Tengkulak, saat melakukan pembelian, juga memeriksa kualitas gabah terutama kadar airnya, butir hampa, dan butir kuning atau butir rusak. Tidak terdapat alat ukur dalam penentuan kualitas gabah, namun hanya menggunakan penglihatan saja. Selisih gabah yang baik dan buruk dapat mencapai Rp 300, namun biasanya posisi tengkulak lebih kuat dalam menentukan kualitas gabah dibandingkan posisi petani (Maulana dan Rachman dalam Maulana 2012). Semakin tinggi kadar air, kualitas gabah akan semakin buruk. Butir hampa yang semakin tinggi, ditunjukkan isi dalam setiap gabah, semakin sedikit isi gabah maka kualitas gabah semakin buruk. Sedangkan butir kuning atau butir rusak pada gabah menunjukkan bahwa kondisi gabah semakin buruk karena penyimpanan yang terlalu lama atau penjemuran yang kurang baik. Semakin buruk kualitas gabah, harga beli tengkulak akan semakin rendah bahkan dapat ditolak oleh tengkulak tersebut. Sebelum mendekati musim panen, tengkulak telah menentukan kesepakatan dengan para petani agar menjual gabah kepadanya. Beberapa tengkulak melakukan pembelian langsung kepada para petani dengan melakukan prediksi hasil panen yang akan dihasilkan oleh lahan petani. Hasil panen yang diangkut dari lahan petani biasanya secara langsung dijual kepada penggilingan desa maupun pengumpul besar. Kadang, tengkulak melakukan penyimpanan sampai 2 hari. Biaya yang dikeluarkan tengkulak diantaranya adalah biaya tenaga kerja untuk pemuatan dan bongkar muat, masing-masing Rp 10 000 untuk 1 ton gabah. Biaya transportasi juga ditanggung oleh tengkulak.
Penggilingan (desa) Saat musim panen, dimana gabah berlimpah, terdapat penggilingan yang menampung hasil panen petani, seperti yang terdapat di Desa Karangnungal, Cianjur. Penggilingan tingkat desa ini memiliki kapasitas penggilingan sekitar 65 kg beras/hari. Penggilingan biasanya melakukan pembelian gabah dari petani atau tengkulak yang berasal dari desa yang sama dengan lokasi penggilingan tersebut. Harga pembelian yang ditetapkan oleh penggilingan ini biasanya lebih rendah Rp 100- Rp 200 dari harga pembelian yang dilakukan oleh pengumpul besar. Namun, penggilingan yang biasanya beroperasi saat musim panen, tetap memperoleh penawaran gabah. Penggilingan juga sering menjadi pilihan karena lokasinya yang sangat berdekatan dengan lahan petani. Tenaga kerja yang dimilliki penggilingan biasanya hanya 2-3 orang, termasuk untuk penjemuran, pengolahan, penyortiran, pengemasan, maupun distribusi ke pengecer. Beras yang dijual
42
kepada pengecer atau konsumen yang datang secara langsung, dijual menggunakan karung polos.
Pengumpul Besar Terdapat anggota rantai pasok di Kabupaten Cianjur yang bukan hanya berfungsi sebagai pengolah gabah menjadi beras, namun juga membeli gabah dari tengkulak atau petani secara langsung untuk dijual ke pabrik beras yang lebih besar skala usahanya. Gabah yang diterima oleh pengumpul besar ini biasanya langsung dijemur oleh pengumpul besar ini. Hal ini untuk menjaga kualitas gabah saat diolah menjadi beras. Gabah yang diterima oleh lembaga ini tetap menjalani sistem grading seperti yang dilakukan tengkulak kepada petani. Di sisi lain, sebagian gabah yang dijemur menjadi GKG kemudian digiling, disortir kembali, dan dikemas. Beras kemudian dijual ke pedagang besar di Kabupaten Cianjur atau pengecer di luar Kabupaten, seperti di daerah Jakarta. Penyortiran meliputi beberapa hal seperti memisahkan kotoran yang terdapat dalam beras, melihat derajat sosoh atau terpisahnya lapisan katul dengan butiran beras, melihat menir dan butir patah yang yang terdapat dalam beras. Proses ini menghasilkan beras dengan kualitas berbeda. Beras dengan kualitas baik harganya dapat lebih tinggi Rp 500/kg nya. Beras kemudian dijual dalam berbagai ukuran kemasan, mulai dari ukuran 5kg, 10kg, 25kg, 50 kg. Beras kemudian dijual dengan menggunakan merek dari pengumpul besar tersebut.
Pabrik Beras Pabrik beras memperoleh gabah dari pengumpul besar. Pengumpul besar tersebut berasal dari berbagai daerah, termasuk Karawang. Pabrik beras sangat membutuhkan pasokan gabah karena pabrik telah memiliki mesin-mesin dengan kapasitas pengolahan yang besar. Pabrik beras merupakan anggota rantai pasok yang paling mengalami kesulitan saat tidak mendapatkan pasokan gabah. Pabrik akan dirugikan karena pabrik telah mengeluarkan biaya tetap dalam jumlah besar, seperti biaya mesin-mesin pengolahan. Besarnya biaya tetap yang dikeluarkan oleh pabrik beras mengimplikasikan bahwa pabrik juga akan sangat sulit untuk beralih usaha. Untuk memenuhi kontinuitas pasokan gabahnya, pabrik bahkan memiliki jaringan pengumpul dari luar daerahnya. Pabrik Beras Jayasa merupakan salah satu pabrik beras dengan skala dan kapasitas terbesar di Cianjur yang menjadi anggota rantai pasok beras di Cianjur. Saat tidak mendapatkan gabah dari pengumpul, pabrik cenderung tidak dapat memanfaatkan mesin-mesin yang telah dimilikinya. Jumlah beras yang dapat dihasilkannya setiap hari adalah 20 ton beras. Beras yang diolahnya hampir selalu didistribusikan ke pedagang di perkotaan, seperti pedagang beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta. Hal ini dilakukan karena pedagang di Pasar Induk Cipinang mampu membeli beras dalam jumlah besar secara berkelanjutan. Sistem grading juga dilakukan oleh pabrik beras, baik saat menerima gabah maupun menjual beras. Kualitas beras pada PB Jayasa juga dapat lebih baik karena adanya proses pemolesan dan pengeringan menggunakan mesin. PB Jayasa juga berencana memasukkan berasnya ke supermarket. Namun, untuk dapat masuk ke supermarket dibutuhkan beras yang secara konsisten berkualitas baik.
43
Terdapat hasil sampingan yang dapat dimanfaatkan oleh pabrik beras untuk dijual atau digunakan kembali pada setiap penggilingan gabah. Hasil sampingan tersebut adalah dedak, abu gosok, dan sekam. Jumlah dedak yang dihasilkan dapat mencapai 20% dari setiap jumlah gabah yang digiling. Harga setiap kg dedak adalah Rp 2 300- 2 700. Selain itu, hasil sampingan dari proses penggilingan adalah abu gosok atau abu padi. Setiap penggilingan 1 ton gabah dapat menghasilkan 2.5 karung abu padi. Abu tersebut kemudian dijual dengan harga Rp 5 000/karung. Hasil lain yang dimanfaatkan kembali untuk proses penggilingan adalah sekam. Sekam digunakan untuk membantu proses pembakaran mesin. Setiap 100 karung sekam dapat dimanfaatkan untuk penggilingan 40 ton gabah. Dari proses penggilingan 40 ton gabah tersebut, kemudian dihasilkan kembali sekitar 50 karung sekam.
Pedagang Besar (kabupaten) Terdapat pedagang besar di Kabupaten Cianjur yang menjadi anggota rantai pasok beras dari Cibeber. Pedagang besar merupakan anggota rantai pasok yang melakukan pembelian dan penjualan beras. Pedagang besar tidak memiliki fungsi pengolahan. Sistem grading juga dilakukan oleh besar. Beberapa hal yang diperhatikan dalam sistem grading adalah derajat sosoh beras, warna dan aroma beras, butir patah, dan banyaknya kotoran yang tercampur dalam beras. Rata-rata pedagang besar tersebut memiliki gudang penyimpanan dengan kapasitas 10 ton beras. Dalam distribusi ke pengecer, pedagang besar juga mengeluarkan biaya transportasi, pemuatan, dan bongkar muat. Dalam proses penjualan, terdapat pula konsumen yang melakukan pembelian langsung ke pedagang besar di Cianjur tersebut. Konsumen tersebut membeli beras dari pedagang besar dengan harga yang sama seperti harga yang ditetapkan pedagang besar kepada pengecer.
Pedagang Pasar Induk Cipinang (luar kabupaten) Pedagang beras di Pasar Induk Cipinang juga menjadi anggota rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur. Pasar ini berjarak sekitar 118 km dari Kecamatan Cibeber. Rasio beras dari Cianjur yang masuk ke Pasar Cipinang sebenarnya relatif sedikit, yakni sekitar 1.14 % dari total beras yang masuk (FSTJ dalam Surjasa et al. 2013). Pemasok utama ke Pasar Cipinang berasal dari Karawang dan Cirebon. Namun, beras dari Cianjur dikategorikan sebagai beras premium, dimana harganya dapat lebih tinggi sekitar Rp 2 000 dibandingkan dengan harga beras dari daerah lain. Pedagang di Cipinang memiliki gudang penyimpanan yang cukup besar untuk menyimpan beras. Setiap gudang penyimpanan yang dimiliki oleh pedagang di Cipinang bahkan dapat menampung lebih dari 500 ton beras. Selain gudang penyimpanan, pedagang di Cipinang juga dapat memiliki toko sebagai tempat penjualan. Seluruh sarana tersebut diatur oleh PT. Food Station. Terdapat sekitar 104 unit gudang, pada luas lahan 36 ha, dengan daya tampung total adalah sekitar 200 000 ton. Selain gudang, terdapat sekitar 738 unit toko, dengan daya tampung total sekitar 25 000 ton pada lahan 16 ha. Jumlah perputaran beras sekitar 6 000 ton/hari dengan total omzet mencapai Rp 50 milyar/hari. Pedagang di Cipinang juga dapat memanfaatkan jasa angkutan yang disediakan oleh PT. Food Station. Terdapat 240 armada dengan daya angkut 2.5
44
ton/unit untuk tujuan pengangkutan ke Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, terdapat 40 armada dengan daya angkut 10 ton/unit. Pedagang beras di Cipinang melakukan sistem grading. Standar penetapan grade beras oleh pedagang di Cipinang ini sering menjadi acuan bagi pabrik beras dan anggota rantai pasok sebelumnya. Beberapa pedagang di Cipinang juga melakukan sortir kembali seperti yang dilakukan oleh pabrik beras dan mengemas beras dengan menggunakan merek dari pedagang tersebut. Hampir semua beras yang dimiliki pedagang dijual ke pengecer. Pengecer umumnya berada di daerah perkotaan seperti Jakarta, Depok, dan Bogor. Apabila ingin menjual ke pengecer, pedagang biasanya mengeluarkan biaya transportasi, retribusi pada pihak pengelola pasar, pemuatan, dan bongkar muat. Selain itu, biaya lain yang cukup besar harus dikeluarkan oleh pedagang adalah biaya penyewaan gudang. Di Cipinang, biaya sewa gudang mencapai Rp 180 juta per tahunnya.
Pengecer Pengecer hanya melakukan aktivitas jual-beli beras atau fungsi pertukaran. Namun, pengecer pada umumnya tidak melakukan fungsi pengangkutan. Beras yang diantar oleh pemasok kepadanya, akan dijual kembali pada konsumen yang datang kepadanya. Pada umumnya, harga pada setiap kualitas beras yang ditetapkan oleh pemasok menjadi acuan juga pada pengecer. Pengecer yang memiliki skala usaha yang kecil mendapat posisi tawar yang relatif lebih rendah saat bernegosiasi dengan pemasok. Pada rantai pasok beras di Cibeber, pengecer yang terlibat sebagai anggota rantai pasok bukan hanya berada di Kabupaten Cianjur, namun juga melibatkan pengecer dari luar kabupaten itu, seperti pengecer di Jakarta. Pengecer yang berada diluar Cianjur, seperti Jakarta, rata-rata memiliki kapasitas penyimpanan 5 ton. Sedangkan untuk pengecer di dalam kabupaten, seperti di Pasar Cianjur, rata-rata pengecer memiliki kapasitas penyimpanan sebesar 3 ton. Pengecer di Pasar Cianjur harus mengeluarkan biaya sewa tempat sebesar Rp 10 000/ hari. Biaya ini diluar biaya retribusi dari pemerintah daerah sebesar Rp 1 000/ hari dan biaya hak guna pakai sebesar Rp 20 juta/25 tahun. Dalam proses penjualan, pengecer juga mengeluarkan biaya tenaga kerja untuk melayani konsumen. Beras yang dijual kadang dicampur oleh pengecer untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh beberapa pengecer di Cianjur, 50% beras seharga Rp 8 200 dicampur dengan 50% beras seharga Rp 8 500. Beras campuran tersebut kemudian kembali dijual dengan harga Rp 8 500. Hal ini yang menyebabkan standar kualitas beras yang telah ditetapkan oleh pedagang besar sering berbeda dengan yang dijual oleh pengecer. Manajemen Rantai Pasok Manajemen rantai pasok terdiri dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan aktivitas bersama dalam rantai pasok beras di Kabupaten Cianjur. Beberapa hal yang perlu dikaji dalam proses manajemen rantai pasok tersebut adalah pemilihan mitra, kesepakatan kontraktual, dukungan pemerintah, dan kolaborasi rantai pasok.
45
Pemilihan Mitra Mitra yang dipilih oleh setiap anggota rantai pasok didasari berbagai pertimbangan. Kinerja mitra dan tanggung jawab mitra dalam setiap kesepakatan tentu sangat mempengaruhi keberhasilan anggota rantai pasok tersebut. Petani dalam memasarkan gabahnya sangat terikat secara sosial kepada tengkulak yang telah menjadi konsumennya dalam waktu yang cukup lama. Petani merasa tidak nyaman apabila ingin menolak tengkulak yang mau membeli gabahnya. Harga yang ditawarkan oleh tengkulak telah dianggap petani menjadi harga yang berlaku secara umum. Harga pembelian gabah petani oleh pengumpul besar dan tengkulak adalah sama. Namun, apabila tengkulak yang menjadi pembeli gabah petani sering melakukan pembayaran secara terlambat, petani akan terpengaruh untuk melakukan penjualan kepada tengkulak lain atau menjual ke pengumpul besar secara langsung. Artinya, kecepatan proses pembayaran sangat mempengaruhi petani dalam memilih tujuan penjualannya. Tengkulak sendiri tidak memiliki kriteria tertentu dalam memilih petani sebagai pemasok gabah. Anggota rantai pasok lainnya, yakni penggilingan desa, juga memiliki kriteria tersendiri dalam memilih pemasok. Kualitas dan harga gabah yang ditawarkan oleh tengkulak sangat mempengaruhinya dalam proses terjalinnya kesapakatan transaksi. Sedangkan dalam memilih pengecer, penggiling biasanya mempertimbangkan harga beli dan jarak ke pengecer yang dituju. Hal ini disebabkan karena hasil penggilingan yang hanya sedikit dan keterbatasan alat pengangkutan yang dimilikinya. Pabrik beras, dalam memilih pemasok, sangat mempertimbangkan kualitas gabah dan kemampuan tengkulak atau pengumpul pesar dalam mengumpulkan gabah. Pabrik beras, dalam memilih pedagang beras sebagai tujuan penjualannya, sangat mempertimbangkan harga beli yang ditawarkan oleh pedagang tersebut. Selain harga beli, lamanya proses kerjasama yang telah terjalin, menjadi pertimbangan bagi pabrik beras apabila ingin berpindah ke anggota rantai pasok lainnya. Lamanya proses kerjasama yang terjalin menunjukkan konsistensi dan kapasitas pedagang tersebut untuk membeli beras yang ditawarkan oleh pabrik beras. Pedagang beras baik di Cianjur maupun di Cipinang, dalam memilih pemasok, mempertimbangkan kesesuaian harga dengan kualitas beras yang dihasilkan, kecepatan dan ketepatan pabrik beras atau pengumpul dalam proses pengiriman, dan kesediaan pengumpul besar atau pabrik beras untuk bertanggungjawab terhadap pengiriman beras yang tidak sesuai kesepakatan. Beras yang dianggap kurang bermutu oleh pedagang beras dapat memperoleh harga yang jauh di bawah harga rata-rata dan bahkan dikembalikan. Dalam memilih pengecer, pedagang beras atau pengumpul besar biasanya mempertimbangkan jumlah pembelian pengecer dan harga beli pengecer tersebut. Pengecer, baik yang berada di dalam maupun luar Kabupaten, dalam memilih pemasok, juga sangat mempertimbangkan kesesuaian harga dengan kualitas, kecepatan, dan ketepatan pemasok dalam mengirim beras. Proses kemitraan pada anggota rantai pasok beras di Cibeber, hanya terjadi diantara tengkulak dengan pengumpul besar. Tengkulak yang mendapatkan gabah dari petani hanya akan melakukan penjualan kepada pengumpul besar yang menjadi mitranya. Tengkulak yang menjadi mitra pengumpul besar biasanya juga memperoleh bantuan pinjaman modal tanpa bunga dari pengumpul besar saat
46
akan melakukan pembelian kepada petani. Pengumpul besar membantu tengkulak yang merupakan mitranya agar gabah yang dibutuhkannya dapat terus terpenuhi.
Kesepakatan Kontraktual Kesepakatan, baik formal maupun informal, menjadi penting untuk menunjukkan batasan dan sanksi yang akan diterima oleh pihak yang tidak memenuhi perjanjian atau kesepakatan. Petani dalam rantai pasok, sebelum masa panen, telah melakukan kesepakatan secara informal terkait harga yang akan dibayarkan oleh tengkulak pada setiap kg hasil panen petani. Kesepakatan mengenai harga gabah yang berkualitas buruk sebenarnya tidak ditetapkan sebelum masa panen, namun lebih sering saat proses pengangkutan gabah oleh tengkulak. Kesepakatan tengkulak dengan pengumpul besar atau penggilingan desa, meliputi kesepakatan harga beli, kualitas gabah, dan jumlah gabah yang mampu diberikan tengkulak. Harga yang dibayarkan pengumpul besar terhadap gabah dari tengkulak atau petani secara langsung adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa tengkulak adalah bagian penting dari pengumpul besar tersebut. Pengumpul besar yang ingin menjual gabahnya ke pabrik beras juga memiliki point yang sama seperti kesepakatan antara tengkulak dengan pengumpul besar, yakni jumlah gabah, harga gabah , dan kualitas gabah. Pabrik yang menjual berasnya kepada pedagang beras di Cipinang, memiliki point penting dalam kesepakatan seperti harga beras, kualitas beras, jumlah beras, waktu pengiriman, dan konsistensi penyediaan beras dari pabrik ke pedagang beras tersebut. Pabrik juga harus bersedia memperoleh harga yang lebih rendah atau bahkan mendapat produk yang dikembalikan, apabila kualitas berasnya buruk atau dianggap tidak memenuhi point-point kesepakatan tersebut. Kesepakatan seperti ini juga terjadi saat pengumpul besar menjual beras kepada pedagang besar di Cianjur dan pengecer di luar Cianjur. Seluruh kesepakatan besifat informal.
Dukungan Pemerintah Pemerintah, baik pusat maupun daerah, turut mendukung rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur. Hal ini sangat penting karena beras masih menjadi kebutuhan pokok dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar di Indonesia, termasuk di Cibeber. Pemerintah memberikan bantuan atau dukungan rantai pasok termasuk melalui pengadaan sarana produksi pertanian bagi petani. Dinas Pertanian Cianjur, melalui penyuluh, menyalurkan bantuan seperti obat-obatan yang dibutuhkan petani saat lahan petani mengalami serangan hama dan penyakit. Petani, melalui kelompok tani, melaporkan keluhan-keluhan mereka saat melakukan budi daya kepada penyuluh. Penyuluh kemudian melaporkannya kepada BPP yang diteruskan kepada Dinas Pertanian Cianjur. Dinas Pertanian Cianjur kemudian mengusahakan solusinya, baik melalui pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Bantuan mengenai informasi teknologi atau budi daya, seperti penggunaaan teknik legowo dan benih unggul, juga sering diinformasikan penyuluh kepada petani. Namun, hal ini sering sulit diterima petani. Petani memang sering sangat sulit untuk mengubah kebiasaan yang telah lama dilakukannya. Informasi dan inovasi sering sulit diterima dan diaplikasikan oleh petani. Bantuan juga sering disalurkan dalam bentuk uang tunai kepada kelompok tani. Kelompok tani yang
47
ada di Kabupaten Cianjur dibagi menjadi 3 kelas, mulai dari kualitas pemula, menengah, sampai kelompok tani dengan kelas atas atau percontohan. Jumlah bantuan yang diterima oleh kelompok tani sering didasari dengan kelas kelompok tani tersebut. Semakin baik kelas kelompok tani maka bantuan yang dapat diterima akan semakin besar. Beberapa pertimbangan untuk menentukan kelas kelompok tani adalah intensitas aktivitas bersama dalam kelompok tani dan jumlah produksi kelompok tersebut. Bantuan lain yang diberikan pemerintah melalui kelompok tani adalah mesin penggilingan kepada kelompok tani. Pemerintah juga berusaha meningkatkan posisi tawar petani dengan menyediakan sistem resi gudang di Warungkondang, Cianjur. Sistem ini berusaha meningkatkan posisi tawar petani dengan cara menunda penjualan gabah saat panen raya, namun tetap mendapatkan modal dengan mengagunkan gabah yang dimilikinya. Namun, pada kenyataanya, sistem ini justru banyak dimanfaatkan oleh pengumpul besar atau pabrik beras yang memiliki persediaan gabah dalam jumlah besar. Pemerintah mengeluarkan kebijakan, yakni harga pembelian pemerintah (HPP), untuk melindungi harga jual gabah petani dalam rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan standar mutu beras yang menjadi acuan bagi seluruh anggota rantai pasok dalam melakukan penjualan beras. HPP saat ini ditetapkan dalam Inpres No 5/2015. Penyerapan gabah petani oleh pemerintah dilakukan oleh perum Bulog. Di Cianjur terdapat juga Subdivre Bulog yang mampu menyerap gabah petani terutama saat panen raya. Sedangkan standar mutu beras ditetapkan dalam 150/kep/BSN/5/2015. Syarat umum beras bermutu adalah bebas hama dan penyakit, bebas bau asam atau bau lainnya, bebas dari campuran dedak dan bekatul, bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan syarat khsusnya adalah derajat sosoh, kadar air, butir kepala, butir patah, butir menir, butir kuning, butir kapur, benda asing dan butir gabah. Label pada kemasan beras juga ditulis dengan bahan yang aman, tidak luntur, jelas dan mencantumkan informasi sesuai aturan. Beras dikemas dalam kemasan permanen yang kuat, aman bagi konsumen, higienis, tertutup rapat dan tidak mencemari berasnya.
Kolaborasi Rantai Pasok Kolaborasi rantai pasok menggambarkan bagaimana pembagian informasi diantara angota rantai pasok. Petani dalam melakukan budi daya untuk menghasilkan gabah, sering mengalami kendala seperti kekeringan, masalah hama, dan penyakit. Hal ini mempengaruhi jumlah produksi dan kualitas gabah petani. Informasi ini sering dibagi oleh sesama petani, termasuk dalam pertemuan kelompok tani seperti yang dilakukan oleh Kelompok Sugih Tani di desa Karangnunggal, Cianjur. Masalah-masalah ini juga akan dibahas bersama penyuluh yang akan meneruskannya kepada dinas pertanian untuk mendapatkan bantuan. Informasi mengenai jumlah produksi dan kualitas gabah juga akan diperoleh tengkulak dari petani. Terdapat pula beberapa tengkulak yang juga merupakan kelompok tani. Tengkulaklah yang menjadi sumber informasi utama bagi pengumpul besar atau pabrik beras terkait hal-hal yang dialami petani dalam budidaya. Informasi juga akan dibagikan oleh pengumpul besar dan pabrik beras kepada pedagang besar dan pengecer. Namun hal tersebut sering tidak terlalu berpengaruh bagi pedagang beras di Cipinang. Hal ini disebabkan karena rasio
48
beras yang masuk dari Cianjur kepadanya hanya sedikit. Pedagang beras di Cipinang tersebut memiliki informasi dan jaringan yang baik dengan pemasok beras dari daerah lain di Indosesia, seperti Karawang, Indramayu, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Tengah. Informasi harga pada setiap tingkat kualitas beras oleh pedagang besar di Cianjur maupun Cipinang dibagikan kepada pengumpul beras dan pabrik beras sebagai pemasok. Pemasok tersebut kemudian berusaha memenuhinya. Hal ini tentu diusahakan melalui penggunaaan gabah yang baik pula. Informasi harga tersebut juga diteruskan oleh pemasok beras tersebut terhadap pemasok gabah, seperti tengkulak. Adanya permintaan beras yang berkualitas oleh konsumen menjadi penting bagi pabrik beras dan anggota rantai pasok lainnya. Hal ini tentu dapat meningkatkan harga jual beras tersebut. Sumber Daya Sumber daya yang dimiliki oleh setiap anggota rantai pasok dapat mempengaruhi kapasitas dan kinerja rantai pasok beras. Pada penelitian ini, sumber daya yang dimiliki oleh setiap anggota rantai pasok dikaji dengan membagi sumber daya menjadi sumber daya fisik, teknologi, dan manusia.
Sumber Daya Fisik Petani memiliki sumber daya fisik seperti lahan sawah, cangkul, parang, garu, tikar, karung, alat penyemprot obat-obatan. Rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki setiap petani kurang dari 0.5 ha. Terdapat petani yang lokasi lahannya sangat berdekatan dengan penggilingan atau pabrik beras. Namun, banyak pula petani yang lokasi lahannya jauh dari penggilingan. Beberapa petani memiliki sepeda motor yang juga dimanfaatkan untuk memasarkan hasil panennya atau mengangkut input pertanian yang dibutuhkan ke lokasi sawahnya. Sepeda motor juga sangat bermanfaat terutama saat lahan petani memiliki akses jalan yang buruk atau sempit sehingga tidak dapat dilalui oleh mobil. Karena akses jalan yang sulit, petani sering harus menjinjing hasil panennya ke tempat yang disepakati dengan tengkulak. Sumber daya fisik yang dimiliki tengkulak adalah timbangan, literan, karung, sepeda motor. Beberapa tengkulak juga memiliki mobil pick-up. Sumber daya yang dimiliki oleh tengkulak ini terutama dimanfaatkan untuk mengangkut gabah dari petani ke pengumpul besar atau pabrik beras. Tengkulak juga memiliki gudang penyimpanan yang biasanya berada di dekat rumahnya. Hal ini digunakan saat menyimpan gabah selama beberapa hari, sebelum dijual ke pengumpul besar atau pabrik beras. Pengumpul besar memiliki sumber daya fisik seperti mobil pick-up atau truk, karung, timbangan. Timbangan yang digunakan biasanya timbangan dengan harga Rp 3 juta yang layak dipakai selama 10 tahun. Timbangan tersebut juga membutuhkan biaya servis per tahun sebesar Rp 200 000. Sedangan mobil yang digunakan untuk pengangkutan biasanya tergantung jumlah gabah atau beras yang dikirim. Mobil pick up biasanya digunakan untuk mengangkut beban sekitar 2 ton. Sedangkan truk kecil digunakan untuk mengangkut beban sekitar 10 ton. Hal ini sangat dibutuhkan pengumpul besar untuk mengangkut beras atau gabah kepada
49
konsumennya atau anggota rantai pasok lain yang menjadi mitranya. Untuk pengumpul besar yang juga dapat mengolah gabah sebanyak 6 ton GKP/hari, seperti milik Pak Haji Sukron di Desa Salamnunggal, dibutuhkan mesin seperti mesin giondong seharga Rp 15 juta dan mesin neymar seharga Rp 30 juta yang layak dipakai sampai 3 tahun. Sedangkan pabrik beras dengan skala yang lebih besar seperti milik PB Jayasa yang berkapasitas pengolahan 40 ton GKP/ hari, membutuhkan mesin yang lebih mahal. Terdapat mesin penggerak seharga Rp 800 juta yang layak pakai selama 10 tahun, mesin penggiling seharga Rp 800 juta yang layak pakai 5 tahun, mesin pengering Rp 500 juta yang layak pakai selama 10 tahun, mesin dryer seharga Rp 800 juta yang layak pakai selama 10 tahun, dan mesin pemoles seharga Rp 610 juta yang layak pakai selama 10 tahun. Selain itu dibutuhkan pula tungku untuk proses pembakaran seharga Rp 160 juta. Di sisi lain, penggilingan tingkat desa yang berkapasitas relatif kecil dan beroperasi saat musim panen saja, seperti milik Pak Fahrudin di Desa Karangnunggal, memiliki mesin dengan harga yang lebih murah. Penggiling dengan kapasitas gabah 130 kg GKP/hari, memiliki mesin ichi dengan harga Rp 7 juta, molen dengan harga Rp 4 juta, dan dompeng harga Rp 4,5 juta. Pedagang besar, baik di dalam dan luar kabupaten Cianjur, memiliki sumber daya fisik seperti gudang penyimpanan, mobil atau truk untuk pengangkutan, timbangan. Terdapat pula pedagang beras di Cipinang yang memiliki mesin pemoles dan mesin penjahit karung. Mesin pemoles digunakan untuk semakin meningkatkan kualitas beras. Pengecer juga memiliki sumber daya fisik berupa kios penjualan, timbangan, dan kantong plastik dengan berbagai ukuran. Pengecer di luar Cianjur, seperti di Jakarta, Bogor, dan Depok juga memiliki gudang penyimpanan berasnya. Baik pedagang besar maupun pengecer umumnya berlokasi di daerah dengan kondisi jalan yang relatif baik, sehingga mudah diakses oleh mitra atau konsumennya.
Sumber Daya Teknologi Petani dalam melakukan budidaya untuk menghasilkan gabah memanfaatkan teknologi-teknologi sederhana, seperti penggunaan mesin traktor yang disewakan atau yang dimiliki oleh kelompok tani. Selain itu, petani juga mulai menggunakan teknik legowo dalam jarak tanam padi. Bibit unggul atau hibrida, termasuk yang diberikan oleh pemerintah, juga banyak dimanfaatkan oleh petani. Anggota rantai pasok lainnya seperti pabrik beras juga menggunakan teknologi termasuk mesin-mesin dalam mengolah gabah, seperti yang sudah disampaikan pada penggunaan sumber daya fisik. Penggunaan teknologi yang semakin canggih dalam pengolahan gabah dapat meningkatkan kapasitas pengolahan dan kualitas pengolahan (Bank Indonesia 2015). Selain itu, terjadi peningkatan efisiensi, misalnya dalam proses pengeringan. Dengan adanya mesin pengeringan yang dimiliki oleh PB Jayasa, kualitas beras dapat semakin baik karena dapat diolah secara langsung dengan suhu yang sesuai tanpa tergantung sepenuhnya kepada cuaca untuk proses penjemuran. Penggunaan internet terutama di tingkat pabrik beras dan pedagang beras di Cipinang juga semakin berkembang. Hal ini sebagai sumber informasi untuk mengetahui isu-isu dan informasi harga beras yang terdapat di daerah lain. Pabrik
50
beras dan pedagang beras tersebut juga mulai memanfaatkan internet untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya. Selain internet, alat komunikasi seperti telepon genggam yang hampir dimiliki oleh setiap anggota rantai pasok, juga sangat membantu kelancaran informasi dalam rantai pasok dan proses pembuatan kesepakatan.
Sumber Daya Manusia Saat musim panen, petani mempekerjakan 10-20 orang tenaga kerja untuk mengumpulkan hasil panen. Tenaga kerja yang dibutuhkan cukup banyak karena keterbatasan waktu agar kualitas gabah terjaga. Tenaga kerja, saat musim panen, merontokkan padi untuk memperoleh gabah dan kemudian mengemasnya ke dalam karung. Tengkulak yang mengangkut hasil panen petani membutuhkan jumlah tenaga kerja yang sangat bervariasi, tergantung jumlah panen yang akan diangkut. Tengkulak juga kadang memanfaatkan tenaga kerjanya untuk memikul gabah karena akses jalan yang sulit. Rata-rata upah tenaga kerja untuk pemuatan maupun bongkar muat, masing-masing adalah Rp 10/kg. Pengumpul besar juga membayar upah yang sama pada setiap tenaga kerja untuk pengangkutan. Penggilingan desa yang memiliki skala kecil dan tidak beroperasi setiap hari, melibatkan anggota keluarganya sebagai tenaga kerja, mulai dari penjemuran, penggilingan, sortasi dan pengemasan, sampai pada pendistribusian ke konsumen. Jumlah tenaga kerja yang terlibat antara 2-3 orang. Pengumpul besar yang mampu menghasilkan sekitar 3 ton beras/ hari, seperti milik Bapak Rohidin dan Bapak Haji Sukron mempekerjakan 3-5 orang tenaga kerja untuk proses-proses tersebut. Sedangkan PB Jayasa dengan skala yang lebih besar dan mampu menghasilkan beras 20 ton/hari, mempekerjakan 15 orang tenaga upahan dan 4 orang operator sebagai tenaga kerja tetap. Operator memiliki gaji tetap, yakni Rp 1.5 juta/bulan. Operator bertangungjawab terhadap proses pengolahan dengan menggunakan mesin, seperti mesin pengiiling, pengering, dan pemoles. Sedangkan 15 orang tenaga kerja lainnya bertanggung jawab kepada proses penjemuran, sortasi, pengemasan, dan pendistribusian. Pedagang besar dan pengecer, baik di dalam maupun luar Cianjur, juga mempekerjakan tenaga kerja sesuai dengan kapasitasnya. Semakin besar jumlah beras yang diperdagangkan maka tenaga kerja yang dibutuhkan semakin banyak. Tenaga kerja dari pedagang besar memiliki tanggung jawab untuk mengangkut atau mendistribusikan beras ke konsumen dan melakukan penyimpanan di gudang. Pedagang di Cipinang, seperti PT Buyung Putra Persada yang memiliki kapasitas penyimpanan 5 000 ton beras, mempekerjakan sekitar 100 orang untuk beban kerja tersebut. Terdapat pula pedagang di Cipinang yang memanfaatkan tenaga kerjanya untuk kembali menyortir dan memoles beras. Di sisi lain, pengecer umumnya memiliki tenaga kerja yang bertanggung jawab dalam mencampur dan melakukan grading beras yang akan dijual. Tenaga kerja juga bertanggungjawab dalam melayani konsumen kiosnya. Biasanya, setiap 1 orang tenaga kerja bertanggungjawab terhadap 0.5 ton beras. Upah tenaga kerja tersebut antara Rp 40 000 – Rp 60 000.
51
Sumber Daya Modal Sumber utama modal petani adalah adalah modal pribadi. Kemampuan petani untuk memperoleh pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan formal lainnya masih sangat rendah. Petani yang memiliki keterbatasan modal sering memilih bekerja dengan sistem bagi hasil kepada pihak lain. Dengan sistem bagi hasil ini, biaya pupuk, obat-obatan, dan tenaga panen ditangung bersama antara petani dengan pihak pemodal. Setengah dari total biaya tersebut ditanggung petani dan sisanya ditanggung oleh pemodal. Keuntungan dari hasil panen yang diperoleh kemudian dibagi dua. Sumber modal lainnya yang dapat diperoleh petani adalah melalui bantuan pemerintah, misalnya dana bantuan sosial dari pemerintah atau dana program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Penyerahan bantuan ini biasanya diserahkan kepada petani melalui gabungan kelompok tani. Tengkulak sendiri biasanya mendapatkan modal dari pengumpul besar yang menjadi mitranya. Hal ini tentu membuat tengkulak harus menjual hasil panen kepada pengumpul besar yang memberikan pinjaman kepadanya. Sedangkan pengumpul besar memperoleh modal dari berbagai sumber. Selain menggunakan modal pribadi, pengumpul besar dan pabrik beras juga banyak mendapatkan modal melalui pinjaman dari bank atau lembaga formal lainnya. Semakin baik kinerja atau rekam jejak pabrik, tentu bank semakin mudah dalam memberikan pinjaman untuk modal usahanya. Cara lain pengumpul besar atau pabrik beras memperoleh sumber modal adalah dengan memanfaatkan sistem resi gudang yang berada di Warungkondang, Cianjur. Pabrik mengagunkan gabah atau beras miliknya melalui sistem resi gudang. Gabah atau beras yang diagunkan tentu telah melewati proses pemeriksaan dari pengelola gudang. Kemudian, pabrik memiliki kesempatan untuk memperoleh pinjaman dengan agunan tersebut dari Bank Jawa Barat. Hal ini berbeda dengan penggilingan desa yang lebih sering memanfaatkan modal pribadi. Anggota rantai pasok lain yang sering memanfaatkan pinjaman dari bank adalah pedagang besar, khususnya yang berada di Cipinang. Sedangkan pengecer pada umumnya hanya menggunakan modal yang bersumber dari pribadi. Proses Bisnis Bagian ini menggambarkan hubungan proses bisnis rantai pasok, pola distribusi, anggota rantai pendukung, perencanaan dan penelitian kolaboratif, jaminan identitas merek, aspek risiko, dan proses membangun kepercayaan.
Hubungan Proses Bisnis Rantai Pasok Proses bisnis rantai pasok dapat dikaji berdasarkan dua cara pandang, yakni cycle view dan push or pull view (Chopra dan Meindl 2004). Cycle view terdiri dari 4 siklus. Pertama adalah procurement, yakni pemesanan bahan baku dari anggota rantai pasok yang paling awal. Kedua adalah manufacturing, yakni pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Ketiga adalah replenishment, yakni proses pengisian kembali produk dari anggota rantai pasok sebelumnya karena adanya tambahan pesanan. Proses ini juga merupakan bentuk antisipasi
52
perusahaan dengan adanya permintaan yang tidak terduga. Keempat adalah customer order, yakni pemesanan oleh konsumen. Keempat siklus dari cycle view terjadi dalam rantai pasok beras di Cibeber, Kabupaten Cianjur. Procurement dilakukan oleh tengkulak, penggilingan desa, dan pengumpul besar. Anggota rantai pasok tersebut melakukan pemesanan dan pembelian GKP dari petani di Cibeber. Berikutnya, siklus manufacturing terjadi saat pengggilingan desa, pengumpul besar, dan pabrik beras mengolah GKP menjadi beras. Siklus replenishment terjadi saat pedagang besar atau pengecer, baik di dalam dan luar Kabupaten Cianjur, melakukan tambahan pesanan untuk mengantisipasi permintaan konsumennya yang meningkat. Sedangkan customer order dilakukan oleh konsumen yang memesan atau membeli beras secara langsung dari pedagang besar atau pengecer. Konsumen akhir memesan atau membeli beras sesuai dengan kebutuhannya. Aktivitas konsumen ini berbeda dengan aktivitas yang dilakukan oleh anggota rantai pasok sebelumnya. Anggota rantai pasok yang membeli gabah melakukan pembelian sesuai dengan kapasitas pengolahan dan jumlah modal yang dimiliki. Hal ini dapat disebabkan karena permintaan beras masih sangat tinggi di Indonesia. Selain itu, apabila kondisi harga beras di pasar sedang mengalami penurunan, pengolah gabah masih tetap mendapatkan keuntungan dari hasil sampingan seperti dedak. Hubungan proses bisnis dapat dilihat pula melalui push atau pull view. Asumsi pada kondisi push adalah, permintaan konsumen tidak dapat diketahui dan harus diantisipasi. Sedangkan pada kondisi pull, permintaan konsumen diketahui secara pasti. Penentuan proses push atau pull memperhatikan hubungan proses dalam rantai pasok dengan proses pemesanan konsumen akhir. Apabila proses dalam rantai pasok dilakukan sebelum terjadi permintaan konsumen akhir maka proses tersebut kondisi push. Dalam kondisi ini, terjadi proses untuk mengantisipasi permintaan konsumen. Apabila proses rantai pasok dilakukan setelah ada pemesanan dari konsumen akhir maka kondisinya adalah pull. Dalam kondisi ini, terjadi proses yang memang merespon permintaan konsumen. Gambar 8 menunjukkan proses bisnis pada rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur. PULL PROSESS
Konsumen akhir Customer order cycle
Customer order arrives Replenishment cycle
PUSH PROSESS
Manufacturing cycle
Procurement cycle
Pengecer Pedagang besar (dalam dan luar kabupaten) Pabrik beras Pengumpul besar Penggilingan (desa) Tengkulak Pengumpul besar Penggilingan (desa) Petani padi
Gambar 8 Proses Bisnis Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur
53
Proses push terjadi saat siklus procurement, dan manufacturing, dan replenishment. Anggota rantai pasok pada siklus tersebut seperti tengkulak, penggilingan desa, pengumpul besar, melakukan aktivitasnya sebelum pemesanan oleh konsumen terjadi. Proses tersebut dilakukan untuk mengantisipasi permintaan beras yang masih tinggi. Sedangkan saat siklus customer order, dimana terjadi permintaan konsumen akhir yang menggerakkan pedagang besar dan pengecer untuk merespon permintaan konsumen, merupakan proses pull.
Pola Distribusi Bagian ini menggambarkan aliran produk, finansial, dan informasi diantara angota rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur. Hal yang dibahas adalah bagaimana pelaksanaan aliran dan kendala yang dihadapi dalam setiap aliran.
Aliran Produk Terdapat 10 saluran rantai pasok beras dari Cibeber, Cianjur. Aliran tersebut melibatkan pula 3 lembaga yang memiliki mesin pengolahan sendiri, yakni penggilingan desa, pengumpul besar, dan pabrik beras. Meskipun memiliki mesin pengolahan sendiri, terdapat pula pengumpul besar yang mengalirkan gabahnya ke pabrik beras. Hal ini sama dengan rantai pasok beras di daerah lain seperti Indramayu (Bank Indonesia 2015). Aliran beras juga melibatkan pedagang diluar daerah atau kabupaten penghasil gabah itu sendiri. Hal yang sama terjadi di sejumlah daerah produsen gabah di Indonesia, seperti di Indramayu (Bank Indonesia 2015), Karawang (Mardianto et al. 2005), dan Banyuwangi (Purwono et al. 2013). Tidak terdapat kelompok tani atau Bulog yang menjadi anggota rantai pasok beras dari Cibeber, Cianjur. Aktivitas kelompok tani masih terbatas pada kegiatan budidaya dan penyaluran bantuan dari pemerintah seperti yang terjadi di Kabupaten Batang (Sobichin 2012). Harga yang terjadi di pasar juga masih lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah. Saluran yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan saluran pemasaran beras varietas Pandan Wangi di Cianjur itu sendiri, meskipun saluran tersebut juga tidak melibatkan kelompok tani. Pada saluran pemasaran Pandan Wangi bahkan terdapat petani yang menjual langsung berasnya ke konsumen (Malia dan Supartin 2014). Aliran produk dalam rantai pasok beras dimulai dari gabah di tingkat petani. Gabah yang dijual petani umumnya adalah gabah basah atau dikenal dengan GKP. Terdapat beberapa lembaga yang menjadi tujuan penjualan petani, yakni tengkulak, penggilingan desa, dan pengumpul besar. Tengkulak merupakan lembaga yang paling dominan dipilih petani (Ariwibowo 2013; Sobichin 2012), yakni 96.47%. Sedangkan proporsi penjualan gabah oleh petani kepada penggillingan desa dan pengumpul besar, masing-masing sebesar 1.45% dan 2.08%. Saluran 1 pada rantai pasok adalah petani-tengkulak-penggilingan (desa)pengecer(kabupaten)-konsumen. Sebelum masa panen, petani telah melakukan kesepakatan harga dengan tengkulak yang akan membeli hasil panennya. Tengkulak merupakan anggota rantai pasok yang dominan dipilih petani karena tengkulak tersebut menjemput langsung hasil panen petani. Hal ini sangat
54
membantu petani yang memiliki keterbatasan alat transportasi. Petani menjual gabahnya kepada tengkulak dengan harga Rp 3 500/kg. Sekitar 5% dari total gabah yang diperoleh tengkulak, kemudian dijual kepada penggilingan (desa) dengan harga sekitar Rp 3 600/kg. Setelah dijemur dan digiling menjadi beras, penggilingan tersebut kemudian menjual berasnya kepada pengecer yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Sekitar 80% dari total beras yang dimiliki penggilingan desa dijual kepada pengecer, dengan rata-rata harga beras adalah Rp 8 300/kg. Penggilingan biasanya menjual berasnya ke pengecer menggunakan sepeda motor sebagai alat pengangkutan. Pengecer kemudian menjual berasnya kepada konsumen yang datang kepadanya, dengan harga sekitar Rp 8 500/kg. Saluran 2 dan 3 juga melibatkan penggilingan desa sebagai lembaga pengolah gabah menjadi beras. Saluran 2 terdiri dari petani-penggilingan(desa)-pengecerkonsumen. Pada saluran kedua, petani langsung menjual gabahnya kepada penggilingan. Petani juga memperoleh harga pembelian gabah sekitar Rp 3 600/kg. Namun, petani harus mengantarkan sendiri gabahnya kepada penggilingan. Umumnya, petani yang berada pada saluran kedua ini memiliki lahan atau sawah yang berdekatan dengan lokasi penggilingan. Sedangkan saluran 3 terdiri dari petani-tengkulak-penggilingan(desa)-konsumen. Pada saluran ini, penggilingan menjual berasnya kepada konsumen yang datang langsung ke lokasi penggilingan. Volume penjualan beras kepada konsumen tersebut mencapai 20% dari total beras yang dimiliki penggilingan. Harga penjualan beras kepada konsumen tersebut sekitar Rp 8 500/kg. Saluran 4 sampai 7 melibatkan pengumpul besar sebagai lembaga pengolah gabah menjadi beras. Saluran 4 terdiri dari petani-tengkulak-pengumpul besarpedagang besar (kabupaten)-pengecer(kabupaten)-konsumen. Saluran 4 adalah salah satu saluran yang melibatkan jumlah lembaga terbanyak dibandingkan saluran lain. Pada saluran ini, petani menjual gabahnya dengan harga sekitar Rp 3 700/kg. Gabah yang diperoleh tengkulak dari petani, kemudian dijual kepada pengumpul besar yang menjadi mitranya, dengan harga sekitar Rp 3 800/kg. Kualitas gabah yang diperoleh pengumpul besar dari tengkulak berikutnya akan diperiksa. Pengumpul besar membayar sesuai dengan sistem grading yang ditentukan pengumpul besar tersebut. Selisih harga antara gabah yang dianggap baik dengan buruk sekitar Rp 300 – 1 000. Hal yang sama sebenarnya juga diterapkan tengkulak kepada petani. Gabah tersebut kemudian dijemur oleh pengumpul besar. Sekitar 60% dari total gabah tersebut biasanya digiling oleh pengumpul besar tersebut sampai menjadi beras dalam kemasan karung. Sekitar 33% dari total beras yang dimiliki oleh pengumpul besar, kemudian dijual kepada pedagang besar di Kabupaten Cianjur dengan harga sekitar 7 800/kg. Pedagang besar kemudian menjual berasnya kepada pengecer dengan harga sekitar Rp 8 200/kg. Pedagang besar di Cianjur biasanya menjual 90% dari total beras yang dimilikinya kepada pengecer. Pengecer kemudian menjual berasnya kepada konsumen dengan harga sekitar Rp 8 500/kg. Saluran 5 sendiri terdiri dari petanitengkulak-pengumpul besar-pedagang besar(kabupaten)-konsumen. Dibandingkan saluran 4, pedagang besar pada saluran ini langsung menjual berasnya kepada konsumen yang datang padanya dengan harga sekitar Rp 8 200/kg. Sekitar 10% berasnya dijual ke konsumen yang datang langsung ke lokasi penjualannya. Hal ini juga terjadi pada saluran 7 yang terdiri dari petani-pengumpul besar-pedagang besar(kabupaten)-konsumen. Di sisi lain, saluran 7 juga memiliki kesamaan
55
dengan saluran 6, dimana petani langsung menjual gabahnya kepada pengumpul besar tanpa melalui tengkulak. Saluran 6 terdiri dari petani-pengumpul besarpedagang besar(kabupaten)-pengecer-konsumen. Harga pembelian gabah petani oleh pengumpul besar sama dengan harga pembelian oleh tengkulak, sekitar Rp 3 700/kg. Padahal petani pada saluran ini harus mengantarkan gabahnya ke lokasi pengumpul besar. Hal ini juga yang menyebabkan tengkulak dipilih petani sebagai tujuan utama penjualan gabahnya. Saluran 8 juga sebenarnya melibatkan pengumpul besar sebagai lembaga pengolah gabah menjadi beras. Namun, saluran ini mengalirkan beras melalui pengecer di luar Cianjur, seperti Bogor dan Jakarta. Saluran 8 terdiri dari petanitengkulak-pengumpul besar-pengecer(luar kabupaten)-konsumen. Harga penjualan beras oleh pengumpul besar ke pengecer luar Cianjur lebih tinggi dibandingkan harga penjualan ke pedagang besar di Cianjur. Selisihnya dapat mencapai Rp 1 400/kg. Volume beras yang dijual ke pengecer tersebut mencapai 67% dari total beras yang dimiliki pengumpul besar. Sekitar 40% dari total gabah yang dimiliki pengumpul besar, dijual kepada pabrik beras yang memiliki skala yang lebih besar. Aktivitas ini terjadi pada saluran 9 dan 10. Saluran 9 terdiri dari petani-tengkulak-pengumpul besar-pabrik beras-pedagang di Pasar Induk Cipinang(luar kabupaten)-pengecer(luar kabupaten)-konsumen. Sedangkan saluran 10 terdiri dari petani-pengumpul besarpabrik beras-pedagang di Pasar Induk Cipinang(luar kabupaten)-pengecer(luar kabupaten)-konsumen. Sistem grading juga kembali diterapkan oleh pabrik beras terhadap pengumpul besar. GKG kemudian digiling pabrik beras menjadi beras dalam kemasan karung. Ukuran kemasan bervariasi, ada ukuran 5kg, 10kg, 25kg, dan 50kg. Kemasan karung ada yang berbentuk polos dan ada pula yang telah menggunakan merek dari pabrik. Pabrik kemudian menjual hampir seluruh berasnya kepada pedagang beras di Cipinang. Apabila beras yang diterima oleh pedagang masih dalam kemasan polos maka pedagang tersebutlah yang mencantumkan mereknya. Beberapa pedagang di Cipinang juga melakukan sortir dan pemolesan kembali. Saat pembelian, pedagang menerapkan sistem grading dan membayar beras sesuai standar kualitas yang ditetapkan pedagang tersebut. Standar inilah yang sebenarnya berpengaruh besar sebagai acuan bagi anggota rantai pasok sebelumnya. Pedagang di Cipinang kemudian menjual seluruh berasnya kepada pengecer. Berikutnya, pengecer menjual beras kepada konsumen akhir dengan pilihan harga yang berbeda, sesuai kualitasnya. Selain menggunakan karung, pengecer juga biasanya menjual beras menggunakan kantong plastik kepada konsumen, sesuai dengan kebutuhan konsumen. Berikut Gambar 9 yang menggambarkan aliran produk pada rantai pasok.
56
Tengkulak Penggilingan (desa)
Konsumen Pengecer (kabupaten)
Petani
Pengumpul besar
Pedagang besar (kabupaten)
Pengecer (luar kabupaten)
Pasar Induk Cipinang (luar kabupaten)
Pabrik beras
Gambar 9 Aliran Produk Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur
Keterangan: : Saluran 1 : Saluran 2 : Saluran 3 : Saluran 4 : Saluran 5
: Saluran 6 : Saluran 7 : Saluran 8 : Saluran 9 : Saluran 10
Aliran Finansial Aliran finansial membahas terkait uang untuk pembayaran atas produk yang diperoleh. Konsumen akhir yang membeli beras dari pengecer maupun pedagang besar secara langsung melakukan pembayaran secara tunai kepada pengecer atau pedagang tersebut. Pembelian beras oleh pengecer, baik yang berada di dalam maupun luar Cianjur, juga selalu dibayarkan secara langsung terhadap pemasoknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh pedagang besar di Cianjur terhadap pemasoknya. Sedangkan pembelian beras oleh pedagang di Cipinang tidak selalu dibayarkan secara tunai pada saat beras diantar ke lokasi pedagang tersebut. Kadang, pembayaran dapat berlangsung 3-7 hari setelah beras diantar kepada pedagang tersebut. Pembayaran tersebut dilakukan melalui transfer dari rekening bank pihak-pihak yang bertransaksi. Pabrik beras sendiri melakukan pembayaran secara tunai atas gabah yang diperoleh dari pengumpul besar. Hal ini dilakukan saat beras diantar ke lokasi pabrik beras oleh pengumpul besar. Ketersediaan dana dalam waktu singkat sangat dibutuhkan oleh pengumpul besar untuk melakukan pembelian gabah berikutnya. Pengumpul besar yang juga sebenarnya memiliki mesin pengolahan sendiri, mendapatkan posisi tawar yang
57
cukup baik saat berhadapan dengan pabrik beras lain yang mau membeli gabahnya. Dalam membayar gabah yang diperolehnya, pengumpul besar atau penggilingan desa melakukan pembayaran secara tunai kepada tengkulak atau petani. Pembayaran dilakukan saat gabah telah sampai kepadanya. Di sisi lain, tengkulak tidak selalu membayar hasil panen petani saat hasil panen tersebut diangkut oleh petani. Namun, tengkulak biasanya mengantar biaya pembelian gabah tersebut setelah 1-3 hari proses pengangkutan. Secara umum, proses transaksi antara pihak-pihak yang melakukan kesepakatan, relatif cepat. Hal ini mempertimbangkan kebutuhan modal oleh semua anggota rantai pasok untuk melanjutkan atau mengembangkan usahanya. Selain itu, hal tersebut memang dibutuhkan untuk menciptakan kepuasan bagi pihak yang saling bekerjasama. Berikut Gambar 10 yang menggambarkan aliran finansial rantai pasok.
Tengkulak Penggilingan (desa)
Konsumen Pengecer (kabupaten)
Petani
Pengumpul besar
Pabrik beras
Pedagang besar (kabupaten)
Pengecer (luar kabupaten)
Pasar Induk Cipinang (luar kabupaten)
Gambar 10 Aliran Finansial Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur
Aliran Informasi Aliran informasi pada rantai pasok beras di Cibeber, Cianjur berlangsung secara timbal-balik mulai dari petani sampai pada ke konsumen akhir. Hal ini berbeda dengan aliran produk dan finansial yang bersifat satu arah. Aliran informasi yang transparan dan memiliki intensitas baik dapat membangun kepercayaan diantara anggota rantai pasok yang bermitra. Petani menginformasikan mengenai rencana masa panennya dan prediksi hasil panennya kepada tengkulak. Selain itu, petani juga menginformasikan mengenai kendala dalam proses budidaya kepada sesama petani, tengkulak, penggilingan desa, pengumpul besar, dan penyuluh yang kemudian akan meneruskannya kepada dinas pertanian. Kendala dapat bersumber dari cuaca, hama, dan penyakit tanaman. Selain itu, petani juga menginformasikan mengenai
58
kualitas gabahnya kepada pihak-pihak tersebut. Tengkulak juga membantu meneruskan informasi dari petani tersebut kepada pengumpul besar. Pengumpul besar dan pabrik beras membagi informasi terkait kualitas gabah, harga gabah, dan kondisi yang dihadapi petani kepada pedagang besar dan pengecer, baik yang berada di dalam maupun luar Cianjur. Selain itu, pengumpul besar dan pabrik beras juga membagi informasi terkait rendemen yang diperolehnya, kualitas beras, dan kondisi persediaan gabah di daerahnya. Kendalakendala lain yang dialami selama proses pengolahan juga disampaikan oleh anggota-angota rantai asok tersebut, seperti biaya operasional yang meningkat akibat harga bahan bakar yang meningkat. Di sisi lain, pedagang besar di Cianjur dan Cipinang menyampaikan pula kondisi harga beras di tingkat pasar kepada pabrik beras. Pedagang di Cipinang menyampaikan pula perbandingan kualitas dan harga beras dari Cianjur dibandingkan dengan beras dari pabrik lain diluar Cianjur. Pengecer yang menerima keluhan dan saran dari konsumen akhir terkait harga dan kualitas beras membagikan informasi tersebut kepada pemasoknya, seperti pedagang besar. Kemudian informasi itu diteruskan oleh pedagang besar kepada pabrik beras. Pabrik beras membagi informasi tersebut kepada pengumpul besar. Pengumpul besar pun membaginya kepada tengkulak dan petani. Berikut Gambar 11 yang menggambarkan aliran informasi rantai pasok.
Tengkulak Penggilingan (desa)
Konsumen Pengecer (kabupaten)
Petani
Pengumpul besar
Pabrik beras
Pedagang besar (kabupaten)
Pengecer (luar kabupaten)
Pasar Induk Cipinang (luar kabupaten)
Gambar 11 Aliran Informasi Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur
Anggota Rantai Pendukung Terdapat anggota rantai pendukung yang mendukung kelancaran aliran produk, finansial, maupun aliran informasi. Petani membutuhkan benih, pupuk, obat-obatan sebagai input dalam proses budidayanya. Hal-hal tersebut didapatkan petani dari toko-toko pertanian yang berada di Cianjur dan perusahaan pemasok
59
pestisida. Kadang, petani juga mendapatkan input tersebut secara gratis dari pemerintah, misalnya benih hibrida yang diberikan Dinas Pertanian Cianjur kepada petani. Petani juga membutuhkan alat-alat pertanian seperti traktor, cangkul, dan alat penyemprot obat-obatan. Alat-alat tersebut dapat dibeli petani juga melalui toko pertanian. Selain itu, pemerintah melalui dinas pertanian, juga memberikan bantuan traktor kepada petani yang disalurkan melalui kelompok tani. Hal ini tentu disertai proses pendampingan penyuluh dari BPP didaerah tersebut. Hal ini sangat membantu petani dalam kelancaran proses usahataninya. Pemerintah, melalui BULOG, juga membantu petani dengan melakukan pembelian gabah dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terutama saat panen raya, saat harga gabah sedang turun Anggota rantai pasok lainnya, yakni tengkulak, membutuhkan alat-alat seperti timbangan, karung, kendaraan sebagai alat pengangkut. Timbangan biasanya diperoleh tengkulak dari toko bangunan atau sarana produksi yang berada di daerah Cianjur. Sedangkan karung dapat diperoleh tengkulak dari pabrik beras dengan harga Rp 1 500/karung untuk ukuran 50kg. Namun, karung ini dapat digunakan oleh tengkulak berulang kali selama kondisinya masih baik. Di sisi lain, pengumpul besar juga biasanya membutuhkan alat-alat yang hampir sama seperti yang dibutuhkan tengkulak. Pengumpul besar, penggilingan desa, dan pabrik beras membutuhkan input lain yang dapat mendukung proses pengolahan gabah. Pengolah membutuhkan bahan bakar solar yang biasanya didapatkan dari pengecer atau SPBU secara langsung. Selain itu, pabrik beras juga membutuhkan tenaga kerja mekanik untuk perawatan mesin yang dimilikinya. Untuk pemodalan, pabrik memanfaatan sistem resi gudang yang berada di Cianjur, yang dikelola oleh PT Pertani. Di sisi lain, pabrik juga membutuhkan kemasan karung yang bervariasi mulai dari 5, 10, 25, dan 50 kg. Karung polos dan bermerek biasanya dipesan dan diperoleh pabrik dari pihak khusus yang mencetak karung. Anggota rantai pasok lainnya, yakni pedagang besar, juga mendapatkan karung dengan cara yang sama seperti pabrik beras. Di sisi lain, pengecer membutuhkan kantong plastik sebagai kemasan untuk menjual beras kepada konsumen akhir. Biasanya, pengecer membeli kantong plastik tersebut dari toko perabotan. Berdasarkan uraian tersebut, yang termasuk anggota rantai pendukung adalah Kerjasama antara anggota rantai pasok dengan pihak lain sebagai anggota rantai pendukung telah berlangsung cukup lama. Pembayaran atas kesepakatan antara anggota rantai pasok dengan anggota rantai pendukung biasanya dalam bentuk uang tunai yang dibayarkan saat pembelian.
Perencanaan Kolaboratif Perencanaan diantara anggota rantai pasok diperlukan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Perencanaan pengembangan yang dapat diadopsi adalah program pengembangan padi varietas lokal unggulan, yakni Pandan Wangi. Dalam program ini, pemerintah Cianjur berusaha membantu menetapkan paten terhadap padi Pandan Wangi. Citra dan kualitas Beras Cianjur yang baik memang perlu dimanfaatkan. Penguatan kelompok tani untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan budidaya varietas lokal unggulan, perlu terus mendapat pengembangan. Kualitas dan citra beras yang baik dapat memberikan harga jual yang lebih baik. Namun, perencanaan pengembangan ini membutuhkan
60
pengawasan dan bantuan dari pemerintah, termasuk untuk mempertemukan petani dengan calon pembeli yang potensial. Hal ini sebenarnya telah mulai dikembangkan pada padi Pandan Wangi. Pemerintah secara langsung sebagai pihak ketiga yang membantu petani melakukan kesepakatan dengan calon pembeli. Proses tersebut juga didasari dengan kontrak formal.
Penelitian Kolaboratif Penelitian terkait beras terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pemerintah yang bekerjasama dengan universitas atau lembaga penelitian lainnya, mengembangkan benih atau obat-obatan yang dapat menjaga atau membantu petani meningkatkan produktivitas lahannya. Pemerintah juga memiliki Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPP). Di Cianjur, terdapat pula sistem tanam jajar legowo yang diperkenalkan pemerintah untuk membantu meningkatkan produktivitas petani. Di Cianjur, juga terdapat Balai Benih Padi yang melakukan penelitian untuk mengembangkan varietas padi yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan pemerintah dapat didasari oleh kendala yang dihadapi oleh petani di lapangan. Hal ini disampaikan melalui penyuluh. Hasil penelitian kemudian juga dapat disosialisasikan melalui penyuluh terhadap kelompok tani.
Jaminan Identitas Merek Beras yang berasal dari rantai pasok di Cianjur memiliki merek yang berbeda. Pabrik beras dan pengumpul besar pada umumnya mencantumkan merek pabrik tersebut. Pabrik beras biasanya membeli dan memesan karung sebagai kemasan dari pihak lain. Untuk setiap karung polos ukuran 50 kg harganya sekitar Rp 1 100 dan karung bermerek pabrik harganya Rp 1 300. Terdapat pula pabrik beras yang menjual berasnya dengan kemasan karung polos kepada pedagang besar. Kemudian, pedagang besarlah yang mencantumkan mereknya di karung beras tersebut. Penggunaan merek Beras Cianjur sering juga menjadi kontroversial. Banyak pabrik beras di Cianjur, yang memperoleh gabah dari luar Cianjur seperti Karawang, mengunakan merek berasnya dengan sebutan Beras Cianjur. Selain itu, banyak pula pabrik beras di luar Cianjur yang kadang mendapatkan gabah dari Cianjur saat panen raya, mengunakan merek berasnya dengan sebutan beras Cianjur juga. Citra Beras Cianjur yang baik sering menjadikan banyak pihak menggunakan istilah Beras Cianjur pada produknya. Pemerintah Cianjur pun mengambil sikap atas hal ini. Penggunaan nama atau istilah Beras Cianjur oleh siapapun masih ditoleransi dengan syarat tidak diikuti nama Pandan Wangi, yakni varietas lokal unggulan di Kabupaten Cianjur. Saat ini, Dinas Pertanian Cianjur sedang mengurus hak paten dari penggunaan nama Beras Pandan Wangi Cianjur. Apabila telah sah secara hukum, maka yang boleh menggunakan istilah tersebut hanya pabrik atau pedagang beras yang tergabung dalam komunitas Pandan Wangi yang dibentuk oleh Dinas Pertanian Cianjur. Aspek Risiko Setiap anggota rantai pasok yang terlibat dalam rantai pasok beras di Cianjur menghadapi risiko yang berbeda. Petani saat melakukan budidaya juga menghadapi risiko gagal panen atau kualitas gabah yang buruk. Sumber risiko ini
61
adalah keterbatasan petani, baik modal untuk membeli pupuk atau obat-obatan maupun keterbatasan wawasan untuk melakukan budidaya secara tepat. Perubahan cuaca, hama, dan penyakit tanaman yang sering menyerang tanaman padi petani sering membuat kualitas petani menjadi buruk. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan jumlah panen yang sedikit, butir hampa, dan butir kuning pada gabah. Saat melakukan pemasaran, terutama saat panen raya, petani juga memperoleh risiko harga jual yang menjadi lebih rendah. Namun, kebijakan pemerintah seperti kebijakan HPP sebenarnya sangat membantu untuk mengurangi risiko tersebut. Tengkulak dan Pengumpul Besar memiliki risiko harga jual yang rendah akibat kualitas gabah yang menurun. Proses pengangkutan dan penyimpanan yang terlalu lama yang dilakukan oleh anggota rantai pasok tersebut dapat memperburuk kualitas gabah sehingga harga gabah menjadi lebih rendah. Selain itu, sumber risiko lainnya yang dihadapi oleh anggota rantai tersebut adalah penyusutan gabah sekitar 5%. Risiko yang dihadapi oleh pengolah gabah seperti penggilingan desa, pengumpul besar, dan pabrik beras, adalah jumlah hasil olahan yang rendah dari yang diperkirakannya. Rendemen gabah yang digiling dapat jauh dibawah rendemen rata-rata, yakni 54%. Hal ini disebabkan karena kualitas gabah yang buruk. Kondisi gabah yang buruk juga dapat menyebabkan kualitas beras yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini ditandai dengan warna beras yang menguning. Selain itu, risiko kualitas beras yang rendah juga dapat diakibatkan sumber daya manusia atau mesin saat pengolahan. Hal ini misalnya ditunjukkan banyaknya kotoran yang tercampur dalam beras dan jumlah butir patah beras. Risiko harga beras yang rendah juga dapat dialami oleh pengolah gabah. Hal ini terutama diakibatkan jumlah penawaran beras di pasar yang relatif tinggi. Di sisi lain, risiko utama yang dihadapi oleh pedagang besar dan pengecer adalah risiko harga beras yang turun akibat penawaran beras yang lebih jauh meningkat dibandingkan permintaannya. Selain itu, terdapat pula risiko kualitas beras yang memburuk akibat proses penyimpanan yang tidak baik atau terlalu lama.
Proses Membangun Kepercayaan Kepercayaan sangat penting untuk kesuksesan hubungan antara pemasok dan pembeli (Doney dan Cannon 1997). Kepercayaan diantara anggota rantai pasok semakin kuat apabila anggota rantai pasok yang bekerjasama dapat selalu memenuhi kesepakatan yang telah dibuat. Misalnya, antara petani dengan tengkulak. Hubungan kedua anggota rantai pasok tersebut dapat semakin baik saat tengkulak dapat selalu memenuhi janjinya terkait waktu pembayaran dari hasil panen petani yang dibeli oleh tengkulak tersebut. Hal yang sama terjadi pada pemasok beras dengan pedagang besar atau pengecer, baik di dalam maupun luar Cianjur. Kepercayaan diantara mereka dapat semakin kuat saat pedagang beras, sebagai pembeli, memenuhi janjinya terkait waktu pembayaran. Pabrik beras atau pengumpul besar sebagai pemasok juga dapat semakin dipercaya apabila waktu pengirimannya dapat sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, kualitas beras yang dikirimkan harus benar-benar sesuai dengan kualitas beras sampel dalam kesepakatan. Hal yang sama terjadi diantara pedagang besar dengan pengecer, dimana pedagang besar sebagai pemasok dan pengecer sebagai pembeli atau konsumennya. Semakin tinggi komitmen pemasok untuk menjalin hubungan
62
berkelanjutan dengan pembeli maka semakin tinggi kepercayaan pembeli terhadap pemasok tersebut (Bowo 2003). Pemenuhan kesepakatan oleh pemasok atau pembeli menujukkan komitmennya (Morgan dan Hunt 1994). Komunikasi juga mempengaruhi tingkat kepercayaan diantara pihak-pihak yang bekerjasama (Bowo 2003; Morgan dan Hunt 1994). Misalnya pedagang besar di Cianjur atau Cipinang yang menyampaikan kondisi dan harga beras di pasar kepada pabrik beras atau pengumpul besar. Pabrik beras atau pengumpul besar juga menyampaikan kondisi terkait ketersediaan dan kualitas gabah dari petani terhadap pedagang beras tersebut. Melalui tengkulak, pabrik dan pengumpul besar juga membagikan informasi pasar yang sebenarnya secara terus menerus kepada petani untuk membangun kepercayaan diantara angota rantai pasok tersebut. Efisiensi Teknis Setiap Saluran Rantai Pasok Terdapat 10 saluran rantai pasok beras di Cibeber, Kabupaten Cianjur. Kinerja setiap saluran rantai pasok diukur dengan pendekatan efisiensi teknis masing-masing saluran menggunakan metode DEA. Melalui DEA, efisiensi kinerja setiap DMU saluran rantai pasok dapat dibandingkan dengan DMU lainnya. Target yang harus dicapai setiap DMU yang belum efisien juga dapat diketahui melalui metode DEA. Input DEA yang digunakan dalam penelitian ini adalah total biaya pemasaran dan marjin pemasaran yang terdapat pada masing-masing saluran. Sedangkan outputnya adalah farmer’s share, total keuntungan, dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran pada setiap saluran yang ada. Biaya pemasaran yang dimaksud mencakup biaya pengolahan, transportasi atau bongkar muat, penyusutan, dan pengemasan. Besarnya variabel-variabel tersebut pada setiap saluran ditunjukkan oleh Tabel 8. Orientasi DEA yang dipilih dalam penelitian adalah orientasi output, dengan pendekatan VRS. Terdapat asumsi bahwa rasio penambahan input dengan penambahan output, tidak sama. Tabel 8 Total Biaya, Marjin, Farmer’s Share, Keuntungan, dan Rasio Keuntungan terhadap Biaya Pemasaran pada Sepuluh Saluran Rantai Pasok Beras di Cibeber, Cianjur Saluran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Biaya Marjin Farmer’s Keuntungan Rasio keuntungan pemasaran pemasaran (Rp) share (%) (Rp) terhadap biaya (Rp) pemasaran 2329 5 000 41.17 2671 1.14 2273 4 900 42.35 2627 1.15 2229 4 800 41.17 2571 1.15 2387.53 4 800 43.52 2412.47 1.01 2330.03 4 500 45.12 2169.97 0.93 2324.03 4 800 43.52 2475.97 1.06 2266.53 4 500 45.12 2233.47 0.98 2427.53 5 800 38.94 3372.47 1.38 2568.53 6 000 38.14 3431.47 1.33 2505.03 6 000 38.14 3494.97 1.39
63
Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan DEA, terdapat 4 saluran rantai pasok beras di Cibeber, Kabupaten Cianjur, yang masih belum efisien dari total 10 saluran yang ada. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 12. Hal ini ditunjukkan melalui nilai efisensi teknis saluran 1, 4, 6, dan 9 yang memiliki nilai efisiensi kurang dari 1. Sedangkan saluran lainnya, yakni saluran 2, 3, 5, 7, 8, 10, telah efisien. Saluran 4 saluran yang memiliki nilai efisiensi terendah dibandingkan saluran lainnya. Meskipun keempat saluran tersebut belum efisien, namun nilai efisiensi teknisnya sebenarnya masih cukup baik dibandingkan saluran lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai efisensi terkecil, pada saluran 4, diatas 0.988. Artinya, secara operasional atau teknis, saluran pemasaran beras dari Cibeber, Cianjur masih cukup baik. Hal ini dapat disebabkan adanya integrasi yang telah cukup baik pada rantai pasok tersebut. Pembagian informasi yang baik diantara anggota rantai pasok menjadi salah satu indikator baiknya proses integrasi. Informasi seperti harga dan kualitas beras, kendala produksi di tingkat petani, dibagikan dengan baik oleh anggota rantai pasok. Tengkulak merupakan lembaga yang terlibat pada 3 dari 4 saluran yang tidak efisien. Tengkulak terdapat pada saluran 1, 4, dan 9. Tengkulak, sebagai lembaga yang hanya berfungsi sebagai penjual dan pembeli GKP, dapat menjadi penyebab saluran menjadi tidak efisien. Tengkulak memang merupakan mitra bagi pengumpul besar karena dapat menjamin adanya pasokan gabah bagi pengumpul. Namun, pada pada jangka panjang, keberadaan tengkulak tersebut tentu akan dapat terancam karena menyebabkan saluran menjadi tidak efisien. Apabila pengumpul telah memiliki jaringan petani pemasok gabah yang baik, peranan tengkulak bisa saja tidak lagi dibutuhkan pada saluran. Selain tengkulak, terdapat lembaga lain yang terlibat pada 3 dari 4 saluran yang tidak efisien. Lembaga tersebut adalah pengumpul besar. Lembaga tersebut terlibat pada saluran 4, 6, dan 9. Namun, lembaga tersebut tentu mempuyai peranan penting pada saluran karena lembaga tersebut memiliki fungsi yang sangat penting, yakni mengolah gabah menjadi beras. 1 0,998 0,996 0,994 0,992
Technical 0,99 Efficiency0,988 Score 0,986 0,984 0,982 01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
DMU Saluran Gambar 12 Sebaran Skor Efisiensi Teknis Rantai Pasok Beras di Kabupaten Cianjur dengan Model DEA VRS pada Setiap Saluran Rantai Pasok
64
Selanjutnya Tabel 9 menunjukkan bagaimana tren return to scale dari DMU saluran rantai pasok beras di Cianjur. Saluran 1, 4, 6, 9 memiliki tren decreasing. Artinya, besarnya peningkatan output masih lebih rendah dibandingkan setiap peningkatan input DEA. Sedangkan saluran lainnya yang telah efisien memiki tren return to scale yang constant. Artinya, pada setiap saluran tersebut, proporsi peningkatan output yang dihasilkan dari setiap peningkatan input yang digunakan adalah sama. Tabel 9 Nilai Efisiensi CRS, VRSTE, SE, dan Trend Return to Scale Setiap DMU Saluran Rantai Pasok DMU CRS VRSTE SE Keterangan 1 0,986018 0.994263 0.991707 Decreasing 2 1 1 1 Constant 3 1 1 1 Constant 4 0,972808 0.989015 0.983614 Decreasing 5 1 1 1 Constant 6 0,989668 0,995034 0,994607 Decreasing 7 1 1 1 Constant 8 1 1 1 Constant 9 0,982755 0,993636 0,989049 Decreasing 10 1 1 1 Constant
Saluran 1, 4, 6, dan 9, sebagai saluran yang tidak efisien, memiliki saluran yang dapat digunakan sebagai pembandingnya. Hal ini dapat dilihat dari output DEA pada Tabel 10. Saluran 2 dan 7, yang menjadi saluran pembanding, memiliki tujuan pasar yakni konsumen beras di Cianjur. Tujuan penjualan ini sama halnya dengan saluran 1, 4, dan 6. Sedangkan pada saluran 8 dan 10, konsumen akhirnya berada di daerah Jakarta. Tujuan penjualan ini sama halnya dengan tujuan saluran 9 yang tidak efisien. Saluran 4, sebagai saluran yang paling tidak efisien, memiliki saluran 7 dan 8 sebagai pembanding. Saluran 4 memang salah satu saluran rantai pasok yang memiliki jumlah lembaga terbanyak. Harga jual beras pada konsumen akhir pada saluran 7 memang lebih rendah sebesar Rp 300 dibandingkan saluran 4 tersebut, namun jumlah lembaga yang terlibat lebih sedikit sehingga total keuntungan pada saluran tersebut dapat menjadi lebih besar. Di sisi lain, volume penjualan beras melalui saluran 7 juga sebenarnya juga relatif sedikit, dimana pada saluran tersebut pedagang besar menjual beras secara langsung ke konsumen. Apabila dibandingkan dengan saluran 8, harga jual ke konsumen akhir pada saluran 8 memang lebih tinggi dan mempengaruhi keuntungan yang semakin besar pada saluran ini. Hal ini terutama terjadi karena adanya proses nilai tambah tempat pada konsumen yang berada di daerah Jakarta.
65
Tabel 10 Sebaran Perbandingan untuk Setiap Saluran Rantai Pasok DMU DMU Saluran Pembanding 1 2; 10 2 2 3 3 4 7; 8 5 7 6 7 7 7 8 8 9 7;8;10 10 10
Berdasarkan Tabel 11, agar lebih efisien, rata-rata nilai input harus dikurangi dan nilai output harus ditingkatkan dari rata-rata nilai aktual pada saluran yang tidak efisien tesebut. Biaya pemasaran harus dikurangi sebesar 2.41% dan marjin pemasaran harus dikurangi sebesar 0.75%. Jumlah lembaga yang terlibat dalam rantai pasok dapat menjadi penyebab tingginya biaya dan marjin pemasaran pada saluran yang tidak efisien. Total biaya dan marjin pemasaran pada setiap kg beras yang disalurkan melalui saluran tidak efisien, masing-masing harus dikurangi sebesar Rp 57.83 dan Rp 38.69 dari total biaya aktual, yakni Rp 2 402.27 dan Rp 5 150. Dilihat dari sisi output, yakni rata-rata farmer’s share, keuntungan, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran yang tidak efisien harus ditingkatkan sebesar 1.10%, 0.70%, dan 2.04%. Masingmasing dari variabel output tersebut harus ditingkatkan sebesar 0.46%, Rp 19.14, dan 0.02 dari nilai aktualnya, yakni 41.59%, Rp 2 747.73, dan 1.08. Tabel 11 Rata-rata Potential Improvements Saluran (1, 4, 6, 9) Faktor Variabel Aktual Target Potential Improvements Input Biaya pemasaran 2 402.27 2 344.44 -57.83(2.41%) Marjin pemasaran 5 150 5 111.31 -38.69(0.75%) Output Farmer’s share 41.59 42.05 0.46(1.10%) Keuntungan 2 747.73 2 766.86 19.14(0.70%) Rasio Keuntungan 1.08 1.10 0.02(2.04%) terhadap biaya Integrasi Pasar Vertikal pada Rantai Pasok Beras di Cianjur Stasioneritas Data Integrasi antara harga gabah petani Cianjur dengan harga beras di pengumpul besar, pengecer Cianjur, dan pedagang di Pasar Cipinang, diukur menggunakan model VAR. Tahap pertama sebelum menggunakan model VAR adalah memeriksa apakah data tersebut stasioner atau tidak. Penggunaan data non-
66
stasioner dapat menghasilkan spurious regression. Apabila tidak stasioner, maka dapat dilakukan diffrencing terhadap data sehingga menjadi stasioner. Selain itu, dapat pula dengan cara merestriksi VAR dengan persamaan kointegrasi sehingga modelnya menjadi VECM. Apabila telah stasioner, maka model VAR dapat dapat diestimasi. Uji stasioner dalam penelitian ini menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) pada level tanpa memasukkan trend dan intercept. Berdasarkan uji ADF, semua data tidak stasioner pada level. Oleh karena itu, seluruh data tersebut kemudian diuji stasioneritasnya pada first diffrence. Pada tahapan ini, semua data telah stasioner. Lampiran 2 menunjukkan hasil uji ADF pada data, yakni harga gabah petani Cianjur. Lampiran 3 menunjukkan hasil uji ADF pada data harga beras di tingkat pengumpul besar Cianjur. Lampiran 4 menunjukkan hasil uji ADF pada data harga beras di tingkat pengecer Cianjur. Sedangkan Lampiran 5 menunjukkan hasil uji ADF pada data lainnya, yakni harga beras pada tingkat pedagang beras di Cipinang. Berdasarkan hasil uji ADF pada semua data yang digunakan, menolak hipotesis nol pada taraf nyata 5%. Hipotesis nol mengansumsikan bahwa terdapat unit root. Karena hipotesis tersebut ditolak, maka data telah stasioner.
Lag Optimal Estimasi VAR membutuhkan informasi berapa lag optimal yang digunakan. Tahap awal untuk menentukan lag optimal adalah dengan melakukan estimasi VAR mulai dari lag terendah, yakni satu. Kemudian, dilakukan pengujian apakah model VAR tersebut sudah stabil. Hal ini dapat dilihat dari AR Roots Table yang tersedia di Eviews. Proses tersebut terus dilakukan sampai diperoleh informasi lag maksimum dimana VAR masih stabil. Kemudian, berdasarkan informasi lag maksimum yang telah diperoleh, dilihat kembali lag yang memiliki kriteria lag optimal. Hal ini dapat diperoleh dari lag length criteria di Eviews. Kriteria LR, SC, HQ, FPE, dan AIC menjadi pertimbangan dalam pemilihan lag yang optimal. Kemudian, dilakukan estimasi VAR pada kandidat lag optimal dengan pertimbangan kriteria-kriteria tersebut. Sistem VAR dengan nilai adj. R squared tertinggi kemudian dipertimbangkan sebagai sistem VAR dengan lag optimal. Berdasarkan AR Roots Table, estimasi VAR pada seluruh data yang diuji integrasinya, masih stabil sampai lag ke-2. Artinya, persamaan tersebut memiliki lag 2 sebagai maksimum. Kemudian, lag optimal diperoleh dengan menggunakan lag lenght criteria. Berdasarkan output pada Lampiran 6, lag optimal yang diperoleh adalah lag 1. Hal ini mempertimbangkan indikator seperti LR, FPE, AIC, SC dan HQ pada lag tersebut.
Uji Kausalitas Sebelum mengestimasi model VAR, dilakukan uji kausalitas Granger pada variabel dalam setiap persamaan, termasuk antara harga gabah petani dengan harga beras di pengumpul besar Cianjur. Seluruh uji kausalitas dilakukan dengan menggunakan lag 1 yang dianggap sebagai lag optimal sebelumnya. Lampiran 7 menunjukkan arah hubungan diantara variabel-variabel dalam persamaan integrasi. Berdasarkan Lampiran 7, ditunjukkan bahwa terdapat hubungan satu arah, yakni
67
harga gabah petani dapat mempengaruhi harga beras di tingkat pengumpul besar. Petani memiliki pengaruh karena pasokan gabah petani memang sangat dibutuhkan oleh pengolah atau pabrik. Tanpa gabah dari petani, pabrik dapat mengalami kerugian karena pabrik telah mengeluarkan biaya yang besar untuk pengadaan mesin pengolahan. Hal tersebut dapat diterima dalam skala kepercayaan 10%. Hal ini menggambarkan bahwa kenaikan atau penurunan harga gabah dari petani akan mempengaruhi biaya pengadaan gabah untuk menghasilkan beras oleh pengumpul besar. Harga gabah di petani sendiri tidak dipengaruhi oleh harga beras di pengumpul besar, namun dapat disebabkan oleh jumlah ketersediaan gabah di daerah tersebut. Faktor faktor seperti musiman, hama dan penyakit akan mempengaruhi jumlah ketersediaan atau produksi gabah (Maulana 2012). Berdasarkan Granger Test, ditunjukkan pula hubungan satu arah antara harga gabah di petani dengan harga beras di pengecer Cianjur. Hanya harga gabah di petani yang berpengaruh terhadap harga beras di pengecer, namun tidak berlaku sebaliknya. Hal ini diterima pada skala kepercayaan 10%. Perubahan harga beras di pengecer tidak berpengaruh terhadap perubahan harga gabah di petani. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kebijakan Harga Pembelian Pemerintah untuk melindungi harga gabah di petani. Saat harga gabah di tingkat petani meningkat, pengecer dapat memanfaatkan informasi tersebut sebagai dasar peningkatan harga penjualan berasnya ke konsumen. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tidak efektif, apabila melalui intervensi mekanisme pasar beras di pengecer Cianjur (Mardianto et al. 2005). Hasil uji kausalitas antara harga beras di Pasar Cipinang dengan harga gabah di petani Cianjur menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kedua level lembaga tersebut. Hal ini dapat disebabkan rasio beras yang masuk ke Pasar Cipinang memang hanya sedikit, yakni kurang dari 5%. Beras yang masuk ke Cipinang sebenarnya didominasi oleh hasil panen petani di Karawang. Beras yang masuk ke pedagang beras di Cipinang setiap harinya dapat mencapai 2 500- 3 000 ton. Beras tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perubahan jumlah atau harga gabah petani di Cianjur menjadi tidak berpengaruh terhadap perubahan harga beras di Pasar Cipinang dan begitu juga sebaliknya. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa usaha peningkatan kesejahteraan petani Cianjur melalui intervensi pemerintah terhadap pasar beras di Cipinang menjadi tidak efektif (Mardianto et al. 2005) Arah transmisi harga pada rantai pasok beras di Cianjur adalah dari petani ke pengumpul besar dan pengecer di Cianjur (Jezghani et al. 2011). Namun, perubahan harga gabah di petani Cianjur tidak menyebabkan perubahan harga beras di Cipinang. Artinya, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan harga pembelian gabah, hanya akan meningkatkan harga beras di Cianjur itu sendiri. Namun, hal tersebut tidak akan menaikkan harga beras di perkotaan seperti Jakarta. Harga beras di perkotaan baru akan naik apabila pemerintah menaikkan harga gabah di seluruh sentra produksi di Indonesia (Hermawan et al. 2008). Harga beras di tingkat pengumpul besar tidak memiliki pengaruh dengan harga beras di tingkat pengecer Cianjur, begitupun sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan jumlah beras dari pengumpul besar di Cianjur sebenarnya banyak mengalir ke pengecer di luar Cianjur. Selain itu, pengumpul besar juga banyak
68
memanfaatkan gabahnya untuk dijual kembali kepada pabrik beras yang kemudian mengalirkan beras ke luar Cianjur. Faktor lainnya adalah keberadaan pedagang besar sebagai lembaga perantara bagi pengumpul besar dan pengecer di Cianjur. Pedagang besar dapat memperoleh pasokan berasnya dari daerah lain seperti Karawang, bukan hanya dari pedagang pengumpul di Cianjur. Harga beras di tingkat pengumpul besar Cianjur memiliki hubungan 2 arah dengan harga beras di tingkat pedagang Pasar Cipinang. Hal ini dapat diterima dalam skala kepercayaan 5%. Harga beras di Cipinang tetap menjadi acuan dan berpengaruh terhadap harga beras di pengumpul besar, meskipun sebenarnya beras banyak mengalir ke pengecer secara langsung tanpa melalui pedagang di Cipinang. Harga beras di pengecer Cianjur memiliki hubungan 2 arah dengan harga beras di Pasar Cipinang. Hal ini dapat diterima dalam skala kepercayaan 5%. Meskipun sebenarnya hampir tidak ada beras yang mengalir secara langsung diantara kedua level lembaga tersebut, namun arus informasi dari masing-masing pasar dapat saling mempengaruhi penetapan harga oleh lembaga tersebut. Pasar beras di Cipinang memang sering menjadi acuan bagi penetapan harga beras oleh pedagang beras di Indonesia. Di sisi lain, karakter beras Cianjur memiliki citra dengan kualitas baik. Hal ini menyebabkan harga beras Cianjur dan segmen pasar yang dituju cenderung berbeda dengan beras dari daerah lain di Indonesia (Natawidjaja dalam Mardianto et al. 2005). Hal ini pula yang dapat menyebabkan pentingnya bagi pedagang beras di Pasar Cipinang untuk menyerap informasi harga beras pada tingkat pengecer di daerah Cianjur. Informasi tersebut juga dapat mempengaruhi pedagang di Cipinang dalam menetapkan harga beras Cianjur, yang memiliki citra dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan beras dari daerah lain.
Estimasi VAR/VECM Uji kointegrasi dilakukan karena data harga gabah dan beras yang stasioner pada first diffrence. Hal ini dibutuhkan untuk menentukan model VAR yang digunakan. Pada uji kointegrasi Johansen, ditemukan adanya 1 kointegrasi berdasarkan output dari statistik uji trace dan maximum eigenvalue. Peubah yang saling terkointegrasi tersebut akan memiliki hubungan jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh Lampiran 8. Terdapat nilai trace statistic dan maximum eigenvalue statistic yang lebih besar daripada nilai titik kritisnya. Hal itu juga dapat diterima pada skala kepercayaan 5%, dimana nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0.05. Pengujian kointegrasi tersebut menggunakan asumsi trend deterministic, yakni linear intercept trend. Hal ini berdasarkan nilai AIC yang terkecil pada trend deterministic tersebut. Adanya kointegasi juga mengimplikasikan bahwa model estimasi yang akan digunakan untuk melihat integrasi diantara level lembaga yang diuji adalah VECM. Hasil estimasi VECM pada lag optimal, yakni lag 1, ditunjukkan oleh Lampiran 9. Berdasarkan Lampiran tersebut, seluruh koefisien peubah jangka panjang VECM telah signifikan pada taraf nyata 5%. Harga gabah di petani Cianjur menjadi variabel terikat dalam model tersebut. Harga beras di pengumpul besar Cianjur, pengecer Cianjur, dan pedagang Cipinang, menjadi variabel bebas. Masing-masing koefisien variabel bebas itu adalah 4.455997, -2.701322, dan -
69
7.661604. Pada jangka panjang, semua variabel tersebut terkointegrasi terhadap harga gabah di tingkat petani Cianjur. Hal ini mengimpikasikan bahwa beras memang masih menjadi makanan pokok di Indonesia, sehingga pergerakan harga pada anggota rantai pasok lain tergantung pada harga gabah di tingkat petani, dalam jangka panjang (Ohen dan Abang 2011). Namun, hanya harga beras di pengumpul besar Cianjur saja yang memiliki hubungan positif dengan harga gabah di petani Cianjur. Sedangkan harga beras di pengecer Cianjur dan pedagang Cipinang justru memiliki hubungan negatif dalam jangka panjang. Tidak turunnya harga beras di tingkat pedagang saat harga gabah petani telah turun, dapat disebabkan oleh aktivitas penyimpanan. Beras merupakan komoditi yang dapat disimpan. Pedagang tidak akan merespon harga input atau gabah dengan mengubah harga output atau beras, namun dengan mengubah jumlah pasokan di pasar (Revoredo et al. dalam Hermawan et al. 2008). Lampiran 9 menunjukkan pula koefisien error correction term (ECT) yang menggambarkan kecepatan penyesuaian per periode menuju keseimbangan jangka panjang. Koefisien ECT pada masing-masing variabel bernilai kecil, yakni kurang dari 1. Koefisien ECT yang signifikan pada taraf nyata 5% adalah koefisien variabel harga beras di tingkat pengumpul besar dan pedagang Cipinang. Masingmasing bernilai -0.171048 dan 0.031921. Koefisien yang lebih besar pada tingkat pengumpul besar menunjukkan bahwa waktu penyesuaian oleh pedagang pengumpul besar lebih cepat. Nilai koefisien sebesar -0.171048 menunjukkan bahwa fluktuasi keseimbangan jangka pendek akan dikoreksi menuju kesimbangan jangka panjang, dimana sekitar 17.10% proses penyesuaiannya terjadi pada bulan pertama. Nilai koefisien yang bernilai negatif pada koefisien pedagang pengumpul menunjukkan apabila terjadi penyimpangan harga pada jangka pendek maka penyimpangan tersebut akan kembali terkoreksi ke garis keseimbangan jangka panjang. Artinya, meskipun kenaikan harga gabah di petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras di pengumpul besar, namun pada suatu periode harga beras di level pengumpul besar tersebut pasti akan ikut menyesuaikan naik. Hal ini berbeda dengan koefisien harga beras di Cipinang yang bernilai positif. Hal ini menggambarkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali ke keseimbangan jangka panjang. Artinya, penurunan harga gabah petani Cianjur yang tidak diikuti penurunan harga beras di pedagang Cipinang, akan tetap tidak diikuti dengan penyesuaian penurunan harga beras di Cipinang. Hal ini dapat disebabkan posisi tawar pedagang Cipinang yang kuat karena pedagang memiliki persediaan beras yang besar. Selain itu, rasio beras yang masuk dari Cianjur ke pedagang Cipinang memang sedikit. Lampiran 9 juga menunjukkan hubungan jangka pendek antar variabel dalam persamaan integrasi dan hubungan variabel itu sendiri dengan lagnya. Harga gabah di petani Cianjur hanya dipengaruhi oleh harga gabah itu sendiri pada satu bulan sebelumnya. Koefisien lag-1 sebesar -0.571852 yang signifikan pada taraf nyata 5%, menunjukkan apabila terjadi penurunan harga gabah pada satu bulan sebelumnya sebesar 1 satuan maka akan meningkatkan harga gabah sebesar 0.571852 pada bulan berikutnya. Di sisi lain, dalam jangka pendek, harga gabah di petani Cianjur juga berhubungan negatif dengan harga beras di pengecer Cianjur. Koefisien -0.517258 menunjukkan apabila harga gabah di petani Cianjur pada satu bulan sebelumnya turun sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan
70
kenaikan harga beras di tingkat pengecer Cianjur sebesar 0.517258. Hal ini dapat disebabkan oleh kebijakan pemerintah seperti kebijakan HPP. Pengecer atau pedagang akan menganggap penurunan harga gabah di petani hanya akan bersifat sementara. Penurunan tersebut akan diikuti oleh intervensi pemerintah untuk melindungi petani sehingga harga gabah akan kembali naik (Firdaussy 2012). Di sisi lain, harga beras di tingkat pengumpul besar dan pedagang Cipinang ternyata hanya dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjangnya.
Analisis Dampak Guncangan Harga Hasil impulse response function (IRF) menggambarkan dampak dari guncangan di setiap variabel, yakni harga gabah petani (PT), harga beras pengumpul besar (MT), harga beras pengecer Cianjur (RTC), dan harga beras pedagang Cipinang (RTJ).
Dampak Guncangan Harga Gabah di Petani Cianjur Output IRF yang menggambarkan dampak dari guncangan harga gabah di petani Cianjur ditunjukkan oleh Gambar 13. Guncangan harga gabah di tingkat petani Cianjur selalu memberikan dampak positif terhadap harga gabah itu sendiri. Dampak terbesar lansung terjadi pada bulan pertama. Meskipun sempat turun pada bulan kedua, namun dampak tersebut kembali naik dan relatif stabil sejak bulan ketiga. Hal yang sama terjadi bagi pengumpul besar, dimana guncangan harga gabah petani memberikan dampak terbesar di bulan pertama, namun kemudian turun pada bulan kedua. Namun besarnya dampak tersebut lebih kecil dibandingkan besarnya dampak terhadap harga gabah itu sendiri. Dampak juga semakin kecil pada tingkat pengecer Cianjur dan pedagang Cipinang. Meskipun sangat kecil nilainya, guncangan harga gabah petani bahkan selalu berdampak negatif bagi pengecer tersebut sejak bulan keempat. Artinya, guncangan harga gabah di petani Cianjur memang paling dominan berdampak pada harga gabah itu sendiri dan harga beras di tingkat pengumpul besar. Response to Cholesky One S.D. Innovations Res pons e of PT to PT
Res pons e of MT to PT
.36
.25
.32
.20
.28
.15
.24
.10
.20
.05
.16
.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Res pons e of RTC to PT
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Res pons e of RTJ to PT
.08
.10 .09
.04
.08 .00 .07 -.04 .06 -.08
.05
-.12
.04 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 13 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Gabah di Petani Cianjur
71
Dampak Guncangan Harga Beras di Pengumpul Besar Cianjur Output IRF yang menggambarkan dampak dari guncangan harga beras di pengumpul besar Cianjur ditunjukkan oleh Gambar 14.Guncangan harga di tingkat pengumpul besar berdampak sangat kecil bagi harga gabah di tingkat petani. Bahkan pada bulan pertama, dampak tersebut tidak dirasakan oleh petani. Guncangan harga baru berdampak besar terhadap harga beras di pengumpul itu sendiri. Dampak terbesar terjadi secara langsung sejak bulan pertama dan relatif stabil sejak bulan kelima. Guncangan harga beras di pengumpul besar juga memberikan dampak yang besar kepada pengecer Cianjur. Hal ini terutama terjadi karena banyaknya jumlah beras yang mengalir diantara kedua level pasar tersebut. Pengecer yang berada di kabupaten yang sama dengan pengumpul besar juga sering melakukan penyesuaian harga jualnya sesuai dengan perubahan harga pemasoknya. Di sisi lain, dampak guncangan harga beras di pengumpul besar bernilai kecil bagi pedagang Cipinang. Hal ini dapat disebabkan rasio beras yang masuk ke Cipinang dari Cianjur memang sangat sedikit. Response to Cholesky One S.D. Innovations Res pons e of PT to MT
Res pons e of MT to MT .55 .50
.12
.45 .08
.40 .35
.04 .30 .00
.25 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Res pons e of RTC to MT
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Res pons e of RTJ to MT
.40
.12
.38
.10
.36
.08
.34
.06
.32
.04
.30
.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 14 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pengumpul Besar Cianjur
Dampak Guncangan Harga Beras di Pengecer Cianjur Output IRF yang menggambarkan dampak dari guncangan harga beras di pengecer Cianjur ditunjukkan oleh Gambar 15. Guncangan harga beras di pengecer Cianjur berdampak sangat kecil bagi harga gabah di petani dan harga beras di pengumpul besar Cianjur. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga beras di pengecer Cianjur memang tidak begitu dirasakan oleh petani di Cianjur. Perubahan juga tidak berdampak besar bagi pengumpul besar karena aliran beras dari pengumpul besar juga banyak didominasi ke pengecer luar kabupaten. Hal yang sama bagi pedagang di Cipinang, bahkan dampak cenderung negatif. Guncangan harga beras di pengecer Cianjur hanya berdampak besar bagi pengecer tersebut. Dampak terbesar lansung terjadi pada bulan pertama dan relatif stabil sejak bulan kedua.
72
Response to Cholesky One S.D. Innovations Res pons e of PT to RTC
Res pons e of MT to RTC
.05
.12 .10
.04
.08 .03 .06 .02 .04 .01
.02
.00
.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Res pons e of RTC to RTC
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Res pons e of RTJ to RTC
.28
-.012
.26
-.016
.24
-.020
.22
-.024
.20
-.028
.18
-.032 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 15 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pengecer Cianjur
Dampak Guncangan Harga Beras di Pedagang Pasar Cipinang Output IRF yang menggambarkan dampak dari guncangan harga beras di pedagang pasar Cipinang ditunjukkan oleh Gambar 16. Guncangan harga beras di pedagang Cipinang juga memiliki dampak yang sangat kecil, baik untuk pedagang di Pasar Cipinang itu sendiri, pengecer di Cianjur, maupun harga gabah di petani Cianjur. Harga gabah di petani Cianjur bahkan memiliki response yang bersifat negatif terhadap guncangan harga beras di Cipinang. Dibandingkan level pasar lainnya, pedagang pengumpul besar di Cianjur memiliki dampak yang paling besar oleh guncangan harga di Cipinang. Meskipun sedikit aliran beras ke Cipinang, namun pasar tersebut memang masih memiliki pengaruh bagi pengumpul beras atau pabrik beras dalam penetapan penetapan harga jual berasnya. Response to Cholesky One S.D. Innovations Res pons e of PT to RTJ
Res pons e of MT to RTJ
.00
.20
-.02
.16
-.04
.12
-.06
.08
-.08
.04
-.10
.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Res pons e of RTC to RTJ
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Res pons e of RTJ to RTJ
.00
.090 .085
-.01 .080 -.02
.075 .070
-.03 .065 -.04
.060 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 16 Output Impulse Response Function (IRF) pada Guncangan Harga Beras di Pedagang Pasar Cipinang
73
Saluran 4 merupakan saluran yang memiliki nilai efisiensi teknis terkecil dibandingkan saluran lainnya. Saluran ini juga melibatkan pengumpul besar dan pengecer di Cianjur. Berdasarkan analisis IRF, terdapat perbedaan response apabila terjadi guncangan pada masing-masing lembaga tersebut. Sejak bulan pertama, pengecer Cianjur mengalami dampak yang cukup besar apabila terjadi guncangan harga di pengumpul besar. Waktu penyesuaian sehingga dampak tersebut menjadi stabil, baru terjadi sejak bulan kelima. Di sisi lain, dampak yang dirasakan oleh pengumpul relatif lebih kecil apabila terjadi guncangan harga di tingkat pengecer Cianjur. Guncangan harga beras di pengecer Cianjur tersebut bahkan tidak berdampak bagi pengumpul besar pada bulan pertama. Kondisi ini dapat mengimplikasikan pula bahwa memang terdapat lembaga-lembaga dengan kekuatan yang berbeda pada saluran 4 tersebut. Saluran 4 memiliki konsumen akhir di Cianjur. Apabila dilihat dari farmer’s share yang cukup tinggi, saluran 4 sebenarnya memiliki output DEA yang cukup baik. Hal ini dapat disebabkan oleh proporsi harga penjualan gabah petani yang cukup besar apabila dibandingkan dengan harga beras di konsumen Cianjur. Namun, nilai efisiensi teknis saluran 4 tersebut relatif kecil dibandingkan saluran lain. Total biaya pemasaran yang tinggi pada saluran tersebut menjadi penyebab kecilnya nilai efisiensi tersebut. Beras yang dialirkan ke konsumen di luar Cianjur justru memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi. Di sisi lain, berdasarkan analisis IRF, guncangan harga beras di pengecer Cianjur dan pedagang di luar Cianjur, yakni pedagang di Cipinang, sama-sama tidak memiliki dampak yang besar bagi harga gabah di tingkat petani Cianjur. Artinya, petani di Cianjur sebenarnya tidak merasakan dampak yang khusus apabila beras dari hasil olahan gabahnya, berikutnya dijual di dalam atau di luar Cianjur. Proporsi biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh petani juga sangat kecil dibandingkan biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh seluruh anggota rantai pasok. Petani hanya menjual hasil panennya dalam bentuk GKP. Petani juga tidak mengeluarkan biaya transportasi karena GKP dijemput oleh tengkulak.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beras dari Cibeber, Cianjur, bukan hanya dialirkan di Cianjur, namun juga ke kota lain seperti Jakarta. Aliran beras tersebut melibatkan pedagang di Pasar Cipinang. Meskipun aliran beras dari Cianjur ke Pasar Cipinang hanya sedikit, namun sistem grading di pasar tersebut sering menjadi acuan bagi anggota rantai pasok beras di Cianjur. Berdasarkan integrasi pasar vertikal, pedagang di Pasar Cipinang bahkan dapat mempengaruhi harga beras di tingkat pengumpul besar dan pengecer Cianjur. Pabrik beras merupakan anggota rantai pasok yang paling mengalami kesulitan saat tidak mendapatkan pasokan gabah dari petani. Hal ini disebabkan pabrik tersebut telah mengeluarkan biaya tetap dalam jumlah besar. Pabrik beras juga berperan penting dalam menyampaikan informasi seperti informasi harga beras di luar Cianjur, yakni di Pasar Cipinang. Aliran finansial diantara anggota
74
rantai pasok cukup cepat. Hal ini menjadi penting bagi anggota rantai pasok untuk dapat bersaing dalam memperoleh pasokan gabah atau beras. Berdasarkan efisiensi teknis saluran rantai pasok, masih hanya 6 dari 10 saluran yang nilai efisiensinya bernilai 1. Namun, secara umum, nilai efisiensi masing-masing saluran telah cukup baik. Hal ini disebabkan integrasi rantai pasok telah berlangsung cukup baik. Pembagian informasi seperti informasi kendala budidaya di tingkat petani, harga dan jumlah gabah dari petani, harga beras di pasar, telah dibagikan dengan baik diantara anggota rantai pasok. Perbaikan pada saluran yang tidak efisien (1, 4, 6, 9) dapat dilakukan dengan mengurangi biaya pemasaran dan marjin pemasaran pada saluran. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran, keuntungan, dan farmer’s share juga harus ditingkatkan. Saluran 4 (petani-tengkulak-pengumpul besar-pedagang besarpengecer-konsumen) merupakan saluran yang paling tidak efisien. Saluran menjadi tidak efisien karena banyaknya jumlah lembaga terlibat. Selain itu, saluran menjadi tidak efisien karena harga penjualan ke konsumen akhir Cianjur yang lebih rendah dibandingkan harga konsumen di Jakarta. Harga gabah di tingkat petani Cianjur dapat mempengaruhi harga beras di tingkat pengumpul besar dan pengecer, namun tidak berlaku sebaliknya. Hal ini mengimplikasikan bahwa posisi petani tidak lemah pada rantai pasok beras. Petani memiliki pilihan tujuan dalam menjual gabahnya, yakni tengkulak, penggilingan, dan pengumpul besar. Berdasarkan analisis IRF, harga gabah di tingkat petani Cianjur juga mengalami dampak yang sangat kecil apabila terjadi guncangan harga beras pada anggota rantai pasok lainnya. Di sisi lain, petani tidak dapat mempengaruhi harga beras di pedagang Pasar Cipinang. Posisi pedagang tersebut kuat karena memiliki persediaan beras dalam jumlah besar. Selain itu, pedagang tersebut memiliki jaringan pemasok beras dari berbagai daerah. Berdasarkan analisis IRF, harga beras di tingkat pedagang tersebut juga mengalami dampak yang sangat kecil apabila terjadi guncangan pada anggota rantai pasok beras lainnya. Saran 1.
2.
Aktivitas pengaliran beras oleh anggota rantai pasok ke luar Cianjur, seperti Jakarta, dapat meningkatkan harga jual berasnya. Namun, aktivitas penjualan ini juga perlu memperhatikan jumlah lembaga yang terlibat agar tetap efisien. Pemerintah perlu terus mengawasi proses penyimpanan beras oleh pedagang besar, terutama di Cipinang. Penyebab kenaikan harga beras di pasar bukan karena kenaikan harga gabah di petani, namun dapat disebabkan kemampuan pedagang untuk mempengaruhi pasokan beras di tingkat pasar.
75
DAFTAR PUSTAKA Anatan L, Ellitan LE. 2008. Supply Chain Management Teori dan Aplikasi. Bandung (ID): Alfabeta. Ariwibowo A. 2013. Analisis Rantai Distribusi Komoditas Padi dan Beras di Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Economics Development Analysis Journal. 2(2). Aryani D. 2012. Integrasi Vertikal Pasar Produsen Gabah dengan Pasar Ritel Beras di Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi. 11(2). Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Avkiran NK. 2006. Productivity Analysis in the Service Sector with Data Envelopment Analysis. Brisbane (AU): UQ Business School. Bank Indonesia. 2015. Skema Pembiayaan Pertanian dengan Pendekatan Konsep Rantai Nilai. [internet]. [diunduh 2015 Desember 20]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian. Bassey NE, Ibok OW, Akapaeti AJ. 2013. Rice Maket Structure, and Peformance in Nigeria: A Survey of Akwa Ibom State Rice Marketers. Asian Journal of Agricultural and Food Science. 1(3). Beamon BM. 1998. Supply Chain Design and Analysis: Models and Methods. International Journal of Production Economics. 55(3): 281-294. Boansi D. 2014. Yield response of rice in Nigeria: A Co-integration Analysis. American Journal of Agriculture and Forestry. 2(2):15-24. Bowo NH. 2003. Analisis Pengaruh Kepercayaan Untuk Mencapai Hubungan Jangka Panjang. Jurnal Sains Pemasaran. 3(1): 85-92. [BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk. [internet]. [diunduh 2015 Maret 24]. Tersedia pada: www.bps.go.id. __________________________. 2013. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi. [internet]. [diunduh 2014 Mei 17]. Tersedia pada: www.bps.go.id. Bupati Cianjur. 2012. Perwilayahan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Cianjur (ID): Pemerintah Daerah Cianjur. Chen Y, Lin X. 2014. A Comparative Study on Efficiency of Two Different Circulation Modes of Agricultural Products Based on DEA Model: Wholesale Market and Logistics Distribution Centre. Computer Modelling and New Technologies. 18(7):175-180. Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management, Strategy, Planning, and Operations Third Edition. New Jersey (US): Pearson Education, Inc. Chu Y. 2013. Quantitative Analysis of Influence Factors on Distribution Efficiency of Agricultural Products: A Case Study using Data Envelopment Analysis. Advance Journal of Food Science and Technology. 5(12):16691673. Dahl, D.C, Hammond, I. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. United States (US): Mc. Draw-Hill, Inc. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. 2013. Hasil Laporan Produksi, Luas Lahan, Produktivitas, Harga Komoditi Padi. Cianjur (ID): Disperta Cianjur.
76
Doney PM, Cannon JP. 1997. Toward An Understanding of Loyalty: The Moderating Role of Trust. Journal of Managerial Issues. 9(3): 275-298. Emokaro CO, Ayantoyinbo AA. Analysis of Market Integration and Price Variation in Rice Marketing in Osun State, Nigeria. 2014. American Journal of Experimental Agriculture. 4(5): 601-618. Ferrel OC, Pride WM. 2014. Marketing 2014 Edition. South Western (USA): Cengage Learning. Firdaussy Y. 2012. Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras PetaniKonsumen di Indonesia [tesis]. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Frochlich MT, Westbrook R. 2001. Arcs of Integration: An International Study of Supply Chain Strategies. Journal of Operations Management. 19: 185-200. Ghai S. 2012. Value Chain Financing: Strategy Towards Augmenting Grwoth in Agriculture Sector in India. Journal of Economics and Sustainable Development. 3(10). Hakim A. 2014. Pengantar Ekonometrika dengan Aplikasi Eviews. Yogyakarta (ID): EKONISIA. Hermawan A, Sarjana, Pertiwi MD, Ambarsari I. 2008. Informasi Asimetris dalam Transmisi Harga Gabah dan Harga Beras. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 6(1). Jayaratne P, Styger L, Perera N. 2011. Sustainable Supply Chain Management: Using The Srilankan Tea Industry as Pilot. [internet]. [diunduh 2015 Maret 24]. Tersedia pada: http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1181&context=gsbpapers. Jezghani F, Moghaddasi R, Yazdani S, Mohamadinejad A. 2011. Price Transmission Mechanism in the Iranian Rice Market. International Journal of Agricultural Science and Research. 2(4). Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor (ID): IPB Press. Kementrian Pertanian. 2013. Statistik Harga Komoditas Pertanian Tahun 2013. [internet]. [diunduh 2015 Maret 24]. Tersedia pada: http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Buku_Statistik _Harga_2013. _________________. 2014. Statistik Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 20012013. [internet]. [diunduh 2015 Maret 24]. Tersedia pada: http://pphp.pertanian.go.id/upload/pdf/Jurnal_Edisi_Apr_14_1. Kohls, R.L, Uhl, J.N. 2002. Marketing of Agricultural Products. New York (US): Prentice-Hall, Inc. Kotler P, Keller KL. 2009. Marketing Management, Thirteenth Edition. New Jersey (US): Pearson Education. Kozlenkova IV, Hult GTM, Lund DJ. Mena JA, Kekec P. 2015. The Role of Marketing Channels in Supply Chain Management. Journal of Retailing. Krishnapriya V, Rupashree B. 2014. Supply Chain Integration-A Competency Based Perspective. International Journal of Managing Value and Supply Chain (IJMVSC). 5(3). Kurien GP, Qureshi MN. Study of Performance Measurement Practices in Supply Chain Management. International Journal of Business, Management and Social Sciences. 2(4):19-34.
77
Lokollo EM. 2012. Bunga Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Mafimisebi TE, Agunbiade BO, Mafimisebi OE. 2014. Price Variability, Cointegration and Exogeniety in the Market for Locally Produced Rice: A Case Study of Southwest Zone of Nigeria. Rice Research: Open Access. 2(1). Makbul Y, Ratnaningtyas S, Dwiyantoro P. 2014. Prices Cointegration Analysis between Rice and Paddy in Indonesia: A Preliminary Study. Journal of Business and Economics. 5(3):390-396. Malia R, Supartin M. 2014. Analisis Saluran Pemasaran Komoditas Pandanwangi di Desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur. Jurnal Agroscience. 4(2). Mardianto S, Supriatna Y, Agustin NK. 2005. Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(2): 116-131. Marshall GW, Johnston MW. 2011. Essentials of Marketing Management. United States (US): Mc.Graw-Hill. Maulana M. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 10(3): 211-223. McKeller JM. 2014. Supply Chain Management Demystified. United States (US): Mc.Graw-Hill. Meyer J, Taubadel SVC. 2004. Asymetric Price Transmission: A Survey. Journal of Agricultural Economics. 55(3): 581-611. Mkpado M, Arene CJ, Ifejirika CA. 2013. Price Transmission and Integration of Rural and Urban Rice Markets in Nigeria. Journal of Agriculture and Sustainability. 2(1): 66-85. Morgan RM, Hunt SD. 1994. The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. Journal of Marketing. 58: 20-38. Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Eonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta (ID): FE UI. Natawijaya RS. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik dalam Bunga Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta (ID): LPEM-FE UI Noer I. 2014. Integrasi Pasar Beras di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah ESAI. 8(1). Nurdiyah. 2014. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pemasaran Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor(ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ohen SB, Abang SO. 2011. Evaluation of Price Linkages Within the Supply Chain of Rice Markets in Cross River State, Nigeria. Journal of Agriculture and Social Research (JSAR). 11(1). Ojo AO, Ojo MA, Ogaji A, Oseghale A, Kutigi. 2015. Long and Short-run Price Integration Analysis of Rice Marketing in Kwara State, Nigeria. Agricultural Science Research Journal. 5(6):98-104. Parwez S. 2014. Food Supply Chain Management in Indian Agriculture: Issues, Opportunities and Further Research. African Journal of Business Management. 8(14):572-581.
78
Permadhi TR, Sunaryo. 2014. Analisis Efisiensi Distribusi Pemasaran Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (Studi Kasus di U.K.M Kamties, Jetis Suruh Donoharjo, Ngaglik, Sleman). JOIR. 13(1):47-54. Porter M. 1985. Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance. New York (US): The Free Press. Prasetyo SB. 2008. Analisis Efisiensi Distribusi Pemasaran Produk dengan Metode Data Envelopment Analysis. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. 8(2):120-128. Purwono J, Sugyaningsih S, Priambudi A. 2013. Analisis Tataniaga Beras di Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi. Jurnal NeO-Bis. 7(2). [PUSDATIN] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Buletin Konsumsi Pangan. [internet]. [diunduh 2015 November 14]; 5(1). Tersedia pada: http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/. Rachmat R, Thahir R, Gumment M. 2006. The Emperical Relationship Between Price and Quality of Rice at Market Level in West Java. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(1): 27-33. Rahim M, Milia H. 2013. Analysis of Rice Market Integration in Southeast Sulawesi. International Journal of Science and Research (IJSR). 4(2). Saragih AE. 2015. Sistem Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Jurnal Ilmiah Forum Agribisnis. 5(1). Sari DL. 2010. Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sari SW, Nurmalina R, Setiawan B. 2014. Efisiensi Kinerja Rantai Pasok Ikan Lele di Indramayu, Jawa Barat. Jurnal Manajemen dan Agribisnis. 11(1). Sarker D, Ghosh BK. 2010. Milk Marketing Under Cooperative and NonCooperative Marketing Channels:Evidence from West Bengal. Economic Annals. 55(187). Seiford LM, Thrall RM. 1990. Recent Developments in DEA: The Mathematical Programming Approach to Frontier Analysis. Journal of Econometrics. 46:7-38. Setiawan A. 2009. Studi Peningkatan Kinerja Manajemen Rantai Pasok Sayuran Dataran Tinggi Terpilih di Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sezen B. 2008. Relative Effects of Design, Integration And Information Sharing On Supply Chain Peformance. Supply Chain Management: An International Journal. 13(3): 233-240. Sharma V, Giri S, Rai SS. 2013. Supply Chain Management of Rice in India: A Rice Processing Company’s Perspective. International Journal of Managing Value and Supply Chains. 4(1). Sobichin M. 2012. Nilai Rantai Distribusi Komoditas Gabah dan Beras di Kabupaten Batang. Economics Development Analysis Journal. 1(2). Stern LW, Ansary AIE, Coughlan AT. 1966. Marketing Channels, 5th Edition. New Jersey (US): Prentice Hall International. Sultana A. 2012. Rice Marketing in Bangladesh: From the Perspective of Village Study at Cox’s Bazar District. African Journal of Agricultural Research. 7(45):5995-6004.
79
Surjasa D, Sa’id EG, Arifin B, Sukardi, Jie F. Indonesian Rice Supply Chain Analysis and Supplier Selection Model. International Journal of Information, Business and Management. 5(1). Thongrattana PT. 2012. An Analysis of The Uncertainty Factors Affecting the Sustainable Supply of Rice Production in Thailand [disertasi]. Sydney(AUS): University of Wollongong. Vavra P, Goodwin BK. 2005. Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers. 3. Van der Vorst, Beulens AJM, Beek P. 2005. Inovations in Logistics and ICT in Food Supply Chain Networks, in: Innovation in Agri-Food System. Belanda (NL): Wageningen Academic Publishers. Van der Vorst. 2006. Peformance Measurement in Agri-Food Supply Chain Networks. Belanda (NL): Wageningen Academic Publishers.
80
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1 Jumlah Penggilingan di Kabupaten Cianjur pada Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kecamatan Cianjur Cilaku Warungkondang Gekbrong Cibeber Ciranjang Sukaluyu Bojongpicung Karangtengah Mande Pacet Cipanas Sukaresmi Cugenang Cikalongkulon Sukanagara Takokak Campaka Campaka Mulya Pagelaran Cibinong Cikadu Tanggeung Kadupandak Cijati Leles Agrabinta Sindangbarang Cidaun Naringgul Haurwangi Pasirkuda Total Penggilingan
Sumber: Dinas Pertanian Cianjur (2010)
Penggilingan Besar 3 13 12 11 20 18 5 32 25 12 2 8 3 21 7 1 1 1 3 198
Penggilingan Kecil 30 40 39 12 151 85 24 75 99 18 9 9 36 53 22 19 41 40 48 67 133 8 76 83 71 66 71 72 183 100 28 22 1 830
Jumlah Penggilingan 33 53 51 23 171 103 29 107 124 18 9 9 48 55 30 19 41 43 48 88 133 8 83 84 71 66 72 73 183 100 31 22 2 028
83
Lampiran 2 Hasil Uji Stasioner Data Harga Gabah di Petani Cianjur Null Hypothesis: D(PT) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=5)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.987675 -2.674290 -1.957204 -1.608175
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PT,2) Method: Least Squares Date: 01/05/16 Time: 12:10 Sample (adjusted): 2012M04 2014M01 Included observations: 22 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PT(-1)) D(PT(-1),2)
-1.692373 0.340861
0.282643 0.170949
-5.987675 1.993931
0.0000 0.0600
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.749764 0.737253 0.240189 1.153813 1.211022 2.145143
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.036364 0.468580 0.071725 0.170911 0.095090
84
Lampiran 3 Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pengumpul Besar Null Hypothesis: D(MT) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 3 (Automatic - based on SIC, maxlag=5)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.931090 -2.685718 -1.959071 -1.607456
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(MT,2) Method: Least Squares Date: 01/05/16 Time: 12:12 Sample (adjusted): 2012M06 2014M01 Included observations: 20 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(MT(-1)) D(MT(-1),2) D(MT(-2),2) D(MT(-3),2)
-3.146505 1.662927 1.155162 0.430905
0.638095 0.483552 0.371750 0.247101
-4.931090 3.438983 3.107367 1.743841
0.0002 0.0034 0.0068 0.1004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.757522 Mean dependent var 0.712058 S.D. dependent var 0.459925 Akaike info criterion 3.384502 Schwarz criterion -10.61352 Hannan-Quinn criter. 2.042031
-0.010000 0.857107 1.461352 1.660498 1.500227
85
Lampiran 4 Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pengecer Cianjur Null Hypothesis: D(RTC) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=5)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.100927 -2.669359 -1.956406 -1.608495
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RTC,2) Method: Least Squares Date: 01/05/16 Time: 12:13 Sample (adjusted): 2012M03 2014M01 Included observations: 23 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(RTC(-1))
-1.083705
0.212453
-5.100927
0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.536929 0.536929 0.291833 1.873662 -3.798190 1.995775
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.043478 0.428855 0.417234 0.466603 0.429650
86
Lampiran 5 Hasil Uji Stasioner Data Harga Beras di Pedagang Pasar Cipinang Null Hypothesis: D(RTJ) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=5)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.064152 -2.669359 -1.956406 -1.608495
0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RTJ,2) Method: Least Squares Date: 01/05/16 Time: 12:15 Sample (adjusted): 2012M03 2014M01 Included observations: 23 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(RTJ(-1))
-0.738834
0.181793
-4.064152
0.0005
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.424807 0.424807 0.084375 0.156622 24.74267 1.147177
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
-0.009130 0.111252 -2.064580 -2.015211 -2.052164
87
Lampiran 6 Output Length Lag Criteria dan AR Roots Table Pada Lag Maksimum 2 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: PT MT RTC RTJ Exogenous variables: C Date: 01/05/16 Time: 12:29 Sample: 2012M01 2014M12 Included observations: 34 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-65.61313 0.401222 11.72531
NA 112.6127* 16.65307
0.000706 3.75e-05* 5.16e-05
4.094890 1.152869* 1.427923
4.274462 2.050728* 3.044069
4.156129 1.459065* 1.979075
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
88
Lampiran 7 Hasil Uji Kausalitas Harga Gabah di Petani (PT), Harga Beras di Pengumpul Besar (MT), Pengecer Cianjur (RTC), dan Pedagang Pasar Cipinang (RTJ) Pairwise Granger Causality Tests Date: 01/05/16 Time: 12:59 Sample: 2012M01 2014M12 Lags: 1 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
MT does not Granger Cause PT PT does not Granger Cause MT
35
0.99463 3.96008
0.3261 0.0552
RTC does not Granger Cause PT PT does not Granger Cause RTC
35
0.38836 4.07084
0.5376 0.0521
RTJ does not Granger Cause PT PT does not Granger Cause RTJ
35
0.00103 1.64519
0.9746 0.2088
RTC does not Granger Cause MT MT does not Granger Cause RTC
35
1.90746 0.03369
0.1768 0.8555
RTJ does not Granger Cause MT MT does not Granger Cause RTJ
35
7.76078 5.66254
0.0089 0.0235
RTJ does not Granger Cause RTC RTC does not Granger Cause RTJ
35
5.31106 5.18043
0.0278 0.0297
89
Lampiran 8 Hasil Uji Kointegrasi Johansen Date: 01/05/16 Time: 13:12 Sample (adjusted): 2012M03 2014M12 Included observations: 34 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: PT MT RTC RTJ Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1 At most 2 At most 3
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
0.642691 0.494338 0.261365 0.219872
76.91784 41.92656 18.74244 8.442088
63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0027 0.0626 0.2962 0.2177
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3
0.642691 0.494338 0.261365 0.219872
34.99129 23.18412 10.30035 8.442088
32.11832 25.82321 19.38704 12.51798
0.0216 0.1074 0.5867 0.2177
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
90
Lampiran 9 Output Model VECM pada Integrasi Vertikal Pasar Beras di Cianjur Vector Error Correction Estimates Date: 01/05/16 Time: 14:11 Sample (adjusted): 2012M03 2014M12 Included observations: 34 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PT(-1)
1.000000
MT(-1)
4.455997 (0.70394) [ 6.33007]
RTC(-1)
-2.701322 (0.71903) [-3.75687]
RTJ(-1)
-7.661604 (1.38131) [-5.54663]
@TREND(12M01)
0.318427 (0.06479) [ 4.91489]
C
57.28396
Error Correction:
D(PT)
D(MT)
D(RTC)
D(RTJ)
CointEq1
0.037307 (0.04528) [ 0.82385]
-0.171048 (0.07598) [-2.25133]
0.034790 (0.06127) [ 0.56785]
0.031921 (0.01332) [ 2.39700]
D(PT(-1))
-0.571852 (0.17422) [-3.28239]
-0.138123 (0.29230) [-0.47254]
-0.517258 (0.23570) [-2.19455]
0.029481 (0.05123) [ 0.57542]
D(MT(-1))
0.075872 (0.18097) [ 0.41924]
0.362742 (0.30363) [ 1.19468]
-0.057831 (0.24484) [-0.23620]
-0.028560 (0.05322) [-0.53664]
D(RTC(-1))
0.200220 (0.18551) [ 1.07931]
-0.160480 (0.31124) [-0.51562]
-0.118505 (0.25097) [-0.47218]
0.050281 (0.05455) [ 0.92167]
D(RTJ(-1))
-0.664348 (0.53004)
-0.548827 (0.88928)
-0.117060 (0.71710)
0.171446 (0.15587)
91
Lampiran 9 Output Model VECM pada Integrasi Vertikal Pasar Beras di Cianjur (lanjutan) Error Correction:
C
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
D(PT)
D(MT)
D(RTC)
D(RTJ)
[-1.25339]
[-0.61716]
[-0.16324]
[ 1.09990]
0.023461 (0.06411) [ 0.36598]
0.060128 (0.10755) [ 0.55905]
0.037244 (0.08673) [ 0.42942]
0.030545 (0.01885) [ 1.62021]
0.388141 0.278880 3.523305 0.354729 3.552433 -9.705572 0.923857 1.193215 0.005882 0.417727
0.215886 0.075866 9.917709 0.595150 1.541819 -27.29926 1.958780 2.228137 0.044118 0.619098
0.200427 0.057647 6.448920 0.479915 1.403742 -19.98230 1.528370 1.797728 0.035294 0.494376
0.344709 0.227693 0.304705 0.104318 2.945825 31.90719 -1.523952 -1.254595 0.036735 0.118704
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
2.09E-05 9.62E-06 3.402890 1.505712 2.807608
92
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pematangsiantar, 1 Januari 1993. Ayah penulis adalah Harmedin Saragih. Ibu penulis adalah Emelia Damaiana Sihombing. Penulis merupakan putera pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agribisnis IPB, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014, penulis kemudian melanjutkan studi ke program studi Magister Sains Agribisnis, Pascasarjana IPB. Artikel dari penulis berjudul Sistem Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, diterbitkan oleh Jurnal Ilmiah Forum Agribisnis Volume 5 Nomor 1 pada tahun 2015.